Jangan Salah Pilih Lagi Catatan Politik dan Pemilu Legislatif 2014
Yusradi Usman al-Gayoni
Mahara Publishing 2012
Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 TentangHakCipta
1.
2.
Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratusjuta rupiah).
Yusradi Usman al-Gayoni
Jangan Salah Pilih Lagi: Catatan Politik dan Pemilu Legislatif 2014
Editor/Proofreader: Rina Wahyuni Layout: Rahmadaini Usman Design Cover: Rudi Hartono @2013 Yusradi Usman al-Gayoni Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Diterbitkan: Mahara Publishing Alamat: Jalan Garuda III B 33 F Pinang Griya Permai Tangerang, Banten – 15145 Email:
[email protected] Telp. 02197718090, 081361220435
Cetakan Pertama: 2014
ISBN: 978-602-18245-4-? Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menterjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Isi diluar tanggung jawab percetakan
PRAKATA
Jakarta, Januari 2013 Penulis,
Yusradi Usman al-Gayoni
DAFTAR ISI Halaman Prakata ………………………………………………….…...v-vi Sambutan Daftar Isi……………………………….………………..……..x 1. Dapil Aceh yang Berkeadilan? ……….……………… 2. Mengawasi Penggunaan ABPK Aceh Tengah ………. 3. Lelang Jabatan Pemkab Aceh Tengah ….…………… 4. Apatisme Pemilu Legislatif 2014…….………………. 5. Apatisme Politik ……………………….…………….. 6. Politik Uang Masih Berkuasa ………….…………….. 7. Intropeksi Diri ……………………….………………. 8. Pembatasan Alat Peraga: Kontrol dan Sanksi? ………. 9. Caleg Keluarga Vs Caleg Ideal dan Egaliterisme di Gayo …….……………………….………………….... 10. Menurunnya Partisipasi Politik Rakyat .……………… 11. Pemilu Legislatif: Partai atau Sosok? .……………….. 12. Hamal Tidur Nipi Jege Pemilu Legislatif .…………… 13. Memaknai Apatisme ……………….………………… 14. Memberatkan Syarat Nyaleg ……………….………… 15. Ruang Publik Bebas Alat Peraga Kampaye ………….. 16. Orang Gayo Berpikir dengan Otak dan Sertakan Hati Nurani …….……………………….………………….. 17. Anggota Dewan D-4……………….………………….. 18. Cara Orang Gayo Memilih Pemimpin .……………….. Tentang Penulis …………………………………………………
Dapil Aceh yang Berkeadilan? Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Salah satu masalah Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif di Aceh yang diabaikan selama ini adalah persoalan Daerah Pemilihan (Dapil). Untuk kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, misalnya, Dapil Aceh dibagi jadi dua, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) I dan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) II. NAD I terdiri atas Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Gayo Lues, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Kota Subulussalam, Aceh Singkil, dan Kabupaten Simelue dengan jatah 7 kursi. Sementara itu, NAD II terdiri dari Kabupaten Bireuen, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara, Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Timur, Kota Langsa, dan Kabupaten Aceh Tamiang dengan total 6 kursi. Dalam hal ini, termasuk Dapil untuk kursi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Persoalannya, apakah komposisi tersebut sudah mereflesikan Dapil Aceh yang berkeadilan? Kalau dilihat sepintas, Dapil itu ―sudah adil.‖ Bahkan, tidak menimbulkan persoalan. Namun, bila diselami, ternyata banyak menyisakan persoalan. Masalah Dapil pastinya bukan sebatas menggabungkan kota satu dengan kota lainnya atau kabupaten satu dengan kabupaten yang lain, melainkan banyak hal yang mesti dipertimbangkan. Terutama, soal integritas wilayah, kohesivitas sosio-kultural (persamaan suku, bahasa, dan budaya), sejarah, dan kesamaan sejarah administratif masa lalu yang sama. Pertimbangan itulah yang masih jauh dari penetapan Dapil yang ada (NAD I dan NAD II). Tanoh Gayo (Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Bener Meriah), katakanlah, semestinya digabungkan ke dalam satu Dapil yang
sama. Kenyataannya, tanoh Gayo dipisahkan ke dalam dua Dapil yang berbeda. Dampaknya, daerah tersebut tidak memiliki keterwakilan penuh di Senayan. Juga, di DPRA. Pada akhirnya, persoalan dan aspirasi dari daerah ini tidak terakomodir dengan baik. Soalnya, wakil-wakil mereka sudah dikalahkan sebelum bertanding. Padahal, keempat daerah tersebut (tanoh Gayo) memiliki sejarah yang sama baik secara integritas wilayah, sosio-kultural, sejarah, maupun secara administratif. Pada awalnya, keempat daerah ini (Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Bener Meriah) tergabung dalam satu kabupaten yang sama, yaitu Kabupaten Aceh Tengah (sebelum pemekaran). Demikian halnya soal integritas wilayah, daerah ini dikenal dengan tanoh Gayo. Sudah barang tentu, saling berdekatan satu sama lain. Di sisi lain, secara sosio-kultural dan sejarah; daerah ini didiami mayoritas oleh orang Gayo. Dengan begitu, dari sisi sejarah, bahasa, adat istiadat, dan budaya sangat berbeda dengan masyarakat yang mendiami pesisir Aceh.
Babak Baru Oleh karena itu, pelbagai elemen sipil terutama dari daerah pedalaman Aceh mencoba memperjuangkan perubahan Dapil tersebut. Sebetulnya, upaya ini sudah dimulai dari tahun 2010. Kemudian, Forum Masyarakat Tengah dan Tenggara Aceh yang didampingi Senator Indonesia asal Aceh sempat merekomendasikan perubahan Dapil ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Termasuk, ke Komisi II DPR (20/10/2011). Hal yang sama dilakukan pula oleh Forum Masyarakat TengahTenggara dan Barat Selatan Aceh di Jakarta (13/3/2012) usai Diskusi Publik “Menyoal Daerah Pemilihan (Dapil) Aceh” di Gedung Parlemen Senayan. Namun, belum menunjukkan hasil yang berarti.
Pada akhirnya, sembilan penduduk Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Tenggara, dan Gayo Lues (Ir Mursyid, Anwar, Nazri Adlani, Erry Sofyan, Selamat, Ali Muammar, Kasmawati, Syaddam Natuah, dan Mulyadi) melakukan uji materi terhadap pasal 22 ayat (5) dan lampiran Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Terhadap Undang-Undang Dasar 1945ke MK. Lebih khusus, terkait Dapil. Alhasil, tanggal 28 Januari 2013 lalu, Dapil Aceh ini pun mulai disidangkan. Kalau uji materi ini berhasil, KPU dan KIP Aceh otomatis mesti menjalankan ketetapan MK tersebut. Dapil Ideal? Melihat jumlah penduduk dan kuota kursi ke DPR RI, seperti yang sudah diusulkan, idealnya Aceh terdiri dari tiga Dapil, yaitu NAD I (Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, dan kabupaten Pidie Jaya), NAD II (Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Simelue, Aceh Singkil, Kota Subulussalam, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Barat, dan Kabupaten Aceh Jaya), dan NAD III (Kabupaten Bireuen, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur, Kota Langsa, dan Kabupaten Aceh Tamiang) Kalaupun tidak memungkinkan tiga Dapil dan tetap dua Dapil, misalnya, dengan memperhatikan aspek integritas wilayah, sosio-kultural, sejarah, dan secara administratif, Dapil yang ada mesti diformulasi ulang, menjadi NAD I yang terdiri dari Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Simelue, Aceh Singkil, Subulussalam, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, dan Aceh Jaya). Sebaliknya, NAD II yang terdiri atas Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Kota
Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur, Kota Langsa, dan Kabupaten Aceh Tamiang. Dengan formulasi itu, Dapil Aceh lebih merefleksikan keadilan. Disamping itu, menunjukkan proporsionalitas dari masing-masing wilayah, suku, dan budaya yang ada di Aceh. Pada akhirnya, akan ada keterwakilan penuh yang mewakili masing-masing daerah baik di DPRA maupun di Senayan.
*Koordinator Forum Masyarakat Tengah Tenggara dan Barat Daya Selatan Aceh-Jakarta
Sumber: Media Online Lintas Gayo, 17/2/2013
Mengawasi Penggunaan APBK Aceh Tengah Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni Beberapa waktu yang lalu, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah telah menyetujui dan mengesahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) Tahun Anggaran 2013, sebesar Rp. 740.486.105.127,(Lintas Gayo, 28 Januari 2013). Di sini, masyarakat Takengon harus mengawasi penggunaan anggaran tersebut: apakah peruntukannya benar-benar untuk kepentingan rakyat keseluruhan? Atau, ―rakyat sebagian?‖ Dalam arti, hanya dinikmati oleh pembuat/pelaksana serta orang-orang yang memiliki akses terhadap kebijakan dan kekuasaan. Kalau itu yang terjadi, cukup disayangkan. Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah juga mesti transfaran. Misalnya, dengan membuat dan membagibagikan Poster APBK, sampai ke kantor-kantor kepala kampung, seperti yang sudah dilakukan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Jokowi-Ahok. Dengan kata lain, ungkapan transfaran tersebut bukan sekedar wacana (cerak pelin), melainkan nyata dalam tindakan. Dengan demikian, masyarakat bisa melihat, mengkritisi, dan mengevaluasi penyusunan anggaran yang telah ditetapkan. Pada akhirnya, penyusunan program pembangunan dan anggaran tahun berikutnya bisa lebih baik. Pastinya, dengan mengedepankan kepentingan masyarakat banyak, sesuai kebutuhan ril di lapangan, dan berkeadilan. Kemudian, masyarakat harus mendorong dan ikut mengawasi wakil-wakil mereka yang duduk di DPRK (mengawasi pengawas). Sejauh mana wakil-wakil rakyat tersebut mampu memperjuangkan anggaran yang prorakyat. Dengan kata lain, anggaran yang menyejahterakan; bukan mengayakan segelingir orang. Disamping itu, jangan sampai mereka pun ikut bermain, karena kurangnya keterlibatan dan
pengawasan masyarakat. Apalagi, saat sekarang (2013) yang merupakan tahun politik. Bisa saja, terjadi politisasi anggaran untuk kepentingan 2014 (mengamankan posisi mereka) Partisipatif Yang jauh lebih penting lagi, bagaimana pemerintah kabupaten melibatkan masyarakat dan pelbagai stakeholder di awal penyusunan program pembangunan dan anggaran. Alhasil, program dan anggaran yang disusun pun sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Bukan program titipan, yang ujungujungnya ‗proyek.‘ Tujuannya, untuk mengembalikan modal. Lalu, bisa saving (mungemas) untuk persiapan pemilu kada atau pemilu legislatif selanjutnya. Bahkan, balas budi kepada tim sukses-tim sukses atau pemodal yang telah ikut berjuang sebelumnya, yang dieksekusi melalui program-program dan anggaran-anggaran yang sudah disusun ―di belakang layar.‖ Terlepas kurangnya willing ―angan kasat ejet ni niet” dari eksekutif dan legislatif, misalnya, masyarakat lah yang mesti lebih aktif, cerdas, dan kritis. Khususnya, dalam penyusunan program dan anggaran sampai pengimplementasiannya. Pada akhirnya, masyarakat akan betulbetul dilayani dan diposisikan sebagai penikmat pembangunan. Genap si mulo; agih si belem. Sumber http://www.lintasgayo.com/36884/mengawasipenggunaan-apbk-aceh-tengah.html
Lelang Jabatan Pemkab Aceh Tengah? Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Eko Prasojo, mengingatkan, proses lelang jabatan di Provinsi DKI Jakarta agar tidak melenceng dari ketentuan yang berlaku. Lelang itu harus berjalan transparan dan independen. Ketentuan lelang jabatan juga mesti mengacu pada Surat Edaran Menteri PAN Nomor 16 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Struktural yang Lowong secara Terbuka di Lingkungan Instansi Pemerintah. Sesuai ketentuan itu, peserta harus lulus seleksi administrasi, wawancara, penguasaan wilayah kerja, dan mengikuti uji publik. Adapun panitia seleksi terdiri lima orang yang berasal dari unsur pejabat di instansi terkait, pejabat dari instansi lain yang kompetensi jabatannya sesuai dengan jabatan yang akan diisi, dan pakar atau akademisi. Selain DKI, lelang jabatan serupa akan dilakukan Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kompas, 22 Maret 2013) Sebagai masyarakat, kita menyambut baik rencana Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Tengah untuk melakukan lelang jabatan di lingkungan pemerintahan di Takengon. Namun, kita masih belum tahu; apakah lelang jabatan ini berlaku mulai dari asisten, sekretaris daerah, kepala dinas, camat, sampai kepala kampung? Lalu, sumber dan besar anggaran yang digunakan. Belum lagi, panitia seleksi yang akan menyeleksi pejabat-pejabat tersebut. Kita berharap, Bupati Nasaruddin dan Wakil Bupati Khairul Armara dapat menggunakan hak preogatifnya dengan benar, baik, dan sesuai aturan. Sebagai akibatnya, pejabat yang dihasilkan pun betul-betul jujur, amanah, berkualitas, mampu, serta punya track record kinerja yang mumpuni. Juga, sejalan
dengan prinsip the right man on the right place; bukan the wrong man on the wrong place. Pasalnya, di banyak tempat, penempatan jabatan ini seringkali tidak didasarkan pada kriteria di atas, tetapi lebih karena kedekatan (sahan rap urum rara—yang dekat dengan kekuasaan). Dalam hal ini, pastinya, siapa yang dekat dengan bupati atau wakil bupati. Bisa karena hubungan keluarga (pemili) atau besanan (ume berume). Dalam kaitan itu, akan terjadi avoidance relationship (hubungan segan) dalam birokrasi yang berjalan; sama halnya seperti hubungan segan dalam tutur (istilah kekerabatan dalam masyarakat Gayo). Karena, diisi keluarga, kerabat dekat, dan ―tim sukses.‖ Misalnya, ume (besan), ama (bapak), anak (anak), kumpu (cucu), engi (adik), dan lain-lain. Sapaannya pun bukan lagi ―bapak‖ atau ―ibu‖ seperti yang lazim dalam tuturan pemerintahan/profesional, melainkan sudah berganti jadi ume, ama, pun, abang, aka, dan lain-lain. Dampak lain, bisa terbangun politik dinasti baik di lingkungan pemerintahan maupun di luar pemerintahan (partai politik serta jabatan-jabatan strategis yang ada di daerah). Selain itu, karena faktor ―tim sukses‖ saat Pemilihan Umum Kepada Daerah (Pemilu Kada) berlangsung. Yang terjadi kemudian adalah politik balas budi. Apalagi, pejabat yang mendukung telah berinvestasi besar, terutama prihal pendanaan dalam menyukseskan keterpilihan bupati dan wakil bupati. Akibatnya, bupati dan wakil bupati mesti membayar cek, yaitu menempatkan jabatan sesuai dengan pesanan dan kehendak tim sukses tadi—di internal dan eksternal pemerintahan. Jika itu terjadi; bupati hanya lah simbol, selalu galau dan ragu, serta tidak punya kuasa dalam menempatkan pembantu-pembantunya. Karena, sudah disetir oleh orang-orang terdekatnya.
Kita berharap agar wacana tersebut dapat berjalan secepatnya. Dengan begitu, pejabat yang dihasilkan akan sesuai dengan harapan publik—jujur, amanah, berkualitas, mampu, dan punya track record kinerja yang mumpuni. Pada akhirnya, akan berdampat baik dan sehat bagi birokrat/birokrasi yang ada dan daerah. Dengan kata lain, birokrat yang berjalan akan senantiasa melayani, transparan (apalagi soal anggaran), memudahkan, singkat, cepat, dan bisa menyejahterakan. Bukan sebaliknya, birokrasi yang ingin selalu dilayani, tertutup, mempersulit, panjang, lambat (lelet), dan tidak berdampat sama sekali pada perbaikan serta kesejahteraan masyarakat Takengon secara keseluruhan.
