1
PERGESERAN NILAI TRADISIONAL SUKU BAJO DALAM PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA LAUT TAMAN NASIONAL WAKATOBI
SURATMAN BAHARUDIN
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
2
PERGESERAN NILAI TRADISIONAL SUKU BAJO DALAM PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA LAUT TAMAN NASIONAL WAKATOBI
SURATMAN BAHARUDIN
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
3
RINGKASAN SURATMAN BAHARUDIN. Pergeseran Nilai Tradisional Suku Bajo dalam Perlindungan dan Pemanfaatan Sumberdaya Laut Taman Nasional Wakatobi. Di bawah bimbingan RINEKSO SOEKMADI dan ARZYANA SUNKAR. Taman Nasional Wakatobi berada pada kawasan segi tiga karang dunia (coral triangle) yaitu wilayah yang memiliki keanekaragaman terumbu karang dan keanekaragaman hayati laut lainnya tertinggi di dunia. Sehingga laut Wakatobi merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat suku pelaut seperti Bajo, suku bangsa pelaut di Indonesia yang telah mengembangkan suatu kebudayaan maritim sejak beberapa abad lamanya. Suku Bajo sangat tergantung pada laut, mulai dari mata pencaharian sampai membangun pemukiman yang berada di atas pesisir laut dengan memanfaatkan batu karang. Mereka sangat menghargai laut, karena diyakini sebagai tempat nenek moyang mereka yang dipercaya sebagai penguasa laut. Namun saat ini, tempat tinggal Suku Bajo di Kecamatan Wangi-wangi Selatan tidak lagi berada di atas laut, bahkan kehidupan mereka tidak mencerminkan budaya hidup yang selalu menghargai laut. Telah terjadi pemanfaatan sumberdaya laut pada lokasi-lokasi yang sebenarnya merupakan lokasi perlindungan sumberdaya laut. Penelitian ini dilaksanakan untuk menganalisis pergeseran nilai-nilai tradisional pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya laut oleh Suku Bajo dalam kawasan. Subyek penelitian adalah komunitas Suku Bajo di Pulau Wangi-wangi, yang difokuskan pada dua desa, yaitu Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Waktu penelitian adalah dua bulan, yaitu pertengahan bulan Juni sampai pertengahan bulan Agustus 2010. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta kawasan, tape recorder, panduan wawancara, camera digital, buku catatan harian, kalkulator, penggaris dan peralatan tulis lainnya. Pengumpulan data dilakukan menggunakan tiga metode yaitu wawancara, observasi dan studi pustaka. Hasil observasi dan wawancara menemukan bahwa perkampungan Suku Bajo telah menyatu dengan daratan, bahkan sebagian besar rumah masyarakat di bangun di atas tanah hasil reklamasi dengan menggunakan terumbu karang. Pola pemanfaatan sumberdaya laut yang ditunjukkan tidak lagi mencerminkan budaya hidup mereka, telah terjadi eksploitasi sumberdaya laut dan pemanfaatan sumberdaya yang dilindungi. Terdapat tiga lokasi perlindungan sumberdaya laut dengan pola pemanfaatan dengan sistem buka tutup kawasan dan meminta ijin pada penguasa laut. Namun saat ini upacara buka tutup kawasan tidak berlaku lagi, bahkan terjadi pemanfaatan pada lokasi-lokasi perlindungan tanpa melakukan upacara membuka laut. Lunturnya nilai-nilai tradisional sebagian besar dipengaruhi oleh kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Ditemukan penduduk Suku Bajodi dominasi usia 024 tahun (51.89%), pada Suku Bajo yang berati laju pertumbuhan penduduk kedepannya akan tergolong tinggi. Selain itu keberadaan tengkulak ikan yang menawarkan keuntungan besar tanpa memperhatikan konsep keberlanjutan menyebabkan masyarakat melakukan pemanfaatan yang bersifat eksploitatif. Perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku Bajo telah mengalami pergeseran yang diindikasikan dengan tidak berlakunya lagi sistim buka tutup kawasan dan pemanfaatan dilakukan tanpa melakukan upacara membuka laut,
4
serta pembangunan perumahan yang menggunakan karang sebagai fondasi dasar rumah permanen. Perilaku pemanfaatan yang bersifat eksploitatif dan hilangnya pola perlindungan sumberdaya laut oleh Suku Bajodipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya, bentuk pemukiman permanen dianggap lebih nyaman, banyaknya jumlah penduduk dan permintaan pasar akan jenis-jenis yang dilindungi relatif tinggi Kata Kunci: Suku Bajo, nilai tradisional, Taman Nasional Wakatobi.
5
SUMMARY
SURATMAN BAHARUDIN. Shifts in Traditional Values of Bajo Ethnic Group in Marine Resources Protection and Utilization of Wakatobi National Park. Under the Supervision of RINEKSO SOEKMADI and ARZYANA SUNKAR Wakatobi National Park is situated geographically at the world’s coral reef triangle centre which has the highest diversity of coral reefs and other marine biodiversity on earth. These has made Wakatobi Sea as the source of livelihood for the Bajo people, a well known sailor ethnic group in Indonesia which has developed a marine culture for centuries. People of Bajo were highly dependent upon sea, as means of livelihood and settlements. They believed that sea is their ancestor’s home, the ruler of the sea. Nevertheless, currently, Bajo’s settlement in Wakatobi National Park in the Sub-District of South Wangi- wangi is experiencing a shift with regard to their housings, which were built on the mainland, not above water. Furthermore, their way of living did not reflect a cultural life that appreciates the sea, where marine resources utilizations were conducted in places which were actually preservation areas. This research was conducted to analyze the shifts in traditional values of utilization and protection of marine resources by Bajo ethnic group in Wakatobi National Park. The subject of this research was the Bajo people inhabiting Wangi-Wangi Island, focusing on two villages, North Mola and Mola Nelayan Bakti Villages, of South Wangi- wangi Sub-district, in the province of Southeast Sulawesi. The research was conducted in June through to August 2010. Equipments and materials used in this research include map of the area, tape recorder, interview guides, digital camera, diary, calculator, ruler and other stationary. Data were collected using triangulation method, which is the use of three methods including interview, observation, and literature study as means of cross referencing. Results of the observations and interviews indicated that the Bajo’s settlements have been united with the mainland, where the majority of the housings were built on reclamation land using coral reefs. The patterns of such resource utilization were no longer reflected their cultural life, in such that protected marine resources were also being exploited, as well as utilization practices which did not considered traditional ceremony prior to resource utilization. Much of the erosion of the Bajo’s traditional values was influenced by social and economical conditions. Bajo people of aged 0-24 years dominated the area with 51.89%, implying that future population growth rate would be quite high. In addition, the presence of fish middlemen that offered great benefits without considering the concept of sustainability, have caused over-exploitation of marine resources in Wakatobi National Park. Protection and utilization of marine resources by the Bajo people has experienced a shift, indicated by the lost of traditional ceremonies with regard to resource utilization, as well as residential development involving the use of coral reefs as the basic foundation of a permanent house. Utilization behavior that is exploitative and the lost of marine resource protection activities by the Bajo people were influenced by several factors, including, the beliefs that permanent housings
6
were more convenient and have higher social status as well as the large number of population and the relatively high market demands for corals, sands and protected species .
Keywords: People of Bajo Communities, Traditional Values, Wakatobi National Park.
7
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pergeseran Nilai Tradisional Suku Bajo dalam Perlindungan dan Pemanfaatan Sumberdaya Laut Taman Nasional Wakatobi” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulisan lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2011
Suratman Baharudin NRP. E34060360
8
Judul Skripsi
:
Pergeseran Nilai Tradisional Suku Bajo dalam Perlindungan dan Pemanfaatan Sumberdaya Laut Taman Nasional Wakatobi
Nama
:
Suratman Baharudin
NIM
:
E34060360
Menyetujui:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M. Sc.F NIP. 196406221988031002
Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M. Sc NIP. 197102151995122001
Mengetahui, Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP. 195809151984031003
Tanggal Lulus :
9
RIWAYAT HIDUP Suratman Baharudin dilahirkan di Desa Gela, Kecamatan Taliabu Utara, Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara tanggal 16 Juli 1987. Penulis merupakan putra ke-2 dari tiga bersaudara pasangan Bapak Baharudin dan Ibu Masiana. Pendidikan formal ditempuh di SDN II Kecamatan Taliabu Barat, SMP PGRI Gela Mintun dan SMA Negeri 1 Taliabu Barat. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) perwakilan Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara. Selama perkuliahan penulis aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa “Volly Ball” (UKM Volly). Penulis juga tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) dan menjabat sebagai ketua Divisi Adventure Kelompok Pemerhati Goa periode 2008-2009. Pada tahun 2008 penulis tergabung dalam tim Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan Barat. Tahun 2008 penulis melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di CA Kamojang, TWA Kawah Kamojang dan CA Leuweung Sancang. Tahun 2009 penulis menjadi ketua tim Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) di Cagar Alam Rawa Danau, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Selanjutnya tahun 2009 penulis melaksanakan Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan KPH Cianjur. Tahun 2010 penulis melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Pergeseran Nilai Tradisional Suku Bajo dalam
Perlindungan dan Pemanfaatan Sumberdaya Laut Taman
Nasional Wakatobi” di bawah bimbingan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F dan Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc.
10
UCAPAN TERIMA KASIH
Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, penguasa seluruh alam, karena berkat izin-Nya, kekuasaan-Nya serta kasih sayang-Nya karya kecil ini dapat diselesaikan. Berkat kearifan dan kemurahan-Nya serta bantuan dari berbagai pihak, skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk itu dengan segala hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. 1. Orang tua, kakak dan segenap keluarga atas segala doa, motivasi dan dukungannya yang tiada henti hingga studi ini dapat terselesaikan. 2. Keluarga Ir. Syaifuddin Mohalisi dan Amita Nucifera Nida Silmi, S.Pi selaku orang tua wali selama di Bogor, atas dukungan moril maupun materi hingga studi ini dapat terselesaikan. 3. Bapak Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F selaku pembimbing pertama dan ibu Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc selaku pembimbing kedua atas kesabaran dan keikhlasan dalam meberikan ilmu, bimbingan dan nasehat kepada penulis. 4. Bapak Dr. Ir. Iin Ichwandi, M.Sc.F.Trop dosen penguji perwakilan Departemen Manajemen Hutan, ibu Arinana, S.Hut, M. Si dosen penguji perwakilan Departemen Hasil Hutan dan bapak Ir. Andi Sukendro, M. Si dosen penguji perwakilan Departemen Silvikultur, atas saran dan kritakannya. 5. Seluruh staf pengajar Fakultas Kehutanan IPB yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan 6. Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi Bpk Wahju Rudianto, S.Pi yang telah memberikan izin tempat penelitian, serta kepada seluruh staf Balai TNW yang sudah banyak membantu demi kelancaran penelitian ini. 7. Rekan-rekan mahasiswa “CENDRAWASIH 43” dan keluarga besar Himakova khususnya keluarga besar KPG “HIRA” atas kebersamaan kita selama ini. 8. Semua pihak yang telah membantu demi kelancaran penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
i
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, penguasa seluruh alam, karena berkat izin-Nya, kekuasaan-Nya serta kasih sayang-Nya karya ini dapat diselesaikan. Skripsi yang berjudul “Pergeseran Nilai Tradisional Suku Bajo dalam Perlindungan dan Pemanfaatan Sumberdaya Laut Taman Nasional Wakatobi” ini diajukan untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Selama penyusunan skripsi ini, tidak dapat dipungkiri banyak sekali hambatan yang dihadapi. Berkat kearifan dan kemurahan-Nya serta bantuan dari berbagai pihak, skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk itu dengan segala hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang sempurna. Dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak yang berkepentingan dengan karya ini. Akhirnya dengan kemampuan yang terbatas dan segala kekurangan, penulis masih memiliki harapan semoga karya kecil ini bermanfaat bagi penulis, pembaca serta dunia pendidikan yang tak pernah lekang ditelan waktu.
Bogor, Januari 2011
Penulis
ii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ........................................................................................ i DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... iv DAFTAR TABEL ............................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 2 1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................... 5 1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................ 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional ............................................................................ 6 2.2 Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam ...................... 7 2.3 Interaksi Masyarakat Dengan Kawasan Taman Nasional ............. 9 2.4 Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pembangunan Daerah ........... 12 BAB III GAMBARAN UMUM KAWASAN PENELITIAN 3.1 Letak, Luas dan Batas Administrasi ............................................. 13 3.2 Sejarah Kawasan .......................................................................... 14 3.3 Kondisi Fisik................................................................................ 14 3.4 Kondisi Biologi............................................................................ 15 3.5 Sosial Budaya Masyarakat........................................................... 17 3.5.1 Masyarakat Adat ................................................................. 17 3.5.2 Masyarakat Pendatang ........................................................ 18 3.6 Potensi Wisata .............................................................................. 19 3.7 Aksesibilitas ................................................................................. 20 BAB IV METODOLOGI 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 21 4.2 Alat dan Bahan ............................................................................. 22 4.3 Jenis Data ..................................................................................... 22
iii
4.4 Pengumpulan Data ....................................................................... 23 4.5 Pengolahan dan Analisis Data ...................................................... 24 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Suku Bajo di Kecamatan Wangi-wangi Selatan ........................... 26 5.2 Karakteristik Suku Bajo Kecamatan Wangi-wangi Selatan......... 30 5.2.1 Kondisi Penduduk .............................................................. 30 5.2.2 Tingkat Pendidikan Masyarakat ......................................... 34 5.2.3 Pekerjaan dan Pendapatan Masyarakat............................... 35 5.3 Perkampungan Masyarakat........................................................... 37 5.3.2 Lokasi Perkampungan ........................................................ 37 5.3.2 Bentuk Perumahan .............................................................. 38 5.3.3 Bentuk Perkampungan ........................................................ 40 5.4 Lokasi Perlindungan dan Pemanfaatan Sumberdaya Laut ........... 42 5.4.1 Pengelolaan Zonasi Taman Nasional Wakatobi ................. 42 5.4.2 Lokasi Perlindungan Sumberdaya Laut Suku Bajo ............ 43 5.4.3 Lokasi Pemanfaatan Sumberdaya Laut Suku Bajo............ 45 5.5 Pola Perlindungan dan Pemanfaatan Sumberdaya Laut............... 46 5.5.1 Pola Perlindungan Sumberdaya Laut ................................ 46 5.5.2 Pola Pemanfaatan Sumberdaya Laut ................................. 48 5.6 Kebutuhan Terumbu Karang dan Implikasinya ........................... 61 5.6.1 Kerusakan Terumbu Karang Akibat Perkampungan ........... 61 5.6.2 Implikasi Kerusakan Terumbu .......................................... 60 5.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pergeseran Nilai Tradisional Suku Bajo ............................................................................................... 63 5.7.1 Aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya................................... 63 5.7.2 Pemerintah Daerah ............................................................. 65 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ................................................................................... 67 6.2 Saran ............................................................................................ 68 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 69 LAMPIRAN ........................................................................................................ 72
iv
DAFTAR GAMBAR No
Halaman
1.
Peta Kawasan Taman Nasional Wakatobi ................................................... 13
2.
Peta lokasi penelitian.................................................................................... 22
3.
Diagram daerah asal Suku Bajo Desa Mola Utara dan Desa Mola Nelayan Bakti ............................................................................................... 30
4.
Penduduk komunitas masyarakat Kecamatan Wangi-wangi Selatan .......... 31
5.
Perkampungan Suku Bajo Kecamatan Wangi-wangi Selatan .................... 38
6.
Kondisi perumahan masyarakat Desa Mola Utara ....................................... 39
7.
Kondisi perumahan masyarakat Desa Mola Nelayan Bakti ......................... 39
8.
Pola bentuk perumahan Suku Bajo Kecamatan Wangi-wangi Selatan ....... 41
9.
Peta lokasi pemanfaatan sumberdaya alam Taman Nasional Wakatobi ...... 43
10. Lokasi perlindungan sumberdaya laut Suku Bajo Kecamatan Wangi-wangi Selatan ................................................................................... 44 11. Lokasi pemanfaatan sumberdaya laut Suku BajoKecamatan Wangi-wangi Selatan ................................................................................... 45 12. Ikan kerapu salah satu jenis ikan karang hidup target pemanfaatan ............ 49 13. Ikan tuna gelondongan ................................................................................ 50 14. Kegiatan pemanenan rumput laut................................................................. 51 15. Daging kima basah di salah satu pasar tradisional ....................................... 52 16. Posisi kima yang melekat pada terumbu karang. ......................................... 52 17. Penyu yang dipelihara pada kolam sekitar rumah masyarakat .................... 53 18. Kegiatan pengangkutan karang .................................................................... 54 19. Kegiatan pengangkutan pasir ....................................................................... 55 20. Bubu ikan dasar ............................................................................................ 56 21. Alat pancing tonda ....................................................................................... 57 22. Jaring sebagai salah satu alat tangkap masyarakat ....................................... 58 23. Kegiatan nelayan menggunakan panah ........................................................ 58 24. Nelayan menyemprotkan bahan kimia di karang ......................................... 60 25. Masyarakat yang membom ikan. ................................................................. 61
v
DAFTAR TABEL
No
Halaman
1. Penduduk Kabupaten Wakatobi menurut kecamatan tahun 2010.................. 17 2. Rekapitulasi pengumpulan data ..................................................................... 24 3. Sejarah Pemanfaatan Sumberdaya Laut Wakatobi oleh Suku Bajo............... 29 4. Penduduk Suku Bajo Kecamatan Wangi-wangi Selatan Tahun 2010 ............ 31
5. Kepadatan Penduduk Menurut Desa/Kelurahan Kecamatan Wangiwangi Selatan Tahun 2008-2009 .................................................................... 32 6. Penduduk Desa Mola Utara dan Desa Nelayan Bakti Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2010............................................................ 33 7. Pendidikan masyarakat Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti .............. 34 8. Kalender Musim Pemanfaatan Sumberdaya Laut Suku Bajo Kecamatan Wangi-wangi Selatan .................................................................. 36 9. Pendapatan masyarakat berdasarkan jenis pemanfaatan sumberdaya laut ........................................................................................... 37
vi
DAFTAR LAMPIRAN No
Halaman
1. Peta Zonasi Kawasan Taman Nasional Wakatobi ........................................ 73 2. Rekap extra vonis kasus Taman Nasional Wakatobi Tahun 2003 s/d 2008 ................................................................................................ 74 2. Struktur Organisasi Balai TNW .................................................................... 80 3. Foto-foto hasil temuan di lapang................................................................... 81
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional Wakatobi (TNW) merupakan kawasan konservasi perairan laut (Marine Conservation Area), yang tersusun dari empat pulau besar yakni Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko yang disingkat dengan nama Wakatobi (Balai TNW 2008). Letak Kepulauan Wakatobi berada pada kawasan segi tiga karang dunia (coral triangle) yaitu wilayah yang memiliki keanekaragaman terumbu karang dan keanekaragaman hayati laut lainnya tertinggi di dunia (Supriatna 2008). Sehingga Kepulauan Wakatobi merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat suku pelaut yang salah satunya adalah Suku Bajo. Sesuai dengan mata pencahariannya sebagai nelayan, Suku Bajo sangat mengenal dunianya. Mereka merupakan nelayan tradisional yang memiliki kearifan dalam pemanfaatan sumberdaya laut yang berada dilingkungannya, baik mengenai jenis-jenis sumberdaya laut, memanfaatkan dan melestarikannya (Nagib dan Purwaningsih 2002). Sayangnya saat ini terjadi pergeseran nilai pandang dalam pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku Bajo dalam memenuhi kehidupan mereka. Meskipun Suku Bajo menganggap penting kelestarian sumberdaya laut seperti batu karang, hutan bakau dan jenis ikan tertentu, mereka juga memanfaatkannya dengan cara-cara eksploitatif. Kondisi ini semakin diperparah dengan kegiatan-kegiatan yang merusak lingkungan, seperti penggunaan bom, pembiusan, atau penggunaan bahan kimia (potasium cyanide) yang merupakan penyebab utama kerusakan terumbu karang yang terdapat di kawasan (Balai TNW 2007). Hilang atau bergesernya kearifan tradisional yang dimiliki masyarakat salah satunya disebabkan oleh pandangan masyarakat bahwa alam tidak lagi bernilai sakral namun memiliki potensi yang dapat dieksploitasi demi memenuhi kehidupan mereka (Keraf 2002). Taman Nasional Wakatobi merupakan salah satu kawasan taman nasional yang luas administrasif kawasannya sama persis dengan luas Kabupaten Wakatobi. Sehingga selain menjadi taman nasional, pengelolaan kawasan Wakatobi juga dikelola oleh pemerintah daerah dengan wilayah otonom yang sama dengan taman nasional. Oleh karena itu, pemerintah daerah dapat melakukan perubahan kerangka kebijakan pengelolaan sumberdaya alam agar lebih sesuai dengan kebutuhan dan
2
karakteristik ekologis, sosial dan ekonomi. Dengan demikian, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang diterapkan oleh Balai TNW harus mendukung pembangunan daerah yang lebih mengutamakan peningkatan ekonomi masyarakat. Sebagai daerah yang baru melakukan pemekaran pastinya membutuhkan pembangunan yang luar biasa baik dari bentuk infrastruktur maupun pembangunan ekonomi. Sehingga dalam perkembangannya sangat berpotensi menimbulkan konflik pengelolaan antara Balai TNW dan pemerintah daerah. Berdasarkan
perspektif
pengelolaan
TNW,
keanekaragaman
hayati
Kepulauan Wakatobi perlu dilestarikan. Hal ini dikarenakan Kepulauan Wakatobi berada di pusat segi tiga karang dunia, yang merupakan perwakilan ekosistem wilayah ekologi laut Banda-Flores. Namun masih rendahnya partisipasi masyarakat Suku Bajo dan masih berlangsungnya kegiatan destructive fishing seperti yang dilakukan oleh Suku Bajo, menjadi permasalahan dalam pelestarian TNW. Selain itu, sistem formal pengelolaan taman nasional yang membatasi pemanfaatan sumberdaya laut pada zona-zona tertentu, belum sepenuhnya diterapkan oleh Suku Bajo. Suku Bajo masih beranggapan bahwa mereka memiliki kebebasan untuk mencari ikan dan mengeksploitasi sumberdaya lainnya.
