PEREMPUAN DALAM DISKRIMINASI ETNIS DI INDONESIA (ANALISIS FILM SAPU TANGAN FANG YIN)
Prinisia Nurul Ikasari Universitas Tidar Jalan Kapten Suparman 39, Potrobangsan, Magelang E-mail:
[email protected]
Abstract: Ethnic Chinese are ethnic minorities in Indonesia since independence became a frightening thing for the Indonesian nation. This study aims to explain discrimination against ethnic Chinese in Indonesia through analysis in Sapu Tangan Fang Yin Movie. This research uses a qualitative approach through semiotic analysis Roland Barthes. The results of this study indicate the existence of symbolic violence in Sapu Tangan Fang Yin Movie, discrimination arises in the form of swearing, metaphor, and visual became a real discriminatory tool in the ethnic Chinese existence. Keywords: gender, discrimination, symbolic violance, tionghoa, ethnicity Abstrak: Etnis Tionghoa merupakan etnis minoritas di Indonesia yang semenjak kemerdekaan menjadi momok tersendiri bagi bangsa Indonesia. Stereotip muncul dengan menghasilkan produk diskriminasi terhadap etnis ini. Penelitian ini bertujuan menjelaskan diskriminasi terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia melalui analisis pada film Sapu Tangan Fang Yin. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui analisis semiotika Ronald Barthes. Hasil penelitian menunjukan bahwa kekerasan simbolik dalam film Sapu Tangan Fang Yin muncul dalam bentuk umpatan, kata kiasan, maupun bentuk visual menjadi alat dikriminasi yang nyata pada keberadaan etnis Tionghoa. Kata kunci: jender, diskriminasi, kekerasan simbolik, tionghoa, etnisitas
58
JURNAL KOMUNIKASI DAN KAJIAN MEDIA VOLUME 1, NOMOR 1, SEPTEMBER 2017, Hal. 58-70
menetap
Pendahuluan Apa yang terlintas ketika kata “China” muncul dibenak orang Indonesia,
dan
menikahi
perempuan
setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Tiongkok untuk terus berdagang.
tentu saja saja segala bentuk strereotipe
Sebagian besar dari orang-orang
muncul dan menghiasi benak orang
Tionghoa di Indonesia menetap di pulau
Indonesia. Mulai dari stereotip positif dan
Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka
negatif akan saling beradu. Orang China
juga menetap dalam jumlah besar selain di
atau kini akrab dengan nama Tionghoa di
daerah perkotaan adalah seperti wilayah
Indonesia merupakan bagian etnis yang
Sumatera
diakui dalam Undang – Undang. Orang
Sumatera Selatan, Lampung, Lombok,
Tionghoa
Kalimantan
yang
berkewarganegaraan
Utara,
Bangka-Belitung,
Barat,
Banjarmasin
dan
Indonesia digolongkan sebagai salah satu
beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan
suku dalam lingkup nasional Indonesia,
Sulawesi Utara.
sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan
Republik
Indonesia.
Di
pulau
jawa
tepatnya
di
Tangerang, Banten, masyarakat Tionghoa telah menyatu dengan penduduk setempat
Diakuinya etnis ini sebagai bagian
dan
mengalami
pembauran
lewat
dari Indonesia tidaklah datang dengan
perkawinan, sehingga warna kulit mereka
begitu saja. Golongan minoritas ini pun
kadang-kadang lebih gelap dari Tionghoa
harus mengalami banyak peristiwa kelam
yang lain, dan istilah buat mereka disebut
hingga akhirnya diakui sebagai bagian
Cina
dari Indonesia. Berawal dari ramainya
percampuran budaya dan perkawinan ini
interaksi perdagangan di daerah pesisir
menjadikan orang Tionghoa menyatu
tenggara
dengan bangsa Indonesia. Bahkan di
Cina,
menyebabkan
banyak
Benteng.
