PENGARUH MODERNISASI TERHADAP KEARIFAN LOKAL SUKU BAJO DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA HAYATI LAUT (Studi Kasus Pulau Sapeken, Kepulauan Kangean, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur)
MUTIARA FADHILA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PERLIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Pengaruh Modernisasi terhadap Kearifan Lokal Suku Bajo dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut (Studi Kasus Pulau Sapeken, Kepulauan Kangean, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur)” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dan karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2017
Mutiara Fadhila NIM I34110155
2
3
ABSTRAK MUTIARA FADHILA. Pengaruh Modernisasi terhadap Kearifan Lokal Suku Bajo dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut. Dibawah bimbingan SOERYO ADIWIBOWO. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati pengaruh atau dampak modernisasi teknologi penangkapan ikan terhadap kearifan lokal dan pergeseran nilai budaya dikalangan warga suku Bajo, Pulau Sapeken, Sumenep, Jawa Timur. Studi ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang dikombinasikan dengan metode kualitatif dalam proses pengumpulan data. Hasil studi adalah, pertama, modernisasi teknologi penangkapan telah mengubah armada penangkapan, jangkauan wilayah dan jumlah trip penangkapan, serta nilai hasil tangkapan ikan. Modernisasi ini lebih banyak diadopsi oleh nelayan usia di bawah 50 tahun ketimbang nelayan di atas 50 tahun. Sebagai akibatnya kearifan lokal Nelayan Bajo Sapeken dalam membaca kondisi alam memudar dan hanya dimiliki nelayan tua. Namun kepercayaan dalam kegiatan penangkapan ikan masih dianut oleh Nelayan Bajo Sapeken. Kedua, terjadi pergeseran orientasi nilai budaya dalam hal hubungan manusia dengan alam, dari hidup selaras dengan alam menjadi condong ke arah menaklukkan alam. Kata kunci: kearifan lokal, orientasi nilai budaya, suku Bajo, modernisasi teknologi penangkapan ikan ABSTRACT MUTIARA FADHILA. The Impact of Modernization to the Local Wisdom of Bajo’s Tribe on Marine Resource Utilization. Supervised by SOERYO ADIWIBOWO. The objectives of this study is to observe the impacts of fishing technology modernization on the local wisdom and value orientation towards marine resource utilization among the Bajo’s tribe community in Sapeken Island, Sumenep, East Java. A quantitative approach combined with qualitative technique in data collections is applied. The results show that, first, the fishing modernization changing significantly the fishing fleet, fishing area and trips, as well as the economic value of fish catch. Modernization are well adopted among fishermen below 50 years old rather than above 50 years old. As consequences, the local wisdom in capturing and interpreting the always changing condition of marine ecosystem are fading out in most young fishermen rather than the old one. However, the taboo and beliefs regarding fishing activity are still kept by Bajo Sapeken’s fishermen. Secondly, a significant shift in cultural values orientation i.e. from living harmony with nature to mastering and exploring nature are found in Bajo’s fishermen particularly among young fishermen. Keywords: bajo people, culture values orientation, fishing modernization, local wisdom
4
PENGARUH MODERNISASI TERHADAP KEARIFAN LOKAL SUKU BAJO DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA HAYATI LAUT (Studi Kasus Pulau Sapeken, Kepulauan Kangean, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur)
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2017
5
6
Judul Skripsi : Pengaruh Modernisasi terhadap Kearifan Lokal Suku Bajo dalam Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut Nama : Mutiara Fadhila NIM : I34110155
Disetujui oleh,
Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Diketahui oleh,
Dr Ir Siti Amanah, MSc NIP. 19670903 199212 2 001
Tanggal Lulus:
7
8
PRAKATA Puji dan Syukur kepada Allah SWT atas nikmat dan rezeki kepada penulis sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2015 adalah perubahan kearifan Suku Bajo dalam pemanfaatan sumberdaya alam, dengan judul “Pengaruh Modernisasi terhadap Kearifan Lokal Suku Bajo dalam Pemanfaatan Sumber Daya Hayati Laut” (Studi Kasus Pulau Sepeken, Kepulauan Kangean, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan kearifan lokal suku Bajo dalam pemanfaatan sumberdaya hayati laut akibat sentuhan modernisasi dan untuk mengetahui pergeseran atau perubahan orientasi nilai budaya Suku Bajo di Pulau Sapeken, Kepulauan Kangean, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur. Penulis menyadari bahwa proses karya tulis ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan do’a dari berbagai pihak. Maka dari itu, penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada: 1. Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS selaku dosen pembimbing yang memberikan banyak ilmu berharga mengenai keharmonisan dan keromantisan dalam kehidupan sosial. 2. Ayahanda Abdurrahman Shaleh dan Mamahanda Diana Dewi serta saudara sekandung Sarah Asih Faulina, Affan Arif Nur Farhan dan Nisrina Hasna Fathina yang memberikan motivasi tak henti. 3. Masyarakat Pulau Sapeken yang tulus dan baik hati. 4. Anggi Putra Prayoga yang selalu sigap sedia menyurahkan segala yang dibutuhkan penulis. 5. Ariya Diani Astika dan Muhammad Firdaus sahabat tulus nan setia. 6. Saudara termanis Hardian, Merind, Bahrul, Anggi, Annisa, Jamani, Emma, Via, Hikmah, Berty, Faradina dan Keluarga besar LAWALATA IPB. 7. Sahabat ikan Dhiaurrahman, Soraya, Luki, Hanung, Afiefah dan teman termanis Fitria, Zain, Zhilal, Yunnita, MGS, Ghani, Yayuk, Sophia, Khairina, Mufida, Ridwan, Faisal dan Lathif serta keluarga besar SKPM48. Penulis berharap penelitian ini bermanfaat dalam menambah khasanah ilmu pengetahuan. Bogor, Juli 2017
Mutiara Fadhila NIM. I34110155
9
10
DAFTAR ISI ABSTRAK .............................................................................................................. 3 DAFTAR ISI ......................................................................................................... 10 PENDAHULUAN ................................................................................................... 1 Latar Belakang ..................................................................................................... 1 Perumusan Masalah ............................................................................................. 2 Tujuan Penelitian ................................................................................................. 2 Manfaat Penelitian ............................................................................................... 3 PENDEKATAN TEORITIS ................................................................................... 5 Tinjauan Pustaka .................................................................................................. 5 Suku Bajo ......................................................................................................... 5 Kearifan Lokal.................................................................................................. 6 Modernisasi ...................................................................................................... 7 Orientasi Nilai Budaya ..................................................................................... 8 Alur Pemikiran ................................................................................................... 11 Hipotesis Penelitian ........................................................................................... 11 Definisi Konseptual ........................................................................................... 12 Modernisasi .................................................................................................... 12 Kearifan Suku Bajo ........................................................................................ 12 Orientasi Nilai Budaya Suku Bajo ................................................................. 12 PENDEKATAN LAPANGAN ............................................................................. 13 Metode Penelitian .............................................................................................. 13 Lokasi dan Waktu .............................................................................................. 13 Teknik Penentuan Responden dan Informan ..................................................... 13 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ............................................................ 14 GAMBARAN LOKASI PENELITIAN ................................................................ 15 Kondisi Geografis Pulau Sapeken ..................................................................... 15 Asal Muasal Bajo di Pulau Sapeken .................................................................. 15 Kondisi Demografis Sapeken ............................................................................ 17 Sarana dan Prasarana di Pulau Sapeken ............................................................ 18 Kehidupan Ekonomi-Sosial Masyarakat Sapeken ............................................. 19
11
Kelompok dan kelembagaan yang terbentuk .................................................... 20 TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN NELAYAN BAJO SAPEKEN ........... 21 Perubahan Armada Penangkapan Ikan Nelayan Bajo Sapeken ........................ 21 Armada Penangkapan Ikan Nelayan Bajo Sapeken .......................................... 24 Boat Nelayan Bajo Sapeken .......................................................................... 24 Sampan Nelayan Bajo Sapeken ..................................................................... 25 Lelepa Nelayan Bajo Sapeken ....................................................................... 25 Alat Tangkap Ikan Nelayan Bajo Sapeken ........................................................ 26 Ikhtisar ............................................................................................................... 27 KEARIFAN LOKAL NELAYAN BAJO SAPEKEN.......................................... 29 Pengetahuan Lokal Nelayan Bajo Sapeken ....................................................... 29 Kepercayaan Nelayan Bajo Sapeken ................................................................. 33 Wilayah dan Hasil Tangkapan Ikan Nelayan Bajo Sapeken ............................. 37 Ikhtisar ............................................................................................................... 39 ORIENTASI NILAI BUDAYA NELAYAN BAJO ............................................ 41 Nelayan Lelepa Bajo Sapeken ........................................................................... 41 Nelayan Sampan Bajo Sapeken ......................................................................... 43 Nelayan Boat Bajo Sapeken .............................................................................. 44 Pandangan Nelayan Bajo Sapeken terhadap Laut ............................................. 46 Ikhtisar ............................................................................................................... 47 SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 49 SIMPULAN....................................................................................................... 49 SARAN ............................................................................................................. 49 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 51 LAMPIRAN .......................................................................................................... 53 RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... 58
12
DAFTAR TABEL 1 Kerangka Kluckhohn mengenai Lima Masalah Dasar dalam Hidup yang Menentukan Orientasi Nilai Budaya Manusia 2 Jumlah penduduk Desa Sapeken berdasarkan Kampung, Jenis Kelamin dan Etnis 3 Jenis Mata Pencaharian Masyarakat di Pulau Sapeken, 2015 4 Penggunaan Jenis Perahu Bermesin dan Tanpa Mesin Menurut Usia Nelayan Bajo Sapeken, 2015 5 Keunggulan Perahu Tangkap Ikan Bermesin menurut Responden Nelayan Bajo Sapeken Perahu Bermesin Kampung Bukut, Pulau Sapeken, 2015 6 Kelemahan Perahu Tangkap Ikan Bermesin menurut Responden Nelayan Bajo Sapeken Perahu Bermesin Kampung Bukut, Pulau Sapeken, 2015 7 Keunggulan Perahu Tangkap Ikan Tanpa Mesin menurut Responden Nelayan Bajo Sapeken Perahu Lelepa Kampung Bukut, Pulau Sapeken, 2015 8 Kelemahan Perahu Tangkap Ikan Tanpa Mesin menurut Responden Nelayan Bajo Sapeken Perahu Lelepa Kampung Bukut, Pulau Sapeken, 2015 9 Karakteristik Perahu Tangkap Ikan pada Responden Nelayan Bajo 10 Kalender Musim Responden Nelayan Bajo Sapeken, Kampung Bukut, Pulau Sapeken, 2015 11 Pengetahuan Teknik Navigasi Laut Menurut Kategori Perahu Tangkap Ikan pada Responden Nelayan Bajo Kampung Bukut, Pulau Sapeken, 2015 12 Wilayah Tangkapan Ikan Berdasarkan Jenis Perahu pada Responden Nelayan Bajo Kampung Bukut, Pulau Sapeken, 2015 13 Hasil Tangkapan pada Musim Angin Barat Menurut Jenis Perahu Responden Nelayan Bajo Sapeken, Kampung Bukut, Pulau Sapeken, 2015 14 Hasil Tangkapan pada Musim Angin Timur Menurut Jenis Perahu Responden Nelayan Bajo Sapeken, Kampung Bukut, Pulau Sapeken, 2015 15 Orientasi Nilai Budaya Makna Laut menurut Nelayan Bajo Sapeken, 2015
9 17 19 22
23 23
23
24 24 29
30 37
37
38 47
13
DAFTAR GAMBAR 1 Diagram Alur Kerangka Pemikiran 2 Jenis Perahu Nelayan Bajo Sapeken, 2015 3 Persentase Pengetahuan Lokal Mengetahui Keberadaan Burung di Permukaan Laut sebagai Pertanda Adanya Ikan di dalam Laut, 2015 4 Persentase Pengetahuan Lokal Lokasi Penangkapan Ikan Sunuk Nelayan Bajo Sapeken, 2015 5 Persentase Pengetahuan Lokal Membaca Bulan Nelayan Bajo Sapeken, 2015 6 Persentase Pengetahuan Lokal Membaca Rasi Bintang Nelayan Bajo Sapeken, 2015 7 Persentase Kepercayaan Tidak Membuang Sisa Makanan ketika Melaut Nelayan Bajo Sapeken, 2015 8 Persentase Kepercayaan Tidak Buang Air Kecil di Tempat Jaring atau Pancing Turun Nelayan Bajo Sapeken, 2015 9 Persentase Kepercayaan Tidak Mencuci Piring Ketika Hendak Melaut Nelayan Bajo Sapeken, 2015 10 Skema Jangkauan Lokasi Penangkapan Ikan Responden Nelayan Bajo Sapeken, Kampung Bukut, Pulau Sapeken, 2015
11 26 31 32 32 33 34 34 35 38
DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta Lokasi Penelitian 2 Dokumentasi Penelitian 3 Rute dan Jadwal Kapal Perintis Tujuan Sapeken
51 52 55
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagian besar masyarakat pesisir Indonesia memiliki pola hidup yang disebut kebudayaan pesisir karena sifatnya yang bergantung terhadap sumber daya laut sebagai tumpuan hidup (Geertz 1983). Upaya eksploitasi sumber daya laut yang dilakukan oleh masyarakat pesisir (nelayan) masih bersifat tradisional sehingga harus mengikuti pola kedinamisan lingkungan yang keras dan diliputi rasa ketidakpastian. Sifat tradisional masyarakat pesisir dalam melakukan upaya penangkapan ikan dan memperlakukan lingkungan daerahnya didapat melalui pewarisan turun temurun nenek moyang. Dalam menghadapi ketidakpastian lingkungan (alam) dan keterbatasan alat tangkap (sifat tradisional), kemampuan pengetahuan, keyakinan, pemahaman, wawasan, dan adat kebiasaan digunakan untuk bertindak secara tepat yang harus dilakukan dan langkah strateginya atau yang sering dikenal sebagai kearifan lokal (Keraf 2002). Pada era ini pengaruh modernisasi sangat kuat. Modernisasi merupakan proses transformasi dimana terjadi perubahan masyarakat dalam segala aspek. Modernisasi melalui peningkatan dan penggunaan teknologi alat tangkap serta bantuan pemodalan berimplikasi pada kegiatan serta organisasi penangkapan ikan dan pada akhirnya terjadi perubahan dalam suatu komunitas (Hamzah 2008). Program motorisasi dengan istilah Revolusi Biru, menurut Solihin dalam Hamzah (2008) bukannya menciptakan perikanan semakin maju dan pelakunya (nelayan) menjadi sejahtera. Program tersebut menciptakan komplekesitas permasalahn perikanan, seperti degradasi ekosistem lingkungan pesisir dan laut yang berujung pada kelangkaan sumber daya ikan. Hal tersebut menjadi perhatian karena tidak semua lapisan nelayan dapat memanfaatkan peluang modernisasi. Kusnadi dalam Hamzah (2008) menjelaskan bahwa kemudahan akses sumber daya ekonomi dan politik hanya dapat dicapai oleh sebagian kecil nelayan. Suku Bajo merupakan suku pengembara laut ulung yang tersebar di berbagai daerah perairan Indonesia. Suku Bajo memiliki seperangkat kearifan lokal dalam pengelolaan laut karena kaitannya yang sangat erat dengan menjadikan laut sebagai tempat keramat dan dimiliki nenek moyang dibanding dengan suku lain seperti Bugis-Makassar yang mampu menyelenggarakan kehidupannya di semua tempat (Hamzah 2008). Peribadi dalam Saad (2009), menyimpulkan bahwa dalam hal usaha mata pencaharian telah terjadi pergeseran dari orientasi sosial kepada orientasi ekonomi. Wunawarsih (2005) menyimpulkan hasil dari relokasi penduduk bajo menyebabkan terjadinya pergeseran dalam penggunaan teknologi dalam memanfaatkan sumberdaya hayati laut.
2
Perumusan Masalah Modernisasi melalui peningkatan dan penggunaan teknologi alat tangkap berimplikasi pada kegiatan serta organisasi penangkapan ikan dan pada akhirnya terjadi perubahan dalam suatu komunitas. Hal tersebut menjadi perhatian karena tidak semua lapisan nelayan dapat memanfaatkan peluang modernisasi. Nelayan suku Bajo masih didominasi oleh sistem perikanan tradisional, dengan salah satu cirinya adalah struktur komunitas homogen dan tingkat diferensiasi sosial yang masih rendah. Program modernisasi sektor perikanan telah berlangsung di berbagai wilayah di Indonesia dan dimulai sejak tahun 1970 melalui bentuk kapitalisasi perikanan (Satria 2001). Bahkan menurut Masyhuri (2001) dalam Hamzah (2008) modernisasi telah dimulai awal tahun 1960 dengan menambahkan motor pada perahu layar. Modernisasi tersebut berlangsung terus sampai saat ini dengan berbagai inovasi alat tangkap dan modifikasi program lainnya .Terutama terdapat program motorisasi perahu dan modernisasi perikanan tangkap pada 1980-an yang dikenal dengan istilah revolusi biru. Karakteristik dari suku Bajo yang dimana mereka bermukim, cenderung hidup mengelompok di tengah wilayah suatu desa yang dihuni berbagai etnik. Terjadi interaksi ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga mendorong mereka berinteraksi-sosial dengan komunitas lain. Dari hal itu, bagaimana pengaruh modernisasi–dalam hal ini difokuskan pada teknologi penangkapan ikan-- terhadap kearifan suku Bajo di Pulau Sapeken dalam pemanfaatan sumber daya hayati laut? Masuknya modernisasi pada suku Bajo jelas bersentuhan dengan nilai budaya, gaya hidup, dan pada satu sisi berdampak pada efektifitas dan peningkatan hasil tangkapan nelayan. Alih teknologi dapat dipastikan meningkatkan produksi dan pendapatan nelayan. Berdasarkan hal tersebut sejauhmana orientasi nilai budaya suku Bajo di Pulau Sapeken mengalami pergeseran atau perubahan akibat kearifan lokal Suku Bajo yang telah berubah akibat sentuhan modernisasi–dalam hal ini difokuskan pada teknologi penangkapan ikan--? Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan penelitian yang sudah disusun, dapat dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Mempelajari pengaruh modernisasi teknologi penangkapan ikan terhadap kearifan lokal Suku Bajo di Pulau Sapeken, Kecamatan Sapeken, Kepualauan Kangean, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur dalam pemanfaatan sumberdaya hayati laut akibat sentuhan modernisasi. 2. Mengetahui perubahan kearifan lokal Suku Bajo yang berdampak pada pergeseran atau perubahan orientasi nilai budaya suku Bajo di Pulau Sapeken, Kecamatan Sapeken, Kepualauan Kangean, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur dalam pemanfaatan sumberdaya haytai laut akibat sentuhan modernisasi.
3
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan tambahan pengetahuan mengenai pengaruh modernisasi terhadap kearifan lokal suku Bajo dalam pemanfaatan sumberdaya hayati laut. Adapun penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk beberapa pihak, antara lain: 1. Akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi tambahan mengenai kajian-kajian seputar pengaruh modernisasi terhadap kearifan suku Bajo dalam pemanfaatan sumberaya hayati laut. 2. Nelayan Bajo Sapeken, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pandangan positif mengenai kearifan lokal yang mereka miliki sehingga senantiasa melestarikan kearifan lokal tersebut. 3. Pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pemerintah terkait, terutama kearifan suku Bajo dalam pemanfaatan sumberdaya hayati laut di Pulau Sapeken, Kepulauan Kangean, Provinsi Jawa Timur. Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan-kebijakan selanjutnya, khususnya yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat pesisir, lebih khusus lagi nelayan.
