SENSASIONALISME BERITA-BERITA KRIMINAL DI HARIAN MEMORANDUM, LAMPU HIJAU, DAN POS KOTA Zainal Arifin Emka1 dan Rizky Sekar Afrisia
Abstrack Yellow newspaper often identified as a medium that does not heed the general rules of journalism. Bombastic, sensuality, and crime into a commodity that is not inexhaustible reported. So strong element of sensationalism in the news, making the element known as the hallmark of yellow journalism newspaper (Conboy, 2003:56). Sensationalism is the news content and the way forward in order to attract attention, evoke feelings and human emotions. Generally, the sensational news of reason because not based solely designed to spark curiosity and evoke emotion. Even sensual pleasure for the reader. This study wanted to see how the sensationalism in the news daily crime, especially in the three selected for the study sample: Memorandum, Lampu Hijau, and the Post Kota. Sensasionalisme seen through the method of critical discourse analysis. Be important to see how the third applied by media sensationalism, given the real news has the effect of criminal law and the reconstruction of the excessive coverage or even deviated from the actual facts are very influential on the public perception. Key Words Yellow Paper, Sensasionalism, Critical Discourse Analysis Abstrak Koran kuning seringkali diidentikkan sebagai media yang tidak mengindahkan kaidah umum jurnalistik. Bombastis, sensualitas, serta kriminal menjadi komoditas yang tidak habishabisnya diberitakan. Begitu kuatnya unsur sensasionalisme dalam berita, menjadikan elemen tersebut dikenal sebagai ciri khas dari jurnalisme koran kuning (Conboy, 2003:56). Sensasionalisme merupakan isi dan cara mengemukakan berita dengan tujuan menarik perhatian, membangkitkan perasaan dan emosi manusia. Umumnya, berita sensasional tidak didasarkan nalar karena semata-mata dibuat untuk memicu rasa penasaran dan membangkitkan emosi. Bahkan kesenangan sensual bagi pembacanya. Penelitian ini ingin melihat bagaimana sensasionalisme pada berita-berita kriminal khususnya di tiga harian yang dipilih sebagai sampel penelitian: Memorandum, Lampu Hijau, dan Pos Kota. Sensasionalisme dilihat melalui metode analisis wacana kritis. Menjadi penting untuk dilihat bagaimana sensasionalisme diterapkan oleh ketiga media ini, mengingat sesungguhnya berita kriminal memiliki efek hukum dan rekonstruksi pemberitaan yang berlebihan atau bahkan melenceng dari fakta sebenarnya sangat berpengaruh terhadap persepsi masyarakat. Kata Kunci: Koran kuning, Sensasionalisme, Analisis Wacana Kritis
Pendahuluan 1
Zainal Arifin Emka adalah Dosen pada Program Studi Ilmu Komunikasi Sekolah Tinggi Ilmu KomunikasiAlmamater Wartawan. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected].
Ustadz Liat Tetangga Montok, Angkat Sarung, Lepas Burung, Kepergok Suaminya Si Montok, Diarak Keliling Kampung (Lampu Merah, 20 Agustus 2008). Tulisan di atas adalah judul salah satu berita kriminal di harian Lampu Merah. Biasanya ditulis dengan ukuran huruf yang relatif besar dengan warna mencolok. Selain menonjol dari aspek judul, peristiwa kejahatan seringkali diberitakan secara kronologis dan mendetail: nama korban perkosaan tidak menggunakan inisial, berita pembunuhan ditulis dengan sadis, juga visual yang mengiringi berita. Iklan-iklan yang dipasang di koran-koran semacam ini juga mendukung kesan sensasional. Misalnya penawaran jasa memperbesar alat vital, jasa klenik untuk membuat orang lain jatuh cinta, sampai pijat ‘esek-esek’. Di Indonesia, istilah koran kuning, sebetulnya bukan istilah yang pakem untuk menyebut koran-koran yang penuh dengan berita-berita yang bersifat sensasional. Menurut Dewan Pers, penyebutan istilah itu berkiblat pada Amerika dan Inggris. Negara-negara Barat menyebut denganistilah ‘yellow newspaper’ atau ‘yellow journalism’. Istilah ini yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai ‘koran kuning. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan koran kuning sebagai surat kabar yang seringkali membuat berita sensasi. Era koran kuning di Indonesia dimulai lewat kehadiran Pos Kota, sekitar tahun 1970an. Tiras awalnya hanya 3.500 eksemplar, namun kemudian berkembang dan mencapai tiras 200 ribu eksemplar pada tahun 2005. Koran kuning lain yang terbit adalah Memorandum dengan tiras sekitar 150 ribu eksemplar dan Lampu Merah (berganti nama menjadi Lampu Hijau sejak 2008) bertiras 225 ribu eksemplar. Pangsa pasar koran kuning tampaknya memang lebih ditujukan untuk kalangan menengah ke bawah. Hal ini terlihat bukan hanya dari bahasa dan iklan yang ditampilkan, tetapi juga dari harga eceran yang lebih murah dibandingkan koran lain. Beberapa perusahaan media besar bahkan dengan sengaja menerbitkan koran-koran kuning sebagai diversifikasi produk. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan bahwa selain berfungsi sebagai lembaga ekonomi, pers juga memiliki fungsi edukasi, informasi, dan hiburan. Artinya meski koran kuning, sebagai produk pers ia tetap bertanggung jawab atas kebenaran informasi dan fungsi edukasi. Dalam konteks ini, baik Memorandum, Lampu Hijau, maupun Pos Kota pada visi perusahaan menyebut tujuan mencerdaskan bangsa. Namun jika dilihat dari pilihan pemberitaan, penggunaan bahasa, pemilihan foto/grafis, visi mencerdaskan bangsa ini terasa jauh panggang dari api. Dr. De Volder membedakan sensasi sebagai teknik dan sensasionalisme sebagai substansi. Sensasi sebagai teknik merupakan suatu bentuk dan gaya pemberitaan yang bertujuan membuat berita menjadi menarik sehingga pembaca berminat mengikutinya. Penting untuk diperhatikan yaitu seberapa jauh teknik sensasi tersebut digunakan dan untuk tujuan apa teknik sensasi itu dilakukan. Sensasionalisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hal-hal yang bersifat merangsang perasaan atau hal-hal yang bersifat menggembarkan. Sebagai konsekuensi dari konstruksi sensasionalisme pada berita-berita kriminal, seringkali wartawan yang meliput dan menulis berita kurang mematuhi kode etik jurnalistik dan bahkan Undang-Undang (Pers). Noor Arief, Redaktur harian Memorandum dalam sebuah diskusi bertajuk ‘Secret Files’ menuturkan dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya, wartawan koran kuning kerap melakukan penyamaran dengan mengambil gambar secara sembunyi-sembunyi atau bahkan mengusik traumatis narasumber. Dari aspek ini, jelas bahwa wartawan sudah melanggar Kode Etik dan UU Pers. Penelitian ini dilakukan sebagai kajian ilmiah mengenai sensasionalisme pada beritaberita kriminal di koran-koran kuning. Peneliti akan menganalisis teks berita pada ketiga harian yang sudah dipilih sebagai sampel dengan menggunakan metode analisis wacana
kritis. Model yang dipilih adalah analisis wacana kritis versi Van Dijk, yang mengupas tekistual berita hingga kognisi sosial wartawan. Perumusan Masalah Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan pada bagian pendahuluan, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Sensasionalisme pada beritaberita kriminal di koran kuning?” Signifikansi Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan berupa kritik konstruktif terutama bagi koran-koran kuning agar lebih peduli pada akurasi informasi dan kebenaran fakta sehingga mampu memberikan kontribusi kepada masyarakat. Kajian Pustaka Koran Kuning: Definisi dan Ciri Khas Selain unsur sensasionalisme dan dramatisasi dalam penulisan berita, ciri lain dari koran kuning adalah penggunaan aspek visual yang cenderung berlebihan. Bahkan terkadang lebih dominan ketimbang teks beritanya. Aspek visual yang digunakan antara lain berupa: (1) scare-heads: headline yang memberi efek menakutkan, umumnya ditulis dalam ukuran font yang sangat besar, dicetak dengan warna hitam atau merah. Seringkali materinya berisi berita-berita yang tidak/kurang penting; (2) penggunaan foto dan gambar yang berlebihan; (3) suplemen pada hari Minggu, berisi komik berwarna dan artikel-artikel sepele (Conboy, 2003:57). Selain itu juga ditambah dengan adanya teknik verbal berbentuk peniruan atau bahkan penipuan: cerita dan wawancara palsu, judul yang menyesatkan, psuedo-science. Koran kuning juga kerap memfokuskan pemberitaannya pada isu-isu kontroversial yang memancing perdebatan. Hal ini dimaksudkan untuk menarik perhatian pembaca terutama pembaca dari kalangan menengah ke bawah. Isu-isu tersebut biasanya berkaitan dengan sex, conflict, and crime (seks, konflik, dan kriminal). Sebagian kalangan menyebutkan HVS-9g, dibaca ha-vi-es sembilan gram, plesetan dari horror, violence, sex, ghost, glamour atau HVSGG. Menurut Adhiyasasti dan Rianto (2006, 116-117), karakteristik koran kuning di Indonesia terfokus pada halaman pertama. Setidaknya ada empat hal yang menonjol: pertama, pemasangan foto peristiwa kriminal dan foto perempuan dengan menekankan unsur seksualitas tubuh perempuan. Kedua, headline berukuran besar dengan warna-warni mencolok seperti merah, biru, kuning, dan hijau. Ketiga, banyaknya item berita di halaman muka. jika umumnya koran memasang 5-8 item berita, maka pada koran kuning jumlah berita yang ditampilkan di halaman muka