PERHITUNGAN PERKIRAAN KERUGIAN EKONOMI AKIBAT KASUS KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) KERACUNAN PANGAN TAHUN 2013
GHITA DWI KARTIKA
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perhitungan Perkiraan Kerugian Ekonomi Akibat Kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan Tahun 2013 adalah benar karya saya dengan arahan dari para pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2015
Ghita Dwi Kartika NIM F24100041
ABSTRAK GHITA DWI KARTIKA. Perhitungan Perkiraan Kerugian Ekonomi Akibat Kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan Tahun 2013. Dibimbing oleh DEDI FARDIAZ, WINIATI P. RAHAYU, dan RUKI FANAIKE. Kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan merupakan permasalahan keamanan pangan yang masih banyak terjadi di Indonesia. Kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan yang terjadi setiap tahunnya secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan kerugian yang dialami oleh banyak pihak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perkiraan besarnya kerugian ekonomi akibat KLB keracunan pangan di Indonesia pada tahun 2013. Hal ini akan sangat berguna untuk para pembuat kebijakan dan pihak-pihak yang berusaha menyelesaikan masalah KLB keracunan pangan. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan persamaan yang diperoleh dari hasil studi literatur dan pengumpulan data baik primer maupun sekunder. Data kasus KLB keracunan pangan yang digunakan adalah data BPOM tahun 2013, yang meliputi 48 kasus KLB, 1 690 orang sakit, dan 12 orang meninggal. Besar kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan di Indonesia tahun 2013 diperkirakan sebesar 1.2 triliun rupiah. Nilai kerugian yang cukup besar ini menunjukkan tindakan pengawasan keamanan pangan perlu ditingkatkan. Kata kunci: KLB, keracunan pangan, kerugian ekonomi, keamanan pangan.
ABSTRACT GHITA DWI KARTIKA. Calculation of Economic Losses Estimation Due to Food Poisoning Outbreaks in 2013. Supervised by DEDI FARDIAZ, WINIATI P. RAHAYU, dan RUKI FANAIKE. Food poisoning outbreaks is a food safety problem that still occurred frequently in Indonesia. Food poisoning outbreaks that occur every year directly or indirectly resulted in losses experienced by many parties. The purpose of this research is to find the approximate economic losses due to food poisoning outbreaks in Indonesia in 2013. This will be very useful for policy makers and parties that are trying to resolve this food poisoning outbreaks problem. The calculation was done by using the equation obtained from the result of literature study and data collection both primary and secondary. Data of food poisoning outbreaks cases used was from BPOM in year 2013, which includes 48 outbreaks, 1 690 sickness, and 12 deaths. The value of economic losses due to food poisoning outbreaks in Indonesia in 2013 was estimated at 1.2 trillion rupiah. The high cost of these economic losses suggests that additional efforts of food safety control might be warranted. Keywords: outbreaks, food poisoning, economic losses, food safety.
PERHITUNGAN PERKIRAAN KERUGIAN EKONOMI AKIBAT KASUS KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) KERACUNAN PANGAN TAHUN 2013
GHITA DWI KARTIKA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Judul Skripsi : Perhitungan Perkiraan Kerugian Ekonomi Akibat Kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan Tahun 2013 Nama : Ghita Dwi Kartika NIM : F24100041
Disetujui oleh
Prof. Dr. Dedi Fardiaz, M.Sc Pembimbing I
Prof. Dr. Winiati P. Rahayu Pembimbing II
Ruki Fanaike, STP Pembimbing III
Diketahui oleh
Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga penyusunan skripsi dengan judul “Perhitungan Perkiraan Kerugian Ekonomi Akibat Kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan Tahun 2013” dapat diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret 2014 sampai Desember 2014. Skripsi ini disusun sebagai hasil dari kegiatan magang di Badan POM RI. Terima kasih kepada bapak Prof. Dr. Dedi Fardiaz, ibu Prof. Dr. Winiati P. Rahayu; ibu Ruki Fanaike, STP; ibu Ima Ananda, SP; ibu Eva Yuliana Fitri, S.Si; ibu Citra Prasetyawati, S.Farm, Apt, M.Sc; dan ibu Rina Puspitasari, STP, M.Sc yang telah membimbing penulis dalam penelitian dan penyelesaian tugas akhir. Terima kasih juga kepada mbak Wiwin, mbak Sarli, kak Dika, kak Jian, dan seluruh tim Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan POM RI, serta teman-teman magang di Badan POM RI (Adiguna, Anjani, Irma, Nizza, Nurul, Rita, dan Zacky) yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama proses penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak, mama, mbak Tyas, Tamma, atas do’a dan dukungan yang telah diberikan. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat.
Bogor, Maret 2015 Ghita Dwi Kartika
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
x
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Ruang Lingkup Penelitian
2
METODE
2
Studi Literatur Pendekatan Perhitungan Kerugian Ekonomi Akibat Kasus KLB Keracunan Pangan
2
Pengumpulan Data Primer dan Sekunder
3
Pengolahan Data Perhitungan Perkiraan Kerugian Ekonomi Akibat Kasus KLB Keracunan Pangan di Indonesia HASIL DAN PEMBAHASAN
3 3
Pendekatan Perhitungan Kerugian Ekonomi Akibat Kasus KLB Keracunan Pangan di Indonesia
3
Perhitungan Perkiraan Kerugian Ekonomi Akibat Kasus KLB Keracunan Pangan di Indonesia tahun 2013 SIMPULAN DAN SARAN
5 17
Simpulan
17
Saran
17
DAFTAR PUSTAKA
17
RIWAYAT HIDUP
19
DAFTAR TABEL 1 Persamaan perhitungan perkiraan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan di Indonesia 2 Penanganan korban keracunan pangan dan biayanya 3 Jumlah korban kasus KLB keracunan pangan dan rata-rata lama rawat 4 Tindakan penanggulangan kasus KLB keracunan pangan dan biayanya 5 Sumber makanan penyebab kasus KLB keracunan pangan tahun 2013 6 Perkiraan kerugian industri pangan akibat kasus KLB keracunan pangan 7 Data yang digunakan untuk perhitungan perkiraan kerugian ekonomi akibat KLB keracunan pangan dengan persamaan ELFPO 8 Perhitungan perkiraan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan tahun 2013 9 Kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan
4 6 7 11 12 13 14 15 16
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan merupakan salah satu permasalahan keamanan pangan yang menjadi keprihatinan di tingkat nasional maupun global. Menurut Permenkes (2013) KLB keracunan pangan adalah suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit dengan gejala yang sama atau hampir sama setelah mengonsumsi pangan, dan berdasarkan analisis epidemiologi, pangan tersebut terbukti sebagai sumber keracunan. Kesadaran masyarakat di Indonesia akan keamanan pangan dirasa masih sangat kurang. Semua pihak yang berhubungan dengan produksi pangan harus dapat menjamin pangan yang sampai kepada konsumen benar-benar aman. Penerapan dan pengembangan praktik-praktik yang baik dalam penanganan dan pengolahan pangan seperti GAP (Good Agricultural Practices), GHP (Good Handling Pactices), GMP (Good Manufacturing Practices), dan GT/DP (Good Transportation/Distribution Practices) menjadi sangat penting untuk dilakukan. Kasus KLB keracunan pangan yang terjadi setiap tahunnya secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan kerugian yang dialami oleh banyak pihak. Kerugian yang dimaksud merupakan kerugian ekonomi yang menjadi beban yang harus ditanggung oleh masyarakat apabila terjadi KLB keracunan pangan (Frenzen et al. 2005). Maka dari itu, perkiraan besar kerugian ekonomi yang akurat akibat KLB keracunan pangan akan sangat berguna untuk para pembuat kebijakan dan pihak-pihak yang berusaha menyelesaikan masalah KLB keracunan pangan (Scharff 2012). Pada akhirnya diharapkan KLB keracunan pangan yang masih banyak terjadi di Indonesia dapat segera diatasi dengan adanya kebijakankebijakan yang tepat dan efektif untuk menanggulangi permasalahan KLB keracunan pangan.