Perkembangan
sekali orang-orang yang juga merasa perlu
beberapa
pergerakan
keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan
Indonesia orang Tionghoa keturunan pun
utama saat itu adalah Asia Tenggara.
ikut
Karena pelayaran sangat tergantung pada
pengembangan pendidikan.
bergabung
kemerdekaan
seperti
melalui
angin musim, maka setiap tahunnya para
Pada perkembangan selanjutnya
pedagang akan bermukim di wilayah-
adanya bentuk diskriminasi atas etnis
wilayah Asia Tenggara yang disinggahi
Tionghoa pada dasarnya diawali oleh
mereka.
pemerintah
pedagang
Demikian yang
seterusnya
memutuskan
ada untuk
kolonial
Belanda
yang
memisahkan orang Tionghoa kedalam 59
JURNAL KOMUNIKASI DAN KAJIAN MEDIA VOLUME 1, NOMOR 1, SEPTEMBER 2017, Hal. 58-70
kategori nonpribumi berdasarkan prinsip
sebagai Negara terbesar komunis ikut
rasialis
terkena
(Suryadinata,
Pemerintah
2010:
Belanda
227).
membagi
imbas
keturunan
yang
Tionghoa
melebar di
pada
Indonesia.
kependudukan di Indonesia dalam tiga
Akibatnya, pemerintah merasa terancam
kelompok yakni, kelompok Warga Negara
oleh keadaan tersebut di atas karena
Belanda, kelompok Pribumi, kemudian
mereka
Peranakan dan Totok Tionghoa berada
Tionghoa
pada kelompok yang dinamakan „Timur
Komunis (Suryadinata, 2002: 45-47).
mengira masih
bahwa bagian
keturunan dari
Cina
Asing‟ atau „Eastern Orientals‟ (Greif;
Kemudian di masa orde baru
1991 : xi). Adanya proses rasialisasi
legitimasi atas streotipe ini pun muncul
tersebut
adanya
pada Instruksi Presiden No.14 1967
masyarakat
tentang Agama, Kepercayaan dan Adat
disebabkan
kekhawatiran
oleh
jikalau
Tionghoa bersatu dengan orang Pribumi,
istiadat
sebab jika mereka bersatu mereka akan
melarang mengamalkan perayaan Hari
memiliki
Raya
kekuatan
untuk
menentang
Cina.
Tionghoa,
Undang-Undang
penggunaan
ini
bahasa
penjajahan Belanda di Indonesia. Ini
Tionghoa, dan adat istiadat yang sama, di
menurut Suryadinata adalah usaha yang
depan umum. Selain ini, undang ini,
sengaja dilakukan oleh penjajah Belanda
walaupun tidak langsung, menolak agama
untuk
keterpisahan
Kong Hu Chu sebagai agama resmi
penduduk
Indonesia. Sehingga di Jakarta, tahun
Pribumi yang disebut „Divide and Rule‟.
1967 koran-koran berbahasa Cina ditutup
(Suryadinata, 2002: 8).
oleh pemerintah. Ditambah lagi ditahun
mempertahankan
masyarakat
Tionghoa
dan
Usaha ini dimaksudkan penjajah
1998
sebelum
reformasi
berlangsung
Belanda untuk memperburuk pandangan
diskriminas itu ada dengan Surat edaran
orang
keturunan
SE.02/SE
Tionghoa. Dengan begitu hal ini secara
melarang
tidak langsung berperan pada persoalan
tulisan atau iklan beraksara dan yang
perpisahan orang Tionghoa di Indonesia.
menggunakan bahasa Mandarin di depan
Stereotipe ini muncul diligitimasi oleh
umum (Tempo, 17 August 2004 : 36 –
Negara seperti dimasa orde lama saat
37).
Pribumi
terhadap
Ditjen/PPG/K/1998 penerbitan
dan
yang
percetakan
tragedi 30 September 1965 (dikenal
Adanya legitimasi oleh Negara
G30S/PKI) Soekarno mencurigai PKI
juga di ikuti dengan streotipe media
maka secara tidak langsung tiongkok
melalui
konstruksi
sosial
media. 60
JURNAL KOMUNIKASI DAN KAJIAN MEDIA VOLUME 1, NOMOR 1, SEPTEMBER 2017, Hal. 58-70
Banyaknya
pemberintaan
tidak
puncaknya di tragedi kerusuhan 1998 dan
berimbang menambah panjang stereotip
etnis ini terutama perempuan Tionghoa
negatif
menjadi
bagi
etnis
yang
ini.
Praktik
ini
korban
yang
menimbulkan
berlangsung dalam waktu yang lama
traumatik tersendiri bagi etnis ini di
sehingga secara sadar atau tidak, media di
Indonesia.
