Berita Utama JANGAN PILIH POLITISI BERDARAH Gebrakan kelompok-kelompok sipil dalam masyarakat kembali terjadi menjelang Pemilu 2004. Setelah dideklarasikan secara resmi pada akhir bulan Desember lalu di Tugu Proklamasi, Gerakan Nasional Tidak Pilih Politisi Busuk (GNTPB) semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Di Jakarta, Posko Antipolitikus Busuk dibanjiri oleh aduan masyarakat seperti yang terlihat di sekretariat Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah. Para politisi yang punya catatan buruk ikut ketar-ketir. Mereka yang merasa terancam ini balik meradang dengan ancaman tuntutan hukum. Ketua Umum Partai Golkar yang sedang menunggu keputusan Makamah Agung lantaran kasus korupsinya itu, seperti kebakaran jenggot. Saat berbicara di depan acara Pelatihan dan Orientasi Juru Kampanye Partai Golkar Tingkat Nasional, 25 Januari lalu, Tanjung mengatakan bahwa isu politisi busuk menjelang pemilu 2004 merupakan isu yang sengaja direkayasa pihak-pihak tertentu dan diarahkan kepada Partai Golkar. Benarkah isu ini sengaja ditujukan buat Golkar? Meski Partai Golkar sendiri adalah partai yang punya dosa politik paling besar selama Orde Baru, tapi kampanye anti politisi busuk nampaknya tidak dirancang untuk partai Golkar saja. Tanjung hanya menggunakan isu ini untuk membangun solidaritas kolektif kader partainya. Gerakan Nasional Tidak Pilih Politisi Busuk dirancang untuk menggugah kesadaran rakyat terhadap banyaknya calon legislatif dan eksekutif yang memiliki catatan hitam kejahatan politik dan ekonomi, lingkungan, gender dan Hak Asasi Manusia. Para politisi ini tersebar hampir merata dalam partai politik yang ada. Ratusan organisasi sipil dari bermacam spektrum seperti buruh, tani, mahasiswa, akademisi dan kaum profesional lainnya bergabung dalam gerakan ini. Diharapkan setiap kelompok sipil dapat merumuskan sendiri siapa saja politisi yang bermasalah, dan tidak terjebak dalam sebuah gerakan yang elitis. Aliansi harus dapat mendorong agar diskusi-diskusi mengenai para calon anggota legislatif yang masuk dalam kategori politisi busuk dan tidak memihak rakyat, dapat juga terjadi sampai di tingkat RT, Kampung, Komunitas Korban Pelanggaran HAM, Serikat Pekerja dan lain sebagainya. Gerakan ini melihat bahwa ruang demokrasi melalui Pemilu akan menentukan perubahan politik dan mempengaruhi kebijakan negara. Pemilu dengan demikian sedapat mungkin
Berita Utama harus dapat menghasilkan pemegang kekuasaan yang bersih dan menghormati HAM. Politisi Berdarah Kelompok korban kekerasan negara dan organisasi swadaya masyarakat bergabung dalam sebuah aliansi untuk menahan laju masuknya anggota legislatif yang memiliki catatan buruk terhadap pelanggaran HAM yang mereka sebut POLITISI BERDARAH. Yang masuk dalam daftar politisi berdarah adalah mereka yang bertanggungjawab secara langsung dalam pelanggaran HAM, mereka yang tidak menunjukkan kemauan kuat untuk meneyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, mereka yang menggunakan kekuasaannya untuk menciptakan pelanggaran HAM baru serta mereka yang menggunakan kekuasaannya untuk menghambat upaya penegakan HAM. Memilih politisi berdarah akan membuka peluang mereka untuk menggunakan kekuasaan yang diperoleh melalui Pemilu 2004 untuk melawan semua upaya hukum yang akan menjerat kesalahan di masa lalu dan melakukan penindasan rakyat dalam bentuk yang lain. Mereka juga dapat menggunakan legitimasi Pemilu 2004 untuk membangun kesan bahwa perbuatan mereka selama berkuasa diterima rakyat sebagai perbuatan yang baik dan absah. Selain itu, para politisi berdarah ini akan berkompromi dengan para pelanggar HAM di masa lalu dan terus melakukan pelanggaran itu untuk menunjang eksistensi kekuasaan yang dimiliki. Mereka juga akan semakin sulit dijangkau oleh sistim hukum karena kedudukan dan kekuasaan yang dimiliki. Adalah tugas berat bagi kekuatan sipil dan organisasi sipil demokratik lainnya untuk menyebarluaskan informasi daftar para politisi berdarah ini.*** SIAPAKAH POLITISI BERDARAH ITU? Mereka yang bertanggungjawab secara langsung terhadap pelanggaran hak asasi manusia Mereka yang menggunakan kekuasaan yang mereka miliki untuk menghambat upaya menyelesaikan persoalan HAM Mereka yang menggunakan kekuasaan yang mereka miliki untuk menciptakan pelanggaran HAM baru Mereka yang tidak menunjukkan kemauan kuat untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu MENGAPA JANGAN PILIH POLITISI BERDARAH? APA DAMPAK JIKA
Berita Utama MEREKA TERPILIH? Politisi Berdarah akan menggunakan kekuasaan yang diperoleh melalui Pemilu 2004 untuk melawan semua upaya hukum yang akan menjerat kesalahan di masa lalu dan melakukan penindasan dalam bentuk yang lain Politisi Berdarah akan menggunakan legitimasi Pemilu 2004 untuk membangun kesan bahwa perbuatan mereka selama berkuasa diterima rakyat sebagai perbuatan yang baik dan absah Politisi Berdarah akan berkompromi dengan para pelanggar HAM di masa lalu dan terus melakukan pelanggaran itu untuk menunjang eksistensi kekuasaan yang dimiliki Politisi Berdarah akan semakin sulit terjangkau oleh sistim hukum karena kedudukan dan kekuasaan yang dimiliki APA YANG HARUS KITA LAKUKAN? Kita harus bisa lebih selektif dan tidak memilih semua politisi yang secara jelas terbukti melanggar hak asasi manusia, enggan menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia dan yang menghambat upaya penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia.