1.2 Rumusan Masalah Suku Bajo dikenal sangat menghargai laut, sebagaimana disampaikan oleh Saleh (2004) bahwa Suku Bajo memandang laut sebagai landasan dalam kehidupan sehari-hari. Laut bagi Suku Bajo memiliki arti sebagai sahe (sahabat), tabar (obat), anudintha’ (makanan), lalang (sarana transportasi), pamunang ala’ baka raha’ (sumber kebaikan dan keburukan),
patambanang (rumah/tempat tinggal) dan
patambanang umbo ma’dilao (tempat tinggal nenek moyang Orang Bajo). Filosofi hidup ini juga diterapkan oleh Suku Bajo di Kepulauan Wakatobi yang menganggap laut sebagai tempat tinggal nenek moyang mereka, sehingga bila musim melaut tiba dilakukan kegiatan ritual membuka laut. Ritual membuka laut merupakan upacara adat yang dilakukan untuk memohon ijin pada penguasa laut, yang oleh orang Bajo dikenal dengan nama umbo ma’dilao. Sayangnya saat ini terjadi pergeseran nilai pandang dalam pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku Bajo. Saat ini sulit menyebut Suku Bajo di Mola sebagai
3
suku pelaut yang hidup secara tradisional di laut. Mereka sudah tinggal di daratan hasil reklamasi yang terjadi bertahun-tahun dengan menggunakan batu karang, bentuk rumah berdinding batu bata dan beratap seng. Bahkan hampir semua memiliki alat hiburan elektronik, seperti televisi dan pemutar kaset (Dewanto 2010). Mulanya Suku Bajo hidup secara tradisional dengan rumah-rumah pancang di atas laut, yang beratap rumbia dan berdinding papan ataupun belahan bambu (Saad 2009). Pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku Bajo sudah tidak lagi mengindahkan prinsip-prinsip kelestarian, sebagai contoh pengambilan batu karang untuk pondasi rumah, berpotensi merusak terumbu karang. Meskipun menurut pengakuan masyarakat pengambilan karang hanya yang sudah mati, namun penambangan yang dilakukan terus menerus berpotensi merusak ekosistem laut dan menimbulkan erosi pantai (Stanley 2005). Selanjutnya Stanley (2005) dalam penelitiannya pada komunitas Bajo di Kepulauan Wakatobi menyimpulkan bahwa Suku Bajo sebenarnya mengetahui bahwa terumbu karang adalah tempat tinggal, bertelur dan tempat makan ikan, yang jika dirusak akan mengurangi jumlah ikan di daerah tersebut. Begitupula mereka mengetahui fungsi hutan bakau sebagai penahan antara laut dengan pantai. Namun ketergantungan terhadap sumberdaya laut yang tinggi serta kebutuhan ekonomi yang mendesak, mendorong Suku Bajo berperilaku eksploitatif, sebuah perilaku yang tidak mencerminkan pandangan hidup mereka terhadap sumberdaya laut Wakatobi. Keraf (2002) menyatakan ada tiga aspek penting yang menentukan keberlanjutan ekologi, yaitu aspek ekonomi, aspek sosoial budaya dan aspek lingkungan hidup. Sehingga bila ketiga aspek itu bisa diintegrasikan secara baik, pradigma pembangunanpun tidak akan menjadi masalah. Sedangkan yang ditunjukan diberbagai daerah alasan ekonomi dan faktor sosial budaya yang umumnya menjadi penyebab terjadinya eksploitasi sumberdaya alam (Soemarwoto 1994). Meningkatnya kepadatan penduduk, kebutuhan ekonomi akan meningkatkan kebutuhan masyarakat akan sumberdaya alam. Berdasarkan hasil Rapid Ecological Assesetment (REA) tahun 2003 yang dilakukan oleh Balai TNW, di perairan Wakatobi ditemukan sebanyak 30 daerah pemijahan ikan, namun hasil monitoring joint program TNC, WWF dan Balai TNW pada tahun 2007 hanya menemukan 4 lokasi pemijahan yang masih dalam kondisi
4
baik (Balai TNW 2008). Degradasi sumberdaya laut ini disinyalir sebagai akibat kegiatan-kegiatan pemanfaatan sumberdaya laut yang merusak seperti pemboman, pembiusan dan penambangan karang. Di sisi lain, dalam perspektif TNW, keanekaragaman hayati perairan Wakatobi penting untuk dilestarikan karena merupakan sumber layanan ekologi pelestarian perwakilan ekosistem wilayah ekologi, laut Banda-Flores dan keberlangsungan sumber pangan masyarakat dalam kawasan. Permasalahan lainnya, terdapat dua kepentingan dalam pengelolaan, yakni pemerintah daerah dan Balai TNW. Hal ini dikarenakan luas taman nasional sama persis dengan luas Kabupaten Wakatobi. Semangat pengelolaan taman nasional yang lebih membutuhkan dukungan finansial daripada menghasilkan keuntungan yang bersifat money oriented agaknya kontradiktif dengan semangat daerah yang lebih berorientasi kepada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Soekmadi 2000). Beberapa hal menarik dapat dikaji dan dipelajari dari penjelasan di atas tentang pergeseran nilai tradisional Suku Bajo, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, dalam perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya laut. Beberapa permasalahan yang dirumuskan adalah sebagai berikut: 1. Dimana sebaran lokasi perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku Bajo di setiap zona TNW? 2. Bagaimana pola perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya laut yang diterapkan oleh Suku Bajo? 3. Faktor-faktor sosial, budaya dan ekonomi apa saja yang menyebabkan pergeseran pola perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku Bajo?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mencapai tujuan utama yaitu untuk menganalisis pergeseran nilai-nilai tradisional perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku Bajo dalam kawasan TNW. Untuk mencapai tujuan utama tersebut terdapat tujuan-tujuan khusus yang harus di capai yaitu : 1. Mengidentifikasi lokasi-lokasi perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku Bajo di setiap zona TNW.
5
2. Mendeskripsikan dan menganalisis pola perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku Bajo. 3. Mendeskripsikan
faktor-faktor
sosial,
budaya
dan
ekonomi
yang
mempengaruhi pola perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku Bajo.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya informasi mengenai pola-pola pemanfaatan sumberdaya laut Suku Bajo dalam pengelolaan sumberdaya alam laut di kawasan TNW, sehingga dapat dijadikan salah satu pertimbangan dalam menentukan kebijakan pengelolaan kawasan oleh pihak taman nasional dan sebagai bahan pembinaan oleh pemerintah daerah.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional Wakatobi Taman nasional merupakan satu bentuk kawasan konservasi yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Hal ini telah dituangkan dalam Undangundang Republik Indonesia No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya pasal 1 ayat 14 yang menyatakan bahwa taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budaya, pariwisata dan rekreasi. Berdasarkan undang-undang tersebut, sangat jelas bahwa suatu kawasan yang menjadi taman nasional di kelola dengan mnggunakan zonasi. Zonasi kawasan taman nasional tidak dimaksudkan untuk memberikan gambaran di mana hutan, gunung, habitat, atau jenis-jenis tertentu ditemukan, tetapi pengelolaan harus dilakukan dengan intensitas pengelolaan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu dari pengelolaan taman nasional pada kendala ekologi yang ada. Secara lebih operasional dapat dikatakan bahwa zona-zona yang ada dalam taman nasional adalah unit-unit produksi yang akan menghasilkan satu paket manfaat yang berkaitan dengan tujuan pengelolaan taman nasional yang telah digariskan (Basuni 1987). Taman Nasional Wakatobi (TNW) memiliki luas 1.390.000 ha yang di bagi kedalam beberapa zona dengan tujuan pengelolaan yang berbeda. Zona Inti (ZI) dengan luas 1.300 ha yang diperuntukan untuk perlindungan keanekaragaman hayati asli dan khas. Zona Perlindungan Bahari (ZPB) dengan luas 36.450 ha merupakan bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung ZI dan ZPL. Zona Pariwisata (ZPr) dengan luas 6.180 ha merupakan bagian taman nasional yang dimanfaatkan untuk pariwisata alam dan jasa lingkungan lainnya. Zona Pemanfaatan Lokal (ZPL) dengan luas 804.000 ha merupakan zona yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan secara tradisional oleh masyrakat sekitarnya atau hanya untuk masyarakat lokal. Zona Pemanfaatan Umum (ZPU) dengan luas 495.700 ha merupakan zona yang diperuntukan untuk perikanan laut dalam dan
7
dapat dimanfaatkan oleh nelayan secara umum. Selain membentuk zonasi perairan laut, seluruh wilayah daratan dinyatakan sebagai Zona Khusus (ZK) dengan luas 46.370 ha (Balai TNW 2008). Walaupun telah diberlakukan sistem pengelolaan dengan zonasi yang membatasi pemanfaatan pada daerah-daerah tertentu, masih banyak terjadi pemanfaatan pada zona larang ambil. Selain itu, sumberdaya laut mendapat tekanan yang sangat berat karena hampir semua penduduk Wakatobi bergantung pada sumberdaya pesisir dan laut. Isu-isu seperti eksploitasi ikan dan penangkapan hewan dilindungi yang mengancam keberlangsungan sumberdaya tersebut sering terdengar. Selain itu, kurangnya kesadaran nelayan sebagai pihak yang dianggap paling banyak berinteraksi dengan pesisir dan laut terlihat pada aktivitas pemanfaatan sumberdaya pesisir yang berakibat merusak ekosistem misalnya metode penangkapan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bom dan bius mempercepat laju kerusakan terumbu karang Wakatobi (Operation Wallacea 2006). Selanjutnya Soekmadi (2000) menyatakan taman nasional merupakan satu bentuk kawasan konservasi yang mempunyai fungsi paling lengkap, yang meliputi fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara optimal. Berbeda dengan pengelolaan sumberdaya hutan produksi, pengelolaan sumberdaya alam di taman nasional lebih ditunjukan untuk kepentingan nir-laba (non profit), walaupun dimungkinkan untuk menggali potensi taman nasional guna menambah pendapatan pengelolaan juga pada para stakeholders dalam ambang batas kapasitas sangga (carryng capasity) nya. 2.2 Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Nopandry (2007) menyatakan bahwa satu hal yang selalu muncul di benak masyarakat berkenaan dengan kawasan konservasi adalah bahwa keberadaan hutan tersebut tidak memberikan manfaatan bagi mereka. Larangan memasuki kawasan, mengambil sumberdaya pada daerah tertentu, penguasaan lahan yang sering disosialisasikan pemerintah, menimbulkan anggapan dikalangan masyarakat bahwa pemerintah lebih mengutamakan kehidupan liar daripada kesejahteraan mereka. Padahal banyak cara memanfaatkan keberadaan hutan konservasi secara lestari yang tanpa merubah fungsinya atau mengganggu keberadaannya.
8
Masyarakat sebenarnya bagian yang tidak terpisahkan atau merupakan stakeholder utama dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Suatu kawasan yang ditetapkan menjadi kawasan konservasi tidak akan terlepas dari keberadaan masyarakat yang secara turun temurun menempati dari nenek moyang mereka menempati wilayah tersebut. Komunitas masyarakat tersebut biasanya di kenal dengan masyarakat adat. Terdapat banyak pendepat mengenai identitas masyarakat adat di beberapa kalangan, namun dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa masyarakat adat adalah mereka yang secara turun-temurun menempati suatu wilayah tertentu dan masih memiliki kelembagaan adat yang jelas. Jaringan Pembelaan Hak-Hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) yang dirumuskan di Tana Toraja tahun 1993 menjelaskan masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, sosial, dan budaya sendiri (Basko 2002). Selanjutnya Thompson (2003) menyatakan dalam konvensi ILO No.169 tahun 1986 menyimpulkan bahwa masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa invasi dan penjajahan, yang berkembang di daerah mereka, menganggap diri mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang berada di daerah mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut. Mereka bertekad untuk memelihara, mengembangkan dan mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya, sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu suku, sesuai dengan pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka. Sedangkan Masyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) merumuskan masyarakat adat sebagai suatu komunitas yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun hidup di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi politik, budaya dan social yang khas. Selanjutnya juga dijelaskan batasan msyarakat lokal atau asli adalah komunitas yang menempati suatu wilayah tertentu secara turn temurun dan memiliki seperangkat aturan yang tercipta dari interaksi sesama mereka. Sedangkan masyarakat pendatang adalah orang yang datang dan menempati wilayah asing yang bukan wilayah leluhurnya (Sirait at al. 2001).
9
Selanjutnya Keraf (2002) menyatakan bahwa setiap komunitas masyarakat adat memiliki kearifan lokal sebagai pengetahuan mereka dalam berhubungan dengan alam. Dalam penjelasannya kearifan lokal didefinisikan sebagai semua bentuk pengetahuan, keyakinan, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia didalam kehidupan dalam komunitas ekologis. Selanjutnya di dalam kehidupannya setiap komunitas masyarakat memiliki tatanan nilai dan norma yang merupakan tuntunan berperilaku. Schwartz (1994) menyimpulkan bahwa nilai adalah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya. Penelitian Schwartz (1994) mengenai nilai salah satunya bertujuan untuk memecahkan masalah apakah nilai-nilai yang dianut oleh manusia dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe nilai (value type). Salah satu tipe nilai yang dijelaskan adalah nilai tradisional yang diartikan sebagai nilai yang menggambarkan simbol-simbol dan tingkah laku yang merepresentasikan pengalaman dan nasib mereka bersama, yang sebagian besar diambil dari keyakinan dan norma bertingkah laku. Sulitnya memberi batasan mengenai nilai tradisional, maka dalam penelitian ini yang dimaksud nilai tradisionala adalah segala bentuk tingkah laku atau kearifan lokal Suku Bajo yang didasarkan pada keyakinan mereka dalam pengelolaan sumberdaya laut.
2.3 Interaksi Masyarakat dengan Kawasan Taman Nasional Manusia dengan lingkungan hidupnya mewujudkan satu kesatuan dan memiliki interaksi yang sirkuler dan kompleks. Hasil interaksi tersebut sedikit banyak mengubah lingkungan, perubahan yang terjadipun akan berpengaruh pada unsur-unsur lainnya dan cepat atau lambat akan berpengaruh terhadap manusia (Soemarwoto 1994). MacKinon (1982) menilai interaksi tersebut dapat diarahkan kepada suatu tingkatan integrasi di mana kebutuhan masyarakat akan sumberdaya dapat terpenuhi tanpa menganggu atau merusak potensi kawasan hutan lindung. Salah satu alternatif adalah membentuk daerah penyangga. Daerah penyangga dapat berupa kawasan
10
hutan fisik (misalnya hutan serba guna) ataupun berupa suatu penyangga sosial yang dapat mengalihkan perhatian masyarakat sehingga tidak merugikan hutan tersebut. Pada umumnya suatu kawasan perlindungan seperti taman nasional dikelilingi ataupun berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk, lahan pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kegiatan perindustrian atau kerajinan rakyat maupun sektor lainnya. Keadaan seperti ini menyebabkan terjadinya interaksi antara potensi sumberdaya alam yang ada dalam kawasan dengan masyarakat. Interaksi yang terjadi umumnya menguntungkan disatu pihak tetapi merugikan pihak lainnya (Alikodra 1987). Untuk mengatasi tekanan terhadap sumberdaya hutan sebenarnya yang diperlukan adalah suatu sistem terprogram pengelolaan kawasan konservasi berbasis masyarakat yang dapat memadukan potensi kearifan masyarakat lokal dengan potensi sumberdaya alam yang ada sehingga dapat terwujud pola-pola partisipatif pengelolaan sumberdaya alam (Nopandry 2007). Sehingga dapat dibuktikan bahwa kawasan konservasi benar-benar dapat memberikan manfaat tanpa harus dieksploitasi sumberdaya alamnya. Namun Setyadi (2006) menyatakan bahwa secara umum masyarakat menganggap kawasan taman nasional merupakan sumberdaya umum (common property) yang memiliki akses terbuka (open access). Implikasi dari barang publik ini menimbulkan kerusakan yang dipicu oleh hadirnya banyak cukong yang menggerakkan masyarakat yang pada dasarnya tidak memiliki banyak pilihan. Keraf (2002) menyatakan hal yang mempengaruhi hilangnya kearifan lokal yang di kenal seluruh dunia adalah: 1. Alam yang dipahami sebagai sakral oleh masyarakat adat dan menyimpan sejuta misteri yang sulit dijelaskan dengan akal budi, kehilangan sakralitas dan misterinya dalam terang ilmu pengetahuan dan teknologi modern. 2. Alam tidak lagi bernilai sakral tetapi bernilai ekonomi yang sangat tinggi, ada harta melimpah dalam alam yang harus dieksploitasi demi mengubah kehidupan manusia. 3. Dominasi filsafat dari etika barat telah menguburkan dalam-dalam etika masyarakat adat. Dengan melihat manusia sebagai mahluk sosial dan dengan membatasi etika hanya berlaku bagi komunitas manusia, etika masyarakat adat telah dilupakan sama sekali oleh masyarakat modern.
11
4. Hilangnya hak-hak masyarakat adat termasuk hak untuk hidup dan bertahan sesuai dengan identitas dan keunikan tradisi budaya serta hak untuk menentukan diri sendiri. Setyadi (2006) menyatakan akomodasi kepentingan masyarakat sering berakar pada konflik penguasaan lahan dan akses atas sumberdaya alam, karenanya kesepakatan penataan hak masyarakat harus diikuti secara tegas oleh penegakan fungsi taman nasional oleh negara, diikuti dengan pemberian intensif yang adil sebagai kompetensi atas hilangnya hak dan akses masyarakat akibat penetapan fungsi tersebut.
2.4 Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pembangunan Daerah Konservasi dan pembangunan seharusnya berjalan harmonis, sehingga yang menjadi fokus adalah melaksanakan pembangunan yang ikut mendukung peningkatan kualitas lingkungan (Soemarwoto 1994). Secara konsepsional, antara Balai TNW dan Pemda Wakatobi menyadari hal tersebut, sehingga kesepakatan revisi zonasi dan revisi perencanaan jangka panjang TNW maupun RPJP Kabupaten Wakatobi meletakkan pembangunan daerah dan konservasi yang saling menunjang (Balai TNW 2008). Masyarakat merupakan subyek sekaligus obyek dalam pembangunan sehingga pembangunan seharusnya melibatkan masyarakat dan hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat juga. Kerusakan pada sumberdaya alam di wilayah pesisir antara lain terumbu karang, penurunan mangrove akibat perubahan penggunaan lahan, kenaikan jumlah nutrisi dan sedimentasi akibat ulah manusia sebagian besar dipengaruhi oleh kegiatan membangun infrastruktur (Dahuri 2003). Tradisi pengambilan karang sebagai bagian dari kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat Bajo menjadi permasalahan tersendiri bagi pemerintah, terutama pengelola TNW. Apalagi kegiatan pembangunan perumahan dengan cara yaang demikian sampai saat ini masih terus berjalan. Padahal menurut Dahuri et al. (1996) ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi dan kaya akan keragaman spesies yang dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia, sehingga kerusakan terumbu karang akan menimbulkan efek yang besar. Selanjutnya Mitchell at el (2000) menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada masyarakat dan
12
pemerintah yang sengaja menghambat kelestarian lingkungan mereka, tapi dengan terus berlangsungnya masalah lingkungan yang disebabkan oleh dampak negatif kegiatan manusia merupakan tanda bahwa keberlanjutan masih diragukan. Peningkatan jumlah penduduk dan intensitas pembangunan paralel dengan tekanan terhadap lingkungan, terutama di wilayah pesisir. Untuk mengatasi permasalahan itu diperlukan pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu, karena ekosistem sumberdaya dapat pulih harus dikelola untuk menyediakan hasil pada tingkat berkelanjutan (Dahuri et. al 1996).
13
BAB III GAMBARAN UMUM KAWASAN PENELITIAN 3.2 Letak, Luas dan Batas Administrasi Taman Nasional Wakatobi (TNW) secara geografis terletak di antara 5°12' 6°10' LS dan 123°20' -124°39' BT. Total luas wilayah daratan seluas ± 823 km² dan wilayah perairan laut diperkirakan seluas ± 18.377,31 km2 (Balai TNW 2008).
