PERFORMA BAKALAN INDUK DOMBA LOKAL YANG DIBERI RANSUM DENGAN LEVEL ENERGI YANG BERBEDA
SKRIPSI YULIANRI RIZKI YANZA
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RINGKASAN YULIANRI RIZKI YANZA. D24070104. Performa Bakalan Induk Domba Lokal yang Diberi Ransum dengan Level Energi yang Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. PembimbingUtama : Prof. Dr. Ir. I Komang GedeWiryawan. PembimbingAnggota : Ir. Kukuh Budi Satoto, MS. Komoditi peternakan domba perlu dikembangkan untuk mendukung tercapainya swasembada daging 2014. Saat ini program 2014 Program Swasembada Daging Sapi 2014 (PSDS 2014) hanya mampu memenuhi 70-75% kebutuhan daging nasional sehingga produksi daging perlu ditingkatkan. Data Direktorat Jenderal Peternakan terakhir menyebutkan bahwa populasi domba di Indonesia hingga tahun 2010 yaitu 10.932.000 ekor dengan konsumsi hanya sekitar 4% dari konsumsi daging nasional (Statistik Peternakan, 2010). Domba lokal merupakan komoditi peternakan rakyat yang sangat potensial untuk dikembangkan karena mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap iklim tropis, pakan kualitas rendah, sebagai penghasil daging yang potensial, dan memiliki fertilitas yang tinggi (FAO, 2002). Pemberian pakan berkualitas rendah mengakibatkan produksi tidak maksimal. Kekurangan energi pada ternak muda akan menghambat pertumbuhan dan pencapaian dewasa kelamin. Diperlukan konsentrat dengan protein dan energi yang sesuai untuk pertumbuhan karena hingga lepas sapih rumennya belum sempurna untuk mencerna serat kasar hijauan pakan (Gardner dan Hogue, 1963). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui performa bakalan induk domba lokal yang diberi ransum dengan level energi yang berbeda. Penelitian ini menggunakan 12 ekor domba lokal betina dara lepas sapih, yang mempunyai rata-rata bobot badan 9.67 + 0,26 kg dan umur 2 - 3 bulan. Pakan yang digunakan terdiri atas rumput lapang dan konsentrat yaitu jagung, onggok, bungkil kelapa, molases, CPO, CaCO 3 , premix, urea, garam, dan DCP. Penelitian ini menggunakan 3 macam ransum masing-masing dengan 4 ulangan. Tiga ransum tersebut adalah P1=TDN 65% dan PK 14%, P2=TDN 70% dan PK 14%, P3=TDN 75% dan PK 14% yang terdiri atas rumput lapang dan konsentrat dengan perbandingan 40:60 pada ransum I dan II, dan 30:70 pada ransum P3 serta air diberikan secara adlibitum. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan analisis data menggunakan ANOVA, dilanjutkan dengan kontras orthogonal jika terdapat perbedaan nyata. Penelitian dilakukan selama 89 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tidak nyata (P>0,05) berpengaruh terhadap konsumsi bahan kering, TDN, protein kasar, pertambahan bobot badan, dan efisiensi pakan, namun terdapat perbedaan nyata(P<0,05) terhadap konsumsi mineral Ca. Konsumsi mineral Ca yang berbeda nyata dipengaruhi oleh komposisi mineral Ca dalam ransum antar perlakuan. Pemberian ransum dengan level energi yang berbeda tidak mempengaruhi penampilan produksi bakalan induk domba lokal, sehingga pemberian ransum dengan kandungan TDN 65% sudah cukup. Kata Kunci : Bakalan induk domba, performa, TDN
ABSTRACT Performance of Young Female Local Sheep Feed Rations With Different Energy Levels Y. R.Yanza, K. G.Wiryawan, K. B. Satoto
Young female sheep require adequate energy to improve their performance and reproduction. However, in reality most farmers are not aware of the condition. This experiment was aimed at investigating the effect of different energy levels on the performance of young female sheep. Twelve post-weaning female sheep with average body weight of 9.67 ± 1.72 kg were used in this experiment and fed three rations with different energy levels for 89 days. The rations as treatments consisted of P1= ration with 65% TDN; P2= ration with 70% TDN; and P3= ration with 75% TDN. The experiment used completely randomized design, and data analysis were done with analysis of variance. Further analysis was conducted using orthogonal contrast. Results of the experiment show that different energy levels did not significantly affect consumption of TDN, crude protein, body weight gain, and feed efficiency, but it significantly (P < 0.05) influenced the Ca consumption. It is concluded that ration with 65% TDN is sufficient to support the performances of young female sheep. Keywords: performance, young female sheep, TDN.
PERFORMA BAKALAN INDUK DOMBA LOKAL YANG DIBERI RANSUM DENGAN LEVEL ENERGI YANG BERBEDA
YULIANRI RIZKI YANZA D24070104
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Judul
: Performa Bakalan Induk Domba Lokal Yang Diberi Ransum Dengan Level Energi Yang Berbeda.
Nama
: Yulianri Rizki Yanza
NIM
: D24070104
Menyetujui,
Pembimbing Utama,
(Prof. Dr. Ir. I Komang Gede Wiryawan) NIP. 19610914 198703 1 00 2
Pembimbing Anggota,
(Ir. Kukuh Budi Satoto, MS.) NIP. 19490118 197603 00 1
Mengetahui: Ketua Departemen, Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
(Dr. Ir. Idath Galih Permana, MSc. Agr.) NIP. 19670506 199103 1 00 1
Tanggal Ujian: 19 Juli 2012
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Pekanbaru 20 Juli 1989. Penulis merupakan keturunan suku Mandailing pihak ibu Nurbayani dan kemenakan Melayu Kubung dari pihak bapak Zakir Has. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan
formal
penulis
dimulai
dari
pendidikan Sekolah Dasar dan lulus di SDN 020 Bukit Raya Pekanbaru (1995-2001). Penulis melanjutkan pendidikan di MTSN Pekanbaru (2001-2004). Kemudian Penulis melanjutkan pendidikan di SMAN PLUS Provinsi Riau (2004-2006) dan lulus di SMAN 1 Pekanbaru (2006-2007). Pada tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor jurusan Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Selama menempuh pendidikan di InstitutPertanian Bogor, Penulis pernah menjalankan 3 PKM (Program KreativitasMahasiswa) bidang penelitian tahun 20102011 dan menjadi asisten praktikum di Laboratorium Agrostologi Departemen INTP, IPB selama 2 tahun (2010-2012) serta mengikuti Program Mahasiswa Wirausaha (PMW) yang dilaksanakan CDA-IPB tahun 2011. Penulis juga sempat menjadi guru bantu di SMK Pertanian Agri Insani untuk mata pelajaran Bahasa Inggris dan Fisika tahun 2011-2012. Selain itu, penulis aktif dalam organisasi mahasiswa daerah Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Riau-Bogor (IKPMR Bogor), Himpunan Mahasiswa Nutrisi Ternak (2009-2010), dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) (2007-2012). Yulianri Rizki Yanza D24070104
iii
KATA PENGANTAR Puji dan syukur yang tak terkira kepada Allah SWT, atas berkat dan rahmatNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Institut Pertanian Bogor. Skripsi yang berjudul Performa Bakalan Induk Domba Lokal yang Diberi Ransum dengan Level Energi yang Berbeda sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana peternakan dari Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang dimulai dari bulan November 2010 hingga Februari 2011 di Laboratorium Lapang dan Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Insititut Pertanian Bogor. Penulis menyadari Skripsi ini masih terdapat kekurangan dan berharap dapat memberikan informasi mengenai performa bakalan induk domba lokal yang diberi ransum dengan level energi yang berbeda. Penulis juga berharap karya ini dapat dimanfaatkan di dunia peternakan khususnya dalam upaya untuk peningkatan produktivitas domba lokal untuk memajukan Swasembada Daging Nasional tahun 2014. Bogor, Februari 2012 Penulis
iv
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN……………………………………………………….…….
i
ABSTRACT……………………………………………………….………
ii
RIWAYAT HIDUP……………….…….……………….…….………….
iii
KATA PENGANTAR……………….…….……………….……………..
iv
DAFTAR ISI……………….…….……………….…….…………………
v
DAFTAR TABEL……………….…….……………….…….……………
vii
DAFTAR GAMBAR……………….…….……………….…….………...
viii
DAFTAR LAMPIRAN…………….…….……………….…….………...
xi
PENDAHULUAN Latar Belakang……………….…….……………………….……. Tujuan……………….…….……………….…….………………. Manfaat…………….…….……………….…….………………...
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA Potensi Domba Lokal……………….………….………………... Ransum…………….…….……………….…….………………… Rumput Lapang..………………………………………… Jagung……………………………………………………. Bungkil Kelapa…………………………………………… Onggok…………………………………………………… Molases…………………………………………………… CPO……………………………………………………… Urea……………………………………………………… Garam……………………………………………………. Premix……………………………………………………. DCP……………………………………………………… CaCO3……………………………………………………
3 4 5 5 6 6 6 7 7 7 8 8 8
Konsumsi……………….…….……………….…….…………… Kebutuhan Nutrisi Bakalan Induk Domba……………….……… Energi……………….…….……………….…….……… Protein……………….…….……………….…….……… Mineral Ca dan P……………….…….……………….…
8 10 11 13 14
Pertambahan Bobot Badan Harian……………….…….………... Efisiensi Ransum……………….…….……………….…………. IOFC……………………………………………………………..
15 17 17
MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat……………….…….……………….……….. Materi……………….…….……………….………......................
18 18 v
Ternak Percobaan……………….…….……………….….. Pakan dan Perlakuan…………….…….……………….….. Kandang dan Peralatan…………….…….………………...
18 18 20
Metode…………….…….……………….…..…………….……. Prosedur Pemeliharaan…………….…….………………... Analisis Proksimat Ransum dan Perhitungan TDN………. Rancangan Percobaan…………….…….………………..... Peubah yang diamati…………….…….………………....... Analisis Data…………………….…….………………......
20 20 21 22 22 24
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering…………….…….……………….......... Pola Konsumsi Bahan Kering Ransum……………………
25 26
Konsumsi Zat Makanan…………….…….………………........... Konsumsi PK……………………………………………… Konsumsi LK……………………………………………... Konsumsi SK……………………………………………... Konsumsi TDN……………………………………………. Pola Konsumsi TDN Ransum……………………
27 27 28 29 29 30
Konsumsi Mineral Ca dan P……………………………… Pola perbandingan konsumsi Ca dan P…………..
31 32
Performa, Efisiensi Ransum dan IOFC Bakalan Induk Domba... Performa Bakalan Induk Domba………………………….. Pola Pertambahan Bobot Badan…………………
33 34 35
Efisiensi Ransum………………………………………….. IOFC………………………………………………………
36 36
Kesimpulan……………….…….……………….………………. Saran……………….…….……………….……………………...
37 37
PENUTUP
UCAPAN TERIMA KASIH.…….……………….……………………...
38
DAFTAR PUSTAKA……….…….……………….……………………...
39
LAMPIRAN……………….…….……………….…………………….....
44
vi
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Komposisi Ransum Perlakuan….…….……………….…………………
19
2. Kandungan Zat Makanan Perlakuan..……………….……………….…
20
3. Konsumsi Bahan Kering Ransum Bakalan Induk Domba.…………...…
25
4. Konsumsi Zat Makanan Domba Selama 89 Hari…….………………..…
27
5. Penampilan Produksi, Efisiensi dan IOFC Bakalan Induk Domba……..
34
vii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Kurva Sigmoid Pertumbuhan Domba..……………….………………
16
2.
Ternak domba yang digunakan….…….……………….…………….
18
3.
Bangunan kandang serta peralatan..……………….……………….. .
21
4.
Pemeliharaan dan PerlakuanTernak Domba..…………...……………
21
5.
Grafik pola konsumsi BK bakalan induk domba lokal yang diberi Ransum dengan TDN 65%, TDN 70% dan TDN 75%........................
26
Grafik pola konsumsi TDN bakalan induk domba lokal yang diberi Ransum dengan TDN 65%, TDN 70% dan TDN 75%.…………...…
30
Grafik perbandingan konsumsi Ca dan P bakalan induk domba lokal yang diberi ransum dengan TDN 65%, TDN 70% dan TDN 75%.....
32
Grafik pertambahan bobot badan bakalan induk domba..…………...
35
6. 7. 8.
viii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1.
Halaman Sidik Ragam Konsumsi Bahan Kering Konsentrat Selama Pemeliharaan..…………………………………………………….
45
Sidik Ragam Konsumsi Bahan Kering Rumput Selama Pemeliharaan..…………………………………………………….
45
Sidik Ragam Konsumsi Bahan Kering Ransum Selama Pemeliharaan..…………………………………………………….
45
4.
Sidik Ragam Konsumsi PK Ransum Selama Pemeliharaan.……..
45
5.
Sidik Ragam Konsumsi LK Ransum Selama Pemeliharaan.……..
45
6.
Sidik Ragam Konsumsi SK Ransum Selama Pemeliharaan.……..
45
7.
Sidik Ragam Konsumsi TDN Ransum Selama Pemeliharaan.…...
46
8.
Sidik Ragam Konsumsi Ca Ransum Selama Pemeliharaan..……..
46
9.
Sidik Ragam Konsumsi P Ransum Selama Pemeliharaan………..
46
10.
Sidik Ragam Pertambahan Bobot Badan Bakalan Induk Domba Selama Pemeliharaan..……..……..……..……..……..….
46
Sidik Ragam Efisiensi Penggunaan Ransum Untuk Bakalan Induk Domba Selama Pemeliharaan.……..……..……..……..….
46
Sidik Ragam IOFC Untuk Bakalan Induk Domba Selama Pemeliharaan.……..……..……..……..….……..……..……..…..
46
2. 3.
