indoprogress.com
http://indoprogress.com/2016/03/perempuan-paska-wasior-berdarah/
Perempuan paska Wasior Berdarah Harian Indoprogress
Kekuatan di balik kepungan konsesi dan stigma Malam itu kunang-kunang tak berpendar riuh di pepohonan angin laut bawa kabar buruk pada manusia-manusia daratan di penghujung malam ada lima orang mati oleh pelatuk tanpa tuan angin bertiup kencang ke segala penjuru Teluk Peradaban menyapu rumah-rumah peribadatan membakar kampung tak sisakan hewan menyisir manusia-manusia daratan mengusir ke pegunungan mengejar ke hutan-hutan memburu hingga pelosok dusun-dusun sagu bertuan Lima kematian menuntut balas pada semua manusia Wondama kematian pasukan berseragam penjaga Vatika Papuana Perkasa lunas dibayar teror stigma tiga belas juni dan sesudahnya tak lagi sama gurat-gurat luka trauma orang-orang biasa perusahaan berjaya tentara tepuk dada Indonesia makin berkuasa peradilan Wasior berdarah tinggal janji belaka diulang-ulang demi suara untuk berkuasa di dalam teror tak berjeda Malam, Tiga Belas Juni (zy)
1/7
TELUK Wondama adalah satu kabupaten di Propinsi Papua Barat yang cukup tua. Kota ini disebut kota peradaban Papua, karena disanalah berdiri pertama kali Sekolah Pendidikan Guru Desa yang dikhususkan bagi putra-putri asli Papua dari wilayah bagian Barat dan Utara Papua. Sekolah ini didirikan tahun 1925 di era Zending (misionaris) agama Kristen di bagian barat Papua. I.S Kijne, tokoh penting yang meletakkan fondasi bagi peradaban orang Papua asli di Teluk Wondama. Kabupaten genset, demikian beberapa menyebutnya, karena listrik menyala hanya jika warga sanggup beli bensin. Kabupaten ini tidak banyak dikenal orang dibanding kabupaten lain di Propinsi Papua Barat. Sebelumnya ia menjadi bagian wilayah Kabupaten Manokwari. Kabupaten yang dimekarkan paksa pasca peristiwa Wasior Berdarah Maret-Oktober tahun 2001. Kabupaten yang dihantam banjir bandang tahun 2010 hingga menewaskan 158 orang dan 145 lainnya hilang. Wondama dimekarkan demi puluhan konsesi HPH/IUPHHK, salah satu penyebab banjir bandang tahun 2010. Wondama berdarah karena orang-orang kampung, yang memprotes perampasan hak ulayatnya sekitar Maret 2001, dibungkam dengan penyisiran, pembakaran rumah-rumah, pemukulan, penganiayaan dan penembakan oleh aparat gabungan. Satu kampung habis dilalap api. Satu ekor hewan pun tak bersisa. *** Perempuan-perempuan itu tinggal di kampung-kampung nan indah: Wombu dan Ambumi. Di gunung menganak sungai mengalir bertemu laut, di pesisir pantai menghadap gunung dikelilingi pulau-pulau sepi. Pagi hari, mereka yang tinggal di daratan pegunungan berjalan kaki dengan noken di kepala atau di kedua bahu; berisi parang, kasbi atau sagu, menuju kebun yang berjarak sedikitnya 3 km. Anak-anak ikut berjalan di belakang atau menempel digendongan. Mereka selalu beringus, seringkali disertai batuk. Anjing-anjing kadang ikut serta, walau lebih bersemangat ketika temani para Ayah dan pemuda untuk berburu. Siang hari, perempuan-perempuan ini mencuci, memasak, menganyam noken, atau hanya duduk-duduk saja bercerita; atau tidur. Pinang tak berhenti dikunyah, sesekali menghisap Surya 16 jika beruntung atau ada uang lebih. Kalau tidak, Anggur Kupu adalah pilihan yang lebih terjangkau. Semua perempuan makan pinang, tapi tak semua suka Surya 16 maupun Anggur Kupu. Pinang adalah penyelamat dan obat; rokok pun demikian. Mama-mama yang lebih tua, dan mereka yang tinggal di pedalaman, biasanya senang merokok. Di kebun, bila mereka tidak punya korek api/gas, sejenis buluh kayu halus dipantik