Perumusan Masalah Kasus KLB keracunan pangan di Indonesia masih menjadi salah satu masalah di bidang keamanan pangan yang memerlukan perhatian khusus. Kerugian yang diakibatkan oleh kasus KLB keracunan pangan yang terjadi di Indonesia diperkirakan akan dialami oleh pihak rumah tangga, pemerintah, dan industri. Pengembangan metode perhitungan kasus KLB keracunan pangan sudah pernah dilakukan oleh Badan POM pada tahun 2007. Seiring dengan perkembangan waktu, variabel yang digunakan pada perhitungan tersebut sudah tidak sesuai dengan keadaan yang ada. Karena itu, diperlukan analisis untuk menentukan komponen perhitungan yang menjadi variabel dalam persamaan perhitungan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan yang lebih akurat. Penentuan tersebut dapat dilakukan dengan menganalisis perhitungan kerugian ekonomi akibat kasus keracunan pangan yang telah dilakukan oleh negara lain, serta mengumpulkan data primer dan sekunder yang ada di Indonesia. Dengan demikian, komponen perhitungan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan yang terjadi di Indonesia dapat ditentukan dan dapat dihitung besar kerugiannya.
2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perkiraan kerugian ekonomi akibat KLB keracunan pangan pada tahun 2013 yang terjadi di Indonesia, termasuk kerugian yang dialami oleh individu yang sakit, pihak pemerintah, dan pihak industri.
Manfaat Penelitian Perhitungan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan ini akan membantu pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan dan pengendalian keamanan pangan dalam proses pengambilan kebijakan. Hasil penelitian ini diharapkan akan berdampak juga pada peningkatan kesehatan masyarakat sebagai konsumen dan perbaikan praktik produksi dan distribusi pangan.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mencakup analisis pendekatan perhitungan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan yang terdapat di dalam Laporan Kajian Estimasi Kerugian Ekonomi Akibat Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan di Indonesia (BPOM 2014). Data yang digunakan diperoleh dari pengumpulan data sekunder dari Badan POM dan data primer melalui permintaan data ke rumah sakit, wawancara dengan dokter, dan pihak tempat pemakaman umum (TPU) daerah, serta survei ke instansi pemerintah dan perusahaan pangan.
METODE Penelitian ini terdiri dari 3 tahap, yaitu (1) studi literatur pendekatan perhitungan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan, (2) pengumpulan data primer dan sekunder, (3) pengolahan data perhitungan perkiraan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan di Indonesia berdasarkan data tahun 2013. Tahap-tahap pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. 1. Studi Literatur Pendekatan Perhitungan Kerugian Ekonomi Akibat Kasus KLB Keracunan Pangan Studi literatur dilakukan terhadap kajian terkait kerugian ekonomi akibat keracunan pangan yang dimiliki oleh negara-negara maju, seperti Belanda, New Zealand, dan Australia. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap setiap komponen persamaan yang terdapat pada persamaan tersebut. Analisis dilakukan dengan mengacu pada sumber literatur yang digunakan.
3 Mulai
Studi literatur pendekatan perhitungan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan
Pengumpulan data primer dan sekunder
Pengolahan data perhitungan perkiraan kerugian ekonomi akibat KLB keracunan pangan di Indonesia tahun 2013 Gambar 1 Tahap-tahap pelaksanaan penelitian perhitungan perkiraan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan di Indonesia 2. Pengumpulan Data Primer dan Sekunder Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan untuk memperoleh data dari setiap variabel yang ada di dalam persamaan. Data sekunder diperoleh dari Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan POM RI, yang mencakup data kasus KLB keracunan pangan di Indonesia tahun 2013. Sementara data primer diperoleh melalui 3 cara, yaitu melalui surat permintaan data, kuesioner, dan wawancara. Ketiga kegiatan ini dilakukan kepada pihakpihak yang terkait dengan KLB keracunan pangan, yaitu fasilitas pelayanan kesehatan rumah sakit dan dokter, Dinas Kesehatan Daerah, tempat pemakaman umum (TPU) daerah, serta pada perusahaan pangan. 3. Pengolahan Data Perhitungan Perkiraan Kerugian Ekonomi Akibat Kasus KLB Keracunan Pangan di Indonesia Perhitungan perkiraan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan ini dilakukan dengan menggunakan data kasus KLB tahun 2013. Hasil perhitungan ini menjadi perkiraan besarnya kerugian ekonomi per tahun akibat kasus KLB keracunan pangan yang terjadi di Indonesia.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pendekatan Perhitungan Kerugian Ekonomi Akibat Kasus KLB Keracunan Pangan di Indonesia Pendekatan perhitungan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan yang dianalisis dalam penelitian ini berdasarkan pendekatan yang digunakan oleh Badan POM di dalam Laporan Kajian Estimasi Kerugian Ekonomi Akibat Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan di Indonesia
4 (BPOM 2014). Pendekatan tersebut berupa suatu persamaan yang disebut ELFPO atau Economic Losses of Food Poisoning Outbreaks. Berdasarkan hasil studi literatur, perhitungan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan terdiri dari 3 bagian, yaitu biaya kesehatan langsung (Direct Health-care Cost/DHC), biaya non-kesehatan langsung (Direct Non-health-care Cost/DNHC), dan biaya non-kesehatan tidak langsung (Indirect Non-health-care Cost/INHC) (Cressey dan Lake 2008). Persamaan perhitungan perkiraan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Persamaan perhitungan perkiraan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan di Indonesia No. Komponen perhitungan Biaya penanganan pertama ke dokter/rumah 1. sakit Biaya rawat inap 2. Biaya pengujian spesimen 3. Biaya perjalanan pulang-pergi ke 4. dokter/rumah sakit Biaya pemakaman 5. Kerugian akibat kehilangan produktivitas 6. karena sakit Kerugian akibat kehilangan produktivitas 7. karena kematian Biaya penanggulangan 8. Kerugian akibat kehilangan citra dan 9. kepercayaan konsumen 10. Kerugian akibat penarikan produk