11. 12.
ix
PENDAHULUAN Latar Belakang Komoditi peternakan perlu dikembangkan untuk mendukung tercapainya swasembada daging 2014. Saat ini program Program Swasembada Daging Sapi 2014 (PSDS 2014) hanya mampu memenuhi 70-75 % kebutuhan daging nasional dan masih bergantung dengan impor daging. Pemanfaatan komoditi peternakan lokal perlu ditingkatkan dalam upaya memenuhi kebutuhan daging nasional dan mengurangi ketergantungan impor daging. Salah satu alternatif dalam pemenuhan kebutuhan daging nasional adalah pemanfaatan ternak domba. Data Direktorat Jenderal Peternakan terakhir menyebutkan bahwa populasi domba di Indonesia hingga tahun 2009 yaitu 10.932.000 ekor, dimana populasinya sebesar 55,92% berada di provinsi Jawa Barat (Statistik Peternakan, 2010). Populasi domba perlu ditingkatkan karena konsumsi daging domba sampai saat ini hanya mencapai 4% dari konsumsi daging nasional (Statistik Peternakan, 2010). Domba lokal merupakan komoditi peternakan rakyat yang sangat potensial untuk dikembangkan karena mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap iklim tropis, pakan kualitas rendah, sebagai penghasil daging yang potensial, dan memiliki fertilitas yang tinggi (FAO, 2002). Peternak lokal masih memelihara ternaknya secara tradisional dan tidak melihat faktor produksi seperti pemilihan bakalan, pemberian pakan, manajemen pemeliharaan, dan kesehatan ternak (Heriyadi, 2002). Pakan adalah faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan suatu usaha peternakan. Ketersediaan dan kualitas pakan sangat mempengaruhi tercukupinya kebutuhan pokok dan produktivitas ternak. Biaya produksi sebagian besar didominasi biaya pakan, yaitu mencapai 70% selain manajemen perkandangan dan genetik ternak. Tingginya pemanfaatan pakan pada ternak ruminansia sangat ditentukan status fisiologis pada masa pertumbuhan (Engelhardt,1981). Pemeliharaan ternak domba secara tradisional dalam pemberian pakannya hanya berbasis hijauan rumput, sehingga kurang mendapatkan nutrien untuk kebutuhan hidup pokok dan produksi. Siregar (1994) menyatakan bahwa ternak yang hanya diberi pakan hijauan tidak mendapatkan nutrien yang sesuai dan seimbang sehingga performanya lebih
1
rendah. Penambahan konsentrat pada ransum dengan kualitas dan kuantitas yang baik maka produktivitas ternak dapat ditingkatkan. Konsentrat yang kaya energi sangat dibutuhkan bakalan induk domba pada masa pertumbuhan dalam membentuk saluran reproduksi dan mempercepat dewasa kelamin. Kurangnya asupan energi pada ternak muda akan menghambat pertumbuhan pada ternak dan pencapaian dewasa kelamin (Sudarman et al., 2008). Bakalan induk domba yang kekurangan asupan energi dan protein mempengaruhi performanya yang mengakibatkan rendahnya produktivitas reproduksi. Robinson (1990) menyatakan bahwa bakalan induk domba dengan performa yang rendah dapat mempengaruhi fase lutheal dan siklus estrus. Total Digestible Nutrient (TDN) digunakan untuk mengukur kadar energi yang dikonsumsi ternak. Untuk meningkatkan TDN ransum perlu ditambahkan konsentrat dengan karbohidrat non-struktural, protein dan lemak yang lebih tinggi kandungannya dibandingkan rumput. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, kebutuhan energi induk domba adalah 44-61% TDN (Poli, 1998) dan protein 1012,5% (Kearl, 1982) dalam ransum sehingga performanya menjadi lebih rendah. Pemberian ransum dengan protein dan level energi yang sesuai dengan kebutuhan ternak diharapkan mampu meningkatkan produktivitas bakalan induk domba. Performa tubuh yang baik mampu mempercepat produktivitas ternak untuk reproduksi. Performa bakalan induk domba lokal dapat diketahui dari konsumsi pakan, efisiensi pakan dan pertambahan bobot badan yang dipelihara secara intensif. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan performa bakalan induk domba hasil persilangan domba ekor tipis UP3 Jonggol, Fakultas Peternakan IPB dengan domba pejantan Garut yang diberi ransum dengan level energi yang berbeda. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang manajemen pemberian pakan yang tepat dalam industri peternakan sehingga akan meningkatkan efisiensi penggunaan ransum dari aspek ekonomi dan performa produksi domba lokal.
2
TINJAUAN PUSTAKA Potensi Domba Lokal Domba lokal mempunyai peranan yang sangat strategis di masyarakat karena mempunyai fungsi ekonomis (Sumantri et al., 2007). Kemampuan ternak lokal untuk beradapatasi dengan lingkungan dan tekanan iklim di Indonesia membuatnya sangat penting untuk dikembangkan.Selain itu ternak lokal juga mampu bertahan dengan ketersediaan pakan yang berkualitas rendah, penyakit dan gangguan caplak, produktif, mendukung keragaman pangan, pertanian dan budaya dengan biaya rendah (FAO, 2002). Sumantri et al. (2007) juga menyatakan bahwa pada umumnya domba lokal banyak ditemukan di Jawa Barat seperti Domba Garut dan Domba Priyangan. Domba Priangan mempunyai bobot hidup dan ukuran tubuh lebih kecil dibandingkan domba lainnya. Namun, perhatian pada domba priangan cukup tinggi karena sifat peridi (fecundity) yang dimilikinya dibandingkan dengan kemampuannya dalam menghasilkan wol dan karkas (Turner dan Young, 1969). Sifat peridi yang dimiliki domba lokal membuatnya mampu melahirkan anak dengan litter size sebesar 1,77 ekor/induk (Inounu, 1996) dan jumlah anak domba yang disapih sebesar 1,68 (Kilgour dan Kilgour, 1987). Performa domba yang baik sangat dipengaruhi faktor genetik, lingkungan, maupun interaksi keduanya (Lasley, 1978). Di Indonesia, domba lokal memiliki keistimewaan umur pubertas dicapai lebih awal (Sutama, 1992), tidak mengenal adanya musim kawin sehingga dapat beranak sepanjang tahun (Fletcher et al., 1985). Siklus birahi dapat terjadi sepanjang tahun sehingga berpotensi untuk memperpendek jarak kelahiran, dapat beradaptasi dengan baik dan tahan penyakit parasit, dapat beranak banyak (peridi) dan dapat bunting kembali setelah sebulan melahirkan (Dwiyanto dan Inounu, 2001). Rendahnya performa induk domba adalah salah satu faktor yang menghambat tingkat produktivitas induk domba. Diduga karena rendahnya kadar nutrien pakan yang diberikan sehingga menurunkan produktivitas tingkat kelahiran, panjangnya selang beranak, tipe kelahiran anak yang umumnya tunggal dan tingginya tingkat kematian. Orskov (2002) menyatakan bahwa optimalnya pertumbuhan bakalan induk
3
pada masa lepas sapih sangat menentukan performa induk. Pemberian pakan yang tidak seimbang mempengaruhi percepatan dewasa kelamin bakalan induk periode lepas sapih. Soegiri (1981) menyatakan bahwa pemberian pakan yang optimal untuk bakalan induk domba lokal adalah pada masa lepas sapih (umur 5-6 bulan). Ransum Bahan pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan dan dapat dicerna sebagian atau seluruhnya tanpa mengganggu kesehatan ternak yang memakannya (Tillman et al., 1998). Menurut Devendra dan Mcleroy (1982), pakan ternak berguna untuk memelihara tubuh, baik untuk kebutuhan pokok hidup, reproduksi dan produksi terutama pada ternak bunting dan laktasi. Sudarman et al. (2008) menyatakan bahwa kekurangan energi pada ternak muda akan menghambat pertumbuhan dan pencapaian dewasa kelamin. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa peternak masih memberikan pakan untuk ternak tanpa memperhatikan persyaratan
kualitas,
mengakibatkan
kuantitas
pertumbuhan
dan
ataupun
manajemen
pemberian
produktivitas
ternak
pakan tidak
yang
tercapai
sebagaimana mestinya (Siregar, 1994). Kuantitas dan kualitas pakan yang diberikan sangat tergantung pada musim, terutama pada musim kemarau yang menurunkan kualitas dan kuantitas hiajuan pakan yang diberikan. Untuk mengatasinya diperlukan suplementasi pakan dengan pemberian konsentrat yang mempengaruhi konsumsi energi dan protein yang diberikan (Ensminger,1993). Ransum adalah campuran berbagai bahan pakan yang diberikan kepada ternak yang terdiri dari hijauan dan selain hijauan makanan ternak. Hijauan pakan adalah bahan makanan jenis rumput-rumputan yang berupa rumput lapang, limbah hasil pertanian, rumput jenis unggul yang telah dikembangkan dan beberapa jenis leguminosa (kacang-kacangan). Konsentrat merupakan makanan penguat yang terdiri dari bahan baku yang kaya karbohidrat dan protein, seperti jagung kuning, bekatul, dedak, gandum dan bungkil-bungkilan. Konsentrat untuk ternak umumnya disebut makanan penguat atau bahan baku makanan yang memiliki kandungan serat kasar (SK) kurang dari 18% dan mudah dicerna (Gunawan, 2005). Sesuai dengan pernyataan Chuzaemi (2002), hendaknya ransum yang diberikan kepada ternak mengandung nutrien yang lengkap dengan perbandingan dan kebutuhan gizi yang cukup, disukai ternak, dan sesuai dengan tujuan pemeliharaan.
4
Ransum yang sesuai dengan kebutuhan ternak tergantung sumber bahan pakan yang digunakan dan nutrien yang terkandung di dalamnya. Pemberian ransum hijauan sebagai sumber serat dan konsentrat sebagai sumber energi dan protein merupakan kombinasi pakan yang ideal untuk peternakan di Indonesia (Sukria, 2009). Komposisi ransum yang ideal untuk hewan ruminansia kecil adalah campuran hijauan dan konsentrat dengan kandungan nutrien yang sesuai kebutuhan ternak. Untuk bakalan induk kebutuhan pakannya yaitu sebesar 3,5% bahan kering (BK) dari bobot badannya (ARC, 1985). Beberapa bahan pakan yang ada dalam komposisi ransum penelitian yang digunakan antara lain: Rumput Lapang Rumput merupakan bahan pakan yang kandungan serat kasarnya relatif tinggi dan dibutuhkan ternak domba dalam jumlah yang besar. Konsumsi rumput dapat ditingkatkan dengan pemberian pakan secara “adlibitum”. Rumput merupakan pakan utama bagi ternak ruminansia dan berfungsi tidak saja sebagai pengisi perut, tetapi juga sumber gizi, yaitu protein, sumber tenaga, vitamin dan mineral. Rumput lapang merupakan salah satu jenis rumput yang umum digunakan peternak dan disenangi domba. Rumput lapang memiliki daya produksi dan kualitas nutrien yang rendah. Pemberian rumput lapang sebagai sumber hijauan bagi ternak domba kurang optimal untuk meningkatkan produksi dan hanya mampu memenuhi kebutuhan pokok. Rumput lapang banyak terdapat di sekitar sawah, pegunungan , tepi jalan, dan semak-semak. Rumput lapang mudah diperiksa, murah, dan mudah pengelolaannya. Pemberian rumput lapang segar sebagai pakan cukup baik dalam produksi maupun reproduksi selama pemeliharaan (Wiradarya, 1989). Jagung Jagung adalah bahan makanan sumber karbohidrat yang sangat baik untuk hewan dan manusia. Kandungan gizi jagung adalah pati (72-73%) dengan nisbah amilosa dan amilopeptin 25-30%:70-75%. Kadar gula sederhana jagung (glukosa, fruktosa, dan sukrosa) berkisar antara 1-3% dan protein (terdiri dari fraksi albumin, globulin, prolamin, glutelin, dan NPN) berkisar antara 8-11%. Jagung sangat disukai ternak dan pemakaiannya dalam ransum ternak tidak ada pembatasan, kecuali untuk ternak yang akan digunakan sebagai bibit. Jagung digunakan sebagai bahan utama pembuat konsentrat sebagai sumber energi karena mengandung TDN sebesar 80% 5
(Sutardi, 1980). Jagung kaya akan energi namun rendah akan protein kasar, serat kasar dan kandungan mineralnya. Bungkil Kelapa Bungkil kelapa adalah bahan pakan sumber protein yang biasa digunakan untuk ternak ruminansia. Bungkil kelapa merupakan limbah industri pertanian dalam pengolahan minyak kelapa yang dapat dimanfaatkan ternak. Kualitas bungkil kelapa bervariasi tergantung pada cara pengolahan dan kualitas bahan baku. Berdasarkan komposisi kimianya, bungkil kelapa termasuk sumber protein untuk ternak, kandungan protein dari bungkil kelapa mencapai 21,3% (NRC, 2006). Tillman et al. (1998) menyatakan bungkil kelapa memiliki komposisi kimia yang bervariasi, akan tetapi kandungan zat makanan yang utama adalah protein kasar, yaitu sebanyak 21,6% sehingga bungkil kelapa termasuk sumber protein untuk ternak. Kandungan serat kasar dari bungkil kelapa cukup tinggi, yaitu sekitar 15% namun memiliki kecernaan yang rendah. Aregheore (2005) menyatakan bahwa peningkatan pemberian bungkil kelapa meskipun menurunkan konsumsi bahan kering ransum, bungkil kelapa dapat meningkatkan pertambahan bobot badan dengan konversi pakan yang rendah. Onggok Onggok merupakan ampas dari pengolahan tepung tapioka yang mudah didapat, murah, tersedia cukup, dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Onggok merupakan limbah pengolahan pertanian yang digunakan sebagai bahan pakan ternak dihasilkan sebesar 11,4% dari tepung tapioka. Onggok merupakan bahan pakan sumber energi dengan kadar protein kasar rendah, tetapi kaya akan karbohidrat tercerna (BETN) dan efisien dalam biaya penggunaan ransum. Onggok mengandung 1,6% protein kasar,0,4% lemak kasar, 10,4% serat kasar, 0,8% kalsium, 0,6% fosfor dan 2670 kkal/ kg ME (Gunawan, 1995). Ali (2006) melaporkan bahwa semakin tinggi penggunaan onggok maka konsumsi dan kecernaan bahan kering akan semakin rendah. Molases Molases merupakan limbah hasil pengolahan tebu dan dapat dipergunakan sebagai pakan ternak. Keuntungan penggunaan molases untuk pakan ternak adalah