Sumber : Balai TNW (2008)
Gambar 1 Peta kawasan Taman Nasional Wakatobi. Secara administratif, awalnya Kepulauan Wakatobi termasuk dalam Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara, namun sejak tahun 2004, terbentuk Kabupaten Wakatobi yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Buton dengan letak dan luas yang sama dengan TNW. Batas-batas Kepulauan Wakatobi secara geografis adalah a. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Banda dan Pulau Buton, b. Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda, c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores, dan d. Sebelah Barat berbatasan dengan Pulau Buton dan Laut Flores.
14
3.2 Sejarah Kawasan Kepulauan Wakatobi dan perairan disekitarnya seluas ±1.390.000 ha ditunjuk sebagai taman nasional berdasarkan SK Menhut No.393/Kpts-VI/1996, tanggal 30 Juli 1996 dan telah ditetapkan berdasarkan SK Menhut No.7651/Kpts-II/2002, tanggal 19 Agustus 2002, yang terbagi menjadi 8 kecamatan dalam wilayah administratif Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Taman Nasional Wakatobi (TNW) dikelola dengan sistem zonasi, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No.198/Kpts/DJVI/1997 tanggal 31 Desember 1997, terdiri atas: zona inti, zona pelindung bahari, zona pariwisata, zona pemanfaatan lokal dan zona pemanfaatan umum. Namun karena proses penetapannya dianggap belum melalui tahapan proses konsultasi diberbagai tingkatan serta pembagian ruangnya belum sesuai dengan fungsi peruntukkan serta kebutuhan yang berkembang, maka penetapan zonasi lama banyak menimbulkan konflik dilapangan. Pemberlakuan Undang Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.32 tahun 2004, telah meningkatkan kesadaran pemerintah daerah dan masyarakat untuk melakukan pembagian kewenangan dan tanggung jawab antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Semangat penerapan undang-undang tersebut juga menyangkut pengelolaan sumberdaya alam yang selama ini dirasakan kurang memperhatikan kepentingan daerah dan masyarakat. Dalam perkembangannya, pada tahun 2003 melalui Undang-undang No.29 tahun 2003, Kabupaten Wakatobi dibentuk sebagai pemekaran dari Kabupaten Buton. Letak dan luas kabupaten baru ini sama persis dengan letak dan luas TNW.
3.6 Kondisi Fisik Bentuk topografi daerah Kepulauan Wakatobi umumnya datar dan terdapat beberapa mikro atol seperti Karang Kapota, Karang Kaledupa dan Karang Tomia. Konfigurasi terumbu karang pada umumnya datar, kadang-kadang muncul di permukaan dengan beberapa daerah yang bertubir-tubir karang yang tajam. Perairan lautnya mempunyai konfigurasi perairan mulai dari datar hingga melandai ke arah laut, dan beberapa daerah perairan bertubir curam. Kedalaman airnya bervariasi,
15
dengan bagian terdalam terletak di sebelah Barat dan Timur Pulau Kaledupa yaitu sedalam 1.044 m. Kepulauan Wakatobi terletak berdekatan dengan garis khatulistiwa, sehingga beriklim tropis. Kepulauan Wakatobi memiliki dua musim yaitu, musim kemarau (musim timur) pada bulan April – Agustus dan musim hujan (musim barat) pada bulan September – April. Suhu harian berkisar antara 19 – 34 C. Kepulauan Wakatobi juga mengenal adanya musim angin barat berlangsung dari bulan Desember sampai dengan bulan Maret yang ditandai dengan sering terjadi hujan, sementara itu musim angin timur berlangsung bulan Juni sampai dengan September yang ditandai dengan kondisi laut yang teduh, gelombang tenang dan jarang terjadi hujan. Peralihan musim yang biasa disebut musim pancaroba bulan Oktober-November dan bulan April-Mei. Kondisi gelombang laut tidak menentu, sangat tergantung dengan cuaca. Data sepuluh tahun terakhir menyebutkan jumlah curah hujan di Kepulauan Wakatobi tidak begitu tinggi. Jumlah curah hujan terendah terjadi pada bulan September (2,5 mm) dan curah hujan tertinggi pada bulan Januari yang dapat mencapai 229,5 mm.
3.4 Kondisi Biologi Kepulauan Wakatobi termasuk dalam kawasan segi tiga karang dunia (coral triangle centre) yaitu wilayah yang memiliki keanekaragaman terumbu karang dan keanekaragaman hayati lainnya (termasuk ikan) tertinggi di dunia, yang meliputi Philipina, Indonesia sampai Kepulauan Solomon (Supriatna 2008). Sementara itu kekayaan sumberdaya laut TNW di kelompokkan menjadi 8 sumberdaya penting, yaitu terumbu karang, mangrove, padang lamun, tempat pemijahan ikan, tempat bertelur burung pantai, pantai peneluruan penyu dan cetacean. Sampai saat ini di dalam ekosistem terumbu karang tercatat 396 jenis karang keras, 28 marga karang lunak dan 31 jenis karang jamur. Jenis terumbu karang di kepulauan ini terdiri dari terumbu karang cincin (atol reef), terumbu karang tepi (fringing reef), terumbu karang penghalang (barrier reef) dan karang gosong (patch reef). Berdasarkan hasil citra satelit, diketahui bahwa luas terumbu karang di Kepulauan Wakatobi adalah 88.161,69 ha. Adapun komponen utama yang menyusun terumbu karang di Kepulauan Wakatobi yaitu karang hidup (terdiri dari
16
hard coral dan soft coral) dan karang mati (dead coral), serta organism lain yang bersimbiosis dengan karang (Balai TNW 2008). Letak Kepulauan Wakatobi yang berada di kawasan segitiga karang dunia menjadikan kawasan ini memiliki jenis ikan yang beragam. Berdasarkan indeks keragaman ikan karang menunjukkan ditemukan sekitar 942 spesies ikan karang di wilayah perairan Wakatobi (Balai TNW 2008). Peringkat ini menempatkan Wakatobi pada kategori keanekaragaman hayati sama dengan Teluk Milne di Papua Nugini dan di Komodo. Famili paling beragam spesiesnya adalah wrasse (Labridae), damsel (Pomacentridae), kerapu (Serranidae), kepe-kepe (Chaetodontidae), surgeon (Acanthuridae), kakatua (Scaridae), cardinal (Apogonidae), kakap (Lutjanidae), squirrel (Holocentridae) dan angel (Pomacanthidae). Selain itu berdasarkan monitoring BTNW-WWF-TNC tahun 2006
tercatat 2 jenis penyu dijumpai di
Kepulauan Wakatobi, yaitu penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas) (Balai TNW 2008). Tercatat 9 jenis lamun di Perairan Wakatobi diantaranya Enhalus acororides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Halodule pinifolia, Cymodocea rotundata,
Syringodium isoetifolium, Thalassodenron
ciliatum, Halodule uninervis, Cymodocea serullata. Selain ekosistem karang dan biota laut lainnya Kepulauan Wakatobi juga memiliki ekosistem non karang seperti mangrove. Tercatat 22 jenis dari 13 famili mangrove sejati, antara lain Rhizophora stylosa, Sonneratia alba, Osbornia octodonta, Ceriops tagal, Xylocarpus moluccensis, Scyphiphora hydrophyllacea, Bruguiera gymnorrhiza, Avicennia marina, Pemphis acidula, dan Avicennia officinalis (Balai TNW 2008). Mangrove di P. Wangi-Wangi, Kaledupa dan Tomia kondisinya sudah mengalami kerusakan akibat tekanan masyarakat lokal. Diantara berbagai keanekaragaman sumberdaya TNW, terdapat beberapa jenis satwa langka dan dilindungi oleh pemerintah. Beberapa spesies yang termasuk jenis langka dan terancam adalah penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas), ikan napoleon (Cheilinus undulatus), kepiting kenari (Birgus latro), kima (Tridacna sp.), lola (Trochus niloticus) dan cumi-cumi berbintik hitam. Sementara itu jenis burung laut yang terdapat di TN Wakatobi seperti angsa batu coklat (Sula leucogaster plotus), cerek melayu (Charadrius peronii), raja udang erasia (Alcedo anthis). Adapun dari family Cetaceans tercatat beberapa jenis yang
17
tergolong terancam punah seperti paus sperma (physeter macrocephalus), paus pemandu sirip pendek (Globicephala macrorhyncus), paus pembunuh (Orcinus orca), paus pembunuh kerdil (Feresa attenuata), lumba-lumba totol (Stenella attenuata), lumba-lumba gigi kasar (Steno bredenensis), lumba-lumba abu-abu (Grampus griseus), lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) dan paus kepala semangka (Peponocephala electra).
3.5 Sosial Budaya Masyarakat 3.5.1
Masyarakat adat Penduduk Kabupaten Wakatobi menurut survey penduduk antar sensus
(SUPAS) pada tahun 2010 berjumlah 103.432 jiwa (Tabel 1). Tabel 1 Penduduk Kabupaten Wakatobi menurut kecamatan tahun 2010 No
Kecamatan
Jumlah Penduduk
Persentase
1
Wangi-wangi
25.974
25.11%
2
Wangi-wangi Selatan
27.257
26.35%
3
Biningko
9.339
9.03%
4
Togo Binongko
5.289
5.11%
5
Tomia
7.687
7.43%
6
Tomia Timur
9.385
9.07%
7
Kaledupa
11.119
10.75%
8
Kaledupa Selatan
7.378
7.13%
103.432
100%
Jumlah
Sumber : Hasil Proyeksi SUPAS (BPS Kabupaten Wakatobi) dan registrasi penduduk 2010
Masyarakat Wakatobi terdiri dari 9 (sembilan) masyarakat adat, yaitu masyarakat Adat Wanci, Mandati, Liya dan Kapota yang terdapat di Pulau Wangiwangi dan Kapota; masyarakat Adat Kaledupa di P. Kaledupa; masyarakat Adat Waha, Tongano dan Timu di P. Tomia; serta masyarakat Adat Mbedabeda di P. Binongko. Penduduk
Wakatobi
memiliki
bahasa
daerah
dalam
berkomunikasi.
Masyarakat desa masih menggunakan bahasa daerah dengan fasih dan lancar sedangkan
masyarakat
di
kota
menggunakan
bahasa
Indonesia
dalam
berkomunikasi. Bahasa daerah yang digunakan masyarakat Wakatobi merupakan rumpun bahasa suai yang pemakaiannya meliputi dialek Wanci, dialek Kaledupa, dialek Tomia dan dialek Binongko. Keempat dialek di Wakatobi disebut wilayah
18
bahasa atau region. Region di Wakatobi memiliki perbedaan-perbedaan dalam hal penyebutan atau penamaan benda-benda tertentu. Di Wangi-wangi misalnya, terdapat area Wanci, Mandati, Liya, Kapota dan Mola, di Kaledupa terdapat area Ambeua dan Lenteea, di Tomia terdapat area Usuku, Kahiyanga dan Onemai, serta terdapat area Taipabuu dan Rukuwa di Binongko. Penduduk Wakatobi sebagian besar beragama islam. Kepercayaan terhadap hal-hal mistik masih dipercaya dan dilakukan dalam kehidupan masyarakat Wakatobi. Masyarakat masih melakukan ritual doa-doa dan permintaan dilokasi tertentu yang dianggap mistis. Pelaksanaan ritual masyarakat dilakukan dengan membawa daun sirih, buah pala dan koin lama sebagai suatu syarat. Kehidupan damai dan saling menghargai antara sesama manusia merupakan penerapan dalam kehidupan bermasyarakat di Wakatobi.
3.5.2
Masyarakat Pendatang Penduduk Wakatobi terdiri dari berbagai etnis, selain 9 (sembilan)
masyarakat adat yang secara turun-temurun dari nenek moyang mereka telah menempati pulau ini, terdapat juga masyarakat pendatang. Terdapat 2 (dua) komunitas pendatang yaitu suku Bajo dan suku Cia-cia yang berasal dari etnis Buton (Balai TNW 2007). Suku Bajo merupakan komunitas masyarakat yang tinggal di pinggir-pinggir pantai, bahkan laut di sekitar Kepulauan Wakatobi dengan arsitektur bangunan rumah dan budaya yang khas. Terdapat beberapa perkampungan suku Bajo di Wakatobi diantaranya komunitas suku Bajo Mola di Pulau Wangi-wangi, suku Bajo Sama Bahari di perairan sekitar Pulau Kaledupa dan suku Bajo Lamanggau di perairan sekitar Pulau Tomia. Namun di antara semua komunitas suku Bajo tersebut komunitas suku Bajo Mola yang terbanyak. Desa Mola merupakan desa pantai yang penduduknya mayoritas suku Bajo. Perkampungan suku Bajo di Mola saat ini terbagi dalam lima desa administratif dengan panjang garis pantai sekitar 32 km. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Mandati dan sebelah selatan dan timur berbatasan dengan kelurahan Mandati I, sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Laut. Desa Mola merupakan salah satu desa dalam wilayah Kecamatan Wangi – wangi Selatan.
19
Desa Sama Bahari merupakan salah satu desa terapung di Kecamatan Kaledupa yang terletak di perairan dangkal laut Banda. Semula Desa Sama Bahari menjadi bagian dari Desa Laulua, dan sejak tahun 1997 terpisah menjadi desa tersendiri dengan luas wilayah sekitar 60 km2. Secara kasat mata Desa Sama Bahari merupakan perkampungan yang benar-benar berada di atas laut. Desa Lamanggau berada di sentral wilayah Kecamatan Tomia. Desa ini adalah satu-satunya kampung di Kecamatan Tomia yang mayoritas penduduknya adalah Suku Bajo. Kampung ini berada di Pulau Onemobaa, sebuah pulau di antara sembilan pulau lainnya yang termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Tomia. Desa Lamanggau berada di ujung barat pulau ini, terpisahkan oleh selat kecil dengan Pulau Tomia, perairannya berbatasan dan masuk pada perairan Desa Waiti Timur dan Waiti Barat. Keunikan dari Desa Lamanggau ini disamping panorama rumah suku Bajo yang terapung di saat air laut pasang namun juga sangat dekat dengan area Wakatobi Dive Resort, resort berkelas internasional yang merupakan investasi asing.. Kehidupan suku Bajo berbeda dengan masyarakat lainnya di Wakatobi. Mereka menempati daerah pesisir pantai sampai perairan dangkal, dengan membentuk rumah-rumah panggung. Mereka dihubungkan dengan jembatan dan perahu-perahu kecil sebagai alat transportasi utama untuk mengakses daratan. Perahu ini juga merupakan alat untuk mencari nafkah sebagai nelayan tradisional. Di semua perkampungan suku Bajo, sebagian besar masyarakatnya adalah nelayan atau pekerjaan lain yang berhubungan dengan kegiatan kemaritiman. 3.6 Potensi Wisata Kabupaten Wakatobi memiliki beberapa potensi obyek wisata alam, mulai panorama bawah laut (ekosistem terumbu karang dan biota laut), pantai pasir putih, goa dan peninggalan sejarah. Gugusan terumbu karang beserta beragam ikan karang merupakan atraksi bawah laut yang menarik untuk dinikmati. Kabupaten Wakatobi merupakan lokasi yang menarik dikunjungi terutama untuk kegiatan diving, snorkeling, wisata bahari, berenang, memancing, berkemah dan wisata budaya.
20
3.7 Aksesibilitas Kabupaten Wakatobi mempunyai rute perjalanan dari berbagai daerah yang sering dikunjungi wisatawan. Bali, Jakarta dan Makassar via kendari adalah bandara internasional yang sering disinggahi para wisatawan, sehingga pemerintah Kabupaten Wakatobi dan pengusaha wisata membuat akses di bandara tersebut menuju Kabupaten Wakatobi. Kegiatan perjalanan yang dilakukan untuk menuju Wakatobi akan melewati beberapa pulau di Sulawesi Tenggara. Apabila perjalanan diawali dari Kota Kendari maka akan melewati Pulau Raha dan Pulau Buton.
Sedangkan perjalanan dari
Jakarta baik melalui laut dan udara akan melewati Kota Surabaya dan Kota Makassar.
21
BAB IV METODOLOGI 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Subyek penelitian adalah komunitas Suku Bajo di Pulau Wangi-wangi, yang difokuskan pada dua desa, yaitu Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Walaupun di Wakatobi terdapat beberap komunitas Suku Bajo, diantaranya Bajo Sampela di Pulau Kaledupa dan Bajo Lamanggau di Pulau Tomia, namun penelitian ini difokuskan pada Suku Bajo Mola di Pulau Wangi-wangi. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa Suku Bajo di Pulau Wangi-wangi merupakan komunitas Suku Bajo yang telah mengalami pergeseran dan sangat berbeda dengan Suku Bajo lainnya. Hal yang paling mendasar terlihat dari perkampungan masyarakat yang telah menyatu dengan daratan dan sebagian besar tidak lagi berada di atas laut, berbeda dengan Suku Bajo di Pulau Kaledupa dan Tomia yang masih berada di atas laut. Terdapat dua desa sampel dalam penelitian ini. Pemilihan desa sebagai sampel didasarkan pada tujuan utama yaitu untuk melihat pergeseran nilai tradisional masyarakat di dua desa, Desa Mola Utara yang merupakan desa pertama di Mola dan telah menyatu dengan daratan Pulau Wangi-wangi. Sedangkan Desa Nelayan Bakti merupakan desa baru yang berada pada pesisir terluar, yang sebagian rumah masyarakat masih berbentuk rumah panggung di atas laut. Sedangkan penelitian ini berlangsung selama dua bulan, yaitu pertengahan bulan Junipertengahan bulan Agustus 2010.
22
Gambar 2 Peta lokasi penelitian.
4.2 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta kawasan, tape recorder, panduan wawancara, kamera, buku catatan harian, kalkulator, penggaris dan peralatan tulis lainnya.
4.3 Jenis Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung di lapangan atau merupakan data pokok yang harus didapatkan. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari studi pustaka, atau merupakan data penunjang. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah: 1. Karakteristik perkampungan masyarakat 2. Kondisi sosial ekonomi Suku Bajo terkait pemanfaatan sumberdaya laut 3. Budaya Suku Bajo dalam perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya laut 4. Pola pemanfaatan sumberdaya laut 5. Peraturan pengelolaan BTNW
23
4.4 Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui tiga metode yaitu wawancara, observasi dan studi pustaka. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data mengenai karakteristik perkampungan, kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, budaya masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya laut dan pola pemanfaatan sumberdaya laut. Untuk mendapatkan informasi tersebut, dilakukan wawancara dengan informan dan responden dari masyarakat Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti. Informan dalam penelitian ini adalah tokoh-tokoh masyaraksat suku Bajo di Mola, tokoh Adat Mandati, tokoh Adat Liya dan pengelola TNW. Tokohtokoh masyarakat merupakan informan yang memberikan informasi mengenai budaya masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya laut, sejarah perkampungan, tradisi penggunaan alat tangkap dan kearifan tradisional masyarakat. Pengelola TNW merupakan informan yang memberikan informasi mengenai peraturan pengelolaan taman nasional terkait keberadaan Suku Bajo. Wawancara dengan informan dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam (indepth interview) atau tanya jawab secara langsung kepada informan. Sedangkan informasi mengenai keberadaan Suku Bajo saat ini di peroleh dengan melakukan wawancara pada responden penelitian. Responden dalam penelitian adalah kepala rumah tangga dari masyarakat Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti dengan ukuran contoh 10% dari jumlah kepala keluarga. Pemilihan responden atau contoh dilakukan secara purposive, yaitu penentuan responden berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Pertimbangan didasarkan pada pertimbangan bahwa kepala rumah tangga mengetahui seluk-beluk kehidupan keluarganya dan lingkungan tempat tinggalnya. Teknik wawancara pada informan maupun responden dilakukan dengan menggunakan wawancara secara terstruktur, yaitu suatu bentuk wawancara yang dilakukan dengan mempersiapkan terlebih dahulu bahan yang akan diajukan dalam kegiatan wawancara (Idrus 2009). Observasi lapang dilakukan untuk melihat secara langsung objek yang diteliti baik kondisi fisik maupun kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Teknik pengamatan (observasi lapang) yang dilakukan adalah pengamatan yang hanya melakukan satu fungsi, yaitu mengadakan pengamatan tanpa menjadi anggota resmi dari kelompok
24
yang diamati (Idrus 2009). Pengamatan yang dilakukan bertujuan untuk mengamati secara langsung lokasi-lokasi penelitian sehingga dapat mendeskripsikan kondisi yang sebenarnya. Selain itu bertujuan untuk mengambil gambar/foto kondisi dilapangan yang terjadi pada saat ini. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai kehidupan Suku Bajo yang sebenarnya. Secara keseluruhan rekapitulasi pengumpulan data disajikan dalam tabel 2. Tabel 2 Rekapitulasi pengumpulan data Jenis Data
Parameter
Cara Pengumpulan
Sumber Data
Karakteristik perkampungan masyarakat
Lokasi perkampungan Kondisi perkampungan Bentuk perumahan
Wawancara dengan informan, wawancara dengan responden dan observasi lapang
Tokoh masyarakat,
Kondisi sosial ekonomi suku Bajo
Jumlah penduduk, mobilitas penduduk dan komposisi penduduk Tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan
Wawancara dengan responden, penelususran dokumen dan observasi lapang
Masyarakat Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti, serta kantor desa dan kantor Badan Pusat Statistika (BPS)
Budaya Suku Bajo dalam perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya laut
Pola-pola kearifan lokal masyarakat, larangan dan sanksi Sikap masyarakat saat ini
Wawancara dengan informan, wawancara dengan responden dan observasi lapang
Tokoh masyarakat dan masyarakat Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti
Pola pemanfaatan sumberdaya laut
Jenis yang dimanfaatkan Intensitas pemanfaatan Lokasi pemanfaatan Alat yang digunakan
Wawancara dengan responden, wawancara dengan pengelola TNW dan observasi lapang
Tokoh masyarakat dan masyarakat Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti, serta Kepala Balai TNW
Peraturan pengelolaan TNW
Kegiatan yang diijinkan disetiap zonasi, Sumberdaya yang dilindungi Penerapan sanksi
Wanwancara dengan pengelola taman nasional, wawancara dengan responden dan observasi lapang
Kepala Balai TNW dan Masyarakat Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti
Masyarakat Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti
4.5 Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data merupakan suatu proses dalam memperoleh data ringkasan dengan menggunakan cara-cara atau rumusan-rumusan tertentu (Hasan 2002). Pengolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan editing data, pengkodean
25
data dan penyajian data. Kegiatan editing dilakukan untuk mengoreksi yang telah dikumpulkan. Dalam melakukan editing, data-data yang telah dikumpulkan dikoreksi, data yang kurang diperbaiki atau dilakukan pengumpulan ulang dan data yang dianggap tidak perlu dipisahkan. Kegiatan editing berjalan bersamaan dengan kegiatan pengumpulan data, setiap kali selesai melakukan pengumpulan data dilapangan data langsung di edit. Selain melakukan editing data, dilakukan juga pengkodean data. Pengkodean data dilakukan untuk memberi kode pada data-data yang dianggap sama yang dilambangkan dengan angka-angka. Data yang telah diberi kode dimasukan dalam tabel-tabel. Data yang telah ditabulasikan langsung disajikan dan selanjutnya akan di analisis. Penyajian data dalam penelitian ini dilakukan dalam bentuk tabel, grafik-grafik dan penyajian deskriptif. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis deskriptif kualitatif untuk menjelaskan pengertian, mendeskripsikan pola kehidupan Suku Bajo masa lalu dan perilaku Suku Bajo saat ini dalam kaitannya dengan peraturan formal pengelolaan taman nasional.