Komponen persamaan P x UGD Xr x P x [O + (2 x KM)] Xr x P x US 2 x P x 1.8 km x BB/6 km Xk x P x M P x t/30 x UMR Xk x P x UMR x 12 KxT Xo x K x I Xo x K x HP x J
Sumber: BPOM (2014)
Persamaan perhitungan perkiraan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan tersebut dapat diringkas sebagai berikut ini. ELFPO = P {UGD + [Xr x (O + (t x KM))] + (Xr x US) + (2 x 1.8 km x BB/6 km) + (Xk x M) + (t/30 x UMR) + (Xk x UMR x 12)} + K {T + (Xo x I) + (Xo x HP x J)} Keterangan:
P UGD Xr O t KM US BB Xk M UMR
= jumlah total korban keracunan per tahun = biaya UGD = persentase jumlah korban rawat inap = biaya obat = lama waktu sakit (hari) = biaya kamar rawat per hari = biaya pengujian spesimen = harga bahan bakar per liter = persentase jumlah korban meninggal = biaya pemakaman = upah minimum regional
5 K T Xo I HP J
= jumlah KLB per tahun = biaya penanggulangan = persentase jumlah kasus KLB akibat produk olahan = biaya promosi (iklan) 1 produk per tahun = persentase kehilangan penjualan akibat penarikan produk = rata-rata total penjualan 1 produk per tahun
Perhitungan Perkiraan Kerugian Ekonomi Akibat Kasus KLB Keracunan Pangan di Indonesia tahun 2013 Biaya Kesehatan Langsung (Direct Health-care Cost/DHC) Biaya kesehatan langsung merupakan biaya yang harus ditanggung oleh rumah tangga terkait dengan biaya medis. Di dalam persamaan ini yang termasuk ke dalam DHC adalah komponen persamaan 1, 2, dan 3. a. Biaya Penanganan Pertama ke Dokter/Rumah Sakit Menurut Cressey dan Lake (2007), setiap orang yang mengalami gejala awal keracunan seperti diare, sakit perut, mual, dan muntah, diperkirakan akan segera mengunjungi dokter terdekat sebagai langkah awal penanganan. Hal ini dapat diperhitungkan menjadi biaya yang diperlukan untuk penanganan pertama korban keracunan pangan dengan persamaan sebagai berikut ini. TBD = P x UGD .. Persamaan 1 Keterangan:
TBD = total biaya penanganan pertama ke dokter P = jumlah korban keracunan pangan per tahun UGD = biaya UGD
Data jumlah korban keracunan pangan merupakan data sekunder yang diperoleh dari Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan POM RI. Data tahun 2013 menyatakan terjadi 48 kasus KLB keracunan pangan yang melibatkan 1 690 orang sakit dan 12 orang meninggal (BPOM 2014). Namun, hingga saat ini jumlah kasus yang terlaporkan belum sesuai dengan jumlah kasus yang sebenarnya terjadi (BPOM 2012). Oleh karena itu digunakan asumsi dari WHO yang menyebutkan bahwa di suatu negara berkembang, setiap satu kasus KLB keracunan pangan yang dilaporkan, maka paling tidak terdapat 99 kasus lain yang tidak dilaporkan (WHO 2008). Hanya sekitar 1% kasus KLB keracunan pangan yang dilaporkan dari total kasus yang sebenarnya terjadi. Maka dengan menggunakan asumsi ini, diduga kasus KLB keracunan pangan yang terjadi di Indonesia pada tahun 2013 adalah sebanyak 4 800 kasus KLB keracunan pangan yang melibatkan sebanyak 169 000 orang sakit dan 1 200 orang meninggal dunia. Menurut Beuchat (1998) kurangnya tindakan investigasi dan pengawasan terhadap penyakit asal pangan di sebagian negara berkembang mengakibatkan sebagian besar kasus KLB tidak terlaporkan. Setiap korban keracunan pangan diasumsikan akan melakukan pemeriksaan ke UGD sebagai penanganan awal. Hasil wawancara dengan
6 dokter dan perawat dari RSUD A yang pernah menangani korban keracunan pangan menunjukkan bahwa setiap korban akan mendapatkan penanganan di UGD, kemudian jika keadaan korban dianggap parah, maka korban akan mendapatkan perawatan inap. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Penanganan korban keracunan pangan dan minimum biayanya Korban Korban Tindakan penanganan (per orang) Biaya (Rp) rawat jalan rawat inap Pendaftaran UGD 30 000 √ √ Uji laboratorium UGD 25 000 √ √ Uji laboratorium spesimen tinja 200 000 √ Uji laboratorium spesimen darah 800 000 √ Obat-obatan 200 000 √ Sewa kamar inap kelas umum (per hari) 100 000 √ Besar biaya untuk setiap tindakan penanganan kesehatan tentu saja berbeda di setiap rumah sakit. Setiap korban juga mungkin memiliki fasilitas kesehatan yang berbeda, seperti asuransi. Oleh karena itu, data yang diambil merupakan data dari rumah sakit umum daerah yang diasumsikan memiliki tarif standar. Diasumsikan juga setiap korban yang melakukan perawatan tidak memiliki fasilitas kesehatan, sehingga semua biaya harus ditanggung langsung oleh korban. b. Biaya Rawat Inap Korban keracunan pangan yang telah mendapatkan penanganan pertama sebagian akan mendapatkan perawatan di rumah sakit (Kemmeren et al. 2006) selama kurun waktu tertentu. Dengan demikian, biaya yang harus dikeluarkan selama perawatan di rumah sakit menjadi biaya yang perlu diperhitungkan sebagai akibat terjadinya keracunan pangan. Selama menjalani perawatan korban akan memerlukan obat-obatan (Kemmeren et al. 2006). Biaya rawat inap dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut ini. TBR = Xr x P x [O + (t x KM)] .. Persamaan 2 Keterangan:
TBR Xr P O t KM
= total biaya rawat inap = persentase jumlah korban yang dirawat inap = jumlah korban keracunan pangan per tahun = biaya obat = rata-rata lama rawat = biaya kamar rawat per hari
Pengumpulan data dilakukan ke 3 rumah sakit yang pernah menangani korban kasus KLB keracunan pangan yang terjadi pada tahun 2012 dan 2013. Rumah sakit yang dijadikan tempat pengambilan data adalah Rumah Sakit A, Rumah Sakit B, dan Rumah Sakit C yang semuanya berlokasi di DKI Jakarta. Data yang diminta meliputi jumlah korban yang melakukan pemeriksaan rawat jalan dan rawat inap, serta lama waktu rawat inap. Rekapitulasi data jumlah
7 korban dan rata-rata lama rawat inap di setiap rumah sakit dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jumlah korban kasus KLB keracunan pangan dan rata-rata lama rawat Rumah sakit Rumah Sakit A Rumah Sakit B Rumah Sakit C