6
kadar karbohidrat tinggi (48-60% sebagai gula), kadar mineral cukup dan rasanya disukai ternak. Molases mengandung vitamin B komples dan unsur-unsur mikro yang penting bagi ternak seperti cobalt, boron, yodium, tembaga, magnesium dan seng sedangkan kelemahannya adalah kadar kaliumnya yang tinggi dapat menyebabkan diare jika dikonsumsi terlalu banyak (Rangkuti et al., 1995). CPO
Crude Palm Oil (CPO) atau minyak mentah kelapa sawit biasanya digunakan sebagai bahan dasar untuk pembuatan minyak goreng, namun dapat digunakan untuk ternak sebagai bahan pakan sumber energi. Kandungan energi CPO yaitu 7800 kkal/ kg ME (Tangendjaja dan Wina, 2011). Penggunaan CPO dalam ransum dapat menurunkan konsumsi bahan kering ternak dan penggunaan sebesar 4% dalam ransum dapat meningkatkan produksi susu harian (Otaru, 2010). Urea Urea merupakan bahan pakan sumber nitrogen yang dapat difermentasi oleh bakteri rumen pada ternak ruminansia. Urea dalam proses fermentasi akan diuraikan kembali oleh enzim urease menjadi amonia dan karbondioksida dan selanjutnya amonia akan digunakan untuk menbentuk asam amino. Urea sebagai pakan ternak berfungsi sebagai sumber NPN (Non Protein Nitrogen) dan mengandung lebih kurang 45% unsur Nitrogen sehingga pemakaian urea mampu memperbaiki kualitas rumput yang diberikan kepada domba (Parakkasi, 1999). Urea dalam proporsi tertentu mempunyai dampak positif terhadap peningkatan konsumsi protein kasar dan daya cerna rumen sesuai dengan ketersediaan karbohidrat yang mudah dicerna, harus dicampur dengan baik dengan bahan pakan lain, dan disarankan diikuti dengan penambahan mineral lainnya. Urea akan melengkapi sebagian dari kebutuhan protein bagi ternak ruminansia, karena dapat membantu kerja mikroorganisme dalam rumen. Namun penggunaan urea yang terlalu tinggi konsentrasinya dalam rumen dapat menimbulkan keracunan (Anggorodi, 1984). Garam Garam atau biasanya dikenal dengan NaCl yang berguna untuk merangsang sekresi saliva. Klorida pada garam sangat dibutuhkan karena ion-ion klorida dapat mengaktifkan enzim-enzim amilase dalam mulut untuk memecah pati yang
7
dikonsumsi. Garam juga berfungsi untuk mempertahankan tekanan osmotik darah dan membantu keseimbangan asam dan basa. Namun pemberian garam pada ternak perlu dibatasi karena dapat mengakibatkan retensi air jika dikonsumsi terlalu banyak sehingga menimbulkan udema (Winarno, 1997). Premix Premix adalah bahan tambahan berupa kumpulan mineral, asam amino, vitamin dan mikronutrien lainnya yang dicampurkan ke dalam ransum untuk meningkatkan kualitas nutrisi ransum. Premix merupakan nutrien esensial, yang dibutuhkan dalam jumlah kecil, namun berperan penting agar proses biologis dapat berlangsung dengan baik. Premix bermanfaat dalam mengoptimalkan produktivitas, meningkatkan daya tahan tubuh, menekan stres, dan membantu meningkatkan pertambahan bobot badan. Premix juga berperan dalam pembentukan darah, pembentukan jaringan tubuh serta diperlukan sebagai komponen enzim yang berperan dalam proses metabolisme di dalam sel (Setiadi dan Inouno, 1991). DCP Dicalcium Phospate (DCP) dapat digunakan sebagai sumber fosfor untuk pakan ternak. Fosfor dapat berperan dalam mengukur tekanan osmotik, berperan dalam membentuk jaringan tubuh dan tulang serta semua reaksi metabolis. Penggunaan DCP dapat membantu meningkatkan pertambahan bobot badan dan konsumsi pakan. Selain itu, DCP juga dapat meningkatkan ketersediaan fosfor dalam ransum dan berfungsi untuk pertumbuhan (Parakkasi, 1999). CaCO3 CaCO3 merupakan senyawa anorganik yang sering digunakan dalam aplikasi polimer seperti pembuatan plastik, pembuatan kertas, isolasi kabel, pipa fleksibel dan polimer lainnya yang terdapat dalam jumlah besar di alam dan mudah dalam pengolahannya. CaCO3 merupakan mineral yang baik untuk tubuh ternak karena dapat mencegah kehilangan kalsium tubuh (Parakkasi, 1999). Konsumsi Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan produksi pada ternak (Tillman et al., 1998). Konsumsi ternak dipengaruhi ukuran tubuh ternak dan merupakan faktor yang sangat menentukan
8
produktivitas dan performanya (Aregheore, 2000). Tingkat konsumsi pakan yang diketahui dapat menetukan kadar konsumsi zat makanan ransum. Tomaszewska et al. (1993) menyatakan bahwa jumlah konsumsi pakan merupakan faktor untuk menentukan jumlah zat-zat makanan yang didapat ternak. Konsumsi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal (Pond et al., 1995). Faktor internal berasal dari dalam ternak seperti jenis kelamin, bobot badan, nafsu makan, kesehatan dan kondisi ternak. Faktor eksternal berasal dari pakan dan lingkungan sekitar dimana ternak tersebut hidup. Konsumsi pakan juga dipengaruhi oleh palatabilitas. Palatabilitas ternak dalam mengonsumsi pakan tergantung pada bau, tekstur, dan temperatur pakan yang diberikan. Kualitas makanan dan kebutuhan energi ternak juga mempengaruhi konsumsi ransum, semakin baik kualitas makanannya maka semakin tinggi konsumsi ransum ternak (Parakkasi, 1999). Konsumsi ternak dapat diketahui dalam bentuk bahan kering (BK). Selain mengandung nutrien-nutrien yang dibutuhkan ternak dan proses pencernaan, bahan kering yang dikonsumsi ternak juga berfungsi sebagai pengisi lambung dan perangsang dinding-dinding pencernaan untuk menggiatkan pembentukan enzim (Chuzaemi, 2002). Bahan kering yang dikonsumsi ternak dipengaruhi oleh rasio pakan hijauan dan konsentrat untuk domba. Sitepu (2011) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa konsumsi bahan kering rumput untuk induk domba yaitu sekitar 208-217 g/e/hr dan konsentrat sekitar 311-325 g/e/hr. Hal tersebut menunjukkan tingkat konsumsi bahan kering ditentukan oleh besarnya kandungan bahan kering dalam ransum. Ismoyo (2011) juga melaporkan bahwa konsumsi bahan kering induk domba pada saat bunting dan laktasi dengan kandungan BK konsentrat 68% dan TDN 75% (443-603 g/e/hr) lebih tinggi dibandingkan domba yang mengkonsumsi pakan dengan kandungan BK sebesar 61% dan TDN 65% (365-466 g/e/hr). Pembatasan pemberian pakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan akan mengakibatkan menurunnya bobot hidup induk secara drastis. Hilangnya bobot hidup tersebut disebabkan terjadinya penggunaan energi cadangan dalam tubuh (terutama lemak tubuh) sebagai sumber energi (Cannas et al., 2006). Dalam kurun waktu yang panjang, hal tersebut dapat mengakibatkan energi tubuh akan terkuras habis, produksi menurun dan sebagai konsekuensinya pertumbuhan domba anak
9
menjadi rendah dan terganggunya siklus reproduksi induk. Selain itu, pakan yang terbatas akan memberikan pengaruh negatif terhadap penampilan reproduksi domba. Pemberian pakan yang cukup, baik kualitas maupun kuantitas selama siklus hidup domba perlu mendapat perhatian. Kebutuhan Nutrisi Bakalan Induk Domba Kebutuhan nutrisi bakalan induk domba harus terpenuhi sesuai dengan tujuan produksi, yaitu untuk meningkatkan produktivitas reproduksi (Merkel dan Subandriyo, 1997). Produktivitas ternak dipengaruhi konsumsi dan proporsi pemberian pakan yang meliputi jumlah dan kualitas pakan serta kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan domba karena jenis antar domba dan umur fisiologis yang berbeda. Faktor yang mempengaruhi kebutuhan nutrisi ternak adalah jenis kelamin, tingkat produksi, keadaan lingkungan dan aktivitas fisik ternak (Haryanto, 1992). Kebutuhan nutrisi dikelompokkan menjadi beberapa komponen utama yaitu energi, protein, mineral, dan vitamin. Komponen-komponen tersebut diperoleh dari zat makanan yang masuk kedalam tubuh ternak. Energi dan protein adalah komponen penting dalam ransum yang digunakan untuk hidup pokok, pertumbuhan, gerak otot dan sintesa jaringan baru (Anggorodi, 1990). Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi, ternak juga membutuhkan energi untuk kebutuhan reproduksi. Siregar (2003) menjelaskan bahwa kebutuhan pokok adalah kebutuhan zat-zat makanan hanya memenuhi proses hidup untuk menjaga fungsi tubuh tanpa adanya suatu kegiatan, sedangkan kebutuhan produksi adalah kebutuhan zat nutrisi untuk pertumbuhan, kebuntingan, produksi susu dan kerja. Faktor kandungan energi dan protein yang ada di dalam pakan menentukan kualitas dan kuantitas ransum yang diberikan serta mempengaruhi penampilan dan produksi ternak. Oleh karena itu, untuk meningkatkan performa dibutuhkan konsumsi energi yang lebih tinggi dari hidup pokok. Menurut
NRC (2006),
kebutuhan nutrisi untuk domba pada periode pertumbuhan sekitar 55% TDN dan 9,5% PK dengan kebutuhan bahan kering untuk domba fase pertumbuhan untuk bobot badan 10-20 kg sekitar 2,5% dari bobot badan. Pertumbuhan dan perkembangan domba membutuhkan kualitas dan kuantitas ransum yang sesuai untuk meningkatkan performa. Bobot badan yang semakin besar maka konsumsi ransum juga semakin meningkat. Menurut Keskin et al. (2003) yang
10
melakukan penelitian tentang tingkah laku makan pada domba Awassi dan kambing Shami (Damascus), domba Awassi memiliki konsumsi yang lebih tinggi dibandingkan kambing Shami hal ini karena pada umur yang sama domba Awassi memiliki bobot hidup yang lebih besar dibandingkan kambing Shami. Energi Energi sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup ternak diantaranya untuk kerja secara mekanis dari aktivitas muskular yang esensial, kerja secara kimiawi seperti pergerakan zat terlarut melawan gradien konsentrasi, sintesis dari konstituen tubuh seperti enzim dan hormon. Energi diperlukan untuk mempertahankan fungsifungsi tubuh (respirasi, aliran darah dan fungsi sistem syaraf), untuk pertumbuhan dan pembentukan produk (susu, telur, wool, daging). Ternak membutuhkan energi untuk kebutuhan hidup (hidup pokok), upaya dalam kerja mekanik untuk gerak otot dan sintesa jaringan-jaringan baru/degeneratif sel pada masa pertumbuhannya (Tillman et al., 1998). Energi ternak digunakan untuk kebutuhan hidup pokok, produksi dan
reproduksi. Kebutuhan hidup pokok adalah kebutuhan zat-zat nutrisi untuk memenuhi proses hidup saja seperti menjaga fungsi tubuh tanpa adanya suatu kegiatan dan produksi (Siregar, 1994). Kebutuhan energi ternak yang harus dikonsumsi setiap hari untuk hidup pokok bukan untuk mendapat ataupun kehilangan energi tubuh, tetapi digunakan untuk memelihara dan mempertahankan keutuhan tubuhnya. Kebutuhan untuk produksi dan reproduksi adalah energi di atas kebutuhan hidup pokok yang dimanfaatkan untuk proses-proses produksi dan reproduksi (NRC, 2007). Domba memperoleh energi dari konsumsi ransum dan proporsinya tergantung kondisi fisiologis ternak. Berdasarkan NRC (2006), kebutuhan energi pada ternak
domba dipengaruhi oleh umur, ukuran tubuh, jenis kelamin, pertumbuhan, kebuntingan, laktasi, dan produksi. Kondisi lingkungan seperti temperatur, kelembaban, dan cuaca juga berpengaruh terhadap kebutuhan energi. Oleh karena itu, kandungan energi dalam ransum dan proporsi pemberiannya harus diperhatikan sesuai dengan kebutuhan. Ensminger (1993) menyatakan bahwa kekurangan energi merupakan masalah defisiensi nutrisi yang umum terjadi pada domba, yang dapat
11
disebabkan oleh kekurangan asupan energi atau karena mengkonsumsi ransum berkualitas rendah. Untuk meningkatkan kadar energi ransum dapat ditambahkan bahan pakan sumber energi dan bahan pakan penguat lainnya di dalam ransum. Bahan-bahan pakan tersebut seperti jagung, onggok, dedak padi, dan molases yang memiliki kandungan protein kasar dan serat kasar masing-masing kurang dari 20% dan 18% (Sutardi, 1981). Bahan penguat yang bisa ditambahkan ke dalam ransum adalah CPO (Crude Palm Oil) yang dalam pemberiannya disarankan terbatas karena dalam penggunaannya yang terlalu banyak dapat meningkatkan biaya ransum. Otaru et al. (2010) menyebutkan bahwa penambahan CPO sebanyak 4% dalam ransum dapat meningkatkan produksi susu dan menurunkan tingkat konsumsi bahan kering. Kebutuhan energi untuk ruminansia ditentukan berdasarkan kandungan TDN, yaitu jumlah nilai zat makanan yang dicerna oleh ternak. TDN merupakan satuan energi yang diperoleh dari nilai bahan kering ransum dan jumlah zat-zat makanan (protein, serat kasar, lemak, dan BETN) yang dapat dicerna (Siregar, 1994). Satuan energi dalam bentuk TDN lebih mudah ditentukan untuk menghitung kebutuhan ternak ruminansia karena merupakan nilai energi yang berasal total nutrien zat-zat makanan dalam ransum untuk ternak (Sutardi, 1981). Nilai TDN ransum untuk domba dan komposisinya dalam bahan pakan dapat diperhitungkan dalam formulasi penyusunan ransum sesuai kebutuhan yang merujuk kepada literatur, seperti ARC (1985), NRC (2006), Sutardi (1981) atau Wardeh (1981). Namun kesesuaian TDN ransum yang dikonsumsi terhadap kandungan nutrien dalam ransum yang dihitung bergantung pada kualitas nutrien bahan pakannya. Untuk menghitung kandungan TDN dalam tiap bahan pakan yang telah dianalisis secara proksimat dapat dihitung menurut Wardeh (1981) berdasarkan rumus : % TDN Rumput