*Direktur Research Center for Gayo Sumber: Suara Leueser Antara April 9, 2013 http://suaraleuserantara.com/2013/04/09/lelang-jabatanpemkab-aceh-tengah/
Apatisme Pemilu Legislatif 2014 Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni* Apatis, skeptis, dan kemungkinan golput. Begitulah gambaran sikap masyarakat di Takengon menghadapi Pemilu Legislatif 2014. Lebih khusus lagi, di Daerah Pemilihan (Dapil) 4, yaitu Kecamatan Bebesen, Bies, dan Kecamatan Kute Panang. Apalagi, di Kecamatan Bebesen. Barangkali, terlalu dini menilai sikap tersebut. Karena, Pemilu Legislatif masih berlangsung sebelas bulan lagi. Sementara, daerah yang dinilai tidak mewakili keseluruhan daerah pemilihan—empat belas kecamatan di Kabupaten Aceh Tengah. Namun, kondisi itu tetap merupakan gambaran sikap masyarakat. Selebihnya, tinggal dipetakan secara wilayah dan keangkaaan (kuantitatif). Dari amatan dan wawancara yang dilakukan—sejak 14 April-16 Mei 2013, dapat disimpulkan bahwa sikap itu disebabkan karena tindakan partai dan anggota legislatif sendiri. Partai politik tidak mampu memberikan pendidikan, pembelajaran, dan pencerahan politik kepada masyarakat. Sebaliknya, partai politik sebatas alat untuk meraih kekuasan. Selain itu, tidak mampu ―menyejahterakan‖ masyarakat melalui wakil-wakil mereka di parlemen, yaitu dengan memperjuangkan apirasi dan anggaran yang pro masyarakat akar rumput (grass root). Kebalikannya, lebih memperjuangkan kepentingan partai, pribadi, keluarga, golongan, dan penguasa. Di lain pihak, anggota legislatif tidak mampu menunaikan janji-janji politiknya. Juga, kebanyakan anggota dewan tidak menjalankan tugas kedewananannya. Dengan demikian, masyarakat semakin tidak percaya pada keberadaan parlemen dan anggota legislatif. Dengan kata lain, ada-tidaknya dewan tidak memberikan dampak signifikan kepada masyarakat. Apalagi, masyarakat akar rumput. Hal tersebut
berdampak negatif pada calon legislatif yang maju sekarang. Termasuk, wajah-wajah baru. Hal itu makin memperburuk citra parlemen dan situasi di tengah-tengah masyarakat. Pindah Dapil Akibat kurangnya kepercayaan masyarakat, terutama dari daerah pemilihan sebelumnya, banyak anggota legislatif yang pindah ke dapil yang berbeda pada pemilu legislatif 2014 mendatang. Misalnya, dari Dapil 1 (Kec Bintang, Kebayakan, dan Kec Lut Tawar) ke Dapil 4 (Kec Bebesen, Bies, dan Kec Kute Panang), Dapil 4 ke Dapil 1, dan sebagainya. Dengan harapan, mereka mendapat tempat di hati masyarakat Dapil yang baru. Soalnya, mareka sudah kehilangan kepercayaan di Dapil sebelumnya. Dalam kaitan itu, masyarakat, terutama yang memiliki hak pilih mesti benar-benar melihat, menilai, dan selektif dalam memilih wakil rakyatnya. Lebih khusus lagi, yang pindah Dapil. Dengan begitu, masyarakat tidak akan salah pilih. Dengan begitu, mereka tidak akan menyesal setelah melakukan pencoblosan. Sebab, wakil yang telah dipilih tidak memperhatikan dan tidak memperjuangkan mereka ―lupa diri.‖
Pencerdasan Bersama Melihat keapatisan sikap masyarakat, upaya pencerdasan politik oleh semua pihak mesti terus dilakukan. Terutama, dari partai politik, akademisi, mahasiswa, pers, elemen sipil, dan masyarakat Gayo di luar Takengon (tanoh Gayo). Termasuk, dari bakal calon anggota legislatif. Sebagai contoh, mengkampayekan anti politik uang (sen) dan anti politik barang (penosah); sebelum, saat serangan fajar, dan waktu pemilu legislatif berlangsung baik dari calon anggota legislatif maupun dari partai politik.
Lebih tegas lagi, menolak dan bahkan sampai tidak memilih calon yang berpolitik uang dan berpolitik barang. Lebih-lebih, calon yang tidak tahu tugas dewan sama sekali. Bukan rahasia umum lagi, anggota dewan seringkali hanya datang, duduk, diam, dan tidur. Selain itu, sebatas mengharapkan proyek, fee, dan dana aspirasi. Praktik tersebut pastinya telah merusakkan sendi-sendi kehidupan masyarakat, memperburuk demokrasi, dan ―meruntuhkan akidah masyarakat.‖ Kemudian, menyampaikan prihal calon anggota legislatif yang benar-benar berjuang untuk masyarakat. Pasalnya, keberadaan anggota legislatif dan parlemen sangat berpengaruh terhadap penetapan anggaran, pengawasan pembangunan, dan pembuatan perundang-undangan (qanun) yang berpihak pada perkembangan dan kemajuan masyarakat. Sebagai akibatnya, akan berdampak luas pada masyarakat Takengon, tanoh Gayo, dan Aceh secara keseluruhan.
Sumber: Suara Leuser Antara (Rabu, 22 Mei 2013)
Apatisme Politik? Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni* Dalam amatan penulis—sejak 14 April-16 Mei 2013, masyarakat Takengon, Aceh Tengah masih apatis, skeptis, dan adanya kemungkinan untuk golput pada Pemilu Legislatif 2014 mendatang. Khususnya, di Daerah Pemilihan (Dapil) 4, yaitu Kecamatan Bebesen, Bies, dan Kecamatan Kute Panang. Terlebih lagi, di Kecamatan Bebesen. Sikap tersebut merupakan hak masyarakat. Persoalannya, apakah sikap tersebut akan menyelesaikan masalah? Jawabannya, pasti tidak. Malah, akan merugikan masyarakat. Khususnya, yang memiliki hak pilih (suara). Pada akhirnya, akan berdampak pada masyarakat Takengon secara keseluruhan. Sebab, keapatisan mereka, dan apalagi sampai golput akan menguntungkan partai politik, (calon) anggota legislatif, dan pihak-pihak tertentu. Terutama, yang suka bermain uang (money politics) dan politik barang (penosah— kerudung, kain sarung, sajadah, piring, payung, dan lain-lain) dalam meraih simpati masyarakat. Bisa saja, suara yang golput tadi ―dimainkan‖ oleh yang berduit dan punya kekuasaan. Dalam prosesnya; yang mestinya terpilih jadi tidak terpilih. Kebalikannya, yang awalnya tidak terpilih jadi terpilih dan duduk di dewan (DPRK). Pada akhirnya, dewan akan dikuasai orang-orang yang bermodal dan punya kekuasan. Karena, sudah melakukan ―jual-beli‖ suara. Sebagai akibatnya, apa pun kebijakan yang diajukan kepala daerah (eksekutif), serta merta akan diamini dewan. Di pihak lain, sepertinya ada upaya pembiaran (―pembodohan‖) oleh pihak-pihak tertentu. Ironisnya, mereka menyenangi kondisi demikian. Masyarakat dibiarkan tidak cerdas. Termasuk, cerdas dalam berpolitik. Utamanya, cerdas
dalam memilih calon anggota dewan yang ideal. Dengan pengertian lain, yang amanah, mampu, berkualitas, punya rekam jejak yang baik (pendidikan, kinerja, moral, dan hukum), tanggung jawab, dan betul-betul berjuang mewakili rakyat. Masyarakat juga seolah-olah ―tidak memiliki akses‖ terhadap kebijakan dan anggaran. Balik Modal Bila praktik politik uang dan politik barang masih menghiasi Pemilu Legislatif 2014, dapat dipastikan bahwa prosesnya sudah tidak berjalan seperti yang diharapkan. Tidak ada lagi etika dan moral dalam berpolitik. Niat, cara, dan tujuan calon anggota legislatif yang maju pun sudah tidak benar. Mereka tidak lagi memperjuangkan rakyat yang mereka wakili. Namun, lebih mengurusi kepentingan pribadi, keluarga (pemili) baik dari pihak pedih (dari keturunan bapak) maupun ralik (pihak keturunan ibu) serta ume berume (besanan), golongan, penguasa, dan partai politik. Lebih spesifik, mengembalikan uang yang sudah keluar. Juga, barang-barang yang sudah dibagi-bagikan ke masyarakat. Misalnya, dengan meminta fee dari setiap kebijakan yang digulirkan pemerintah (eksekutif), mengurusi proyek, dan menunggu dana aspirasi keluar. Dengan demikian, kebijakan (program) dan anggaran yang ada ―sudah dibajak‖ dari awal. Tujuannya, untuk mengembalikan uang (modal) yang sudah keluar tadi. “DPRKemeh” Lagi-lagi, masyarakat kembali menelan pil pahit kekecewaan. Tidak diurus dan tidak adanya tempat mengadu. Pasalnya, wakil mereka asyik mengurusi kepentingannya. Walhasil, sumpah serapah dari masyarakat pun keluar, ―DPR
Kemeh‖ (DPR kurang ajar/tidak amanah/tidak tahu untung/tidak tanggung jawab/tidak ada gunanya). Padahal, keterpilihan mereka tidak terlepas pula dari pilihan masyarakat. Siapakah yang salah? Oleh sebab itu, masyarakat mesti punya harga diri. Jangan sampai merendahkan sebaligus menghinakan diri dengan uang seratus/dua ratus/dua ratus lima puluh/tiga ratus/lima ratus ribu atau barang tertentu. Padahal, dampak yang dirasakan bisa lima tahun, dan bahkan lebih. Jika nilai yang diterima masyarakat seratus ribu/suara, maka yang didapat cuma Rp. 54 (Rp. 100.000/365 hari x 5 tahun). Nilai tersebut bahkan lebih rendah dari harga depik (rasbora tawarensis—ikan endemik di Danau Laut Tawar) yang dijajakan di Pasar Inpres Takengon. Yang mesti diingat, tidak ada yang gratis. Setiap pemberian (uang atau barang), pasti akan ada pengembaliannya. Selanjutnya, pengawasan dan pengawalan mesti terus dilakukan oleh semua pihak. Tanpa pengawalan, suara yang sudah dicoblos dan yang golput pun bisa ―lari kemana-mana.‖ Dampaknya, yang tidak duduk pun bisa jadi duduk. Lalu, pendidikan dan pencerdasan politik tetap harus dilakukan. Targetnya, bagi yang punya hak pilih dan termasuk pemilih pemula (muda). Upaya itu bisa dilakukan pihak-pihak yang independen baik dari penyeleggara (KIP), akademisi, mahasiswa, pers, LSM, maupun elemen sipil lainnya. Dengan demikian, masih ada harapan untuk mewujudkan pemilu legislatif 2014 yang jujur, bersih, independen, dan antipolitik uang.
http://www.wartadki.com/berita-703-apatisme-politik.html (24 Mei 2013)
Politik Uang Masih Berkuasa Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni “Seni, beret ke gere ber sen” (sekarang, sulit kalau tidak pakai uang) Begitulah tanggapan sebagian masyarakat menghadapi Pemilu Legislatif 2014. Khususnya, di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah. Ada dua hal yang bisa dimaknai dari pernyataan di atas. Pertama, terkait biaya politik. Biaya ini memang mesti dikeluarkan calon yang bersangkutan. Namun, tidak berlebihan. Sampai-sampai, membeli suara pemilih dengan uang. Walhasil, berdampak negatif kepada masyarakat. Juga, terhadap pelaksanaan demokrasi di tanah air. Kedua, mengarah kepada politik uang (money politics). Politik uang ini makin membudaya dalam praktik perpolitikan di Indonesia. Buktinya, dari pernyataan masyarakat tadi. Walaupun tidak semuanya menerima politik uang. Namun, secara umum masih demikian. Ada rasa pesimisme, sepertinya praktik politik uang sulit untuk dihapuskan. Praktik seperti itu kerap dilakukan politisi baik saat Pemilu Presiden, Pemilu Legislatif maupun Pemilu Kepada Daerah. Tujuannya, untuk menarik hati dan membuaikan masyarakat secara instan. Akibatnya, masyarakat tidak lagi berpikir jangka panjang—dampak lima tahun setelahnya—tapi lebih ke pemberian tadi. Singkatnya, ada uang ada suara. Kemungkinan, politik uang tadi bertujuan untuk juga ―mengkondisikan‖ penyelenggara sekaligus pengawas pemilu. Jika sudah dibiasakan seperti itu, maka jangan salahkan masyarakat kemudian. Karena, memang sudah dididik dari dari awal
Di lain pihak, praktik tadi masih terjadi karena lemahnya penegakan undang-undang dan peraturan-peraturan terkait. Selain itu, masih kurangnya pengawasan dari Panitia Pengawas Pemilu. Lalu, terbatasnya sanksi-sanksi terhadap setiap pelanggaran. Sayangnya, peraturan-peraturan yang ada seringkali dilanggar. Sebab, sifatnya ―sebatas formalitas.‖ Padahal, ada norma, nilai, dan kekuatan hukum yang dimilikinya. Namun, tidak mampu menghukumi karena lemahnya penegakan hukum tadi. Di luar itu, sampai saat ini, masih belum ada undangundang yang membatasi dana kampaye partai politik yang digodok pemerintah dan DPR RI. Mestinya, undang-undang ini harus segera dirumuskan. Ketiadaan undang-undang ini menjadikan politik berbiaya tinggi. Pada akhirnya, mendorong legislator atau kepala daerah untuk korupsi. Soalnya, harus mengembalikan modal dan hutang (uang) yang sudah dikeluarkan, selain saving (mungemas) untuk keperluan dana maju berikutnya. Pada akhirnya, kerjanya bukan lagi mengurusi rakyat, melainkan memikirkan pengembalian modal serta mengurusi proyek, fee, atau dana aspirasi. Pemilih Cerdas Terlepas dari masalah tersebut, masyarakat (pemilih) mesti cerdas dalam memilih wakil-wakil mereka. Dasar pilihannya tidak didasarkan pada besaran uang atau jumlah barang yang diberikan, tapi lebih pada rekam jejak (track record) calon yang bersangkutan. Misalnya, dengan mengetahui pengetahuan, tingkat pendidikan, pengalaman, kemampuan teknis, penguasaan undang-udang dan peraturan, program kedewanan, dan lain-lain. Nanti, jangan sampai masyarakat menuntut kinerja dewan. Soalnya, tidak ada yang dikerjakannya buat masyarakat. Sebaliknya, kerjanya hanya datang, duduk, dengar, diam,
pulang, dan mengambil gaji bulanan. Karena, tidak paham sama sekali soal pekerjaannya. Sementara itu, masyarakat sudah diuangi (dibeli) dari awal. Satu suara, misalnya, dibeli seratus ribu rupiah. Tinggal dibagi 365 hari (satu tahun) dan dikalikan selama 5 tahun. Artinya, selama mereka duduk di parlemen, suara pemilih (masyarakat) hanya dihargai Rp. 54. Itulah nilai dan harga pemilih sesungguhnya. Kalau pemilih sudah cerdas dalam memilih, maka besar kemungkinan legislator yang terpilih pun adalah orangorang yang cerdas. Dalam arti, jujur, amanah, mampu, berkualitas, punya rekam jejak yang baik, dan paham akan tugas kedewanan. Termasuk, dalam memperjuangkan aspirasi konstituennya (masyarakat). Oleh karena itu, masyarakat khususnya yang punya hak pilih mesti terus dicerdaskan, yaitu dengan memberikan pendidikan politik. Khususnya, membuka kesadaran untuk berpartisifasi dalam pemilu 2014 mendatang. Yang lebih penting lagi, tidak sampai salah memilih sehingga tidak mengecewakan masyarakat itu sendiri.
