DISKRIMINASI GENDER DALAM FILM PEREMPUAN BERKALUNG SURBAN Zainal Arifin Emka1 dan Ria Astuti
Abstrack This study focuses on how gender discrimination in the flick Women Berkalung Surban. The film, directed by Indonesia, Hanung Bramantyo was lifted from a novel of the same name, tells of a traditional Islamic boarding schools are doing a lot of injustices against women and even acting repressive. When rotated to the public, it received harsh scrutiny of Islamic organizations because they discredit the pesantren world and Islam itself. Using the method of content analysis, investigators conducted a methodical observation tujuanuntuk answer how gender discrimination is present in this film. From the observations of researchers, it is known that there is gender discrimination in the dialogue, and visual and even a few scenes of violence are also displayed in vulgar in it.
Key Words: Gender Discrimination, Indonesian Movie
Abstrak Penelitian ini berfokus pada bagaimana diskriminasi gender digambarkan dalam film Perempuan Berkalung Surban. Film karya sutradara Indonesia, Hanung Bramantyo ini diangkat dari sebuah novel yang berjudul sama, bercerita mengenai pesantren Islam tradisional yang banyak melakukan ketidakadilan terhadap perempuan bahkan bertindak represif. Ketika diputar untuk masyarakat, film ini mendapat sorotan keras dari organisasiorganisasi Islam karena dianggap mendiskreditkan dunia pesantren dan Islam itu sendiri. Menggunakan metode analisis isi, Peneliti melakukan pengamatan metodis dengan tujuanuntuk menjawab bagaimana diskriminasi gender tersebut terdapat dalam film ini. Dari hasil pengamatan peneliti, diketahui bahwa diskriminasi gender terdapat pada dialog, dan visual bahkan beberapa adegan kekerasan juga ditampilkan secara vulgar di dalamnya. Kata Kunci: Diskriminasi Gender, Pesantren, Film Indonesia
1
Zainal Arifin Emka adalah Dosen pada Program Studi Ilmu Komunikasi Sekolah Tinggi Ilmu KomunikasiAlmamater Wartawan Surabaya. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected].
Pendahuluan Perempuan Berkalung Surban: Representasi Pesantren Konservatif di Jawa Film Perempuan Berkalung Sorban bercerita megenai kehidupan Annisa, putri seorang Kyai pemilik pesantren Salafiah Putri Al-Huda. Annisa adalah seorang perempuan dengan pendirian kuat, cantik, dan cerdas. Kecerdasan dan kemauan Annisa kontradiktif dengan lingkungan pesantren keluarga besarnya yang konservatif. Mereka beranggapan pengetahuan modern adalah hal yang menyimpang dari Al-Qur’an Dalam pesantren salafiah putri Al Huda diajarkan bagaimana menjadi seorang muslimah yang baik, dimana hal tersebut menjadikan Annisa beranggapan bahwa ada hal yang salah dalam pesantren keluarga besarnya ini. Annisa dinikahkan dengan dengan Syamsuddin, seorang anak Kiai salaf terbesar di Jawa Timur. Ternyata, Syamsuddin menjadi salah satu sumber penderitaan Annisa yang lain, karena Annisa sering mendapat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Film ini diangkat dari novel dengan judul yang sama tahun 2001, ditulis oleh Abidah El Khalieqy tahun, seorang perempuan yang dibesarkan di Kota Kecil daerah Jawa Timur, Jombang. Jombang dikenal sebagai kota santri, dan menjadi basis kekuatan kelompok Islam Tradisional di Jawa. Nafas cerita film ini adalah dekontruksi perempuan sebagai objek (penerima). Dalam film, melalu tokoh Annisa, digambarkan perempuan adalah “subjek” (pencipta). Konsep perempuan sebagai subjek mengalami benturan hebat dengan pemahaman Islam sebagagi