26
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Suku Bajo Kecamatan Wangi-wangi Selatan Mola merupakan perkampungan Suku Bajo di Kecamatan Wangi-wangi Selatan, dengan membentuk perkampungan pada pesisir pantai dan menjorok sampai pada perairan dangkal. Dulunya lokasi ini merupakan perkampungan yang merupakan ciri khas Suku Bajo, dengan menggunakan rumah-rumah panggung di atas laut. Mereka dihubungkan dengan jembatan dan perahu-perahu kecil sebagai alat transportasi utama untuk mengakses daratan. Perahu ini juga merupakan alat untuk mencari nafkah sebagai nelayan tradisional. Namun saat ini sebagian besar telah terbuat dari beton yang didirikan di atas lahan hasil reklamasi menggunakan batu karang. Berdasarkan catatan sejarah, Suku Bajo yang tersebar di banyak tempat di Indonesia memiliki asal usul yang sama. Sejumlah antropolog menjelaskan bahwa kecintaan Suku Bajo terhadap laut bermula ketika mereka berusaha menghindari peperangan dan kericuhan di darat. Saad (2010) mencatat bahwa nenek moyang Suku Bajo memasuki Pulau Sulawesi sekitar tahun 1698. Penyebaran Suku Bajo yang terdapat diberbagai daerah disebabkan karena kebiasaan mereka menyeberangi lautan lepas. Filosofi hidup Suku Bajo sebagai manusia perahu yang diberikan pada Suku Bajo dikarenakan kebiasaan mereka yang selalu berpindah-pindah. Diperkirakan pada tahun 1950an Suku Bajo mulai menempati Wakatobi (Stanley 2005). Hal ini didasarkan pada potensi keanekaragaman laut Wakatobi yang sangat melimpah, sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Suku Bajo di Wakatobi awalnya menempati Pulau Kaledupa. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat, Suku Bajo memasuki Pulau Wangi-wangi sekitar tahun 1955 dan menempati wilayah adat Mandati. Masyarakat adat Mandati merupakan salah satu komunitas masyarakat adat di Pulau Wangi-wangi yang memiliki kelembagaan adat yang jelas. Berdasarkan penjelasan dari tokoh adat Mandati, Suku Bajo yang diijinkan untuk menempati wilayah adat Mandati hanya 30 KK. Namun penduduk Suku Bajo terus bertambah dari waktu ke waktu. Hal ini dikarenakan sekitar tahun 1960an banyak Suku Bajo
27
dari tempat lain datang dan menetap di Pulau Wangi-wangi, karena potensi perikanannya masih cukup melimpah. Seiring berjalannya waktu Suku Bajo di Pulau Wangi-wangi semakin bertambah, sehingga pada tahun 1977 perkampungan Suku Bajo telah menjadi dua desa pemerintahan, yaitu Desa Mola Utara dan Desa Mola Nelayan Bakti. Jumlah penduduk Suku Bajo terus mengalami peningkatan dan perkampungan masyarakat terus bertambah luas. Hingga saat ini jumlah penduduk Bajo di Mola mencapai 6.883 jiwa dan terdiri dari 1.846 kepala keluarga (BPS Wakatobi 2010). Kondisi ini menyebabkan Desa Mola saat ini terbagi lima desa pemerintahan yaitu Desa Mola Selatan, Mola Utara, Mola Samaturu, Mola Bahari dan Mola Nelayan Bakti. Awalnya Suku Bajo merupakan masyarakat yang hidup secara tradisional, mulai dari bentuk perumahan sampai penggunaan alat tangkap. Namun pada tahun 1960-1970 kebijakan modernisasi perikanan oleh pemerintah, yang dimulai dengan motorisasi perahu mulai mengenalkan peralatan-peralatan modern dalam dunia kelautan (Saad 2010). Tahun 1980-1990 masyarakat mulai membangun rumahrumah permanen dari beton. Di mulai dengan menimbun kolong rumah dengan menggunakan terumbu karang. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah masyarakat mulai merasa nyaman menempati perkampungan ini. Selain itu, ternyata keberadaan tengkulak ikan juga mempengaruhi masyarakat untuk membangun rumah-rumah permanen. Berdasarkan hasil wawancara, Suku Bajo menyatakan mereka lebih dipercaya tengkulak ikan ketika mereka memiliki rumah yang bagus. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya laut yang semakin tinggi dan dilakukan dengan cara-cara eksploitatif menyebabkan ancaman keberlanjutan ekologi perairan Wakatobi akan terancam. Padahal ekosistem perairan Wakatobi merupakan layanan ekologi dan ekonomi yang sangat penting. Mengingat pentingnya perairan Wakatobi sebagai layanan ekologi dan ekonomi untuk masa mendatang maka pemerintah menetapkan kawasan tersebut menjadi kawasan taman nasional. Keberadaan taman nasional diperuntukan untuk melindungi kondisi ekosisitem perairan Wakatobi yang kegiatan pemanfaatannya tidak lagi dilakukan dengan konsep keberlanjutan. Hal ini dibuktikan dengan kondisi dilapangan yang masih terjadi pemanfataan sumberdaya laut yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara-cara yang eksploitatif. Lebih mengherankan lagi kegiatan-kegiatan seperti
28
pengambilan karang, pasir dan jenis satwa yang dilindungi dilakukan dengan sangat bebas dan terbuka. Kegiatan penambangan karang dan pasir laut yang dilakukan oleh Suku Bajo sangat sulit untuk diberhentikan. Selain kegiatan tersebut merupakan
sumber
penghasilan, pemerintah daerahpun membutuhkannya sebagai bahan pembangunan infrastruktur. Pada tahun 2003 Kabupaten Wakatobi di bentuk sebagai pemekaran dari Kabupaten Buton. Sehingga Kawasan Kepulauan Wakatobi merupakan satu wilayah otonom yang letak dan luasnya sama persis dengan letak dan luas TNW. Otonomi daerah dengan pijakan hukum Undsng-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pertimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan momentum sangat berharga untuk melakukan perubahan-perubahan dalam segala aspek penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Dengan kewenangan yang dimilikinya, Pemerintah Daerah Wakatobi dapat melakukan perubahan kerangka kebijakan pengelolaan sumberdaya alam agar lebih sesuai dengan kebutuhan dan karakterisitik ekologis, sosial dan ekonomi. Penetapan kawasan perairan Wakatobi menjadi taman nasional seharusnya memberi perlindungan terhadap sumberdaya laut yang esensial, salah satunya terumbu karang. Namun sebagai daerah yang baru melakukan pemekaran pastinya membutuhkan pembangunan yang luar biasa, baik dari bentuk infrastruktur maupun pembangunan ekonomi. Hasil penelitian yang dilakukan sampai saat ini pembangunan infrastruktur kabupaten masih menggunakan karang dari dalam kawasan taman nasional yang seharusnya dilindungi oleh pemerintah dalam hal ini Kementrian Kehutanan. Berdasarkan kasus tersebut terlihat perbedaan dua kepentingan wewenang yang berbeda. Taman nasional berhak melindungi degradasi sumberdaya laut yang dilindungi, namun Pemerintah Daerah membutuhkan sumberdaya tersebut untuk menjalankan pembangunan yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahtraan masyarakat Wakatobi nantinya. Penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa pergeseran nilai tradisional yang diindikasikan dengan kegiatan eksploiatsi sumberdaya laut yang dilakukan oleh masyarakat Bajo telah berlangsung sebelum TNW terbentuk. Namun hingga
29
saat ini kegiatan tersebut masih terus berjalan, bahkan terkesan mendapat dukungan dari Pemerintah Daerah. Secara keseluruhan sejarah pemanfaatan sumberdaya laut Wakatobi oleh Suku Bajo disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Sejarah Pemanfaatan Sumberdaya Laut Wakatobi oleh Suku Bajo Tahun
Sejarah Pemanfaatan Sumberdaya Laut Nenek moyang Suku Bajo memasuki Sulawesi, tepatnya ke Goa
Faktor Pendorong
Sumber
Kebiasaan Suku Bajo menyeberangi lautan
Saad (2009)
Suku Bajo memasuki Wakatobi (Pulau Kaledupa)
Potensi perikanan Wakatobi yang melimpah
Stanley (2005), Saad (2009)
Suku Bajo mulai menempati wilayah adat Mandati (Mola) sebanyak 30 KK
Mola dianggap memenuhi kriteria tempat tinggal mereka
Wawancara (2010)
1960an
Suku Bajo mulai berdatangan ke Mola
Potensi perikanan yang cukup dan lingkungan yang aman
Wawancara (2010)
1960an1970an
Masyarakat mulai mengenal alat-alat moderen untuk melaut
Kebijakan moderenisasi perikanan oleh pemerintah, dimulai dengan motorisasi perahu
Saad (2009)
1977
Pemekaran perkampungan menjadi dua desa pemerintahan
Peningkatan jumlah Suku Bajo di Mola
Wawancara (2010)
1980
Penggunaan karang sebagai fondasi rumah
Tingkat kenyamanan dan status sosial yang lebih tinggi dengan rumah beton yang lebih tinggi
Wawancara (2010)
1990
Pemanfaatan masyarakat mulai terkosentrasi pada jenis-jenis ikan tertentu Penggunaan potasium untuk meningkatkan jumlah tangkapan ikan
Masuknya tengkulaktengkulak ikan dari Jawa dan Bali
Stanley (2005), Balai TNW (2008)
1997
Penetapan TNW, sehingga pembatasan pemanfaatan sumberdaya laut
Meminimalisasi degradsi sumberdaya laut Wakatobi
Balai TNW (2008)
2003
Pemekaran Kabupaten Wakatobi
Desentralisasi pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat
Balai TNW (2008)
20002010
Masih terjadi pemanfaatan yang bertentangan dengan pengelolaan TNW
Sumberkehidupan masyarakat
1698
1950an
1955
Wawancara (2010)
30
5.2 Karakteristik Suku Bajo Kecamatan Wangi-wangi Selatan 5.2.1 Kondisi Penduduk Suku Bajo di Kecamatan Wangi-wangi Selatan merupakan masyarakat pendatang dari Kaledupa dan Nusa Tenggara Timur. Hasil survey menunjukan sebagian besar masyarakat Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti berasal dari Pulau Kaledupa yaitu 64% responden, dari NTT 25% responden dan yang lahir di Mola sendiri hanya 11% responden (Gambar 3).
11% 25%
Kaledupa
64% NTT Mola
Gambar 3
Diagram daerah asal Suku Bajo Desa Mola Utara dan Desa Mola Nelayan Bakti.
Penduduk merupakan salah satu modal dasar pembangunan dan merupakan aset pembangunan, sehingga tidak hanya menjadi sasaran pembangunan tetapi juga merupakan pelaku pembangunan. Penentuan arah pembangunan, secara langsung berhubungan dengan sumberdaya alam. Sehingga semakin besar jumlah penduduk maka semakin tinggi kebutuhan akan sumberdaya, oleh karena itu kualitas penduduk sangat menentukan keberadaan sumberdaya alam (Hermianto & Minarno 2009). Hasil sensus penduduk 2010 menunjukan penduduk Kabupaten Wakatobi berjumlah 103.432 jiwa (BPS Wakatobi 2010). Sedangkan Suku Bajo di Mola mencapai 6.883 jiwa (Tabel 4). Desa Mola Selatan dan Mola Utara merupakan dua desa pertama yang berada di Mola, yang akhirnya melakukan pemekaran lagi menjadi 5 desa. Desa Mola Selatan di bagi menjadi dua desa sedangkan Desa Mola Utara di bagi menjadi tiga desa. Berdasarkan tabulasi tersebut, jumlah penduduk terbanyak terdapat di Desa Mola Selatan yang berjumlah 2.160 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 223 KK. Sedangkan jumlah terendah terdapat pada Desa Mola Utara dengan jumlah penduduk sebanyak 883 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 254 KK.
Sehingga jumlah penduduk Desa Mola Selatan
31
merupakan desa dengan jumlah penduduk terbanyak, namun menarik, karena ternyata jumlah kepala keluarganya paling sedikit. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah anggota keluarga Suku Bajo di Desa Mola Selatan tergolong banyak yang berarti tingkat kelahiran masyarakat akan tinggi. Tabel 4 Penduduk Suku Bajo Kecamatan Wangi-wangi Selatan tahun 2010 No
Desa
Laki-laki
Perempuan
Jumlah Penduduk
Jumlah KK
1.088
1.072
2.160
223
1
Mola Selatan
2
Mola Nelayan Bakti
796
886
1.682
432
3
Mola Bahari
612
591
1.203
487
4
Mola Samaturu
459
496
955
450
5
Mola Utara
433
450
883
254
3.388
3.495
6.883
1.846
Jumlah
Sumber : Hasil Proyeksi SUPAS (BPS Kabupaten Wakatobi) dan registrasi penduduk 2010
Jumlah penduduk Suku Bajo di Wangi-wangi tergolong tinggi bila dibandingkan dengan komunitas masyarakat Adat Liya, Wanci maupun Kapota yang terdapat di Kecamatan Wangi-wangi Selatan (Gambar 4). Padahal masyarakat Liya, Wanci dan Kapota merupakan masyarakat asli Wakatobi. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa pertumbuhan penduduk Bajo yang merupakan pendatang lebih cepat dibandingkan dengan masyarakat adat.
23%
40%
10%
Masyarakat Adat Mandati Masyarakat Adat Liya
11% 16%
Masyarakat Adat Kapota Masyarakat Adat Wanci Masyarakat Suku Bajo
Sumber: Hasil Proyeksi SUPAS (BPS Kabupaten Wakatobi) dan registrasi penduduk 2010
Gambar 4 Penduduk komunitas masyarakat Kecamatan Wangi-wangi Selatan. Tingkat kepadatan penduduk Suku Bajo lebih tinggi dibandingkan dengan desa-desa lain di Kecamatan Wangi-wangi Selatan. Bahkan tingkat kepadatan setiap desa melebihi rata-rata tingkat kepadatan dalam kabupaten yang hanya 218,14 jiwa dan kecamatan yang hanya 545,26 jiwa/km2. Tingkat kepadatan penduduk Suku Bajo yang terendah adalah Desa Mola Selatan dengan tingkat kepadatan 584 jiwa/km2 dan tertingi adalah Desa Mola Bahari dengan tingkat kepadatan 1.505
32
jiwa/km2 dengan laju pertumbuhan penduduk dari tahun 2008-2009 mencapai 10% (Tabel 5). Tabel 5 Kepadatan penduduk menurut desa/kelurahan di Kecamatan Wangiwangi Selatan tahun 2008-2009 No.
Desa/Kelurahan
Penduduk
Luas (Km2)
2008 1
Kapota
11,87
1.157
2
Kabita
24,00
1.348
3
Liyamawi
6,94
1.317
4
Liya Togo
46,40
1.738
5
Matahora
14,03
868
6
Wungka
15,00
1.044
7
Numana
5,76
709
8
Wisata Kolo
6,93
659
9
Liya Bahari Indah
1,30
484
10
Mandati I
6,75
2.482
11
Komala
4,84
603
12
Mandati II
9,68
3.671
13
Kapota Utara
9,50
1.275
14
Kabita Togo
21,00
629
15
Mandati III
4,77
1.582
16
Liya One Melangka
8,95
776
17
Mola Selatan
3,70
1.890
18
Mola Samaturu
0,74
814
19
Mola Bahari
0,80
1.092
20
Mola Utara
0,76
866
21
Mola Nelayan Bakti
2,30
1.592
206,02
26.596
Total
2009 1.007 916 1.404 1.662 990 1.211 891 409 669 2.839 693 3.504 849 466 1.888 969 2.160 955 1.204 884 1,681 27.252
Kepadatan 2008
2009
97
85
56
38
190
202
37
36
62
71
70
81
123
155
95
59
372
514
368
421
125
143
379
362
134
89
30
22
332
396
87
108
511
584
1.100
1.290
1.365
1.505
1.139
1.163
692
731
129
132
Sumber : Hasil Proyeksi SUPAS (BPS Kabupaten Wakatobi) dan registrasi penduduk 2010
Meningkatnya kebutuhan masyarakat juga dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga yang ditanggung. Berdasarkan hasil observasi lapang dan wawancara dengan responden, jumlah anak dalam satu keluarga tergolong banyak. Ditemukan jumlah anak paling sedikit adalah 5 orang dan tertinggi 14 orang, sedangkan ratarata jumlah anak dalam satu keluarga reponden yang disurvey adalah 9 orang. Kondisi ini juga dibuktikan dengan hasil survey yang menunjukkan bahwa berdasarkan kelas umur, Suku Bajo di dominasi usia 0-24 tahun yang merupakan
33
usia produktif (Tabel 6). Kebiasaan ini dilandaskan pada pemahaman masyarakat yang beranggapan semakin banyak anak akan semakin banyak yang bekerja, sehingga penghasilan akan semakin banyak. Kondisi ini juga yang menyebabkan penduduk Bajo di Mola cukup padat. Tabel 6 Penduduk Desa Mola Utara dan Desa Mola Nelayan Bakti menurut kelompok umur dan jenis kelamin tahun 2010 Kelompok Umur
Moal Utara
Mola Nelayan Bakti Jumlah
Persentase
450
1.331
51.89%
262
293
846
32.98%
39
69
76
222
8.66%
24
33
43
66
166
6.47%
433
450
796
886
2.565
100%
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki
Perempuan
0 – 24
230
228
423
25 – 49
142
149
50 – 64
38
65 + Jumlah
Sumber : Hasil Proyeksi SUPAS (BPS Kabupaten Wakatobi) dan registrasi penduduk 2010
Berdasarkan tabulasi kelompok umur 0-24 tahun masyarakat Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti berjumlah 51.89%, umur 25-49 tahun 32.98%, umur 50-64 tahun 8.66% dan umur 65 tahun keatas 6.47%. Kondisi ini mengindikasikan laju pertumbuhan penduduk kedepan akan tergolong tinggi. Penduduk Suku Bajo di Mola diperkirakan akan terus mengalami peningkatan, hal ini dapat dilihat dari tingginya usia produktif, migrasi penduduk yang selalu berdatangan ke Mola dan tingginya kelahiran. Keberadaan penduduk ini akan meningkatkan kebutuhan pembangunan, terutama pemukiman masyarakat. Pembangunan kawasan pemukiman Suku Bajo di Mola akan semakin meningkat sejalan dengan kebutuhan penduduk akan tempat tinggal. Sayangnya pengembangan kawasan pemukiman dilakukan dengan hanya mempertimbangkan kepentingan jangka pendek tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan untuk masa mendatang. Hal ini sangat berbeda dengan konsep pembangunan taman nasional yang mengutamakan kelestarian dan pemanfaatan yang berkelanjutan, yang dapat memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi masyarakat (Alikodra 1987). Lebih memprihatinkan lagi apabila generasi ini melakukan pembangunan dengan mengikuti pola-pola yang diterapkan generasi saat ini. Hal itu sangat mungkin terjadi, karena generasi ini akan bersosialisasi dengan generasi sebelum mereka yang melakukan pembangunan dengan cara eksploitasi sumberdaya alam. Dalam proses
34
itu segala individu dari masa anak-anak hingga masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan individu disekelilingnya (Koetjaraningrat 2002). Masalah pemukiman merupakan masalah penduduk, ketika jumlah penduduk kecil, cara hidupnya dapat diserasikan dengan lingkungan. Namun dengan bertambahnya penduduk cara hidup dan bermukimnya penduduk tidak lagi diserasikan dengan lingkungan, bahkan sebaliknya lingkungan diubah dan dicocokan dengan cara hidup mereka (Hermianto & Minarno 2009).
