PEREMPUAN DALAM KONSTRUKSI MEDIA (Analisis framing Terhadap Film Perempuan Berkalung Sorban) Skiripsi ini Disusun Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Strata 1 (S1) Fakultas Ilmu Komunikasi
Disusun Oleh : Nama NIM Program Studi
: Putri Chyntia Dewi : 44105010065 : Broadcasting
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA 2009
i
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA
Lembar Pengesahan Skripsi
Nama NIM Fakultas Bidang Studi Judul Skripsi
: Putri Chyntia Dewi : 44105010065 : Ilmu Komunikasi : Broadcasting : PEREMPUAN DALAM KONSTRUKSI MEDIA (Analisis Framing Terhadap Film Perempuan Berkalung Sorban)
Jakarta, 15 Agustus 2009
Mengetahui,
Farid Hamid M.Si Pembimbing
ii FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA
LEMBAR LULUS SIDANG SKRIPSI
Nama
: Putri Chyntia Dewi
NIM
: 44105010065
Fakultas
: Ilmu Komunikasi
Bidang Studi : Broadcasting Judul
: PEREMPUAN DALAM KONSTRUKSI MEDIA
(Analisis Framing Terhadap Film Perempuan Berkalung Sorban)
Jakarta, 15 Agustus 2009
1. Ketua Sidang Nama : Ponco Budi Sulistyo. S.Sos, M.Comm
(……………………)
2. Penguji Ahli Nama : Fenny Fasta. SE, M.Si
(……………………)
3. Pembimbing Nama : Farid Hamid. M.Si
(……………………)
iii
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA
LEMBAR PENGESAHAN PERBAIKAN SKRIPSI
Nama
: Putri Chyntia Dewi
NIM
: 44105010065
Fakultas
: Ilmu Komunikasi
Bidang Studi : Broadcasting Judul
: PEREMPUAN DALAM KONSTRUKSI MEDIA
(Analisis Framing Terhadap Film Perempuan Berkalung Sorban) Jakarta, 15 Agustus 2009 Disetujui dan Diterima Oleh, Pembimbing
(Farid Hamid M.Si) Mengetahui,
Dekan FIKOM
( Dra. Diah Wardhani M.Si )
Ketua Bidang Studi
(Ponco Budi Sulistyo. S.Sos, M.Comm)
iv
Fakultas Ilmu Komunikasi Putri Chyntia Dewi 44105010065 PEREMPUAN DALAM KONSTRUKSI MEDIA (Analisis framing Terhadap Film Perempuan Berkalung Sorban) (ix, 88 Halaman + V Bab + 18 Buku + 11 Situs Webasite + 9 Jurnal + Riwayat Hidup)
ABSTRAKSI
Pesatnya perubahan di bidang sosial menjadi faktor signifikan yang mendorong penyimpangan perilaku terhadap peran serta sosial dan tanggung jawab terhadap perbedaan gender. Ketidakadilan gender ini yang membuat kaum Perempuan pada khususnya menjadi tidak nyaman dalam melakukan tugasnya. Pada film “perempuan berkalung sorban”, diceritakan tentang kehidupan perempuan yang terlalu dikekang dilingkungannya, sebenarnya perempuan juga memiliki potensi yang tidak kalah dengan laki-laki. Di film ini diungkapkan juga tentang peranan perempuan yang harus tunduk kepada laki-laki sekalipun sang suami telah melakukan poligami dan melakukan perbuatan kasar kepada istrinya perempuan diharamkan untuk meminta cerai kepada suami. Perempuan harus menerima segala kekurangan suaminya itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konstruksi media terhadap perempuan dalam film “perempuan berkalung sorban”, kemudian dianalisis menggunakan analisis framing menurut model Gamson dan Modigliani, yaitu didasarkan pada pendekatan kostruksionis. Penelitian ini berdasarkan kerangka pemikiran mengenai komunikasi, komunikasi massa, film sebagai media komunikasi massa, konstruksi realitas sosial, ketidakadilan gender dan teori feminisme. Penelitian ini menggunakan metode analisis framing dengan pendekatan deskriptif kualitatif, dimana penelitian ini berusaha melihat perempuan dalam konstruksi media terhadap film “perempuan berkalung sorban”. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kesemua frame yang didapatkan dari film “perempuan berkalung sorban” memberikan nilai lebih dalam hal feminisme, ketidakadilan gender dan kekerasan rumah tangga. Perempuan dan konstruksi media merupakan proses dialektika, dimana proses itu memberikan bentukan-bentukan dan dipengaruhi secara subjektif maupun obbjekrif.
v KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hingga saat ini penulis masih diberi kesehatan untuk dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PEREMPUAN DALAM KONSTRUKSI MEDIA (Analisis Frming Terhadap Film Perempuan Berkalung Sorban) Penyusunan skripsi ini ini dilakukan guna memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Fikom (S1). Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan yang terjadi. Walaupun
dalam penulisan skripsi
ini bukanlah segalanya, tapi setidaknya dapat
menjadi tonggak kenangan dimana disaat-saat berbaur kesedihan, frustasi, kelelahan, kesalahan yang semuanya kini menjadi satu kebahagiaan yang indah. Dengan itu penulis memohon kritik dan saran untuk penyempurnaan tugas skripsi mendatang. Dalam kesempatan ini pun, tak lupa penulis ingin menyampaikan banyak ucapan terimakasih, kepada: 1. Farid Hamid, M.Si, Selaku Dosen Pembimbing skripsi penulis. 2. Dr. H.Suharyadi, selaku Rektor Universitas Mercu Buana. 3. Diah Wardhani, M.Si, Selaku Dekan Fakultas Ilmu komunikasi Universitas Mercu Buana. 4. Ponco Budi Sulistyo, M.Comm, Selaku Ketua Bidang Studi Broadcasting Universitas Mercu Buana. 5. Fenny Fasta. SE, M.Si selaku penguji ahli penulis
vi 6. Ibunda tercinta Noor Lena, saya ucapkan terima kasihatas dukungannya baik materil maupun non materil, serta doa kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 7. Ayahanda tercinta M. Solihin. Penulis sangat berterima kasih atas kerja kerasnya selama ini tak lupa juga doa restu dalam menjalankan kuliah sampai pengerjaan skripsi ini terwujud. 8. Adinda Putra dan Chandra yang sangat penulis sayangi. Semoga apa yang kalian cita-citakan dapat terwujud. 9. M. Ridwan, sang motivator 10. Rekan-rekan di pers orientasi 11. Teman-teman di kampus Umi, Mega, Dian, Tika, Aretha, Dwi, Sigit, Roni, Yuda, Novi, Jenia, Lova, Swasti, Febi dan semua angkatan 2005 broabcast lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu. 12. Dan semua pihak yang telah membantu sehingga penulisan skripsi ini selesai. Akhir kata penulis berharap semoga penulisan riset media ini dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan penulis sendiri pada khususnya.
Jakarta, Agustus 2009
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan Skripsi................................................................................i Lembar Lulus Sidang Skripsi..............................................................................ii Lembar Pengesahan Perbaikan Skripsi.............................................................iii Abstraksi................................................................................................................iv Kata Pengantar.......................................................................................................v Daftar Isi................................................................................................................vii Kata Pengantar…………………………………………………..…………
i
Daftar Isi…………………………………………………………….....………... iii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah…………………………….……………………. 1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………….. 1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………….…… 1.4 Kegunaan Penelitian………………………………………………….….. 1.4.1 Kegunaan Akademis………………………………………………….….. 1.4.2 Kegunaan Praktis…………………………………………………………
1 7 7 7 7 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Massa………………………………………………………. 2.1.1 Pengertian Komunikasi Massa…………………………………………... 2.2 Film........................................................................................................... 2.2.1 Periode Coba-coba..................................................................................... 2.2.2 Film Bisu................................................................................................... 2.2.3 Film Bicara/Bersuara................................................................................. 2.2.4 Pengaruh Film........................................................................................... 2.3 Film Sebagai Bentuk Komunikasi Massa………………………………. 2.4 Jenis-jenis Film.......................................................................................... a. Film Cerita.................................................................................................. b. Film Berita................................................................................................ c. Film Dokementer...................................................................................... d. Film Kartun.............................................................................................. 2.5 Film dalam Mengkonstruksi Perempuan………………………………. 2.6 Media dan Gender.................................................................................... 2.7 Ideologi Gender.........................................................................................
8 8 11 11 12 12 13 14 14 15 16 16 16 16 19 23
vii a. b. c. d. 2.8 2.9 2.10 2.11 2.11 2.11.1 2.11.2
Ideologi Gender Sebagai Konsesnsus Bersama........................................ Ideologi Gender sebagai Ideologi Dominan.............................................. ideologi Gender Sebagai Pengklasifikasian Universal.............................. Ideologi Gender Sebagai Arena Pertentangan.......................................... Keadilan dan Ketidakadilan Gender.......................................................... Feminisme................................................................................................. Peran Media di Tengah Kekuatan Sosial………………………………... Konstruksi Realitas Sosial………………………………………………. Analisis Framing........................................................................................ Proses Framing........................................................................................... Efek Framing..............................................................................................
BAB III METODELOGI 3.1 Tipe Penelitian…………………………………………………………… 3.2 Metode Penelitian………………………………………………………... 3.3 Teknik Pengumpulan Data………………………………………………. 3.3.1 Data Primer………………………………………………………………. 3.3.2 Data Sekunder………………………………….………………………… 3.4 Unit Analisis.......…………………………………………………………. 3.5 Teknik Analisis Data………………………..……………………………. 3.6 Perangkat Framing………………………………………………………...
24 24 25 25 28 27 31 35 40 40 44
46 47 47 47 47 48 48 49
BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Perusahaan.................................................................... 53 4.1.1 Produksi Film Bioskop Starvision Plus...................................................... 53 4.1.2 Visi Multivision dan Misi Starvision Plus................................................. 54 4.2 Struktur Organisasi dan Credit Title……………………………………... 55 4.3 Hasil Penelitian…………………………………………………………… 56 4.3.1 Analisis Framing Film Perempuan Berkalung Sorban…………………... 56 4.3.1.1 Rangkuman Cerita Perempuan Berkalung Sorban………………………. 56 4.3.1.1.1 Elemen Inti (Idea Element)……………………………………………… 61 4.3.1.1.2 Perangkat Pembingkai (Framing Devices)……………………………… 63 4.3.1.1.3 Perangkat Penalaran (Reasoning Devices)………………..……………... 70 4.4 Pembahasan Mengenai Konstruksi Perempuan dalam Film Perempuan Berkalung Sorban………………………………………………………... 76 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan………………………………………………………………... 85 5.2 Saran………………………………………………………………………. 87
ix Tabel 1 2 3 4 5 6 7 9
Perbedaan Seks dan Gender……………………………………………..... 20 Perangkat Framing………………………………………………………… 50 Analisis Framing Model Gamson dan Modigliani………………………… 51 Ketidakadilan Gender……………………………………………………... 68 Citra Feminis………………………………………………………………. 68 Kekerasan Seksual………………………………………………………… 69 Judul Film…………………………………………………………………. 71 Perangkat Framing………………………………………………………… 78
DAFTAR PUSTAKA Biodata Penulis
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Selama ini media massa memegang peranan yang sangat besar dalam sosialisasi nilai di masyarakat. Hampir semua aspek nilai-nilai sosial dapat dengan mudah menular dari satu orang ke orang lainnya secara masal melalui media massa. Nilai baik buruk, benar salah, sopan santun, empati, simpati, semuanya dapat diajarkan secara massal melalui media massa. Seorang anak SD ketika jalan kaki pulang dari sekolah, kemudian dalam perjalanan mengambil buah dari pohon milik orang lain merupakan contoh transfer nilai yang sangat manjur dari media terhadap seorang anak. Perilaku anak SD itu meniru tingkah laku dalam adegan sinetron yang ditayangkan di media massa. Ketika serial kartun tintin populer di tanah air sekitar tahun 90-an, gaya rambut anak muda Indonesia rata-rata meniru gaya rambut tintin. Praktis gaya rambut yang mancung ke depan itu mewabah hampir di semua kalangan remaja tanah air. Hal ini menjadi bukti betapa berpengaruhnya media massa dalam menelorkan nilai di masyarakat. Peranan media massa yang sangat besar dalam sosialisasi nilai di masyarakat ini juga berimplikasi kepada konstruksi realitas sosial tentang perempuan. Maksudnya, media massa mempunyai tanggung jawab secara moral terhadap bagaimana
mencitrakan perempuan di media sesuai dengan perempuan dalam
realitas sosial. Jadi apa yang tampak di media massa mengenai perempuan sejatinya
1
2
harus dapat mereferesentasikan perempuan yang sebenarnya yang terjadi pada realitas sosial. Hal ini terjadi disebabkan media massa dianggap sebagai representasi simbolis norma dan nilai masyarakat, termasuk mengenai konstruksi sosial tentang perempuan tadi.1 Tidak sedikit konstruksi realitas sosial mengenai perempuan di media massa mengalami disorientasi. Perempuan di media d
icitrakan tidak lagi sesuai dengan
yang sebenarnya di kehidupan nyata. Dalam beberapa kasus perempuan dicitrakan oleh media hanya sebagai pelayan nafsu seks laki-laki. Lengkap dengan atribut yang menempel di dirinya seperti pakaian yang serba minim, polesan make-up yang menor, sebatang rokok yang sedang dihisap sampai bahasa kasar yang mereka gunakan dalam percakapan sehari-hari. Lebih dalam pada itu, penyajian konstruksi sosial media massa tentang perempuan lebih sering menonjolkan unsur sesksualitas dibanding unsur-unsur lainnya yang melekat dalam diri seorang perempuan, unsur feminim misalnya. Menurut Wina Armada, saat ini masih banyak media massa yang menganggap penyajian seks merupakan unsur terpenting yang dapat membuat produk media massa laku ditonton dan dapat menghasilkan keuntungan yang sebsar-besarnya bagi media. Karena itu mereka mengandalkan penyajian seks sebagai dasar produknya. Dalam kondisi seperti ini, tentu saja media massa dinilai sulit menghindar dari penyajian cabul dan setengah cabul atau menyerempet soal cabul.2
1 2
Ninuk Mardiana Pambudy, wajah perempuan di media massa; www.kompas.com ; 1-10-2005 Wina Armada S.A, Menggugat Kemerdekaan Pers, Sinar Harapan, Jakarta, 1993
3
Lebih khusus mengenai penyajian seks yang dominan, menurut Menurut Adams & Gullota (dalam Aaro, 1997), masa remaja meliputi usia antara 11 hingga 20 tahun. Sedangkan Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun) bioskop adalah salah satu tempat favorit para remaja yang rata-rata berusia dari, meskipun tidak semua yang datang dan menonton bioskop adalah remaja.3 Sementara ini sejumlah bioskop Indonesia banyak sekali film islami yang menjamur di bioskop Indonesia setelah film ayat-ayat cinta sukses terjual dipasaran. Namun pada film perempuan berkalung sorban yang lebih ditonjolkan adalah masalah ketidakadilan gender. Dimana perempuan tidak boleh bekerja diluar rumah, sedangkan laki-laki diperbolehkan, perempuan harus tunduk kepada perintah suami, sedangkan suami yang perintahnya dipatuhi malah bertindak semena-mena terhadap perempuan. Dalam film ini perempuan juga tidak diperbolehkan untuk menjadi pemimpin, sedangkan laki-laki boleh. Film bioskop yang sempat booming adalah “perempuan berkalung sorban”. Film ini mengangkat tentang kehidupan seorang wanita muslimah yang hidup ditengah ketatnya peraturan keluarga yang agamis. Nama wanita itu adalah Anisa. Sejak kecil Anisa sudah disekolahkan disekolah keluarganya yaitu pesantren AlHuda, namun pendidikan yang ia dapatkan baik di lingkungan keluarga maupun dilingkungan
3
pesantrennya
dinilai
terlalu
membesa-besakan
gender.
Gunarsa, S.D. Dasar dan teori perkembangan anak. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993
Anisa
4
diperlakukan tidak adil dengan kedua kakaknya yang laki-laki. Karena ia adalah perempuan, dia tidak diperbolehkan untuk menjadi ketua kelas, tidak boleh menonton bioskop, dan tidak diizinkan untuk kuliah oleh ayahnya. Sedangkan ayahnya matimatian untuk membiayai kuliah kedua kakaknya keluar negeri. Peran wanita disini hanya untuk mengurus rumah tangga dan melayani suami.4
Alasan mengapa peneliti ingin meneliti lebih jauh tentang film “Perempuan Berkalung Sorban”, adalah karena film ini menuai protes keras dari ulama di berbagai daerah dengan tuduhan bahwa film tersebut dianggap terlalu menghina ulama yang bersikap tidak adil terhadap perempuan. selain itu dalam film ini terdapat unsur ketidakadilan gender dan unsur feminisme. Dalam beberapa scene juga terdapat tindak kekerasa seksual yang dilakukan suami Anisa kepada Anisa. Sehingga membuat Anisa menjadi mengalami shok berat dan trauma yang mendalam. Tayangan-tayangan tersebut menggugah penulis untuk meneliti lebih jauh, sejauh mana media massa khususnya film mengkonstruksi realitas sosial mengenai perempuan dengan studi kasus tentang film “Perempuan Berkalung Sorban”. Penulis akan meneliti kasus tersebut dengan metode analisis framing atau pembingkaian terhadap isi atau materi pada media massa film. Dengan analisis framing kita dapat mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh media ketika menyeleksi dan memproduksi 4
www.klikstarvision.com
5
tayangan. Cara pandang atau persfektif ini pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan hendak dihilangkan, dan hendak dibawa kemana berita tersebut. Menurut
Gamson
dan
Modigliani,
peneliti
yang
konsisten
mengimplementasikan konsep framing, menyebut cara pandang itu sebagai kemasan (package) yang mengandung konstruksi makna atas peristiwa yang akan ditayangkan. Menurut mereka, frame adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana.5 Kemasan (package) adalah serangkaian ide-ide yang menunjukkan isu apa yang dibicarakan dan peristiwa mana yang relevan. Package adalah semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima. Package tersebut dibayangkan sebagai wadah atau struktur data yang terorganisir sejumlah informasi yang menunjukkan posisi atau kecendrungan politik, dan yang membantu komunikator untuk menjelaskan muatan–muatan di balik suatu isu atau peristiwa. Keberadaan suatu package terlihat dari adanya gagasan sentral yang kemudian didukung oleh perangkat-perangkat wacana seperti kata, kalimat, pemakaian gambar atau grafik tertentu atau proposisi dan sebagainya, awalnya elemen dan struktur wacana tersebut mengarah pada ide tertentu dan mendukung ide sentral suatu berita. 5
Eriyanto, Analisis framing : Konstruksi,ideologi dan politik media ; 2002:217-287.