4
5
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Suku Bajo Menurut Anwar (2006) dalam Saad (2009) bahwa suku Bajo dalam perjalanan sejarahnya yang panjang dan beragam ini berpencar di berbagai wilayah nusantara dan kawasan Asia Tenggara (Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina). Berbagai studi mengenai asal usul suku Bajo mengemukakan bahwa suku Bajo berasal dari keturunan pelaut Johor, dari budak bajak laut Moro serta berasal dari orang laut atau kepulauan Sulu Filipina Selatan (Soesangobeng dalam Peribadi 2000). Menurut Hafid et.al (1998) dalam Hamzah (2008) suku Bajo berasal dari Luwu-Maili Sulawesi Selatan. Terdapat perbedaan riwayat asal usul dan tidak ada tahun pasti, tetapi studi sebelumnya memiliki kesimpulan yang sama mengenai ciri kehidupan suku Bajo (Hafid et.al 1996; Peribadi 2000), yakni: (1) Menempati suatu kepulauan yang dikelilingi laut, (2) Menangkap ikan merupakan pencaharian yang dilakukan secara turun temurun, serta (3) Memiliki dialek bahasa yang sama. Apabila ada terjadi perbedaan tersebut hanya disebabkan oleh perjalanan waktu dan lingkungan sosial dimana suku Bajo berada. Menurut Saad (2009) suku Bajo dikenal sebagai pelaut ulung yang hidup dan matinya berada diatas lautan. Bahkan perkampungan suku Bajo dibangun jauh menjorok ke arah lautan bebas, tempat mencari penghidupan. Julukan bagi suku Bajo adalah pelaut nomaden (seanomadic) yang berpindah-pindah ini bermacammacam. Pada kawasan timur Indonesia suku Bajo disebut orang Bajo atau suku bangsa Bajo (Hinayat, 1993 dalam Saad 2009). Sedangkan di kawasan barat Indonesia sebutan mereka adalah rakyat laut, orang laut atau suku laut. Terdapat pula di wilayah Johor Malaysia, Bajo disebut orang kuala dan orang laut. Sedangkan sebutan orang Bajau, suku asli, Sama Bajau, Sama dilaut, Bajau Laut, orang Samal atau Samal Bajau laut menjadi panggilan khas di daerah Sabah, Brunei Darussalam dan Filipina (Gaib 2001 dalam Saad 2009). Mengikuti pengertian Koentjaraningrat (1990) dalam Saad (2009) tentang identitas tempat sebagai unsur pengikat dan pembeda dengan komunitas lainnya, maka suku Bajo tergolong masyarakat pesisir. Sebagai masyarakat pesisir, memiliki karakter yang keras, tegas, dan terbuka. Karena seluruh kehidupannya yang berhadapan dengan laut, karakteristik kehidupan sosial, budaya dan ekonominya sangat dipengaruhi oleh pandangan mereka terhadap kekuatan alam yang melingkari kehidupan sehari-hari. Hidup dalam pelukan laut, itulah potret suku Bajo. Menurut Peribadi (2006) dalam Saad (2009) bahwa dalam upaya memelihara hubungan struktural fungsional agar tetap tercipta suasana kekerabatan, kerukunan dan kebersamaan, maka diusahakan adanya norma, hukum, dan aturan-aturan khusus sebagai pedoman bagi komunitas para nelayan. Suku Bajo berkeyakinan, bila melanggar ketentuan-ketentuan hukum alam, maka alam senantiasa menjatuhkan sanksi. Suku Bajo memperoleh pelajaran tentang alam sekitarnya dari pengalaman hidup keseharian menghadapi tantangan alam di tengah laut. Sedemikian dekatnya dengan kekuasaan alam yang harus dijalaninya dalam kehidupan sehari-hari, membuat Suku Bajo dapat menyusun suatu konsepsi alam beserta struktur-
6
strukturnya. Dalam perspektif ekologi budaya, alam yang dianggap tak terpisahkan dari setiap manusia Bajo, dilambangkan sebagai bola besar yang bundar (Peribadi 2000). Konsep ekologi Steward dan Strauss (Peribadi 2000), dalam alam pandangan Suku Bajo terdapat unsur-unsur ekologi alam, ekologi sosial, dan ekologi manusia yang saling terhubung dan saling tergantung secara mutlak. Sesungguhnya hal ini merupakan hukum alam dan hukum sosial sebagaimana diajarkan dalam adat-istiadat dan agama. Atas dasar pandangan ini, Suku Bajo memposisikan lingkungan sekitar sebagai unsur yang tak dapat dipisahkan oleh siapa pun. Semuanya dimanfaatkan dengan baik dan dengan cara yang bersahabat. Karakteristik sosial dan budaya Suku Bajo terbangun oleh falsafah hidup yang diajarkan oleh nenek moyang mereka secara turun-temurun melalui ungkapan: “ Papu Manak Ita Lino Bake isi-isina, kitanaja manusiamamikira bhatingga kolekna mengelolana “. Artinya, Tuhan telah memberikan dunia ini dengan segala isinya, kita sebagai manusia yang memikirkan bagaimana mengelolanya (Saad 2008). Dahulu suku Bajo masih hidup sistem yang dilakukan dengan cara berburu, dan berpindah-pindah, penangkapan ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan diri dan keluarganya (Zacot 2002). Seiring dengan dimulainya relokasi masyarakat Bajo ke daratan, rupanya membawa implikasi terhadap kehidupan sosial, ekonomi, maupun budaya. Awalnya ketika masyarakat Bajo masih hidup berpindah-pindah dengan leppa, mereka tidak mengenal ekonomi uang, aktifitas sehari-hari hanyalah memancing, dan menangkap ikan pada suatu tempat selama sebulan kemudian pergi ke tempat lain. Perdagangan hanya dilakukan dengan sistem barter. Komunitas Suku Bajo bermukim dengan kecenderungan hidup mengelompok di tengah wilayah suatu desa yang dihuni berbagai etnik. Pemukiman Suku Bajo lebih dominan memusat di suatu bagian wilayah dan terpisah dari komunitas etnik lainnya. Hal ini antara lain disebabkan keakraban dan keeratan hubungan antar-anggota keluarga Suku Bajo membuat mereka tinggal berkelompok. Meski demikian, tidak berarti komunitas Suku Bajo menutup diri dari pergaulan dengan komunitas lain. Kearifan Lokal Kearifan lokal menurut Keraf (2002), Arafah (2002), Berkes (1993), Utina (2012), dan Suhartini (2014) pada dasarnya adalah pengetahuan kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan dengan model-model pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari. Kearifan tersebut berisikan gambaran tentang anggapan masyarakat yang bersangkutan tentang hal-hal yang berkaitan dengan struktur lingkungan, fungsi lingkungan, reaksi alam terhadap tindakan-tindakan manusia, dan hubungan-hubungan yang sebaiknya tercipta antara manusia (masyarakat) dan lingkungan alamnya. Adapun Berkes (1999) dalam Satria (2009), berdasarkan karakteristik kearifan lokal masyarakat menunjukkan; (1) kearifan lokal masyarakat melekat pada budaya lokal yang ada pada masyarakat bersangkutan, (2) memiliki ruang dan waktu proses perkembangannya, (3) tidak memisahkan antara alam dan budaya, (4) terdapat suatu komitmen yang memandang bahwa lingkungan lokal bersifat unik dan merupakan tempat yang tidak berpindah, (5) dalam memahami alam tidak menggunakan pendekatan instrumental.
7
Kearifan lokal bersifat historis tetapi positif. Ataupah (2004) yang dikutip oleh Stanis (2005) menyatakan bahwa nilai-nilai diambil oleh leluhur dan kemudian diwariskan secara lisan kepada generasi berikutnya lalu oleh ahli warisnya tidak menerima secara pasif dapat menambah atau mengurangi dan diolah sehingga apa yang disebut kearifan itu berlaku secara situasional dan tidak dapat dilepaskan dari sistem lingkungan atau sistem ekologi yang harus dihadapi orang-orang yang memahami dan melaksanakan kearifan lokal. Penuturan Nababan (2003) dalam La Ode (2010) menilai bahwa kearifan lokal melekat pada pemilik sumberdaya dalam suatu wilayah yakni masyarakat adat. Kearifan lokal dianggap hal-hal yang diajarkan secara turun-menurun diatas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan dan kekayaan alam, serta kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum dan lembaga. Unsurnya ialah komunitas, sejarah, wilayah, hukum dan kelembagaan. La Ode (2010) menegaskan bahwa terjadi kedinamisan pada kearifan lokal. Kearifan lokal terletak pada nilai keelokan masyarakat pemilik sumberdaya, tidak hanya sekedar warisan dari masa lalu (Adimihardja 2008). Padahal hubungan alam dengan hubungan manusia pada segi sistem sosial, budaya dan religius menjadi arena bagi manusia dalam menemukan pengetahun-pengetahuan kunci untuk mengelola suatu sumberdaya alam (Soemarwoto 2008). Interaksi panjang, teratur dan terus-menerus antara manusia dengan alam melahirkan pengalamanpengalaman hidup di alam berkaitan dengan pemanfaatan alam untuk sumber kehidupan dan mempertahankan alam senantiasa memberikan layanan ekologisnya. Dalam konteks suku Bajo, kearifan yang diteliti adalah tata cara seperti kepercayaan dan pengetahuan lokal yang dilakukan selama melakukan kegiatan penangkapan ikan yang masih berlaku di suku Bajo. Modernisasi Modernisasi secara umum dapat digambarkan sebagai proses perubahan masyarakat tradisional menuju masyarakat modern (Hamzah 2008). Secara istilah, modernisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas 2001) adalah proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk hidup sesuai dengan tuntutan masa kini. Pandangan lain, modernisasi menurut Koentjaraningrat (1982) dalam Hamzah (2008) dapat dipandang sebagai proses pengembangan sikap mental berorientasi ke masa depan, berhasrat menguasai lingkungan, menilai tinggi hasil karya manusia dan sikap lain yang sejenis. Soekanto (2009) dan Koentjaraningrat (1980) bahwa pada dasarnya modernisasi merupakan proses transformasi terjadi perubahan masyarakat dalam segala aspek. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi biasanya dibuktikan dengan adanya penggunaan teknologi. Menurut Weiner (1980), bahwa perubahan masyarakat akibat modernisasi dapat dilihat dari aspek teknologi. Dalam Sajogyo (1985) beranggapan bahwa modernisasi adalah pembangunan yang mampu meningkatkan produksi sumberdaya alam dan tidak membawa pada peningkatan pendapatan. Kemudian menurut Sajogyo (1982) dalam buku modernization without development bahwa, modernisasi akan berpengaruh lebih cepat terhadap apa yang dapat dilihat secara empirik (cultural lag) seperti penggunaan teknologi daripada nilai-nilai yang tertanam sejak turun-temurun pada masyarakat lokal, semakin banyak dipakai dalam pengertian yang lebih sempit dari pembangunan. Dengan
8
kata lain istilah modernisasi dan pembangunan tidak digunakan dalam arti yang sama dan tidak pula mengandung ciri yang sama. Bahkan masuknya modernisasi dapat merubah tatanan perekonomian masyarakat mengarah ke sistem kapitalis. Tujuan pokok sistem kapitalis ialah mencari keuntungan besar (Wianti 2011). Pada Dharmawan (2001) dalam Wianti (2011) pun menyebutkan perubahan-perubahan masyarakat setelah mendapatkan sentuhan modernisasi yang berujung menjadi masyarakat kapitalis. Tatanan perekonomian tersebut mampu mengubah dari segi motivasi spiritual (nilai-nilai) seperti, komunalisme menjadi individualisme. Kemudian perubahan pada segi struktur sosial dari unit produksi skala rumah tangga menjadi skala perusahaan. Sedangkan pada segi teknologi seperti, pada awal pemenuhan kebutuhan subsistensi menjadi pemenuhan kebutuhan pasar, tidak ada atau sedikit sekali alur pertukaran uang kini uang sebagai modal dan merupakan ekonomi moneter, tenaga manual yakni manusia kini terjadi mekanisasi, dulu aktifitas tertentu berdasarkan musim kini pekerjaan yang cenderung tetap dan aktifitas yang terus-menerus. Modernisasi telah bermulai awal tahun 1960 dengan menambahkan motor pada perahu layar (Masyhuri 2001 dalam Hamzah 2008). Program modernisasi sektor perikanan telah berlangsung di berbagai wilayah di Indonesia dan dimulai sejak tahun 1970 melalui bentuk kapitalisasi perikanan (Satria 2001). Berdampingan dengan hal itu, adapun usaha dari pihak pemerintah yang menghimbau Bajo untuk tidak lagi berpindah-pindah (nomaden) agar menetap pada tahun 1970-an (Suryanegara 2015). Modernisasi tersebut berlangsung hingga saat ini dengan berbagai inovasi alat tangkap dan modifikasi program lainnya. Modernisasi perikanan melalui perubahan teknologi, tidak hanya terjadi melalui adopsi, akan tetapi menurut Satria (2002) dapat pula melalui inovasi. Artinya, menurut Koentjaraningrat (1982) dalam Hamzah (2008) bahwa penemuan baru dalam masyarakat dapat terjadi antara lain karena kesadaran akan kekurangan dalam kebudayaan, serta rangsangan pendorong mutu, dan ketidakpuasan akan keadaan saat ini. Modernisasi dinilai menekankan pentingnya teknologi mengubah pola kerja lama menuju pola kerja baru. Pola kerja baru dalam suatu masyarakat maupun komunitas dapat pula berimplikasi pada kehidupan sosial (Hamzah 2008). Penerapan motor tempel pada kegiatan penangkapan ikan, salah satunya berdampak pada hasil tangkapan yang lebih banyak, intensitas penangkapan ikan yang lebih tinggi, serta jangkauan wilayah tangkap yang lebih luas. Dalam konteks suku Bajo, modernisasi yang diteliti adalah teknologi dalam kegiatan penangkapan ikan yang berkembang disekitar suku Bajo. Orientasi Nilai Budaya Sistem nilai merupakan nilai inti (core value) dari masyarakat. Nilai inti diakui dan dijunjung tinggi oleh setiap manusia di dunia untuk berperilaku. Sistem nilai menunjukkan tata tertib hubungan timbal balik yang ada di dalam masyarakat. Sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia (Koentjaraningrat 1980). Sistem nilai budaya telah melekat dengan kuat dalam jiwa setiap anggota masyarakat sehingga sulit diganti atau diubah dalam waktu yang singkat (Basrowi 2005). Sistem nilai budaya berupa abstraksi yang tidak mungkin sama persis untuk setiap kelompok masyarakat. Niai-nilai dapat berbeda bahkan
9
bertentangan, hanya saja orientasi nilai budaya akan bersifat universal, sebagaimana C. Kluckhohn sebutkan. Menurut C. Klukhohn dalam Koentjraningrat (1980), dan Sulaeman (2012) bahwa tiap sistem nilai budaya dalam tiap kebudayaan mengenal lima masalah dasar dalam kehidupan manusia. Atas dasar konsepsi tersebut, ia mengembangkan satu kerangka yang dapat dipakai oleh para ahli untuk menganalisa secara universal tiap variasi dalam sistem nilai budaya dalam semua macam kebudayaan yang terdapat di dunia, yaitu: (1) Hakekat Hidup Manusia (MH), (2) Hakekat Karya Manusia (MK), (3) Hakekat Waktu Manusia (MW), (4) Hakekat Alam Manusia (MA), dan (5) Hakekat Hubungan Manusia (MM). Tabel 1 Kerangka Kluckhohn mengenai Lima Masalah Dasar dalam Hidup yang Menentukan Orientasi Nilai Budaya Manusia Masalah Dasar Dalam Hidup
Orientasi Nilai Budaya
Hakekat hidup (MH)
Hidup itu buruk
Hidup itu baik
Hidup itu buruk, tetapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu menjadi baik
Hakekat karya (MK)
Karya itu untuk nafkah hidup
Karya itu untuk kedudukan, kehormatan, dan sebagainya
Karya itu untuk menambah kaya
Persepsi manusia tentang waktu (MW)
Orientasi ke masa depan
Orientasi ke masa lalu
Orientasi ke masa depan
Pandangan manusia terhadap alam (MA)
Manusia tunduk kepada alam yang dahsyat
Manusia berusaha menjaga keselarasan dengan alam
Manusia berhasrat menguasai alam
Hakekat hubungan antara manusia dengan sesamanya (MM)
Orientasi kolateral (horisontal), rasa ketergantungan pada sesamanya (berjiwa gotong royong)
Orientasi vertikal, rasa ketergantungan kepada tokoh-tokoh alasan dan berpangkat
Individualisme menilai tinggi usaha kekuatan sendiri
Dalam konteks suku Bajo, masalah dasar yang diteliti dalam studi ini adalah berkenaan dengan pandangan manusia terhadap alam sekitarnya (MA). Adapun hakekat masalah manusia yang lain tidak dikaji dalam penelitian ini. Hakekat Pandangan Manusia dengan Alam Menurut C. Klukhohn dalam Koentjraningrat (1980), hakekat hubungan dengan alam sekitarnya, banyak kebudayaan yang mengkonsepsikan alam sedemikian dahsyat dan sempurna, sehingga manusia sepatutnya tunduk saja (subjucation to nature). Namun adapula manusia untuk menaklukkan dan memanfaatkan guna memenuhi kebutuhan (mastery of nature), dan manusia untuk hidup selaras dengan alam (harmony with nature). Seperti yang dikatakan oleh Zacot (2008) orang Bajo beserta kepercayaan yang mendalam terhadap laut beserta
10
makna magisnya, memberikan dampak pada harmonisasi di dalam kehidupan orang-orang Bajo. Menurut Saad (2009) dalam penelitiannya pada suku Bajo di Sulawesi Selatan, berdasarkan cara berpikir analogi, asosiatif, identifikasi dan representasi, suku Bajo memberikan makna amat sederhana terhadap kehidupan sosial mereka, yang memperlihatkan ciri khas. (1) pola kehidupan alami yang berpasang-pasangan dalam bentuk dan unsur menjadi ketentuan mutlak demi mewujudkan dinamika kehidupan yan stabil. (2) bagi suku Bajo, makna yang dikandung langit merupakan nilai kekuasaan yang dapat melindungi bumi. (3) untuk merasakan manfaat dari pola kehidupan struktural serta menghindari segala yang menyompang dari makna dan nilai yang berdampak negatif dalam kehidupan mereka sehari-hari, maka suku Bajo mentaati hukum alam. Hukum alam menjadi pedoman utama, meski diantara mereka ada yang melanggarnya.
11
Alur Pemikiran Modernisasi melalui penggunaan teknologi alat tangkap yang terjadi di sekitar atau di Pulau Sapeken dapat memengaruhi komunitas suku Bajo (Hamzah 2008). Meskipun sudah berabad-abad Suku Bajo hadir di perairan Indonesia, teknologi menangkap ikan yang dimiliki suku Bajo dapat saja berubah. Sehingga dapat memengaruhi keseluruhan dari yang dilakukan suku Bajo untuk hidup seperti menangkap ikan bukan lagi untuk keperluan sendiri melainkan untuk skala besar yang dapat dijual ke pasar, bahkan mengolah hasil tangkapan hingga menjadi makanan siap saji. Hal tersebut memicu pada penggunaan jenis perahu dan mesin perahu yang digunakan. Sehingga memotivasi nelayan untuk mendapatkan ikan lebih banyak dengan menjangkau wilayah penangkapan yang lebih luas. Serta hal tersebut pun memacu frekuensi kegiatan penangkapan yang lebih tinggi. Sementara memudar pula pada perubahan yang terjadi di kearifan suku Bajo seperti kepercayaan dan pengetahun lokal yang dianut dalam memanfaatan sumber daya hayati laut. Kemudian kemungkinan orientasi nilai budaya pandangan suku Bajo terhadap alam dapat bergeser atau bahkan berubah.
Modernisasi Teknologi Penangkapan Ikan Armada Penangkapan Ikan
Kearifan Lokal Pengetahuan Lokal
Kepercayaan
Orientasi Nilai Budaya Pandangan Manusia terhadap Alam Keterangan:
memengaruhi Gambar 1 Diagram Alur Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian 1. Modernisasi teknologi penangkapan ikan merubah kearifan lokal Suku Bajo. 2. Perubahan kearifal lokal Suku Bajo berdampak pada pergeseran orientasi nilai budaya Suku Bajo dari yang semula selaras dengan alam menjadi menaklukkan/menguasai alam.
12
Definisi Konseptual Modernisasi Modernisasi dipandang sebagai proses pengembangan sikap mental berorientasi ke masa depan, berhasrat menguasai lingkungan, menilai tinggi hasil karya manusia dan sikap lain yang sejenis (Koentjaraningrat 1982 dalam Hamzah 2008). Dalam studi ini modernisasi yang dikaji dibatasi pada teknologi penangkapan ikan seperti lingkup armada tangkap dan alat tangkap. • Armada tangkap adalah perahu yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah perairan (fishing ground). Kearifan Suku Bajo Kearifan suku Bajo adalah segala pengetahuan dan segala kepercayaan dalam tata kehidupan masyarakat Bajo dalam hal pemanfaatan sumberdaya hayati laut. Dalam hal ini, pemanfaatan sumberdaya hayati laut yang ingin diteliti adalah tata cara menangkap ikan, seperti; kepercayaan dan pengetahuan lokal yang dilakukan nelayan Bajo dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya hayati laut. • Pengetahuan lokal adalah pengetahuan kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan dengan pemanfaatan sumberdaya alam. • Kepercayaan adalah (trust) merupakan kesediaan (willingness) individu untuk menggantungkan dirinya pada pihak lain yang terlibat pertukaran karena individu mempunyai keyakinan (confidence) terhadap pihak lain (Darsono 2008 dalam Tampubolon 2013). Orientasi Nilai Budaya Suku Bajo Orientasi nilai budaya suku Bajo adalah suatu sistem pandangan hidup atau ideologi suku Bajo dalam menata kehidupan suku Bajo. Dalam studi ini, orientasi nilai budaya dilihat adalah dari kebiasaan perilaku, tatacara dan pola pikir yang dianut oleh nelayan. Pandangan manusia dengan alam adalah sistem pedoman kebudayaan yang erat keterkaitannya dalam memperlakukan alam (Kluckohn dalam Koentjaraningrat 1980). Dalam studi ini, pandangan suku Bajo terhadap alam adalah berpandangan tunduk pada alam, selaras dengan alam, atau berhasrat ingin menguasai alam.