5.2.2
Tingkat Pendidikan Masyarakat Secara umum pendidikan penduduk masyarakat Desa Mola Utara dan Mola
Nelayan Bakti dapat dikatakan rendah, terlihat dari besarnya proporsi masyarakat yang berpendidikan Sekolah Dasar (SD), tidak tamat SD dan sama sekali tidak pernah sekolah (Tabel 7). Tabel 7 Pendidikan masyarakat Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti Frekuensi Pendidikan
Jumlah
Presentasi
569
982
55.01%
160
416
576
32.27%
Tamat SMP
39
46
85
4.76%
Tamat SMA
59
63
122
6.83%
Sarjan/sederajat
12
8
20
1.12%
Jumlah
683
1.102
1.785
100%
Desa Mola Utara
Desa Mola Nelayan Bakti
Belum/tidak tamat SD
413
Tamat SD
Sumber : Desa Mola Utara dan Nelayan Bakti Dalam Angka 2010
Rendahnya tingkat pendidikan Suku Bajo sebagian besar dipengaruhi oleh pelibatan anak-anak dalam pekerjaan nelayan dan kegiatan penambangan. Anakanak Bajo usia 7 tahun telah dilibatkan dalam kegiatan pekerjaan melaut. Menurut pengakuan responden, selain orang tuanya terbantu dengan tambahan tenaga, anakanak Bajo lebih nyaman berada di laut. Hal inilah yang menyebabkan anak-anak lebih mengutamakan melaut daripada ke sekolah. Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan masyarakat sangat sulit untuk menerima konsep ilmiah yang di usung oleh pemerintah dalam pengelolaan TNW. Memang diakui bahwa masyarakat tradisional sebenarnya lebih memahami alam tempat tinggal mereka namun bukan berarti harus mengesampingkan pengetahuan
35
ilmiah. Suku Bajo secara umum tidak menerima adanya batasan dalam pemanfaatan sumberdaya laut (zonasi) yang di buat oleh pengelola TNW untuk melindungi daerah-daerah pemijahan ikan. Permasalahan lain yang terlihat adalah perbedaan pengetahuan masyarakat dengan konsep ilmiah mengenai terumbu karang. Berdasarkan konsep ilmiah terumbu karang merupakan sumberdaya laut yang sangat rentan terhadap kerusakan dan secara ilmiah pertumbuhannya hanya beberapa cm saja setiap tahunnya (Dahuri 2003). Namun berdasarkan pengetahuan Suku Bajo, terumbu karang yang mereka eksploitasi akan tumbuh kembali dalam waktu yang tidak lama. Mereka mengumpamakan pertumbuhan terumbu karang seperti pertumbuhan tanaman perkebunan.
5.2.3 Pekerjaan dan Pendapatan Masyarakat Sebagai masyarakat yang menempati daerah pesisir, Suku Bajo memiliki pekerjaan sebagai nelayan yang telah berlangsung secara turun temurun. Bagi Suku Bajo menangkap ikan merupakan satu-satunya mata pencaharian mereka, bahkan mereka tidak bisa makan tanpa ikan segar, sehingga sulit untuk memisahkan mereka dengan laut (Saad 2009). Namun bagi Suku Bajo di Mola menangkap ikan bukan satu-satunya sumber mata pencaharian karena budidaya rumput laut, menambang karang dan pasir juga merupakan sumber mata pencaharian. Semua Suku Bajo menyatakan dirinya adalah nelayan walaupun sebagian diantaranya (15%) bekerja sebagai pedagang dan PNS. Sebagai nelayan, pendapatan mereka dipengaruhi oleh keadaan musim (Tabel 8) sehingga sangat sulit untuk menentukan pendapatan riil untuk periode tertentu. Oleh karena itu, dalam penelitian ini pendapatan Mereka dihitung berdasarkan rata-rata hasil tangkapan setiap jenis yang dimanfaatkan setiap bulan berdasarkan harga jual jenis tersebut.
36
Tabel 8
Kalender musim pemanfaatan sumberdaya laut Suku Bajo Kecamatan Wangi-wangi Selatan Bulan
Jenis Ikan 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Tuna Cekalang Tongkol Sunu Kerapu Gurita Ikan dasar/karang Rumput laut Kima Penambangan Sumber : COREMAP II (2002)
Pekerjaan masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh musim menyebabkan pandapatan mereka tidak menentu. Berdasarkan hasil wawancara terdapat beberapa jenis sumberdaya laut yang dimanfaatkan Suku Bajo Kecamatan Wangi-wangi Selatan (Tabel 8) dengan tingkat pendapatan mulai Rp2.200.000- Rp6.450.000 setiap bulannya. Pendapatan tersebut merupakan rata-rata pendapatan setiap jenis sumberdaya laut setiap bulannya yang dihitung berdasarkan harga jual di pasaran. Berdasarkan hasil wawancara terdapat 41.43% responden yang intensitas pemanfaatan adalah dari ikan karang hidup dengan hasil tangkapan 50-70 kg setiap bulannya
atau
setara
dengan
Rp2.250.000-Rp3.150.000
setiap
bulannya.
Pemanfaatan ikan tuna sebanyak 32.86% responden, dengan intensitas tangkapan 75-150 kg setiap bulannya atau setara dengan Rp3.225.000-Rp6.450.000 setiap bulannya. Sedangkan pemanfaatan rumput laut 11.43% responden dengan intensitas pemanfaatan sebanyak 200-300 kg setiap bulannya atau setara dengan Rp2.200.000Rp3.300.000 setiap bulannya (Tabel 9).
37
Tabel 9 Pendapatan masyarakat berdasarkan jenis pemanfaatan sumberdaya laut Responden Jenis pemanfaatan
Mola Nelayan Bakti
Total
Mola Utara
Ikan karang hidup
11(44%)
18 (40%)
29 (41.43%)
Rp2.250.00-Rp3.150.000
Ikan tuna
9 (36%)
14 (31%)
23 (32.86%)
Rp3.225.000-Rp6.450.000
2 (8%)
6 (13%)
8 (11.43%)
Rp2.200.000-Rp3.300.000
3 (12%)
7 (16%)
10 (14.29%)
Rp3.150.000
N= 25(100%)
N= 45 (100%)
N=70 (100%)
Budidaya laut
rumput
Penambangan
Pendapatan/bulan
Rp2.200.000- Rp6.450.000
5.3 Perkampungan Masyarakat 5.3.1 Lokasi Perkampungan Perkampungan Suku Bajo di Kecamatan Wangi-wangi Selatan berada di pesisir pantai dan menjorok sampai perairan dangkal. Hal ini menunjukkan peran penting laut bagi Suku Bajo. Sebenarnya tradisi hidup Suku Bajo tidak menetap di suatu kampung, melainkan selalu berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain untuk mencari hasil laut dengan menggunakan perahu atau sope. Potensi hasil laut di kawasan tertentu yang melimpah menjadikan mereka menetap di laut dengan membangun pondok-pondok sebagai tempat berteduh pada saat cuaca memburuk dan juga menjadi tempat mengolah hasil tangkapan. Bila lokasi tersebut memenuhi persyaratan untuk pemukiman, misalnya tidak jauh dari sumber air bersih, kemudahan dalam pemasaran hasil tangkapan, maka tempat tersebut diputuskan sebagai tempat tinggal baru (Ponulele 1997 dalam Saad 2009). Perkampungan Suku Bajo di Mola juga merupakan proses perpindahan dari daerah lain, yaitu dari Komunitas Bajo di Pulau Kaledupa dan Nusa Tenggara Timur. Kondisi ini memungkinkan Suku Bajo di Mola untuk terus mengalami peningkatan. Perkampungan masyarakat sendiri telah menjadi perkampungan yang menetap dan memiliki rumah-rumah permanen sehingga kebiasaan hidup masyarakat di atas laut secara perlahan-lahan mulai hilang. Dibuktikan dengan kondisi perkampungan masyarakat yang sebagian besar tidak lagi berada di atas laut, melainkan di atas timbunan karang pada kawasan pesisir. Perkampungan Suku Bajo Mola berada pada pesisir pantai dan menjorok sampai perairan dangkal (Gambar 5). Berdasarkan pengakuan dari tokoh-tokoh adat
38
penentuan lokasi perkampungan Suku Bajo harus pada daerah-daerah yang memiliki sumber kehidupan bagi mereka. Indikator yang di lihat untuk menentukan lokasi perkampungan diantaranya harus disekitar karang, kondisi air laut harus bersih dan tidak di sekitar muara sungai. Jika suatu daerah di anggap mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, misalnya memiliki sumber ikan dan kondisi laut yang bersih maka akan ditempati (Ponulele 1997 dalam Saad 2009). Hal ini dikarenakan menurut pengetahuan mereka, laut yang kotor atau di sekitar muara sungai tidak akan banyak ikan yang akan menompang kehidupan mereka, tidak seperti daerah sekitar karang yang menyediakan banyak ikan.
Sumber: Simon Onggo 2010
Gambar 5 Perkampungan Suku Bajo Kecamatan Wangi-wangi Selatan. Pengakuan
informan
dan
responden
tentang
lokasi
perkampungan
masyarakat, menunjukkan bahwa dulunya kondisi air laut di sekitar atau di perkampungan sangat bersih dan memiliki banyak ikan. Kondisi ini sangat berbeda dengan kenyataan saat ini, dimana kondisi perkampungan tergolong kotor dan sangat susah untuk memperoleh ikan. Ini artinya kondisi perkampungan masyarakat tidak lagi seperti lokasi yang ideal menurut pengetahuan masyarakat Bajo.
5.3.2 Bentuk Perumahan Suku Bajo memiliki karakteristik yang berbeda dengan suku-suku di nusantara pada umumnya, karena kehidupan mereka yang tidak bisa dipisahkan dengan laut. Menurut Saad (2009) pemukiman Suku Bajo memiliki ciri yang khas, yaitu rumah panggung bertiang kayu, berdinding dan berlantai papan sebagian beratap rumbia, dibangun
pada pesisir pantai dan sebagian menjorok ke laut.
Namun pemukiman Bajo di Wakatobi saat ini agak berbeda, dimana rumah
39
panggung dengan menggunakan tiang-tiang tancap hanya dijumpai pada awal pembangunan rumah saja. Suku Bajo Mola, khususnya Desa Mola Utara dan Desa Mola Nelayan Bakti awalnya membangun rumah-rumah panggung di atas laut, dengan kolong rumah berfungsi sebagai tempat parkir perahu dan tempat memancing ikan. Untuk berkunjung dari satu rumah ke rumah lain hanya dapat di tempuh dengan menggunakan perahu. Namun saat ini sebagian besar mengalami perubahan, terutama Desa Mola Utara, rumah-rumah masyarakat yang telah terbuat dari beton dengan cara menimbun karang sebagai dasar bagunan rumah (Gambar 6).
Gambar 6 Kondisi perumahan masyarakat Desa Mola Utara. Untuk Desa Mola Nelayan Bakti cenderung masih menggunakan rumahrumah panggung, namun ada juga beberapa rumah telah menjadi rumah beton. Akan tetapi, rumah-rumah panggung yang ada sebagian besar mulai terisi karang pada bagian kolong rumahnya (Gambar 7).
Gambar 7 Kondisi perumahan masyarakat Desa Mola Nelayan Bakti.
40
5.3.3 Bentuk Perkampungan Kondisi perkampungan Suku Bajo di Kecamatan Wangi-wangi Selatan tidak lagi berada di atas air laut melainkan di atas tanah hasil reklamasi dengan menggunakan timbunan karang. Rumah panggung dengan menggunakan tiang-tiang tancap hanya merupakan awal dari pembangunan perkampungan mereka. Setelah merasa nyaman kolong rumah secara perlahan di timbun hingga membentuk tanah buatan yang dapat dibangun rumah beton. Kondisi ini secara umum menggambarkan terjadi pergeseran nilai tradisional masyarakat dalam membangun rumah tempat tinggal (Gambar 8). Suku Bajo di Kecamatan Wangi-wangi Selatan awalnya membangun rumahrumah panggung dengan menggunakan tiang tancap di atas laut, dengan kolong rumah berfungsi sebagai tempat parkir perahu (Gambar 8a). Untuk mengakses daratan atau berkunjung dari rumah kerumah hanya dapat dilakukan dengan menggunakan perahu. Rumah-rumah panggung bertiang kayu yang di bangun di atas laut hanyalah awal dari pembangunan mereka. Ketika merasa nyaman kolong rumah yang dulunya dapat digunakan untuk memancing ikan secara perlahan-lahan di isi dengan karang (Gambar 8b). Kegiatan penimbunan karang di kolong rumah dilakukan seterusnya hingga seluruh kolong rumah terisi oleh karang (Gambar 8d). Berdasarkan hasil wawancara, jika penimbunan dilakukan sendiri biasanya membutuhkan waktu hingga 2 tahun. Namun jika karang di beli biasanya hanya membutuhkan waktu 2-3 minggu. Kolong rumah yang telah terisi sepenuhnya dengan karang nantinya akan dibangun rumah beton yang permanen (Gambar 8c). Masyarakat mengakui bahwa rumah beton yang permanen dianggap lebih nyaman daripada rumah panggung yang terbuat dari papan.
41
a
b
c Gambar 8
d
Pola bentuk perumahan Suku Bajo: (a) Rumah panggung awal pembangunan, (b) Rumah dengan kolong mulai terisi karang, (c) Kondisi rumah dengan kolong penuh terisi karang dan (d) Rumah telah berada di atas tanag hasil reklamasi.
Penjelasan diatas menunjukkan bahwa bentuk perumahan Suku Bajo telah mengalami perubahan dari rumah pancang menjadi rumah beton yang di bangun di atas timbunan karang hasil reklamasi. Selain itu pengakuan dari masyarakat yang lebih memilih rumah beton daripada rumah panggung merupakan salah satu bukti bahwa budaya hidup Suku Bajo telah mengalami pergeseran dari tradisional menjadi masyarakat modern. Jika dianalisis dari aspek budaya, sebenarnya perubahan budaya hidup Suku Bajo merupakan bentuk adaptasi terhadap lingkungan hidup mereka. Ketika mereka menggunakan rumah beton yang permanen, meraka dianggap memiliki status sosial yang lebih tinggi. Menurut pengakuan beberapa responden, masyarakat yang memiliki rumah beton mendapatkan perhatian khusus dari tengkulak ikan. Ketika mereka meminjam uang, masyarakat yang memiliki rumah beton lebih di percaya dan diutamakan. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa
42
budaya
hidup
adalah
suatu
yang
dinamis,
yang
dapat
berubah
untuk
mempertahankan hidup. Perubahan budaya Suku Bajo sebenarnya merupakan hal yang wajar dan bukan merupakan permasalahan dalam pengelolaan kawasan. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah perubahan budaya hidup Suku Bajo dari rumah panggung sampai membuat rumah beton dengan menggunakan karang dari dalam kawasan TNW. Sehingga kegiatan tersebut merupakan suatu yang bermasalah, karena terumbu karang merupakan sumberdaya yang penting untuk dilindungi.
5.4 Lokasi Perlindungan dan Pemanfaatan Sumberdaya Laut 5.4.1
Pengelolaan Zonasi Taman Nasional Wakatobi Undang-undang Republik Indonesia No.5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya pasal 1 ayat 14 menyatakan bahwa taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budaya, pariwisata dan rekreasi. Taman Nasional Wakatobi memiliki 1.390.000 ha yang dibagi kedalam beberapa zona dengan tujuan pengelolaan yang berbeda. Zona inti (ZI) dengan luas 1.300 ha yang diperuntukan untuk perlindungan keanekaragaman hayati asli dan khas. Zona perlindungan bahari (ZPB) dengan luas 36.450 ha merupakan bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung ZI dan ZPL. Zona pariwisata (ZPr) dengan luas 6.180 ha merupakan bagian taman nasional yang dimanfaatkan untuk pariwisata alam dan jasa lingkungan lainnya.
Zona
pemanfaatan lokal (ZPL) dengan luas 804.000 ha merupakan zona yang dapat dimanfaatakan dan dikembangkan secara tradisional oleh masyrakat sekitarnya atau hanya untuk masyarakat lokal. Zona pemanfaatan umum (ZPU) dengan luas 495.700 merupakan zona yang diperuntukan untuk perikanan laut dalam dan dapat dimanfaatkan oleh nelayan secara umum. Selain membentuk zonasi perairan laut, seluruh wilayah daratan dinyatakan sebagai zona khusus (ZK) dengan luas 46.370 ha. Dengan demikian dalam kawasan TNW luas daerah larang ambil yang ditunjukkan dengan warna merah (ZI), biru (ZPB), hijau (ZPr) mencapai 3,16%,
43
sedangkan daerah pemanfaatan yang ditunjukan dengan warna coklat (ZPL) dan warna hijau muda (ZPu) umum 93,50% dan kawasan daratan 3,35% (Lampiran 1). Secara lebih operasional dapat dikatakan bahwa zona-zona yang ada dalam taman nasional adalah unit-unit produksi yang akan menghasilkan satu paket manfaat yang berkaitan dengan tujuan pengelolaan taman nasional yang telah digariskan (Basuni 1987). Walaupun demikian masih banyak terjadi pelanggaran zonasi dalam penggunaan kawasan oleh masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil monitoring Joint Program TNW-TNC WWF yang masih banyak menemukan kegiatan pemanfaatan sumberdaya laut pada zona larang ambi, yaitu pada ZI, ZPb dan ZPr (Gambar 9).
Sumber : Joint Program TNW-TNC WWF 2009
Gambar 9 Peta lokasi pemanfaatan sumberdaya alam Taman Nasional Wakatobi. 5.4.2
Lokasi Perlindungan Sumberdaya Laut Suku Bajo Suku Bajo mengakui bahwa nenek moyang mereka adalah penguasa laut,
yang dikenal dengan nama umbo ma’dilao. Bentuk kepercayaan inilah yang menjadi landasan Suku Bajo untuk membentuk hubungan yang baik dengan laut, salah satunya dengan adanya lokasi-lokasi perlindungan yang di anggap sebagai tempat tinggal umbo ma’dilao. Terdapat tiga lokasi perlindungan sumberdaya laut Suku
44
Bajo Mola, yaitu di ujung Karang Kapota, di depan Pulau Hoga dan perairan dangkal sepanjang pesisir Pulau Wangi-wangi (Gambar 10).
Gambar 10 Lokasi perlindungan sumberdaya laut Suku Bajo Kecamatan Wangiwangi Selatan. Salah satu lokasi perlindungan yang menggunakan istilah bahasa Bajo yang sangat terkenal di kalangan peneliti, pemerintah maupun masyarakat umum adalah Tubba Dikatutuang (Tubba = habitat, tempat hidup, karang ; dikatutuang = disayangi, dipelihara, dirawat). Tubba Dikatutuang merupakan zona yang mirip zona inti dalam skala yang lebih kecil. Di zona tersebut, nelayan tidak diizinkan mengambil segala jenis sumberdaya laut, baik ikan maupun biota lain. Lokasi Tubba Dikatutuang berada pada gugusan karang di sekitar Pulau Hoga dan merupakan salah satu daerah pemijahan ikan. Namun jika ditelusuri lebih jauh ternyata istilah Tubba Dikatutuang merupakan ide konservasi yang awalnya diperkenalkan pada Suku Bajo di Desa Sama Bahari sebagai respon dari hasil penelitian Opwall (Ryha 2008). Lokasi lainnya adalah lokasi perlindungan di Karang Kapota yang dipercaya sebagai tempat nenek moyang mereka. Oleh karena itu setiap musim melaut kekarang tiba akan dilakukan upacara membuka laut.
45
5.4.3 Lokasi Pemanfaatan Sumberdaya Laut Suku Bajo Hasil monitoring yang dilakukan oleh pengelola taman nasional menunjukan masih banyak terjadi pelanggaran zonasi dalam pemanfaatan sumberdaya laut (Lihat Gambar 10). Bila dibandingkan dengan peta lokasi perlindungan Suku Bajo, sebagian besar lokasi perlindungan terjadi pemanfaatan, bahkan Suku Bajo mengakui melakukan pemanfaatan pada daerah-daerah tersebut (Gambar 11). Hasil wawancara dengan masyarakat, sebagian besar kegiatan pemanfaatan sumberdaya laut terkosentrasi pada Karang Kapota dan Karang Kaledupa.