6
Terkait dengan film “Perempuan Berkalung Sorban” di atas penulis ingin melihat bagaimana media massa dalam hal ini media film mengemas (package) perempuan ke dalam sebuah tayangan bioskop. Ada indikasi media hanya ingin mengekploitasi seksualitas perempuan karena persoalan nilai jual yang tinggi yang berimplikasi kepada keuntungan semata. Karena jika nilai jual mereka bagus yang berarti tayangan mereka ditonton banyak orang, maka asumsinya tayangan tersebut bisa dipastikan akan meraih keuntungan yang melimpah dari penonton bioskop maupun yang membeli kepingan DVD film tersebut. Menurut Sarlito Wirawan mantan Ketua Komisi Penegakan Pedoman Perilaku Televisi (KP3T) -yang dibentuk oleh Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI)mengatakan produser-produser televisi hanya mementingkan rating, mereka tak lagi memperhatikan kaidah pendidikan, moral, dan etika6. Agar filmnya mendapat rating yang bagus, pengelola lembaga perfilman dan production house yang bersangkutan terkesan menghalalkan segala cara untuk menghasilkan keuntungan yang sebesarbesarnya, termasuk mengeksploitasi seksualitas perempuan. Berdasarkan permasalahan tersbut di atas penulis tergugah untuk meneliti lebih jauh bagaimana media massa khususnya televisi mengkonstruksi perempuan terhadap film “Peremppuan Berkalung Sorban”.
6
republika.co.id: Semua Karena Soal Rating, 11-02-2007.
7
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana konstruksi media terhadap perempuan mengacu pada film “Perempuan Berkalung Sorban”? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana konstruksi media terhadap perempuan mengacu pada Film ”Perempuan Berkalung Sorban”.
1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu komunikasi khususnya bidang jurnalistik tentang konstruksi realitas sosial yang dilakukan media melalui framing. 1.4.2 Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi pada media massa tentang pentingnya kesadaran gender dalam pemberitaan mengenai citra perempuan di dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komunikasi Massa 2.1.1 Pengertian Komunikasi Massa Pengertian komunikasi massa didefinisikan secara berbeda-beda oleh para sarjana komunikasi, bergantung pada sudut pandang
yang dipakai.
Dalam bukunya Mass Communication ; An Introduction, Bittner menyatakan bahwa komunikasi massa adalah pesan-pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah orang1. Dalam definisinya Bittner memberikan batasan pada komponen-komponen dari komunikasi massa, yakni diantaranya koran, majalah, TV, radio, dan film. Menurut Metlezke komunikasi massa diartikan sebagai setiap bentuk komunikasi yang menyampaikan penyataan secara terbuka melalui media penyebaran teknis secara tidak langsung dan satu arah pada public yang tersebar2. Di sini Metlezke memperlihatkan sifat dan ciri komunikasi massa yang satu arah dan tidak langsung sebagai akibat dari penggunaan media massa. Defleur dan dennis mendefinisikan komunikasi massa sebagai suatu proses dalam mana komunikator-komunikator menggunakan media untuk
1 2
Sasa Djuarsa Sendjaja; Pengantar Ilmu Komunikasi, Univ. Terbuka Jakarta, 2003 : 7.3 Elvinaro Ardianto, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Simbiosa Rekatama. Bandung: 2004. Hal. 49
8
9
menyebarkan pesan-pesan secara luas dan secara terus menerus menciptakan makna-makna yang diharapkan dapat mempengaruhi khalayak yang besar dan berbeda-beda dengan melalui berbagai cara3. Sedangkan menurut pakar komunikasi Jalaludin Rakhmat komunikasi massa diartikan sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak, surat kabar, majalah, elektronik, radio dan televisi. Sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.4 2.1.2 Karakteristik Komunikasi Massa Komunikasi massa memiliki karakteristik tersendiri bila dibanding dengan komunikasi antar persona atau komunikasi antar kelompok. Onong Uchjana Efendi menyebutkan sedikitnya ada 4 karakteristik komunikasi massa5. Diantaranya : a. Komunikasi massa bersifat umum. b. Komunikan bersifat heterogen. c. Media massa menimbulkan keserempakan. d. Hubungan komunikator dan komunikan bersifat non pribadi. Media Komunikasi Massa Drs. Elvinaro Ardianto dalam bukunya Komunikasi massa suatu pengantar menyebutkan bahwa media komunikasi massa terdiri dari : a. Surat Kabar
3
Sasa Djuarsa Sendjaja; Op. Cit. 7.3 Jalaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Rosda Karya, Bandung, 1994. hal. 34 5 Onong Uchjana Efendi, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Citra Aditya Bakti: Bandung 1993 : 83 4
10
b. Majalah c. Radio siaran d. Televisi e. Film f. Komputer dan internet6 Fungsi Komunikasi Massa a. Fungsi Menyiarkan Informasi Merupakan fungsi utama dari fungsi komunikasi massa. Khalayak pembaca membeli atau berlangganan surat kabar, mendengarkan radio dan menonton televisi karena memerlukan informasii tentang berbagai peristiwa yang terjadi di permukaan bumi. b. Fungsi Mendidik Sebagai sarana pendidikan massa –mass education- media massa baik cetak maupun elektronik mengandung berbagai pengetahuan yang diperlukan bagi khalayak pembaca. c. Fungsi Menghibur Dalam hal ini media massa juga mengandung sesuatu yang jenakka sehingga mampu menghibur khalayak. Bukan hanya berita atau artikrl saja yang bersifat formal. d. Fungsi mempengaruhi
6
Elvinaro Ardianto, Op. Cit.97
11
Fungsi ini kerap disebut sebagai kontrol sosial. Menurut Djafar Assegaf, pers pada hakekatnya dianggap sebagai kekuatan keempat –the fourt estate-, yakni karena menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial.7 2.2 Film Pertunjukan film di Indonesia sudah dikenal orang pada tahun 1990, sebab pada tahun itu iklan bioskop sudah termuat di koran-koran. Sedang pembuatan film, baru dikenal tahun 1910-an. Itu pun sebatas pada pembuatan film dokumenter, film berita atau film laporan. Pada tahun 1926, barulah dimulai pembuatan film ceritadiBandung. Sepanjang perkembangannya, film Indonesia mengalami banyak periode.8 2.2.1 Periode Coba-coba(1926-1937) Pembuatan film cerita yang dimulai di Bandung ketika itu, mengalami kesulitan yang amat berat. Sebab, harus berhadapan dengan film-film import yang telah lebih dulu menguasai pasar. Belum lagi proses pembuatan film asing yang dilakukan secarabesar-besaran. Sementara film kita harus merayap-rayap menjamah bioskop pinggiran sambil mencari-cari apa yang sebenarnya diinginkan oleh publik ketika itu. Maka, dicobalah bermacam-macam bentuk dan cerita. Film Nasional mengalami masa kering yang panjang dan penuh pengorbanan.9 2.2.2 Film Bisu (1926-1930) Usaha pembuatan film cerita dimulai (meski masih secara bisu) oleh Kruger dengan judul “Loe-toeng Kasaroeng” (1926), kemudian disusul oleh Carli, keduanya adalah peranakan Belanda: tinggal dan membuka usaha di Bandung. 7
Djaffar H Assegaf, Jurnalistik masa Kini, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1993 : 12 Onong Uchjana Efendi, Op Cit: 201 9 Onong Uchana Efendi. Op Cit hal. 202 8
12
Tahun 1928 di tanah Periangan muncul pula Wong Brother’s asal Shanghai. Permunculan mereka rupanya menarik perhatian para pengusaha Cina lainnya untuk bergerak di bidang industri perfilman. Dan pada tahun 1929 berdirilah perusahaan film cerita di Jakarta bernama TAN’S FILM.10 2.2.3 Film Bicara/Bersuara (1931) Tahun 1929, film bicara pertama diputar; itupun film produk Amerika. Dua tahun kemudian, di Indonesia dicoba pembuatan film bersuara oleh para pembuat film di tanah air. Hebatnya, semua peralatan untuk pembuatan film bersuara dibikin sendiri di Bandung. Tentu saja kualitasnya belum terlalu bagus; namun, barangkali Indonesia lah yang pertama memulai membikin film bersuara di Asia. Muncullah film “Nyai Dasima” (Jakarta 1931) film bersuara pertama. Disusul kemudian “Zuzter Theresia” (Bandung 1932). Dengan masuknya suara ke dalam film memberi keuntungan tersendiri bagi penonton serta produser film. Hal itu disebabkan belum adanya penerjemah kata asing dalam film dengan bantuan teks, hingga film Indonesia lebih bisa diterima penonton kita. Penonton jadi lebih tertarik pada film buatan dalam negeri, meski suaranya sedikit berisik. Walau film produk dalam negeri banyak diminati penonton, akan tetapi belum memberi keuntungan yang memadai. Kalaupun ada untung, itupun pendapatannya baru sebatas untuk menutup biaya produksi.11
10
Ibid hal. 203
11
Ibid hal. 204
13
2.2.4 Pengaruh Film Penngaruh film itu besar sekali terhadap jiwa manusia. Penonton tidak hanya terpengaruh sewaktu atau selama duduk di dalam gedung bioskop, tetapi terus sampai waktu yang cukup lama. Yang mudah dan dapat terpengaruh oleh film ialah anak-anak dan pemuda-pemuda . kita seringmenyaksikan mereka yang tingkah laku dan cara berpakainnya meniru-niru bintang film. Cara bicara, bersiul, duduk, berjalan dan sebagainya meniru-niru gaya bintang film. Kalau saja pengaruh film itu sebatas hanya pada cara berpakaian dan cara bergaya, itu tidaklah menimbulkan efek negatif. Celakanya pengaruh film itu sering menimbulkan akibat yang lebih jauh lagi. Jadi pengaruh film itu bergantung dari film itu sendiri. Jika film yang ditayangkan tersebut mengandung unsur yang memberikan dampak positif seperti pendidikan, motivasi, kerja keras dan sebagainya sudah tentu akan berpengaruh baik kepada masyarakat, begitu pula sebaliknya. Jika film yang ditayangkan tersebut terdapat unsur seksual, tindak kriminal, horor dan sebagainya maka film tersebut pula yang akan memberikan dampak negatif bagi perkembangan jiwa penontonnya.12
2.3 Film Sebagai Bentuk Komunikasi Massa Komunikasi massa telah memperlakukan gambar transparan dari realitas atau sebagai sumber stimulus afektif dan emosional. Tapi citra dan gambar biasanya digunakan untuk menyampaikan pesan dengan cara yang lebih
12
Ibid hal. 207
14
kompleks. Teori retorika visual menyatakan bahwa citra dan gambar dapat digunakan untuk menyusun argumentasi yang halus dan rumit dan ini menambahkan dimensi kuat pada komunikasi melalui media massa. Sedangkan menurut teori kultivasi, media khususnya televisi, merupakan sarana utama dengan mana anda belajar tentang masyarakat dan kultur. Melalui kontak dengan televisi (dan media lain) anda belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai nilainya, serta adat kebiasaannya (Severin,2005). Fokus perhatian ditujukan kepada pesan yang akan dikomunikasikan. Pesan (message) terdiri dari dua aspek, yakni isi atau isi pesan (the content of message) dan lambang (simbol) untuk mengekspresikannya. Lambang utama pada film dan televisi adalah gambar. Menurut Scoot ada tiga cara berpikir tentang gambar di media massa; yaitu sebagai gambaran nyata dari realitas, sebagai alat pembawa daya tarik afektif atau emosional, sebagai kombinasi simbol–simbol yang rumit untuk menyusun argumentasi (Severin,2005). Pesan yang disiarkan di media massa bersifat umum, karena memang demi kepentingan umum. Penataan pesan bergantung pada sifat media yang berbeda satu dengan yang lainnya. Bahan visual bermanfaat untuk mengungkapkan suatu ketertarikan antara objek penelitian dengan peristiwa di masa silam atau peristiwa saat ini. Bahan visual juga memiliki makna secara spesifik terhadap objek atau informan penelitian.13
13
http://digilib.petra.ac.id/jiunkpe/s1/fikom/2008/
15
2.4 Jenis-jenis Film Film digunakan sebagai alat untuk pendidikan kepada masyarakat, untuk penerangan keluar dan kedalam, untuk propaganda meningkatkan perdagangan. Untuk memproduksi sebuah film dibutuhkan biaya, yang besarnya bergantung dari tujuan pembuatan film tersebut. Karena harus menyusun rencana dengan seksama. Pertama-tama harus ditentukan dahulu apakah film yang akan kita buat itu diputar digedung bioskop umum atau untuk diputar ditempat lain. Dilihat dari sifatnya, film dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:14 a) Film Cerita (Story Film) Film cerita adalah jelas film yang mengandung suatu cerita, yaitu yang lazim dipertunjukan di gedung-gedung bioskop dengn para bintang filmnya yang tenar. Film jenis ini didistribusikan sebagai barang dagangan dan diperuntukan semua publik dimana saja. Dan karena barang dagangan maka pengusahanya mengalami banyak saingan. Disebabkan banyak saingan maka masing-masing pihak berusaha keras untuk memprodusir film yang sebaik-baiknya dan dengan cerita yang sebagus-bagusnya.15 b) Film Berita (Newsreel) Film berita atau newsreel adalah film mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada publik harus mengandung nilai berita.16 c) Film Dokumenter (Documentary Film)
14
Onong Ucjhana Efendi Op Cit hal. 210 Ibid hal. 205 16 Onong Uchjana Efendi. Op Cit. hal. 206 15
16
Istilah ”documentary” mula-mula dipergunakan oleh seorang sutradara Inggris, John Grierson, untuk menggambarkan suatu jenis khusus film yang dipelopori oleh seorang Amerika bernama Robert Flaherty. d) Film Kartun Timbulnya gagasan untuk menciptakan film kartun ini adalah dari para seniman pelukis. Ditemukannya cinematography telah menimbulkan gagasan kepada mereka untuk menghidupkan gambar-gambar yang mereka lukis, dan dari lukisan-lukisan itu bisa menimbulkan hal yang lucu dan menarik, karena dapat memegang peran apa saja yang tidak mungkin diperankan oleh manusia.
2.5 Film dalam Mengkonstruksi Perempuan Wacana perempuan dalam film dapat dikritisi melalui cara pandang yang digunakan dalam menjadikan perempuan sebagai subyek, untuk kemudian dilihat interaksinya dalam konteks kekuasaan. Dunia show-biz yang menjadikan perempuan
sebagai sumber lawakan misalnya, menunjukkan ketidakadilan
gender dari struktur kekuasaan yang tidak seimbang. Penonton perempuan boleh jadi juga ikut menertawakan lawakan ini, karena juga ikut sebagai bagian dari nilai dominan dalam kekuasaan struktural. Hiburan semacam ini hanya menjadi replika dari konstruksi sosial yang bias gender. Bandingkanlah dengan film-film transvestis semacam “Tootsie” yang diperankan oleh Dustin Hoffman (1982), atau film “Mrs Doubfire” oleh Robin Williams (1993), wacana yang ditampilkan bukan untuk mengolok-olok perempuan.
17
Humor yang muncul adalah untuk menertawakan laki-laki yang kalah dalam bentuknya sebagai laki-laki, sehingga terpaksa harus menempatkan dirinya sebagai perempuan. Setiap media pada dasarnya melahirkan wacana, khusus media film menampilkan wacana melalui teks visual dan auditif. Wacana merupakan makna yang ditangkap oleh
khalayak, sedang teks adalah yang
dikreasi oleh pekerja media. Teks dimaksudkan untuk menampung tema yang berasal dari materi faktual atau fiksional, dan ini lahir dari dialektika antara metode kerja (teknis) dan orientasi nilai (etis). Dari kedua aspek ini pekerja media mewujudkan informasi. Untuk itu dia akan mengolah tema dengan bahasa (visual dan auditif). Kecenderungannya mengolah tema dalam pendeskripsian ditentukan oleh kadar selera (taste)nya, sehingga seluruh informasi pada dasarnya akan mencerminkan tingkat taste dari kreatornya. Sedangkan taste mewujudkan melalui rasa (sense) dalam menghadapi bahan yang akan dikreasi dan bahasa yang digunakan dalam pengwujudan teks media. Film menampilkan wacana yang dapat dijadikan pintu untuk memahami kondisi suatu masyarakat. Krishna Sen (1987) yang melakukan kajian kritis atas film-film tahun 1965 sampai 1982, menemukan benang merah antara struktur kekuasaan Orde Baru dengan film sebagai produk kultural. Film dipandang sebagai proses ideologi, sehingga konstruksi sosial yang membentuk masyarakat dapat dilihat melalui film. Dalam konteksgender konstruksi sosial muncul dalam penampilan perempuan dan laki-laki dalam peran-peran sosial, masalah seksual dan reproduksi, pekerja perempuan, gambaran tentang feminitas dan stereotip perempuan.