Indonesia telah terbiasa melaksanakan
Adalah
penting
dan
menarik
kemauan polilik penguasa. Salah satunya
mengangkat isu minoritas etnis ini karena
adalah perlakuan diskriminatif terhadap
sesungguhnya
golongan
berbagai
kebangkitan etnis Tionghoa yang mulai
produk komunikasi yang disajikan media
dirasakan saat reformasi 1998 yang juga
massa.
menjadi batu awal bangkitnya pers di
Tionghoa
melalui
Pucaknya adalah ketika reformasi di tahun 1998 di bulan mei di mana pergerakan
mahasiswa
pada
kenyataannya
Indonesia nyatanya etnis ini hingga kini pun masih mengalami diskriminasi.
yang
Padahal jika kita menilik era pasca
menginginkan pemerintahan orde baru
reformasi banyak peraturan yang mencoba
mundur justru berdampak pada tragedi
mengangkat isu ini sebagai bahan kajian
kerusuhan yang menyasar kepada warga
hak
Tionghoa di Indonesia. Yakni di Jakarta,
dibentuknya
pada tanggal 13-14 Mei 1998, seperti di
kemudian di tanggal 17 Januari 2000
paparkan
Presiden K.H. Abdurrachman Wahid atau
Purdey
(2006)
Kemarahan
asasi
manusia
dengan
komnas
perempuan,
massa akibat penembakan mahasiswa
Gusdur
Universitas Trisakti yang dikembangkan
Nomor 6 Tahun 2000 Tentang Pencabutan
oleh
kelompok
kerusuhan
anti
juga
berhasil
mengeluarkan
Keppres
politik
tertentu
jadi
Instruski Presiden Nomor 14 Tahun 1967
Cina.
Peristiwa
ini
Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat
merupakan persitiwa anti Cina paling
Istiadat
besar
membuka
sepanjang
sejarah
Republik
Indonesia. Sejumlah perempuan keturunan Tionghoa diperkosa.
Cina.
Inpres
Gusdur
kungkungan
telah
perlakuan
diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Data-data
menunjukkan,
Etnis
Inilah yang coba diangkat dalam
Tionghoa merupakan etnis minoritas di
film Sapu Tangan Fang Yin, di mana
Indonesia yang semenjak kemerdekaan
diskrimasi yang terjadi kepada etnis
menjadi momok tersendiri bagi bangsa
Tionghoa di Indonesia berdampak buruk
Indonesia.
bagi warga Tionghoa di Indonesia yang
menghasilkan
Stereotip
muncul
produk
dengan
diskriminasi 61
JURNAL KOMUNIKASI DAN KAJIAN MEDIA VOLUME 1, NOMOR 1, SEPTEMBER 2017, Hal. 58-70
terhadap etnis ini. Puncaknya di Jakarta di
pengalaman
mana aksi mahasiswa pada penurunan
penggunaaannya. Sehingga dalam proses
orde baru beralih kepada kemarahan
pemaknaan sebuah tanda memiliki 2
massa yang dikembangkan oleh kelompok
tahap,
politik tertentu jadi kerusuhan anti Cina.
denotasi)
Peristiwa ini merupakan persitiwa anti
interpretasikan sesuai tanda awal atau
Cina paling besar sepanjang sejarah
dengan melihat realitas fungsi asalnya,
Republik Indonesia di mana sejumlah
kemudian di tahap kedua yakni konotasi
perempuan
Tionghoa
(operasi ideologi atau yang disebut dengan
muncul
mitos) di mana tanda yang muncul tadi
diskriminasi
akan dihubungkan oleh realitas budaya,
keturunan
diperkosa.
Oleh
pertanyaan terhadap
karena
itu
bagaimana Etnis
Tionghoa
terjadi
di
personal
yakni di
gender,
tahap
pertama
mana
tanda
agama,
atau
(makna akan
ideologi,
di
yang
Indonesia melalui analisis pada film Sapu
menyertainya. Sehingga nanti pada tahap
Tangan Fang Yin.
selanjutnya akan muncul makna yang dipengaruhi
prespektif
yang
memaknainya tadi. Untuk memudahkan
Metode Penelitian Penelitian
oleh
ini
pendekatan kualitatif
menggunakan
proses analisa dalam penelitian ini, maka
melalui
analisis
peneliti menentukan unit analisis yaitu
semiotika
dipilih
meliputi mengidentifikasi makna yang
sebagai analisis karena komponen utama
terkandung dalam film Sapu Tangan Fang
dalam penelitian ini merupakan teks
Yin yang memiliki unsur konkret yang
media. Teknik analisis semiotika pada
sesuai dengan objek penelitian. Pada
penelitian
tahapan berikutnya dilakukan pemilahan
semiotika.