oleh batu yang digesek pada bambu hingga berasap dan mengapi. Perempuan-perempuan itu tidak banyak bicara, anak-anak selalu riuh bermain di sekitar mereka. Anak lebih tua menjaga anak-anak lebih muda, yang muda menjaga balita. Para ayah berganti menjaga saat Mama harus pergi mencuci di kali besar, 100 meter dari tempat tinggal. Hidup sekilas tenang dan lambat. *** Terdapat 32 (kepala keluarga) KK tinggal di Kampung Wombu. Jumlah itu bercampur dengan keluarga-keluarga yang datang dan tinggal berkala dari Kampung Urere di pedalaman Inyora dan Undurara, satu hari berjalan kaki dari Wombu. Wombu terletak di kaki bukit Inggorosai, suatu bukit bebatuan sakral yang menjadi situs nenek moyang orang Wondama. Wombu semacam kampung transit bagi warga Urere yang harus turun gunung untuk membeli dan atau melakukan pertukaran demi garam, gula, kopi atau beras. Mayoritas perempuan di sana berusia muda, tanpa mereka tahu pasti berapa. Dari raut wajah, senyum, dan tubuhnya memang tampak masih muda. Mereka semua sudah bersuami, paling sedikit memiliki dua orang anak yang jaraknya berdekatan, atau sedang mengandung. Tidak ada perempuan muda yang lajang di tempat itu. Kategori remaja sepertinya tidak berlaku, kecuali jika boleh disebut remaja istri. Hanya ada satu remaja yang duduk di bangku SMA, kebetulan sedang pulang ke kampung. Ia dan Ibunya seperti kakak adik saja.
2/7
Hampir semua perempuan Wombu tidak bisa baca tulis. Tak banyak yang bisa berbahasa Melayu-Papua. Program informal baca tulis tahun 2008, yang diselenggarakan Guru Jemaat gereja Paulus Petrus, Mama Priscila Ariburi, terpaksa terhenti karena sulit bagi waktu. Upaya pengajaran baca tulis oleh anak salah seorang keluarga, yang kebetulan bisa tamat SMA di kota Wasior, tidak banyak membantu. Sekolah dasar, satu-satunya sekolah di kampung itu, ditumbuhi rumput liar. Sejak bulan Agustus 2015 guru honorer yang bertugas tidak masuk lagi. Semua perempuan-perempuan itu melahirkan dengan bantuan Mama Ester Urio, istri Bapa Lukas Urio, Kepala Suku setempat. Mama Priscila juga membantu dengan bekal ilmu kebidanan dasar sebagai kader PKK. Pos Kesehatan Kampung (poskeskam) ada wujud fisiknya, namun kosong berdebu tidak ada tenaga dan aktivitas. Hanya mantri yang datang dua minggu, atau satu bulan sekali, untuk periksa-periksa sekadarnya, itupun tak lebih dari dua hari. Neri Urio, perempuan Urere beranak dua, mengatakan kelahiran adalah proses sangat menyakitkan di Urere. Perempuan ‘diasingkan’ ke hutan selama sepuluh hari, lima hari untuk proses kelahiran, lima hari berikutnya untuk semacam penyesuaian diri dan ‘penyembuhan’. Kadang mereka dibiarkan seorang diri. Kasus kematian bayi terdengar niscaya dari cerita-cerita para Mama. Setidaknya satu orang bayi, terlahir meninggal di setiap keluarga. Kasus plasenta tertahan lazim terjadi pada kelahiran. Tidak ada pemeriksaan selama kehamilan, tindakan medis yang memadai selama persalinan, dan makanan cukup bergizi untuk menunjangnya. Semurina Urio masih mengalami sakit pasca melahirkan. Anaknya sudah menjelang setahun, tetapi sakit disekitar rahimnya tidak berhenti. Pinang muda yang biasa dikonsumsi untuk mempercepat penyembuhan juga tidak membantu. Perkawinan di bawah umur lazim di tempat ini. Tak ada alternatif. Sekolah tidak jalan, tambahan pendapatan keluarga tidak ada. Wombu seperti sengaja dibiarkan tak berkembang. Padahal Dinas Pendidikan, kesehatan dan bidang perempuan sudah datang dan meninjau, tetapi tetap tidak bertambah fasilitas sosial untuk masyarakat kampung. Sementara akses jalan