Sumber http://frontroll.com/berita-2295-politik-uang-masihberkuasa-.html (5/6/2013)
Intropeksi Diri Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni* Secara keseluruhan, ada 450 calon anggota legislatif yang akan bertarung menuju Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah pada Pemilu Legislatif 2014 mendatang. Ke 450 calon ini berasal dari 12 partai nasional— Nasdem, PKB, PKS, PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP, Hanura, PBB, dan PKPI—serta 3 partai lokal—PA, PNA, dan PDA. Daerah Pemilihan atau Dapil I (Kec Bintang, Kec Kebayakan, dan Kec Lut Tawar) dan Dapil III (Kec Celala, Kec Ketol, Kec Rusip Antara, dan Kec Silih Nara) masing-masing 7 kursi. Sementara, Dapil II (Kec Atu Lintang, Kec Jagong Jeget, Kec Linge, dan Kec Pegasing) dan Dapil Dapil IV (Kec Bebesen, Kec Bies, dan Kec Kute Panang) masing-masing ada 8 kursi yang diperebutkan. Terlepas dari kekurangan dan motivasinya, niat baik dari keseluruhan calon mesti tetap dihargai. Pasalnya, image lembaga ini sangat buruk, dewasa ini. Di lain pihak, Demokrasi dibangun pun masih di tataran prosedural, bukan substantif. Politik transaksional sebagai imbas tingginya biaya politik makit menguat. Ditambah lagi, tambah berkembangnya politik keturunan (politik dinasti). Namun, masih ada mau masuk ke kubangan sistem tersebut. Harapannya, wakil-wakil yang terpilih nantinya bisa memperbaiki kondisi tersebut. Disamping itu, maksimal dalam menjalankan tugas kedewanannnya. Dalam masyarakat Gayo, ada peri mestike kepemimpinan yang cukup populer, yaitu reje mu suket sipet; imem mu perlu sunet; petue mu sidik sasat; dan rayat genap mupakat. Kata reje atau raja dimaknai sebagai ‗pemimpin‘ secara luas. Termasuk, calon anggota legislatif yang akan maju. Secara khusus, terminologi anggota dewan dalam bahasa Gayo dikenal dengan istilah ulu rintah.
Suket dan Sipet Lantas, apakah makna reje mu suket sipet tadi? Ada tiga kata kunci di sini; reje (raja—pemimpin), suket (menakar), dan sipet (mengukur). Dalam banyak literatur Gayo, reje mu suket sipet diartikan ‗adil.‘ Memang, seorang pemimpin baik formal maupun informal harus adil. Dalam hal ini, bupati yang ada di Gayo: Kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Kabupaten Bener Meriah. Mereka mesti adil kepada Tuhan, diri sendiri, keluarga, golongan, masyarakat luas, dan lingkungan alam. Demikian halnya calon legislator, mesti adil. Karena, mereka akan mewakili daerah pemilihan dan konstituennya. Amanah, beban, tanggung jawab, dan resiko yang diemban pun pasti berat. Sesungguhnya, makna reje mu suket sipet tadi cukup luas. Hakikat pemaknaanya ada pada kata suket (menakar) dan sipet (mengukur). Indikator suket ini pun jelas sekali, antara lain kal, are, tem, dan seterusnya. Sebaliknya, sipet—untuk mengukur jarak—biasanya menggunakan jari tangan. Di sini, ada unsur relativitas. Panjang jari seseorang pasti berbeda. Dengan demikian, yang diukur pun akan berbeda hasilnya. Secara denotatif bisa dimaknai demikian. Namun, ada pula makna konotatifnya. Dalam konteks pemimpin dan kememimpinan tersebut, suket merujuk kepada pemimpin (yang sedang maju) yang bersangkutan. Dengan kata lain, suket merujuk kepada hal-hal yang konkrit (i panang sareh, i amat nyata): fisik, tempat tinggal, masa-masa kecil, sekolah, kampus, tempat berkarir, dan lain-lain . Kebalikannya, sipet merujuk kepada hal-hal yang abstrak. Misalnya, jujur, amanah, umur, memiliki popularitas, elektabilitas serta akseptabilitas yang tinggi, punya keagungan sifat dan karakter, kedalaman ilmu, pengalaman yang luas, bekal pendidikan yang memadai, menguasai agama, punya rekam jejak dan kinerja yang baik, tidak cacat moral dan tidak
cacat hukum, dan lain-lain. Alhasil, pemimpin-pemimpin formal dan informal tadi—termasuk anggota/calon anggota dewan— bisa menuntun dan membawa masyarakat dan daerah yang dipimpinnya ke arah yang benar, baik, maju, dan bermartabat. Sebab, didasari dengan bekal yang cukup dan mumpuni. Persoalannya, sudahkah ke 450 calon anggota legislatif yang maju dan pemimpin-pemimpin formal dan informal yang ada munyuket dan munyipet (intropeksi) dirinya masing-masing? Sumber www.suaragayo.com (20/6/2013)
Pembatasan Alat Peraga: Kontrol dan Sanksi? Yusradi Usman al-Gayoni* Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan membatasi pemasangan alat peraga oleh peserta Pemilu 2014. Komisioner KPU Ida Budhiati mengatakan, pembatasan ini akan ditegaskan dalam sebuah peraturan. Ia mengungkapkan, peserta pemilu akan dibatasi hanya boleh memasang dua baliho di satu kecamatan. Ia memaparkan, pembatasan ini bertujuan untuk mewujudkan asas keadilan bagi setiap peserta pemilu. Dengan adanya pembatasan, baliho tidak lagi didominasi oleh peserta pemilu yang memiliki modal besar. Selain pembatasan jumlah alat peraga, KPU juga mengatur tentang tempat-tempat pemasangan alat peraga. Alat peraga tidak boleh ditempatkan pada fasilitas dan sarana publik seperti tempat ibadah, rumah sakit, sekolah, taman, pepohonan, dsb. Hal tersebut bertujuan untuk menjaga estetika dan keindahan kota (Kompas, 31 Juli 2013). Kontrol dan Sanksi? Kita menyambut baik terobosan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tersebut. Harapannya, peraturan itu bisa berjalan efektif di lapangan. Dengan demikian, akan tercipta pemilu legislatif yang berkeadilan dan tidak didominasi kalangan punya punya modal besar serta kekuasaan. Di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, misalnya, ada 450 caleg yang maju dari 15 partai politik. Sementara itu, di Dapil 4 (Kec Bebesen, Kec Bies, dan Kec Kute Panang) ada 120 kontestan. Kalau satu kecamatan saja ada 2 baliho, maka akan ada 720 baliho di tiga kecamatan (Dapil 4). Rata-rata per kecamatan ada 240 baliho. Itu baru di Dapil 4. Belum lagi, Dapil 1 (Kec Bintang, Kec Kebayakan, dan Kec Lut Tawar), Dapil 2 (Kec
Atu Lintang, Kec Jagong Jeget, Kec Linge, dan Kec Pegasing), dan Dapil 3 (Kec Celala, Kec Ketol, Kec Rusip Antara, dan Kec Silih Nara). Tentu, jumlahnya makin besar. Bisa dibayangkan, baliho ada dimana-mana. Kota jadi kurang berestetika, indah, dan ―menyesakkan‖ warganya. Bahkan, bisabisa masyarakat tambah muak dan ―ingin muntah‖ melihatnya. Karenanya, peraturan penempatan baliho ini pun dipandang tepat. Nantinya, tidak akan ada caleg-caleg yang memaksakan kehendak, memasang di sembarang tempat, dan bertindak seenaknya. Apalagi, caleg-caleg yang punya kekuasaan dan punya banyak modal (uang). Masalah kedua ialah pengontrolannya. Bukan perkara mudah mengontrol atribut kampaye ini sampai ke desa-desa. Juga, memastikan cuma dua baliho di setiap satu kecamatan. Akan tetapi, peraturan tersebut mesti tetap dijalankan. Terlebih lagi, KPU punya jejaring dan SDM sampai ke desa-desa, sebagai penyelenggara Pemilu. Segala kekurangannya, bisa dievaluasi dan disempurkan. Dengan begitu, penyelenggaraan pemilupemilu berikutnya jadi tambah baik dan makin berkualitas. Dalam kaitan itu, Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) mesti benar-benar berfungsi. Banwaslu jangan menunggu pelbagai laporan pelanggaran terlebih dahulu. Sebaliknya, ikut melihat dan mengontrol langsung terjadinya pelanggaran-pelanggaran. Alhasil, proses penyelenggaran pemilu legislatif 2014 bisa berjalan dengan mudah, baik, dan efektif. Utamanya, prihal pengontrolan pembatasan alat peraga tadi. Disamping penguatan pengontrolan, perlu adanya sanksi yang tegas dari KPU terhadap caleg-caleg yang melanggar. Bila perlu, sanksi pemberhentian jadi caleg. Selanjutnya, mengumumkan ke masyarakat bahwa yang bersangkutan pelanggar peraturan. Jadi, masyarakat juga ikut menghukum caleg bersangkutan (sanksi sosial). Dengan kata lain, mereka
tidak layak untuk dipilih dan menjadi wakil mereka di parlemen. Karena, dari awal sudah tidak disiplin, bertindak sesuka hati, dan melanggar peraturan. Yang tidak kalah penting adalah sosialisasi peraturan ini. Sasarannya, bukan hanya kepada partai politik, caleg, elemen sipil lainnya, melainkan langsung ke masyarakat. Di sini, ada upaya pelibatan masyarakat dalam segala kegiatan KPU. Termasuk, dalam memberikan laporan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan caleg dan langsung ditindaklanjuti KPU. Demikian halnya dalam pemberian sanksi-sanksi dimaksud. Hasilnya, peraturan tadi bisa berjalan dengan efektif, terukur, dan maksimal.
*Jaringan Masyarakat Pemilih Cerdas Sumber: www.lintasgayo.com (2/8/2013)
Caleg Keluarga Vs Caleg Ideal dan Egaliterisme di Gayo Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Pemilu legislatif 2014 tinggal delapan bulan lagi. Kamis (22/8/2013), Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mengumumkan daftar calon tetap (DCT). Dengan demikian, mereka telah resmi bertarung memperebutkan kursi legislator baik di tingkat kabupaten, propinsi maupun ke Senayan. Secara keseluruhan, ada 450 calon anggota legislatif yang bertarung dan memperebutkan 30 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah. Ke 450 calon ini berasal dari 12 partai nasional—Nasdem, PKB, PKS, PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP, Hanura, PBB, dan PKPI—serta 3 partai lokal—PA, PNA, dan PDA. Daerah Pemilihan atau Dapil I (Kec Bintang, Kec Kebayakan, dan Kec Lut Tawar) dan Dapil III (Kec Celala, Kec Ketol, Kec Rusip Antara, dan Kec Silih Nara) masing-masing 7 kursi. Sementara, Dapil II (Kec Atu Lintang, Kec Jagong Jeget, Kec Linge, dan Kec Pegasing) dan Dapil Dapil IV (Kec Bebesen, Kec Bies, dan Kec Kute Panang) masing-masing ada 8 kursi yang diperebutkan. Banyaknya calon anggota legislatif yang maju di Takengon, karena ketentuan KPU (KIP Aceh Tengah) yang mengharuskan demikian. Kelima belas partai politik mesti mendaftarkan 7-8 calonnya di Dapil-dapil di Takengon. Dapil I dan III, 7 calon. Dapil II dan IV 8 calon, karena jumlah penduduk yang lebih besar. Dari keseluruhan Caleg yang maju, pastinya ada yang berasal dari satu keluarga, satu kampung (desa), dan satu kecamatan. Dapil IV (Kec Bebesen, Kec Bies, dan Kec Kute Panang), misalnya, dalam satu kampung ada yang maju sampai 10, bahkan 15 calon. Alhasil, potensi ―pecah suara‖ semakin
besar. Dengan begitu, peluang keterpilihan dan keterwakilan dari kampung yang bersangkutan pun makin kecil. Namun, tidak ada yang tidak mungkin dalam politik. Perubahan bisa terjadi setiap saat. Bisa saja, yang terpilih malah dari kampung yang banyak nyaleg. Sebaliknya, bisa dari kampung yang kontestannya kurang. Dampak lain, makin menguatkan disharmoni antarcaleg, keluarga, kampung, dan antarkecamatan. Lebih luas, ―kerenggangan sosial‖ dalam masyarakat. Karena, masih belum adanya kedewasan berpolitik dari partai politik, calon, elite politik, politisi, dan masyarakat. Lebih khusus lagi, dalam menyikapi perbedaan pilihan. Di sisi lain, pendidikan dan pembangunan kesadaran berpolitik yang bermartabat dan bermoral masih kurang. Masih sebatas lip service politik. Akibatnya, muncul rasa curiga yang berlebihan, saling tidak percaya, saling tidak menyapa, saling menjelekkan, dan sampaisampai tidak saling bersilaturrahim. Bahkan, bisa sampai konflik. Karena, lebih mengedepankan pendekatan Machiavelli dibandingkan Ibnu Khaldun dalam berpolitik, utamanya dalam meraih kekuasaan. „Track Record‟ Dewasa ini, ada kecenderungan bahwa masing-masing keluarga tetap memilih caleg yang berasal dari keluarganya, meski kualitasnya kurang (wawasan, keilmuan, dan kemampuan dalam menjalankan tugas kedewanannya minim, kurangnya dukungan pendidikan, dan punya rekam jejak yang buruk: kejujuran, tanggung jawab serta punya catatan moral dan hukum yang buruk). Apalagi, yang bersangkutan punya modal yang lebih. Meski tidak semuanya demikian, tapi rata-rata. Sayangnya, masih belum terpetakan secara kuantitatif. Karena, masih kurangnya kajian, penelitian, dan dokumentasi terkait politik, kepemiluan, dan pelaksanaan demokrasi di Takengon.