13
PENDEKATAN LAPANGAN Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan data kuantitatif dengan mengkombinasikan data kualitatif. Teknik pengambilan data mengombinasikan metode survei, pengamatan dan wawancara mendalam (in depth interview). Metode survei dengan instrumen kuesioner dan panduan wawancara dilakukan untuk mengetahui: jenis armada tangkap, jenis alat tangkap, teknik navigasi ketika melaut, teknik menangkap ikan, kalender musim nelayan dan kalender musim penangkapan ikan, kepercayaan, pengetahuan lokal, serta orientasi nilai budaya dalam hal pandangan terhadap alam. Peubah (variabel) yang diteliti terdiri dari variabel pengaruh (indepepndent) dan variabel terpengaruh (dependent). Dalam hal ini variabel pengaruh ditunjukkan oleh modernisasi yang berimplikasi pada munculnya teknologi dalam kegiatan penangkapan ikan nelayan suku bajo. Variabel terpengaruh ditunjukkan oleh kearifan Suku Bajo dalam hal teknik penangkapan ikan dan pola penangkapan ikan serta orientasi nilai budaya dalam hal pandangan nelayan Bajo terhadap laut. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Kampung Bukut, Desa Sapeken, Pulau Sapeken, Kecamatan Sapeken, Kepulauan Kangean, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Menurut hasil referensi ditemukan fakta bahwa beberapa pulau di Kepulauan Kangean seperti, Pulau Sapeken adalah salah satu wilayah sebaran Suku Bajo yang terpadat. 2. Pulau Sapeken merupakan pulau paling berkembang (modern) yang berada di rantaian Kepulauan Kangean. Kegiatan penelitian dilakukan pada 22 September sampai 21 Oktober 2015. Selama kurun waktu tersebut, peneliti melakukan pengumpulan data dengan tinggal bersama masyarakat Sapeken dan turun langsung mengikuti kegiatan harian dari masyarakat Sapeken dan nelayan Bajo Sapeken. Kegiatan penelitian meliputi pra (penyusunan proposal skripsi, kolokium, perbaikan proposal skripsi), kegiatan (pengambilan data lapangan) dan pasca (penulisan draft skripsi, uji petik, sidang skripsi dan perbaikan sidang skripsi). Teknik Penentuan Responden dan Informan Nelayan yang berdomisili di Kampung Bukut, Desa Sapeken, Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, adalah nelayan Bajo yang dikelompokkan ke dalam tiga kategori jenis perahu tangkap yakni; nelayan boat, nelayan sampan, dan nelayan lelepa. Unit analisis penelitian ini berfokus pada nelayan individu bajo sapeken individu yang menggunakan jenis perahu tangkap boat, sampan dan lelepa. Sehingga dilihat dari spesifikasi perahu, spesifikasi alat tangkap ikan, kepercayaan, dan pengetahuan lokal serta pandangan nelayan terhadap alam.
14
Kerangka sampel pada penelitian ini dibatasi pada nelayan yang berdomisili di Kampung Bukut, Desa Sapeken. Penentuan responden pada nelayan di kampung bukut dikhususkan bagi nelayan yang mempunyai garis keturunan Bajo. Penentuan ini dilakukan dengan pengambilan sampel secara sengaja (purposive sampling) berdasarkan rekomendasi tokoh nelayan setempat. Sejumlah 33 responden Nelayan Bajo Sapeken, dari populasi yang berjumlah 57 Nelayan Bajo Sapeken di Kampung Bukut, Pulau Sapeken. Sedangkan jumlah informan dalam penelitian ini ditentukan lima orang yakni Tokoh Masyarakat yang paham mengenai sejarah, kelembagaan adat yang diakui dan berlaku pada komunitas Suku Bajo. Data kualitatif didapatkan dengan menggunakan teknik snowball yang memungkinkan adanya tambahan informasi dari informan satu dengan lainnya. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan melalui pengamatan langsung yang menggunakan teknik wawancara menggunakan kuesioner dan panduan wawancara. Data primer yang dikumpulkan meliputi: 1. Jenis perahu tangkap dan alat tangkap yang digunakan selama kegiatan menangkap ikan oleh Nelayan Bajo Sapeken. 2. Teknik Nelayan Bajo Sapeken dalam melakukan navigasi melaut, menangkap ikan, penentuan wailayah tangkapan ikan dan hasil tangkapan ikan. 3. Kegiatan Nelayan Bajo Sapeken menurut musim. 4. Pengetahuan lokal dan kepercayaan Nelayan Bajo Sapeken dalam pemanfaatan sumberdaya hayati pesisir. 5. Pandangan Nelayan Bajo Sapeken terhadap alam (laut). Pengumpulan data primer juga diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam pada beberapa nelayan perorangan dari ketiga kategori, tokoh masyarakat, dan tokoh adat yang menjadi perwakilan dari kelembagaan lokal yang ada di Desa Sapeken. Selain data primer, pengumpulan data sekunder juga dilakukan pada penelitian ini. Data sekunder dikumpulkan seperti data monografi dan demografi dari Kantor Desa Sapeken, data moda transportasi dari Kantor Syahbandar Pulau Sapeken dan data pendukung lainnya yang diperoleh dari buku, jurnal penelitian, skripsi, tesis dan lainnya. Data kuantitatif yang dikumpulkan, diolah menggunakan program komputer Microsoft Excel untuk menggambarkan grafik antar informasi yang didapatkan dari responden nelayan Bajo.
15
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografis Pulau Sapeken Kepulauan Kangean merupakan gugusan pulau yang berada di wilayah timur Pulau Madura. Kepulauan ini terdiri dari 60 pulau, dengan luas wilayah 487 kilometer persegi. Kepulauan Kangean adalah bagian dari Kabupaten Sumenep, terpusat di ujung timur Madura, Jawa Timur. Pada sisi barat Pulau Sapeken terdapat Kecamatan Arjasa yang mencakup pulau utama Kangean dan Pulau Paliat. Kedua pulau tersebut mempunyai luas keseluruhan 450 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 80.000 jiwa. Pada sisi timur, Kecamatan Sapeken meliputi pulau-pulau; Sadulang Besar, Sadulang Kecil, Saebus, Saor, Sapankur Besar dan Sapankur Kecil, Pagerungan Besar, Pagerungan Kecil, Sepanjang, dan sisi terjauh dari kecamata Sapeken adalah Pulau Sakala, serta Pulau Sapeken sebagai ibukota Kecamatan Sapeken. Pulau Kangean berjarak lebih kurang 100 kilometer dari Kabupaten Sumenep dengan waktu tempuh delapan jam perjalanan menggunakan kapal ferry. Penyeberangan dapat dilakukan dari Pelabuhan Kalianget di Pulau Madura menuju Pelabuhan Batugulu di Pulau Kangean. Secara administratif Pulau Sapeken termasuk dalam wilayah Desa Sapeken, beserta dengan pulau-pulau lainnya seperti Pulau Bangkau dan Pulau Sitabbok yang letaknya berseberangan dengan Pulau Sapeken. Sebagai ibukota kecamatan, Pulau Sapeken memiliki luas yang relatif kecil yaitu 0,64 kilometer persegi. Topografi Pulau Sapeken termasuk daerah landai dengan tingkat kemiringan tanah kurang dari 30 persen. Area pulau ini termasuk dalam kategori dataran rendah karena berada pada ketinggian dibawah 500 meter dari permukaan laut. Desa Sapeken memiliki luas wilayah 5,27 kilometer persegi dengan waktu tempuh lebih kurang 12 jam dari Pelabuhan Kalianget, Pulau Madura (KKP 2015). Adapun Desa Sapeken memiliki batas-batas wilayah pada sebelah utara yakni Laut Jawa, sebelah selatan yakni Laut Jawa, sebelah timur yakni Pulau Pagerungan Kecil dan Pulau Saseel, dan sebelah barat yakni berbatasan dengan Pulau Paliat dan Pulau Sabuntan. Pulau Sapeken memiliki sumber air tawar yang berkadar garam rendah, meskipun luas wilayah pulau ini hanya 0,64 kilometer persegi. Hal tersebut dikarenakan adanya wilayah luas dengan curah hujan tinggi di Pulau Paliat, sisi barat Pulau Sapeken. Terdapat kantong air bawah tanah yang secara alamiah tersambung dari Pulau Paliat ke Pulau Sapeken dengan melewati bawah dasar laut. Masyarakat Pulau Sapeken mendapatkan air tawar dari sumur-sumur galian yang ada di pinggir-pinggir jalan poros desa atau beberapa masyarakat memiliki sumur galian sendiri. Setiap harinya terdapat penjual air tawar bersih keliling menggunakan gerobak mengangkut 10 muatan jeriken, air yang berasal dari sumur umum desa. Sumber air tawar yang memberkati Pulau Sapeken ini merupakan pemicu dan alasan Pulau Sapeken menjadi pulau terpadat di Kepulauan Sapeken. Asal Muasal Bajo di Pulau Sapeken Perkampungan Bajo di Indonesia terletak di sepanjang garis pantai termasuk pantai, pulau-pulau kecil tak berpenghuni, sampai pemukiman panggung diatas batu karang. Masyarakat Bajo diberi izin oleh pemilik adat atau “tuan tanah” untuk mendiami pantai atau kebun kelapa di pesisir laut. Masyarakat Bajo pun diberi izin
16
berdiri di tempat yang tidak nyaman, tandus, dan tidak subur. Maka mereka memilih tinggal di pulau-pulau kecil, pulau dengan terumbu karang datar dan dengan cara ini masyarakat Bajo menjadi pemilik adat dari sebuah terra nullius (tanah yang tidak dimiliki siapapun). Pulau Sapeken tidak berpenghuni sebelum kedatangan pelaut Bajo maka secara bertahap mereka mulai mendiami pulau dan menjadi tempat berlindung apabila tejadi ketegangan atau peperangan di Sulawesi Selatan. Selain itu, Pulau Sapeken berada di persimpangan beberapa rute maritim tradisional menyediakan persinggahan yang ideal bagi para pelaut. Sapeken berawal dari kata sepekan yang artinya satu pekan atau seminggu, hal ini dikarenakan para pelaut Bajo yang singgah di Sapeken selama seminggu untuk rehat dan mengisi kembali bekal untuk melanjutkan perjalanan ke Nusa Tenggara dan sekitarnya. Semenjak menjadi tempat persinggahan, Sapeken dan sekitarnya berkembang menjadi lokasi menetap dan berkembangnya pemukiman orang Bajo. Mayoritas Suku Bajo menduduki bagian timur Kepulauan Kangean, tepatnya Kecamatan Sapeken. Menurut cerita yang berkembang dari sesepuh keturunan Bajo di Pulau Sapeken, Bajo bermukim di Sulawesi Selatan sejak abad ke-16. Menetap di tepian beberapa pulau kecil dari Kepulauan Nusa Tenggara dan Kepualauan Kangean. Memiliki pola pemerintahan terpusat dan lollo sebagai kepala armada perahu, sebuah gelar kehormatan tanpa kekuasaan melekat 1 . Sapeken dan sekitarnya menjadi tempat persinggahan orang Bajo dalam perjalanan dari Sulawesi menuju Nusa Tenggara dan sekitarnya. Menurut Lontarak assaléna Bajo ketika Gowa-Makassar diserang oleh Belanda dan sekutunya suku Bugis, yang bermarkas di Jakarta, raja GowaMakassar menyarankan orang-orang Bajo yang berada dibawah perlindungannya untuk mengungsi ke tempat lain. Dalam kisahnya, pengutus menyampaikan, “saya diutus Raja Gowa, diharapkan engkau pergi dulu Lolo Bajo dari wilayah kekuasaan kerajaan Gowa, sebab Gowa menghadapi musibah, ada bayang-bayang kehancuran Gowa, alangkah baiknya kamu semua orang Bajo pergi mencarikan dirimu kedamaian, nanti ada oleh Ilolo mengumpulkan anak cucunya, maka berkumpulah seia-sekata dan sepakat berlayar menyeberang ke Sumbawa terus ke Kangia (Kangean). Maka berlayarlah semua orang Bajo ke Pulau yang ditengah dan disitulah mereka berkumpul”. Pada akhirnya tahun 1666 sampai 1667 GowaMakassar ditaklukan oleh Belanda beserta sekutunya, Bugis. Wilayah administratif Pulau Sapeken termasuk dalam Kabupaten Sumenep di Pulau Madura (Etnis Madura), namun etnis di Pulau Sapeken sangat berbeda dari wilayah induknya. Hal tersebut dikarenakan penduduk Pulau Sapeken (Kecamatan Sapeken) keturunan yang berasal dari daerah Sulawesi. Adapun etnis Jawa, Madura dan Bali yang turut hidup di Pulau Sapeken namun itu biasanya akibat adanya pernikahan dengan orang asli Sapeken atau kepentingan berdagang. Beberapa etnis warga Sapeken sesuai dengan nama pada kampung yang ada di Pulau Sapeken, seperti Kampung Mandar ditempati oleh orang suku Mandar, Kampung Ra’as ditempati oleh orang yang berasal dari Pulau Ra’as. Masyarakat Pulau Sapeken yang berbeda suku ini sepakat menjuluki dirinya dengan sebutan Orang Bajo. Bahasa keseharian yang mereka gunakan pun adalah Bahasa Bajo. Hal itu dikarenakan, yang pertama kali menjajaki Pulau Sapeken adalah pelaut yang berasal dari Suku Bajo. 1
Grange Philippe. Catatan tentang sejarah Kepulauan Kangean dalam Illouz Charles dan Grange Philippe. Kepulauan Kangean: Penelitian terapan untuk pembangunan. 2013
17
Kondisi Demografis Sapeken Desa Sapeken memiliki penduduk sebanyak 8.593 jiwa dan 2.526 Kepala Keluarga. Desa Sapeken terdiri dari tiga dusun, yaitu Dusun Sapeken I dengan jumlah 15 Rukun Tetangga, Dusun Sapeken II dengan jumlah 18 Rukun Tetangga dan Dusun Sapeken III dengan jumlah 10 Rukun Tetangga. Pada dusun-dusun tersebut terdapat kampung dengan jumlah 11 kampung, dengan rincian sebagaimana tampak pada Tabel 2. Pulau Sapeken merupakan pulau terpadat di Desa Sapeken, dengan luas wilayah 0,64 kilometer persegi pulau ini berpenduduk sebanyak 8.283 jiwa dan 2.116 Kepala Keluarga. Jumlah penduduk sisanya terdapat di dua pulau diluar Pulau Sapeken yaitu Pulau Sitabbok dan Pulau Bangkau. Kampung Bukut, Kampung Kota Raya, dan Kampung Sitabbok merupakan kampung dengan penduduk suku Bajo mayoritas. Meski begitu, masyarakat hidup berdampingan dengan masing-masing identitas sukunya. Bahasa yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat Sapeken adalah bahasa Bajo. Tabel 2 Jumlah penduduk Desa Sapeken berdasarkan Kampung, Jenis Kelamin dan Etnis, 2015 Nama Kampung
Jumlah (KK)
Jumlah Penduduk (jiwa) 803
Jumlah Laki-laki (jiwa) 396
Jumlah Perempuan (jiwa) 407
671 470
692 471
Bugis Mandar
433
443
Mandar
245
254
Ra’as
168 375 655
201 386 646
Ra’as Bajo Bugis
421
432
Mandar
348
365
Bugis
60
54
Bajo
Kampung Kota 239 Raya Kampung Kota 332 1363 Kampung 291 941 Mandar Jaya Kampung 257 867 Mandar Kampung Raas 171 499 Baru Kampung Raas 112 369 Kampung Bukut 250 761 Kampung 374 1301 Bangkau (*) Kampung 257 853 Karangkongo Kampung Kota 207 713 Baru Kampung 36 114 Sitabbok (*) Keterangan: (*) kampung diluar Pulau Sapeken
Etnis (mayoritas) Bajo
Tipe bangunan rumah di Pulau Sapeken sebanyak 52 persen berbentuk rumah panggung, 42 persen rumah permanen dan sisanya dengan persentase 6 persen berbentuk semi permanen, dan memiliki ciri khas tersendiri untuk lokasilokasi tipe bangunan. Pada lokasi tepi pantai, semua tipe bangunan adalah rumah panggung, namun banyak pula rumah panggung yang didirikan di tengah pusat keramaian pulau. Rumah panggung disana biasanya dengan tinggi panggung satu hingga dua meter, bagian bawah rumah panggung biasanya digunakan untuk
18
kandang ternak (ayam, bebek, kambing), untuk gudang penyimpanan, dan untuk parkiran kendaraan (gerobak dan kendaraan roda dua). Pada sisi tangga rumah panggung, terdapat kendi kecil atau ember berisi air bersih yang digunakan untuk membilas kaki ketika hendak masuk rumah. Pulau Paliat mampu menyediakan bahanbaku material kayu untuk pembangunan rumah panggung di Pulau Sapeken. Hal ini menjadikan pembangunan Pulau Sapeken semakin berkembang menjadi kawasan pemukiman padat. Data menunjukan hampir 70 persen penggunaan lahan di Pulau Sapeken diperuntukkan sebagai pemukiman, industri rumahan, dan ruko. Sarana dan Prasarana di Pulau Sapeken Pulau Sapeken termasuk pulau kecil dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi dan didukung dengan sarana dan prasarana yang cukup memadai. Sarana dan prasarana yang tersedia di Sapeken meliputi perhubungan, penerangan listrik, komunikasi, air bersih, perdagangan, pendidikan, penerangan, kesehatan, sarana ibadah, kantor pemerintahan, dan lembaga keuangan. Sarana pendukung kepemerintahan cukup mendukung. Hal ini karena Pulau Sapeken merupakan ibukota kecamatan sehingga kantor desa, kantor kecamatan dan hampir semua Unit Pelaksana Teknis (UPT) berkantor di pulau ini. Alat transportasi yang digunakan masyarakat antara lain gerobak, becak, motor roda dua, sepeda, dan odong-odong (kendaraan motor yang memiliki bak modifikasi dibagian belakang). Sarana ini digunakan masyarakat setiap harinya baik untuk mobilisasi maupun mengangkut barang, terutama pasar. Kondisi jalan di Pulau Sapeken sangat baik, sepanjang jalan penghubung seluruhnya merupakan jalan paving block dengan lebar jalan 2,5 meter sampai 3 meter. Penerangan listrik 24 jam sudah didapatkan masyarakat Sapeken sejak tahun 2011 dengan menggunakan pembangkit listrik tenaga diesel yang dikelola oleh PT PLN (persero) APJ Pamekasan, UPJ Sumenep, sub Sapeken. Sistem pembayaran listrik masyarakat menggunakan sistem pulsa. Sarana air bersih masyarakat bersumber dari air tanah yaitu sumur yang dimiliki secara bersama dan dari PDAM yang dikelola oleh Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum (HIPPAM) yang dinamai resoku. Air yang dikelola oleh HIPPAM dialirkan ke rumah penduduk melalui pipa-pipa atau dirigen yang dibawa sendiri oleh masyarakat atau menggunakan jasa penjual air keliling dari sumur-sumur umum yang ada di desa. Tersedia fasilitas kesehatan berupa satu unit Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) desa yang berada di Kampung Kota. Masyarakat Sapeken dapat berobat jalan maupun rawat inap di puskesmas tersebut. Tenaga ahli (dua dokter umum dan 14 perawat) dan kelengkapan peralatan medis cukup memadai untuk kasus yang ringan atau sedang, jika pasien kasus berat biasanya dibawa ke rumah sakit yang berada di Kabupaten Sumenep, Pulau Madura atau dibawa ke Surabaya dengan menggunakan kapal cepat dari pelabuhan Sapeken. Masyarakat Sapeken sangat mengedepankan pendidikan demi kelangsungan hidupnya, terutama ajaran-ajaran yang ditanamkan berdasar dari panduan agama Islam. Tampak dari banyak berdirinya madrasah-madrasah dari Sekolah Dasar hingga tingkat aliyah (Sekolah Menengah Atas). Murid sekolah tidak hanya dari warga Pulau Sapeken, namun adapula murid dari pulau-pulau lainnya seperti Pulau Pagerungan Kecil, Pulau Saseel, dan Pulau Masalembu. Jati diri Islam sangat melekat di Pulau Sapeken, salah satu madrasah besar di pulau ini
19
adalah Abu Hurairah dan Al-Ghuraba. Sebagai pulau dengan mayoritas berpenduduk Islam, sarana ibadah di Pulau Sapeken terdapat enam unit masjid dan empat unit mushola. Kehidupan Ekonomi-Sosial Masyarakat Sapeken Sebagai masyarakat pesisir yang berada di kepulauan, masyarakat Sapeken sangat bergantung pada hasil pemanfaatan sumberdaya laut disekitarnya. Mayoritas masyarakat Sapeken memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Menurut profil Desa Sapeken tahun 2015, terdapat 1.187 orang yang memiliki mata pencaharian sebagai nelayan (Tabel 3). Selain itu, banyak juga masyarakat yang memiliki mata pencaharian sebagai pegawai pabrik es balok, pengolahan ikan, pelabuhan dan penjual ikan di pasar. Sehingga hampir setiap harinya masyarakat Sapeken disibukkan oleh kegiatan perikanan mulai dari penangkapan, pengolahan, penyediaan sarana dan prasarana serta distribusi hasil sumberdaya laut di dalam maupun luar pulau Sapeken Sarana dan prasarana industri perikanan yang mendukung berupa pelabuhan perikanan dan pabrik es menjadikan Pulau Sapeken sebagai pusat pemasaran hasil perikanan di Kepulauan Kangean. Selain itu terdapat juga agen-agen bahan bakar minyak (BBM) dan toko-toko yang menjual berbagai kebutuhan nelayan. Keramba Jaring Apung (KJA) juga terdapat di perairan sekitar Pulau Sapeken untuk menampung ikan hasil tangkapan sebelum dijual hidup ke kapal pengangkut ikan. Berdasarkan data alih muat di Pelabuhan Sapeken tahun 2015, setiap bulannya terdapat 48 sampai 217 ton ikan hasil tangkapan nelayan Sapeken yang dimuat ke kapal. Selain itu kapal-kapal di Pelabuhan Sapeken juga memuat rumput laut dan garam yang merupakan hasil sumberdaya laut Pulau Sapeken (DPLH Pelabuhan Sapeken, 2015). Hasil sumberdaya laut tersebut selajutnya didistribusikan melewati Arjasa dan Banyuwangi. Tabel 3 Jenis Mata Pencaharian Masyarakat di Pulau Sapeken, 2015 Jenis Mata Pencaharian Nelayan Wiraswasta Tukang Buruh Pegawai Negeri Sipil Tidak Bekerja Total
Jumlah (Jiwa) 1187 500 65 157 70 62
Persentase (%) 58,2 24,5 3,2 7,7 3,4 3,0
2041
100
Selain sebagai pusat pemasaran hasil sumberdaya laut, Pulau Sapeken juga menjadi pusat perdagangan non perikanan. Hal tersebut ditandai dengan banyaknya trip kapal pengangkut barang dan orang yang berlabuh di Pulau Sapeken. Pulau Sapeken menjadi simpul penditribusian barang dan orang yang menuju pulau-pulau kecil lainnya di Kepulauan Kangean. Bahan bakar minyak (BBM), palen, kayu, sepeda motor, semen, Liquefied Petroleum Gas (LPG) dan lain-lain didatangkan melalui kapal-kapal yang berasal dari luar Kepulauan Kangean untuk selanjutnya
20
didistribusikan ke pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Sapeken. Barang-barang dagangan dari pulau-pulau kecil sekitar Pulau Sapeken juga didistribusikan melalui Pelabuhan Sapeken. Kelompok dan kelembagaan yang terbentuk Beberapa lembaga non pemerintah yang terdapat di Pulau Sapeken diantaranya adalah Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), kelompok nelayan, Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum (HIPPAM), Lembaga Advokasi dan Penegakan Hukum untuk Masyarakat (LAPHUM), Front penyelamatan lingkungan; komunitas aktivis lingkungan yang dimulai dengan fokus pada perlestarian dan perlindungan terumbu karang, kemudian terdapat pengawas perikanan, serta terdapat lembaga koperasi simpan pinjam dan Bank daerah. Kelompok Nelayan Oncor dan beberapa kelembagaan di Sapeken merupakan bentukan inisiatif dari masyarakat Sapeken, seperti lembaga-lembaga Islam di Sapeken, front penyelamat lingkungan dan kelompok nelayan oncor.