= 1,6899 + (1,3844x%PK) – (0,8279x%LK) + (0,3673 x %SK) + (0,7526 x %BETN)
% TDN Bahan Pakan Konsentrat
= 2,6407 + (0,6964 x %PK) + (1,2159 x %LK) – ( 0,1043 x %SK) +(0,9194 x %BETN)
12
%TDN adalah persentase kandungan TDN dalam bahan kering (BK) masing-masing bahan pakan yang digunakan. Berdasarkan rumus diatas, nilai TDN dapat diketahui dari akumulasi nutrien-nutrien dalam ransum, yaitu protein kasar (PK), lemak kasar (LK), serat kasar (SK) dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN). Parakkasi (1999) menyatakan bahwa nilai perhitungan TDN ransum yang dianalisis proksimat dapat digunakan sebagai tolak ukur energi ransum yang bisa dicerna ruminansiadan potensinya dalam pertumbuhan jaringan urat daging. Kebutuhan TDN bakalan induk domba sesuai dengan bobot badannya dan pertambahan bobot badan yang diinginkan. Menurut Kearl (1981) konsumsi TDN untuk bakalan induk domba pada masa pertumbuhan adalah sekitar 62-68%. Semakin tinggi kandungan TDN ransum yang dikonsumsi akan meningkatkan performanya. Hasil penelitian Swastike et al. (2006) menunjukkan bahwa perbedaan kandungan TDN ransum sebesar 5% menunjukkan pengaruh nyata sehingga mempengaruhi pertambahan bobot badan pada bakalan induk domba lokal, yaitu antara bakalan induk domba yang mengonsumsi ransum dengan kandungan TDN 69% dan TDN 74% (P< 0,05). Protein Protein adalah senyawa kimia yang tersusun atas asam-asam amino dan diperlukan untuk memperbaiki sel dalam proses sintesis serta berfungsi sebagai zat pembangun. Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien tidak seperti lemak dan karbohidrat, tetapi dapat berperan lebih penting dalam pembentukan biomolekul daripada sebagai sumber energi. Kebutuhan protein untuk ternak dipengaruhi antara lain oleh masa pertumbuhan, umur, fisiologis, ukuran dewasa, kebuntingan, laktasi, kondisi tubuh, dan rasio energi protein (Ensminger, 1993). Ternak yang mengonsumsi ransum yang mengandung protein dan energi melebihi kebutuhan hidup pokok akan menggunakan kelebihan zat makanan tersebut untuk pertumbuhan dan produksi (Tillman et al., 1998). Protein yang dibutuhkan ternak ruminansia berupa protein kasar dan nitrogen bukan protein (Non Protein Nitrogen) yang dapat dicerna (NRC, 2006). Protein ransum dapat diperoleh dari bahan-bahan pakan sumber protein seperti bungkilbungkilan maupun hewani seperti tepung ikan,dengan kandungan protein kasar lebih dari 20% (Sukria, 2010). Bahan-bahan pakan tersebut dapat menyediakan asam
13
amino, nitrat, glikosida, glikolipid, vitamin B, asam nukleat dan senyawa bernitrogen lainnya sebagai pembentuk protein dalam tubuh ternak. Protein yang merupakan sumber nitrogen bukan protein dan mudah larut dalam air adalah urea. Urea mengandung 42-45% nitrogen atau setara dengan protein kasar antara 262 – 281% (Siregar, 1994). Urea memiliki fungsi fisiologis bagi mikroorganisme untuk mensintesis protein, koenzim dan asam nukleat. Maksimal pemberian urea dalam ransum hanya 1% atau 5% dari konsentrat yang disertai dengan penambahan mineral mix (Parakkasi, 1999). Kebutuhan protein dan energiuntuk ternak mempunyai hubungan yang erat dengan kebutuhan pertumbuhan, sehingga kandungan protein dalam pakan perlu ditentukan. Protein digunakan sebagai bahan bakar jika kebutuhan energi tubuh tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak (Herman 2003). Oleh karena itu jumlah protein ransum harus sesuai dangan kebutuhan. Jumlah protein yang dibutuhkan bakalan induk domba lepas sapih sekitar 24-26% PK dalam BK ransum (Kearl, 1982). Mineral Ca dan P Ternak membutuhkan mineral makro dan mikro untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mineral Ca dan P adalah mineral makro utama yang sangat dibutuhkan ternak ruminansia. Mineral Ca dan P sangat penting untuk domba selama masa pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi. Ca dan P merupakan bagian terbesar penyusun tubuh untuk struktur tulang dalam tubuh ternak, yaitu masing- masing sebesar 99% dan 80% (Kebreab dan Vitti, 2010). Untuk mecukupi kebutuhan mineral ternak bisa didapat dari bahan pakan serealia seperti bungkil-bungkilan dan biji-bijian, namun bisa ditingkatkan juga dengan penambahan suplemen mineral. Penambahan mineral dalam bentuk suplemen diperlukan karena kandungan mineral Ca dan P dalam ransum umumnya belum mencukupi kebutuhan. Bahan pakan berbentuk serealia dan biji-bijian mengandung sedikit Ca
namun mengandung banyak P, jadi membutuhkan zat lain untuk
meningkatkan Ca (Andriguetto, 1993). Kume (1991) menjelaskan bahwa untuk menanggulangi kurangnya kebutuhan mineral dalam pakan dibutuhkan peningkatan kandungan mineral pakan sebesar 10-20%. Kalsium (Ca) adalah salah satu unsur mineral makro yang sangat mempengaruhi masa pertumbuhan dan metabolisme tubuh ternak domba. Bortolami
14
et al. (1985) menyebutkan bahwa pentingnya mineral Ca berfungsi sebagai kofaktor enzim, sebagai regulasi kontraksi otot, kofaktor pembentukan membran, dan pembentuk tulang. Kebutuhan mineral Ca untuk ternak dapat dipenuhi dengan penambahan suplemen Kalsium Karbonat (CaCO3) dan limestone dalam ransum (NRC, 2005). Fosfor (P) juga sangat penting untuk pertumbuhan dan untuk metabolisme tubuh ternak ruminansia. Ternouth (1990) menjelaskan bahwa P merupakan komponen dari asam amino, protein, lipid dan asam nukleat. Domba betina sangat membutuhkan mineral P untuk perkembangan fetus dan produktivitas kelamin. Bencini (2004) menyebutkan bahwa kebutuhan absorbsi mineral domba betina meningkat hingga 20-40% terutama pada masa awal laktasi. Pemenuhan kebutuhan fosfor harus sesuai dengan kebutuhan domba. Selain dari biji-bijian dan serealia, mineral P juga bisa ditambahkan dalam ransum dalam bentuk suplemen seperti DCP dan tepung tulang (Kebreab dan Vitti, 2010). Mineral Fosfor dan Kalsium harus sesuai imbangannya dalam ransum yang diberikan. Menurut Orskov (2001), kebutuhan Ca dan P untuk domba harus seimbang, yaitu dengan perbandingan 2:1. NRC (2005) menetapkan bahwa kebutuhan Ca dan P
untuk domba dengan bobot 20-30 kg masing-masing sekitar
4,0-5,1 gram/ekor/hr dan 2,7-3,2 gram/ekor/hr. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan mineral Ca dan P yang seimbang, diperlukan penambahan suplemen mineral seperti DCP, CaCO3 dan suplemen lainnya karena komposisinya dalam ransum belum tentu memenuhi kebutuhan mineral Ca dan P. Pertambahan Bobot Badan Harian Pertambahan bobot badan merupakan pertambahan ukuran ternak dari ukuran sebelumnya. Menurut Orskov (2001), pertumbuhan merupakan perubahan suatu ukuran tubuh organisme sebelum mencapai bobot badan dewasa. Kemampuan ternak untuk mengubah zat-zat nutrisi yang terdapat dalam ransum menjadi daging merupakan salah satu peubah untuk menilai performa ternak dan kualitas ransum yang dikonsumsi. Pertambahan bobot badan merupakan salah satu indikator pertumbuhan dalam bentuk ukuran meliputi perubahan bobot hidup, bentuk dimensi linear dan komposisi tubuh termasuk pula perubahan pada komponen-komponen tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ dalam serta komponen kimia terutama
15
air, lemak, protein dan abu (Fahmy et al., 1992). Pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh
kualitas
dan
kuantitas
ransum
yang
diberikan.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi dalam laju pertambahan bobot badan adalah genetik dan lingkungan. Faktor genetik berhubungan dengan kecepatan dan sifat tumbuh yang diwariskan oleh tetuanya dan jenis ternak. Faktor lingkungan diantaranya adalah manajemen pemeliharaan dan pakan (Church, 1991). Kecepatan pertumbuhan tergantung dari spesies, jenis kelamin, umur dan keseimbangan zat-zat nutrisi dalam pakan, kualitas pakan yang semakin baik juga diikuti dengan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi. Pada umur 2,5 bulan, domba muda mengalami pertambahan bobot badan yang relatif rendah sehingga mempengaruhi performa. Umur 2,5 bulan sampai dengan masa pubertas (6-8 bulan) pertumbuhan domba muda akan berjalan maksimum saat mencapai pubertas, lalu perlambatan pertumbuhan kembali terjadi (Tillman, et al., 1984). Pola seperti ini menghasilkan kurva pertumbuhan berbentuk sigmoid (S). Bobot badan (kg) 25
20 0
12 24 40 Umur ( minggu )
Gambar 1.Kurva Sigmoid Pertumbuhan Domba. Sumber :Forrest et al.(1975). Setelah disapih domba bakalan memerlukan lebih banyak lagi asupan nutrien karena tidak lagi bergantung dengan susu induk. Cahyono (1998) menyatakan bahwa pertumbuhan domba akan berjalan lambat pada masa batas puncak pertumbuhan sehingga untuk meningkatkan performa domba yang paling efektif adalah pada saat masa lepas sapih (Gambar 1). Menurut NRC (2006) pertambahan bobot badan harian untuk domba muda mencapai 100 g/ekor/hr, sedangkan menurut Tomaszewska et al. (1993) pertambahan bobot badan harian domba untuk daerah tropis adalah 70 g/ekor/hr. Hasil penelitian Wardhani (2006) mendapatkan bahwa pertambahan bobot badan untuk domba lokal Jonggol adalah 47 g/ekor/hari dan hasil penelitian Swastike
16
et al. (2006) pertambahan bobot badan domba lokal betina dara yang diberikan pakan berkualitas baik mencapai 80 g/ekor/hr. Efisiensi Ransum Efisiensi ransum adalah perbandingan jumlah satuan bobot badan yang dihasilkan oleh ternak terhadap ransum yang dikonsumsi (gain/feed). Nesheim dan Card (1972) menyatakan bahwa nilai efisiensi ransum menunjukkan banyaknya pertambahan bobot badan yang dihasilkan dari satu kilogram ransum. Pertambahan bobot badan dan jumlah konsumsi BK ransum merupakan indikator dalam efisiensi penggunaan ransum ternak. Semakin tinggi kenaikan bobot badan terhadap konsumsi BK, maka efisiensi penggunaan ransum makin baik (Siregar,1994). Pertumbuhan yang baik belum tentu menjamin keuntungan maksimal, tetapi pertumbuhan yang baik disertai biaya ransum yang minimum akan mendapatkan keuntungan maksimal. Efisiensi penggunaan ransum ruminansia dipengaruhi oleh kualitas ransum, pertambahan bobot badan dan nilai kecernaannya. Pemberikan ransum yang berkualitas baik mengakibatkan ternak tumbuh lebih cepat dan nilai efisiensi ransum juga akan meningkat (Martawidjaya et al., 1999). Menurut NRC (2006) efisiensi penggunaan ransum untuk bakalan induk domba adalah sekitar 0,200,25. Penelitian Ismoyo (2011) melaporkan bahwa induk domba lokal pada masa awal kebuntingan yang menggunakan ransum dengan kandungan TDN 65-75% efisiensi penggunaan ransumnya sekitar 0,054-0,089. Income Over Feed Cost (IOFC) Income Over Feed Cost (IOFC) adalah selisih dari total pendapatan dengan total biaya pakan digunakan selama usaha penggemukan ternak. IOFC ini merupakan barometer untuk melihat seberapa besar biaya pakan yang merupakan biaya terbesar dalam usaha penggemukan ternak. Pendapatan merupakan perkalian antara pertambahan bobot badan dengan harga jual. Faktor penting yang berpengaruh dalam perhitungan IOFC adalah pertambahan bobot badan selama pemeliharaan, konsumsi pakan dan harga pakan (Mulyaningsih, 2006). Pertumbuhan yang baik belum tentu menjamin keuntungan maksimum, namun bila diikuti dengan konversi pakan yang baik pada serta biaya pakan yang minimal akan mendapatkan keuntungan yang maksimal.
17
MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang yang berlokasi di kandang B dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan selama 89 hari dari tanggal 12 November 2010–09 Februari 2011. Materi Ternak Percobaan Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12 ekor domba lokal betina dara lepas sapih dengan umur sekitar 2-3 bulan yang mempunyai rata-rata bobot badan 9,79+1,97 kg. Domba tersebut merupakan peranakan silang antara domba pejantan Garut dan domba Ekor Tipis dari Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J), Fakultas Peternakan IPB, Jawa Barat.