Gambar 11 Lokasi pemanfaatan sumberdaya laut Suku Bajo Kecamatan Wangiwang Selatan. Selanjutnya menurut pengakuan responden, kegiatan nelayan masyarakat pada karang tersebut merupakan kegiatan memancing tradisional dengan menggunakan bubu, panah, jaring. Sedangkan jenis yang dimanfaatkan pada kawasan karang ini adalah ikan karang hidup, gurita, kima dan biota karang lainnya. Berbeda dengan lokasi penangkapan ikan, lokasi penimbunan pasir dan karang tergolong dekat yaitu disekitar pesisir dan karang dangkal. Lokasi
46
pengambilan pasir yang dilakukan oleh Suku Bajo berada di tiga pulau yakni Pulau Osuno, Pulau Otoue dan Pulau Kapota. Pengambilan pasir mulai dari pesisir pantai sampai pada perairan dangkal, dilakukan dengan cara menyelam dan mengangkut pasir ke dalam perahu. Pengambilan karang juga pada perairan dangkal, sebagian besar pengambilan karang terjadi pada Pulau Kapota dan Pulau Usuno.
5.5 Pola Perlindungan dan Pemanfaatan Sumberdaya Laut 5.5.1 Pola Perlindungan Sumberdaya Laut Pola perlindungan sumberdaya laut dilakukan dengan memberlakukan sistem buka tutup kawasan, yaitu pemanfaatan sumberdaya laut dapat dilakukan setelah meminta izin pada penguasa laut dan upacara membuka laut. Namun saat ini telah terjadi pemanfaatan pada lokasi-lokasi perlindungan tanpa melakukan upacara membuka laut untuk meminta ijin pada penguasa laut. Lokasi yang diberlakukan buka tutup kawasan tidak berlaku lagi saat ini, dikarenakan terjadi benturan aturan adat antara Suku Bajo dengan masyarakat adat Wakatobi. Suku Bajo memberlakukan sistem buka tutup kawasan pada kawasan karang pesisir yang memiliki potensi sumberdaya laut bagi kehidupan mereka. Namun kawasan tersebut merupakan wilayah adat masyarakat Wakatobi yang memberlakukan sistem pemanfaatan tanpa batasan. Sehingga persaingan akan sumberdaya laut telah menyebabkan aturan Suku Bajo tidak dilaksanakan oleh masyarakat Bajo. Pola perlindungan lainnya adalah upacara membuka laut untuk melakukan pemanfaatan. kawasan pamali pada Karang Kapota dapat dimanfaatkan ketika upacara membuka laut telah dilakukan. Upacara membuka laut merupakan bentuk upacara meminta izin pada penguasa laut untuk memanfaatkan sumberdaya laut di kawasan karang Kapota dan Karang Kaledupa dalam waktu yang lama. Namun saat ini telah terjadi pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku Bajo tanpa melakukan upacara membuka laut. Hal ini dikarenakan kawasan tersebut merupakan kawasan yang terbuka untuk umum, sehingga masyarakat Wakatobi secara umum dapat melakukan pemanfaatan tanpa menunggu upacara membuka laut dilakukan. Untuk mempertahankan hidupnya, Suku Bajo harus bersaing dengan masyarakat umum dalam memperoleh hasil tangkapan, sehingga apabila mereka menunggu upacara
47
membuka laut dilakukan barulah kegiatan pemanfaatan dilakukan, maka mereka tidak dapat bersaing dengan masyarakat umum. Kondisi inilah yang menyebabkan sebagian besar masyarakat melakukan pemanfaatan tanpa menunggu upacara membuka laut dilakukan. Budaya bersifat dinamis, sehingga dapat berubah demi mempertahankan hidup. Perubahan ini digambarkan Suku Bajo ketika mempertahankan budaya mereka, dikhawatirkan mereka tidak dapat bersaing dengan masyarakat umum untuk memperoleh hasil tangkapan, sehingga kebutuhan hidup mereka tidak akan terpenuhi. Peraturan Suku Bajo tidak dapat diterapkan di dalam wilayah orang lain, sehingga dari segi kelembagaan aturan tersebut tidak memiliki hukum yang kuat. Hal ini dikarenakan seluruh wilayah pesisir Kepulauan Wakatobi merupakan wilayah adat atau milik adat yang di kelola oleh sara. Pulau Wangi-wangi memiliki 4 lembaga adat dengan hak-hak kepemilikan masing-masing, yaitu masyarakat adat Kapota, Liya, Wanci dan Mandati. Suku Bajo sampai saat ini diakui sebagai masyarakat pendatang yang menempati wilayah adat Mandati. Jika dianalisis lebih jauh lagi, sebenarnya Suku Bajo tidak memiliki hak dalam pengelolaan sumberdaya laut di wilayah perairan Wakatobi, karena mereka tidak memiliki hak kepemilikan seperti masyarakat adat lainnya. Inilah salah satu alasan hilangnya pola-pola kearifan tradisional masyarakat. Suku Bajo juga memiliki pola budaya dalam berhubungan dengan laut, salah satunya adalah Maduai Arak, yaitu suatu bentuk upacara yang ditujukan pada penguasa laut. Upacara ini merupakan bentuk upacara untuk mendapat rezeki di laut dan meminta maaf pada penguasa laut. Ritual biasanya dilakukan dengan menghanyutkan sesajian di laut berupa sirih, pinang dan bahan lainnya yang telah di bacakan mantra oleh tokoh-tokoh adat. Menurut pengakuan beberapa responden, bila bahan sesajian tersebut menyebar setelah dihanyutkan maka tidak akan mendapatkan hasil tangkapan yang banyak, namun bila hanyut dalam keadaan menyatu maka akan mendapatkan tangkapan yang banyak. Budaya ini tidak memiliki hubungan dengan konservasi atau tidak memberi dukungan pada kegiatan konservasi. Dapat dikatakan bahwa ritual tersebut tidak memiliki aspek perlindungan dalam pemanfaatan.
48
5.5.2 Pola Pemanfaatan Sumberdaya Laut Pemanfaatan sumberdaya laut yang dilakukan oleh Suku Bajo sangat beragam, karena adanya beberapa kategori nelayan, yaitu nelayan tangkap, nelayan budidaya, nelayan meti-meti, penambang karang dan penambang pasir laut. Pemanfaatan sumberdaya laut yang ditemukan dalam komunitas Suku Bajo Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti diantaranya adalah tuna, ikan hidup, ikan asin, teripang, gurita dan rumput laut. Menurut pengakuan masyarakat semua sjenis ikan laut boleh dimanfatkan asalkan berharga. Pengakuan ini memberikan gambaran bahwa Suku Bajo selalu memanfaatkan apa saja yang bernilai ekonomis. Hal ini dibuktikan dengan wawancara terhadap beberapa masyarakat yang menyatakan bahwa pasir dan karang diambil karena dapat dijual. Hal yang sama dengan kima (Tridacna sp.) yang masih banyak ditemukan dijual di pasar-pasar tradisional. Walaupun masyarakat dapat melakukan pemanfaatan pada semua jenis sumberdaya laut, namun terdapat beberapa target pemanfaatan sumberdaya laut, diantaranya ikan tuna, ikan karang hidup, rumput laut, pasir dan karang. Selain itu terjadi pemanfaatan jenis yang dilindungi seperti kima dan penyu, serta pemanfaatan karang dan pasir laut dengan pola pemanfaatan yang tidak berkelanjutan.
a. Ikan karang hidup Sebagai daerah yang kaya akan terumbu karang, ikan-ikan karang menjadi komoditi yang potensial dan menjadi komoditas laut andalan dari Wakatobi. Ikan karang hidup yang menjadi target pemanfaatan Suku Bajo adalah ikan kerapu dan ikan sunu. Ikan-ikan ini memiliki nilai jual yang sangat tinggi karena merupakan komoditas ekspor. Potensi ikan karang hidup di Mola tergolong tinggi, hasil peneleitian yang dilakukan oleh LIPI tahun 2004 yang melakukan perhitungan dengan informan kunci (tengkulak). Hasil penelitian tersebut mendapatkan angka potensi ikan karang oleh Suku Bajo di Mola dapat mencapai 90–180 ton per tahun (Hidayati et al 2007). Sedangkan berdasarkan informasi dari para responden dalam penelitian ini, hasil tangkapan dalam sekali melaut (10-15 hari) dapat mencapai 50-70 kg. Untuk menangkap ikan dalam kondisi hidup diperlukan pengalaman yang lebih, sehingga kegiatan ini sering dicurigai menggunakan bahan kimia (racun). Hal
49
ini didasarkan pada sejarah awal masyarakat mencari ikan hidup yang diperkenalkan oleh nelayan dari luar dengan menggunakan bahan-bahan tersebut. Selain itu dapat juga dibuktikan dengan hasil patroli pengawasan kawasan yang dilakukan masih menemukan kegiatan penangkapan ikan hidup dengan menggunakan bahan kimia (Lampiran 2).
Sumber: Balai TNW (2009)
Gambar 12 Ikan kerapu salah satu jenis ikan karang hidup target pemanfaatan b. Ikan Tuna Wakatobi merupakan pusat produksi ikan tuna terbesar di Sulawesi Tenggara, dengan wilayah tangkap berada diperairan laut dalam. Wilayah tangkapan bervariasi tergantung armada tangkapan yang digunakan, namun sebagian besar responden mengaku memiliki wilayah jelajah sampai perairan Laut Banda dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Produksi ikan tuna untuk wilayah Mola mencapai 300 ton pertahun, dengan hasil maksimum 300 kg setiap hari dan hasil minimum 200 kg setiap hari atau dengan tangkapan rata-rata 50 kg per armada tangkap (Hidayati et al 2007). Ikan tuna merupakan salah satu sumberdaya yang menjadi sumber pendapatan sebagian besar Suku Bajo, hal ini dikarenakan harga jual ikan tuna yang cukup tinggi. Penangkapan tuna merupakan kegiatan penangkapan yang sebagian besar dilakukan pada laut dalam yang tidak memiliki terumbu karang. Oleh karena itu kegiatan penangkapan tuna merupakan kegiatan yang seharusnya ditingkatkan oleh pemerintah, hal ini dikarenakan penangkapan ikan cenderung ramah lingkungan, karena menggunakan alat tangkap yang tidak merusak dan kegiatan penangkapannya dilakukan dilaut dalam/lepas. Selain itu, nilai ekonomi ikan ini cukup tinggi, sehingga dapat menguntungkan masyarakat.
50
Gambar 13 Ikan tuna gelondongan. c. Budidaya rumput laut Kegiatan budidaya rumput laut merupakan salah satu sumber mata pencarian masyarakat Wakatobi, termasuk Suku Bajodi Mola. Dari sekian pulau di Wakatobi terdapat 5000 ha pesisir yang berpotensi sebagai tempat budidaya rumput laut dan dapat memproduksi rumput laut 3.000-4.000 ton per bulan (Hidayati et al 2007). Rumput laut selain sebagai alternatif sumber mata pencarian, juga dapat berpotensi sebagai objek wisata. Intensitas pemanfaatan rumput laut juga tergolong tinggi dan hampir berjalan sepanjang tahun. Selain itu budidaya rumput laut tidak membutuhkan waktu lama dan kegiatannya torgolong mudah. Lama budidaya rumput laut mulai budidaya sampai panen membutuhkan waktu selama 30-40 hari. Hasil survey dilapangan menemukan 15.71% responden yang memiliki lahan budidaya dengan hasil 200-500 kg setiap kali panen. Bila dikalikan dengan nilai jual rumput laut di Wakatobi saat ini yang mencapai Rp10.500/kg, maka dapat dikatakan kegiatan budidaya rumput laut merupakan sumber ekonomi yang menjanjikan. Hanya saja yang menjadi kendala adalah minimnya lokasi budidaya di Pulau Wangi-wangi menyebabkan Suku Bajo sangat sulit untuk melakukan kegiatan ini, karena seluruh wilayah pesisir yang berada di Wakatobi merupakan wilayah adat masyarakat lokal dan dikelola oleh sara (Hanan 2010).
51
Ganbar 14 Kegiatan pemanenan rumput laut. d. Kima Kima (Tridacna sp.) dikenal sebagai kerang raksasa dan merupakan salah satu hewan laut yang dilindungi di seluruh dunia termasuk Indonesia dan masuk dalam Appediks II dari CITES. Pada tahun 1987 pemerintah Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 12/Kpts/II/1987 yang diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 memasukkan ketujuh jenis kima yang hidup di Indonesia menjadi hewan yang dilindungi. Penetapan tersebut berdasarkan kenyataan bahwa populasi kima di alam sudah sangat menurun terutama disebabkan oleh pemanfaatan manusia. Secara tradisional hewan ini memang dimanfaatkan oleh penduduk di sekitar pantai baik yang digunakan untuk bahan makanan, bahan bangunan, kebutuhan rumah tangga dan sebagai souvenir maupun hewan akuarium yang sangat digemari (Sya’rani 1987 dalam Ambariyanto 2007). Daging kima merupakan bahan makanan yang sangat digemari oleh masyarakat Kepulauan Wakatobi, terutama masyarakat Bajo. Pemanfaatan kima di Wakatobi tergolong bebas, hal ini dibuktikan dengan sangat mudah ditemukannya daging kima segar di beberapa pasar tradisional (Gambar 15), dan diperparah dengan belum adanya larangan dari pemerintah baik taman nasional, pemerintah daerah, maupun BKSDA tentang pemanfaatan dan perdagangan satwa ini. Oleh karena itu diperlukan suatu usaha konservasi melalui sistem pengelolaan populasi kima yang tepat, termasuk didalamnya adalah penegakkan hukum dan peraturan, restoking dan usaha budidaya (Ambariyanto 2007).
52
Gambar 15 Daging kima basah di salah satu pasar tradisional. Secara ekologis, kima sangat penting untuk dilindungi mengingat kima merupakan salah satu organisme laut yang hidup di ekosistem karang. Beberapa spesies kima hidup di substrat pasir sedangkan beberapa jenis lain hidup menempel pada karang, bahkan beberapa spesies membenamkan diri dalam karang (Gambar 16). Pengambilan kima di alam tidak saja akan menurunkan jumlah populasinya di alam, namun juga secara langsung akan merusak ekosistem karang disekitarnya. Sebagai contoh, kima yang hidup menempel atau membenamkan diri pada karang atau yang hidup di sela-sela karang, apabila diambil dapat dipastikan akan merusak karang di sekitar tempat dimana kima tersebut hidup, karena untuk mengambilnya harus membongkar karang tersebut. Sehingga apabila hal tersebut berlangsung secara terus menerus dibanyak tempat, maka akan semakin banyak karang yang rusak.
Sumber: Balai TNW (2009)
Gambar 16 Posisi kima yang melekat pada terumbu karang. Berdasarkan informasi dari beberapa responden kima diperairan Wakatobi tergolong banyak, terutama di Karang Kapota dan Karang Kaledupa. Dalam satu hari melaut biasanya dapat menggumpul kima sebanyak 20-50 ekor. Kegiatan ini
53
merupakan kegiatan yang seharusnya menjadi perhatian dari pemerintah baik pengelola TNW maupun Pemda. Bila dibiarkan terus terjadi memanfaatann jenis yang dilindungi ini, kemungkinan besar jenis ini akan punah. Hal ini dikarenakan aktifitas pemanfaatanya dapat dilakukan sepanjang tahun ( Lihat Tabel 7).
e. Penyu Penyu merupakan salah satu spesies yang menjadi prioritas dalam pengelolaan TNW dan menjadi salah satu spesies prioritas dalam Renstra Kementrian Kehutanan. Dari tujuh jenis yang ada di dunia, Indonesia memiliki enam jenis penyu, dua jenis di antaranya terdapat di Wakatobi yaitu penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) (Balai TNW 2007). Beberapa responden mengakui masih memanfaatkan penyu, namun penyu yang ditangkap adalah penyu yang secara tidak sengaja tersangkut pada jaring mereka bukan sengaja dicari. Penyu dimanfaatkan sebagai bahan makanan oleh Suku Bajo dan masyarakat Wakatobi lainnya. Menurut pengakuan masyarakat, penyu biasanya dijual pada masyarakat darat, baik daging, telur dan cangkang penyu. Sebelum menjualnya, penyu hasil tangkapan masyarakat biasanya dipelihara pada kolong-kolong rumah atau disekitar halaman rumah mereka (Gambar 17). Hasil operasi yang dilakukan pegawai taman nasional pada bulan Juni 2010 menemukan 30 ekor penyu yang dipelihara pada kolong-kolong rumah oleh Suku Bajo di Mola. Dari penyu-penyu tersebut terdapat 24 penyu sisik yang tergolong langka. Temuan ini cukup mengejutkan karena di Wakatobi ternyata banyak juga penyu sisik yang menurut data monitoring jarang ditemukan.
. Gambar 17 Penyu yang dipelihara pada kolong rumah masyarakat.
54
e. Penambangan Karang dan Pasir Pemanfaatan karang oleh Suku Bajo di Kecamatan Wangi-wangi Selatan tergolong tinggi. Selain untuk perkampungan masyarakat, karang saat ini dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan. Seluruh responden memanfaatkan terumbu karang, namun hanya 35,71% responden yang masih melakukan kegiatan penambangan saat ini. Intensitas penambangan karang berjalan setiap hari dengan rata-rata pengambilan 1,5 m3 setiap harinya. Sehingga dari 35,71% responden dapat mengeksploitasi terumbu karang 37,5 m3 setiap harinya. Berdasarkan kalender pemanfaatan pada Tabel 7 kegiatan penambangan merupakan kegiatan yang tidak dipengaruhi oleh musim dan dapat berjalan sepanjang tahun. Sehingga masyarakat dapat mengeksploitasi karang sebesar 1.125 m3 setiap bulannya dan 13.500 m3 di setiap tahunnya. Padahal terumbu karang pesisir memiliki manfaat yang besar untuk perlindungan dari abrasi pantai.
Gambar 18 Kegiatan pengangkutan karang. Kegiatan penambangan karang yang dilakukan Suku Bajo di Mola bukanlah hal yang baru. Kegiatan penambangan telah berjalan lama sebelum taman nasional ditetapkan. Pasir bagi suku Bajo merupakan sumber penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Hal ini dikarenakan masyarakat dan pemerintah daerah memerlukannya untuk pembangunan pemukiman dan infrastruktur pemerintahan lainnya. Sehingga pemanfaatannya tergolong bebas, padahal lokasi pemanfaatannya berada dalam kawasan taman nasional yang pemanfaatannya diatur oleh peraturan perundang-undangan. Intensitas pemanfaatan pasir juga tergolong tinggi dibandingkan dengan pemanfaatan karang. Hasil monitoring yang dilakukan pada lokasi penimbunan pasir di sekitar perkampungan Suku Bajo menemukan 50 perahu pengangkut pasir dan
55
semuanya adalah masyarakat Bajo. Satu perahu dapat mengangkut pasir 0.5-1 m3 dan dapat mengangkut pasir sebanyak 6-7 kali sehari. Berdasarkan perhitungan kasar, dalam satu hari setiap perahu tersebut dapat mengangkut 3 m3 pasir, sehingga untuk 50 perahu dapat mengangkut 150 m3 pasir setiap harinya. Hal yang sama dengan penambangan karang kegiatan penambangan pasir dapat dilakukan sepanjang tahun dan dapat dipastikan berapa besar degradasi pantai akibat penambangan tersebut.
Gambar 19 Kegiatan pengangkutan pasir. Pemanfaatan sumberdaya laut juga dipengaruhi oleh para pedagang pengumpul yang memiliki hubungan sangat baik dengan masyarakat. Pedagang pengumpul biasanya memanfaatkan tradisi hidup masyarakat yang biasa mengambil uang sebelum melaut. Hal seperti ini banyak terjadi di Suku Bajo, Mola dan Suku Bajo lainnya, seperti pada Suku Bajo di Teluk Bone Sulawesi Selatan, inilah yang mengakibatkan ketergantungan sosial dan ekonomi yang sangat tinggi (Saleh 2004). Tengkulak ikan, penampung pasir, karang dan tripang serta pengumpul ikan hidup juga ditemukan di Mola. Kerusakan dan degradasi sumberdaya alam di kawasan TNW berkaitan erat dengan alat tangkap yang digunakan oleh masyarakat. Keberadaan tengkulak sangat menentukan pola pemanfaatan sumberdaya laut, baik dari intensitas pemanfaatan maupun penggunaan alat tangkap. Masyarakat mengakui ketika tidak dapat melaut karena musim ombak, mereka hanya mengandalkan pinjaman dari tengkulak. Kondisi inilah yang menyebabkan masyarakat sangat tergantung dengan keberadaan para tengkulak, karena diiming-iming dengan keuntungan yang besar. Sebagai contoh pada penangkapan ikan hidup, saat ini banyak masyarakat yang beralih profesi ke nelayan ikan karang hidup karena dianggap memiliki keuntungan yang
56
lebih. Padahal kegiatan penangkapannya biasanya menggunakan bahan kimia, tanpa menggunakan bahan kimia sangat sulit untuk menangkap ikan dalam kondisi hidup. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa masyarakat, teridentifikasi jenisjenis alat tangkap yang pernah dan masih digunakan sampai sekarang, yaitu bubu, pancing senar, jaring/lamba, tombak, potasium dan bom.
a. Bubu Sebagian kecil masyarakat menggunakan bubu dasar untuk menangkap ikan di kawasan karang. Sebanyak 15,71% responden mengaku mengoperasikan sekitar 50 bubu dasar di sekitar kawasan karang. Sekali pasang nelayan mengoperasikan 57 buah bubu dengan ukuran (100x50x30) cm di kawasan karang. Agar tidak hanyut bubu tersebut ditindih atau dipagari dengan sekitar 20 bongkahan atau patahan karang yang masih hidup, dengan demikian untuk sekitar 50 bubu diperlukan sekitar 1.000 patahan karang. Bubu dipindah tempatkan selama 2 kali setiap minggunya, berarti selama sebulan bubu dipindah tempatkan sebanyak 8 kali dan membutuhkan 8.000 patahan karang, sehingga dapat dipastikan kegiatan nelayan dengan menggunakan bubu dapat mengancam kelestarian terumbu karang.