18
Dari sini kesadaran tentang konstruksi sosial menjadi penting, sebab akan menjadi titik tolak dari proses kreatif. Masalah yang perlu diapresiasi adalah bentuk-bentuk penindasan yang berasal dari nilai patriarkhi. Penindasan dapat bergerak dalam bentuk kekerasan fisik sampai kekerasan simbolis yang bersifat psikhis. Pemujaan kecantikan perempuan misalnya, dapat dipandang sebagai kekerasan simbolis jika tujuan akhir adalah kepentingan hegemoni pasar dalam struktur kapitalisme. Dalam berita televisi nampak dari liputan suatu pertemuan, misalnya, fokus kamera tertuju kepada bagian-bagian tubuh perempuan.17 Tabel 1 Perbedaan Seks dan Gender18 GENDER
SEKS Tidak bisa berubah
Bisa berubah
Tidak bisa dipertukarkan
Bisa dipertukarkan
Berlaku dimana saja
Bergantung budaya
Berlaku bagi kelas dan warna kulit apa
Berbeda antara kelas dengan kelas lainnya
saja Ditentukan oleh Tuhan atau sudah
Bukan ditentukan oleh Tuhan tetapi buatan
kodratnya
manusia
17
18
Soemandoyo, Priyo, (1999) Wacana gender & Layar Televisi: Studi perempuan dalam Pemberitaan Televisi Swasta, Lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitan Yogya dan The Ford Foundation, Yogyakarta.
Apa Itu Gender, International Labour Organization, 1999, hal.15
19
Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun timbul persoalan dimana perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, walaupun laki-laki tidak menutup kemungkinan akan menjadi korban ketidakadilan gender tetapi perempuan masih tetap menduduki posisi tertinggi sebagai korban ketidakadilan gender.
19
Lebih
lanjut menurut Mansour Fakih ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, diantaranya marjinalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan, beban kerja lebih panjang atau lebih banyak, serta sosialisasi ideologi peran gender.
2.6 Media Dan Gender Media adalah salah satu instrumen utama dalam membentuk konstruksi gender pada masyarakat. Media yang memiliki karakteristik dengan jangkauannya yang luas, bisa menjadi alat yang efektif dalam menyebarluaskan konstruksi gender kepada masyarakat. Cara pemberitaan dalam media massa dalam berbagai isu menyangkut perempuan dan korban mulai dipertanyakan berbagai kelompok kritis dalam masyarakat. ''Sebuah surat kabar besar berlingkup nasional saja masih sering terpeleset menuliskan berita perkosaan," ujar sosiolog Tamrin Amal Tamagola
dalam
suatu
acara
yang diadakan
Kantor Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan di Jakarta, pekan lalu.Media massa, tanpa disadari, telah melakukan perkosaan ulang atau yang lazim disebut second rape terhadap
19
Mansour Fakih, Analisa Gender Dan Tranformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,1996, hal.12
20
perempuan korban perkosaan. Di pihak lain, pers juga seperti mengeksploitasi tubuh perempuan seperti barang dagangan. "Kita disodori perempuan berpakaian minim dengan gaya yang sensual dalam iklan-iklan barang mahal, seperti mobil. Tidak jelas hubungan antara mobil dengan gaya perempuan dalam iklan itu," sambung seorang perempuan wartawan dari sebuah koran terkemuka di Yogyakarta.Pemberitaan
mengenai
isu
perempuan
masih
dipinggirkan,
bahkan secara stereotip, pelatihan gender dalam media hanya dilihat sebagai
kepentingan
perempuan,
seperti
halnya
isu-isu
menyangkut
kesejahteraan sosial. Sayangnya gambaran mengenai perempuan dalam media massa masih menegaskan lima citra perempuan seperti yang diungkap dalam penelitian Tamrin Amal Tamagola. Citra "pigura" mendiskripsikan bahwa perempuan perlu merawat dan menjaga tubuhnya secara sungguh-sungguh dengan cara diet dan latihan fisik-kebugaran. Kegemukan, jerawat, dan ketombe, menjadi tiga musuh utama perempuan. Perempuan harus mampu membina keharmonisan keluarga dan mempertahankannya dari berbagai gangguan. Kalau rumah tangga berantakan, yang disalahkan adalah istri dan ibu yang dianggap gagal menjadi pilar rumah tangga. Untuk perempuan bekerja, tuntutan budaya ini merupakan suatu tuntutan yang hanya bisa dipenuhi oleh seorang super-woman. Citra "peraduan", menyajikan perempuan semata-mata sebagai alat pemuas nafsu laki-laki di peraduan. Dalam citra yang bentuk ekstremnya adalah pornografi, menekankan perempuan tidak boleh jauh-jauh dari jangkauan laki-laki karena ia sewaktu-waktu dibutuhkan secara seksual. Dalam berbagai ceramahnya mengenai feminisme, Melani Budianta dari Universitas Indonesia menjelaskan, istilah
21
"feminis"
dan
"feminisme"
yang
beredar
di
media
massa
Indonesia
seringkali menyiratkan konotasi negatif: feminis adalah sosok perempuan "agresif" yang ingin "sama" atau "menyaingi" laki-laki. Feminisme sering dikonotasikan sebagai "merongrong keluarga, anti-agama" dan yang sangat jelas "melanggar kodrat perempuan" .Ini tampak dari semakin ditekan-tekannya nilainilai gender lama dalam berita dan iklan di media massa, ketimbang melakukan peluruhan. Salah satu jenis stereotip yang masih terus disosialisasikan, seperti dipaparkan Melani, adalah gambaran perempuan model iklan yang menjadi ajang
pertarungan
penjualan
komoditas
yang
satu
dengan
lainnya.
Selain diletakkan sebagai obyek yang memikat ("membeli mobil sama dengan
memiliki
perempuan
cantik
yang
menjadi
model
iklannya")
perempuan sebagai konsumen dibiasakan menerima gambaran sosok sang model sebagai acuan fisik maupun pola konsumsi ("menjadi perempuan cantik
sama
dengan
mengendarai
atau
memiliki
mobil").
Nilai-nilai gender yang lama ini bisa dikemas kembali dalam kemasan baru yang seakan-akan progresif, tetapi sebenarnya mengekalkan nilai lama
yakni
mempertahankan
keseluruhan
nilai,
penarikan
garis
norma batas
dan antara
asumsi "dunia
sosial
yang
laki-laki"
dan
"dunia perempuan" atau "ruang publik" dan "-ruang domestik". Dengan jumlah perempuan wartawan yang hanya sekitar 24 persen dari seluruh wartawan yang ada (tak lebih lima persen yang menduduki posisi sebagai pengambil keputusan) tidak mudah mengubah pola pikir di dalam struktur keredaksian media massa. Akan
tetapi,
apakah
munculnya
perempuan
dalam
jajaran
pengambil
22
keputusan memberikan
dalam
industri
perspektif
media
keadilan
massa dan
tidak
bisa
kesetaraan
diandalkan
dalam
untuk
pemberitaan?
Maskulinitas itu ru disimpan dengan apik oleh surat kabar yang memilih perempuan dalam posisi-posisi strategis. Ketika memegang kekuasaan di dalam hierarki manajemen industri surat kabar, perempuan yang terisap ke dalam dunia industrialis pada dasarnya sudah bermetamorfosa menjadi "makhluk industrial" yang memang menjadi "maskulin". Sebelum membahas lebih jauh mengenai prinsip dasar yang harus dimiliki pelaku media terhadap permasalahan perempuan, terlebih dulu harus diketahui pengertian gender dan perbedaan antara seks dan gender. Banyak yang keliru ketika mengartikan seks dan gender. Pengertian gender adalah pembagian peran serta tanggung jawab baik lelaki maupun perempuan yang ditetapkan masyarakat maupun budaya. Misalnya keyakinan bahwa lelaki itu kuat, kasar, dan rasional, sedangkan perempuan lemah, lembut, dan emosional. Hal ini bukanlah ketentuan kodrat Tuhan melainkan hasil sosialisasi melalui sejarah yang panjang. Pembagian peran, sifat, maupun watak perempuan dan lelaki dapat dipertukarkan, berubah dari masa ke masa, dari tempat dan adat satu ke yang lain dan dari kelas kaya ke kelas miskin. Gender memang bukan kodrat atau ketentuan Tuhan, melainkan buatan manusia, buatan masyarakat atau konstruksi sosial.20
20
Apa Itu Gender, International Labour Organization, 1999, hal.14
23
2.7 Ideologi Gender Sebelum membahas mengenai ideologi gender terlebih dahulu akan dibahas mengenai ideologi dan konsep gender itu sendiri. Ideologi adalah satu dari sekian banyak konsep yang paling ekuivokal (meragukan) dan elusif (sukar ditangkap) yang terdapat dalam ilmu-ilmu sosial. Hai itu tidak hanya dikarenakan beragamnya pendekatan toteris yang menunjukan arti dan fungsi yang berbedabeda, tetapi juga dikarenakan ideologi adalah konsep yang syarat dengan konotasi politik dan digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari dengan makna beragam.21 Gender sebagai konsepsi tidak tepat untuk membahas jenis kelamin. Jenis kelamin mempunyai pengertian untuk menunjukan tanda-tanda yang tetap dari seseorang. Gender sebagai konsepsi mengacu pada pengertian bahwa lahirnya sebagai laki-laki atau perempuankeberadaannya berbeda-beda dalam waktu, tempat, kultur, bangsa maupun peradaban. Gender adalah interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Gender biasanya digunakan untuk menunjukan pembagian kerja.22 Berikut ini dipaparkan cara beberapa pendekatan melihat: Munculnya sistem nilai/ ideologi tertentu, faktor-faktor yang membuatnya dapat bertahan, kaitannya dengan hubungan sosial dan kehidupan sehari-hari. Berikut ini adalah jenis-jenis ideologi gender, diantaranya: a) Ideologi gender sebagai konsesus bersama Pandangan ini terutama dianut oleh kaum fungsionalis yang mengatakan bahwa suatu masyarakat hanya bisa bertahan apabila anggotanya menjalankan 21
Larrain Jorge, The Concept of Ideology, (London: Hutchinson, 1979), hal. 41-42 Syamsiah Ahmad, Kajian Terhadap Masalah-Masalah Hukum dan Wanita. Makalah (Jakarta. LLPH-UI, 1990).
22
24
peran-peran sosial sesuai dengan harapan peranan (role expectation) yang ada dalam masyarakat. Harapan peranan antar anggota masyarakat ini diambil dari sistem budaya yang dianut masyarakat. Proses yang diperhatikan dalam hal ini ialah institusional (masuknya nilai-nilai kedalam kerangka buadaya masyarakat) dan internalisasi (masuknya nilai-nilai ke dalam kerangka budaya yang dianut seorang individu). Pendekatan ini mengasumsikan bahwa antara antara hubungan pribadi dengan sistem nilai ada satu hubungan timbal balik yang tak dilematis. Pendekatan ini justru karena berdasarkan anggapan bahwa nilai-nilai tersebut tumbuh atas dasar kesepakatan bersama dan kesadaran semua pihak demi berfungsi dan berjalannya sistem tersebut. Akan tetapi pada perkembangan di masyarakat, kita juga tidak melupakan bahwasannya adanya proses negoisasi antara kelompok-kelompok dalam pencapaian nilai-nilai yang ideal.23 b) Ideologi gender sebagai ideologi dominan Dalam penerapannnya, ideologi gender sebagai ideologi yang dominan dapat kita maksudkan sebagai bagian dari proses dialektis antar sistem-sistem yang berada pada masyarakat satu dengan yang lainnya. Ini artinya sesuatu ideologi yang disebut sebagai bagian dari alat atau mekanisme yang dominan dapat masuk dalam segala aspek masyarakat. Pandangan ini beranggapan bahwa sebetulnya jarang ada aturan yang secara murni merupakan konsesus bersama. Kepentingan-kepentingan yang berbeda yang dimiliki oleh masing-masing kelompok tidak begitu saja dapat disesuaikan. Karena itu, kelompok yang kuat dalam hal ini memegang perenan yang penting. Kelompok inilah yanyang
23
Widanti Agnes, Hukum Berkeadilan Gender, Kompas: Jakarta, 2005. hal.18
25
mempunyai dan memiliki sarana atau sumber daya tertentu yang tidak dimiliki oleh kelompok lainnya. Ideologi ini yang terwujud dalam bentuk nilai-nilai dan aturan-aturan yang sengaja dibentuk agar mengurangi kontrakdiksi antara sistem yang bersesuaian dalam kesinambungan sistem yang ada.24 c) Ideologi gender sebagai sistem pengklasifikasian Universal Pendekatan strukturalisme terutama berlandaskan pada prinsip oposisi biner, yaitu sistem pengklasifikasian dimana satu kategori dianggap mempunyai ciri yang berlawanan dengan kategori lainnya. Dalam hal ini penglasifikasian terwjud adannya hubungan antar elemen yang saling berelasi satu dengan laingnya, wujud dari sistem ini dapat kita lihat dari setiap masyarakat secara universal. 25 d) Ideologi gender sebagai arena pertentangan Ide yang dikemukakan dalam pendukung ideologi dominan ialah pertentangan antara yang “kuat” dan “menang” dalam suatu sistem di masyarakat. Hal inilah yang dipandang sebagai hubungan yang statis antar elemen pendukung keberadaan nilai-nilai dalam membentuk sistem yang dominan. Perlu dikoreksi juga disini bahwasannya pandangan tersebut mendapat kritik, yang tidak menyebut aktor dan arena sosial dalampertimbangan dalam mewarnai masingmasing nilai-nilai dan aturan dalam masyarakat. Konsekuensi dari pendapat diatas, sehubungan dengan kedudukan perempuan selalu didudukan sebagai the second sex.26
24
Widanti Agnes, Hukum Berkeadilan Gender, Op cit. Kompas: Jakarta, 2005. hal.19 Ibid hal 19 26 Widanti Agnes Op cit .hal 20 25
26
2.8 Keadilan dan Ketidakadilan Gender Menurut Fakih sejarah manusia dalam memerangi ketidakadilan sosial telah melahirkan analisis dan teori sosial yang hingga saat ini masih berpengaruh dalam membentuk sistem kemasyarakatan umat manusia yakni analisis dan teori kelas yang dicetuskan Karl Marx, Antonio Gramci dan Louis Athusser yang membahas ideologi dan kultural menggugat keduanya karena dianggap sebagai alat serta bagian dari mereka yang berkuasa untuk melanggengkan ketidakadilan. Para penganut teori kritis mazhab Frankfurt mempersoalkan metodelogi dan epistemologi positivisme sebagai salah satu ketidakadilan. Ilmu pengetahuan dan wacana yang selama ini dianggap netral, akhir-akhir ini oleh pemikiran pascamodern juga dipertanyakan, karena menurut pandangan mereka, ilmu pengetahuan bisa dan menjadi alat untuk melanggengkan ketidakadilan. Dari berbagai gugatan mengenai ketidakadilan tersebut, terdapat satu analisis yang mempertanyakan ketidakadilan sosial dari aspek hubungan antara jenis kelamin yang belum pernah disinggung oleh teori-teori di atas. Analisis yang dimaksud adalah analisis gender, analisis yang menjadi alat untuk memahami ketidakadilan yang menimpa laki-laki dan perempuan.27
2.9 Feminisme Ketidakadilan gender inilah yang digugat ideologi feminis yang berangkat dari suatu kesadaran akan suatu penindasan dan pemeresan terhadap
27
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal.14
27
wanita dalam masyarakat, apakah itu di tempat kerja atau pun dalam konteks masyarakat secara makro, serta tindakan sadar baik oleh perempuan atau pun laki dalam mengubah keadaan tersebut. Rosemary
Thong
dalam
feminist
Through
A
Comprehensive
Instroduction, menunjukkan beberapa perspektif feminis yang berkembang di dunia antara lain : feminis liberal, feminis Marxis, feminis radikal, feminis psikologis, feminis sosial, feminis eksistensialis dan feminis post modern.28 Feminis liberal, memberikan penekanan pada terjadinya subordinasi perempuan di masyarakat. Hal ini disebabkan oleh adanya hambatan hukum dan adat yang menghalangi perempuan untuk masuk dalam lingkungan publik .Feminisme marxis berpendapat bahwa ketertinggalan perempuan bukan disebabkan oleh tindakan individu yang disengaja, melainkan akibat dari struktur sosial, politik dan ekonomi yang berkaitan erat dengan sistem kapitalis. Feminisme radikal, lebih memberikan perhatian pada permasalahan reproduksi dan seksualitas kaum perempuan. Asumsi yang dibangun adalah bahwa patriarki, yaitu sistem kekuasaan dalam keluarga dan masyarakat yang lebih
memberikan
posisi
dominan
pada
lak-laki,
menyebabkan
keterbelakangan perempuan. Oleh karena itu sistem patriaki tidak saja harus dirombak tetapi juga harus dicabut hingga akarnya. Feminisme psikoanalisis bertitik awal dari teori freud yang menyatakan seksualitas merupakan unsur krusial dalam pengembangan relasi gender. Menurut Freud, seksualitas perempuan dan lelaki berbeda, perbedaan ini berakar pada psikis mereka yang
28
Sunarto, Analisis Wacana Ideologi Gender Media Anak-Anak, Mimbar dan Yayasan Adikarya IKAPI serta Ford Foundation, Semarang,2002
28
disebabkan perbedaan biologis. Feminisme Sosialis, memandang kapitalisme dan patriaki merupakan ideologi yang menyebabkan terjadinya penindasan terhadap perempuan. Perspektif feminis sosial memandang media sebagai instrumen dalam menyampaikan steoriotipe, patriakal dan nilai-nilai hegemoni mengenai wanita dan feminitas. Media berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial, menurut perspektif ini media menampilkan kapitalisme dan skema patriaki yang dianggap sebagai sistem yang paling menarik dan tersedia. Atas dasar berbagai ketidakadilan terhadap perempuan yang selalu digugat oleh kaum feminis, perlu kesetaraan gender dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk media massa harus berprespektif gender dalam menyebarluaskan pemberitaannya. Menurut Nur Imam Subono, jurnalisme berprespektif gender dapat diartikan: Sebagai kegiatan atau praktik jurnalistik yang selalu menginformasikan atau bahkan mempermasalahkan dan menggugat secara terus-menerus, baik dalam media cetak (seperti dalam majalah, surat kabar, dan tabloid) maupun media elekronik (seperti dalam televisi dan radio) adanya hubungan yang tidak setara atau ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan. 29 Pentingnya jurnalis dan institusi media yang mempunyai sensitif yang tinggi dalam permasalahan perempuan, dan untuk menghasilkan jurnalisme yang berperspektif gender, sepertinya profesional media massa harus bekerja
29
Nur Iman Subono, Menuju Jurnalisme Yang Berperspektif Gender, Jurnal Perempuan, No.28, 2003, hal. 59.