Gambar 2.Ternak domba yang digunakan. Pakan dan Perlakuan Ransum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas rumput lapang dan konsentrat yaitu jagung, onggok, bungkil kelapa, molases, CPO, CaCO3, premix, urea, garam, dan DCP. Proporsi ransum komplit tersebut diberikan sebesar 5% dari bobot badan domba dalam bentuk BK. Rasio konsentrat:hijauan pada ransum yang diberikan menggunakan perbandingan 40:60 pada ransum P1 dan P2, 30:70 pada 18
ransum P3. Ransum dan air minum diberikan secara adlibitum. Adapun komposisi ransum dan kandungan zat makanannya terdapat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Komposisi Ransum Perlakuan. Bahan
Perlakuan P1
P2
P3
---------------------%-------------------Rumput
40
40
30
Konsentrat
60
60
70
Jagung
11,0
7,4
32,0
Onggok
14,1
15,0
12,0
Bungkil Kelapa
31,1
31,0
21,0
CaCO3
2,9
1,0
0,2
DCP
0,0
0,2
0,3
Garam
0,3
0,2
0,1
Premix
0,2
0,2
0,1
Urea
0,4
1,0
1,1
CPO
0,0
2,0
2,2
Molases
0,0
2,0
1,0
Total
100
100
100
Keterangan :
P1 = Ransum TDN 65%, PK 14%. P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%. P3 = Ransum TDN 75%, PK 14%.(Berdasarkan Perhitungan Formulasi Ransum)
Perlakuan dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan kadar level energi (TDN) yang terkandung di dalam ransum. Ketiga jenis ransum tersebut diberikan kepada 3 kelompok domba yang berbeda dengan masing-masing 4 ulangan yang dicobakan pada 12 ekor domba betina. Tiga ransum tersebut yaitu: P1 = P2 = P3 =
TDN 65% dan PK 14% TDN 70%dan PK 14% TDN 75%dan PK 14%
19
Tabel 2. Kandungan Zat Makanan Ransum Perlakuan (%BK). Zat Makanan
Rumput
Ransum P1
Ransum P2
Ransum P3
--------------------------------------%----------------------------------Bahan Kering
19,01
89,37
88,62
88,37
Protein Kasar
11,84
16,43
22,06
18,25
Lemak Kasar
5,37
10,45
13,81
8,22
Serat Kasar
23,20
6,95
7,64
6,28
BETN
53,87
54,74
43,0
59,69
TDN *
56,2
74,0
79,46
81,48
Ca
0,32
1,95
1,21
0,8
P
0,05
0,16
0,07
0,15
Keterangan:
Hasil Analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, dan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, IPB (2011). P1 = Ransum TDN 65%, PK 14%. P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%. P3 = Ransum TDN 75%, PK 14%. BK = Bahan Kering, LK = Lemak Kasar, PK = Protein Kasar, SK = Serat Kasar. *Perhitungan Menurut Wardeh (1981)
Kandang dan Peralatan Kandang yang digunakan adalah kandang panggung, yang didalamnya terdapat kandang individu berjumlah 24 buah. Penelitian ini menggunakan 12 buah kandang individu dengan luasan kandang berukuran 125x55 cm dan terbuat dari besi. Tempat pakan dan minum yang digunakan terbuat dari bahan plastik sebanyak 12 buah yang ditempatkan pada setiap kandang. Untuk penerangan digunakan lampu neon dengan jumlah sesuai kebutuhan. Penimbangan pakan dan sisa pakan digunakan timbangan elektrik merk Weston kapasitas 5 kg kepekaan 1 g, dan penimbangan untuk domba digunakan timbangan gantung merk Victoria kapasitas 50 kg dengan kepekaan 0,1 kg. Metode Prosedur Pemeliharaan Pemeliharaan domba dilakukan selama 89 hari dalam kandang individu. Sebelum dilakukan penelitian, domba ditimbang bobot badannya terlebih dahulu. Penimbangan domba berikutnya dilakukan setiap 2 minggu sekali untuk mengetahui perubahan bobot badannya. Penimbangan dilakukan sebanyak 6 kali sejak dimulainya penelitian (12 November 2011) sampai 9 Februari 2012. Jumlah sisa
20
ransum perlakuan didapat dari ransum yang tersisa di tempat pakan dan yang tercecer di kandang. Tahap pemeliharaan meliputi pemberian ransum sesuai masingmasing perlakuan pada pukul 08.00 WIB dan 15.00 WIB untuk pemberian pakan konsentrat, pukul 09.00 WIB dan 16.00 WIB untuk rumput lapang.
Gambar 3. Kandang Yang Digunakan Selama Penelitian.
Gambar 4. Pemberian Ransum Hijauan dan Konsentrat Selama Perlakuan. Analisis Proksimat Ransum Perlakuan dan Perhitungan TDN Sampel ransum yang terdiri dari rumput dan konsentrat masing-masing perlakuan kemudian dilakukan analisis proksimat di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan dan Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, IPB untuk mengetahui kandungan zat makanan dalam ransum. Kandungan zat makanan dalam ransum yang dianalisis adalah kadar bahan kering (BK), protein kasar (PK), lemak kasar (LK), dan serat kasar (SK) seperti yang telah dilampirkan pada Tabel 2.
21
Untuk kandungan TDN dalam ransum, nilainya diketahui dengan perhitungan matematis menurut petunjuk Wardeh (1981) berdasarkan hasil analisis proksimat bahan pakan. Kandungan TDN dalam ransum dihitung menggunakan rumus : % TDN Rumput
= 1,6899 + (1,3844 x %PK) – (0,8279 x %LK) + (0,3673 x %SK) + (0,7526 x %BETN)
% TDN Bahan Pakan Konsentrat
= 2,6407 + ( 0,6964 x %PK) + (1,2159 x %LK) – ( 0,1043 x %SK) + (0,9194 x %BETN)
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 4 ulangan. Model matematika yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Yij = μ + τi + εij Keterangan : Yij = Respon ransum ke-i dan ulangan ke-j μ
= Rataan umum
τi
= Efek pemberian ransum ke-i (1, 2, 3)
εij = Galat ransum ke-i dan ulangan ke-j (1, 2, 3, 4) perlakuan Peubah yang Diamati Peubah yang diamati dalam penelitian ini, yaitu: 1. Konsumsi BK Ransum (g/ekor/hari) Konsumsi BK ransum dihitung dari selisih pemberian rumput dan konsentrat dikurangi sisa pakan yang tidak dimakan. Jumlah konsumsi BK dihitung berdasarkan: Konsumsi BK (g) = Konsumsi ransum segar (g) x Kadar BK dalam ransum (%) Konsumsi bahan kering ransum dihitung sejak dimulainya pemeliharan sampai dengan akhir penelitian, yaitu hari ke 89. 2. Konsumsi Zat Makanan dalam Ransum (g/ekor/hari) Konsumsi zat makanan ransum (PK, LK, SK, Ca, dan P) dihitung berdasarkan: KZM = % ZM x KBK
22
Keterangan: KZM = Konsumsi zat makanan (PK/LK/SK/TDN/Ca/P) (g) %ZM = Kandungan zat makanan dalam BK ransum (%) KBK = Konsumsi BK ransum (g) 3. Performa bakalan induk domba Performa bakalan induk domba mencakup bobot badan, perubahan bobot badan, dan efisiensi ransum yang dikonsumsi dan income over feed cost (IOFC). Bobot badan awal dan akhir domba didapat dari penimbangan selama pemeliharaan. Pertambahan bobot badan diperoleh dari bobot badan akhir pemeliharaan dikurangi bobot badan awal domba. Pertambahan bobot badandihitung berdasarkan: PBB = BTi – BTo Keterangan: PBB = Pertambahan Bobot Badan (kg) BTi
= Bobot Badan Akhir (kg)
BTo
= Bobot Badan Awal (kg)
Untuk
efisiensi
penggunaan
ransum
diperoleh
dari
perbandingan
jumlah
pertambahan bobot badan masing-masing perlakuan dengan ransum yang dikonsumsi. Nilai efisiensi penggunaan ransum dihitung berdasarkan: ER=
PBB KBK
Keterangan: ER = Efisiensi penggunaan ransum PBB
= Pertambahan bobot badan (g)
KBK = Konsumsi bahan kering (g) Nilai IOFC diperoleh dari selisih biaya pakan dengan harga jual domba. Nilai IOFC penggunaan ransum dihitung berdasarkan: IOFC= BP – HJ Keterangan: IOFC = Income Over Feed Cost (Rp./kg) BP
= Biaya pakan (Rp./kg)
HJ
= Harga jual (Rp./kg)
23
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Analysis of Variance (ANOVA). Jika terdapat perbedaan yang signifikan terhadap masing-masing peubah, dilanjutkan dengan uji Kontras Orthogonal (Steel dan Torrie, 1993).
24
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan produksi. Rataan konsumsi rumput, konsentrat dan ransum disajikan pada Tabel 3. Tabel 3.Konsumsi Bahan Kering Ransum Bakalan Induk Domba. Perlakuan
Peubah
P1
P2
P3
Total (g/e/hr)
398,24 + 92,75
406,61 + 85,87
416,06 + 84,61
Rumput (g/e/hr)
133,17 + 33,26
137,37 + 23,14
102,39 + 20,64
Konsentrat (g/e/hr)
265,06 + 60,12
269,25 + 62,96
313,67 + 64,23
BB (%)
3,05
2,95
2,92
Rasio Hijauan: Konsentrat
33,34 : 66,66
34,01 : 65,99
24,62 : 75,38
Konsumsi
Konsumsi BK Ransum
Keterangan :
P1 = Ransum TDN 65%, PK 14%. P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%.P3 = Ransum TDN 75%, PK 14%.
Perlakuan tidak nyata mempengaruhi konsumsi bahan kering bakalan induk domba. Jumlah konsumsi BK domba antar perlakuan relatif tidak berbeda. Berdasarkan hal tersebut, ransum dengan level energi yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap konsumsi bahan kering bakalan induk domba. Parakkasi (1999) menjelaskan bahwa konsumsi BK dipengaruhi oleh berat atau besar badan, bangsa, jenis kelamin, umur dan kondisi ternak, jenis makanan, kadar energi bahan makanan, dan stress. Konsumsi BK ransum pada penelitian ini berkisar antara 398,24-416,06 g/e/hr atau sekitar 2,92-3,05% dari bobot badan. Konsumsi BK ransum telah memenuhi standar kebutuhan konsumsi bakalan induk domba. Konsumsi BK tidak berbeda jika dibandingkan dengan pernyataan Kearl (1982) bahwa kebutuhan konsumsi BK bakalan induk domba bobot 10-20 kg dengan pertambahan bobot badan sebesar 100 g/hr berkisar antara 210-410 g/e/hr atau sekitar 2,5-3,1% bobot badan. Konsumsi BK perlakuan yang yang berbeda ditunjukkan oleh penelitian Swastike et al. (2006) yang menyatakan bahwa konsumsi BK domba lokal umur +4 25
bulan dengan bobot badan yang sama sekitar 390-570 g/e/hr atau sekitar 2,86-4,14% bobot badan. Konsumsi BK perlakuan yang sesuai dengan pernyataan Kearl (1982) disebabkan karena tingkat performa dan umur domba lokal yang digunakan sama. Banyaknya BK ransum yang dikonsumsi ternak juga ditentukan oleh imbangan hijauan dan konsentrat. Hasil perhitungan diatas menunjukkan bahwa imbangan hijauan:konsentrat tidak sesuai dengan yang diharapkan (40:60, 40:60 dan 30:70) terhadap perlakuan. Hal tersebut disebabkan hijauan dan konsentrat yang diberikan secara terpisah sehingga mempengaruhi jumlah hijauan dan konsentrat yang dikonsumsi (Tabel 3). Konsumsi konsentrat yang lebih banyak dibandingkan rumput menunjukkan bahwa domba lebih menyukai konsentrat. Konsumsi rumput yang rendah disebabkan tingginya kandungan serat kasar dalam hijauan (Tabel 2). Hal ini sesuai dengan pendapat Mathius (1996) yang menyatakan bahwa kandungan serat kasar dalam ransum mempengaruhi jumlah konsumsi. Pola Konsumsi Bahan Kering Ransum Bakalan Induk Domba Lokal Pola Konsumsi Bahan Kering Ransum Bakalan Induk Domba Lokal terdapat pada Gambar 5. 700
Konsumsi BK (g/e/hr)
600
503.77 524.12 528.50
500
691.68 645.14 659.63
348.23
400 264.32
300
241.01
200
232.05 230.30 246.95 239.83
335.75 335.25
100 0 2
4
6
8
10
Minggu
Gambar 5. Grafik Konsumsi BK Bakalan Induk Domba Lokal Yang Diberi Ransum dengan TDN 65% ( ), TDN 70% ( ) dan TDN 75% ( ). Berdasarkan grafik diatas, rataan konsumsi bahan kering dari masing-masing perlakuan selama pemeliharaan meningkat. Pada minggu-minggu awal konsumsi BK sebesar 230,30-241,01 g/e/hr
dan mencapai 645,14-691,98 g/e/hr hingga akhir 26
pemeliharaan (Gambar 5). Hal tersebut menunjukan bahwa konsumsi BK ransum bakalan induk domba selama fase pertumbuhan mengalami peningkatan sesuai dengan pertambahan bobot badannya. Konsumsi Zat Makanan Konsumsi zat makanan adalah jumlah zat makanan di dalam pakan yang dapat dikonsumsi oleh ternak pada periode tertentu untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang diperlukan. Konsumsi zat gizi di dalam pakan yang sangat diperlukan untuk hidup ternak meliputi protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin dan air. Konsumsi zat makanan domba berbeda dengan yang diharapkan. Secara lengkap konsumsi zat makanan bakalan induk domba yang mendapatkan ransum penelitian tercantum pada Tabel 4. Tabel 4.Konsumsi Zat Makanan Domba Selama 89 Hari. P1
Zat Makanan
(g/e/hr)
P2 %
(g/e/hr)
P3 %
%
BK
398,24 +92,75 68,7
PK
59,30 + 13,73
10,23 60,49+ 16,60
9,94
63,64+ 14,13
10,9
LK
34,85 + 8,03
6,55
44,56 + 9,92
7,25
31,26 + 6,37
5,07
SK
49,31 + 11,81
8,55
52,44 + 10,14 8,64
43,45 + 8,79
7,44
BETN
216,83 + 50,48 54,45 189,78 + 39,42 46,70
242,39 + 49,31 58,26
TDN
270,99 + 62,79 68,1
291,14 + 62,89 71,6
313,12 + 63,77 75,26
Ca
4,02+ 1,27A
0,69
2,24+ 0,52B
0,37
1,63+ 0,33 B
0,28
P
0,74+ 0,11
0,13
0,83+ 0.05
0,14
1,06+ 0,11
0,18
Keterangan :
406.61 + 85,87 66,85
(g/e/hr)
416,06 + 84,61 71,24
P1 = Ransum TDN 65%, PK 14%. P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%.P3 = Ransum TDN 75%, PK 14%. BK=Bahan Kering, PK=Protein Kasar, LK=Lemak Kasar, SK=Serat Kasar, BETN=Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen, TDN=Total Digestible Nutrien, Ca=kalsium, P=Fosfor. Superskrip huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0.01).