Analisis
ini
semiotika menekankan
berkiblat
Roland pada
pada
model
Barthes
yang
cara
pembentukan
tanda yang menentukan makna dengan
scene
atau
mengandung
adegan unsur
yang semiotik
dinilai pada
diskriminasi maupun kekerasan simbolik.
menekankan interaksi antara teks dan
62
JURNAL KOMUNIKASI DAN KAJIAN MEDIA VOLUME 1, NOMOR 1, SEPTEMBER 2017, Hal. 58-70
Hasil dan Pembahasan Tahap Denotasi I: Waktu: 06:19-06:40
Pada adegan ini menggambarkan sekumpulan orang (massa) menaiki kendaraan truk berwarna merah, dilanjutkan dengan adegan turun kejalan, menjarah dan mengepung rumah-rumah warga keturunan Tionghoa, sambil berteriak “Woy Cina!”.
Tahap Denotasi II: Waktu: 08:03-08:06
“Bunuh, Bunuh!” Warga berkerumun membawa bendera Negara Indonesia berteriak “Bunuh, Bunuh!” mengarahkan tangan kepada warga yang berciri fisik etnis Tionghoa.
63
JURNAL KOMUNIKASI DAN KAJIAN MEDIA VOLUME 1, NOMOR 1, SEPTEMBER 2017, Hal. 58-70
Tahap Denotasi III: Waktu: 13:14
Fang Yin “Aku Kotor, Aku Kotor Albert” Adegan ini menggambarkan keadaan Fang Yin dalam ruangan rumah sakit setelah menjadi korban pemerkosaan oleh sekelompok orang yang tidak dikenal saat terjadinya kerusuhan 1998 yang menyasar warga Tionghoa.
Tahap Denotasi IV: Waktu: 24:18-24:37
Fang Yin “Itu bukan rumah aku kok, KTP aku emang Indonesia tapi aku orang China” “Kamu nggak dengar orang-orang itu bilang apa?” “Bunuh China! Bakar China! Abisin China” “Aku tuh Sipit”
Adegan ini diawali dengan pertemuan tokoh utama (Fang Yin) dengan psikiaternya disebuah café melalui ajakan tentang kepulangan sang psikiater terhadap Fang Yin ke negera Negara Indonesia.
64
JURNAL KOMUNIKASI DAN KAJIAN MEDIA VOLUME 1, NOMOR 1, SEPTEMBER 2017, Hal. 58-70
Tahap Denotasi IV: Waktu: 32:07-32:19
“Apa Arti Indonesia?...” Adegan diawali dengan tokoh utama Fang Yin yang berdiri di depan peta besar dunia dan mulai mencoret wilayah Negara Indonesia dengan spidol hitam hingga menutupi seluruh wilayah Indoenesia.
Dilema Etnis Tionghoa di Indonesia,
menurut
analisis Film terhadap Diskriminasi
Tionghoa Indonesia digunakan merujuk
Minoritas
pada etnis Tionghoa yang tinggal di
Istilah
“Cina”
dalam
pers
Suryadinata
keluarga
menjadi
kewarganegaraannya.
“Tionghoa”
(sesuai
istilah
negara Indonesia yang memiliki nama
Indonesia tahun 1950-an telah diganti menjadi
(2009)
(marga),
tanpa
memandang
ucapannya dalam bahasa Hokkian) untuk
Pertumbuhan jumlah Tionghoa di
merujuk pada orang Cina dan “Tiongkok”
Indonesia berkembang pesat, pada tahun
untuk negara Cina dalam pers Indonesia
2006 dengan perkiraan jumlah populasi
1950 - an (Liem, 2000). Menurut Liem
10
(2000) etnis Tionghoa di Indonesia yaitu
Indonesia merupakan populasi Tionghoa
orang Indonesia yang berasal dari negara
terbesar di Asia Tenggara. Fakta statistik
Tiongkok dan sejak generasi pertama atau
tersebut menunjukkan bahwa tidaklah
kedua telah tinggal di negara Indonesia,
tepat
dan berbaur dengan penduduk setempat,
kelompok
serta menguasai satu atau lebih bahasa
Tionghoa bahkan telah menjadi bagian
yang dipakai di Indonesia. Sedangkan
dari bangsa Indonesia, keturunan China
juta,
bila
kelompok
Tionghoa minoritas
etnis
Tionghoa
dilabel di
sebagai
Indonesia.