Kasus
Waktu
Keracunan nasi kuning Keracunan bubur ayam Keracunan nasi goreng Total
Mei 2012 Juni 2012 2013
Rawat jalan 30
Rawat inap 11
41
Rata-rata lama rawat inap (hari) 2
15
19
34
2.2
2
24
26
2.7
47
54
101
Rata-rata = 2.3
Total
Dari Tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa rata-rata korban keracunan pangan menjalani rawat inap selama 2 hari. Hal ini menunjukkan bahwa keracunan pangan yang terjadi tidak memiliki tingkat keparahan yang tinggi. Hasil ini sesuai dengan salah satu perhitungan yang diperoleh oleh Kemmeren et al. (2006) yang menyatakan pasien yang menderita gastroenteritis akibat keracunan pangan akan absen dari kerja selama 2 hari. Selain itu perlu diketahui persentase jumlah korban yang menjalani rawat inap pada setiap kasus KLB keracunan pangan yang terjadi. Dari data yang diperoleh dilakukan perbandingan jumlah korban rawat jalan dan rawat inap dari total jumlah korban seluruhnya. Persentase jumlah korban rawat jalan dan rawat inap dari data yang diperoleh dapat diperkirakan pada setiap kasus KLB keracunan pangan yang terjadi akan terdapat sekitar 55% korban yang menjalani rawat inap dari total jumlah korban yang sakit dengan lama waktu perawatan inap selama 2 hari. c. Biaya Pengujian Spesimen Pengujian laboratorium akan dilakukan untuk mendukung diagnosis dari penyakit yang dialami oleh korban (Cressey dan Lake 2008). Diasumsikan pengujian spesimen di laboratorium hanya dilakukan oleh korban yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Dengan demikian biaya pengujian spesimen dapat dihitung dengan persamaan berikut ini. TBL = Xr x P x US .. Persamaan 3 Keterangan:
TBL Xr P US
= total biaya laboratorium = persentase jumlah korban yang dirawat inap = jumlah korban keracunan pangan per tahun = biaya pengujian spesimen
Secara umum, komponen persamaan yang digunakan dalam perhitungan Direct Health-care Cost (DHC) masih memiliki kekurangan karena variabel yang digunakan belum memiliki segmentasi yang spesifik. Variabel P (jumlah korban) seharusnya dikategorisasi menurut usia, karena biaya medis yang diperlukan berbeda untuk setiap kategori usia korban (Lee et al. 2012). Begitu juga dengan variabel O (biaya obat) seharusnya dilakukan segmentasi biaya
8 obat untuk setiap kategori usia korban. Sementara variabel KM (biaya kamar rawat) merupakan variabel yang memiliki keragaman tinggi, mengingat besar biaya sewa kamar rawat di rumah sakit berbeda di setiap rumah sakit dan berbeda setiap kelasnya. Maka dari itu, nilai yang diperoleh dari hasil perhitungan masih merupakan perkiraan karena asumsi yang digunakan belum mempertimbangkan keragaman data dan biaya yang ada. Biaya Non-kesehatan Langsung (Direct Non-health-care Cost/DNHC) Biaya non-kesehatan langsung merupakan biaya yang tidak berkaitan secara langsung dengan kesehatan namun ditanggung secara langsung oleh rumah tangga. Di dalam persamaan ini yang termasuk ke dalam DNHC adalah komponen persamaan 4 dan 5. a. Biaya Perjalanan Pulang-Pergi ke Dokter/Rumah Sakit Menurut Kemmeren et al. (2006) biaya perjalanan yang dilakukan oleh korban yang mengalami keracunan pangan perlu diperhitungkan dengan asumsi setiap korban hanya akan melakukan sekali kunjungan ke dokter/rumah sakit. Setiap kunjungan ke rumah sakit ini dianggap sebagai perjalanan pulangpergi, sehingga perhitungannya perlu dikalikan dua. Pendekatan perhitungan biaya perjalanan ini dapat dilakukan dengan menghitung harga bahan bakar yang diperlukan untuk menempuh jarak dari rumah korban menuju dokter/rumah sakit terdekat (Cressey dan Lake 2008). Saat ini belum tersedia data yang menyatakan jarak rata-rata akses ke fasilitas kesehatan rumah sakit atau puskesmas untuk masyarakat di seluruh Indonesia. Maka pada pendekatan ini digunakan hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2013 tentang Akses Pelayanan Kesehatan dan Kejadian Malaria di Provinsi Bengkulu. Pada penelitian ini diperoleh hasil aksesibilitas pelayanan kesehatan di Provinsi Bengkulu, yaitu jarak rata-rata akses pusat pelayanan kesehatan rumah sakit dan Puskesmas ke masyarakat sekitar 1.8 km (Sari et al. 2013). Dengan demikian total biaya perjalanan pulang-pergi ke dokter/rumah sakit dapat dihitung dengan persamaan berikut ini. TBT = 2 x P x 1.8 km x BB/6 km .. Persamaan 4 Keterangan:
TBT P BB
= total biaya transportasi = jumlah korban keracunan pangan per tahun = harga bahan bakar per liter
b. Biaya Pemakaman Sebagian dari korban yang mengalami keracunan pangan dapat mengalami kematian. Jika terjadi kasus kematian maka biaya langsung yang ditanggung oleh keluarga korban adalah biaya pemakaman (Abelson et al. 2006). Perhitungan biaya pemakaman dapat dilakukan dengan persamaan berikut ini. TBK = Xk x P x M .. Persamaan 5
9 Keterangan:
TBK Xk P M
= total biaya kematian langsung = presentase jumlah korban yang meninggal = jumlah korban keracunan pangan per tahun = biaya pemakaman
Berdasarkan data tahun 2013, tercatat 48 kasus KLB keracunan pangan dengan jumlah pendrita sakit sebanyak 1 690 orang dan 12 orang meninggal dunia. Setiap kasus KLB keracunan pangan yang terjadi memberikan dampak yang berbeda pada kondisi korban. Untuk mengetahui perkiraan kondisi korban pada setiap kasus KLB keracunan pangan dilakukan perhitungan rata-rata berdasarkan data tahun 2013. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pada setiap kasus KLB keracunan pangan yang terjadi diperkirakan terdapat 1% korban yang meninggal dan 99% lainnya menderita sakit. Wawancara yang dilakukan di 2 tempat pemakaman umum (TPU) memberikan informasi bahwa biaya pemakaman di tempat pemakaman umum ditentukan oleh peraturan daerah yang berlaku di setiap provinsi. Dengan demikian biaya pemakaman yang ditanggung oleh korban akan berbeda-beda sesuai dengan peraturan daerah masing-masing. Namun, sebagai penyederhanaan dalam persamaan perhitungan, besar biaya pemakaman yang akan digunakan dalam komponen perhitungan biaya pemakaman adalah data biaya pemakaman yang berlaku di Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah, besarnya harga pemakaian tempat pemakaman adalah Rp100 000. Secara umum, komponen persamaan yang termasuk ke dalam Direct Non-health-care Cost (DNHC) memiliki variabel yang belum diasumsikan secara tepat karena keterbatasan data yang ada. Pada perhitungan biaya pemakaman, variabel M (biaya pemakaman) yang digunakan hanya merupakan biaya penyewaan tanah makam yang datanya diperoleh dari Peraturan Daerah yang mengatur tentang hal ini. Sementara, pada kenyataannya ketika seorang anggota keluarga meninggal, maka keluarga yang ditinggalkan harus menanggung tidak hanya biaya peyewaan tanah makam, melainkan biaya untuk keperluan yang mendukung penyelenggaraan acara pemakaman, seperti biaya ambulans. Kemudian adat dan kepercayaan yang dianut oleh korban meninggal juga akan mempengaruhi besarnya biaya yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemakaman. Seperti umat muslim yang akan memerlukan biaya untuk kain kafan dan penyiapan konsumsi ketika mengadakan pengajian di rumah duka, umat kristiani memerlukan biaya untuk peti dan rias jenazah, begitu juga dengan kepercayaan yang lain dan bagaimana aturan adat budaya dari keluarga korban. Keragaman data yang tinggi ini sangat sulit diperoleh datanya. Maka dari itu, perhitungan yang dilakukan masih merupakan perkiraan karena belum memperhitungkan biaya seperti yang telah dijelaskan. Biaya Non-kesehatan Tidak Langsung (Indirect Non-health-care Cost/INHC) Biaya non-kesehatan tidak langsung merupakan biaya yang tidak berkaitan dengan masalah kesehatan dan dampaknya tidak ditanggung secara langsung. Di dalam persamaan ini yang termasuk INHC adalah komponen persamaan 6, 7, 8, 9, dan 10.
10 a. Kerugian Akibat Kehilangan Produktivitas karena Sakit Cressey dan Lake (2008) menghitung kerugian kehilangan produktivitas karena sakit dengan mengasumsikan jika korban tidak dapat masuk kerja karena sakit, maka kerugian yang dialami adalah sebesar gaji per hari. Pendekatan seperti ini dilakukan karena produktivitas seseorang dalam bekerja selama sehari dianggap senilai dengan besar gajinya per hari. Besarnya gaji tentunya sangat bergantung pada jenis pekerjaan dan posisi/jabatan. Namun pendekatan yang dapat dilakukan adalah menggunakan nilai rata-rata upah minimum regional dari setiap provinsi di Indonesia. Pendekatan ini menjadi perhitungan kerugian minimal, mengingat bahwa beberapa korban tersebut mempunyai tingkat produktivitas yang lebih tinggi dari UMR. Perhitungan kerugian akibat kehilangan produktivitas karena sakit dibagi menjadi 2 bagian, yaitu bagian pertama untuk korban yang berada di usia produktif (15-65 tahun) dan yang berada di usia non-produktif (<15 tahun dan >65 tahun). Untuk korban yang berada di usia non-produktif, diasumsikan tidak terjadi kerugian akibat kehilangan produktivitas dari diri korban itu sendiri, melainkan kerugian yang terjadi merupakan kehilangan produktivitas dari orang yang menjadi penjaga korban selama sakit. Karena korban yang berada di usia non-produktif (<15 tahun dan >65 tahun) diasumsikan memerlukan penjagaan dari orang lain selama sakit (Kemmeren et al. 2006). Dengan demikian kerugian akibat kehilangan produktivitas karena sakit dapat dihitung dengan persamaan berikut ini. TBPs = P x t/30 x UMR .. Persamaan 6 Keterangan:
TBPs = total kerugian kehilangan produktivitas karena sakit P = jumlah korban keracunan pangan per tahun t = rata-rata lama waktu sakit UMR = rata-rata upah minimum regional
Berdasarkan data yang diperoleh dari Depnaker (2014), nilai rata-rata UMR di Indonesia adalah sebesar Rp1 486 594. b. Kerugian Akibat Kehilangan Produktivitas karena Kematian Korban yang meninggal akan mengakibatkan kehilangan produktivitas sumber daya manusia yang seharusnya masih bisa berkontribusi pada kegiatan ekonomi. Abelson et al. (2006) secara sederhana menghitung kerugian akibat kehilangan produktivitas karena kematian dengan persamaan berikut ini. TBPk = Xk x P x UMR x 12 .. Persamaan 7 Keterangan:
TBPk = total kerugian kehilangan produktivitas karena kematian Xk = persentase jumlah korban yang meninggal P = jumlah korban keracunan pangan per tahun UMR = rata-rata upah minimum regional
11 c. Biaya Penanggulangan Setiap kasus KLB keracunan pangan yang terjadi mengharuskan dilakukannya tindak lanjut oleh pemerintah. Menurut Abelson et al. (2006) kegiatan penanggulangan kasus KLB keracunan pangan dapat mencakup uji laboratorium, tindakan pengawasan, dan tindakan investigasi. Di Indonesia tindakan penanggulangan KLB keracunan pangan telah diatur di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan yang menyebutkan bahwa upaya penanggulangan KLB keracunan pangan yang wajib dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota atau kantor kesehatan pelabuhan meliputi pertolongan pada korban, penyelidikan epidemiologi, dan pencegahan. Maka secara sederhana biaya penanggulangan kasus KLB keracunan pangan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut ini. TBP = K x T .. Persamaan 8 Keterangan:
TBP K T
= total biaya penanggulangan = jumlah kasus KLB keracunan pangan per tahun = biaya penanggulangan setiap kasus KLB keracunan pangan
Survei dilakukan ke Dinas Kesehatan Kota Depok yang pada bulan Juni 2014 menangani kasus KLB keracunan pangan akibat sate usus ayam dan cilok yang terjadi di daerah Sawangan Baru, Depok. Berdasarkan hasil survei diperoleh informasi tindakan penanggulangan yang dilakukan dan besar biayanya. Data yang diperoleh dari hasil survei dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Tindakan penanggulangan kasus KLB keracunan pangan dan biayanya No. Tindakan penanggulangan Biaya (Rp) 1. Pengamanan sampel 2 500 000 2. Pengujian sampel 900 000 3. Transportasi 200 000 Total 3 600 000 Tindakan penanggulangan yang dilakukan untuk setiap kasus KLB keracunan pangan dapat berbeda-beda, tergantung keadaan dari setiap kasus KLB keracunan pangan yang terjadi. Jumlah korban, lokasi kejadian, dan waktu kejadian bisa memengaruhi tindakan penanggulangan yang dilakukan dan besar biaya yang diperlukan. Namun, pada penelitian ini dilakukan pendekatan dengan menggunakan data hasil survei ini sebagai perkiraan biaya penanggulangan yang diperlukan untuk setiap kasus KLB keracunan pangan yang terjadi di Indonesia. d. Kerugian Akibat Kehilangan Citra dan Kepercayaan Konsumen Kasus KLB keracunan pangan yang terjadi akibat suatu produk dari perusahaan pangan diperkirakan akan memberikan dampak kepada perusahaan pangan tersebut dengan hilangnya kepercayaan konsumen terhadap produk