RENCANA DARURAT SIPIL DI PAPUA DPR bikin ulah. Kali ini giliran rakyat Papua dibikin tidak tenang tidur. Pertengahan Januari ini, tiba-tiba Rapat Internal Komisi I DPR yang berlangsung tertutup mewacanakan penerapan status darurat sipil dan pemberlakuan operasi terpadu di Papua. Berita yang berkembang, usulan ini dilontarkan anggota Fraksi TNI/Polri yang baru selesai melakukan kunjungan kerja ke Papua. Terhadap berita ini, tentu saja banyak kalangan bersuara. KontraS, Elsam, dan Solidaritas Nusa untuk Papua (SNUP) memprotes keras rencana dalam rapat tertutup itu. Ketiga lembaga ini menyatakan bahwa darurat sipil di wilayah itu adalah tindakan buruk dan hanya membuat permasalahan semakin rumit. Usulan ini juga seolah sengaja dilakukan untuk menghalangi penyelidikan terhadap kasus pelanggaran HAM di Papua, khususnya di Wamena dan Wasior. Usman Hamid dari KontraS mengatakan “Kehendak itu adalah bukti kegagalan DPR mengidentifikasi persoalan dasar di Papua serta menunjukkan cara berpikir yang menyederhanakan masalah dengan menempatkan publik Papua sebagai ancaman keamanan sehingga perlu dilakukan Operasi Terpadu” katanya di Jakarta, 26 Januari lalu. Effendy Choirie, wakil ketua Komisi I DPR memang mengakui wacana ini. Menurutnya, Komisi I DPR baru sepakat untuk mewacanakan usulan dan membahasnya lebih lanjut dengan Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Kepala Polri, Panglima TNI, dan Badan Intelijen Negara (BIN). Anggota DPR asal Papua Anthonius Rahail juga memprotes wacana ini. Seperti dikutip Suara Pembaruan, 30 /1, Rahail melihat laporan dan pernyataan hasil kunjungan beberapa anggota DPR ke Papua yang menyatakan seolah-olah untuk menjaga stabilitas wilayah, Papua perlu dinyatakan dalam keadaan darurat sipil, sungguh akan mengganggu proses persiapan Pemilu 2004. Usulan aneh ini memang sangat tidak bermutu untuk dilontarkan. Seperti diketahui, suatu daerah dapat diusulkan berstatus sebagai darurat sipil atau darurat militer, kalau memang di tempat tersebut sudah terjadi kekacauan dan konflik yang sangat mengganggu. Dalam hukum positif di Indonesia, hukum darurat sipil diatur melalui UU No.23/Prp/1959 tentang keadaan bahaya. Dalam UU tersebut presiden diberi kewenangan menyatakan seluruh atau sebagian wilayah Indonesia dalam keadaan bahaya dengan tingkatan
Berita Daerah darurat sipil, darurat militer, dan darurat perang. Oleh karena itu, lontaran usulan ini hanya menyebabkan keresahan masyarakat Papua.***
PENTAS KETOPRAK DI PENGADILAN KONEKSITAS Majelis Hakim Pengadilan Koneksitas untuk kasus penyerbuan Kantor DPP PDI tanggal 27 Juli 1996 yang diketuai oleh Rukmini, SH, membebaskan empat dari lima terdakwa yang diduga terlibat dalam peristiwa yang kita kenang sebagai peristiwa Kudatuli itu. Proses pengadilan koneksitas ini dianggap tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, lantaran majelis hakim tidak mampu menghadirkan para pejabat penting yang justru diketahui publik bertanggungjawab atas peristiwa kekerasan tersebut. Sementara itu, Forum Komunikasi Korban (FKK) 124 sebuah wadah tempat berhimpun para korban yang mengajukan gugatan justru merasa senang karena para terdakwa seperti Sutiyoso (mantan Pangdam Jaya), Soerjadi (mantan Ketua DPP PDI), Syarwan Hamid (mantan Kassospol ABRI), Faisal Tanjung (mantan Panglima ABRI) dan Yogie SM (mantan Mendagri) dibebaskan. Menurut mereka, para terdakwa tersebut tidak pantas dihukum dengan diajukan ke pengadilan. Secara logika, putusan bebas hakim yang membebaskan para pimpinan militer dan polisi, memancing pertanyaan lebih mengenai siapa yang bertanggungjawab