21
TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN NELAYAN BAJO SAPEKEN Perubahan Armada Penangkapan Ikan Nelayan Bajo Sapeken Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diiringi dengan penggunaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari, merupakan salah satu ciri perubahan yang dialami oleh suatu komunitas atau masyarakat. Dalam konteks ini, modernisasi yang dikaji mengenai pengaruh teknologi penangkapan ikan pada nelayan Bajo Sapeken dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya hayati laut seharihari. Seperti teknologi yang digunakan pada perahu tangkap ikan, alat tangkap ikan yang digunakan, alasan-alasan sebagai pengguna perahu bermesin dan perahu tanpa mesin, serta pengaruh penggunaan teknologi tersebut terhadap intensitas penangkapan ikan responden Nelayan Bajo Sapeken yang berada di Kampung Bukut, Desa Sapeken, Kecamatan Sapeken, Kepulauan Kangean. Pada awalnya, Suku Bajo merupakan suku pengembara laut yang hidupnya berpindah-pindah dengan menggunakan perahu. Mereka menyebut perahu tersebut dengan sebutan bido’ yakni perahu sampan sederhana yang dilengkapi dengan atap dan dayung. Bido’ berfungsi sebagai alat transportasi dan juga sebagai rumah tinggal bagi satu keluarga Suku Bajo saat mengembara (Saad 2008). Dalam perjalanan mengembara mereka menangkap ikan untuk makan bersama keluarga dengan cara menyelam. Namun seiring berjalannya kemajuan zaman, masyarakat Suku Bajo pun mengenal daratan sebagai tempat menetap dan mengenal teknologi sebagai alat bantunya dalam melaut. Salah satunya ialah Suku Bajo yang bertempat di Pulau Sapeken dalam rantaian Kepulauan Kangean, mereka sudah menetap di daratan sebagai tempat huni dan sudah menggunakan penambahan teknologi dalam kegiatan penangkapan ikan. Pulau Sapeken adalah pulau dengan posisi yang strategis, berada tepat di tengah Kepulauan Kangean. Sedangkan Kepulauan Kangean mudah dilewati dari berbagai pulau lain seperti Sulawesi, Jawa, dan Bali (Grange 2013). Hubungan perdagangan ikan Nelayan Sapeken pun melintasi pulau-pulau besar tersebut yang menciptakan adanya interaksi dari berbagai asal daerah nelayan. Interaksi tersebut membuat Nelayan Sapeken mengenal penambahan mesin pada perahu tangkap ikan mereka. Sebelum teknologi penangkapan ikan masuk ke wilayah Pulau Sapeken, Nelayan Bajo Sapeken masih menggunakan sampan sederhana yang digerakkan dengan bantuan layar dan dayung. Penggunan mesin pada perahu dalam kegiatan penangkapan ikan bagi Nelayan Bajo Sapeken mulai ramai digunakan sejak tahun 1993. Seiring berjalannya waktu, penggunaan perahu bermesin mengalami kenaikan secara berangsur tiap tahun. Pada tahun 1993 sampai tahun 2001, pengguna perahu bermesin mengalami peningkatan sebanyak 75,8 persen Nelayan Bajo Sapeken. Penggunaan jenis perahu bermesin dapat pula dilihat dari usia nelayan (Tabel 4). Pada Nelayan Bajo Sapeken dengan kisaran usia 47 tahun hingga 49 tahun merupakan pengguna jenis perahu bermesin sejak tahun 1993 hingga tahun 1999. Sedangkan Nelayan Bajo Sapeken dengan usia yang berkisar 30 tahun hingga 45 tahun merupakan pengguna jenis perahu bermesin sejak tahun 2000 hingga 2001.
22
Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa pengguna jenis perahu bermesin ialah Nelayan Bajo Sapeken yang masih tergolong usia 49 tahun kebawah dengan jumlah 75,8 persen. Sedangkan sisanya, sebanyak 24,2 persen merupakan pengguna perahu tanpa mesin dengan usia yang berkisar 50 tahun hingga 84 tahun. Tabel 4 Penggunaan Jenis Perahu Bermesin dan Tanpa Mesin Menurut Usia Nelayan Bajo Sapeken, 2015 Jenis Perahu Perahu Bermesin
Total Perahu Tanpa Mesin
Total
Usia Nelayan 30 tahun 31 tahun 35 tahun 39 tahun 40 tahun 41 tahun 44 tahun 45 tahun 47 tahun 48 tahun 49 tahun 50 tahun 51 tahun 58 tahun 68 tahun 84 tahun
Jumlah Nelayan n % 1 3,0 1 3,0 1 3,0 1 3,0 1 3,0 1 3,0 6 18,2 1 3,0 6 18,2 3 9,1 3 9,1 25 75,8 3 9,1 1 3,0 2 6,1 1 3,0 1 3,0 8 24,2
Golongan Umur 49 tahun ke bawah
50 tahun ke atas
Selain itu, kecenderungan Nelayan Bajo Sapeken menggunakan jenis perahu bermesin tentunya beralasan. Hasil rangkuman yang menjadikan perahu bermesin lebih unggul dari pada perahu tanpa mesin menurut nelayan pengguna jenis perahu bermesin (boat dan sampan) adalah karena tidak bergantung pada kondisi angin, dan tidak banyak mengeluarkan tenaga untuk mengarahkan perahu. Adapula sebanyak 30,3 persen nelayan mengaku dengan menggunakan perahu mesin, dapat meningkatkan frekuensi penangkapan dan lebih cepat menuju wilayah tangkap ikan. Sedangkan alasan terbanyak dikemukakan oleh 75,8 persen nelayan perahu mesin bahwa keunggulan perahu bermesin ialah tidak mengeluarkan banyak tenaga untuk mengarahkan perahu. Serta sebanyak 39,4 persen nelayan mengatakan bahwa keunggulan perahu bermesin ialah tidak bergantung pada kondisi angin (Tabel 5). Namun disamping keunggulan tersebut terdapat kelemahan dari penggunaan perahu tangkap ikan bermesin, yaitu dalam persoalan biaya, adanya biaya untuk perawatan mesin dan bahan bakar. Sebanyak 30,3 persen nelayan perahu mesin mengaku membutuhkan biaya lebih untuk perawatan mesin. Serta sebanyak 75,8 persen nelayan mengemukakan bahwa perahu bermesin butuh biaya lebih untuk pengeluaran bahan bakar (Tabel 6).
23
Tabel 5 Keunggulan dan Kelemahan Perahu Tangkap Ikan Bermesin menurut Responden Nelayan Bajo Perahu Bermesin Kampung Bukut, Pulau Sapeken, 2015 Keunggulan Perahu Bermesin Tidak bergantung pada kondisi angin Lebih cepat menuju wilayah tangkap Tidak mengeluarkan banyak tenaga untuk mengarahkan perahu Frekuensi melaut lebih tinggi
Jumlah Nelayan n % 13 39,4 10 30,3 25 75,8 10 30,3
Sebagaimana yang diungkapakan oleh salah satu nelayan pengguna perahu bermesin pada saat wawancara sebagai berikut: “Saat kondisi angin tidak menentu, sebagai nelayan pengguna jenis perahu tangkap bermesin tidak terlalu berpengaruh. Karena kami melaju dengan mesin. Kami bisa kapanpun melaju mencari ikan tanpa melihat arah angin kemana perginya karena kami bisa melawan arah angin. Hanya saja, membutuhkan biaya lebih untuk perawatan mesin dan bahan bakar. Tapi dapat tertutup dengan hasil tangkapan yang lumayan”. (BAC, 39 tahun)
Tabel 6 Kelemahan Perahu Tangkap Ikan Bermesin menurut Responden Nelayan Bajo Sapeken Perahu Bermesin Kampung Bukut, Pulau Sapeken, 2015 Kelemahan Perahu Bermesin Butuh biaya lebih untuk perawatan dan perbaikan mesin Butuh biaya untuk bahan bakar
Jumlah Nelayan n % 10 30,3 25 75,8
Sementara berdasarkan penuturan nelayan yang menggunakan lelepa terhadap penggunaan perahu tangkap ikan tanpa mesin menunjukan kelebihan lelepa. Sebanyak 6,1 persen nelayan mengaku dengan menggunakan perahu tanpa mesin, nelayan tidak merasa butuh untuk memaksakan hasil tangkapan yang tinggi. Sedangkan sebanyak 24,8 persen nelayan mengaku dengan menggunakan perahu tanpa mesin tidak butuh pengeluaran untuk bahan bakar dan perawatan mesin (Tabel 7). Namun penggunaan lelepa untuk menjangkau lokasi penangkapan ikan sangat bergantung pada kondisi angin sehingga frekuensi penangkapan tidak bisa dikontrol dan dikendalikan oleh nelayan sendiri melainkan tergantung pada kondisi alam. Sehingga sebanyak 18,2 persen nelayan mengungkapkan kelemahan perahu tanpa mesin kurang mampu mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal (Tabel 8). Tabel 7 Keunggulan Perahu Tangkap Ikan Tanpa Mesin menurut Responden Nelayan Bajo Sapeken Perahu Tanpa Mesin Kampung Bukut, Pulau Sapeken, 2015 Keunggulan Tanpa Mesin Tidak mengeluarkan biaya untuk bahan bakar mesin Tidak mengeluarkan biaya untuk perawatan dan perbaikan mesin Tidak memaksakan hasil tangkapan yang tinggi
Jumlah Nelayan n % 8 24,8 8 24,8 2 6,1
24
Tabel 8 Kelemahan Perahu Tangkap Ikan Tanpa Mesin menurut Responden Nelayan Bajo Sapeken Perahu Tanpa Mesin Kampung Bukut, Pulau Sapeken, 2015 Jumlah Nelayan n % 8 24,8 6 18,2
Kelemahan Tanpa Mesin Bergantung pada alam Kurang mampu mendapatkan hasil tangkapan yang tinggi
Armada Penangkapan Ikan Nelayan Bajo Sapeken Nelayan Bajo Sapeken merupakan masyarakat pesisir yang erat kaitan kehidupannya dengan kegiatan penangkapan ikan. Pada penelitian yang dilaksanakan selama 30 hari di Kampung Bukut Pulau Sapeken ini, terdapat tiga jenis perahu tangkap ikan yang digunakan oleh nelayan yang berhasil teridentifkasi (Tabel 9). Karakteristik perahu tangkap ikan tersebut dibedakan atas penggunaan mesin dan tanpa mesin dalam operasi penangkapan ikan, yakni boat, sampan dan lelepa. Jumlah pengguna jenis perahu boat sebanyak 30,3 persen nelayan, jenis perahu sampan sebanyak 45,5 persen nelayan, dan jenis perahu lelepa sebanyak 24,2 persen nelayan. Ketiga jenis perahu tersebut memiliki kekuatan mesin (pk) yang bervariatif. Kekuatan mesin terendah ditemukan pada nelayan sampan dengan 3 pk dan tertinggi ditemukan pada nelayan boat dengan 26 pk. Tabel 9 Karakteristik Perahu Tangkap Ikan pada Responden Nelayan Bajo Sapeken Kampung Bukut, Pulau Sapeken, 2015 Jenis Perahu
Kekuatan Mesin (pk*)
Jumlah Nelayan Pengguna n %
Boat 7m x 1,5m x 1,2m
16 24 26
2 6 2
6,1 18,2 6,1
Sampan 3m x 0,5m x 0,3m
3 5 5,5 6,5 7,5 8
1 2 7 2 2 1
3,0 6,1 21,2 6,1 6,1 3,0
-
8
24,2
Lelepa 3m x 0,5m x 0,3m
Total 33 Keterangan: * Paar de Kraft (menyatakan kekuatan pada mesin perahu)
100
Boat Nelayan Bajo Sapeken Boat adalah jenis perahu mesin yang memiliki kapasitas mesin cukup besar bagi nelayan perorangan (Gambar 2a). Data pada Tabel 9 pun menunjukkan bahwa sebanyak 6,1 persen nelayan boat menggunakan kekuatan mesin 16 pk dan 6,1 persen pula yang menggunakan kekuatan mesin 26 pk. Sedangkan sejumlah 18,2 persen dengan kekuatan mesin 24 pk sebagai pengguna terbanyak. Nelayan Bajo
25
Sapeken menggunakan mesin perahu dengan berbahan bakar jenis solar. Mesin perahu boat berada pada posisi badan perahu dekat buritan yang tertutup oleh papan kayu. Kelebihan boat memiliki ukuran badan perahu yang lebih besar dibandingkan kedua jenis perahu tangkap lainnya sehingga mampu menampung hasil tangkapan lebih banyak. Ciri lainnya, boat memiliki atap berbahan plastik tahan air yang menutupi dari panas dan hujan bagi nelayan selama kegiatan penangkapan ikan berlangsung. Boat pun tidak menggunakan dayung untuk mengarahkan perahu, melainkan menggunakan kemudi yang terletak pada bagian buritan. Kemudi tersebut tersambung dengan baling-baling yang berguna untuk mengatur arah perahu. Terdapat perangkat boat yang digunakan oleh nelayan, seperti sebilah bambu yang digunakan untuk mendorong perahu saat air laut surut. Jangkar digunakan selama operasi penangkapan ikan berlangsung dan saat berlabuh agar tidak membuat posisi perahu bergeser jauh akibat gelombang dan arus. Adapun lampu yang hanya digunakan saat operasi penangkapan ikan di malam hari. Sampan Nelayan Bajo Sapeken Sampan terbuat dari bahan baku kayu (Gambar 2b). Beberapa nelayan ada juga yang mulai menggunakan fiber sebagai pengganti kayu untuk membuat sampan. Mesin yang digunakan pada sampan berbeda dari yang digunakan boat. Sampan menggunakan mesin tempel yang disimpan di antara buritan dan haluan sampan yang ditutupi oleh papan kayu yang tersusun. Kapasitas mesin yang digunakan tergantung pada ukuran sampan. Kekuatan mesin yang digunakan Nelayan Bajo Sapeken berkisar pada 3 pk sampai 8 pk. Jumlah pengguna terendah berada pada kekuatan mesin 3 pk dan 8 pk yakni sama-sama memiliki angka 3,0 persen. Sedangkan urutan kedua terbanyak adalah pengguna perahu dengan kekuatan mesin 5 pk, 6,5 pk dan 7,5 pk dengan angka 6,1 persen. Kemudian pengguna terbanyak ialah perahu dengan kekuatan mesin 5,5 pk yakni dengan angka mencapai 21,2 persen. Bahan bakar yang digunakan sampan adalah berjenis bensin yang banyak tersedia di Pulau Sapeken. Sampan memiliki ciri tersendiri yang membedakan dengan boat, yaitu tidak memiliki atap namun memiliki layar yang sewaktu-waktu dapat dibentang dan digulung sesuai kebutuhan. Layar digunakan untuk mempercepat laju sampan dengan bantuan dorongan angin. Pada sampan bermesin juga terdapat kemudi pada bagian buritan sampan untuk mengontrol arah baik pada saat menggunakan mesin maupun layar yang dibentangkan. Pada kondisi tertentu seperti operasi penangkapan ikan sedang berlangsung, nelayan cenderung menggunakan dayung untuk mengarahkan sampan pada saat mesin dalam kondisi mati. Serta terdapat katir pada sisi kanan atau kiri perahu sampan, kebutuhan katir pada salah satu bagian sisi sampan adalah sebagai penyeimbang. Kapasitas sampan bermesin hanya mampu mengangkut satu atau dua orang saja. Hal tersebut juga yang menandakan kemampuan menyimpan hasil tangkapan cendrung lebih sedikit dibandingkan perahu tangkap boat. Lelepa Nelayan Bajo Sapeken Sampan tanpa mesin atau masyarakat Sapeken sebut dengan lelepa (Gambar 2c) merupakan jenis perahu tangkap ketiga yang digunakan Nelayan Bajo Sapeken. Hanya sebanyak 24,2 persen Nelayan Bajo Sapeken menggunakan perahu tanpa mesin sebagai perahu penangkapan ikan. Jenis armada tangkap sederhana tersebut
26
banyak digunakan nelayan sebelum mesin masuk ke Pulau Sapeken. Lelepa sangat identik dengan sampan dari ukuran dan perangkat perahu. Tidak jarang bahkan lelepa memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan sampan bermesin sehingga hanya mampu mengangkut satu orang saja. Lelepa hanya mengandalkan layar. Layar lebih banyak digunakan saat dorongan angin kuat. Namun saat dorongan angin lemah maka nelayan mengandalkan dayung untuk melajukan lelepa. Seperti sampan, lelepa pun dilengkapi katir pada sisi kanan atau kirinya, disesuaikan dengan posisi nelayan ketika menangkap ikan.