29
keras. Setidaknya ada beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan para pelaku media massa, yaitu : 30 Pertama. Kemampuan profesional, etika dan perspektif pelaku media massa terhadap permasalahan gender masih rendah. Akibatnya hasil penyiaran belum sepenuhnya mampu mengangkat permasalahan perempuan pada arus utama (mainstream). Penumbuhan rasa empati terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan, merupakan salah satu jalan bagi media untuk bertindak fair, proposinal serta berimbang dalam memberitakan kasus-kasus yang melibatkan perempuan. Kedua. Media massa belum mampu melepaskan diri dari perannya sebagai medium ekonomi kekuasaan baik yang datang dari penguasa, otoritas intelektual, ideologi poitik, ataupun pemilik modal. Media massa yang seharusnya menjadi watchdog bagi kekuasaan, justru terjerumus menjadi pelestari kekuasaan hanya karena lemahnya kemampuan profesional dan etika media massa. Akibatnya perempuan akhirnya menjadi korban dari aroganisme pelanggengan kekuasaan. Ketiga. Kurangnya peran aktif dan representasi perempuan dalam media massa menjadikan perempuan sulit untuk keluar dari posisi keterpurukannya saat ini. Debra Yatim mengungkapkan bahwa media massa Indonesia dikuasai oleh budaya patriarki dan kapitalisme dengan dominasi laki–laki di dalamnya. Media
30
seharusnya
meningkatkan
jumlah
praktisi
perempuan
serta
Ashadi Siregar, Rondang Pasaribu, Ismay Prihastuti, Eksplorasi Gender Di Ranah Jurnalisme ,LP3Y, Galang Printika, Yogyakarta, 2002, hal.219
30
menempatkan perempuan tidak lagi sebagai objek namun berperan aktif sebagai subjek. Keempat. Perlu pengubahan paradigma pada media massa berkaitan dengan pencitraan perempuan yang selama ini dipakai. Pencitraan perempuan dalam media, yang selama ini cenderung seksis, objek iklan, objek pelecehan dan ratu dalam ruang publik, perlu diperluas wacananya menjadi perempuan yang mampu menjadi subjek dan mampu menjalankan peran–peran publik dalam ruang publik. Diskursus jurnalistik harus diubah agar jurnalis tidak terjerumus menjadi pengguna kekerasan, pengabsah ketertindasan pada perempuan, dan pelanggengan kultur ketidakadilan yang selama ini melingkupi perempuan. Kalau selama ini pendekatan jurnalisme yang dipakai media berpola konservatif, maka tidak menutup kemungkinan mengembangkannya menjadi jurnalisme progresif atau jurnalisme empati. Jurnalisme yang mengajarkan masyarakat mengembangkan sikap–sikap yang emansipatoris, kritis, non eksploitatif , non diskriminatif, demokratis, tetap proposional, dengan tidak meninggalkan
kaidah–kaidah dasar jurnalistik
yang telah disepakati
sebelumnya. Dalam
menjalankan
fungsinya
sehari–hari,
media
setidaknya
mempertimbangkan kepentingan praktis atau pun strategis perempuan. Terbentuknya pemahaman perspektif gender diharapkan tidak saja akan mengubah cara pandang masyarakat dalam menghadapi keberadaan kaum
31
perempuan, namun juga diharapkan mampu menepis pandangan negatif yang cenderung diskriminatif dan berbias gender.31 Dimasukkannya media massa sebagai satu dari 12 landasan Aksi Deklarasi Beijing menunjukkan bahwa peran media massa menjadi sangat strategis untuk membantu perempuan lepas dari ketertindasannya selama ini. Media massa mampu menjadi kekuatan positif untuk mengangkat harkat dan status hukum perempuan dalam relasi gender. Hanya saja perlu diwaspadai, karena pada peluang yang sama media massa bisa sekaligus berubah menjadi virus yang justru semakin memperburuk posisi perempuan.
2.10 Peran Media Di Tengah Kekuatan Sosial Pembentukan konstruksi realitas pada media massa sangat dipengaruhi oleh hubungan kekuatan-kekuatan sosial yang melingkupi media dan berbagai tekanannya. Gebner menggambarkan pola komunikasi massa dalam situasi yang tertekan. Tekanan yang mereka hadapi berasal dari berbagai “kekuatan“ luar, termasuk dari klien (misalnya para pemasang iklan), penguasa (khususnya penguasa hukum dan politik), pakar, institusi lainnya dan khalayak. Gebner menulis: Meskipun secara analisis berbeda, pada kenyataannya tidak ada satupun kekuatan atau bentuk pengaruh yang terpisah atau terisolasi. Semua kekuatan tersebut berbaur, tumpang tindih, dan saling mendesak. Akumulasi kekuatan dan pengaruh memberikan kedudukan
31
Ashadi Siregar, Rondang Pasaribu, Ismay Prihastuti, op.cit., hal.222
32
dominan pada beberapa institusi tertentu dalam komunikasi massa dan masyarakatnya.32 Hubungan organisasi media dengan klien, pemilik dan pemasok. Pengamatan atas permasalahan ini akan menyajikan dua pandangan yang sangat bertentangan: Apakah media harus sepenuhnya mengabdikan diri kepada kepentingan negara atau kelas kapitalis, atau apakah mereka harus diidentifikasi sebagai kelompok yang menjalankan profesi bebas yang berupaya untuk mencapai tujuan komunikasi yang ideal untuk menanggulangi berbagai hambatan material atau pemberi dana. Tidak ada satupun dari keduanya yang merupakan situasi tipikal.33 Lebih lanjut menurut Mc Quail, situasi demikian dimodifikasi dan diimbangi oleh beberapa faktor lain, yang dapat diringkaskan sebagai berikut : 1. Sumber dana, baik publik maupun pribadi, dapat juga mempunyai tujuantujuan yang tidak untuk mencari untung atau tujuan-tujuan profesional. 2. Kebanyakan media yang berorientasi pasar memiliki berbagai sumber dana, dari penanam modal, pemasang iklan, konsumen, dan kadang kala pula subsidi dari masyarakat. Jika media berhasil menarik publik, maka media pun mampu menarik keuntungan finansial lainnya. 3. Media publik mempunyai posisi yang berbeda-beda tetapi bisa memperoleh pengaruh melalui mekanisme politik, walaupun biasanya
32
Denis Mc Quail, Teori Komunikasi Massa, Suatu Pengantar Erlangga, Jakarta, 1996, hal.141 Denis Mc Quail, Teori Komunikasi Massa, Suatu Pengantar Erlangga, Jakarta, 1996, op.cit, hal.153 33
33
tidak melupakan untuk memuaskan publik mereka sampai batas-batas tertentu yang bisa dilihat. Hubungan organisasi media dengan sumber berita. Dalam hubungan ini media harus melakukan seleksi terhadap begitu banyak bahan untuk dapat dimasukkan ke saluran yang mempunyai kapasitas terbatas. Sementara itu, pola hubungan antar penyeleksi (selektor) dengan sumber sangat bervariasi, sehingga peran yang berkaitan pun demikian pula adanya.34 Lebih lanjut menurut Mc Quail, beberapa situasi utama dari hal-hal seperti ini dapat diidentifikasi sebagai berikut : 1.
Kontak berkesinambungan dengan orang “dalam“ yang mengetahui banyak informasi dan para ahli mengenai berbagai berita.
2.
Kontak berkesinambungan seperti itu juga diupayakan oleh mereka yang mungkin menjadi sumber berita itu sendiri, dengan maksud untuk memupuk hubungan baik dengan pihak-pihak yang mungkin akan memberikan manfaat.
3.
Pengamatan langsung dan pengumpulan informasi yang melaporkan peristiwa sehari-hari, juga merupakan sumber bagi media berita.
4.
Memanfaatkan pelayanan badan pemasok berita, terutama badan pemasok berita nasional maupun internasional, agen-agen berita film, pertukaran program televisi juga berbagai badan yang menangani kegiatan para seniman, pengarang atau penulis.
34
Ibid hal.155
34
Hubungan organisasi media dengan khalayak. Dalam hubungan ini publik memang merupakan klien dan sumber pengaruh paling penting dalam lingkungan
setiap
memperlihatkan
organisasi
kecenderungan
media.
Namun
banyaknya
banyak
komunikator
penelitian
massa
tidak
menganggap publik terlalu penting padahal pihak manajemen selalu mengikuti eratnya angka penjualan dan tingkat penawaran publik35 Fergusen juga melaporkan adanya sikap agak angkuh dari para redaktur wanita terhadap pembaca mereka. Mungkin pula masalah itu bersumber dari kenyataan
bahwa
komunikator
massa
harus
memberikan
pelayanan
profesional dan menjual produk pada waktu yang bersamaan. Sedangkan kriteria dominan yang seringkali diinginkan oleh pihak organisasi adalah meningkatnya angka penjualan. Menurut Fergusen, para redaktur media komersial semua berpendapat bahwa keberhasilan profesional harus dibuktikan dengan meningkatnya sirkulasi dan pendapatan dari iklan. 36 Hubungan organisasi media dengan kelompok penekan, pemerintah, dan tekanan sosial politik, dalam hubungan ini mereka merupakan kekuatan sosial budaya yang mempengaruhi organisasi media. Tekanan untuk menuliskan suatu berita oleh kepentingan sosial politik cukup tinggi. Hubungan antara organisasi media dan kekuatan-kekuatan sosial ini tergantung pada tujuan utama dari organisasi media. Tujuan-tujuan utama dari organisasi media khususnya surat kabar menurut Tunstall terbagi menjadi dua,
35 36
Ibid, hal.160 Ibid hal.161
35
yaitu sasaran-berpendapatan (revenue goal) dan sasaran-tidak-berpendapatan (non- revenue goal). 37 Sasaran-tidak-berpendapatan mengandung pengertian tujuan yang tanpa aspek keuangan langsung; percakapan prestise; penerapan pengaruh atau kekuasaan dalam masyarakat, dan mencapai tujuan moral tertentu. sasaranberpendapatan terbagi dua, yaitu sasaran yang bersumber pada pemasang iklan dan berasal dari penjualan. Berbagai isi dan kebijakan pers berkaitan dengan variasi sasaran yang disebutkan tadi. Selanjutnya Tunstall menyatakan bahwa bilamana terjadi konflik sasaran dalam surat kabar, maka sasaran target khalayak (penyenangkan khalayak demi meningkatkan sirkulasi) dapat berfungsi sebagai “sasaran koalisi“ kebanyakan orang menyikapi sasaran tersebut. Kesadaran akan kenyataan bahwa media memang memiliki sasaran gabungan sangatlah penting. Dengan demikian, kita dapat memahami media dalam konteks sosialisme dengan beberapa tekanannya. 38
2.11 Konstruksi Realitas Istilah konstruksi realitas menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman dalam buku The Social Of Construction Reality . Realitas menurut Berger tidak di bentuk secara ilmiah. Tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi dibentuk dan di konstruksi. Dengan pemahaman ini realitas berwujud ganda/prural. Setiap orang
37 38
Ibid, hal.144 Ibid, hal.145
36
mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas, berdasarkan pengalaman, preferensi, pendidikan dan lingkungan sosial, yang dimiliki masing-masing individu. Satu kelompok bisa jadi mengkonstruksi gerakan mahasiswa sebagai anarkis, di luar batas dan mengganggu masyarakat serta dijadikan alat permainan elit politik tertentu. Tetapi orang dari kelompok sosial yang lain bisa jadi mengkonstuksi gerakan mahasiswa itu, memperjuangkan nasib rakyat dan berjuang tanpa pamrih. Konstruksi yang mereka buat itu dlengkapi dengan legitimasi tertentu. Tetapi orang dari kelompok sosial yang lain bisa jadi mengkonstruksi gerakan mahasiswa itu, memperjuangkan nasib rakyat, dan berjuang tanpa pamrih. Konstruksi yang mereka buat itu dilengkapi dengan legitimasi tertentu, sumber kebenaran tertentu, bahwa apa yang mereka ketakan dan mempercayai itu adalah benar adanya, punya dasar yang kuat. 39 Lebih lanjut gagasan Berger mengenai konteks berita harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Karenanya sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Setiap wartawan mempunyai pandangan dan konsepsi yang berbeda atas suatu peristiwa. Hal ini dapat dilihat bagaimana wartawan mengonstruksi peristiwa dalam pemberitaannya. Berita dalam pandangan konstruksi sosial bukan merupakan fakta yang riil. Berita adalah produk interaksi wartawan dengan fakta. Realitas sosial tidak begitu saja menjadi berita tetapi melalui proses. Diantaranya proses internalisasi dimana wartawan dilanda oleh realitas yang ia amati dan diserap
39
Eryanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, LkiS, Yogyakarta 2002, hal.15
37
dalam kesadarannya. Kemudian proses selanjutnya adalah eksternalisasi. Dalam proses ini wartawan menceburkan diri dalam memaknai realitas. Hasil dari berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika ini.40 Konstruksi realitas terbentuk bukan hanya dari cara wartawan memandang realitas tapi kehidupan politik tempat media itu berada. Sistem politik yang diterapkan sebuah negara ikut menentukan mekanisme kerja media massa negara itu mempengaruhi cara media massa tersebut mengonstruksi reallitas.41 Menurut Hamad, karena sifat dan faktanya bahwa tugas redaksional media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka tidak berlebihan bahwa seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan. 42 Pembangunan konstruksi realitas pada masing-masing media berbeda, walaupun realitas faktanya sama. Hal mengonstruksikan realitas fakta ini tergantung pada kebijakan redaksional yang dilandasi pada politik media itu. Salah satu cara yang bisa dipahami atau digunakan untuk menangkap cara masing-masing media membangun sebuah realitas berita adalah dengan framing. 43 Menurut Eriyanto, terdapat dua penekanan karakteristik penting pada pembuatan
konstruksi
realitas.
Pertama,
pendekatan
konstruksionis
menekankan bagaimana politik pemaknaan dan bagaimana seseorang
40
Jurnal MWCC, Op Cit hal.3 Ibnu Hamad, Media Massa Dan Konstruksi Realitas, Jurnal Pantau, ISAI, 6 Oktober–November 1999. hal.55 42 Alex Sobur, Analisis Teks Media, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2002, hal.98 41
43
Bimo Nugroho, Eriyanto, F. Surdias, Poltik Media Mengemas Berita, ISAI, Jakarta, 1999, hal.1
38
membuat gambaran tentang realitas politik. Makna bukanlah sesuatu yang absolut, konsep statik yang ditemukan dalam suatu pesan. Makna adalah suatu proses aktif yang ditafsirkan seseorang dalam suatu pesan. Kedua, pendekatan konstruksionis memandang kegiatan konstruksi sebagai proses yang terus menerus dan dinamis. Pendekatan konstruksionis memeriksa bagaimana pembentukan pesan dari sisi
komunikator dan dalam sisi penerima ia
memeriksa bagaimana komunikator dan dalam sisi penerima ia memeriksa bagaimana konstruksi makna individu ketika menerima pesan. Pesan dipandang bukan sebagai mirror of reality yang menampilakan fakra apa adanya. Dalam menyampaikan pesan, seseorang menyusun citra tertentu atau merangkai ucapan tertentu dalam memberikan gambaran tentang realitas. Seorang komunikator dengan realitas yang ada akan menampilkan fakta tertentu kepada komunikan, memberikan pemaknaan tersendiri terhadap suatu peristiwa dalam konteks pengalaman dan pengetahuannya sendiri. 44 Kedua karakteristik ini menekankan bagaimana politik pemaknaan dan bagaimana cara makna tersebut ditampilkan, sebab dalam penekanan tersebut produksi pesan tidak dipandang sebagai “mirror reality“ yang hanya menampilkan fakta sebagaimana adanya. Dalam konstruksi realitas, bahasa merupakan unsur utama. Ia merupakan instrumen
pokok
untuk
menceritakan
realitas.