Gambar 20 Bubu ikan dasar. b. Pancing senar/tonda Pancing ini digunakan untuk menangkap ikan layang seperti ikan tuna dan cakalang. Pancing tonda merupakan alat pancing yang di buat secara tradisional dengan mengikatkan bulu ayam pada kail. Bulu ayam pada kail tersebut merupakan umpan yang akan digunakan untuk memancing ikan. Umpan tersebut nantinya di ikat dengan tali kemudian di hanyutkan di dalam air dan di tarik menggunakan perahu. Bila di tarik umpan tersebut akan kelihatan berjalan menyerupai ikan-ikan
57
kecil di atas permukaan laut yang nantinya akan dimakan oleh ikan besar. Pancing tonda merupakan alat pancing yang ramah lingkungan dan tidak merusak. Memancing menggunakan pancing dilakukan diperairan dalam dan tidak disekitar karang, sehingga penggunaan pancing ini bukan persoalan bagi pengelola TNW.
Gambar 21 Alat pancing tonda. c. Jaring/lamba Penurunan jumlah ikan di Wakatobi, selain karena metode bom dan bius, juga dikarenakan oleh penggunaan jaring mata kecil. Penurunan ini terlihat pada jumlah ikan karang, bukan ikan laut dalam, karena aktifitas penangkapan ikan paling banyak terjadi di karang sepanjang Wakatobi. Jaring yang digunakan oleh nelayan Bajo rata-rata berdimensi kurang dari 5 cm. Padahal menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor per.08/men/2008 tentang penggunaan alat penangkapan ikan jaring, menyatakan ukuran mata jaring (mesh size) tidak kurang dari 10 cm. Jaring mata kecil merupakan ancaman serius terhadap keberlangsungan ikan karena penggunaannya berdampak negatif yaitu semua ukuran ikan terjaring padahal yang dijual atau dimakan cuma yang berukuran besar. Ikan yang berukuran kecil tidak dimanfaatkan dan dibuang kembali ke laut dalam keadaan mati. Hal ini semakin memperparah penurunan jumlah ikan karena bibit ikan akan ikut terjaring sekalipun tidak dimanfaatkan oleh manusia. Melihat bahwa tingkat ketergantungan, masyarakat Wakatobi terhadap ikan sebagai sumber protein, maka penurunan jumlah ikan merupakan isu yang serius untuk keberlanjutan di masa mendatang. Implikasi yang lebih luas adalah ikan merupakan sumber protein utama untuk masyarakat dunia dan penurunan jumlah
58
ikan dalam skala besar maupun kecil di salah satu area laut akan berdampak pada daerah lain karena lautan merupakan suatu ekosistem besar dimana seluruh bagiannya saling mempengaruhi satu sama lain.
Gambar 22 Jaring sebagai salah satu alat tangkap masyarakat. d. Tombak/panah Tombak atau panah merupakan alat tangkap yang digunakan oleh nelayan untuk menangkap beberapa jenis biota laut seperti gurita dan ikan-ikan karang. Namun akhir-akhir ini terjadi kerusakan karang disekitar Karang Kapota dan Karang Kaledupa akibat penangkapan gurita yang dilakukan dengan merusak terumbu karang (Hidayati et al. 2007). Permasalahan muncul karena cara menggambil gurita dengan mebongkar bongkahan karang, karena biota tersebut bertmpat tinggal atau berlindung di dalam lubang-lubang karang. Panah biasanya digunakan untuk memyungkil dan membongkar karang.
Sumber: Balai TNW( 2008)
Gambar 23 Kegiatan nelayan menggunakan panah. e. Bius/Racun Ikan Penggunaan bahan kimia, khususnya bius dan potas, juga merupakan metode yang populer di kalangan nelayan Wakatobi bahkan masih berlangsung hingga saat ini. Metode ini memberi banyak keuntungan bagi nelayan. Selain hasil yang
59
diperoleh banyak, juga ada manfaat ekstra yaitu ikan yang ditangkap masih dalam keadaan hidup. Ikan yang terkena bius hanya pingsan untuk beberapa waktu dan dapat dijual dengan harga tinggi, khususnya dalam kondisi hidup, di pasar Cina dan Hongkong. Ikan tersebut menjadi menu makan di restoran mewah atau sebagai ikan hias tergantung jenis ikannya. Di sisi lain, penggunaan bahan kimia juga sangat merusak lingkungan khususnya terumbu karang dan dapat dikategorikan sebagai cara yang lebih buruk dari penggunaan bom (Stanley 2005). Bahan kimia yang digunakan dapat menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) tidak hanya disekitar lokasi penggunaannya tetapi di mana saja arus membawa bahan kimia tersebut. Terumbu karang yang langsung terkena bahan kimia akan mengalami pemutihan saat itu juga sementara terumbu karang yang jaraknya lebih jauh akan memutih perlahan-lahan tergantung intensitas terkena bahan kimia (Dahuri 2003). Selain meracuni karang, bahan kimia juga berdampak negatif pada tanaman rumput laut. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa pembiusan jauh lebih berbahaya dampaknya dari pemboman seperti yang disampaikan oleh informan dari taman nasional. Bahan kimia yang digunakan dapat dalam bentuk bubuk dan cair. Salah satu ciri nelayan yang menggunakan bahan kimia cair untuk menangkap ikan adalah mereka selalu memiliki compressor, yaitu alat bantu pernapasan bagi nelayan yang menyelam dan menyemprotkan bahan kimia cair di karang untuk menangkap ikan hias yang bernilai jual tinggi jika diperdagangkan dalam keadaan hidup. Namun hal ini tidak dapat dijadikan patokan karena tidak semua nelayan yang mempunyai compressor terbukti menjalankan praktek pembiusan. Sedangkan bahan kimia dalam bentuk bubuk sering dikaitkan oleh nelayan di mata kail pancingnya. Dengan sedikit goyangan pada kail maka bubuk tersebut akan tersebar dan menyebabkan ikan- ikan disekitarnya pingsan. Hal ini tentu sulit dideteksi oleh polhut yang berpatroli karena secara kasat mata nelayan pengguna bubuk bius sama saja dengan nelayan yang sedang memancing seperti biasa di karang.
60
Sumber :Balai TNW (2008)
Gambar 24 Nelayan menyemprotkan bahan kimia di karang. f. Bom Bom merupakan bahan peledak yang dipergunakan nelayan sejak lama, yang diperkenalkan tentara jepang. Namun beberapa tahun terakhir ini penggunaan bom tidak ditemukan lagi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2006 yang dilakukan oleh COREMAP II, penggunaan bom tidak lagi ditemukan di kawasan TNW. Menurut pengakuan mantan pengguna bom di Desa Mola Utara menggunakan bom akan menghasilkan bunyi
yang besar sehingga bila
menggunakan bom akan sangat dengan mudah di ketahui, berbeda dengan bius yang dapat
digunakan
dengan
diam-diam,
sehingga
masyarakat
banyak
tidak
menggunakannya lagi. Nelayan Bajo Wakatobi diajari menggunakan bom untuk menangkap ikan dalam waktu cepat dan hasil yang banyak guna memenuhi kebutuhan protein tentara Jepang. Pada masa selanjutnya, nelayan semakin menyukai metode ini karena dapat memberi hasil yang banyak, tetapi di lain pihak metode ini sangat merusak karena menghancurkan karang yang ada di sekitar lokasi pengeboman, demikian halnya dengan ikan-ikan dan hewan lain yang ada di sekitarnya padahal tidak semua ikan dan biota lain tersebut dikonsumsi. Ikan yang masih kecil akan terbuang dan tidak dimanfaatkan oleh nelayan. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip keberlanjutan dan menyebabkan berkurangnya cadangan ikan karena banyaknya jumlah ikan yang mati pada satu waktu. Selain itu, hancurnya karang sebagai habitat ikan dan biota lain menyebabkan fungsi ekosistem terganggu dan menjadi tidak seimbang karena ikan dan biota lainnya tidak mempunyai rumah dan sumber cadangan makanan.
61
Sumber : http://3.bp.blogspot.com /GxBAgc8LwqE/s1600/bom.jpg
Gambar 25 Masyarakat yang membom ikan 5.6 Kebutuhan Terumbu Karang dan Implikasinya 5.6.1
Kebutuhan Terumbu Karang Untuk Perkampungan Berdasarkan hasil observasi lapang dan wawancara, rumah Suku Bajo di
Kecamatan Wangi-wangi Selatan rata-rata berukuran 5 x 7 m dengan tinggi kolong rumah mencapai 3-5 m. Sehingga setiap kolong rumahnya rata-rata berukuran 35 m2 dengan tinggi kolong rumah 3 m, maka untuk setiap rumah dibutuhkan karang sebanyak 105 m3. Bila diasumsikan setiap kepala keluarga memiliki satu rumah, maka dengan jumlah 1.846 kepala keluarga yang ada saat ini, akan membutuhkan 193.830 m3 terumbu karang. Lebih banyak lagi ketika masyarakat membangun rumah dengan tinggi kolong rumah 5 m akan membutuhkan 175 m3 karang setiap rumahnya. Jika diasumsikan setiap kepala keluarga memiliki satu rumah, maka dengan jumlah 1.846 kepala keluarga yang ada saat ini akan membutuhkan 323.050 m3 karang. Berdasarkan komposisi umur penduduk masyarakat yang berusia 0-24 tahun sangat tinggi, sebanyak 51,89% dari jumlah penduduk Suku Bajo. Desa Mola Utara kelompok umur tersebut berjumlah 398 jiwa, yang terdiri dari 201 laki-laki dan 197 perempuan. Sedangkan Desa Nelayan Bakti berjumlah 760 jiwa yang terdiri dari 372 laki-laki dan 388 perempuan. Berdasarkan data kelompok umur tersebut terlihat bahwa perbandingan antara laki-laki dan perempuan tergolong seimbang, yaitu hampir 1 : 1. Jika diasumsikan kelompok umur ini akan berkeluarga dan bertempat tinggal di Mola dengan membentuk perumahan, maka dari kelompok umur tersebut akan terbentuk 197 kepala keluarga untuk Desa Mola Utara dan 372 kepala keluarga untuk Desa Mola Nelayan Bakti. Sehingga akan terbentuk 197 perumahan baru di
62
Desa Mola Utara dengan luas areal 6.895 m2 dan 327 perumahan baru pada Desa Mola Nelayan Bakti dengan luas areal 11.445 m2. Jika bentuk perumahan nantinya dibangun seperti yang dijelaskan sebelumnya dengan asumsi luasan yang sama yaitu 35 m2, maka akan membutuhkan 20.685 m3 karang untuk Desa Mola Utara dan 34.335 m3 karang untuk Desa Mola Nelayan Bakti bila rumah masyarakat di bangun dengan tinggi kolong rumah 3 m. Sedangkan jika masyarakat membangun perumahan dengan tinggi kolong rumah 5 m pastinya akan membutuhkan karang yang lebih banyak lagi. Kebutuhan karang untuk perkampungan masyarakat dipastikan akan tergolong tinggi pada 10-20 tahun ke depan. Hal ini dikarenakan usia muda (0-24 tahun) yang mendominasi kelas umur masyarakat berpotensi menghasilkan generasi baru yang berpotensi membangun perumahan baru dan nantinya akan membutuhkan lebih banyak karang lagi. Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa pergeseran nilai tradisional akan menimbulkan kerusakan yang berarti, dan bukan hal yang mustahil bila kegiatan tersebut tetap terumbu karang Wakatobi yang menjadi coral triangle centre lama kelamaan akan habis. 5.6.2 Implikasi Kerusakan Terumbu Karang Menurut Dahuri et al. (1996) terumbu karang merupakan ekosistem pesisir dan lautan yang tidak bisa dipisahkan dengan ekosistem lainnya secara ekologis. Oleh karena itu, pertimbangan ekologi menjadi penting untuk keseimbangan ekosistem terumbu karang sendiri maupun ekosistem lainnya. Pada ekosistem terumbu karang berbagai aktivitas biota terjadi, seperti memijah, mangasuh, mencari makan dan sebagainnya. Aktivitas ini akan menyuplai berbagai biota dalam hubungan ekosistem pesisir dan laut, yang juga akan menyuplai sumber pangan untuk kebutuhan manusia (Supriharyono 2000).
Terumbu karang juga sangat
berperan dalam melindungi pesisir pantai dari hantaman ombak dan arus laut. Oleh karena itu kerusakan terumbu karang akan menimbulkan dampak yang besar terhadap ekosistem bahwa laut dan kawasan pesisir lainnya. Sebagai contoh rusaknya terumbu karang di Bali menghabiskan 1 juta dollar AS untuk perlindungan 500 m garis pantai (Cesar 2000 dalam Kordi 2010). Rusaknya terumbu karang memiliki dampak ekonomi
yaitu
akan
menurunkan potensi ikan karang, penurunan pengunjung wisata dan penurunan
63
potensi biota karang lainnya. Nilai perikanan terumbu karang Indonesia diperkirakan mencapai US$ 70.000 per km2. Sedangkan nilai untuk 1 km2 terumbu karang di Lombok dapat mencapai US$ 1 juta per km2 (Cesar 1996 dalam Kordi 2010). Jika dilihat dari aspek sosial, kerusakan terumbu karang akan menurunkan potensi ikan karang yang merupakan sumber pakan utama masyarakat Wakatobi, dengan keadaan sehat terumbu karang dapat menghasilkan 15-36 ton/km2 ikan setiap tahunnya (Murdiyanto 2003). Penjelasan di atas memberikan gambaran betapa pentingnya ekosistem terumbu karang bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu diperlukan suatu bentuk pengelolaan untuk mengatasi kerusakan terumbu karang di Wakatobi. Peran pemerintah daerah dan Balai TNW sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi dampak kerusakan, sehingga keberlanjutannya tetap terjaga.
5.7
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pergeseran Nilai Tradisional Suku Bajo
5.7.1 Aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya Perubahan nilai tradisional Suku Bajo merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi degradasi sumberdaya laut Wakatobi. Bila dikaji dari aspek sosial, kondisi penduduk merupakan salah satu faktor penyebab pergeseran nilai tersebut. Penduduk Suku Bajo di Mola tergolong tinggi bila dibandingkan dengan penduduk lain di Kecamatan Wangi-wangi Selatan. Semakin tinggi jumlah penduduk, kebutuhan akan sumberdaya semakin tinggi, sehingga intensitas interaksi dengan sumberdaya alam semakin tinggi yang akan menyebabkan tingkat persaingan untuk memperolah sumberdaya laut. Sebagai contoh, masyarakat mengakui melaut kekarang telah dilakukan walaupun upacara membuka laut belum dilakukan. Padahal ritual membuka laut merupakan suatu bentuk permohonan ijin kepada penguasa laut atau nenek moyang orang Bajo yang menempati kawasan karang yang menjadi lokasi-loaksi perlindungan. Hilangnya pola perlindungan sumberdaya laut mengindikasikan bahwa saat ini tidak terjadi batasan dalam pemanfaatan sumberdaya laut, yang berarti intensitas pemafaatan nantinya akan tergolong tinggi, sehingga ancaman kerusakan akan tinggi. Selain itu, pola hidup tradisional dengan menggunakan rumah-rumah tancap di atas laut yang merupakan tradisi hidup Suku Bajo di anggap tidak lagi
64
memberikan kenyamanan. Masyarakat mengakui bahwa rumah yang terbuat dari beton lebih nyaman daripada rumah panggung. Hal inilah yang menyebabkan perkampungan Suku Bajo di Mola sebagian besar telah berada di atas tanah buatan hasil reklamasi dengan menggunakan terumbu karang. Jika keadaan ini tidak diantisipasi oleh pemerintah daerah maupun taman nasional, kerusakan karang kedepannya akan semakin tinggi, sehingga akan menurunkan potensi perikanan Wakatobi. Faktor lain yang mempengaruhi adalah tingkat pendapatan masyarakat yang hanya berasal dari sumberdaya laut dan tidak memiliki alternatif pemanfaatan pengganti selain melaut. Padahal kegiatan melaut sangat dipengaruhi oleh musim, sehingga jumlah pendapatan masyarakat sangat tidak menentu. Setiap modal dasar untuk melaut seperti, alat pancing, bahan bakar dan peralatan lainnya harus di peroleh dengan cara berhutang. Ketergantungan Suku Bajo terhadap tengkulak juga sangat mempengaruhi perilaku pemanfaatan sumberdaya laut masyarakat. Para tengkulak dapat memberikan pinjaman uang yang dibutuhkan oleh masyarakat kapanpun, sehingga masyarakat sangat bergantung dengan mereka. Beberapa responden menyatakan bahwa hasil tangkapan mereka biasanya tidak mencukupi untuk melunasi hutang mereka. Faktor budaya yang mempengaruhi hilangnya nilai tradisional perlindungan sumberdaya laut adalah benturan budaya antara Suku Bajo dengan masyarakat asli Wakatobi. Suku Bajo bukan masyarakat adat di Kepulauan Wakatobi dan diakui oleh masyarakat adat sebagai masyarakat pendatang yang tidak memiliki wilayah kekuasaan. Sehinga segala hal yang berkaitan dengan aturan adat yang diberlakukan oleh Suku Bajo tidak berlaku untuk masyarakat adat di Wakatobi. Bahkan sering terjadi konflik antara Suku Bajo dengan masyarakat adat Liya. 5.7.1
Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi merupakan salah satu kabupaten yang baru melakukan
pemekaran, sehingga membutuhkan pembangunan di berbagai sektor. Pembangunan pemerintah daerah sebagian besar membutuhkan sumberdaya dari dalam kawasan TNW, hal ini dikarenakan luas kawasan taman nasional sama dengan luas kabupaten. Penetapan kawasan menjadi taman nasional memberikan perlindungan
65
terhadap sumberdaya laut yang esensial, salah satunya terumbu karang. Namun sebagai daerah yang baru melakukan pemekaran pastinya membutuhkan pembangunan yang luar biasa baik dari bentuk infrastruktur maupun pembangunan ekonomi. Padahal taman nasional membutuhkan semangat pengelolaan yang lebih membutuhkan dukungan finansial daripada menghasilkan keuntungan yang bersifat money oriented agaknya kontradiktif dengan semangat daerah yang lebih berorientasi kepada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Soekmadi 2000). Hasil pengamatan dan wawancara, sampai saat ini pembangunan infrastruktur kabupaten masih menggunakan karang dari dalam kawasan taman nasional
yang seharusnya dilindungi oleh pemerintah. Dengan demikian
pembangunan yang saat ini diterapkan oleh Kabupaten Wakatobi bertentangan dengan konsep pengelolaan taman nasional. Kebutuhan sumberdaya laut sebagai bahan pembangunan daerah secara tidak langsung memberi keuntungan kepada masyarakat Bajo, salah satunya dengan melakukan penambangan. Suku Bajo merupakan salah satu komunitas penduduk di Kepulauan Wakatobi yang berpotensi menggunakan sumberdaya alam laut dalam menentukan pembangunan, terutama dalam pembangunan perkampungan mereka. Kegiatan Suku Bajo membentuk perkampungan dengan mengeksploitasi batu karang telah melenceng dari konsep pembangunan dan sangat bertentangan dengan peraturan pengelolaan TNW. Di lain pihak, pemerintah daerah terkesan menyetujui pembangunan ini, padahal terumbu karang merupakan salah satu sumberdaya penting target pengelolaan TNW. Terbukti dengan bantuan yang diberikan oleh pemerintah daerah berupa linggis (alat untuk menyungkil karang) pada Suku Bajo yang secara tidak langsung mensuport kegiatan eksploitasi terumbu karang Kepulauan Wakatobi. Untuk menghindari konflik antara masyarakat dengan TNW seharusnya pembangunan pemerintah daerah harus disesuaikan dengan peraturan formal taman nasional. Akomodasi kepentingan masyarakat oleh pemerintah daerah dalam penggunaan lahan di kawasan lindung sering berakar pada konflik, karenanya kesepakatan penataan kepentingan pemerintah daerah harus diikuti secara tegas oleh penegakan fungsi taman nasional oleh negara (Setyadi 2006). Degradasi sumberdaya pesisir dan laut Kepulauan Wakatobi merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Selain memiliki peran yang besar terhadap
66
perwakilan ekologi laut Banda dan Flores, sumberdaya laut Wakatobi secara turuntemurun merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat. Oleh karena itu, sangat diperlukan dukungan dari pemerintah daerah maupun Balai TNW dalam melestarikan kawasan ini. Antara pemerintah daerah dan Balai TNW seharusnya memiliki tujuan yang sama dalam menentukan arah pengelolaan, walaupun di antara keduanya terdapat perbedaan tujuan pngelolaan.