65
JURNAL KOMUNIKASI DAN KAJIAN MEDIA VOLUME 1, NOMOR 1, SEPTEMBER 2017, Hal. 58-70
atau biasa disebut Tionghoa juga sudah
Film sapu tangan Fang Yin,
diakui menjadi etnis yang berada di
menggambarkan bagaimana etnis cina
wilayah Indonesia sehingga sama halnya
mengalami diskriminasi yang jauh lebih
dengan etnis Jawa, Sumatra dan lainnya.
dalam ketika sang tokoh utama adalah
Adanya penyebutan kata “Cina”
seorang perempuan.
Diskriminasi
ini
terhadap warga keturunan yang sudah sah
muncul sebagai akibat dari adanya proses
menjadi
warga
Negara
Indonesia
kekerasan simbolik yang terjadi secara
bentuk
kekerasan
terus menerus. Proses dikriminasi pada
berujung pada
perempuan dalam etnis minoritas tidaklah
terjadinya diskriminasi. Kata “China”
berhenti pada proses itu saja. Mereka
dalam nada keras seolah mendiskriminasi
dianggap paling rentan dan paling mudah
etnis tersebut karena dianggap tidak
dijadikan
pantas berada dalam wilayah Indonesia.
Mereka
Sebagai
kekerasan pada tingkatan yang lebih jauh
merupakan simbolik
suatu
yang dapat
etnis
minoritas
Tionghoa
sasaran jauh
lebih
dianggap tidak pantas menyandingi etnis
jika
dibandingkan
lain yang menjadi etnis mayoritas di
diposisi yang sama.
Indonesia serta dianggap seperti bagian yang
merusak
sistem
perekonomian
Dalam tokoh
film
utama
kekerasan
massa.
menjadi
korban
dengan
ini
laki-laki
tergambarkan
menjadi
korban
Indonesia. Persoalan etnisitas ini sesuai
pemerkosaan, dan dirinya merasa telah
merujuk pada konsep mayoritas dan
“kotor”. Kata “kotor” merupakan streotipe
minoritas
perempuan korban pemerkosaan yang
yang
di
ungkapkan
oleh
Kinloch bahwa mayoritas merupakan
telah
orang-orang yang memiliki kekuasaan,
dimasyarakat. Kata kotor disematkan
menganggap dirinya normal dan memilik
kepada
derajat lebih tinggi. Sedangkan kelmpok
seolah-olah sebagai korban pemerkosaan
lain yang dianggap sebagai kelompok
perempuan tidak lagi memiliki nilai tawar
minoritas adalah mereka yang tidak
lebih atau tidak berharga di masyarakat.
memiliki
lebih
Perumpaan kotor sama dengan analogi
rendah karena memiliki ciri tertentu: cacat
kotor yang ada pada sampah (barang yang
secara fisik ataupun mental sehingga
tidak
mereka
dasarnya
kekuasaan,
mengalami
dianggap
eksploitasi
diskriminasi (Kinloch, 1979: 38).
dan
menjadi
pandangan
perempuan
terpakai).
dengan
Streotipe
mendiskriminasi
hidup
maksud
ini
pada
perempuan
pada dua level tingkatan. Selain sebagai perempuan dan korban kejahatan, mereka 66
JURNAL KOMUNIKASI DAN KAJIAN MEDIA VOLUME 1, NOMOR 1, SEPTEMBER 2017, Hal. 58-70
juga menjadi korban diskriminasi disaat
diidentifikasikan telah menerima hak
yang sama.
istimewa ekonomi pada masa Orde Baru.
