i
PERIKANAN SERO DI PERAIRAN PANTAI PITUMPANUA KABUPATEN WAJO - TELUK BONE : SUATU KAJIAN EKOLOGIS
TENRIWARE
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 12
ii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi: Perikanan Sero di Perairan Pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo – Teluk Bone : Suatu Kajian Ekologis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2012
Tenriware NRP. C 461060021
iii
ABSTRACT TENRIWARE. The Sero Fisheries in Pitumpanua Coastal Waters of Wajo Regency - Bone Bay : an Ecologycal Study. Supervised by M. FEDI A. SONDITA, BUDY WIRYAWAN, and ISMUDI MUCHSIN According to previous study, generally mesh size`4 cm quite selective had operated in Pitumpanua cost at Bone Bay, however the study is not specifically to different habitats such as estuary, mangrove and seagrass. This research tried to evaluate the application of crib which has mesh size 4 cm in sero fisheries in Pitumpanua coast with the goal is to analyze the condition of estuary, mangrove and seagrass environment; to analyze fish community in the different of three habitats; to analyze the selectivity of crib with mesh size 4 cm at the fish dominant of catch; and to analyze the trophic level of fish in food webs. This research conducted in 3 habitats (estuary, mangrove and sea grass area) in Pitumpanua coastal water from januari to May 2011. The experimental unit used 1 unit sero in each habitats. Environment parameters (temperature, salinity, pH, dissolved oxygen dan current velocity) were did in field survey, nutrient analyze (nitrat, phospat dan cylikat), refers to Grasshoff method, chlorophyll-a allowed Boyd method, and phytoplankton and zooplankton defined by APHA method. Trophic level analyze defined by Christensen and Pauly formula by TrophLab2K. Catch analyze according to habitats using compare analyze, environment parameter characteristic analyzed by PCA, association of fish and habitat analyzed by FCA. Selectivity analyze of mesh size 4 cm in the sero used logistic model by Sparre dan Venema method. The results showed that physic-chemistry and biology parameters in Pitumpanua coastal waters, Bone Bay is still proper and in the tolerance range to growth and`survival rate of some fish specieses. The proportion of catch biomass that balanced relative among three trophic level of fish indicated that the`ecologic condition of three ecosystems based on fish trophic level is still proper. The management of sero must be consider the variety of ecosystems that exist because of differences in fish communities in three habitats. The selectivity of mesh size 4 cm at the sero experimental crib obtained Sphyraena sphyraena and Leiognathus splendens fish which had reached the allowable length (L50%), Gerres oyena and Upeneaus sulphureus close to the allowed length, while the Siganus canaliculatus, Siganus guttatus, Lethrinus lentjam, and Terapon jarbua is far from the allowed length. It should be applied the mesh size > 4 cm in seagrass habitat, while in the estuary and near the mangroves applied the size of 4 cm. In general, sero gear that operated in coastal waters Pitumpanua should be applied the mesh size larger than 4 cm. Keywords : selectivity, sero, experimental crib, trophic level
iv
RINGKASAN TENRIWARE. Perikanan Sero di Perairan Pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo - Teluk Bone: Suatu Kajian Ekologis. Dibimbing oleh M. FEDI A. SONDITA, BUDY WIRYAWAN, dan ISMUDI MUCHSIN Berdasarkan kajian sebelumnya yang secara umum bahwa ukuran mata jaring 4 cm cukup selektif yang dioperasikan di daerah pantai Pitumpanua Teluk Bone, namun kajian tersebut belum secara spesifik untuk habitat yang berbeda seperti estuaria (muara sungai) mangrove, dan lamun. Penelitian mengevaluasi penerapan bunuhan (crib) bermata jaring 4 cm pada perikanan sero di perairan pantai Pitumpanua. Tujuan kajian yaitu : menganalisis kondisi lingkungan habitat muara sungai, mangrove dan lamun; menganalisis komunitas ikan di tiga habitat berbeda; menganalisis selektivitas bunuhan bermata-jaring 4 cm terhadap ikanikan yang dominan tertangkap, dan menganalisis posisi jenis ikan yang tertangkap dalam piramida makanan. Penelitian ini dilaksanakan pada 3 (tiga) habitat berbeda yaitu muara sungai, mangrove, dan lamun di perairan pantai Pitumpanua dari bulan Januari – Mei 2011. Percobaan menggunakan masing-masing 1 (satu) unit alat tangkap sero setiap habitat. Parameter lingkungan (suhu, salinitas, pH, DO, dan kecepatan arus) dilakukan pengukuran langsung, analisis nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat) mengacu pada metode Grasshoff, kandungan klorofil a mengikuti metode Boyd, dan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton dan ditentukan berdasarkan metode APHA. Tingkat trofik ditentukan berdasarkan formula Christensen & Pauly dengan bantuan TrophLab2K. Analisis hasil tangkapan berdasarkan habitat dianalisis ragam (Anova). Karakteristik parameter lingkungan dianalisis principle component analysis (PCA). Asosiasi ikan dan habitat dianalisis factorial correspondence analysis (FCA). Analisis biometri untuk hubungan panjang berat ikan. Analisis selektivitas mata jaring 4 cm pada bunuhan sero didekati dengan menggunakan model logistik dengan metode Sparre dan Venema. Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter fisika-kimia dan biologi perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone menunjukkan bahwa perairan pantai masih layak dan dalam batas nilai yang masih ditoleransi dan layak untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup beberapa jenis ikan yang tertangkap dengan alat tangkap sero. Proporsi biomassa hasil tangkapan yang relatif berimbang antar ketiga trofik level mengindikasikan bahwa kondisi ekologis ketiga ekosistem dilihat dari trofik level ikan yang tertangkap dengan sero relatif masih baik. Pengelolaan sero harus memperhatikan ragam dari ekosistem yang ada karena adanya perbedaan komunitas ikan pada ketiga habitat. Selektivitas mata jaring 4 cm pada experimental crib sero didapatkan ikan barakuda dan pepetek yang tertangkap sudah memenuhi panjang yang diperbolehkan (L50%), ikan kapas-kapas dan biji nangka mendekati panjang yang diperbolehkan, sedangkan baronang lingkis, baronang, kerong-kerong, dan kuwe masih jauh dari panjang yang diperbolehkan. Sebaiknya menerapkan ukuran mata jaring > 4 cm di habitat lamun sedangkan di muara sungai dan dekat mangrove menerapkan ukuran 4 cm. Secara umum, alat tangkap sero yang dioperasikan di perairan pantai Pitumpanua sebaiknya menggunakan ukuran mata jaring lebih besar 4 cm. Kata Kunci : selektivitas, sero, experimental crib, trofik level.
v
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
vi
PERIKANAN SERO DI PERAIRAN PANTAI PITUMPANUA KABUPATEN WAJO - TELUK BONE : SUATU KAJIAN EKOLOGIS
TENRIWARE
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 12
vii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup 1. Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc. (Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan, FPIK IPB) 2. Dr. Ir. Am. Azbas Taurusman, M.Sc. (Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan, FPIK IPB)
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka 1. Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja. (Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan, FPIK IPB) 2. Dr. Ir. Suharyanto, M.Si. (Direktur Program Pascasarjana STP Jakarta)
viii
Judul Disertasi
: Perikanan Sero di Perairan Pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo – Teluk Bone : Suatu Kajian Ekologis
Nama Mahasiswa
: Tenriware
Nomor Pokok
: C 461060021
Program Studi
: Teknologi Kelautan
Disetujui : Komisi Pembimbing
(Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc.) Ketua
(Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc.) Anggota
(Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin) Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Teknologi Kelautan,
(Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc.)
Tanggal Ujian : 27 Januari 2012
Dekan Sekolah Pascasarjana,
(Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.)
Tanggal Lulus : 30 Januari 2012
ix
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat
dan
hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan disertasi berjudul “Perikanan Sero di Perairan Pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo-Teluk Bone : Suatu Kajian Ekologis.” Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada komisi pembimbing Bapak Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing; Bapak Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. dan Bapak Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan selama penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Ketua STKIP Prima Sengkang dan Ketua Program Studi Pendidikan Biologi Prima Sengkang yang telah memberikan izin untuk melanjutkan pendidikan di IPB, para rekan staf pengajar di STKIP Prima Sengkang, tenaga laboran dan teknisi yang telah banyak membantu selama proses penelitian. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis juga sampaikan kepada Dekan FPIK IPB, Ketua Departemen TKL, Ketua Program Studi Teknologi dan semua staf pengajar dan pegawai Program Sekolah Pascasarjana Teknologi Kelautan IPB yang telah mendidik dan membantu kelancaran kegiatan proses belajar mengajar, kepada Dirjen Pendidikan Tinggi yang telah memberikan bantuan BPPS telah memberikan bantuan dana pendidikan selama kuliah di Sekolah Pascasarjana IPB. Akhirnya penulis menharapkan semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan penelitian-penelitian selanjutnya, khususnya dalam bidang perikanan dan kelautan.
Bogor, Januari 2012
Tenriware .
x
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Wajo pada tanggal 1 Oktober 1974 anak sulung dari empat bersaudara dari pasangan Sessu Daeng Mattemmu dan Andi Nurhayati. Pendidikan dasar dan menengah diselesaikan di Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan. Tamat SMA pada tahun 1993 dan pada tahun yang sama penulis diterima untuk melanjutkan pendidikan Diploma Tiga di Jurusan Penangkapan, Politeknik Pertanian Universitas Hasanuddin/POLITANI Pangkep (sekarang) dan lulus pada tahun 1996. Pada tahun 1999
penulis melanjutkan pendidikan Sarjana di Jurusan
Pemanfaatan Sumberdaya Perairan (PSP) di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin dan selesai pada tahun 2000. Pendidikan Magister di Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB dan selesai pada Januari 2005. Penulis melanjutkan ke program doktor pada tahun 2006 dan program studi yang sama mendapatkan beasiswa Bantuan Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional. Penulis ikut berpartisipasi dalam beberapa penelitian Hibah Bersaing, Hibah Kebaharian, dan Penelitian Strategis Nasional yang dibiayai DP2M Pendidikan Tinggi. Artikel yang berjudul Analisis Hasil Tangkapan Kepiting Rajungan (Portunnus pelagicus) pada Alat Tangkap Sero di Habitat Berbeda telah diterbitkan di Jurnal Ilmiah Teknosains dalam edisi khusus 1 Januari 2012. Artikel yang berjudul Analisis Hubungan Panjang-Berat Ikan Baronang Lingkis pada Habitat Berbeda di Perairan Pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone telah diterbitkan di Jurnal Perikanan Kopertis IX Wilayah Sulawesi Edisi Desember 2011.
xi
DAFTAR ISTILAH Daerah penangkapan Ekosistem FCA Habitat
Komunitas Level trofik PCA Pengelolaan perikanan
Perikanan
Predator Rantai makanan Selektivitas
Sero
: Lokasi pada suatu wilayah perairan dimana terjadi interaksi antara alat tangkap dengan sumberdaya ikan yang menjadi tujuan penangkapan. : Semua organisme dan lingkungan yang ada dalam suatu lokasi tertentu : Analisis Faktorial Koresponden, salah satu analisis multivariate : Tempat suatu makhluk hidup tinggal dan berkembang biak, dimana lingkungan fisiknya di sekeliling populasi suatu spesies yang memengaruhi dan dimanfaatkan oleh spesies tersebut : Satu grup populasi-populasi yang berada bersama-sama dalam satu ruang dan waktu tertentu : Tingkat atau level makanan dalam suatu rantai makanan : Analisis komponen utama, salah satu analisis multivariate : Semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelansungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati : Semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengelohan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan : Suatu organisme yang memakan sebagian atau keseluruhan organisme lainnya : Karakteristik linier dari aliran energi dan bahan-bahan kimia melalui organisme : selektivitas merupakan sifat alat tangkap tertentu untuk mengurangi atau mengeluarkan tangkapan yang tidak sesuai ukuran (unwanted catch) atau ikan-ikan tangkapan yang tidak diinginkan (incidential catch) dan selektivitas merupakan fungsi dari suatu alat penangkapan ikan dalam menangkap spesies ikan dalam jumlah dan selang ukuran tertentu pada suatu populasi di daerah penangkapan ikan : Aat tangkap yang sifatnya adalah perangkap dan juga penghadang yang dipasang di pantai dengan tujuan menghadang arah renang ikan yang bermigrasi ke arah pantai dan setelah masuk ke bagian alat yang merupakan daerah bunuhan akan terperangkap dan tidak dapat keluar lagi
xii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ............................................................................................... xv DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xix 1 PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah .................................................................................. 5 1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 8 1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 9 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 11 2.1 Deskripsi Alat Tangkap Sero ................................................................. 11 2.1.1 Penaju (leader net) ........................................................................ 11 2.1.2 Sayap (wing) .................................................................................. 12 2.1.3 Badan (body) ................................................................................. 12 2.1.4 Bunuhan (crib)............................................................................... 12 2.2 Daerah Penangkapan Sero ...................................................................... 12 2.3 Jenis-jenis Ikan yang Tertangkap Alat Tangkap Sero ............................ 14 2.4 Ekosistem Perairan ................................................................................. 16 2.4.1 Ekosistem muara sungai (estuaria) ................................................ 16 2.4.2 Ekosistem mangrove ..................................................................... 17 2.4.3 Ekosistem lamun ........................................................................... 18 2.5 Parameter Kualitas Perairan ................................................................... 18 2.5.1 Suhu perairan ................................................................................. 19 2.5.2 Salinitas ......................................................................................... 20 2.5.3 Derajat keasaman (pH) ................................................................ 22 2.5.4 Oksigen terlarut (DO) .................................................................... 22 2.5.5 Kecepatan arus perairan ................................................................ 23 2.5.6 Plankton ......................................................................................... 24 2.6 Trophic Level dan Kebiasaan Makan Ikan ............................................. 25 2.7 Selektivitas Alat Tangkap....................................................................... 29 2.8 Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem ........................................... 33 2.9 Review Penelitian Sebelumnya .............................................................. 36 3 METODOLOGI UMUM ................................................................................. 39 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian .................................................................. 39 3.2 Alat dan Bahan ....................................................................................... 40 3.3 Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data ............................................ 40 3.4 Analisis Data .......................................................................................... 41 4 KONDISI UMUM PERIKANAN SERO DI KABUPATEN WAJO ............. 45 4.1 Statistik Perikanan Kabupaten Wajo ...................................................... 45 4.2 Kondisi Geografis................................................................................... 46 4.3 Konstruksi Sero ...................................................................................... 48 4.4 Lokasi Pemasangan Sero ........................................................................ 52 4.5 Jenis-jenis Ikan yang Tertangkap dengan Sero ...................................... 52
xiii
5 KONDISI LINGKUNGAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN DENGAN SERO ................................................................................................................ 55 5.1 PENDAHULUAN .................................................................................. 55 5.2 METODE PENELITIAN ....................................................................... 55 5.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ......................................................... 55 5.2.2 Alat dan Bahan .............................................................................. 56 5.2.3 Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 56 5.2.4 Analisis Data Lingkungan ............................................................. 59 5.3 HASIL PENELITIAN ............................................................................ 60 5.3.1 Deskripsi Habitat ........................................................................... 60 5.3.2 Karakteristik Habitat ..................................................................... 61 5.4 PEMBAHASAN .................................................................................... 64 5.4.1 Deskripsi Habitat ........................................................................... 64 5.4.2 Karakteristik Habitat ..................................................................... 69 5.5 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 70 5.5.1 Kesimpulan .................................................................................... 70 5.5.2 Saran .............................................................................................. 70 6 KOMUNITAS IKAN DI HABITAT BERBEDA............................................ 71 6.1 PENDAHULUAN .................................................................................. 71 6.2 METODE PENELITIAN ....................................................................... 72 6.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ......................................................... 72 6.2.2 Alat dan bahan ............................................................................... 72 6.2.3 Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 72 6.2.4 Analisis Data ................................................................................. 72 6.3 HASIL PENELITIAN ............................................................................ 74 6.3.1 Komposisi Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Sero .................... 74 6.3.2 Kisaran Berat dan Panjang Total Setiap Hasil Tangkapan Sero ... 75 6.3.3 Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Berdasarkan Habitat dan Waktu Penangkapan ............................................................... 76 6.3.4 Hubungan Panjang-Berat Hasil Tangkapan .................................. 78 6.3.5 Hubungan Berat Hasil Tangkapan dengan Parameter Lingkungan .................................................................................... 80 6.3.6 Asosiasi antara Hasil Tangkapan Dominan dengan Habitat ......... 80 6.4 PEMBAHASAN .................................................................................... 83 6.4.1 Komposisi Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan............................. 83 6.4.2 Kisaran Panjang Total dan Berat Setiap Jenis Ikan ...................... 85 6.4.3 Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Berdasarkan Habitat dan Waktu Penangkapan ...................................................................... 88 6.4.4 Hubungan Panjang-Berat Hasil Tangkapan .................................. 93 6.4.5 Hubungan Berat Hasil Tangkapan dengan Parameter Lingkungan .................................................................................... 95 6.4.6 Asosiasi antara Hasil Tangkapan Dominan dan Habitat ............... 97 6.5 KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 98 6.5.1 Kesimpulan .................................................................................... 98 6.5.2 Saran .............................................................................................. 99
xiv
7 SELEKTIVITAS MATA JARING EXPERIMENTAL CRIB 4 CM PADA CRIB SERO ............................................................................. 101 7.1 PENDAHULUAN ................................................................................ 101 7.2 METODE PENELITIAN ..................................................................... 102 7.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ....................................................... 102 7.2.2 Alat dan bahan ............................................................................. 103 7.2.3 Percobaan Penangkapan Ikan ...................................................... 103 7.2.4 Metode Pengukuran ..................................................................... 108 7.2.5 Analisis Data ............................................................................... 108 7.3 HASIL PENELITIAN .......................................................................... 111 7.3.1 Komposisi dan Proporsi Layak Tangkap pada Experimental Crib .............................................................................................. 111 7.3.2 Nilai L50% Setiap Jenis Ikan yang Tertangkap pada Experimental Crib ....................................................................... 112 7.4 PEMBAHASAN .................................................................................. 117 7.4.1 Komposisi dan Proporsi Layak Tangkap pada Experimental Crib .............................................................................................. 117 7.4.2 Nilai L50% Setiap Jenis Ikan yang Tertangkap pada Experimental Crib ....................................................................... 118 7.5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 120 7.5.1 Kesimpulan .................................................................................. 120 7.5.2 Saran ............................................................................................ 121 8 POSISI JENIS IKAN YANG TERTANGKAP DALAM PIRAMIDA MAKANAN ................................................................................................... 123 8.1 PENDAHULUAN ................................................................................ 123 8.2 METODE PENELITIAN ..................................................................... 124 8.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ....................................................... 124 8.2.2 Alat dan Bahan ............................................................................ 124 8.2.3 Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 124 8.2.4 Analisis Data ............................................................................... 125 8.3 HASIL PENELITIAN .......................................................................... 126 8.3.1 Jenis Makanan Ikan Dominan ..................................................... 126 8.3.2 Trofik Level Ikan Dominan ......................................................... 127 8.4 PEMBAHASAN .................................................................................. 128 8.4.1 Jenis Makanan Ikan Dominan ..................................................... 128 8.4.2 Trofik Level Ikan Dominan ......................................................... 129 8.5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 132 8.5.1 Kesimpulan .................................................................................. 132 8.5.2 Saran ............................................................................................ 133 9 PEMBAHASAN UMUM............................................................................... 135 10 KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 143 10.1 Kesimpulan ........................................................................................... 143 10.2 Saran ..................................................................................................... 143 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xv
DAFTAR TABEL 1
Pengelompokan jenis ikan demersal besar dan demersal kecil ..................... 15
2
Komposisi ikan-ikan pada terumbu karang menurut struktur trofik .............. 29
3
Produktivitas perikanan di habitat laut terbuka, pantai, dan upwelling ......... 35
4
Jenis-jenis hasil tangkapan dominan tertangkap dengan sero selama penelitian ............................................................................................ 53
5
Hasil tangkapan non dominan dan discards alat tangkap sero selama penelitian ........................................................................................................ 54
6
Jenis alat dan bahan yang digunakan pengambilan contoh air dan pengamatan kualitas air di laboratorium ........................................................ 56
7
Parameter kualitas air yang diukur selama penelitian.................................... 57
8
Nilai rata-rata, standar deviasi (SD) 11 parameter fisika-kimia dan biologi di muara sungai, mangrove dan lamun tempat pemasangan sero selama penelitian .................................................................................... 61
9
Komposisi jumlah hasil tangkapan (%) sero berdasarkan jenis ikan setiap habitat selama penelitian...................................................................... 74
10 Komposisi berat hasil tangkapan (%) sero berdasarkan jenis ikan setiap habitat selama penelitian ................................................................................ 75 11 Kisaran panjang total dan berat jenis ikan yang tertangkap dengan sero di perairan pantai Pitumpanua selama penelitian ...................... 75 12 Parameter yang digunakan dalam regresi dan parameter yang dominan pengaruhnya serta besar koefisien determinasi (R2) yang didapatkan dalam hasil regresi antara berat hasil tangkapan dengan parameter lingkungan ...................................................................................................... 80 13 Hasil analisis factorial correspondence analiss (FCA) menunjukkan bahwa terdapat asosiasi antara jenis ikan dengan habitat selama penelitian ........................................................................................................ 81 14 Jenis alat dan bahan yang digunakan pembuatan desain experimental crib dan exsperimental fishing selama penelitian ................103 15 Komposisi jenis hasil tangkapan yang tertahan pada jaring experimental crib sero di habitat berbeda selama penelitian ......................111
xvi
16 Proporsi ukuran layak tangkap ikan yang tertahan pada jaring experimental crib selama penelitian ............................................................111 17 Nilai L50% ± standar deviasi (SD) setiap jenis ikan berdasarkan habitat selama penelitian ..............................................................................112 18 Jenis makanan ikan dominan dan item makanan menurut klasifikasi food item III menurut TrophLab2K..............................................................126 19 Rata-rata trofik level setiap jenis ikan berdasarkan habitat selama penelitian ..........................................................................................127 20 Tingkat trofik ikan dominan yang tertangkap dengan sero di perairan pantai Pitumpanua ....................................................................127
xvii
DAFTAR GAMBAR 1
Kerangka pikir penelitian .............................................................................. 8
2
Perairan pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone ........................... 39
3
Produksi ikan dari tiga jenis perikanan terbesar di Kabupaten Wajo ............ 45
4
Jenis perahu bermotor yang digunakan dalam perikanan sero di perairan pantai Pitumpanua, Teluk Bone ..................................................................... 46
5
Desain sebuah sero dilihat dari atas atau udara. Lima bagian sero: bagian penaju (A), bagian sayap (B), bagian perut (C), bagian badan (D), dan bagian bunuhan (E) ................................................................................. 49
6
Bagian bunuhan atau crib (A) dan panaju atau leader net (B) yang pada salah satu sero yang digunakan dalam penelitian di Kecamatan Pitumpanua ............................................................................. 50
7
Proses kegiatan hauling pada alat tangkap sero (A) Penarikan jaring sero; (B) Pengambilan hasil tangkapan .............................. 51
8
Diagram gerombol (cluster) untuk 24 contoh pengamatan terhadap 8 parameter fisika kimia lingkungan lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian.................... 62
9
Plot stasiun dan waktu pengamatan parameter fisika kimia lingkungan selama lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian ................................................................ 63
10 Konfigurasi dua komponen utama untuk 24 contoh pengamatan terhadap 8 parameter fisika kimia lingkungan lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian ............ 63 11 Kekuatan 8 parameter fisika kimia lingkungan dalam membentuk konfigurasi dua komponen utama untuk 24 contoh pengamatan di lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian ............................................................................................ 64 12 Jumlah hasil tangkapan berdasarkan habitat dan waktu penangkapan selama penelitian ............................................................................................ 76 13 Berat hasil tangkapan berdasarkan habitat dan waktu penangkapan selama penelitian ............................................................................................ 77
xviii
14 Kurva hubungan panjang-berat jenis ikan biji nangka (a), baronang lingkis (b), kerong-kerong (c), kapas-kapas (d), lencam (e), pepetek (f), kuwe (g), dan baronang (h)......................................................... 78 15 Kurva hubungan panjang-berat jenis ikan barakuda (i), hubungan lebar karapaks-berat rajungan (j), hubungan panjang karapaks-berat udang putih (k). ..................................................................... 79 16 Plot stasiun dan waktu pengamatan pada sumbu FCA 1 dan 2. .................... 81 17 Plot jenis ikan pada sumbu FCA 1 dan 2. ...................................................... 82 18 Konfigurasi tiga komponen utama untuk asosiasi antara jenis hasil tangkapan dan habitat di lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian ................... 82 19 Proses pembuatan desain experimental crib sero ........................................104 20 Desain experimetal crib pada alat tangkap sero...........................................105 21 Pemasangan jaring experimental crib pada alat tangkap sero ....................107 22 Rata-rata ukuran layak tangkap hasil tangkapan yang tertahan pada experimental crib selama penelitian di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone ...................................................................................................112 23 Kurva selektivitas mata jaring 4 cm untuk jenis ikan biji nangka, baronang lingkis, kerong kerong, dan kapas kapas pada daerah penangkapan yang berbeda ..........................................................................113 24 Kurva selektivitas mata jaring 4 cm untuk jenis ikan lencam, pepetek, kuwe, baronang, dan barakuda pada daerah penangkapan yang berbeda ................................................................................................114 25 Kurva selektivitas setiap jenis ikan selama penelitian di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone ....................................................................116
xix
DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil analisis ragam (Anova) parameter suhu perairan (oC) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian ................................159 2 Hasil analisis ragam (Anova) parameter kecepatan arus (cm/dtk) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian .............160 3 Hasil analisis ragam (Anova) parameter salinitas perairan (ppt) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian .............161 4 Hasil analisis ragam (Anova) parameter pH perairan antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian ................................162 5 Hasil analisis ragam (Anova) parameter kadar oksigen terlarut (ppm) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian .............163 6 Hasil analisis ragam (Anova) konsentrasi nitrat (µg/L) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian ......................164 7 Hasil analisis ragam (Anova) konsentrasi fosfat (µg/L) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian ......................165 8 Hasil analisis ragam (Anova) konsentrasi silikat (µg/L) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian ......................166 9 Hasil analisis ragam (Anova) kandungan klorofil a (mg/m3) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian ......................167 10 Hasil analisis ragam (Anova) kelimpahan fitoplankton (sel/liter) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian .............168 11 Hasil analisis ragam (Anova) kelimpahan zooplankton (individu/liter) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian ............169 12 Nilai rata-rata, standar deviasi (SD) dan kisaran dari 12 parameter fisika dan kimia lingkungan di muara sungai, mangrove dan lamun tempat pemasangan sero dengan experimental crib selama penelitian ..........170 13 Hasil analisis PCA untuk parameter lingkungan selama penelitian ...............171 14 Hasil analisis ragam (Anova) jumlah hasil tangkapan antar lokasi menurut kelompok waktu penangkapan per jenis ikan serta total jumlah tangkapan .........................................................................172
xx
15 Hasil analisis ragam (Anova) berat hasil tangkapan antar lokasi menurut kelompok waktu penangkapan per jenis ikan serta total berat tangkapan...............................................................................................183 16 Parameter hubungan panjang-berat hasil tangkapan selama penelitian .........194 17 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan biji nangka dengan parameter lingkungan selama penelitian ........................................................195 18 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan baronang lingkis dengan parameter lingkungan selama penelitian............................................197 19 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan kerong-kerong dengan parameter lingkungan selama penelitian ...........................................199 20 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan kapas-kapas dengan parameter lingkungan selama penelitian............................................201 21 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan lencam dengan parameter lingkungan selama penelitian............................................203 22 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan pepetek dengan parameter lingkungan selama penelitian............................................205 23 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan kuwe dengan parameter lingkungan selama penelitian............................................207 24 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan baronang dengan parameter lingkungan selama penelitian............................................209 25 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan barakuda dengan parameter lingkungan selama penelitian............................................211 26 Hasil analisis linier berganda antara berat total hasil tangkapan dengan parameter lingkungan selama penelitian............................................213 27 Hasil analisis FCA jenis hasil tangkapan dengan habitat ...............................215 28 Perhitungan analisis selektivitas mata jaring sero 4 cm setiap jenis ikan dominan tertangkap pada habitat muara sungai di perairan pantai Pitumpanua, Teluk Bone ................................................................................216 29 Perhitungan analisis selektivitas mata jaring sero 4 cm setiap jenis ikan dominan tertangkap pada habitat mangrove di perairan pantai Pitumpanua, Teluk Bone ................................................................................224
xxi
30 Perhitungan analisis selektivitas mata jaring sero 4 cm setiap jenis ikan dominan tertangkap pada habitat lamun di perairan pantai Pitumpanua, Teluk Bone ................................................................................232 31 Hasil analisis trophlab setiap jenis ikan di habitat muara sungai selama penelitian ............................................................................................240 32 Hasil analisis trophlab setiap jenis ikan di habitat mangrove selama penelitian ............................................................................................250 33 Hasil analisis trophlab setiap jenis ikan di habitat lamun selama penelitian ............................................................................................260
xxii
1 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari
sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan lepas pantai dan perikanan darat. Perikanan pantai cenderung mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam teknologi penangkapan dan rekayasa teknologi dalam pengembangan armada penangkapan dan peralatan pendukung lainnya. Skala usaha dalam sistem perikanan pantai sangat beragam dari skala konsumsi rumah tangga hingga yang dikembangkan secara profesional baik oleh perusahaan swasta maupun pemerintah. Salah satu alat tangkap tradisional yang dominan di kawasan pesisir Teluk Bone adalah sero. Alat tangkap tersebut tergolong alat tangkap pasif karena dioperasikan dengan cara menunggu kedatangan ikan, bukan mendekati atau mengejar kawanan ikan. Alat tangkap ini dipasang di kawasan perairan pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut. Salah satu faktor yang menyebabkan alat tangkap sero masih banyak dioperasikan di pesisir pantai sampai saat ini adalah karena relatif murah, mudah, dan sederhana pengoperasiannya. Meskipun jika dilihat dari produktivitasnya bila dibandingkan dengan alat tangkap lainnya seperti purse seine, jaring insang, dan bagan, kontribusi alat tangkap sero dalam total volume hasil tangkapan sero memang relatif lebih rendah. Pengembangan teknologi penangkapannya pun relatif lebih lambat dan inovasi baru hasil riset sangat kurang karena potensi pengembangan ke arah komersial kurang menjanjikan. Hal ini mengakibatkan para peneliti kurang berminat mengkaji masalah sero sehingga informasi dan kajian ilmiah masalah sero ini sangat terbatas, sementara populasi nelayan yang menggantungkan hidupnya pada alat tangkap ini cukup besar dan umumnya mengalami kesulitan untuk memilih pekerjaan lain karena keterbatasan keterampilan dan pengetahuan. Tipologi daerah penangkapan perikanan pantai yang banyak terdiri dari kawasan teluk yang sifatnya semi terbuka memiliki beberapa keistimewaan dibandingkan dengan perikanan tangkap di perairan terbuka. Sumberdaya ikan di kawasan teluk keragamannya sangat tinggi mengikuti keragaman dan tipe habitat yang bervariasi. Keistimewaan lain dibandingkan dengan perairan terbuka
2
adalah kemudahan akses oleh para nelayan. Jarak yang dekat dari pantai dan karakteristik oseanografi yang tidak terlalu ekstrim menyebabkan lebih mudah diakses oleh nelayan dengan teknologi dan peralatan armada penangkapan yang untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan yang ada dalam wilayah teluk. Berbeda dengan perairan terbuka yang membutuhkan armada penangkapan yang lebih maju dan skala yang lebih besar. Ekosistem teluk dan beberapa ekosistem pesisir lainnya memiliki fungsi ekologis yang sangat penting terhadap berbagai sumberdaya hayati laut, termasuk jenis-jenis ikan ekonomis penting yang banyak menjadi target penangkapan selama ini. Fungsi ekologis yang penting ekosistem teluk dan pesisir lainnya diantaranya sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah perlindungan, tempat mencari makan (feeding ground), dan
penyebaran larva dan wilayah
pembesaran berbagai biota laut (Dahuri 2003). Konsep dasar dalam manajemen perikanan tangkap mengacu pada perspektif pengelolaan sumberdaya berkelanjutan yakni ramah lingkungan, dan menguntungkan secara ekonomis. Pengelolaan sumberdaya perikanan sebaiknya menerapkan sistem perikanan berkelanjutan sehingga tidak terjadi eksploitasi yang menyebabkan overfishing. Hal ini dapat ditempuh melalui pemeliharaan ekosistem dan penggunaan alat tangkap yang bersifat ramah terhadap lingkungan. Sebagai suatu sistem usaha apalagi jika berkembang sampai pada tingkat pengembangan industri perikanan maka secara ekonomis sebuah sistem perikanan harus bersifat menguntungkan. Pengelolaan yang sifatnya menguntungkan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan sebagai obyek pelaku. Berkaitan dengan konsep manajemen perikanan yang dijelaskan di atas, maka sebaiknya dalam pengelolaan perikanan di wilayah pantai tetap menjaga kelestarian fungsi-fungsi ekosistem yang beragam agar daya dukung lingkungan tetap dapat dipertahankan dan mampu mendukung produksi berbagai sumberdaya yang menjadi target pengelolaan. Sehubungan dengan kemudahan akses wilayah pantai maka sebaiknya dampak aksesbilitas tinggi ini tidak bersifat negatif yaitu merusak ekosistem, sebaliknya harus besifat positif dengan memaksimalkan pemeliharaan habitat-habitat dalam semua ekosistem penyusun pantai. Salah satu aspek penting dan berpotensi merusak ekosistem dan mengganggu kelestarian
3
sumberdaya alam dan biota laut di dalamnya adalah penggunaan alat tangkap yang tidak ramah terhadap lingkungan. Oleh sebab itu sebaiknya alat tangkap yang digunakan dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan di wilayah pantai adalah alat tangkap yang selektif dan tidak merusak habitat bilamana alat tangkap tersebut dioperasikan. Selektivitas alat tangkap sebaiknya tidak hanya mengacu kepada kalkulasi besaran populasi yang diloloskan tetapi juga mempertimbangkan aspek dinamika populasi sumberdaya ikan dalam wilayah pantai. Untuk itu sangat diperlukan kajian mengenai sistem rantai dan jaring makanan yang terkait dengan target penangkapan setiap jenis alat yang digunakan. Keanekaragaman hayati di kawasan pantai jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di perairan terbuka atau perairan yang lebih dalam. Perbedaan ini lebih disebabkan karena keragaman ekosistem dan variabilitas parameter lingkungan yang relatif lebih tinggi di wilayah pantai. Wilayah pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut dan kegiatan di wilayah darat mampu mempengaruhi fluktuasi dan perubahan parameter lingkungan yang tidak terjadi dalam ekosistem perairan terbuka. Ekosistem perairan pantai merupakan perairan dangkal yang memiliki fungsi ekologis penting seperti penyebaran larva, wilayah pemijahan, pembesaran, dan perlindungan yang tidak terdapat dalam fungsi ekologi perairan terbuka. Ukuran biota laut yang menghuni perairan pantai umumnya lebih kecil dibandingkan dengan ukuran biota yang sama yang menghuni perairan dalam. Kemampuan adaptasi terhadap perubahan lingkungan tertentu pun relatif lebih tinggi dibandingkan dengan organisme atau biota yang menghuni perairan terbuka, dimana hal tersebut terkait dengan perubahan lingkungan dan habitat yang terjadi di wilayah ekosistem perairan pantai. Faktanya bahwa ikan dan biota laut lainnya yang berukuran lebih kecil adalah memudahkan dimangsa oleh berbagai jenis ikan dan biota lain yang berukuran lebih besar. Hubungannya dengan rantai dan jaring makanan maka ada kecenderungan jalur rantai makanan lebih banyak dalam jaring makanan di wilayah pantai tetapi panjang rantai makanan relatif lebih pendek jika dibandingkan dengan pada sistem perairan terbuka (Widodo dan Suadi 2008).
4
Tingginya keanekaragaman hayati dengan ukuran individu ikan yang umumnya lebih kecil dan banyaknya jalur rantai makanan dan penangkapan yang sangat intensif menyebabkan pentingnya mempertimbangkan aspek keberlanjutan sumberdaya ikan. Aktivitas penangkapan yang dalam perspektif rantai makanan dapat dianggap puncak predator sangat berpotensi menyebabkan kerusakan keseimbangan ekologis dalam ekosistem pantai. Dampak negatif yang dapat disebabkan dari aktivitas tersebut adalah terputusnya sistem rantai makanan akibat penangkapan terhadap sumberdaya tertentu yang memegang peranan penting dalam sistem rantai makanan dalam ekosistem tersebut. Terputusnya rantai makanan tersebut mungkin saja terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Dampak secara langsung dapat terjadi jika spesies yang berperan penting dalam rantai makanan itu menjadi target penangkapan dan ditangkap melebihi daya dukung lingkungan, sedangkan dampak tidak langsung dapat terjadi ketika jenis atau spesies tersebut bukan menjadi ikan target tetapi ikut tertangkap dalam suatu alat tangkap dan bukan menjadi target dari alat tangkap itu. Mengingat betapa pentingnya mengkaji posisi trofik dan peranan spesies ikan dalam sistem rantai makanan di perairan pantai dalam kaitannya dengan sistem penangkapan sero sehingga sangat diperlukan dalam rangka pengembangan sistem perikanan berbasis ekosistem. Sampai saat ini kajian seperti ini masih sangat terbatas khususnya dalam sistem perikanan pantai dan hal ini menjadikan kajian dengan tema seperti ini sebagai topik terkini yang sangat dibutuhkan dalam rangka mengembangkan pengelolaan perikanan tangkap berbasis ekosistem atau yang dikenal
sebagai
Ecosystem
Based
Fisheries
Management
(EBFM)
(Widodo dan Suadi 2008). Isu degradasi populasi pada beberapa daerah penangkapan tidak jarang mendiskreditkan masalah pencemaran lingkungan, kerusakan ekosistem, dan keramahan suatu alat tangkap yang dioperasikan. Penelitian yang umum dilakukan adalah kajian parsial yang kadang menyorot masalah ekosistem dan alat tangkap secara tersendiri dalam bagian yang terpisahkan. Sementara untuk menjelaskan secara obyektif bagaimana gejala degradasi populasi itu terjadi mutlak diperlukan kajian komprehensif dengan melihat pengaruh simultan dari berbagai faktor. Apalagi dalam kasus alat tangkap sero yang daerah
5
penangkapannya pada berbagai tipe habitat, tidak mudah untuk digeneralisasikan karena mungkin saja ramah pada suatu habitat tapi tidak ramah pada habitat lainnya. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa alat tangkap sero yang dioperasikan nelayan saat ini dengan mata jaring 0,5 cm, terbukti tidak selektif dan ukuran mata jaring 4 cm yang terbukti selektif dan ramah dalam penangkapan berbagai jenis ikan target (Tenriware 2005). Meskipun dalam kajian tersebut menunjukkan ukuran mata jaring 4 cm selektif pada secara umum, namun belum diketahui secara spesifik tingkat selektivitasnya pada habitat yang berbeda, bukan hanya dilihat dari jumlah yang diloloskan tetapi juga mengkaitkan dengan trofik level ikan berdasarkan rantai dan jaring makanan dalam daerah penangkapan sero. Mengkaji trofik level ikan dalam daerah penangkapan sero maka akan melengkapi hasil analisis selektivitas yang terbatas pada aspek kuantitas yang diloloskan. Hal ini penting sekali karena bisa saja terjadinya degradasi populasi bukan karena pengaruh lingkungan maupun selektivitas alat tangkap, tetapi karena penangkapan berlebih terhadap jenis ikan pada trofik level tertentu yang menjadi fraksi makanan penting bagi beberapa ikan target sero. Hal tersebut penting untuk dilaksanakan dengan harapan memberikan informasi mengenai karakteristik daerah penangkapan sero dan struktur trofik level ikan serta mengevaluasi penerapan bunuhan (crib) bermata jaring 4 cm pada berbagai habitat.
1.2
Perumusan Masalah Perikanan sero dari tahun ke tahun di perairan pantai Pitumpanua
mengalami banyak perubahan dari segi bahan yang digunakan dan terjadi penambahan alat tangkap. Perubahan yang signifikan yaitu alat tangkap ini berubah dari bahan bambu menjadi bahan waring dengan ukuran mata jaring 0,5 cm. Kecilnya ukuran mata jaring sero yang digunakan nelayan menimbulkan sorotan dari berbagai pihak bahwa alat tangkap tersebut tidak selektif, terlebih lagi karena alat tangkap sero dipasang di daerah pantai yang merupakan daerah pemijahan (spawning ground), daerah perlindungan, tempat mencari makan (feeding ground), penyebaran larva (nursery ground), dan wilayah pembesaran berbagai biota laut (Dahuri 2003).
6
Permasalahan yang dialami oleh nelayan sero adalah menurunnya hasil tangkapan (KKP Wajo 2009). Penurunan hasil tangkapan diduga terkait dengan degradasi populasi ikan yang mungkin disebabkan oleh rusaknya ekosistem daerah penangkapan sero dan tidak selektifnya alat tangkap sero, atau karena penangkapan yang cukup intensif terhadap jenis ikan pada trofik level tertentu yang merupakan komponen makanan dari populasi ikan target. Tingginya intensitas penangkapan sero di daerah pantai akan berakibat secara ekologis terhadap beragam komunitas biologis yang ada di dalamnya. Diketahui bahwa daerah pantai mempunyai tingkat keanekaragaman sumberdaya ikan yang tinggi dan fungsi ekosistem yang sangat vital, tentunya perlu kehatihatian agar sumberdaya hayati yang ada tetap terjaga. Hasil tangkapan sero dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : parameter lingkungan, selektivitas alat tangkap sero, dan terjadinya interaksi pemangsaan dalam ekosistem tersebut pada masing-masing habitat. Faktor-faktor tersebut dalam kaitannya dengan hasil tangkapan sero belum banyak diteliti sampai saat ini. Bahkan kajian mengenai rantai dan jaring makanan yang membentuk struktur trofik level dalam daerah penangkapan sero belum pernah dilakukan sampai saat ini. Sangat dibutuhkan adanya kajian yang mempelajari bagaimana hubungan karakteristik ekosistem dengan hasil tangkapan, struktur trofik level, dan determinasi parameter yang paling berkontribusi besar terhadap hasil tangkapan pada beberapa tipe habitat di daerah penangkapan sero di pantai. Berdasarkan kajian sebelumnya yang secara umum bahwa ukuran mata jaring 4 cm cukup selektif yang dioperasikan di daerah pantai Pitumpanua (Tenriware 2005), namun kajian tersebut belum secara spesifik untuk habitat yang berbeda seperti estuaria (muara sungai) mangrove, dan lamun. Hasil tangkapan sero yang multispecies dengan ukuran yang sangat bervariasi pada berbagai habitat menimbulkan pertanyaaan bahwa apakah ukuran mata jaring 4 cm selektif untuk semua habitat perairan pantai dan semua jenis target tangkapan. Hal ini merupakan suatu pertanyaan dan masalah yang menarik untuk dikaji dan dievaluasi.
7
Apabila
penelitian
hanya
dilakukan
untuk
mengevaluasi
tingkat
selektivitas ukuran mata jaring 4 cm hanya dilakukan pada habitat tertentu, maka tidak bisa diketahui pengaruhnya pada habitat yang berbeda. Dengan menguji penerapan mata jaring 4 cm pada habitat yang berbeda, maka hasilnya dapat diterapkan pada kebijakan penentuan lokasi sero pada habitat tertentu. Akibatnya kemungkinan beberapa unit sero direkomendasikan untuk tidak dioperasikan pada habitat tertentu. Hal ini jelas akan berdampak buruk pada penerimaan masyarakat nelayan jika tidak diberikan solusi alternatif. Eksperimen ini diharapkan dapat menjadi solusi alternatif terkait dengan keramahan alat tangkap, selain itu untuk dijadikan bahan pembanding dalam rangka mengevaluasi tingkat keramahan alat tangkap menurut habitat. Penelitian yang dilakukan ini dengan mengkombinasikan karakteristik ekosistem daerah penangkapan sero dan kelayakan mata jaring 4 cm pada berbagai habitat, maka diharapkan hasilnya dapat memberikan alternatif pengelolaan perikanan sero yang berkelanjutan. Dengan demikian diharapkan dalam penerapannya direkomendasikan adanya suatu regulasi yang sesuai kajian ilmiah mengenai kelayakan mata jaring 4 cm terhadap tipe habitat tertentu pada berbagai jenis ikan target tangkapan. Kerangka pikir dalam penelitian ini adalah seperti disajikan dalam Gambar 1.
8
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian.
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini antara lain : y Umum: Mengevaluasi penerapan bunuhan (crib) bermata jaring 4 cm pada perikanan sero di perairan pantai Pitumpanua, Teluk Bone, Kabupaten Wajo y Khusus: 1. Menganalisis kondisi lingkungan habitat muara sungai, mangrove dan lamun yang menjadi daerah penangkapan ikan dengan sero 2. Menganalisis komunitas ikan di tiga habitat yang menjadi daerah penangkapan ikan dengan sero 3. Menganalisis selektivitas bunuhan bermata-jaring 4 cm terhadap ikanikan yang dominan tertangkap 4. Menganalisis posisi jenis ikan yang tertangkap dalam piramida makanan
9
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini : •
Sains Perikanan Laut: 1 Contoh analisis pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem dalam perikanan sero di Indonesia 2 Penerapan
studi
ekologi
dan
teknologi
untuk
pengembangan
pengembangan perikanan tangkap •
Pengelolaan Perikanan: 1. Input untuk pengelolaan perikanan sero di perairan pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone 2. Pembelajaran untuk pengelolaan perikanan tangkap di kawasan pesisir di tempat lain
10
11
2 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Alat Tangkap Sero Sero adalah salah satu jenis alat tangkap berbentuk perangkap besar yang
sifatnya menetap, alat ini terbuat dari bilahan-bilahan bambu dan rotan yang bentuknya sedemikian rupa, dimana membentuk beberapa bagian ruang berbentuk segitiga yang tersusun satu di belakang dan alat ini umumnya dipasang memanjang dengan arah tegak lurus terhadap garis pantai (Gunarso 1996). Nikonorov (1975) membedakan bagian perangkap (sero) dalam 3 bagian diantaranya: 1) penaju (leader net) untuk penghalau ikan, 2) badan (body) untuk berkumpulnya ikan sementara waktu sebelum masuk
ke bunuhan),
dan 3) bunuhan (crib) tempat tertahannya atau tertangkapnya ikan. Subani dan Barus (1989) menyatakan bahwa pada prinsipnya alat tangkap ini terdiri dari 4 bagian penting yang masing–masing disebut: penaju (leader net), sayap (wing), badan (body) dan bunuhan (crib). Adapun fungsi dari bagian-bagian tersebut adalah sebagai berikut:
2.1.1 Penaju (leader net) Penaju mempunyai peranan sangat penting dibandingkan dengan kedua sayap atau kaki lainnya, karena penaju merupakan leader net yang berfungsi untuk
menghadang
ikan
dalam
renang
ruayanya
(Ayodhyoa
1981).
Panjang penaju sangat bervariasi tergantung dari besar kecilnya sero. Menurut Nomura dan Yamazaki (1977) dalam Nikonorov (1975) menyatakan bahwa herring masih terus menyusuri leader net sampai pada jarak 300-3000 m dan lebih lanjut mempertegas bahwa perairan yang jernih leader net harus lebih panjang dibandingkan pada perairan keruh. Aslanova (1947) dalam Nikonorov (1975) menambahkan bahwa jenis ikan herring kecil menjaga jarak dengan leader net yaitu 1,5-2 m, tetapi ikan herring tetap berenang dan akhirnya membentuk schooling dan terkonsentrasi pada jarak 0,5 m dengan kedalaman 5-6 m.
12
2.1.2 Sayap (wing) Sayap berfungsi sebagai penghalang ikan yang menyusuri
penaju,
sampai ikan masuk kedalam badan sero atau kamar-kamar sero, bagian ini mempunyai ruang yang luas sehingga diharapkan ikan bisa bermain atau mencari makan sebelum masuk kedalam bagian berikutnya.
2.1.3 Badan (body) Badan sero terdiri atas beberapa kamar (room atau chamber). Bentuk kamar ini bermacam-macam, ada yang berbentuk jantung, segitiga dan berbentuk lingkaran. Pada bagian depan kamar-kamar sero tersebut dipasang pintu-pintu dari kere bambu yang mudah ditutup atau dibuka pada saat operasi penangkapan ikan berlangsung. Jumlah kamar sero bervariasi tergantung dari ukuran sero. Sero yang berukuran kecil umumnya terdiri atas 1-2 kamar, yang berukuran sedang terdiri atas 3 kamar sedangkan sero yang berukuran besar biasanya terdiri atas 4-5 kamar. Pada kamar sero tersebut terdapat lengan yang prinsipnya menyukarkan ikan untuk keluar dan akhirnya masuk ke dalam kamar berikutnya.
2.1.4 Bunuhan (crib) Bunuhan adalah tempat akhir terjebak dan berkumpulnya ikan. Ikan yang telah masuk ke dalam bunuhan sukar untuk meloloskan diri lagi. Pada bagian bunuhan inilah dilakukan pengambilan hasil tangkapan dengan menggunakan bantuan serok.
2.2
Daerah Penangkapan Sero Alat tangkap sero dipasang pada perairan pantai atau daerah pasang
surut, yaitu daerah yang mempunyai keanekaragaman biota yang sangat tinggi disebabkan karena habitat perairan pesisir yang dangkal menyediakan makanan bagi ikan pelagis dan demersal dan perairan yang dangkal merupakan tempat yang baik untuk memijah, mencari makan, tempat berlindung dari ancaman ikan-ikan pemangsa atau predator (McConnaughey dan Zottoli 1983).
13
Pasang surut dan gerakan ombak di pantai dapat mengangkat zat-zat makanan sehingga berbagai jenis ikan dapat memanfaatkannya dengan relatif mudah (Nybakken 1988). Alat tangkap sero di pasang secara tegak lurus terhadap garis pantai dengan kedalaman perairan berkisar 3–8 m pasang tertinggi (Gunarso 1996). Tiensongrume et al. (1986) dalam Rachmansyah (2004) menyatakan bahwa kriteria penentuan daerah penangkapan sero adalah sebagai berikut : 1) kedalaman perairan pada kisaran 1-10 m, 2) Substrat perairan berupa pasir berlumpur atau lumpur dan pasir, 3) berada di daerah muara sungai dengan jarak kurang lebih 200-250 m dari sungai, 3) arus perairan pada kisaran 0,05-0,4 m/det, 4) tinggi air pasang pada kisaran 0,5 m, 5) tidak berada di daerah pencemaran, 6) aksesbilitas baik, 7) suhu perairan pada kisaran 26-35 oC, dan 8) salinitas pada kisaran 60 ppt. Lebih lanjut Wudianto (2007) mengungkapkan bahwa hal penting yang harus diperhatikan sebelum pemasangan set antara lain: ketersedian sumber daya ikan yang menjadi tujuan penangkapan, pola ruaya ikan yang menjadi tujuan penangkapan, kondisi perairan dimana set net akan dipasang (topografi dasar, keadaan arus, pasang surut, dan gelombang). Menurut Widodo dan Suadi (2008) bahwa perairan dangkal dengan kedalaman kurang dari 100 meter dengan dasar perairan yang berlumpur serta relatif datar merupakan daerah penangkapan demersal yang baik. Contoh dari perairan tersebut adalah pada paparan Sunda (Selat Malaka, Laut Jawa dan Laut Cina Selatan serta Paparan Sahul). Lebih lanjut dikemukakan oleh Yusof (2002) bahwa dengan perbedaan kedalaman ternyata jumlah hasil tangkapan berbeda pula. Hal ini bisa dilihat di perairan Peninsular Malaysia pada jenis substrat dasar pasir dan pasir berlumpur dengan kedalaman kurang dari 80 m menunjukkan hasil tangkapan dari 48 stasiun didominasi oleh ikan demersal 95,40% dari seluruh hasil tangkapan dengan rata-rata kemampuan tangkap (catch rate) 66,65 kg/jam. Pada kedalaman perairan antara 5–18 m tertangkap 62–89 spesies dan pada kedalaman perairan lebih dari 18 m menunjukkan jumlah spesies yang lebih banyak lagi yaitu 154 – 191 spesies. Ikan yang mendominasi penangkapan adalah pari (10,79%). Loliginidae (10,63%), Nemipteridae (7,09%), Mullidae (5,83%), dan Synodontidae (3,18%).
14
Substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam biota baik itu mikrofaua maupun makrofauna. Mikrofauna berperan sebagai pengurai bahan-bahan anorganik menjadi bahan-bahan organik yang banyak dimanfaatkan oleh biota-biota lain. Ikan demersal yang termasuk makrofauna juga sangat tergantung dengan substrat dasar perairan, hal ini disebabkan ikan demersal banyak mengambil makanan di substrat dasar perairan. Ikan-ikan demersal umumnya dapat hidup dengan baik di perairan yang bersubstrat lumpur atau lumpur berpasir dan makanan ikan demersal berupa benthos maupun biota kecil lainnya. Hal ini diperkuat oleh penelitian Masrikat (2009) bahwa ikan demersal yang tertangkap selama penelitian dengan jumlah individu terbanyak (19.462 ekor) ditemukan pada stasiun 18 dengan dasar perairan lumpur berpasir.
2.3
Jenis-jenis Ikan yang Tertangkap Alat Tangkap Sero Hasil tangkapan utama dari alat tangkap sero adalah jenis ikan demersal.
Jenis ikan ini hidup di dasar atau dekat perairan atau yang bermigrasi di pantai saat air pasang untuk mencari makan. Boer et al. (2001) mengemukakan bahwa sumberdaya ikan demersal merupakan kelompok jenis-jenis ikan yang hidup di dasar atau dekat dengan dasar perairan. Kelompok ikan ini pada umumnya memiliki aktivitas relatif rendah, gerak ruaya tidak terlalu jauh dan membentuk gerombolan yang tidak terlalu besar, sehingga sebarannya relatif lebih merata jika dibandingkan dengan ikan-ikan pelagis. Kondisi demikian, telah mengakibatkan daya tahan ikan demersal terhadap tekanan penangkapan tersebut relatif rendah dan tingkat mortalitas cenderung sejalan dengan peningkatan upaya penangkapan. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Marasabessy (2010) bahwa ikan demersal hidupnya secara soliter dan hanya sedikit yang dijumpai dalam kelompok besar. Jenis ikan demersal yang dimaksud seperti : ikan kakap (Lutjanus sp) dari suku Lutjanidae, kerapu (Epinephelus sp) dari suku Serranidae, baronang (Siganus sp) dari suku Siganidae, namun jenis ikan yang dijumpai dalam kelompok besar misalnya
ikan
ekor kuning (Casio sp) dari suku
Caesionidae. Jenis-jenis ikan demersal tersebut merupakan target utama penangkapan sero. Namun selain jenis ikan demersal yang tertangkap dengan
15
sero, juga tertangkap ikan pelagis yang beruaya ke pinggir pantai (Subani dan Barus 1989). Jenis ikan demersal dibagi menjadi dua jenis yaitu ikan demersal besar dan ikan demersal kecil (Tabel 1). Dilihat dari nilai ekonomisnya ikan demersal yang memiliki nilai ekonomis tinggi yaitu kakap merah, kerapu, pari, bawal putih, dan bawal hitam (Boer et al. 2001). Tabel 1 Pengelompokan jenis ikan demersal besar dan demersal kecil No 1
Sub Kelompok Demersal besar
Nama Indonesia Kakap merah
Kerapu Manyung Senanging Pari Remang Bawal putih Bawal hitam Tiga waja Ketang-ketang Gulamah Layur 2 Demersal Kecil Pepetek Kuniran Beloso Kurisi Gerot-gerot Sebelah Sumber : Boer et al. (2001)
Nama Perdagangan Barramundi Giant sea perch Groupers Sea catfishes Thread fins Rays Murrays Silver pomfret Balck pomfret Drums Spotted sickelfish Croackers Hairtails Pony fishes Goatfish Lizard fishes Treadfin breams Grunters Indian halibuts
Nama Ilmiah Lutjanus malabaricus L. sanguineus Ephinephelus spp Arius spp E. tetradactylum Trigonidae Muraenesex spp Pampus argenteus Formio niger Scianidae Drepane punctata Scianidae Trichiurus spp Leiognathidae Upeneus sulphureus Saurida spp Nemipterus spp Pomadasys spp Psettodidae.
Perikanan demersal di Indonesia merupakan tipe perikanan multispesies, akan tetapi jumlah individu dari masing-masing jenis tersebut relatif rendah. Boer et al. (2001) dan Widodo et al. (1998) mengemukakan bahwa terdapat berpuluh jenis ikan demersal di perairan Indonesia. Ikan ini biasanya dieksploitasi dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap (multigears). Hasil penelitian di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone hasil tangkapan didominasi oleh ikan demersal seperti biji nangka (Upeneus sulphureus), kapaskapas (Gerres kapas), lencam (Lethrinus lentjam), pepetek (Leiognathus splendens),
kerong-kerong
canaliculatus), kuwe
(Therapon
jarbua),
salamandar
(Siganus
(Carangoides sp.), baracuda (Sphyraena sp.), baronang
16
(Siganus sp.), rajungan (Portunus sp.), udang putih (Peneaus margueinsis), serta hasil
tangkapan
sampingan
adalah
balanak
(Valamugil
sp.),
senangin
(Eleutheronema sp.), layur (Trichiurus sp.), cendro (Tylosurus sp.), bambangan (Lutjanus sp.), kerapu (Epinephelus sp.), kakap (Lates sp.), pari (Trygon spp.), buntal (Tetraodon spp.), cumi-cumi (Loligo sp.), kepiting bakau (Scylla sp.), dan udang windu (Penaeus sp.) dan (Tenriware 2009).