Konsumsi Protein Kasar Zat makanan yang penting untuk domba salah satunya adalah protein kasar. Tillman et al. (1998) menyatakan bahwa protein dalam pakan sangat dibutuhkan oleh ternak karena kandungan asam aminonya (esensial dan nonesensial) pada masa pertumbuhan dan perkembangan untuk reproduksinya. Konsumsi protein kasar antar perlakuan tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Hal ini dipengaruhi
27
konsumsi BK yang juga tidak berbeda nyata. Konsumsi protein kasar yang tidak berbeda antar perlakuan sejalan dengan jumlah protein kasar dalam BK ransum. Sudarman et al. (2008) menyatakan bahwa konsumsi BK yang tinggi juga meningkatkan konsumsi protein dalam pakan. Konsumsi protein kasar bakalan induk domba dalam penelitian ini berkisar antara 59,3-63,64 g/e/hr atau sekitar 9,94-10,90% dari konsumsi BK. Kearl (1982) menjelaskan bahwa standar konsumsi protein kasar untuk bakalan induk domba lokal untuk bobot 10-15 kg dengan pertambahan bobot badan 100 g/hr adalah sekitar 7095 g/e/hr atau sebesar 10-14% dari konsumsi BK ransum. Dawson et al. (1999) melaporkan bahwa konsumsi PK bakalan induk domba pada kondisi 6 minggu sebelum bunting adalah sekitar 126-177 g/e/hr atau sebesar 12,38% dari konsumsi BK. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi protein kasar bakalan induk domba belum memenuhi standar kebutuhan. Konsumsi protein kasar yang rendah dipengaruhi oleh kandungan protein kasar dalam ransum, sedangkan bakalan induk dalam masa pertumbuhan membutuhkan level protein yang tinggi. Robinson et al. (2006) menjelaskan bahwa kebutuhan protein domba indukan untuk hidup pokok dan produksi tergantung tipe
ransum, kualitas protein, tingkat energi dan kondisi
fisiologisnya. Konsumsi Lemak Kasar Konsumsi lemak kasar perlakuan berkisar antara 31,26-44,56 g/e/hr atau sekitar 6,37-9,92% dari konsumsi BK. Konsumsi LK perlakuan belum memenuhi standar kebutuhan bakalan induk domba. ARC (1985) menjelaskan bahwa konsumsi lemak kasar bakalan induk domba dalam masa pertumbuhan bobot 10-20 kg adalah sekitar 12-14% dari konsumsi BK atau sekitar 49-57 g/e/hr. Umumnya domba bakalan diberikan makanan yang mengandung 20% lemak dalam BK ransum sebagai pengganti susu untuk meningkatkan konsumsi energi ternak dan mempercepat pertambahan bobot badan (Parakkasi, 1999). Konsumsi LK yang rendah dari standar kebutuhan dikarenakan karena rendahnya kandungan lemak dalam ransum, kondisi fisiologis domba dan jenis domba yang digunakan berbeda. Parakkasi (1999) menjelaskan bahwa pada fase pertumbuhan, ternak sangat terbatas kesanggupannya dalam menghidrolisis lemak, sehingga lemak yang diperlukan harus diserap secara langsung. Oleh karena itu, kandungan lemak ransum
28
perlakuan yang tidak terlalu tinggi masih mencukupi kebutuhan bakalan induk domba. Konsumsi lemak kasar
antar perlakuan tidak menunjukkan hasil yang
berbeda nyata. Hal tersebut dikarenakan konsumsi bahan kering juga tidak berbeda nyata. Parakkasi (1999) menjelaskan bahwa lemak yang dikonsumsi ternak tergantung oleh kandungan lemak kasar dalam ransum dan komposisi bahan pakannya. Konsumsi Serat Kasar Kebutuhan serat kasar domba menurut Parakkasi (1999) berkisar antara 1214% dalam BK ransum. Sementara itu, konsumsi serat kasar perlakuan berkisar antara 43,45-52,45 g/e/hr atau sekitar 8,79-11,81% dari BK ransum. Jumlah serat kasar yang dikonsumsi domba perlakuan lebih rendah dari kebutuhan yang dinyatakan oleh Parakkasi (1999), namun masih memenuhi standar kebutuhan bakalan induk domba. Hal tersebut dikarenakan domba perlakuan masih dalam masa pertumbuhan. Konsumsi serat kasar antar perlakuan tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Hal tersebut dikarenakan konsumsi BK ransum yang tidak berbeda dan imbangan hijauan:konsentrat yang dikonsumsi tidak seperti yang diharapkan (Tabel 3). Konsumsi hijauan yang rendah dibandingkan konsentrat mempengaruhi jumlah serat kasar yang dikonsumsi domba. Blexter et al. (1961) menyatakan bahwa konsumsi serat kasar mempengaruhi tingkat konsumsi, jika semakin banyak makanan yang tidak mudah dicerna (seperti hijauan) mengakibatkan rumen semakin sulit untuk mencerna zat-zat makanan dalam ransum. Domba yang masih dalam masa pertumbuhan masih membutuhkan bahan kering dengan daya cerna yang relatif rendah seperti konsentrat karena rumennya masih belum terbentuk dengan sempurna (Church, 1991). Konsumsi TDN Ransum Kebutuhan energi untuk ruminansia ditentukan berdasarkan kandungan TDN (Total Digestible Nutrients), yaitu jumlah nilai zat makanan yang dicerna oleh ternak. TDN merupakan satuan energi yang diperoleh dari nilai bahan kering ransum dan jumlah zat-zat makanan (protein, serat kasar, lemak, dan BETN) yang dapat dicerna (Siregar, 1994). Satuan energi dalam bentuk TDN lebih mudah ditentukan
29
untuk menghitung kebutuhan ternak ruminansia karena merupakan nilai energi yang berasal total nutrien zat-zat makanan dalam ransum untuk ternak (Sutardi, 1981). Konsumsi TDN tidak berbeda nyata. TDN yang dikonsumsi bakalan induk sebesar 270,99-313,12 g/e/hr atau sebesar 68,07-75,26% dari bobot badan. TDN yang dikonsumsi perlakuan telah memenuhi standar kebutuhan bakalan induk. Kebutuhan konsumsi TDN bakalan induk domba dengan pertambahan bobot badan 100g/e/hr yaitu sekitar 230-390 g/e/hr atau sebesar 62-68% dari BK (Kearl 1982). Hal tersebut didukung oleh Swastike et al. (2006) yang mendapatkan konsumsi TDN bakalan induk umur 4-7 bulan sekitar 297,87-481,16 g/e/hr atau sebesar 69-74%. Konsumsi TDN sesuai dengan pernyataan Kearl (1982) disebabkan karena kandungan TDN dalam ransum perlakuan yang relatif tidak jauh berbeda. Konsumsi TDN yang tidak berpengaruh nyata disebabkan karena konsumsi BK tidak berpengaruh nyata serta imbangan hijauan:konsentrat yang dikonsumsi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pola Konsumsi TDN Ransum Bakalan Induk Domba Pola Konsumsi TDN (Total Digestable Nutrient) bakalan induk domba dapat dilihat pada Gambar 6.
Konsumsi TDN g/e/hr
600.0
511.1
500.0 372.3 370.8
400.0 257.3
300.0 200.0
168.2
195.3 173.3
158.9 100.0
145.5
155.2
2
3
462.8 431.5
350.5
235.2 224.5
0.0 4
5
6
Minggu
Gambar 6. Grafik Konsumsi TDN Bakalan Induk Domba Lokal Yang Diberi Ransum dengan TDN 65% ( ), TDN 70% ( ) dan TDN 75% ( ). Rataan konsumsi TDN dari masing-masing perlakuan selama pemeliharaan meningkat. Hal ini menunjukan bahwa konsumsi TDN bakalan induk domba selama fase pertumbuhan mengalami peningkatan sesuai dengan pertambahan bobot
30
badannya.
Pada minggu awal konsumsi BK sebesar 145,5-168,2 g/e/hr
dan
mencapai 431,5-511,1 g/e/hrhingga akhir pemeliharaan (Gambar 6). Bakalan induk membutuhkan energi yang cukup untuk hidup pokok dan produksi, terutama pembentukan saluran reproduksi dan mempercepat dewasa kelamin. Cabiddu et al. (2006) menjelaskan bahwa pemberian pakan dengan kandungan energi dan protein yang sesuai dengan kebutuhan dapat meningkatkan produktivitas induk domba Sarda. Konsumsi TDN bakalan induk yang tidak berbeda nyata pada Tabel 4 menunjukkan perlakuan dengan konsumsi TDN 65% lebih efektif untuk tujuan produksi. Hal ini juga dipengaruhi oleh umur dan bobot awal domba yang relatif tidak berbeda sehingga mempengaruhi konsumsi kandungan zat makanan dalam BK ransum. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa jumlah konsumsi energi pada ternak dipengaruhi oleh bobot badan, umur, lingkungan, sifat fisik, dan komposisi kimia bahan pakan. Konsumsi Mineral Ca dan P Mineral Ca dan P merupakan mineral yang sangat dibutuhkan ternak selama masa pertumbuhan. Ternak membutuhkan mineral tersebut untuk pembentukan tulang dan metabolisme. Kandungan Ca dalam tubuh berperan untuk aktivitas enzim, kontraksi otot, dan pembekuan darah, sedangkan P berperan dalam metabolisme karbohidrat, lemak dan vitamin. Oleh karena itu, diperlukan asupan Ca dan P yang cukup dari konsumsi pakan untuk memaksimalkan pertumbuhan. Mineral Ca dan P merupakan bagian terbesar penyusun tubuh untuk struktur tulang dalam tubuh ternak yaitu masing- masing sebesar 99% dan 80% (Kebreab dan Vitti, 2010). Konsumsi mineral Kalsium (Ca) antar perlakuan berbeda nyata (P<0,01). Konsumsi Ca pada perlakuan P1 (4,02 g/e/hr) lebih tinggi daripada perlakuan P2 (2,24 g/e/hr) dan P3 (1,63 g/e/hr), yaitu masing-masing sebesar 1,78 g/e/hr dan 0,61 g/e/hr. Konsumsi Ca yang berbeda nyata disebabkan komposisi mineral Ca dalam ransum antar perlakuan dan komposisi sumber mineralnya yang berbeda. NRC (2005) menambahkan bahwa mineral Ca untuk ternak paling banyak tersedia dalam sumber pakan anorganik atau suplemen. Mineral Ca yang dikonsumsi selama pemeliharaan adalah sekitar 1,63-4,02 g/e/hr. Konsumsi mineral Ca pada perlakuan P1 dan P2 telah memenuhi standar kebutuhan bakalan induk, terutama perlakuan P1 menunjukkan konsumsi mineral Ca
31
yang lebih tinggi dari standar kebutuhan. Namun konsumsi mineral Ca yang rendah ditunjukkan oleh perlakuan P3. Kearl (1982) menyatakan bahwa kebutuhan mineral Ca untuk bakalan induk bobot 10-20 kg sekitar 2,1-3,1 g/e/hr. Hal ini disebabkan penambahan suplemen mineral Ca dalam ransum pada P1 dan P2 lebih tinggi dari P3, khususnya CaCO3
(Tabel 2). NRC (2005) menjelaskan bahwa untuk
meningkatkan kandungan mineral Ca dalam ransum bisa dipenuhi dengan penambahan sumber pakan anorganik seperti CaCO3. Konsumsi mineral Fosfor (P) antar perlakuan tidak berpengaruh nyata. Konsumsi mineral P yang tidak berbeda nyata dipengaruhi konsumsi BK ransum. Banyaknya mineral P dalam ransum yang relatif sama menyebabkan konsumsi mineral P antar perlakuan tidak menunjukkan perbedaan. Mineral P yang dikonsumsi pada perlakuan dipengaruhi komposisi sumber bahan pakan perlakuan penyusun ransum.NRC (2005) menjelaskan bahwa mineral P organik terdapat pada sumber bahan pakan dari pertanian dan biji-bijian. Konsumsi mineral P bakalan induk domba berkisar antara 0,74-1,06 g/e/hr. Mineral P yang dikonsumsi tidak memenuhi standar kebutuhan bakalan induk untuk bobot 10-20 kg, yaitu sekitar 1,5-2,2 g/e/hr (Kearl, 1982). Rendahnya mineral P yang dikonsumsi dipengaruhi kandungan mineral P dalam BK ransum. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Kebreab dan Vitti (2010) bahwa kandungan mineral Ca dan P bahan pakan dan penambahan suplemen dalam formulasi ransum komplit mempengaruhi mineral P yang dikonsumsi oleh ternak ruminansia. NRC (2005) menjelaskan bahwa untuk meningkatkan kandungan mineral P dalam ransum bisa dipenuhi dengan penambahan sumber pakan anorganik seperti DCP. Mineral Ca dan P harus terpenuhi sesuai standar kebutuhan dan seimbang. Kebreab dan Vitti (2010) menjelaskan bahwa absorbsi dan resorpsi mineral P berkaitan dengan mineral Ca. Imbangan Ca dan P sangat perlu diperhatikan karena saling berkaitan. Fungsi mineral Ca dan P yaitu untuk pertumbuhan dan perkembangan, khususnya pembentukan tulang dan gigi serta memaksimalkan produksi susu pada domba laktasi (Kebreab dan Vitti, 2010). Pada dasarnya, imbangan untuk mineral Ca:P direkomendasikan sekitar 2:1 (Orskov, 2001). Namun imbangan Ca:P dalam penelitian berbeda dari standar yang telah ditetapkan
32
(P1=5,4:1; P2=2,7:1; dan P3=1,54:1). Hal ini disebabkan kandungan mineral Ca dan P dalam BK ransum perlakuan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Pola Perbandingan imbangan konsumsi mineral Ca dan P bakalan induk domba Pola perbandingan imbangan konsumsi mineral Ca dan P bakalan induk
Konsumsi Ca dan P (g/e/hr)
domba dapat dilihat pada Gambar 7.