sebuah pedoman hidup oleh para kyai salaf. Islam memiliki cara pandang (world view) tersendiri mengenai relasi laki-perempuan dalam kehidupan. Cara pandang ini yang menentukan cara berpikir dan bertindak diantara kedua kelompok tersebut ketika menghadapi realitas. Abidah berusaha melakukan pemberontakan terhadap tafsir ayat-ayat dan hadits-hadits yang dianggap misoginis atau membenci perempuan. Pemilihan karakter tokoh utama Annisa (Revalina S. Temat) yang memiliki kepribadian kuat, cerdas, serta kritis, ditambah anak seorang kyai terkemuka, dianggap mampu mewakili perjuangan seorang muslimah dalam mencari tafsir-tafsir alternatif terhadap Al-Qur’an dan Hadits agar lebih berpihak kepada perempuan. Sekjen Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU), Endang Turmudi menyatakan keprihatinannya atas penayangan film Perempuan Berkalung Sorban yang dinilainya
mendiskreditkan pesantren, “Pesantren dalam film tersebut digambarkan sangat tidak sesuai dengan realitas, sebagai institusi pendidikan agama yang kolot, anti perubahan, dan tertutup.” (NUOnline, 10/2). Endang mengaku menonton film ini di sebuah bioskop di Surabaya setelah munculny kontroversi di media. Dalam film yang distrudarai Hanung Bramantyo ini, pesantren digambarkan sangat tradisional, dimana kyai-kyainya membakar buku-buku modern yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama, perilaku anak laki-laki Kiai yang mendapat gelar “Gus” juga digambarkan sebagai sosok-sosok yang kejam terhadap istrinya. “Pesantren jarang ditampilkan dalam film, lho pas menjadi cerita dalam film, maah digambarkan engan sangat negatif”’ sesalnya. Yang menjadi ketakutan terbesar Endang dan NU pada umumnya, bahwa Perempuan Berkalung Sorban akan memberi citra buruk pada kelompok masyarakat yang selama ini tidak memiliki pengetahuan terhadap dunia santri maupun islam tradisional. Endang yang juga peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memahami bahwa seorang seniman berhak untuk berkreasi, namun di sisi lain, juga harus menghargai sebuah kultur dengan nilai-nilai yang melekat di dalamnya. Kebebasan berekspresi bukan berarti kebebasan memberikan streotype pada pihak yang lain. Setting cerita di kota Jombang juga menjadi persoalan tersendiri. Sebab, kota yang terletak di Jawa Timur ini sering disebut sebagai pusat pondok pesantren di tanah Jawa. Jombang pun mendapat julukan “Kota Santri”, karena banyaknya jumlah mereka yang pergi belajar ilmu agama ke kota ini yang berasal dari seluruh penjuru negeri. Bahkan, hampir seluruh tokoh pendiri pesantren di Indonesia, mereka pernah nyatri atau berguru di Jombang. Pondok pesantren besar yang ada di Jombang diantaranya adalah Denanyar, Tebu Ireng, Tambak Beras, dan Darul Ulum, dan ini belum termasuk ponpes-ponpes kecil yang tersebar dan tak terhitung jumlahnya. Banyak tokok Kyai terkemuka lahir dari kota ini, diantaranya adalah mantan Presiden Indonesia KH. Abdurrahman Wahid; pendiri NU dan salah satu pahlawan Nasional, KH. Hasyim Asy’ari; KH Wahid Hasyim; tokoh intelektual Islam, Nurcholies Madjid (cak Nur); dan budayawan, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Fakta-fakta mengenai Jombang dan realitas pesantren di Jombang ini lah yang membuat protes datang bertubi-tubi ke sutradara Hanung Bramantyo. Kelompok yang
menentang pemutaran film Perempuan Berkalung Sorban karena takut akan membuat salah persepsi tentang pesantren-pesantren di Jawa. Padahal, tidak semua pesantren seperti AlHuda, yang ada di dalam film tersebut.