2.4
Ekosistem Perairan
2.4.1 Ekosistem muara sungai (estuaria) Estuaria adalah perairan yang semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan melalui sungai, sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar (Pritchard 1967). Secara ekologis, estuaria adalah daerah yang merupakan tempat bertemunya arus sungai dengan arus pasang surut. Pertemuan kedua arus menghasilkan menghasilkan suatu komunitas yang khas, dengan kondisi lingkungan yang bervariasi. Kondisi perairan estuaria sangat berpengaruh terhadap biota yang menghuninya. Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia estuaria berpengaruh penting terhadap kehidupan organisme diantaranya salinitas, suhu, substrat dan bahan organik, sirkulasi air, dan pasang surut. Secara umum estuaria mempunyai peran ekologis penting antara lain : sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasangsurut (tidal circulation), penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan yang bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makanan (feeding ground) dan sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau tempat tumbuh besar (nursery ground) terutama bagi sejumlah spesies ikan dan udang. Estuaria merupakan habitat dari ratusan jenis burung, mamalia, ikan, dan hewan liar lainnya (Odum 1993). Secara ekonomi perairan estuaria dimanfaatkan manusia
untuk
tempat
pemukiman,
tempat
penangkapan
dan
budidaya ikan, jalur transportasi, pelabuhan, dan kawasan industri (Bengen 2004). Produktivitas estuaria bertumpu pada bahan organik yang terbawa masuk estuaria melalui aliran sungai atau arus pasang surut air laut (Tuwo 2011). Dikatakan lebih lanjut bahwa perairan estuaria mengandung bahan organik hingga
17
110 mg per liter, sedangkan perairan laut terbuka hanya mengandung bahan organik 1-3 mg liter. Jejaring makanan pada daerah estuaria cenderung bersifat terbuka karena organisme yang menghuninya kebanyakan jenis hewan yang sifatnya hidup sementara pada daerah estuaria. Produktivitas primer pada perairam estuaria pun sangat terbatas dan hanya dihasilkan oleh beberapa jenis alga, rumput laut, diatom bentik dan fitoplankton. Namun demikian, bahan organik berupa detritus yang terendapkan pada estuaria membentuk substrat yang penting bagi tumbuhnya alga dan bakteri, yang kemudian menjadi sumber makanan bagi organisme pada tingkat trofik yang lebih tinggi (Tuwo 2011).
2.4.2 Ekosistem mangrove Hutan mangrove adalah hutan pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan dipengaruhi oleh pasang surut laut (Fachrul 2007). Lebih lanjut dikatakan bahwa hutan mangrove dan ekosistemnya merupakan hutan yang menempati zona neritik yang berbatasan dengan daratan (coastal wetland), yakni daerah pantai yang seringkali tergenang air asin din pantai-pantai terlindung daerah tropika dan subtropika. Meskipun daerah itu hanya 10% luas laut, namun menampung 90% kehidupan laut (Suryoatmodjo 1996 dalam Fachrul 2007). Secara ekologis, ekosistem mangrove merupakan penopang ekosistem pesisir lainnya karena mempunyai saling keterkaitan, terutama ekosistem lamun dan terumbu karang. Ekosistem mangrove mempunyai fungsi sebagai penghasil detritus, sumber nutrien, dan bahan organik yang dapat dibawa oleh arus ke ekosistem padang lamun dan terumbu karang. Tuwo (2011) mengemukakan bahwa ketiga ekosistem ini mempunyai keterkaitan dimana, ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang dibawa oleh arus ke ekosistem terumbu karang. Ekosistem lamun juga berfungsi berfungsi sebagai perangkap sedimen sehingga sedimen tersebut tidak menganggu kehidupan terumbu karang. Sedangkan ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak, gelombang, dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat atau tempat tinggal, tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat
18
pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang (Nybakken 1988; Tomascik et al. 1997).
2.4.3 Ekosistem lamun Lamun merupakan kelompok tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang tumbuh di bawah permukaan air di lingkungan bahari. Fortes (1989) menyatakan bahwa padang lamun memainkan suatu spektrum yang luas dari fungsi biologis dan fisik atau lamun memainkan peranan kunci ekologis antara lain sebagai habitat biota, produser primer, perangkap sedimen serta berperan sebagai pendaur ulang hara dan elemen kelumit (trace element). Lebih dipertegas oleh Nienhuis et al. (1989) peranan lamun adalah antara lain : 1) produser primer, 2) sebagai habitat biota, 3) sebagai penangkap sedimen, 4) sebagai pendaur zat hara, dan 5) sebagai makanan dan kebutuhan lain. Ekosistem padang lamun dihuni berbagai jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi, antara lain : Siganus spp., Lethrinus spp., Lutjanus spp., Epinephelus sp., Lates sp., Lisa sp., dan Upeneaus sp. (Tuwo 2011) Ekosistem padang lamun bukanlah suatu ekosistem yang terisolasi tetapi merupakan bagian dari berbagai ekosistem yang saling berinteraksi secara ekologis terutama dalam ekosistem pantai perairan dangkal di laut tropik. UNESCO (1983) mengelompokkan dalam 5 (lima) bentuk interaksi antara ekosistem terumbu karang, mangrove, dan padang lamun yaitu interaksi fisik, nutrien dan bahan organik terlarut, bahan organik berbutir, ruaya hewan, dampak manusia. Adanya interaksi yang timbal balik dan saling mendukung, maka secara ekologis lamun mempunyai peran yang cukup besar bagi ekosistem pantai tropik.
2.5
Parameter Kualitas Perairan Pengaruh beberapa parameter oseanografi terhadap proses biologi bervariasi
menurut skala waktu dan jarak (Mann dan Lazier 1991). Suhu, salinitas, densitas, arus, kadar oksigen dan kadar nutrien merupakan parameter oseanografi yang banyak mempengaruhi proses biologis dalam berbagai skala waktu dan ruang. Proses fisik tersebut dapat mempengaruhi produktivitas perairan.
19
Brond (1979) dalam Masrikat (2009) mengatakan bahwa ikan dipengaruhi oleh suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut dan masih banyak faktor lainnya. Dipertegas oleh Ridho (2004) bahwa suhu, salinitas, kecerahan dan kedalaman memberikan pengaruh terhadap keberadaan jenis-jenis ikan demersal tertentu, sedangkan terhadap kepadatan biomassa ikan demersal pengaruh tersebut kecil. Pengaruh suhu, salinitas, kecerahan dan kedalaman terhadap biomassa ikan demersal tidak bersifat sendiri-sendiri, tetapi secara bersama-sama mempengaruhi kepadatan biomassa ikan demersal. Lebih lanjut Pujiyati (2008) faktor-faktor abiotik seperti jenis substrat dasar perairan, kedalaman, kondisi oseanografi sangat berpengaruh terhadap distribusi komunitas ikan-ikan demersal di perairan Laut Jawa. Hubungan antara keterkaitan tipe substrat dan komunitas ikan demersal di perairan Laut Jawa menunjukkan pola yang berbeda untuk lima jenis ikan dominan yaitu leiognathus splendens (pepetek), Upeneus sulphureus (biji nangka), Nemipterus japanicus (kurisi), Leiognathus bindus (pepetek) dan Saurida longimanus (beloso).
2.5.1 Suhu perairan Suhu air merupakan salah satu parameter fisika yang memegang peranan di dalam kehidupan dan pertumbuhan biota perairan. Suhu berpengaruh langsung pada organisme perairan terutama di dalam proses fotosintesis tumbuhan akuatik, proses metabolisme, dan siklus reproduksi (Sverdrup et al. 1961). Kenaikan suhu sebesar 10oC akan menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen hewan akuatik sebesar dua kali lipat (Wardojo 1975 dalam Wardjan 2005). Suhu air di permukaan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi. Faktorfaktor meterologi yang berperan adalah curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin, dan intensitas radiasi matahari. Oleh sebab itu, suhu di permukaan biasanya mengikuti pola musiman (Nontji 1993). Suhu air laut pada lapisan permukaan lebih hangat daripada suhu di lapisan dasar, namun variasi suhu pada perairan estuari lebih rendah dari pada perairan laut. Umumnya suhu tinggi pada estuari terjadi pada siang hari. Hal ini bisa terjadi karena daerah dangkal mudah menjadi hangat oleh pasokan aliran panas permukaan laut (Douglas 2001).
20
Suhu dalam lautan bervariasi sesuai dengan kedalaman. Massa air permukaan di wilayah trofik, panas sepanjang tahun yaitu 20-30 oC. Di bawah air permukaan suhu mulai menurun dan mengalami penurunan yang sangat cepat pada kisaran kedalaman yang lebih dari 50-300 m (Nybakken 1988). King (1963) suhu permukaan laut biasanya berkisar antara 27oC-29 oC. Tidak berbeda jauh yang didapatkan oleh Afdal dan Riyono (2004) di Selat Makassar yaitu nilai ratarata suhu pada lapisan permukaan 28,9±0,3 °C dengan kisaran antara 28,5-29,6 °C, sedangkan pada lapisan kedalaman suhunya telah mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya kedalaman dan mencapai minimum pada kedalaman 300 m (10,86±0,43 °C) di Selat Makassar. Lebih lanjut Hasanuddin (2007) menyatakan bahwa perbedaan temperatur permukaan sangat variatif, tergantung pada lokasi, pengaruh daratan serta profil kedalaman perairan seperti yang terjadi di Perairan Natuna. Hatta (2010) menggambarkan hasil pengukuran suhu perairan pada daerah penangkapan bagan rambo di Kabupaten Barru berkisar antara 27,1-32,0 oC dengan rata-rata 29,75 oC di permukaan dan 26,1-31,8 oC dengan rata-rata 28,65 o
C pada kedalaman 25 meter. Pengukuran suhu yang dilakukan oleh Safruddin
(2007) selama penelitian di daerah penangkapan purse seine di sebelah selatan di perairan Kabupaten Jeneponto memberikan gambaran yang hampir sama yaitu sebesar 29,71 oC dengan kisaran yang lebih sempit (29-30 oC). Sama halnya dengan Marasabessy dan Edward (2002) memberikan gambaran suhu di Perairan Raha Sulawesi Tenggara pada bulan Mei dan Juni tahun 2001 mendapatkan kisaran yang sedikit lebih sempit (27,8-30,9 oC). Tidak berbeda jauh dengan hasil pengukuran yang dilakukan oleh Umar (2009) yaitu sebesar 29,0 oC di pantai perairan Suppa Kabupaten Pinrang.
2.5.2 Salinitas Salinitas ialah jumlah berat semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam satu liter, biasanya dinyatakan dengan satuan o/oo (per mil, gram per liter) (Nontji 1993). Sebaran salinitas di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone pada bulan Maret-Agustus 2009 rata-rata 28,17 ‰ pada permukaan muara sungai (Dangnga et al. 2009). Nilai tersebut sangat jauh kisarannya yang didapatkan
21
Hatta (2009) di permukaan Perairan Barru yang jauh dari pantai yaitu 30,0-35,0 ppm dengan rata-rata 31,30 ppm dan pada kedalaman 25 m didapatkan 30,0-35,0 ppm dengan rata-rata 31,70 ppm. Sementara Poppo et al. (2009) mendapatkan kisaran salinitas yang lebih rendah antara 29,0-32,0 ppm di perairan pantai kawasan industri perikanan Kabupaten Jembrana Bali pada bulan Mei-Juni 2008. Bervariasinya sebaran salinitas disetiap daerah tersebut disebabkan oleh berbagai faktor seperti topografi perairan, masukan air tawar, curah hujan, pasang surut dan lain-lain. Perubahan salinitas di perairan bebas relatip lebih kecil dibandingkan dengan yang terjadi di perairan pantai. Salah satu faktor yang menyebabkan demikian, karena disebabkan perairan pantai banyak dimasuki oleh air tawar dari muara-muara sungai terutama pada musim hujan (Laevastu dan Hela 1981). Hadikusumah et al. (2001) bahwa di dalam perairan estuari seringkali didominasi oleh proses percampuran dan penyebaran air tawar ke arah lepas pantai dan masukan air tawar. Kondisi demikian akan menyebabkan terjadinya interaksi antara air tawar dan air laut. Interaksi antara air tawar dan air laut di perairan estuari perlu difahami karena dapat memepengaruhi penyebaran suhu, salinitas, kekeruhan dan sebagainya. Adanya perubahan suhu dapat menyebabkan terjadinya sirkulasi dan stratifikasi air yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap distribusi air. Wenno (2003) menyatakan bahwa adanya interaksi antara daratan dengan Selat Makassar menyebabkan nilai ratarata salinitas pada lapisan permukaan sedikit berfluktuasi yaitu berkisar antara 30,4-33,7 psu dan mengalami penambahan dengan bertambahnya kedalaman dan mencapai maksimum pada kedalaman 100 m (34,6 ±0,11 psu), kemudian sedikit menurun sampai pada lapisan 300 m. Sementara Azis (2007) menyatakan bahwa salinitas rata-rata di bagian permukaan lebih rendah jika dibandingkan dengan salinitas rata-rata di bagian dasar pada kondisi pasut menuju pasang. Rendahnya salinitas tersebut disebabkan karena adanya pengaruh dari daratan dan intrusi air tawar dari sungai Binuangeun yang menuju laut. Hal ini berarti bahwa aliran sungai sangat mempengaruhi salinitas di perairan estuaria.
22
2.5.3 Derajat keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) merupakan hasil pengukuran aktivitas ion hidrogen dalam perairan yang menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air. Romimohtarto dan Juwana (2001) menyatakan bahwa perubahan pH sedikit saja dapat menyebabkan perubahan dalam reaksi fisologik berbagai jaringan maupun pada reaksi enzim dan lain-lain. Di laut terbuka, variasi pH dalam batas yang diketahui mempunyai pengaruh kecil pada sebagian besar biota. Nilai derajat keasaman (pH) di perairan pesisir umumnya lebih rendah dibandingkan dengan pH air laut lepas, karena adanya pengaruh masukan massa air tawar dari sistem sungai yang bermuara. Rata-rata pH normal air laut adalah 7,8-8,2 dan bahkan perairan tropis dapat meningkat hingga 9,4 selama fotosintesa berlangsung (Phillips dan Menes 1988). Swingle (1968) berpendapat bahwa batas toleransi pH bagi ikan umumnya berkisar antara pH 4 dan pH 11, dan untuk mendukung kehidupan ikan secara wajar diperlukan perairan dengan pH yang berkisar antara 5-9. Di lingkungan perairan laut pH relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit, biasanya berkisar antara 7,7-8,4 (Nybakken 1988). Batas toleransi organisme air terhadap pH bervariasi, tergantung pada suhu air, oksigen terlarut dan adanya berbagai anion dan kation, serta jenis dan stadium hidup organisme. Baku mutu pH air laut untuk biota laut (budidaya perikanan) yang ditetapkan dalam Kep.No. 02/MENKLH/ Tahun 1988 adalah 6-9.
2.5.4 Oksigen terlarut (DO) Oksigen merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan organisme. Oksigen oleh organisme akuatik dipergunakan dalam proses-proses biologi, khususnya
dalam
proses
respirasi
dan
penguraian
zat
organik
oleh
mikroorganisme. Dalam ekosistem perairan oksigen terlarut sangat penting untuk mendukung eksistensi organisme dan proses-proses yang terjadi di dalamnya, hal ini terlihat dari peranan oksigen selain digunakan untuk aktivitas respirasi organisme air juga dipakai oleh organisme dekomposer dalam proses bahan organik di perairan.
23
Sumber utama oksigen dalam air laut adalah dari udara melalui proses difusi dan proses fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air lainnya pada siang hari. Nybakken (1988) menyatakan bahwa kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh temperatur dan kecerahan, semakin rendah temperatur perairan semakin tinggi kelarutannya, dengan kata lain kandungan oksigen dalam kolom air akan semakin rendah. Oksigen terlarut merupakan gas yang mutlak dibutuhkan untuk pernapasan ikan dan biota lain serta diperlukan dalam perombakan bahan organik. Di laut umumnya dalam 1 liter air laut mengandung 5-6 ml oksigen (Hutagalung et al. 1997). Untuk proses metabolisme, hewan air membutuhkan oksigen terlarut di atas 5 ppm cukup layak bagi kehidupan larva plankton (Shahab 1986). Para ahli perikanan sering menyebutkan bahwa ikan dan biota air lainnya memerlukan sekurang-kurangnya 3 mg/l oksigen terlarut untuk kehidupannya secara normal. Prescod (1973) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut minimal sebesar 2 ppm, cukup untuk mendukung kehidupan perairan secara normal di daerah tropik dengan asumsi perairan tidak mengandung bahan beracun. Dikatakan juga bahwa agar kehidupan ikan dapat layak dan kegiatan perikanan berhasil, maka kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 4 ppm.
2.5.5 Kecepatan arus perairan Arus di laut merupakan suatu fenomena dinamika air laut yang terjadi setiap hari dan merupakan pencerminan gerakan massa air laut dari suatu tempat ke tempat lain secara horizontal. Massa air permukaan selalu bergerak, gerakan ini ditimbulkan terutama oleh kekuatan angin yang bertiup melintasi permukaan air dan pasang surut. Angin mendorong bergeraknya air permukaan sehingga menghasilkan suatu gerakan arus horizontal yang lamban, tetapi mampu mengangkut volume air yang sangat besar melintasi jarak di lautan. Keadaan arus ini mempengaruhi pola penyebaran organisme laut (Nybakken 1988). Perairan pantai Indonesia kecepatan arusnya relatif cukup kuat dan bervariasi seperti yang terjadi di sekitar perairan Teluk Klabat, perairan pantai Muntok dan Selat Bangka berkisar antara 5-72 cm/det. Kecepatan utama arus mencapai lebih dari 40 cm/det, pada musim timur (Agustus) lebih kuat dari pada
24
musim peralihan (April) (Nurhayati 2007). Kecepatan arus di perairan Selat Lombok pada bulan Agustus pada lapisan permukaan juga bisa mencapai lebih dari 1,5 m/det (Arief 1992). Begitupula dengan di sekitar Selat Malaka kecepatan arus relatif kuat dengan kecepatan kurang dari 1,0 m/det (Nurhayati 2002). Kurnia (2003) melaporkan bahwa kecepatan arus di perairan Teluk Bone selama penelitian yaitu berkisar antara 0,024-0,048 m/det. Sutarmat et al. (2003) dalam Wardjan (2005) mengemukakan bahwa arus yang biasanya disebabkan oleh pasang surut tidak melebihi 50 cm/detik. Aliran air sebagai pergantian air yang cukup yaitu 10-30 cm/detik.
2.5.6 Plankton Distribusi biogeografis plankton sangat ditentukan oleh faktor lingkungan, sepeti cahaya, temperatur, salinitas, nutrien dan faktor-faktor lainnya. Faktor tersebut sangat menentukan keberadaan dan kesuksesan spesies plankton di suatu lingkungan (Parsons et al. 1984 dan Valiela 1984). Lebih lanjut Parsons et al. (1984) mengemukakan bahwa tidak mudah untuk menjelaskan kondisi yang berlaku umum tentang penyebaran fitoplankton secara horisontal di laut. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kondisi ekologi pada bagian-bagian laut yang berbeda, seperti di daerah pantai dan estuari, pesisir pantai, dan laut lepas. Salah satu peranan fitoplankton di perairan adalah mengubah zat-zat anorganik menjadi zat-zat organik dengan bantuan sinar matahari melalui proses fotosintesis. Hasilnya disebut sebagai produktivitas primer dengan satuan volume per waktu atau satuan luas per waktu (APHA 2005). Respon fitoplankton terhadap intensitas cahaya sangat dipengaruhi oleh pigmen yang dikandungnya. Perbedaan pigmen yang dikandung antara jenis fitoplankton menyebabkan perbedaan intensitas cahaya yang diabsorbsi. Lebih spesifik Levinton (1982) menyatakan bahwa fitoplankton berfotosintesa menggunakan klorofil a, c, dan pigmen tambahan. Zooplankton dipengaruhi oleh kecerahan yang erat kaitannya dengan jumlah seston dan penetrasi cahaya kedalam perairan. Kecerahan dipengaruhi oleh kekeruhan dan warna air, makin tinggi kecerahan makin dalam penetrasi cahaya matahari (Arinardi 1989). Lebih lanjut, mengemukakan bahwa jumlah
25
zooplankton sangat dipengaruhi oleh kekeruhan. Dengan kekeruhan yang tinggi fitoplankton tidak efektif untuk melakukan fotosintesis sehingga zooplankton tidak tumbuh dengan baik.
2.6
Trophic Level dan Kebiasaan Makan Ikan Seluruh biota penghuni laut dari permukaan sampai dasar saling
berhubungan secara kompleks membentuk suatu sistem yang rumit. Hubungan ini terutama adalah dalam hal makanan. Bermacam-macam mata rantai dari sistem tersebut saling menjamin berlangsungnya transformasi energi di laut. Mempelajari struktur dan proses dari sistem tersebut merupakan salah satu persoalan terpenting dalam planktonologi. Transfer energi dari tingkatan tropik yang satu ke yang lain dari permukaan sampai dasar, dalam tingkatan tertentu ditunjukkan oleh sifat sebaran vertikal, kuantitas, dan komposisi plankton pada berbagai kedalaman. Rantai makanan dinyatakan sebagai suatu aliran biomassa yang kontinu dari tingkatan trofik yang ada. Nybakken (1988) mengemukakan bahwa dalam setiap komunitas, spesies tidak terisolasi tetapi berinteraksi dengan spesies lain pada daerah yang sama sehingga akan terjadi proses makan dimakan dalam komunitas tersebut. Ketersedian makanan merupakan faktor yang menentukan ukuran populasi, pertumbuhan, reproduksi dan dinamika populasi serta kondisi ikan yang ada di suatu perairan (Nikolsky 1963). Adanya makanan yang tersedia dalam perairan selain dipengaruhi oleh kondisi biotik, ditentukan pula oleh kondisi abiotik lingkungan seperti suhu, cahaya, ruang, dan luas permukaan (Effendie 1997). Rantai makanan menggambarkan hubungan keterkaitan antar organisme mulai tingkatan trofik terendah sampai dengan tingkatan trofik tertinggi. Di dalam jejaring makanan terdapat mekanisme saling memengaruhi antara tingkatan trofik paling atas terhadap tingkatan trofik di bawahnya (top down effect) dan sebaliknya dari tingkatan trofik paling bawah ke tingkatan trofik di atasnya (bottom up effect) (Chassot et al. 2005). Effendie (1997) mengemukakan jika ditelaah makanan ikan itu sejak dari awal pembentukannya sampai ke makanan yang dimakan oleh ikan, sebenarnya merupakan mata rantai yang dinamakan rantai makanan (food chains). Plankton tumbuh-tumbuhan melalui proses fotosintesis dapat memproduksi bahan
26
organik dari bahan anorganik (produsen primer), organisme yang memakan nonprodusen primer dinamakan konsumer primer, organisme yang memakan konsumer primer dinamakan konsumer sekunder dan seterusnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa panjang pendeknya rantai makanan tergantung dari macam, ukuran atau umur ikan, namun pada kenyataannya dalam interaksi makanpemakan terjadi tumpang tindih, dimana satu jenis konsumen memakan beberapa jenis makanan dan satu jenis produsen dimakan oleh beberapa jenis konsumen sehingga membentuk suatu jaringan yang dinamakan jaring-jaring makanan (food webs). Salah satu contoh struktur rantai makanan yaitu struktur rantai makanan plankton berupa bentuk piramida terbalik (biomassa autotrofik rendah dan biomassa heterotrofik tinggi) sangat dipengaruhi oleh aktivitas organisme prokaryotik. Cyanobacteri berperan selama periode autotrof dan bakteri selama periode heterotrof (Moustaka-Gouni et al. 2006). Di laut ada 5 (lima) tingkatan trofik dalam rantai makanan yaitu bakteri dan detritus (B), Fitoplankton (P), Zooplankton I (Z1), zooplankton II (Z2), dan tingkatan terakhir ikan (F). Setiap tingkatan trofik berbeda energi yang dihasilkan yang dikenal dengan efisiensi ekologi (E). Efisiensi ekologi ini berhubungan dengan produksi ikan (Parson et al. 1984). Sedangkan Schaefer (1965) yang dalam Parson et al. (1984) menyatakan bahwa pengaruh efisiensi ekologi terhadap produksi ikan berkisar dari 10-20% pada lima tingkat trofik tersebut. Yusfiandani (2004) tahapan proses yang sama pada food webs disekitar rumpon di perairan Pasauran terlihat hanya pada tahapan I sampai III, tetapi tingkatan yang didapatkan yaitu sampai pada 5 (lima) tingkatan dalam rantai makanan, yaitu diantaranya : predator puncak (V), predator karnivora dan omnivora (IV), penyaring (ikan herbivora) (III), pemangsa mikroorganisme (II), dan mikroorganisme ( I). 9 Tingkat I yaitu mikroorganisme yang terdiri dari mikroba dan mikroalga merupakan mahluk pertama yang tumbuh pada atraktor. 9 Tingkat II yaitu pemangsa mikroorganisme adalah euphausiid, kopepoda, udang dan lain-lain.
27
9 Tingkat III yaitu penyaring dimaksudkan ikan-ikan penyaring yang terdapat disekitar rumpon, seperti ikan baronang, remora, Abaliste sp, eteman, kurisi dan ikan lainnya. 9 Tingkat IV yaitu ikan predator yang bersifat karnivora dan omnivora merupakan pemangsa ikan penyaring, seperti ikan selar bentong, selar kuning, selar hijau, ikan kembung, ikan tongkol, lumba-lumba, serta ikan lainnya. 9 Tingkat V yaitu ikan predator tinggi adalah ikan yang memangsa ikan predator dan merupakan top level dalam rantai makanan yang terdapat di sekitar rumpon, seperti tuna, cakalang, setuhuk, hiu serta ikan pelagis lainnya. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Amiruddin (2006) bahwa pada alat tangkap bagan berlangsung pemangsaan selama proses penangkapan. Terlihat komposisi makanan teri hitam (Stolephorus insularis) yaitu fitoplankton (6%) dan zooplankton (94%) menunjukkan bahwa teri lebih memilih zooplankton sebagai makanan utamanya dibandingkan dengan fitoplankton. Sementara pemangsa dari teri adalah selar, dimana proporsi volume teri dalam lambung selar antara 77,8-91,3% dengan frekuensi kejadian pemangsaan antara 80-100%. Hal ini diperkuat oleh Hutomo et al. (1987) bahwa ikan teri adalah termasuk ikan pemakan plankton. Lebih lanjut bahwa ikan teri pada ukuran < 40 mm umumnya memakan fitoplankton dan zooplankton berukuran kecil sedangkan pada ukuran > 40 mm, ikan teri memanfaatkan zooplankton (copepoda) berukuran besar. Lebih lanjut Hatta (2010) menyatakan bahwa ikan planktivor (terutama ikan teri) menunjukkan peranan yang sangat penting dalam ekosistem pelagis di dalam daerah penangkapan bagan rambo.
Ikan planktivor berperan penting dalam
transfer makanan dari plankton ke populasi ikan omnivor dan ikan karnivor pada trofik level lebih tinggi. Biomassa pada populasi plankton tidak dapat secara efektif langsung dimanfaatkan oleh ikan omnivor dan ikan karnivor sehingga harus melewati ikan planktivor. Posisi strategis ikan planktivor sebagai item makanan ikan omnivor dan ikan karnivor jelas akan mempengaruhi jalur rantai makanan pada trofik level di atasnya. Aranchibia dan Neira (2005) mengemukakan hasil penelitiannya di pusat pendaratan ikan Chili bahwa selama 20 tahun (1979-1999) terjadi penurunan trofik level rata-rata ikan yang lebih besar yaitu 17,5% pertahun. Lebih lanjut
28
Pauly et al. (1998) dalam Hatta (2010) mengemukan hasil penelitiannya yang berdasarkan data pendaratan ikan yang diteliti diberbagai negara, bahwa telah terjadi penurunan trofik level rata-rata sebesar 10% per tahun. Hatta (2010) mengelompokkan beberapa jenis ikan berdasarkan makanannya yaitu ikan teri dan ikan tembang merupakan ikan pemakan plankton (planktivor) karena di dalam ususnya hanya ditemukan fitoplankton dan zooplankton saja. Lebih lanjut dikatakan bahwa ternyata dalam isi usus ikan teri terdapat komposisi fitoplankton berkisar 26,32-94,87% dari total plankton dengan rata-rata 64,65%, sementara ikan tembang berkisar antara 42,86-97,14% dengan rata-rata 62,80%. Ikan pepetek, layang, dan kembung tergolong ikan omnivor karena mengkonsumsi nekton berupa jenis ikan kecil, ikan teri, dan udang halus selain plankton dan ikan selar tergolong ikan karnivor yang memakan nekton berupa berbagai jenis ikan kecil, teri, udang, cumi-cumi dan sebagian kecil zooplankton. Menurut Weatherley dan Gill (1987) bahwa ada 11 prinsip mengenai hubungan mangsa dan pemangsa pada ikan : 1) jumlah ikan yang dimakan oleh piscivor lebih banyak dibandingkan dengan jumlah ikan yang ditangkap oleh nelayan; 2) ukuran mangsa yang dimakan oleh pemangsa semakin bertambah besar dengan
bertambah besarnya ukuran pemangsa; 3) pemangsa memiliki
kesukaan (preverensi) pada spesies mangsa dengan ukuran tertentu; 4) pemangsa umumnya mengambil bermacam-macam mangsa; 5) pemangsaan terhadap suatu jenis mangsa memungkinkan terjadi perubahan terhadap kepadatan mangsa; 6) pemangsa mungkin mengganti makanannya dengan spesies lain dalam suatu kesetimbangan biologi; 7) jumlah mangsa berkurang akibat pemangsaan oleh tekanan pemangsa; 8) komposisi komunitas mangsa dipengaruhi oleh pemangsa; 9) populasi mangsa yang melimpah dapat merangsang pertumbuhan dan densitas pemangsa; 10) persaingan antara spesies pemangsa dapat mempengaruhi pertumbuhan dan densitas populasi; dan 11) pemangsaan terhadap mangsa tertentu dapat menurunkan persaingan diantara spesies mangsa sehingga dapat penambahan keragaman komunitas mangsa. Jenis ikan yang tertangkap pada alat tangkap sero tidak hanya ikan-ikan demersal yang hidupnya di muara sungai, mangrove, dan lamun bahkan ada diantaranya ikan-ikan demersal yang hidupnya di daerah terumbu karang. Ikan
29
ikan karang dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok yaitu ikan-ikan diurnal dan ikan-ikan nocturnal. Kelompok ikan diurnal adalah kelompok ikan yang aktif berinteraksi dan mencari makan pada siang hari, seperti dari famili Pomacentridae, Labridae, Achanthuridae, Chaetodontidae, Serranidae, Lutjanidae, Balistidae, Cirrhitidae, Tetraodontidae, Bleniidae, dan Gobiidae. Sedangkan ikanikan nocturnal adalah kelompok ikan-ikan yang aktif berinteraksi dan mencari makan pada malam hari. Di siang hari, kelompok kedua ini menetap pada gua-gua dan celah-celah karang, seperti dari famili Holocentridae, Apongonidae, Haemulidae, Scorpaenidae, Serranidae, dan Labridae (Allen dan Steenes, 1990 dalam Sadarun 2011). Menurut Gladfelter dan Gladfelter (1978) dalam Arami (2006) bahwa struktur trofik ikan-ikan terumbu karang dapat dibedakan menjadi 6 (enam) grup trofik yaitu herbivora, omnivora, plankton feeders, pemakan crustacean, ikan piscivora, dan pemakan lain-lain (Tabel 2). Tabel 2 Komposisi ikan-ikan pada terumbu karang menurut struktur trofik
Herbivora
Jumlah Famili 5
Omnivora
13
Plakton feeders
7
Pemakan crustacean dan ikan
9
Piscivora
9
Pemakan lain-lain
4
Grup trofik
Famili Scaridae, Acanthuridae, Pomacentridae, Blennidae, dan Kyphosidae Labridae, Acanthuridae, Pomacentridae, Mullidae, Ostraciontidae, Cahetodontidae, Monacathidae, Gobiidae, Diodontidae, Sparidae, Carangidae, Gerridae, dan Pempheridae Apongonidae, Pomacentridae, Holocentridae, Grammidae, Priacanthidae, Sciaenidae, dan Pempheridae Serranidae, Holocentridae, Lutjanidae, Scorpaenidae, Sciaenidae, Synodontidae, Fistulariidae, Aulostomidae, dan Bothidae Serranidae, Lutjanidae, Carangidae, Spyraenidae, Muraenidae, Synodontidae, dan Fistulariidae, Aulostomidae, dan Bothidae Pomacentridae, Balistidae, Acanthuridae, dan Gobiidae
Sumber : Gladfelter & Gladfelter (1978) dalam Arami (2006)
2.7
Selektivitas Alat Tangkap Gulland (1974) mendefinisikan selektivitas adalah kemampuan dari alat
tangkap untuk meloloskan ikan. Lebih lanjut FAO (1999) menyatakan bahwa selektivitas merupakan sifat alat tangkap tertentu untuk mengurangi atau mengeluarkan tangkapan yang tidak sesuai ukuran (unwanted catch) atau ikanikan tangkapan yang tidak diinginkan (incidential catch) dan selektivitas
30
merupakan fungsi dari suatu alat penangkapan ikan dalam menangkap spesies ikan dalam jumlah dan selang ukuran tertentu pada suatu populasi di daerah penangkapan ikan.
Losanes et al. (1990) mendefinisikan lebih jauh tentang
selektivitas ukuran adalah pernyataan kuantitatif dari kemampuan alat tangkap untuk menangkap ikan terhadap spesies dengan ukuran tertentu. Kemampuan tersebut dengan menghindarnya ikan dari hadangan jaring yang merupakan proses penentu peluang tertangkapnya ikan.
Peluang ini bervariasi sesuai dengan
karakteristik ikan seperti bentuk badan, bagian yang terjerat dan ukuran mata jaring. Selektivitas merupakan fungsi dari suatu alat penangkapan ikan dalam menangkap spesies ikan dalam jumlah dan selang ukuran tertentu pada suatu populasi di daerah penangkapan ikan. Selektivitas menurut Matsuoka (1995) dibagi dalam dua komponen yaitu selektivitas ukuran dan selektivitas spesies. Menurut FAO (1999) bahwa penagkapan ikan yang selektif meliputi; a. Umur dan Ukuran ikan yang tertangkap; perubahan penangkapan yang dilakukan dengan menangkap ikan yang umurnya sudah tua, memungkinkan untuk memperbaiki hasil tangkapan dengan tingkat upaya tertentu sehingga hasil tangkapan sebanding dengan bobot ikan yang menguntungkan secara ekonomis. b. Selektivitas spesies; perikanan yang banyak melibatkan spesies menimbulkan banyak masalah optimasi distribusi bagi upaya tangkap dengan berbagai macam alat tangkap yang berbeda. Hal ini diikuti dengan tingkat upaya tangkap yang berbeda bagi
beberapa spesies secara profesional. Dengan
adanya aturan yang dibuat untuk menangkap spsesies dan ukuran tertentu akan membantu pengembangan perikanan lestari. Fridman (1986) menyatakan bahwa selektivitas merupakan sifat alat dalam menangkap ukuran dan jenis ikan tertentu dalam suatu populasi. Sifat ini tergantung pada prinsip yang dipakai dalam penangkapan, tetapi juga tergantung pada parameter desain alat seperti mata jaring, benang jaring dan ukuran benang, hanging ratio dan kecepatan menarik. Lebih lanjut Treshchev (1974) dalam Fridman (1986) mengatakan bahwa ukuran mata jaring mempunyai pengaruh terbesar pada selektivitas alat tangkap. Menurut Nielsen dan Lampton (1983)
31
menyatakan bahwa ikan yang mempunyai ukuran yang lebih kecil maupun lebih besar dari ukuran ikan optimum lebih sedikit tertangkap karena ikan yang sangat kecil dapat berenang lolos dan ikan besar tidak dapat masuk ke lubang jaring. Secara umum ukuran selektivitas ialah : 1) Girth optimum = 1,25 kali keliling jaring, 2) Panjang ikan = 20% lebih panjang atau lebih pendek dari panjang optimum yang sering tertangkap. Kemampuan selektivitas suatu alat tangkap bergantung pada prinsip penangkapan dan parameter desain alat itu sendiri seperti ukuran mata jaring (mesh size), beban benang, material dan ukuran benang, hanging ratio, dan kecepatan penarikan alat tangkap (Fridman 1986). Lebih lanjut dijelaskan oleh Treshchev (1974) dalam mempunyai
pengaruh
Fridman (1986) bahwa ukuran mata jaring
terbesar
pada
selektivitas
alat
tangkap.
Memperbesar ukuran mata jaring dapat menyebabkan perubahan komposisi yang pada akhirnya jumlah hasil tangkapan sehingga pengetahuan tentang selektivitas sangat membantu dalam merancang, membuat dan mengoperasikan alat tangkap dengan baik (Fridman 1986). Lebih lanjut Pope et al. (1975) menyatakan bahwa selain ukuran mata jaring yang menentukan selektivitas adalah hanging ratio, elongation, visibilitas benang jaring (menyangkut bahan dan tebal benang), bentuk badan dan tingkah laku ikan tujuan tangkap. Hanging ratio dan bentuk badan ikan berpengaruh terhadap proses cara tertangkap, nilai hanging ratio yang makin kecil berkecenderungan untuk memuntal. Kemuluran benang jaring yang meningkat memberikan peluang ukuran ikan yang lebih besar untuk tertangkap. Visibilitas dan tingkah laku berhubungan dengan kemampuan ikan untuk menghindari jaring. Hal senada juga dikemukakan oleh Sparre dan Venema (1999) bahwa selektivitas dipengaruhi oleh desain alat tangkap dan karakteristik jaring. Selektivitas alat harus diperhitungkan dalam mengestimasi komposisi ukuran ikan yang sesungguhnya di daerah penangkapan. Dalam suatu model yang dikemukakan oleh Beverton dan Holt yang dalam Monintja et al. (1999) bahwa umur ikan termuda yang tertangkap (age at first capture) akan menentukan yield per recruitment. Umur ikan tersebut ditentukan oleh selektivitas alat tangkap terhadap
32
jenis ikan tersebut. Oleh karena itu pendekatan teknis berupa pengetahuan tentang mata jaring merupakan salah satu cara dalam manajemen sumberdaya perikanan. Sementara Matsuoka (1995) membagi dua komponen selektivitas yaitu selektivitas ukuran dan selektivitas spesies. Regier dan Robson (1966) menentukan pengaruh ukuran mata jaring terhadap selektivitas dapat dilakukan dengan 3 (tiga) metode yaitu: langsung, tidak langsung dan iteratif. Metode langsung memerlukan data komposisi ukuran dari populasi dan kemudian mengestimasikan selektivitas dengan membandingkan komposisi ikan yang tertangkap dengan komposisi populasi. Pendekatan ini dapat dilaksanakan jika komposisi ikan dalam populasi ikan diketahui. Metode tidak langsung membutuhkan asumsi matematika untuk kurva selektivitas, yakni ketergantungan antara selektivitas dengan ukuran mata jaring.
Data hasil tangkapan yang
digunakan terdiri dari beberapa kelas ukuran ikan yang tertangkap oleh mata jaring yang berbeda ukuran. Metode iteratif memerlukan asumsi matematika tertentu berbasiskan pada data yang diperoleh pada interval yang panjang atau pada beberapa interval ulangan. Hal utama dalam metode ini adalah memperkirakan hubungan antara selektivitas terhadap bukaan mata jaring dan nilai tengah panjang ikan yang diulang-ulang berdasarkan jumlah relatif ikan pada suatu populasi sampai menghasilkan sebaran titik-titik yang memadai untuk membuat kurva. Lebih lanjut Matsuoka (1995) mengemukakan bahwa selektivitas umumnya digambarkan sebagai suatu ukuran relatif. Dalam perhitungan tidak langsung (indirect estimation method) nilai selektivitas 100% bukan berarti bahwa semua ikan tertangkap dalam operasi penangkapan. Hal tersebut menandakan suatu nilai efisiensi relatif tertinggi. Kebanyakan alat penangkapan ikan memiliki selektivitas (size selectivity) yang digambarkan dalam kurva selektivitas yaitu : (1) kurva yang berhubungan dengan efisiensi tertinggi disekitar puncak, menurun pada kedua sisi dengan dua buah ekor (a modal curve/normal curve) dan (2) kurva satu ekor dengan efisiensi tertinggi pada ikan-ikan yang berukuran besar, seperti kurva model logiistik (a on tail curve). Alat tangkap passif seperti gillnet, perangkap, dan pancing memiliki kurva selektivitas yang berbentuk normal curve, sedangkan pada alat tangkap yang aktif seperti trawl dan jenis
33
jaring yang lain dimana proses selektivitasnya terjadi dengan penyeleksian maka alat tangkap tersebut memiliki bentuk a one tail curve/logistic curve. Kurva selektivitas memberikan gambaran kisaran selektivitas a% dibandingkan efisiensi tertinggi sehingga didapat panjang selektif a% dengan notasi La (a%-selective length) misalnya L25 atau L50 dan berkaitan dengan masing-masing ukuran mata jaring (Matsuoka 1995). Perhitungan tentang selektivitas dapat menggunakan beberapa metode antara lain metode McCombie dan Fry’s, metode girth inference dan metode Kitahara
(Reis & Pawson 1992).
Pada metode Kitahara, selektivitas diestimasi dari fungsi L/M (panjang ikan dibagi ukuran mata jaring) dan G/M (keliling lingkar tubuh ikan dibagi ukuran mata jaring), diantilog-kan kurva master dan puncak kurva diperoleh ketika efisiensi relatif mencapai 100%. Metode ini pada dasarnya mirip metode yang dideskripsikan oleh Pope et al. (1975) dan Jones (1976) yaitu secara cover-net, dimana cover-net tersebut mempunyai ukuran mata jaring yang lebih kecil dari ukuran mata jaring cod-end. Pada prinsipnya membandingkan jumlah hasil ikan yang berada di cover-net dengan jumlah seluruh ikan yang ada di bagian cod-end dan cover-net yang menutupi cod-end.
2.8
Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem Pendekatan
ekosistem
dapat
dipahami
sebagai
pendekatan
yang
mengikutsertakan keseluruhan komponen utama ekosistem dan berbagai jasa yang diberikannya dalam perhitungan untuk memperoleh suatu upaya pengelolaan perikanan secara berkelanjutan. Pengertian ini juga menyangkut pengelolaan perilaku manusia untuk menjaga tingkat tertentu keragaman, kepadatan, dan produktivitas ekosistem laut. Dalam beberapa pengertian lain seperti dijelaskan oleh Mathew (2001) bahwa pendekatan dapat dipahami sebagai cara untuk memahami interaksi yang terjadi pada spesies ikan target, predator, kompetitor, dan spesies mangsanya, serta berbagai interaksi dan dampak ekploitasi organisme tersebut terhadap lingkungan. Permasalahan yang mendasar dalam pengkajian stok untuk pengelolaan perikanan saat ini adalah orientasi yang berbasis pada spesies tunggal atau sumberdaya ikan target saja. Widodo dan Suadi (2008) mengemukakan dampak
34
kebijakan pengelolaan perikanan yang selama ini berkembang hanya berbasis pada spesies target (tunggal) saja telah meninggalkan permasalahan baru bagi spesies target sendiri, spesies ikan lainnya, dan organisme lain yang memiliki hubungan dengan jenis tersebut, serta lingkungan. Hal ini sering memunculkan pertanyaan bahwa perubahan dan dampak apa yang dapat terjadi sebagai akibat dari kegiatan perikanan tersebut?. Kondisi ini telah menarik perhatian internasional tentang pengembangan pola pengelolaan sumberdaya ikan yang berbasis ekosistem atau yang dikenal sebagai ecosystem-based fisheries management (EBFM).
Dengan berbasis pada pendekatan ini, pengelolaan
perikanan ke depan perlu diupayakan ke arah pendekatan yang bersifat multidisiplin dengan mengoptimalkan pemanfataan ilmu pengetahuan yang ada seperti oseanografi, biologi perikanan, sosial ekonomi, hukum, teknologi informasi (sistem informasi geografis dan penginderaan jauh), dan lain-lain, serta pendekatan ini dapat dipadukan berbagai informasi yang tersedia tentang sistem sumberdaya ikan seperti produktivitas primer, sumberdaya ikan utama dan berbagai pola hubungan makan-memakan atau rantai dan jaring makanan dapat digunakan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh dari proses dinamis yang terjadi pada ekosistem perairan. Dalam rangka menguatkan pendekatan ini, FAO pada bulan Oktober 2001 di Reykjavik Iceland, melakukan suatu pertemuan ilmiah internasional dan menghasilkan Deklarasi Reykjavik tentang perikanan berkelanjutan pada ekosistem laut (Responsible Fisheries in the Marine Ecosystem). Dalam deklarasi Reykjavik dipaparkan isu kunci perlunya mengumpulkan dan mereview berbagai pengetahuan terbaik tentang isu ekosistem laut terkait dengan kegiatan perikanan tangkap dan mengintegrasikannya dalam berbagai aktivitas baik di tingkat regional maupun internasional untuk pengelolaan perikanan. Pertemuanpertemuan dunia tentang pembangunan dan lingkungan berikutnya seperti pertemuan di Johannesburg 2002 juga semakin mempertegas kebutuhan untuk membangun dunia yang lebih berpedoman pada prinsip pembangunan berkelanjutan. Lebih jauh FAO juga melengkapi dengan berbagai panduan teknis menuju perikanan berkelanjutan.
35
Perikanan sero merupakan perikanan pantai yang terdiri dari beberapa ekosistem yang ada di dalamnya. Oleh karena itu penerapan pola pengelolaan sumberdaya ikan yang berbasis ekosistem atau yang dikenal sebagai ecosystembased fisheries management (EBFM) sangatlah tepat untuk diterapkan. Mengingat bahwa pemanfaatan perikanan dunia saat ini terkonsentrasi pada perairan dangkal pada kedalaman antara 0-200 m (Pauly dan Christensen 2002). Dipertegas bahwa produktivitas perairan di daerah pantai (paparan) yang tinggi telah menghasilkan suatu produktivitas perikanan yang juga tinggi.
Ekosistem ini diperkirakan
menyumbang lebih dari 90% sumber ikan dunia. Daerah terumbu karang dapat memproduksi 10-12% dari total hasil tangkapan di negara tropis dan sekitar 2025% di negara berkembang. Tingginya tingkat produktivitas di daerah pantai dibandingkan pada daerah lain digambarkan oleh Wolff (2004) dalam Widodo dan suadi (2008) seperti pada Tabel 3 berikut. Tabel 3 Produktivitas perikanan di habitat laut terbuka, pantai, dan upwelling Habitat Persentase luas perairan Rata-rata produktivitas primer (g.C/m/tahun) Total Produksi (109 ton C/tahun Jumlah energi yang ditranfer antara berbagai tingkat trofik Rata-rata efisiensi ekologi Rata-rata produksi ikan (mg C/m2/tahun) Total produksi ikan (106 ton C/tahun)
Laut Terbuka 90 50
Pantai 9,9 100
Upwelling 0,1 300
16,3 5
3,6 3
0,1 1,5
10% 0,5
15% 340
20% 36.000
0,2
12
12
Tabel 3 menunjukkan bahwa perairan laut terbuka (lepas pantai) walaupun memiliki luas area yang terbesar (mencapai 90% dari total perairan laut), namun total produksi ikan yang dapat didukung oleh wilayah ini hanya mencapai 200.000 ton C/tahun. Jumlah ini sangat berbeda dengan produksi yang mampu dihasilkan oleh dua habitat perairan laut lainnya yaitu paparan (pantai) dan daerah upwelling yaitu mencapai 12 juta ton C/tahun, walaupun luas areanya sangat kecil. Interaksi yang terjadi antar organisme yang hidup pada tiga habitat tersebut juga cukup berbeda. Di antara tiga habitat utama perikanan, interaksi biologi yang terjadi
36
pada perairan laut lepas lebih kompleks dengan rantai makanan yang lebih panjang (mencapai 6 tingkat trofik) dibandingkan perairan pantai (4 trofik) dan daerah upwelling (1,5 trofik). Bahkan jumlah tingkat trofik pada daerah upwelling bisa mencapai bisa mencapai 2 jika ikan didominasi oleh jenis herbivora (Pauly dan Christensen 2002). Pencapaian tujuan pola pengelolaan sumberdaya ikan yang berbasis ekosistem diperlukan teknik pengelolaan perikanan yang baik. Widodo dan Suadi (2008) mengemukakan beberapa pendekatan pengelolaan perikanan yakni : 1) pengaturan ukuran mata jaring (dari pukat atau alat tangkap yang digunakan); 2) pengaturan batas ukuran ikan yang boleh ditangkap, didaratkan, atau dipasarkan; 3) kontrol terhadap musim penangkapan ikan (opened or closed season); 4) kontrol terhadap daerah penangkapan (opened or closed areas); 5) pengaturan terhadap alat tangkap serta perlengkapannya di luar pengaturan ukuran mata jaring (mesh size); 6) perbaikan dan peningkatan sumberdaya hayati (stock enhancement); 7) pengaturan hasil tangkapan total per jenis, kelompok jenis, atau bila memungkinkan per lokasi atau wilayah; dan 8) setiap tindakan langsung yang berhubungan dengan konservasi semua jenis ikan dan sumberdaya hayati lainnya dalam wilayah perairan tertentu.
2.9
Review Penelitian Sebelumnya Penelitian tentang parameter lingkungan perairan telah banyak dilakukan
oleh peneliti-peneliti sebelumnya
seperti (Andriyani 2004; Murifto 2000;
Aryawati 2007; Ridho 2004) namun tidak ada diantara penelitian tersebut mengkaitkan bagaimana hubungan parameter lingkungan tersebut terhadap hasil tangkapan sebuah alat tangkap. Begitupula penelitian trofik level telah banyak dikaji (Asriyana 2010; Anakotta 2002; Sjafei & Robiyani 2001) tetapi kajian terbatas pada kebiasaan makan dan aspek biologis ikan. Begitupula dengan kajian tentang selektivitas alat tangkap telah banyak diteliti (Rengi 2002; Matsuoka 1995; Manoppo 1999; Tenriware 2005) tetapi kajian ini hanya terfokus pada selektivitas alat tangkap tanpa melihat kondisi parameter lainnya.
37
Penelitian-penelitian tersebut di atas hanya dilakukan secara parsial saja, sehingga penelitian ini dilakukan secara serentak mengukur kondisi daerah penangkapan ikan, struktur trofik level jenis ikan, dan selektivitas mata jaring hubungannya dengan hasil tangkapan sero. Keunggulan penelitian ini yaitu mengkaji parameter lingkungan dan trofik level hasil tangkapan, untuk melengkapi kajian selektivitas mata jaring yang dilakukan pada alat tangkap sero pada perairan pantai. Penelitian yang serupa dengan kajian ini yaitu struktur dan dinamika trofik level di daerah penangkapan perikanan bagan rambo Kabupaten Barru Sulawesi Selatan (Hatta 2010), namun kajian ini tidak dilakukan analisis selektivitas alat tangkap dan dilebih difokuskan pada perairan lepas pantai dengan hasil tangkapan pelagis.
39
3 3.1
METODOLOGI UMUM
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini mencakup kegiatan pengumpulan data berupa pengamatan
lapangan dan experimental fishing yang dilaksanakan selama 4 bulan, yaitu sejak 15 Januari hingga 15 Mei 2011.
Penelitian ini dilaksanakan di lokasi yang
menjadi daerah pengoperasian sero di teluk Bone, tepatnya di perairan pantai Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo yang terletak pada posisi 03o40’02” 03o43’12” LS dan 120o25’12” - 120o26’42” BT (Gambar 2).
Gambar 2 Perairan pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone.
40
3.2
Alat dan Bahan Peralatan utama yang digunakan adalah 3 unit sero yang dilengkapi dengan
bagian bunuhan khusus (experimental crib). Bahan jaring crib tersebut memiliki ukuran mata jaring sebesar 4 cm. Sero tersebut adalah milik nelayan setempat, sedangkan experimental crib dibuat khusus untuk keperluan penelitian ini. Peralatan lain adalah peralatan pengambilan contoh air dan peralatan pengukur parameter lingkungan, seperangkat alat dan bahan laboratorium untuk pengamatan dan identifikasi serta sejumlah peralatan lain yang diperlukan selama pengumpulan data di lapangan.
Daftar alat dan bahan yang dipakai selama
penelitian ini dijelaskan secara lebih rinci di bagian metode penelitian pada Bab 5, 6, 7, dan 8.
3.3
Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan di lapangan dan laboratorium meliputi :
1) parameter kondisi perairan, seperti suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut (DO), kecepatan dan arah arus air, plankton, zat hara perairan (fosfat, silikat, dan nitrat), kadar klorofil a, dan plankton; 2) data yang diperlukan untuk menentukan trofik level ikan-ikan yang tertangkap sero meliputi data hasil tangkapan sero (hasil tangkapan 16 trip, mulai tanggal 15 Januari – 14 Mei 2011) ; 3) data jenis dan jumlah ikan yang tertangkap (hasil tangkapan 16 trip, mulai tanggal 15 Januari14 Mei 2011); 4) data tentang selektivitas sero yang dilengkapi dengan experimental crib dari 3 (tiga) unit sero yang ditempatkan di 3 habitat berbeda, yaitu muara sungai, padang lamun dan kawasan mangrove. Cara pengambilan untuk setiap jenis data tersebut disajikan dalam bagian metode penelitian pada Bab 5, 6, 7, dan 8. Data jenis pertama (parameter kondisi perairan) dikumpulkan di setiap habitat dalam 8 kali kesempatan dengan setiap dua mingguan pengamatan (22 Januari – 14 Mei 2011). Data jenis kedua untuk menentukan trofik level ikan dikumpulkan dari penelitian pendahuluan pada tanggal 24-26 Desember 2010 dan penelitian dilaksanakan pada 15 Januari – 15 Mei 2011, sedangkan data untuk menentukan selektivitas diperoleh dari 16 trip penangkapan ikan di setiap habitat.
41
3.4
Analisis Data Analisis untuk membandingkan karakteristik kondisi lingkungan dan
komunitas ikan di antara ketiga habitat yang tertangkap oleh
sero dengan
experimental crib dilakukan dengan menerapkan analisis ragam (ANOVA) dan principle component analysis (PCA). Dalam perbandingan antar habitat tersebut ada dua faktor yang dipertimbangkan, yaitu faktor habitat (H) dan faktor waktu (T), sedangkan uji signifikansi dilakukan pada taraf α = 0,05 (Zar 1984 dan Petersen 1985). Oleh karena itu dalam model linier analisis ada faktor habitat, waktu, dan faktor interaksi antara habitat dan waktu. Uji lanjutan berupa uji beda rerata Tukey (Tukey’s HSD test) dilakukan terhadap faktor yang secara signifikan mempengaruhi variabel yang dianalisis. Kalkulasi untuk melakukan sidik ragam ini menggunakan perangkat lunak SPSS Release 15.0. Data parameter perairan yang terdiri dari banyak variabel dan observasi berdasarkan waktu dan lokasi maka untuk memudahkan dalam interpretasi maka digunakan teknik reduksi data dengan menggunakan analisis multivariate principle component analysis (PCA) (Legendre & Lagendre 1983). Dengan analisis PCA maka karakterisasi waktu dan lokasi pengamatan dapat disederhanakan berdasarkan distribusi spasiotemporal parameter perairan. Kemiripan antara observasi dianalisis dengan sidik gerombol (cluster analysis) untuk mengeksplorasi kemiripan atau kedekatan di antara sampel-sampel yang bersifat multivariat tersebut. Analisis PCA ini dijalankan dengan menggunakan perangkat lunak Excel Stat 6.0 sedangkan sidik gerombol dijalankan menggunakan SPSS Release 15.0. Analisis untuk melihat asosiasi setiap jenis ikan dengan habitat menggunakan factorial correspondence analysis (FCA) (Legendre & Lagendre 1983), sedangkan analisis untuk melihat hubungan parameter lingkungan terhadap setiap jenis ikan digunakan analisis linier berganda (Kleinbaum et al. 1988). Analisis-analisis ini dijalankan dengan menggunakan perangkat lunak Excel Stat 6.0 dan SPSS Release 15.0. Posisi jenis ikan yang tertangkap dalam struktur trofik (trophic level) ditentukan dengan menerapkan perangkat lunak TrophLab2K.
Data yang
diperlukan untuk menentukan posisi ini adalah jenis dan komposisi makanan
42
(food item) yang diketahui dari analisis isi lambung ikan (gut content analysis), seperti yang dilakukan oleh Pauly et al. (2000). Posisi ikan dinyatakan sebagai nilai trophic level yang ditentukan dengan cara menghitung rata-rata nilai trophic level dari setiap food item ditambah 1. Selanjutnya, keterkaitan ekologi di antara setiap jenis ikan pada setiap habitatnya dengan makanannya dieksplorasi dengan analisis regresi linier sederhana, mengikuti petunjuk Kleimbaum et al. (1988). Kelimpahan plankton ditentukan dengan menerapkan analisis laboratorium terhadap sampel yang telah diawetkan.
Analisis ini menghitung
individu
plankton secara lengkap (sensus) dengan menggunakan Sedwick Rafter Cell (SRC) (APHA 2005) sedangkan densitas klorofil-a ditentukan dengan menerapkan metode Boyd (1982). Data panjang dan berat sampel ikan dianalisis untuk menentukan rumus hubungan panjang-berat (Romimohtarto & Juwana 2001) yang menerapkan persamaan eksponensial, yaitu W = aLb, seperti dikemukakan oleh Teisser (1960) dan Carlander (1968) dalam Effendie (1997). Dari analisis ini diketahui nilai koefisien b yang menggambarkan pola pertumbuhan berat ikan terkait dengan panjang ikan, apakah ikan tumbuh langsing (b < 3), normal (b = 3) atau gemuk (b > 3). Data panjang ikan yang tertangkap selama penelitian juga digunakan untuk menentukan selektivitas experimental crib. Karakteristik selektivitas ini digunakan sebagai dasar untuk menentukan kelayakan biologis-teknis bunuhan (crib) bermata jaring 4 cm dalam menangkap ikan-ikan yang ada di tiga habitat pesisir.
Mengingat metode penangkapan ikan yang diterapkan pada sero
tergolong sebagai filtering, yaitu penyaringan, maka penelitian ini ini menerapkan model kurva logistik yang biasa diterapkan dalam mengkaji selektivitas trawl (Paloheimo dan Cadima, 1964; Kimura, 1977; Hoydal et al., 1982 dalam Sparre dan Venema 1999). Bentuk kurva selektivitas ini sangat tergantung kepada data komposisi ukuran ikan dan proporsi ikan yang tertangkap. Kelayakan ditentukan dengan membandingkan ukuran ikan yang berpeluang tertangkap sebesar 50% (L50) dengan ukuran ikan ketika matang gonad untuk pertama kali atau length at first maturity (Lmat). Analisis kelayakan biologis-teknis sero ini diterapkan pada sembilan jenis ikan yang dominan tertangkap di tiga habitat pesisir.
43
Selanjutnya, berdasarkan karakteristik lingkungan daerah penangkapan ikan, komposisi jenis dan ukuran ikan yang tertangkap, kelayakan biologis-teknis sero, dilakukan perumusan strategi pengelolaan perikanan sero di Kabupaten Wajo.