Pristiwa
kerusuhan
dan
Rakyat
tidak
mungkin
menyalurkan
pemerkosaan mei 1998 menjadi contoh
frustasi terhadap elite penguasa yang
diskriminasi perempuan yang jauh lebih
bertanggung
tinggi lagi. Perempuan Tionghoa yang
kekerasan, sehingga hal yang mungkin
diperkosa
adalah jadilah perempuan etnis Tionghoa
menerima
bertubi-tubi
diskriminasi pada “tiga level tingkatan”
sebagai
(triple discrimination) karena sebagai
2012: 233).
jawab
sasaran
menggunakan
logis
(Suryakusuma,
perempuan dia terdiskriminasi (dianggap
Pada bagian lain Film sapu tangan
lemah, tidak berdaya, dan tidak berguna),
Fang Yin ada pengungkapan kata “Sipit”,
dilain pihak dia juga menjadi korban
yang
kejahatan
mengindikaskan kekerasan simbolik atas
dan
dalam
konteks
etnis
dan
adegan
tersebut
yang
labelisi etnisitas. Kata “sipit” merujuk
(Tionghoa) pun dia terdiskriminasi. Kerusuhan
dalam
pemerkoasaan
pada tampilan fisik orang China yang
seolah menjadi dua hal yang begitu
identik bermata sipit dan secara kultural
menghantui
berbeda
Negara
Indonesia
pasca
dengan
Indonesia
ini
merupakan
runtuhnya rezim Suharto. Tidak lama
kebanyakan.
setelah pengumuman pengunduran diri
kekerasan simbolik atas dominasi etnis
Presiden Suharto rakyat berpesta pora,
lain.
menumpahkan rasa terpendam dalam diri
Kata
orang
Kekerasan
simbolik
yang tertahan sekian lama dengan hal-hal
Bourdieu
itu
yang
perantara
kesepatakatan
mengarah
kepada
anarkisme.
menurut
dilembagakan yang
lewat biasa
Bahkan akhirnya pun menyasar etnis
diberikan oleh si terdominasi terhadap
minoritas Tionghoa. Secara historis dan
dominan, secara natural tanpa disadari
klasik menurut Julia Suryakusuma (2012)
oleh kaum yeng terdominasi (Bourdieu,
rasisme
mudah
2010: 50). Adanya pembedaan ini yang
melampiaskan penyakit sosial, sedangkan
mengarah pada kekerasan simbolikini
seksiesme merupakan kembarannya yang
mengandung makna terselubung bahwa
buruk dan menyeramkan. Perempuan di
pada dasarnya terhadap etnis Tionghoa di
kosntruksikan secara sosial, budaya dan
Indonesia.
ideologis sebagai lemah, dan lebih rendah.
“Liyan”. Liyan menampilkan realitas
Warga Tionghoa dijadikan sasaran karena
keterbelengguan, bahwa dirinya bukan
merupakan
saluran
Mereka
merupakan
sang
67
JURNAL KOMUNIKASI DAN KAJIAN MEDIA VOLUME 1, NOMOR 1, SEPTEMBER 2017, Hal. 58-70
melalui
hidupnya
dalam
mengenai larangan kebudyaan Tionghoa
37).
di Indonesia, dan diperdaya melalui
Mereka terpinggirkan terdiskrimiasi dan
menjadikan etnis ini yang sukses dibidang
tak dianggap. Mereka bukan menjadi
ekonomi sebagai “sapi perah” bagi
salah satu suku atau bagian dari bangsa
kekuasaan
Indonesia.
pribumi.
“Negaraku tetapi bukan Negaraku” seolah
Pribumi diartikan sebagai kelompok yang
membenarkan kenyataan yang terjadi
memiliki
terhadap Etnis ini. Julia Suryakusuma
pun
kekuasaannya
bukan
berada
(Riyanto,
Mereka
bukan
daerah
(Suryadinata,
mereka
2010:
dilegitimasi
2011:
oleh
2).
sendiri Hal
negera
ini
melalui
dibuatnya
Orde
aturan
–
miliknya, tubuhnya bukan kepunyaannya,
Baru.
aturan
Ungkapan
(2012) mengungkapkan dimasa orde baru pemerintah
mengkonstruksi
dan
pemerintah. Etnis ini menjadi korban
memberikan label streotipe terhadap etnis
percobaan
Tionghoa sebagai etnis
dalam
berbagai
kebijakan
yang rakus,
pemerintah sejak pemerintahan kolonial
materialistis, dan menjadi sasaran “politik
hingga orde baru.
pengucilan” (Suryakusuma, 2012: 234).