4.50 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
4.02
2.24 1.63 0.74
0.83
1.06
TDN TDN TDN 65%, PK14% 70%, PK14% 75%, PK14%
Gambar 7. Konsumsi Ca ( ) dan P ( ) Bakalan Induk Domba Lokal selama Pemeliharaan. Rataan perbandingan konsumsi Ca dan P masing-masing perlakuan selama pemeliharaan berbeda dengan yang diharapkan (Gambar 7). Perbandingan konsumsi Ca dan P masing-masing adalah P1=4,02:0,74; P2=2,24:0,83; dan P3 =1,63:1,06. Perlakuan P1 menunjukkan perbandingan mineral Ca dan P tertinggi dan tidak seimbang dibandingkan perlakuan P2 dan P3. Perbandingan konsumsi mineral Ca dan P yang lebih ideal ditunjukkan oleh P2. Hal tersebut dikarenakan perbandingan Ca:P perlakuan P2 mendekati standar perbandingan yang direkomendasikan (Orskov, 2001) dan memenuhi standar kebutuhan domba. Imbangan mineral Ca dan P yang tidak sesuai dengan perbandingan 2:1 pada perlakuan disebabkan kandungan Ca dan P yang bervariasi dalam bahan pakan penyusun ransum. Kebreab dan Vitti (2010) bahwa kandungan mineral Ca dan P bahan pakan dan penambahan suplemen dalam formulasi ransum komplit mempengaruhi mineral Ca dan P yang dikonsumsi. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan analisis proksimat bahan-bahan pakan sebelum menyusun formulasi ransum.
33
Performa Bakalan Induk, Efisiensi ransum dan IOFC Pengukuran bobot badan berguna untuk menentukan tingkat performa, efisiensi ransum dan nilai ekonomis (Parakkasi, 1999). Performa bakalan induk domba, efisiensi ransum dan nilai IOFC bakalan induk domba yang mendapatkan ransum penelitian tercantum pada Tabel 5. Tabel 5.Performa, Efisiensi Ransum dan IOFC Bakalan Induk Selama Pemeliharaan. Perlakuan
Peubah
P1
P2
P3
Bobot Awal (kg/ e)
9,38 + 2,29
9,75 + 1,55
9,88 + 1,75
Bobot Akhir (kg/ e)
16,19 + 2,72
17.63 + 2,69
18,50 + 2,80
Pertambahan Bobot Badan (g/e/hr)
74,85 + 13,77
89,57 + 12,54
98,11 + 19,57
Efisiensi ransum selama penelitian 0,20 + 0,06
0,22 + 0,02
0,24 + 0,06
IOFC (Rp./kg)
1157 + 115
1079 + 399
Keterangan :
891
+ 307
P1 = Ransum TDN 65%, PK 14%.P2 = Ransum TDN 70%, PK 14%.P3 = Ransum TDN 75%, PK 14%.
Performa Bakalan Induk Domba Kecepatan pertumbuhan tergantung dari spesies, jenis kelamin, umur dan keseimbangan zat-zat nutrisi dalam pakan, kualitas pakan yang semakin baik juga diikuti dengan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi. Pada umur 2,5 bulan, domba muda mengalami pertambahan bobot badan yang relatif rendah sehingga mempengaruhi performa. Umur 2,5 bulan sampai dengan masa pubertas (6-8 bulan) pertumbuhan domba muda akan berjalan maksimum saat mencapai pubertas, lalu perlambatan pertumbuhan kembali terjadi (Tillman et al., 1984). Pertambahan bobot badan (PBB) yang dicapai antar perlakuan adalah sebesar 74,8-98,11 g/e/hr. PBB yang dicapai masih belum maksimal (P1= 65% TDN, P2= 70% TDN, P3= 75% TDN). Menurut Kearl (1982), standar pertambahan bobot badan bakalan induk domba sebesar 100 g/hr untuk bobot 15-20 kg mengkonsumsi TDN sekitar 66-68% dari BK ransum. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa performa domba perlakuan masih belum maksimal. Namun nilai PBB yang dicapai lebih tinggi dibandingkan dengan yang dicapai oleh Elita (2006) yang mendapatkan pertambahan bobot badan sebesar 59,03 g/e/hr untuk bakalan induk lokal bobot 13 kg dan penelitian Sitepu (2011) yang mendapatkan pertambahan 34
bobot badan induk domba sebesar 34,69-55,10 g/e/hr. Hal tersebut disebabkan tingkat umur dan bobot pemeliharaan domba yang berbeda. Church (1991) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh umur, jenis/bangsa ternak, tingkat konsumsi dan kualitas ransum. Level energi pakan tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan bakalan induk domba antar perlakuan. Keadaan ini menunjukkan tingkat energi P1 (65% TDN), P2 (70% TDN), dan P3 (75% TDN) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap penampilan produksi bakalan induk. Kurang maksimalnya PBB dalam penelitian disebabkan konsumsi ransum yang kurang mendekati standar kebutuhan dan berbedanya bangsa domba yang digunakan. Tomaszewska et al. (1993) menyatakan bahwa laju PBB dipengaruhi oleh umur, lingkungan, dan genetik, di mana berat tubuh awal fase pertumbuhan berhubungan dengan berat dewasa. Pola Pertambahan Bobot Badan Bakalan Induk Domba Pola pertambahan bobot badan bakalan induk domba dapat dilihat pada Gambar 8.
Bobot Badan (kg)
25
18.5
20 16.375 14.5625 15
12.875 11.0625 11.625 11.6
10
12.75
17.625
15.875 16.2
14.25 13.7
14.3
6
8
12.3
5 0
2
4
Minggu
10
Gambar 8. Grafik Pertumbuhan Bakalan Induk Domba Bakalan Induk Domba Lokal Yang Diberi Ransum dengan TDN 65% ( ), TDN 70% ( ) dan TDN 75% ( ). Grafik diatas (Gambar 8) menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan bakalan induk pada penelitian ini masih relatif baik. Bobot badan relatif meningkat tiap minggunya dari minggu ke-2 yaitu, 11,06-11,62 kg menjadi 16,2-18,5 kg pada 35
minggu ke 10. Makin baik kualitas pakan yang dikonsumsi ternak akan diikuti dengan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi (Church, 1991). Efisiensi Ransum Efisiensi penggunaan ransum antar perlakuan tidak menunjukkan perbedaan nyata. Nilai efisiensi penggunaan ransum terhadap pertambahan bobot badan antar perlakuan relatif tidak jauh berbeda (Tabel 5). Berdasarkan pernyataan Kearl (1982), efisiensi ransum bakalan induk bobot 10-20 g dengan PBB 100 g/hr maksimal sekitar 0,17-0,24. Efisiensi penggunaan ransum telah memenuhi standar, yaitu sekitar 0,200,24. Nilai efisiensi dipengaruhi oleh faktor BK dalam ransum dan kemampuan ternak memanfaatkan zat makanan dalam ransum untuk menjadi produk ternak. Parakkasi (1999) menjelaskan bahwa tingginya kapasitas produksi dipengaruhi oleh konsumsi makanan, Efisiensi yang cukup baik menunjukkan bahwa konsumsi BK ransum lebih dimanfaatkan menjadi produk tubuh bakalan induk. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa jumlah serat kasar dalam ransum mempengaruhi konsumsi bahan kering ransum dan imbangan pakan. Efisiensi ransum antar perlakuan termasuk cukup baik. Hal tersebut dipengaruhi tingginya konsumsi konsentrat yang berserat kasar rendah. Orskov (2001) menjelaskan bahwa kandungan zat makanan dalam ransum yang dikonsumsi mempengaruhi kecernaan zat makanan untuk diubah menjadi produk ternak. Income Over Feed Cost(IOFC) Analisis ekonomi sangat penting dalam usaha penggemukan domba, karena tujuan akhir dari penggemukan adalah untuk mendapatkan keuntungan. Salah satu perhitungan yang dapat digunakan adalah Income Over Feed Cost (IOFC) yaitu pendapatan dari pemeliharaan setelah dikurangi biaya pakan selama penggemukan. Tingkat energi ransum yang berbeda tidak memberikan pengaruh nyata terhadap IOFC. Hal ini disebabkan karena tidak berbeda nyatanya pertambahan bobot badan domba dan konsumsi pakan. Menurut Mulyaningsih (2006) faktor yang mempengaruhi nilai perhitungan IOFC selama penggemukan seperti PBB, konsumsi pakan, dan harga pakan saat pemeliharaan. Berdsarakan Tabel 5 didapat rata-rata IOFC tertinggi pada perlakuan P2 yaitu Rp 1156,5/kg dibandingkan dengan P3 dan P1 sebesar Rp. 1079/kg dan Rp.891/kg.
36
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Ransum dengan kandungan energi 65%,70%, dan 75 % tidak berpengaruh nyata terhadap penampilan produksi bakalan induk sehingga pemeliharaan bakalan induk umur 2-5 bulan dengan bobot 9-18 kg dapat diberikan ransum dengan kadar TDN 65%. Saran Perlu penelitian lebih lanjut tentang energi yang sesuai untuk meningkatkan performa bakalan induk domba serta diperlukan ketelitian dalam penyusunan dan formulasi ransum, terutama untuk kebutuhan mineral.