45
4
4.1
KONDISI UMUM PERIKANAN SERO DI KABUPATEN WAJO
Statistik Perikanan Kabupaten Wajo Nelayan Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo menggunakan enam
jenis alat penangkapan ikan, yaitu sero, jaring insang permukaan (surface gillnet), rawai dasar (bottom longline), jaring insang hanyut (drift gillnet), pancing ulur (handline), dan bagan (liftnet). Pada tahun 2008, sero adalah jenis alat yang paling banyak dioperasikan sehingga perikanan Kabupaten Wajo dicirikan oleh perikanan sero dengan nama lokal belle’. Perikanan sero adalah penyumbang produksi ikan terbesar ketiga setelah perikanan jaring insang dan perikanan bagan perahu (Gambar 3). Pada tahun 2003 produksi perikanan sero meningkat tajam menjadi 1126,5 ton dari 911,7 ton pada tahun 2002, namun pada tahun berikutnya (2004) produksi menurun tetapi sejak tahun 2005 produksi terus meningkat sampai tahun 2008.
Adanya 71 unit sero di perairan sepanjang pesisir
Pitumpanua menjadikan sero sebagai jenis alat penangkapan ikan yang paling dominan di kawasan tersebut (KKP Wajo 2009) 2500
Produksi hasil tangkapan (ton)
2250 2000 1750 1500 1250 1000 750 500 Jaring Insang Tetap
250
Bagan Perahu
Sero
0 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
Gambar 3 Produksi ikan dari tiga jenis perikanan terbesar di Kabupaten Wajo.
46
Jumlah kapal ikan yang berpangkalan di di Kecamatan Pitumpanua pada tahun 2003 secara keseluruhan mencapai 202 unit. Sebagian besar di antaranya (> 70%) adalah perahu bermotor tempel (147 unit), sisanya adalah 22 unit perahu tidak bermotor dan 33 unit kapal motor. Kapal ikan yang umum digunakan untuk mengoperasikan sero di Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo tergolong sebagai perahu bermotor tempel namun sebagian nelayan kecil masih menggunakan dayung saja. Perahu-perahu ini lebih berfungsi sebagai pengangkut nelayan menuju lokasi sero ketika mereka memeriksa dan mengangkat ikan, serta kembali mengangkut nelayan dan ikan ke darat.
Perahu-perahu tersebut
mempunyai panjang yang berkisar dari 7-10 m, lebar 0,7-2,0 m dan dalam 0,8-1,5 m.
Perahu-perahu yang
bermotor tempel umumnya menggunakan mesin
berkekuatan 8–25 PK (Gambar 4). Perahu-perahu sero ini biasanya dilengkapi dengan katir atau alat penjaga keseimbangan yang terbuat dari kayu atau bambu di kedua sisi kapal atau perahu. Hingga saat ini belum ada sarana tempat pelelangan ikan (TPI) sehingga nelayan mendaratkan hasil tangkapannya di tepi sungai.
Gambar 4 Jenis perahu bermotor yang digunakan dalam perikanan sero di perairan pantai Pitumpanua, Teluk Bone. 4.2
Kondisi Geografis Panjang garis pantai Pitumpanua ± 15 km terbentang mulai dari perairan
Pantai Paojepe (Desa Paojepe) sampai pada Sungai Buriko Desa Tellesang. Topografi perairan pantai Pitumpanua rata-rata pada ketinggian 5 m dari permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 2.017,7 mm/tahun dengan suhun
47
udara 37 oC. Sepanjang pantai Pitumpanua bermuara sungai-sungai pendek sebagai aliran pembuangan persawahan yang ada di kaki-kaki bukit. Panjang sungai rata-rata 2-4 km dan lebar rata-rata 25 m serta dapat di lalui oleh perahuperahu kecil jika laut laut sedang pasang. Bentuk muara sungai yang berbentuk outlet air persawahan hampir tidak mengendapkan lumpur (Ludiro et al. 1999). Wilayah pantai Pitumpanua sebagian besar mempunyai jenis tanah alluvial hidromorf kelabu dengan bahan induk dari bahan endapan liat-debu. Fisiografi daerah ini merupakan daratan pasang surut pesisir. Medan pada umumnya berlereng 0-2%. Perairan laut yang berhadapan dengan pesisir pantai Pitumpanua rata-rata kedalaman lautnya dangkal (2-20 m). Gelombang laut yang terjadi di daerah ini umumnya di bawah 1 m dan tinggi pasang surut air laut di pesisir sekitar 3 m, dengan pasang tertinggi tepat di batas pematang pertambakan (Ludiro et al. 1999). Tipe pasang surut di daerah ini adalah diurnal dan semi diurnal. Pasang tertinggi terjadi pada jam 8.00-11.00 Wita. Rata-rata pasang tertinggi mencapai 82,71 cm dan pasang terendah pada titik -133,86 cm. Gerakan spektra dari fluktuasi pasang surut di daerah ini menunjukkan bahwa jenis harian (diurnal) terjadi selama 23,74 jam, sama halnya dengan semi diurnal yang bertahan selama 11,87 jam (Prioharyono et al. 2003). Ketinggian gelombang di perairan pantai Pitumpanua (H1/10) memiliki kisaran dengan nilai terendah 0,07 cm dan tertinggi 72,89 cm, periode gelombang minimum 1,52 detik dan maksimum 4,66 detik. Ketinggian gelombang paling tinggi 99,08 cm dan paling rendah 29,20 cm. Kecepatan arus berkisar antara 1062,64 cm/detik. Hal ini dipengaruhi oleh kecepatan angin yang relatif kencang sering terjadi antara bulan Oktober sampai bulan Maret. Gerakan perputaran udara yang kuat ini juga terjadi pada musim pancaroba atau musim peralihan, dari musim kemarau atau sebaliknya. Salinitas perairan pantai berkisar antara 31-31ppm, dengan suhu antara 28-35 oC (Prioharyono et al. 2003).
48
4.3
Konstruksi Sero Sero yang dioperasikan di lokasi penelitian terdiri dari 5 bagian, yaitu
bagian penaju, bagian sayap, bagian perut, bagian badan, dan bagian bunuhan. Setiap bagian tersebut memiliki fungsi yang berbeda; penaju berfungsi untuk menghadang ruaya ikan dan mengarahkan ikan agar menuju crib (bunuhan) sero, bagian sayap berfungsi sebagai penghalang ikan yang menyusuri penaju, sampai ikan masuk kedalam badan sero atau kamar-kamar sero, bagian ini mempunyai ruang yang luas sehingga diharapkan ikan bisa bermain atau mencari makan sebelum masuk kedalam bagian berikutnya. Bagian perut dan badan berfungsi menyukarkan ikan untuk keluar dan akhirnya masuk ke dalam bunuhan, dan bagian bunuhan berfungsi sebagai tempat terakhir berkumpulnya ikan agar ikan tidak lepas atau meloloskan diri dan ikan akan mudah diambil kemudian. Bagian terakhir ini merupakan zone of retention (Nikonorov 1975). Jika dilihat dari atas atau udara, sero berbentuk segitiga dimana penaju (leader net) berada lebih dekat dengan garis pantai dibandingkan dengan bunuhan (crib) yang terletak di tempat yang lebih jauh dari pantai (Gambar 5). Nelayan lokal menggunakan waring berwarna hitam dengan mesh size sebesar 0,5 cm sebagai bahan bunuhan (crib). Panjang bagian penaju rata-rata adalah 90–100 m, panjang sayap adalah 20–25 m dengan lebar pintu masuk sekitar 2 m, panjang bagian badan sekitar 3,5–4 m dengan lebar pintu masuk sebesar 0,7 m, panjang bagian perut adalah 3–3,5 m dengan lebar pintu masuk sekitar 0,5 m berbentuk segitiga tidak sama sisi sedangkan pada bagian bunuhan (crib) berbentuk persegi empat (Gambar 5). Bagian bunuhan ini memiliki panjang, lebar dan tinggi rata-rata masing-masing sebesar 4m, 5m dan 4,5 m dengan ukuran pintu masuk selebar 0,2 m.
49
5m Crib asli
4m
A 0.2 m
2.5 m
B 3m 0.5 m
1m
3.5 m
C
0.7 m 1m
20 m
D
2m 10 m
E
100 m
A = Bunuhan (crib ) Exp. Crib Crib asli B = Perut (belly ) C = Badan (body ) D = Sayap (wing ) E = Penaju
Gambar 5 Desain sebuah sero dilihat dari atas atau udara. Lima bagian sero: bagian penaju (A), bagian sayap (B), bagian perut (C), bagian badan (D), dan bagian bunuhan (E)
50
Gambar 6 Bagian bunuhan atau crib (A) dan panaju atau leader net (B) yang pada salah satu sero yang digunakan dalam penelitian di Kecamatan Pitumpanua. Bahan yang diperlukan untuk pembuatan satu unit sero adalah tiang-tiang pancang, waring dan kayu-kayu penjepit tali ris bawah yang disiapkan di darat. Pembuatan atau pembangunan sebuah sero dimulai dengan membuat rangka atau pola berupa tiang-tiang kayu atau bambu yang ditancapkan di dasar laut. Tiangtiang tersebut berfungsi sebagai tempat menggantungkan jaring yang sudah dirangkai di darat. Agar sero terpasang secara rapat dengan dasar laut atau tidak terangkat jika terkena arus air atau ombak maka tali ris bawah waring diberi sejumlah penjepit (pacco). Jumlah tiang kayu yang dipakai dalam satu unit sero biasanya mencapai 1.200 batang. Jenis kayu yang dijadikan tiang adalah kayu bakau dan bambu.
Panjang tiang-tiang tersebut tergantung dari posisi
pemasangannya; panjang tiang untuk bagian penaju dan sayap adalah 4–5 m, untuk bagian perut dan badan adalah 5–9 m sedangkan untuk bagian bunuhan 9– 11 m. Penancapan kerangka atau tiang-tiang dimulai untuk bagian bunuhan, kemudian bagian badan sero, lalu dilanjutkna dengan penancapan tiang-tiang untuk bagian perut, sayap serta terakhir bagian penaju. Setelah semua tiang-tiang tertancap dan terpancang, dilakukan pemasangan waring yang dimulai dari waring bagian bunuhan hingga terakhir waring bagian penaju. Nelayan biasa memasang sero ketika laut sedang surut; pemasangan satu unit sero memerlukan waktu 1–2
51
hari. Setiap setelah 3 bulan dioperasikan, nelayan biasanya membawa waring sero ke darat untuk diperbaiki dan kemudian dipasang kembali ke laut. Di Pitumpanua, satu unit sero biasanya dioperasikan oleh seorang nelayan; selain mengoperasikan sero, dia juga berfungsi sebagai juru mudi.
Kegiatan
penangkapan ikan dengan sero ini biasanya berlangsung sepanjang tahun. Satu trip operasi penangkapan ikan dengan sero biasanya dimulai ketika nelayan berangkat menuju lokasi sero pada sekitar pukul 07:00–9:00 WITA. Setibanya di lokasi sero, motor tempel segera dimatikan agar ikan-ikan yang telah masuk ke dalam bunuhan tidak terusik. Selanjutnya, nelayan akan mendekati sero dengan cara mendayung perahunya. Nelayan akan naik ke atas bagian bunuhan untuk mengambil ikan-ikan yang berkumpul di dalamnya. Proses pengambilan ikan (hauling) dimulai dengan membuka semua tali kolor (purse line) dari setiap sudut dan sisi bunuhan agar waring dapat diangkat dengan mudah dan tidak berat. Selanjutnya, bagian mulut bunuhan diangkat sampai di atas permukaan air agar ikan-ikan yang berada di dalam bunuhan tidak dapat meloloskan diri atau keluar dari bunuhan. Secara bertahap dan perlahan, waring diangkat hingga hampir semua waring bagian bunuhan terangkat sementara sisanya tetap di air untuk memudahkan pengambilan ikan dengan serok (Gambar 7). Ikan-ikan tersebut kemudian langsung dipindahkan ke perahu.
Gambar 7 Proses kegiatan hauling pada alat tangkap sero (A) Penarikan jaring sero; (B) Pengambilan hasil tangkapan.
52
Setelah proses pengambilan hasil tangkapan selesai, waring bagian bunuhan tersebut dikembalikan lagi ke laut, tali-tali kolor kemudian dikendurkan dan tali-tali pada sudut dan sisi bunuhan diikatkan kembali pada tiang-tiang sehingga ikan-ikan lain selanjutnya dapat masuk ke dalam bunuhan dan siap dipanen pada trip penangkapan ikan berikutnya. Kegiatan hauling ini memerlukan waktu kurang lebih 10–20 menit. Ikan-ikan tersebut kemudian dibawa ke rumah dan dijual langsung oleh nelayan kepada pembeli.
4.4
Lokasi Pemasangan Sero Di perairan pantai Pitumpanua paling sedikit ada tiga kawasan yang
merupakan tempat pemasangan sero, yaitu kawasan muara sungai, kawasan mangrove, dan kawasan lamun. Jarak di antara ketiga habitat tersebut sekitar 3 km (Gambar 2) Kedalaman air pada saat pasang tertinggi di lokasi ini berkisar 213 meter. Kedalaman air di tempat bagian bunuhan berbeda di antara ketiga habitat: 8-13 m pada kawasan muara sungai, 8-10 m pada kawasan mangrove, dan 9-13 m pada kawasan lamun. Substrat pada ketiga kawasan tersebut adalah pasir berlumpur, berlumpur, dan berpasir. Kedalaman perairan tersebut tidak jauh berbeda dari yang dikemukakan oleh Tiensongrume et al. (1986) diacu oleh Rachmansyah (2004) bahwa salah satu kriteria daerah pemasangan sero mempunyai kisaran kedalaman 1-10 meter. Ketiga kawasan tempat pemasangan sero tersebut berdekatan dengan 4 muara sungai, yaitu Sungai Bulete (3o43’07,8” ; 120o26’14,5”), Sungai Siwa (3o41’34,6” ; 120o26’06,1”), Sungai Bau-bau (3o40’32,8” ; 120o25’34,9”), dan Sungai Buriko (3o40’17,1” ; 120o25’03,4”). Kawasan mangrove dan lamun diapit oleh sungai Bulete dan sungai Siwa, sementara kawasan muara sungai berada depan sungai Bau-bau dan diapit oleh sungai Siwa dan sungai Buriko (Gambar 2).
4.5
Jenis-jenis Ikan yang Tertangkap dengan Sero Berdasarkan identifikasi terhadap ikan-ikan yang tertangkap sero selama
penelitian, sebelas jenis ikan dan biota yang dominan atau paling banyak tertangkap adalah: (1) biji nangka (Upeneus sulphureus), (2) kapas-kapas (Gerres oyena), (3) lencam (Lethrinus lentjam), (4) pepetek (Leiognathus splendens), (5)
53
kerong-kerong (Therapon jarbua), (6) baronang lingkis (Siganus canaliculatus), (7) kuwe (Caranx sexfaciatus.), (8) baronang (Siganus guttatus), (9) barakuda (Sphyraena sphyraena), (10) kepiting rajungan (Portunus pelagicus), dan (11) udang putih (Peneaus margueinsis); nama lokal dari biota yang tertangkap tersebut disajikan pada Tabel 4. Tabel 4
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Jenis-jenis hasil tangkapan dominan tertangkap dengan sero selama penelitian
Jenis ikan dan non ikan Nama lokal Tiko-tiko Kape'-kape' Katampa Caria cakkang Kerung-kerung Manaja Cepa Baronang Kaso'-kaso' Bukkang soji Bongko puteh
Nama Indonesia Biji nangka Kapas-kapas Lencam Pepetek Kerong-kerong Baronang lingkis Kuwe Baronang Barakuda, alu-alu Rajungan Udang putih
Nama latin Upeneus sulphureus Gerres oyena Lethrinus lentjam Leiognathus splendens Therapon jarbua Siganus canaliculatus Caranx sexfaciatus Siganus guttatus. Sphyraena sphyraena Portunus pelagicus Peneaus margueinsis
Hasil tangkapan non dominan dan discards alat tangkap sero ditemukan sangat beragam. Hasil tangkapan non dominan dan discards tersebut tidak tertangkap pada setiap trip penangkapan dan jumlahnya sangat sedikit. Hasil tangkapan yang non dominan tersebut mempunyai harga tinggi seperti: ikan bambangan (Lutjanus spp.), kerapu (Epinephelus spp.), kakap (Lates spp.), balanak (Liza vaigiensis), kepiting bakau (Scylla serrata), cumi-cumi (Loligo sp.), dan udang windu (Penaeus sp.). Sedangkan discards atau hasil tangkapan yang sama sekali tidak dimanfaatkan oleh nelayan adalah ikan sebelah (Psettodes erumei), ikan buntal (Arothron reticularis), ubur-ubur (Obelia sp.), ikan lepu (Dendrochirus sp.), ikan sumpit (Toxotes jaculatrix), ikan buaya (Platycephalus sp.), dan kuda laut (Hippocampus sp.). Selama penelitian didapatkan sebanyak 25 spesies (Tabel 5) hasil tangkapan non dominan bernilai ekonomis dan discards.
54
Tabel 5 Hasil tangkapan non dominan dan discards alat tangkap sero selama penelitian No Nama Daerah Non-Dominan bernilai tinggi: 1 Orapu 2 Bale cella 3 Bonti 4 Kakap 5 Comi 6 Bukkang dato 7 Bongko bolong
Nama Lokal
Nama Ilmiah
Kerapu Bambangan Balanak Kakap Cumi-cumi Kepiting bakau Udang windu
Epinephelus spp. Lutjanus spp. Liza vaigiensis Lates spp. Loligo sp. Scylla serrata Penaeus sp.
Non-dominan bernilai sedang: 8 Pakka-pakka ikko 9 Alajuru 10 Sori 11 Pari 12 Balolo kuning 13 Samelang 14 Pallepe 15 Bau'-bau' 16 Ape'-ape 17 Tembang 18 Lure puteh
Senangin Layur Cendro Pari Julung-julung Sambilang Lidah Selar kuning Ketang-ketang Tembang Teri
Eleutheronema sp. Trichiurus sp. Tylosorus sp. Trygon spp. Hemiramphus far Plotosus sp. Psettodes erumei Selaroides sp. Drepane sp. Sardinella sp. Stolephorus spp.
Discards: 19 Bale pallepe’ 20 Buntala 21 Ubur-ubur 22 Tae opu 23 Mai-mai 24 Sumpiti 25 Palu gendrang
Ikan sebelah Buntal Ubur-ubur Lepu Kuda laut Ikan sumpit Ikan buaya
Psettodes erumei Arothron reticularis Obelia sp. Dendrochirus sp. Hippocampus sp. Toxotes jaculatrix Platycephalus sp
55
5
5.1
KONDISI LINGKUNGAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN DENGAN SERO PENDAHULUAN Kondisi lingkungan pada suatu habitat sangat penting diketahui karena
dapat menentukan karakteristik berbagai organisme yang ada di dalamnya (Levinton 1982).
Kondisi lingkungan tersebut biasanya dinyatakan dengan
menggunakan sejumlah parameter lingkungan yang dapat dipakai untuk menjelaskan hubungan di antara fenomena biologis dari sejumlah organisme yang menjadi perhatian dan faktor fisika kimia lingkungan. Kondisi lingkungan fisika kimia dalam suatu skala ruang dapat berubah dalam skala waktu yang berbeda, misalnya harian, musiman dan tahunan.
Oleh karena itu, penelitian tentang
kondisi lingkungan suatu habitat seyogianya memperhatikan ragam yang dihasilkan oleh faktor waktu. Sebagai konsekuensinya, fenomena atau perubahan biologis juga dapat berubah sejalan dengan perubahan waktu. Sehubungan dengan masalah dan tujuan dari penelitian ini, kondisi lingkungan dari tiga habitat ikan yang menjadi tempat pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua dijelaskan.
Informasi tentang kondisi lingkungan di
setiap habitat tersebut dimanfaatkan untuk menjelaskan karakteristik komunitas ikan yang merupakan potensi perikanan lokal. Dalam bab ini akan disajikan kondisi lingkungan dari tempat pemasangan sero. Kondisi perairan tersebut dinyatakan sebagai parameter biologi, fisika dan kimia lingkungan, yaitu suhu air, salinitas, pH, kadar oksigen terlarut (DO), kadar zat hara, klorofil-a, fitoplankton, dan zooplankton.
5.2
METODE PENELITIAN
5.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengumpulan data dengan cara pengambilan contoh-contoh air dan biota dilakukan selama 4 (bulan) sejak tanggal 22 Januari hingga 14 Mei 2011. Contoh-contoh tersebut diambil dari tiga lokasi tempat sero yang dilengkapi dengan experimental crib di perairan pantai Pitumpanua, yaitu di muara sungai (3o40’24,9” LS; 120o25’39,4” BT), mangrove (3o42’09,9” LS; 120o26’15,3” BT),
56
dan lamun (3o42’18,9” LS; 120o26’24,6” BT) (Gambar 2). Contoh-contoh tersebut kemudian dianalisis untuk mengidentifikasi jenis biota dan densitasnya serta kadar zat hara di laboratorium pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP), Universitas Hasanuddin, Makassar.
5.2.2 Alat dan Bahan Peralatan dan bahan yang digunakan selama pengamatan kondisi lingkungan dan pengambilan contoh air di lapangan serta analisis di laboratorium disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Jenis alat dan bahan yang digunakan pengambilan contoh air dan pengamatan kualitas air di laboratorium No Alat dan bahan
Jumlah
Kegunaan
1 2
Perahu motor Global Position System (GPS)
1 unit 1 buah
3
DO meter
1 unit
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Handrefraktometer Cammerer water sampler Jaring plankton No. 25 Larutan lugol pH meter Current meter Mikroskop Spectrofotometer Aseton 90% Botol sampel (botol aqua) Botol sampel Papan skala plastik sampel Cool Box Buku identifikasi plankton Kamera Alat tulis/data sheet Alat bantu lainnya
1 unit 1 unit 1 unit 1 botol 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah * 9 buah 9 buah 1 buah * 1 buah 1 buah 1 buah * *
Sebagai sarana transportasi Untuk mengetahui titik kordinat lokasi pengambilan sampel Secara simultan mengukur suhu perairan dan oksigen terlarut Mengukur salinitas Mengambil contoh air Mengambil plankton Mengawetkan contoh air Untuk mengukur pH peraian Mengukur arus perairan Identifikasi plankton Analisis laboratorium untuk nutrien Analisis klorofil a Menyimpan contoh air untuk nutrien Menyimpan contoh air untuk plankton Mengukur kedalaman perairan Tempat hasil tangkapan yang sudah disortir Menyimpan/memisahkan sampel Mengidentifikasi plankton Pengambilan gambar Mencatat data Digunakan di lapangan dan di laboratorium
5.2.3 Teknik Pengumpulan Data Rangkuman tentang jenis data yang dikumpulkan dan jenis metode pengumpulan data atau analisis yang dilakukan serta metode, alat, dan tempat pengukuran/pengambilan contoh air disajikan pada Tabel 7.
57
Tabel 7 Parameter kualitas air yang diukur selama penelitian No Parameter Parameter Fisika 1 Suhu 2 Kecepatan Arus 3 Kedalaman Perairan Parameter Kimia 4 pH 5 Oksigen Terlarut 6 Salinitas 7 N-Nitrat 8 Silikat 9 Ortofosfat Parameter Biologi 10 Plankton 11
Klorofil a
Satuan
Metode
Alat
Analisis
o
C m/det m
Visual Visual
DO meter Current meter Meteran
In situ In situ In situ
-
Potensiometrik Brucine Molybdosilicate Stanous chloride
pH Meter DO meter Handrafroktometer Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer
In situ In situ In situ Lab Lab Lab
ml/L o /oo mg/L mg/L mg/L sel/L mg/m3
Lackley Drop Plankton Net 25, Microstransect Counting Boyd (1982) Spektrofotometer
Lab Lab
Penjelasan yang lebih rinci untuk beberapa hal dalam Tabel 7 tersebut disajikan pada bagian berikut. 5.2.3.1 Pengukuran kedalaman air Kedalaman air diukur dengan menggunakan papan skala. Selama penelitian, pengukuran ini hanya dilakukan sebanyak 2 (dua), yaitu pada saat pasang tertinggi dan surut terendah. Setiap lokasi pemasangan sero dengan experimental crib dianggap mewakili satu habitat. Pada setiap lokasi tersebut ada tiga titik tempat pengukuran kedalaman air.
5.2.3.2 Pengukuran kecepatan dan arah arus air Kecepatan arus air diukur dengan sebuah current meter bermerek valeport seri 07481. Pengukuran parameter ini dilakukan sebelum kegiatan pengambilan ikan (hauling) dari bunuhan (crib). Pengukuran kecepatan air dilakukan pada pukul 7.30 – 12.00 WITA pada hari yang sama. Pengukuran kecepatan arus dilakukan pada 3 posisi di setiap daerah penangkapan ikan.
58
5.2.3.3 Pengambilan contoh air untuk analisis zat hara dan klorofil-a Contoh air untuk analisis zat hara (nitrat, fosfat, dan silikat) dan klorofil-a diambil dengan Cammerer water sampler. Pengambilan contoh air dilakukan pada pukul 7.00-9.00 WITA di stasiun yang telah ditentukan di muara sungai, mangrove, dan lamun. Kegiatan ini dilakukan 8 kali pengamatan bersamaan dengan trip operasi penangkapan ikan. Contoh air yang dianalisis berasal dari lapisan dekat dengan dasar perairan. Contoh air tersebut disimpan dalam botol sampel (botol aqua) yang ditaruh dalam cool box. Analisis laboratorium terhadap contoh air ini dilakukan di laboratorium dengan menggunakan spectrophotometer merek Hach type drel 2800. Analisis zat hara dan klorofil a dilakukan dengan metode yang berbeda (Tabel 7).
5.2.3.4 Pengambilan contoh plankton Contoh plankton diperoleh dari penyaringan terhadap 30 liter air laut dengan jaring plankton berbentuk serok (scoop net) dengan diameter 30 cm dan panjang 120 cm dan terbuat dari bahan jaring No. 25 (meshsize 64 µm). Pengambilan contoh dilakukan pada pukul 7.00–9.00 WITA pada hari yang sama dengan pengambilan contoh ikan. Hasil saringan dari setiap stasiun langsung disimpan dalam botol sampel yang berukuran 25 ml.
Contoh plankton ini
diawetkan dengan larutan lugol sebanyak 0,5 ml sesuai dengan cara yang dilakukan oleh Cole dan Cloern (19870 dan Al-Gahwari (2003). Sampel tersebut disimpan dalam cool box untuk proses identifikasi jenis plankton dan analisis kuantitatif di laboratorium. 5.2.3.5 Penghitungan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton Penghitungan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton dilakukan di laboratorium berdasarkan rumus dari modifikasi metode Lackley Drop Microstransect Counting (APHA 2005). Setiap sampel di ambil 1 ml pada setiap backet kemudian diencerkan dengan 250 ml, kemudian diambil sebanyak tiga tetes untuk diamati. Perhitungan plankton dilakukan dengan cara sensus di atas sedwick. Jumlah fitoplankton dan zooplankton dihitung dengan rumus berikut:
59
.....................................................(1) Keterangan : N : Jumlah total plankton (sel/liter). n : Jumlah rata-rata plankton. Vr : Volume air yang tersaring (ml). Vo : Volume air satu tetes (ml). Vs : Volume air yang disaring (l). 5.2.3.6 Penghitungan kelimpahan klorofil-a Kandungan klorofil-a dihitung dengan jumlah air yang disaring dengan menerapkan rumus Boyd (1982) berikut: ..............................(2) Keterangan: A665 : Absorban pada panjang gelombang 665 nm. A750 : Absorban pada panjang gelombang 750 nm. V : Ekstraksi aseton yang diperoleh (ml). L : Panjang lintasan cahaya pada cairan dalam cuvet (1 cm). S : Volume sampel yang disaring (ml). 5.2.4 Analisis Data Lingkungan Deskripsi setiap parameter lingkungan untuk masing-masing habitat (muara sungai, mangrove dan lamun) diperoleh dari analisis statistika univarian (Zar 1984). Perbandingan nilai setiap parameter di antara ketiga habitat dilakukan dengan menerapan sidik ragam (analysis of variance atau ANOVA). Dalam analisis ini ada dua faktor yang dipertimbangkan dapat mempengaruhi nilai sebuah parameter lingkungan, yaitu faktor habitat (H) dan faktor waktu pengambilan data (T). Pada model linier yang diterapkan dalam analisis statistika dimasukan faktor interaksi antara H dan T, yaitu HT (Zar 1984 dan Petersen 1985). Oleh karena itu, model linear untuk sidik ragam ini adalah: Yijk = µ + Hi + Tj + HTij + eijk………………………………..(3) Dimana : i = 1, 2, 3 dan j = 1, 2, 3 .....8 Yijk = Respon pengamatan ke-i dan kelompok ke-j µ = Nilai rataan umum Hi = Pengaruh habitat ke-i; Tj = Pengaruh waktu penagmbilan contoh ke-j; HTij = Pengaruh interaksi εijk = Galat percobaan dari perlakuan ke-i dan kelompok ke-j.
60
Pengambilan kesimpulan dilakukan pada taraf α = 0,05. Kalkulasi untuk analisis statistika univariate ini dilakukan dengan bantuan perangkat lunak SPSS Release 15.0. Karakteristik kondisi lingkungan di ketiga habitat juga dilakukan dengan menerapkan analisis statistika multivariate, yaitu principle component analysis (PCA), dan analisis gerombol (cluster analysis). Pada kedua analisis ini kondisi lingkungan setiap habitat dinyatakan secara simultan dengan 8 (delapan) variabel (yaitu parameter lingkungan). Konfigurasi posisi setiap contoh yang dihasilkan sebagai output analisis statistika dieksplorasi untuk melihat perbedaan (persamaan) kondisi lingkungan di antara ketiga habitat. Parameter lingkungan yang diperkirakan menentukan konfigurasi tersebut diketahui dari analisis diskriminan (Legendre dan Legendre 1983). Kalkulasi untuk tiga jenis analisis statistika multivariate ini dilakukan dengan perangkat lunak Excel Stat 6.0.
5.3
HASIL PENELITIAN
5.3.1 Deskripsi Habitat Pada ekosistem lamun ditemukan jenis lamun yang paling dominan yaitu Enhalus acoroides dan juga ditemukan jenis Halodule pinifolia dan Cymodocea rotundata dalam sebaran yang jumlahnya sedikit. Jenis substrat di daerah lamun yaitu berpasir halus, berbeda pada substrat di sekitar mangrove dan muara sungai yaitu berpasir campur lumpur. Vegetasi yang tumbuh di sekitar mangrove yaitu didomonasi oleh tumbuhan mangrove jenis Rhizophora sp, Avicennia sp, dan Sonneratia sp. Pada sekitar muara sungai didapatkan tumbuhan mangrove yang jumlahnya sangat sedikit, namun pada sepanjang tepi sungai lebih dominan tumbuh jenis mangrove yaitu Rhizophora sp. Untuk kondisi lingkungan lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo di setiap habitat selama penelitian disajikan pada Tabel 8. Berikut penjelasan singkat dari setiap parameter tersebut dan perbandingannya di antara ketiga kawasan tempat pemasangan sero yang masing-masing dicirikan oleh habitat muara sungai, mangrove dan lamun.
61
Tabel 8 Nilai rata-rata, standar deviasi (SD) 11 parameter fisika-kimia dan biologi di muara sungai, mangrove dan lamun tempat pemasangan sero selama penelitian No
Parameter
Muara sungai
Mangrove
Lamun
1
Suhu perairan (oC)
28,28b ±0,62
28,79a ±0,60
29,00a ±0,66
2
Kecepatan arus (m/dtk)
0,26a ±0,29
0,22b ±0,38
0,16c ±0,32
3
Salinitas (o/oo)
29,60b ±1,21
30,99a ±0,96
31,15a ±0,84
4
pH
6,92b ±0,13
6,95ab ±0,15
7,01a ±0,12
5
Kadar DO (ppm)
5,75b ±0,44
5,96ab ±0,43
6,14a ±0,50
6
Nitrat (µg/L)
0,21a ±0,09
0,19a ±0,09
0,13b ±0,07
7
Fosfat (µg/L)
0,12a ±0,02
0,11a ±0,03
0,09b ±0,03
8
Silikat (µg/L)
0,008 ±0,003
0,007 ±0,003
0,007 ±0,003
9
Klorofil a (µg/m3)
0,835b ±0,282
0,687ab ±0,192
0,976a ±0,162
10
Fitoplankton (sel/liter)
11773a±6341
6711b ±3,861
13011a±4473
11
Zooplankton (ind/liter)
1010a ±961
368b ±260
936a ±582
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (α = 0,05) berdasarkan uji beda rerata Tukey
5.3.2 Karakteristik Habitat Persebaran spasiotemporal parameter lingkungan berdasarkan habitat dan waktu pengamatan dianalisis dari rata-rata 3 kali pengukuran menggunakan analisis PCA (24 observasi). Parameter lingkungan yang dianalisis sebanyak 8 (delapan) parameter yaitu : suhu, salinitas, kecepatan arus, pH, kadar oksigen terlarut (DO), nitrat, fosfat, dan silikat. Hasil analisis PCA menunjukkan bahwa besarnya ragam terjelaskan pada 3 (tiga) sumbu utama pertama sebesar 78,93% dengan akar ciri masing-masing secara berurut masing-masing sumbu 1 (F1) = 3,211, sumbu 2 (F2) = 1,814, dan sumbu 3 (F3) = 1,289. Parameter lingkungan yang berpengaruh besar pada sumbu utama diantaranya DO, pH, dan fosfat yang berkorelasi positif dengan sumbu 1 (F1). Nitrat dan suhu berkontribusi besar dalam pembentukan sumbu utama kedua (F2) (Lampiran 13). Observasi di muara sungai (MS7 dan MS5), mangrove (MG7 dan MG8), dan lamun (LM8) berkontribusi besar dalam pembentukan sumbu utama pertama dan berkorelasi negatif dengan sumbu utama pertama. Observasi (MS6), (MG4 dan MG6), dan (LM3, LM4, dan LM5) berkontribusi besar dan berkorelasi positif
62
dalam pembentukan sumbu utama pertama. Observasi (MS4), (MG4), dan (LM4) berkontribusi besar dan berkorelasi negatif dalam pembentukan sumbu utama kedua, sedangkan observasi (MS6) (MG6) dan (LM6) berkontribusi besar dan berkorelasi negatif dalam pembentukan sumbu utama kedua (Lampiran 13). Berdasarkan plot dan observasi dan parameter lingkungan (Gambar 10 & 11) menunjukkan bahwa sebagian besar observasi dari lamun dan mangrove beragregat pada sumbu satu positif. Observasi-observasi tersebut dicirikan oleh suhu, salinitas, pH, dan DO yang tinggi. Dalam arah yang berlawanan di sumbu 1 negatif tersebar sebagian besar observasi di muara sungai. Kelompok observasi ini dicirikan oleh kadar nitrat dan fosfat serta kecepatan arus yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil sidik gerombol (cluster analysis) pada skala jarak similiritas 50% terdapat 3 (tiga) kelompok besar observasi yaitu kelompok satu (MS6, MG1, MG3, MG6, LM1, LM3, LM4, dan LM8) dan kelompok (MS2, MS7, dan MG7), dan lainnya kelompok tiga (Gambar 8).
Gambar 8 Diagram gerombol (cluster) untuk 24 contoh pengamatan terhadap 8 parameter fisika kimia lingkungan lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian.
63
Gambar 9 Plot stasiun dan waktu pengamatan parameter fisika kimia lingkungan selama lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian.
Gambar 10 Konfigurasi dua komponen utama untuk 24 contoh pengamatan terhadap 8 parameter fisika kimia lingkungan lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian.
64
Gambar 11 Kekuatan 8 parameter fisika kimia lingkungan dalam membentuk konfigurasi dua komponen utama untuk 24 contoh pengamatan di lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian. 5.4
PEMBAHASAN
5.4.1 Deskripsi Habitat Perubahan rata-rata suhu perairan selama penelitian menujukkan fluktuasi dan pola yang sama diantara ketiga habitat. Terjadi perbedaan suhu yang signifikan menurut habitat. Suhu di muara sungai (28,28 oC) lebih rendah dibanding suhu di sekitar mangrove dan lamun (Tabel 8 & Lampiran 12). Rendahnya suhu di muara sungai sangat besar kemungkinan dipengaruhi oleh limpasan air tawar yang bersuhu relatif lebih rendah dibandingkan suhu air di perairan pantai. Faktor limpasan air tawar memang merupakan pemicu menurunnya suhu perairan di sekitar muara sungai, seperti hasil penelitian yang didapatkan oleh Wahyudewantoro (2009) ternyata suhu di estuari Binuaengeun Banten akibat limpasan air tawar. Berbeda yang didapatkan oleh Andriani (2004) di perairan pantai Kabupaten Luwu Teluk Bone yang kisaran suhunya lebih tinggi (30,0-32,0 oC) hal ini dikarenakan lokasinya semi tertutup dan terisolasi sehingga tidak ada percampuran massa air tawar yang bersuhu lebih dingin. Hal yang sama
65
juga didapatkan oleh Zainuddin (2011) di perairan Palopo dan sebelah timur Teluk Bone (Perairan Kolaka). Nilai salinitas di daerah lamun tidak berbeda dengan di mangrove, tetapi kedua daerah tersebut berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan di muara sungai (Tabel 8 & Lampiran 12). Rendahnya salintas di muara sungai dikarenakan pada muara sungai dipengaruhi oleh daratan, dimana dari daratan masuk aliran air tawar melalui sungai menuju muara sungai yang menyebabkan penurunan salinitas di daerah muara sungai tersebut, atau pada muara sungai terjadi proses percampuran air tawar dari sungai. Salinitas yang tinggi di daerah mangrove dan lamun karena terletak di wilayah yang jauh dari muara sungai. Semakin jauh dari muara sungai ke arah laut, salinitas akan bertambah (Duxburry 2002). Sebaran salinitas
di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air,
penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji 2005). Kecepatan arus berbeda pada setiap stasiun. Kecepatan arus tertinggi dijumpai pada daerah muara sungai (0,26 m/detik) (Tabel 8 & Lampiran 12). Hal ini kemungkinan besar disebabkan besarnya arus yang mengalir karena derasnya aliran sungai yang masuk ke perairan muara sungai. Tidak jauh berbeda yang didapatkan di perairan pantai Kabupaten Luwu yaitu 0,19 m/detik (Andriani 2004). Namun relatif kuat yang didapatkan di Teluk Kotania pada pasang dan surut masing-masing 0,7 m/detik (Supriyadi 2009), di Selat Bangka yaitu lebih dari 50 cm/detik (Nurhayati 2007), dan di perairan Berau memiliki nilai tertinggi adalah sebesar 115,3 cm/detik dan kecepatan arus permukaan terendah diperoleh nilai sebesar 5,4 cm/detik (Aryawati 2007). Nilai pH cenderung lebih rendah didapatkan di muara sungai karena adanya pengaruh masukan massa air tawar dari sistem sungai yang bermuara. (Tabel 8 & Lampiran 12). Secara umum kisaran pH yang didapatkan yaitu 6,7-7,2 jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Andriani (2004) di perairan pantai Kabupaten Luwu Teluk Bone yaitu 8,0-8,1. Kisaran yang didapatkan selama penelitian masih menunjang kehidupan fitoplankton yaitu berada pada kisaran 6,5-8,5 (Prescod 1973). Lebih lanjut Sachlan (1982) bahwa fitoplankton dapat hidup subur pada pH 7-8 bilamana terdapat cukup mineral di dalam perairan tersebut.
66
Nilai kandungan oksigen terlarut berbeda berdasarkan habitat. Kadar oksigen terlarut di daerah lamun berbeda dengan di muara sungai, tetapi kedua daerah tersebut tidak berbeda nyata dengan di daerah mangrove (Tabel 8). Kadar oksigen terlarut yang didapatkan di ketiga habitat berada pada kisaran 5,0-6,1 ml/l (Lampiran 12). Salmin (2005) mengemukakan bahwa perairan yang kadar oksigen terlarutnya (DO) > 5 maka perairan tersebut tingkat pencemarannya rendah dan bisa dikategorikan sebagai perairan yang baik. Kadar oksigen terlarut rata-rata yang didapatkan dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan yang terdapat di perairan Berau Kalimantan Timur berkisar antara 4,77–6,14 ml/l (Aryawati 2007), di perairan pantai Kabupaten Pinrang Selat Makassar 3,8-8,7 ppm (Umar 2009), dan di Selat Makassar Kabupaten Barru berkisar antara 3,9-7,9 (Hatta 2010). Kandungan nitrat berbeda setiap habitat. Kandungan nitrat di muara sungai (0,209 µg/L) lebih tinggi dibandingkan di daerah mangrove dan lamun. Rata-rata kandungan nitrat (0,175 µg/L) (Tabel 8 & Lampiran 12) secara umum di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone sedikit lebih rendah ambang batas kebutuhan oftimal pertumbuhan fitoplankton.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Mackentum (1969) bahwa kadar nitrat yang dibutuhkan oleh fitoplankton laut adalah 0,203-0,790 µg–at/l, bila kurang dari nilai tersebut maka menyebabkan nitrat sebagai faktor pembatas di perairan tersebut. Rata-rata kandungan fosfat di habitat muara sungai dan mangrove (0,118 µg/L dan 0,110 µg/L) lebih tinggi dibanding pada lamun (Tabel 8 & Lampiran 12). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena adanya masukan dari daratan. Nontji (1984) menyatakan bahwa kandungan fosfat di suatu perairan antara lain dapat disebabkan karena masukan dari darat atau karena terjadinya pengayaan dari lapisan dalam, baik karena penaikan air maupun karena pengadukan. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa proses penaikan air lebih banyak terjadi di perairan dalam sedangkan proses pengadukan lebih banyak berperan di perairan dangkal. Nilai rata-rata kandungan fosfat yang ditemukan di lokasi penelitian masih kondisi yang normal (baik). Hal ini diperkuat oleh Mackentum (1969) bahwa kandungan fosfat yang baik bagi pertumbuhan fitoplankton adalah berkisar 0,091,80 µg/L dan ditambahkan oleh Sumardianto (1985) dalam Andriyani (2004) bahwa kandungan ortofosfat yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton adalah
67
0,27-5,51 µg/L dan jika kurang dari 0,02 µg/L maka akan menjadi faktor pembatas. Rata-rata kandungan silikat (0,015 µg/L) di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone tidak menunjukkan adanya perbedaan, baik berdasarkan waktu pengamatan maupun habitat (Tabel 8 dan Lampiran 12). Menurut Cushing dan Walsh (1976) dalam Aryawati (2007) salah satu sumber silikat adalah buangan dari darat melalui run off. Lebih lanjut Millero dan Sohn (1991) menerangkan bahwa pada dasarnya sumber silikat di laut sebagian besar merupakan hasil pelapukan yang terbawa oleh aliran sungai. Hasil penelitian ini sama yang didapatkan di perairan pantai Kabupaten Luwu Teluk Bonen yaitu sebesar 0,0110,031 µg/L (Andriani 2004). Kandungan klorofil-a di perairan pantai Pitumpanua menunjukkan nilai yang sangat fluktuatif dan heterogen. Kandungan klorofil-a di habitat muara sungai dan lamun (0,835 dan 0,976 mg/m3) lebih tinggi dibandingkan di habitat mangrove (0,687 mg/m3) (Tabel 8 & Lampiran 12). Tinggi rendahnya kandungan klorofil-a di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone sangat berhubungan dengan pasokan nutrien yang berasal dari darat melalui aliran sungai-sungai yang bermuara ke perairan tersebut. Afdal & Riyono (2004) mempertegas bahwa tinggi rendahnya kandungan klorophil-a di laut sangat dipengaruhi oleh faktor hidrolgi perairan (suhu, salinitas, nitrat, dan fosfat). Pada kedalaman 0-50 m suhu, salinitas, nitrat, dan fosfat tidak terlalu mempengaruhi kandungan klorofil-a, sedangkan pada kedalaman 100 m mempengaruhi. Bila dibandingkan dengan kandungan klorofil di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone dengan perairan Barru Selat Makassar maka kandungan klorofil-a di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone memiliki nilai yang lebih tinggi. Menurut Hatta (2010) kandungan klorofil-a di perairan Barru Selat Makassar berkisar 0,015-0,383 mg/m3 dan menurut Alianto et al. (2008) kandungan klorofil-a di perairan Teluk Banten memiliki berkisar 0,069-0,303 mg/m3. Tetapi apabila dibandingkan dengan kandungan klorofil-a di perairan Ujung Watu, Jepara; pantai Kartini, Jepara, dan Teluk Jakarta, nilai kandungan klorofil-a di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone relatif lebih rendah. Di perairan Ujung Watu, Jepara kandungan rata-rata klorofil-a adalah sebesar 4,68
68
mg/m3 (Sutomo et al. 1989). Kadar klorofil-a yang tinggi di perairan Indonesia umumnya disebabkan karena penyuburan yang terjadi akibat turbulensi atau pengadukan air di daerah dangkal, aliran dari sungai-sungai (run off) ataupun karena ”upwelling”. Kelimpahan fitoplankton dan zooplankton di perairan pantai Pitumpanua berbeda secara signifikan berdasarkan waktu pengamatan dan habitat. Rata-rata kelimpahan fitoplankton tertinggi selama penelitian di dapatkan di habitat lamun sebesar 13011 sel/l (Tabel 8 & Lampiran 12). Kelimpahan ini lebih tinggi dibandingkan dengan yang didapatkan oleh Andriyani (2004) di perairan Bua Kabupaten Luwu Teluk Bone (4511 sel/liter) dan yang didapatkan oleh Hatta (2010) di perairan Barru Selat Makassar yaitu berkisar 431-5438 sel/liter. Tingginya kelimpahan yang didapatkan kemungkinan disebabkan karena lokasi pengambilan sampel berada pada daerah pantai yang tersedia banyak unsur hara yang
dimanfaatkan
oleh
fitoplankton
untuk
pertumbuhan
dan
perkembangbiakannya. Berbeda yang didapatkan oleh Djokosetiyanto & Rahardjo ( 2006) di perairan pantai Dadap Teluk Jakarta yaitu 21955 sel/liter sangat jauh lebih tinggi dibandingkan di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone. Sedangkan rata-rata kelimpahan tertinggi zooplankton di dapatkan di habitat muara sungai yaitu sebesar 1010 ind/liter (Tabel 8 & Lampiran 12). Bila dibandingkan kelimpahan yang di dapatkan Thoha (2007) di Teluk Gilimanuk, Bali yang mendapatkan kelimpahan zooplankton rata-rata 23938 ind/l, sangat jauh lebih rendah bila dibandingkan yang ditemukan di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone. Kelimpahan zooplankton yang didapatkan selama penelitian berada pada kisaran yang didapatkan oleh Andriyani (2004) di Kabupaten Luwu Teluk Bone yaitu 920-1227 ind/liter dengan rata-rata kelimpahan 1022 ind/liter.
69
5.4.2 Karakteristik Habitat Hasil analisis PCA menunjukkan bahwa karakteristik di lokasi penelitian dicirikan oleh parameter DO, pH, salinitas, dan silikat cenderung lebih tinggi di daerah sekitar mangrove dan lamun, sedangkan parameter kadar nitrat, fosfat, dan kecepatan arus cenderung lebih tinggi di daerah muara sungai (Gambar 10 & 11). Secara umum, kadar nitrat di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone memperlihatkan nilai yang tinggi di daerah muara sungai dibandingkan pada daerah lamun dan sekitar mangrove. Hal ini bisa dimengerti karena lokasi ini dapat disebabkan kondisi sekitar muara sungai, dimana sepanjang pinggiran sungai terdapat mangrove yang dapat menyumbangkan hara dari serasahnya yang membusuk mengalir ke muara sungai. Sesuai dengan pernyataan Wattayakorn (1988) bahwa kandungan nitrat di suatu daerah estuaria selain berasal dari perairan itu sendiri juga tergantung kepada keadaan sekelilingnya antara lain, sumbangan dari daratan melalui sungai yang bermuara ke perairan tersebut, juga tergantung kepada hutan mangrove yang serasahnya membusuk, karena adanya bakteri, terurai menjadi zat hara. Begitu juga dengan kandungan fosfat di muara sungai lebih tinggi dibanding dengan lamun dan mangrove, kemungkinan besar oleh karena adanya masukan dari darat. Nontji (1984) mempertegas bahwa tingginya fosfat di muara karena proses pengadukan lebih banyak terjadi di perairan dangkal. Alasan tersebut sejalan dengan kecepatan arus yang ditemukan di muara sungai juga tinggi. Tingginya kecepatan arus tersebut disebabkan karena derasnya aliran sungai yang mengalir keluar masuk muara sungai sehingga terjadi pengadukan di muara sungai. Parameter suhu, DO, pH, dan salinitas lebih tinggi ditemukan di daerah lamun dan sekitar mangrove (Gambar 10 & 11). Tingginya kadar oksigen terlarut (DO) kemungkinan disebabkan karena tingginya efek produksi fotosintesis dari lamun, begitupula halnya dengan nilai pH kemungkinan diakibatkan oleh kurangnya proses penguraian bahan organik dibandingkan di muara sungai. Salinitas yang tinggi di lamun dan mangrove diakibatkan tidak adanya percampuran air tawar yang bersalinitas rendah seperti pada di habitat muara sungai. Kandungan silikat secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara ketiga habitat tersebut (α = 0,05, Lampiran 8).
70
5.5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.5.1 Kesimpulan 1. Parameter lingkungan menunjukkan secara statistik bahwa parameter suhu, DO, pH, dan salinitas lebih tinggi di daerah lamun dan mangrove, sedangkan parameter nitrat, fosfat, dan kecepatan arus lebih tinggi di muara sungai. 2. Variasi spasiotemporal parameter lingkungan di perairan pantai terjadi dalam tiga habitat selama penelitian. 3. Habitat muara sungai dicirikan dengan kandungan nitrat, fosfat, dan kecepatan arus yang lebih tinggi, sedangkan di daerah lamun dan sekitar mangrove dicirikan dengan parameter suhu, DO, pH, dan salinitas.
5.5.2 Saran Perlu dilakukan kajian oseanografi dalam siklus tahunan untuk melihat pola kondisi oseanografi di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone, sehingga dengan mengetahui pola kondisi oseanografi dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan sero.
71
6 6.1
KOMUNITAS IKAN DI HABITAT BERBEDA
PENDAHULUAN Sero merupakan alat tangkap yang pengoperasiannya di daerah pantai.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pantai terdiri didalamnya beberapa ekosistem seperti ekosistem estuaria (muara sungai), mangrove, lamun, dan terumbu karang. Kesemua ekosistem tersebut sangat produktif hingga berfungsi sebagai daerah pertumbuhan (nursery ground) bagi larva, post-larva dan juvenil dari berbagai jenis ikan, udang, dan kerang-kerangan, dan daerah penangkapan (Dahuri 2003). Bila dicermati secara seksama dengan keberadaan pengoperasian sero ini, tentunya sangat mempengaruhi keberadaan sumberdaya ikan bila tidak dikelola dengan baik. Terlebih lagi ukuran mata jaring sero yang sangat kecil (0,5 cm) yang digunakan di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone, tidak menutup kemungkinan juvenil dan ikan-ikan yang belum matang gonad yang berada pada habitat tersebut ikut tertangkap. Hasil tangkapan merupakan parameter yang menjadi bahan pertimbangan dalam memilih alat tangkap. Banyaknya hasil tangkapan sero sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya kelimpahan ikan dalam perairan dan ukuran mata jaring. Kelimpahan ikan itu sendiri sangat ditentukan oleh habitat atau kondisi daerah penangkapan. Pemasangan sero di perairan pantai Pitumpanua di muara sungai, mangrove, dan lamun banyak dijumpai jenis ikan yang tertangkap menghuni ketiga habitat tersebut dan beruaya menurut umur dan waktu. Hal ini tentu berdampak pada hasil tangkapan sesuai dinamika perubahan kelimpahan ikan pada masing-masing habitat, sehingga kajian hasil tangkapan sero sangat penting untuk dikaji. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui komposisi hasil tangkapan; 2) mengetahui kisaran ukuran panjang total ikan dan berat setiap jenis ikan; 3) membandingkan jumlah hasil tangkapan pada habitat berbeda; 4) menganalisis hubungan panjang-berat ikan pada habitat berbeda; 5) mengidentifikasi parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap biomassa hasil tangkapan; dan 6) menentukan asosiasi antara hasil tangkapan dominan dengan habitat.
72
6.2
METODE PENELITIAN
6.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pelaksanaan pengambilan sampel hasil tangkapan dilakukan selama 4 (empat) bulan, terhitung tanggal 15 Januari - 14 Mei 2011 selama 16 trip penangkapan. Lokasi pengambilan sampel dilakukan di 3 (tiga) unit sero pada 3 (tiga) daerah penangkapan sero yang berbeda yaitu muara sungai, mangrove, dan lamun di perairan pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone.
6.2.2 Alat dan bahan Alat dan bahan yang digunakan selama pengambilan data untuk analisis hasil tangkapan diantaranya perahu motor, sero, serok, global position system (gps), measuring board / mistar, formalin 90%, plastik sample, cool box/kulkas, timbangan analitik, kamera, buku identifikasi ikan, alat tulis/data sheet, dan alat bantu lainnya.
6.2.3 Teknik Pengumpulan Data Ikan yang tertangkap sero yang dioperasikan pada kondisi habitat berbeda (muara sungai, mangrove, dan lamun) diambil sebanyak 25% dari total hasil tangkapan setiap unit sero. Ikan dipisahkan berdasarkan jenisnya. kemudian ikan diukur panjang total dengan measuring board atau mistar dan beratnya ditimbang menggunakan timbangan. Panjang total diukur mulai dari ujung kepala terdepan sampai ujung bagian ekornya.
6.2.4 Analisis Data 6.2.4.1 Analisis perbandingan hasil tangkapan berdasarkan waktu dan habitat Untuk membandingkan hasil tangkapan semua jenis ikan dominan tertangkap antara habitat dan waktu pengamatan maka digunakan analisis ragam (ANOVA), dengan rancangan percobaan adalah rancangan acak kelompok (RAK). Perlakuan adalah tiga habitat (muara sungai, mangrove, dan lamun). Ulangan adalah 16 blok waktu penangkapan hasil tangkapan. Model matematis rancangan tersebut sebagai berikut:
73
Yij = µ + Hi +Tj + εij.....................................................................(4) Dimana : i = 1, 2, 3 dan j = 1, 2, 3 .....16 Yij = Respon pengamatan pada hasil tangkapan ke-i dan kelompok ke-j µ = Nilai rataan umum Hi = pengaruh hasil tangkapan ke-i (habitat i = 1,2, dan 3); Tj = pengaruh kelompok (blok) waktu penangkapan ke-j; εijk = Galat percobaan dari perlakuan ke-I dan kelompok ke-j. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA). Analisis data dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak SPSS Release 15.0. Untuk membandingkan antar habitat yang berbeda jika hasil uji F dalam ANOVA signifikan berbeda maka digunakan uji lanjut menggunakan uji beda rerata Tukey (Tukey’s HSD Test) (Zar 1984 dan Petersen 1985).
6.2.4.2 Analisis hubungan panjang-berat Hubungan panjang-berat dihitung dengan menggunakan analisis biometri (Romimohtarto dan Juwana 2001). dengan mengacu pada persamaan eksponensial yang dikemukakan oleh Teisser (1960) dan Carlander (1968) dalam Effendie (1997) : W = aLb……………………………………………....…(5) Dimana : W = berat ikan (gram) a. b = konstanta L = panjang total (cm). Nilai a dan b yang dihitung dari transformasi data ke dalam persamaan regresi linier. sehingga membentuk persamaan : log W = log a + b log L
…………………………………………… (6)
Jika nilai b < 3. maka pertumbuhan bersifat allometrik negatif. sedangkan pola pertumbuhan bersifat allometrik positif dan isometrik apabila nilai b masing-masing b > 3 dan b = 3 (Effendie 1997).