Puncaknya dimasa Orde baru etnis ini dibungkam dan diperdaya. Dibungkam
Simpulan Menempuh jalan panjang dan
oleh masyarakat Indonesia kepada etnis
penuh dengan kekelaman untuk diakui
Tionghoa berakibat pada keterpurukan
sebagai sebuah etnis yang disejajarkan
mental dan keterpinggiran keberadaan
dengan
Etnis ini di Indonesia. Etnis Tionghoa di
etnis
merupakan
lain
di
kenyataan
Indonesia
yang
harus
Indonesia merupakan sang “Liyan”.
dialami etnis Tionghoa. Ciri masyarakat
Liyan
sipil
keterbelengguan, bahwa dirinya bukan
yang
berkedamaian
berkeberadapan dirusak
dan melalui
miliknya,
menampilkan
tubuhnya
realitas
bukan
konstruksi diskriminasi yang dilakukan
kepunyaannya, hidupnya pun bukan
oleh pemerintah era Orde baru pada
berada dalam kekuasaannya. Melalui
etnis ini. Film Sapu Tangan Fang Yin
peristiwa kerusuhan dan pemerkoasaan
memberikan
pada “Tragedi Mei 1998”.
sedikit
gambaran
bagaimana kekerasan simbolik yang berujung pada diskriminasi dilakukan 68
JURNAL KOMUNIKASI DAN KAJIAN MEDIA VOLUME 1, NOMOR 1, SEPTEMBER 2017, Hal. 58-70
Suryadinata, Leo (2010). Etnis Tionghoa
Daftar Pustaka Bourdieu, Pierre. (2010). Domansi
dan
nasionalisme
Maskulin (Pent. Stephanus
sebuah bunga
Aswar Herwinarko). Yogyakarta
rampai,
: Jalasutra.
Kompas Gramedia.
Chris, Barker (2013). Cultural Studies :
1965-2008.
Jakarta:
Suryakusuma, Julia. (2012). Agama,
Teori dan Praktik ( Pent.
Seks,
Nurhadi ). Yogyakarta : Kreasi
Komunitas Bambu.
Wacana.
Indonesia:
Kekuasaan.
Jakarta:
Centre for the Study of the Chinese
Denny J.A (2013). Menjadi Indonesia
Southern
Diaspora
(CSCSD),
Tanpa Diskriminasi Data, Teori,
Workshop Chinese
dan Solusi. Jakarta: Kompas
Indonesians : The Way Ahead,
Gramedia.
Coombs
Greif, Stuart. W. (1991). WNI;
1999
Asal Cina. Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti.
Danandjaja, James. (2003). Diskriminasi terhadap
Monaco, James (2000). How to Read a Movies,
Media,
Theatre,
RSPAs, ANU. 15-16 February
Problematik Orang Indoensia
Film:
Lecture
Inc.
minoritas
di
Indonesia. Jakarta :
and
Beyond. NewYork : Oxford Press
kaum
Universitas Indonesia. 19 Mei 2003. Huda,
Samsul.
(2010).
Orang
Riyanto, Armada. (2011). Aku dan
Indonesia
Liyan, Kata Filsafat dan Sayap.
Persoalan
Malang : Widya Sasana
Kontekstualita, Vol. 25, No. 1,
Publication.
2010
Sobur, Alex (2009). Psikologi Umum . Bandung : Pustaka Setia. Suryadinata, Leo. (2002). Negara dan
Tionghoa
dan
Identitas.
Juliastutik. (2010). Perilaku Elit Politik Etnis Tionghoa Pasca Reformasi. HUMANITY.
Etnis Tionghoa; Kasus
Volume 6, Nomor 1, September
Indonesia. Jakarta : Pustaka
2010: 45 – 58.
LP3ES.
69
JURNAL KOMUNIKASI DAN KAJIAN MEDIA VOLUME 1, NOMOR 1, SEPTEMBER 2017, Hal. 58-70
Leo Suryadinata, “Liem Koen Hian Peranakan
yang
Mencari
Identitas”, Prisma 3 (1983), hal. 71-85. Tempo. Setelah Enam Belas Abad. Edisi Hari Kemerdekaan, 17th Aug 2004; hal 36-37. Indonesia.
70