sudah dibuka untuk lalu lintas logging perusahaan HPH, pedagang-pedagang mainan, baju, kebutuhan rumah tangga juga lebih mudah datang dan pergi. Perempuan-perempuan itu sedang bertahan di tengah daya pikat barang-barang konsumtif. Mobil-mobilan anakanak ukuran kecil dijual tidak kurang dari Rp. 50.000. Minum-minuman keras menjadi wabah baru yang menyerang anak-anak muda dan para suami. Tingkat agresi menambah beban sosial di rumah tangga. *** “Sa tra mengerti kenapa dong tidak buat kantor sendiri. Asal dong bantu masak dan angkat air, ya biar suda.” Mama Suster, istri Kepala Distrik Naikere, mengatakannya sambil menjelaskan bahwa ada 29 orang TNI bermarkas di kantor Distrik saat itu. Sebuah pos TNI yang entah bagaimana mengambil alih kantor Distrik dan dijadikan pos pemeriksaan orang-orang yang keluar masuk Kampung Wombu dan Sararti di Distrik tersebut. Setiap yang datang mesti melewati pengecekan sebelum bisa masuk ke Wombu. Suasana tidak seseram yang dibayangkan bila sanggup menawarkan fasilitas pada aparat di sana. Datanglah dengan Strada dan persiapan berburu, niscaya aparat akan ikut dan perjalanan ke Wombu jadi dimudahkan. Wombu dan Sararti berada di wilayah konsesi pembalakan kayu PT. Kurnia Tama Sejahtera (KTS) seluas 115.800 Ha, yang berinduk pada Artha Graha Group. Sementara seluruh areal konsesi perusahaan tersebut berada di kawasan tanah adat orang-orang (suku) Mairasi dan Miere yang tersebar di enam kampung wilayah administrasi Distrik Naikere, termasuk Wombu dan Sararti. Wilayah konsesi PT. KTS dahulu dimiliki oleh PT. Darma Mukti Persada (DMP), perusahaan yang menjadi sasaran protes orang-orang kampung terkait hak ulayat mereka pada tahun 2001. PT. DMP adalah salah satu anak perusahaan Kayu Lapis Indonesia (KLI), yang dimiliki oleh konglomerat Gunawan Sutanto, salah satu kroni
3/7
Soeharto. KLI memiliki lahan konsesi HPH terluas di tanah Papua, sekitar 1.313.185 Ha yang dikelola oleh 7 perusahaan HPH. Izin IUPHHK-HA PT. KTS dikeluarkan Menteri Kehutanan pada tahun 2009 tanpa konsultasi dan restu masyarakat. “perusahaan tidak pernah membuat pertemuan dan surat kesepakatan pengolahan kayu yang mengikat secara hukum antara masyarakat dan perusahaan” demikian menurut Sarden Siweda, salah seorang tokoh masyarakat Wombu. Namun masyarakat tidak berani menolak kehadiran perusahaan karena trauma kekerasan masa lalu. Pos TNI sudah lama berdiri di kawasan bekas areal PT. DMP itu. Sebelumnya mereka bermarkas di dekat Kampung Sararti, kemudian pindah ke kantor Distrik yang berjarak 45 menit berkendaraan dari Sararti. Pernah satu waktu, Pos TNI hendak dibangun lagi di dalam areal Kampung Wombu, namun Kepala Suku dan Kepala Kampung menolak tegas. Bukan tanpa alasan pos TNI ada di Naikere hingga saat ini. Selain sebagai mitra perusahaan, Wombu, Sararti, Inyora, Undurara, hingga Ambumi di Distrik sebelah, adalah situs-situs rangkaian peristiwa pelanggaran HAM berat Wasior Berdarah tahun 2001. Aktivitas-aktivitas masyarakat di kampung-kampung tersebut masih terus diawasi hingga kini. Sekitar tahun 2013, pasukan TNI mendatangi Wombu, mengancam Kepala Kampung memberikan informasi tentang adanya pelatihan bersenjata di “atas”—sebutan terhadap areal pegunungan Inyora dan Undurara. Kepala Kampung Wombu, Noak Urio, marah atas kedatangan tentara tanpa permisi dengan informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ia mengatakan: “Mari kita lihat ke atas, kalau ada silahkan bapak tembak saya, tetapi kalau tidak, apa saya bisa tembak bapak? Jangan buat informasi sembarang.”