74
6.3
HASIL PENELITIAN
6.3.1 Komposisi Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Sero Jenis hasil tangkapan dominan pada alat tangkap sero di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone yaitu ikan pepetek (Leiognathus splendens), baronang lingkis (Siganus canaliculatus), kerong-kerong (Therapon jarbua), kuwe (Caranx sexfaciatus), biji nangka (Upeneaus sulphureus), baronang (Siganus guttatus), udang putih (Peneaus margueinsis), lencam (Lethrinus lentjam), barakuda (Sphyraena sphyraena), kapas-kapas (Gerres kapas), dan kepiting rajungan (Portunnus pelagicus). Komposisi jumlah hasil tangkapan sero selama penelitian di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone paling banyak tertangkap ikan pepetek dan paling sedikit yaitu kepiting rajungan (Tabel 9). Untuk komposisi berat hasil tangkapan terbanyak yaitu ikan barakuda dan terkecil yaitu udang putih (Tabel 10). Tabel 9 Komposisi jumlah hasil tangkapan (%) sero berdasarkan jenis ikan setiap habitat selama penelitian No
Jenis ikan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pepetek Baronang lingkis Kerong-kerong Kuwe Biji nangka Baronang Udang putih Lencam Barakuda Kapas-kapas Kepiting rajungan
Muara Sungai (%) 25,72 9,60 12,57 7,05 10,13 7,16 6,36 4,72 6,79 7,10 2,81
Mangrove (%) 17,96 12,89 14,58 9,98 6,60 7,50 7,34 6,44 7,29 5,12 4,28
Lamun (%) 12,12 17,11 6,97 16,90 9,54 10,48 5,92 7,68 3,95 6,09 3,24
Rata-rata (%) 18,60 13,20 11,37 11,31 8,76 8,38 6,54 6,28 6,01 6,10 3,44
75
Tabel 10 Komposisi berat hasil tangkapan (%) sero berdasarkan jenis ikan setiap habitat selama penelitian No
Jenis ikan
1 Barakuda 2 Kerong kerong 3 Baronang 4 B. Lingkis 5 Kuwe 6 Lencam 7 Biji nangka 8 Rajungan 9 Pepetek 10 Kapas-kapas 11 Udang putih Total Presentase
Muara Sungai (%) 24,49 18,06 13,18 7,08 6,35 5,61 7,32 3,58 6,27 4,31 3,50 100
Mangrove (%) 23,12 18,97 11,81 12,51 7,73 6,75 4,15 4,64 3,58 2,88 3,87 100
Lamun (%) 13,63 9,70 18,12 18,68 11,23 8,90 6,09 4,33 2,49 3,69 3,21 100
Rata-rata (%) 20,41 15,58 14,37 12,76 8,43 7,09 5,85 4,18 4,11 3,63 3,52 100
6.3.2 Kisaran Berat dan Panjang Total Setiap Hasil Tangkapan Sero Kisaran berat dan panjang total setiap hasil tangkapan sero hampir merata pada setiap habitat. Kisaran panjang total dan berat jenis ikan yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone (Tabel 11). Tabel 11 Kisaran berat dan panjang total setiap jenis hasil tangkapan sero di perairan pantai Pitumpanua selama penelitian Jenis Ikan Biji nangka Baronang lingkis Kerong-kerong Lencam Pepetek Kapas-kapas Kuwe Baronang Barakuda Kepiting rajungan Udang putih Keterangan :
Kisaran Berat (gr) 7-163 13-164 7-163 15-217 5-102 10-312 12-189 41-393 30-380 23-171 6-95
Kisaran Panjang (cm) 5,6-20,3 5,9-25,7 5,6-20,3 8,3-20,8 6,0-23,2 4,2-18,6 6,0-21,2 8,0-23,5 11,8-55,0 6,0-15,2 5,0-16,8
A)
Martasuganda et al. (1991) Wassef & Hady (1997) C) Situ & Sadovy (2004) D) Krajangdara (2004) E) Pauly (1977) dalam Sjafei & Saadah (2001) F) Sjafei & Syaputra (2009) B)
G)
Tharwat & Rahman (2006) Sutomo & Juwana (1990) I) Allam et al. (2004) J) Jazayery et al. (2011) K) Machado et al. (2009) H)
Lmat (cm)
10,2A 17,0B 18,0C 18,2D 9,0E 10,5F 30,0G 21,0H 17,3I 9,5J 15,2K
76
6.3.3 Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Berdasarkan Habitat dan Waktu Penangkapan Hasil tangkapan sero selama penelitian menunjukkan adanya variabilitas jumlah hasil tangkapan menurut jenis ikan (Gambar 12). Disamping itu terlihat bahwa ada jenis ikan yang jumlahnya tidak signifikan berbeda antar ketiga habitat. Hal ini menunjukkan bahwa jenis ikan tersebut bervariasi menurut ukuran rata-rata antara habitat. Selain perbedaan antara habitat, jumlah, dan berat hasil tangkapan beberapa jenis ikan yang dominan tertangkap dengan sero juga berbeda menurut waktu penangkapan. Analisis ragam (ANOVA) menyimpulkan bahwa semua jenis ikan yang tertangkap berbeda menurut lokasi (habitat) tetapi tidak semua jenis ikan yang tertangkap berbeda berdasarkan waktu penangkapan. Kepiting rajungan yang tertangkap tidak berbeda menurut habitat dan waktu penangkapan, sedangkan udang putih berbeda menurut lokasi dan berbeda menurut waktu penangkapan (Lampiran 14). Total jumlah hasil tangkapan (kecuali kepiting dan udang) berbeda menurut habitat dan tidak berbeda menurut waktu penanngkapan (Lampiran 14).
Gambar 12 Jumlah hasil tangkapan berdasarkan habitat dan waktu penangkapan selama penelitian.
77
Berat hasil tangkapan sero selama penelitian menunjukkan adanya variabilitas menurut jenis ikan (Gambar 13). Analisis ragam menunjukkan bahwa berat hasil tangkapan semua jenis ikan berbeda menurut waktu penangkapan dan tidak semua jenis ikan berbeda menurut habitat (α = 0,05, Lampiran 15). Analisis ragam (Anova) untuk total berat hasil tangkapan (kecuali kepiting dan udang) berbeda menurut habitat dan waktu penanngkapan (α = 0,05, Lampiran 15).
Gambar 13 Berat hasil tangkapan berdasarkan habitat dan waktu penangkapan selama penelitian
78
6.3.4 Hubungan Panjang-Berat Hasil Tangkapan Analisis biometri menyimpulkan bahwa semua jenis hasil tangkapan pada 3 (tiga) habitat bersifat allometrik negatif. Artinya pertambahan panjang ikan tidak secepat dengan pertambahan beratnya (Gambar 14 & 15 dan Lampiran 16).
Gambar 14 Kurva hubungan panjang-berat jenis ikan biji nangka (a), baronang lingkis (b), kerong-kerong (c), kapas-kapas (d), lencam (e), pepetek (f), kuwe (g), dan baronang (h).
79
Gambar 15 Kurva hubungan panjang-berat jenis ikan barakuda (i), hubungan lebar karapas-berat rajungan (j), hubungan panjang karapaks-berat udang putih (k).
80
6.3.5 Hubungan Berat Hasil Tangkapan dengan Parameter Lingkungan Berdasarkan hasil perhitungan regresi linier berganda antara berat hasil tangkapan setiap jenis ikan dengan parameter lingkungan (Lampiran 17-26) maka didapatkan rangkuman yang menunjukkan hubungan antara berat ikan hasil tangkapan dengan parameter lingkungan dan yang dominan pengaruhnya seperti dirangkum dalam Tabel 12. Tabel 12 Parameter yang digunakan dalam regresi dan parameter yang dominan pengaruhnya serta besar koefisien determinasi (R2) yang didapatkan dalam hasil regresi antara berat hasil tangkapan dengan parameter lingkungan Jenis Ikan Biji nangka Baronang lingkis Kerong-kerong Kapas-kapas Lencam Pepetek Kuwe Baronang Barakuda Total hasil tangkapan
Parameter berpengaruh Dominan Suhu, salinitas, pH, DO, Klorofil a arus dan klorofil a Suhu, salinitas, pH, DO, DO dan arus arus, klorofil a, fito, dan zoo Suhu, salinitas, pH, DO, Zoo, salinitas, arus, klorofil a, fito, dan pH, dan klorofil zoo a Suhu, salinitas, pH, DO, Suhu, DO, arus, arus, klorofil a, fito, dan dan klorofil a zoo Suhu, salinitas, pH, DO, DO, arus, dan arus, klorofil a, fito, dan klorofil a zoo Suhu, salinitas, DO, arus, Suhu, DO, arus, dan fito dan fito Suhu, pH, DO, arus, Suhu dan DO Klorofil a dan fito Parameter dlm Regresi
R2 0,519 0,639 0,667 0,623 0,602 0,445 0,499
6.3.6 Asosiasi antara Hasil Tangkapan Dominan dengan Habitat Hasil analisis factorial correspondence analiss (FCA) menunjukkan bahwa terdapat asosiasi antara jenis ikan dengan habitat dan waktu tertentu. Berdasarkan perhitungan didapatkan bahwa 87,47% keragaman terjelaskan dalam 3 sumbu utama pertama dengan akar ciri secara berurut masing-masing 0,076, 0,034 dan 0,015 (Tabel 13 & Lampiran 27). Habitat lamun berkontribusi cukup
81
besar dalam pembentukan sumbu utama 1 sedangkan mangrove dan muara sungai berkontribusi besar dalam membetuk sumbu utama 2 positif dan negatif. Plot jenis ikan dan habitat per waktu pengamatan menunjukkan bahwa ikan biji nangka, baronang, baronang lingkis, kerong-kerong, barakuda, dan kuwe lebih berasosiasi dengan habitat lamun. Ikan lencam, kapas-kapas, dan pepetek lebih berasosiasi dengan habitat dekat mangrove sedangkan udang dan rajungan berasosiasi dengan muara sungai (Gambar 16, 17 & 18). Tabel 13 Hasil analisis factorial correspondence analiss (FCA) menunjukkan bahwa terdapat asosiasi antara jenis ikan dengan habitat selama penelitian Eigenvalue Inertia (%)
F1 0,076 52,922
F2 0,034 23,989
F3 0,015 10,554
F4 0,009 6,626
F5 0,005 3,432
F6 0,002 1,417
F7 0,001 0,678
F8 0,000 0,334
F9 0,000 0,028
F10 0,000 0,019
Cumulative %
52,922
76,911
87,465
94,091
97,523
98,940
99,618
99,952
99,981
100,000
Gambar 16 Plot stasiun dan waktu pengamatan pada sumbu FCA 1 dan 2.
82
Gambar 17 Plot jenis ikan pada sumbu FCA 1 dan 2.
Gambar 18 Konfigurasi tiga komponen utama untuk asosiasi antara jenis hasil tangkapan dan habitat di lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian.
83
Asosiasi antara habitat dan jenis ikan yang dihitung berdasarkan biomassa hasil tangkapan (Gambar 17 & 18) hal tersebut terjadi karena setiap jenis ikan memiliki toleransi dan preverensi terhadap parameter lingkungan tertentu. Kondisi optimal paramater lingkungan bagi ikan dan makanan setiap jenis ikan yang berbeda antara jenis ikan dan perbedaan parameter lingkungan yang terjadi pada setiap habitat dapat terjadi secara simultan dengan terjadinya perubahan ukuran ikan. Demikian pula dengan perbedaan kebiasaan makanan dan pengaruh parameter lingkungan terhadap jenis makanan masing-masing spesies dapat menyebabkan perbedaan dan perubahan preverensi habitat bukan saja antar spesies tetapi antar ukuran berbeda dalam spesies yang sama.
6.4
PEMBAHASAN
6.4.1 Komposisi Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Jenis ikan yang tertangkap dengan sero selama penelitian nampak bahwa jenis ikan pepetek, baronang lingkis, kerong-kerong, kuwe, biji nangka, dan baronang yang banyak tertangkap dan hampir merata di semua habitat (Tabel 9). Hal ini disebabkan karena jenis ikan ini memang menghuni habitat muara sungai, mangrove, dan lamun. Sebagian besar jenis hasil tangkapan tersebut tergolong jenis ikan-ikan demersal kecil yang bernilai ekonomis penting (Boer et al. 2001). Jenis ikan pelagis yang tertangkap hanya ikan barakuda. Kemungkinan jenis ini mengejar mangsanya kemana-mana sehingga ikut tertangkap pada alat tangkap, karena diketahui bahwa ikan barakuda tergolong ikan omnivor dan karnivor. Ikan barakuda yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua dengan alat tangkap sero memiliki volume yang tinggi. Berbeda yang ditemukan di perairan Kabupaten Barru Selat Makassar dengan alat tangkap bagan rambo, jenis ikan ini ditemukan relatif sedikit (Hatta 2010). Hal ini diduga karena pada alat tangkap sero waktu tenggang pengangkatan alat tangkap sero (hauling) cukup lama dibandingkan bagan rambo, sehingga diduga bahwa ikan barakuda dengan leluasa mencari makan dalam bunuhan, dengan terperangkapnya pada bunuhan menyulitkan untuk meloloskan diri melalui pintu bunuhan sero.
84
Jenis krustasea yang dominan tertangkap yaitu kepiting rajungan dan udang putih. Tertangkapnya kedua jenis krustasea tersebut disebabkan karena rajungan dan udang putih secara ekologis hidup bersama-sama dan berinteraksi dalam satu ruang ekosistem dengan ikan pada daerah pantai. Diketahui bahwa udang putih dan rajungan sebagian daur hidupnya berada di daerah pesisir pantai seperti estuaria dan sebagian di laut (Saputra & Subiyanto 2007; Suharyanto & Tjaronge 2009). Lebih lanjut dipertegas Pasquier & Pẻrez (2004) bahwa keberadaan hidupnya pada masa juvenile di pantai atau estuaria dan dewasa bermigrasi ke laut terbuka. Banyaknya hasil tangkapan ikan demersal pada alat tangkap sero karena pengoperasian sero berada pada perairan dangkal. Hal ini diperkuat oleh pernyataan oleh Widodo dan Suadi (2008) bahwa perairan dangkal dengan kedalaman kurang dari 100 meter dengan dasar perairan yang berlumpur serta relatif datar merupakan daerah penangkapan demersal yang baik. Dipertegas Yusof (2002) bahwa pada kedalaman perairan yang kurang dari 80 m didominasi oleh ikan demersal 95,40% dari total hasil tangkapan, lebih lanjut mengatakan bahwa perairan 5-18 meter di perairan Peninsular Malaysia tertangkap 62-89 jenis ikan demersal. Berat hasil tangkapan yang terbanyak selama penelitian yaitu ikan barakuda, kerong-kerong, baronang, baronang lingkis, kuwe, dan lencam (Tabel 10). Urutan komposisi berat tersebut lebih disebabkan karena faktor ukuran jenis ikan tersebut, dimana jenis ikan yang mempunyai ukuran lebih besar memiliki komposisi berat yang lebih berat dibanding dengan jenis ikan yang ukurannya lebih kecil, walaupun jumlah hasil tangkapannya lebih sedikit dibanding ikan-ikan yang berukuran lebih kecil seperti pepetek, biji nangka, dan kapas-kapas. Penelitian yang di lakukan Pujiyati (2008) justru jenis ikan pepetek merupakan berat hasil tangkapan yang paling banyak ditemukan di Laut Jawa dengan alat tangkap bottom mini trawl yaitu 90,70 kg pada kedalaman 40 m. Kemungkinan disebabkan kedalaman daerah penangkapan yang berbeda, karena di perairan pantai Pitumpanua kedalaman daerah penangkapan sero hanya sekitar 8-15 m, sehingga beragam jenis ikan demersal yang tertangkap. Hal ini diperkuat
85
pernyataan Pujiyati (2008) berdasarkan hasil penelitiannya bahwa densitas ikan demersal menyukai daerah dangkal, semakin dalam perairan densitas ikan demersal semakin rendah. Begitu pula hasil penelitian Soadiq (2010) menemukan pepetek sebagai hasil tangkapan terbanyak di perairan Selayar dengan alat tangkap fyke net. Komposisi berat ikan baronang yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua yaitu rata-rata 14,37%. Tingginya persentase ini kemungkinan disebabkan karena ikan baronang di daerah ini secara ekologis lebih mendukung kelangsungan hidupnya. Hal ini dipertegas oleh Kurnia (2003) dalam penelitian di tempat sama dengan alat tangkap bubu yaitu ternyata ikan baronang memiliki berat hasil tangkapan yang lebih besar dibanding dengan ikan lainnya. Hasil tangkapan seperti ikan pepetek, biji nangka, kapas-kapas, kepiting rajungan, dan udang putih memiliki persentase berat hasil tangkapan yang kecil. Kecilnya persentase komposisi berat hasil tangkapan bukan berarti bahwa jenis hasil tangkapan ini dari segi jumlah hasil tangkapan lebih sedikit dengan lainnya, bahkan jenis hasil tangkapan ini frekuensi kemunculan tertangkap lebih besar. Hal sama yang diungkapkan oleh Imron (2008) bahwa jenis ikan-ikan demersal yang kontinyu tertangkap di perairan Tegal Jawa Tengah dengan alat tangkap dogol/cantrang dan jaring arad yaitu ditemukan 8 (delapan) jenis ikan demersal seperti pepetek, biji nangka, dan udang yang juga ditemukan di perairan pantai Pitumpanua.
6.4.2 Kisaran Panjang Total dan Berat Setiap Jenis Ikan Kisaran panjang total ikan biji nangka yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua yaitu 5,6-20 cm (Tabel 11). Kisaran tersebut lebih besar yang didapatkan perairan Demak yaitu antara 8-30 cm dengan modus panjang yaitu 16,2 cm (Saputra et al. 2009). Begitupula kisaran yang ditemukan di perairan Terengganu Peninsular, Malaysia juga lebih besar yaitu 22,8-24,3 cm (Rahardjo 1997). Kisaran yang ditemukan hampir sama di lokasi penelitian yaitu di perairan Andhara-Oissa yaitu 9,1-17,7 cm (Reuben et al. 1992). Ukuran yang ditemukan di Brondong Jawa Timur dengan alat tangkap danish seine yaitu 13,3 cm. Tidak berbeda jauh juga yang ditemukan oleh Ernawati dan Sumiono (2006) di perairan
86
Selat Makassar yaitu 5,0-17,0 cm. Begitupula halnya yang ditemukan di Teluk Palu dengan menggunakan pukat pantai yaitu 9,1 cm. Hal ini memberikan indikasi bahwa ukuran-ukuran tersebut sangat dipengaruhi oleh lokasi daerah penangkapan, dimana daerah penangkapan yang berdekatan memiliki kisaran yang hampir sama. Kisaran-kisaran tersebut sudah sesuai yang dikemukakan oleh Genisa (1999) bahwa kisaran ikan biji nangka umumnya tertangkap yaitu 15 cm. Ikan baronang lingkis yang tertangkap di daerah perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone
yaitu 5,9-25,7 cm. Kisaran tersebut lebih banyak
tertangkap pada ukuran kecil sampai sedang. Penelitian ini sejalan yang ditemukan oleh Jalil et al. (2003) bahwa ikan baronang lingkis tertangkap di perairan Kecamatan Bua Kabupaten Luwu Teluk Bone memiliki kisaran 6,2-22,0 cm dan kisaran tersebut lebih banyak tertangkap pada kisaran kecil sampai sedang. Kemiripan kisaran tersebut dikarenakan karena daerah penangkapannya satu wilayah yaitu Teluk Bone. Ikan kerong-kerong yang tertangkap yaitu pada kisaran 5,6-20,3 cm. Kisaran ini hampir sama dikemukakan oleh Subani (1990) bahwa umumnya tertangkap di perairan Indonesia pada kisaran 5,0-25,0 cm. Kisaran hampir sama juga didapatkan di pantai selatan laut India yaitu 8,0-19,0 cm, dan yang ditemukan di Teluk Rayong, Thailand yaitu 9,6-28, cm (www.fishbase.org). Senada yang dikemukakan oleh Marwoto et al. (2006) bahwa jenis ikan kerongkerong yang tertangkap dengan jaring arad di perairan pantai Cilacap yaitu pada kisaran panjang 6,6-20,6 cm. Bisa dikatakan bahwa jenis ikan ini ukurannya hampir sama diberbagai daerah. Kisaran panjang total ikan Kapas-kapas yang tertangkap di perairan Pitumpanua Teluk Bone yaitu 4,2-18,6 cm. Kisaran ini sangat jauh berbeda yang didapatkan pada penelitian tahun 2005 di lokasi yang sama yaitu tertangkap pada kisaran 3,0-23,5 cm (Tenriware 2005). Bisa disimpulkan bahwa selama 5 (lima) tahun terakhir ini, jenis ikan kapas-kapas yang berukuran di atas 20 cm sudah habis tertangkap di lokasi tersebut. Kisaran ukuran panjang ikan yang ditemukan jauh lebih kecil yang didapatkan di perairan pantai Mayangan, Jawa Barat yaitu 9,5-14,0 cm untuk jantan dan 10,2-16,5 cm untuk betina (Sjafei dan Syaputra 2009). Sejalan yang dikemukakan oleh Genisa (1999) bahwa ukuran ikan kapas-
87
kapas umumnya tertangkap pada ukuran panjang total 15 cm dan jenis ikan ini bisa mencapai pada ukuran 25 cm. Ikan lencam atau bisa dikenal katamba tertangkap pada kisaran 8,3-20,0 cm. Ukuran ini sangat kecil bila dibandingkan yang dikemukakan oleh Genisa (1999) bahwa pada umumnya jenis ikan ini tertangkapa pada kisaran 25-35 cm. Tahun 2005 di perairan pantai Pitumpanua masih ditemukan ukuran panjang maksimun yaitu 25,9 cm (Tenriware 2005). Hal memberikan gambaran bahwa jenis ikan lencam di lokasi tersebut semakin hari ukuran semakin kecil yang tertangkap. Ikan pepetek atau peperek cina tertangkap pada kisaran 6,0-23,2 cm. Diduga bahwa jenis ikan ini merajai perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone. Dugaan ini berdasarkan hasil tangkapan yang didapatkan yaitu paling banyak tertangkap dan penelitian sebelumnya pada tahun 2005 ukuran jenis ikan ini hanya tertangkap pada kisaran 3,4-17,4 cm, namun pada saat ini kisarannya lebih besar dari sebelumnya. Kemungkinan pertumbuhan dan perkembangbiakan jenis ikan ini lebih cepat. Pernyataan ini didukung oleh Pauly (1977) bahwa jenis ikan tersebut berkembang biak dengan pesat karena jenis ikan ini terhindar dari pemangsa karena keseluruhan tubuh pepetek menghasilkan cahaya, dimana cahaya ini dilepaskan pada siang hari ke arah bawah berupa cahaya difusi yang cenderung memecah bayangan dirinya menjadi tidak utuh, akibatnya pemangsa potensial tidak dapat melihat nyata mangsanya dalam hal ini pepetek. Ikan kuwe yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua kisaran ukuran panjangnya masih sangat kecil yaitu 6,0-21,2 cm. Kisaran tersebut jauh lebih kecil yang dikemukakan oleh Genisa (1999) bahwa jenis ikan ini umumnya tertangkap pada ukuran panjang total 50 cm dan bisa mencapai pada ukuran 75 cm. Seperti yang ditemukan di perairan Teluk Arab dengan alat tangkap trap ukuran kecil ikan kuwe (Caranx sexfaciatus) didapatkan pada panjang 34 cm, sedangkan pada alat tangkap trap ukuran besar didapatkan panjang 50 cm (Tharwat dan Rahman 2006). Ikan baronang tertangkap pada kisaran 8,0-23,5 cm. Kisaran ini jauh lebih kecil yang didapatkan di perairan Pulau Pari, wilayah Pulau-pulau Seribu yaitu 14,0-21,0 cm (Sutomo dan Juwana 1990). Tidak berbeda jauh yang dikemukakan
88
oleh Genisa (1999) bahwa jenis ikan ini umumnya tertangkapa pada ukuran 20 cm dan bisa mencapai panjang 35 cm. Ikan barakuda tertangkap pada kisaran 11,855,0 cm. Kisaran ini hampir sama yang dikemukan oleh Genisa (1999) bahwa umumnya tertangkap pada panjang 40-60 cm dan bisa mencapai 100 cm. Kisaran tersebut sangat jauh berbeda yang ditemukan oleh Allam et al. (2004) di perairan Mediterania yaitu Sphyraena chrysotaenia (13-27 cm), S. flavicauda (17-41 cm), dan S. sphyraena (16-44 cm). Kemungkinan disebabkan karena kondisi iklim yang berbeda dan daerah penangkapan. Kepiting rajungan tertangkap pada kisaran lebar karapaks yaitu 6,0-15,2 cm. Kisaran ini hampir sama yang didapatkan di Pantai Khuzestan, Teluk Persia yaitu dari kisaran 8,0-17,9 cm (Jazayeri et al. 2011). Kisaran ukuran yang didapatkan masih jauh lebih besar bila dibandingkan di Tanzania dengan ukuran terkecil 1,5 cm dan ukuran terbesarnya yaitu 11,5 cm (Chande dan Mgaya 2003). Adanya perbedaan kisaran ukuran yang sangat mencolok, kemungkinan disebabkan karena disetiap wilayah mempunyai rajungan yang berbeda baik itu secara morfologi, genetik, dan ukurannya (Lai et al. 2010). Kisaran panjang karapaks udang putih yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone yaitu 5,0-16,8 cm. Kisaran panjang ini tidak berbeda jauh yang telah didapatkan di sekitar Perairan Semarang dengan menggunakan alat tangkap jaring arad (baby trawl) yaitu (Pramonowibowo et al. 2007).
6.4.3 Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Berdasarkan Habitat dan Waktu Penangkapan Jumlah dan berat hasil tangkapan ikan biji nangka yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua berbeda menurut habitat/lokasi penangkapan tetapi waktu penangkapan tidak menunjukkan adanya perbedaan. Jumlah yang tertangkap pada daerah mangrove lebih sedikit di lamun sedangkan di muara sungai tidak menunjukkan adanya perbedaan hasil tangkapan pada dua lokasi lainnya. Sementara berat hasil tangkapan di muara sungai dan muara sungai lebih sedikit dibanding pada lamun. Hal ini menunjukkan bahwa ikan biji nangka pada daerah lamun variabilitas ukurannya lebih kecil dan jumlahnya lebih sedikit. Tidak berbeda waktu penangkapan memberikan gambaran bahwa jenis ikan ini tertangkap sepanjang tahun. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Imron (2008)
89
bahwa salah satu ikan yang kontinyu tertangkap di perairan Tegal Jawa Tengah yaitu ikan kuniran (biji nangka). Seperti halnya yang ditemukan di perairan Selat Makassar salah satu jenis ikan kuniran yang lebih dominan tertangkap yaitu Upeneaus sulphureus dibandingkan ikan kuniran jenis lainnya seperti U. vittatus, U. tragula, U. bensasi, U. sundaicus, dan U. moluccensis (Ernawati dan Sumiono 2006) Ikan baronang lingkis yang tertangkap berbeda menurut habitat/lokasi dan waktu penangkapan berdasarkan jumlah maupun berat hasil tangkapan. Jumlah hasil tangkapan pada muara sungai dan mangrove lebih sedikit dibandingkan pada daerah lamun, sementara berat hasil tangkapan berbeda dari ketiga habitat tersebut (muara sungai < mangrove < lamun). Artinya berat hasil tangkapan terbanyak pada daerah lamun dibandingkan kedua habitat tersebut, begitujuga dengan jumlah hasil tangkapannya. Kuat dugaan bahwa dengan beratnya hasil tangkapan di habitat kemungkinan disebabkan jenis ikan termasuk kedalam kelompok ikan herbivora yang makanannya adalah alga, sehingga kondisi ekologisnya sangat mendukung dibandingkan dengan kedua habitat lainnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Tuwo (2011) bahwa salah satu jenis ikan di daerah lamun yaitu Siganus spp memanfaatkan lamun sebagai tempat berlindung, memijah dan mengasuh anaknya, dan sebagai tempat mencari makan. Ikan kerong-kerong yang tertangkap berbeda menurut habitat/lokasi dan waktu penangkapan berdasarkan jumlah dan berat hasil tangkapan. Jumlah hasil tangkapan pada muara sungai dan mangrove lebih banyak dibanding di lamun, namun berat hasil tangkapan lebih banyak di daerah muara sungai dibandingkan kedua habitat lainnya. Diduga jenis ikan kerong-kerong bisa beradaptasi di daerah estuari dan toleran pada salinitas rendah. Hal ini diperkuat penelitian Muchlisin dan Azizah (2010) bahwa salah satu jenis ikan yang tertangkap di sungai-sungai di perairan Aceh yaitu ikan kerong-kerong. Jumlah dan berat hasil tangkapan ikan kapas-kapas yang tertangkap selama penelitian berbeda menurut habitat/lokasi dan waktu penangkapan. Jumlah hasil tangkapan pada muara sungai dan lamun lebih besar dibanding pada mangrove, sementara berat hasil tangkapan pada mangrove dan muara sungai lebih sedikit dibanding di habitat lamun. Walaupun hasil tangkapan lebih banyak
90
di lamun dibandingkan mangrove, tetapi tidak menjamin berat hasil tangkapan yang lebih banyak, ini menandakan bahwa ukuran ikan kapas-kapas pada habitat lamun lebih kecil dibanding pada kedua habitat lainnya. Banyaknya hasil tangkapan di daerah estuaria diduga jenis ikan kapas-kapas lebih menyukai perairan yang air lebih sedikit tawar. Hal dibuktikan oleh Muchlisin dan Azizah (2010) bahwa ikan dari famili Gerreidae tertangkap di muara-muara sungai di perairan Aceh. Seperti halnya juga tertangkap di perairan sekitar hutan lindung Angke Kapuk (Novanistati 2001 dalam Sjafei dan Syaputra 2009). Jumlah dan berat hasil tangkapan ikan lencam yang tertangkap berbeda menurut habitat/lokasi dan waktu penangkapan. Jumlah hasil tangkapan di muara sungai lebih sedikit dibanding di lamun, sedangkan di mangrove tidak ada perbedaan jumlah hasil tangkapan dari kedua habitat tersebut. Berat hasil tangkapan di muara sungai dan mangrove lebih banyak dibanding di lamun. Kondisi seperti ini menujukkan bahwa keberadaan ikan lencam di lamun kebanyakan ikan-ikan yang masih mudah atau juvenil (berukuran kecil). Jumlah hasil tangkapan ikan pepetek berbeda menurut habitat/lokasi tapi tidak berbeda menurut waktu penangkapan. Sementara berat hasil tangkapan berbanding terbalik yaitu berbeda menurut waktu dan tidak berbeda menurut lokasi. Artinya ikan pepetek yang tertangkap dengan jumlah berbeda dari setiap habitat tidak menunjukkan adanya perbedaan berat di setiap habitat walaupun waktu penangkapan yang berbeda, sehingga bisa disimpulkan bahwa jenis ikan ini mempunyai variabilitas ukuran berat tidak berbeda setiap lokasi, tetapi variasi jumlah setiap lokasi yang berbeda, walaupun jumlah hasil tangkapan ikan pepetek lebih banyak didapatkan di muara sungai dibanding kedua habitat tersebut. Jumlah hasil tangkapan ikan kuwe berbeda menurut habitat/lokasi tetapi tidak berbeda menurut waktu penangkapan. Berat hasil tangkapan berbeda menurut waktu tetapi tidak berbeda habitat/lokasi. Jumlah hasil tangkapan pada muara sungai lebih sedikit dibanding di mangrove, sedangkan di lamun tidak menunjukkan adanya perbedaan di kedua habitat tersebut. Walaupun dari segi perbedaan jumlah hasil tangkapan terjadi pada habitat tertentu tetapi berat hasil tangkapan tidak mempengaruhi di setiap habitat. Indikasi ini menunjukkan bahwa pada daerah mangrove jenis ikan ini banyak ditemukan dibanding di kedua
91
habitat, namun ukuran berat seiap jenis ikan lebih kecil dibanding habitat lainnya. Hal inilah menunjukkan adanya variasi ukuran berat setiap habitat. Jumlah dan berat hasil tangkapan ikan baronang yang tertangkap berbeda menurut habitat/lokasi dan waktu penangkapan. Jumlah dan berat hasil tangkapan pada muara sungai lebih sedikit dibanding di lamun, sedangkan di mangrove tidak menunjukkan adanya perbedaan di kedua habitat tersebut. Jumlah dan berat hasil tangkapan ikan barakuda yang tertangkap berbeda menurut habitat/lokasi dan waktu penangkapan. Jumlah tangkapan ikan barakuda lebih sedikit dibanding di mangrove, sedangkan di muara tidak menunjukkan adanya perbedaan kedua habitat tersebut. Berat hasil tangkapan menunjukkan bahwa pada muara sungai lebih sedikit dibanding di lamun, sedangkan di mangrove tidak berbeda keduanya. Artinya ikan barakuda di habitat lamun mempunyai ukuran berat yang lebih kecil dibanding di habitat lainnya dan jumlahnya lebih sedikit. Kepiting rajungan yang tertangkap tidak menunjukkan perbedaan jumlah hasil tangkapan berdasarkan habitat/lokasi dan waktu penangkapan. Sementara berat hasil tangkapan berbeda menurut waktu dan lokasi penangkapan. Artinya berat kepiting yang tertangkap berbeda menurut habitat walaupun jumlah kepiting sama pada setiap habitat. Kemungkinan hal ini disebabkan karena pada habitat tertentu mempunyai ketersediaan makanan yang cukup sehingga bobot atau berat kepiting lebih besar dibanding pada habitat lainnnya. Terlihat bahwa pada muara sungai berat kepiting rajungan lebih berat dibanding kedua habitat lainnya. Udang putih yang tertangkap tidak menunjukkan adanya perbedaan jumlah hasil tangkapan berdasarkan habitat/lokasi tetapi berbeda menurut waktu penangkapan. Berat hasil tangkapan berbeda menurut habitat dan waktu penangkapan. Artinya walaupun penangkapan udang dilakukan waktu yang berbeda tetapi tidak menunjukkan adanya perbedaan jumlah tangkapan, tetapi berdasarkan berat berbeda pada setiap habitat. Hal ini menunjukkan adanya variasi berat udang putih pada ketiga habitat. Dimana berat udang putih yang tertangkap di muara sungai lebih banyak dibanding kedua habitat lainnya. Kemungkinan hal ini disebabkan karena udang yang tertangkap di mangrove adalah udang-udang yang sudah berukuran besar karena sebagaimana kita ketahui bahwa udang memijah di sekitar hutan bakau atau mangrove.
92
Berdasarkan total jumlah hasil tangkapan ikan (selain kepiting dan udang) yang tertangkap berbeda menurut waktu penangkapan tetapi tidak berbeda menurut habitat/lokasi. Sementara berat total hasil tangkapan ikan berbeda menurut habitat/lokasi dan waktu penangkapan. Artinya waktu penangkapan tidak mempengaruhi total jumlah hasil tangkapan, sedangkan waktu yang berbeda mempengaruhi total berat hasil tangkapan setiap habitat. Dimana berat total hasil tangkapan di mangrove lebih banyak dibanding di lamun, sedangkan di muara sungai tidak berbeda dari kedua habitat tersebut. Jumlah dan berat total hasil tangkapan berdasarkan waktu penangkapan terlihat bahwa jumlah hasil tangkapan cenderung berfluktuasi selama penelitian (Gambar 12 & 13). Dimana jumlah hasil tangkapan pada akhir bulan Januari mulai menurun sampai pada awal Februari, dan kembali terjadi peningkatan jumlah dan berat total hasil tangkapan mulai akhir Februari sampai awal April, dan kembali menurun pada pertengahan April. Berfluktuasinya hasil tangkapan sero selama penelitian memberikan ilustrasi bahwa musim penangkapan ikan dengan alat tangkap sero di perairan pantai Pitumpanua mulai bulan Januari – April, dengan puncak penangkapan pada bulan Maret sampai pertengahan April. Hal ini didukung penelitian Budiman et al. (2006) bahwa penangkapan ikan demersal di pesisir Kendal dengan alat tangkap cantrang terjadi musim penangkapan pada bulan Januari, Maret, April, dan puncak musim terjadi pada bulan Maret – April. Terjadinya fluktuasi hasil tangkapan kemungkinan lebih cenderung dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan. Hal ini terkait dengan pola kehidupan ikan yang tidak bisa dipisahkan dengan adanya berbagai faktor lingkungan (Luasunaung et al. 2008) lebih lanjut bahwa faktor fisik yang paling berpengaruh keberadaan sumberdaya ikan adalah suhu dan salinitas. Laevastu dan Hayes (1982) dalam Luasunaung et al. (2008) adanya perubahan baik suhu maupun salinitas akan mempengaruhi keadaan organisme di suatu perairan. Marwoto et al. (2006) mengatakan bahwa distribusi ikan di laut sangat ditentukan oleh faktor internal dan eksternal dari lingkungan diantaranya parameter oseanografis seperti suhu, salinitas, densitas dan kedalaman, lapisan termoklin, arus dan sirkulasi massa air, oksigen serta kelimpahan makanan.
93
Hasil tangkapan di daerah lamun lebih banyak dibanding di muara sungai dan mangrove. Hal ini kemungkinan karena pada daerah lamun memiliki produktivitas sekunder dan dukungan yang besar terhadap kelimpahan dan keragaman ikan (Gilanders 2006) sehingga padang lamun merupakan tempat berbagai jenis ikan berlindung, mencari makan, bertelur, dan membesarkan anaknya. Sejalan yang dikemukan oleh Bell dan Pollard (1989) dalam Rappe (2010) mengindentifikasi karakteristik utama kumpulan ikan yang berasosiasi dengan lamun dikatakan bahwa : (1) keanekaragaman dan kelimpahan ikan di padang lamun biasanya lebih tinggi daripada substrat kosong, (2) sebagian besar asosiasi ikan dengan padang lamun didapatkan dari plankton sehingga padang lamun adalah daerah asuhan untuk banyak spesies, (3) zooplankton dan epifauna krustasean adalah makanan utama ikan yang berasosiasi dengan lamun, dengan tumbuhan, pengurai, dan komponen infauna dari jaring-jaring makanan di lamun yang dimanfaatkan oleh ikan, (5) hubungan yang kuat terjadi antara padang lamun dan habitat yang berbatasan, kelimpahan relatif dan komposisi spesies ikan di padang lamun menjadi tergantung pada pada tipe (terumbu karang, estuaria, mangrove) dan jarak dari habitat yang terdekat.
6.4.4 Hubungan Panjang-Berat Hasil Tangkapan Analisis biometri menyimpulkan bahwa semua jenis hasil tangkapan pada 3 (tiga) habitat bersifat allometrik negatif. Artinya pertambahan panjang ikan tidak secepat dengan pertambahan beratnya (Gambar 14 & 15, Lampiran 16). Jenis hasil tangkapan yang menghampiri nilai b = 3 yaitu ikan biji nangka dan jenis ikan yang memiliki nilai b paling kecil yaitu ikan baronang lingkis. Hasil analisis biometri menunjukkan bahwa jenis ikan biji nangka, baronang lingkis, lencam, kuwe, dan baronang memiliki nilai b pada habitat lamun lebih tinggi bila dibandingkan dengan kedua habitat lainnya. Kemungkinan disebabkan karena pada daerah lamun cukup tersedia sumber makanan, sehingga tidak salah bila dikatakan bahwa daerah lamun sebagai tempat mencari makanan bagi ikan atau biota lainnya yang berasosiasi dengannya. Jenis ikan tersebut merupakan ikan-ikan karang. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Soadiq (2010) bahwa ikanikan karang yang tertangkap dengan fyke net di sekitar karang seperti famili
94
Serranidae, Lethrinidae, Lutjanidae, Mullidae, Nemipteridae, Plotoseidae, dan Haemulidae diduga tertangkap karena sifat ini bermigrasi keluar karang secara horizontal untuk mencari makanan . Hubungan panjang-berat ikan kuniran yang ditemukan di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone di habitat lamun tidak berbeda jauh yang ditemukan di perairan Demak yaitu allometrik negatif dengan nilai b = 2,918 (Saputra et al. 2009). Nilai b tersebut menghampiri nilai b = 3, artinya pertumbuhan panjang ikan kuniran di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone hampir seimbang dengan pertumbuhan berat tubuhnya. Berbeda yang ditemukan oleh Sjafei & Susilawati (2001) pertumbuhan ikan biji nangka yang didapatkan bersifat isometrik. Ikanikan lainnya yang didapatkan di perairan pantai Pitumpanua mempunyai nilai b jauh lebih kecil dari nilai 3. Hal ini bisa dijelaskan bahwa pertumbuhan ikan kurus atau pertumbuhan panjang lebih cepat dibanding beratnya. Ikan kapas-kapas, pepetek, kerong-kerong, barakuda, dan udang putih mempunyai nilai b yang hampir seragam (sama) pada ketiga habitat. Artinya pertumbuhan jenis ikan tersebut tidak di pengaruhi oleh adanya faktor habitat. Berbeda dengan kepiting rajungan didapatkan pada habitat mangrove nilai b lebih besar dibanding dengan habitat lainnya. Kemungkinan hal ini terjadi karena kepiting rajungan di daerah mangrove masih pada tahap juvenil yang tertangkap sehingga pertumbuhan lebih cepat dibandingkan kepiting dewasa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa walaupun dari segi jumlah lebih banyak ditemukan di daerah mangrove tetapi berat total lebih kecil dibanding pada habitat lamun, sehingga bisa disimpulkan bahwa kepiting yang tertangkap di habitat mangrove adalah ukurannya hampir sama dengan ukuran yang kecil. Pernyataan ini dibenarkan oleh Adam (2006) bahwa semakin jauh dari pantai, ukuran tubuh dan bobot rajungan semakin meningkat. Lebih lanjut mempertegas bahwa kepiting rajungan pada fase juvenil sampai dewasa berada pada daerah estuaria dalam hal ini pantai.
95
6.4.5 Hubungan Berat Hasil Tangkapan dengan Parameter Lingkungan Sesuai dengan hasil analisis yang disajikan dalam Tabel (12) terlihat bahwa suhu dan DO sangat dominan mempengaruhi total berat hasil tangkapan. Hasil tangkapan berat total ikan cenderung meningkat dengan menurunnya suhu dan meningkatnya kadar DO. Hubungan yang menunjukkan meningkatnya berat total hasil tangkapan dengan menurunnya suhu mengindikasikan bahwa keseluruhan jenis ikan yang tertangkap dengan sero di sekitar pantai di lokasi penelitian kemungkinan lebih menyukai air yang bersuhu lebih rendah di sekitar muara sehingga populasinya meningkat ketika masukan air tawar yang lebih dingin banyak yang masuk ke wilayah pantai melalui aliran sungai. Sementara pengaruh kadar DO yang berbanding lurus dengan hasil tangkapan menunjukkan bahwa kadar DO yang lebih tinggi memungkinkan lebih banyaknya ikan dan juga berpengaruh langsung terhadap proses fisiologis respirasi ikan. Kondisi ini umum terjadi seperti didapatkan oleh Ridho (1999) di perairan pantai barat Sumatera bahwa tingginya keanekaragaman ikan dan keseragaman ikan demersal dipengaruhi oleh salinitas yang rendah serta kadar oksigen terlarut (DO) dan suhu yang tinggi. Sedangkan distribusi jenis-jenis ikan demersal di perairan Laut Cina Selatan dipengaruhi oleh faktor suhu, salinitas, kecerahan,
dan kedalaman
perairan (Ridho 2004). Pengaruh parameter lingkungan yang dominan pengaruhnya terhadap berat hasil tangkapan nampak bervariasi diantara jenis ikan.
Suhu dominan
berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan kapas-kapas dan kuwe. Salinitas dan pH berpengaruh dominan terhadap ikan kerong-kerong. Kecepatan arus berpengaruh dominan terhadap ikan baronang lingkis, kapas-kapas, lencam dan kuwe. Klorofil a terlihat dominan pengaruhnya terhadap berat hasil tangkapan ikan biji nagka, kerong-kerong, kapas-kapas, dan lencam.
Fitoplankton
berpengaruh dominan terhadap ikan Kuwe sedangkan zooplankton berpengaruh dominan terhadap ikan kerong-kerong. Hubungan yang signifikan antara berat hasil tangkapan dengan parameter lingkungan yang bervariasi pada setiap jenis ikan menunjukkan bahwa setiap jenis ikan memiliki respon dan prevarensi habitat berdasarkan karakteristik lingkungannya. Perlu diketahui bahwa hubungan linier yang signifikan yang
96
ditunjukkan dalam analisis tersebut dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Hubungan langsung yang paling mungkin terjadi secara teoritis adalah pengaruh parameter fisika kimia yang memang dapat berpengaruh langsung terhadap aktivitas biologis dan fisiologis setiap jenis ikan. Sementara pengaruh parameter biologi seperti klorofil-a, kelimpahan fitoplankton dan zooplankton dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh
tidak
langsung
dapat
terjadi
karena
parameter
biologi
mempengaruhi makanan atau predator terhadap suatu jenis ikan. Sebagai contoh terlihat dari pengaruh dominan klorofil a terhadap ikan biji nangka sebagai ikan omnivor yang tidak mengkonsumsi langsung fitoplankton yang mengandung klorofil a. Mekanisme pengaruh tidak langsung klorofil a terhadap ikan biji nangka dapat saja terjadi karena klorofil a mempengaruhi kelimpahan zooplankton yang selanjutnya mempengaruhi salah satu makanan ikan biji nangka yaitu udang-udangan
yang
banyak mengkonsumsi zooplankton.
Hal ini
menyebabkan semakin meningkatnya jumlah ikan biji nangka dengan meningkatnya kandungan klorofil a dalam perairan. Hal serupa terjadi pada ikan kuwe yang menunjukkan pengaruh dominan zooplankton sedangkan ikan kuwe tidak mengkonsumsi langsung zooplankton. Variasi pengaruh parameter lingkungan terhadap setiap jenis ikan dapat menjelaskan terjadinya variasi perbedaan jumlah dan berat hasil tangkapan berdasarkan waktu dan lokasi (habitat). Variasi lingkungan yang terlihat antara muaras sungai, lamun dan sekitar daerah mangrove mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung pertumbuhan dan kelangsungan hidup setiap spesies ikan yang tertangkap dengan sero Pengaruh parameter lingkungan bukan saja dapat bervariasi antar spesies tetapi dalam spesies yang sama respon dan toleransi ikan dapat berbeda terhadap paremater lingkungan. Hal ini sangat mendukung sebagai alasan sehingga terlihat adanya variasi ukuran rata-rata hasil tangkapan yang relatif berbeda antar habitat pada beberapa jenis ikan yang didapatkan dalam penelitian ini. Fakta ini terlihat dari analisis hasil tangkapan yang menunjukkan jumlah tangkapan yang sama pada beberapa jenis ikan namun menunjukkan perbedaan dalam berat.
97
6.4.6 Asosiasi antara Hasil Tangkapan Dominan dan Habitat Hasil analisis FCA menunjukkan bahwa terdapat asosiasi antara hasil tangkapan (jenis ikan) dengan habitat dan waktu tertentu di lokasi penelitian (Gambar 17 & 18). Ditemukan 6 (enam) jenis ikan yang berasosiasi di habitat lamun yaitu ikan biji nangka, baronang, baronang lingkis, kerong-kerong, barakuda, dan kuwe. Ditemukannya jumlah ikan di habitat lamun lebih tinggi dibanding kedua habitat lainnya kemungkinan karena pada daerah lamun merupakan tempat berbagai jenis ikan berlindung, mencari makan, bertelur, dan membesarkan anaknya. Hal ini dipertegas oleh Gilanders (2006) bahwa daerah lamun memiliki kelimpahan dan keragaman ikan yang tinggi karena dukungan produktivitas sekunder. Jenis-jenis ikan yang ditemukan di habitat lamun tersebut merupakan ikan-ikan yang juga berasosiasi dengan habitat lain. Penelitian ini sama yang ditemukan oleh Fahmi & Adrim (2009) bahwa jenis ikan-ikan yang ditemukan pada lamun di Kepulauan Riau umumnya merupakan ikan-ikan yang berasosiasi dengan habitat lain dan menjadikan padang lamun sebagai daerah asuhan, pembesaran dan tempat mencari makanan. Ternyata jenis ikan yang didapatkan oleh Fahmi & Adrim (2009) berbeda yang ditemukan di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone. Dikatakan bahwa jenis Leiognathus spp dan Gerres spp merupakan jenis ikan yang banyak ditemukan di padang lamun sedangkan di lokasi penelitian ini, kedua jenis ikan tersebut lebih banyak ditemukan/berasosiasi pada daerah mangrove. Jenis-jenis ikan yang berasosiasi di habitat lamun di perairan pantai Pitumpanua termasuk kedalam famili Siganidae, Theraponidae, dan Mulidae. Famili-famili tersebut sama yang ditemukan di Teluk Kotania dan Pelitajaya (Supriyadi 2009), hal ini kemungkinan disebabkan karena jenis lamun yang banyak ditemukan di kedua daerah tersebut dari jenis Enhalus acoroides. Hal ini diperkuat oleh Rappe (2010) bahwa ditemukannya ikan baronang dan baronang lingkis di stasiun LPO (lamun padat monospesifik) diduga disebabkan antara lain karena ikan tersebut memiliki kebiasaan hidup bergerombol di daerah padang lamun, terutama lamun monospesifik yang hanya disusun oleh jenis Enhalus acoroides. Selanjutnya dikatakan bahwa dari 14 famili yang ditemukan di padang
98
lamun Pulau Barrang Lompo, 2 (dua) diantaranya ditemukan di perairan pantai Pitumpanua yaitu famili Siganidae dan Sphhyraenidae. Ikan lencam, kapas-kapas, dan pepetek lebih berasosiasi dengan habitat dekat mangrove. Ikan kapas-kapas sebenarnya ikan yang hidupnya lebih banyak di estuaria, namun pada saat penelitian ini ditemukan lebih berasosiasi pada daerah dekat mangrove, kemungkinan jenis ikan tersebut mencari tempat pemijahan pada daerah sekitar mangrove. Sebagaimana yang dikemukan oleh Blaber (1997) dalam Sjafei dan Syaputra (2009) bahwa jenis ikan ini di Natal, Afrika Selatan meninggalkan estuaria saat ingin melakukan pemijahan. Lebih lanjut dikatakan bahwa musim pemijahan biasanya pada bulan Februari, musim pemijahan ini bertepatan pada saat melakukan penelitian. Udang putih dan rajungan berasosiasi dengan muara sungai (Gambar 15). Kedua jenis krustasea ini kemungkinan lebih dipengaruhi oleh sebagian daur hidupnya berada di daerah pesisir pantai seperti estuaria dan sebagian di laut (Saputra & Subiyanto 2007; Suharyanto & Tjaronge 2009). Pasquier & Pẻrez (2004) bahwa udang putih dan kepiting rajungan keberadaan hidupnya pada masa juvenile di pantai atau estuaria dan dewasa bermigrasi ke laut terbuka.
6.5
KESIMPULAN DAN SARAN
6.5.1 Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Komposisi hasil tangkapan dari jumlah hasil tangkapan paling banyak ditemukan yaitu ikan pepetek, sedangkan berat (biomassa) hasil tangkapan yaitu ikan barakuda. 2. Total jumlah hasil tangkapan ikan yang tertangkap berbeda menurut waktu penangkapan tetapi tidak berbeda menurut habitat. Sementara berat total hasil tangkapan ikan berbeda menurut habitat/lokasi dan waktu penangkapan. 3. Kisaran panjang total ikan yang tertangkap masih lebih banyak yang berukuran juvenil atau ikan-ikan muda. 4. Hubungan panjang-berat hasil tangkapan pada semua habitat bersifat allometrik negatif.
99
5. Parameter lingkungan yang sangat dominan pengaruhnya terhadap total berat hasil tangkapan sero yaitu parameter suhu dan kadar oksigen terlarut (DO). 6. Ada perbedaan komunitas ikan pada ketiga habitat. Ikan biji nangka, baronang lingkis, kerong-kerong, kuwe, baronang, dan barakuda lebih berasosiasi pada habitat lamun. Ikan pepetek, kapas-kapas, dan lencam lebih berasosiasi pada daerah sekitar mangrove. Kepiting rajungan dan udang putih lebih berasosiasi pada muara sungai.
6.5.2 Saran Sebaiknya dipertimbangkan pengelolaan sero di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone saat ini karena terbukti kisaran panjang total ikan yang tertangkap lebih banyak yang berukuran juvenil atau ikan-ikan muda. Perlu kiranya regulasi untuk memperbesar mata jaring alat tangkap sero untuk meloloskan ikan-ikan yang masih mudah.
.
100
101
7 7.1
SELEKTIVITAS MATA JARING EXPERIMENTAL CRIB 4 CM PADA CRIB SERO PENDAHULUAN Perairan pantai yang terdiri dari berbagai ekosistem seperti lamun, terumbu
karang, mangrove, dan muara sungai memiliki berbagai peran sebagai darerah pemijahan, perlindungan, pembesaran, dan tempat mencari makanan. Oleh karena itu daerah penangkapan sero di pantai dihuni oleh berbagai jenis dan ukuran biota laut termasuk ikan yang menjadi target penangkapan. Sero yang dioperasikan dengan ukuran tertentu jelas memiliki selektivitas tertentu dan sangat besar kemungkinannya bervariasi menurut spesies dan habitat. Sero dengan ukuran mata jaring tertentu dapat saja selektif terhadap salah satu jenis ikan tertentu tetapi tidak selektif terhadap jenis ikan lainnya pada habitat tertentu. Hal ini disebabkan perbedaan persebaran ukuran berdasarkan habitat. Sehubungan dengan hal itu maka kajian mengenai selektivitas sero yang mengkaji secara simultan berdasarkan jenis ikan dan habitat daerah penangkapan sero sangat penting dilaksanakan agar dapat menentukan tingkat selektivitas sero terhadap jenis ikan berdasarkan habitat yang ada di perairan pantai. Kajian mengenai selektivitas sero yang ada saat ini umumnya terbatas pada habitat tertentu saja dan sangat jarang melihat sekaligus berdasarkan jenis dan habitat daerah penangkapan alat tangkap sero. Mengkaji selektivitas mata jaring sero pada beberapa jenis ikan yang dominan tertangkap pada 3 (tiga) tipe habitat di perairan pantai Pitumpanua maka diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kesesuaian ukuran mata jaring dengan lokasi pemasangan sero di pantai sehingga dari aspek selektivitas mata jaring sero tetap ramah terhadap lingkungan. Apalagi dalam penelitian ini secara serentak juga dilihat perbandingan hasil tangkapan pada ketiga tipe habitat tersebut. Hasil analisis selektivitas yang dihasilkan dari penelitian ini dapat menjadi referensi dan pertimbangan dalam regulasi operasional sero di perairan pantai khususnya kelayakan ukuran mata jaring dan habitat daerah pemasangannya. Meskipun dalam penelitian ini hanya menggunakan satu jenis ukuran mata jaring, namun dapat menunjukkan bahwa apakah ukuran yang digunakan sebaiknya ditingkatkan agar dapat selektif terhadap salah satu atau beberapa jenis ikan yang
102
dominan tertangkap apabila sero akan dipasang di muara sungai, perairan di sekitar mangrove atau lamun. Pemasangan alat tangkap sero maupun penggunaan bahan alat tangkap sero oleh nelayan di perairan pantai Pitumpanua tidak didasari pertimbangan yang cermat. Hal ini disebabkan karena selain kurangnya sosialisasi dari pemerintah setempat, juga karena tidak adanya dasar kebijakan yang tepat untuk pengelolaan perikanan sero di daerah ini. Selama ini penangkapan sero di perairan pantai Pitumpanua berlangsung terus menerus sepanjang tahun dengan menggunakan mata jaring ukuran yang sangat kecil (0,5 cm). Bila hal tersebut dibiarkan, maka tentunya berdampak pada berkurangnya stok sumberdaya pada masa akan datang, karena dengan ukuran mata jaring yang sangat kecil tentunya ikan-ikan muda tidak dapat meloloskan diri untuk berkembang biak sebelum ditangkap. Parahnya lagi karena alat tangkap ini di pasang pada daerah pantai yang merupakan daerah pemijahan dan pembesaran bagi juvenile berbagai jenis ikan dan biota lainnya. Kajian ini bertujuan untuk menghitung proporsi ukuran layak tangkap setiap jenis ikan yang tertangkap pada experimental crib dan menganalisis L50%, setiap jenis ikan yang dominan tertangkap dengan sero di perairan pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo Teluk Bone. Manfaat yang diharapkan yaitu sebagai dasar untuk menentukan kebijakan pengelolaan perikanan dalam hal pengaturan mata jaring yang selektif pada daerah penangkapan sero sehingga sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
7.2
METODE PENELITIAN
7.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan pembuatan desain kantong bunuhan (experimental crib) dilakukan pada tanggal 18 Nopember 2010 – 10 Januari 2011. Experimental fishing dilakukan pada tanggal 15 Januari – 14 Mei 2011 di perairan pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone.
103
7.2.2 Alat dan bahan Alat dan bahan yang digunakan untuk pembuatan desain experimental crib dan experimental fishing adalah sebagai berikut : Tabel 13 Jenis alat dan bahan yang digunakan pembuatan desain experimental crib dan experimental fishing selama penelitian No Alat dan bahan
Jumlah
Kegunaan
Pembuatan desain experimental crib 1 2 3 4 5 6
Jaring trawl D12x11/2 Benang trawl D9 Coban Tali nilon no 4 dan 5 Gunting Meteran
7,7 kg 4 rol 4 buah 4 kg 1 buah 1 buah
Desain jaring pengukuran selektivitas Benang jahit pembuatan experimental crib Untuk menjurai /menjahit jaring Tali ris experimental crib Untuk keperluan memotong benang Untuk pengukuran
1 unit 3 unit 3 buah 2 kg 4 buah 1 buah * 3 buah 1 unit 1 buah * * *
Sebagai sarana transportasi Experimental fishing Mengambil hasil tangkapan Tali kolor experimental crib Mengukur panjang ikan Mengukur mata jaring dan waring Tempat hasil tangkapan yang sudah disortir Penyimpanan hasil tangkapan Menimbang sampel ikan per ekor Pengambilan gambar Mengetahui jenis ikan Mencatat data Digunakan di lapangan
Kegiatan experimental fishing Perahu motor Sero Serok Tali nilon no 4 dan 5 Measuring Board Mikrometer skrup (caliper) Plastik sample Cool Box/kulkas Timbangan Analitik Kamera digital Buku identifikasi ikan Alat tulis/data sheet Alat bantu lainnya
7.2.3 Percobaan Penangkapan Ikan Kegiatan percobaan penangkapan dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu : tahapan desain experimental crib, tahapan pembuatan experimental crib, tahapan pemasangan experimental crib, dan tahapan proses pengambilan hasil tangkapan. Hasil tangkapan yang didapatkan dari experimental crib dan cover-net dianalisis untuk melihat sejauhmana kesesuaian mata jaring yang diujicobakan pada ketiga habitat.
7.2.3.1 Tahapan desain experimental crib Percobaan pada alat tangkap sero ini hanya pada bagian bunuhan yang dimodifikasi dengan cara ketiga sero yang telah ditentukan pada daerah penangkapan berbeda diberikan experimental crib yang ukuran mata jaringnya
104
sama yaitu 4 cm yang berfungsi sebagai bunuhan percobaan sedangkan jaring bunuhan aslinya berfungsi sebagai cover-net. Ukuran dari experimental crib tersebut yaitu panjang dan lebar jaringnya 2 m x 2 m, sedangkan crib asli berukuran 4 m x 5 m. Jarak dinding experimental crib dengan dinding cover-net sebelah kiri dan kanan yaitu 0,5 m, bagian belakang 1 m dan bagian depan berhimpit sedangkan bagian dasar atau bawah experimental crib dengan cover-net jaraknya 0,5 m.
Gambar 17 Proses pembuatan desain experimental crib sero.
105
5 m C r ib
a s li 1 m 2 m E x p e rim e n t a l c rib
0 .5 m
4 m
A
2 m
0 .2 m
2 .5 m
B 3 m 0 .5 m
1 m
3 .5 m
C
0 .7 m 1 m
20 m
D
2 m 10
E
m
100 m
A = B E C B = P C = B D = S E = P
u n u h a n ( c r ib ) x p . C r ib r ib a s l i e ru t ( b e l l y ) a da n (b o d y ) a y a p ( w in g ) e n a ju
Gambar 18 Desain experimental crib pada alat tangkap sero.
7.2.3.2 Tahapan pembuatan experimental crib Tahapan pembuatan experimental crib pada alat tangkap sero adalah sebagai berikut : (1) Bahan yang digunakan adalah jaring trawl yang terbuat dari polyethylen berwarna hijau dengan ukuran mata jaring 4 cm. (2) Semua jaring tersebut dilakukan pemotongan secara all bar dengan ukuran setiap lembar jaring 2 m (3) Jumlah lembaran jaring yang diperlukan untuk satu experimental crib yaitu 5 lembaran dengan ukuran yang sama besar (4) Tiap lembaran jaring dijurai membentuk empat persegi panjang dengan ukuran (p x l x t) 2 m x 2 m x 3 m, yang berfungsi sebagai experimental crib. (5) Setiap pinggiran jaring yang telah digunting diberikan tali ris sebagai penguat jaring dimana diameter tali sebesar 0,5 cm
106
(6) Pada bagian depan jaring experimental crib dan cover-netnya dibuatkan mulut yang berfungsi sebagai pintu masuk ikan dengan lebar pintu yaitu 0,2 m (7) Semua sudut jaring dan bagian depan jaring diberikan tali penarik yang berfungsi untuk mengencangkan experimental crib, agar jaring tertata dengan sempurna bila dipasang di perairan.