Termasuk, publikasi secara terbuka oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Tengah, selaku penyelenggara. Di lain pihak, masyarakat Gayo sendiri berkarakter terbuka, toleran, akomodatif terhadap perubahan, dan egaliter. Mereka memandang sama setiap orang. Antara rakyat biasa, ulama, anggota dewan, dan bupati/wakil bupati sekalipun, tetap sama. Soal kepemimpinan, ada yang diembani amanah, ada yang tidak. Namun, yang tidak mengemban amanah tetap mengawasi dan mengevaluasi kepemimpinan yang berjalan (bahasa Gayo= besitegahen—saling mengingatkan). Jadi, kalau ada anggota masyarakat yang mengkritik pemimpinannya baik bupati maupun dewan, itu sudah biasa di Takengon, tanoh (tanah) Gayo. Sebab, sistem nilai yang berlaku demikian. Dalam memilih pemimpin pun, seperti itu. Mereka lebih mengutamakan rekam jejak calon yang bersangkutan baik calon anggota dewan, bupati dan wakil bupati maupun pemimpin informal. Jadi, ―betul-betul dipertimbangkan.‖ Dalam kearifan lokal setempat dikenal anak ni Reje mujadi kude, anak ni Tengku mujadi asu (anak Raja bisa jadi kuda, anak Tengku bisa jadi anjing). Maksudnya, keagungan nama, keluhuran sifat, kedalaman ilmu, keluasan wawasan dan pengalaman, kerendahhatian, dan keberhasilan orang tua (perekomendasi) belum tentu diwarisi anaknya (calon yang maju—yang direkomendasikan). Dengan demikian, rekomendasi dan garis komando ―tidak berlaku‖ di Gayo. Kalau ada tokoh, partai politik atau organisasi yang memfatwakan memilih calon tertentu, dalam kenyataannya, belum tentu dipilih. Termasuk, dalam keluarga dan dalam satu kampung. Tidak semuanya memilih calon yang sama. Harapannya, masyarakat Gayo tetap memelihara sifat dan karakter keegaliterannya meski ada pergeseran nilai sejak
tiga pemilu demokratis sebelumnya (sejak masa reformasi). Lebih dari itu, memelihara akal sehat dan nuratinya, terutama dalam menghadapi dan melakukan pencoblosan pada pemilu legislatif 2014. Hasilnya, wakil-wakil rakyat yang terpilih nantinya betul-betul berkualitas, punya rekam jejak yang mumpuni, serta ada dan berjuang untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat. Pada akhirnya, bisa memberikan dampak perbaikan dan kemajuan di Takengon, Gayo, dan Aceh pada umumnya. *Direktur Research Center for Gayo/Jaringan Masyarakat Pemilih Cerdas Sumber: http://www.kabargayo.com/2013/08/caleg-keluarga-vscaleg-ideal-dan.html (29 Agustus 2013)
Menurunnya Partisipasi Politik Rakyat Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Partisipasi pemilih dalam pemilu—presiden dan legislatif—terus menurun. Misalnya, angka 92 peserta tahun 1999, pileg DPR 2004 (84, 07 persen), pilpres 2004 putaran pertama (78,23 persen), pilpres 2004 putaran kedua (76,63 persen), dan pileg 2009 (70 persen). Pemilih 2014 akan diikuti 190 juta pemilih terdaftar (Kompas, 27/8/2013) Penurunan partisipasi tersebut karena kekecewaan masyarakat. Masyarakat sebetulnya menaruh harapan besar akan adanya perubahan. Terutama, perbaikan ekonomi dan tingkat kesejahteraanya. Karenanya, mereka menggunakan hak politiknya. Sayangnya, mereka terlalu banyak berharap. Pada akhirnya, masyarakat makin skeptis, apatis, dan berujung putus asa. Sebab, seringkali ditinggalkan dan serta merta dilupakan pemimpin dan wakil-wakilnya yang terpilih. Disamping itu, masyarakat melihat tidak adanya calon alternatif. Masyarakat enggan menggunakan hak politiknya. Karena, sudah tahu track record (rekam jejak) calon yang bersangkutan. Juga, adanya ―ketidakpercayaan‖ terhadap penyelenggara pemilu, karena kuatnya kepentingan (conflict of interest). Hasilnya, terjadi keberpihakan, ketidakadilan, ketidakfairan, ketidakterbukaan, ketidakjujuran, ketidakbersihan, dan ketidakprofesionalan dalam penyelenggaraan pemilu. Saat sudah terpilih, wakil-wakil rakyat yang ada lebih berorientasi pada pengembalian modal. Karena, jorjoran saat mencalonkan. Tak hanya itu, mereka seperti ―berjudi‖ dengan menghalalkan segala cara. Yang penting, bisa terpilih dan mendapatkan kekuasaan. Dalam kaitan itu, pendekatan Machiavelli digunakan daripada pendekatan Ibnu Khaldun
dalam berpolitik. Setelah itu, bisa saving untuk modal maju pada pemilu berikutnya, mengayakan diri, ―menyejahteraan‖ keluarga dan tim suksesnya, serta mengutamakan partai politiknya melalui pelbagai proyek, fee, atau mengharapkan dana aspirasi. Atas dasar itu—gaji, fasilitas penunjang, proyek, fee, dan dana aspirasi—barangkali, banyak yang ikut nyaleg. Walaupun, tidak menutup kemungkinan, banyak pula yang tidak tahu kedudukan, fungsi, dan tugas kedewanannya. Alhasil, wakil-wakil seperti ini sebatas datang, duduk, dengar, dan diam (―legislator D4.‖) Legislator model ini baru kelihatan lagi saat mendekati pemilu. Saat seperti itu, mereka biasanya jadi orang yang paling dermawan, santun, dekat dengan rakyat, dan paling saleh dari biasanya. Tak jarang, ada yang sampai mempolitisisasi agama, yaitu dengan ―menjual‖ ayat-ayat Tuhan dan hadist rasul-Nya serta simbol-simbol keagamaan. Tingginya biaya politik dan banyaknya tuntutan dari konstituen ―pemenuhan janji-janji politik,‖ tak jarang, membuat wakil rakyat sampai terjerat korupsi. Di saat yang sama, proses demokrasi yang berjalan pun lebih bersifat prosedural, bukan substantif. Baik presiden dan wakil presiden, kepala daerah, legislator maupun senator kurang peka melihat pelbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Mereka baru peka dan reaktif saat bersentuhan langsung dan menguntungkan diri atau partai pengusungnya. Pemilu Jujur dan Bersih Penurunan partisipasi pemilih pastinya jadi ujian sekaligus tantangan bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu), dan Badan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (BKPP), selaku penyelenggara pemilu. Dengan demikian, salah satu barometer keberhasilan pemilu 2014 nanti adalah meningkatnya partisifasi pemilih dari pemilupemilu sebelumnya.
Namun, kesuksesan pelaksanaan pemilu 2014 yang menghabiskan dana Rp. 17 triliun anggaran negara ini jadi tanggung jawab semua pihak, mulai dari pemerintah, DPR, penyelenggara pemilu, partai politik, elite politik, politisi, calon legislator/senator, akademisi, pers, mahasiswa, dan elemen sipil lainnya. Pasalnya, keberhasilan tersebut akan menentukan perbaikan, perkembangan, kemajuan, dan kelangsungan kehidupaan berdemokrasi dan Indonesia pada masa-masa mendatang. Oleh karena itu, KPU mesti menyakinkan semua kalangan bahwa pemilu 2014 nanti akan berlangsung dengan jujur, bersih, independen, adil, fair, terbuka, profesional, dan demokratis. Masyarakat sendiri, khususnya yang memiliki hak pilih harus hati-hati dalam menyalurkan hak pilihnya. Jangan lagi mau ―dibeli‖ dengan uang atau barang. Tolak money politics dan politik barang. Alhasil, politik yang benar, baik, dan sehat mulai dapat berjalan. Kondisi ini akan ikut memengaruhi sistem nilai dan budaya yang ada dalam masyarakat. Kebalikannya, lihat rekam jejaknya. Apalagi, soal integritas, kualitas, dan kapabilitas. Dengan demikian, wakil-wakil rakyat yang duduk tahun 2014 nanti betul-betul yang tahu pekerjaan, peka, dan responsif terhadap pelbagai persoalan. Juga, ada dan berjuang untuk masyarakat.
*Jaringan Masyarakat Pemilih Cerdas http://frontroll.com/berita-3591-menurunnya-partisipasi-politikrakyat.html (30 Agustus 2013)
Pemilu Legislatif: Partai atau Sosok? Yusradi Usman al-Gayoni*
Keberadaan sosok sejauh ini masih menjadi kekuatan terbesar dalam peningkatan ataupun penurunan popularitas partai politik. Kuat atau lemahnya peran sosok tersebut mengubah konfigurasi penguasaan parpol saat ini. Indikasi semacam itu tampak dari perbandingan dua hasil survei opini publik Kompas, yang menghimpun 1.400 responden calon pemilih dalam Pemilu 2014 di 33 provinsi. Hasil kedua survei tersebut menunjukkan ada perubahan konfigurasi penguasaan calon pemilih oleh parpol. Perubahan konfigurasi popularitas parpol itu sangat terkait erat dengan keberadaan dan kiprah sosok-sosok yang ada dalam parpol. Dalam hal ini, parpol yang memiliki sosok populer dan positif dipandang publik akan menuai dukungan. Sebaliknya, jika tidak memiliki sosok yang diandalkan atau memiliki sosok yang kurang berkenan di mata publik, parpol cenderung tidak bergerak atau justru makin resistan (Kompas, 27 Agustus 2013) Di Takengon? Hasil itu tak jauh berbeda dengan kondisi di Takengon, khususnya di Kecamatan Bebesen. Hal tersebut terlihat dari amatan yang dilakukan pada tanggal 14 April-16 Mei 2013. Pun tidak mewakili, hasil itu menggambarkan sikap pemilih di Takengon yang terdiri atas empat Dapil, yaitu Dapil I (Kec Bintang, Kec Kebayakan, dan Kec Lut Tawar), Dapil II (Kec Atu Lintang, Kec Jagong Jeget, Kec Linge, dan Kec Pegasing), Dapil III (Kec Celala, Kec Ketol, Kec Rusip Antara, dan Kec Silih Nara), dan Dapil Dapil IV (Kec Bebesen, Kec Bies, dan Kec Kute Panang)
Sejauh ini, keberadaan sosok sangat berperan penting dalam partai politik. Termasuk, calon legislatif (caleg) yang diusung partai. Dengan begitu, tingkat popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas berpengaruh signifikan terhadap persepsi, sikap, dan keputusan politik pemilih. Calon yang populer, belum tentu diterima masyarakat. Alhasil, kemungkinan keterpilihannya pun semakin kecil. Sebaliknya, calon yang diterima masyarakat—meski tingkat kepopulerannya kurang—kemungkinan besar akan dipilih. Namun, persoalan memilih tidak sampai di situ. Masih banyak pertimbangan lain dari pemilih. Selanjutnya, masyarakat lebih melihat sosok ketimbang partai pengusungnya baik yang maju dalam pemilu kepala daerah (pemilu kada) maupun pemilu legislatif. Dalam masyarakat Gayo, dikenal istilah ‗perau‘ yang merujuk kepada partai politik. Dengan pengertian lain, partai politik sebatas kendararan atau instrumen untuk maju (meraih kekuasaan). Memang, pemilu legislatif sedikit berbeda dengan pemilu kada. Dalam pemilukada, calon kepala daerah bisa maju melalui jalur independen. Tapi, tidak untuk nyaleg. Calon anggota legislatif harus melalui partai politik, kalau tetap ingin maju ke parlemen. Di lain pihak, masih belum ada undang-undang, peraturan atau ketentuan yang membolehkan calon anggota legislatif maju melalui jalur independen, sampai sekarang. Untuk jangka pendek, peran sosok dan kesosokannya bisa berkontribusi terhadap kemenangan partai politik. Akan tetapi, ketergantungan terhadap sosok itu bisa berdampak negatif bagi partai politik. Akibatnya, bisa mematikan proses kaderisasi dan regenerasi di tubuh partai. Karena, besarnya ketergantungan tadi. Sebagai tambahan, masalah ini—kaderisasi dan regenerasi—merupakan salah satu kelemahan orang Gayo baik dalam partai politik maupun nonpartai politik, mulai dari tingkat
kabupaten, propinsi sampai tingkat nasional. Karena, masih belum ada upaya yang sungguh-sungguh dan komprehensif untuk membenahinya dari semua pihak di Gayo dan di luar Gayo. Rekam Jejak Selain kepopuleran, masyarakat, khususnya yang memiliki hak pilih juga melihat rekam jejak calon. Dengan kata lain, bukan sembarang calon (sah kenak). Sebaliknya, lebih melihat kemampuan, kualitas, pendidikan, wawasan, pengalaman, kesalehan personal, dan dedikasinya selama ini. Namun, ada pergeseran nilai yang terjadi dalam sistem perpolitikan di Takengon dan umumnya di tanoh Gayo. Terutama, paskareformasi. Sebagian masyarakat ―ikut terpengaruh‖ oleh adanya politik uang (money politics) yang dimanfaatkan calon-calon yang bermodal dan punya kekuasaan. Barangkali, itulah memang cara satu-satunya dari yang bersangkutan untuk bisa terpilih, yaitu dengan ―menyogok‖ pemilih (bermain politik uang). Tak menutup kemungkinan juga, pihak penyelenggara. Dalam kaitan itu, pendidikan politik mesti terus dikuatkan. Akibatnya, masyarakat tidak salah memilih. Kalah salah memilih, dampak yang dirasakan masyarakat bukan cuma lima tahun, melainkan lebih. Bisa-bisa, masyarakat lagi yang ―jadi korban.‖
*Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah/Direktur Research Center for Gayo Sumber: www.lintasgayo.co (5 September 2013)
Hamal Tidur Nipi Jege Pemilu Legislatif Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Ada dua puluh empat urutan dalam upacara adat perkawinan Gayo, yaitu risik kono, munginte, sesuk pantang, turun caram, munos benten, segenap (pakat sara ine), begenap (pakat sudere), beguru, muniri, tongkoh, jege uce, jege kul, belulut, bekune, munalo, mah bei, semah, luah pantang, mujule gule, mujule wih, mah kero, munenes, mangan kero karih, dan mangan kero opat ingi. Berkenaan dengan munginte (meminang), tidak langsung dilakukan orang tua mempelai laki-laki kepada orang tua atau keluarga mempelai perempuan. Tapi, ditunjuk orang tertentu sebagai penghubung yang disebut telangke. Telangke juga berfungsi sebagai diplomator. Anggota telangke biasanya berjumlah tiga sampai lima pasang suami isteri dari kerabat dekat keluarga pengantin laki-laki. Lamaran tersebut tidak langsung diterima atau ditolak keluarga mempelai perempuan. Perlu waktu untuk berpikir, dua sampai tiga hari (meski lamaran diterima, misalnya). Istilah yang menggambarkan proses berpikir ―masa tenang‖ itu sendiri disebut “berhamal tidur bernipi jege.” Artinya, lihat dulu hasil mimpi. Kalau mimpinya bagus, maka lamaran pun diterima. Kalau kurang, maka akan ditolak. Teknisnya, cukup mengatakan, ‗mimpi kurang bagus. Lantas, apa hubungannya dengan pemilu legislatif atau pileg? Seperti munginte, pileg tak ubahnya seperti prosesi lamaran tadi. Partai politik yang merumahi pengurus dan anggota serta calon legislatif (caleg) yang diusung adalah ibarat orang tua pengantin; calon anggota legislatif seperti ―calon pengantin laki-laki;‖ dan telangke adalah tim sukses, pendukung, simpatisan atau relawan caleg. Sementara itu, masyarakat, khususnya yang memiliki hak pilik diposisikan sebagai pihak yang dilamar atau ―calon pengantin perempuan.‖ “Masa Tenang”
Seperti disebutkan, ada masa berpikir atau ―masa tenang‖ bagi pihak yang dilamar sebelum memutuskan atau memilih. Seperti itu pula posisi masyarakat dalam pileg. Dengan kata lain, masih ada waktu tujuh bulan lagi bagi pemilih untuk mencermati, menilai, mengkritisi, dan ―menguliti‖ para caleg yang maju. Pertanyaannya, apakah yang mesti dikritisi pemilih? Dalam UU No 8/ 2012, BAB VII, Bagian Kesatu tentang Persyaratan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pasal 51 menulis syarat bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang memenuhi persyaratan, diantaranya (1) Telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih; (2) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (3) Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; (4) Cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; (5) Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau pendidikan lain yang sederajat; (6) Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; (7) Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; (8) Sehat jasmani dan rohani; (9) Terdaftar sebagai pemilih; (10) Bersedia bekerja penuh waktu; (11) Mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali; (12) Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat
akta tanah (PPAT), atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (13) Bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara; (14) Menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu; (15) Dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; (16) Dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan (17) Mampu membaca al-Quran bagi caleg-caleg yang maju di Propinsi Aceh. Syarat-syarat itulah yang harus dikritisi lagi oleh pemilih. Misalnya, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; apakah yang bersangkutan bertakwa dengan menjalankan kewajiban agamanya atau tidak? Bagaimana moralnya selama ini? Juga, catatan hukumnya. Hal ini penting. Sebab, mereka (caleg dan yang tepilih nantinya) bakal jadi tokoh publik yang ditauladani lisan, laku, dan perbuatannya. Dengan demikian, mereka mesti lebih dari yang lain. Kemudian, cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia. Kalau bicara saja tidak bisa, apa yang maju disuarakannya di parlemen? Jika kemampuan membacanya kurang, tambah wawasan, pergaulan, dan pengalamannya pun terbatas; bagaimana calon wakil rakyat itu menjalankan tugas dan fungsi kedewanannya. Terutama, dalam melakukan pengawasan atau menyusun qanun (legislasi)? Soal kecakapan menulis, ukurannya apa? Apakah terpublikasi di media cetak atau online? Atau, di prosiding atau jurnal ilmiah berskala nasional atau internasional? Masih banyak lagi yang mesti dipertanyakan dan dikritisi pemilih pada masa hamal tidur nipi jege tadi. Khususnya, dalam waktu tujuh bulan yang tersisa. Apalagi, soal track record (rekam jejak) caleg. Jangan sampai karena
kepentingan pragmatis (sesaat), yaitu dengan menerima uang atau barang (money politics), masyarakat sampai salah memilih. Akibatnya, hanya menghasilkan anggota dewan D4 (datang, duduk, dengar, dan diam) dan ―jadi belalu APBK.‖ Akhir bulan, mengambil gaji dengan menikmati fasilitas yang ada. Selain itu, berorientasi ke proyek atau minimal fee. Tujuannya, untuk mengembalikan modal—karena money politics tadi, memperkaya diri, dan menyejahterakan kerabat, parpol, dan kelompoknya. Juga, mengharapkan dana aspirasi yang peruntukannya bisa jadi melanggar aturan. Pada akhirnya, masyarakat lagi yang ―jadi korban.‖ Masyarakat bertambah apatis (jejeren), putus asa, dan bisa-bisa sampai berbuat anarkis. Karena, tidak merasakan keberadaan, peran, dan fungsi bupati/wakil bupati (eksekutif) serta anggota dewan terpilih (legislatif). Disamping itu, pemilu—presiden, kepala daerah, dan legislatif—yang digelar pun lebih berupa rutinitas lima tahunan, bersifat prosedural, dan menghabiskan anggaran.
*Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah http://www.lintasgayo.com/41647/hamal-tidur-nipi-jegepemilu-legislatif.html (13 September 2013)
Memaknai Apatisme Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni* Tujuh bulan lagi, pemilu legislatif (pileg) digelar. Namun, masyarakat sepertinya makin apatis menghadapi pileg. Indikatornya, bisa dilihat dari tingkat partisipasi pemilih yang terus menurun. Misalnya, angka 92 peserta tahun 1999, pileg DPR 2004 (84, 07 persen), pilpres 2004 putaran pertama (78,23 persen), pilpres 2004 putaran kedua (76,63 persen), dan pileg 2009 (70 persen). Pemilih 2014 akan diikuti 190 juta pemilih terdaftar (Kompas, 27/8/2013). Kekecewaan dan rasa frustasi dari masyarakat, jadi alasan pertama dan utama terkait penurunan partisipasi tersebut. Khususnya, kepada presiden dan wakil presiden, kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur; bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota), serta anggota dewan yang terpilih. Mereka dinilai ―tidak peka‖ dalam menyikapi pelbagai persoalan yang meliliti masyarakat. Sebaliknya, pemerintahan dan parlemen yang berjalan lebih pada perkara rutinitas, prosedural, birokratis, dan pencitraan. Baik eksekutif maupun legislatif seperti absen dalam menyikapi persoalan-persoalan di tengah-tengah masyarakat. Padahal, keberadaan mereka di ―istana‖ dan parlemen tidak terlepas dari suara yang diberikan masyarakat. Namun, seolaholah mereka bisa melegetimasi apa pun. Dengan raihan suara tertinggi (dasar legitimasi), mereka bisa ―berbuat sesuka hati.‖ Bahkan, melupakan sekaligus meninggalkan rakyat, pemilihnya. Tak salah kalau kemudian muncul anggapan, ―ada atau tidaknya dewan dan pemerintah, nasib masyarakat di tataran grass root tidak akan pernah berubah banyak. Selain itu, pelaksanaan pemilu juga tidak berdampak langsung dan sistemik pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.‖
Di luar alasan itu, penurunan partisipasi tersebut disebabkan karena tidak adanya calon alternatif. Yang maju, itu itu saja (oya pelin, gere mu jema len—bahasa Gayo). Ada kemuakkan yang dirasakan masyarakat. Masyarakat sudah tahu betul rekam jejak (track record) yang bersangkutan. Pada akhirnya, masyarakat lebih memilih golput alias tidak memilih. Sebab, tidak ada calon yang terbaik dari yang baik. Minimal, calon yang lebih baik dari yang terburuk. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, istilah apatis diartikan acuh tak acuh; tidak peduli; masa bodoh’ (Pusat Bahasa, 2008: 83). Di sini, apatisme dimaknai sebagai gejala acuh tak acuh, tidak peduli, atau gejala masa bodoh. Akan tetapi, kalau apatis dipahami sebatas pergi ke tempat pemungutan suara (TPS) dan mencoblos, maka pengertiannya sangat sempit. Sebaliknya, dalam kaitan pemilu—presiden, legislatif, dan kepala daerah, ada tiga makna kata apatis ini, yaitu prapencoblosan, saat pencoblosan, dan paskapencoblosan. Sejauh ini, penulis belum mendapatkan angka tingkat partisipasi pemilu legislatif di Takengon (1999-2004, 20042009, dan 2009-2014). Pasalnya, dokumentasi tertulis tentang perpolitikan dan kepemiluan masih kurang. Termasuk, release secara terbuka dari penyelenggara, Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Tengah. Seperti disebutkan, partisipasi pemilih dari pemilu ke pemilu terus menurun.
Pemilih Aktif Dalam amatan penulis, partisipasi prapencoblosan dan paskapencoblosan yang masih kurang di tanoh Gayo, khususnya di Takengon. Sebelum mengumumkan daftar caleg tetap (DCT), Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memberikan sanggahan terkait seluruh caleg yang maju baik ke DPRK Aceh Tengah, DPRA maupun
ke DPR RI. Di situlah kesempatan masyarakat untuk menyanggah caleg-caleg yang bermasalah secara administratif. Melalui sanggahan masyarakat, caleg-caleg yang maju bisa saja tidak maju. Karena, kendala administratif dimaksud. Misalnya, menggunakan ijazah palsu, dan lain-lain. Pada masa ini (prapencoblosan), masyarakat juga mesti mengetahui rekam jejak caleg-caleg yang maju. Lihat, nilai, cermati, kritisi, dan ―kuliti‖ seluruh caleg yang mencalonkan. Dengan demikian, pemilih akan tahu kejujuran, kebersihan, keterbukaan, tanggung jawab, pendidikan, wawasan, kemampuan, kualitas, pengalaman, dan keterampilan mereka. Pada akhirnya, masyarakat tidak salah pilih. Lebih dari itu, tidak mudah terbius oleh janji-janji semu yang tidak terukur dan keluar dari tugas, kedudukan, dan fungsi DPR. Juga, saat diiming-imingi kepentingan pragmatis (sesaat) melalui politik uang, barang, dan praktik pembodohan politik lainnya. Lagilagi, masyarakat yang jadi penilai dan pemutus. Jangan sampai salah pilih lagi. Lalu, apakah setelah pencoblosan kewajiban masyarakat selesai? Masih ada satu tahapan lagi, yaitu paskapencoblosan (pemilu). Masyarakat sebaiknya terus memantau dan mengawal suara yang sudah dicobloskan. Tidak menutup kemungkinan, suara yang diberikan lari kemana-mana. Karena, besarnya kepentingan. Tak menutup kemungkinan pula, terjadi kecurangan dan ketidakindependenan dalam penyelenggaraan pemilu mendatang. Karenanya, semua pihak mesti terus mengawasi pelaksanaan pemilu legislatif tersebut. Setelah penetapan dan pelantikan, masyarakat beserta akademisi, mahasiswa, pers, LSM, dan elemen sipil lainnya harus tetap dan terus mengontrol sekaligus mengevaluasi kinerja wakil-wakil mereka di parlemen. Kalau kinerjanya kurang, harus diingatkan. Bila perlu, minta untuk diganti. Sayangnya, aturan yang masih berlaku sekarang party recall, bukan
constituent recall. Maksudnya, hanya partai yang bisa memPAW-kan, memecat atau mengganti anggotanya di parlemen, bukan konstituen. Tidak mustahil, dalam proses perbaikan kepemiluan di Indonesia, nantinya pelaksanaan constituent recall bisa terwujud. Pun demikian, mesti didorong oleh semua pihak. Saat bersamaan, kekurangan-kekurangan praktik berdemokrasi yang ada mesti terus dibenahi. Dengan begitu, selain jadi pemilih aktif, masyarakat bakal jadi pemilih yang berdaulat, bermartabat, dan punya harga diri. Sebaliknya, anggota dewan harus pula (tetap) memperhatikan dan menyuarakan aspirasi dan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi, keluarga, partai, dan kelompoknya. Dengan demikian, masyarakat akan merasakan keberadaan dan kemanfaatan anggota dewan. Apalagi, yang berhubungan dengan kedudukan, fungsi, dan kewajiban kedewanannya. Termasuk, ketauladanannya. Disamping itu, kepercayaan publik dapat memulih, pelan-pelan. Dengan demikian, ―kecintaan‖ kepada anggota dewan dan lembaga ini pun dapat tumbuh dan ―mekar.‖ *Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah Sumber: Rumah Baca Taqwa http://rumahbacataqwa.com/2013/09/19/memaknai-apatisme/ (20/9/2013)
Memberatkan Syarat Nyaleg Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni* 6-15 April 2013 lalu, Anggota DPR-RI, DPD-RI, dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan pelbagai latar profesi dan keilmuan mulai mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, tercatat 450 calon anggota legislatif (caleg) yang maju di empat Dapil berbeda. Jumlah tersebut pastinya lebih banyak. Karena, di luar pendaftaran dan penyeleksian awal di internal partai politik. Alhasil, ada yang diusung dan sebaliknya. Termasuk, pada masa verifikasi, 16 April-30 Juni 2013. Juga, saat uji baca al-Quran— syarat khusus caleg di Propinsi Aceh—dimana ada 80 caleg yang tidak lulus, karena dianggap tidak mampu membaca alQuran. Dengan demikian, mesti dilakukan penggantian. Otomatis, jumlahnya lebih dari catatan tersebut. Pertanyaannya, kenapa begitu banyak yang mendaftarkan diri jadi calon anggota legislatif? Seolah, seperti ―eufuria‖ atau ―ajang pencarian bakat.‖. Terlepas dari berbagai niat, motivasi, maksud, dan tujuan, tulisan ini khusus membedah syarat nyaleg dari kacamata undang-undang. Dalam UU No 8/2012, BAB VII, bagian kesatu tentang Persyaratan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, pasal 51 disebutkan bahwa syarat bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang memenuhi persyaratan, diantaranya: (1) Telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih; (2) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (3) Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; (4) Cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; (5) Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau pendidikan lain yang sederajat; (6) Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; (7) Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; (8) Sehat jasmani dan rohani; (9) Terdaftar sebagai pemilih; (10) Bersedia bekerja penuh waktu; (11) Mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali; (12) Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (13) Bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara; (14) Menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu; (15) Dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; (16) Dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan; dan (17) Mampu membaca al-Quran bagi caleg-caleg yang maju di Propinsi Aceh. Caleg Berkualitas Di sinilah akar persoalannya. Penulis, menilai, syarat nyaleg tersebut terlalu ringan. Walhasil, siapapun bisa nyaleg. Persoalan nyaleg memang hak personal seseorang. Dalam arti, siapa pun bisa mencalonkan dan dicalonkan. Melihat syarat
demikian, akan sangat sulit menghasilkan caleg yang berintegritas, kompeten, dan berkualitas. Cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia, misalnya, tidak ada parameternya sama sekali. Kalau dalam bahasa Inggris, ada tes Test of English as a Foreign Language (TOEFL). Nilai TOEFL ini yang kemudian dijadikan rujukan saat seseorang melamar beasiswa S-2 dan S-3 atau melamar suatu pekerjaan. Sementara, dalam pencalegan ini, tidak ada sama sekali. Sebalinya, hanya bersifat normatif-formalitas. Kalau parameter tadi disertakan, bisa jadi, bakal banyak yang terganjal pencalegannya. Sebagai contoh, cakap menulis. Tulisan-tulisan caleg di media cetak atau online, jurnal ilmiah, makalah, atau dalam bentuk buku turut disertakan dalam berkas pencalegan. Kalau seperti itu—perkiraan penulis, kurang dari 10% caleg-caleg di Aceh Tengah yang bisa mendaftar. Artinya, hanya 45 orang. Bahkan, kurang. Karena, tidak cakap menulis. Belum lagi, kalau syarat menulis tersebut diberatkan lagi. Kemungkinan, lebih sedikit lagi yang bisa nyaleg. Di lain pihak, kalau syarat itu dipenuhi—tak menutup kemungkinan, bakal lahir makelar-makelar tulisan. Ujung-ujungnya, duit yang bermain (transaksional). Di situ, uang yang dikedepankan. Dengan (kekuatan) uang, seolah ―apa saja bisa dibeli‖ dan ―dikondisikan.‖ Di syarat lainnya, berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau pendidikan lain yang sederajat. Selayaknya, kalau lembaga ini (parlemen) ingin berwibawa dan anggotanya pun berkualitas, pendidikan minimal caleg harus S-1. Pendidikan memang bukan ukuran. Namun, pendidikan ikut menentukan kualitas seseorang. Apalagi, seorang wakil rakyat. Mereka harus lebih dari konstituennya. Pasalnya, mereka adalah pejabat publik. Lisan, laku, dan perbuatannya akan ditauladani banyak pihak. Lebih-lebih, konstituennya.
Kalau wawasan, keilmuan, kemampuan, dan kualitasnya di bawah rata-rata, termasuk di bawah eksekutif— yang berpendidikan rata-rata S-1, dan mulai S-2 serta S-3, bagaimana mungkin mereka mampu menjalakan fungsinya dengan baik? Apalagi, tidak cakap dalam menyampaikan pelbagai persoalan dan aspirasi dari masyarakat (tidak cakap berbicara—tidak memiliki language skill sama sekali). Apa yang mau disampaikannya di gedung dewan tersebut? Akhirnya, mereka sekedar datang, duduk, dengar, dan diam atau jadi anggota dewan D-4. Akhir bulan, mengambil gaji. Mereka ibarat ―benalu‖ yang menggerogoti APBK. Lagi-lagi, masyarakat yang korban. Saat yang sama, mereka kemungkinan bermain proyek sebelum, saat, dan setelah pengesahan APBK. Minimal, mengharapkan fee atau dana aspirasi. Tujuannya, untuk mengembalikan biaya ―hutang‖ politik dan memperkaya diri. Pasalnya, pendekatan money politics—bagi-bagi uang dan barang—yang dipakai dalam meraih kursi dewan. Sebetulnya, masih ada upaya untuk menghasilkan caleg yang berintegritas, mampu, dan berkualitas, yaitu melalui partai politik. Partai politik yang harus betul-betul menyeleksi caloncalon anggota legislatif yang ideal. Terutama, saat rekrutmen awal pencalegan. Sayangnya, rekrutmen ideal itu tidak sepenuhnya berjalan di internal partai. Tak jarang, partai politik lebih mengedepankan pemodal dan yang berkuasa. Di internal partai pun, saling sikut-sikutan dan saling menjatuhkan (―kanibalisasi‖). Lagi-lagi, uang ―yang bicara.‖ Politik transaksional dikedepankan. Jadi, jangan berharap banyak kalau caleg-caleg yang diusung punya kemampuan, kualitas, dan standar ideal lainnya. Karena, ringannya undang-undang, peraturan, ketentuan, dan kurangnya itikad memperbaiki dan memajukan proses kepemiluan dan demokrasi di tataran lokal dari (pengurus) partai politik itu sendiri.