Foto oleh Zely Ariane ***
4/7
Setelah peristiwa 2001 kegiatan perusahaan terus berkembang, tetapi warga kampung sekitar PT. KTS tidak pernah hidup leluasa, pun tak ada peningkatan kesejahteraan. Perusahaan membayar uang debu kepada kepala kampung, sesekali subsidi bensin untuk menggerakkan genset. Tetapi uang tidak sebanding dengan batuk beringus, dan sesak napas akibat debu yang dihirup anak-anak dan perempuan di sekitar rumah, setiap kali kendaraan pengangkut kayu lewat. Seringkali mereka memilih menyingkir ke pondok-pondok di kebun untuk menghindari debu. Trauma ketika melihat rombongan aparat keamanan berseragam yang datang tanpa keperluan pasti, atau lewat untuk berburu, telah membuat anak-anak dan perempuan tidak senang. “Tong tra takut, tapi kitong tra suka dong lewat bawa-bawa senjata,” demikian ujar Maria Urio dengan kesal. Jarak ke kebun juga semakin jauh akibat perluasan areal perusahaan, ditambah tidak adanya layanan kesehatan, membuat beban rumah tangga perempuan bertambah besar. Ketika bertambah anggota keluarga yang sakit membuat mereka tidak bisa ke kebun, sehingga dapur tidak ada makanan. Berburu semakin sulit karena kalah saing dengan dengan senjata berburu para aparat keamanan. Hanya kehidupan kolektif yang membuat para perempuan ini bisa saling bantu agar dapur berisi. Mama Pricila, yang memiliki kebun kecil di belakang rumahnya, adalah tempat bertumpu bagi keluarga-kelurga yang butuh bantuan pangan ala kadarnya. Mama Priscila termasuk yang memperkenalkan perempuan-perempuan Wombu pada dunia luar. Beberapa di antara mereka pernah dibawa ke Jayapura untuk mengikuti pelatihan dan kegiatan gereja. Awalnya para Ayah tidak suka, tetapi setelah kembali tampak Mama-Mama membawa perubahan yang lebih baik ke dalam keluarga, lalu mereka mendukungnya. Perempuan-perempuan Urere ahli menganyam Somu atau Jawik (nama lain Noken dalam bahasa Mairasi). Somu dianyam dengan serat kayu Pohon Manitiare adalah kebudayaan asli perempuan-perempuan Mairasi. Di dalam aktivitas menganyam noken mereka menjadi pribadi-pribadi yang kokoh dan percaya diri. Cerita-cerita mengalir lancar sambil terus jari kaki dan tangan bekerja menganyam. Noken Somu terkenal di Wondama karena sulit diperoleh. Mama-mama penganyam Somu membawa hasil anyamannya ke Wasior dan menitipkannya di kios-kios transit tempat mereka biasa berkumpul ketika turun ke pasar untuk membeli beberapa kebutuhan. Somu dijual sekitar Rp. 100 ribu-250 ribu bergantung ukuran. Menggunakan Somu di Wasior adalah kebanggan, sekaligus keberpihakan: orang-orang yang menggunakannya sedikit banyak mengenal kekuatan orang-orang Somu. Pedalaman Undurara dan sekitarnya adalah tanah pertahanan, pelambang sejarah dan kekuatan yang masih dijaga suku besar Mairasi. *** Rumah-rumah yang dibakar habis itu ada di kampung Ambumi. Berjarak satu setengah jam dari Wombu menumpang truk dilanjutkan dengan perahu motor. Di sanalah tempat beberapa warga Wombu meminta obat, juga bertempat tinggal. Ada warga Wombu menikah dengan warga Ambumi dan sebaliknya. Mereka memiliki rumah di kedua kampung, yang