37
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillah, Penulis panjatkan segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan program Sarjana di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih tak terhingga Penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. I Komang Gede Wiryawan dan Ir. Kukuh Budi Satoto, MS. sebagai dosen pembimbing atas setiap waktu, tenaga, pikiran yang diberikan dan tidak mengenal lelah dalam membimbing Penulis sejak masa pembelajaran hingga menyelesaikan studi. Penulis juga sampaikan terima kasih kepada Ir. Lilis Khotijah, MSi., Dr. Ir. Jajat Jachja, Staff Lab. Agrostologi yaitu Iwan Prihantoro, SPt. MSi., Agustinus SPt. dan Dhani Amd. yang senantiasa memberikan saran dan nasihatnya kepada penulis. Terima kasih kepada Dr. Ir. Didit Diapari, MSc. sebagai dosen penguji seminar, Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr. dan Dr. Ir. Ahmad Darobin Lubis, MSc. sebagai dosen penguji, beserta seluruh dosen yang telah memberikan saran dan kritiknya demi penyelesaian skripsi ini yang tidak luput dari kekurangan. Terima kasih Penulis sampaikan kepada kedua orangtua yang telah memberikan dukungan moril dan materil serta kasih sayangnya yang tak terbalas. Terima kasih juga kepada kakak dan adik Penulis, Sesfrika Yanza dan Farhan R. Yanza atas dukungan dan kepedulian yang selalu diberikan hingga saat ini. Tidak lupa pula terima kasih Penulis sampaikan kepada rekan-rekan penelitian PKM Ismoyo, Adi, Fanny, dan Kiki serta teman-teman Balibu atas kerjasamanya selama penelitian. Tak terlupa kepada seluruh teman-teman departemen INTP 44 khususnya untuk Mumu, Juanda, Nanda, “Nabila and The Gang” INTP 45, yaitu Srisum, maha, hera, dan vivi, beserta teman-teman INTP 46 yang selalu memotivasi Penulis. Terima kasih untuk kesetiaan teman-teman HMI seperti Imam, Heru, dan Iham dan lainnya yang tak dapat disebut satu-persatu. Serta terima kasih Penulis sampaikan kepada saudara-saudaraku seperjuangan “Kuraba 97” yaitu Arfi, Imus, Donny, Anom, Yudhis, Riza, Topa, Alan dan Erick yang setia memberikan kritikan, saran, dan persaudaraan yang erat kepada Penulis selama masa perkuliahan. Bogor, Juni 2012 Penulis
38
DAFTAR PUSTAKA Ali, U. 2006. Pengaruh penggunaan onggok dan isi rumen sapi dalam pakan komplit terhadap penampilan kambing peranakan Ettawah. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Islam Malang. Malang. Andriguetto, J. M., L. Perly & I. Minardi. 1993. Animal Nutrition. Nobel, Sao Paolo. Anggorodi, R. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. Gramedia, Jakarta. ARC. 1985. Nutrients Requierments of Goats. National Academy Of Science, Washington DC. Aregheore, E. M. 2000. Crop residues and agroindustrial by product in four Pasific Island countries: availability, utilization and potensial value in ruminant nutrition. Asian-Aust. J. Anim. Sci.13 (Supplement B) : 266-269. Bencini, R., T. W. Knight & P. E. Hartman. 2003. Secretion of milk and milk components of sheep. Aust. J. Experimental. Agric. 43 : 529-534. Blaxter, K. L., F. W. Weinmann & R.S. Wilson. 1961. Anim. Prod. 3 : 51-61. Bortolami, R., R. Callegari, E. Callegari & V. Beghelli. 1985. La materia vivente. anotomia e fisiologia degli animali domestici. Edagricole, Bologna. Cabiddu, A. M. A., G. Pinna, M. Decandia, M. Sitzia, G. Piredda, A. Pirisi & G. Molle. 2006 . Effect of corn and beet pulp based concentrates on sheep milk and cheese fatty acid composition when fed mediteranian fresh forages with particular reference to conjungated linoleic acid cis-9, trans-1. J. Anim. Sci. 131 : 292-311. Cahyono, B. 1998. Beternak Domba dan Kambing. Kanisius, Yogyakarta. Cannas, A., L. O. Tedeschi, A. S. Atzori & D. G. Fox. 2006. Prediction of energy requirement or growing sheep with the cornell net carbohydrate and protein system. In Nutrient Digestion and Utilization in Farm Animals: Modelling Approaches. (eds Kebreab et al.). CAB International : 99-113. Church, D. C. 1979. Digestive physiology and nutrition of ruminants. Vol. 2: Nutrition. 2nd edition. OR: O & B Books, Corvallis. Church, D. C. 1991. Livestock Feeds and Feeding. Nutrition. 3rd edition. Practice Hall International, Englewood Cliffs. Chuzaemi, S. 2002. Arah dan sasaran penelitian nutrien sapi potong di Indonesia. Workshop Sapi Potong. Lolit Sapi Potong. Unpublish. Dawson, L. E. R., A. F. Carson & D. J. Kilpatrick, 1999. The effect of digestable undergraduable protein concentration of concentrates and protein sources offered to ewes in late pregnancy on colostrum production and lamb performance. Anim.Sci. Ed. 82 : 26-36. Devendra, C. & G. B. Mcleroy. 1982. Goat and Sheep Production in The Tropics. 1st Edition. Oxford University Press, Oxford. Direktorat Jendral Peternakan. 2010. Statistik Peternakan 2010. CV Arena Seni, Jakarta. 39
Dwiyanto, K. & I. Inounu. 2001. Ketersediaan teknologi dalam pengembangan ruminansia kecil. Makalah Seminar. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Elita, A. S. 2006. Studi perbandingan penampilan umum dan kecernaan pakan pada kambing dan domba lokal. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Engelhardt, V. W. 1981. Some physiologycal aspects on digestion of poor quality fibrous diets in ruminants. J. Agric. Env. 6: 145-152. Ensminger, M. L. 1993. Feed and Nutrition. 2nd Edition. The Ensminger Publishing Company, California. Fahmy, M. H., J. M. Boucher, L. M. Poste, R. Gregoire, G. Butler & J. E. Comeau. 1992. Feed efficiency, carcass characteristics and sensory quality of lambs, with or without prolific ancestry, fed diets with different protein supplements. J. Anim. Sci. 70 : 1365 – 1374. Flecther, I. C., B. Gunawan, Hetzel, B. Bakrie, N. G. Yates & T. P. Chaniago. 1985. Comparison of lamb production from indigenous ewe in Indonesia. Tropical Animal Health 25: 161-167. Food and Agriculture Organization (FAO). 2002. Conserving and developing farm animal diversity. Secretariat of The Report on The State of The World’s Animal Genetic Resource. Roma. Forrest, J. C., E. D. Aberle, H. B. Hedrick, M. D. Judge & R. A. Merkel. 1975. Principles of Meat Science. W. H. Freeman and Company, San Fransisco. Gunawan, A. I. 2005. Kecukupan energi metabolis pakan Domba Garut jantan pada fase pertumbuhan di peternakan Lesan Putra kecamatan Ciomas kabupaten Bogor. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Gunawan, A., B. Rasyd, Sudarmadi & Sriyana. 1995. Pembuatan dan pemanfaatan onggok sebagai pakan ternak bagian proyek peternakan Grati. Balai Pengkajian Teknologi. Karang Ploso. Haryanto, B. 1992. Pakan domba dan Kambing. Prosiding Sarasehan Usaha Ternak Domba dan Kambing Menyongsong era PJPT II. Ikatan Sarjana Ilmu-Ilmu Peternakan Indonesia (ISPI) Cabang Bogor dan Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia (HPDKI) Cabang Bogor. Bogor. Heriyadi, D. 2002. Sistem Perbibitan Ternak Ruminansia. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung. Herman, R. 2003. Budidaya Ternak Ruminansia Kecil. Fakultas Peternakan, Insitut Pertanian Bogor. Bogor. Inounu, I. 1996. Keragaman produksi ternak domba prolifik. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ismoyo, W. 2011. Performa reproduksi domba lokal yang mendapat ransum flushing dengan tingkat energi yang berbeda. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kearl, L. C. 1982. Nutrient Requirements of Ruminant in Developing Countries. Int’l Feedstuff Institute Utah Agric. Exp. Sta. Logon, Utah.
40
Kebreab, E. & Vitti, D. M. S. 2010. Phosphorus and Utilization and Requirements in Farm Animals. CAB International, London. Keskin, M., A., O. Sahin, S. Blcer, S. Cul, A. Sari, & M. Duru. 2003. Feeding behavior of Awassi sheep and Shami (Damascus) goats. J. Turk. Vet. Anim. Sci. 29 : 435 – 439. Kilgour, A. J. & R. Kilgour. 1987. Establishing project using indigenous sheep for wool production on land unsuited to traditional agriculture at Panjebolan,West Java, Indonesia. Forage Research Newsletter No.4:12. Kume, S., M. Kurihara, S. Takahisi, M. Sibata & T. Aii. 1986. Effect of hot feeding and fasting. Japan. J. Zootech. Sci., 57 : 679-686. Lasley, J. F. 1978. Genetics of Livestock Improvement. 3rd Edition. New Delhi: Prentice-Hall of India Private Limited. Johnston, R. G. 1983. Introduction to Sheep Farming. Granada, London. Martawidjaja, M., B. Setiadi & S. S. Sitorus. 1999. Pengaruh tingkat protein dan energi ransum terhadap kinerja produksi kambing kacang muda. Balai Penelitian Ternak, J. Ternak Vet. 4:3. Merkel, C. Roger & Subandriyo. 1997. Sheep and Goat Production Handbook for Southeast Asia. University of California Davis, California. Mulyaningsih, N. 1990. Domba Garut sebagai sumber plasma nutfah ternak. Plasma Nutfah Hewan Indonesia. Komisi Pelestarian Plasma Nutfah Indonesia. Bogor : 42-49. National Research Council. 2005. Mineral Tolerance Of Animal, 2nd ed. National Academy Press, Washington DC. National Research Council. 2006. Nutrient Requirement of Sheep. National Academy Press, Washington DC. National Research Council. 2007. Nutrient Requirement of Small Ruminants : Sheep, Goats, Cervids, and New World Camelids. National Academy Press, Washington DC. Nesheim, M. C. & L. E. Card. 1972. Poultry Production.11th Edition.Lea and Febiger, Philadelphia: 235 – 239. Orskov, E. R. 2001. The Feeding of Ruminants. Rowett Research Institute, Aberdeen. Otaru, S. M., A. M. Adamu, A. W. Ehoche & H. J. Makun. 2010. Effect varying the level of palm oil in feed intake, milk yield, and composition and postpartum weight changes of Red Sagoto Goats. Small Ruminant Research. Vol: 96. Hal 25-35. Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Poly, Z. 1998. Kebutuhan pakan dan metabolit darah domba laktasi pertama berdasarkan kualitas pakan dan jumlah anak. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
41
Pond, W. G., D. C. Church & K. R. Pond. 1995. Basic Animal Nutrition and Feeding. 4th Edition. John Wiley and Sons Press, New York. Rangkuti, M., A. Musofie, P. Sitorus, I. P. Kompiang, N. Kusumawardhani & A. Roesjat. 1995. Pemanfaatan daun tebu untuk pakan ternak di Jawa Timur. Seminar Pemanfaatan Limbah Tebu Untuk Pakan Ternak. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta. Robinson, J. J., C. J. Ashworth, J. A. Rooke, L. M. Mitchell & T. G. McEvoy. 2006. Nutrition and fertility in ruminant livestock. J. Anim. Sci. 126: 259-276. Setiadi, B. & I. Inounu, 1991. Beternak kambing-domba sebagai ternak potong. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Siregar, S. B. 1994. Ransum Ternak Ruminansia. Penebar Swadaya, Jakarta. Siregar, Z. 2003. Peningkatan pertumbuhan domba persilangan dan lokal melalui suplementasi hidrolisat bulu ayam dan mineral esensial dalam ransum berbasis limbah perkebunan. Disertasi. Istitut Pertanian Bogor. Bogor. Sitepu, N. B. R. 2011. Penampilan produksi dan reproduksi calon induk domba lokal yang mendapat ransum dengan sumber energi yang berbeda. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soegiri, J., M. S. N. Siahaan & M. Thalib. 1981. Ransum Praktis Untuk Ternak Potong. Direktorat Jendral Peternakan. Jakarta. Steel, R. G. D. & J. H. Torrie. 2003. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan PT. Gramedia, Jakarta. Sudarman, A., K. G. Wiryawan & H. Markhamah. 2008. Penambahan sabun-kalsium dari minyak ikan lemuru dalam ransum: 1. pengaruhnya terhadap tampilan produksi domba. Med. Pet. 31 (3): 166-171. Sukria, H. A. & R. Krisnan. 2009. Sumber dan Ketersediaan Bahan Baku Pakan di Indonesia. Cetakan I. IPB Press, Bogor. Sumantri C., Einstiana, J. F. Salamena & I. Inounu. 2007. Keragaan dan hubungan phylogenic antar domba lokal di Indonesia melalui pendekatan analisis morfologi. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 12: 42-54. Sutama, I. K. 1992. Reproductive development and performance of small ruminants in Indonesia. In: P. Ludgate., S. Scholz (Ed.). News for Small Ruminants Productions in Indonesia. Winrock International Institute for Agricultural Development : 7-14. Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sutardi, T. 1981. Diktat Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Fakultas Peternakan. Bogor. Swastike, E., E. Baliarti & A. Agus. 2006. Pertambahan bobot badan keberhasilan estrus pada domba dara dengan kualitas pakan yang berbeda. Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
42
Ternouth, J. H. 1990. Phosphorus and Beef production in Northern Australia. Tropical Grasslands 24: 159-169. Tillman, E., H. S. Hartadi, Reksohadipradjo & Labdosoeharjo, S. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Tomaszewska, M. W., I. M. Mastika, A. Djajanegara, S. Gardner & T. R. Wiradarya. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Sebelas Maret University Press, Surakarta. Turner, H. N. & S. S. Y. Young. 1969. Quantitatif Genetics in Sheep Breeding. 1st ed. Ithaca. Cornel University Press, New York. Wardeh, M. F. 1981. Models for estimating energy and protein utilization for feeds. PhD. Dissertation. Utah State University, Logan, Utah. Wardhani, D. K. 2006. Performans Domba Lokal yang digembalakan di padang rumput Brachiaria humidicola UP3 Jonggol dengan penambahan dedak padi. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Kimia, Jakarta. Wiradarya, T. R. 1989. Peningkatan produktivitas ternak domba melalui perbaikan efisiensi nutrisi rumput lapang. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
43
LAMPIRAN
44
Lampiran 1. Sidik Ragam Konsumsi Bahan Kering Konsentrat Selama Pemeliharaan. SK Perlakuan Error Total
DB 2 9 11
JK 5804,95 35111,28 40916,24
KT 2902,48 3901,25
F 0,74
F0.05 4,26
F0.01 8,02
Lampiran 2. Sidik Ragam Konsumsi Bahan Kering Rumput Selama Pemeliharaan. SK Perlakuan Error Total
DB 2 9 11
JK 2919,11 6202,84 9121,95
KT 1459,56 689,20
F 2,12
F0,05 4,26
F0,01 8,02
Lampiran 3. Sidik Ragam Konsumsi Bahan Kering Ransum Selama Pemeliharaan. SK Perlakuan Error Total
DB 2 9 11
JK 260360,02 47990,80 308350,82
KT 130180,01 5332,31
F 24,41
F0,05 4,26
F0,01 8,02
Lampiran 4. Sidik Ragam Konsumsi PK Ransum Selama Pemeliharaan SK Perlakuan Error Total
DB 2 9 11
JK 544,44 1991,04 2535,48
KT 272,22 221,23
F 1,23
F0,05 4,26
F0,01 8,02
Lampiran 5. Sidik Ragam Konsumsi LK Ransum Selama Pemeliharaan SK Perlakuan Error Total
DB 2 9 11
JK 378,545 610,360 988,906
KT 189,272 67,818
F 2,791
F0,05 4,26
F0,01 8,02
Lampiran 6. Sidik Ragam Konsumsi SK Ransum Selama Pemeliharaan SK Perlakuan Error Total
DB 2 9 11
JK 166,431 958,850 1125,281
KT 83,261 106,539
F 0,781
F0,05 4,26
F0,01 8,02
45
Lampiran 7. Sidik Ragam Konsumsi TDN Ransum Selama Pemeliharaan SK Perlakuan Error Total
DB 2 9 11
JK 3551,82 35896,62 39448,44
KT 1775,91 3988,51
F 0,45
F0,05 4,26
F0,01 8,02
Lampiran 8. Sidik Ragam Konsumsi Ca Ransum Selama Pemeliharaan SK Perlakuan Error Total
DB 2 9 11
JK 12,35 3,641 15,99
KT 6,172 0,45
F 15,259
F0,05 4,26
F0,01 8,02
Lampiran 9. Sidik Ragam Konsumsi P Ransum Selama Pemeliharaan SK Perlakuan Error Total
DB 2 9 11
JK 0,213 0,337 0,550
KT 0,107 0,037
F 2,848
F0,05 4,26
F0,01 8,02
Lampiran 10. Sidik Ragam Pertambahan Bobot Badan Bakalan Induk Domba Selama Pemeliharaan SK Perlakuan Error Total
DB 2 9 11
JK 837,70 2373,04 3210,74
KT 418,85 263,67
F 1,59
F0,05 4,26
F0,01 8,02
Lampiran 11. Sidik Ragam Efisiensi Penggunaan Ransum Untuk Bakalan Induk Domba Selama Pemeliharaan SK Perlakuan Error Total
DB 2 9 11
JK 0,004 0,020 0,024
Lampiran12. Sidik Ragam Pemeliharaan. SK Perlakuan Error Total
DB 2 9 11
KT 0,002 0,002
IOFC
JK 144380,712 801043,721 945424,433
Untuk
F 0,885
Bakalan
KT F 72190,356 0,811 89004,858
F0,05 4,256
Induk
Domba
F0,05 4,256
F0,01 8,022
Selama F0,01 8,022
46