Lagi-lagi, masyarakatlah yang jadi penentu. Masyarakatlah yang mesti mengakhiri caleg-caleg demikian. Jangan salah pilih lagi. Lihat, nilai, cermati, kritisi, dan ―kuliti‖ seluruh caleg yang mencalonkan (―kebersihan,‖ kejujuran, keterbukaan, keamanahan, tanggung jawab, ilmu, wawasan, kualitas, kemampuan, dan keterampilannya) . Pada akhirnya, yang terpilih betul-betul caleg, bukan caleg-calegan. *Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah/Jaringan Masyarakat Pemilih Cerdas Sumber: Tabloid Gayo Post, 27 September 2013
Ruang Publik Bebas Alat Peraga Kampaye Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni* Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan Peraturan KPU No 15 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan KPU Nomor 01 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampaye Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, tanggal 22 Agustus 2013 lalu. Melalui penetapan ini, diharapkan akan ada fairness dan keadilan. Pastinya, tidak didominasi calon-calon petahana, calon bermodal atau yang berafiliasi dengan para bosisme lokal (meminjam istilah Boni Hargens). Tak hanya itu, pemberlakuan peraturan ini akan mengurangi pengotoran ruang publik. Bahkan, ikut menyelamatkan pengguna jalan dan tidak menganggu pengguna tempat-tempat publik lainnya. Pasal 17 ayat 1 tentang pemasangan alat peraga di tempat umum, huruf (a), misalnya, disebutkan, alat peraga kampaye tidak ditempatkan pada tempat ibadah, rumah sakit atau tempat-tempat pelayanan kesehatan, gedung milih pemerintah, lembaga pendidikan (gedung dan sekolah), jalan-jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, taman dan pepohonan. Sementara itu, ketentuan prihal pemasangan alat peraga diatur dalam huruf (b), yaitu: (1). baleho atau papan reklame (billboard) hanya diperuntukan bagi Partai Politik 1 (satu) unit untuk 1 (satu) desa/kelurahan atau nama lainnya memuat informasi nomor dan tanda gambar Partai Politik dan/atau visi, misi, program, jargon, foto pengurus Partai Politik yang bukan Calon Anggota DPR dan DPRD; (2) Calon Anggota DPD dapat memasang baleho atau papan reklame (billboard) 1 (satu) unit untuk 1 (satu) desa/kelurahan atau nama lainnya; (3). Bendera dan umbul-umbul hanya dapat dipasang oleh Partai Politik dan calong Anggota DPD pada zona atau wilayah yang ditetapkan KPU, KPU/KIP Provinsi, dan atau
KPU/KIP Kabupaten/Kota bersama Pemerintah Daerah; (4). Spanduk dapat dipasang oleh Partai Politik dan Calon Anggota DPR, DPD dan DPRD dengan ukuran maksimal 1,5 x 7 meter hanya 1 (satu) unit pada 1 (satu) zona atau wilayah yang ditetapkan oleh KPU, KPU/KIP Provinsi, dan atau KPU/KIP Kabupaten/Kota. Yang jadi permasalahan, apakah peraturan ini dapat berjalan dengan baik, benar, dan sesuai seperti yang diundangkan (mulai berlaku sejak tanggal 27 September 2013)? Bukan rahasia umum lagi, di Indonesia, pelbagai undangundang, peraturan, dan ketentuan seringkali dibuat untuk dilanggar. Namun, willing dan upaya perbaikan pelaksanaan pemilu dari KPU mesti dihargai. Disamping itu, kita mesti tetap optimis terkait pelaksanaan peraturan ini. Berkenaan dengan pelaksanaan peraturan ini, khususnya di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, pertama: Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Tengah harus segera mensosialisasikan peraturan itu kepada partai politik, caleg, seluruh jajarannya, dan semua pihak terkait. Alhasil, semua pihak bisa tahu dan terlibat langsung dalam pengawasannya. Sebagai akibatnya, kalau ada pelanggaran, serta merta bisa dilaporkan dan segera diselesaikan. Kedua, KIP Aceh Tengah, Panitia Pemilih Kecamatan (PPK), dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) harus segera berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, pemerintah kecamatan, dan pemerintah kampung (desa)/kelurahan untuk menetapkan lokasi pemasangan alat peraga tersebut. Walhasil, pelaksanaannya bisa berjalan dengan cepat. Apalagi, sudah mulai diberlakukan. Di pihak lain, caleg pun bisa sesegera mungkin memasang alat peraganya— walaupun jauh hari ada yang sudah memasangnya. Meski bukan satu-satu sarana pengenalan diri, masyarakat diharapkan dapat mengenal calon wakil-wakil rakyatnya dengan baik. Terutama,
rekam jejak (track record) yang bersangkutan. Lebih khusus lagi, program yang akan dijalankannya saat duduk di kursi parlemen. Peran Panwaslu? Di lain pihak, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Aceh Tengah harus benar-benar mengawasi keberjalanan peraturan ini. Oleh karena itu, diperlukan willing yang kuat, inisiatif, keaktifan, dan progresivitas kerja Panwaslu di lapangan. Panwaslu diharapkan tidak menunggu pelbagai laporan pelanggaran terlebih dahulu. Sebaliknya, langsung turun dan menindak caleg-caleg pelanggar ―menjembut bola.‖ Lebih khusus lagi, secepatnya merekomendasikan Pemkab Aceh Tengah dan aparat keamanan untuk segera membersihkan ruang publik dan seluruh kampung di Takengon dari alat peraga ini (spanduk dan baleho). Pasalnya—seperti disinggung, peraturan ini sudah mulai diberlakukan. Hasilnya, bisa berjalan efektif dan maksimal. Selain Panwaslu, pengawasan dari semua pihak menjadi keharusan. Apalagi, dari media, akademisi, tokoh agama/masyarakat, mahasiswa, LSM, dan elemen sipil lainnya. Dengan begitu, proses pileg di Takengon dapat berjalan dengan baik, benar, lancar, dan sesuai aturan Yang tidak kalah penting adalah penegakan sanksi, yaitu berupa pencabutan atau pemindahan atribut caleg. Mestinya, pemberian sanksi ini ―lebih keras‖ lagi. Dengan begitu, caleg—calon presiden/wakil presiden dan calon kepala daerah—―tidak sesuka hati,‖ bisa disipin, dan menunjukkan suri tauladan yang baik. Karena sudah diberlakukan, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dan aparat keamanan—dengan rekomendasi
Panwaslu—dapat dengan segara mencabut alat peraga yang bertebaran di perbagai tempat di Takengon. Bahkan, upaya pembersihan itu bisa langsung dilakukan masyarakat itu sendiri. Seperti disebutkan, spanduk dan baleho itu bukan hanya mengotori ruang publik, merusak lingkungan, melainkan mengganggu kenyamaman dan keselamatan pengguna jalan dan penikmat ruang publik di Takengon. Lagi-lagi, terlepas dari kekurangan peraturan tersebut dan lemahnya sanksi yang diberikan, diperlukan willing serta upaya nyata dan sungguhsungguh dari semua pihak, khususnya pihak-pihak terkait.
*Penggagas Jaringan Masyarakat Pemilih Cerdas Sumber: www.lintasgayo.co (27 September 2013)
Orang Gayo Berpikir dengan Otak dan Sertakan Hati Nurani Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
"Orang Gayo punya cara berfikir berbeda dengan kosakata secara umum. Urang Gayo berfikir dengan hati," kata Penyusun silsilah Gayo, Kurnia Item Teganing atau biasa disapa Aman Peteri Punce kepada ATJEHPOSTcom di Banda Aceh, Rabu 4 September 2013 (Atjeh Post, 4/9/2013). Pada dasarnya, orang (masyarakat) Gayo tetap menggunakan otak atau logika dalam berpikir, seperti suku lain kebanyakan. Hanya saja, mereka ikut menyertakan rasa atau hati nurani. Karenanya, muncul pelbagai ungkap berbahasa yang merujuk pada rasa (rasa) atau ate (hati). Misalnya, sok nate (dugaan), anger nate (kegelisahan), kene ate (kata hati), deme ku ate (rasakan dengan hati), uwes nate (sedih hati), pes nate (tega), simehate (pilihan hati), man ate (makan hati), pikir natemu (pikiran hatimu), dan lain-lain. Dalam konteks berpikir (berlogika atau ―berfilsafat‖) tadi, sehingga muncul istilah kurasa ‗saya rasa‘ (bukan “ku pikir” atau “ku ate”). Kenapa kata rasa yang digunakan? Kenapa bukan pikir atau ate? Di sini—seperti disebutkan, bukan berarti orang Gayo tidak memiliki otak atau tidak menggunakan logika (akal sehat) dalam berpikir, tetap memakai otak. Seperti istilah rasa, pikir, dan ate tersebut; dalam bahasa Aceh dikenal istilah teurimenggeunaseh atau teurimenggaseh. Kata ini merupakan serapan dari bahasa Indonesia, yang berarti ‗terima kasih.‘ Dan, tidak istilah khusus yang merujuk kepada kata terima kasih dalam bahasa Aceh. Dalam hal ini, tidak berarti orang (suku) Aceh tidak tahu berterima kasih, tapi pengungkapannya, lain. Biasanya, diungkapkan melalui kata alhamdulillah. Kebalikannya, orang
Gayo tahu diri dan tahu terima kasih. Sebab, ada ungkapan berijin (terima kasih) dalam bahasa Gayo. Pengaruh geografis pegunungan dengan pesona keindahan alamnya ikut memengaruhi cara dan konstruksi berbahasa orang Gayo. Alhasil, mereka cenderung lebih halus, lembut, ―indah,‖ dan tidak langsung (memakai tamsil ibarat) dalam berbahasa. Sebaliknya, masyarakat pesisir di Aceh ―lebih kasar‖ dalam penyampaiannya. Karena, mereka tinggal di pesisir pantai. Penggunaan bahasa demikian—halus, lembut, ―indah,‖ dan tidak langsung—juga turut memengaruhi aktivitas kebudayaan mereka. Salah satunya, dalam tradisi lisan. Masyarakat Gayo memiliki sepuluh sastra lisan, yaitu didong, kekeberen, kekitiken, melengkan, pantun, peribahasa, saer, sebuku, tep onem, dan ure-ure (al-Gayoni, 2010: 2). Model atau konstruksi berbahasa seperti tadi terkandung dalam keselupuh sastra lisan tersebut. Karenanya, daerah ini (Gayo) dikenal sebagai ladang ―sumber‖ seni, budaya, dan sejarah di Aceh. Meski menggunakan bahasa yang halus, lembut, ―indah,‖ dan tidak langsung dengan puitis-estetis, tapi orang Gayo bukanlah ―masyarakat penghayal.‖ Dalam arti, asyik berpuisi atau bersastra lisan, pasif, dan pasrah menerima hidup. Sebaliknya, mereka tife masyarakat pekerja keras, tidak suka mengeluh, dan apalagi sampai meminta-minta. Hal itu dibuktikan dari konstruksi berbahasa mereka yang banyak mengandung verba. Verba dimaknai sebagai upaya, aksi, kerja keras, lebih, berprestasi, dan jadi yang terbaik (kemel dan besikelemen). Akan tetapi, mereka tetap bersyukur dan melihat sisi lain ―positif‖ dari setiap kejadian dan ujian yang menimpanya. Sebagai contoh, gempa tektonik 6,2 SR, 2 Juli 2013 lalu. Ada banyak pelajaran dan hikmah di balik gempa masif dan desktruktif sepanjang sejarah Gayo itu. Misalnya, adanya upaya penguatan pendidikan gempa, manajemen bencana yang baik dan benar, pembangunan perumahan dan infrastruktur tahan
gempa, blue print pembangunan daerah Gayo secara keseluruhan yang disertakan dengan peta kerawanan bencana di Aceh, dan lain-lain. Dalam politik juga demikian. Pun tetap menggunakan rasa atau hati nurani ―ruang Tuhan dalam hati,‖ namun mereka (orang Gayo) tetap menggunakan logika atau akal sehat dalam memilih presiden/wakil presiden, bupati/wakil bupati, calon anggota legislatif (caleg), dan calon anggota DPD ―senator.‖ Termasuk, dalam menilai, mencermati sekaligus mengkritisi visi misi dan program yang diajukan. Apakah benar atau tidak; masuk akal atau tidak (terukur dan tidak terukur)?; selain pertimbangan rekam jejak (track record). Oleh sebab itu, di Gayo, tidak berlaku fatwa atau garis komando dari tokoh atau partai tertentu. Saat direkomendasikan untuk memilih calon A; kenyataannya, belum tentu dipilih. Karena, mereka tetap menggunakan akal sehat dan pertimbangan hati nurani tadi. Tetapi, harus diakui pula bahwa terjadi pergeseran nilai dalam memilih pemimpin, caleg, dan senator dalam masyarakat Gayo. Terutama, sejak pemilu langsung digelar. Politik uang mulai merusak tatanan nilai yang ada dalam masyarakat tersebut, namun masih perlu dikuantitatifkan secara keangkaan. Di sisi lain, memang pendidikan politik di tengah-tengah masyarakat masih lemah.
*Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah (Pengkaji Bahasa/Ekolinguistik) Sumber: www.atjehtoday.com (29 September 2013) http://www.atjehtoday.com/article.php?art_id=710
Kampaye (Politik) Ramah Lingkungan Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni* Pemilu legislatif (pileg) tinggal tujuh bulan lagi. Namun, ―eufuria‖ pileg kian terasa. Terutama, dari partai politik, elite politik, dan caleg yang maju. Meskipun belum dimulai secara resmi, tapi para calon wakil rakyat itu sudah mulai berkampaye dini. Khususnya, paskapendaptaran ke KPU, April lalu. Salah satunya, melalui pemasangan alat peraga kampaye: spanduk, baleho atau billboard. Alat peraga itu memenuhi ruang-ruang publik. Utamanya, di badan-badan jalan. Tujuannya, agar bisa terlihat dan menarik perhatian masyarakat. Lebih khusus lagi, pengguna jalan. Dalam Pasal 1 ayat (1) huruf (a) Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan KPU Nomor 01 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampaye Pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPDRD disebutkan bahwa alat peraga kampaye tidak ditempatkan pada tempat ibadah, rumah sakit atau tempat-tempat pelayanan kesehatan, gedung milik pemerintah, lembaga pendidikan (gedung dan sekolah), jalan-jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, taman dan pepohonan. Merujuk pada aturan tersebut, apa yang dilakukan caleg—memasang alat peraga sudah melanggar aturan. Sayangnnya, saat pendaftaran, aturan ini belum ditetapkan. Bahkan, baru diundangkan pada tanggal 27 Agustus 2013. Dan, baru berlakukan sebulan setelahnya, 27 September 2013. Para caleg pun kemudian memainkan celah tersebut. Pada akhirnya, mereka memasang alat peraganya di ruang-ruang publik. Penempatan alat peraga di jalan-jalan trotoar dan jalan bebas hambatan, misalnya, selain mengganggu kenyamanan serta keselamatan pengguna jalan, ikut menyampahi ruang visual publik. Apalagi, baleho atau billboard yang berukuran besar. Sewaktu-waktu, bisa membahayakan pengguna jalan. Termasuk, memacetkan jalan saat jatuh di badan jalan. Dengan
demikian, ikut merugikan pengendara mobil dan sepeda motor, secara ekonomi. Oleh sebab itu, caleg (termasuk calon senator) diharapkan ikut menjaga kebersihan ruang visual publik. Termasuk, menjaga kenyamanan dan keamanan pengguna jalan. Di sisi lain, mereka sudah semestinya menggunakan alat-alat peraga kampaye yang ramah lingkungan. Dan, tidak merusak lingkungan. Misalnya, dengan tidak memotong kayu dan merusak tumbuhan lainnya sembarangan. Pasalnya, tumbuhan itu juga punya hak untuk hidup. Kalau sampai mati, perlu waktu lama lagi untuk untuk menumbuhkembangkannya. Contoh lainnya, tidak sesuka hati ―ugal-ugalan‖ dalam menggunakan jalan raya. Apalagi, saat kampaye terbuka dengan pengerahan massa. Lebih-lebih, sampai bertindak anarkis dengan merusak fasilitas-fasilitas publik dan mengancam nyanya seseorang. Seperti disebutkan, dampak alat peraga itu tidak hanya membuat ketidaknyamanan, tapi ikut membayakan keselamatan pengguna jalan atau pengguna fasilitas publik lainnya. Bahkan, berdampak pada ekonomi. Kemungkinan yang lebih buruk, bisa menyulut konflik horizontal dan bahkan konflik vertikal. Di situ, perlu kesadaran dan ketaudaladan penjagaan lingkungan dari para caleg. Sebagai calon tokoh publik yang lisan, laku, dan tindakan mereka bakal dicontoh, sudah sepatutnya mereka (caleg) memberikan contoh-contoh yang baik, beretika, bermoral, benar, dan sesuai aturan. Jangan karena syahwat pribadi untuk mendapatkan kekuasaan, sampai-sampai merugikan orang lain. Sebaliknya, saling memahami dan menghargai satu sama lain. Selain itu, sudah saatnya caleg memulai kampaye yang cerdas, santun, beretika, dan mencerdaskan. Tak hanya itu, mengajak masyarakat berdilog. Saat yang bersamaan, menyampaikan program-program kedewanan, visi-misi, dan menguatkan pendidikan politik lainnya.