Film sebagai Cermin Konstruksi Masyarakat Film atau sinema berasal dari kata cinematographie yang merupakan gabungan dari kata cinema (gambar), tho berasal dari pythos (cahaya), dan graphie (tulisan=gambar=citra). Sehingga, pengertian secara harfiah adalah melukis gerak dengan cahaya. Film atau sinema mulanya mengacu pada sebuah jenis media sejenis plastik yang dilapisi dengan zat peka cahaya. Media peka cahaya ini sering disebut dengan selluloid.Berturut-turut dikenal media penyimpan citra, mulai selluloid (film), pita analog, dan yang terakhir media digital (pita, cakram, memori chip). Sejalan dengan perkembangan tekhnologi media penyimpan, pengertian film juga mengalami pergeseran. Dari istilah yang lebih mengacu pada materi, saat ini film merujuk pada bentuk karya seni audio visual. Film kini diartikan sebagai genre karya seni yang medianya berupa audio visual. (Mc.Quails; 2008) Sebagai salah satu media komunikasi massa yang bersifat elektronik dipadukan dengan hasil ekspresi seni dan budaya, film memiliki peranan penting dalam perkembangan suatu masyarakat. Film dapat memperkaya nuansa kehidupan manusia, seperti produk budaya lainnya, ia dapat dibentuk dan membentuk masyarakat. Film yang saat ini dengan mudah kita nikmati, merupakan representasi atau cermiann dari realitas yang ada dalam masyarakat. Walaupun film seringkali hanya merupakan cerita rekaan atau fiksi, tetapi hal ini tidak memmbuat cerita film sebagai sebuah hal yang begitu saja tercipta dari penulis skenarionya. Menurut Turner (2010), film bukan hanya sebuah karya, tetapi makna film itu sendiri sebagai representasi realitas masyarakat. Film membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari masyarakat. Sejalan dengan pendapat Turner, Mc.Quails dalam bukunya Mass Communication (2008), sama halnya dengan bentuk media massa lain tugas film adalah menghibur,
memberikan informasi, dan mendidik, “media massa dalam menjalankan fungsinya menyajikan hiburan yang dapat menyenangkan hati pembaca, pendengar, dan penonton. Hiburan itu dapat saja muncul dalam bentuk musik, cerita, ataupun berita-berita ringan yang terjadi di sekitar kita.” Dalam struktur masyarakat yang patriarkal, maka film menjadi cerminan bagaimana struktur tersebut ada dan nyata dalam masyarakat. Banyak film yang menggambarkan bagaimana represi terhadap perempuan itu terjadi. Dalam film maupuan bentuk sinematografi lain, perempuan sering digambarkan hanya sebagai obyek pelengkap yangmenderita, sosok yang teraniaya dan memerlukan pertolongan dari pria. Perempuan acap digambarkan sebagai seorang yang lemah, mudah menangis, berkutat pada ranah domestik, Masyarakat patriarkal adalah masyarakat yang memandang bahwa laki-laki memiliki kemampaun lebih dibandingkan dengan perempuan, sehingga laki-laki menempati struktur di bagian atas, dan perempuan di bawahnya. Dengan kata lain, masarakat patriarki adalah masyarakat dengan dominasi laki-laki terhadap perempuan yang disebabkan adanya anggapan bahwa alam memang membentuk laki-laki sebagai sosok yang lebih hebat daripada perempuan. Laki-laki tercipta sebagai pemimpin/ penguasa, dan perempuan adalah mahluk yang dipimpin atau dikuasainya sama halnya dengan mahluk hidup lain. Pembedaan tersebut pada awalnya dianggap sebagai sesuatu yang given by nature (God), sehingga tidak ada yang mepersoalkan. Namun pada perkembangannya, sebagian orang menyadari bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dengan potensi kemampuan yang sama, namun konstruksi masayarakatlah yang kemudian membentuk perempuan dan laki-laki menjadi berbeda. Budaya patriarki, menempatkan perempuan pada posisi lemah. Perempuan yang hidup dalam masyarkat patriarkal pun akan mengalami reduksi diri sebagai manusia utuh dengan segala potensinya. (Wood; 2002) Pada tahun 1972 pun Ann Oakley memperkenalkan konsep baru yang ia sebut dengan “gender”. Gender berbeda dengan jenis kelamin (sex). Jika sex merujuk pada perbedaan lakilaki dan perempuan yang bersifat biologis dan tidak dapat dipertukarkan, seperti organ reproduksi yang memang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Sementara, gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh konstruksi sosial masyarakat. Karena gender adalah hasil konstruksi, maka sifatnya dapat dipertukarkan, berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain bergantung pada budaya setempat, dan juga perlu sosialisasi seumur hidup untuk membentuknya. Contoh gender adalah laki-laki itu