(a)
(b) Gambar 2 Jenis Perahu Nelayan Bajo Sapeken, 2015 a) Perahu boat ; b) Perahu sampan ; c) Perahu lelepa
(c)
Penggunaan mesin pada perahu tangkap seperti ulasan diatas merupakan hal yang paling signifikan dalam modernisasi teknologi penangkapan ikan. Hal tersebut terlihat dari perbandingan 75,8 persen dan 24,2 persen dengan kekuatan mesin yang beragam. Namun demikian, keragaman kekuatan mesin tersebut tidak memiliki angka yang sama dari penggunanya. Data menunjukkan bahwa (Tabel 9) pengguna jenis perahu sampan dengan kekuatan mesin 5,5 pk (21,2%) sebagai pengguna terbanyak. Alat Tangkap Ikan Nelayan Bajo Sapeken Adapun jenis perahu yang digunakan oleh nelayan Bajo Sapeken berbedabeda, namun baik boat, sampan, bahkan lelepa pada setiap nelayannya menggunakan jenis alat tangkap yang sama yaitu pancing (100%). Namun selain alat tangkap pancing, adapun alat tangkap jaring (63,6%) dan panah (6,1%) yang hanya digunakan oleh nelayan pengguna jenis perahu tangkap ikan sampan dan lelepa. Sebenarnya ketiga jenis alat tangkap tersebut tidak membedakan pada jenis perahu tangkap baik menggunakan mesin maupun tanpa mesin, hanya saja pada jenis perahu boat penggunaan jaring tidak digunakan karena bentuk badan boat yang cukup tinggi dianggap kurang nyaman bagi nelayan. Alat tangkap pancing (handline) merupakan alat pancing yang paling sederhana. Jenis alat tangkap pancing (handline) tidak menggunakan joran yang biasanya banyak digunakan oleh pemancing lain. Pancing hanya dilengkapai dengan peralatan yang masih tergolong sederhana yaitu senar, kail, pemberat dan tentu umpan. Terdapat dua jenis kail yang digunakan nelayan pada saat memancing yaitu menggunakan kail tunggal dan kail majemuk. Penggunaan kedua jenis kail tersebut tergantung pada jenis ikan dan jumlah ikan yang akan ditangkap oleh nelayan. Penggunaan kail majemuk juga bertujuan untuk membuat ikan tidak mudah lepas. Sebagaimana penuturan oleh salah satu nelayan pengguna alat tangkap pancing sebagai berikut:
27
“Maksud dari kail majemuk adalah agar kail kuat tersangkut pada ikan. Seperti jika menggunakan tiga hingga lima kail, kail satu untuk bagian kepala ikan; kail dua untuk bagian badan ikan; dan kail tiga untuk badan bagian bawah ikan. Tiga hingga lima kail itu berlaku untuk satu ikan yang tertangkap, biasanya untuk ikan seperti tenggiri dan kakap atau ikan-ikan yang berbobot besar” (DHW, 47 tahun)
Hasil tangkapan yang digunakan alat tangkap pancing adalah seperti Ikan Tenggiri, Tamberok, Sotong, dan Kerapu. Adapun penggunaan umpan pada alat tangkap pancing ini beragam, berbeda jenis ikan berbeda pula umpan yang digunakan. Umpan digolongkan pada dua jenis, umpan segar dan umpan buatan. Umpan segar merupakan umpan yang didapat dari hasil tangkapan sebelum menangkap target ikan sebenarnya. Seperti misalnya, umpan dari Ikan Sibula atau Ikan Babanjar dipergunakan untuk menarik perhatian Ikan Tenggiri. Sedangkan umpan buatan adalah umpan yang dibuat menyerupai umpan segar berbahan kayu ringan dan dipercantik dengan diberi warna sesuai jenis umpan segar. Seperti umpan buatan yang disebut ancet, berbentuk kumpulan benang-benang dengan warna merah muda untuk menarik perhatian cumi-cumi. Jenis alat tangkap kedua pada nelayan Bajo Sapeken adalah jaring, yang digunakan oleh pengguna sampan bermesin atau lelepa nelayan Bajo Sapeken biasanya menggunakan jaring berbahan tasi dengan ukuran mata jaring 1,25 inchi sampai 2 inchi dan ukuran jaring 7 sampai 15 depa (1 depa = 1,5 meter). Perbedaan mata jaring tersebut digunakan pada malam hari untuk ukuran mata jaring yang lebih besar, sementara ukuran mata jaring yang lebih kecil digunakan pada saat siang hari. Hal tersebut dikarenakan jenis ikan yang keluar pada malam atau siang hari berbeda jenis ukuran. Hasil tangkapan yang didapat dengan menggunakan alat tangkap jaring seperti Ikan Sembula. Adapun jenis alat tangkap panah digunakan oleh nelayan pada jenis perahu sampan. Bahan dasar dari panah ialah kayu yang dibentuk seperti pistol dengan panjang 40 sentimeter sampai 50 sentimeter. Terdapat pelatuk dan besi berujung segitiga untuk menancap kuat di badan ikan serta tali yang mengaitkan antara pistol dengan besi tersebut agar ikan tidak terlepas setelah terpanah. Penggunaan panah yaitu dengan menyelam tanpa alat bantu pernapasan dan hanya menggunakan kacamata selam sederhana, ke dalam laut seakan memilih ikan langsung yang diinginkan. Hasil tangkapan dari penggunaan alat tangkap panah seperti Ikan Kakatua dengan beragam jenis dan ukuran. Ketiga jenis alat tangkap ikan tersebut tidak terbatas pada kondisi musim angin timur maupun musim angin barat. Artinya ketiga jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Bajo Sapeken dapat digunakan di semua musim angin meskipun pada target tangkapan yang berbeda. Selain itu, dari ketiga jenis alat tangkap ikan tersebut masih tergolong sederhana. Ikhtisar Pada awalnya, Suku Bajo merupakan suku pengembara laut yang hidupnya berpindah-pindah dengan menggunakan perahu. Dalam perjalanan mengembara mereka menangkap ikan untuk makan bersama keluarga dengan cara menyelam.
28
Sebelum teknologi penangkapan ikan masuk ke wilayah Pulau Sapeken, Nelayan Bajo Sapeken masih menggunakan sampan sederhana yang digerakkan dengan bantuan layar dan dayung. Penggunaan mesin pada perahu mulai ramai digunakan pada tahun 1993. Terdapat tiga jenis perahu tangkap ikan yang digunakan oleh nelayan, yakni boat, sampan dan lelepa. Meskipun jenis perahu yang digunakan berbeda-beda, namun Nelayan Bajo Sapeken menggunakan jenis alat tangkap yang sama, yaitu pancing (handline).
29
KEARIFAN LOKAL NELAYAN BAJO SAPEKEN Pengetahuan Lokal Nelayan Bajo Sapeken Dewasa ini sudah banyak dijumpai orang Bajo mulai mengalami kehidupan sosial yang berubah setelah menetap di darat. Namun tak dapat dipungkiri dalam hal menyangkut persoalan kelautan, Suku Bajo diakui paling mengenal tentang laut dan kehidupan di dalamnya bila dibanding suku lainnya (Saad 2008). Penangkapan ikan merupakan sebagai salah satu bentuk dari pemanfaatan sumber daya hayati laut yang kaitannya erat dengan pengetahuan lokal dan norma-norma yang dipercayai, disepakati dan dijalankan bersama. Nelayan Bajo Sapeken memiliki berbagai pengetahuan lokal dan kepercayaan yang masih dilakukan atau sudah tidak dilakukan lagi dalam kegiatan penangkapan ikan saat ini. Nelayan Bajo Sapeken memiliki sederet pengetahun lokal yang turut mendukungnya dalam kegiatan penangkapan ikan. Diantaranya pengetahuan tentang musim angin, musim banyaknya hasil tangkapan, pengetahuan dalam hal navigasi laut, pengetahuan ciri-ciri dari ikan berkumpul, serta tanda-tanda alam yang menunjukan waktu. Hal-hal tersebut sangat berguna untuk mempermudah proses penangkapan ikan yang diketahui mereka secara turun-temurun. Meski begitu, tidak semua responden Nelayan Bajo Sapeken mengetahui dan melakukan hal-hal tersebut. Berdasarkan hasil pengkajian dan wawancara terhadap responden (Tabel 10) terdapat dua musim angin utama yaitu musim angin barat dan musim angin timur. Musim angin barat terjadi pada bulan November, Desember, Januari, Februari, Maret dan berakhir di bulan April. Sedangkan musim angin timur terjadi pada bulan Mei, Juni, Juli, Agustus, September, dan berkahir di bulan Oktober. Sedangkan pada tiap sela masuknya musim barat, dikenal pula sebutan musim angin tengah barat yaitu musim angin pancaroba sebelum masuk pada musim angin utama. Kemudian musim angin tengah timur, sebagai musim angin pancaroba sebelum masuk pada musim angin utama. Tabel 10 Kalender Musim Responden Nelayan Bajo Sapeken, Kampung Bukut, Pulau Sapeken, 2015 Kalender Musim
1
2
3
4
5
Bulan ke6 7 8
9
10 11 12
Musim Angin Barat Musim Angin Timur Musim Pancaroba
Penentuan bulan pada musim angin merupakan pengetahuan lokal yang digunakan untuk mendapatkan ikan dalam target hasil tangkapan yang lebih melimpah. Terdapat jenis-jenis ikan yang lebih melimpah pada musim angin tertentu. Seperti Ikan Nos dan Tamberok yang banyak ditemukan pada musim angin timur (April sampai Oktober). Sementara Ikan, Kerapu, Sembula, dan Tenggiri banyak ditangkap nelayan pada saat musim angin barat (November sampai Maret). Selain penggunaan teknologi pada perahu tangkap ikan, Nelayan Bajo Sapeken turut menggunakan kompas dalam membantunya menentukan arah mata angin ketika melaut. Namun kompas hanya mendukung ketika penggunaan pada
30
malam hari atau ketika badai yang membuat langit gelap. Sebelum mengenal kompas, Nelayan Bajo Sapeken menggunakan rasi bintang sebagai penuntun arah mata angin ataupun penentu waktu. Teknik navigasi laut (Tabel 11) digunakan dalam observasi penentuan arah mata angin dengan menggunakan kondisi geografis alam, antara lain pulau, matahari, bulan, dan rasi bintang. Penggunaan kondisi geografis alam tersebut didasarkan pada pengalaman nelayan yang juga diajarkan secara turun-temurun. Tabel 11 Pengetahuan Teknik Navigasi Laut Menurut Kategori Perahu Tangkap Ikan pada Responden Nelayan Bajo Kampung Bukut, Pulau Sapeken, 2015 Jenis Perahu Boat Sampan Lelepa Total
Pulau-pulau N % 10 30,3 15 45,5 8 24,2 33 100
Bulan n 3 8 8 19
% 9,1 24,2 24,2 57,5
Rasi bintang n % 0 0 0 0 8 24,2 8 24,2
Secara umum pengetahuan teknik navigasi laut pada perahu tangkap ikan bermesin dan tanpa mesin memiliki cara yang sama, yaitu menggunakan kondisi dan posisi matahari, pulau, dan bulan sebagai patokan arah. Hanya nelayan lelepa yang masih menggunakan rasi bintang untuk melakukan navigasi laut. Teknik navigasi laut banyak digunakan nelayan untuk menentukan waktu, lokasi penangkapan ikan, dan musim ikan melimpah. Adapun kompas sebagai alat bantu navigasi laut digunakan oleh seluruh nelayan yang menjadi responden untuk menentukan arah mata angin. Kompas pun digunakan hanya jika keadaan malam atau badai yang mengurangi jarak pandang nelayan. Pengetahuan lokal lain yang diketahui oleh semua Nelayan Bajo Sapeken adalah pengetahuan menentukan musim penangkapan ikan yang berguna untuk menduga kelimpahan ikan di laut. Nelayan mengetahui bahwa pada saat musim angin barat ikan lebih melimpah dibandingkan musim angin timur sehingga nelayan cenderung tidak melakukan upaya penangkapan maksimal, seperti mengurangi frekuensi penangkapan ikan pada musim angin timur. Pengetahuan tersebut diplikasikan dan digunakan oleh nelayan yang menggunakan perahu mesin maupun perahu tanpa mesin. Filsafat hidup yang diwariskan leluhur Bajo, menjadikan orang Bajo berusaha memahami gejala alam sedini mungkin agar dapat mengelola seisi bumi. Bahkan pengetahuan mereka tentang gejala alam yang memberi pertanda tentang ada atau tidaknya konsentrasi ikan di suatu tempat di tengah laut (Saad 2008). Saat melakukan penangkapan ikan mereka menggunakan pengetahuannya dengan membaca tanda-tanda alam seperti keberadaan burung air di permukaan laut. Pengetahun lokal dalam kegiatan penangkapan ikan nelayan Bajo Sapeken seperti yang tampak pada Gambar 3 dibawah ini.
31
Gambar 3 Persentase Pengetahuan Lokal Mengetahui Keberadaan Burung di Permukaan Laut sebagai Pertanda Adanya Ikan di dalam Laut, 2015 Data pada Gambar 3 menunjukkan 63,6 persen Nelayan Bajo Sapeken mengetahui pengetahuan lokal tersebut yakni terdiri dari 12,1 persen nelayan boat; 24,2 persen nelayan lelepa dan 27,3 persen nelayan sampan. Namun adapun sebanyak 36,4 persen Nelayan Bajo Sapeken tidak mengenal pengetahuan lokal tersebut. Keberadaan sekumpulan burung yang terbang di atas permukaan laut menandakan adanya ikan di dalam perairan. Burung merupakan predator bagi ikanikan tertentu seperti jenis-jenis ikan pelagis kecil (ikan yang menempati habitat kolom perairan) dan dalam kondisi tertentu burung-burung bisa masuk ke dalam permukaan air untuk memangsa ikan. Keberadaan burung sangat menguntungkan bagi nelayan yang menangkap ikan pelagis seperti sembula dan tenggiri. Ikan-ikan pelagis kecil yang menjadi mangsa burung sering kali juga menjadi buruan ikan pelagis yang lebih besar, sehingga ketika burung berada di atas permukaan air sesungguhnya sekumpulan ikan sedang berada di bawah permukaan air. Kondisi tersebut yang menandakan keberadaan burung merupakan pilihan salah satu lokasi penangkapan ikan Nelayan Bajo Sapeken. Adapun pengetahuan lokal berikutnya adalah lokasi penangkapan Ikan Sunuk. Ikan Sunuk banyak menempati perairan dalam di luar Kepulauan Kangean. Data pada Gambar 4 menunjukkan bahwa sebanyak 30,3 persen Nelayan Bajo Sapeken mengetahui pengetahuan lokal mengenai lokasi penangkapan Ikan Sunuk. Sebanyak 69,7 persen Nelayan Bajo Sapeken mengaku tidak mengetahui pengetahuan lokal Lokasi Penangkapan Ikan Sunuk. Hal tersebut dikarenakan nelayan lelepa dan nelayan sampan tidak memiliki target menangkap Ikan Sunuk. Selain itu, nelayan lelepa dan nelayan sampan mengaku bahwa penggunaan perahu mesin besar menjadi mudah untuk mendapatkan Ikan Sunuk di perairan luar Kepulauan Kangean. Adapun alasan lain sebagaimana yang diutarakan oleh salah satu nelayan sampan pada saat diwawancarai: “Sapeken sudah semakin ramai, nelayan semakin ramai, laut pun menjadi semakin ramai. Sunuk hidup banyak di perairan Sapeken, dulu. Setiap tahun permintaan sunuk semakin meningkat. Saya suka dapat Sunuk dulu, puluhan tahun lalu. Lagipula nelayan boat sudah makin canggih mesinnya, mereka bisa incar Sunuk yang ada di laut jauh sana” (MJN, 47)
32
Gambar 4 Persentase Pengetahuan Lokal Lokasi Penangkapan Ikan Sunuk Nelayan Bajo Sapeken, 2015 Pengetahuan lokal penentuan lokasi penangkapan ikan lainnya oleh Nelayan Bajo Sapeken dengan memanfaatkan habitat kesukaan jenis-jenis ikan tertentu. Penentuan habitat kesukaan didasari oleh pengetahuan lokal yang didapat dari pengalaman yang diajarkan secara turun-temurun. Ikan Tenggiri misalnya banyak hidup menempati jauh dari perairan sekitar Pulau Sapeken. Sementara Sotong banyak menempati perairan sekitar dekat Pulau Sapeken. Selain lokasi penangkapan, penggunaan pengetahuan lokal oleh Nelayan Bajo Sapeken juga diaplikasikan dalam menentukan waktu. Nelayan Bajo Sapeken memanfaatkan keberadaan tanda-tanda alam seperti bulan untuk menentukan waktu masuknya bulan baru. Data pada Gambar 5 menunjukkan bahwa sebanyak 9,1 persen nelayan boat; 24,2 persen nelayan sampan dan 24,2 persen nelayan lelepa mengetahui pengetahuan lokal mengenai membaca bulan. Sedangkan sebanyak 42,4 persen yang terdiri dari nelayan boat dan nelayan sampan tidak mengetahui pengetahuan lokal tersebut.
Gambar 5 Persentase Pengetahuan Lokal Membaca Bulan Nelayan Bajo Sapeken, 2015 Adapun pengetahuan lokal mengenai tanda-tanda alam lainnya ialah rasi bintang yang dikenal oleh Nelayan Bajo Sapeken, yaitu rasi bintang naga, pupuruh, dan karsekar. Ketiga rasi bintang tersebut digunakan masyarakat untuk menentukan waktu dan musim angin. Pada nelayan boat dan sampan tidak mengetahui pengetahuan rasi bintang. Sebagaimana yang dikatakan oleh salah satu nelayan pengguna perahu mesin sebagai berikut:
33
“Kami sempat tau soal rasi bintang naga, pupuruh, karsekar, dan sebutan rasi bintang lainnya. Tapi hanya sebatas pernah tau, tidak digunakan terus-menerus akhirnya benar-benar lupa dan tidak pernah dipakai lagi. Saat melaut ke wilayah jauh, kami bisa menggunakan kompas. Jika melaut ke wilayah sekitaran Sapeken saja, kami sudah hafal dan biasanya menggunakan patokan pulaupulau saja. Apalagi kalau terang”. (KRS, 44 tahun)
Gambar 6 Persentase Pengetahuan Lokal Membaca Rasi Bintang Nelayan Bajo Sapeken, 2015 Sedangkan pada nelayan lelepa diketahui dan masih digunakan. Data pada Gambar 6 menunjukkan bahwa sebanyak 24,2 persen nelayan lelepa mengetahui pengetahuan lokal mengenai cara membaca rasi bintang. Namun tidak bagi 75,8 persen nelayan boat dan nelayan sampan, mereka tidak mengetahui pengetahuan lokal mengeani rasi bintang tersebut. Hal ini sebagaimana diutarakan oleh salah satu nelayan lelepa sebagai berikut: “Kami sudah melaut sejak hanya ada layar dan dayung, sampai sekarang. Para tetua sebelum kami, mengajarkan cara membaca rasi bintang karena tidak kenal kompas atau alat bantu lainnya, belum ada yang seperti itu. Kami mengajarkan kembali pada anakcucu, tapi ternyata banyak alat-alat bantu yang lebih mudah didapat dan dipahami”(KHL, 84 tahun)
Pemaparan tersebut memperjelas penyebab pengetahuan membaca rasi bintang dalam kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan pengguna perahu dengan mesin sudah tidak digunakan lagi. Serta bagi nelayan lelepa masih digunakan. Kedua pernyataan nelayan tersebut membuat perbedaan jelas, bahwa dua nelayan yang hidup berbeda zaman membuat perbedaan pula cara melaut. Terutama salah satu zaman yang dilalui ialah dengan adanya teknologi yang sudah berkembang. Kepercayaan Nelayan Bajo Sapeken Kegiatan menangkap ikan di laut tidak lepas dengan keadaan cuaca yang kurang mendukung. Mereka percaya hal tersebut dapat dipicu jika mereka melakukan kesalahan. Nelayan Bajo Sapeken memiliki kepercayaan yang masih dianut dalam proses operasi penangkapan ikan sebagai bentuk kearifan lokal. Kepercayaan dalam hal pantangan atau disebut pamali terlahir dari pewarisan para
34
pendahulu. Nelayan Bajo Sapeken percaya jika buang air kecil di tempat turun jaring atau pancing dan ketika hendak melaut; membuang sisa makanan di laut; serta membilas piring di laut. Ketiga hal tersebut dipercaya jika dilakukan maka memicu badai datang. Namun tidak seluruh Nelayan Bajo Sapeken menganut kepercayaan-kepercayaan tersebut. Menurut Uniawati (2014) proses pewarisan tersebut dapat mengalami perubahan karena cara pandang dan pola pikir generasi saat ini serta dianggap kuno dan tidak rasional. Data pada Gambar 7 menunjukkan bahwa sebanyak 63,6 persen Nelayan Bajo Sapeken yang terdiri dari 27, 3 persen Nelayan Sampan; 24,2 persen Nelayan Boat; dan 12,1 persen Nelayan Lelepa masih tetap menganut larangan ‘tidak membuang sisa makanan ke laut ketika melaut’. Sedangkan sisanya yakni 36,4 persen Nelayan Bajo Sapeken mengakui bahwa tidak menganut kepercayaan tersebut.
Gambar 7 Persentase Kepercayaan Tidak Membuang Sisa Makanan ketika Melaut Nelayan Bajo Sapeken, 2015 Sedangkan data persentase pada Gambar 8 menunjukkan bahwa sebanyak 60,6 persen Nelayan Bajo Sapeken masih menganut kepercayaan larangan ‘tidak buang air kecil di tempat jaring atau pancing turun’. Terdiri dari 24,2 persen Nelayan Boat; 21,2 persen Nelayan Sampan; dan 15,2 persen Nelayan Lelepa. Kemudian sisanya, sebanyak 39,4 persen Nelayan Bajo Sapeken mengaku bahwa tidak menganut kepercayaan tersebut.
Gambar 8 Persentase Kepercayaan Tidak Buang Air Kecil di Tempat Jaring atau Pancing Turun Nelayan Bajo Sapeken, 2015
35
Kepercayaan selanjutnya yakni ‘tidak mencuci piring ketika hendak atau saat melaut’ (Gambar 9) sebanyak 60,6 persen mengaku masih menganut kepercayaan tersebut. Sedangkan Nelayan Bajo Sapeken lainnya sebanyak 39,4 persen mengaku tidak menganut kepercayaan tersebut.
Gambar 9 Persentase Kepercayaan Tidak Mencuci Piring Ketika Hendak Melaut Nelayan Bajo Sapeken, 2015 Adapun kepercayaan yang masih dianut lainnya yaitu tidak melaut pada hari Jum’at, berbicara kasar ketika badai dan tidak berkata ‘tidak ada ikan di laut’. Menurut Nelayan Bajo Sapeken percaya hari Jum’at merupakan hari yang tidak baik untuk melaut berdasarkan ajaran yang ditemurunkan oleh orang-orang yang dituakan. Hal itu dikarenakan hari Jum’at merupakan hari yang mulia. Sebenarnya kegiatan penangkapan ikan tidak mengenal hari kecuali cuaca. Hanya saja, mereka percaya meluangkan waktu di hari Jum’at untuk beribadah akan mendapatkan lebih keberkahan dan kelancaran dalam kehidupan. Sebagaimana yang diungkapan salah satu Nelayan Bajo Sapeken sebagai berikut: “Nelayan bekerja tidak mengenal hari, apakah itu senin ataukah minggu. Tapi kami paham bekerja pun harus ada liburnya, kami percaya hari Jum’at adalah hari yang baik. Kami tidak melaut pada hari Jum’at, karena kami tidak mau Tuhan hanya melihat kami sebagai seorang pekerja. Kami berdo’a untuk hasil kerja agar diberikan keselamatan dan kelimpahan” (AMK, 50 tahun)
Terdapat hal menarik mengenai kepercayaan yang dianut Nelayan Bajo Sapeken yaitu dilarang berkata “dilaut tidak ada ikan”. Pada saat proses penangkapan ikan, tidak menutup kemungkinan para nelayan tidak mendapatkan ikan pada suatu sisi wilayah dan kemudian berpindah ke wilayah lainnya. Ketika situasi nelayan tidak mendapatkan ikan di suatu wilayah, maka ia pantang untuk mengeluarkan kalimat “dilaut sebelah sana tidak ada ikan” kepada dirinya sendiri dan orang lain (nelayan lain). Hal tersebut dipercaya bahwa nantinya tidak akan ada lagi ikan di laut. Hal ini meyakini bahwa Suku Bajo sangat menghormati laut sebagai tempatnya bertumpu sehingga perkataan pun sangat dijaga. Manusia itu sesungguhnya merupakan representasi dari alam beserta seluruh isinya (Saad 2008).