Bahasa
adalah
alat
konseptualisasi dan alat narasi. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita ataupun ilmu pengetahuan tanpa ada bahasa.13
44
Eriyanto, op.cit., hal.40
39
Dalam media massa, keberadaan bahasa tidak lagi sebagai alat semata untuk menggambarkan realitas, melainkan bisa menentukan gambaran (citra) yang akan muncul di benak khalayak. Bahasa yang dipakai media, ternyata mampu mempengaruhi cara melafalkan (pronounciation), tata bahasa (grammar),
susunan
kalimat
(syntax),
perluasan
dan
modifikasi
perbendaharaan kata, dan akhirnya mengubah dan atau mengembangkan percakapan (speech), bahasa (language) dan makna (meaning). Menurut De Fleur dan Ball-Rokeach, ada berbagai cara media massa mempengaruhi bahasa dan makna, antara lain : mengembangkan kata-kata baku beserta makna asosiasinya; memperluas makna dan istilah-istilah yang ada; mengganti makna lama serta istilah dengan makna baru; serta memantapkan konvensi makna yang telah ada dalam suatu sistem bahasa. Dengan begitu, penggunaan bahasa tertentu jelas berimplikasi terhadap kemunculan makna tertentu. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas turut menentukan bentuk konstruksi realitas yang sekaligus menentukan makna yang muncul darinya. 45
2.12 Analisis Framing Analisis framing merupakan versi terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis media. Dimana melalui analisis wacana kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan lewat kata, frase, kalimat dan metafora. Dengan melihat struktur kebahasaan
45
Ibnu Hamad, Agus Sudibyo, Muhammad Qodari, Op.Cit. hal.55
40
tersebut analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dalam suatu teks. Dalam hal ini, metode analisa framing yang digunakan dalam penelitian ini membuka peluang bagi implementasi konsep-konsep sosiologis, politik, dan kultural untuk menganalisa fenomena komunikasi, sehingga suatu fenomena dapat diapresiasi dan dianalisis berdasarkan konteks sosiologis, politis dan kultural yang melingkupinya. Termasuk didalamnya media. Dalam hal ini analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara dan ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis framing
dapat membuat peneliti lebih sensitif untuk melihat bhasa
politik yang digunakan dalam proses penggunaan bahasa politik yaitu statement dari pembuat kebijakan isi media.46
2.12.1 Proses Framing Pembangunan konstruksi realitas pada masing-masing media berbeda, meskipun realitas faktanya sama. Pengonstruksian fakta tergantung pada kebijakan redaksional yang dilandasi politik media. Salah satu cara yang dipakai atau digunakan untuk menangkap cara masing-masing media membangun sebuah realitas adalah dengan framing. Analisis framing merupakan versi terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisa teks media. Analisis framing mewakili tradisi yang mengedepankan pendekatan atau perspektif multidisipliner untuk menganalisa fenomena atau aktivitas komunikasi.47
46 Elvinaro Ardianto, Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, LkiS Pelangi Aksara: Yograkarta. Hal: 3 47
Alex Sobur, op. cit, hal.161
41
Robert N. Entman, seorang ahli yang meletakkan dasar-dasar bagi analisis framing untuk studi isi media, mendefinisikan framing sebagai seleksi dari berbagai aspek realitas yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih menonjol dalam suatu teks komunikasi. Dalam banyak hal seperti menyajikan secara khusus definisi terhadap masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral dan tawaran penyelesaian sebagaimana masalah itu digambarkan. Entman melihat framing dalam dua dimensi besar, yaitu seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas atau isu. Penonjolan adalah proses membuat informasi menjadi lebih bermakna, lebih menarik, berarti atau lebih diingat oleh khalayak.48 Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas. Dalam praktiknya, framing dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lain, dan menonjolkan aspek dari isu tersebut dengan menggunakan berbagai strategi wacana, penempatan yang mencolok (di headline depan atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi dan simplifikasi. Semua aspek itu dipakai untuk
48
Robert N. Entman, Framing: Toward Claryfication Of A Fractured Paradigma, Jurnal Of Communication, hal.43
42
membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak.49 Dengan framing kita juga bisa mengetahui bagaimana persfektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi dan menulis berita. Cara pandang atau persfektif ini pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan hendak dihilangkan, dan hendak dibawa kemana berita tersebut. Gamson dan Modigliani, peneliti yang konsisten mengimplementasikan konsep framing, menyebut cara pandang itu sebagai kemasan (package) yang mengandung konstruksi makna atas peristiwa yang akan diberitakan. Menurut mereka, frame adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Kemasan (package) adalah serangkaian ide-ide yang menunjukkan isu apa yang dibicarakan dan peristiwa mana yang relevan. Package adalah semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesanpesan yang ia terima. Package tersebut dibayangkan sebagai wadah atau struktur data yang terorganisir sejumlah informasi yang menunjukkan posisi atau
49
Eriyanto, Analisis Framing, LKiS, Yogyakarta, op.cit, hal.187
43
kecendrungan politik, dan yang membantu komunikator untuk menjelaskan muatan–muatan di balik suatu isu atau peristiwa. Keberadaan suatu package terlihat dari adanya gagasan sentral yang kemudian didukung oleh perangkat-perangkat wacana seperti kata, kalimat, pemakaian gambar atau grafik tertentu atau proposisi dan sebagainya, awalnya elemen dan struktur wacana tersebut mengarah pada ide tertentu dan mendukung ide sentral suatu berita. Formula Gamson dan Modigliani menitikberatkan penelitian pada penggunaan bahasa yang dipakai media secara mikro. Formula ini dalam meneliti bahasa melalui dua perangkat, diantaranya pertama, perangkat framing yang terdiri dari methapors, catchphrases, exemplaar, depiction, visual images. Kedua, perangkat penalaran yang terdiri dari roots, appeals to principle, consequences. Bahasa sangat mempengaruhi konsep framing, karena melalui framing akan ada hal tertentu yang ditonjolkan dan akan ada yang dikaburkan oleh media dalam membentuk realitas media. Proses pemberitaan dalam organisasi media akan sangat mempengaruhi frame berita yang akan diproduksinya. Frame yang diproses dalam organisasi media tidak lepas dari latar belakang pendidikan wartawan sampai ideologi institusi media tersebut. Ada tiga proses framing dalam organisasi media menurut George Junus Adit Jondro. Proses tersebut : 1.Proses framing sebagai metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibalikkan secara halus, dengan memberikan sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja, dengan
44
menggunakan istilah-istilah yang mempunyai konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur dan alat ilustrasi lainnya. 2.Proses
framing
merupakan
bagian
tak
terpisahkan
dari
proses
penyuntingan yang melibatkan semua pekerja di bagian keredaksian media cetak. Redaktur, dengan atau tanpa konsultasi dengan redaktur pelaksana, menentukan apakah laporan si reporter akan dimuat ataukah tidak, serta menentukan judul yang akan diberikan. 3.
Proses framing tidak hanya melibatkan para pekerja pers, tetapi
juga pihak-pihak yang bersengketa dalam kasus-kasus tertentu yang masingmasing berusaha menampilkan sisi informasi yang ingin ditonjolkannya (sambil menyembunyikan sisi lain). Proses framing menjadikan media massa sebagai arena di mana informasi tentang masalah tertentu diperebutkan dalam suatu perang simbolik antara berbagai pihak yang sama-sama menginginkan pandangannya didukung pembaca.
2.12.2 Efek Framing Dalam proses framing pada akhirnya akan membawa efek. Karena sebuah realitas bisa jadi dibingkai dan dimaknai berbeda oleh media, bahkan pemaknaan itu bisa jadi akan sangat berbeda. Realitas sosial yang kompleks penuh dimensi dan tidak beraturan, disajikan dalam berita sebagai sesuatu yang sederhana, beraturan dan memenuhi logika tertentu. Berdasarkan penyederhanaan atas kompleksnya realitas yang disajikan media, menimbulkan efek framing, yaitu:
45
Pertama. Framing yang dilakukan media akan menonjolkan aspek tertentu dan mengaburkan aspek yang lain. Framing umumnya ditandai dengan menonjolkan aspek tertentu dari realitas, akibatnya ada aspek lain yang tidak mendapat perhatian yang memadai. Kedua. Framing yang dilakukan oleh media akan menampilkan sisi tertentu dan melupakan sisi yang lain. Dengan menampilkan sisi tertentu dalam berita ada sisi lain yang terlupakan, menyebabkan aspek lain yang penting dalam memahami realitas tidak mendapat liputan dalam berita. Ketiga. Framing yang dilakukan media akan menampilkan aktor tertentu dan menyembunyikan aktor yang lain. Efek yang segera terlihat dalam pemberitaan yang memfokuskan pada satu pihak, menyebabkan pihak lain yang mungkin relevan dalam pemberitaan menjadi tersembunyi. 50
50
Eriyanto, Analisis Framing, LKiS, Yogyakarta, op.cit, hal.195
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan metode
analisis framing
dengan pendekatan
deskriptif kualitatif, dimana penetian ini berusaha melihat konstruksi realitas perempuan dalam film “Perempuan Berkalung Sorban”. Menurut Bogdan dan Taylor bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.40
Tujuan dari penelitian dengan pendekatan deskriptif kualitatif menurut Bogdan dan Taylor adalah pendekatan ini diharapkan mampu menghasilkan suatu uraian mendalam tentang ucapan, tulisan, dan atau suatu organisasi tertentu dalam suatu setting konteks tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif, dan holistik.41
Menurut Miles dan Huberman, penelitian kualitatif adalah conducted trough on intense and or prologed contact with a ‘field’ or live situation. These situation are typically ‘banal’ or normal ones, reflective of the everyday life individuals, groups, societies, and organization.42
40
Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung:2004, hlm.3 Sukidin dan Mundir, Metode Penelitian : Membimbing dan Mengantar Kesuksesan Anda dalam Dunia Penelitian, Insan Cendekia, 2005, hlm 2 42 Ibid hal.1 41
46
47
3.2 Metode Penelitian Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis framing, untuk melihat bagaimana media mengonstruksi realitas. Metode ini akan menganalisa perangkat-perangkat retoris teks dari film ini berdasarkan formula Gamson dan Modigliani. Dalam tahap ini analisa framing akan mengidentifikasi perangkat retoris yang terdapat dalam isi film ”Perempuan Berkalung Sorban”, lalu menentukan frame dan mencari tahu tendensi dari frame tersebut.
3.3 Teknik Pengumpulan Data 3.3.1 Data Primer, yang diperoleh penulis dari perempuan dan konstruksi media, dalam menganalisis framing terhadap film ”Perempuan Berkalung Sorban”. penulis kemudian memilahnya hanya yang menyangkut perempuan, mengenai masalah pelecehan seksual. 3.3.2. Data Sekunder Data sekunder, data pendukung penulis dari bacaan-bacaan, internet dan media televisi itu sendiri yang digunakan untuk melengkapi data yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian ini.
48
3.4 Fokus Penelitian Unit Analisis ini dibagi menjadi dua bagian yaitu yang pertama adalah subjek penelitian, dimana konstruksi realitas sosial film “Perempuan Berkalung Sorban”, dengan menggunakan analisis framing menurut model Gamson dan Modigliani serta didasarkan pada pendekatan ini dilakukan dengan melihat representasi media berita dan artikel, yaitu dimana di dalam package ini terdapat dua struktur, yaitu core frame dan condersing symbol. Bagian kedua adalah objek penelitian, yaitu penayangan Film “Perempuan Berkalung Sorban” yang diputar di seluruh bioskop Indonesia dan pernah juga ditayangkan secara terbuka di kampus universitas Mercu Buana.
3.5 Teknik Analisis Data Teknik analisa dalam penelitian menggunakan formula framing menurut Gamson dan Modigliani. 43Sebelumnya penulis memulai dengan menyeleksi isu mengenai permasalahan perempuan yang terdapat dalam film ”Perempuan Berkalung Sorban”. Setelah menentukan isu tersebut, isu itu akan dimasukkan dalam perangkat framing yang kemudian dianalisa.
Penulis memilih analisis framing formula Gamson dan Modigliani dalam penelitian ini, karena penulis yakin formula ini bila dibandingkan dengan formula
43
Willim A. Gamson and Andre Modigliani, Media Discourse And Public opinion On Nuclear Power: AConstructionist Appoach, American Journal Of Sociology, Vol. 95, No. 1,1989, hal 2. Dikutip dari Shinta Laksmi, Politik Pemberitaan Dalam Wacana Habibie dan Megawati Sebagai Calon Presiden Selama Sidang Umum MPR (1-20 Oktober 1999) (kasus Republlika dan kompas). (Skripsi FISIP UI 2000)
49
framing yang lain dapat melihat pengonstruksian makna peristiwa yang berkaitan dengan objek penelitian.
Selain itu formula framing ini dapat membantu peneliti lebih sensitif untuk melihat bahasa secara mikro melalui perangkat-perangkat dalam framing Gamson dan Modigliani. Penyajian film ini dikemas dengan disisipi unsur seksual. Dengan kalimat-kalimat
yang
menonjolkan
istilah-istilah
yang
menuju
pada
penggambaran citra perempuan, dan didukung dengan gambar berupa buku panduan bercinta. Berdasarkan hal ini penulis menentukan formula Gamson dan Modigliani paling sesuai digunakan dalam penelitian ini.
Formula framing Robert N. Entman tidak sesuai digunakan dalam penelitian ini karena formula Entman meneliti bahasa secara makro. Dengan memfokuskan penelitian pada pendefinisian masalah, sumber atau penyebab masalah, membuat keputusan moral dan menekankan penyelesaian.
3.6 Perangkat Framing Kemasan (package) tersebut, dibayangkan sebagai wadah atau struktur data yang mengorganisir sejumlah informasi yang menunjukkan posisi atau kecendrungan politik dan yang membantu komunikator untuk menjelaskan muatan-muatan di balik suatu isu atau peristiwa. Keberadaan dari suatu package dapat terlihat dari adanya gagasan sentral yang kemudian didukung oleh perangkat-perangkat wacana, seperti: kata, kalimat, pemakaian gambar atau grafik tertentu, proposisi dan sebagainya. Semua elemen dan struktur wacana tersebut
50
mengarah pada ide tertentu dan mendukung ide sentral dari suatu berita.44 Perangkat framing yang dikemukakan oleh Gamson dan Modigliani dapat di gambarkan sebagai berikut: Tabel 2 Perangakat Framing Frame Central organinizing idea for making sense of relevant events, suggesting what is at issues
Framing devices
Reasoning devices
(Perangkat framing)
(Perangkat penalaran)
Methapors
Roots
Perumpamaan atau pengandaian.
Analisis kausal atau sebab akibat.
Catchaphrases
Appeals to principle
Frase yang menarik, kontras, menonjol Premis datar, klaim-klaim moral. dalam suatu wacana. Ini umumnya berupa jargon atau slogan. Exemplaar
Consequences
Mengaitkan bingkai dengan contoh Efek atau konsekuensi yang didapat uraian (bisa teori, perbandingan) yang dari bingkai. memperjelas bingkai. Depiction Penggambaran atau pelukisan suatu isu yang bersifat konotatif. Depiction ini umumnya berupa kosakata, leksikon untuk membeli sesuatu. 44 Willam A. Gamson dan Andre Modigliani, Media Discourse and Public Opinion On Nuclear Power A Construction Approach “, American Journal of sociology, Vol 95, No 1, July 1989
51
Visual image Gambar, grafik, citra yang mendukung bingkai secara keseluruhan. Bisa berupa foto, kartun, ataupun grafik untuk menekankan dan mendukung pesan yang ingin disampaikan.
Tabel 1.3 ANALISIS FRAMING MODEL GAMSON DAN MODIGLIANI45 MEDIA PACKAGE
CORE FRAME
CONDENSING SYMBOL FRAMING DEVICES
REASONING DEVICES
1. Metaphors
1. Roots
2. Exemplar
2. Appeal to Principles
3. Catchphrases 4. Depictions 5. Visual Images
45
Willam A. Gamson dan Andre Modigliani, Media Discourse and Public Opinion On Nuclear Power A Construction Approach “, American Journal of sociology, Vol 95, No 1, July 1989
52
Keterangan: 1. Frame
:Cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana.
2. Media Packages
: gugusan ide-ide yang meindentifikasikan tentang suatu isu apa
yang
dibicarakan
relevandengan
dan
peristiwa
mana
yang
wacana tersebut
3. framing devices
: proses berfikir tentang suatu isu
4. Metaphors
: perumpamaan atau pengandaian
5. Catchpharases
: frase yang menarik, kontras, menonjol dalam suatu wacana.
6. Exemplar
: mengaitkan bingkai dengan contoh, teori atau pengalaman masa lalu.
7. Depiction
: penggambaran atau pelukisan suatu isu yang bersifat konotatif.
8. Visual images
: gambar-gambar yang mendukung secara keseluruhan.
9. Reasoning devices : untuk memberikan pertimbangan tentang apa yang harus dilakukan berkaitan dengan isu tersebut. 10. Roots
: analisis kausal atau sebab akibat
11. Appeals to principle : klaim moral 12. Consequences
: efek yang didapat dari bingkai tersebut.
BAB IV Hasil Penelitian
4.1 Gambaran Umum Perusahaan PT. Kharisma Starvision Plus Starvison Plus adalah salah satu rumah produksi di Indonesia. Didirikan pada tahun 1958 oleh Ir. Chand Parwez Servia. Starvision Plus terpandang di masyarakat sejak adanya Sitkom "SPONTAN" yang ditayangkan di SCTV pada tahun 1962. Logo Starvision Plus berbentuk bulat elips dengan lapisan biru dan putih di tengahnya,ditambah warna-warna seperti hitam, biru, ungu, merah, oranye, kuning, hijau muda, dan hijau tua.
4.1.1 Produksi Film Bioskop Starvision Plus Nadia Nadia (1996) Reinkarnasi (2000) Kafir (2002) Peti Mati (2003) The Soul (2003) Missing (2005) Me vs High Heels (2005) Virgin (2005) Hantu Bangku Kosong(2006) Heart (2006) Love Is Cinta (2007)
54
Tentang Cinta (2007) Lantai 13 (2007) XL, Antara Aku, Kau dan Mak Erot (2008) The Tarix Jabrix (2008) Basahhh... (2008) Barbi3 (2008) Si Jago Merah (2008) Perempuan Berkalung Sorban (2009)
4.1.2 VISI DAN MISI STARVISION PLUS Menjadi rumah produksi pertama di Indonesia yang unggul dan dihormati yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan industri perfilman dan pertelivisian Indonesia Membangun Multivision sebagai perusahaan Rumah Produksi swasta pertama dan terkemuka di Indonesia dengan 1. Menciptakan beragam program acara TV atau serial TV atau Film yang kreatif, inovatif dan bekualitas 2. Memberikan kesempatan kepada tenaga kreatif baru untuk dapat menyalurkan kemampuan seninya dan merealisasikan keahliannya secara maksimal 3. Melaksanakan metode pengelolaan perusahaan yang baik (Good Corporate Governance)
55
4. Menjadi kebanggan bagi seluruh karyawan dan pihak lain yang terlibat di kegiatan perusahaan dan produksi 5. Memberikan nilai tambah bagi Indonesia dalam kancah industri perfilman di dunia.