mahlukyang kuat, rasional, dan kasar, sementara perempuan adalah mahluk lemah, emosional, dan lembut. Tidak semua laki-laki kasar, dan tidak seluruh perempuan itu lemah. Sifat-sifat tersebut dapat dipertukarkan bergantung pada sosialisasi yang diterima oleh individu selama masa hidupnya. Gender adalah konsep hubungan sosial yang memisahkan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan. Pembedaan tersebut tidak ditentukan karena keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, melainkan dibedakan menurut kedudukan, fungsi, dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Heyzer memberikan definisi sebagai berikut, “gender is the socially constructed role ascribed to men and women”. Jelas ahwa gender bentukan setelah kelahiran seseorang yang dikembangkan dan diinternalisasi oleh idnividu tersbut di lingkungan mereka. Sebab, gender hanyalah hasil pemikiran atau rekaya manusia, berbeda dengan jenis kelamin yang memang merujuk pada faktor2 biologi semata. (Narwoko & Bagong Suyanto;2011). Temuan dan Hasil Penelitian Dari 191 scene yang terdapat dalam film Perempuan Berkalung Sorban, terdapat 48 scene yang mengekspose diskriminasi gender baik dari segi dialog maupun visual, yang terdiri dari: Tabel 1 Variabel Diskriminasi Gender (48 Scene) Kategori
Frekuensi
%
Marginalisasi perempuan
6
12,5
Subordinasi perempuan
11
22,9
Stereotip gender
8
16,7
Beban kerja gender
23
47,9
Total
48
100
Marginalisasi Gender Marginalisasi adalah suatu pemiskinan atas satu jenis jenis kelamin tertentu, dalam hal ini marginalisasi dapat bersumber dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama,
tradisi, atau kebiasaan. Dalam penelitian, ditemukan marginalisasi dalam bentuk keyakinan yaitu asumsi ajaran agama (Islam khususnya) dari budaya kapitalisme. Dalam film ini terdapat 6 scene
yang menyatakan marginalisasu dalam bentuk
keyakinan, yaitu pernyataan bahwa Kiai adalah orang terpadanng, dihormati, dan kaya raya. Misalnya, orang yang bukan keturunan Kiai tetap dianggap miskin dan rendah walaupun pendidikannya sudah tinggi hingga S3. Selain itu, sikap kesewenang-wenangan Syamsuddin sebagai anak Kiai yang membiayai pesantren milik mertuanya, sehingga karena kekayaannya itu Syamsuddin menindas istri dan keluarganya. Subordinasi Perempuan Adanya anggapan bahwa perempuan itu emosional, irasional dalam berpikir, perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin (sebagai pengambil keputusan), maka akibatnya perempuan ditempatkan pada posisi yang tidak penting dan tidak strategis (second person). Perempuan tersubordinasi oleh faktor-faktor yang dikonstruksikan secara sosial. Dari data yang ditemukan oleh peneliti bentuk subordinasi yang sangat menonjol adalah bduaya patriarki. Pada film Perempuan Berkalung Sorban terdapat 11 scene yang mengekspose subordinasi diantaranya adalah anggapan bahwa perempuan tidak boleh memimpin, perempuan tidak boleh sekolah tinggi, dan pengambilan keputusan secara sepihak yang dilakukan oleh kaum pria terhadap perempuan. Ada sebanyak 3 scene menampilkan bahwa perempuan tidak boleh sekolah tinggi. Pernyataan ini divisualkan melalui dialog antara Annisa dan Abi (panggilan untuk ayah) contoh: An: Terus kenapa emangnya Abi gak seneng liat anaknya pinter? Ab: Abi gak bsia melepaskan kamu tanpa muhrim An: Jadi karena Nisa perempuan itu kan maksud Abi? Abi rela sampai jual tanah untuk sekolahin mas Reza ke Madinnah. Pinjem uang buat biayanya mas Wildan kenapa buat Nisa enggak? Ab: Mereka itu ya harus sekolah tinggi Nisa, mereka itu yang akan gantiin Abi memimpin pesantren An: Terus gunanya Nisa apa? Ab: ya kamu akan tahu setelah menikah, membangun keluarga sendiri punya suami, punya anak-anak itu sumber pahala kamu Nisa.