36
Kemudian jika terkena badai, dilarang sumpah serapah atau berkata buruk pada kondisi tersebut. Mereka percaya, laut merupakan tempat (alam) yang diberkahi. Adapun temuan lain dalam penelitian yakni ritual yang sudah ditinggalkan oleh seluruh Nelayan Bajo Sapeken adalah arakan kepala kerbau ke laut sebagai bentuk sesaji kepada sang dewa laut. Ritual tersebut sudah ditinggalkan sejak tahun 1975, dikarenakan adanya pengaruh kelembagaan agama di Pulau Sapeken yang mempertemukan antara adat istiadat dengan syariat agama Islam yang masuk ke Pulau Sapeken. Saat ini Nelayan Bajo Sapeken berpendapat bahwa mengarak kepala kerbau tidak sesuai dengan ajaran syariat agama Islam sehingga layak untuk ditinggalkan. Sebagaimana penuturan dari salah satu nelayan saat diwawancara sebagai berikut: “Dulu, masih dilakukan upacara-upacara seperti arakan kepala kerbau keliling pulau. Bahkan upacara atau ritual kami sebelum melaut seperti mebaca bacaan tertentu (mantera) kami senandungkan. Sekiranya hal-hal itu diturunkan oleh leluhur kepada kami. Tapi semenjak tokoh-tokoh agama keturunan mandar dan bugis datang dengan membawa ajaran-aturan agama, berangsur upacara dan ritual itu menghilang. Bebacaan atau mantera sudah sedikit yang masih menggunakan, mantera dengan bahasa Bajo itu kini berganti dengan do’a-do’a yang sesuai dengan ajaran Islam”. (MJN, 47 tahun)
Kelembagaan agama yang berdiri di tengah-tengah masyarakat Sapeken sangat diterima dengan baik. Kelembagaan agama tersebut terbentuk dari adanya dua buah madrasah besar yang dirintis oleh tokoh-tokoh agama terpandang di Pulau Sapeken. Tokoh agama terpandang dengan bergaris keturunan Bugis dan Mandar yang memasuki Pulau Sapeken sejak awal tahun 1970-an dan menyebarkan agama Islam secara perlahan kepada masyarakat Sapeken. Kemudian kelembagaan adat yang berdiri pada tahun 2002 oleh tokoh tua keturunan Mandar. Ia menyerukan “lembaga adat berdasarkan syariat Islam, syariat tegak masyarakat sejahtera”. Lembaga adat berperan besar dalam menghilangkan ritual dan upacara yang dianggap tidak berkenaan dengan syariat Islam. Sebagaimana penuturan dari salah satu informan tokoh agama di Pulau Sapeken: “Saya orang Bugis-Mandar, datang ke Sapeken sekitar tahun 70an dibawa oleh bapak Saya dari Sulawaesi. Bapak Saya adalah Abu Hurairah pendiri salah satu pesantren di Pulau Sapeken dengan tegas membasmi segala kemusyrikan yang ada disini. Seperti ritual laut kepala kerbau. Akhirnya hilang sekitar tahun 1975. Ritual sesajen itu ada pengaruh dari Bali, karena jarak Sapeken dan Bali sangat dekat”. (DLM, 63 tahun)
Meski begitu, adapun beberapa upacara atau budaya Bajo yang masih dipertahankan seperti mengarru dan massuro. Mengarru merupakan kata semboyan yang diartikan sebagai semangat hidup. Sedangkan massuro adalah upacara adat untuk hendak mempersunting seorang wanita yang dilakukan oleh laki-laki dan keluarganya. Kedua budaya tersebut dianggap para tokoh agama Sapeken merupakan budaya yang masih rasional untuk dilakukan dan patut dipertahankan.
37
Penggunaan teknologi menunjukkan bahwa tidak memudarkan kepercayaan yang dianut pengguna perahu mesin secara signifikan. Seperti yang sudah diketahui, kehidupan Bajo berhadapan dengan alam laut. Kehidupan mereka dipengaruhi oleh pandangan mereka terhadap kekuatan alam yang melingkari kehidupan sehari-hari (Saad 2008). Pengguna perahu mesin (sampan dan boat) merupakan nelayan yang mampu menjelajah atau menjangkau wilayah laut yang luas. Sehingga resiko bahaya yang ditempuh ketika melaut cukup besar. Sedangkan kepercayaankepercayaan diatas dipercaya mampu menangkal atau menjauhi nelayan dari cuaca buruk atau hal yang tidak diinginkan. Wilayah dan Hasil Tangkapan Ikan Nelayan Bajo Sapeken Penggunaan jenis perahu tangkap ikan oleh Nelayan Bajo Sapeken dapat dibedakan dari segi kemampuan menjangkau lokasi penangkapan ikan. Perahu tangkap ikan jenis boat memiliki jangkauan tangkap ikan lebih jauh dibandingkan jenis perahu tangkap lainnya. Boat dapat menjangkau hampir keseluruhan perairan Kepulauan Kangean, meyentuh perairan Laut Bali (bagian Selatan Kepulauan Kangean) dan menyentuh perairan Laut Jawa (bagian Utara Kepulauan Kangean). Sedangkan sampan mampu menjangkau lokasi penangkapan ikan sepanjang perairan sekitar Kepulauan Kangean. Sementara lelepa hanya mampu menjangkau pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Sapeken sebagai lokasi penangkapan ikan. Hal tersebut menunjukan jangkauan lokasi penangkapan ikan tergantung pada jenis perahu tangkap dan kapasitas mesin yang digunakan (teknologi). Sebagaimana dituturkan oleh salah satu nelayan pengguna perahu tangkap ikan jenis sampan bermesin sebagai berikut: “Bisa kami mencari ikan sampai jauh, tapi kami tidak terlalu berani apalagi jika cuaca tak menentu. Meskipun kami menggunakan sampan bermesin, namun tetap saja sampan karena ukurannya tidak besar seperti boat atau bido’ (kapal besar). Ketika gelombang tinggi, kami bisa saja terhantam dan sampan kami terbalik. Jika sebatas Kepulauan Kangean kami masih bisa menyanggupinya, karena masih banyak pulau-pulau yang terlihat”. (AZZ, 41 tahun)
Tabel 12 Wilayah Tangkapan Ikan Berdasarkan Jenis Perahu pada Responden Nelayan Bajo Kampung Bukut, Pulau Sapeken, 2015 Kep. Kep. Sapeken Kangean Jenis Perahu n % n % n % 10 30,3 10 30,3 10 30,3 Boat 15 45,5 15 45,5 12 36,4 Sampan 8 24,2 0 0,0 0 0,0 Lelepa Keterangan: *jangkauan dari yang terdekat hingga terjauh Sapeken
KangeanJawa n % 8 24,2 0 0,0 0 0,0
KangeanJawa-Bali n % 2 6,1 0 0,0 0 0,0
Pada Tabel 12 tersebut, data menunjukkan nelayan boat 16 pk mampu menjangkau lokasi penangkapan ikan pada perairan Kepulauan Kangean hingga perairan Laut Jawa. Kemudian nelayan boat 24 pk dan 26 pk mampu menjangkau lokasi penangkapan ikan di perairan Kepulauan Kangean hingga menyentuh
38
perairan Laut Jawa (24,2%). Serta hanya nelayan boat dengan kekuatan mesin 26 pk (6,1%) mampu menjangkau hingga perairan Laut Bali. Sedangkan pada nelayan lain seperti sampan 3 pk dan 5 pk hanya mampu menjangkau lokasi penangkapan ikan dengan jangkauan terjauh pada perairan Kepulauan Sapeken. Lalu nelayan sampan 5,5 pk sampai 8 pk mampu menjangkau perairan Kepulauan Kangean (36,4%). Kemudia terakhir, nelayan pengguna lelepa dengan jangkauan lokasi tersempit yakni hanya perairan Pulau Sapeken dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Adapun skema jangkauan wilayah tangkapan Nelayan Bajo Sapeken sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 10.
Gambar 10 Skema Jangkauan Wilayah Tangkapan Ikan Responden Nelayan Bajo Sapeken, Kampung Bukut, Pulau Sapeken, 2015 Namun meski nelayan boat memiliki jangkauan terjauh, mereka tidak menutup kemungkinan untuk memancing ikan di perairan Pulau Sapeken atau perairan Kepulauan Sapeken. Mereka memancing di perairan tersebut untuk mendapatkan ikan yang akan dijadikan umpan nantinya atau hanya sekedar ingin menangkap ikan di daerah yang dekat. Sama halnya dengan nelayan pengguna perahu boat mereka tetap memancing di perairan Pulau Sapeken untuk mendapatkan ikan yang akan menjadi umpan nantinya. Nelayan Bajo Sapeken tidak mengenal pembagian zonasi penangkapan ikan bagi tiap jenis perahu. Berdasarkan dari ulasan diatas, terlihat bahwa penggunaan mesin pada perahu mampu mengubah jangkauan wilayah tangkap Nelayan Bajo Sapeken. Hal tersebut didukung oleh penuturan Hamzah (2008) bahwa penggunaan mesin pada perahu mempermudah gerak nelayan untuk menentukan wilayah tangkapan tanpa mempertimbangkan untuk mendayung. Kondisi alam sangat berpengaruh dalam keberlangsungan kegiatan penangkapan ikan. Terutama kondisi angin yang berperan penting ketika melajukan perahu tangkap ikan. Nelayan Bajo Sapeken menggolongkannya ke dalam dua musim angin utama, yaitu angin barat dan angin timur. Setidaknya terdapat tiga jenis ragam hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan atau tidak sengaja tertangkap (by catch) yang berhasil didapatkan oleh nelayan pada musim angin barat. Dalam setiap satu kali perjalanan menangkap target tangkapan utama
39
tidak selalu berhasil mendapatkan tangkapan sampingan. Adakalanya, ketika mendapatkan tangkapan utama pun mendapatkan tangkapan sampingan. Namun adakalanya pula ketika mendapatkan tangkapan utama pun tidak mendapatkan tangkapan sampingan. Data pada tabel berikut dipaparkan bahwa jumlah hasil tangkapan utama dan sampingan merupakan jumlah terbanyak yang pernah diperoleh oleh nelayan (Tabel 13). Pada musim angin barat, Ikan Sunuk merupakan jenis hasil tangkapan utama nelayan boat. Ikan Sunuk merupakan target tangkapan utama nelayan boat. Ikan Sunuk adalah jenis Kerapu yang biasa hidup di terumbu karang dengan kedalaman tiga hingga 300 mdpl (meter dibawah permukaan laut). Pada kasus ini, nelayan boat melaut hingga diluar Kepulauan Kangean untuk mendapatkan Ikan Sunuk. Nelayan boat pergi melaut dengan jarak tujuh hingga delapan mil dari Pulau Sapeken. Maka dari itu, nelayan biasanya tidak sendirian untuk mencari Ikan Sunuk. Mereka mengajak satu sampai dua orang rekan atau kerabat untuk turut ikut melaut. Selama kurun satu minggu per satu kali perjalanan melaut untuk mendapatkan Ikan Sunuk, nelayan boat bisa membawa hasil tangkapan maksimal sejumlah lebih kurang 70 kilogram. Ikan Sunuk adalah primadona bagi nelayan, selain mereka harus melaut hingga perairan jauh dengan perbekalan yang cukup, Ikan Sunuk pun biasanya harus dalam keadaan hidup. Maka dari itu, harga Ikan Sunuk melambung tinggi bahkan mempunyai kelas-kelas kualitasnya sendiri. Permintaan ikan jenis ini cukup besar, nelayan menjual ke pengumpul lalu pengumpul menyiapkan Ikan Sunuk dalam keadaan hidup yang dibuat pingsan dan mengirim ke Bali bahkan hingga ke Hongkong. Dalam keadaan normal, Ikan Sunuk seharga 550.000 rupiah per kilogram. Bahkan pada perayaan Imlek, harga Ikan Sunuk mampu mencapai 1.600.000 rupiah per ekornya. Adapula Ikan Sunuk yang didapat oleh nelayan dibawa langsung ke pengumpul di Keramba Jaring Apung (KJA) yang berada disekitaran Pulau Sapeken untuk dijual. Setelah hasil tangkapan terkumpul, pengumpul KJA akan mengirim ke si pemesan. Selain hasil tangkapan utama, adapula hasil tangkapan sampingan nelayan boat. Hasil tangkapan sampingan merupakan hasil tangkapan yang tidak diduga oleh nelayan (by catch) salah satunya seperti Ikan Tenggiri. Tenggiri yang didapatkan by catch dapat memperoleh tangkapan maksimal sebanyak 15 kilogram dalam satu kali perjalanan yang sama dengan Ikan Sunuk. Namun adakalanya Ikan Tenggiri menjadi tangkapan utama, hal ini terjadi ketika nelayan boat melakukan penangkapan ikan diluar waktu penangkapan Ikan Sunuk. Berbeda dengan nelayan boat, hasil tangkapan utama pada angin barat bagi nelayan sampan dan lelepa berupa Ikan Sembulak. Ikan Sembulak merupakan ikan dari keluarga sardinilla yang ditangkap menggunakan jaring oleh para nelayan. Nelayan pergi ke laut untuk menjaring Ikan Sembulak yang dilakukan pada waktu sehabis ashar hingga malam hari. Hasil tangkapan terbanyak yaitu dapat mencapai sebanyak 90 kilogram Ikan Sembulak. Jenis ikan ini dihargai oleh para pengumpul dengan harga 10.500 rupiah per kilogram. Sedangkan hasil tangkapan sampingan yang biasa tertangkap nelayan sampan adalah Ikan Kuwe dewasa atau biasa disebut oleh nelayan adalah Ikan Masidun. Ikan ini dapat tertangkap sebanyak 20 kilogram dan bernilai ekonomi 10.000 rupiah untuk per kilogram. Selain menangkap ikan di laut lepas, Nelayan Bajo Sapeken pun gemar mencari kerang-kerangan di waktu istirahat melautnya seperti kekempa, kukurus,
40
kekedde, kima, seselit, dan koahbulu yang dapat ditemukan di padang lamun sekitar pulau-pulau untuk dijadikan lauk makan di rumah.
1
Tabel 13 Hasil Tangkapan pada Musim Angin Barat Menurut Jenis Perahu Responden Nelayan Bajo Sapeken, Kampung Bukut, Pulau Sapeken, 2015 Jenis Perahu Boat
Sampan
Jenis Tangkapan
Ʃ Trip/Hari
Musim Angin Barat Ʃ Ʃ Trip/Bulan tangkapan/trip
Total Tangkapan/Bulan
Sunuk*
1 trip/7 hari
1 trip/bulan
20 - 70 kg
20 - 70 kg
Tenggiri**
1 trip/7 hari
1 trip/bulan
10 - 15 kg
10 - 15 kg
Tenggiri*
1 trip/1 hari
18 trip/bulan
Sembulak* Masidun**
1 trip/ 1 hari
26 trip/bulan
1 trip/ 1 hari
26 trip/bulan
8 - 20 kg
144 - 360 kg
80 - 90 kg
2080 - 2340kg
10 - 20 kg
260 - 520 kg
30 - 50 kg
780 – 1300 kg
Jumlah Nelayan n %
10
30,3
15
45,5
8
24,2
Lelepa Sembulak*
Keterangan Sunuk dan tenggiri ditangkap dalam trip yang sama Hanya menangkap tenggiri dalam satu trip Sembulak dan masidun ditangkap dalam trip yang sama Hanya menangkap sembulak dalam satu trip
Keterangan: *tangkapan utama **tangkapan sampingan (by catch)
Sedangkan jenis hasil tangkapan tidak cukup beragam pada musim angin timur. Hal ini dikarenakan pada kondisi cuaca yang sering hujan dan disertai angin kencang sehingga gelombang pun akan naik. Nelayan memperkirakan cuaca terlebih dahulu untuk memutuskan pergi melaut atau tidak. Namun terkadang dengan jenis perahu yang besar dan cukup kuat melawan ombak, nelayan bersikeras tetap pergi melaut namun tidak untuk jangkauan wilayah tangkap yang jauh. Sehingga hal tersebut memengaruhi dalam perolehan hasil tangkapan nelayan. Pada ketiga nelayan menunjukkan jenis hasil tangkapan utama sama yakni Sotong atau kerap disebut Nus atau Nos yang ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pancing. Nos yang berhasil ditangkap oleh nelayan dijual kepada para pengumpul yang berada di sekitar Pulau Sapeken. Harga Nos mengalami fluktuatif, namun harga tertinggi saat ini adalah 40.000 rupiah untuk per kilogramnya. Data pada Tabel 14 menunjukkan, nelayan boat mampu mendapatkan hasil tangkapan maksimal Nos sebanyak 20 kilogram per satu kali perjalanan. Sedangkan hasil tangkapan maksimal Nos yang didapatkan nelayan sampan dan lelepa tidak mampu lebih dari 10 kilogram per satu kali 37
2 38 perjalanan. Hal ini dikarenakan nelayan boat mampu menjangkau wilayah tangkap yang lebih jauh dan mampu berpindah dengan cepat daripada nelayan sampan dan lelepa meski dalam kondisi musim angin timur. Kemudian ketiga nelayan menunjukkan kesamaan pula pada jenis hasil tangkapan sampingan yakni Ikan Tamberok yang ditangkap menggunakan alat tangkap pancing. Ikan Tamberok merupakan jenis ikan bernilai ekonomi rendah yakni 5.000 rupih untuk per kilogram. Maka dari itu, biasanya para nelayan membawa Ikan Tamberok ke rumah kemudian akan diolah oleh istri mereka. Olahan Ikan Tamberok berupa ikan yang sudah dibelah kemudian di rendam dengan larutan garam, sehingga menjadi Ikan Tamberok asin dan bernilai ekonomi lebih tinggi. Hasil olahan ikan tersebut kemudian dijual kepada para pengumpul dan dikirim ke daerah Surabaya, Bayuwangi dan wilayah Jawa lainnya. Tabel 14 Hasil Tangkapan pada Musim Angin Timur Menurut Jenis Perahu Responden Nelayan Bajo Sapeken, Kampung Bukut, Pulau Sapeken, 2015 Musim Angin Timur Jenis Perahu Boat
Jenis Tangkapan
Ʃ Trip/Hari
Ʃ Trip/Bulan
1 trip/ 1 hari
26 trip/bulan
Nos* Tamberok**
Sampan
Lelepa
Nos* Tamberok** Nos* Tamberok**
Keterangan: *tangkapan utama **tangkapan sampingan (by catch)
1 trip/ 1 hari
1 trip/ 1 hari
26 trip/bulan
26 trip/bulan
Ʃ tangkapan/trip
Total Tangkapan/Bulan
10 - 20 kg
260 - 520 kg
10 - 15 kg
260 - 390 kg
8 - 10 kg
208 - 260 kg
8 - 10 kg 5 - 8 kg 4 - 7 kg
208 - 260 kg 130 - 208 kg 104 - 182 kg
Jumlah Nelayan n % 10
30,3
15
45,5
8
24,2
Keterangan
Nos dan tamberok ditangkap dalam trip yang sama
Nos dan tamberok ditangkap dalam trip yang sama Nos dan tamberok ditangkap dalam trip yang sama
39
Data pada tabel dapat diasumsikan bahwa total nilai tangkapan Nelayan Bajo Sapeken cukup besar yang dapat dicapai selama sebulan. Namun perlu dipahami bahwa nelayan merupakan matapencaharian yang dilakukan dan mendapatkan hasil berupa uang pada tiap hari. Pekerjaan sebagai nelayan pun menempuh resiko yang sangat besar dilihat dari keselamatan dan hasil tangkapan. Dalam studi kasus ini (tabel hasil tangkapan ikan), hasil tangkapan nelayan dilihat dari perolehan jumlah minimal dan jumlah maksimal. Merunut dari jenis perahu tangkap yang digunakan masing-masing Nelayan Bajo Sapeken, menunjukkan bahwa penggunaan mesin pada perahu tangkap ikan mampu meningkatkan kemampuan mendapatkan hasil tangkapan. Hal tersebut disebabkan kemampuan menjangkau wilayah tangkap lebih luas dan kemampuan frekuensi penangkapan ikan lebih tinggi. Selain penggunaan mesin, adapun hasil modifikasi alat tangkap memengaruhi hasil tangkapan ikan nelayan. Berdasarkan hasil penelitian diatas, menunjukkan bahwa wilayah dan tangkapan ikan Nelayan Bajo Sapeken berubah akibat penggunaan mesin pada perahu. Penggunaan teknologi tersebut mampu mengubah pola kerja yang dianut oleh Nelayan Bajo Sapeken berabad silam lamanya. Awalnya, Bajo menangkap ikan dengan cara menetap sekian lama dan berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Begitu pula dengan hasil tangkapan ikan, dahulu Bajo hanya menangkap ikan guna memenuhi kebutuhan makan diri sendiri atau keluarga. Seperti halnya yang dikatakan oleh Hamzah (2008) bahwa modernisasi dengan penggunaan teknologi mampu mengubah pola kerja lama menuju pola kerja baru, yang selanjutnya dapat pula berimplikasi pada kehidupan sosial. Modernisasi perikanan melalui perubahan teknologi, tidak hanya terjadi melalui adopsi, akan tetapi menurut Satria (2002) dapat pula melalui inovasi. Menurut Koentjaraningrat (1982) dalam Hamzah (2008) bahwa penemuan baru dalam masyarakat dapat terjadi antara lain karena kesadaran akan kekurangan dalam kebudayaan, serta rangsangan pendorong mutu, dan ketidakpuasan akan keadaan sekarang. Menurut Dharmawan (2001) dalam Wianti (2011) menjelaskan mengenai perubahan masyarakat setelah tersentuh modernisasi yakni perubahan pada sktruktur sosial dari unit produksi skala rumah tangga menjadi unit skala perusahaan; tidak ada alur pertukaran uang; pekerjaan berdasarkan musim menjadi pekerjaan yang terus menerus. Perubahan-perubahan tersebut dialami oleh Nelayan Bajo Sapeken yang menggunakan teknologi. Alasan mendasarnya adalah untuk mendapatkan ikan yang lebih banyak. Ikhtisar Penggunaan teknologi tidak memudarkan kepercayaan yang dianut pengguna perahu mesin secara signifikan. Seperti yang sudah diketahui, kehidupan Bajo berhadapan dengan alam laut. Pengguna perahu mesin (sampan dan boat) merupakan nelayan yang mampu menjelajah atau menjangkau wilayah laut yang luas. Sehingga resiko bahaya yang ditempuh ketika melaut cukup besar. Sedangkan kepercayaan-kepercayaan diatas dipercaya mampu menangkal atau menjauhi nelayan dari cuaca buruk atau hal yang tidak diinginkan. Namun wilayah dan hasil tangkapan ikan Nelayan Bajo Sapeken berubah akibat penggunaan mesin pada perahu. Penggunaan teknologi tersebut mampu mengubah pola kerja yang dianut oleh Nelayan Bajo Sapeken berabad silam lamanya. Awalnya, Bajo menangkap
40
ikan dengan cara menetap sekian lama dan berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Begitu pula dengan hasil tangkapan ikan, dahulu Bajo hanya menangkap ikan guna memenuhi kebutuhan makan diri sendiri atau keluarga. Perubahanperubahan tersebut dialami oleh Nelayan Bajo Sapeken yang menggunakan teknologi. Alasan mendasarnya adalah untuk mendapatkan ikan yang lebih banyak.