4.2
Struktur Organisasi dan Credit Title Produced by
: Chand Parwez Servia
Executive producer
: Fias Servia, Bustal Nawawi
Line pruducers
: Rendy WP, Daim Pohan
Screen play
: Ginalri S Noer, Hanung Bramantyo
Sutradara
: Hanung Bramantyo
Director of photografy
: Fauzan Rizab
Art director
: Oscar Firdaus
Music director
: Tya Subianto
Novel adapted
: Ginalri S Noer
Editor
: Wawan Idali Wibowo
Wardrobe and make up
: Retno Ratih Damayanti
Sound recorded
: Adi Molana
Sound disigner
: Adityawan, Susanto Kahar
Casting director
: Amelia Octavia
Grapich design
: Armanto Fahri
Title animation Disigner
: Hanna
Artis: Anisa
: Revalina S Temat
Khudori
: Oka Antara
Nyai Mutmainah
: Widyawati
Syamsudin
: Reza Rahadian
Kyai Hanam
: Joshua Pandelaki
Kalsum
: Francisca Roseda
56
4.3
Maryam
: Berliana Febrianti
Wildan
: Frans Cristanto
Reza
: Eron Lebang
Aisyah
: Tika Putri
Ulfa
: Risti Tagoe
Hasil Penelitian Metode penelitian framing model Gamson dan Modigliani akan digunakan
dalam menganalisis secara tekstual tentang film “Perempuan Berkalung Sorban”. 4.3.1
Analisis Framing Film Perempuan Berkalung Sorban Penelitian ini mengarah pada film Perempuan Berkalung Sorban yang
berdasarkan pada video, audio serta simbol-simbol (baik itu ucapan, gerak-gerik maupun gambar) yang terdapat pada film tersebut. Keterangan: LS
: Long Shot (setting dan karakter)
FS
: Full Shot (seluruh tubuh)
MS
: Medium Shot (medium shot)
MCU
: Medium Close Up (sebatas bahu sampai wajah)
CU
: Close Up (hanya wajah)
Cut to
: Transition (pindahan dari satu gambar ke gambar lain)
4.3.1.1 Rangkuman Cerita “Perempuan Berkalung Sorban” Sutradara: Hanung Bramantyo Ini adalah sebuah kisah pengorbanan seorang perempuan, Seorang anak kyai Salafiah sekaligus seorang ibu dan isteri.
57
Anissa (Revalina S Temat), seorang perempuan dengan pendirian kuat. Cantik dan cerdas. Anissa hidup dalam lingkungan keluarga kyai di pesantren Salafiah putri Al Huda, Jawa Timur. Pesantren Salafiah putri Al Huda adalah pesantren konservatif. Baginya ilmu sejati dan benar hanyalah Qur'an, Hadist dan Sunnah. Ilmu lain yang diperoleh dari buku-buku apalagi buku modern dianggap menyimpang. Karena itu para santri, termasuk Anissa, dilarang membaca bukubukutersebut. Dalam pesantren Salafiah putri Al Huda diajarkan bagaimana menjadi seorang perempuan muslim. Seorang muslimah yang baik menurut Islam adalah, tidak diperbolehkan membantah suami; Haram meminta cerai suami; selalu ikhlas menerima kekurangan dan kelebihan suami, termasuk jika suami berkehendak melakukan poligami; Tidak boleh berkata lebih keras dari suaminya, sekalipun dalam menyatakan ketidaksetujuan; Tidak boleh mengulur-ulur waktu bahkan menolak ketika suami mengajak berjimak; Ikhlas menerima pembagian waris sekalipun lebih kecil daripada bagian laki-laki. Pelajaran itu membuat Anissa beranggapan bahwa Islam membela laki-laki. Islam meletakkan perempuan sangat lemah dan tidak seimbang. Sejak kecil Anissa selalu mendapatkan perlakuan tidak adil dari Kyai. Dua orang kakaknya boleh belajar berkuda,
sementara
Anissa
tidak
boleh
hanya
karena
dirinya
perempuan.'Bagaimana dengan Hindun Binti Athaba?' Tanya Anissa kepada ayahnya. 'Beliau perempuan, seorang panglima. Lalu Fatima Azahra, putri Rosul, malah memimpin perang.' Tapi protes Anissa selalu dianggap rengekan anak kecil. Anissa juga sering memprotes, ketika Ustadz Ali (Leroy Osmany) mengajarkan kitab Akhlaqul Nisaa, Bulughul Mar'am dan Bidayatul Mujtahid,
58
yang membahas hak dan kewajiban perempuan dihadapan suami yang dirasa tidak adil bagi Annisa. 'Apa hukuman buat suami yang minta cerai,. Padahal sang isteri kekeuh mempertahankan rumah tangga?' Tanya Annisa kepada Ustadz Ali. 'Lalu bagaimana jika suami yang mengulur-ulur waktu atau menolak ketika sang isteri mengajak berjimak? Apa hukuman buat suami?' Lagi-lagi protes Anissa hanya dianggap sambil lalu. Anissa selalu merasa dirinya berada dalam situasi yang salah. Hanya Khudori (Oka Antara), paman dari pihak Ibu, yang selalu menemani Anissa. Menghiburnya sekaligus menyajikan 'dunia' yang lain bagi Anissa. Khudori selalu menjadi tambatan, curahan perasaan Anissa ketika dirinya diperlakukan tidak adil oleh keluarganya. Diam-diam Anissa menaruh hati kepada Khudori. Tapi cinta itu tidak terbalas karena Khudori menyadari dirinya masih ada hubungan dekat dengan keluarga Kyai Hanan (Joshua Pandelaky), sekalipun bukan sedarah. Khudori juga menyadari selisih umur yang terpaut jauh dengan Anissa. Hal itu membuat Khudori selalu membunuh cintanya demi menjaga stabilitas pesantren. Sampai akhirnya Khudori melanjutkan sekolah ke Kairo. Khudori selalu menekankan ke Anissa untuk belajar. Kalau perlu sampai ke luar negeri. Khudori yang membawa pemikiran Anissa kearah keterbukaan wawasan, hingga secara diam-diam Anissa mencoba mendaftarkan kuliah ke Jogja dan keterima. Tapi kenyataan berkata lain. Kyai Hanan tidak mengijinkan Anissa melanjutkan kuliah ke Jogja, dengan alasan bisa menimbulkan fitnah, ketika seorang perempuan belum menikah berada sendirian jauh dari orang tua. Anissa
59
merengek dan protes dengan alasan ayahnya. Akhirnya Anissa malah dinikahkan dengan Samsudin (Reza Rahadian), seorang anak Kyai dari pesantren Salaf terbesar di Jawa Timur. Pernikahan itu, juga sebagai pernikahan dua pesantren Salafiah yang mana nantinya akan menjadi pesantren besar. Sekalipun hati Anissa berontak, tapi pernikahan itu dilangsungkan juga demi kelangsungan keluarga dan pesantren Al Huda. Dalam mengarungi rumah tangga bersama Samsudin. Anissa selalu mendapatkan perlakuan kasar dari Samsudin. Samsudin adalah tipe seorang laki-laki pengidap kelainan psikologis. Seorang lelaki possesif, kasar. Tapi ketika Anissa berniat meninggalkannya, Samsudin akan berubah menjadi lelaki rapuh yang merengek-rengek sambil bersujud meminta ampun kepada Anissa. Biduk keluarga Anissa berlangsung bagai neraka. Tubuh Anissa yang semula segar bercahaya, menjadi suram. Apalagi dalam 4 tahun pernikahan, Anissa tidak dikaruniai anak. Keluarga Samsudin semakin memandang buruk Anissa dan Samsudin. Sampai kemudian Anissa harus menhadapi kenyataan Samsudin menikah lagi dengan Kalsum (Francine Roosenda). Seorang perempuan lebih tua, cantik dan bisa mempunyai anak. Harapan untuk menjadi perempuan muslimah yang mandiri bagi Anissa seketika runtuh. Anissa berada dalam pusaran gelombang panas yang tidak memiliki harapan untuk keluar. Dalam keputusasaan itu, Khudori pulang dari Kairo. Anissa seperti mendapatkan harapan. Tapi Khudori bukan seorang anak Kyai seperti Samsudin. Apalah arti seorang Khudori bagi keselamatan Anissa. Tapi Anissa tidak peduli. Dia tumpahkan keluh kesah ke Khudori. Anissa meminta Khudori membawanya pergi. Anissa rela dianggap anak durhaka asal
60
dirinya bisa keluar dari kemelut keluarganya. Tapi Khudori bukan lelaki gegabah. Khudori mencoba meredam 'bara' Anissa. Dalam kegusarannya itu, Khudori memeluk Anissa. Sebuah pelukan hangat seorang paman kepada keponakannya yang sedang resah. Tapi tiba-tiba, Samsudin datang dan memergoki keduanya. Samsudin berteriak 'Zinah! Rajam! Rajam!' yang kemudian membawa Anissa dan Khudori kedalam kemelut fitnah. Anissa tidak bisa berbuat apa-apa karena orang-orang sudah terlanjur terbakar emosi fitnah. Kejadian itu membuat Kyai Hanan malu dan sakit hingga kemudian meninggal. Khudori diusir dari kalangan keluarga pesantren Al Huda, sementara Anissa pergi ke Jogja untuk melanjutkan niatannya sekolah. Pesantren Al Huda diserahkan kepada Reza (Eron Lebang), kakak Anissa untuk dikelola. Akibat peristiwa itu, hubungan keluarga Samsudin dan Anissa menjadi buruk. Tapi Reza mencoba memperbaiki hubungan silaturahmi dengan keluarga Samsudin demi kepentingan pesantren. Hal itu membuat hubungan Reza dan Anissa renggang. Dimata Reza, Anissa seorang perusak stabilitas keluarga. Perilaku Anissa bukan cerminan anak kyai yang baik. Sementara itu Anissa berkembang sebagai muslimah dengan wawasan dan pergaulan yang luas. Lewat studinya sebagai penulis, Anissa banyak menyerap ilmu tentang filsafat modern dan pandangan orang barat terhadap Islam. Banyak buku sudah dihasilkan dari Anissa yang memotret hak perempuan dalam Islam. Dalam kiprahnya itu, Anissa dipertemukan lagi dengan Khudori.
61
Keduanya masih sama-sama mencintai. Namun Anissa masih dalam trauma pernikahan. Tapi Khudori adalah lelaki dewasa yang bisa mengerti kondisi Anissa. Akhirnya keduanya menikah meski sebetulnya pernikahan itu membuat hubungan Anissa dan keluarganya semakin jauh. Oleh Khudori, Anissa disarankan untuk pulang. Anissa tidak mau karena dirinya sudah merasa diusir dari rumah itu. 'Sebenarnya tidak ada yang mengusir kamu. Kamu yang selalu merasa terusir oleh kami.' Begitu Ibunya (Widyawati) selalu bilang kepada Anissa. Bagi Anissa Ibu adalah figur yang lemah. Tidak berdaya dihadapan ayahnya. Ibu bukan seorang yang bisa dijadikan teladan bagi Anissa. Tapi kemudian Anissa sadar bahwa untuk menciptakan lingkungan nyaman, seseorangan harus mengubah dirinya menjadi nyaman. Dan itu yang dilakukan oleh Ibu, yang biasa dipanggil Nyai. Rasa diam ibu, yang dianggap Anissa sikap lemah dan tak berdaya, sebenarnya adalah sikap toleran dan pengertian demi lingkungan stabil yang dia perjuangkan. Akhirnya Anissa pulang dan sujud dihadapan ibunya. Kata maaf dari Anissa bukan ditujukan untuk suatu kesalahan. Tapi sebuah sujud rasa bakti kepada orang tua. Dalam kata maaf itu, Anissa berjanji untuk terus berjuang menjadi yang terbaik.
4.3.1.1.1 Elemen Inti (Idea Element) Dalam film “Perempuan Berkalung Sorban” ditegaskan bahwa terdapat ketidakadilan gender dalam wilayah pesantren. Dalam kehidupan yang religius ada seorang kiai yang dalam film “Perempuan Berkalung Sorban” adalah ayahnya
62
Anisa (tokoh utama). Menolak anaknya kuliah di luar kota tanpa seorang suami. Bukan hanya itu Anisa juga mendapatkan perlakuan yang tidak sebanding dengan kedua kakak laki-lakinya. Ayahnya rela mengeluarkan banyak uang untuk membiayai kuliah kedua orang kakaknya di luar negeri. Sedangkan untuk Anisa yang merengek minta kuliah di Yogyakarta tidak diizinkan. Ayahnya malah menjodohkan Anisa dengan anak seorang kiai kondang di Jawa Timur. Dengan diiming-imingi setelah menikah Anisa baru boleh kuliah, maka dengan terpaksa Anisa menerima perjodohan yang ditawarkan ayahnya. Setelah empat tahun menikah hidup Anisa bukan bertambah bahagia, tapi malah bertambah semakin murung. Selain tidak diizinkan kuliah oleh suami. Seringkali Anisa mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya. Dalam keadaan sakit Anisa terus dipaksa untuk melayani nafsu suaminya, namun jika Anisa menolak tidak segan-segan sang suami memukuli Anisa hingga memar. Hal ini dapat dilihat dari kutipan teks berikut ini: Dalam pesantren Salafiah putri Al Huda diajarkan bagaimana menjadi seorang perempuan muslim. Seorang muslimah yang baik menurut Islam adalah, tidak diperbolehkan membantah suami; Haram meminta cerai suami; selalu ikhlas menerima kekurangan dan kelebihan suami, termasuk jika suami berkehendak melakukan poligami; Tidak boleh berkata lebih keras dari suaminya, sekalipun dalam menyatakan ketidaksetujuan; Tidak boleh mengulur-ulur waktu bahkan menolak ketika suami mengajak berjimak; Ikhlas menerima pembagian waris sekalipun lebih kecil daripada bagianlaki-laki. Pelajaran itu membuat Anissa beranggapan bahwa Islam membela laki-laki. Islam meletakkan perempuan sangat lemah dan tidak seimbang. Sejak kecil Anissa selalu mendapatkan perlakuan tidak adil dari Kyai. Dua orang kakaknya boleh belajar berkuda, sementara Anissa tidak boleh hanya karena dirinya perempuan.'Bagaimana dengan Hindun Binti Athaba?' Tanya Anissa kepada ayahnya. 'Beliau perempuan, seorang panglima. Lalu Fatima Azahra, putri Rosul, malah memimpin perang.' Tapi protes Anissa selalu dianggap rengekan anak kecil. Anissa juga sering memprotes, ketika Ustadz Ali (Leroy Osmany) mengajarkan kitab Akhlaqul Nisaa, Bulughul Mar'am dan Bidayatul Mujtahid, yang membahas hak dan kewajiban perempuan dihadapan suami yang dirasa tidak adil bagi Annisa. 'Apa hukuman buat suami yang minta cerai,. Padahal sang isteri kekeuh mempertahankan rumah tangga?' Tanya Annisa kepada Ustadz Ali. 'Lalu bagaimana jika suami yang mengulur-ulur waktu atau menolak ketika sang isteri mengajak berjimak? Apa hukuman buat suami?' Lagi-lagi protes Anissa hanya
63
dianggap sambil lalu. Anissa selalu merasa dirinya berada dalam situasi yang salah. Hanya Khudori (Oka Antara), paman dari pihak Ibu, yang selalu menemani Anissa. Menghiburnya sekaligus menyajikan 'dunia' yang lain bagi Anissa. Khudori selalu menjadi tambatan, curahan perasaan Anissa ketika dirinya diperlakukan tidak adil oleh keluarganya. Diam-diam Anissa menaruh hati kepada Khudori.
Dari kutipan teks di atas terlihat menekan bahwa perempuan dilarang berhubungan dengan dunia luar. Tugas perempuan hanya menuruti perintah suami. Jika perempuan bekerja di luar rumah dan berinteraksi dengan berlainan jenis itu hukumnya haram. Dalam film itu dikatakan oleh seorang ustad “jika perempuan menunda-nunda melayani nafsu suaminya sampai suami itu tertidur, maka Allah akan menurunkan dosa yang sangat besar kepada perempuan itu.” Pernyataan itu dibalas oleh Anisa “lalu jika suami yang tidak mau melayani istrinya berjimak apa hukumnya?”. Namun dari pertanyaan Anisa sang ustad malah berkata “hal seperti itu tidak ada dalilnya perempuan minta dilayani oleh laki-laki, kecuali ia adalah perempuan gatal.” Jelas dari percakapan yang singkat itu penulis menyimpulkan bahwa adanya ketidakadilan gender dalam kasus ini.
4.3.1.1.2 Perangkat Pembingkai (Framing Devices) Ide atau pemikiran yang dikembangkan dalam film “Perempuan Berkalung Sorban” didukung dengan pemakaian simbol tertentu untuk menekan arti yang hendak dikembangkan dalam film tersebut. Simbol itu dipakai untuk memberi kesan atau efek penonjolan makna yang disajikan. Simbol itu dapat diamati dari pemakaian kata, kalimat, bahasa, suara, grafis, foto dan seluruh komponen yang berhubungan dengan film tersebut. Semua elemen itu dipakai dalam film dan dipahami dalam analisis framing bukan sebagai perangkat produksi film.