berkisar 10-25 item berita. formatnya berita berita yang sangat singkat, terkadang hanya berupa judul dan lead yang kemudian bersambung ke halaman dalam. Tidak sedikit judul yang dicetak lebih besar melebihi isi beritanya. keempat, dilihat dari iklan yang dimuat, koran kuning sering menampilkan iklan-iklan yang vulgar, dilengkapi dengan foto, gambar atau kata-kata yang sensasional. Iklan tersebut umumnya berbau seksual dan supranatura (klenik). Sensasionalisme Sensasi berasal dari kata sense, yang artinya menarik perhatian, membangkitkan perasaan dan emosi manusia. Menurut wikipedia, sensasionalisme merupakan “a manner of being extremely controversial, loud, attention-grabbing, or otherwise sensationalistic”. Sedangkan definisi sensasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah (1) yang membuat perasaan terharu (rusuh, gempar, dsb); (2) yang merusuhkan, menggemparkan; (3) yang merangsang emosi. Sedangkan sensasional diartikan sebagai segala sesuatu yang
merangsang perasaan atau bersifat menggemparkan. Menurut Iwan Awaluddin Yusuf, ada tiga aspek bahasan mengenai sensasionalisme pemberitaan di media massa. Yakni teknik, proses, dan pola. Teknik sensasionalisme adalah cara atau strategi media untuk menampilkan sebuah berita menjadi sensasional. Hal ini dilakukan melalui penggunaan elemen verbal dan visual dengan metode repetisi dan alokasi. Elemen verbal adalah pemakaian unsur bahasa yang sensasional dalam penulisan berita baik pada level kata, frasa, klausa dan kalimat pada judul, subjudul, lead, dan isi berita. Sedangkan elemen visual terlihat dari penggunaan foto, ilustrasi, dan tabel, termasuk penggunaan warna tertentu dan ukuran penulisan judul yang dibuat besar dan mencolok. Metode repetisi adalah pengulangan atau peningkatan frekuensi kemunculan unsur-unsur sensasionalisme dalam berita. Sementara metode alokasi adalah penyediaan tambahan waktu atau space guna menampilkan atau memberi penekanan pada unsur-unsur sensasionalisme dalam berita. Aspek kedua dalam bahasan mengenai sensasionalisme pemberitaan adalah proses. Yakni dinamika yang terjadi di ruang redaksi saat memformulasikan sebuah berita sensasional. Proses produksi berita melibatkan unsur-unsur redaksional yang kompleks, seperti peran reporter, redaktur, dll. Proses ini dapat dilihat dengan menggunakan teori konstruksi berita sebagai representasi realitas. Aspek ketiga adalah pola. Yakni kecenderungan bentuk-bentuk pemberitaan sensasional dalam kurun waktu tertentu yang muncul sebagai akibat dari teknik dan proses yang dijalankan secara rutin oleh media dan hasilnya tampak dalam pemberitaan. Pola sensasionalisme koran kuning juga dilakukan melalui penggunaan bahasa dan dramatisasi berita. Dramatisasi dipahami sebagai bentuk penyajian berita yang bersifat hiperbolik atau berlebihan dengan maksud menimbulkan efek dramatis bagi pembacanya. (McQuail, 1992). Analisis Wacana Kritis Merupakan metode untuk mengethui bukan saja isi teks berita tetapi juga bagaimana sebuah pesan disampaikan melalui kata, frasa, kalimat, dan metafora yang digunakan. Analisis wacana lebih melihat makna yang tersembunyi dari sebuah teks. Dalam analisis wacana kritis, wacana tidak dipahami semata sebagai studi bahasa. Bahasa dianalisis bukan dengan menggambarkan semata aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkannya dengan konteks, dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu termasuk praktik kekuasaan (Eriyanto, 2001:7). Karakteristik penting dari analisis wacana kritis meliputi: (1) Tindakan: wacana dipahami sebagai sebuah tingakan. Konsekuensinya, wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan serta dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar dan terkontrol; (2) Konteks: analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi; (3) Historis: menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu, berarti wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks yang menyertainya. Salah satu aspek penting untuk bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks historis tertentu; (4) Kekuasaan: setiap wacana yang muncul dipandang merupakan bentuk pertarungan kekuasaan; (5) Ideologi: teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi. Menurut berbagai teori klasik tentang ideologi, ideologi dibangun oleh kelompok dominan dengan tujuan mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Analisis Wacana Kritis versi Teun A. van Dijk Model analisis wacana kritis versi van Dijk sering disebut sebagai ‘kognisi sosial’. Model ini dapat digambarkan sbb.