Menurut masyarakat patriarkal, perempuan tercipta dengan kodrat sebagai pendamping, bertanggung jawab dalam mengurus rumah tangga dan menjaga kehormatan serta harga diri seorang pria yang menjadi suaminya. Dalam beberapa ayat dan hadits penegrtian yang didapatkan secara kontekstual memposisikan perempuan sebagai nomor dua. Stereotip Perempuan Stereotip adalah suatu pelabelan terhadap suatu kelompok atau jenis pekerjaan tertentu. Secara umum stereotip adalah pelabelan terhadap pihak tertentu yang selalu berakibat merugikan pihak lain dan menimbulkan ketidakadilan sehingga dinamakan pelabelan negatif. Hal ini disebabkan pelabelan yang sudah melekat pada laki-laki misalnya laki-laki adalah manusia yang kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Sedangkan perempuan adalah mahluk yang lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sejak dulu banya mitos-mitos yang menjadi penyebab ketidakadilan gender, misalnya laki-laki selalu dianggap bertindak irasional, sedangkan kaum perempuan selalu mendahulukan perasaan. Misalnya perempuan itu sebagai kanca wingking atau pemeran pembantu dalam setiap keberhasilan pria. Stereotip yang terdapat dalam film ini diantaranya adalah: pantang bagi laki-laki untuk bekerja di dapur dan melakukan kegiatan rumah tangga, perempuan harus melayani suami, laki-laki adalah pencari nafkah di luar rumah, dan peran perempuan dalam ekonomi keluarga tidak pernah diperhitungkan. Contoh dalam dialog antari Annisa dan Khudori, paman yang dicintai Annisa: An: Jangan ngomong gitu Lek. Aku gak bisa. Khu: aku serius Nisa. Kamu bisa lebih tenang kuliah atau nulis kalo udah nikah sama aku. Hidup aku juga bisa ikut aku tanggung. Hidup kamu juga bsia ikut aku tanggung. An: alasan nikah bukan semata-mata untuk itu Lek, bukan karena materi. Dalam dialog tersebut tersirat bahwa apabila sudah menikah maka tanggungan hidup adalah pada Khudori, dan kalimat tersebut juga menyiratkan bahwa pekerjaan Nisa sebagai penulis dapat dilakukan di rumah sambil menjadi ibu rumah tangga. Beban Kerja
Masyarakat Jawa, selayaknya masyarakat patriarkal lain beranggapan bahwa perempuan memiliki sifat-sifat memelihara, rajin, lembut, cermat, penuh kasih, sehingga tidak cocok menjadi kepala rumah tangga. Perempuan pun lebih dibebani pekerjaanpekerjaan domestik yang menuntut kesabaran dan tidak membutuhkan daya pikir yang berat. Pekerjaan domestik yang dimaksud adalah memasak, mengepel rumah, mencuci piring, menyapu, mengasuh anak, dan lain sebagainya. Ada 17 scene yang menggambarkan pekerjaan domestik yang cocok bagi perempuan, misalkan pada saat adegan Annisa memasak untuk suaminya, ia mengasuh anak seorang diri, sedang mencuci pakaian, memotong sayuran, mencuci piring, dan menyapu rumah. Busana yang dikenakan Annisa pun hampir sepanjang adegan adalah daster, fashion item yang menyimbolkan domestifikasi perempuan. Ketika perempuan ditampilkan di arena publik, memegang sebuah pekerjaan profesional, maka pekerjaan yang cocok adalah pengajar (ustadzah di pesantren Al-Huda), konsuler (Annisa dan rekannya), Penulis (Annisa), dan Dokter/ bidan (yang memeriksa kandungan Annisa). Seluruh pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang memang identik dengan perempuan, sebab bersifat care giver atau merawat orang lain. Profesi penulis pun masih dipandang sebelah mata dan hanya dianggap sebagai sampingan belaka. Kekerasan Bentuk masyarakat patriarkal sangat memunginkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan atau yang lazim disebut gende-related violenece. Pada dasarnya kekerasan ini disebabkan oleh penguasaan laki-laki terhadap perempuan. Dalam hampur seluruh aspek kehidupan, perempuan didominasi laki-laki dan ini embuat perempuan rentan menerima kekerasan baik yang berbentuk fisik maupun psikologis. Tabel 2 Variabel kekerasan (67 scene) Bentuk Fisik