12 yang bersangkutan. Kehilangan kepercayaan dari konsumen dapat diatasi dengan melakukan promosi (iklan) yang dapat meyakinkan konsumen untuk mengembalikan lagi kepercayaan mereka terhadap produk yang bersangkutan. Maka perhitungan kerugian akibat kehilangan citra dan kepercayaan konsumen dapat dilakukan dengan persamaan sebagai berikut ini. TBI = Xo x K x I .. Persamaan 9 Keterangan:
TBI Xo I
= total biaya promosi/iklan = persentase kasus KLB keracunan pangan yang diakibatkan oleh produk olahan = biaya promosi/iklan 1 produk per tahun
Berdasarkan sumber makanan penyebabnya, kasus KLB keracunan pangan dapat digolongkan menjadi KLB yang disebabkan oleh pangan jajanan, pangan olahan, pangan jasa boga, dan masakan rumah tangga (BPOM 2014). Penyebab kasus KLB keracunan pangan di Indonesia pada tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Sumber makanan penyebab kasus KLB keracunan pangan tahun 2013 Sumber makanan Jumlah kasus KLB Persentase (%) Pangan jajanan 8 17 Pangan olahan 7 14 Pangan jasa boga 8 17 Masakan rumah tangga 23 48 Tidak diketahui 2 4 Total 48 100 Sumber: BPOM (2014)
Dari Tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa sumber makanan yang menjadi penyebab keracunan paling banyak adalah masakan rumah tangga (48%). Masakan rumah tangga menjadi sumber makanan penyebab keracunan yang paling tinggi karena pada umumnya makanan tersebut disajikan dan dikelola sendiri oleh rumah tangga tanpa manajemen pengolahan pangan yang baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip keamanan pangan (BPOM 2012). e. Kerugian Akibat Penarikan Produk Produk yang mengakibatkan kasus keracunan pangan akan segera ditarik dari pasar oleh perusahaan yang bersangkutan. Penarikan produk ini mengakibatkan perusahan mengalami kerugian berupa kehilangan penjualan dari produk yang ditarik. Kerugian kehilangan penjualan akibat penarikan produk dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut ini. TBK = Xo x K x HP x J .. Persamaan 10 Keterangan:
TBK Xo
= total kerugian akibat penarikan produk = persentase kasus KLB keracunan pangan yang diakibatkan oleh produk olahan
13 K HP J
= jumlah kasus KLB keracunan pangan per tahun = persentase hilangnya penjualan akibat penarikan produk = rata-rata total penjualan 1 produk per tahun
Salah satu sumber makanan penyebab keracunan pangan adalah produk pangan olahan. Survei dilakukan kepada industri pangan untuk mengetahui perkiraan kerugian yang akan dialami oleh perusahaan jika produknya menyebabkan terjadinya kasus KLB keracunan pangan. Perusahaan-perusahaan yang menjadi narasumber ini bukan perusahaan yang pernah mengalami kasus KLB keracunan pangan, sehingga data yang diperoleh hanya bersifat perkiraan. Data yang diperoleh dari hasil survei dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Perkiraan kerugian industri pangan akibat kasus KLB keracunan pangan Perusahaan
Perusahaan A Perusahaan B Perusahaan C Rata-rata (perkiraan)
Kategori produk Semi olahan Semi olahan Olahan
Rata-rata penjualan per produk per tahun (Rp milyar) 5
Perkiraan penurunan penjualan per tahun akibat penarikan produk (%) 10
16
10
200
15 12
10 10
200 200
Perkiraan biaya promosi untuk pengembalian citra (Rp juta) 200
Kehilangan kepercayaan konsumen secara langsung akan menyebabkan penurunan angka penjualan. Walaupun hal ini sulit diprediksi namun pengaruhnya menjadi perhatian industri. Berdasarkan hasil survei dengan pihak industri pangan, jika suatu produk menyebabkan kasus keracunan, diperkirakan produk tersebut akan mengalami kehilangan penjualan sebesar sekitar 10% dari total penjualan. Kehilangan penjualan ini terdiri dari penurunan penjualan akibat kehilangan kepercayaan konsumen dan kehilangan penjualan akibat penarikan produk dari pasar. Total penjualan setiap produk sangat bervariasi, tergantung dengan perusahaan dan jenis produknya. Berdasarkan hasil survei diperoleh perkiraan rata-rata penjualan per produk per tahun sebesar 12 milyar rupiah. Secara umum, komponen persamaan yang digunakan dalam perhitungan Indirect Non-health-care Cost (INHC) merupakan asumsi berdasarkan data yang diperoleh. Pada perhitungan kerugian akibat kehilangan produktivitas karena sakit, seperti yang sebelumnya telah dijelaskan bahwa pengkategorian pada variabel P (jumlah korban) sangat penting. Dalam hal ini segmentasi korban dengan kategori usia seharusnya dilakukan karena diperlukan keterangan berapa banyak korban yang berada di usia produktif, dengan asumsi semua korban yang berada di usia produktif tersebut bekerja. Sementara perhitungan kerugian yang dialami oleh pihak industri akibat kehilangan kepercayaan konsumen dan penarikan produk juga masih memiliki keragaman yang tinggi. Hal ini karena data persentase penyebab kasus KLB keracunan