64
Melainkan sebagai suatu strategi wacana untuk menekan makna atau mengedepankan pandangan tertentu agar lebih diterima oleh khalayak. Semua elemen dalam perangkat pembingkai itu dipakai untuk memberikan citra tertentu atas seseorang atau peristiwa tertentu. Dalam cuplikan cerita film“Perempuan Berkalung Sorban” paling tidak dipakai untuk empat tujuan. Pertama, memberitahukan kepada masyarakat tentang ketidakadilan gender. Dalam cerita digambarkan bahwa Anisa adalah figur yang mendapat perlakuan yang tidak adil baik dari lingkungan keluarga ataupun lingkungan pesantren, citra ini ditunjukan lewat perilaku ayah dan suaminya yang berlaku kasar kepada Anisa. Ayahnya terlalu mengekang Anisa untuk menikmati dunia di luar pesantren. Sebagai bukti Anisa tidak diizinkan naik kuda hanya karena dia adalah perempuan, dilarang menjadi pemimpin, dilarang pergi nonton ke bioskop, dilarang kuliah, dan sebagainya. Semua perbuatan itu dinilai haram oleh Ayahnya jika dilakukan oleh perempuan. Bagi pendapat Ayahnya perempuan telah menemukan surganya sendiri dengan cara mengurus rumah tangga dan tunduk kepada suami. Hal ini dapat dilihat dari storyboard berikut ini: Tabel 4 Ketidakadilan Gender Visual Image
Keterangan
65
Anisa dilarang menunggang kuda oleh Ibunya. Teknik pengambilan gambar: LS
Kyai Hanan (Ayah Anisa) marah dan hendak memukul Anisa, saat dia Tahu Anisa pergi ke bioskop. Teknik pengambilan gambar: MS Kyai Hanan marah dan menyeret Anisa, karena Anisa ingin menjadi ketua kelas, namun peraturan pesantren melarang perempuan menjadi pemimpin. Teknik pengambilan gambar: MS
Anisa
tidak
diizinkan
kuliah
di
Yogyakarta oleh Kyai Hanan. Teknik pengambilan gambar: MCU
Anisa mendapatkan perlakuan kasar oleh Syamsudin (suami Anisa). Teknik pengambilan gambar : MCU
66
Kedua, perangkat pembingkai dipakai untuk memberi citra feminis kepada tokoh utama (Anisa) yang mau menyelamatkan hak-hak perempuan yang tertindas. Hal ini disampaikan dalam story board berikut ini: Tabel 5 Citra Feminis Visual Image
Keterangan Anisa bekerja sebagai motivator bagi kaum perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Teknik pengambilan gambar : CU
Tulisan Anisa dimuat di koran tentang kebebasan hak-hak perempuan. Teknik pengambilan gambar: MCU
Anisa mengetik tentang persamaan hakhak perempuan dan kebebasan perempuan. Teknik pengambilan gambar : CU
Ketiga, perangkat pembingkai dipakai untuk menonjolkan kekerasan seksual yang dilakukan oleh Syamsudin (Suaminya Anisa yang pertama). Dalam film tersebut terlihat bahwa Syamsudin seringkali melakukan kekerasan seksual kepada Anisa hingga Anisa merasa depresi. Setiap kali ingin berhubungan intim
67
Syamsudin kerapkali menyiksa Anisa terlebih dahulu. Sampai ia puas menyiksa istrinya barulah syamsudin memaksa Anisa untuk melayaninya. Hal ini dapat dilihat dengan story board berikut ini: Tabel 6 Kekerasan Seksual Visual Image
Keterangan Syamsudin menyiksa Anisa karena Anisa menolak ajakan suaminya untuk berjimak, dengan alasan ingin menunaikan Sholat Zduhur terlebih dahulu. Teknik pengambilan gambar: MCU Syamsudin menyiksa Anisa terlebih dahulu sebelum digaulinya. Sebelumnya Anisa menolak ajakan Syamsudin karena sedang datang bulan. Teknik pengambilan gambar: MCU
Syamsudin menyiksa Anisa terlebih dahulu sebelum
ia menggaulinya di
kamar mandi. Teknik pengambilan gambar: MCU
68
Keempat, perangkat pembingkai dipakai untuk mengartikan judul film tersebut. Dari judul “Perempuan Berkalung Sorban”, terdapat beberapa unsur yang harus diperhatikan, diantaranya yaitu, tentang pengertian perempuan itu sendiri, dalam film ini memakai kata “perempuan” bukan memakai kata “wanita”, karena dalam pengertian serara bahasa perempuan dimaknai labih halus dibandingkan dengan wanita. Perubahan makna kata yang nilai rasanya lebih tinggi dari pada asalnya atau disebut juga Ameliorasi. Asal kata “wanita” mengalami generalisasi menjadi “perempuan”.1 Sedangkan kata “sorban” identik dengan simbol agama islam yang sering dipakai oleh laki-laki untuk berjihad (berjuang).2 Jadi jika arti kata “perempuan” dan “sorban” dijidikan suatu kesatuan dalam sebuah kalimat yang berjudul “perempuan berkalung sorban” akan menjadi kalimat yang mengandung makna konotatif. film ini pemeran utamanya adalah seorang perempuan yang ditindas oleh suaminya dan mendapatkan perlakuan tidak adil dalam lingkungannya. Maka perempuan ini berusaha untuk memerangi rasa ketidakadilan pada dirinya dan ketidakadilan yang dirasakan oleh perempuan lain yang juga mengalami kekerasa dan ketidakadilan gender. Tabel 7 Judul Film Visual Image
Keterangan
1
Kosasih.Ketatabahasaan dan Kesusastraan.Yrama Widya. Bandung: 2003. Hal.175
2
www.hamemayu.blogspot.com
69
Ini adalah gambar cover yang dipajang di VCD (video compact disk) maupun di gedung bioskop. Pada gambar ini terdapat banyak perempuan memakai kerudung putih dan menuju ke depan, sedangkan
Anisa
sendiri
memakai
kerudung hitam dengan mengalungkan sorban dan menuju ke belakang. Arti dari gambar ini adalah tentang seorang perempuan
yang berani mengubah
pandangan hidup semua orang tentang peran
serta
hak
dan
kewajiban
perempuan dimata masyarakat pada umumnya dan lingkungan pesantren pada
khususnya,
kerudung
hitam
dengan dan
memakai menghadap
kebelakang adalah arti dari simbol perjuangan yang berani Anisa lakukan daripada
perempuan
lainnya
yang
memakai kerudung putih dan jalan ke depan
mengikuti
arus
peraturan
pesantren. Sedangkan simbol sorban adalah
simbol
perjuangan
yang
70
biasanya dipakai para pejuang seperti Imam
Bonjol,
pejuang
palestina,
ataupun pejuang arab lainnya untuk membela kebenaran dan menumpaskan ketidakadilan. Teknik pengambilan gambar: MCU Sedangkan pada gambar yang satu ini lebih memperjelas lagi sosok Anisa yang lebih detil. Disini terlihat anisa sedang
menunggang
kuda
dengan
mengalungkan sorban. Hal ini untuk memberikan
penjelasan
terperinci
dengan cover di atas. Teknik pengambilan gambar : LS
4.3.1.1.3 Perangkat Penalaran (Reasoning Devices) Ide atau pemikiran yang dikembangkan dalam skenario film itu didukung dengan seperangkat penalaran untuk menekan kepada khalayak bahwa “versi film” yang disajikan dalam skenario itu adalah menarik. Sebuah film tidak semata-mata hanya sebuah gagasan dan ide melainkan juga suatu bingkai informasi dengan perspektif dan pandangan tertentu. Oleh karena itu skenario yang dipilih serta film yang dibuat, secara tidak langsung dalam pandangan ini
71
untuk memperkuat bangunan perspektif yang telah disusun oleh skripwiter dan juga oleh sutradara dan produser. Dalam cuplikan cerita di atas, perangkat penalaran itu disajikan dengan beberapa pola. Arti penting yang ditekankan lewat roots: adalah tentang feminisme dan ketidakadilan gender. Dalam feminisme dijelaskan bahwa pada era masyarakat modern peranan wanita dalam sosialisasi nilai dimasyarakat tidak hanya sebagai ibu rumah tangga yang mengurus anak dan suami. Saat ini sudah banyak perempuan yang sukses bekerja di luar rumah, sudah banyak pula perempuan yang menjadi pemimpin. Dan emansipasi itulah yang dijadikan contoh teladan dalam film ini, bahwa perempuan jangan mau hanya bergantung dibawah laki-laki, seperti Anisa dalam film “perempuan berkalung sorban” ia membuktikan kepada lingkungannya bahwa ia pun bisa bekerja dan membiayai kehidupannya sendiri tanpa suaminya. Perangkat penalaran juga dipakai untuk memberitahukan kepada masyarakat lewat film “perempuan berkalung sorban” bahwa perempuan juga mempunyai potensi untuk mendapatkan perkerjaan yang layak, selama itu tidak melanggar moral-moral yang telah diatur. Selain itu film ini juga memberitahukan kepada masyarakat tentang pembagian tugas dan peran serta dalam lingkungan agar bersikap adil kepada perempuan. Hal ini dapat diuraikan dengan teks berikut ini: Sementara itu Anissa berkembang sebagai muslimah dengan wawasan dan pergaulan yang luas. Lewat studinya sebagai penulis, Anissa banyak menyerap ilmu tentang filsafat modern dan pandangan orang barat terhadap Islam. Banyak buku sudah dihasilkan dari Anissa yang memotret hak perempuan dalam Islam.
72
Sedangkan pembahasan tentang hal ketidakadilan gender terdapat beberapa kasus dalam film tersebut. Diantaranya; Anisa tidak diizinkan naik kuda oleh orang tuanya, tidak diizinkan kuliah dan dilarang pergi kebiokop. Hal ini terdapat pada story board di atas yang terdapat pada Framing Device. Tabel 8 Perangkat Framing Frame : “Perempuan Berkalung Sorban” Framing Devices
Visual Image
Methaphors: kucium dahinya dengan lembut, selembut embun pagi yang menetes dari langit biru. Mengisi jadwal dan
kewajiban hari-hariku
untuk tetap melangkah, memerdekakan kaumku yang masih saja dianggap MCU Anisa dan santriwati lainnya yang berkerumunan untuk berjabat tangan lemah. Agar mereka selalu hadir dan dengan Anisa. mengalir di tengah zaman. Membawa kemudi panji matahari.
Catcphphrases: selalu ikhlas menerima kekurangan termasuk melakukan
dan jika
kelebihan suami
poligami;
suami,
berkehendak Tidak
boleh
berkata lebih keras dari suaminya, sekalipun
dalam
menyatakan
MS ceramah ustad Ali tentang iklas
73
ketidaksetujuan; Tidak boleh mengulur- menerima kekurangan dan kelebihan ulur waktu bahkan menolak ketika suami. suami
mengajak
berjimak;
Ikhlas
menerima pembagian waris sekalipun lebih kecil daripada bagian laki-laki. Depiction: Dalam mengarungi rumah tangga
bersama
Samsudin.
Anissa
selalu mendapatkan perlakuan kasar dari Samsudin. Samsudin adalah tipe seorang laki-laki pengidap kelainan psikologis. Seorang lelaki possesif, kasar. Tapi ketika Anissa berniat meninggalkannya,
Samsudin
akan
berubah menjadi lelaki rapuh yang merengek-rengek
sambil
bersujud
meminta ampun kepada Anissa. Biduk keluarga Anissa berlangsung bagai neraka. Tubuh Anissa yang semula segar bercahaya, menjadi suram.
MCU Syamsudin menyakiti Anisa
74
Exemplaar:
Islam
meletakkan
perempuan sangat lemah dan tidak seimbang.
MCU perkataan Ibunya Anisa tentang islam dan perempuan
Visual Image: foto / story board film “perempuan
berkalung
sorban”,
khususnya pada adegan kekerasan yang dilakukan oleh suami dan ayahnya Anisa.
Reasoning Device Roots:
Akhirnya
Anissa
malah
dinikahkan dengan Samsudin (Reza Rahadian), seorang anak Kyai dari pesantren Salaf terbesar di Jawa Timur. Pernikahan itu, juga sebagai pernikahan dua pesantren Salafiah yang mana nantinya akan menjadi pesantren besar. Sekalipun hati Anissa berontak, tapi pernikahan itu dilangsungkan juga demi
MCU Kyai Hanan menjabat tangan Syamsudin saat menikahkan Anisa.
75
kelangsungan keluarga dan pesantren Al Huda. Appeal to Principle Anissa juga sering memprotes, ketika Ustadz
Ali
(Leroy
Osmany)
mengajarkan kitab Akhlaqul Nisaa, Bulughul
Mar'am
dan
Bidayatul MS ustad Ali sedang menjelaskan
Mujtahid, yang membahas hak dan tentang hak dan kewajiban perempuan kewajiban perempuan dihadapan suami yang dirasa tidak adil bagi Annisa. 'Apa hukuman buat suami yang minta cerai,. Padahal
sang
isteri
kekeuh
mempertahankan rumah tangga?' Tanya Annisa
kepada
Ustadz
Ali.
'Lalu
bagaimana jika suami yang mengulurulur waktu atau menolak ketika sang isteri
mengajak
berjimak?
Apa
hukuman buat suami?' Lagi-lagi protes Anissa hanya dianggap sambil lalu. Anissa selalu merasa dirinya berada dalam situasi yang salah.
76
Consequences:
Keluarga
Samsudin
semakin memandang buruk Anissa dan Samsudin. Sampai kemudian Anissa harus menhadapi kenyataan Samsudin menikah lagi dengan Kalsum (Francine MS keluarga Syamsudin dan Anisa Roosenda). Seorang perempuan lebih tua, cantik dan bisa mempunyai anak. Harapan untuk menjadi perempuan muslimah yang mandiri bagi Anissa seketika runtuh. Anissa berada dalam pusaran gelombang panas yang tidak memiliki harapan untuk keluar.
4.4 Pembahasan Mengenai Konstruksi Perempuan dalam Film Perempuan Berkalung Sorban Konstruksi peempuan dalam film Perempuan Berkalung Sorban Menumbuhkan kesadaran tentang relasi gender yang adil bukanlah hal mudah. Terlebih lagi jika harus berhadapan dengan kultur dan kebudayaan masyarakat patriarkhi, khususnya dalam kehidupan rumah tangga.Di sisi lain, agama seringkali dijadikan legitimasi atas konstruksi perempuan, di mana hal ini berimplikasi pada berbagai tindak kekuasaan terhadap perempuan. Pesan suci agama diturunkan oleh Tuhan melalui utusan-Nya, dengan harapan pesan-pesanNya menjadi suatu pemecah masalah atas segala problematika hidup. Namun
77
justru tak jarang agama malah dianggap sebagai bagian dari masalah itu sendiri. Islam yang pada dasarnya menjunjung tinggi persamaan dan keadilan umat manusia, malah dijadikan alat untuk turut serta memperkuat konstruksi perempuan dan seksualitas yang timpang. Salah satunya adalah penafsiran Alquran surat an-Nisa (4): 34, yang ditafsirkan secara tekstual tanpa melihat problem sosial pada saat ayat tersebut diturunkan. Ayat tersebut dipahami bahwa laki-laki sedikit diberi kelebihan atas perempuan, karena mencari nafkah. Oleh karena itu, di saat sang istri melakukan yang tidak terpuji, atau tidak taat kepada suaminya, maka seorang suami dibolehkan melakukan pisah ranjang, bahkan kalau perlu melakukan pemukulan atas istrinya. Dengan penafsiran umum seperti itu “pemukulan” dianggap sebagai satu media yang disahkan oleh agama. Oleh karena itu, pemukulan yang sejatinya satu bentuk kekerasan, dijadikan alat legitimasi untuk mengkonstruk kekerasan rumah tangga, dengan dalih “izin” agama. Menurut Mansour Faqih (2003) bahwa dalam realitas masyarakat yang patriarkhis,
perbedaan
gender
seringkali
melahirkan
berbagai
bentuk
ketidakadilan yang menimpa perempuan, di antaranya: marginalisasi (proses pemiskinan ekonomi); subordinasi (penganggapan tidak penting); stereotip (pelabelan negatif); violence (kekerasan); dan double burden (beban ganda). Potret di atas diangkat oleh Abidah el-Khalieqy dalam novelnya Perempuan Berkalung Sorban (PBS) (2008) yang beberapa waktu lalu versi filmnya juga muncul dengan judul yang sama. Abidah, seorang sastrawan terkemuka yang pernah mengenyam pendidikan pesantren, dengan berani mengungkap segala pikiran yang merupakan ide pemberontakannya terhadap
78
konstruksi tentang perempuan yang diajarkan dalam lingkungan pesantren dengan segala kulturnya yang telah lama melembaga. Film PBS menceritakan tentang perjuangan perempuan dalam melawan keterkungkungan kekuasaan yang menempatkannya pada kedudukan yang lebih rendah dibanding laki-laki. Kenyataan yang dihadapi oleh perempuan seperti di atas selalu dikatakan oleh pemegang kuasa bahwa itu merupakan ajaran agama yang dianutnya. Konstitusi perempuan yang berimplikasi pada kekuasaan terhadap perempuan sebagaimana tergambar dalam novel ini diwakili oleh tokoh Annisa yang berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW, merupakan sosok yang agung, pilihan Tuhan, yang sangat menghargai, menghormati, menyayangi, dan mengagungkan kaum perempuan. Pertanyaan yang selalu menggelisahkan hatinya adalah kenapa kini sepeninggal Rasul ada jurang yang amat lebar antara kehendak Nabi dengan pemahaman dan prilaku umat Islam? Mengapa juga terjadi kesenjangan antara cita-cita ideal Islam dengan realitas umat Islam dalam memandang dan memperlakukan kaum perempuan? Film ini bercerita seorang perempuan dari sebuah keluarga santri di Jawa Timur yang bernama Annisa. Sejak kecil ia sudah berhadapan dengan kenyataan bahwa sebagai anak perempuan dalam beberapa hal orangtuanya membedakan ia dengan saudarasaudaranya yang laki-laki. Perbedaan ini dapat ditemuinya dalam cara bagaimana orangtuanya menerimanya sebagai anak perempuan, memperlakukan dirinya dalam kehidupan sehari-hari, dan hal-hal lain yang dinilai oleh orangtuanya sebagai sesuatu yang tidak boleh atau tidak pantas dilakukan olehnya, karena ia perempuan. Annisa dikaruniai kecerdasan, namun tidak dibarengi dengan
79
kesempatan yang diberikan orangtuanya dalam upaya mengembangkan dirinya. Ayah Annisa adalah seorang kyai terpandang di desanya, mempunyai pondok pesantren khusus anak perempuan. Ibunya berharap kelak Annisa akan dapat menggantikan posisi ayahnya dalam mengelola dan mendidik pesantrennya. Tapi, ia lebih suka bersekolah. Ia senang belajar segala sesuatu yang baru seperti membaca buku dan puisi, memancing, menunggang kuda dan berpetualang. Namun kesempatan untuk belajar juga harus banyak tersita oleh keharusannya sebagai
anak
perempuan
untuk
membantu
ibunya
di
dapur.