7.2.3.3 Tahapan pemasangan experimental crib Tahapan pemasangan experimental crib pada bagian bunuhan sero adalah sebagai berikut : (1) Experimental crib yang telah dibuat dipasang pada bagian dalam bunuhan asli dalam hal ini yang berfungsi juga sebagai cover-net yang terbuat dari waring dengan mata jaring 0,5 cm dengan ukuran 4 m x 5 m x 3,5 m (2) Bagian mulut experimental crib dipasang sejajar dengan mulut cover-net (3) Tali penarik yang dipasang pada bagian bawah dan sudut experimental crib melalui sisi cover-net, kemudian tali penarik tersebut dikencangkan dan diikat pada tiang yang terpancang pada sisi cover-net tersebut (4) Jaring experimental crib yang dipasang diberikan jarak, baik dari sisi depan, belakang, kiri dan kanan serta sisi bagian bawah, agar ikan diharapkan untuk memberikan ruang gerak untuk meloloskan diri keluar dari jaring experimental crib bila ukuran girth maximum ikan tersebut lebih kecil dari ukuran mata jaring dari experimental crib (5) Jaring experimental crib dan cover net dari bagian sisi depan berhimpit dan sisi belakang berjarak 1 m, sedangkan bagian sisi kanan dan kiri yaitu 0,5 m, begitu pula dengan sisi bagian bawah jaraknya dari cover-net yaitu 0,5 m. (6) Setelah proses pemasangan experimental crib telah selesai semua tali penarik dari tiap sudut experimental crib yang melewati sisi cover-net, dikencangkan dengan cara ditarik agar experimental crib tertata dengan sempurna atau tidak kendur, kemudian diikat pada tiang yang telah dipasang di samping cover-net.
107
Gambar 19 Pemasangan jaring experimental crib pada alat tangkap sero. 7.2.3.4 Tahapan pengambilan hasil tangkapan Tahapan pengambilan hasil tangkapan pada experimental crib pada bagian bunuhan sero adalah sebagai berikut : (1) Kegiatan pengambilan hasil tangkapan sero dilakukan hanya sekali sehari yaitu pada pagi hari (2) Pelaksanaan hauling dilakukan di atas bunuhan sero dengan cara yaitu semua tali kolor baik dari tali kolor dari experimental crib (cod-end) maupun tali cover-net dibuka secara bersamaan dengan perlahan-lahan. (3) Mulut depan bunuhan diangkat terlebih dahulu secara bersamaan baik itu codend maupu cover-net dengan tujuan agar ikan-ikan tidak bisa lagi meloloskan diri keluar dari tempat dimana ikan tersebut tersaring/tertahan. (4) Perlahan-lahan kedua jaring tersebut diangkat sampai ketinggian air dalam jaring sekitar 80 cm. (5) Hasil tangkapan pada cod-end terlebih dahulu diambil dengan menggunakan serok (bunre’), disusul hasil tangkapan pada cod-end sero. Hasil tangkapannya dipisahkan.
108
(6) Setelah pengambilan hasil tangkapan selesai, jaring kembali dibuang/dipasang untuk proses penangkapan selanjutnya. (7) Kegiatan penangkapan berlangsung pada 3 (tiga) unit sero pada daerah penangkapan yang berbeda.
7.2.4 Metode Pengukuran Metode pengukuran untuk menentukan kesesuaian mata jaring sero pada 3 (tiga) daerah penangkapan dilakukan dengan cara yaitu dengan cara setiap hasil tangkapan yang tertahan pada mata jaring (experimental crib) yang terpasang dipisahkan dengan yang tertahan pada cover-net sero pada setiap daerah penangkapan. Alat tangkap sero yang mempunyai hasil tangkapan banyak hanya diambil 15% total hasil tangkapan sedangkan sero yang hasil tangkapan sedikit semua diambil untuk keperluan analisis. Sampel yang terambil/terwakili kemudian diidentifikasi berdasarkan jenisnya kemudian dipisahkan, apabila sampel terlalu banyak maka sampel diawetkan sebagian dan dilakukan pengukuran panjang total ikan dan berat ikan secara bertahap. Pengukuran panjang ikan dengan measuring board dan berat ikan menggunakan timbangan analitik dengan ketelitian 0,1 gram Kegiatan penangkapan selama penelitian untuk keperluan analisis kelayakan mata jaring dilakukan sebanyak 16 kali trip. Pengambilan hasil tangkapan dilakukan hanya sekali seminggu selama 4 bulan pada 3 (tiga) unit sero yang diberikan experimental crib pada masing-masing daerah penangkapan (habitat).
7.2.5 Analisis Data 7.2.5.1 Perbandingan komposisi dan proporsi ukuran ikan layak tangkap Untuk menghitung komposisi ukuran ikan layak tangkap yang tertahan pada experimetal crib di setiap habitat dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1. Hasil tangkapan sero di setiap habitat dipisahkan berdasarkan setiap jenis ikan; 2. Menghitung jumlah dan frekuensi panjang ikan yang tertangkap;
109
3. Membandingkan
ukuran
ikan
yang
tertangkap
dengan
length
at first maturity (Lmat) yang dilaporkan oleh beberapa peneliti sebelumnya; 4. Menghitung proporsi ikan yang layak tangkap berdasarkan length at first maturity dari total ikan yang tertangkap; 5. Membuat tabel dan grafik terhadap ikan yang layak tertangkap dari setiap jenis ikan dominan tertangkap berdasarkan habitat. 7.2.5.2 Perbandingan jumlah hasil tangkapan pada experimental crib Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian experimental crib sero adalah rancangan acak kelompok (RAK). Perlakuan adalah tiga habitat (muara sungai, mangrove, dan lamun). Ulangan adalah 16 blok waktu penangkapan hasil tangkapan. Model matematis rancangan tersebut sebagai berikut: Yij = µ + Hi +Tj + εij......................................................................(7) Dimana : i = 1, 2, 3 dan j = 1, 2, 3 .....16 Yij = Respon pengamatan pada experimental crib ke-i dan kelompok ke-j µ = Nilai rataan umum Hi = pengaruh experimental crib ke-i (habitat i = 1,2, dan 3); Tj = pengaruh kelompok (blok) waktu penangkapan ke-j; εijk = Galat percobaan dari perlakuan ke-I dan kelompok ke-j. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA). Analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS Release 15.0. Untuk membandingkan antar habitat yang berbeda jika hasil uji F dalam ANOVA signifikan berbeda maka digunakan uji lanjut menggunakan uji beda rerata Tukey (Tukey’s HSD Test) (Zar 1984 dan Petersen 1985).
7.2.5.3 Analisis selektivitas mata jaring 4 cm Analisis selektivitas mata jaring 4 cm dalam hal ini sebagai experimental crib dari setiap unit sero didekati dengan menggunakan model logistik seperti yang biasa dilakukan dalam kajian selektivitas trawl (Paloheimo dan Cadima 1964, Kimura 1977 dan Hoydal et al. 1982 dalam Sparre dan Venema 1999). Pendekatan ini mengandalkan data komposisi ukuran ikan dan proporsi ikan yang tertangkap.
110
S (L ) =
Dimana :
SL =
1 ………..……………………............(8) [1 + exp (a − b * L )]
∑ ikan dengan length L dalam exp erimental crib
∑ ikan dengan length L dalam exp erimental crib & cov er − net
……….(9)
Dari persamaan di atas dapat dituliskan kembali sebagai : ⎤ ⎡1 ln ⎢ − 1⎥ = a − b * L …………………………...……..…….(10) ⎦ ⎣SL Persamaan di atas dapat mewakili garis lurus. Dengan demikian observasi terhadap bagian yang ditahan dapat digunakan untuk menentukan kurva logistik yang sesuai terhadap observasi-observasi tersebut. Untuk menghitung kisaran panjang total ikan yang tertangkap pada experimental crib sero dengan peluang tertangkap sebesar 50% dengan rumus sebagai berikut : L50% =
a ………………………………………………..…..(11) b
111
7.3
HASIL PENELITIAN
7.3.1 Komposisi dan Proporsi Layak Tangkap pada Experimental Crib Komposisi jenis hasil tangkapan yang tertahan pada jaring experimental crib alat tangkap sero yang dioperasikan pada habitat berbeda di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone (Tabel 15) berikut. Tabel 15 Komposisi jenis hasil tangkapan yang tertahan dan meloloskan diri pada jaring experimental crib sero di habitat berbeda selama penelitian
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jenis Ikan Rajungan Kerong kerong Barakuda Kuwe Lencam Baronang lingkis Baronang Pepetek Biji nangka Kapas kapas
Muara (%) Tertahan Lolos 100,00 0,00 72,26 27,74 78,53 21,47 67,86 32,14 58,55 41,45 63,51 36,49 63,68 36,32 64,49 35,51 42,92 57,08 34,54 65,46
Habitat Mangrove (%) Tertahan Lolos 100,00 0,00 71,32 28,68 62,44 37,56 68,73 31,27 62,78 37,22 61,32 38,68 59,17 40,83 62,27 37,73 34,53 65,47 40,08 59,92
Lamun (%) Tertahan Lolos 100,00 0,00 67,78 32,22 55,81 44,19 58,12 41,88 73,05 26,95 69,54 30,46 62,83 37,17 54,43 45,57 34,59 65,41 34,05 65,95
Adapun proporsi jumlah hasil tangkapan yang layak tangkap yang tertahan pada experimental crib yaitu 5 (lima) jenis ikan tertangkap di atas 50,0% dari ukuran layak tangkap dan selebihnya masih di bawah 50,0% layak tangkap (Tabel 16 dan Gambar 20). Tabel 16 Proporsi ukuran layak tangkap hasil tangkapan yang tertahan pada jaring experimental crib selama penelitian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jenis ikan Pepetek Kapas-kapas Barakuda Kerong kerong Biji nangka K. rajungan B. lingkis Lencam Baronang Kuwe
Muara Sungai (%) 80,21 64,93 58,59 54,43 51,83 33,96 30,39 12,36 21,48 0
Mangrove (%) Lamun (%) Rata-rata (%) 81,47 71,75 77,81 83,51 42,59 63,68 67,39 61,11 62,36 60,14 65,35 59,97 46,40 51,72 50,00 33,33 77,97 48,42 34,02 38,46 34,29 16,39 11,43 13,39 14,79 11,52 15,93 0 0 0
112
Gambar 20 Rata-rata ukuran layak tangkap hasil tangkapan yang tertahan pada experimental crib selama penelitian di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone. 7.3.2 Nilai L50% Setiap Jenis Ikan yang Tertangkap pada Experimental Crib Hasil perhitungan parameter kurva selektivitas dengan menggunakan metode Sparre-Venema dengan menutupi experimental crib dengan cover-net yaitu terlihat bahwa L50% dari setiap jenis ikan yang sama dan jenis lainnya yaitu berbeda pada setiap habitat (Tabel 17, Gambar 21-22, dan Lampiran 28-30). Tabel 17 Nilai L50% ± standar deviasi (SD) setiap jenis ikan berdasarkan habitat selama penelitian Jenis ikan Biji nangka Baronang lingkis Kerong-kerong Lencam Pepetek Kapas-kapas Kuwe Baronang Barakuda
Muara sungai Mangrove Lamun Lmat 10,2 ± 0,55 10,5 ± 0,64 11,4 ± 0,48 12,0A 8,0 ± 1,48 11,9 ± 0,89 12,0 ± 0,67 17,0B 12,8 ± 1,08 13,2 ± 1,57 12,9 ± 2,41 18,0C 14,4 ± 0,84 13,4 ± 0,15 14,6 ± 0,94 18,2D 9,3 ± 0,73 9,4 ± 0,79 9,0 ± 0,95 9,0E 10,0 ± 0,42 10,1 ± 0,55 10,0 ± 0,76 10,5F 11,3 ± 1,42 12,1 ± 0,95 11,7 ± 0,70 30,0G 15,0 ± 0,90 14,8 ± 0,93 14,7 ± 0,90 21,0H 18,5 ± 1,20 17,8 ± 1,53 22,7 ± 1,24 17,3I
Keterangan : E)
F) Martasuganda et al. (1991) Sjafei & Syaputra (2009) G) Wassef & Hady (1997) Tharwat & Rahman (2006) G) H) Situ & Sadovy (2004) Sutomo & Juwana (1990) H) I) Krajangdara (2004) Allam et al. (2004) E) Pauly (1977) dalam Sjafei & Saadah (2001)
F)
113
Muara sungai
Keterangan : A = Biji nangka B = Baronang lingkis
Mangrove
Lamun
C = Kerong kerong D = Kapas kapas
Gambar 21 Kurva selektivitas mata jaring 4 cm untuk jenis ikan biji nangka, baronang lingkis, kerong kerong, dan kapas kapas pada daerah penangkapan yang berbeda.
114
Muara sungai
Keterangan : E = Biji nangka F = Baronang lingkis G = Kerong kerong
Mangrove
Lamun
H = Kapas kapas I = Barakuda
Gambar 22 Kurva selektivitas mata jaring 4 cm untuk jenis ikan lencam, pepetek, kuwe, baronang, dan barakuda pada daerah penangkapan yang berbeda.
115
Nilai L50% pada kurva selektivitas setiap jenis ikan di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone selama penelitian tidak menunjukkan perbedaan yang jauh bila dibandingkan L50% setiap jenis ikan berdasarkan habitat (Gambar 19).
Keterangan : A = Biji nangka B = Baronang lingkis C = Kerong kerong
D = Kapas kapas E = Lencam F = Pepetek
G = Kuwe H = Baronang
116
Keterangan : I = Barakuda
Gambar 23 Kurva selektivitas setiap jenis ikan selama penelitian di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone.
117
7.4
PEMBAHASAN
7.4.1 Komposisi dan Proporsi Layak Tangkap pada Experimental Crib Jenis ikan yang dominan tertahan pada experimental sero di perairan pantai Pitumpanua, Teluk Bone umumnya adalah ikan demersal, yaitu: (1) biji nangka (Upeneaus sulphureus), (2) baronang lingkis (Siganus canaliculatus), (3) kerong-kerong (Therapon jarbua), (4) kapas-kapas (Gerres kapas), (5) lencam (Lethrinus lentjam), (6) pepetek (Leiognathus splendens), (7) kuwe (Caranx sexfaciatus), (8) baronang (Siganus guttatus), dan (9) barakuda (Sphyraena sphyraena) (Tabel 16). Spesies nomor 9 adalah jenis ikan pelagis. Dominasi ikan demersal tersebut berkaitan dengan daerah pengoperasian sero, yaitu perairan dangkal. Hal ini diperkuat oleh pernyataan oleh Widodo dan Suadi (2008) bahwa perairan dangkal dengan kedalaman kurang dari 100 meter dengan dasar perairan yang berlumpur serta relatif datar merupakan daerah penangkapan demersal yang baik. Dipertegas Yusof (2002) bahwa hasil tangkapan dari perairan berkedalaman 5-18 meter di perairan Peninsular Malaysia berupa 62-89 jenis ikan demersal. Jenis ikan yang tertangkap sero ini pada umumnya memiliki aktivitas relatif rendah, gerak ruaya tidak terlalu jauh dan membentuk gerombolan yang tidak terlalu besar, sehingga sebarannya relatif lebih terkonsentrasi jika dibandingkan dengan ikan-ikan pelagis (Boer et al. 2001). Ikan barakuda yang merupakan ikan pelagis satu-satunya dominan tertangkap di perairan pantai Pitumpanua, kemungkinan jenis ikan ini merupakan ikan predator yang mengejar mangsanya sehingga ikut tertangkap. Jumlah ikan yang tertahan pada experimental crib jaring dipengaruhi oleh berbagai faktor; salah satunya adalah bentuk tubuh ikan. Ikan yang berukuran besar cenderung tertangkap oleh alat penangkapan ikan yang dioperasikan dengan metode menyaring air (filtering) sehingga jika ukuran mata jaring relatif kecil maka ragam ukuran ikan dapat menjadi lebih tinggi, yaitu mulai dari yang berukuran kecil hingga besar. Hal ini berbeda dari alat penangkapan ikan yang dirancang untuk menangkap ikan secara menjerat tubuh ikan (gilling), seperti pada jaring insang. Jika ukuran ikan lebih kecil atau lebih besar dari ukuran optimum maka peluang tertangkapnya menjadi lebih rendah sehingga ragam ukuran menjadi lebih rendah (Nielsen dan Lampton 1983). Selain ukuran tubuh,
118
bentuk badan dan tingkah laku ikan juga merupakan faktor yang menentukan ikan tertangkap (Pope 1975). Tingginya proporsi hasil tangkapan yang tertahan di experimental crib (Tabel 15) bukan berarti ikan-ikan tersebut secara biologi layak tangkap. Hal ini lebih cenderung disebabkan oleh jenis spesies ikan yang tertangkap. Dalam penelitian ini ada 5 spesies ikan dengan proporsi layak tangkap di atas 50,0%, yaitu pepetek, kapas-kapas, barakuda, kerong-kerong, dan biji nangka (Tabel 16 & Gambar 20). Tingginya proprosi pepetek yang layak tangkap disebabkan ikan ini cepat mencapai dewasa pada ukuran yang relatif kecil (Saadah 2000 dalam Novitriana et al. 2004). Sebaliknya, semua ikan kuwe yang tertangkap berstatus tidak layak tangkap.
Hal ini kemungkinan disebabkan habitat ikan kuwe dewasa adalah
perairan terumbu karang atau yang lebih dalam dan perairan pantai tempat penelitian adalah habitat untuk ikan-ikan muda, seperti dilaporkan Rudi et al. (2011) dari penelitiannya di perairan Sabang. Ikan kuwe yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua tidak berbeda jauh didapatkan oleh Mardjudo (2002) di perairan pantai Palu yang didapatkan berukuran sangat kecil, sehingga diduga bahwa jenis ikan ini pada masa juvenil lebih banyak menghuni daerah pantai. 7.4.2 Nilai L50% Setiap Jenis Ikan yang Tertangkap pada Experimental Crib Nilai L50% dari experimental crib bermata-jaring 4 cm untuk setiap jenis ikan dominan tidak selalu sama pada setiap habitat (Tabel 17). Seharusnya nilai L50% untuk suatu jenis ikan adalah sama karena spesifikasi bahan jaring pembentuk crib. Perbedaan-perbedaan nilai tersebut kemungkinan besar ditentukan oleh nilai-nilai proporsi ikan pada setiap kelas ukuran ikan yang tertahan pada crib. Nilai-nilai L50% dari sembilan jenis ikan dominan umumnya lebih kecil dari panjang (TL) ikan ketika matang gonad pertama kali (Lmat). Tujuh dari sembilan jenis ikan tersebut memiliki Lmat kurang dari 20 cm (TL); ikan kwe adalah ikan dengan Lmat terbesar (30 cm). Hanya dua jenis ikan yang memiliki Lmat lebih kecil dari L50%, yaitu pepetek dan barakuda. Hal ini berarti sero dengan crib bermata-jaring 4 cm cocok untuk kedua jenis ikan ini karena menangkap ukuran yang layak tangkap secara
119
biologis. Kondisi hasil tangkapan ini mirip dengan hasil tangkapan pepetek di Teluk Labuan, Banten yang didominasi oleh ikan-ikan pepetek berukuran 9,516,2 cm (lebih dari 80%), seperti dilaporakan oleh Sjafei dan Saadah (2001). Nilai L50% experimental crib ikan biji nangka dan kapas-kapas mendekati ukuran Lmat jenis ikan tersebut (Tabel 17). Pada ikan biji nangka, L50% pada habitat lamun lebih besar dibandingkan pada muara sungai dan mangrove. Nilai L50% ini hampir sama dengan yang didapatkan di perairan Teluk Palu antara 7,89,9 cm (Mardjudo 2002). Faktor penyebab perbedaan ini kemungkinan adalah morfologi ikan yang berkaitan dengan lingkar tubuh ikan (body girth). Pada panjang yang sama, ikan-ikan biji nangka di muara sungai dan mangrove diperkirakan lebih ”gemuk” sehingga lebih mudah ditangkap (tidak dapat meloloskan dibandingkan dengan yang berada di lamun. Faktor komposisi jenis kelamin ikan tampaknya sulit dianggap sebagai penyebab perbedaan nilai L50% di antara ketiga habitat tersebut meskipun Saputra et al. (2009) dari penelitiannya di perairan Demak melaporkan bahwa L50% cantrang untuk biji nangka jantan adalah 15,7 cm sedangkan untuk betina adalah 16,4 cm. Penelitian di Demak ini dapat diinterpretasikan bahwa ikan jantang lebih ”gemuk” dari ikan betina. Nilai L50% untuk empat jenis ikan lainnya, yaitu baronang lingkis, kerongkerong, lencam, dan baronang adalah lebih rendah dari Lmat (Tabel 17). Hal ini merupakan indikasi kuat bahwa semua jenis ikan ini tertangkap experimental sero dalam keadaan masih muda (juvenile) sehingga dapat disimpulkan bahwa sero ini tidak cocok bagi keempat jenis ikan tersebut. Ukuran ikan baronang lingkis yang didapatkan di perairan pantai Pitumpanua tidak berbeda dengan yang ditangkap di perairan Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu, yaitu antara 6,2-17,0 cm (Jalil et al. 2003). Kesamaan ini kemungkinan disebabkan oleh kesamaan kondisi ekologi perairan pantai Pitumpanua dan perairan Kecamatan Bua, keduanya saling berdekatan di Teluk Bone. Perbedaan nilai L50% setiap habitat tidak menunjukkan perbedaan yang terlalu tinggi (Tabel 17). Hal ini kemungkinan disebabkan karena faktor parameter lingkungan perairan dan sumber makanan bagi ikan pada ketiga habitat tersebut hampir sama. Terbukti setelah dibuatkan kurva selektivitas setiap jenis ikan secara keseluruhan (tanpa berdasarkan habitat), nilai L50% pun diperlihatkan
120
tidak jauh berbeda yang didapatkan di ketiga habitat tersebut (Gambar 23). Hal ini menunjukkan bahwa nilai ukuran kelas panjang ikan yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone lebih seragam (homogen). Penelitian ini memberikan gambaran bahwa rekomendasi tentang spesifikasi alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan untuk suatu jenis ikan belum tentu cocok untuk ikan lain, terutama pada perikanan yang memiliki sumber daya yang bersifat multispecies. Berdasarkan nilai L50% dan Lmat, sero dengan bunuhan (crib) bermata jaring 4 cm ini cocok untuk meloloskan ikan pepetek dan barakuda namun tidak cocok untuk ikan-ikan lainnya. Perbaikan bisa dilakukan lagi dengan memperbesar mata jaring sehingga nilai-nilai L50% akan meningkat dan peluang ikan-ikan muda untuk meloloskan diri menjadi semakin tinggi. Pilihan ukuran mata jaring ini akhirnya ditentukan oleh keberpihakan nelayan dalam menentukan karakteristik ikan-ikan yang menjadi sasarannya (target species). Sangat diharapkan para nelayan bersikap menyetujui ide bahwa meloloskan ikan agar tumbuh menjadi lebih besar adalah lebih baik dari menangkap ikan ketika masih berukuran kecil.
7.5
KESIMPULAN DAN SARAN
7.5.1 Kesimpulan 1. Hasil tangkapan sero dengan bunuhan bermata-jaring 4 cm di pantai Pitumpanua didominasi oleh ikan pepetek, baronang lingkis, kerong kerong, kuwe, biji nangka, baronang, lencam, kapas kapas, dan barakuda dimana lima jenis di antaranya masing-masing memiliki kategori layak tangkap dengan proporsi lebih dari 50%. 2. Nilai L50% experimental sero untuk ikan pepetek dan barakuda lebih besar dari panjang ketika kedua jenis ikan ini matang gonad pertama kali. 3. Sero dengan bunuhan bermata-jaring 4 cm tidak layak dioperasikan di perairan pantai Pitumpanua.
121
7.5.2 Saran Alat tangkap sero di perairan pantai Pitumpanua sebaiknya menggunakan ukuran mata jaring lebih besar 4 cm.
Rekomendasi ukuran tersebut harus
disesuaikan dengan karakteristik hasil tangkapan yang diharapkan (target species) oleh nelayan yang memiliki wawasan keberlanjutan sumber daya ikan.
122
123
8 8.1
POSISI JENIS IKAN YANG TERTANGKAP DALAM PIRAMIDA MAKANAN PENDAHULUAN Interaksi trofik merupakan salah satu kunci untuk mengetahui peran
ekologis suatu populasi atau spesies di dalam ekosistem. Mengingat trofik level mengambarkan hubungan keterkaitan antar organisme mulai tingkatan trofik terendah sampai dengan tingkatan trofik tertinggi. Chassot et al.
(2005)
mengemukakan bahwa tingkatan trofik dalam jejaring makanan terdapat mekanisme yang saling mempengaruhi antara tingkatan trofik paling atas terhadap tingkatan trofik di bawahnya (top down effect) dan sebaliknya dari tingkatan trofik paling bawah ke tingkatan trofik di atasnya (bottom up effect). Aktivitas penangkapan sero di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone berlangsung secara terus menerus. Dampaknya bisa diprediksi bahwa telah terjadi perubahan struktur trofik yang ada dalam ekosistem tersebut. Perubahan yang biasanya terjadi meliputi perubahan kelimpahan, produktivitas, dan struktur komunitas seperti perubahan dominansi spesies, spektra ukuran, dan hasil tangkapan. Akibatnya, hasil tangkapan perikanan secara bertahap berubah dari spesies yang berada di tingkat trofik atas menjadi spesies yang berada pada tingkat trofik bawah dalam jejaring makanan (Jaureguizar & Milessi 2008). Mengkaji struktur trofik pada daerah pantai seperti di habitat muara sungai, mangrove, dan lamun sangat diperlukan. Mengingat pada daerah pantai merupakan daerah yang kaya dengan keanekaragaman hayati, sehingga dalam ekosistem tersebut banyak sistem interaksi pemangsaan yang terjadi. Kaitannya dengan penangkapan bahwa bisa saja ikan tertangkap pada alat tangkap bukan karena target spesies alat tangkap tersebut, melainkan ikan jenis tertentu bermigrasi atau beruaya di sekitar alat tangkap karena terkait item makanan spesies tersebut berada di sekitar wilayah penangkapan, sehingga ikan tersebut turut tertangkap. Pengetahuan tentang trofik level setiap jenis ikan di setiap habitat dimaksudkan untuk melengkapi dan memperjelas hasil kajian mengenai hasil tangkapan dan selektivitas sebagai bagian utama dalam penelitian ini. Analisis trofik level ini diharapkan dapat memperjelas faktor penyebab tertangkapnya jenis
124
ikan (target spesies) pada berbagai habitat berdasarkan tingkatan trofik setiap jenis ikan hasil tangkapan yang dominan pada alat tangkap sero . Sehingga analisis ini dapat dijadikan informasi pendukung untuk melengkapi hasil analisis selektivitas alat tangkap sero yang dioperasikan di pantai. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui jenis makanan ikan yang dominan tertangkap dengan sero dan mengetahui posisi trofik level ikan yang dominan tertangkap dengan sero. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai informasi mengenai indikator dampak perikanan sero terhadap sumberdaya ikan di perairan pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone.
8.2
METODE PENELITIAN
8.2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pelaksanaan penelitian pendahuluan untuk melihat waktu kebiasaan makan ikan yang tertangkap di alat tangkap sero dilakukan pada tanggal 24 – 26 Desember 2010. Pengambilan sampel isi lambung ikan dilakukan selama 4 (bulan) terhitung tanggal 22 Januari – 14 Mei 2011. Lokasi pengambilan sampel dilakukan di 3 (tiga) habitat (muara sungai, mangrove, dan lamun) daerah penangkapan sero di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone.
8.2.2 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan selama pengambilan dan pengamatan isi lambung ikan adalah sebagai berikut : perahu motor, alat tangkap sero, serok, measuring board, timbangan, cool box, toples, pisau, gunting, pinset, botol sampel, pipet tetes, larutan lugol, formalin 90%, mikroskop, buku identifikasi ikan dan plankton, kamera digital, dan alat tulis/data sheet.
8.2.3 Teknik Pengumpulan Data 8.2.3.1 Pengamatan kebiasaan waktu makan ikan Waktu penangkapan ikan untuk isi lambung ikan terlebih dahulu dilakukan penelitian pendahuluan. Penangkapan ikan dilakukan selama 3 hari berturut dengan frekuensi penangkapan selama sehari yaitu sebanyak 3 (tiga) kali
125
yaitu pagi (8.00 – 10.00 Wita) , siang (12.00 – 13.00 Wita), dan sore hari (16.00 – 18.00 Wita) untuk melihat isi lambung (makanan) yang dicerna dengan tingkat kesegaran terbaik terutama pada isi lambung ikan-ikan predator. 8.2.3.2 Pengamatan Isi Lambung Ikan Penangkapan ikan untuk data isi lambung dilakukan pada pagi hari bersamaan dengan pengambilan hasil tangkapan sero. Untuk keperluan analisis isi lambung diambil sampel secara acak sebanyak 15% dari total sampel setiap unit sero. Jenis ikan yang jumlahnya sedikit pada hasil tangkapan dominan, semua dijadikan sampel untuk mewakili setiap jenis ikan. Pengambilan hasil tangkapan untuk analisis isi lambung dilakukan sebanyak 8 (delapan) kali bersamaan pada saat pengukuran parameter lingkungan. Perut ikan dibedah dengan menggunakan pisau bedah, kemudian dilakukan pengguntingan lambung, lambung ikan diangkat dengan menggunakan pinset. Isi lambung ikan karnivora diamati secara langsung karena jenis makanan dalam lambung sebagian besar jenis makanan dalam lambungnya dapat dikenali jenisnya, sedangkan lambung ikan herbivora dan planktivora disimpan di botol sampel terlebih dahulu, kemudian ditambahkan larutan lugol tetes untuk selanjutnya diamati dengan menggunakan mikroskop. Jenis makanan yang didapatkan di dalam lambung ikan diidentifikasi dengan buku identifikasi.
8.2.4 Analisis Data 8.2.4.1 Analisis Trofik Level ikan Struktur trofik level setiap jenis ikan yang dominan tertangkap dianalisis dengan menggunakan software TrophLab2K. Penentuan trofik level suatu spesies ikan ditentukan berdasarkan komposisi makanan dan trofik level masing-masing fraksi makanannya (food item) yang diperoleh dari hasil analisis isi lambung (Pauly et al. 2000). Nilai trofik level suatu jenis ikan adalah 1 (satu) ditambah dengan rata-rata trofik level jenis makanannya, sehingga untuk ikan yang makanannya terdiri dari berbagai trofik level dapat dinyatakan dengan formula sebagai berikut :
126
G
troph = 1 + ∑ DC ij x troph j −1
j
..............................................(12)
dimana : DCij adalah fraksi mangsa ke-i dalam makanan konsumer ke-j; troph
j
adalah trofik level ke-j dan G adalah jumlah group atau kelompok makanan dari i.
8.3
HASIL PENELITIAN
8.3.1 Jenis Makanan Ikan Dominan Pada identifikasi lambung ikan yang dominan tertangkap dengan sero ditemukan isi lambung (jenis makanan) yang sama di setiap jenis ikan pada semua habitat. Jenis makanan setiap jenis ikan selama penelitian dan item makanan setiap jenis ikan berdasarkan TrophLab2K seperti pada Tabel 18 dan Lampiran 31-33. Tabel 18 Jenis makanan ikan dominan dan item makanan menurut klasifikasi food item III menurut TrophLab2K No
Jenis ikan
Jenis makanan
1
Biji nangka
Teri, udang, cacing, dan bentik invertebrata lainnya.
2
Baronang lingkis
Alga bentik, cacing, pecahanpecahan daun, dan bentik invertebrata lainnya.
3
Kerong-kerong
4
Lencam
Pepetek, kapas-kapas, biji nangka, udang, dan larva kepiting Cumi-cumi, biji nangka, pepetek, kapas-kapas, cacing, molluska, dan crustacea
5
Pepetek
6
Kapas-kapas
Alga bentik, dinoflagellates, larva-larva kerang, larva siput, pecahan daun-daun, larva molluska, cacing, dan diatom
Bentik invertebrata, pecahan daun-daun, dan cacing 7 Kuwe Larva ikan, biji nangka, kapaskapas, teri, senangin,dan udang, 8 Baronang Alga bentik, larva invertebrata, dan cacing 9 Baracuda Teri, pepetek, larva udang, udang, cumi-cumi, biji nangka, kapas-kapas, Keterangan : *) sesuai klasifikasi food item III menurut TrophLab2K
Fraksi Makanan *) Bony fish, other benth. invertebrates, shrimps/prawns, polychaetes Benthic algae/weeds, polychaetes, debris, bony fish, other benth. invertebrates Bony fish, shrimps/prawns, plank. copepoda, crabs Squids/cuttlefish, bony fish, other finfish, polychaetes, other mollusks, other benth. crustaceans benthic algae/weeds, dinoflagellates, other plank. invertebrates, debris, other mollusks, polychaetes, diatoms Other benth. invertebrates, debris, polychaetes Fish eggs/larvae, benth. copepods, bony fish, shrimps/prawns, other finfish Benthic algae/weeds, plank. invertebrates, polychaetes Fish eggs/larvae, bony fish, shrimps/prawns, squids/cuttlefish
127
8.3.2 Trofik Level Ikan Dominan Berdasarkan hasil analisis isi lambung dan perhitungan trofik level didapatkan rata-rata trofik level setiap jenis ikan berdasarkan habitat selama penelitian di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone (Tabel 19) dan tingkat trofik ikan dominan tertangkap dengan sero di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone (Tabel 20). Tabel 9 Rata-rata ± standar deviasi (SD) trofik level setiap jenis ikan berdasarkan habitat selama penelitian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis ikan Baronang lingkis Baronang Pepetek Kapas-kapas Biji nangka Kerong-kerong Lencam Kuwe Baracuda
Muara sungai 2,56 ± 0,21 2,50 ± 0,18 2,73 ± 0,19 2,88 ± 0,25 3,60 ± 0,49 3,80 ± 0,64 4,02 ± 0,18 4,19 ± 0,71 4,27 ± 0,70
Mangrove 2,65 ± 0,22 2,69 ± 0,23 2,71 ± 0,25 2,72 ± 0,21 3,53 ± 0,46 3,77 ± 0,62 3,95 ± 0,54 4,24 ± 0,72 4,23 ± 0,70
Lamun 2,67 ± 0,22 2,64 ± 0,22 2,76 ± 0,28 2,93 ± 0,25 3,62 ± 0,51 3,84 ± 0,65 4,04 ± 0,54 4,22 ± 0,72 4,28 ± 0,72
Tabel 20 Kisaran tingkatan trofik ikan dominan yang tertangkap dengan sero di perairan pantai Pitumpanua No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis ikan Baronang Baronang lingkis Pepetek Kapas-kapas Biji nangka Kerong-kerong Lencam Kuwe Barakuda
Trophi 2,32 - 2,92 2,35 - 2,89 2,46 - 3,04 2,51 - 3,18 3,07 - 4,13 3,15 - 4,49 3,41 - 4,58 3,48 - 4,96 3,53 - 5,00
Kategori Planktivora Planktivora Omnivora Omnivora Omnivora Omnivora Karnivora Karnivora Karnivora
128
8.4
PEMBAHASAN
8.4.1 Jenis Makanan Ikan Dominan Jenis makanan setiap ikan dominan yang tertangkap dengan sero yaitu sama di setiap habitat (Tabel 8). Hal ini memberikan indikasi bahwa kondisi perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone memiliki ketersediaan jenis makanan yang sama pada setiap habitat. Ikan-ikan yang berukuran kecil pada spesies yang sama menunjukkan perbedaan jenis makanan yang dimakannya. Jenis ikan kerong-kerong misalnya pada ukuran kecil memiliki jenis makanan cacing, larva kepiting, dan plankton copepoda, tetapi pada ukuran dewasa makanannya berubah menjadi nekton dan udang-udangan. Hal yang sama yang ditemukan oleh Asriyana (2011) bahwa ikan kurisi saat berukuran kecil menyukai fitoplankton kemudian pada ukuran sedang sampai besar berubah menjadi pemakan ikan teri (S. commersonii) dan tergolong ikan karnivora. Begitu halnya ikan kurisi yang ditemukan di perairan Teluk Labuan Banten yang mengalami perubahan kebiasaan makanan menjadi karnivora pada ukuran besar (Sjafei & Robiyani 2001). Perubahan
kebiasaan
jenis
makanan
tersebut
berkaitan
dengan
perkembangan ukuran tubuh ikan terutama akibat peningkatan ukuran bukaan mulut dan kemampuan alat percernaan dalam mencerna makanan. Selain itu perubahan tersebut juga berhubungan dengan tingkat perkembangan gonad ikan itu sendiri. Selain faktor tersebut ikan biasanya melakukan pengalihan menu makanan ataupun berpindah tempat untuk menghindari terjadinya kompetisi. Hal ini dilaporkan oleh Szedlmayer & Lee (2004) pada ikan kakap merah (Lutjanus campechanus) di Teluk Meksiko. Ikan tersebut melakukan perpindahan tempat dan mengganti komposisi makanannya untuk menghindari terjadinya tumpang tindih dalam mendapatkan makanan dan berlindung dari predator.
129
8.4.2 Trofik Level Ikan Dominan Berdasarkan hasil identifikasi isi lambung setiap jenis ikan selama penelitian maka terlihat bahwa setiap jenis ikan cenderung memiliki jenis makanan yang tidak berbeda menurut habitat. Variasi komposisi jenis makanan berdasarkan waktu pengamatan relatif sangat kecil. Kesamaan jenis makanan antara ketiga habitat dapat terjadi dalam 2 (dua) mekanisme yaitu : (1) ikan menggunakan semua habitat sebagai daerah mencari makan (feeding ground); atau (2) ikan hanya menggunakan salah satu atau dua dari ketiga habitat sebagai daerah mencari makan. Dalam penelitian ini sangat sulit untuk memastikan mekanisme mana yang terjadi karena faktanya bahwa setiap jenis ikan tertangkap di ketiga habitat (muara sungai, lamun, dan sekitar mangrove) dan jenis-jenis makanan dalam isi lambung semua jenis ikan juga terdapat dalam ketiga habitat. Penjelasan yang mendukung apabila mekanisme kedua yang terjadi adalah bahwa terjadi migrasi ikan secara harian di dalam ketiga habitat sehingga meskipun hanya menggunakan salah satu atau dua dari ketiga habitat sebagai tempat mencari makan namun karena bermigrasi dan tertangkap di habitat lain yang bukan daerah feeding groundnya. Kejadian migrasi ikan dalam ketiga habitat sangat mungkin terjadi karena lokasi antar ketiga habitat yang jaraknya relatif dekat. Mengacu fraksi makanan penting (Tabel 11) maka jenis-jenis ikan yang tertangkap di lokasi penelitian dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) kelompok yaitu : (1) ikan planktivor yang dominan makan alga bentik seperti yaitu ikan baronang dan baronang lingkis; (2) ikan omnivor yang mengkonsumsi plankton, debris, dan beberapa jenis nekton diantaranya ikan kapas-kapas, pepetek, kerongkerong, dan biji nangka; dan (3) ikan karnivor yang mengkonsumsi berbagai jenis nekton, udang-udangan, cumi-cumi seperti pada ikan lencam, kuwe, dan barakuda. Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata trofik level setiap jenis ikan dari semua habitat (Tabel 12) terlihat bahwa semua jenis ikan yang tertangkap dengan sero di perairan pantai Kecamatan Pitumpanua berkisar antara 2,50± 0,18 (ikan baronang) sampai 4,28 ± 0,72 (ikan baracuda). Hasil perhitungan trofik level
130
ikan yang tertangkap dengan sero relatif lebih tinggi dibanding yang didapatkan oleh Asriyana (2011) di perairan Teluk Kendari dengan alat tangkap pukat pantai. Ikan planktivor yang tertangkap berada pada kisaran trofik level 2,32 - 2,92; ikan omnivor berkisar antara 2,46 - 4,49; dan ikan karnivor 3,41 - 5,00. Rata-rata trofik level (dihitung dari semua waktu pengamatan) setiap jenis ikan relatif sama antara ketiga habitat. Kemiripan rata-rata trofik level ikan spesies yang sama antara ketiga habitat diduga terkait dengan pola migrasi harian jenis ikan yang terjadi diantara ketiga habitat sehingga jenis makanan yang menjadi dasar penentuan trofik level juga mirip. Mengacu pada komposisi berat hasil tangkapan (Tabel 4) maka diketahui bahwa komposisi biomassa ikan planktivor, omnivor, dan karnivor hampir berimbang dengan persentase biomassa secara berurut 27,13%, 36,94% dan 35,93%. Apabila komposisi biomassa total hasil tangkapan dari semua habitat dihitung berdasarkan trofik level maka didapatkan bahwa persentase ikan trofik level < 3, 3-4 dan > 4 secara berurut adalah 34,87%, 29,20% dan 35,93%. Proporsi biomassa hasil tangkapan yang relatif berimbang antar ketiga trofik level mengindikasikan bahwa kondisi ekologis ketiga ekosistem pantai di perairan pitumpanua dilihat dari trofik level ikan yang tertangkap dengan sero relatif masih baik. Masih tingginya proporsi ikan karnivor pada trofik level > 4 khususnya barakuda merupakan indikator penting bahwa rantai makanan (food chain) relatif masih baik dan mendukung untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikanikan pada trofik level lebih tinggi. Berbeda dengan yang didapatkan Hatta (2010) dan Sudirman (2003) yang mendapatkan proporsi trofik level ikan karnivor yang tertangkap dengan bagan rambo sangat rendah di Perairan pantai Kabupaten Barru yang menunjukkan bahwa telah terjadi overfishing di wilayah tersebut. Kesenjangan proporsi ikan karnivor yang cukup jauh antara ikan barracuda dengan ikan kuwe, dan lencam pada trofik level yang hampir sama dengan barracuda mengindikasikan bahwa jejaring makanan (food web) di lokasi penelitian sedikit terganggu. Fakta dari kesenjangan ini menunjukkan bahwa meskipun terjadi perpindahan energi dan biomassa dari trofik level rendah sampai ke trofik level lebih tinggi (> 4) namun hanya intensif pada salah satu jalur rantai makanan saja yaitu rantai pada ikan baracuda. Rantai makanan pada jalur yang
131
menuju pada ikan kuwe dan lencam menunjukkan aliran biomassa dan energi yang sangat kecil. Kondisi ketidak seimbangan proporsi antara ketiga jenis ikan karnivor dengan asumsi bahwa proporsi ketiga jenis ikan karnivor tersebut yang tertangkap proporsional dengan populasinya di alam dapat terjadi karena beberapa faktor diantaranya : 1. Pengaruh parameter lingkungan yang menyebabkan perbedaan terhadap : kelimpahan item makanan pokok baik larva maupun dewasanya, kelangsungan hidup fase larva dan juvenil ketiga jenis ikan karnivor tersebut. 2. Toleransi terhadap fluktuasi di lingkungan pantai yang berbeda antara ketiga jenis ikan karnivor. 3. Perbedaan fekunditas antara ketiga jenis ikan karnivor. 4. Kemampuan kompetisi yang berbeda antara ketiga jenis ikan karnivor baik terhadap ruang maupun terhadap makanan. 5. Laju mortalitas dan laju tangkap yang berbeda oleh alat tangkap lain selain sero terhadap ketiga jenis ikan karnivor. Mengacu pada hasil yang didapatkan dalam penelitian ini maka dari analisis isi lambung maka dapat dijelaskan bahwa sangat besar kemungkinan bahwa ikan barracuda memiliki kemampuan kompetisi yang lebih unggul dibanding kedua jenis ikan karnivor lainnya yaitu ikan kuwe dan lencam. Fakta yang mendukung dugaan ini adalah kemiripan dan overlap item makanan diantara ketiga jenis ikan tersebut. Fraksi makanan bony fishes dimakan oleh ketiga jenis ikan, telur/larva ikan, dan udang-udangan dikonsumsi bersama oleh ikan barracuda dan ikan kuwe, cepalophoda (cumi-cumi) dikonsumsi oleh ikan barracuda bersama ikan lencam. Melihat dari item makanan barracuda yang kesemuanya overlap dengan kedua jenis ikan lainnya maka seharusnya ikan barracuda yang paling rendah populasinya (proporsional yang tertangkap) apabila kemampuan kompetisinya sama. Karena sebaliknya menunjukkan fakta yang terbalik dimana proporsi ikan barrcuda lebih tinggi maka hanya sangat mungkin terjadi apabila kemampuan kompetisi ikan barracuda lebih tinggi dibanding kedua ikan lainnya terutama dalam mendapatkan makanan dengan asumsi faktor lain yang mempengaruhi seperti dijelaskan di atas dianggap sama.
132
Secara teoritis apabila kemampuan kompetitif antara ketiga jenis ikan karnivor sama maka yang berpeluang memiliki populasi yang lebih tinggi adalah ikan lencam karena memiliki spektrum makanan yang lebih luas dibanding ikan barracuda dan kuwe. Sesuai fakta ini pula maka dapat diduga bahwa kemungkinan besar bony fishes sebagai fraksi makanan yang dikonsumsi oleh ketiga jenis ikan karnivor menjadi item makanan utama dari ketiga jenis ikan tersebut. Jika tidak maka semestinya ikan lencam yang spektrum makanannya lebih luas memiliki populasi yang lebih tinggi karena apabila bony fishes terbatas maka dia dapat mengkonsumsi jenis lainnya yang tidak bersaing dengan ikan kuwe maupun barracuda. Keunggulan kompetitif ikan barakuda sangat ditunjang oleh morfologi dan fisik terkait dalam mendapatkan makanan. Ikan barracuda merupakan ikan pelagis yang dilengkapi gigi-gigi yang tajam, mata, dan kemampuan renang yang lebih cepat sangat memungkinkan ikan ini lebih unggul dibandingkan dengan lencam dan kuwe dalam mencari dan memperebutkan makanan yang umumnya terdiri dari nekton yang aktif bergerak.
8.5
KESIMPULAN DAN SARAN
8.5.1 Kesimpulan 1. Setiap jenis ikan cenderung memiliki fraksi makanan yang tidak berbeda menurut habitat dan variasi komposisi item makanan berdasarkan waktu pengamatan relatif sangat kecil. 2. Kondisi ekologis ketiga ekosistem pantai di perairan pitumpanua dilihat dari trofik level ikan yang tertangkap dengan sero relatif masih baik. 3. Ikan planktivor yang tertangkap berada pada kisaran trofik level 2,32 - 2,92, ikan omnivor pada kisaran 2,46 - 4,49, dan ikan karnivor pada kisaran 3,415,00.
133
8.5.2 Saran Sebaiknya perlu penelitian lanjutan mengenai trofik level pada hasil tangkapan alat tangkap lain untuk melihat jalur rantai makanan yang terjadi di perairan pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone.
134
135
9
PEMBAHASAN UMUM
Konsep dasar dalam manajemen perikanan tangkap mengacu pada perspektif pengelolaan sumberdaya berkelanjutan yaitu ramah lingkungan dan menguntungkan secara ekonomis. Pengelolaan sumberdaya perikanan sebaiknya menerapkan sistem perikanan berkelanjutan sehingga tidak terjadi eksploitasi yang menyebabkan overfishing. Hal ini dapat ditempuh melalui pemeliharaan ekosistem dan penggunaan alat tangkap yang bersifat ramah terhadap lingkungan. Sebagai suatu sistem usaha apalagi jika berkembang sampai pada tingkat pengembangan industri perikanan maka secara ekonomis sebuah sistem perikanan harus bersifat menguntungkan. Pengelolaan yang sifatnya menguntungkan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan sebagai obyek pelaku. Berkaitan dengan konsep manajemen perikanan yang dijelaskan di atas, maka sebaiknya dalam pengelolaan perikanan di wilayah pantai tetap menjaga kelestarian fungsi-fungsi ekosistem yang beragam agar daya dukung lingkungan tetap dapat dipertahankan dan mampu mendukung produksi berbagai sumberdaya yang menjadi target pengelolaan. Sehubungan dengan kemudahan akses wilayah pantai maka sebaiknya dampak aksesbilitas tinggi ini tidak bersifat negatif yaitu merusak ekosistem, sebaliknya harus besifat positif dengan memaksimalkan pemeliharaan habitat-habitat dalam semua ekosistem penyusun pantai. Salah satu aspek penting dan berpotensi merusak ekosistem dan mengganggu kelestarian sumberdaya alam dan biota laut di dalamnya adalah penggunaan alat tangkap yang tidak ramah terhadap lingkungan. Oleh sebab itu sebaiknya alat tangkap yang digunakan dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan di wilayah pantai adalah alat tangkap yang selektif dan tidak merusak habitat bilamana alat tangkap tersebut dioperasikan. Selektivitas alat tangkap sebaiknya tidak hanya mengacu kepada kalkulasi besaran populasi yang diloloskan tetapi juga mempertimbangkan aspek dinamika populasi sumberdaya ikan dalam wilayah pantai. Untuk itu sangat diperlukan kajian mengenai sistem rantai dan jaring makanan yang terkait dengan target penangkapan setiap jenis alat yang digunakan. Selain dicirikan oleh keberadaan vegetasi yang menjadi ciri utama, tiga habitat yang menjadi tempat pemasangan sero dengan experimental crib memiliki
136
karakteristik kimia fisika lingkungan yang berbeda (Gambar 9 & 10 pada Bab V). Habitat muara sungai mempunyai ciri menonjol dalam hal kandungan nitrat, fosfat, dan kecepatan arus yang tinggi. Sementara itu dua habitat lainnya yaitu lamun dan mangrove mempunyai ciri menonjol dalam hal suhu, DO, pH, salinitas, dan silikat yang tinggi, dan secara statistik kandungan silikat tidak berbeda nyata berdasarkan habitat (Lampiran 8). Selanjutnya, komunitas ikan yang direpresentasikan sebagai kelompok dari 9 spesies ikan dominan, kepiting rajungan, dan udang putih ternyata memiliki keterkaitan dengan karakteristik habitat. Perbedaan karakteristik lingkungan dan komunitas ikan menunjukkan bahwa komposisi taksa penyusun komunitas ikan berkaitan erat dengan karakteristik habitat. Jenis ikan biji nangka, baronang lingkis, kerong-kerong, kuwe, baronang, dan barakuda lebih berasosiasi dengan habitat lamun. Ikan pepetek, kapas-kapas, dan lencam lebih berasosiasi dengan habitat dekat mangrove sedangkan udang putih dan kepiting rajungan lebih berasosiasi pada habitat muara sungai. Dengan demikian pendekatan atau strategi pengelolaan yang akan diterapkan pada kawasan pesisir harus memperhatikan ragam dari ekosistem yang ada. Adanya ragam dari ekosistem tersebut memberikan konsekuensi bahwa pengelolaan perikanan di kawasan pesisir tropika sebaiknya tidak menerapkan pendekatan single species fisheries management (Widodo dan Suadi 2008). Berdasarkan kondisi lingkungan secara umum di lokasi penelitian yang dijelaskan (Bab V) menunjukkan perbedaan yang signifikan parameter fisikakimia dan biologi antara ketiga habitat yang diteliti. Selama penelitian parameter lingkungan mengalami fluktuasi sehingga terlihat adanya variasi temporal berdasarkan waktu pengamatan, meskipun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam nilai rata-rata nutrien, klorofil-a, dan arus. Kisaran parameter lingkungan pada tiga habitat selama penelitian menunjukkan bahwa perairan pantai di lokasi penelitian masih layak dan dalam batas nilai yang masih ditoleransi untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup beberapa jenis ikan yang tertangkap dengan alat tangkap sero. Selain itu kondisi umum perairan juga masih dalam batas yang layak untuk pertumbuhan dan kelangsungan beberapa biota laut termasuk yang menjadi makanan ikan terhadap ikan yang tertangkap
137
dengan sero. Hal ini ditunjukkan dari kisaran nilai amatan yang tidak memperlihatkan nilai ekstrim yang jauh di bawah maupun di atas ambang batas kebutuhan biota laut pada umumnya. Distribusi spasiotemporal parameter lingkungan berdampak pada proses dan kondisi ekologis dalam ekosistem pantai. Karakteristik lingkungan pada setiap habitat yang terlihat dari fluktuasi parameter lingkungannya berimplikasi pada aspek biologis baik terhadap ikan maupun terhadap makanannya. Perbedaan toleransi dan preverensi ikan dan organisme makanan ikan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kelimpahan ikan yang ada pada setiap habitat
dalam suatu
spasiotemporal
waktu
parameter
tertentu.
lingkungan
Lebih
lanjut
tersebut
dampak
perubahan
menyebabkan
perbedaan
kelimpahan dan hasil tangkapan beberapa jenis ikan pada masing-masing habitat. Hasil analisis hubungan antara biomassa ikan hasil tangkapan sero dengan parameter lingkungan yang pada umumnya menunjukkan hubungan linier yang signifikan menguatkan argumen bahwa dampak dari perubahan dan perbedaan parameter lingkungan antar habitat mempengaruhi kelimpahan ikan yang ada pada setiap habitat. Hasil analisis itu juga menjelaskan fakta bahwa keberadaan ikan dalam suatu habitat tertentu dipengaruhi oleh interaksi berbagai faktor lingkungan atau tidak hanya dikontrol oleh salah satu faktor lingkungan saja. Faktor lain yang tidak dianalisis dalam penelitian ini juga memiliki pengaruh terhadap kelimpahan ikan yang ada di setiap habitat. Lebih spesifik dapat dijelaskan
bahwa
variabilitas
faktor
lingkungan
dominan
yang
paling
mempengaruhi biomassa setiap jenis ikan yang tertangkap menguatkan bahwa setiap jenis ikan memiliki preverensi dan toleransi yang beragam terhadap parameter
lingkungan.
Hasil
ini
diperkuat
dengan
analisis
factorial
correspondence analysis (FCA) yang menunjukkan bahwa terdapat asosiasi yang kuat antara satu jenis ikan dengan habitat. Asosiasi antara spesies ikan dengan habitat yang dikaji secara umum tanpa melihat
ukuran
(menggunakan
biomassa
total)
dalam
analisis
FCA
menggambarkan secara umum pemilihan tipe habitat setiap jenis ikan. Jika dikaitkan dengan analisis ragam (ANOVA) biomassa dan jumlah ikan berdasarkan habitat, maka lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa terlihat adanya
138
jenis ikan yang mengalami perubahan preverensi habitat berdasarkan ukurannya. Hal ini diperkuat dari hasil analisis ragam yang menunjukkan perbedaan biomassa tetapi tidak berbeda jumlahnya antar habitat atau sebaliknya perbedaan jumlah tetapi biomassa tidak berbeda, dan inkonsistensi dalam perbedaan jumlah dan berat antar habitat. Perubahan dan perbedaan biomassa dan jumlah ikan yang tertangkap berdasarkan habitat ini dapat terjadi karena pengaruh langsung maupun tidak langsung parameter lingkungan baik terhadap ikan maupun terhadap makanannya. Perbedaan preverensi dan toleransi setiap jenis ikan terhadap parameter lingkungan yang terjadi secara simultan dengan perubahan ukuran ikan mempengaruhi secara langsung kondisi fisiologis setiap jenis ikan dan makanannya. Hasil analisis isi lambung memperlihatkan bahwa jenis-jenis ikan yang tertangkap dengan sero memiliki kebiasaan makanan yang berbeda yang terdiri dari ikan planktivora, omnivora, dan karnivora. Proporsi secara total ikan planktivora, omnivora dan karnivora dan kisaran trofik level <3, 3-4 dan >4 yang hampir berimbang mengindikasikan bahwa secara umum rantai makanan masih cukup efektif ditransfer dari trofik rendah ke trofik yang lebih tinggi. Hal ini mengindikasikan dan menguatkan bahwa kondisi lingkungan di lokasi penelitian masih layak untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup berbagai jenis ikan yang tertangkap dengan sero. Hanya saja jika dikaji lebih mendalam tentang jejaring makanan (food webs) maka nampak bahwa hanya efektif dalam rantai tertentu yang proporsinya jauh lebih besar ke ikan barakuda. Transfer energi dalam rantai makanan yang melalui ikan lencam dan kuwe jauh lebih sedikit dibandingkan ke ikan barakuda. Variasi antar habitat trofik level setiap jenis ikan tersebut terkait dengan adamya perbedaan parameter lingkungan, preverensi habitat, dan perubahan ukuran setiap jenis ikan yang terjadi secara simultan. Sehubungan dengan ukuran ikan dan alat tangkap sero yang sifatnya pasif dan memiliki ukuran mata jaring maka kajian selektivitas alat tangkap menunjukkan bahwa proporsi antara biomassa ikan yang layak tangkap dengan tidak layak tangkap pada ukuran mata jaring 4 cm bervariasi antara jenis ikan dan habitat. Hasil analisis memperlihatkan bahwa hanya ikan barakuda dan pepetek yang tertangkap sudah memenuhi panjang yang diperbolehkan, ikan kapas-kapas
139
dan biji nangka mendekati panjang yang diperbolehkan, sedangkan baronang lingkis, baronang, kerong-kerong, dan kuwe masih jauh dari panjang yang diperbolehkan. Bahkan ikan kuwe tidak ada yang tertangkap dengan ukuran panjang yang diperbolehkan (ukuran layak tangkap). Mengacu pada hasil analisis parameter lingkungan, hasil tangkapan dan hubungannya dengan parameter lingkungan, kajian trofik level dan selektivitas sero mata jaring 4 cm maka dapat dirumuskan alternatif pengelolaan perikanan sero di lokasi penelitian. Fakta bahwa kajian selektivitas alat tangkap yang memperlihatkan bahwa hanya ikan barakuda dan pepetek yang memenuhi panjang yang diperbolehkan maka alternatif yang paling ideal adalah meningkatkan ukuran mata jaring menjadi > 4 cm. Rekomendasi ini didasarkan pada pertimbangan dari nilai ekonomis ikan, keramahan alat tangkap sero, dan daya dukung lingkungan. Berdasarkan nilai ekonomis, kedua jenis ikan ini secara ekonomis bukan merupakan jenis yang memiliki nilai ekonomis tertinggi. Harga satuan ikan pepetek dan barakuda sebesar Rp 3000,- dan Rp 12000,- per kg jauh lebih rendah dibandingkan ikan kuwe dan lencam yang berharga Rp 19000,- dan Rp 20000,per kg. Dengan meningkatkan mata jaring > 4 cm maka peluang meningkatnya populasi jenis ikan lain yang lebih ekonomis terutama pada trofik lebih tinggi seperti ikan lencam dan kuwe. Peningkatan ukuran mata jaring sero > 4 cm berpeluang meningkatkan populasi ikan kuwe dan lencam pada trofik level yang lebih tinggi melalui 2 mekanisme yaitu peningkatan populasi ikan melalui peningkatan rekruitmen akibat meloloskan ikan yang lebih besar sehingga ikan yang berpeluang memijah lebih besar sehingga tambahan populasi dari kelahiran semakin besar. Mekanisme lain adalah pengaruh tidak langsung terhadap populasi makanan ikan lencam dan kuwe. Penambahan ukuran mata jaring menyebabkan ukuran ikan dan beberapa jenis nekton lainnya yang menjadi makanan ikan lencam yang tertangkap dengan mata jaring 4 sebagian akan diloloskan sehingga meningkatkan daya dukung untuk makanan ikan pada trofik level yang lebih tinggi termasuk ikan lencam dan kuwe. Alternatif peningkatan mata jaring sero menajdi > 4 cm secara teoritis memang memungkinkan untuk menangkap ikan pada ukuran yang seharusnya
140
atau diperbolehkan ditangkap dan hal itu ramah terhadap lingkungan. Implementasi di lapangan sangat mungkin mengalami berbagai kendala terutama dalam hal penurunan hasil tangkapan yang drastis dalam jangka pendek. Hal itu jelas akan berdampak penolakan oleh sebagian nelayan yang kehidupannya sepenuhnya bergantung pada hasil tangkapan sero. Masalah ini dapat dipecahkan melalui pendekatan dan alternatif yaitu regulasi ukuran mata jaring berdasarkan habitat dalam jangka pendek sebelum menerapkan ukuran pada semua habitat dalam jangka tertentu. Mengacu pada keseluruhan hasil analisis dan kajian dalam penelitian ini terlihat bahwa ikan biji nangka, baronang lingkis, kerong-kerong, kuwe, baronang, dan barakuda yang asosiasinya lebih dekat ke lamun maka dapat diterapkan penetapan ukuran mata jaring > 4 cm yang diperbolehkan di lamun. Mengingat pada habitat lamun lebih banyak jenis ikan yang berasosiasi dibanding pada habitat sekitar mangrove dan muara sungai, sedangkan di habitat muara sungai dan sekitar mangrove dalam waktu tertentu diperbolehkan ukuran 4 cm. Berikutnya setelah jangka waktu tertentu (perlu dikaji khusus berapa waktu tepatnya) aturan yang sama diberlakukan di muara sungai dan sekitar mangrove karena di habitat tersebut berasosiasi ikan lencam yang juga bernilai ekonomis penting. Pemberlakuan secara bertahap ini dapat mengatasi masalah penurunan hasil tangkapan yang drastis bagi nelayan dan masih menggunakan alat tangkap yang berukuran 4 cm. Jeda waktu regulasi ini dapat memberikan kesempatan kepada nelayan untuk mempersiapkan alat tangkap baru dan tidak secara drastis mengalami penurunan hasil tangkapan yang dapat mengganggu kehidupan seharihari nelayan. Opsi alternatif rekomendasi dalam regulasi perikanan sero dalam kaitan penerapan ukuran mata jaring > 4 cm secara bertahap berdasarkan habitat didasarkan pada fakta bahwa ternyata kondisi lingkungan di lokasi penelitian masih mendukung dan layak untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan yang tertangkap dengan sero dan makanannya. Hal ini berarti bahwa daya dukung ekologis untuk mendukung populasi ikan masih cukup baik namun terjadi ketimpangan dan ketidakseimbangan transfer biomassa antar rantai dalam jaring makanan dimana rantai ke ikan barakuda yang jauh lebih efektif. Atas dasar
141
itulah sehingga dengan penerapan ukuran mata jaring > 4 cm secara konseptual berpeluang dapat mengembalikan keseimbangan antar rantai makanan sehingga keseimbangan hasil tangkapan pada trofik level yang lebih tinggi. Pada akhirnya dengan regulasi ini maka dalam jangka panjang proporsi ikan yang bernilai ekonomis lebih tinggi akan semakin meningkat.