14 pangan oleh pangan olahan yang dimiliki tidak diketahui secara spesifik apakah di dalam persentase tersebut terdapat kasus KLB keracunan pangan yang sebenarnya diakibatkan oleh produk olahan yang sama. Sementara nilai besarnya kerugian akibat penarikan produk dan besarnya biaya yang diperlukan untuk promosi tidak diperoleh dari perusahaan yang produknya memang pernah mengakibatkan kasus KLB keracunan pangan, sehingga nilai yang diberikan hanya perkiraan. Data untuk Perhitungan Tahun 2013 Berdasarkan data kasus KLB keracunan pangan pada tahun 2013 dan data lain yang telah diperoleh, perhitungan perkiraan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan di Indonesia dapat dilakukan. Data yang diperlukan untuk melakukan perhitungan dengan persamaan ELFPO dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Data yang digunakan untuk perhitungan perkiraan kerugian ekonomi akibat KLB keracunan pangan dengan persamaan ELFPO Variabel Data yang Digunakan P = jumlah total korban keracunan per tahun 169 000 orang UGD = biaya UGD Rp55 000 Xr = persentase jumlah korban rawat inap 55% O = biaya obat Rp200 000 t = lama waktu sakit 2 hari KM = biaya kamar rawat per hari Rp100 000 US = biaya pengujian spesimen Rp1 000 000 BB = harga bahan bakar per liter Rp6 500 Xk = persentase jumlah korban meninggal 1% M = biaya pemakaman Rp100 000 UMR = upah minimum regional Rp1 486 594 K = jumlah KLB per tahun 4 800 kasus T = biaya penanggulangan Rp3 600 000 Xo = persentase jumlah kasus KLB akibat produk 14% olahan I = biaya promosi (iklan) 1 produk per tahun Rp200 000 000 HP = persentase kehilangan penjualan akibat 10% penarikan produk J = rata-rata total penjualan 1 produk per tahun Rp12 000 000 000 Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan di Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan sebesar 1.2 triliun rupiah. Perhitungan perkiraan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan di Indonesia pada tahun 2013 dapat dilihat pada Tabel 8. Angka ini dekat dengan besarnya angka kerugian ekonomi akibat keracunan pangan di Belanda, yaitu €77 juta atau sekitar 1.1 triliun rupiah (Kemmeren et al. 2006) dan di New Zealand, yaitu sebesar NZ$86 juta atau sekitar 900 miliar rupiah (Cressey dan Lake 2008). Sementara angka kerugian ekonomi akibat keracunan pangan di Australia menurut Abelson et al. (2006) mencapai AU$1 249 juta atau sekitar 12 triliun rupiah. Angka ini jauh berbeda dengan negara lainnya karena parameter yang digunakan dalam perhitungan di Australia ada yang berbeda dengan
Tabel 8 Perhitungan perkiraan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan tahun 2013 Komponen perhitungan Komponen persamaan Kondisi Indonesia Biaya penanganan pertama ke P x UGD 169 000 x Rp55 000 dokter/rumah sakit Biaya rawat inap Xr x P x [O + (2 x KM)] 55% x 169 000 x [Rp200 000 + (2 x Rp100 000)] Biaya pengujian spesimen Xr x P x US 55% x 169 000 x Rp1 000 000 Biaya perjalanan pulang-pergi ke 2 x P x 1.8 km x BB/6 km 2 x 169 000 x 1.8 km x Rp6 500/6 km dokter/rumah sakit Biaya pemakaman Xk x P x M 1% x 169 000 x Rp100 000 Kerugian akibat kehilangan P x t/30 x UMR 169 000 x 2/30 x Rp1 486 594 produktivitas karena sakit Kerugian akibat kehilangan Xk x P x UMR x 12 1% x 169 000 x Rp1 486 594 x 12 produktivitas karena kematian Biaya penanggulangan KxT 4 800 x Rp3 600 000 Kerugian akibat kehilangan citra Xo x K x I 14% x 4 800 x Rp200 000 000 dan kepercayaan konsumen Kerugian akibat penarikan produk Xo x K x HP x J 14% x 4 800 x 10% x Rp12 000 000 000 Total kerugian
Jumlah (juta rupiah) 9 295 37 180 92 950 659.1 169 16 749 30 148 17 280 134 400 806400 1 145 230 1.2 triliun rupiah
15
16 parameter perhitungan yang digunakan di Belanda dan New Zealand, yaitu lifestyle pain and suffering cost, sehingga angka kerugian totalnya menjadi berbeda. Selain itu jenis penyakit bawaan pangan yang diperhitungkan di Australia (8 jenis penyakit) lebih banyak dibandingkan dengan Belanda (4 jenis penyakit) dan New Zealand (7 jenis penyakit). Hasil perhitungan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan tahun 2013 di Indonesia terdiri dari 3 area, yaitu Biaya Kesehatan Langsung/Direct Health-care Cost (DHC), Biaya Non-kesehatan Langsung/Direct Non-health-care Cost (DNHC), dan Biaya Nonkesehatan Tidak Langsung/Indirect Non-health-care Cost (INHC). Besarnya kerugian di ketiga area tersebut dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan Area Total kerugian (Rp) Persentase (%) Direct Health-care Cost (DHC) 139 425 000 000 12.17 Direct Non-health-care Cost 828 100 000 0.08 (DNHC) Indirect Non-health-care Cost 1 004 977 085 390 87.75 (INHC) Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa biaya yang paling besar merupakan biaya dari area Biaya Non-kesehatan Tidak Langsung, yaitu sebesar 87.75% dari total kerugian. Di dalamnya termasuk kerugian yang akan dialami oleh pihak industri pangan. Menurut Ribera et al. (2012), biaya yang akan ditanggung oleh produsen karena produknya menyebabkan KLB keracunan pangan jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya yang perlu dikeluarkan untuk mencegah kejadian seperti itu. Maka dari itu, pihak industri sebaiknya memaksimalkan tindakan preventif dalam penjaminan kualitas keamanan produknya. Sementara itu, biaya dari area Biaya Kesehatan Langsung berkontribusi sebesar 12.17% dan dari area Biaya Non-kesehatan Langsung sebesar 0.08%. Kedua area ini berhubungan dengan data epidemiologi dari penyakit-penyakit bawaan pangan yang terjadi pada kasus KLB keracunan pangan. Angka ini diperkirakan lebih kecil dari yang seharusnya, karena data epidemiologi yang tersedia dan digunakan pada perhitungan kali ini masih sangat terbatas. Data epidemiologi yang lengkap diperlukan untuk dapat melakukan analisis terhadap suatu kasus KLB keracunan pangan yang terjadi (Makela et al. 2012). Salah satu data epidemiologi yang paling penting dilakukan adalah konfirmasi penyebab penyakit bawaan pangan tersebut. Seperti yang telah dilakukan oleh CDC (The U.S. Centers for Disease Control and Prevention), mereka berhasil mengestimasi bahwa terdapat 14 patogen yang bertanggung jawab terhadap lebih dari 95% kasus penyakit bawaan pangan, perawatan di rumah sakit, dan kematian yang terjadi pada kasus KLB keracunan pangan di Amerika tahun 2012 (Anekwe dan Hoffmann 2013). Data epidemiologi yang lengkap menjadi salah satu syarat utama dalam melakukan perhitungan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan (Xue dan Zhang 2013). Namun, faktor-faktor yang tidak berkaitan langsung dengan kesehatan menanggung kerugian ekonomi yang paling besar di dalam perhitungan ini.