apabila kelima terdakwa terbukti tidak bersalah. Apakah peristiwa yang benar-benar terjadi dan merenggut korban itu terjadi dengan sendirinya? Dalam wawancara dengan Kompas, 7 Januari lalu, Mantan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PDI, Soerjadi mengakui adanya rapat di markas Kodam Jaya (Makodam) pada malam tanggal 26 Juli 1996. Namun ia mengaku tidak tahu menahu dengan isi rapat tersebut. Soerjadi hanya menyebut bahwa pada tanggal 23 Juli 1996, ada pertemuan dengan massa PDI di Cibubur dengan agenda sosialisasi hasil Kongres Medan. Pada saat itu juga hadir beberapa pejabat teras dari Kodam Jaya yang hendak mengarahkan massa untuk melakukan pengambilalihan kantor. Sutiyoso yang ketika itu menjabat sebagai Pangdam Jaya sebenarnya secara eksplisit mengakui keterlibatan aparat yang dipimpinnya dalam peristiwa tersebut. Dalam wawancara dengan Kompas (12 September 2000), Sutiyoso mengatakan pengambilalihan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro No 58 tanggal 27 Juli 1996 adalah atas perintah Presiden (waktu itu) Soeharto. Perintah itu disampaikan Soeharto dalam sebuah pertemuan di Jln Cendana No 8 tanggal 19 Juli 1996 yang dihadiri pimpinan ABRI dan pejabat pemerintah lainnya. Menurut Sutiyoso, “Keterlibatan Kodam Jaya itu tidak berdiri sendiri, melainkan berdasarkan alur tetesan dari
Berita Daerah atas, dan kita bagian dari kebijakan pemerintah dan ABRI saat itu". Ia juga menambahkan "Ada delapan pejabat hadir di situ (Cendana) termasuk saya." Selain Sutiyoso, hadir Panglima ABRI Jenderal Feisal Tandjung, Kasum Letjen (Purn) Soeyono, Mandagri Letjen (Purn) Yogie SM, Kassospol Letjen (Purn) Syarwan Hamid, KSAD Jenderal (Purn) R Hartono, Kapolri Jenderal (Pol) Dibyo Widodo, dan Kapolda Metro Jaya Mayjen (Pol) Hamami Nata. Soeharto waktu itu membahas suhu politik yang memanas. "Juga disinggung adanya kegiatan partai di Jalan Diponegoro 58 yang dianggap sudah menyimpang" kata Sutiyoso. Dengan tegas Sutiyoso mengatakan bahwa perintah itu langsung dari Soeharto, dan semua pimpinan ada di situ. "Semua sudah mengerti, dan itu ditindaklanjuti hasil rapat polkam untuk membubarkan mimbar bebas”. Kalau sekarang Pengadilan Koneksitas tidak membawa orangorang yang sangat di yakini terlibat dan bertanggungjawab atas peristiwa berdarah itu ke pengadilan, sesugguhnya apa yang sedang terjadi. Kalau negara masih saja tutup mata dengan fakta-fakta yang sudah sangat di mahfumi publik. Maka sebenarnya negara sedang sungguh-sungguh memperpanjang barisan impunitas para pelanggar Hak Azasi Manusia di tanah air Indonesia ini.***
Dari Bolaang Mongondow Sampai Donggala Membujur Lurus Sejumlah Luka Di tengah persiapan Pemilu 2004, berbagai daerah di tanah air masih tidak aman. Di Bolaang Mongondow, Minggu 4 Januari terjadi bentrok antar kampung. Desa Imandi dan Desa Tambun di Kecamatan Dumoga Timur saling serang setelah diawali oleh kasus penikaman salah seorang warga pada perayaan Tahun Baru. Lima warga tewas, tiga luka-luka dan satu buah sepeda motor dibakar. Di Poso, awal Januari lalu, pihak kepolisian menemukan tiga buah bom aktif di desa Tabalu kecamatan Poso Pesisir. Ketiga bom tersebut ditemukan dengan bantuan alat detektor dalam operasi penggeledahan senjata api dan bahan peledak di rumah warga bernama Sujono. Teror dan aksi kekerasan memang masih sering terjadi di daerah Poso Pesisir. Sekitar 3500 personil TNI dan Polri masih berjaga di wilayah Kabupaten Morowali dan mengisi pos-pos pengamanan yang berada di sepanjang jalan Trans Sulawesi. Kekerasan juga terjadi saat Bharada Azis Bestari, anggota Brimob Polda Sulteng