Konteks Kognisi Sosial Teks
Skema penelitian dan metode yang dilakukan dalam kerangka van Dijk adalah sbb. STRUKTUR
METODE
Critical Linguistics Teks Menganalisis bagaimana strategi wacana yang dipakai untuk menggambarkan seseorang atau peristiwa tertentu. Bagaimana strategi tekstual yang dipakai untuk menyingkirkan atau memarjinalkan suatu kelompok, gagasan, atau peristiwa tertentu. Wawancara mendalam Kognisi Sosial Menganalisis bagaimana kognisi wartawan dalam memahami seseorang atau peristiwa tertentu yang akan ditulis Studi pustaka, penelusuran sejarah Analisis Sosial Menganalisis bagaimana wacana yang berkembang dalam masyarakat, proses produksi dan reproduksi seseorang atau peristiwa digambarkan Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Data diperoleh dengan melakukan dokumentasi sejumlah bahan yang digunakan sebagai bahan analisis. Selain itu peneliti juga melakukan wawancara dengan para wartawan yang ada di balik koran yang digunakan sebagai subjek penelitian. Wartawan atau narasumber yang dijadikan informan dalam penelitian ini adalah: Redaktur Harian Memorandum, Pemimpin Redaksi Harian Lampu Hijau, Pemimpin Redaksi Harian Pos Kota, dan anggota Dewan Pers Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers. Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian dipilih secara acak dari koran-koran yang dipilih sebagai objek penelitian yakni harian Memorandum edisi Selasa 31 Mei 2011, lampu Hijau edisi Rabu, 23 Maret 2011, dan Pos Kota edisi Rabu, 23 Maret 2011. Dari masing-masing edisi tersebut dipilih satu teks berita sebagai unit analisis.
Pembahasan Sensasionalisme ala Memorandum Pada berita berjudul “Geger PNS Mesum di Mobil”, tampak bagaimana sensasionalisme dihadirkan melalui penggunaan kata ‘geger’. Seolah-olah peristiwa tersebut menimpulkan suasana tidak karuan, gempar, ribut sebagaimana definisi kata ‘geger’ menurut KBBI. Padahal dalam kasus tersebut jelas hanya sebagian masyarakat yang tahu keberadaan video mesum tersebut. Selain penggunaan kata tersebut, beberapa kata yang mengindikasikan sensasionalisme muncul dalam tubuh berita. Umumnya kata-kata tersebut merujuk pada diskursus tentang seks seperti: ‘oral seks’, ‘melepas bra’, dan ‘saling meraba’. Penulisan identitas pelaku dalam berita yang disebut sebagai PNS dan pasangannya yang diduga seorang bos perusahaan farmasi memperlihatkan bagaimana wartawan tidak cukup akurat dalam menggali informasi; sekadar menduga-duga. Dilihat dari skemanya, berita ini sama sekali tidak memuat wawancara. Tetapi justru mem’visual’kan adegan-adegan dalam video porno yang diberitakan. Memorandum mewakili pembaca yang penasaran dan tidak dapat mengakses video PNS mesum tersebut dengan menggambarkan detil adegan video. Wartawan bahkan seolah-olah melihat sendiri kejadian tersebut dan bukannya hanya menonton video. Penggunaan detil ini disebut Narendra (2006) sebagai bentuk dari dramatisasi berita kriminal. Padahal, terkadang penggunaan dramatisasi malah mengaburkan substansi berita yang ingin disampaikan dan menimbulkan efek plagiasi bagi pembaca. Selain dari penonjolan detil adegan yang dikutip dalam pemberitaan, teknik sensasi juga dilakukan Memo melalui grafis. Yaitu dengan memuat foto berukuran besar sebagi cuplikan adegan dari video porno tersebut. Foto-foto tersebut menampilkan tokoh-tokoh dalam video yang diberitakan. Dengan kata lain Memo berusaha menolak pelanggaran kesusilaan yang ditampilkan melalui video porno justru dengan menyebarkannya melalui pemuatan foto dan penulisan detil adegan. Lampu Hijau: Sensasionalisme Sebagai Modal Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan Pimred harian Lampu Hijau, diakui bahwa kekuatan terbesar dalam penjualan koran ini adalah sensasionalisme. Karakteristik