Annisa dengan ketajaman otaknya selalu gelisah dengan berbagai pertanyaan yang kerap mengganggunya seperti kenapa ia diperlakukan demikian oleh keluarganya, kenapa ia harus bersikap sebagaimana digambarkan oleh orangtua dan lingkungannya, kenapa ia harus memakai kerudung, dan banyak hal yang tidak ia terima dari banyak literatur kitab-kitab yang diajarkan di pesantrennya yang telah dianggap sebagai kebenaran agama dalam memperlakukan dan melihat perempuan. Saat umur sepuluh tahun ia harus menikah dengan Samsudin, seorang anak kyai sahabat ayahnya. Ironisnya, bukan kebahagiaan yang didapatnya, namun justru penderitaan fisik dan mentalnya secara terus menerus ia harus telan sendiri tanpa tahu kepada siapa ia mengadu. Dan seiring usianya berjalan disertai kehidupannya yang penuh liku dan dilema membuat dirinya belajar dari situ. Akhirnya ia pun berhasil berontak melalui pendidikan. Film Perempuan Berkalung Sorban ini menunjukkan bahwa perempuan dikonstruksikan sebagai makhluk kedua, makhluk yang kurang akalnya, kurang agamanya, dan diciptakan
80
untuk laki-laki. Konstruksi perempuan seperti itu ternyata berimplikasi pada berbagai bentuk kekerasan, sebagaimana dialami tokoh Annisa tersebut. Adapun bentuk-bentuk kekerasan yang dialaminya diantaranya adalah kekerasan fisik, kekerasan psikologis, deprivasi ekonomi, kekerasan seksual, dan diskriminasi. Film ini mengandung pesan bahwa tubuh perempuan adalah milik perempuan itu sendiri dan harus dihargai setinggi-tingginya jauh lebih tinggi dari sekadar rasa malu untuk lari dari kekerasan rumah tangga yang menimpanya atau karena harus menjanda. Selain itu, perempuan juga harus dapat membuat pilihan dan menyiapkan diri untuk maju dan mandiri serta tidak bergantung pada lakilaki. Salah satunya adalah dengan pendidikan. Melalui pendidikan perempuan mempunyai
kesempatan
untuk
mendapat
kehidupan
yang
lebih
baik.
Masalah relasi gender yang kemudian berimplikasi pada kekerasan terhadap perempuan ini memang layak mendapat perhatian yang lebih, lantaran masih saja dijumpai di sekitar kita, bahkan boleh jadi hampir setiap hari selalu ada sebagaimana dapat kita lihat di media informasi, baik cetak maupun elektronik. Dari awal saya sudah menyatakan, misalnya dalam artikel “Ayat-Ayat Misoginis” bahwa film ini gagal dalam menyampaikan pesan awalnya dan malah menjadi efek bumerang. Tapi saya merasa harus menulis lagi hal ini dengan sedikit lebih dalam. Kali ini dengan dua pendekatan: status ideologis dan representasi. Status ideologis adalah posisi sutradara dalam memandang film ini. Saya percaya Hanung itu mempunyai niat yang mulia saat membuat film ini dan itu jauh dari semangat merusak nama Islam. Sedangkan representasi membahas
81
tentang apa-apa yang terlihat dan terdengar di layar perak. Status ideologis berkutat pada masalah “Apa maunya sang sutradara”, sedangkan representasi pada “Apa maunya film ini?”. Yang pertama mengkaji permasalahan epistomologis (yang mencakup filsafat ilmu dan logika), “bagaimana pengetahuan itu bisa dicapai”, sedangkan yang kedua adalah persoalan ontologis seputar film dan (keterwakilan) realitas pada media film. Kalau bukan Hanung Bramantyo –yang sudah menelurkan film berlatar masyarakat Muslim semacam Ayat-Ayat Cinta (AAC) dan Doa yang Mengancam– apakah film ini menuai polemik sebesar ini? Saya percaya Hanung punya idealisme tertentu –baik isu Islam atau pun gender– saat mengerjakan film ini. Tidak ada niat untuk menjelek-jelekkan citra Islam, saya berprasangka baik padanya. Kepada pers, Hanung menyatakan, “saya ini seorang Muslim. Di film itu, saya sama sekali tak mengkritik Islam, Al-Quran, ataupun hadis.” Baginya, PBS adalah otokritik terhadap umat Islam, terutama keluarga yang kerap menggunakan Al-Quran dan hadis secara salah untuk memaksakan kehendaknya kepada anak-anak mereka. Di PBS, menurutnya, menggarisbawahi bahwa Islam, kedudukan antara perempuan dan laki-laki adalah setara. “Pesan itu ditampilkan oleh sosok Khudori,” yang menilai bahwa kekhawatiran sebagian kalangan bahwa film PBS akan merusak pikiran umat Islam sangat tak beralasan. Namun, justru itulah permasalahannya. Jika ia adalah sosok yang antipati terhadap Islam atau pesantren, tentu film ini bisa “dimaklumi” mengandung banyak sekali pencitraan yang buruk terhadap pesantren tanpa ada upaya untuk membelanya atau menawarkan Islam alternatif yang dianggapnya
82
ideal. Tapi ini Hanung yang membuat, seorang sutradara so-called “film Islam”, yang juga berkeinginan “membela” Islam. Walhasil, film ini berefek bumerang: awalnya diniatkan untuk “memperjuangkan hak-hak Muslimah” malah terkesan menjadi film yang menggambarkan Islam kejam dan benci terhadap perempuan. Dan memang, film ini kental dengan ayat dan fatwa misoginis. Hanung menyatakan bahwa ia mengangkat pesantren yang sudah hadir ditafsirkan Abidah El-Khaliqy pada novelnya. Oleh karena itu saya membuat film ini untuk meletakkan kembali bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki adalah sejajar, manusia hanya dibedakan dari tingkat keimanannya dan bukan dari jenis kelaminnya. Mengapa tidak ada satu pun tanda-tanda Islam yang membebaskan di film itu? Mengapa menawarkan solusi non-Islam seperti “Bumi Manusia” atau karya sastra dan pemikiran lain, tanpa ada satu pun penafsiran ayat atau Islam yang mengkritisi karakter-karakter antagonis, katakan saja “The Tao of Islam”-nya Sachiko Murata atau feminis berlatar Islami macam Fatimah Mernissi dan Asghar Ali Engineer? Jika niatnya menyatakan Islam yang ramah perempuan, mengapa tidak ada penafsiran gender dan perlawanan signifikan dari Islam yang “sebenarnya”? untuk nahi munkar (mencegah kemungkaran) tentu harus tahu munkar-nya baru kemudian di-nahi. Nah, dalam konteks PBS, mana bagian nahinya? Madzhab realisme, menurut Roy Armes, mengandung tiga tujuan: memaparkan realitas apa adanya, imitasi realitas, dan mempertanyakan realitas. Agaknya, yang terakhir ini adalah pilihan PBS. Tentu saja, dalam film, realitas ini
83
adalah “realitas” karena terkonstruksi, dipilih, dipilah, diracik dengan gaya dan formula tertentu, baru disajikan. Belum lagi status fiksi yang melekat padanya. Realitas apa, yang mana, menurut siapa? Jawabannya adalah “realitas” yang terepresentasi dalam film. Pernyataan ini menarik, berhubungan dengan teori representasi. Dan film itu tidak menggambarkan apa yang diajarkan oleh agama Islam. Lantas apa yang digambarkan film itu? Tepatnya: apa yang direpresentasikan film itu? Pesantren yang menindas perempuan, Islam yang menekan dan mengekang kaum wanita. Adakah di sana Islam yang membela dan membebaskan perempuan? Tidak ada. Dalam pernyataanya yang disitir pers, dan dinyatakan di atas, Hanung menyatakan bahwa PBS justru menekankan bahwa pada Islam, kedudukan antara perempuan dan laki-laki adalah setara, dan pesan itu ditampilkan oleh karakter Khudori. Pertanyaannya, ayat dan dalil Islam yang mana yang menyatakan kesetaraan gender itu? Tokoh Khudori, yang berpotensi menjadi pahlawan, tidak melakukan pembelaan yang kuat dan proporsional.. Film itu benar-benar menggambarkan pesantren dan kyai yang, dalam istilah Meutia (dan Hanung pula) “keliru dalam memahami ajaran Islam”. Tentu saja, kita mengetahui bahwa itu Islam yang keliru. Tapi, di film itu, adakah yang “meluruskan” kekeliruan dan kesalahan itu? Adalah representasi di film itu yang, katakanlah menyatakan bahwa itu keliru dan meluruskannya? Tidak ada. Kebebasan wanita diperoleh dengan direbut, lewat ilmu pengetahuan, sastra, buku, wawasan, dari luar Islam. Mau tak mau, kita harus menyatakan bahwa itulah representasi Islam dan pesantren di PBS: Islam yang tak hanya zalim kepada perempuan, tetapi juga anti-intelektual.
84
Singkat kata, film ini secara ideologis, epistemologis dan ontologis bermasalah. yang sebenarnya pro-Islam (yang membebaskan dan ramah perempuan) malah ditafsirkan sama sekali berlawanan darinya. Dan nyaris tak ada representasi Islam yang membebaskan dan ramah perempuan dalam film ini. Sederhananya, pesan dari pak sutradara (pendekatan posisi ideologis) tidak tersampaikan
sebagaimana
mestinya,
dan
filmnya
sendiri
(pendekatan
representasi) tidak membuka banyak ruang untuk keterwakilan Islam yang “sebenarnya”. Dan, pernyataan Hanung dalam blognya justru kontraproduktif dan menegaskan ambiguitas posisi ideologisnya yang terepresentasi dalam PBS: dari Islam adalah wacana dan wahana pembebasan menjadi pilih kebebasan, atau pilih Islam? Karena tidak ada pilihan kebebasan dalam Islam, apalagi kaum perempuan. Karena justru kaum yang protes itu adalah kaum yang percaya bahwa Islam adalah jalan pembebasan, sama persis seperti niat Hanung semula. Ternyata, dalam kasus ini, hadis “sesungguhnya setiap amal tergantung niatnya” cara menilainyapun tidak hanya disatu sisi.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian dan analisis menggunakan analisis framing dan konstruksi media yang telah dilakukan, penulis dapat menarik kesimpulan berkaitan dengan perempuan dalam konstruksi media (analisis framing terhadap film perempuan berkalung sorban) adalah sebagai berikut: 1. Beberapa
frame yang dapat dilihat dalam film “Perempuan Berkalung
Sorban” ketika menggambarkan tokoh utama dalam film ini adalah sebagai berikut: a. Anisa (nama tokoh utama dalam film perempuan berkalung sorban) adalah korban dari ketidakadilan gender dalam lingkungannya. Hal ini terdapat dalam cerita saat Anisa meminta dikuliahkan namun karena Anisa perempuan maka ia tidak diizinkan oleh Ayahnya. Sedangkan kedua kakaknya yang laki-laki mendapatkan perioritas utama hingga Ayahnya sampai jual tanah agar kedua anak lelakinya dapat kuliah di luar negeri. b. Anisa adalah korban dari kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini terdapat dalam cerita bahwa Anisa selalu mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya, tak jarang sang suami menyiksa Anisa jika Anisa tidak menuruti kemauannya.
86
c. Anisa adalah sosok perempuan yang pantang menyerah dan berpendirian kuat. Ia juga membela hak-hak kaum perempuan yang tertindas. Dalam film disebutkan bahwa Anisa bekerja disuatu lembaga untuk menjadi motivator bagi kaum perempuan yang mendapat perlakuan kasar dalam rumah tangganya. Maka dari itu Anisa disebut juga sebagai perempuan yang memiliki jiwa feminis. Dari semua frame yang didapatkan, “Perempuan Berkalung Sorban”, tokoh Anisa mendapatkan peranan sebagai perempuan yang mendapatkan perlakuan tidak adil dan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, baik yang dilakukan oleh ayahnya ataupun oleh suaminya.
2.
Dalam film “Perempuan Berkalung Sorban” yang ditulis oleh Abidah El Khalieqy film ini mulanya dibuat sebagai media alternatif pemberdayaan perempuan, sosialisasi isu gender dan hak-hak reproduksi di kalangan pesantren, kultur Jawa dan budaya Arab. Sehingga menawarkan paradigma baru yang lebih substansial untuk menempatkan idealitas perempuan dalam pandangan islam.
3.
Pada film “Perempuan Berkalung Sorban” sosok Anisa diceritakan adalah orang yang cerdas Ia senang belajar segala sesuatu yang baru seperti membaca buku dan puisi, memancing, menunggang kuda dan berpetualang. Namun kesempatan untuk belajar juga harus banyak tersita oleh keharusannya sebagai anak perempuan untuk membantu ibunya di dapur.
87
4.
Konstruksi realitas pada film “Perempuan Berkalung Sorban” merupakan proses dialektika dimana proses itu memberikan bentukan-bentukan realitas dan dipengaruhi secara subjektif maupun objektif. 4.2 Saran Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini maka penulis dapat memberikan beberapa saran, yaitu:
1. Untuk penelitian yang akan datang, sebaiknya bahasa gambar yang disajikan, musik latar belakang dan efek visual yang disajikan dapat dibahas lebih mendalam sehingga konstruksi realitas yang kerap dilakukan oleh para pembuat film dapat disajikan secara gamblang untuk lebih dapat memberikan pandangan yang lengkap. 2. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangannya. Untuk kesempatan penulisan karya ilmiah lainnya kedepan, penulis akan lebih giat lagi untuk memperhatikan secara detil baik dari segi teknik penulisan maupun isi skripsi itu sendiri.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membuat masyarakat lebih bersikap obyektif dalan memandang film yang bertemakan tentang konstruksi perempuan baik itu dari segi agama maupun dari segi sosial. Dan tidak cepat memberikan protes atas apa yang di filmkan. Kritik tentang perempuan dalam “Perempuan Berkalung Sorban” sebenarnya sangat membangun citra perempuan dalam kehidupan bermasyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Eriayanto. AnalisisFraming : konstruksi, ideology dan politik media. Yogyakarta: Lkis. 2002 Fakih Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar 1996 Gunarsa, S.D. Dasar dan teori perkembangan anak. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993 Sasa Djuarsa Sendjaja; Pengantar Ilmu Komunikasi, Univ. Terbuka Jakarta, 2003 Elvinaro Ardianto, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Simbiosa Rekatama. Bandung: 2004. Jalaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Rosda Karya, Bandung, 1994 Onong Uchjana Efendi, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Citra Aditya Bakti: Bandung 1993 Djaffar H Assegaf, Jurnalistik masa Kini, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1993 Soemandoyo, Priyo, (1999) Wacana gender & Layar Televisi: Studi perempuan dalam Pemberitaan Televisi Swasta, Lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitan Yogya dan The Ford Foundation, Yogyakarta. Sunarto, Analisis Wacana Ideologi Gender Media Anak-Anak, Mimbar dan Yayasan Adikarya IKAPI serta Ford Foundation, Semarang,2002 Ashadi Siregar, Rondang Pasaribu, Ismay Prihastuti, Eksplorasi Gender Di Ranah Jurnalisme ,LP3Y, Galang Printika, Yogyakarta, 2002 Denis Mc Quail, Teori Komunikasi Massa, Suatu Pengantar Erlangga, Jakarta, 1996 Alex Sobur, Analisis Teks Media, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2002 Bimo Nugroho, Eriyanto, F. Surdias, Poltik Media Mengemas Berita, ISAI, Jakarta, 1999 Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung:2004
Sukidin dan Mundir, Metode Penelitian : Membimbing dan Mengantar Kesuksesan Anda dalam Dunia Penelitian, Insan Cendekia, 2005 Kosasih.Ketatabahasaan dan Kesusastraan.Yrama Widya. Bandung: 2003 Prof.Dr.Nyoman Kutha Ratna, S.U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian SastraDari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004)
JURNAL Wina Armada S.A, Menggugat Kemerdekaan Pers, Sinar Harapan, Jakarta, 1993 Apa Itu Gender, International Labour Organization, 1999 Larrain Jorge, The Concept of Ideology, (London: Hutchinson, 1979) Syamsiah Ahmad, Kajian Terhadap Masalah-Masalah Hukum dan Wanita. Makalah (Jakarta. LLPH-UI, 1990). Widanti Agnes, Hukum Berkeadilan Gender, Kompas: Jakarta, 2005 Nur Iman Subono, Menuju Jurnalisme Yang Berperspektif Gender, Jurnal Perempuan, No.28, 2003 Ibnu Hamad, Media Massa Dan Konstruksi Realitas, Jurnal Pantau, ISAI, 6 Oktober– November 1999 Robert N. Entman, Framing: Toward Claryfication Of A Fractured Paradigma, Jurnal Of Communication Willim A. Gamson and Andre Modigliani, Media Discourse And Public opinion On Nuclear Power: AConstructionist Appoach, American Journal Of Sociology, Vol. 95, No. 1,1989, hal 2. Dikutip dari Shinta Laksmi, Politik Pemberitaan Dalam Wacana Habibie dan Megawati Sebagai Calon Presiden Selama Sidang Umum MPR (1-20 Oktober 1999) (kasus Republlika dan kompas). (Skripsi FISIP UI 2000)
WEBSITE republika.co.id: Semua Karena Soal Rating, 11-02-2007. www.klikstarvision.com
Ninuk Mardiana Pambudy, wajah perempuan di media massa; www.kompas.com http://digilib.petra.ac.id/jiunkpe/s1/fikom/2008 www.inpasonline.com www.hamemayu.blogspot.com www.fayat.or.id http://id.news.yahoo.com. 23 Mei 2009 www.rumahfilm.com www.kumpulblogger.com www.detik.com
BIODATA PRIBADI
Data Pribadi Nama Lengkap Nama Panggilan Tempat/Tanggal/Lahir Alamat
No.Telp Status Jenis Kelamin Agama Hobby Pendidikan Formal
: : : :
Putri Chyntia Dewi Putri Jakarta, 01 Oktober 1987 Jl.H. Jafar. RT 005/01 No. 11B Pasar Minggu Kembangan Selatan Jakarta Barat 11610 : 08159948260 : Belum Menikah : Perempuan : Islam : Masak, Edit Video, Membaca
SDN 09 Kembangan, Jakarta SLTPN 215 Meruya, Jakarta SMUN 33 Cengkareng, Jakarta Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta
Tahun 1993-1999 Tahun 1999-2002 Tahun 2002-2005 Tahun 2005-2009
Pengalaman Organisasi Reporter Pers Orientasi Kampus PMR Jurnal Speak Rohis Al Faruq Pengalaman Kerja Addministrasi PT. Cikal Jaya Permai Team Creative Reality Show Backstreet Kemampuan Komputer
Microsoft Word Microsoft Excel Microsoft Power Point Avid Express Pro Particle Ilusion Adobe Premiere Pro Adobe Photoshop
Tahun Tahun Tahun Tahun
2005-2008 2002-2003 2005-2006 2005-2007
Tahun 2004-2006 Tahun 2009