ditinggali oleh banyak keluarga. Baik di Wombu, maupun Ambumi, satu rumah berisi beberapa keluarga. Ambumi adalah kampung terdekat yang memiliki satu-satunya perawat honorer bertahan tinggal di antara beberapa mantri dan perawat lain. Ibu perawat berasal dari Pangkep, telah 9 tahun menetap di sana hingga bertemu ayah dari dua puteranya. Hutang budi membuatnya memilih tetap tinggal mengabdi pada masyarakat. “Mereka sudah kasi sa makan, tidak mungkin sa tinggalkan.” Ia hanya bertugas memberi obat, dan memendam kesal pada Dinas Kesehatan yang tak juga menambah tenaga medis untuk pemeriksaan. Ada sekitar 110 KK tinggal di Ambumi, terbagi menjadi dua kampung pasca peristiwa 2001. Keduanya termasuk dalam Distrik Kuriwamesa. Ambumi terkenal karena memiliki dusun buah, seperti langsat dan cempedak, juga dusun sagu. Dusun-dusun itu tak lagi produktif seperti sebelum peristiwa 2001.
5/7
Aliran dana dari program PNPM-Rencana Strategis Pembangunan Kampung (Respek) juga mengubah kebudayaan masyarakat kampung menjadi tidak produktif: menunggu dan mengkonsumsi. Ketegangan antar dua kampung juga dipicu oleh dana-dana bantuan; masyarakat dibuat saling curiga, kepedulian antar sesama dirusak. Bobo, minuman keras lokal, menjadi bisnis sampingan yang memperburuk relasi sosial. Tinggal segelintir warga yang masih rajin mengembangkan kebun, dan mencari ikan atau udang, yang lain hidup dari menunggu aliran dana bantuan turun. Masyarakat Ambumi yang hidup dari menebar jaring dan Molo ikan, kini kalah bersaing di pasar dengan jejaring nelayan Buton yang lebih kuat modal dan pengalaman. Mama Sambesi, pernah menjadi satu-satunya perempuan Komin (istilah untuk orang asli Papua) yang memiliki kedai besar di Ambumi. Bersama suaminya, seorang lelaki Buton yang sangat simpatik pada perjuangan orangorang Papua asli, ia mengembangkan usaha dagang yang cukup sukses di Wasior. Kiosnya habis dibakar tentara, setelah isinya dijarah terlebih dahulu. “Tidak ada ganti rugi dari pemerintah sama sekali, sampai sekarang saya tidak bisa bangun kios lagi. Rasanya seperti kehilangan hidup dan harga diri, saya tak punya apa-apa lagi.” Mama Sambesi mengenang peristiwa penyerangan di hari celaka itu. Mayoritas anak-anak Ambumi besar di pengungsian, tak sedikit di antara mereka baru bertemu keluarga setelah beberapa bulan kocar-kacir melarikan diri, dan ditampung oleh orang-orang yang perduli. Tak banyak yang mau menampung orang-orang Ambumi di kampung-kampung terdekat. Aparat keamanan telah lebih dulu menyebar berita teror bahwa pelaku pembunuhan 5 aparat Brimob pada 13 Juni 2001 berhubungan dengan orang-orang Ambumi dan Wombu. *** Penyisiran dan serangan dilakukan pada pagi hari, beberapa hari setelah penembakan 13 Juni 2001, sesaat sebelum masyarakat melaksanakan ibadah Minggu. Ambumi dikepung dari laut, tembakan pecah dari berbagai pejuru. Masyarakat kocar kacir, lari mengungsi kemanapun dengan cara apapun. Penyisiran dilakukan karena pada 13 Juni, 5 anggota Brimob penjaga Logpond PT. Vatika Papuana Perkasa (VPP) di Wondiboi, Wasior, diketemukan tewas dini