41
ORIENTASI NILAI BUDAYA NELAYAN BAJO Setiap kebudayaan mengandung serangkaian konsep-konsep abstrak dan luas ruang lingkupnya dalam alam pikiran sebagian warga masyarakat mengenai apa yang dianggap penting dan bernilai dalam hidup. Masyarakat Bajo memandang bahwa segala yang ada di dunia ini merupakan anugerah Tuhan untuk kehidupan manusia, tinggal cara memanfaatkannya (Wianti 2011). Konsep orientasi nilai budaya menurut Kluckhohn terdapat lima masalah dasar manusia yaitu hakikat atau pandangan yang salah satunya adalah pandangan terhadap alam. Nelayan Bajo Sapeken memiliki pandangan hidup terhadap sumber daya hayati laut terkait makna, dan nilai-nilai lainnya sebagai sebuah orientasi atau panduan. Pada penelitian ini pengkajian orientasi nilai budaya difokuskan pada pandangan Nelayan Bajo Sapeken terhadap laut, hal ini bertujuan untuk mengaitkan antara adanya kearifan lokal yang telah berubah akibat sentuhan modernisasi yang berdampak terhadap orientasi nilai budaya (pandangan atau makna laut) nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya hayati laut. Pandangan tersebut dirunutkan berdasarkan karakteristik Nelayan Bajo Sapeken yakni dalam teknologi penangkapan ikan, wilayah tangkap, frekuensi penangkapan ikan dan pemahaman tentang hidup nelayan. Dalam studi ini, orientasi nilai budaya dilihat adalah dari kebiasaan perilaku, tatacara dan pola pikir yang saat ini dianut oleh nelayan. Nelayan Lelepa Bajo Sapeken Nelayan lelepa bajo sapeken adalah nelayan senior dengan umur yang berkisar diatas usia 50 tahun. Sejak pertama melaut hingga saat ini, mereka tidak menggunakan mesin dalam perahu tangkap ikannya. Hanya perahu sederhana dengan katir disalah satu sisi dan layar yang dapat dibongkar pasang sesuai kebutuhan, serta dayung sebagai pengendali arah laju perahu. Ketika hendak ke laut, biasanya mereka berjalan di air sembari menggiring perahunya hingga ke perairan yang cukup dalam. Alat tangkap ikan tradisional Bajo ialah panah. Mereka hanya perlu pergi ke lautan yang diperkirakan banyak ikan berkumpul. Lalu mereka menyelam hanya dengan menggunakan alat bantu yaitu kacamata sederhana dan memanah dengan alat berbentuk tombak atau kini seperti senapan tombak. Berbeda dengan dulu, saat ini nelayan lelepa tidak hanya menangkap ikan dengan panah namun dengan menggunakan jaring dan pancing. Dengan perahu tangkap dan alat tangkap yang tergolong sederhana, nelayan lelepa tidak dapat menjangkau wilayah luas untuk mendapatkan ikan. Jangkauan wilayah nelayan lelepa hanya disekitar Pulau Sapeken. Biasanya mereka pergi melaut selepas waktu shubuh dan kembali ke darat pada siang hari atau sore hari. Nelayan lelepa tentunya harus memanfaatkan angin darat dan angin laut untuk membantunya menuju laut hingga kembali. Hal ini dikarenakan lelepa merupakan perahu yang masih hanya menggunakan layar dan dayung untuk melaju. Dalam sehari, nelayan lelepa cukup hanya satu kali melaut (fishing trip), dengan memakan waktu kurang lebih 10 jam. Hasil tangkapan ikan nelayan lelepa tentu tergantung pada musim. Pada musim angin barat, hasil tangkapan ikan utamanya ialah Ikan Sembulak. Sedangkan pada musin angin timur, hasil tangkapan ikan utamanya ialah Nos dan Ikan Tamberok.
42
Dahulu, para manusia Bajo mencari ikan hanya untuk lauk makanan seharihari tanpa harus dijual ke pengumpul. Saat ini, ikan mempunyai nilai ekonomi besar untuk ditukarkan dengan uang. Nelayan akan membawa hasil tangkapan ke pengumpul yang ada di desa dan menjualnya sesuai dengan harga yang sudah ditentukan oleh pasar. Nelayan lelepa hidup dengan cukup sederhana. Mereka memiliki keturunan yang sudah dewasa dan memiliki keluarga masing-masing, membuat nelayan lelepa tidak memiliki banyak kebutuhan untuk biaya keperluan sehari-hari. Sehingga hal tersebut membuat nelayan lelepa tidak perlu bekerja keras untuk mencari ikan dan meng-uangkannya. Nelayan lelepa sangat menikmati melaut, baginya jika tidak melaut dalam sehari saja tubuh merasa sakit. Namun, pada musim angin timur dengan keadaan angin dan gelombang yang tidak tenang, nelayan lelepa sering kali tidak melaut. Hal tersebut dikarenakan, perahu yang digunakan mereka sangatlah riskan untuk menghadapi amukan ombak dan gelombang. Nelayan lelepa sangat memahami jika rejeki hidup pasti sudah ada yang mengatur. Melaut merupakan kegiatan yang tidak perlu dipaksakan bagi mereka. Jika laut sedang tidak tenang, nelayan lelepa percaya bahwa Tuhan sedang memperingati mereka untuk beristirahat. Dalam keadaan seperti itu, nelayan lelepa biasanya menghabiskan waktunya untuk membenahi peralatan tangkap ikan mereka. Tidak jarang pula mereka mencari kerang-kerangan yang banyak ditemukan di padang lamun untuk lauk makan dirumah panggung mereka. Ketika nelayan lelepa sudah berusia lanjut, mereka sudah terlalu tua dan lemah untuk pergi melaut. Namun mereka tetap tidak akan jauh dari laut, karena laut adalah segalanya bagi mereka. Dengan rumah panggung yang berada di tepi laut, mereka hanya memandangi laut dan sesekali menatap lelepa dalam kesehariannya. Selain itu mereka membenahi jaring miliknya dan membuka kain penutup lelepa yang sudah ter-parkir dibagian bawah rumah panggungnya. Maka dari itu tanggapan dari nelayan lelepa jika menangkap ikan tidak untuk mencari “setoran yang tinggi”. Hal ini dianggap nelayan lelepa sebagai kegiatan menangkap ikan menjadi hal yang mengalir dan hal yang tidak perlu untuk dipaksakan. Sebagaimana diceritakan oleh salah satu nelayan Bajo Sapeken pengguna jenis perahu tanpa mesin sebagai berikut: “Lelepa memang tidak menggunakan mesin untuk melaut. Pengguna lelepa seperti kami tidak mengganggap itu terlalu penting, karena laut mengerti apa yang kami butuhkan. Rejeki sudah ada yang mengatur. Kami berusaha semampunya, ikan-ikan pun akan datang. Leluhur kami menurunkan hal itu”.(KHL, 84 tahun)
Nelayan lelepa memiliki kepercayaan-kepercayaan yang dianutnya dalam hal melaut salah satunya, mengenai mantra. Mantra adalah suatu bacaan atau kalimat lisan yang lahir dari masyarakat sebagai perwujudan dari keyakinan atau kepercayaan (Uniawati 2007). Nelayan lelepa memiliki proses atau tahapantahapan untuk sampai ke laut hingga kembali ke daratan. Mereka selalu menyisipkan bacaan saat hendak menurunkan perahu ke laut, ketika hendak memasang kail pancing, ketika gelombang berubah menjadi tidak tenang, dan lain sebagainya. Bacaan atau mantra tersebut dilafalkan dengan menggunakan bahasa Bajo yang terlantun seperti syair, sajak atau puisi. Para nelayan lelepa percaya
43
bahwa bacaan tersebut dapat menjauhi atau menyelamatkan mereka dari hal-hal yang tidak diinginkan. Bacaan yang dipercaya tersebut, mereka peroleh secara turun-temurun dari keluarga. Selain kepercayaan, nelayan lelepa pun memiliki pengetahuan lokal yang mendukung kegiatannya dalam melaut. Salah satunya ialah, membaca rasi bintang untuk mempermudah nelayan lelepa dalam memperhitungkan waktu dan posisi arah. Seperti rasi bintang naga, rasi bintang pupuruh dan rasi bintang karsekar yang memiliki makna berbeda-beda. Kemampuan membaca rasi bintang ini hanya dimiliki oleh nelayan lelepa. Mereka mengaku jika pengetahuan ini didapat dari keluarga dan kerabatnya secara turun-temurun. Namun kini, bintang cukup sulit terbentuk sebuah rasi dan dibaca, hal ini dikarenakan pada hari gelap perahu dengan lampunya sudah ramai di lautan. Sebagaimana penuturan dari salah satu nelayan lelepa dalam wawancara sebagai berikut: “Dulu kami senang jika gelap gulita, banyak cahaya bintang dilangit yang terlihat seperti berbagai macam bentuk. Kami tidak membawa lampu, kami cukup menggunakan bintang-bintang penunjuk arah itu. Sekarang, perahu sudah banyak. Banyak pula yang membawa lampu sebagai tanda agar tidak tertabrak dengan perahu lain. Terkadang cahaya dari lampu perahu itu membut saya salah kira, karena cahayanya yang mirip bintang”. (ARS, 58 tahun)
Nelayan Sampan Bajo Sapeken Nelayan sampan bajo sapeken merupakan nelayan yang menggunakan perahu sejenis lelepa namun ditambahkan mesin dan memulainya pada tahun 1990an. Nelayan sampan dapat menjangkau wilayah tangkap hingga ke perairan Pulau Kangean untuk mendapatkan ikan. Sedangkan dalam hal frekuensi penangkapan ikan, biasanya nelayan sampan melakukan satu sampai dua kali perjalanan menangkap ikan dalam sehari. Perjalanan menangkap ikan (fishing trip) pertama dilakukan selepas waktu shubuh dan kembali ke darat di sore hari, dengan memakan waktu kurang lebih 10 jam. Sedangkan fishing trip kedua dilakukan pada selepas matahari terbenam dan kembali ke darat pada tengah malam, dengan memakan waktu kurang lebih enam jam. Namun fishing trip tersebut dilakukan jika hasil tangkapan pada fishing trip pertama kurang atau tidak mencukupi kebutuhan pada hari itu. Faktor lainnya pun tentu dipengaruhi oleh musim angin. Ketika musim angin barat, nelayan sampan dengan leluasa dapat melakukan penangkapan ikan pada waktu yang biasanya. Berbeda ketika musim peralihan dan musim angin timur, mereka kesulitan menentukan waktu penangkapan ikan karena cuaca, angin dan gelombang yang tidak menentu. Sebagaimana yang diungkapkan oleh salah satu nelayan Bajo Sapeken pada saat wawancara sebagai berikut: “Jika dulu kami belum mengenal adanya mesin, selain kami harus menyesuaikan dengan kondisi angin, kami pun sudah siap (perbekalan) dengan jangkauan dan lama penangkapan ikan yang lebih tinggi. Karena saat ini sudah mengenal mesin, kami bisa dengan mudahnya menjangkau wilayah tangkapan ikan bahkan kami bisa bolak-balik melaut pada pagi-sore semau kami”. (AMY, 35 tahun)
44
Mereka menggunakan pancing, jaring dan adapula yang menggunakan panah sebagai alat tangkap ikan. Berbeda dengan penggunaan pancing dan jaring yang dilakukan dari atas sampan. Alat tangkap panah dilakukan dengan menyelam kemudian menembak ikan yang menjadi target sasaran. Terdapat dua tipe yang dilakukan ketika penyelaman berlangsung yakni menyelam tanpa alat bantu pernapasan dan menyelam dengan alat bantu pernapasan. Nelayan sampan mengaku bahwa alat bantu pernapasan yang digunakan ketika menyelam ialah kompresor. Kompresor merupakan mesin atau alat mekanik yang berfungsi untuk meningkatkan tekanan atau memampatkan gas fluida atau udara. Kompresor biasanya menggunakan motor listrik, mesin diesel atau mesin bensin sebagai tenaga penggeraknya. Terdapat dua nelayan sampan yang mengaku pernah menggunakan kompresor untuk memanah ikan didalam laut. Mereka menyelam ke laut menggunakan snorkel sebagai alat bantu penglihatan dan tabung didalam mulut yang terhubung kompresor diatas sampan. Dalam keadaan tersebut, mereka leluasa memilih dan menangkap ikan yang menjadi target sasaran. Mereka seolah berjalan didalam air dan secara perlahan serta hati-hati membidik ikan sasaran. Mereka tidak merasa khawatir dengan berlama-lama didalam air karena udara yang dibutuhkan dapat disalurkan dari tekanan kompresor. Dalam penggunaan kompresor, mereka mengaku bahwa besarnya permintaan dari pengumpul luar Sapeken untuk jenis ikan tertentu. Meski pernah menggunakan kompresor untuk membantu mendapatkan hasil tangkapan lebih banyak, nelayan sampan menolak menggunakan bom ikan untuk mendapatkan ikan melimpah. Kendati sudah menggunakan teknologi dalam penangkapan ikan, nelayan sampan masih menyimpan pantangan dan pengetahuan yang dianggap dapat menghindari hal buruk ketika melaut. Namun tidak dengan membaca rasi bintang. Nelayan sampan mengaku tidak mempunyai kemampuan tersebut. Hal ini diakui karena tidak menggunakan ilmu yang diajarkan oleh turun-temurunnya. Kemudian berbeda pula dengan nelayan lelepa yang masih teguh menggunakan bacaan mantra yang digunakan selama proses penangkapan ikan. Nelayan sampan mengaku bahwa masuknya ajaran agama Islam membuat bacaan mantra tidak lagi mereka gunakan. Sebagaimana cerita dari salah satu nelayan sampan sebagai berikut: “Sebelum tokoh-tokoh agama dan madrasah-madrasah itu berdiri, kami masih ada bebacaan yang dipakai untuk melaut, untuk menangkap ikan, untuk kasih turun perahu. sebenarnya bebacaan atau mantra itu adalah sebuah kalimat do’a. sekarang kami pakai do’a-do’a yang berbahasa arab saja begitu untuk melaut dan lainlain”. (PJR, 47 tahun)
Nelayan Boat Bajo Sapeken Nelayan boat bajo sapeken merupakan nelayan yang terdiri dari nelayan golongan muda yakni dengan usia 49 tahun kebawah. Mereka menambahkan mesin yang cukup besar pada perahu tangkap ikan guna mempermudah kegiatan penangkapan ikan. Mereka tidak berpaut dengan angin dan layar untuk menggerakkan perahu. Ketika hendak ke laut, biasanya nelayan boat mengayunkan sebilah kayu atau bambu untuk membawa perahu keluar dari perairan dangkal. Pancing adalah alat tangkap yang digunakan oleh nelayan boat. Dengan boat, mereka mampu menjangkau wilayah penangkapan ikan dengan jarak yang jauh.