diserang oleh sekelompok orang bersenjata di desa Tiwaa, Kecamatan Poso Pesisir, 24 Januari lalu. Azis yang sedang mengendarai sepeda motor di jalan hutan sepi tiba-tiba dihentikan oleh suara yang memanggilnya dari arah semak belukar. Belum sempat beranjak dari sepeda motor, tiba-tiba ia diberondong oleh tembakan. Ia sempat tiarap namun pelaku yang diduga sebanyak tiga orang itu langsung berlari ke hutan. Peristiwa ini menunjukkan bahwa kelompok tak dikenal yang memegang senjata di Poso masih berkeliaran. Masih di Sulawesi Tengah, pada tanggal yang sama, terjadi pula bentrokan fisik antar dua desa bertetangga yakni Desa Lamo dan Desa Uso, Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai. Dua warga Desa Lamo, Yafet Sumang dan Iwan tewas oleh Fs serta delapan lainnya mengalami luka bacokan. Tercatat pula 39 rumah warga Desa Uso habis terbakar. Ironisnya, keributan ini bermula hanya gara-gara tuduhan maling ayam dan merembet antar penduduk dua desa. Di Donggala, Sulawesi Tengah dan dalam waktu yang berdekatan dengan peristiwa Batui, dua desa yakni Desa Maranata dan Desa Sidondo I, Kecamatan Biromaru bentrok. Warga kedua desa itu dikabarkan saling mengklaim sebagai pemilik tanah yang terletak di antara kedua desa tersebut. Puncak bentrokan terjadi pada hari rabu siang, 21 Januari pukul 15.00 WITA. Akibatnya seorang guru SD Samuel Malasingi (55) tewas dan tiga warga lain mengalami lukaluka. Suasana tegang melingkupi dua desa tersebut. ***
Membangun Perspektif Gender di Tengah Pergumulan Selama empat hari (8-11 Januari), KontraS menyelenggarakan in house trainning tentang Gender untuk staf dan relawan dari seluruh Indonesia. Lebih dari 30 peserta antara lain dari KontraS Jakarta, Papua, Aceh dan Medan mengikuti acara ini dengan semangat. Hadir sebagai narasumber dan fasilitator adalah Ciciek Farkha dari Rahima, Antarini Arna dari Koalisi Perempuan Indonesia serta Wiladi Budiharga dari Semarak Cemerlang Nusa. Acara berlangsung dalam berbagai macam sesi seperti diskusi dan role play soal pemahaman gender dalam keluarga dan organisasi, pengalaman dalam mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran HAM, serta perumusan program. Setelah pelatihan ini Kontras diharapkan lebih mengimplementasikan programprogram yang berperspektif gender dengan lebih baik. ***
Puisi “Sederet Tuan – Tuan Busuk”
Cikampek, 11 januari 2004 Karya
: Jaja A. Raharja
Korban Tanjung Priok
Ketika larut badan tak mengada Sudah hatam segala tangis dan rindu Tinggal jiwa larut dari sebuah keluguan Sang pengembara terajah, luka hatinya Bersujud di sepanjang zaman dan masa Di peradaban pojok batin, memeluk bantal rahasia Setiap kali badan terbujur ruhku bangkit memekik Di singgasana tahta tuan memburu prahara Menumpuk paham melumat kehidupan Bersandar pada bayangan, tampak kehausan Tuan bagai tikus kelaparan di tumpukan beras segudang Seribu luka satu lompatan, sekali dayung seribu pulau tuan lalui Di senja usiaku bergelut carut marut debat kusut Ku tanya rembulan membisu, bintangpun tersenyum Semesta sunyi hampa, menusuk kedalam sukma Aku lelah….. hendak mencari tuan kemana Hamparan awan menjadi galaksi, seribu api membakar cakrawala Retak – retak berkeping, tuan jadikan logam beku Ketika ku bertanya pada musyafir renta, dalam mimpi Manakah yang kau pilih, diantara yang busuk setengah busuk? Tentu saja yang kedua! Sambil tertawa terkekeh – kekeh
Hingga tidurku terjaga, pingsan dalam sadar, mati berulang kali Dari tepian ruang malaikat berbisik, selamat tuan telah menyukseskan kegagalan Pameran omong besar, urat kawat, sebiji dari tumpukan pasir hitam terbenam