Di lain pihak, masyarakatlah—termasuk penggiat lingkungan—yang jadi penilai. Apakah caleg-caleg seperti itu pantas untuk dipilih? Kalau tidak, masyarat yang mesti mengakhirinya (dengan tidak memilihnya). Juga, ikut membersihkan atribut kampaye yang sudah menyampahi ruangruang publik. Menegakkan aturan Berkenaan dengan Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2013 tersebut, pertama: Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus segera mensosialisasikan peraturan itu kepada partai politik, caleg, seluruh jajarannya, dan semua pihak terkait. Terutama, di tingkatan daerah. Hasilnya, semua pihak bisa tahu, terlibat, dan ikut langsung dalam pengawasannya. Pun ada pelanggaran, bisa dengan segera ditindaklanjuti dan diselesaikan. Kedua, KPU, Panitia Pemilih Kecamatan (PPK), dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) harus berkoordinasi secepatnya dengan pemerintah daerah sampai pemerintah desa/kelurahan untuk menetapkan lokasi pemasangan alat peraga tersebut. Apalagi, peraturan ini sudah mulai diberlakukan. Dengan begitu, mesti cepat dilaksanakan. Pada akhirnya, caleg-caleg pun bisa dengan leluasa memasang alat peraganya, tidak menyampahi ruang visual publik, dan tidak melanggar peraturan. Ketiga, Badan/Panitia Pengawas Pemilu harus benarbenar mengawasi pelaksanaan dan keberjalanan peraturan ini. Karenanya, diperlukan willing yang kuat, inisiatif, keaktifan, progresivitas, kerja cerdas, dan kerja keras lembaga ini di lapangan. Dalam hal ini, mereka diharapkan tidak menunggu bola. Dengan kata lain, tidak menunggu pelbagai laporan pelanggaran terlebih dahulu. Sebaliknya, harus ―menjemput bola,‖ yaitu dengan turun langsung dan menindak caleg-caleg pelanggar.‖ Juga, secepatnya merekomendasikan pemerintah daerah dan aparat keamanan untuk membersihkan ruang publik dari alat peraga ini (spanduk dan baleho).
Karena aturan ini sudah mulai diberlakukan, sudah jadi keharusan pihak-pihak terkait untuk melaksanakannya. Jangan sampai aturan ini hanya formalitas, menghabiskan anggaran, tidak berdampak perbaikan dan perubahan terhadap proses pelaksanaan pileg dan demokrasi, berefek jera terhadap calegcaleg pelanggar, serta ―memang dibuat untuk dilanggar.‖ Pengawasan semua pihak Selain Panwaslu, sangat diperkulan pengawasan dari semua pihak. Lebih-lebih, dari media, akademisi, tokoh agama/masyarakat, mahasiswa, LSM, dan elemen sipil lainnya. Sebagai akibatnya, pelaksanaan pileg bisa berjalan dengan baik, benar, lancar, dan sesuai aturan Yang tidak kalah penting adalah penegakan sanksi, yaitu berupa pencabutan atau pemindahan atribut caleg. Mestinya, pemberian sanksi ini ―lebih keras‖ lagi. Diharapkan ada efek jera bagi caleg-caleg pelanggar. Jadi, caleg—tambah calon presiden/wakil presiden dan calon kepala daerah— pun ―tidak sesuka hati,‖ bisa disipin, dan menunjukkan suri tauladan yang baik kepada publik. Pada akhirnya, ada pembenahan, progress, dan kualitas pelaksanaan pemilu serta demokrasi kita pun semakin sehat dan baik. Selanjutnya, pemerintah daerah—propinsi dan kabupaten/kota—dengan rekomendasi ban/panwaslu— diharapkan bisa dengan segera mencabut alat peraga yang bertebaran di ruang-ruang publik. Dengan kata lain, yang melanggar aturan dimaksud. Kalau ternyata penyelenggara dan aturan ini tidak berjalan, maka kembali lagi ke masyarakat. Masyarakat sebagai penilai dan ―pembersih terakhir‖ alat peraga tersebut. Masyarakatlah yang mesti mengakhirnya. Sebab, masyarakatlah sesungguhnya yang punya kedaulatan. *Penggagas/Direktur Jaringan Masyarakat Pemilih Cerdas Sumber http://lintasgayo.co/2013/10/07/kampanye-politikramah-lingkungan (7 Oktober 2013)
Orang Gayo Berpikir dengan Otak dan Sertakan Hati Nurani Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
"Orang Gayo punya cara berfikir berbeda dengan kosakata secara umum. Urang Gayo berfikir dengan hati," kata Penyusun silsilah Gayo, Kurnia Item Teganing atau biasa disapa Aman Peteri Punce kepada ATJEHPOSTcom di Banda Aceh, Rabu 4 September 2013 (Atjeh Post, 4/9/2013). Pada dasarnya, orang (masyarakat) Gayo tetap menggunakan otak atau logika dalam berpikir, seperti suku lain kebanyakan. Hanya saja, mereka ikut menyertakan rasa atau hati nurani. Karenanya, muncul pelbagai ungkap berbahasa yang merujuk pada rasa (rasa) atau ate (hati). Misalnya, sok nate (dugaan), anger nate (kegelisahan), kene ate (kata hati), deme ku ate (rasakan dengan hati), uwes nate (sedih hati), pes nate (tega), simehate (pilihan hati), man ate (makan hati), pikir natemu (pikiran hatimu), dan lain-lain. Dalam konteks berpikir (berlogika atau ―berfilsafat‖) tadi, sehingga muncul istilah kurasa ‗saya rasa‘ (bukan “ku pikir” atau “ku ate”). Kenapa kata rasa yang digunakan? Kenapa bukan pikir atau ate? Di sini—seperti disebutkan, bukan berarti orang Gayo tidak memiliki otak atau tidak menggunakan logika (akal sehat) dalam berpikir, tetap memakai otak. Seperti istilah rasa, pikir, dan ate tersebut; dalam bahasa Aceh dikenal istilah teurimenggeunaseh atau teurimenggaseh. Kata ini merupakan serapan dari bahasa Indonesia, yang berarti ‗terima kasih.‘ Dan, tidak istilah khusus yang merujuk kepada kata terima kasih dalam bahasa Aceh. Dalam hal ini, tidak berarti orang (suku) Aceh tidak tahu berterima kasih, tapi pengungkapannya, lain. Biasanya,
diungkapkan melalui kata alhamdulillah. Kebalikannya, orang Gayo tahu diri dan tahu terima kasih. Sebab, ada ungkapan berijin (terima kasih) dalam bahasa Gayo. Pengaruh geografis pegunungan dengan pesona keindahan alamnya ikut memengaruhi cara dan konstruksi berbahasa orang Gayo. Alhasil, mereka cenderung lebih halus, lembut, ―indah,‖ dan tidak langsung (memakai tamsil ibarat) dalam berbahasa. Sebaliknya, masyarakat pesisir di Aceh ―lebih kasar‖ dalam penyampaiannya. Karena, mereka tinggal di pesisir pantai. Penggunaan bahasa demikian—halus, lembut, ―indah,‖ dan tidak langsung—juga turut memengaruhi aktivitas kebudayaan mereka. Salah satunya, dalam tradisi lisan. Masyarakat Gayo memiliki sepuluh sastra lisan, yaitu didong, kekeberen, kekitiken, melengkan, pantun, peribahasa, saer, sebuku, tep onem, dan ure-ure (al-Gayoni, 2010: 2). Model atau konstruksi berbahasa seperti tadi terkandung dalam keselupuh sastra lisan tersebut. Karenanya, daerah ini (Gayo) dikenal sebagai ladang ―sumber‖ seni, budaya, dan sejarah di Aceh. Meski menggunakan bahasa yang halus, lembut, ―indah,‖ dan tidak langsung dengan puitis-estetis, tapi orang Gayo bukanlah ―masyarakat penghayal.‖ Dalam arti, asyik berpuisi atau bersastra lisan, pasif, dan pasrah menerima hidup. Sebaliknya, mereka tife masyarakat pekerja keras, tidak suka mengeluh, dan apalagi sampai meminta-minta. Hal itu dibuktikan dari konstruksi berbahasa mereka yang banyak mengandung verba. Verba dimaknai sebagai upaya, aksi, kerja keras, lebih, berprestasi, dan jadi yang terbaik (kemel dan besikelemen). Akan tetapi, mereka tetap bersyukur dan melihat sisi lain ―positif‖ dari setiap kejadian dan ujian yang menimpanya. Sebagai contoh, gempa tektonik 6,2 SR, 2 Juli 2013 lalu. Ada banyak pelajaran dan hikmah di balik gempa masif dan desktruktif sepanjang sejarah Gayo itu. Misalnya, adanya upaya penguatan pendidikan gempa, manajemen bencana yang baik
dan benar, pembangunan perumahan dan infrastruktur tahan gempa, blue print pembangunan daerah Gayo secara keseluruhan yang disertakan dengan peta kerawanan bencana di Aceh, dan lain-lain. Dalam politik juga demikian. Pun tetap menggunakan rasa atau hati nurani ―ruang Tuhan dalam hati,‖ namun mereka (orang Gayo) tetap menggunakan logika atau akal sehat dalam memilih presiden/wakil presiden, bupati/wakil bupati, calon anggota legislatif (caleg), dan calon anggota DPD ―senator.‖ Termasuk, dalam menilai, mencermati sekaligus mengkritisi visi misi dan program yang diajukan. Apakah benar atau tidak; masuk akal atau tidak (terukur dan tidak terukur)?; selain pertimbangan rekam jejak (track record). Oleh sebab itu, di Gayo, tidak berlaku fatwa atau garis komando dari tokoh atau partai tertentu. Saat direkomendasikan untuk memilih calon A; kenyataannya, belum tentu dipilih. Karena, mereka tetap menggunakan akal sehat dan pertimbangan hati nurani tadi. Tetapi, harus diakui pula bahwa terjadi pergeseran nilai dalam memilih pemimpin, caleg, dan senator dalam masyarakat Gayo. Terutama, sejak pemilu langsung digelar. Politik uang mulai merusak tatanan nilai yang ada dalam masyarakat tersebut, namun masih perlu dikuantitatifkan secara keangkaan. Di sisi lain, memang pendidikan politik di tengah-tengah masyarakat masih lemah. *Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah (Pengkaji Bahasa/Ekolinguistik)
“Anggota Dewan D4” Yusradi Usman al-Gayoni* Lemahnya kapasitas personal dan kinerja kolektif anggota dewan selalu saja dikeluhkan masyarakat. Indikatornya, misalnya, bisa dilihat ari kurangnya produk legislasi yang dihasilkan, pengawasan terhadap roda pemerintahan, dan fostur anggaran yang berorientasi pada perkembangan serta kemajuan masyarakat. Bahkan, ada anggota dewan yang sebatas datang, duduk, dengar, dan diam atau ―Anggota Dewan D4.‖ Akhirnya, image lembaga ini pun makin buruk di mata publik. Akan tetapi, saat berinteraksi dengan masyarakat atau konstituen mereka, seolah-olah mereka paham betul fungsi, tugas, dan kedudukan. Dengan menjaga wibawa dan image, mereka seakan-seakan sudah menjalankan tugas kedewanannya dengan baik, benar, dan maksimal. Padahal, kinerja mereka ―tidak lebih‖ dari D4 tadi. Pada awal bulan, mereka mengambil gaji sebagai kompensasi terhadap keberadaan mereka di parlemen. Di luar itu, mereka kemungkinan berproyek. Minimal, mengharapkan fee, dana aspirasi. Juga, mengupayakan uang masuk lainnya melalui kegiatan pengawasan, penyusunan legislasi (perda—qanun), dan melalui pengesahan anggaran. Tujuannya, untuk mengembalikan biaya politik yang sudah keluar saat pencalegan. Lebih dari itu, memperkaya ―mensejahterakan‖ diri, keluarga, partai, dan kelompoknya. Selanjutnya, menyiapkan modal untuk kembali nyaleg pada periode berikutnya. Sementara itu, uang rakyat ―terbuang percuma,‖ untuk menggaji mereka. Ironisnya, tidak ada keterbukaan dan pertanggungjawaban yang dibangun. Rakyat tak ubahnya seperti anak yatim piatu. Pemimpin dan wakil mereka seringkali absen. Suara yang diberikan jadi legitimasi untuk berbuat ―sesuka hati.‖ Termasuk, melupakan masyarakat yang notabene telah mengantarkan mereka ke kursi dewan dan istana ―pendopo.‖
Hal itu makin meningkatkan kekecewaan, ketidakpercayaan, dan keapatisan masyarakat. Mereka baru hadir kembali dekat-dekat pemilu. Pada tahap ini, anggota dewan dan caleg-caleg—pun tidak semuanya—seperti orang yang paling saleh, dermawan, dekat dengan rakyat, dan tahu ―menguasai‖ banyak hal. Semestinya, dengan gaji dan fasilitas pendukung yang diterimanya, kinerja mereka tambah baik dan terjadi peningkatan. Ternyata, tidak. Malah, kemungkinan, bertambah buruk. Saat yang bersamaan, hingga Agustus 2013, utang pemerintah Indonesia naik menjadi Rp 2.177,95 triliun. Utang ini naik Rp 75,39 triliun dibandingkan dengan posisi Juli 2013 (fimadani.com, 3/10/2013). Lagi-lagi, masyarakat ―rakyat‖ lah yang mesti menanggung beban tersebut. Ringannya Syarat Nyaleg Dimanakah letak persoalannya, sehingga anggota dewan seperti itu bisa terpilih dan duduk di parlemen? Akar masalahnya, tidak terlepas UU No 8/2012 tentang Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) atau Senator, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Beberapa persyaratan dalam BAB VII bagian kesatu, misalnya, disebutkan: telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih; cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau pendidikan lain yang sederajat; sehat jasmani dan rohani; Persoalan umur, sebagai contoh, rasanya perlu dikajiulang. Idealnya, calon legislator atau senator minimal berumur 24 atau 25 tahun. Setelah tamat SMA (sederajat), mereka sudah kuliah atau kerja pada bidang tertentu. Pengalaman ―jam terbang‖ itulah—salah satunya—yang digunakan sebagai modal
untuk duduk di dewan. Selanjutnya, cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia. Tetapi, tidak ada indikator yang jelas dan tegas terkait kecapakan itu. Sebagai contoh, menulis. Seharusnya, bukti-bukti tulisan calon anggota dewan dan senator di pebagai media cetak atau online, makalah, hasil penelitian, jurnal atau buku turut dilampirkan saat mendaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Demikian halnya tentang kecakapan berbicara dan membaca, harus jelas indikator dan buktinya. Kalau peraturan ini dipenuhi, diundangkan, dan paling kurang diatur dalam satu peraturan, maka akan banyak calon anggota legislatif yang tidak maju. Mereka akan berpikir seibu kali untuk nyaleg. Karena, tidak memenuhi persyaratan administratif dan tidak memiliki skill sama sekali. Salah satunya, keterampilan berbicara, membaca, dan menulis tersebut. Akibat tidak diundangkan atau dikuatkan dalam bentuk peraturan, sehingga ―siapa saja‖ bisa nyaleg. Lebih-lebih, yang bermodal lebih. Termasuk, yang punya dan dekat dengan kekuasaan berafiliasi dengan penguasa. Sebagai akibatnya, caleg atau anggota dewan terpilih tidak memiliki kualitas dan kapasitas personal yang lebih. Terlebih lagi, suri tauladan yang baik dan bisa ditauladani. Kondisi itu kemudian berpengaruh pada minusnya kinerja dewan secara keseluruhan. Pada akhirnya, lahirlah ―Anggota Dewan D4.‖ Di lain pihak—seperti disebutkan, masyarakat pun makin kecewa, apatis, dan ―prustasi‖ melihat kinerja wakil mereka. Pasalnya, baik kepala daerah maupun legislator sebatas prosedural, administratif, birokratis, dan tak lepas dari urusan pencitraan. Membenahi Rekrutmen Caleg Sebenarnya, masih ada celah untuk menghasilkan caleg yang bersih, jujur, terbuka, amanah, tanggung jawab, merakyat,