142
143
10 KESIMPULAN DAN SARAN 10.1 Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Kondisi lingkungan secara umum menunjukkan perbedaan yang signifikan parameter fisika-kimia dan biologi antara ketiga habitat, namun kisaran parameter lingkungan pada tiga habitat selama penelitian menunjukkan bahwa perairan pantai masih layak dalam batas nilai yang masih ditoleransi untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup beberapa jenis ikan yang tertangkap dengan alat tangkap sero. 2. Pengelolaan sero harus memperhatikan ragam dari ekosistem yang ada karena adanya perbedaan komunitas ikan pada ketiga habitat yaitu ikan biji nangka, baronang lingkis, kerong-kerong, kuwe, baronang, dan barakuda lebih berasosiasi pada habitat lamun. Ikan lencam, kapas-kapas, dan pepetek lebih berasosiasi pada habitat sekitar mangrove sedangkan udang putih dan kepiting rajungan berasosiasi dengan muara sungai. 3. Berdasarkan analisis selektivitas mata jaring 4 cm pada experimental crib sero didapatkan hanya ikan barakuda dan pepetek yang tertangkap sudah memenuhi panjang yang diperbolehkan (L50%), ikan kapas-kapas dan biji nangka mendekati panjang yang diperbolehkan, sedangkan baronang lingkis, baronang, kerong-kerong, dan kuwe masih sangat kecil dari panjang yang diperbolehkan. 4. Pengelolaan perikanan sero di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone sebaiknya menerapkan ukuran mata jaring > 4 cm di habitat lamun sedangkan di muara sungai dan dekat mangrove dengan ukuran mata jaring 4 cm.
10.2 Saran Alat tangkap sero di perairan pantai Pitumpanua sebaiknya menggunakan ukuran mata jaring lebih besar 4 cm. Diperlukan penelitian lanjutan terhadap kajian yang sama pada alat tangkap lain sehingga pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dapat diterapkan di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone
144
145
DAFTAR PUSTAKA [APHA] American Public Health Association. 2005. Standard methods for the examination of water and wastewater 21th edition. American Public Health Association. American Waters Works Association and Water Pollution Control Federation. Washington. Adam. Jaya I, Sondita MF. 2006. Model numerik difusi populasi rajungan di Perairan Selat Makassar. J Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, XII (2):83-88. Fahmi, Adrim M. 2009. Diversitas ikan pada komunitas padang lamun di perairan pesisir Kepulauan Riau. J Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 35:7590. Afdal, Riyono SH. 2004. Sebaran klorofil-a kaitannya dengan kondisi hidrologi di Selat Makassar. J. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 36:69-82. Al-Gahwari YAK. 2003. Use of Phytoplankton Abundance and Species Diversity for Monitoring Coastal Water Quality. (Tesis) Malaysia: Universiti Sains Malaysia. Alianto, Adiwilaga EM, Damar A. 2008. Produktivitas primer fitoplankton dan keterkaitannya dengan unsur hara dan cahaya di perairan Teluk Banten. J Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 15(1):21-26. Allam SM, Faltas SN, Ragheb E. 2004. Age and growth of barracudas in the Egyptian Mediterania Waters. Journal of Aquatic Research 30(B):281289. Amiruddin 2006. Interaksi predasi teri (Stolephorus spp) selama proses penangkapan ikan dengan bagan rambo: Hubungannya dengan kelimpahan plankton (tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Anakotta ARF. 2002. Studi Kebiasaan Makanan Ikan-Ikan yang Tertangkap di Sekitar Ekosistem Mangrove Pantai Oesapa dan Oebelo Teluk Kupang – Nusa Tenggara Timur (tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 121 hal Andriyani 2004. Analisis Hubungan Parameter Fisika-Kimia dan Klorofil-A dengan Produktivitas Primer Fitoplankton di Perairan Pantai Kabupaten Luwu (Tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. 85 hal Arami H. 2006. Seleksi Teknologi Penangkapan Ikan Karang Berwawasan Lingkungan dalam Pengembangan Perikanan Tangkap di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
146
Aranchibia H, Neira S. 2005. Long-term change in the mean trophic level of Central Chile fisheries landings. J. Marine Sci 69(2): 295-300. Arief D. 1992. A Study on Low Frequency Variability in Current and Sea Level in the Lombok Strait and Adjacent Region. (Dissertation). Lousiana: Lousiana State University: 198 Pp. Arinardi OH. 1989. Zooplankton di perairan sekitar Cilacap (Jawa Tengah) dan hubungannya dengan perikanan. J Penelitian Perikanan Laut 53:97-105. Aryawati R. 2007. Kelimpahan dan Sebaran Fitoplankton di Perairan Berau Kalimantan Timur (tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 81 hal Asriyana 2011. Interaksi Trofik Komunitas Ikan Sebagai Dasar Pengelolaan Sumber Daya Ikan di Perairan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara (disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 106 hal. Azis MF. 2007. Tipe estuari Binuangeun (Banten) berdasarkan distribusi suhu dan salinitas perairan. J. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 33:97110. Bengen, DG. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Boer M, Aziz KA, Widodo J, Djamali A, Ghofar A, Kurnia R. 2001. Potensi Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Jakarta: Direktorat Riset dan Eksplorasi Sumberdaya Hayati, Direktur Jenderal Penyerasian Riset dan Eksplorasi Laut. Departemen Kelautan dan Perikanan Bekerjasama-Komisi Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut-Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. 44 hal. Budiman, Supriharyono, Asriyanto. 2006. Analisis sebaran ikan demersal sebagai basis pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Kendal. J Pasir Laut 2 (1):52-63 Chande AL, Mgaya YD. 2003. The Fisheries of Portunus pelagicus and Species Diversity of Portunid Crabs the Coast of Dar es Salaam, Tanzania. Western Indian Ocean. J. Marine Sci II(1):75-84. Chassot E, Gascuel D, & Colomb A. 2005. Impact of trophic interactions on production function and on the ecosystem response to fishing: a simulation approach. Aquatic Living Resources 18: 1–3. Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 412 hal.
147
Dangnga S, Tenriware, Nur M. 2009. Karakteristik Parameter Lingkungan Kaitannya Pengembangan Alat Tangkap Sero di Perairan Teluk Bone Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo. J. Agribisnis I:1-10. Djokosetiyanto D, Rahardjo S. 2006. Kelimpahan dan keanekaragaman fitoplankton di perairan pantai Dadap Teluk Jakarta. J Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 13(2):135-141. Douglas RM. 2001. Physical Oceanography. Illinois: Department of Geophysical Science, University of Chicago. 157 pp. Duxburry AB 2002. Fundamental of Oceanography-4th eds. New York: McGrawHill Companies. 344 pp. Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. 163 hal. Ernawati T, Sumiono B. 2006. Sebaran dan kelimpahan ikan kuniran (Mullidae) di perairan selat Makassar. Prosiding Seminar Nasional Ikan IV, Jatiluhur, 29-30 Agustus 2006. Hal 95-104. Fachrul MF. 2007. Metode sampling bioekologi. Edisi 1. Jakarta: Bumi Aksara. 198 hal. FAO. 1999. Regional guildelines for responsible fisheries in Southeast Asia. Bangkok: South Asian Fisheries Development Centre. 71 p. Fortes MD. 1989. Seagrass: A Resources Unknown in the ASEAN Region. ICLARM Education Series 5. Manila: ICLARM, Philippines. 46 pp. Fridman AL. 1986. Perhitungan dalam Merancang Alat Penangkap Ikan. Revisi dan diedit dan dikembangkan oleh PJG Carrothers. Team Penterjemah BPPI. Semarang. 300 hal. Genisa AS. 1999. Pengenalan jenis-jenis ikan laut ekonomis penting di Indonesia. Oseana 24(1):17-38. Gilanders BM. 2006. Seagrasses, Fish, and Fisheries. In Larkum AWD, Orth RJ. Duarte CM (Eds), Seagrasses: Biology, Ecology, and Conservation, Springer, The Netherland. 503-536pp Gulland JA. 1974. Fish Stock Assessment. A Manual of Basic Methods. Wiley Series on Food Agriculture FAO. Volume 1: 241p. Gunarso W. 1996. Tingkah laku ikan dan set net. Diktat kuliah [tidak dipublikasikan]. Bogor: Departemen PSP Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. IPB. 64 hal.
148
Hadikusumah, Nurhayati, Wenno LF. 2001. Variasi Suhu dan Salinitas di Perairan Mamberamo Irian Jaya, Agustus 2000. Dalam: Aziz, dan Muchtar (eds). Perairan Indonesia: Oseanografi, Biologi dan Lingkungan. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI. 9-19. Hasanuddin M. 2007. Kondisi oseanografi perairan Natuna Provinsi Kepulauan Riau. Profil sumberdaya laut di perairan laut Cina Selatan dan sekitarnya. J Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 33:111-125. Hatta M. 2009. Pemangsaan zooplankton terhadap fitoplankton di perairan Kabupaten Barru, Selat Makassar. J Omni Akuatika V(9): 1-13. Hatta M. 2010. Hubungan antara kelimpahan fitoplankton dengan parameter lingkungan di Perairan Kabupaten Barru, Selat Makassar. J Ilmiah Forum Pascasarjana IPB 33(1):1-11. Hatta M. 2010. Struktur dan Dinamika Trofik Level di Daerah Penangkapan Perikanan Bagan Rambo Kabupaten Barru Sulawesi Selatan (disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 268 hal Hutagalung H, Setiapermana D, Riyono SH, (eds). 1997. Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota, Buku 2. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Hutomo M, Burhanuddin, Martosewojo S. 1987. Sumberdaya Ikan Teri di Indonesia. Seri Sumberdaya Alam. Jakarta: 80 hal Imron M. 2008. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Demersal yang Berkelanjutan di Perairan Tegal Jawa Tengah (disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 226 hal Jalil, Mallawa A, Ali SA. 2003. Biologi populasi ikan baronang lingkis (Siganus canaliculatus) di perairan Kecamatan Bua Kabupaten Luwu. J Sains dan Teknologi 3:8-14. Jaureguizar AJ & Milessi AC. 2008. Assessing the sources of the fishing down marine food web process in the Argentinean-Uruguayan common fishing zone. J Scientia Marina 72(1): 25–36. Jazayeri A, Papan F, Savari A, Nejad TS. 2011. Biological investigation of Persian Gulf blue swimmer crab (Portunnus pelagicus) in Khuzestan coast. J American Sci. VII(2): 7-13. Jones R. 1976. Mesh regulation in the demersal fisheries of the South China Sea area. Manila: South China Sea Fisheries Development and Coordinating Programme. SCS/76/WP/34 : 75pp.
149
King CAM. 1963. An Introduction to Oceanography. New York: McGraw Hill Book Company. KKP Wajo. 2010. Data Statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wajo Tahun 2002-2008. Kleimbaum DG, Kupper LL, Muller KE. 1988. Applied Regression Analysis and Other Multivariable Methods. 2nd Edition. Boston: PWS-KENT Publishing Company. Krajangdara T. 2004. Reproductive of pinkear emperor, Lethrinus lentjan (Lacepede, 1802) in Phang-nga Bay and Adjacent Water. Abstract. http://www.gbrmpa.gov.au (diakses 17 Nopember 2011). Kurnia M. 2003. Perbandingan hasil tangkapan bubu pada jenis terumbu buatan bambu dan ban di perairan teluk Bone. J Sains dan Teknologi 3:57-64. Laevastu T, Hela I. 1981. Fisheries Oceanography. London: New Ocean Environmental Services, Fishing News (Books) Ltd. 145p. Lai JCY, Peter KL, Davie PJF. 2010. A Revision of the Portunnus pelagicus (Linnaeus, 1758) Species Complex (Crustacea: Brachyura: Portunidae), with the Recognition of Four Species. The Raffles Bulletin of Zoology, 58 (2):199-237 Legendre L, Legendre P. 1983. Numerical Ecology. Elsevier Scientific Publishing Company. Levinton JS. 1982. Marine Ecology. Englewood Cliffs.
New Jersey:
Prentice-Hall, Inc.
Losanes LP, Koike T, Machii, Matsuda K. 1990. Selectivity of semi trammel net to gizzard shad Konosirus punctatus. Proceedings of the Second Asian Fisheries Forum. Manila: Asian Fisheries Society. Pp 825-828. Ludiro D, Supriatna, Dame A. 1999. Studi Konservasi dan Konservasi Lahan Mangrove. Makalah disampaikan pada Workshop Penelitian Lintas Disiplin Pesisir Timur Sulawesi Selatan. Sengkang, Nopember 1999. 15 hal Machado IF, Dumont LPC, D’incao F. 2009. Stage of Gonadal Development and Mean Length at First Maturity of Wild Females of White Shrimp (Liptopenaeus schmitti – Decapoda, Penaeidae) in Southern Brazil. Atlantica. J Rio Grande, 31 (2): 169-175. Mackentum, K. M. 1969. The Practice of Water Pollution Biology. United State Department of Interior. Federal Water Pollution Control. Administration Division of Technical Support.
150
Mann KH, Lazier JRN. 1991. Dynamics of Marine Ecosystems, BiologicalPhysical Interactions in the Ocean. Boston: Blackwell Scientific Publications. Manoppo L 1999. Selektivitas Jaring Insang Hanyut Terhadap Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Lepas Pantai Selatan Jawa Barat (tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 101 hal Marasabessy MD. 2010. Keanekaragaman jenis ikan karang di perairan Pesisir Biak Timur. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 36(1):63-84. Marasabessy MD, Edward. 2002. Kondisi oseanografi dan keanekaragaman jenis ikan di Perairan Raha, Pulau Una, Sulawesi Tenggara. Prosiding Seminar Nasional Perikanan Indonesia, Jakarta 27-28 Agustus 2002. Jakarta: Sekolah Tinggi Perikanan. Mardjudo A. 2002. Studi tentang Selektivitas Pukat Pantai yang Digunakan oleh Nelayan di Pesisir Teluk Palu-Donggala Sulawesi Tengah (tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Martasuganda S, Purwanto J, Husein S. 1991. Fluktuasi stok ikan kuniran (Upeneus sulphureus) di perairan Semarang Jawa Tengah. Bulletin Maritek ITK:hal 68 - 81. Marwoto, Mahdiana A, Anggoro S, Sukardi. 2006. Analisis Struktur Komunitas Ikan Hasil Tangkapan Jaring Arad di Perairan Pantai Cilacap. J Sains Akuatik 10(1): 43-53. Masrikat JAN. 2009. Kajian Standing Stock Ikan Pelagis Kecil dan Demersal serta Hubungannya dengan Kondisi Oseanografi di Laut Cina Selatan, Perairan Indonesia (disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Mathew S. 2001. Small-scale fisheries perspective on an ecosystem-based approach to fisheries management. Reykjavik Conference on Responsible Fisheries in the Marine Ecosystem, Reykjavik, Iceland, 1-4 October 2001. Matsuoka T. 1995. A Method to Calculate Selectivity of Gillnets with a Probality Mode based on Variations of Body Girth. Kagoshima: Faculty Fisheries Kagoshima University. 15 p. Monintja DR, Sondita MFA, Nasution C, Barus HR, Mawardi W, Zulkarnaim. 1999. Studi Alat Tangkap Berwawasan Lingkungan. Bogor: Lembaga Penelitian IPB (tidak dipublikasikan). 61 hal
151
Moustaka-Gouni M, Vardaka E, Michaloudi E, Kormas KAR, Tryfon E, Mihalatou H, Gkelis S, Lanaras T. 2006. Plankton food web structure in a eutrophic polymictic lake with a history of toxic cyanobacterial blooms. Limnology and Oceanography 51(1): 715–727. Muchlisin ZA, Azizah MNS. 2010. Diversity and distribution of freshwater fishes in Aceh Water, Northern-Sumatra, Indonesia. International Journal of Zoological Research 6(2):166-183. Murifto I. 2000. Analisis Pengaruh Faktor Oseanografi terhadap Sebaran Spasial dan Temporal Sumberdaya Ikan di Selat Sunda (disertasi) Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Nielsen LA, Lampton DJ. 1983. Fisheries techniques. Bethesda Maryland: The American Fisheries Society. 468 pp. Nienhuis PHJ, Coosen, Kiswara W. 1989. Cummunity structure and biomassa distribution of seagrass and macrofauna in the Flores Sea, Indonesia. Netherland Journal of Sea Research 23(2):197-214 Nikolsky GW. 1963. The Ecology of fishes. London: Academic Press. 352 pp. Nikoronov IV. 1975. Interaction of Fishing Gear with Fish Aggregations. Jerussalem: Keter Publishing House. 216 pp. Nontji A. 1984. Biomassa dan Produktivitas Fitoplankton di Perairan Teluk Jakarta serta Kaitannya dengan Faktor-Faktor Lingkungan (disertasi). Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan. Nontji A. 2005. Laut Nusantara. Jakarta: Penerbit Djambatan. Novitriana R, Ernawati Y, Rahardjo MF. 2004. Aspek pemijahan ikan petek, Leiognathus equulus,Forskall 1775 (Fam. Leiognathidae) di pesisir Mayangan Subang, Jawa Barat. J Iktiologi Indonesia 4:7-13. Nurhayati 2002. Karakteristik hidrografi dan arus di Perairan Selat Malaka. Dalam: Ruyitno, M.Muchtar dan I.Supangat (Eds.). J Perairan Indonesia: Oseanografi, Biologi dan Lingkungan. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Hal 1-8. Nurhayati 2007. Pola arus permukaan laut di sekitar perairan Teluk Klabat dan Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Laporan sumberdaya laut dan lingkungan Bangka Belitung 2003-2007. (www.oseanografi.lipi.go.id) : 77-86.
152
Nybakken JW. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: Gramedia. Odum, EP. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Parson TR, Takahashi M, Hargrave B. 1984. Biological Oceanographic Processes. Third Edition. Pergamon Press. UK. 330 p. Pasquier GA, Pẻrez EPE. 2004. Age and growth of the white shrimp Litopenaeus schmitti in Western Venezuela. Journal Interciencia 29(4):212-218. Pauly D. 1977. The Leiognathidae (Teleostei) : their species, stock, and fishery in Indonesia, with notes on the biology of Leiognathus splendens (Cuvier). Marine Research Indonesia 19:73-93. Pauly D, Christensen V, Froese R, Palomares ML. 2000. Fishing down aquatic food webs. American Scientific 88(1):46-51. Pauly D, Christensen V. 2002. Ecosystem model. In: Handbook of fish biology and fisheries Volume II. Fisheries, Hart, P.J.B. and J.D. Reynolds (Eds). Blackwell Publishing. United Kingdom. p: 210-277 Petersen RG. 1985. Design and analysis of experiments. New York: Marcel Dekker, Inc.. Phillips RC, Menez EG. 1988. Seagrasses. Smithsonian Contribution to the Marine Science No. 34. Washington DC: Smithsonian Institution Press. Pope JA. 1975. Manual of methods for fish stock assesment. Part III. Selectivity of fishing gear. Rome: FAO Fisheries 41:1-36. Pope JA, Margetts AR, Hamley JM, Akyuz EF. 1975. Manual of methods for fish stock assessment. Pt 3. Selectivity of fishing gear. FAO Fisheries Techical Paper 41 (Rev.1):1-65. Poppo A, Mahendra MS, Sundra IK. 2009. Studi kualitas perairan pantai di kawasan industri perikanan, Desa Pengambengan, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana. Jurnal Ecotrophic 3(2):98-103. Pramonowibowo, Hartoko A, Ghofar A. 2007. Kepadatan udang putih (Penaeus merguiensis De Man) di sekitar perairan Semarang. J Pasir Laut II(2):1829. Prescod MB. 1973. Investigation of national effluent and streams standars for tropical countries. Bangkok: Asian Institute of Technology.
153
Priharyono JE, Boedihartono, Purwanto, Cohesin EM. 2003. Management of Coastal Area: Community Empowerment and the Replating of Mangrove on the Coast Paojepe, South Sulawesi. Annual Report of First, Second and Third Phase Inter-Disciplinary Research. Departemen of Antropology Faculty of Sosial and Political Sciences University of Indonesia . 78 hal Pritchard DW. 1967. Descriptive Physican Oceanography. Second Edition. Massachussets : Jones and Bartelett Publisher. Pujiyati S. 2008. Pendekatan Metode Hidroakustik untuk Analisis Keterkaitan antara Tipe Substrat Dasar Perairan dengan Komunitas Ikan Demersal (disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rachmansyah. 2004. Analisis Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Awarange, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan bagi Pengembangan Budidaya Bandeng dalam Keramba Jaring Apung (disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rahardjo P. 1997. Some aspect of the biology and population dynamic of goatfish, Upeneus spp. In Terengganu Water, Peninsular Malaysia. (tesis): Universiti Putra Malaysia. Rappe RA. 2010. Struktur komunitas ikan pada padang lamun yang berbeda di Pulau Barrang Lompo. J Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis 2 (2):62-73 Regier HA, Robson DS. 1966. Selectivity of gill nets, especially to lake whitefish. Journal of Fisheries Board of Canada 23(3):423-454. Rengi P. 2002. Pengaruh Hanging Ratio Terhadap Selektivitas Drift Gillnet: Experimental Fishing di Perairan Kabupaten Bengkalis Riau (tesis) Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Reuben S, Vijayakumaran K, Kchittibabu. 1992. Growth, Maturity and Mortality of Upeneus Sulphureus from Andhra-Orissa Coast. Visakhapatnam Research Center. Central Marine Fisheries Research Institute Ardhra University. Ridho MR. 1999. Distribusi, Biomassa dan Struktur Komunitas Sumberdaya Ikan Demersal di Perairan Pantai Sumatera (tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 88 hal Ridho MR. 2004. Distribusi, Kepadatan Biomassa dan Struktur Komunitas Ikan Demersal di Perairan Laut Cina Selatan (disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 147 hal Romimohtarto R, Juwana S. 2001. Buku Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan tentang Biologi Laut. Jakarta: Penerbit Djambatan. 210 hal
154
Rudi E, Iskandar T, Fadli, Hidayati. 2011. Komposisi ikan karang hasil tangkapan nelayan kota Sabang sebelum dan sesudah peristiwa coral bleaching. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Kebencanaan. Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh, 13-19 April 2011:17-20. Sachlan M. 1982. Planktonologi. Fakultas Petemakan. Semarang: Universitas Diponegoro. Sadarun B. 2011. Proses Tertangkapnya Ikan Karang dengan Small Bottom Setnet (disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 128 hal. Safruddin. 2007. Hubungan perubahan suhu dan salinitas dengan fluktuasi hasil tangkapan purse seine di perairan Kabupaten Jeneponto. J Sains & Teknologi 7(1):37-44. Salmin 2005. Oksigen terlarut (DO) dan kebutuhan oksigen biologi (BOD) sebagai salah satu indikator untuk menentukan kualitas perairan. J Oseana 30(3):21-26. Saputra SW, Soedarsono P, Sulistyawati GA. 2009. Beberapa aspek biologi ikan kuniran (Upeneus spp) di perairan Demak. J Saintek Perikanan 5:1-6. Saputra SW, Subiyanto. 2007. Dinamika Populasi Udang Jerbung (Penaeus merguiensis De Man 1907) di Laguna Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. J Ilmu Kelautan UNDIP XII (3):157-166. Shahab AZ. 1986. Telaah Perbandingan Sebaran Burayak Plankton Terutama Avertebrata Benthik dari Goba-Goba Pulau Pari pada Bulan September – Desember 1982. Jakarta. PT Waca Utama Pramesti. Situ YY, Sadovy YJ. 2004. A Preliminary study on local species diversity and seasonal composition in a Hongkong wet market. Asian Fisheries Science 17:235-248. Sjafei DS, Robiyani. 2001. Kebiasaan makanan dan faktor kondisi ikan kurisi, Nemipterus tumbuloides Blkr. di perairan Teluk Labuan, Banten. J lktiologi Indonesia 1(1): 7–11. Sjafei DS, Susilawati R. 2001. Beberapa aspek biologi ikan biji nangka Upeneus moluccensis Blkr. di perairan Teluk Labuan, Banten. J Iktiologi Indonesia 1(1):35-39 Sjafei DS, Syaputra D. 2009. Aspek reproduksi ikan kapasan (Gerres kapas Blkr, 1851, Fam. Gerreidae) di perairan pantai Mayangan, Jawa Barat. J Iktiologi Indonesia 9:75-84.
155
Sjafei DS, Saadah. 2001. Beberapa aspek biologi ikan petek, Leiognathus splendens Cuvier di perairan Teluk Labuan, Banten. J Iktiologi Indonesia 1(1):13-17. Soadiq S. 2010. Eksperimenpenangkapan Ikan Karang dengan Menggunakan Fyke Net Modifikasi di Kabupaten Selayar (tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor: 71 hal. Sparre P, Venema SC. 1999. Introduksi pengkajian stok ikan tropis. Part I. Manual. Rome : FAO Fisheries Technical Paper 306/I (Revisi 2): 1-438 hal [terjemahan]. Subani W. 1990. Buku Pedoman Pengenalan Sumber Perikanan Laut (JenisJenis Ikan Ekonomis Penting). Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian. 170 hal. Subani W, Barus RH. 1989. Alat Tangkap Ikan dan Udang Laut Indonesia. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut BPPL. 248 hal. Sudirman 2003. Analisis Tingkah Laku Ikan Untuk Mewujudkan Teknologi Ramah Lingkungan dalam Proses Penangkapan pada Bagan Rambo (disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 307 hal. Suharyanto, Tjaronge M. 2009. Pertumbuhan dan sintasan krablet Rajungan (Portunnus pelagicus) pada salintas yang berbeda. J Ichthyos VIII(1):7-12. Supriyadi IH 2009. Pemetaan lamun dan biota asosiasi untuk identifikasi daerah perlindungan lamun di Teluk Kotania dan Pelitajaya. J Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 35(2):161-178. Sutomo AB, Riyono SH, Santoso. 1989. Kandungan klorofil fitoplankton di Ujung Watu, Jepara, Jawa Tengah. Dalam; Penelitian Oseanologi Perairan Indonesia, Buku I (Biologi, Geologi, Lingkungan dan Oseanografi). P3OLIPI. Jakarta. Sutomo, Juwana S. 1990. Pengamatan pendahuluan perkembangan gonad betina ikan baronang (Siganus guttatus) di perairan Pulau Pari, wilayah PulauPulau Seribu. J Oseanologi Indonesia 23:1-12. Sverdrup HU, Johnson MW, Fleming RH. 1961. The Ocean, Their Physics, Chemistry and General Biology. Englewood Cliffs, New Jersey: PrenticeHall. Swingle HS. 1968. Standarization of chemical analysis for water pond muds. FAO Fisheries 44(4) Szedlmayer ST & Lee JD. 2004. Diet shifts of juvenile red snapper with changes in habitat and fish size. J of Fish Biology: 53:58–65.
156
Tenriware 2005. Hubungan antara Mesh Size Bagian Bunuhan (Crib) dengan Selektivitas Alat Tangkap Sero di Perairan Pantai Pitumpanua Teluk Bone (tesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 105 hal. Tenriware 2009. Keanekaragaman sumberdaya ikan yang tertangkap dengan alat tangkap sero di Perairan Pitumpanua – Kab. Wajo, Teluk Bone. J Perikanan & Kelautan IV:1 -12. Tharwat AA, Rahman AA. 2006. Fishery traps (gargours) in Saudi Territorial Water of the Arabian Gulf. JKU: Marine Science 17:13-31. Thoha H. 2007. Kelimpahan plankton di ekosistem perairan Teluk Gilimanuk, Taman Nasional, Bali Barat. J Makara, Sains 11 (1) : 44-48. Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Mousa MK. 1997. The ecology of the Indonesia Seas. Series Vol. 8. Ssingapore: Periplus Edition (Hk) Ltd. Tuwo A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut: Pendekatan Ekologi, Sosial-Ekonomi, Kelembagaan, dan Sarana Wilayah. Cetakan I. Surabaya: Brilian Internasional. 412 hal. Umar NA. 2009. Dinamika Populasi Plankton dalam Area Pusat Penangkapan Benur dan Nener di Perairan Pantai Kecamatan Suppa Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan (disertasi). Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. UNESCO. 1983. Coral reef, seagrass and mangrove ecosystem. Coral reefs, seagrass bads and mangroves, their interaction in the coastal zones of the Carribean. UNESCO Report on Marine Science 23:6-16. Valiela I. 1984. Marine Ecological Processes. New York: Springer-Verlag. Wahyudewantoro G. 2009. Komposisi jenis ikan perairan mangrove pada beberapa muara sungai di Taman Nasional Ujung Kulon, PandeglangBanten. J Zoo Indonesia 18(2):89-98 Wardjan Y. 2005. Seleksi Lokasi dan Estimasi Daya Dukung Lingkungan Perairan untuk Budidaya Ikan Kerapu Teknik Keramba Jaring Apung di Perairan Pulau Panikiang Kabupaten Barru Sulawesi Selatan (Tesis). Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 161 hal Wassef EA, Hady HAA. 1997. Breeding biology of rabbitfish Siganus canaliculatus (Siganidae) in Mid Arabian Gulf. J Fisheries Research 3:159-166. Wattayakorn. 1988. Nutrient Cycling in Estuarine. Paper presented in the Project on Research and its application to management of the mangrove of Asia and Pasific, Rayong, Thailand. 13 p.
157
Weatherley AH dan Gill HS. 1987. The Biology of Fish Growth. London: Academic Press. 443 hal. Wenno LK. 2003. Studi dinamika Selat Makassar serta interaksinya dengan daratan Pulau Kalimantan dan Sulawesi. Laporan Akhir Pengembangan Riset Unggulan Kompetitif Tahun Anggaran 2003. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI. 96 hal. Widodo J, Aziz KA, Priyono BE, Tampubolon GH, Naamin N, Djamali A. 1998. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Jakarta: Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut. Jakarta, LIPI. 251 halaman. Widodo J, Suadi. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Cetakan ke II. 252 hal. Wudianto. 2007. Set Net sebagai Alternatif Alat Tangkap Ikan Hemat Energi. Artikel. Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Yusfiandani R. 2004. Studi tentang Mekanisme Berkumpulnya Ikan Pelagis Kecil di Sekitar Rumpon dan Pengembangan Perikanan di Perairan Pasauran Propinsi Banten (disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Yusof S. 2002. Demersal fish stock assessment in the inshore of the east coast of Peninsular Malaysia. Thirteenth trawl survey of the coastal waters of east coast of Peninsular Malaysia (April-June 2001). Ministry of Agriculture Malaysia. 138p. Zainuddin M. 2011. Skipjack tuna in relation to sea surface temperatur and clorophyll-a concentration of Bone Bay using remotely sensed satellite data. Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis 3(1):82-90. Zar JH. 1984. Biostatistical Analysis. 2nd Edition. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hal International, Inc.
158
159
Lampiran 1 Hasil analisis ragam (Anova) parameter suhu perairan (oC) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Suhu (oC) Source Type III Sum of Squares df Mean Square a Corrected Model 24.170 23 1.051 Intercept 59265.507 1 59265.507 stasiun * sampling 3.627 14 .259 stasiun 6.750 2 3.375 sampling 13.792 7 1.970 Error 9.793 48 .204 Total
59299.470
72
33.963
71
Corrected Total
a. R Squared = .712 (Adjusted R Squared = .573)
Tukey HSDa,b Lokasi
Suhu (oC)
N Muara Sungai
24
Mangrove
24
Lamun
24
Sig.
Subset 1 2 28.2750 28.7917 29.0042 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .204. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 24.000. b. Alpha = .05.
.243
F 5.151 290477.637 1.270 16.543 9.657
Sig. .000 .000 .261 .000 .000
160
Lampiran 2 Hasil analisis ragam (Anova) parameter kecepatan arus (m/dtk) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Kecepatan Arus (meter per detik) Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
.145
a
23
.006
5.328
.000
Intercept
3.261
1
3.261
2765.214
.000
stasiun * sampling
.013
14
.001
.780
.685
stasiun
.126
2
.063
53.373
.000
sampling
.006
7
.001
.698
.674
Error
.057
48
.001
Total
3.462
72
.201
71
Corrected Total
a. R Squared = .719 (Adjusted R Squared = .584)
Kecepatan Arus (meter per detik) Tukey HSD
a,b
Lokasi
Subset N
1
Lamun
24
Mangrove
24
Muara Sungai
24
Sig.
2
.16042 .21529 .26275 1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .001. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 24.000. b. Alpha = .05.
3
1.000
161
Lampiran 3 Hasil analisis ragam (Anova) parameter salinitas perairan (o/oo) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian
Tests of Between-Subjects Effects o
Dependent Variable:Salinitas ( /oo) Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
85.324a
23
3.710
8.553
.000
67320.036
1
67320.036
155204.693
.000
9.034
14
.645
1.488
.152
stasiun
34.997
2
17.498
40.342
.000
sampling
41.293
7
5.899
13.600
.000
Error
20.820
48
.434
Total
67426.180
72
106.144
71
Corrected Model Intercept stasiun * sampling
Corrected Total
a. R Squared = .804 (Adjusted R Squared = .710)
o
Salinitas ( /oo) Tukey HSDa,b Lokasi
Subset N
1
2
Muara Sungai
24
Mangrove
24
30.992
Lamun
24
31.146
Sig.
29.596
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .434. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 24.000. b. Alpha = .05.
.698
162
Lampiran 4 Hasil analisis ragam (Anova) parameter pH perairan antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:pH (Skala pH) Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
23
.029
2.376
.006
3490.301
1
3490.301
282361.449
.000
stasiun * sampling
.232
14
.017
1.342
.219
stasiun
.103
2
.052
4.180
.021
sampling
.340
7
.049
3.928
.002
Error
.593
48
.012
Total
3491.570
72
1.269
71
Corrected Model
.675
Intercept
Corrected Total
a. R Squared = .532 (Adjusted R Squared = .308)
pH (Skala pH) Tukey HSD
a,b
Lokasi
Subset N
1
2
Muara Sungai
24
6.921
Mangrove
24
6.954
Lamun
24
Sig.
7.013 .556
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .012. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 24.000. b. Alpha = .05.
6.954
.175
163
Lampiran 5 Hasil analisis ragam (Anova) parameter kadar oksigen terlarut (ppm) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Kadar Oksigen Terlarut (ppm) Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
23
.351
2.053
.018
2551.361
1
2551.361
14922.661
.000
stasiun * sampling
2.401
14
.172
1.003
.466
stasiun
1.805
2
.903
5.279
.008
sampling
3.866
7
.552
3.230
.007
Error
8.207
48
.171
Total
2567.640
72
16.279
71
Corrected Model
8.073
Intercept
Corrected Total
a. R Squared = .496 (Adjusted R Squared = .254)
Kadar Oksigen Terlarut (ppm) Tukey HSD
a,b
Lokasi
Subset N
1
2
Muara Sungai
24
5.754
Mangrove
24
5.963
Lamun
24
Sig.
6.142 .199
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .171. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 24.000. b. Alpha = .05.
5.963
.299
164
Lampiran 6 Hasil analisis ragam (Anova) konsentrasi nitrat (µg/L) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Konsentrasi Nitrat (µg/L) Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
.295
a
23
.013
2.420
.005
Intercept
2.192
1
2.192
414.239
.000
stasiun * sampling
.134
14
.010
1.803
.066
stasiun
.082
2
.041
7.759
.001
sampling
.079
7
.011
2.129
.058
Error
.254
48
.005
Total
2.741
72
.549
71
Corrected Total
a. R Squared = .537 (Adjusted R Squared = .315)
Konsentrasi Nitrat (µg/L) Tukey HSD
a,b
Lokasi
Subset N
1
Lamun
24
Mangrove
24
Muara Sungai
24
Sig.
2
.12854 .18621 . 20875 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .005. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 24.000. b. Alpha = .05.
.535
165
Lampiran 7 Hasil analisis ragam (Anova) konsentrasi fosfat (µg/L) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Konsentrasi Fosfat (µg/L) Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
23
.002
2.320
.007
Intercept
.809
1
.809
1241.015
.000
stasiun * sampling
.017
14
.001
1.912
.049
stasiun
.010
2
.005
7.945
.001
sampling
.007
7
.001
1.530
.180
Error
.031
48
.001
Total
.875
72
Corrected Total
.066
71
Corrected Model
.035
a. R Squared = .526 (Adjusted R Squared = .300)
Konsentrasi Fosfat (µg/L) Tukey HSD
a,b
Lokasi
Subset N
1
2
Lamun
24
Mangrove
24
.11000
Muara Sungai
24
.11825
Sig.
.08971
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .001. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 24.000. b. Alpha = .05.
.507
166
Lampiran 8 Hasil analisis ragam (Anova) konsentrasi silikat (µg/L) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Konsentrasi Silikat (µg/L) Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
23
6.918E-6
.560
.934
.004
1
.004
308.512
.000
stasiun * sampling
8.089E-5
14
5.778E-6
.467
.939
stasiun
5.778E-6
2
2.889E-6
.234
.792
sampling
7.244E-5
7
1.035E-5
.837
.562
Error
.001
48
1.236E-5
Total
.005
72
Corrected Total
.001
71
Corrected Model
.000
Intercept
a. R Squared = .211 (Adjusted R Squared = -.166)
Konsentrasi Silikat (µg/L) Tukey HSDa,b Lokasi
Subset N
1
Lamun
24
.00700
Mangrove
24
.00717
Muara Sungai
24
.00767
Sig.
.789
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 1.24E-005. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 24.000. b. Alpha = .05.
167
Lampiran 9 Hasil analisis ragam (Anova) kandungan klorofil a (mg/m3) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Kandungan Klorofil-a (mg/ m3) Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
1.659
a
23
.072
1.323
.204
Intercept
49.918
1
49.918
915.180
.000
stasiun * sampling
.417
14
.030
.546
.892
1.003
2
.502
9.197
.000
.239
7
.034
.626
.732
Error
2.618
48
.055
Total
54.196
72
4.277
71
stasiun sampling
Corrected Total
a. R Squared = .388 (Adjusted R Squared = .095)
3
Kandungan Klorofil-a (mg/m ) Tukey HSDa,b Lokasi
Subset N
1
2
Mangrove
24
.68683
Muara Sungai
24
.83517
Lamun
24
Sig.
.97596 .081
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = .055. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 24.000. b. Alpha = .05.
.83517
.103
168
Lampiran 10 Hasil analisis ragam (Anova) kelimpahan fitoplankton (sel/liter) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Kelimpahan Fitoplankton (sel/liter) Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
1.389E9
23
6.040E7
3.317
.000
Intercept
7.936E9
1
7.936E9
435.910
.000
stasiun * sampling
4.987E8
14
3.562E7
1.957
.043
stasiun
5.349E8
2
2.674E8
14.690
.000
sampling
3.555E8
7
5.079E7
2.789
.016
Error
8.739E8
48
1.821E7
Total
1.020E10
72
2.263E9
71
Corrected Total
a. R Squared = .614 (Adjusted R Squared = .429)
Kelimpahan Fitoplankton (sel/liter) Tukey HSDa,b Lokasi
Subset N
1
2
Mangrove
24
Muara Sungai
24
11773.75
Lamun
24
13011.54
Sig.
6711.00
1.000
.577
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 18205912.083. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 24.000. b. Alpha = .05.
169
Lampiran
11
Hasil analisis ragam (Anova) kelimpahan zooplankton (individu/liter) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable:Kelimpahan Zooplankton (Individu/liter) Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
1.964E7
23
853804.941
2.423
.005
Intercept
4.288E7
1
4.288E7
121.682
.000
stasiun * sampling
6522400.361
14
465885.740
1.322
.230
stasiun
5933165.194
2
2966582.597
8.417
.001
sampling
7181948.097
7
1025992.585
2.911
.013
Error
1.692E7
48
352432.028
Total
7.944E7
72
Corrected Total
3.655E7
71
a. R Squared = .537 (Adjusted R Squared = .315)
Kelimpahan Zooplankton (Individu/liter) Tukey HSD
a,b
Lokasi
Subset N
1
Mangrove
24
Lamun
24
Muara Sungai
24
Sig.
2
368.08 936.33 1010.88 1.000
.901
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 352432.028. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 24.000. b. Alpha = .05.
170
Lampiran 12 Nilai rata-rata, standar deviasi (SD) dan kisaran dari 12 parameter fisika dan kimia lingkungan di muara sungai, mangrove dan lamun tempat pemasangan sero dengan experimental crib selama penelitian Parameter Suhu (°C)
Kec. arus(m/detik)
Salinitas (%o)
pH
DO (ml/l)
Nitrat (µg–at/l)
Fosfat (µg–at/l)
Silikat (µg–at/l) Klorofil-a (µg/m3)
Fitoplankton (sel/l)
Zooplankton (sel/l)
Habitat Muara Mangrove Lamun Muara Mangrove Lamun Muara Mangrove Lamun Muara Mangrove Lamun Muara Mangrove Lamun Muara Mangrove Lamun Muara Mangrove Lamun Muara Mangrove Lamun Muara Mangrove Lamun Muara Mangrove Lamun Muara Mangrove Lamun
Rata-rata 28,3 28,8 29,0 0,26 0,22 0,16 29,6 31,0 31,1 6,9 7,0 7,0 5,8 6,0 6,1 0,186 0,129 0,209 0,118 0,110 0,090 0,008 0,007 0,007 0,835 0,687 0,976 11773 6711 13011 1010 368 936
Standar Deviasi 0,6 0,6 0,7 0,03 0,04 0,03 1,2 1,0 0,8 0,1 0,1 0,1 0,4 0,4 0,5 0,088 0,066 0,091 0,025 0,030 0,030 0,003 0,003 0,003 0,282 0,192 0,162 6341 3861 4473 961 260 582
Kisaran 27,0-29,9 27,5-29,7 28,0-30,3 0,19-0,31 0,14-0,30 0,13-0,25 27,5-31,8 29,5-32,5 29,532,5 6,7-7,1 6,7-7,2 6,8-7,2 5,0-6,5 5,2-6,7 5,4-7,2 0,032-0,354 0,015-0,264 0,003-0,383 0,077-0,158 0,049-0,167 0,043-0,157 0,001-0,015 0,003-0,017 0,002-0,015 0,196-1,193 0,415-1,133 0,707-1,186 745-20996 1298-16636 5102-20617 37-3455 45-969 269-2589
171
Lampiran 13 Hasil analisis PCA untuk parameter lingkungan selama penelitian Correlation matrix (Pearson (n)): Variables Suhu SAL pH DO Nitrat Fosfat Silikat Arus
Suhu 1 0.626 0.710 0.496 0.235 -0.110 0.363 -0.117
SAL 0.626 1 0.424 0.419 -0.175 -0.220 -0.153 -0.280
pH 0.710 0.424 1 0.437 -0.143 -0.457 0.458 -0.114
DO 0.496 0.419 0.437 1 -0.315 -0.454 0.227 -0.650
Nitrat 0.235 -0.175 -0.143 -0.315 1 0.793 0.053 0.303
Fosfat -0.110 -0.220 -0.457 -0.454 0.793 1 -0.185 0.251
Silikat 0.363 -0.153 0.458 0.227 0.053 -0.185 1 0.069
Arus -0.117 -0.280 -0.114 -0.650 0.303 0.251 0.069 1
Principal Component Analysis: Eigenvalues:
Eigenvalue Variability (%) Cumulative %
F1 3.211 40.140 40.140
F2 1.814 22.674 62.814
F3 1.289 16.111 78.925
F4 0.912 11.396 90.321
F5 0.301 3.763 94.084
F6 0.261 3.268 97.352
F7 0.141 1.760 99.112
F8 0.071 0.888 100.000
Contribution of the variables (%):
Suhu SAL pH DO Nitrat Fosfat Silikat Arus
F1 14.570 12.916 18.577 21.027 6.363 14.267 3.626 8.655
F2 24.618 1.132 7.373 0.468 34.907 14.394 9.679 7.428
F3 1.655 21.744 5.476 2.422 4.363 12.183 37.256 14.901
F4 0.977 20.906 3.780 16.191 5.073 5.031 14.383 33.658
F5 0.292 16.635 45.861 5.651 3.621 0.515 18.604 8.821
F6 2.823 12.986 1.279 38.367 3.590 5.144 15.235 20.577
F7 11.427 0.168 15.346 12.693 14.054 40.770 0.012 5.529
F8 43.638 13.513 2.306 3.180 28.028 7.697 1.206 0.432
172
Lampiran 14 Hasil analisis ragam (Anova) jumlah hasil tangkapan antar lokasi menurut kelompok waktu penangkapan per jenis ikan serta total jumlah tangkapan
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:IKAN BIJI NANGKA Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
1998.375
a
17
117.551
2.342
.020
Intercept
35752.083
1
35752.083
712.410
.000
1370.583
15
91.372
1.821
.079
6.255
.005
Waktu lokasi
627.792
2
313.896
Error
1505.542
30
50.185
Total
39256.000
48
3503.917
47
Corrected Total
a. R Squared = .570 (Adjusted R Squared = .327)
IKAN BIJI NANGKA Tukey HSD
a,b
Lokasi
Subset N
1
2
Mangrove
16
22.625
Muara Sungai
16
27.813
Lamun
16
Sig.
27.813 31.437
.113
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 50.185. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000. b. Alpha = .05.
.330
173
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:IKAN BARONANG LINGKIS Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
3066.125
a
17
180.360
3.814
.001
Intercept
27265.333
1
27265.333
576.620
.000
Waktu
1445.333
15
96.356
2.038
.047
lokasi
1620.792
2
810.396
17.139
.000
Error
1418.542
30
47.285
Total
31750.000
48
4484.667
47
Corrected Total
a. R Squared = .684 (Adjusted R Squared = .504)
IKAN BARONANG LINGKIS Tukey HSD
a,b
Lokasi
Subset N
1
2
Muara Sungai
16
17.813
Mangrove
16
22.000
Lamun
16
Sig.
31.688 .214
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 47.285. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000. b. Alpha = .05.
1.000
174
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: IKAN KERONG KERONG Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
2720.958
a
17
160.056
5.054
.000
Intercept
16875.000
1
16875.000
532.871
.000
Waktu
1372.333
15
91.489
2.889
.007
lokasi
1348.625
2
674.313
21.293
.000
Error
950.042
30
31.668
Total
20546.000
48
3671.000
47
Corrected Total
a. R Squared = .741 (Adjusted R Squared = .595)
IKAN KERONG KERONG Tukey HSD
a,b
Lokasi
Subset N
1
Lamun
16
Muara Sungai
16
Mangrove
16
Sig.
2
11.563 20.500 24.188 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 31.668. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000. b. Alpha = .05.
.170
175
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: IKAN KAPAS KAPAS Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
2012.833
a
17
118.402
4.051
.000
Intercept
19040.333
1
19040.333
651.446
.000
Waktu
1341.667
15
89.444
3.060
.004
lokasi
671.167
2
335.583
11.482
.000
Error
876.833
30
29.228
Total
21930.000
48
2889.667
47
Corrected Total
a. R Squared = .697 (Adjusted R Squared = .525)
IKAN KAPAS KAPAS Tukey HSD
a,b
Lokasi
Subset N
1
Mangrove
16
Lamun
16
Muara Sungai
16
Sig.
2
15.125 20.375 24.250 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 29.228. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000. b. Alpha = .05.
.123
176
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: IKAN LENCAM Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
946.292
a
17
55.664
2.695
.009
Intercept
6120.083
1
6120.083
296.312
.000
Waktu
771.250
15
51.417
2.489
.016
lokasi
175.042
2
87.521
4.237
.024
Error
619.625
30
20.654
Total
7686.000
48
Corrected Total
1565.917
47
a. R Squared = .604 (Adjusted R Squared = .380)
IKAN LENCAM Tukey HSD
a,b
Lokasi
Subset N
1
2
Muara Sungai
16
9.500
Mangrove
16
10.438
Lamun
16
Sig.
10.438 13.938
.830
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 20.654. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000. b. Alpha = .05.
.091
177
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: IKAN PEPETEK Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
a
5443.167
17
320.186
5.777
.000
Intercept
60492.000
1
60492.000
1091.366
.000
Waktu
1656.667
15
110.444
1.993
.053
lokasi
3786.500
2
1893.250
34.157
.000
Error
1662.833
30
55.428
Total
67598.000
48
7106.000
47
Corrected Total
a. R Squared = .766 (Adjusted R Squared = .633)
IKAN PEPETEK Tukey HSD
a,b
Lokasi
Subset N
1
Lamun
16
Mangrove
16
Muara Sungai
16
Sig.
2
25.375 34.125 47.000 1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 55.428. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000. b. Alpha = .05.
3
1.000
178
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: IKAN BARONANG Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
2461.000
a
17
144.765
3.744
.001
Intercept
11907.000
1
11907.000
307.940
.000
Waktu
2183.000
15
145.533
3.764
.001
lokasi
278.000
2
139.000
3.595
.040
Error
1160.000
30
38.667
Total
15528.000
48
3621.000
47
Corrected Total
a. R Squared = .680 (Adjusted R Squared = .498)
IKAN BARONANG Tukey HSD
a,b
Lokasi
Subset N
1
2
Muara Sungai
16
13.250
Mangrove
16
15.000
Lamun
16
Sig.
15.000 19.000
.708
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 38.667. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000. b. Alpha = .05.
.181
179
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: IKAN BARAKUDA Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
17
162.754
4.761
.000
Intercept
5482.687
1
5482.687
160.391
.000
Waktu
2496.313
15
166.421
4.868
.000
3.957
.030
Corrected Model
2766.812
lokasi
270.500
2
135.250
Error
1025.500
30
34.183
Total
9275.000
48
Corrected Total
3792.312
47
a. R Squared = .730 (Adjusted R Squared = .576)
IKAN BARAKUDA Tukey HSD
a,b
Lokasi
Subset N
1
2
Lamun
16
8.063
Muara Sungai
16
10.187
Mangrove
16
Sig.
10.187 13.812
.565
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 34.183. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000. b. Alpha = .05.
.202
180
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: KEPITING RAJUNGAN Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
17
6.283
1.471
.173
776.021
1
776.021
181.643
.000
Waktu
79.646
15
5.310
1.243
.296
lokasi
27.167
2
13.583
3.179
.056
Error
128.167
30
4.272
Total
1011.000
48
234.979
47
Corrected Model
106.812
Intercept
Corrected Total
a. R Squared = .455 (Adjusted R Squared = .145)
KEPITING RAJUNGAN Tukey HSD
a,b
Lokasi
Subset N
1
Muara Sungai
16
3.313
Lamun
16
3.688
Mangrove
16
5.063
Sig.
.058
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 4.272. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000. b. Alpha = .05.
181
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: UDANG PUTIH Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
595.521
a
17
35.031
4.463
.000
Intercept
2806.021
1
2806.021
357.518
.000
Waktu
564.979
15
37.665
4.799
.000
lokasi
30.542
2
15.271
1.946
.161
Error
235.458
30
7.849
Total
3637.000
48
830.979
47
Corrected Total
a. R Squared = .717 (Adjusted R Squared = .556)
UDANG PUTIH Tukey HSD
a,b
Lokasi
Subset N
1
Lamun
16
6.750
Muara Sungai
16
7.500
Mangrove
16
8.688
Sig.
.141
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 7.849. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000. b. Alpha = .05.
182
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: TOTAL JUMLAH HASIL TANGKAPAN Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
17
3603.449
7.631
.000
1542267.000
1
1542267.000
3266.044
.000
Waktu
60689.000
15
4045.933
8.568
.000
lokasi
569.625
2
284.812
.603
.554
Error
14166.375
30
472.213
Total
1617692.000
48
75425.000
47
Corrected Model Intercept
61258.625
Corrected Total
a. R Squared = .812 (Adjusted R Squared = .706)
TOTAL JUMLAH HASIL TANGKAPAN Tukey HSD
a,b
Lokasi
Subset N
1
Mangrove
16
174.500
Lamun
16
180.688
Muara Sungai
16
182.563
Sig.
.552
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 472.213. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000. b. Alpha = .05.
183
Lampiran 15 Hasil analisis ragam (Anova) berat hasil tangkapan antar lokasi menurut kelompok waktu penangkapan per jenis ikan serta total berat tangkapan Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: IKAN BIJI NANGKA Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
3.768E6
17
221626.084
2.664
.009
Intercept
4.101E7
1
4.101E7
492.903
.000
Waktu
2246620.746
15
149774.716
1.800
.083
lokasi
1521022.685
2
760511.342
9.140
.001
Error
2496236.222
30
83207.874
Total
4.728E7
48
6263879.653
47
Corrected Total
a. R Squared = .601 (Adjusted R Squared = .376)
IKAN BIJI NANGKA Tukey HSDa,b Lokasi
Subset N
1
2
Mangrove
16
721.600
Muara Sungai
16
896.525
Lamun
16
Sig.
1154.962 .216
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 83207.874. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000. b. Alpha = .05.
184
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: IKAN BARONANG LINGKIS Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
1.445E7
17
850251.789
11.023
.000
Intercept
9.789E7
1
9.789E7
1269.155
.000
Waktu
7193367.660
15
479557.844
6.217
.000
lokasi
7260912.755
2
3630456.378
47.068
.000
Error
2313962.425
30
77132.081
Total
1.147E8
48
Corrected Total
1.677E7
47
a. R Squared = .862 (Adjusted R Squared = .784)
IKAN BARONANG LINGKIS Tukey HSD
a,b
Lokasi
Subset N
1
Muara Sungai
16
Mangrove
16
Lamun
16
Sig.
2
992.631 1354.800 1936.825 1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 77132.081. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000. b. Alpha = .05.
3
1.000
185
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: IKAN KERONG KERONG Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
1.263E7
17
743106.064
6.012
.000
Intercept
7.736E7
1
7.736E7
625.824
.000
Waktu
6640613.651
15
442707.577
3.581
.001
lokasi
5992189.432
2
2996094.716
24.238
.000
Error
3708368.082
30
123612.269
Total
9.370E7
48
Corrected Total
1.634E7
47
a. R Squared = .773 (Adjusted R Squared = .644)
IKAN KERONG KERONG Tukey HSD
a,b
Lokasi
Subset N
1
Muara Sungai
16
Mangrove
16
Lamun
16
Sig.
2
866.956 1214.431 1727.144 1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 123612.269. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000. b. Alpha = .05.
3
1.000
186
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: IKAN KAPAS KAPAS Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
4.349E7
17
2558054.307
6.790
.000
Intercept
3.407E8
1
3.407E8
904.308
.000
Waktu
2.195E7
15
1463372.344
3.884
.001
lokasi
2.154E7
2
1.077E7
28.582
.000
Error
1.130E7
30
376749.970
Total
3.955E8
48
Corrected Total
5.479E7
47
a. R Squared = .794 (Adjusted R Squared = .677)
IKAN KAPAS KAPAS Tukey HSD
a,b
Lokasi
Subset N
1
Lamun
16
Muara Sungai
16
Mangrove
16
Sig.