hari. Tak satupun warga terdekat di lokasi tahu persis apa yang terjadi saat itu, mayat aparat pun tak mereka ketahui. Lokasi langsung diisolasi dan berita bercampur rumor, yang menuding bahwa TPN-OPM ada di balik penyerangan itu, menyebar secepat kilat ke seluruh penjuru Wasior. Masyarakat dijadikan sasaran amuk para brigadir bersenjata. Mencari TPN-OPM dengan membongkar rumah, membakar tempat ibadah, mengejar semua yang hidup dan tampak mencurigakan, menyiksa, dan membunuh. Wasior diisolasi. Para pengungsi menyelamatkan diri dan keluarga masing-masing hingga ke Bintuni, Kaimana, Manokwari, Nabire, dan Serui. Para pengungsi dipaksa hidup berbulan di Dusun Sagu, di dalam hutan; makan seadanya; melahirkan sebisanya. Orang-orang dibuat saling tuduh dan curiga. Peristiwa ini terjadi berangkaian sejak Maret 2001 hingga Oktober 2001. Terdapat 4 kasus pembunuhan; 39 kasus penyiksaan termasuk yang menimbulkan kematian; 1 kasus perkosaan; dan 5 kasus penghilangan paksa, ditambah kematian dan penyakit selama pengungsian serta kehilangan dan pengrusakan harta milik. Penyisiran tersebut dilakukan atas perintah resmi Polda Papua dengan dukungan Kodam XVII Trikora lewat Operasi “Tuntas Matoa”. Setahun warga tinggalkan Ambumi, tak berani kembali. Sebagian menetap satu tahun di pulau Yerenusi, 20 menit berperahu dari Ambumi. Mereka tinggal seadanya, beratap daun kelapa tanpa dinding. Sekembali ke Ambumi, kampung terbagi dua: Ambumi dan Yerenusi. Yerenusi menjadi kampung baru di Ambumi, karena mereka datang dari pengungsian di Pulau Yerenusi. Tidak ada bantuan dari pemerintah, hanya alam yang melindungi dan beri hidup. Peristiwa Wasior Berdarah kini diperingati di Teluk Wondama setiap tanggal 13 Juni. Tetapi peringatan tersebut bukan untuk pengakuan dan reparasi hak-hak korban, yang sampai saat ini masih dilupakan. Peringatan tersebut
6/7
ditujukan sebagai hari pengampunan “kesalahan masyarakat dan TPN-OPM”. Alasan yang sukses dijadikan kambing hitam untuk menyebar teror ketakutan, sebuah senjata pamungkas kuasa NKRI terhadap Papua. Kerugian material sampai sekarang tidak ada yang mengganti. Hanya sebuah gereja baru yang berdiri dibangun pemerintah sebagai ganti sekaligus pelipur lara. Tidak ada pengakuan atas kejahatan yang dilakukan negara pada ratusan orang yang terpaksa pindah tinggal dan mengungsi. Kasus Wasior adalah salah satu kasus pelanggaran HAM berat di Papua yang diputuskan oleh penyelidikan Komnas HAM. Tapi sampai sekarang tak terdengar upaya peradilannya. Berkas-berkas saling lempar antara KOMNAS HAM dan Kejaksaan Agung karena alasan-alasan administratif. Tahun lalu terdengar kabar bahwa pemerintah akan memilih jalan rekonsiliasi. Mama Jo Warikar, yang mesti berpisah dari suaminya selama berbulan-bulan karena dicari aparat, mengatakan: “Kami membangun rumah kembali dengan keringat sendiri. Sampai saat ini pun masih ada Mama yang masih tinggal di Balai Kampung dan menumpang pada keluarga dekat. Kami belum menyerah, komunitas korban belum lelah menuntut keadilan. Walau trauma ini menyakitkan, tetapi kami tidak takut.”***
7/7