45
Selain itu, di musim angin barat hasil tangkapan ikan nelayan boat pun biasanya memiliki nilai ekonomi yang tinggi seperti Ikan Sunuk. Nelayan boat mampu mencari Ikan Sunuk sampai keluar perairan Kepulauan Kangean dan bermingguminggu lamanya. Namun mereka melakukannya jika sedang musim angin barat dan biasanya ditemani kerabat dengan perbekalan yang besar. Selain Ikan Sunuk, nelayan boat pun tentu menangkap ikan lain yang masih berada di sekitar Kepulauan Kangean. Dalam keseharian nelayan boat, mereka melakukan fishing trip sebanyak satu sampai tiga kali dalam perhari. Biasanya mereka bertolak dari darat selepas shubuh hingga siang hari kembali ke darat dengan memakan waktu kurang lebih delapan jam. Kemudian selepas istirahat dan makan siang dirumah, mereka kembali pergi ke laut hingga sebelum matahari terbenam. Namun fishing trip tersebut dilakukan jika hasil tangkapan pada fishing trip pertama kurang atau tidak mencukupi kebutuhan pada hari itu. Dalam keadaan tertentu seperti musim angin timur, hasil tangkapan berjumlah sedikit karena gelombang yang tinggi membuat nelayan tidak dapat melaut dengan jarak yang jauh. Hal ini membuat nelayan boat dapat pergi ke laut hingga ketiga kalinya pada waktu malam hari dan kembali ke darat pada tengah malam namun dengan jangkauan wilayah yang lebih sempit. Selain jenis perahu yang menggunakan mesin cukup besar, nelayan boat pun menggunakan kompas guna membantu penentuan arah terutama saat keluar dari perairan Kepulauan Kangean. Meski teknologi nelayan boat paling unggul, mereka tidak melupakan kepercayaan, pantangan, dan pengetahuan lokal yang mendukungnya dalam kegiatan penangkapan ikan. Nelayan boat cukup unggul dalam mengenali tandatanda alam yang terlihat untuk menentukan posisi ikan berkumpul. Berdasarkan pengalamannya, jika ada kerumunan burung laut diatas permukaan laut maka menandakan di dalam laut banyak ikan yang sedang berkumpul. Ikan kecil yang berkumpul didalam laut dapat memancing ikan yang lebih besar keluar dari laut dalam untuk memakan ikan kecil tersebut. Selain itu, mengenai pantangan yang mereka anut yakni tidak boleh berkata di laut sudah tidak ada lagi ikan. Pantangan lainnya pun tetap mereka pegang seperti hal-hal untuk menangkal badai datang. Hal ini mereka percayai bahwa jika mengatakan ucapan tersebut maka Tuhan akan mengabulkan dan nelayan tidak akan lagi mendapatkan ikan meskipun sudah mencari. Namun, mereka tidak lagi menggunakan bebacaan mantra dan tidak mengetahui cara membaca rasi bintang seperti nelayan sampan. Mereka memilih menggunakan kompas sebagai penentu arah di laut. Ketika laut dilanda amukan angin kencang dan gelombang tinggi, nelayan boat rela hanya didarat sekedar membenahi peralatan tangkap ikan atau mencari kerang-kerangangan yang kerap kali ditemukan di padang lamun. Dengan kebutuhan biaya hidup yang cukup tinggi, nelayan boat menganggap laut sebagai sumber penghidupannya untuk memberi makan keluarga di rumah. Mereka membangun rumah panggung cukup berjarak dengan laut. Sebagaimana yang dituturkan oleh salah satu nelayan boat sebagai berikut: “kami ini hidup karena laut. Kami bisa hidup karena laut”. (MHD, 47 tahun)
46
Nelayan boat biasanya memiliki satu sampai tiga pengumpul langganan untuk menukarkan hasil tangkapan ikan dengan uang. Selain dengan memiliki banyak pelanggan dari pengumpul, mereka mampu menilai harga ikan mana yang lebih tinggi. Nelayan boat tidak hanya menargetkan ikan mahal untuk ditangkap, namun mereka pun menangkap ikan-ikan kecil seperti Ikan Tamberrok atau ikan sejenis kakatua pelangi kecil kemudian diawetkan dengan diberi larutan garam lalu dijemur. Hasil olahan ikan tersebut dapat digunakan untuk cadangan makan dirumah atau dijual ke penadah ikan olahan. Nelayan boat menginsafi bahwa laut memberinya rejeki untuk bertahan hidup. Pandangan Nelayan Bajo Sapeken terhadap Laut Nelayan lelepa percaya bahwa penggunaan mesin pada perahu dapat mengusik keberadaan ikan didalam laut. Selain itu, mesin menghasilkan asap yang tidak enak ketika terhirup. Hal tersebut membuat anggapan bahwa asap yang dihasilkan dari mesin perahu sebagai salah satu pemicu cuaca yang menjadi tidak stabil. Nelayan lelepa menganggap laut adalah rumah. Mereka tidak membangun rumah-rumah diatas permukaan air seperti masyarakat Bajo di wilayah lainnya. Hal ini dikarenakan, Nelayan Bajo Sapeken merupakan penghuni pertama atau pendatang pertama di Pulau Sapeken. Meskipun begitu, mereka tidak pernah jauh dari laut. Rumah-rumah panggung mereka selalu berada di pinggir atau tepian laut yang bagian belakang langsung berhadapan dengan laut. Nelayan lelepa menganggap laut sebagai sumber kehidupan. Menurut nelayan lelepa sumber kehidupan manusia adalah berupa rejeki. Mereka menganggap laut dapat memberikan makanan, keindahan dan kenyamanan dalam hidupnya. Maka dari itu, nelayan lelepa memahami bahwa harus menghargai dan menghormati laut sebagaimana laut telah memberikan kehidupan bagi orang Bajo. Nelayan lelepa menginsafi bahwa jika kehidupan manusia harus berjalan beriringan (selaras) dengan alam karena Tuhan memberikan hidup melalui alam semesta. Berdasarkan penjelasan diatas, nelayan lelepa sesuai dengan yang dikatakan oleh Kluckhohn dalam kerangka mengenai lima masalah dasar hidup manusia (Tabel 1) yang salah satunya Hakekat Hidup Manusia terhadap Alam yakni, manusia berusaha menjaga keselarasan dengan alam. Menurut nelayan sampan laut merupakan sumber matapencaharian untuk menafkahi keluarga dirumah. Mereka akan setiap hari pergi ke laut untuk menangkap ikan dan ditukarkan dengan uang yang senilai kepada pengumpul di Sapeken. Namun jika laut tidak mendukung, mereka tidak akan memaksakan diri untuk pergi ke laut. Ketika tidak melaut, nelayan sampan mecari kerang-kerangan yang mudah ditemukan di padang lamun. Nelayan sampan menyadari bahwa saat ini laut sudah tidak seperti dulu lagi yakni ikan mudah dan dekat untuk didapatkan, penyu yang singgah di pantai, kejernihan air laut dari bibir pantai dan lain sebagainya. Mereka pun menyadari bahwa banyaknya nelayan sudah tidak tercukupi di perairan Sapeken, sehingga banyak nelayan yang harus pergi ke bagian laut yang cukup jauh untuk mendapatkan banyak ikan. Nelayan sampan sadar bahwa laut adalah sumber penghidupan bagi orang Bajo. Namun nelayan sampan sesuai dengan yang dikatakan oleh Kluckhohn dalam kerangka mengenai lima masalah dasar hidup manusia yang salah satunya Hakekat Hidup Manusia terhadap Alam yakni condong ke arah manusia berhasrat menaklukkan alam. Hal tersebut
47
ditunjukkan dari penggunaan teknologi yang digunakan nelayan sampan mampu memengaruhi kebiasaan perilaku, tata cara dan pola pikir dalam kegiatan penangkapan ikan Bajo. Sedangkan nelayan boat sesuai dengan yang dikatakan oleh Kluckhohn dalam kerangka mengenai lima masalah dasar hidup manusia yang salah satunya Hakekat Hidup Manusia terhadap Alam yakni condong ke arah manusia berhasrat untuk menaklukkan alam. Hal ini ditunjukkan oleh penggunaan mesin yang digunakan mampu memengaruhi fishing trip nelayan boat. Dengan penggunaan mesin pada perahunya mereka mampu melakukan penangkapan ikan hingga sebanyak tiga kali dalam sehari demi mendapatkan hasil yang memuaskan. Hal tersebut ditunjukkan pula dari perubahan kebiasaan perilaku, tata cara dan pola pikir dalam kegiatan penangkapan ikan Bajo. Berdasarkan pembahasan mengenai masing-masing nelayan dari ketiga jenis perahu tersebut maka dapat menunjukkan bahwa ketiga nelayan memiliki tata cara, pandangan dan perilaku yang berbeda-beda. Menurut C. Klukhohn dalam Koentjraningrat (1980), hakekat hubungan dengan alam sekitarnya, banyak kebudayaan yang mengkonsepsikan alam sedemikian dahsyat dan sempurna, sehingga manusia sepatutnya tunduk saja (subjucation to nature). Namun adapula manusia untuk menaklukkan dan memanfaatkan guna memenuhi kebutuhan (mastery of nature), dan manusia untuk hidup selaras dengan alam (harmony with nature). Adapun kesimpulan dari pemahaman atau pemaknaan laut menurut Nelayan Bajo Sapeken seperti yang tampak pada Tabel 15. Tabel 15 Orientasi Nilai Budaya Makna Laut menurut Nelayan Bajo Sapeken, 2015 Jenis Perahu Lelepa Sampan Boat
Orientasi Nilai Budaya: Makna Laut Pandangan Nelayan Dulu Sekarang Selaras dengan alam Selaras dengan alam Selaras dengan alam Berhasrat menaklukkan alam Selaras dengan alam Berhasrat menaklukkan alam
Ikhtisar Nelayan lelepa menginsafi bahwa jika kehidupan manusia harus berjalan beriringan (selaras) dengan alam karena Tuhan memberikan hidup melalui alam semesta. Berdasarkan penjelasan diatas, nelayan lelepa sesuai dengan yang dikatakan oleh Kluckhohn dalam kerangka mengenai lima masalah dasar hidup manusia yang salah satunya Hakekat Hidup Manusia terhadap Alam yakni, manusia berusaha menjaga keselarasan dengan alam. Sedangkan nelayan sampan dan nelayan boat seperti yang dikatakan oleh Kluckhohn dalam kerangka mengenai lima masalah dasar hidup manusia yang salah satunya Hakekat Hidup Manusia terhadap Alam yakni condong ke arah manusia berhasrat menaklukkan alam. Hal tersebut ditunjukkan dari penggunaan teknologi yang digunakan nelayan mampu memengaruhi kebiasaan perilaku, tata cara dan pola pikir dalam kegiatan penangkapan ikan Bajo.
48
49
SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Studi ini mengajukan dua butir hipotesis penelitian yaitu pertama, modernisasi teknologi penangkapan ikan merubah kearifan lokal Suku Bajo dan kedua, perubahan kearifan lokal Suku Bajo berdampak pada pergeseran orientasi nilai budaya Suku Bajo dari yang semula selaras dengan alam menjadi menaklukkan alam. Berdasarkan bukti ilmiah yang diperoleh, terdapat beberapa simpulan mengacu pada kedua hipotesis tersebut. Terkait hipotesis pertama. Akibat modernisasi kini terdapat dua jenis perahu yang digunakan Nelayan Bajo Sapeken, yakni perahu bermesin dan perahu tanpa mesin. Perahu bermesin meliputi dua jenis: perahu mesin boat (digunakan oleh 30,3% responden) dan perahu mesin sampan (digunakan oleh 45,5% responden), dengan kekuatan mesin yang bervariasi. Adapun perahu tanpa mesin atau yang disebut sebagai lelepa digunakan oleh 24,2% responden. Dengan digunakannya perahu bermesin (boat dan sampan), jangkauan wilayah tangkap menjadi lebih luas (hingga mampu menyentuh perairan Laut Jawa dan Laut Bali); frekuensi penangkapan ikan menjadi lebih kerap (hingga mampu 2-3 kali sehari); sehingga nilai hasil tangkapan ikan menjadi lebih tinggi (ikan yang bernilai ekonomi tinggi lebih banyak ditangkap); dibanding nelayan perahu tanpa mesin (lelepa). Modernisasi teknologi penangkapan ikan ini lebih banyak diadopsi oleh nelayan berusia dibawah 50 tahun dibanding nelayan berusia diatas 50 tahun. Sementara populasi nelayan yang berumur dibawah 50 tahun jauh lebih banyak dibanding yang berusia diatas 50 tahun. Sebagai akibatnya, kearifan lokal dikalangan Nelayan Bajo Sapeken kini mengalami degradasi atau pudar. Modernisasi teknologi penangkapan ikan telah memudarkan kearifan lokal Suku Bajo Sapeken. Terkait hipotesis kedua. Tatanan kearifan lokal Suku Bajo yang berubah akibat modernisasi berdampak pula pada bergesernya orientasi nilai budaya yang dianut oleh Nelayan Bajo Sapeken. Orientasi nilai budaya Suku Bajo Sapeken yang semula selaras dengan alam kini bergeser ke arah menaklukkan alam. Pergeseran orientasi nilai budaya ini diindikasikan oleh berubahnya sikap Suku Bajo yang menjadi lebih material dan transaksional dibanding sebelumnya. Kini laut lebih banyak dipandang sebagai obyek ketimbang subyek oleh sebagian besar Nelayan Bajo Sapeken yang berumur dibawah 50 tahun. SARAN Mengacu pada kesimpulan tersebut, terdapat beberapa saran yang dapat menjadi bahan pertimbangan di masa mendatang, yaitu: 1. Kearifan lokal yang masih terbangun dan dijaga oleh Nelayan Bajo Sapeken harus tetap diturun-temurunkan agar Suku Bajo tetap memiliki nilai yang secara tidak langsung mempertahankan kelestarian laut. 2. Penelitian selanjutnya, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut Empat Masalah Dasar Manusia pada kerangka C. Kluckhon lainnya yaitu: Hakekat
50
kepada Hidup, Hakekat kepada Manusia, Hakekat kepada Waktu, dan Hakekat kepada Karya. Sehingga mampu memperkaya khasanah ilmu pengetahuan Orientasi Nilai Budaya Nelayan Bajo Sapeken.
51
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja, Kusnaka. 2008. Dinamika Budaya Lokal Bandung: CV Indra. Prahasta bersama Pusat Kajian LBPB. Alwiyah, Utina R. 2008. BAPONGKA: Studi Nilai Pendidikan Pelesetarian Ekosistem Laut dan Pesisir pada Masyarakat Bajo. Jurnal. Arafah. 2002. Pengetahuan Lokal Suku Moronone dalam Sistem Pertanian di Sulawesi Tenggara. Asaad I. 2012. Pedoman Tata Cara Inventarisasi Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat yang Terkait dengan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. [internet]. [diunduh 12 Juni 2015]. Dapat diunduh dari:http://id.scribd.com/doc/235566792/Pedoman-Adat-KLH#scribd Bahtiar. 2012. Kearifan Lokal Orang Bajo dalam Pengelolaa Sumberdaya Laut. Hal 178-185. Vol 27 no 2. MUDRA. Baskara B, Astuti O. 2011. The Pamali of Wakatobi Bajo and its Role for Marine Conservation. Hal: 85-90. Vol 1 no 2. Journal of Indonesia coral reefs. Basrowi. 2005. Pengantar Sosiologi. Hal: 70-86. Ghalia Indonesia. Berkes F. 1993. Traditional Ecological Knowledge in Perspective. [internet]. [dinduh 11 Mei 2015]. Hal 1-158. Dapat diunduh dari:http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=fikret%20berkes%20filetype:p df&source=web&cd=9&cad=rja&uact=8&ved=0CFMQFjAI&url=http://www. portalces.org/sites/default/files/migrated/docs/1223.pdf&ei=g3FQVfrgCoX18 QXYuoGQDg&usg=AFQjCNHHWrZTQJFBtpDsLI7b6ERCS9-1pg&b C Roy, Berkes F. 2003. Nature Across Cultures, views of nature and the environment in non-western cultures. Depdiknas. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. [internet]. [diakses 08 Mei 2017]. Dapat diakses dari:http://kbbi.web.id/modernisasi Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian, Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (Alihbahasa S. Supomo). Jakarta: Bharata karya Aksara. Grange Philippe. 2013. Catatan tentang Sejarah Kepulauan Kangean. Kepulauan Kangean: Penelitian Terapan untuk Pembangunan. Hamzah A. 2008. Respons Komunikasi Nelayan Terhadap Modernisasi Perikanan (studi kasus nelayan suku bajo di desa lagasa kapupaten muna provinsi sulawesi tenggara). [Internet]. [diunduh 1 September 2015]. Dapat diunduh dari:http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/41403. Kaleka, Deselina. 2006. Analisis Pengembangan Armada Perikanan Tangkap di Perikanan Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur. Tesis KKP. 2015. Gambaran Umum Sapeken. [internet]. [diakses 08 Mei 2017]. Dapat diakses dari: http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/direktoripulau/index.php/public_c/pulau_info/386 Keraf. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta. Penerbit Buku Kompas Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Hal: 179-375. Rineka Cipta. Lampe M. Dinamika Kelembagaan Sosial Ekonomi Orang Bajo. Hal: 69-88. Jagad Bahari Nusantara. La Ode. 2010. Kajian Strategi Pengelolaan Sumberdaya Laut oleh Masyrakat Adat dalam Kawasan Taman Nasional Wakatobi. Tesis
52
Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran. 2002. Komposisi Jenis Alat Tangkap yang Beroperasi di Perairan Teluk Banten, Serang. Laporan Penelitian. Peribadi, 2000. Kedudukan dan Peranan Perempuan dalam Sistem Kekerabatan Masyarakat Bajo: Studi Komunitas di Kecamatan Soropia Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara, Program Pascasarjana IPB. Saad S. 2009. Bajo Berumah di Laut Nusantara. Sajogyo. 1985. Modernization Without Development In Rural Java. Bogor Agricultural University. Satria. 2001. Dinamika Modernisasi Perikanan: Formasi Sosial dan Mobilitas Nelayan. Bandung Satria. 2009. Ekologi Politik Nelayan. Yogyakarta Singarimbun M, Effendi S. 2008. Metode Penelitian Survai. Jakarta (ID): LP3ES. Soekanto S. 2009. Sosiologi suatu Pengantar. Hal: 149-159. Rajagrafindo Persada. Soemarwoto. 2008. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan. Stefanus Stanis , Supriaharyono, Bambang. 2007. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut melalui pemberdyaan kearifan lokal di kabupaten Lembata provinsi Nusa Tenggara Timur. Hal: 67-82. Vol 2 no 2. Jurnal pasir laut. Suhartini. 2014. Kajian kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. [Internet]. [diunduh 7 April 2015]. Hal: 206-218. Dapat diunduh dari:http:/staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Ir.%Suhartini,%20MS./Sh tn%Semnas%20MIPA%2009%20Kearifan%20Lokal.pdf Sulaeman M. 2012. Ilmu Budaya Dasar. Hal: 5779. Refika Aditama. Bandung. Suryanegara E. 2015. Perubahan Sosial pada Kehidupan Suku Bajo: Studi Kasus di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Majalah Globe. Vol: 17 No 1. Sztompka P. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial. Hal: 85-99. Prenada. Jakarta. Uniawati. 2007. Mantra Melaut Suku Bajo: Interpretasi Semiotik Reffaterre. Tesis. Uniawati. 2014. Perahu dalam Pamali Orang Bajo: Tinjauan Semiotika Sosial Halliday. Vol. 20 No. 4. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Utina R. 2012. Kecerdasan Ekologis dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bajo Desa Torosiaje Provinsi Gorontalo. Weiner B. 1980. A Cognitive Action Model of Motivated Behavior: An Analysis of Judgments of Help-Giving. Winanti I. 2011. Kapitalisme Lokal Suku Bajo (Studi Kasus Nelayan Bajo Mola dan Mantigola, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi tenggara. Tesis. Wulansari D. 2009. Sosiologi: konsep dan teori. Hal: 76-81. Refika Aditama. Wunawarsih. 2005. Faktor Komunikasi dan Sosial Ekonomi yang Berhubungan dengan Adaptasi Nelayan: Kasus Relokasi Nelayan Bajo di Desa Bajo Indah, Kecamatan Soropia, Kabupaten Kendari. Insitut Pertanian Bogor. Zacot R. 2002. Orang Bajo: suku pengembara laut (catatan seorang antropolog). Kepustakaan Populer Gramedia.
53
LAMPIRAN Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian
54
Lampiran 2 Dokumentasi Penelitian
1. Boat yang masih dalam tahap
pembuatan
2. Perawatan mesin oleh nelayan
sampan
3. Pelabuhan Sapeken
4. Ikan segar yang siap dikirim ke Bali
5. Nos atau Sotong hasil tangkapan nelayan
6. Kakatua hasil tangkapan nelayan
55
7. Olahan ikan asin oleh para pengumpul
8. Keramba Jaring Apung di sekitar Pulau Sapeken
9. Lobster di Keramba Jaring Apung
10. Salah satu jenis umpan tiruan milik nelayan
11. Alat tangkap pancing nelayan
12. Kegiatan nelayan mempersiapkan kail untuk memancing
56
13. Alat tangkap panah nelayan
14. Rumah panggung masyarakat Sapeken
15. Tugu kelembagaan adat Sapeken
16. Situasi pasar Sapeken
57
Lampiran 3 Rute dan Jadwal Kapal Perintis Tujuan Sapeken Kapasitas No Nama Kapal Rute Kapal Kapal 1 Armukti - 745 DWT Tanjung perakPalapa - 225 orang Masalembupenumpang KaliangetPagerungan BesarSapeken-Tanjung Wangi 2 Sabuk - 784 DWT Tanjung WangiNusantara - 175 orang Sapeken-Pagerungan penumpang Besar-KaliangetMasalembu-Tanjung Perak 3 KM Maumere- 425 DWT Bima-Badias-Carik- 20 orang Celukan Bawangpenumpang Sapeken-KangeanKaliangetMasalembu-Tanjung Perak 4 KM Sukaria - 490 DWT Tanjung Perak- 20 orang Kalianget-Sapudipenumpang Kangean-SapekenCarik-Badas-BimaLabuhan BajoWaikelo-Waingapu 5 KM Mitra - 487 DWT Tanjung WangiPapua - 50 orang Sapeken-Pagerungan penumpang Besar-KaliangetMasalembu-Tanjung Perak Sumber: Data Pelabuhan Sapeken, 2015
Jadwal Kapal 2 minggu sekali
2 minggu sekali
20 hari sekali
11 hari sekali
2 minggu sekali
58
RIWAYAT HIDUP Mutiara Fadhila dilahirkan di Bekasi, 04 Juni 1993. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Abdurrahman Shaleh dan Diana Dewi. Penulis mengenyam pendidikn di TK Al-Banin pada tahun 1999-2000, kemudian dilanjutkan di SD Bani Saleh 1 pada tahun 2000-2005. Masa remaja dihabiskan penulis di SMP TASHFIA pada tahun 2005-2008 dan SMA KORPRI BEKASI pada tahun 2008-2001. Penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor dengan jurusan Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia melalui jalur tes UTM (Ujian Talenta Mandiri) pada tahun 2011. Semasa kuliah, penulis bergabung dengan LAWALATA IPB yang didirikan oleh Soeryo Adiwibowo L-001. Pada Juli 2012 penulis sebagai Tim Advance dalam Ekspedisi Siberut 2012 dengan kajian “Studi Primata Endemik Simakobu (simias concolor)” di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Penulis pun turut serta dalam Search and Rescue (SAR) sebagai tim evakuasi lapangan pada kecelakaan pesawat SUKHOI super jet di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Pada bulan Mei tahun 2012 penulis turut serta dalam PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) dengan kajian “Analisis Vegetasi Bertelur Penyu dan Pengelolaan Penangkaran Penyu” di Cikepuh, Banten. Penulis pun sempat menjadi Manajer pada Ekspedisi Solo Sepeda Nusantara pada Sepetember 2012Juli 2013. Penulis pun turut serta menjadi Enumerator NTFP-EP dengan kajian tradisi tenun Suku Dayak di wilayah Kalimantan Barat pada 2015, dan sebagai Asisten Konsultan Remark Asia dalam bidang Social Impact Assesment wilayah Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan pada tahun 2016. Serta sebagai Koordinator Lomba Mulung Sampah Ciliwung ke-8 se Kota Bogor pada tahun 2016. Minat penulis terhadap lingkungan timbul sejak tergabung dalam LAWALATA IPB. Sedangkan minat penulis mempelajari mengenai pesisir dan laut karena penulis menyukai laut dan sengaja mengikuti minor Manajemen Sumberdaya Perairan. Program minor yang ditawarkan oleh Departemen SKPM tersebut memberikan kesempatan bagi penulis untuk mempelajari pesisir dan laut lebih kompleks dan mendalam serta memiliki pengalaman turun langsung ke beberapa wilayah pesisir, melihat kondisi biologis maupun sosial masyarakat pesisir.