2
1749.231 2909.156 3334.163 1.000
.140
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 376749.970. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000. b. Alpha = .05.
187
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: IKAN LENCAM Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
5.616E7
17
3303536.940
7.290
.000
Intercept
3.505E8
1
3.505E8
773.431
.000
Waktu
2.561E7
15
1707319.975
3.767
.001
lokasi
3.055E7
2
1.528E7
33.707
.000
Error
1.360E7
30
453174.241
Total
4.203E8
48
Corrected Total
6.976E7
47
a. R Squared = .805 (Adjusted R Squared = .695)
IKAN LENCAM Tukey HSD
a,b
Lokasi
Subset N
1
Lamun
16
Muara Sungai
16
Mangrove
16
Sig.
2
1605.400 3021.706 3479.594 1.000
.149
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 453174.241. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000. b. Alpha = .05.
188
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: IKAN PEPETEK Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
2.947E6
17
173348.859
3.284
.002
Intercept
1.873E7
1
1.873E7
354.872
.000
Waktu
2731555.732
15
182103.715
3.450
.002
lokasi
215374.864
2
107687.432
2.040
.148
Error
1583367.616
30
52778.921
Total
2.326E7
48
4530298.213
47
Corrected Total
a. R Squared = .650 (Adjusted R Squared = .452)
IKAN PEPETEK Tukey HSD
a,b
Lokasi
Subset N
1
Lamun
16
530.475
Mangrove
16
662.981
Muara Sungai
16
680.531
Sig.
.172
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 52778.921. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000. b. Alpha = .05.
189
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: IKAN BARONANG Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
1.096E7
17
644796.565
4.511
.000
Intercept
8.369E7
1
8.369E7
585.516
.000
Waktu
8876864.461
15
591790.964
4.140
.000
lokasi
2084677.147
2
1042338.573
7.292
.003
Error
4288194.727
30
142939.824
Total
9.894E7
48
Corrected Total
1.525E7
47
a. R Squared = .719 (Adjusted R Squared = .559)
IKAN BARONANG Tukey HSD
a,b
Lokasi
Subset N
1
2
Muara Sungai
16
1050.094
Mangrove
16
1354.044
Lamun
16
Sig.
1354.044 1557.244
.075
.296
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 142939.824. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000. b. Alpha = .05.
190
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:IKAN BARAKUDA Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
1.382E7
17
812998.502
3.838
.001
Intercept
8.348E7
1
8.348E7
394.071
.000
Waktu
1.113E7
15
741860.916
3.502
.002
lokasi
2693060.784
2
1346530.392
6.356
.005
Error
6355557.403
30
211851.913
Total
1.037E8
48
Corrected Total
2.018E7
47
a. R Squared = .685 (Adjusted R Squared = .507)
IKAN BARAKUDA Tukey HSD
a,b
Lokasi
Subset N
1
2
Muara Sungai
16
1008.694
Mangrove
16
1364.200
Lamun
16
Sig.
1364.200 1583.544
.090
.381
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 211851.913. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000. b. Alpha = .05.
191
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: KEPITING RAJUNGAN Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
8.851E6
17
520672.137
6.406
.000
Intercept
8.293E7
1
8.293E7
1020.274
.000
Waktu
3830894.033
15
255392.936
3.142
.004
lokasi
5020532.292
2
2510266.146
30.882
.000
Error
2438554.735
30
81285.158
Total
9.422E7
48
Corrected Total
1.129E7
47
a. R Squared = .784 (Adjusted R Squared = .662)
KEPITING RAJUNGAN Tukey HSD
a,b
Lokasi
Subset N
1
2
Lamun
16
979.969
Mangrove
16
1211.531
Muara Sungai
16
Sig.
1751.844 .072
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 81285.158. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000. b. Alpha = .05.
192
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: UDANG PUTIH Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Corrected Model
9.459E6
17
556388.972
7.294
.000
Intercept
7.377E7
1
7.377E7
967.054
.000
Waktu
2963147.939
15
197543.196
2.590
.013
lokasi
6495464.582
2
3247732.291
42.577
.000
Error
2288392.178
30
76279.739
Total
8.551E7
48
Corrected Total
1.175E7
47
a. R Squared = .805 (Adjusted R Squared = .695)
UDANG PUTIH Tukey HSD
a,b
Lokasi
Subset N
1
Lamun
16
Mangrove
16
Muara Sungai
16
Sig.
2
820.350 1182.688 1716.000 1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 76279.739. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000. b. Alpha = .05.
3
1.000
193
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: TOTAL BERAT HASIL TANGKAPANl Source
Type III Sum of Squares
Corrected Model
df
Mean Square
F
Sig.
5.625E8
17
3.309E7
8.052
.000
1.050E10
1
1.050E10
2554.843
.000
Waktu
5.310E8
15
3.540E7
8.614
.000
lokasi
3.154E7
2
1.577E7
3.838
.033
Error
1.233E8
30
4109516.300
Total
1.118E10
48
6.858E8
47
Intercept
Corrected Total
a. R Squared = .820 (Adjusted R Squared = .718)
TOTAL BERAT HASIL TANGKAPAN Tukey HSDa,b Lokasi
Subset N
1
2
Lamun
16
13696.638
Muara Sungai
16
15036.531
Mangrove
16
Sig.
15036.531 15635.675
.165
.684
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 4109516.300. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 16.000. b. Alpha = .05.
194
Lampiran 16 No 1
Parameter hubungan panjang-berat hasil tangkapan selama penelitian
Jenis Ikan Biji nangka
Nilai a
Nilai b
Nilai R2
0,0392 2,7876 0,9416 0,0333 2,8691 0,9531 0,0378 2,9055 0,9524 2 Baronang lingkis 0,6744 1,6651 0,9747 0,6086 1,7010 0,9693 0,4726 1,7998 0,9678 3 Lencam 0,2498 2,2348 0,9220 0,2178 2,3114 0,9579 0,1562 2,4120 0,9622 4 Kapas kapas 0,1927 2,2141 0,9622 0,2402 2,1327 0,9701 0,2313 2,1563 0,9779 5 Pepetek 0,2110 1,9809 0,9745 0,1735 2,0427 0,9747 0,1875 2,0179 0,9711 6 Kuwe 0,1616 2,3453 0,9762 0,0965 2,5292 0,9734 0,0617 2,7261 0,9754 7 Kerong kerong 0,6800 1,9103 0,9485 0,4586 2,0330 0,9494 0,4394 2,0570 0,9634 8 Baronang 0,7897 1,9397 0,9890 0,6737 2,0058 0,9751 0,4441 2,1315 0,9809 9 Barakuda 0,0822 2,3717 0,9810 0,0801 2,3756 0,9845 0,0856 2,3725 0,9817 10 Kepiting rajungan 0,3673 2,3464 0,9222 0,2038 2,6103 0,9139 0,3747 2,3214 0,9654 11 Udang putih 0,1586 2,2902 0,9771 0,2753 2,0164 0,9746 0,1690 2,2393 0,9752 Keterangan : H1 = Muara sungai; H2 = Mangrove; H3 = Lamun
Habitat H1 H2 H3 H1 H2 H3 H1 H2 H3 H1 H2 H3 H1 H2 H3 H1 H2 H3 H1 H2 H3 H1 H2 H3 H1 H2 H3 H1 H2 H3 H1 H2 H3
195
Lampiran 17 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan biji nangka dengan parameter lingkungan selama penelitian
196
197
Lampiran 18 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan baronang lingkis dengan parameter lingkungan selama penelitian
198
199
Lampiran 19
Hasil analisis linier berganda antara berat ikan kerong-kerong dengan parameter lingkungan selama penelitian
200
201
Lampiran 20 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan kapas-kapas dengan parameter lingkungan selama penelitian
202
203
Lampiran 21 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan lencam dengan parameter lingkungan selama penelitian
204
205
Lampiran 22 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan pepetek dengan parameter lingkungan selama penelitian
206
207
Lampiran 23
Hasil analisis linier berganda antara berat ikan kuwe dengan parameter lingkungan selama penelitian
208
209
Lampiran 24 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan baronang dengan parameter lingkungan selama penelitian
210
211
Lampiran 25 Hasil analisis linier berganda antara berat ikan barakuda dengan parameter lingkungan selama penelitian
212
213
Lampiran 26 Hasil analisis linier berganda antara berat total hasil tangkapan dengan parameter lingkungan selama penelitian
214
215
Lampiran 27 Hasil analisis FCA jenis hasil tangkapan dengan habitat Eigenvalues and percentages of inertia:
Eigenvalue Inertia (%) Cumulative
F1
F2
F3
F4
F5
F6
F7
F8
F9
0.076 52.922 52.922
0.034 23.989 76.911
0.015 10.554 87.465
0.009 6.626 94.091
0.005 3.432 97.523
0.002 1.417 98.940
0.001 0.678 99.618
0.000 0.334 99.952
0.000 0.000 0.028 0.019 99.981 100.000
Results for the columns: Weights, distances and squared distances to the origin, inertias and relative inertias (columns):
BIJ BLK KER KPS LCM PTK KWE BRG BRC RJG UDG
Weight (relativ Distance Sq-Distance Inertia elative inertia 0.061 0.441 0.195 0.012 0.083 0.087 0.464 0.216 0.019 0.131 0.076 0.489 0.239 0.018 0.126 0.176 0.281 0.079 0.014 0.097 0.178 0.345 0.119 0.021 0.148 0.038 0.420 0.177 0.007 0.047 0.038 0.337 0.113 0.004 0.030 0.083 0.376 0.141 0.012 0.082 0.084 0.422 0.178 0.015 0.105 0.092 0.290 0.084 0.008 0.054 0.086 0.401 0.161 0.014 0.097
F10
216
Lampiran 28 Perhitungan analisis selektivitas mata jaring sero 4 cm setiap jenis ikan dominan tertangkap pada habitat muara sungai di perairan pantai Pitumpanua, Teluk Bone 1. Ikan Biji Nangka Jumlah dalam Kantong (ekor) 5,0 - 5,9 2 6,0 - 6,9 3 7,0 - 7,9 13 8,0 - 8,9 18 9,0 - 9,9 18 10,0 - 10,9 20 11,0 - 11,9 20 12,0 - 12,9 22 13,0 - 13,9 16 14,0 - 14,9 27 15,0 - 15,9 12 16,0 - 16,9 5 17,0 - 17,9 6 18,0 - 18,9 7 19,0 - 19,9 3 20,0 -20,9 1 S1 (Intercept)/a = S2 (Slope)/b = Interval Panjang (cm)
Jumlah dalam Penutup (ekor) 7 14 45 66 67 37 15 6 1 0 0 0 0 0 0 0 4,81 -0,47
Jumlah Total (ekor) 9 17 58 84 85 57 35 28 17 27 12 5 6 7 3 1
SL Obs. Bag. Yang Tertahan 0,22 0,18 0,22 0,21 0,21 0,35 0,57 0,79 0,94 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 L25% = L50%= L75% =
Ln (1/SL-1) (y)
Titik Tengah (x)
1,25 1,54 1,24 1,30 1,31 0,62 -0,29 -1,30 -2,77 #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! 7,86 10,18 12,51
5,5 6,5 7,5 8,5 9,5 10,5 11,5 12,5 13,5 14,5 15,5 16,5 17,5 18,5 19,2 20,2
SL Est. Bag. yang Tertahan 0,10 0,15 0,22 0,31 0,42 0,54 0,65 0,75 0,83 0,89 0,93 0,95 0,97 0,98 0,99 0,99
217
2. Baronang lingkis Jumlah dalam Kantong (ekor) 5,0 - 5,9 0 6,0 - 6,9 2 7,0 - 7,9 7 8,0 - 8,9 13 9,0 - 9,9 23 10,0 - 10,9 33 11,0 - 11,9 26 12,0 - 12,9 23 13,0 - 13,9 22 14,0 - 14,9 15 15,0 - 15,9 6 16,0 - 16,9 6 17,0 - 17,9 1 18,0 - 18,9 1 S1 (Intercept)/a = S2 (Slope)/b = Interval Panjang (cm)
Jumlah dalam Penutup (ekor) 1 13 30 18 17 13 9 1 2 0 0 0 0 0 6,34 -0,79
Jumlah Total (ekor) 1 15 37 31 40 46 35 24 24 15 6 6 1 1
SL Obs. Bag. Yang Tertahan 0,00 0,13 0,19 0,42 0,58 0,72 0,74 0,96 0,92 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 L25% = L50%= L75% =
Ln (1/SL-1) (y)
Titik Tengah (x)
#DIV/0! 1,87 1,46 0,33 -0,30 -0,93 -1,06 -3,14 -2,40 #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! 6,61 8,00 9,38
5,5 6,5 7,5 8,5 9,5 10,5 11,5 12,5 13,5 14,5 15,5 16,5 17,5 18,5
SL Est. Bag. yang Tertahan 0,12 0,23 0,40 0,60 0,77 0,88 0,94 0,97 0,99 0,99 1,00 1,00 1,00 1,00
218
3. Kerong-kerong Jumlah dalam Kantong (ekor) 6,0 - 6,9 0 7,0 - 7,9 0 8,0 - 8,9 0 9,0 - 9,9 3 10,0 - 10,9 3 11,0 - 11,9 3 12,0 - 12,9 2 13,0 - 13,9 5 14,0 - 14,9 17 15,0 - 15,9 13 16,0 - 16,9 29 17,0 - 17,9 33 18,0 - 18,9 25 19,0 - 19,9 26 20,0 - 20,9 24 21,0 - 21,9 21 22,0 - 22,9 16 23,0 - 23,9 13 24,0 - 24,9 3 25,0 - 25,9 1 S1 (Intercept)/a = S2 (Slope)/b = Interval Panjang (cm)
Jumlah dalam Penutup (ekor) 2 8 17 27 25 10 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9,64 -0,75
Jumlah Total (ekor) 2 8 17 30 28 13 4 5 17 13 29 33 25 26 24 21 16 13 3 1
SL Obs. Bag. Yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,10 0,11 0,23 0,50 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 L25% = L50%= L75% =
Ln (1/SL-1) (y)
Titik Tengah (x)
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! 2,20 2,12 1,20 0,00 #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! 11,38 12,84 14,30
6,5 7,5 8,5 9,5 10,5 11,5 12,5 13,5 14,5 15,5 16,5 17,5 18,5 19,5 20,5 21,5 22,5 23,5 24,5 25,5
SL Est. Bag. yang Tertahan 0,01 0,02 0,04 0,08 0,15 0,27 0,44 0,62 0,78 0,88 0,94 0,97 0,99 0,99 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
219
4. Kapas-kapas Jumlah dalam Kantong (ekor) 4,5 - 4,9 0 5,0 - 5,9 0 6,0 - 6,9 0 7,0 - 7,9 0 8,0 - 8,9 8 9,0 - 9,9 22 10,0 - 10,9 26 11,0 - 11,9 22 12,0 - 12,9 19 13,0 - 13,9 15 14,0 - 14,9 10 15,0 - 15,9 4 16,0 - 16,9 4 17,0 - 17,4 0 18,0 - 18,9 1 S1 (Intercept)/a = S2 (Slope)/b = Interval Panjang (cm)
Jumlah dalam Penutup (ekor) 1 7 55 71 59 47 13 0 0 0 0 0 0 0 0 13,47 -1,35
Jumlah Total (ekor) 1 7 55 71 67 69 39 22 19 15 10 4 4 0 1
SL Obs. Bag. Yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,12 0,32 0,67 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 #DIV/0! 1,00 L25% = L50%= L75% =
Ln (1/SL-1) (y)
Titik Tengah (x)
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! 2,00 0,76 -0,69 #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #DIV/0! #NUM! 9,19 10,01 10,83
4,7 5,5 6,5 7,5 8,5 9,5 10,5 11,5 12,5 13,5 14,5 15,5 16,5 17,5 18,5
SL Est. Bag. yang Tertahan 0,00 0,00 0,01 0,03 0,12 0,33 0,66 0,88 0,97 0,99 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
220
5. Lencam Jumlah dalam Kantong (ekor) 8,5 - 8,9 0 9,0 - 9,9 0 10,0 - 10,9 0 11,0 - 11,9 0 12,0 - 12,9 1 13,0 - 13,9 3 14,0 - 14,9 2 15,0 - 15,9 16 16,0 - 16,9 24 17,0 - 17,9 28 18,0 - 18,9 9 19,0 - 19,9 6 S1 (Intercept)/a = S2 (Slope)/b = Interval Panjang (cm)
Jumlah dalam Penutup (ekor) 3 9 13 12 9 8 5 2 2 0 0 0 17,92 -1,24
Jumlah Total (ekor) 3 9 13 12 10 11 7 18 26 28 9 6
SL Obs. Bag. Yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,10 0,27 0,29 0,89 0,92 1,00 1,00 1,00 L25% = L50%= L75% =
Ln (1/SL-1) (y)
Titik Tengah (x)
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! 2,20 0,98 0,92 -2,08 -2,48 #NUM! #NUM! #NUM! 13,54 14,42 15,31
8,7 9,5 10,5 11,5 12,5 13,5 14,5 15,5 16,5 17,5 18,5 19,5
Ln (1/SL-1) (y)
Titik Tengah (x)
2,79 0,66 0,20 -0,08 0,00 -1,04 -3,43 #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! 7,96 9,34 10,72
6,5 7,5 8,5 9,5 10,5 11,5 12,5 13,5 14,5 15,5 16,5 17,5
SL Est. Bag. yang Tertahan 0,00 0,00 0,01 0,03 0,08 0,24 0,52 0,79 0,93 0,98 0,99 1,00
6. Pepetek Jumlah dalam Kantong (ekor) 6,0 - 6,9 4 7,0 - 7,9 43 8,0 - 8,9 49 9,0 - 9,9 39 10,0 - 10,9 16 11,0 - 11,9 17 12,0 - 12,9 31 13,0 - 13,9 50 14,0 - 14,9 68 15,0 - 15,9 63 16,0 - 16,9 56 17,0 - 17,9 48 S1 (Intercept)/a = S2 (Slope)/b = Interval Panjang (cm)
Jumlah dalam Penutup (ekor) 65 83 60 36 16 6 1 0 0 0 0 0 7,43 -0,80
Jumlah Total (ekor) 69 126 109 75 32 23 32 50 68 63 56 48
SL Obs. Bag. Yang Tertahan 0,06 0,34 0,45 0,52 0,50 0,74 0,97 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 L25% = L50%= L75% =
SL Est. Bag. yang Tertahan 0,09 0,19 0,34 0,53 0,72 0,85 0,93 0,96 0,98 0,99 1,00 1,00
221
7. Kuwe Jumlah dalam Kantong (ekor) 6,5 - 6,9 0 7,0 - 7,9 0 8,0 - 8,9 0 9,0 - 9,9 0 10,0 - 10,9 0 11,0 - 11,9 3 12,0 - 12,9 10 13,0 - 13,9 9 14,0 - 14,9 37 15,0 - 15,9 24 16,0 - 16,9 33 17,0 - 17,9 14 18,0 - 18,9 3 S1 (Intercept)/a = S2 (Slope)/b = Interval Panjang (cm)
Jumlah dalam Penutup (ekor) 2 8 15 21 9 3 3 2 0 0 0 0 0 8,50 -0,75
Jumlah Total (ekor) 2 8 15 21 9 6 13 11 37 24 33 14 3
SL Obs. Bag. Yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,50 0,77 0,82 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 L25% = L50%= L75% =
Ln (1/SL-1) (y)
Titik Tengah (x)
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! 0,00 -1,20 -1,50 #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! 9,84 11,30 12,76
6,7 7,5 8,5 9,5 10,5 11,5 12,5 13,5 14,5 15,5 16,5 17,5 18,5
SL Est. Bag. yang Tertahan 0,03 0,05 0,11 0,21 0,35 0,54 0,71 0,84 0,92 0,96 0,98 0,99 1,00
222
8. Baronang Jumlah dalam Kantong (ekor) 9,0 - 9,9 0 10,0 - 10,9 0 11,0 - 11,9 0 12,0 - 12,9 0 13,0 - 13,9 0 14,0 - 14,9 4 15,0 - 15,4 21 16,0 - 16,9 20 17,0 - 17,9 34 18,0 - 18,9 10 19,0 - 19,9 10 20,0 - 20,9 7 21,0 - 21,9 17 22,0 - 22,9 12 S1 (Intercept)/a = S2 (Slope)/b = Interval Panjang (cm)
Jumlah dalam Penutup (ekor) 4 7 16 15 17 10 5 3 0 0 0 0 0 0 21,00 -1,41
Jumlah Total (ekor) 4 7 16 15 17 14 26 23 34 10 10 7 17 12
SL Obs. Bag. Yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,29 0,81 0,87 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 L25% = L50%= L75% =
Ln (1/SL-1) (y)
Titik Tengah (x)
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! 0,92 -1,44 -1,90 #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! 14,15 14,93 15,71
9,2 10,5 11,5 12,5 13,5 14,5 15,5 16,5 17,5 18,5 19,5 20,5 21,5 22,5
SL Est. Bag. yang Tertahan 0,00 0,00 0,01 0,03 0,12 0,35 0,69 0,90 0,97 0,99 1,00 1,00 1,00 1,00
223
9. Baracuda Jumlah dalam Kantong (ekor) 11,0 - 11,9 0 12,0 - 12,9 0 13,0 - 13,9 0 14,0 - 14,9 0 15,0 - 15,9 0 16,0 - 16,9 3 17,0 - 17,9 2 18,0 - 18,9 5 19,0 - 19,9 6 20,0 - 20,9 8 21,0 - 21,9 14 22,0 - 22,9 9 23,0 - 23,9 10 24,0 - 24,9 14 25,0 - 25,9 8 26,0 - 26,9 9 27,0 - 27,9 9 28,0 - 28,9 7 29,0 - 29,9 10 30,0 - 30,9 5 31,0 -31,9 7 32,0 -32,9 1 33,0 -33,9 3 34,0 -34,9 2 S1 (Intercept)/a = S2 (Slope)/b = Interval Panjang (cm)
Jumlah dalam Penutup (ekor) 1 3 3 5 5 3 5 7 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
4,93 -0,27
Jumlah Total (ekor) 1 3 3 5 5 6 7 12 9 8 14 9 10 14 8 9 9 7 10 5 7 1 3 2
SL Obs. Bag. Yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,50 0,29 0,42 0,67 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 L25% = L50%= L75% =
Ln (1/SL-1) (y)
Titik Tengah (x)
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! 0,00 0,92 0,34 -0,69 #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM!
11,5 12,5 13,5 14,5 15,5 16,5 17,5 18,5 19,5 20,5 21,5 22,5 23,5 24,5 25,5 26,5 27,5 28,5 29,5 30,5 31,5 32,5 33,5 34,5
14,39 18,53 22,66
SL Est. Bag. yang Tertahan 0,13 0,17 0,21 0,26 0,31 0,37 0,43 0,50 0,56 0,63 0,69 0,74 0,79 0,83 0,86 0,89 0,92 0,93 0,95 0,96 0,97 0,98 0,98 0,99
224
Lampiran 29 Perhitungan analisis selektivitas mata jaring sero 4 cm setiap jenis ikan dominan tertangkap pada habitat mangrove di perairan pantai Pitumpanua, Teluk Bone 1. Ikan Biji Nangka Jumlah dalam Kantong (ekor) 6,0 - 6,9 0 7,0 - 7,9 12 8,0 - 8,9 11 9,0 - 9,9 16 10,0 - 10,9 16 11,0 - 11,9 12 12,0 - 12,9 12 13,0 - 13,9 9 14,0 - 14,9 12 15,0 - 15,9 9 16,0 - 16,9 2 17,0 - 17,9 5 18,0 - 18,5 5 19,0 - 19,9 3 20,0 -20,9 1 S1 (Intercept)/a = S2 (Slope)/b = Interval Panjang (cm)
Jumlah dalam Penutup (ekor) 5 36 60 62 46 21 5 2 0 0 0 0 0 0 0 5,15 -0,49
Jumlah Total (ekor) 5 48 71 78 62 33 17 11 12 9 2 5 5 3 1
SL Obs. Bag. Yang Tertahan 0,00 0,25 0,15 0,21 0,26 0,36 0,71 0,82 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 L25% = L50%= L75% =
Ln (1/SL-1) (y)
Titik Tengah (x)
#DIV/0! 1,10 1,70 1,35 1,06 0,56 -0,88 -1,50 #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! 8,25 10,49 12,72
5,50 6,50 7,50 8,50 9,50 10,50 11,50 12,50 13,50 14,50 15,50 16,50 17,50 18,50 19,50
SL Est. Bag. yang Tertahan 0,08 0,12 0,19 0,27 0,38 0,50 0,62 0,73 0,81 0,88 0,92 0,95 0,97 0,98 0,99
225
2. Baronang lingkis Jumlah dalam Kantong (ekor) 6,0 - 6,9 0 7,0 - 7,9 0 8,0 - 8,9 0 9,0 - 9,9 0 10,0 - 10,9 0 11,0 - 11,9 5 12,0 - 12,9 17 13,0 - 13,9 22 14,0 - 14,9 42 15,0 - 15,9 31 16,0 - 16,9 43 17,0 - 17,9 48 18,0 - 18,9 32 19,0 - 19,9 3 S1 (Intercept)/a = S2 (Slope)/b = Interval Panjang (cm)
Jumlah dalam Penutup (ekor) 2 23 17 27 19 16 3 1 1 0 0 0 0 0 19,03 -1,61
Jumlah Total (ekor) 2 23 17 27 19 21 20 23 43 31 43 48 32 3
SL Obs. Bag. Yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,24 0,85 0,96 0,98 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 L25% = L50%= L75% =
Ln (1/SL-1) (y)
Titik Tengah (x)
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! 1,16 -1,73 -3,09 -3,74 #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! 11,16 11,85 12,53
6,5 7,5 8 9,5 10,5 11,5 12,5 13,5 14,5 15,5 16,5 17,5 18,5 19,5
SL Est. Bag. yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,02 0,10 0,36 0,74 0,93 0,99 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
226
3. Kerong-kerong Jumlah dalam Kantong (ekor) 6,0 - 6,9 0 7,0 - 7,9 0 8,0 - 8,9 0 9,0 - 9,9 0 10,0 - 10,9 0 11,0 - 11,9 0 12,0 - 12,9 2 13,0 - 13,9 7 14,0 - 14,9 13 15,0 - 15,9 14 16,0 - 16,9 31 17,0 - 17,9 43 18,0 - 18,9 31 19,0 - 19,9 35 20,0 - 20,9 32 21,0 - 21,9 27 22,0 - 22,9 22 23,0 - 23,9 12 24,0 - 24,9 2 25,0 - 25,9 2 26,0 - 26,9 3 S1 (Intercept)/a = S2 (Slope)/b = Interval Panjang (cm)
Jumlah dalam Penutup (ekor) 2 8 21 35 25 8 6 3 3 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 15,60 -1,18
Jumlah Total (ekor) 2 8 21 35 25 8 8 10 16 15 31 43 31 35 32 27 22 12 2 2 3
SL Obs. Bag. Yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,25 0,70 0,81 0,93 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 L25% = L50%= L75% =
Ln (1/SL-1) (y)
Titik Tengah (x)
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! 1,10 -0,85 -1,47 -2,64 #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! 12,26 13,19 14,11
6,5 7,5 8,5 9,5 10,5 11,5 12,5 13,5 14,5 15,5 16,5 17,5 18,5 19,5 20,5 21,5 22,5 23,5 24,5 25,5
SL Est. Bag. yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,01 0,04 0,12 0,31 0,59 0,83 0,94 0,98 0,99 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
227
4. Kapas-kapas Jumlah dalam Kantong (ekor) 4,0 - 4,9 0 5,0 - 5,9 0 6,0 - 6,9 0 7,0 - 7,9 0 8,0 - 8,9 0 9,0 - 9,9 7 10,0 - 10,9 21 11,0 - 11,4 15 12,0 - 12,9 20 13,0 - 13,9 14 14,0 - 14,9 6 15,0 - 15,9 8 16,0 - 16,9 3 17,0 - 17,9 2 18,0 - 18,9 1 S1 (Intercept)/a = S2 (Slope)/b = Interval Panjang (cm)
Jumlah dalam Penutup (ekor) 3 1 31 36 44 24 6 2 0 0 0 0 0 0 0 16,37 -1,62
Jumlah Total (ekor) 3 1 31 36 44 31 27 17 20 14 6 8 3 2 1
SL Obs. Bag. Yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,23 0,78 0,88 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 L25% = L50%= L75% =
Ln (1/SL-1) (y)
Titik Tengah (x)
#REF! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! 1,23 -1,25 -2,01 #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! 9,41 10,08 10,76
4,5 5,5 6,5 7,5 8,5 9,5 10,5 11,5 12,5 13,5 14,5 15,5 16,5 17,5 18,5
SL Est. Bag. yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,01 0,07 0,28 0,66 0,91 0,98 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
228
5. Lencam Jumlah dalam Kantong (ekor) 8,0 - 8,9 0 9,0 - 9,9 0 10,0 - 10,9 0 11,0 - 11,9 0 12,0 - 12,9 0 13,0 - 13,9 9 14,0 - 14,9 9 15,0 - 15,9 26 16,0 - 16,9 32 17,0 - 17,9 32 18,0 - 18,9 17 19,0 - 19,9 9 20,0 - 20,9 3 S1 (Intercept)/a = S2 (Slope)/b = Interval Panjang (cm)
Jumlah dalam Penutup (ekor) 1 7 7 13 10 9 2 2 0 0 0 0 0 17,24 -1,28
Jumlah Total (ekor) 1 7 7 13 10 18 11 28 32 32 17 9 3
SL Obs. Bag. Yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,50 0,82 0,93 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 L25% = L50%= L75% =
Ln (1/SL-1) (y)
Titik Tengah (x)
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! 0,00 -1,50 -2,56 #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! 12,59 13,44 14,30
8,5 9,5 10,5 11,5 12,5 13,5 14,5 15,5 16,5 17,5 18,5 19,5 20,5
Ln (1/SL-1) (y)
Titik Tengah (x)
3,38 0,82 0,19 -0,48 -0,41 -1,39 #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! 8,07 9,44 10,80
6,5 7,5 8,5 9,5 10,5 11,5 12,5 13,5 14,5 15,5 16,5
SL Est. Bag. yang Tertahan 0,00 0,01 0,02 0,08 0,23 0,52 0,80 0,93 0,98 0,99 1,00 1,00 1,00
6. Pepetek Jumlah dalam Kantong (ekor) 6,0 - 6,9 2 7,0 - 7,9 27 8,0 - 8,9 34 9,0 - 9,9 50 10,0 - 10,9 18 11,0 - 11,9 8 12,0 - 12,9 15 13,0 - 13,9 46 14,0 - 14,9 65 15,0 - 15,9 64 16,0 - 16,9 11 S1 (Intercept)/a = S2 (Slope)/b = Interval Panjang (cm)
Jumlah dalam Penutup (ekor) 59 61 41 31 12 2 0 0 0 0 0 7,60 -0,81
Jumlah Total (ekor) 61 88 75 81 30 10 15 46 65 64 11
SL Obs. Bag. Yang Tertahan 0,03 0,31 0,45 0,62 0,60 0,80 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 L25% = L50%= L75% =
SL Est. Bag. yang Tertahan 0,09 0,17 0,32 0,51 0,70 0,84 0,92 0,96 0,98 0,99 1,00
229
7. Kuwe Jumlah dalam Kantong (ekor) 6,0 - 6,9 0 7,0 - 7,9 0 8,0 - 8,9 0 9,0 - 9,9 0 10,0 - 10,9 0 11,0 - 11,9 1 12,0 - 12,9 14 13,0 - 13,9 34 14,0 - 14,9 39 15,0 - 15,9 45 16,0 - 16,9 30 17,0 - 17,9 20 18,0 - 18,9 5 19,0 - 19,9 1 S1 (Intercept)/a = S2 (Slope)/b = Interval Panjang (cm)
Jumlah dalam Penutup (ekor) 2 13 15 21 14 8 7 3 3 0 0 0 0 0 19,00 -1,57
Jumlah Total (ekor) 2 13 15 21 14 9 21 37 42 45 30 20 5 1
SL Obs. Bag. Yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,11 0,67 0,92 0,93 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 L25% = L50%= L75% =
Ln (1/SL-1) (y)
Titik Tengah (x)
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! 2,08 -0,69 -2,43 -2,56 #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! 11,42 12,12 12,83
6,7 7,2 8,2 9,2 10,2 11,2 12,2 13,2 14,2 15,2 16,2 17,2 18,2 18,2
SL Est. Bag. yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,01 0,05 0,19 0,53 0,84 0,96 0,99 1,00 1,00 1,00 1,00
230
8. Baronang Jumlah dalam Kantong (ekor) 9,0 - 9,9 0 10,0 - 10,9 0 11,0 - 11,9 0 12,0 - 12,9 0 13,0 - 13,9 0 14,0 - 14,9 6 15,0 - 15,9 16 16,0 - 16,9 38 17,0 - 17,9 32 18,0 - 18,9 13 19,0 - 19,9 7 20,0 - 20,9 9 21,0 - 21,9 12 22,0 - 22,9 8 23,0 - 29,9 1 S1 (Intercept)/a = S2 (Slope)/b = Interval Panjang (cm)
Jumlah dalam Penutup (ekor) 4 7 16 15 27 10 5 3 0 0 0 0 0 0 0 22,57 -1,52
Jumlah Total (ekor) 4 7 16 15 27 16 21 41 32 13 7 9 12 8 1
SL Obs. Bag. Yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,38 0,76 0,93 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 L25% = L50%= L75% =
Ln (1/SL-1) (y)
Titik Tengah (x)
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! 0,51 -1,16 -2,54 #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! 14,08 14,80 15,52
9,5 10,5 11,5 12,5 13,5 14,5 15,5 16,5 17,5 18,5 19,5 20,5 21,5 22,5 23,5
SL Est. Bag. yang Tertahan 0,00 0,00 0,01 0,03 0,12 0,39 0,74 0,93 0,98 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
231
9. Baracuda Jumlah dalam Kantong (ekor) 11,0 - 11,9 0 12,0 - 12,9 0 13,0 - 13,9 0 14,0 - 14,9 0 15,0 - 15,9 0 16,0 - 16,9 3 17,0 - 17,9 2 18,0 - 18,9 5 19,0 - 19,9 6 20,0 - 20,9 8 21,0 - 21,9 9 22,0 - 22,9 9 23,0 - 23,9 10 24,0 - 24,9 14 25,0 - 25,9 8 26,0 - 26,9 9 27,0 - 27,9 9 28,0 - 28,9 7 29,0 - 29,9 10 30,0 - 30,9 5 31,0 -31,9 7 32,0 -32,9 1 33,0 -33,9 3 34,0 -34,9 2 35,0 -35,9 1 S1 (Intercept)/a = S2 (Slope)/b = Interval Panjang (cm)
Jumlah dalam Penutup (ekor) 1 3 3 5 8 5 7 3 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 15,47 -0,87
Jumlah Total (ekor) 1 3 3 5 8 8 9 8 7 8 9 9 10 14 8 9 9 7 10 5 7 1 3 2 1
SL Obs. Bag. Yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,38 0,22 0,63 0,86 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 L25% = L50%= L75% =
Ln (1/SL-1) (y)
Titik Tengah (x)
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! 0,51 1,25 -0,51 -1,79 #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! 16,58 17,84 19,11
11,5 12,5 13,5 14,5 15,5 16,5 17,5 18,5 19,5 20,5 21,5 22,5 23,5 24,5 25,5 26,5 27,5 28,5 29,5 30,5 31,5 32,5 33,5 34,5 35,5
SL Est. Bag. yang Tertahan 0,00 0,01 0,02 0,05 0,12 0,24 0,43 0,64 0,81 0,91 0,96 0,98 0,99 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
232
Lampiran 30 Perhitungan analisis selektivitas mata jaring sero 4 cm setiap jenis ikan dominan tertangkap pada habitat lamun di perairan pantai Pitumpanua, Teluk Bone 1. Ikan Biji Nangka Jumlah dalam Kantong (ekor) 5,0 - 5,9 0 6,5 - 6,9 1 7,0 - 7,9 10 8,0 - 8,9 10 9,0 - 9,9 23 10,0 - 10,9 14 11,0 - 11,9 25 12,0 - 12,9 31 13,0 - 13,9 17 14,0 - 14,9 20 15,0 - 15,9 22 S1 (Intercept)/a = S2 (Slope)/b = Interval Panjang (cm)
Jumlah dalam Penutup (ekor) 2 16 53 71 64 70 24 12 4 0 0 6,54 -0,57
Jumlah Total (ekor) 2 17 63 81 87 84 49 43 21 20 22
SL Obs. Bag. Yang Tertahan 0,00 0,06 0,16 0,12 0,26 0,17 0,51 0,72 0,81 1,00 1,00 L25% = L50%= L75% =
Ln (1/SL-1) (y)
Titik Tengah (x)
#DIV/0! 2,77 1,67 1,96 1,02 1,61 -0,04 -0,95 -1,45 #NUM! #NUM! 9,52 11,44 13,36
5,5 6,5 7,5 8,5 9,5 10,5 11,5 12,5 13,5 14,5 15,5
SL Est. Bag. yang Tertahan 0,03 0,06 0,09 0,16 0,25 0,37 0,51 0,65 0,76 0,85 0,91
233
2. Baronang lingkis Jumlah dalam Kantong (ekor) 5,0 - 5,9 0 6,0 - 6,9 0 7,0 - 7,9 0 8,0 - 8,9 0 9,0 - 9,9 2 10,0 - 10,9 2 11,0 - 11,9 5 12,0 - 12,9 13 13,0 - 13,9 33 14,0 - 14,9 53 15,0 - 15,9 37 16,0 - 16,9 47 17,0 - 17,9 44 18,0 - 18,9 32 19,0 - 19,9 25 20,0 - 20,9 8 21,0 - 21,9 1 S1 (Intercept)/a = S2 (Slope)/b = Interval Panjang (cm)
Jumlah dalam Penutup (ekor) 1 17 43 33 41 32 20 6 2 0 0 0 0 0 0 0 0 18,19 -1,52
Jumlah Total (ekor) 1 17 43 33 43 34 25 19 35 53 37 47 44 32 25 8 1
SL Obs. Bag. Yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,05 0,06 0,20 0,68 0,94 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 L25% = L50%= L75% =
Ln (1/SL-1) (y)
Titik Tengah (x)
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! 3,02 2,77 1,39 -0,77 -2,80 #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! 11,25 11,97 12,70
5,5 6,5 7,5 8,5 9,5 10,5 11,5 12,5 13,5 14,5 15,5 16,5 17,5 18,5 19,5 20,5 21,5
SL Est. Bag. yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,01 0,02 0,10 0,33 0,69 0,91 0,98 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
234
3. Kerong-kerong Jumlah dalam Kantong (ekor) 6.0 - 6.9 0 7.0 - 7.9 0 8.0 - 8.9 0 9.0 - 9.9 2 10.0 - 10.9 2 11.0 - 11.9 3 12.0 - 12.9 3 13.0 - 13.9 4 14.0 - 14.9 4 15.0 - 15.9 9 16.0 - 16.9 9 17.0 - 17.9 16 18.0 - 18.9 22 19.0 - 19.9 18 20.0 - 20.9 15 21.0 - 21.9 9 22.0 - 22.9 8 23.0 - 23.9 3 S1 (Intercept)/a = S2 (Slope)/b = Interval Panjang (cm)
Jumlah dalam Penutup (ekor) 2 4 13 18 10 7 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 8.38 -0.65
Jumlah Total (ekor) 2 4 13 20 12 10 7 4 4 9 9 16 22 18 15 9 8 3
SL Obs. Bag. Yang Tertahan 0.00 0.00 0.00 0.10 0.17 0.30 0.43 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 L25% = L50%= L75% =
Ln (1/SL-1) (y)
Titik Tengah (x)
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! 2.20 1.61 0.85 0.29 #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! 11.21 12.90 14.60
6.5 7.5 8.5 9.5 10.5 11.5 12.5 13.5 14.5 15.5 16.5 17.5 18.5 19.5 20.5 21.5 22.5 23.5
SL Est. Bag. yang Tertahan 0.02 0.03 0.05 0.10 0.17 0.29 0.43 0.60 0.74 0.84 0.91 0.95 0.97 0.99 0.99 1.00 1.00 1.00
235
4. Kapas-kapas Jumlah dalam Kantong (ekor) 4,0 - 4,9 0 5,0 - 5,9 0 6,0 - 6,9 0 7,0 - 7,9 3 8,0 - 8,9 2 9,0 - 9,9 11 10,0 - 10,9 35 11,0 - 11,9 15 12,0 - 12,9 17 13,0 - 13,9 16 14,0 - 14,9 10 15,0 - 15,9 9 16,0 - 16,9 2 17,0 - 17,9 1 S1 (Intercept)/a = S2 (Slope)/b = Interval Panjang (cm)
Jumlah dalam Penutup (ekor) 1 3 39 60 62 36 15 1 0 0 0 0 0 0 15,72 -1,57
Jumlah Total (ekor) 1 3 39 63 64 47 50 16 17 16 10 9 2 1
SL Obs. Bag. Yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,05 0,03 0,23 0,70 0,94 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 L25% = L50%= L75% =
Ln (1/SL-1) (y)
Titik Tengah (x)
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! 3,00 3,43 1,19 -0,85 -2,71 #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! 9,32 10,02 10,72
4,5 5,5 6,5 7,5 8,5 9,5 10,5 11,5 12,5 13,5 14,5 15,5 16,5 17,5
SL Est. Bag. yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,02 0,08 0,31 0,68 0,91 0,98 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
236
5. Lencam Jumlah dalam Kantong (ekor) 8,0 - 8,9 0 9,0 - 9,9 0 10,0 - 10,9 0 11,0 - 11,9 0 12,0 - 12,9 0 13,0 - 13,9 1 14,0 - 14,9 2 15,0 - 15,9 32 16,0 - 16,9 37 17,0 - 17,9 45 18,0 - 18,9 15 19,0 - 19,9 6 20,0 - 20,9 2 S1 (Intercept)/a = S2 (Slope)/b = Interval Panjang (cm)
Jumlah dalam Penutup (ekor) 3 9 15 21 14 13 6 2 0 0 0 0 0 38,99 -2,67
Jumlah Total (ekor) 3 9 15 21 14 14 8 34 37 45 15 6 2
SL Obs. Bag. Yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,07 0,25 0,94 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 L25% = L50%= L75% =
Ln (1/SL-1) (y)
Titik Tengah (x)
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! 2,56 1,10 -2,77 #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! 14,20 14,61 15,02
8,5 9,5 10,5 11,5 12,5 13,5 14,5 15,5 16,5 17,5 18,5 19,5 20,5
Ln (1/SL-1) (y)
Titik Tengah (x)
#DIV/0! 0,43 0,11 0,13 -0,17 -2,04 -2,30 #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! 7,01 9,00 10,79
6,5 7,5 8,5 9,5 10,5 11,5 12,5 13,5 14,5 15,5 16,5
SL Est. Bag. yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,05 0,43 0,91 0,99 1,00 1,00 1,00 1,00
6. Pepetek Jumlah dalam Kantong (ekor) 6,0 - 6,9 0 7,0 - 7,9 28 8,0 - 8,9 35 9,0 - 9,9 30 10,0 - 10,9 13 11,0 - 11,4 23 12,0 - 12,9 10 13,0 - 13,9 21 14,0 - 14,9 23 15,0 - 15,9 37 16,0 - 16,9 3 S1 (Intercept)/a = S2 (Slope)/b = Interval Panjang (cm)
Jumlah dalam Penutup (ekor) 55 43 39 34 11 3 1 0 0 0 0 5,18 -0,58
Jumlah Total (ekor) 55 71 74 64 24 26 11 21 23 37 3
SL Obs. Bag. Yang Tertahan 0,00 0,39 0,47 0,47 0,54 0,88 0,91 1,00 1,00 1,00 1,00 L25% = L50%= L75% =
SL Est. Bag. yang Tertahan 0,20 0,31 0,44 0,59 0,72 0,82 0,89 0,94 0,96 0,98 0,99
237
7. Kuwe Jumlah dalam Kantong (ekor) 6,0 - 6,9 0 7,0 - 7,9 0 8,0 - 8,9 0 9,0 - 9,9 0 10,0 - 10,9 0 11,0 - 11,9 2 12,0 - 12,9 15 13,0 - 13,9 23 14,0 - 14,9 36 15,0 - 15,9 48 16,0 - 16,9 32 17,0 - 17,9 18 18,0 - 18,9 4 19,0 - 19,9 1 S1 (Intercept)/a = S2 (Slope)/b = Interval Panjang (cm)
Jumlah dalam Penutup (ekor) 10 21 39 40 12 3 3 1 0 0 0 0 0 0 20,68 -1,77
Jumlah Total (ekor) 10 21 39 40 12 5 18 24 36 48 32 18 4 1
SL Obs. Bag. Yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,40 0,83 0,96 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 L25% = L50%= L75% =
Ln (1/SL-1) (y)
Titik Tengah (x)
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! 0,41 -1,61 -3,14 #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! 11,06 11,68 12,30
6,5 7,5 8,5 9,5 10,5 11,5 12,5 13,5 14,5 15,5 16,5 17,5 18,5 19,5
SL Est. Bag. yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,02 0,11 0,42 0,81 0,96 0,99 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
238
8. Baronang Jumlah dalam Kantong (ekor) 8,0 - 8,9 0 9,0 - 9,9 0 10,0 - 10,9 0 11,0 - 11,9 0 12,0 - 12,9 1 13,0 - 13,9 1 14,0 - 14,9 2 15,0 - 15,9 22 16,0 - 16,9 52 17,0 - 17,9 48 18,0 - 18,9 24 19,0 - 19,9 14 20,0 - 20,9 4 21,0 - 21,9 8 22,0 - 22,9 9 23,0 - 29,9 5 S1 (Intercept)/a = S2 (Slope)/b = Interval Panjang (cm)
Jumlah dalam Penutup (ekor) 4 15 19 16 25 23 9 2 0 0 0 0 0 0 0 0 27,24 -1,85
Jumlah Total (ekor) 4 15 19 16 26 24 11 24 52 48 24 14 4 8 9 5
SL Obs. Bag. Yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,04 0,04 0,18 0,92 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 L25% = L50%= L75% =
Ln (1/SL-1) (y)
Titik Tengah (x)
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! 3,22 3,14 1,50 -2,40 #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! 14,14 14,74 15,33
8,5 9,5 10,5 11,5 12,5 13,5 14,5 15,5 16,5 17,5 18,5 19,5 20,5 21,5 22,5 23,5
SL Est. Bag. yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,02 0,09 0,39 0,80 0,96 0,99 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
239
9. Baracuda Jumlah dalam Kantong (ekor) 11,5 - 11,9 0 12,0 - 12,9 0 13,0 - 13,9 0 14,0 - 14,9 0 15,0 - 15,9 0 16,0 - 16,9 3 17,0 - 17,9 3 18,0 - 18,9 2 19,0 - 19,9 2 20,0 - 20,9 4 21,0 - 21,9 5 22,0 - 22,9 4 23,0 - 23,9 3 24,0 - 24,9 6 25,0 - 25,9 12 26,0 - 26,9 9 27,0 - 27,9 2 28,0 - 28,9 8 29,0 - 29,9 3 30,0 - 30,9 4 31,0 -31,9 1 32,0 -32,9 1 S1 (Intercept)/a = S2 (Slope)/b = Interval Panjang (cm)
Jumlah dalam Penutup (ekor) 1 2 2 9 5 16 16 6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6,52 -0,29
Jumlah Total (ekor) 1 2 2 9 5 19 19 8 2 4 5 4 3 6 12 9 2 8 3 4 1 1
SL Obs. Bag. Yang Tertahan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,16 0,16 0,25 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 L25% = L50%= L75% =
Ln (1/SL-1) (y)
Titik Tengah (x)
#DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! 1,67 1,67 1,10 #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! #NUM! 18,83 22,65 26,47
11,5 12,5 13,5 14,5 15,5 16,5 17,5 18,5 19,5 20,5 21,5 22,5 23,5 24,5 25,5 26,5 27,5 28,5 29,5 30,5 31,5 32,5
SL Est. Bag. yang Tertahan 0,04 0,05 0,07 0,09 0,11 0,15 0,19 0,23 0,29 0,35 0,42 0,49 0,56 0,63 0,69 0,75 0,80 0,84 0,88 0,91 0,93 0,94
240
Lampiran 31
Hasil analisis trophlab setiap jenis ikan di habitat muara sungai selama penelitian
Ikan Biji nangka No A B C 1 1 1 2 1 1 3 4 5 6 1 7 1 8 1 1 9 1 1 10 11 1 12 1 1 13 1 14 15 1 16 1 1 17 2 1 18 1 19 1 1 20 21 1 1 22 1 23 1 1 24 25 26 1 27 1 28 29 1 1 30 31 1 1 32 1 33 2 34 1 1 35 1 1 36 37 1 38 1 1 1 39 1 1 40 2 1 41 1 42 1 2 43 1 1 44 1 1 45 2 1 Rata-rata TL = 3,60 Rata-rata SE = 0,49 A = bony fish C = shrimps /prawns TL = trophlab
D
1 2 1
1 1 1 1 2 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1
TL 3,96 3,55 3,06 3,06 3,06 3,50 3,60 3,55 3,40 3,06 3,28 4,01 3,34 3,06 3,28 4,01 4,07 3,60 4,01 3,06 3,40 3,71 3,55 3,06 3,06 3,36 3,50 3,06 3,68 3,06 4,02 3,60 4,50 4,00 3,55 3,06 4,50 3,71 3,37 4,02 3,50 3,55 3,98 3,98 3,99
SE 0,59 0,49 0,26 0,26 0,26 0,37 0,59 0,49 0,42 0,26 0,32 0,61 0,45 0,26 0,32 0,62 0,71 0,59 0,61 0,26 0,43 0,55 0,49 0,26 0,26 0,46 0,37 0,26 0,51 0,26 0,62 0,59 0,80 0,61 0,49 0,26 0,80 0,56 0,42 0,69 0,37 0,49 0,60 0,60 0,61
No 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89
B = other benth. invertebrates D = polychaetes SE = Standar error
A
B
C 1 1 1
1 1 1
1 2 1
1 1
1
1 1 1
1 1 1
1
D 1
1 1 1 1 1
1 1 1
1 1
1 1 1 2
1 1 1
1 1
1 1
1
1 1
1 2 1 1 1
1 1
1 1 1 1
1 1
1 2 1 2
1 1 1 1 1
2 1 2
1 1 1
1 1
2
1 1 1 1 1