mampu, dan berkualitas, yaitu melalui partai politik. Dalam kaitan itu, partai politik harus membenahi pola rekrutmen caleg. Yang diutamakan adalah caleg-caleg yang bersih, jujur, terbuka, amanah, tanggung jawab, merakyat, mampu, dan berkualitas, disamping pertimbangan popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas calon. Bila perlu, diadakan uji administratif, kelayakan (fit and proper test), dan tes baca al-Quran (khusus caleg di Aceh) terlebih dahulu. Termasuk, mengukur popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas calon yang bersangkutan di tengah-tengah masyarakat. Hasilnya, caleg-caleg yang terpilih baik dari kader internal maupun kader eksternal partai betul-betul mumpuni. Sebab, sudah melalui rangkaian tes yang panjang dan berat di internal partai. Saat bersamaan, ada semacam penilaian objektif dari masyarakat, terutama dari daerah pemilihan (caleg) bersangkutan. Namun, dalam praktiknya, partai politik pun lebih mengutamakan caleg yang bermodal dan yang dekat sekaligus ―berafiliasi‖ dengan kekuasaan. Tak jarang, terjadi politik transaksional dalam proses pencalegan. Khususnya, dalam seleksi caleg di internal partai. Ujung-ujungnya, uanglah yang bermain. Soal etika, moral, dan standar ideal lainnya, urusan belakangan. Yang terpenting, dengan kekuatan uang, caleg dan wakil partai tersebut bisa duduk di parlemen. Prihal wakil rakyat yang minus kinerja, moral, etika, dan minus ketauladanan, yang kemudian berimbas pada kekecewaan masyarakat, tak jadi urusan. Keterwakilan partai di parlemen—dengan anggota dewan abal-abal ―dewan-dewanan‖—jauh lebih penting dari standar ideal tersebut. Wasit Terakhir? Kalau sudah demikian, masyarakatlah yang bertindak sebagai wasit dan penentu. Keputusan terakhir ada di tangan
masyarakat. Apakah memilih caleg-caleg yang bersih, jujur, terbuka, amanah, tanggung jawab, merakyat, mampu, dan berkualitas? Atau, menuruti kepentingan pragmatis (sesaat), yaitu memilih caleg-caleg yang ber-money politics ―menyogok atau membeli masyarakat‖ dan melakukan praktik pembodohan politik lainnya? Kalau sudah terpilih dan duduk pun, seperti yang sudahsudah, caleg-caleg yang ber-money politics itu bakal meninggalkan dan melupakan masyarakat. Khususnya, pemilihnya. Karena, mereka asyik fokus dengan pengambalian modal, memperkaya diri, dan menyiapkan modal untuk pencalegan berikutnya. Tak menutup kemungkinan, bakal menyelewengkan jabatan dan melakukan korupsi. Tujuannya, untuk mengembalikan modal politik yang sudah keluar. Karena, tingginya modal yang dikeluarkan. Termasuk—tak menutup kemungkinan, ikut ―membeli‖ penyelenggara pemilu, yaitu KPU/KIP dan panitia pengawas pemilu. Di sisi lain, kita mengharapkan keindependenan penyelenggara pemilu. Dengan demikian, penyelenggaraan pemilu ―kedaulatan rakyat‖ yang dilaksanakan dengan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil bisa terlaksana dengan baik. Pemimpin dan wakil rakyat yang terpilih pun benar-benar ada dan memperjuangkan kepentingan masyarakat. Pada akhirnya, demokrasi yang substantif, sehat, bermodal, dan beretika bisa terwujud. Terutama, menghadirkan kesejahteraan masyarakat melalui pemimpin (presiden/wakil presiden, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota), wakil rakyat, dan senator di istana, parlemen serta ―senat‖ (berkorelasi signifikan).
*Penggagas/Direktur Jaringan Masyarakat Pemilih Cerdas Sumber Lintas Gayo.com (15 Oktober 2013) http://www.lintasgayo.com/42575/anggota-dewan-d4.html
Cara Orang Gayo Memilih Pemimpin Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni* Lima bulan lagi, tepatnya 9 April 2014, pemilu legislatif akan berlangsung. Tahun yang sama (2014), akan diselenggarakan pula pemilihan presiden Indonesia. Sebelumnya (2012), masyarakat Gayo, terutama yang mendiami Takengon sudah memilih kepala daerah ―bupati dan wakil bupati‖ atau ―reje‖ dalam istilah lokal. Bagaimana sebetulnya orang (masyarakat) Gayo memilih pemimpin? Di sini, terminologi Gayo merujuk kepada tiga hal, yaitu urang ―orang atau masyarakat‖ Gayo, daerah yang mereka diami yang dikenal dengan Gayo atau tanoh ―tanah‖ Gayo, serta basa ―bahasa‖ Gayo (al-Gayoni, 2010: 1; 2012:1) Secara normatif-formal-prosedural, proses pemilihan pemimpin di Gayo sama dengan masyarakat yang lain. Mereka punya hak pilih, terdaftar di panitia pemilihan atau penyelenggara pemilu. Lalu, melakukan pencoblosan di bilik suara. Akan tetapi, ada kearifan masyarakat Gayo dalam memilih pemimpin baik formal maupun informal. Mereka selalu melihat rekam jejak calon (track record). Dalam pemilihan kepala kampung atau kepala desa, calon legislatif (caleg), dan bupati/wakil bupati, misalnya, tak lepas dari penilaian rekam jejak. Bahkan, keturunannya ke atas—ama, awan, datu, empu, munyang, entah, rekel, dan keleng—pun ikut ―dikaji.‖ Tujuannya, untuk memastikan; apakah darah kepemimpinan mengalir pada calon tersebut. Dalam kearifan verbal di sana, ada istilah reje mu suket sipet. Kata reje atau raja dimaknai sebagai ‗pemimpin‘ secara luas. Termasuk, calon anggota legislatif (caleg) yang akan maju. Namun, terminologi khusus yang merujuk kepada anggota dewan dalam bahasa Gayo disebut dengan ulu rintah. Suket dan Sipet
Lantas, apakah makna reje mu suket sipet tadi? Ada tiga kata kunci di sini; reje (raja—pemimpin), suket (menakar), dan sipet (mengukur). Dalam banyak literatur Gayo, reje mu suket sipet diartikan ‗adil.‘ Memang, seorang pemimpin baik formal maupun informal harus adil. Dalam hal ini, bupati yang ada di Gayo: Kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Kabupaten Bener Meriah. Mereka mesti adil kepada Tuhan, diri sendiri, keluarga, golongan, masyarakat luas, dan lingkungan alam. Sejatinya, mereka bupati/wakil merupakan pemimpin masyarakat secara keseluruhan. Bukan pemimpin yang mewakili tim sukses, partai politik, keluarga, golongan, dan paruh masyarakat (belah) tertentu. Begitu pula anggota dewan, mesti adil. Sebab, mereka akan mewakili daerah pemilihan dan konstituennya. Dengan demikian, amanah, beban, tanggung jawab, dan resiko yang diemban pun pasti berat. Hakikat makna reje mu suket sipet tadi terdapat pada kata suket (menakar) dan sipet (mengukur). Indikator suket ini pun jelas sekali, antara lain kal, are, tem, dan seterusnya (alat penakar). Sebaliknya, sipet biasanya menggunakan jari tangan (mengukur jarak). Di sini, ada unsur relativitas. Panjang jari seseorang pasti berbeda satu sama lain. Hasilnya, pasti akan berbeda. Secara denotatif bermakna demikian. Namun, makna konotatifnya lebih dalam. Pemaknaan itu menggambarkan konsep, nilai, kearifan, norma, moral, dan etika masyarakat Gayo dalam memilih pemimpin. Dalam relasi pemimpin dan kememimpinan, suket merujuk kepada pemimpin (yang sedang maju) yang bersangkutan. Dengan kata lain, suket merujuk kepada hal-hal yang konkrit (i panang sareh, i amat nyata): fisik, tempat tinggal, tempat masa-masa kecil, sekolah, kampus, tempat berkarir, dan lain-lain . Kebalikannya, sipet merujuk kepada halhal yang abstrak. Misalnya, soal kejujuran; amanah tidak amanah; umur; tingkat popularitas, elektabilitas serta akseptabilitas yang tinggi; keagungan sifat dan karakter;
kedalaman ilmu; keluasan pengalaman; keluwesan pergaulan; bekal pendidikan yang memadai; ketaatan beragama; dukungan rekam jejak dan kinerja yang mumpuni; dan tidak cacat moral dan tidak cacat hukum ―bersih.‖ Alhasil, pemimpin-pemimpin formal dan informal terpilih bisa menuntun dan membawa masyarakat serta daerah yang dipimpinnya ke arah yang benar, baik, maju, dan bermartabat. Karena, didasari dengan bekal pengalaman, ilmu, wawasan, dan moral yang baik (the right man on the right place, bukan the wrong man on the wrong place). Selain pertimbangan rekam rejak, masyarakat Gayo selalu menggunakan akal sehat dan menyertakan hati nurani dalam memilih. Kalaupun ada yang merekomendasikan calon tertentu, tidak diterima mentah-mentah. Di Gayo, tidak berlaku garis komando atau fatwa dari tokoh tertentu. Dalam satu keluarga inti (nuclear family) atau keluarga besar (extended family), bahkan suami-istri pun bisa berbeda pilihan. Karena, pertimbangan akal sehatdan hati nurani tadi. Lebih dari itu, mereka ikut meminta petunjuk Tuhan melalui salat istikharah. Tuntunan-tuntunan seperti itulah yang dipakai masyarakat Gayo dalam memilih pemimpin. Pergeseran Nilai Akan tetapi, sejak era reformasi 1998 dan dilangsungkannya pemilihan langsung pemilihan presiden (pilplres), kepala daerah (pemilukada), dan pemilu legislatif (pileg), kearifan lokal tadi mulai berubah. Masyarakat Gayo— meski tidak semua—mulai ―menikmati‖ politik uang (money politics). Buat penulis, money politics merupakan kejahatan luar biasa, disamping korupsi, narkoba, pembunuhan berencana, dan kejahatan terorisme. Melalui money politics inilah eksekutif, legislatif, dan yudikatif menjarah uang rakyat “korupsi.” Akibatnya, muncul istilah trias koruptika: eksekuthief, legislathief, dan yudikathief.
Siapakah yang salah? Dalam hal ini, masyarakat tidak salah. Calon kepala daerah dan calon legislatif lah yang salah. Lagi-lagi, pun tidak semuanya. Mereka yang memulai, mengajarkan, dan menyuburkan money politics. Tak hanya itu, mereka telah merendahkan, menghinakan, dan membodohbodohi masyarakat. Di sisi lain, masyarakat pun tidak merasakan manfaat keberadaan bupati/wakil bupati dan dewan. Kecuali, buat segelintir orang, yaitu bosisme lokal (meminjam istilah Boni Hargens). Masyarakat menganggap, tidak ada korelasi signifikan penyelenggaraan pemilu dengan keterpilihan kepala daerah dan anggota dewan dengan perbaikan ekonomi ―kesejahteraan‖ mereka. Setelah pemilukada dan pemilu legislatif berlangsung, masyarakat serta merta dilupakan. Selanjutnya, mereka yang terpilih fokus pada pengembalian modal dan hutang, memperkaya diri, dan membangun politik dinasti (istilah lain dinasti politik dan politik kekerabatan). Sebagai akibatnya, sebagian masyarakat menjadikan pemilu ―pesta demokrasi‖ sebagai ajang untuk meraup uang atau barang sebanyak-banyaknya. Dengan kata lain, menjadikan calon presiden/wakil presiden, calon kepala daerah, dan caleg jadi ―ATM berjalan.‖ Dengan harapan, ada efek jera. Namun, bukan efek jera yang didapat. Tapi, politik uang malah makin ―menggila.‖ Namun, mereka—calon presiden/wakil presiden, calon kepala daerah, dan caleg—pun berbuat demikian pastinya tidak terlepas dari partai politik. Karena, buruknya sistem rekrukmen di internal partai politik. Partai politik yang mestinya menghasilkan pemimpin jujur, bersih, amanah, tanggung jawab, kredibel, tahu malu, dan berkualitas; malah menghasilkan pemimpin korup. Pasalnya, dari awal, telah terjadi politik transaksional (setoran ke partai atau ketua partai). Siapa yang punya modal besar, bisa maju. Soal kredibilitas dan kualitas,
belakangan. Karenanya, yang tidak pantas pun (sah kenak— bahasa Gayo) berbondong-bondong maju. Karena, tidak ada lagi rasa ―terputusnya sel syaraf‖ malu. Tolak Money Politics Dalam menghadapi pemilu 2014, masyarakat Gayo mesti kembali kepada kearifan lokal mereka, yaitu dengan menolak politik uang. Jangan terima uangnya, dan jangan pilih caleg-caleg yang ber-money politics. Yang lebih prinsip, tetap memelihara akal sehat dan menghidupkan hati nurani. Pada akhirnya, masyarakat tidak salah pilih. Sebab, caleg-caleg yang jujur-tidak jujur, bersih-kotor, amanah-tidak amanah, mamputidak mampu, berkualitas-tidak berkualitas, punya kesempatan yang sama. Oleh karena itu, masyarakat harus hati-hati, untuk tidak salah memilih. Selanjutnya, ikut mengawasi dan mengawal penyelenggaran pemilu legislatif oleh penyelenggara, yaitu KIP Aceh Tengah, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Aceh Tengah. Saat yang sama, memastikan, tidak ada permainan politik uang; mengingat kepentingan masyarakat dan daerah secara keseluruhan-jangka panjang. Juga, memastikan tidak ada invervensi dari pihak mana pun. Termasuk, dari bupati/wakil bupati, pejabat, pengusaha (kontraktor), dan anggota dewan yang duduk sekarang (petahana). Dengan demikian, anggota dewan yang terpilih nantinya betul-betul jujur, mampu, bersih, amanah, tanggung jawab, mampu, dan berkualitas. Akhirnya, daerah ini— Takengon, Gayo, dan Aceh—bisa berkah, terbenahi, berkembang, dan maju. *Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah Sumber : Media Online LintasGayo.co (1/11/2013)
http://lintasgayo.co/2013/11/01/cara-orang-gayo-memilihpemimpin