17
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Terdapat tiga komponen utama dalam persamaan perhitungan perkiraan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan, yaitu biaya kesehatan langsung (Direct Health-care Cost/DHC), biaya non-kesehatan langsung (Direct Non-health-care Cost/DNHC), dan biaya non-kesehatan tidak langsung (Indirect Non-health-care Cost/INHC). Masing-masing berkontribusi sebesar 12.17%, 0.08%, dan 87.75% terhadap total kerugian. Dalam masing-masing komponen tersebut terdapat beberapa komponen persamaan yang melibatkan rumah tangga, pemerintah, dan industri. Perhitungan menggunakan data kasus KLB keracunan pangan tahun 2013 memberikan hasil nilai perkiraan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan di Indonesia sebesar 1.2 triluin rupiah. Nilai yang cukup besar ini menunjukkan perlunya kesadaran dan tindakan dari setiap pihak yang terlibat dalam penyediaan pangan untuk menjamin keamanan pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat, sehingga tidak terjadi lagi kasus KLB keracunan pangan.
Saran Perkiraan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan yang dilakukan di penelitian kali ini masih merupakan perkiraan yang kasar. Terdapat beberapa hal yang harus dilakukan sebelumnya agar perkiraan dapat dilakukan dengan lebih akurat, antara lain ketersediaan data epidemiologi yang lengkap, pengumpulan data kerugian di pihak industri yang diperoleh dari industri yang pernah mengalami kasus KLB keracunan pangan, data aksesibilitas masyarakat Indonesia menuju fasilitas pelayanan kesehatan, dan data terkait biaya untuk melakukan proses pemakaman untuk anggota keluarga yang meinggal. Dengan adanya data yang lengkap dan akurat, perhitungan perkiraan kerugian ekonomi akibat kasus KLB keracunan pangan yang lebih tepat dapat dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA Abelson P, Forbes MP, Hall G. 2006. The annual cost of foodborne illness in Australia. Canberra: Australian Government Department of Health and Ageing. Anekwe TD dan Hoffmann S. 2013. Making sense of recent cost-of-foodborneillness estimates. Economic Information Bulletin No. 118. Economic Research Service: USDA. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan.2012. Laporan Tahunan Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Jakarta: BPOM. ___. 2014. Laporan Kajian Estimasi Kerugian Ekonomi Akibat Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan di Indonesia. Jakarta: BPOM.
18 Beuchat LR. 1998. Surface decontamination of fruits and vegetables eaten raw: A review. Food Safety Unit, World Health Organization. [Internet]. [diunduh 2014 Des 15]. Tersedia pada: http://www.who.int/foodsafety/publications/ fs_management/en/surface_decon_pdf. Cressey P, Lake R. 2007. Risk ranking: estimates of the burden of foodborne disease for New Zealand. ESR Client Report FW0724. Christchurch: ESR. ___. 2008. Risk ranking: estimates of the cost of foodborne disease for New Zealand. ESR Client Report FW07102. Christchurch: ESR. Frenzen PD, Drake A, Angulo FJ. 2005. Economic cost of illness due to Escherichia coli O157 infections in the United States. Journal of Food Prot. 68(12): 2623-2630. Depnaker. 2014. Daftar upah minimum regional seluruh Indonesia. [Internet]. [diunduh 2014 Des 23]. Tersedia pada: http://infokerjadepnaker.blogspot.com/ 2013/11/Daftar-Gaji-Terbaru-UMR-UMK-Regional-Kota-SeluruhIndonesia.html. Gubernur Provinsi DKI Jakarta. 2012. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah. Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kemmeren JM, Mangen MJJ, van Duynhoven YTHP, Havelaar AH. 2006. Priority setting of foodborne pathogens – diseases burden and costs of selected enteric pathogens. RIVM report 330080001. Bilthoven: RIVM. Lee BY et al. 2013. The economic burden of community-associated methicillinresistant Staphylococcus aureus. Microbiol. Infect. 19:528-536. Makela P, Pierre AB, Valentina R, Frank B, Hubert D. 2012. Harmonisation of monitoring zoonoses, antimicrobial resistance and foodborne outbreaks. European Food Safety Authority Journal 10(10):10-13. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Ribera LA, Marco AP, Mechel P, Ronald K, Joseph GM, Juan A. 2012. Economic analysis of food safety compliance costs and foodborne illness outbreaks in the United States. HorTechnology. 22(2):150-156. Sari RM, Lasbudi PA, Hotnida S. 2013.Akses pelayanan kesehatan dan kejadian malaria di Provinsi Bengkulu.Media Litbangkes. 23(4):158-164. Scharff RL. 2012. Economic burden from health losses due to foodborne illness in the United States. J. Food Prot. 75(1):123-131.doi:10.4315/0362-028X.JFP11-058. [WHO] World Health Organization. 2008. Foodborne disease outbreaks: guideline for investigation and control. Geneva: WHO. Xue J dan Zhang W. 2013. Understanding China’s food safety problem: an analysis of 2387 incidents of acute foodborne illness. Food Control (30):311317.
19
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Bogor pada tanggal 23 Juli 1992 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Djufroni Zakaria dan Titie Sri Suprapti. Penulis menempuh pendidikan di TK Insan Kamil, SD Negeri Panaragan 2 Bogor, SMP Negeri 1 Bogor, SMA Negeri 5 Bogor. Penulis lulus dari sekolah menengah atas pada tahun 2010, dan diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun yang sama sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama masa kemahasiswaan, penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (Himitepa) IPB dan menjadi anggota Divisi Peduli Pangan Indonesia (DPPI) pada masa kepengurusan 2011-2012. Pada tahun 2012-2013, penulis aktif sebagai anggota Divisi Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa (Adkesmah), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fateta. Penulis juga aktif berpartisipasi dalam berbagai kepanitiaan, diantaranya adalah MPKMB 48 (Penanggung Jawab Laskar), Techno-F (Penanggung Jawab Kelompok), HACCP (staff konsumsi), HASASIN (Sekretaris), LCTIP XX (staff humas), dan Food Bowl Quiz (tim soal). Penulis pernah mendapatkan beasiswa pertukaran pelajar Program Asean International Mobility for Students (AIMS) ke Nong Lam University, Vietnam, selama 1 semester. Penulis juga adalah salah satu penerima beasiswa Tanoto Foundation Scholarship.