67
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai pergeseran nilai-nilai tradisional dan perlindungan pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku Bajo dalam perspektif pengelolaan TNW, dapat disimpulkan: 1. Lokasi perlindungan sumberdaya laut Suku Bajo Mola, yaitu pada zona pemanfaatan lokal di ujung Karang Kapota, zona perlindungan bahari di depan Pulau Hoga dan zona pemanfaatan lokal pada perairan dangkal sepanjang pesisir Pulau Wangi-wangi. 2. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya laut Suku Bajo sebagian besar dilakukan pada kawasan larangan ambil (Marine Protected Area) pada zona pariwisata dan zona perlindungan bahari di Karang Kapota dan Karang Kaledupa. 3. Pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku Bajo telah mengalami pergeseran yang diindikasikan oleh: a) Tidak berlakunya sistem buka tutup kawasan, terjadi pemanfaatan jenis yang dilindungi dan penggunaan alat tangkap yang bertentangan dengan peraturan pengelolaan taman nasional. b) Pembangunan perumahan yang menggunaan karang sebagai landasan dan fondasi dasar rumah permanen. c) Sebagian besar masyarakat tidak lagi menggunakan peralatan tangkap tradisional. 4. Perilaku pemanfaatan yang bersifat eksploitatif dan hilangnya pola perlindungan sumberdaya laut oleh Suku Bajo dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: a) Faktor Sosial : Bentuk pemukiman permanen dianggap lebih nyaman dan memiliki status sosial yang lebih tinggi. Selain itu, pandangan hidup Suku Bajo bahwa jumlah anak berkorelasi positif dengan pendapatan. b) Faktor Ekonomi : Permintaan pasar akan jenis-jenis yang dilindungi serta penggunaan karang sebagai bahan bangunan relatif tinggi.
68
c) Faktor Budaya : Aturan tradisional dalam pemanfaatan sumberdaya laut yang
tidak
kompatibel
dengan
aturan
tradisional
pemanfaatan
sumberdaya laut oleh masyarakat adat.
6.2 Saran Upaya pelestarian keanekaragaman laut Kepulauan Wakatobi sangat penting untuk dilestarikan, oleh karena itu sangat penting untuk diperhatikan saran berikut: 1. Perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai dampak kegiatan penambangan karang untuk perkampungan masyarakat terhadap aspek lingkungan, sosial dan ekonomi. 2. Mengevaluasi izin usaha perikanan dan pengawasan yang lebih terhadap perizinan usaha perikanan oleh pemerintah daerah. 3. Pemerintah Daerah perlu menyediakan pasar hasil masyarakat yang dapat bersaing dengan tengkulak-tengkulak ikan, sehingga masyarakat tidak selalu tergantung pada tengkulak ikan. 4. Pemberlakuan
program
dipertimbangkan
oleh
keluarga
berencana
pada
Suku
pemerintah
daerah,
sebagai
Bajoperlu
uspaya
untuk
mengantisipasi ledakan jumlah penduduk. 5. Monitoring
jenis-jenis
yang
dilindungi
yang
dimanfaatkan
dan
diperdagangkan oleh masyarakat secara umum perlu ditingkatkan oleh Balai TNW, Balai KSDA dan pemerintah daerah.
69
DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS. 1987. Manfaat taman nasional bagi masyarakat di sekitarnya. Media Konservasi Vol I (3) 13-19. Ambariyanto. 2007. Pengelolaan kima di indonesia: Menuju budidaya berbasis konservasi [Skripsi]. Semarang: Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan, Universitas Diponegoro Anonim. 1990. Undang-undang RI No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. http://www.dephut.go.id/files/UNDANGUNDANG%20REPUBLIK %20INDONESIA%20NOMOR%205%20TAHUN%201990.pdf [28 april 2010] [BPS]. Biro Pusat Statistika Kabupaten Wakatobi. 2010. Laporan Hasil Proyeksi SUPAS (BPS Kabupaten Wakatobi) dan registrasi penduduk 2010. Wangi-wangi: BPS Wakatobi [Balai TNW] Balai Taman Nasional Wakatobi. 2007. Data Base Taman Nasional Wakatobi. Bau-bau: Balai TNW. [Balai TNW] Balai Taman Nasional Wakatobi. 2008. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wakatobi Periode Tahun 1998 – 2023 (Revisi Tahun 2008). Bau-bau: Balai TNW Basko R. E. 2002. Hak-hak masyarakat adat dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam. Jakarta: Lembaga Study dan Advokasi Masyarakat Basuni S. 1987. Konsep pengaturan sumberdaya taman nasional. Media Konservasi Vol. I (3) Dahuri R., J. Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Penglolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. Dahuri R.. 2003. Keanekaragam Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakrta: Gramedia Pustaka Utama. Dewanto H. 2010. Perubahan sosial: Wajah baru suku bajo wakatobi http://travel.kompas.com/read/2010/06/29/03004435/Wajah.Baru.Suk u.Bajo.Wakatobi [Donlowad [29 Juni 2010] Hanan MS. 2010. Kajian Strategi Pengelolaan Sumberdaya Laut Oleh Masyarakat Adat Dalam Kawasan Taman Nasional Wakatobi [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
70
Hasan MI. 2002. Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hermianto dan Minarno. 2009. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara. Hidayati D., Ngadi., Dalio.,editor. 2007. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II: Kasus Kabupaten Wakatobi. Jakarta: COREMAP II-LIPPI. Idrus M. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial. Jakarta: Erlangga. Keraf AS. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas. Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Kordi K.G.H. 2010. Ekosisitem Terumbu Karang : Potensi, Fungsi dan Pengelolaan. Jakarta: Rineka Cipta. MacKinon J. 1982. Guedeline For Development of Conservation Bufer Zone and Enclave. Bogor: PPA. WWF. FOA. Mitchell B., Setiawan B., Rahmi DH. 2007. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Murdiyanto B. 2003. Mengenal, Memelihara dan Melestarikan Ekosisitem Terumbu Karang. Jakarta. COFISH Project. Nagib L., Purwaningsih SS.,editor. 2002. Data Dasar Aspek Sosoial Terumbu Karang Indonesia, Studi Kasusu : Desa Sama Bahari, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Jakarta. COREMAP-LIPI. Nopandry B. 2007. Hutan Untuk Masyarakat; Pemanfaatan Lestari Hutan Konservasi. Buletin Konservasi Alam Dirjen PHKA vol.7(1):4-8. Ryha S. 2008. Persepsi stakeholder terhadap Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir di kabupaten wakatobi, sulawesi tenggara (studi kasus desa mola selatan, sama bahari dan lamanggau) [skripsi]. Yogyakarta: Program Sarjana Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada Saleh S. 2004. Pengetahuan Lokal Orang Bajo Dalam Pengelolaan Dan Pelestarian Sumberdaya Laut di Kelurahan Bajoe, Kec. Tanete Riatang Timur, Kab. Bone [Tesisi]. Makasar: Program Pasca Sarjana Universitas Hasanudin Saad S. 2009. Bajo Berumah di Laut Nusantara. Jakarta: COREMAP 11.
71
Schwartz, S. H. 1994. Are There Universal Aspects in the Structure and Contents of Human Values. Journal of Social Issues, 50, 19-46 Setyadi A. 2006. Kemitraan dalam Pengelolaan Taman Nasional: Pelajaran Untuk Transformasi Kebijakan. Jakarta: WWF Indonesia dan Dephut. Sirait M., Chip Fay dan A.Kusworo. 2001. Hak-hak Masyarakat Hukum Adat dalam Mengelola Sumber Daya Alam. Jakarta: IKRAF. Soekmadi R. 2000. Pengelolaan Taman Nasional dalam Prespektif Otonomi Daerah. Makalah dalam Seminar Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Cabang Gontitingen, Jerman : Diselenggarakan di Tropenzentrum, 22 Juni 2009. Soemarwoto O. 1994. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta : Djambatan. Supriatna J. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta: Djambatan Stanley CL. 2005. Sikap-sikap dan Kesadaran Orang Bajo Terhadap Lingkungan Hidup dan Konservasi. Study Kasus: Kampung Sampela, Taman Nasional Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Malang: Program Penelitian Lapang Universitas Muhadiyah Malang. Thompson S. 2003. Penguatan Hukum Adat, HAM, dan Pluralisme. Institute For Research And Empowerment. Yokyakarta. http://www.ireyogya.org/adat/penguatan.htm [Download 29 April 2010]
72
73
Lampiran 1. Peta Zonasi Kawasan Taman Nasional Wakatobi
74
REKAP EXTRA VONIS KASUS TAMAN NASIONAL WAKATOBI TAHUN 2003 S/D 2008 Tanggal
PelaNggaran
Pelaku
Sangsi
1
No
April 2003
1 (satu) Kali Penangkapan ikan dengan bahan peledak
2 orang : (Din bin Anto dan Supardi bin Kumanto) asal Kec. Soropia Kab. Kendari
Telah dilakukan penahanan terhadap tersangka dan penyitaan barang bukti. Serta telah dilakukan penyidikan
2
Juli 2003
1 (satu) Kali Penangkapan ikan dengan bahan peledak
1 Orang: (H. Adam) asal Kec. Soropia Kab. Kendari
Telah dilakukan penahanan terhadap tersangka dan penyitaan barang bukti. Serta telah dilakukan penyidikan
3
September 2003
1 (satu) Kali Penangkapan ikan dengan bahan peledak
7 Orang (Hamid bin Gait Hamid; Bahrin bin Admin; Guslan bin Tinulu; Nahar bin Mattasi; Hasan bin Pimin; Nongsa bin Sukur; Yaumil bin Alamin) asal Kec. Maumere, Kab. Sika. NTT
Telah dilakukan penahanan terhadap tersangka dan penyitaan barang bukti. Serta telah dilakukan penyidikan
1 (satu) Kali
6 Orang (Azis bin Jimpe Iskandar;
Telah dilakukan
4
Keteranagan Berdasarkan Penyidikan, kasus yang ditangani tidak cukup barang bukti sehingga dibebaskan. Sempat menjadi tahanan Polsek Tomia selama 7 hari. Oleh penyidik dilakukan penangguhan penahanan dan barang bukti (kapal) dititip kepada tersangka. Berkas penyidikan perkara telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Bau-Bau. Dan berdasarkan anlisa kejaksaan, berkas yang ada masih perlu perbaikan oleh penyidik shingga dikembalikan. Sementara masih dalam proses perbaikan berkas, yang bersangkutan (H. Adam) telah ditangkap lagi di kawasan TNKW dengan kasus yang sama, pada bulan Nopember 2003. 7 orang divonis 1 tahun dan 3 bulan kurungan (Keterangan/Ekstra Vonis No. 268/Pid.B/2003/PN.BB Tgl. 16 Maret 2004
4 Orang divonis 1 tahun dan 1bulan
75
Oktober 2003
Penangkapan ikan dengan bahan peledak
Hamrin bin Makin; Rusman bin Mdoyo; Darlias alias Heri bin Akise Suadin alias Saonga bin Benggal, Mansyur bin Dudin) Asal Kec. Soropia Kab. Kendari
penahanan terhadap tersangka dan penyitaan barang bukti. Serta telah dilakukan penyidikan
5
Nopember 2003
1 (satu) kali Penangkapan ikan dengan bahan peledak
3 orang (Rahasing, Tuga, La Tatiga,) asal desa Mola Selatan, Kec. WangiWangi, Kab. Buton
6
Nopember
1 (satu) kali Penangkapan ikan dengan bahan peledak
3 orang (Bahar, Munir dan Arfan) asal desa Saponda, Kec. Soropia, Kab. Kendari.
Telah dilakukan penahanan terhadap tersangka dan penyitaan barang bukti. Serta telah dilakukan penyidikan Telah dilakukan penahanan terhadap tersangka dan penyitaan barang bukti.
7
Nopember 2003
1 (satu) kali Penangkapan ikan dengan bahan peledak
3 orang (Harun, Bimbin dan Jaka) asal desa Mola Selatan, Kec. WangiWangi, Kab. Buton
Telah dilakukan penahanan terhadap tersangka dan penyitaan barang bukti. Serta telah dilakukan penyidikan
kurungan oleh Pengadilan Negeri Bau-Bau. (keterangan/Eksptra Vonis No. 286/Pid.B/ 2003/PN.BB Tgl. 26 Januari 2004) 2 Orang di vonis 1 tahun 0 bulan kurungan oleh Pengadilan Negeri bau-Bau. (keterangan/Eksptra Vonis No. 258/Ket.Pid/B/ 2003/PN.BB Tgl. 15 Desember 2003) Masing -masing di vonis 10 bulan kurungan oleh Pengadilan Negeri bau-Bau. (keterangan/Eksptra Vonis No. 42/Ket.Pid/B/ 2004/PN.BB Tgl. 28 April 2004) Masing -masing di vonis 10 bulan kurungan oleh Pengadilan Negeri Bau-Bau. (keterangan/Eksptra Vonis No. 38/Ket.Pid/B/ 2004/PN.BB Tgl. 13 Mei 2004) Masing -masing di vonis 10 bulan kurungan oleh Pengadilan Negeri Bau-Bau. (keterangan/Eksptra Vonis No. 34/Ket.Pid/B/ 2004/PN.BB Tgl. 28 April 2004)
76
8
Nopember 2003
1 (satu) kali Penangkapan Penyu
9
November 2003
2 (dua) kali Penangkapan ikan dengan bahan peledak
10
11
9 Juni 2004
14 Juli 2004
Penangkapan ikan dengan bahan peledak
1 orang (La Abi) asal Mantigola, Kec Kaledupa, Kab. Buton 10 Orang (H. Adam; Edi; Alami; Idris; Jafar; Aco; Saulaiman; Bardin; Jalali; dan Tamrin) asal Desa Bokori, Kec. Soropia, Kab. Kedari. 6 orang (Asal Soropia : Herman bin La Samang, Rahim, Zainal. Asal Mola Selatan : Aziz, Lili, Kusma
penampungan Penyu Hj. Sabariah (Mola Utara) – Hijau (Chelonia Nyoman Sugira alias Ciu, Mydas)
Pembinaan oleh Petugas
Barang bukti (penyu hijau 3 ekor) dilepas kembali.
Telah dilakukan penahanan terhadap tersangka dan penyitaan barang bukti. Serta telah dilakukan penyidikan
H. Adam ditangkap untuk kedua kalinya dengan kasus yang sama Berkas penyidikan perkara telah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Bau-Bau.
Telah dilakukan penahanan terhadap tersangka dan penyitaan barang bukti. Serta telah dilakukan penyidikan. Pada bulan Oktober 2004 telah sampai pada tahap peradilan di Pengadilan Negeri Bau-Bau
•
• •
• •
Penyu hijau diamankan, • 13 Agustus 2004 dilakukan penglepasan Penyu Hijau
tempat kejadian : karang kapota, Vonis: 8 (delapan) bulan Telah diputuskan pada tgl 15 Sept 2004 berdasarkan surat Keterangan(extract Vonnis) No. 168/Ket. Pid/B/2004/PN.BB : penahanan an. Herman Bin La Samang, Rahim Bin Alimuddin dan Zainal Bin Musalang. Telah diputuskan pada tgl 15 Sept 2004 berdasarkan surat Keterangan (extract Vonnis) No. 169/Ket.Pid/B/2004/PN.BB : penahanan an. Aziz, Lili dan Kusman di desa Mola Utara dan Desa Mola Selatan Kecamatan Wangi-Wangi Selatan
77
12
3 September 2004
Penangkapan terhadap nelayan ikan hias karena tidak memiliki dokumen/izin resmi Penangkapan terhadap Lobsterhasil tangkapan, penangkapan terhadap nelayan teripang saat mereka menggunakan kompresor dan tidak dilengkapi surat izin, Penangkapan ikan hias
Nelayan berasal dari Bali sebanyak 18 orang
13
4 September 2004
14
27 September 2004
15
19 Januari 2005
Penangkapan ikan La Cong bin Macci Dik bin La Cong menggunakan bahan peledak
Kasus tersebut dilimpahkan ke Polsek Wangi-Wangi
16
20 Juni 2005
Penangkapan ikan Dengan menggunakan Potasium Cyanida
Kasus dilimpahkan ke Polsek Tomia.
a.n Hj. Sabariah dengan menggunakan kapal Rika Saputra dengan Kapten Iskandar, asal Mantigola Kaledupa, nelayan tersebut menggunakan kapal Bintang Timur dan KM Kumala Sari asal Madura,
Pembinaan terhadap pelaku dan alat-alat yang digunakan diamankan sebagai bukti untuk proses lebih lanjut Tindakan yang diambil masih tahap pembinaan nelayan diarahkan untuk tidakmelakukan aktifitas yang tidak dilengkapi dengan izin yang jelas
Nelayan dari Bulelebg, Bali 21 orang Tindakan yang diambil dengan kapal Lautan Emas adalah pembinaan terhadap nelayan
Tabutti, Kullu, Hakir
Karang Kaledupa
lobster yang kecil di kembalikan ke alam kemudian dibuat berita acara pelepasan.
Lokasi di Karang Mari Mabuk Barang bukti dilepaskan oleh Camat dan Polsek Tomia
Penahanan 10 (sepuluh) bulan pidana penjara dengan extract vonis 84/Ket.Pid/PN.BB tanggal 26 april 2005. Berkas Perkara dinyatakan P 19 dan dikembalikan kepenyidik Polsek Tomia
78
17
29 September 2005
Penangkapan ikan Dengan menggunakan Potasium Cyanida
- Jumardin, Tahir, La Mane, La ili, Tono, Mbato, Jupeg, Hengki, Ahmad.
Kasus dilimpahkan ke Polres Wakatobi
18
24 April 2006
Menangkap dan memperjual belikan daging penyu
H.Asmawi, H. Kasim
Kasus dilimpahkan ke Polres Wakatobi
19
20 Mei 2006
Menangkap ikan Dengan menggunakan bahan peledak.
Subardin, Darlin, Maslin, Supirman, Subir, Nurlang, Paul, Uwing, Tamrin, Muliadi, Aska, La Salidi, Poo, Jasi, Ngawi.
Kasus dilimpahkan ke Polsek Tomia
20
24 Oktober 2006
Roni Pongo, F.Tulunde,Bastom Parned,Herlin,Yusran
21
23 Januari 2007
22
10 Maret 2008
Melakukan aktifitas di zona inti Taman Nasional Wakatobi Penangkapan ikan dengan menggunakan Potasium Cyanida Pasal 78 ayat (6) jo. Pasal 50 ayat (3 ) huruf h UU.No. 41
Gleon Dilakukan Pembinaan
Ambo bin Wahid, Amrin Bin La Sima
Kasus dilimpahkan Ke Polsek Tomia
1. La gani bin La Tayip, Umur 71 Tahun, Janis Kelamin Laki-laki, Pekerjaan Nelayan, Agama
Masih dalam proses penyidikan oleh PPNS dengan Penyidik POLRI
2 Bulan 20 hari pidana penjara dan denda Rp.300.000,- Subs 1 bulan Kurungan Penjara ( Jumardin cs) 3 Bulan Penjara Subs 1 bulan kurungan ( La Mane) 4 Bulan Pidana penjara (Hengky cs) 10 Bulan Pidana penjara, denda Rp.500.000,Berkas perkara dinyatakan P21, tahap ke 2 belum dilaksanakan Vonis Dsrlin Subir dan Aska, 1 tahun 2 bulan Pidana Penjara, Extract Vonis Darlin Cs,218/Ket.Pud/B/2006/PN.BB Tanggal 16 Agustus 2006 Vonis 1 tahun Pidana penjara, denda Rp.200.000,-
Sidang I Tanggal 22 Mei 2007.
Kayu Palapi dan Tahimanu (Bhs. Daerah) berukuran : 2x25x400=152 ptg.
79
Tahun 1999 tentang Kehutanan
Islam, Alamat Desa Limboto Kec. Kaledupa Kab. Wakatobi Pada Hari Senin 2. Lelaki Ismit Maruapey alias La tanggal 10 Maret Imi bin La Tasiman, Umur 28 2008 sekitar jam Tahun, Janis Kelamin Lakilaki, 06.00 Wita. Tim Pekerjaan Nelayan, Agama Patroli (Polhut Islam, Alamat Kel. Ambeua, BTNW bersama Kec. Kaledupa Kab. Wakatobi beberapa anggota 3. Lelaki La Mbosi Bin La Nini, SPORC Brigade Umur 63 Tahun, Janis Kelamin Anoa) menemukan 1 Laki-laki, Balasuna, Kec. kapal Kaledupa Kab. Wakatobi yang sedang menuju Desa Buranga dengan bermuatan kayu olahan 6,369 M3 yang tidak dilengkapi dengan dokumen sah.
setempat sebagai Korwas.
8x12x400=52 ptg. 3x25x400=35 ptg. 3x 5x400=2 ptg. Satu buah kapal dengan nama KM. Cinta Damai
80
Lampiran 3. Struktur Organisasi Balai TNW
Kepala Balai
Sub Bagian TU
Seksi Pengelolaan TN Wil. 1 Wanci
Seksi Pengelolaan TN Wil. 11 Ambeua
Kelompok Jabatan Fungsional
Seksi Pengelolaan TN Wil. 111 Waha
81
Lampiran 4. Foto-foto hasil temuan di lapang
Kegiatan pengangkutan karang disekitar perkampungan masyarakat Bajo di Mola
Lokasi penngumpulan pasir sementara, di sekitar perkampungan masyarakat Bajo di Mola
82
Terdapat 5 ekor penyu dikolong salah satu rumah masyarakat
Daging kima hasil tangkapan masyarakat