Kategori
Frekuensi
%
Pemukulan
4
5,97
Tamparan
2
2,99
Mencekik
2
2,99
Mendorong
7
10,45
Psikologis
Perkosaan
3
4,48
Membentak
16
23,88
Mengancam
6
8,96
Memaki
21
31,34
Pemaksaan kehendak
4
5,97
Memfitnah
2
2,99
67
100
Total
Banyak macam kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan terhadap permpuan, mulai dari tingkat rumah tangga hingga pada tingkat negara. Dalam film Perempuan Berkalung Sorban, penulis menemukan tindak kekerasan, baik yang bersifat fisik maupun psikologis. Definisi kekerasan fisik oleh WHO adalah tindakan fisik yang dilakukan terhadap orang lain yang mengakibatkan luka fisik, seksual, dan psikologis. Tindakan itu antara lain berupa memukul, menendang, menampar, menikam, menembak, mendorong (paksa), dan menjepit. Dalam film Perempuan Berkalung Sorban kekerasan dalam bentuk fisik terjadi dalam 18 adegan, seperti Reza mendorong Syamsuddin karena telah merendahkan keluarganya; Syamsuddin mencekik Annisa karena istrinya tersebut menolak untuk diajak berhubungan badan; Annisa menampar Syamsuddin karena telah melecehkannya. Dalam film ini terdapat pula kekerasan dalam bentuk psikologis. Menurut WHO, kekerasan psikologis adalah perlakuan kekuasaan secara sengaja terhadap orang atau kelompok lain yang mengakibatkan luka mental, spiritual, moral, dan terganggunya pertumbuhan sosial. Tindakan kekerasan ini antara lain berupa kekerasan verbal atau melalui kata-kata yang diucapkan; penghinaan; pelecehan; dan ancaman. Dari tabel 2 diketahui bahwa bentuk kekerasan dengan cara memaki memiliki persentase terbanyak yaitu sejumlah 21 atau 31,34% dari keseluruhan kekerasan psikologis yang ditemukan. Perilaku di atas dideskripsikan dalam dialog adegan Syamsuddin memaki dan membentak Annisa yang tidak sengaja memecahkan gelas.
Dari keseluruhan data kekerasan, baik fisik maupun psikologis dapat disimpulkan bahwa diskriminasi sangat berpengaruh pada tindak kekerasan. Ketidakadilan berakibat pada tindak perlawanan dan pemberontakan. Selain itu, kekerasan yang muncul karena anggapan bahwa perempuan lemah dan harus menuruti kemauan suami atau sikap berkuasa terhadap perempuan. Kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kaum perempuan sering terjadi karena keinginan untuk melanggenggkan kekuasaan/ dominasi laki-laki (pro status quo). Dan pada prinsipnya, inilah refleksi sistem patriarki yang berkembang di masyarakat Indonesia. Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: 1. Film Perempuan Berkalung Sorban lebih banyak mengekspos kekerasan dan diksriminasi gender. Hal ini terlihat dari tingginya frekuensi kekerasan dan diskriminasi gender yang tampak pada temuan data 2. Bentuk diskriminasi gender yang diangkat dalam film ini adalah marjinalisasi, subordinasi, stereotip terhadap perempuan dan beban kerja, sedangkan kekerasan yang menonjol dalam film ini adalah kekerasan psikologis.
DAFTAR PUSTAKA Abrahams, Nathan, Ian Bell, and Jan Udris. 2001. Studying Film; Arnold: London. Audifax. 2008. Research; Jalasutra: Jogjakarta. Handayani, Trisakti. 2006. Konsep dan Tekhnik Penelitian Gender; UMM Press: Malang. Wood, Julia T. 2002. Gendered Lives; MacGraw Hill: London.