koran diwakili oleh penggunaan judul yang panjang dengan bahasa lugas. Peneliti kemudian melakukan analisis pada unit teks berita berjudul “4 Cewek Rental Selangkangan dan 27ewek Temen Mabok Ditangkepin Satpol PP”. Tema pemberitaan ini sebetulnya adalah mengenai razia yang digelar petugas gabungan Satpol PP, polisi, dan Dinas Sosial Kota Serang terhadap PSK dan wanita pekerja malam. Namun judul beritanya dibuat dengan teknik sensasi berupa metafora yakni ‘rental selangkangan’ dan ‘temen mabok’. Judul-judul demian disebut Dwi Prihantara, Pimred harian ini sebagai karakter korannya. Dari hasil wawancara peneliti juga memeroleh informasi bahwa wartawan Lampu hijau sama sekali tidak dibekali dengan etika jurnalistik. Wartawan hanya diwajibkan mencari dan menulis berita kriminal dengan menggunakan bahasa yang menarik pembaca. Lebih disarankan jika wartawan menulis dengan gaya storytelling. Ini adalah salah satu teknik dramatisasi berita yang menjadi pola sensasionalisme. Pada aspek grafis, Lampu Hijau pada berita ini menampilan foto petugas yang sedang menggandeng wanita pekerja malam dengan memperlihatkan wajahnya. Hal ini jelas tidak etis. Sensasionalisme Dalam Berita Pos Kota Teks berita yang dipilih sebagai unit analisis di harian Pos Kota berjudul “Sejak SMA Putri Ari Sigit Kenal Narkoba”. Tanpa harus menggunakan teknik sensasi, berita ini sebenarnya sudah sensasional. Sebab subjek pemberitaan adalah putri Ari Sigit, cicit mantan Presiden Soeharto. Tema berita sebenarnya adalah penangkapan pemakai narkoba. karena subjeknya adalah cicit dari mantan presiden maka berita tidak lagi menyorot kasus
penggunaan narkoba atau peristiwa penangkapannya. Sudut berita yang digunakan Pos Kota lebih pada latar belakang kehidupan Putri sebagai seorang cicit mantan presiden. Hal ini tampak dari penggunaan kata ganti untuk menyebut subjek: “cicit mantan Presiden”, “cicit mantan penguasa orde baru”, dsb. Kesimpulan Berbagai teknik sensasi dilakukan oleh koran-koran kuning semata-mata dengan pertimbangan bisnis agar korannya menarik dan laku. Hal ini dilakukan dengan mengabaikan adanya prinsip-prinsip jurnalistik yang sebetulnya juga berlaku bagi media massa apapun jenis dan variannya. Kebebasan informasi dan tidak adanya lembaga yang khusus mengawasi media-media seperti ini menjadi celah bagi koran-koran kuning. Dewan Pers sendiri terkesan bimbang dalam menilai apakah pemberitaan koran-koran kuning masuk dalam kategori pers atau bukan. Padahal jelas-jelas dengan produk berupa informasi terlebih jika berhubungan dengan persoalan hukum, koran-koran kuning ini merupakan bagian dari pers yang mestinya memiliki fungsi edukasi bukan menyesatkan dan memberitakan kabar bohong atau palsu.
DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan dkk (Tim Penyusun). 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Conboy, Martin. 2002. The Press and Popular Culture. London: The Sage Publications Ltd. Eriyanto. 2001. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. Kriyantono, Rakhmat. 2009. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana. McQuail, Denis. 2002. McQuail’s Reader in Mass Communication Theory. London: Sage Publication Ltd. Narendra, Pitra. 2006. Representasi kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Suratkabar Daerah. Oetama, Jacoeb. 2001. Pers Indonesia Berkomunikasi Dalam Masyarakat Tidak Tulus. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Rivers, William L, dkk. 2003. Media Massa dan Masyarakat Modern. Jakarta: Kencana. Shoemaker, Pamela J. and Stephen D. Reese. 1996. Mediating The Message: Theories of Influenceson Mass Media Content. Michigan University: Longman. Soebakti, Encup dkk. 2000. Pos Kota 30 Tahun Melayani Pembaca. Jakarta: Litbang Grup Pos Kota.