TL 3,55 3,28 3,28 3,31 4,04 3,60 4,01 4,08 3,55 3,50 4,04 4,03 3,34 3,99 3,28 3,91 3,60 3,28 3,60 4,03 3,28 4,01 3,06 3,50 3,60 3,55 4,04 3,97 3,55 3,55 3,60 3,06 3,87 3,68 3,50 3,55 3,06 3,06 3,90 3,98 3,85 3,60 3,68 4,06
SE 0,49 0,32 0,32 0,44 0,70 0,59 0,62 0,71 0,49 0,37 0,70 0,70 0,45 0,61 0,32 0,58 0,59 0,32 0,59 0,70 0,32 0,62 0,26 0,37 0,59 0,49 0,63 0,60 0,49 0,49 0,59 0,26 0,60 0,51 0,37 0,49 0,26 0,26 0,61 0,60 0,60 0,59 0,51 0,70
241
Ikan Baronang lingkis No A B C D E 1 3 1 2 1 3 3 1 4 3 1 1 5 2 6 1 7 1 8 1 9 2 1 10 2 2 1 11 1 1 12 3 13 2 1 14 3 15 1 1 1 16 5 1 1 17 4 2 18 3 1 19 1 1 20 2 1 21 6 2 1 22 1 23 3 24 6 25 4 26 2 2 27 1 1 1 28 3 2 29 2 1 30 1 1 31 1 1 32 3 1 1 33 4 2 34 1 1 35 5 1 2 Rata-rata TL = 2,56 Rata-rata SE = 0,19 A = benthic algae/weeds B = polychaetes C = debris D = bony fish E = other benth. Invertebrates TL = trophlab SE = standar error
TL 2,00 2,00 2,55 2,51 2,00 3,50 3,06 2,00 2,00 2,47 2,72 2,00 2,72 2,00 2,81 2,51 2,00 2,00 3,78 3,39 2,41 2,00 2,00 2,00 2,00 2,68 2,86 2,00 2,84 2,00 3,42 2,85 2,00 3,16 2,34
SE 0,00 0,00 0,18 0,20 0,00 0,37 0,26 0,00 0,00 0,19 0,24 0,00 0,24 0,00 0,42 0,20 0,00 0,00 0,58 0,57 0,17 0,00 0,00 0,00 0,00 0,24 0,25 0,00 0,26 0,00 0,58 0,25 0,00 0,52 0,13
No 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67
A 4 1
B
C 1 2
D
E 1
1 3 6 3 3 1 6 4 2 3 2
1 1 1 2
1 1
1
1
1
2 1 1
1 1
1
1 1
1 1 1 2
3 2 1 3 5 3 1
1 2
1 2
1 3 6
1
2 2 1
3 5
1 1
1 1
TL 2,00 2,48 4,50 2,00 2,71 3,12 2,00 3,35 2,00 2,53 2,57 2,55 2,49 2,00 2,85 3,74 2,00 2,00 2,00 3,50 3,34 2,82 2,00 2,00 2,00 4,02 2,00 2,00 3,06 3,50 2,52 3,18
SE 0,00 0,19 0,80 0,00 0,24 0,51 0,00 0,49 0,00 0,20 0,18 0,20 0,19 0,00 0,25 0,56 0,00 0,00 0,00 0,37 0,56 0,25 0,00 0,00 0,00 0,62 0,00 0,00 0,26 0,37 0,20 0,52
242
Ikan kerong-kerong No A B C 1 2 1 3 2 2 4 1 5 1 6 1 1 7 1 8 1 9 2 1 10 1 11 1 12 1 13 2 14 1 15 2 16 2 17 1 18 1 19 2 20 1 21 2 1 22 1 23 1 1 24 2 25 2 26 2 27 1 28 2 29 30 1 31 1 32 33 1 1 34 1 35 1 Rata-rata TL = 3,80 Rata-rata SE = 0,64 A = bony fish B = shrimps/prawns C = plank. copepods D = crabs TL = trophlab SE = standar error
D 1 2 2 1
1
1 1 1 1 2
1
1 1 1 2 1
TL 3,50 3,55 3,69 4,03 3,26 3,69 3,55 4,04 3,67 3,60 3,60 3,92 3,98 3,60 4,02 3,98 3,55 4,50 4,03 3,60 4,05 4,02 4,05 3,60 4,01 3,97 4,02 4,50 3,50 3,60 3,99 3,50 3,72 3,99 3,60
SE 0,60 0,59 0,57 0,71 0,41 0,57 0,60 0,71 0,56 0,59 0,59 0,69 0,70 0,59 0,71 0,70 0,59 0,80 0,71 0,59 0,70 0,71 0,70 0,59 0,71 0,70 0,71 0,80 0,60 0,59 0,70 0,60 0,53 0,70 0,59
No 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69
A
B
C
D 2
1 1 2 1
1 1
1 1
1 1 1 1 1
1 1 1
2 1 2 1
1 1 1 2 1 1
1
1 1 2
1 1 1 1 1 1 1 1 1
1
1 1 1 3 1
TL 3,50 4,02 3,60 3,97 4,50 3,27 4,03 3,68 3,60 3,50 3,97 4,08 3,98 3,50 3,50 3,99 3,50 4,00 3,60 3,98 3,60 3,50 4,05 3,50 3,98 3,29 3,60 3,60 4,02 4,05 4,02 4,02 3,91 3,60
SE 0,60 0,71 0,59 0,70 0,80 0,42 0,71 0,56 0,59 0,60 0,70 0,72 0,70 0,60 0,60 0,70 0,60 0,70 0,59 0,70 0,59 0,60 0,70 0,60 0,70 0,39 0,59 0,59 0,71 0,70 0,71 0,71 0,69 0,59
243
Ikan Kapas-kapas No A B C TL 1 1 1 3,30 2 1 3,50 3 1 2,00 4 1 3,50 5 1 1 2,51 6 1 1 2,67 7 1 3,50 8 1 3,50 9 1 1 2,47 10 2 1 2,75 11 1 1 2,80 12 1 1 3,28 13 2 1 2,76 14 1 2 2,76 15 1 1 1 2,91 16 1 3,50 17 1 2,00 18 1 2 2,70 19 2 1 1 2,84 20 2 2,00 21 1 1 2,72 22 2 1 2,77 23 2 2 2,78 24 2 1 2,83 25 2 2,00 26 2 2,00 27 2 3,50 28 1 1 2,54 29 1 1 2,76 30 2 2 2,73 31 1 3,50 32 1 2,00 33 2 3,50 34 1 1 2,72 35 1 2 2,70 36 1 1 2,81 37 1 2 2,78 38 1 1 1 2,84 39 2 1 2,76 40 1 1 2,80 41 2 1 1 2,85 42 1 3,50 43 1 1 2,76 44 2 3,50 Rata-rata TL = 2,88 Rata-rata SE = 0,25 A = other benth. invertebrates B = debris C = polychaetes TL = trophlab SE = standar error
SE 0,32 0,37 0,00 0,37 0,17 0,23 0,37 0,37 0,16 0,25 0,26 0,32 0,25 0,25 0,26 0,37 0,00 0,24 0,25 0,00 0,24 0,25 0,26 0,26 0,00 0,00 0,37 0,18 0,25 0,25 0,37 0,00 0,37 0,24 0,24 0,26 0,26 0,25 0,25 0,26 0,25 0,37 0,25 0,37
No 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84
A
B 2
C 1 1 1
3 1 1 2 1 2 1 1 2 2 2 1 2 1 1 2 1 3 2 1 2 2 2 1 1 2 1 1 1 2 1
1 1
1 1 1 1 2 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 2 1 1 2 1
1 1
1 1 1 1 1
1 1
1
1 1 1
TL 2,74 3,06 3,06 2,82 2,78 3,50 3,50 3,50 3,50 2,75 2,81 2,81 2,75 2,00 2,75 3,50 3,50 3,50 3,50 2,84 2,80 3,26 2,89 2,92 2,67 2,85 3,50 2,69 2,78 2,68 2,51 2,70 2,76 2,83 2,78 2,79 2,00 3,27 3,30 2,00
SE 0,25 0,26 0,26 0,26 0,25 0,37 0,37 0,37 0,37 0,25 0,26 0,26 0,25 0,00 0,25 0,37 0,37 0,37 0,37 0,25 0,26 0,31 0,26 0,27 0,23 0,25 0,37 0,24 0,24 0,24 0,17 0,24 0,25 0,25 0,25 0,26 0,00 0,31 0,32 0,00
244
Ikan Lencam NO A B C D 1 2 1 2 1 1 1 3 1 4 2 1 5 1 1 6 7 1 1 8 1 9 1 1 10 2 1 11 12 1 1 1 13 1 2 14 2 1 15 1 16 2 1 1 17 2 2 18 1 1 19 1 20 1 21 1 1 22 1 1 23 2 1 1 24 25 1 1 26 1 27 1 1 28 1 2 29 1 1 30 1 2 1 31 1 32 1 1 33 1 34 2 35 1 1 1 36 1 Rata-rata TL = 4,02 Rata-rata SE = 0,54 A = squids/cuttlefish B = other finfish C = polychaetes D = bony fish E = other mollusks F = other benth. crustaceans TL = trophlab SE = standar error N = 45 ekor
E
F 1
1
1
1 1
1 1
1 1 2
1
1 2 2 1 1
1 2 1
1
TL 4,14 4,50 4,07 4,50 4,50 3,50 3,81 3,06 4,21 4,50 3,50 4,50 4,50 4,50 4,03 3,99 4,14 3,79 3,06 3,99 4,50 4,21 4,50 3,55 4,50 3,06 4,15 4,50 3,60 3,98 4,01 3,65 3,85 4,06 3,90 4,07
SE 0,67 0,68 0,44 0,80 0,59 0,37 0,32 0,26 0,71 0,80 0,37 0,69 0,80 0,80 0,37 0,51 0,67 0,32 0,26 0,37 0,80 0,71 0,67 0,44 0,80 0,26 0,67 0,63 0,33 0,51 0,44 0,34 0,57 0,44 0,60 0,44
245
Ikan Pepetek No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
A B C 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 2 2 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 2 1 1 1
D E F 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1
1 1 2 1 1 1
1
1 1
1
2 1 1 1
1 1 2 1
1 2 1
1 1 1
1 1 2
2 1 1
1
1 1 1 1
1 1
1 1
1 2 1
1 2 1
1 1
1
1 1
1 1
1 1 1 1
1 1
1
G TL 1 2,65 2,93 2,52 2,00 2,00 3,50 1 2,00 1 2,00 2,00 3,09 3,24 3,00 2,00 2 2,98 3,03 3,00 3,50 3,50 2,00 1 2,00 3,07 2,61 1 2,46 3,00 1 2,00 2,76 1 2,85 3,00 2,00 3,06 3,50 3,00 1 2,00 3,50 3,50 3,51 2,34 1 2,77 1 2,00 2,00 3,49 3,50 1 2,00 3,50 1 2,00 2,00 1 2,00 2,00 2,00 2,96
SE 0,29 0,36 0,17 0,00 0,00 0,47 0,00 0,00 0,00 0,40 0,37 0,35 0,00 0,37 0,38 0,38 0,47 0,47 0,00 0,00 0,39 0,19 0,24 0,38 0,00 0,33 0,29 0,38 0,00 0,39 0,48 0,38 0,00 0,48 0,48 0,48 0,13 0,32 0,00 0,00 0,47 0,48 0,00 0,47 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,37
No 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100
A
B 1
1 2 1 1 1
1 1
1
1 2 1 1 1
2 1
1 1 1 1 2 1
1 1 1
1 1
2 1 1 1 1 1 1
1
C D E F G TL 1 1 3,06 1 1 2,55 2 3,40 1 2,51 1 2,83 1 1 2,00 1 1 2,97 1 1 3,50 1 1 3,36 1 2 2,98 2 3,40 1 2,00 1 1 3,49 1 2 2,99 1 2 1 2,78 2 2,67 1 2 3,49 2 1 2,97 1 2,00 2,00 1 1 2,53 1 2,72 2 2 3,50 1 2 2,91 2,00 1 2,00 1 2,00 2,00 2,00 1 2 3,51 2 2,54 2 1 3,49 1 2,52 2,00 1 1 2,44 1 1 2,99 2 3,40 1 1 2 3,02 1 3,40 1 2,83 1 2,00 2 1 2,45 2 1 1 2,99 1 2,95 1 2 3,50 1 2,00 1 3,40 1 2,60 1 1 3,50 1 1 3,05
SE 0,39 0,26 0,45 0,17 0,34 0,00 0,37 0,48 0,41 0,37 0,45 0,00 0,47 0,38 0,33 0,29 0,47 0,37 0,00 0,00 0,17 0,31 0,48 0,36 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,48 0,26 0,47 0,17 0,00 0,23 0,37 0,45 0,38 0,45 0,34 0,00 0,24 0,37 0,37 0,47 0,00 0,45 0,19 0,48 0,39
246
No A B C D 101 1 2 102 1 103 1 1 1 104 2 1 105 1 106 1 107 1 108 2 109 1 1 110 1 2 111 1 112 1 113 2 1 1 114 1 115 1 1 116 1 1 117 2 1 118 1 1 119 2 120 1 1 121 1 2 122 1 123 2 1 124 1 125 1 1 126 1 127 1 128 1 129 1 130 1 131 Rata-rata TL = 2,73 Rata-rata SE = 0,26 A = dinoflagellates B = benthic algae/weeds C = other plank. invertebrates D = debris E = other molluska F = polychaetes G = diatoms TL = trophlab SE = standar error
E 1
F
G 1
1 1 1 2 1 2 1 2 1
1 2 1
1 1 1 2 1 1 2 1
1
1
1 1 1 1
TL 3,01 2,00 2,75 3,07 3,51 2,74 3,40 3,50 2,82 2,81 3,51 3,00 2,00 2,00 2,98 2,00 2,68 2,00 3,50 2,00 3,02 2,91 2,71 3,50 2,78 2,00 2,84 3,51 2,00 2,89 2,00
SE 0,38 0,00 0,32 0,39 0,48 0,32 0,45 0,48 0,29 0,33 0,48 0,38 0,00 0,00 0,37 0,00 0,30 0,00 0,47 0,00 0,38 0,31 0,30 0,48 0,33 0,00 0,34 0,48 0,00 0,36 0,00
247
Ikan Kuwe No A B C 1 1 2 1 3 1 4 1 5 1 1 6 2 7 1 8 1 1 9 1 1 10 2 11 1 12 1 1 13 1 2 14 1 15 1 16 1 17 1 18 1 1 19 1 20 1 1 1 21 1 22 1 23 1 1 24 1 25 1 26 1 1 27 1 28 2 29 1 1 30 1 1 31 1 32 1 1 33 1 34 1 35 1 36 1 37 1 2 38 1 39 1 40 1 Rata-rata TL = 4,19 Rata-rata SE = 0,71 A = fish eggs/larvae B = benth. copepods C = bony fish D = shrimps/prawns E = other finfish TL = trophlab SE = standar error
D
E 1
1 1 1 1 1 1 1 1
1 1
1 1
1
1 1 1 2
1 1 1
1
1
2 1
TL 4,50 4,50 4,04 3,76 3,75 4,50 4,50 4,50 4,20 4,50 4,03 4,50 4,50 4,50 3,79 4,20 3,29 3,79 4,08 3,95 4,50 4,50 4,21 3,71 4,50 3,90 4,50 4,50 3,78 4,50 4,04 3,70 4,02 4,50 4,50 4,50 3,81 4,50 4,50 3,68
SE 0,80 0,80 0,70 0,54 0,54 0,80 0,80 0,80 0,73 0,80 0,70 0,80 0,80 0,80 0,56 0,74 0,39 0,56 0,71 0,62 0,80 0,80 0,74 0,52 0,80 0,60 0,80 0,80 0,55 0,80 0,70 0,52 0,69 0,80 0,80 0,80 0,56 0,80 0,80 0,55
248
Ikan Baronang No A B C TL SE 1 5 3 1 2,83 0,29 2 2 2,00 0,00 3 1 3,06 0,26 4 5 2,00 0,00 5 3 3,40 0,45 6 3 1 2,52 0,17 7 4 2 2,68 0,30 8 6 2,00 0,00 9 4 1 1 2,85 0,29 10 3 2 2,71 0,30 11 5 2 2,54 0,18 12 4 2 2,66 0,29 13 3 2,00 0,00 14 3 2 1 2,79 0,28 15 1 2,00 0,00 16 4 1 2,68 0,30 17 2 2,00 0,00 18 5 1 2,73 0,31 19 2 1 2,49 0,17 20 4 1 2,75 0,31 21 1 2,00 0,00 22 3 1 2,64 0,29 23 2 2,00 0,00 24 1 2,00 0,00 25 2 2 1 2,83 0,29 26 3 1 2,69 0,30 27 2 1 2,76 0,32 28 4 2,00 0,00 29 3 2,00 0,00 30 3 1 2,72 0,31 31 2 1 2,54 0,18 32 2 1 3,22 0,36 33 3 3,40 0,45 34 1 3,06 0,26 35 3 1 1 2,83 0,29 36 1 3,06 0,26 37 1 1 2,67 0,29 38 3 2,00 0,00 39 2 2,00 0,00 40 4 2,00 0,00 41 3 2,00 0,00 42 4 1 1 2,81 0,29 43 5 2,00 0,00 44 2 2,00 0,00 45 1 2 2,69 0,30 Rata-rata TL = 2,50 Rata-rata SE = 0,18 A = benthic algae/weeds B = other plank. Invertebrates s C = polychaetes TL = trophlab SE = standar error
249
Ikan Barakuda No A B C 1 2 1 2 1 1 3 1 1 4 1 1 5 2 1 6 1 1 7 1 1 8 1 1 9 2 1 10 1 1 11 2 1 12 1 1 13 2 14 1 15 1 1 16 17 1 18 2 1 19 1 20 1 2 1 21 1 22 1 1 1 23 1 1 24 1 25 1 26 1 1 27 1 28 1 29 1 30 1 31 1 1 32 1 1 33 2 34 1 Rata-rata TL = 4,27 Rata-rata SE = 0,70 A = fish eggs /larvae B = bony fish C = shrimps /prawns D = squids/cuttlefish TL = trophlab SE = standar error
D
1
1
1
1 1
1
1 1
TL 4,07 4,50 4,09 4,04 4,19 4,04 4,03 4,18 4,03 4,03 4,22 4,50 4,50 4,50 4,01 4,50 4,50 4,05 4,50 4,27 4,50 4,19 4,05 4,05 4,50 4,01 4,50 4,50 4,50 4,50 4,06 4,02 4,50 4,50
SE 0,70 0,80 0,71 0,70 0,60 0,70 0,70 0,59 0,70 0,70 0,60 0,80 0,80 0,80 0,69 0,37 0,62 0,70 0,80 0,75 0,80 0,73 0,70 0,49 0,80 0,69 0,80 0,60 0,80 0,60 0,70 0,69 0,80 0,80
250
Lampiran 32 Hasil analisis trophlab setiap jenis ikan di habitat mangrove selama penelitian Ikan Biji nangka No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
A
B 1 1
C 1 2 1
1 1
D 1 1 1
1 1 1
1
2 1 2 1 1 1 1
1
1 1
1
1 1
2 1 1
1
1
1 1
1 1 1 2
1
2 1 1
1
1 1 1 2
1
1 1 1
1 2 1 1 1 1 1
1 1 1 1
1 1 1
1 2
2 1 2
Rata-rata TL = 3,53 Rata-rata SE = 0,46 A = bony fish B = other benth. Invertebrates C = shrimps /prawns
TL 3,37 3,55 3,32 3,28 3,60 3,55 3,06 4,04 3,60 3,50 3,06 3,06 3,06 3,55 3,06 3,40 3,50 3,60 3,60 3,99 3,60 3,68 3,28 3,60 3,50 3,55 3,71 3,36 4,06 3,28 3,60 3,50 3,06 3,50 3,06 4,01 4,02 3,50 3,50 4,50 3,06 3,68 4,00 3,06
SE 0,42 0,49 0,44 0,32 0,59 0,49 0,26 0,70 0,59 0,37 0,26 0,26 0,26 0,49 0,26 0,43 0,37 0,59 0,59 0,61 0,59 0,51 0,32 0,59 0,37 0,49 0,56 0,46 0,70 0,32 0,59 0,37 0,26 0,37 0,26 0,62 0,69 0,37 0,37 0,80 0,26 0,51 0,61 0,26
No 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88
A
B
C
D 2 1
1 1 1 1 1 1 1
1
1 2 2 1
1 1
1 1 1 1 1 1
2 2 1
2 1 1
1 1
1 1
1
1 1 1 1
1 1 1 1
1 1 1 1
1 1 1 1
1
2 1
1 1 1
1 1 1 1
1 1 1 2
D = polychaetes TL = trophlab SE = Standar error
1 2
1
1 2
1 1 1
1 1 1
2 2 1 1
TL 3,06 3,60 4,50 3,60 3,55 3,50 3,28 3,50 3,87 3,55 3,34 3,06 3,28 3,50 3,98 3,55 3,06 3,34 3,55 3,50 3,06 4,03 3,55 3,55 4,02 3,06 3,60 3,68 3,68 3,87 3,99 3,60 3,50 3,71 3,06 3,55 3,98 3,85 3,90 3,06 3,06 3,34 3,31 3,55 3,50
SE 0,26 0,59 0,80 0,59 0,49 0,37 0,32 0,37 0,60 0,49 0,45 0,26 0,32 0,37 0,60 0,49 0,26 0,45 0,49 0,37 0,26 0,70 0,49 0,49 0,62 0,26 0,59 0,51 0,51 0,61 0,61 0,59 0,37 0,55 0,26 0,49 0,60 0,60 0,61 0,26 0,26 0,45 0,44 0,49 0,37
251
Ikan Baronang lingkis No A B C D E TL 1 2 1 1 2,82 2 2 1 3,42 3 1 1 1 2,51 4 2 1 2,68 5 1 1 1 2,85 6 2 2,00 7 1 1 1 2,49 8 2 1 3,74 9 1 1 2,00 10 1 1 3,34 11 1 1 1 2,53 12 3 2,00 13 1 1 1 2,52 14 1 1 1 2,86 15 1 1 1 2,53 16 2 1 2,55 17 1 1 1 2,00 18 2 1 1 2,41 19 1 1 1 2,48 20 2 1 3,39 21 2 3,06 22 4 2,00 23 2 2 2,00 24 2 2,00 25 2 1 2,71 26 2 3 2,00 27 1 2 2,00 28 2 1 1 2,48 29 1 2 2,00 30 2 1 2,00 31 1 1 1 2,34 32 1 1 2,00 33 3 2,00 34 2 1 2,55 35 1 1 1 2,85 36 2 3,06 37 3 2,00 38 2 1 1 2,51 39 1 2 3,39 40 1 1 3,39 41 2 1 1 2,85 42 3 1 2,72 43 1 1 1 2,47 Rata-rata TL = 2,65 Rata-rata SE = 0,22 A = benthic algae/weeds B = polychaetes E = other benth. Invertebrates TL = trophlab SE = standar error
SE 0,25 0,58 0,20 0,24 0,25 0,00 0,19 0,56 0,00 0,56 0,20 0,00 0,20 0,25 0,20 0,18 0,00 0,17 0,19 0,57 0,26 0,00 0,00 0,00 0,24 0,00 0,00 0,19 0,00 0,00 0,13 0,00 0,00 0,18 0,25 0,26 0,00 0,20 0,57 0,57 0,25 0,24 0,19
No 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85
A 1 2 1
B
C 1 1 1
D
1
E 1 1 2 1
2 2 1 2 1 2 2
1 1 1 2 1 1
1
1 1
1 1
1 1 1
4 3
2 1 1 3
3
1 1 1 1
1 2 3 2 2 2 1
1 1
1 1 3
1 1 1
1 1 1 4 1
2 3
1 1 1
2 4
1 1 1
5 1
3 1 2 1 2
1 1
1 1
C = debris D = bony fish
1
1
TL 2,51 2,00 2,55 3,50 4,02 3,06 3,34 2,34 3,23 2,84 2,52 2,72 3,16 2,86 3,78 2,00 2,00 3,06 2,51 3,18 3,50 4,50 2,82 2,00 2,34 2,00 2,82 2,85 2,85 2,00 3,12 2,85 2,41 3,06 2,00 2,00 3,06 2,71 2,85 2,57 2,55 2,00
SE 0,20 0,00 0,20 0,37 0,62 0,26 0,56 0,13 0,53 0,26 0,20 0,24 0,52 0,25 0,58 0,00 0,00 0,26 0,20 0,52 0,37 0,80 0,25 0,00 0,13 0,00 0,25 0,25 0,25 0,00 0,51 0,25 0,17 0,26 0,00 0,00 0,26 0,24 0,25 0,18 0,20 0,00
252
Ikan kerong-kerong No A B C 1 2 1 2 1 3 2 4 2 1 5 1 6 2 7 2 8 1 9 2 10 3 11 2 12 2 13 2 14 1 15 1 1 16 3 17 2 2 18 2 1 19 1 20 3 21 2 1 22 23 1 1 24 2 1 25 1 26 27 2 28 2 29 1 1 30 1 31 4 32 2 33 3 34 3 35 3 36 2 37 1 38 1 39 2 1 40 2 1 41 1 42 2 43 2 44 1 45 2 46 2 Rata-rata TL = 3,77 Rata-rata SE = 0,62 A = bony fish B = shrimps/prawns TL = trophlab SE = standar error
D 1
1 1 1
1 1 1 1
1
1
1 1 1 1
1 1
1 1 1 1 1 1
TL 4,05 3,55 3,60 4,05 3,99 3,60 4,01 4,01 4,50 3,60 4,02 4,00 3,26 3,60 3,74 4,50 3,31 3,31 4,08 3,60 4,05 3,50 3,27 4,05 3,99 3,50 3,25 3,60 3,67 3,60 4,50 3,60 3,60 3,60 4,05 3,60 3,29 3,60 4,05 3,29 3,28 3,55 4,01 3,98 3,25 4,01
SE 0,70 0,59 0,59 0,70 0,70 0,59 0,71 0,71 0,80 0,59 0,71 0,70 0,41 0,59 0,59 0,80 0,41 0,40 0,72 0,59 0,70 0,60 0,37 0,70 0,70 0,60 0,40 0,59 0,56 0,59 0,80 0,59 0,59 0,59 0,71 0,59 0,44 0,59 0,70 0,39 0,43 0,59 0,71 0,70 0,40 0,71
No 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92
C = plank. copepods D = crabs
A 2
B
C 1 3 2 1
1 1 1
3 1
1
2
4 1 2 2 1 1 1
1
1
2 3
2 1 2 2 1
1 1 1 1 1 1
1
1 1
3
1 1
2 3 1 1
1 1 1 3 4
D 1
1
1 1
2 3
1 1 1
2 4 1 3 3 1 5 3
2 1 1 1 1 1 1 1 1 2
1
TL 3,68 3,60 3,60 3,55 4,00 3,97 3,60 3,55 4,05 3,60 3,60 4,05 3,55 3,24 3,60 3,60 4,05 3,99 3,55 3,50 3,97 3,25 4,01 3,29 4,05 4,50 4,50 4,01 4,50 3,26 4,05 3,50 3,72 4,05 3,50 4,05 4,03 3,50 3,99 4,05 4,02 3,99 4,50 4,05 3,50 3,29
SE 0,56 0,59 0,59 0,59 0,70 0,70 0,59 0,59 0,70 0,59 0,59 0,70 0,59 0,40 0,59 0,59 0,70 0,70 0,59 0,60 0,70 0,40 0,71 0,39 0,70 0,80 0,80 0,71 0,80 0,41 0,70 0,60 0,53 0,70 0,60 0,70 0,71 0,60 0,70 0,70 0,71 0,70 0,80 0,70 0,60 0,39
253
Ikan Kapas-kapas No A B C TL 1 2 2,00 2 1 1 1 2,85 3 2 3,06 4 1 1 2,84 5 1 2 2,76 6 1 1 1 2,83 7 2 3,50 8 1 1 2,78 9 3 2,00 10 1 1 2,54 11 1 2,00 12 1 2 2,78 13 1 1 2,68 14 2 2,00 15 1 1 2,77 16 2 2,00 17 2 1 2,47 18 1 1 1 2,89 19 2 2,00 20 1 2,00 21 4 2,00 22 1 2 2,76 23 1 3,06 24 1 3 2,70 25 1 1 1 2,91 26 2 3,50 27 1 3 2,75 28 1 3,06 29 1 3,06 30 1 1 2,70 31 1 3 2,75 Rata-rata TL = 2,72 Rata-rata SE = 0,21 A = other benth. invertebrates B = debris C = polychaetes TL = trophlab SE = standar error
SE 0,00 0,25 0,26 0,25 0,25 0,25 0,37 0,26 0,00 0,18 0,00 0,25 0,24 0,00 0,25 0,00 0,16 0,26 0,00 0,00 0,00 0,25 0,26 0,24 0,26 0,37 0,25 0,26 0,26 0,24 0,25
No 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62
A
B
C
1 1 1 1
2 1 1 1
1 1
1 1 2 2 1
1 1 2 1
1 1 2 1 1
1 1 1
2 1
2
1 1 1
1 2 3 2 1 2
2 1 1 2 2
1 2 1 1 1
1 1
1
1 2
1
1 1 2 3
TL 2,76 2,89 2,70 2,78 3,06 2,84 2,85 2,00 2,80 2,84 3,27 3,06 2,73 3,06 3,50 2,51 2,51 2,00 3,30 2,67 2,75 3,06 2,82 2,80 2,83 2,74 2,81 3,06 3,26 2,67 2,00
SE 0,25 0,26 0,24 0,24 0,26 0,25 0,25 0,00 0,26 0,25 0,31 0,26 0,25 0,26 0,37 0,17 0,17 0,00 0,32 0,23 0,25 0,26 0,26 0,26 0,25 0,25 0,26 0,26 0,31 0,23 0,00
254
Ikan Lencam No A B C 1 1 1 2 1 3 4 1 1 5 1 6 1 2 7 1 8 1 9 2 1 10 1 11 1 1 12 1 13 14 15 1 16 1 1 17 2 1 18 1 19 1 20 1 2 21 22 23 1 24 2 25 26 1 27 1 1 28 1 29 2 1 30 1 1 31 1 32 2 33 1 34 1 1 35 2 1 36 2 37 38 1 39 1 40 1 41 1 1 42 1 1 43 2 44 1 1 45 2 46 2 1 Rata-rata TL = 3.95 Rata-rata SE = 0,54 A = squids/cuttlefish B = other finfish E = other molluska TL = trophlab
D
E
F
1
1 2 2
1 1
1 1
1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 2
2 2 1 1
1 1
1
1 2
2 1
1
1 1 1 1 1 2
2
2 1 1 1 2 1 1 1
1
TL 3,90 3,60 3,50 4,11 3,89 3,65 4,05 4,50 3,80 3,92 3,94 4,14 3,55 3,50 4,15 4,50 4,50 4,50 4,03 4,50 3,55 3,55 3,06 3,98 3,55 4,50 3,88 3,06 3,76 3,60 3,06 3,99 3,06 4,50 4,50 4,50 3,55 4,50 4,50 4,07 4,50 4,50 4,50 3,90 3,06 4,06
SE 0,60 0,33 0,50 0,54 0,62 0,34 0,66 0,80 0,32 0,63 0,63 0,67 0,50 0,50 0,67 0,70 0,61 0,80 0,44 0,59 0,50 0,50 0,26 0,44 0,50 0,80 0,60 0,26 0,32 0,33 0,26 0,44 0,26 0,67 0,66 0,80 0,50 0,62 0,80 0,44 0,69 0,70 0,80 0,61 0,26 0,53
C = polychaetes D = bony fish F = other benth. crustaceans SE = standar error
255
Ikan Pepetek No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
A B C D E F 3 1 1 1 2 1 1 2 1 2 2 2 3 4 1 2 3 2 1 2 2 2 1 2 4 3 1 3 3 3 3 2 1 2 3 2 3 4 1 2 1 1 1 1 2 5 2 3 2 4 6 1 1 2 3 1 4 2 3 1 1 2 1 1 1 1 1 3 2 1 1 3 1 1 1 3 1 2 3 2 1 3 3 1 1 2 2 3 2 2 1 1 1 4 5 3 4 1 4 4 1 5 1 4 3
G
2 3 1 2 4 2
3
3
4 3
3 2
4
7
TL 2,60 3,00 3,50 3,49 3,40 2,00 2,00 2,00 3,51 2,44 2,00 2,00 3,05 2,46 3,50 2,99 3,40 3,00 2,00 3,50 3,02 2,54 2,70 2,00 2,00 2,00 2,00 2,55 2,00 3,09 2,99 3,01 2,33 2,00 2,98 2,00 3,40 3,50 2,81 2,85 2,77 3,40 2,00 2,55 2,00 2,78 2,86 2,53 3,40 2,00
SE 0,19 0,38 0,47 0,47 0,45 0,00 0,00 0,00 0,48 0,23 0,00 0,00 0,39 0,24 0,48 0,37 0,45 0,38 0,00 0,47 0,38 0,18 0,30 0,00 0,00 0,00 0,00 0,26 0,00 0,40 0,37 0,38 0,13 0,00 0,37 0,00 0,45 0,48 0,33 0,29 0,32 0,45 0,00 0,26 0,00 0,33 0,29 0,17 0,45 0,00
No 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100
A
B 3
2
4 2 2
3
3 4 3
3 4 5
3 1 2
7 3
3 3 2 3
3
4
1
C D E F G TL 4 2,00 3 1 3,50 1 3,40 5 2,00 2,00 2,00 4 3,40 2 3,40 6 3,40 4 2,00 1 1 2,91 1 1 2,48 3 1 3,24 2 7 2,65 5 3,40 6 2,00 2 1 2,98 4 2,00 3 1 2,97 6 1 2,33 3 3 2,69 4 1 2,83 4 2,00 3 2 3,49 5 2,00 1 2,48 3 3 2,65 3 2,66 4 3,40 1 2,52 2,00 3 1 2,44 2 1 2,48 2 1 3,49 1 3,40 1 1 3,50 3 1 1 3,00 1 4 2 2,75 1 2,83 2,00 2 2,00 2 7 2,00 3 1 3,51 1 1 3,33 3 1 3,50 5 2,00 2 1 2,83 1 3,40 1 3,40 1 1 3,07
SE 0,00 0,48 0,45 0,00 0,00 0,00 0,45 0,45 0,45 0,00 0,36 0,46 0,37 0,29 0,45 0,00 0,37 0,00 0,37 0,13 0,30 0,34 0,00 0,47 0,00 0,46 0,29 0,29 0,45 0,17 0,00 0,23 0,46 0,47 0,45 0,47 0,35 0,32 0,34 0,00 0,00 0,00 0,48 0,39 0,48 0,00 0,34 0,45 0,45 0,39
256
No A B C D 101 1 1 102 3 103 3 7 104 6 105 4 106 4 107 4 108 5 7 109 4 110 3 111 112 3 113 2 114 3 115 116 2 117 2 118 2 119 4 120 3 5 121 1 1 122 1 2 123 3 124 2 Rata-rata TL = 2,71 Rata-rata SE = 0,25 A = dinoflagellates B = benthic algae/weeds C = other plank. invertebrates D = debris E = other molluska F = polychaetes G = diatoms TL = trophlab SE = standar error
E
F 1
1 1
G
7
8 3 1 1 7 1 1
1 1 5
1
1
2
TL 2,82 3,40 2,00 2,00 3,40 2,98 3,50 2,00 2,00 2,00 2,00 3,51 3,51 2,00 3,36 2,83 3,26 2,00 2,00 2,00 3,07 2,69 3,40 3,00
SE 0,29 0,45 0,00 0,00 0,45 0,37 0,48 0,00 0,00 0,00 0,00 0,48 0,48 0,00 0,41 0,34 0,38 0,00 0,00 0,00 0,39 0,30 0,45 0,38
257
Ikan Kuwe No A B C 1 1 1 2 1 1 3 2 4 2 5 1 1 6 1 1 7 2 8 3 2 9 1 10 1 11 4 2 12 3 13 2 1 14 1 15 1 16 2 17 1 18 3 2 19 3 20 4 21 1 1 22 1 1 23 1 24 1 1 25 1 1 26 1 1 27 1 2 28 2 2 29 1 30 1 31 2 32 2 33 1 34 1 35 1 1 36 3 Rata-rata TL = 4,24 Rata-rata SE = 0,72 A = fish eggs/larvae B = benth. copepods C = bony fish D = shrimps/prawns E = other finfish TL = trophlab SE = standar error
D
E 2 1
1
1 1
2
1 1 1
1 2
2 1 2 1 1 1 3 1 1 3
1 1 2
TL 4,50 4,50 4,50 4,50 3,79 4,50 4,50 3,78 3,68 4,02 3,70 4,50 4,50 4,50 4,50 3,29 4,50 3,81 4,50 4,50 4,50 4,50 4,50 4,50 4,50 4,50 4,50 4,50 4,50 3,74 3,29 4,50 4,50 4,50 4,50 3,76
SE 0,80 0,80 0,80 0,80 0,56 0,80 0,80 0,55 0,55 0,69 0,52 0,80 0,80 0,80 0,80 0,39 0,80 0,56 0,80 0,80 0,80 0,80 0,80 0,80 0,80 0,80 0,80 0,80 0,80 0,57 0,39 0,80 0,80 0,80 0,80 0,54
No 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71
A
B
1 3
3 1
1 2
1 1
C 3 4 3
1 1
D
E
1
1 1
2
2
1 1
1 1
1 1
1
1
1
2 2
3
5 2 3 2 1 1
3
2 1
1
2 3
1 2
3 3 2 2
1 1 3
2
1 3
2 3 1 1
3
2 3 1 1
1 1
1
1 1
2
TL 4,50 4,50 4,50 3,78 4,50 3,81 4,21 4,04 4,50 4,50 4,50 4,50 3,70 4,20 4,50 3,73 4,03 4,50 3,75 4,20 3,75 3,71 4,50 4,50 3,79 4,03 4,50 4,08 4,50 3,78 4,50 4,50 4,50 3,70 4,50
SE 0,80 0,80 0,80 0,55 0,80 0,56 0,74 0,70 0,80 0,80 0,80 0,80 0,52 0,74 0,80 0,56 0,70 0,80 0,54 0,73 0,54 0,52 0,80 0,80 0,56 0,70 0,80 0,71 0,80 0,55 0,80 0,80 0,80 0,52 0,80
258
Ikan Baronang No A B C TL SE 1 3 3,40 0,45 2 2 1 2,71 0,30 3 1 3,06 0,26 4 2 3,40 0,45 5 1 3,06 0,26 6 2 3,06 0,26 7 3 2,00 0,00 8 1 2 1 2,79 0,28 9 2 2,00 0,00 10 4 2,00 0,00 11 1 3,06 0,26 12 1 3,06 0,26 13 2 2,00 0,00 14 4 1 1 2,81 0,29 15 3 2 2,76 0,32 16 2 1 1 2,83 0,29 17 3 1 2,54 0,18 18 2 1 1 2,83 0,29 19 2 1 3,22 0,36 20 4 2 2,73 0,31 21 1 3,06 0,26 22 3 1 1 2,83 0,29 23 5 2,00 0,00 24 2 1 3,22 0,36 25 3 3,40 0,45 26 5 1 1 2,81 0,29 27 3 1 2,54 0,18 28 3 1 1 2,79 0,28 29 2 1 2,72 0,31 30 1 1 2,75 0,31 31 4 2,00 0,00 32 5 2,00 0,00 33 1 1 1 2,83 0,29 34 1 3,06 0,26 Rata-rata TL = 2,69 Rata-rata SE = 0,23 A = benthic algae/weeds B = other plank. Invertebrates s C = polychaetes TL = trophlab SE = standar error
No 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68
A
B 2 4 3 5 3
C 2 1 1 1
1 1
3 4 4 1 2 2 3 3 2 6 1 2 2 7 6 3 5
2 3
1 2 1
1 1 1
2 1
1 1
2 1 2
1
1 1 1
1
2 1 1 2 1 1 1
3 6 2 2
1
1
TL 2,69 2,66 2,68 2,83 2,00 3,06 2,00 2,85 2,79 2,00 2,00 2,68 2,85 2,83 2,52 2,00 2,69 2,64 2,85 2,00 2,00 3,06 2,83 2,67 3,06 2,49 3,40 2,81 3,40 3,06 3,40 2,00 2,83 2,00
SE 0,30 0,29 0,30 0,29 0,00 0,26 0,00 0,29 0,28 0,00 0,00 0,30 0,29 0,29 0,17 0,00 0,30 0,29 0,29 0,00 0,00 0,26 0,29 0,29 0,26 0,17 0,45 0,29 0,45 0,26 0,45 0,00 0,29 0,00
259
Ikan Barakuda No A B C 1 2 1 2 1 2 1 3 1 3 4 2 3 5 1 1 6 2 1 7 1 2 8 2 2 9 1 2 10 1 1 11 1 12 2 13 3 14 1 2 15 2 16 2 1 17 2 18 1 2 1 19 2 3 20 1 21 2 22 2 2 23 2 4 24 2 25 1 2 26 1 27 2 2 Rata-rata TL = 4,23 Rata-rata SE = 0,70 A = fish eggs /larvae B = bony fish C = shrimps /prawns D = squids/cuttlefish TL = trophlab SE = standar error
D
1
1 1
1 2
2 2
TL 4,03 4,27 4,50 4,06 4,18 4,50 4,09 4,03 4,19 4,19 4,50 4,50 4,07 4,01 4,04 4,09 4,50 4,19 4,04 4,50 4,50 4,22 4,09 4,50 4,01 4,50 4,50
SE 0,70 0,75 0,80 0,70 0,59 0,80 0,71 0,70 0,60 0,60 0,80 0,80 0,48 0,69 0,49 0,71 0,80 0,73 0,70 0,62 0,80 0,60 0,71 0,80 0,69 0,80 0,80
No 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54
A
B
C 2
2 1
2
1 1 2 1 3 2 1
1
1
1 2 2 3 3 1 1 1 2
2 2 1 1 2 2
D 2 2 1
1
1 1 1 1 1 1
1
1 2 1 1
1
1 2 1 3 2
1 1
1
1
2
TL 4,04 4,01 4,18 4,50 4,02 4,03 4,50 4,19 4,03 4,04 4,02 4,50 4,50 4,19 4,07 4,22 4,50 4,05 4,50 4,07 4,04 4,06 4,05 4,50 4,22 4,50 4,04
SE 0,70 0,69 0,59 0,80 0,69 0,70 0,80 0,60 0,70 0,70 0,69 0,60 0,80 0,73 0,70 0,60 0,80 0,70 0,80 0,48 0,49 0,70 0,70 0,80 0,60 0,80 0,70
260
Lampiran 33 Hasil analisis trophlab setiap jenis ikan di habitat lamun selama penelitian Ikan Biji nangka No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
A
1 1
B 2 1 1 1
1
1
1
1
1 1 1 1
C 2 1 1 1 1 2
2 1 2 1 1 1
D 1
1 1
1 1 1 1 1
1 2 1 1 1 1 1 1 2
1
2 1
1 1 1 1 1 2 1 1 1 1
1 1 2 2
1 1 1 1
1 1
2 1
2
1
1 1 1
1 1 1 1
1
1 1 1
1
TL 3,28 3,55 3,98 3,90 3,34 3,60 3,40 3,60 3,50 4,07 3,28 3,06 3,91 3,28 3,55 3,60 3,98 3,50 3,06 3,28 4,01 3,99 4,01 3,28 3,85 3,55 4,04 3,60 3,06 3,60 3,32 3,36 3,31 3,06 4,50 3,90 3,37 4,50 4,02 3,37 3,31 3,28 3,60 3,60 3,40
SE 0,32 0,49 0,60 0,61 0,45 0,59 0,43 0,59 0,37 0,71 0,32 0,26 0,58 0,32 0,49 0,59 0,60 0,37 0,26 0,32 0,62 0,61 0,62 0,32 0,60 0,49 0,70 0,59 0,26 0,59 0,44 0,46 0,44 0,26 0,80 0,61 0,42 0,80 0,62 0,42 0,44 0,32 0,59 0,59 0,42
No 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90
A 1
B
C
D 2 2 1
1 1
1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1
1 1 1
1
1 1
1 1
1 1 2 1 2 1 1 2 2 1
1 1
2 1 1
1 2 2
1
1 1 1
1 2 2 1 2
2 1 1 1
1 1 1
1 1 2
1 1 1 1 1
1 2 1
1 1
1 1
1
TL 4,50 3,06 3,60 3,60 4,04 4,04 3,06 3,28 3,60 3,71 3,36 3,31 4,01 3,98 3,37 4,04 3,60 3,60 3,60 3,60 4,02 3,55 3,87 3,60 3,71 3,40 3,60 3,32 4,04 3,60 4,07 3,06 3,36 3,60 3,06 3,06 3,34 3,97 3,87 4,00 3,60 3,06 4,50 3,96 3,28
SE 0,80 0,26 0,59 0,59 0,63 0,63 0,26 0,32 0,59 0,55 0,46 0,44 0,61 0,60 0,42 0,70 0,59 0,59 0,59 0,59 0,69 0,49 0,60 0,59 0,55 0,43 0,59 0,44 0,63 0,59 0,71 0,26 0,46 0,59 0,26 0,26 0,45 0,60 0,61 0,61 0,59 0,26 0,80 0,59 0,32
261
No A B C D 91 1 1 92 1 1 93 1 94 2 1 95 2 96 1 1 97 1 1 1 98 1 1 1 99 2 1 100 1 2 101 2 102 1 1 103 1 1 104 1 105 1 106 2 107 1 108 1 109 2 110 1 1 111 1 1 112 2 113 1 1 114 1 115 1 116 1 1 Rata-rata TL = 3,62 Rata-rata SE = 0,51 A = bony fish B = other benth. Invertebrates C = shrimps /prawns D = polychaetes TL = trophlab SE = Standar error
TL 3,71 3,34 3,06 3,28 3,60 3,28 3,37 3,85 4,04 4,03 3,50 4,06 3,55 3,60 3,50 3,60 3,50 3,60 3,60 4,07 4,01 3,50 3,55 3,60 3,60 4,01
SE 0,55 0,45 0,26 0,32 0,59 0,32 0,42 0,60 0,70 0,70 0,37 0,70 0,49 0,59 0,37 0,59 0,37 0,59 0,59 0,71 0,61 0,37 0,49 0,59 0,59 0,61
262
Ikan Baronang lingkis No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
A
B
C
4 3
D
E 2 1
1 2
1 2 2 3 2
4
2 1 1 2 3 3
5 2 3 1
2 1
1
1 1 1 1 1
3 2 5
2
2 1
1 1 1 1
1
3 2 4 2 6 2 2 1 1 3 4 4 7
2 2 1 1 2 2 3 2
1
1 1 1 1 2 1
2 3 5 1 2 2 4
3
2
1 1
2 2 2 1 1 1
2 1
1 1 1
TL 3,50 2,52 3,34 3,50 3,16 2,00 2,00 2,00 2,34 3,16 3,35 2,00 2,00 3,76 3,12 2,47 2,53 2,00 2,00 2,81 2,00 2,00 2,00 4,02 2,00 2,00 2,00 2,55 2,82 3,35 2,52 2,71 2,48 2,00 2,00 3,50 2,51 2,00 2,34 2,00 2,00 3,35 3,50 3,06 2,85
SE 0,37 0,20 0,56 0,37 0,52 0,00 0,00 0,00 0,13 0,52 0,49 0,00 0,00 0,57 0,51 0,19 0,20 0,00 0,00 0,42 0,00 0,00 0,00 0,62 0,00 0,00 0,00 0,20 0,25 0,49 0,20 0,24 0,19 0,00 0,00 0,37 0,20 0,00 0,13 0,00 0,00 0,49 0,37 0,26 0,25
No 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90
A 2 1
B
C 4
D
E
1 1 3
1 1
1 2 1 1
4 3 3
1
3 1 4 2
2 2 1
1 1 2 1
1 4
4 4 1
2 1
4 5 3
2 1 3
1
3 2 2 1
1 1
1 1 2 4 4 2 2 1 1
1
1 2 1
3 1 3 1 1
1
1
1 1 1
1
1 1 3 6
3
1 1
2 1
1 1
1 3
1 1 1
TL 2,00 2,00 3,06 2,00 2,34 2,86 4,02 2,41 2,81 2,00 2,68 3,50 2,82 2,00 2,72 2,53 2,00 3,78 2,00 2,85 2,00 2,00 2,00 2,00 2,82 2,85 2,00 3,50 2,00 3,50 2,72 4,50 2,49 2,55 3,34 3,78 3,50 4,50 2,41 2,00 4,50 2,00 2,86 2,82 3,42
SE 0,00 0,00 0,26 0,00 0,13 0,25 0,62 0,17 0,42 0,00 0,24 0,37 0,25 0,00 0,24 0,20 0,00 0,58 0,00 0,25 0,00 0,00 0,00 0,00 0,25 0,25 0,00 0,37 0,00 0,37 0,24 0,80 0,19 0,18 0,56 0,58 0,37 0,80 0,17 0,00 0,80 0,00 0,25 0,25 0,58
263
No A B C D 91 6 92 2 2 93 1 94 2 2 95 2 96 1 2 97 1 1 98 3 99 1 100 5 2 101 3 3 102 1 103 5 104 3 1 105 3 106 107 2 2 108 4 109 2 110 1 1 111 1 1 1 112 113 3 114 4 115 2 116 3 117 1 2 Rata-rata TL = 2,67 Rata-rata SE = 0,22 A = benthic algae/weeds B = polychaetes C = debris D = bony fish E = other benth. Invertebrates TL = trophlab SE = standar error
E 1 1 1
2 2
1
1 2 1 1 2
2
1 2
TL 2,00 2,55 3,74 2,51 3,06 2,00 2,00 2,68 3,06 2,51 2,00 2,00 3,16 2,00 2,00 4,50 2,85 3,23 3,18 2,82 2,34 2,00 2,84 2,00 2,00 3,39 2,82
SE 0,00 0,20 0,56 0,20 0,26 0,00 0,00 0,24 0,26 0,20 0,00 0,00 0,52 0,00 0,00 0,80 0,25 0,53 0,52 0,25 0,13 0,00 0,26 0,00 0,00 0,57 0,25
264
Ikan kerong-kerong No A B C 1 2 1 2 2 3 2 4 5 1 6 3 7 2 8 2 9 2 10 1 11 1 12 3 13 1 14 2 15 3 16 2 17 1 18 19 1 20 3 21 2 2 22 3 23 1 24 1 1 Rata-rata TL = 3,84 Rata-rata SE = 0,65 A = bony fish B = shrimps/prawns C = plank. copepods D = crabs TL = trophlab SE = standar error
D
1 1
1 1 1
2
1 1
TL 4,05 3,60 3,55 3,50 4,50 3,60 3,60 3,99 4,01 3,60 4,03 4,50 3,60 4,50 3,60 4,50 3,60 3,50 3,60 3,60 3,72 3,60 3,55 3,69
SE 0,70 0,59 0,59 0,60 0,80 0,59 0,59 0,70 0,71 0,59 0,71 0,80 0,59 0,80 0,59 0,80 0,59 0,60 0,59 0,59 0,53 0,59 0,59 0,57
No 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
A 1
B
C
D
1 1
3 4 2 1 1 1
1 3 1 4
1 1 3 1 3 3
1 1
1 1
4 4 1 3
2 2 1 1 3
1 1
TL 4,05 3,50 4,50 3,60 3,50 3,99 3,97 3,97 4,50 3,50 3,31 4,05 4,08 3,60 4,05 3,99 4,50 3,60 4,50 3,60 3,60 3,55 3,60 3,50
SE 0,70 0,60 0,80 0,59 0,60 0,70 0,70 0,70 0,80 0,60 0,41 0,70 0,72 0,59 0,70 0,70 0,80 0,59 0,80 0,59 0,59 0,59 0,59 0,60
265
Ikan Kapas-kapas No A B C TL 1 1 3,50 2 1 1 2,81 3 1 3,50 4 1 1 2,76 5 1 3,50 6 1 3,50 7 3 2,00 8 4 2,00 9 1 1 3,26 10 2 2,00 11 1 1 3,27 12 1 2 2,69 13 2 3,50 14 1 1 3,28 15 1 3,50 16 1 1 2,54 17 2 3,50 18 2 1 3,27 19 1 3,50 20 1 2,00 21 1 2,00 22 1 2 2,81 23 2 3,50 24 2 3,50 25 1 1 2,79 26 1 1 2,67 27 1 1 1 2,78 28 2 3,50 29 1 3,50 30 1 1 2,72 31 2 3,50 32 3 3,50 33 3 1 2,51 34 1 1 3,30 35 1 1 2,91 36 1 1 1 2,85 37 1 2 2,70 38 1 2,00 39 2 3,50 40 1 1 3,28 41 1 2,00 42 1 1 2,51 Rata-rata TL = 2,93 Rata-rata SE = 0,25 A = other benth. invertebrates B = debris C = polychaetes TL = trophlab SE = standar error
SE 0,37 0,26 0,37 0,25 0,37 0,37 0,00 0,00 0,31 0,00 0,31 0,24 0,37 0,32 0,37 0,18 0,37 0,31 0,37 0,00 0,00 0,26 0,37 0,37 0,26 0,23 0,24 0,37 0,37 0,24 0,37 0,37 0,17 0,32 0,26 0,25 0,24 0,00 0,37 0,32 0,00 0,17
No 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83
A
B 1 1
C 1 1 1
1 3 1
1 2 1
2 1 1 1 1 1 1 1 3 1 3
2 1 1 3 2 2 1
1
1
3 2
1 1 1 1 1 1 4 1
1 3 1 1 1 1 1 1 1
1 3 1 2 2 4 2 1 1 1 1
1
3 1 2 1 1 1
1 1
TL 2,75 3,27 2,00 3,26 3,50 2,75 3,06 2,78 3,50 2,84 2,77 3,50 2,76 2,73 2,78 2,47 3,50 2,75 3,50 3,06 2,80 2,75 3,50 3,30 2,76 2,72 2,00 3,50 2,83 2,00 2,00 2,76 2,51 3,50 2,81 3,50 3,30 2,76 2,70 2,83 2,89
SE 0,25 0,31 0,00 0,31 0,37 0,25 0,26 0,26 0,37 0,25 0,25 0,37 0,25 0,25 0,25 0,16 0,37 0,25 0,37 0,26 0,26 0,25 0,37 0,32 0,25 0,24 0,00 0,37 0,26 0,00 0,00 0,25 0,17 0,37 0,26 0,37 0,32 0,25 0,24 0,25 0,26
266
Ikan Lencam No A B C D E 1 1 2 1 3 1 1 4 1 1 5 1 1 1 6 1 1 7 1 1 1 8 1 1 1 9 1 2 10 1 11 2 1 12 13 14 1 2 15 2 16 1 1 17 1 2 18 1 1 1 19 1 20 2 1 21 1 2 22 1 1 1 23 1 1 24 1 2 25 2 26 1 2 1 27 1 1 1 28 1 1 29 1 Rata-rata TL = 4.04 Rata-rata SE = 0,54 A = squids/cuttlefish B = other finfish C = polychaetes D = bony fish E = other molluska F = other benth. crustaceans TL = trophlab SE = standar error
F
1
1 1 2 2 2
1
2 1
TL 3,06 3,06 4,14 4,07 4,50 3,65 4,50 3,92 4,06 4,04 4,50 3,50 3,50 4,08 3,06 4,50 4,50 4,17 3,97 3,75 4,50 4,50 4,03 4,50 3,97 3,98 3,91 4,50 3,06
SE 0,26 0,26 0,67 0,67 0,67 0,34 0,66 0,62 0,44 0,43 0,61 0,50 0,50 0,43 0,26 0,80 0,62 0,70 0,44 0,32 0,62 0,69 0,44 0,61 0,44 0,51 0,62 0,69 0,26
No 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57
A 1
B
C
D 2
1
2
1 1 1 1 2
E
F
2
2 1 1
1
1
2 1 1
1 2
1 1 1
2 1 1
1 2
1
1 1 1
2
2 1 2 1 1 1
2
1 1 2 1
1 1
1 1 1 1
2 1 1
1 2 1
1 2 2 1
1
1
TL 4,50 4,03 3,94 4,50 3,60 4,02 3,89 4,50 3,06 4,50 3,79 4,50 4,50 3,55 4,50 3,80 4,06 4,14 4,50 4,15 3,76 4,05 4,14 4,50 3,97 3,97 4,01 4,50
SE 0,61 0,66 0,49 0,59 0,33 0,44 0,61 0,62 0,26 0,62 0,32 0,80 0,60 0,50 0,70 0,32 0,66 0,67 0,61 0,67 0,32 0,66 0,67 0,80 0,44 0,44 0,44 0,60
267
Ikan Pepetek No A B C D E F 1 2 3 2 3 3 2 1 4 2 3 5 2 1 6 2 3 2 7 1 2 8 4 9 1 2 1 10 1 1 1 11 1 1 1 12 4 3 13 2 2 1 14 4 15 5 16 2 2 17 1 4 1 18 2 2 1 19 2 2 1 20 1 1 21 2 2 2 22 4 23 2 2 1 24 1 3 1 25 3 1 26 4 2 27 5 28 1 1 29 1 1 30 3 31 1 2 2 32 4 33 2 34 1 1 35 1 1 36 5 37 3 4 38 2 1 39 2 3 40 2 1 41 3 4 2 42 3 2 43 4 5 Rata-rata TL = 2,76 Rata-rata SE = 0,28 A = dinoflagellates B = benthic algae/weeds E = other molluska G = diatoms TL = trophlab SE = standar error
G TL 2 2,00 2,00 3,24 2,69 3,24 2,55 2,68 2,00 2,39 2,98 2 2,81 2,00 3 2,78 3,40 2,00 2,91 3,00 3,07 2,52 2 2,00 2,49 3,40 3,07 4 2,78 3,22 2,75 2,00 2,69 3,50 2,00 3,07 3,40 3,40 3,50 3,51 3,40 4 2,00 3,49 2,00 3,50 3,00 2,84 2,00
SE 0,00 0,00 0,37 0,30 0,37 0,26 0,30 0,00 0,14 0,37 0,33 0,00 0,33 0,45 0,00 0,36 0,38 0,39 0,26 0,00 0,24 0,45 0,39 0,33 0,36 0,33 0,00 0,30 0,48 0,00 0,39 0,45 0,45 0,48 0,48 0,45 0,00 0,47 0,00 0,47 0,38 0,34 0,00
No 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85
A 3
B 4
6 1
3 2
2 2
2
C D E F G 5 4 2 3 1 1 1 1 2 1 1 2 2 1 4 2 2 3 2 1 1 1
2 4 4
5 1 2 1 1 2 2 1
3 2 1
4 3
2
3 5 3 1 3 4 3
C = other plank. invertebrates D = debris F = polychaetes
2 2 1 2 1 1 2 2
2 2 2 1 1 2 1
1 4 3 1 1 1 1 1 1 3 1 4 2 2 4 3 2 3 4 4 4 3 3 1 2 1 1 1 2 3 3 3 1 1
TL 2,00 2,00 2,79 2,54 3,06 2,65 3,50 2,00 2,48 2,00 3,02 2,75 3,00 2,00 3,40 2,00 3,01 2,99 2,99 2,91 3,06 2,51 3,40 2,67 2,77 2,99 2,91 3,07 2,78 2,93 3,40 2,00 2,65 2,00 2,00 3,03 3,51 3,00 2,52 3,02 2,96 2,83
SE 0,00 0,00 0,33 0,18 0,39 0,29 0,47 0,00 0,46 0,00 0,38 0,33 0,35 0,00 0,45 0,00 0,38 0,37 0,37 0,31 0,39 0,17 0,45 0,29 0,32 0,38 0,31 0,39 0,33 0,36 0,45 0,00 0,29 0,00 0,00 0,38 0,48 0,38 0,17 0,38 0,37 0,34
268
Ikan Kuwe No A B C 1 1 1 2 1 3 1 4 1 5 2 6 2 7 1 2 8 1 9 1 1 10 1 11 1 12 1 14 2 15 2 16 1 17 2 1 19 1 2 20 1 22 1 23 1 25 1 26 1 27 2 1 28 1 29 1 1 30 1 1 2 31 1 1 1 32 1 33 1 2 34 2 35 2 2 36 2 1 37 1 38 2 39 1 40 2 41 1 1 Rata-rata TL = 4,22 Rata-rata SE = 0,72 A = fish eggs/larvae B = benth. copepods C = bony fish D = shrimps/prawns E = other finfish TL = trophlab SE = standar error
D 1
E 2 1
1 1 1 1 1 1 2 2 2 1 1 1 1 2 2 1 1
1
1 1 2
TL 4,21 4,50 4,50 4,04 4,50 4,04 3,81 4,50 4,50 4,02 4,50 4,50 4,50 4,50 4,04 3,90 4,20 4,03 4,03 4,20 4,50 4,21 4,50 4,02 4,21 3,95 3,95 4,50 4,50 4,50 3,81 3,79 4,04 3,79 4,50 4,02 4,50
SE 0,74 0,80 0,80 0,70 0,80 0,70 0,56 0,80 0,80 0,69 0,80 0,80 0,80 0,80 0,70 0,60 0,73 0,70 0,70 0,73 0,80 0,74 0,80 0,69 0,74 0,62 0,62 0,80 0,80 0,80 0,56 0,56 0,70 0,56 0,80 0,69 0,80
No 40 41 42 44 45 47 48 50 52 53 54 55 56 57 58 59 60 62 63 64 65 66 67 68 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81
A 2 1 1 2 1
B
C
D 2
E
1 1 1 1
2 1
1 1 1 1 1
2 1 1 2 1
1
1 2
1 1 2
2 2 2
1
3 1
2
1
1 2 1 1
2 2 1 1 2
1 1 1 2 2
3 1 1 1 1 2 1
1 1
1 1
2 2 1
2 1
2 1
TL 4,02 4,50 4,03 4,50 4,50 4,50 4,50 3,69 4,50 4,50 4,08 4,03 4,50 3,29 4,50 4,50 3,71 4,50 3,76 4,50 3,81 3,79 4,08 4,21 4,50 3,79 4,50 4,50 4,50 4,20 4,20 4,50 4,50 4,50 4,04 3,90
SE 0,69 0,80 0,70 0,80 0,80 0,80 0,80 0,55 0,80 0,80 0,71 0,70 0,80 0,39 0,80 0,80 0,52 0,80 0,54 0,80 0,56 0,56 0,71 0,74 0,80 0,56 0,80 0,80 0,80 0,73 0,73 0,80 0,80 0,80 0,70 0,60
269
Ikan Baronang No A B C TL SE 1 2 1 2,54 0,18 2 1 3,06 0,26 3 3 2,00 0,00 4 5 2,00 0,00 5 2 2 1 2,81 0,29 6 3 2,00 0,00 7 1 1 2,52 0,17 8 2 1 2,54 0,18 9 4 2,00 0,00 10 3 2,76 0,32 11 1 3,06 0,26 12 1 2,00 0,00 13 2 3,06 0,26 14 2 2,00 0,00 15 1 2,00 0,00 16 3 2 2,72 0,31 17 2 3,40 0,45 18 2 2 2,64 0,29 19 2 3,06 0,26 20 1 1 1 2,83 0,29 21 1 2 2,52 0,17 22 2 1 3,22 0,36 23 2 2 2,69 0,30 24 4 2,00 0,00 25 3 1 2,52 0,17 26 2 2 1 2,83 0,29 27 1 1 1 2,85 0,29 28 3 2 2,49 0,17 29 1 3,06 0,26 30 2 1 3,22 0,36 31 2 1 2,69 0,30 32 1 1 3,22 0,36 33 1 3,06 0,26 34 4 2 2,68 0,30 35 1 1 2,54 0,18 36 3 2,00 0,00 37 3 2,00 0,00 38 2 2 2,54 0,18 39 2 3 2,68 0,30 Rata-rata TL = 2,64 Rata-rata SE = 0,22 A = benthic algae/weeds B = other plank. Invertebrates s C = polychaetes TL = trophlab SE = standar error
No 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77
A
B 5 4
2 5 2 1 2 2 4 3 6 3 2 1 1 2 5 4 3 1 3 3 7
C 5 7 4 3 3 2 3 2 1 3 3 1 2 2 2
1 1 1
1 1
1
3 3 1 3 1
1
7 2 2 3 3 2 2 2 4 1
1 3 3 2 1 2 2
1 1 1
TL 2,00 2,73 3,40 3,40 2,68 3,40 2,00 2,83 2,69 2,49 2,79 2,75 2,71 2,00 2,81 2,54 2,67 2,72 3,22 2,73 2,00 2,75 2,66 2,49 2,68 2,83 2,00 3,40 2,00 2,52 2,64 2,85 2,54 2,69 2,83 2,76 3,40 2,00
SE 0.00 0.31 0.45 0.45 0.30 0.45 0.00 0.29 0.30 0.17 0.28 0.31 0.30 0.00 0.29 0.18 0.29 0.31 0.36 0.31 0.00 0.31 0.29 0.17 0.30 0.29 0.00 0.45 0.00 0.17 0.29 0.29 0.18 0.30 0.29 0.32 0.45 0.00
270
Ikan Barakuda No A B C 1 4 2 1 1 3 2 4 2 1 5 1 1 2 6 2 2 7 2 8 1 1 9 1 2 3 10 3 11 1 2 12 2 2 2 13 2 1 14 1 1 15 2 2 16 2 1 18 1 19 2 20 2 2 21 2 22 1 23 2 2 24 2 1 25 2 2 26 2 27 1 1 28 4 29 1 1 30 2 2 31 1 2 32 2 2 33 1 36 3 37 1 2 Rata-rata TL = 4,28 Rata-rata SE = 0,72 A = fish eggs /larvae B = bony fish C = shrimps /prawns D = squids/cuttlefish TL = trophlab SE = standar error
D 1 1
1
1 1 1 1
TL 4,50 4,19 4,50 4,18 4,19 4,03 4,50 4,04 4,27 4,50 4,09 4,19 4,50 4,50 4,03 4,06 4,50 4,50 4,01 4,50 4,50 4,22 4,22 4,18 4,50 4,19 4,50 4,05 4,05 4,06 4,01 4,50 4,50 4,09
SE 0,80 0,60 0,80 0,59 0,73 0,70 0,62 0,70 0,75 0,80 0,71 0,73 0,80 0,80 0,70 0,70 0,80 0,80 0,69 0,80 0,80 0,60 0,60 0,59 0,80 0,60 0,80 0,70 0,70 0,70 0,69 0,80 0,80 0,71