CITRA PEREMPUAN KUASA DALAM PERSPEKTIF KRITIK SASTRA FEMINIS NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN KARYA ABIDAH EL-KHALIEQY U’um Qomariyah Universitas Negeri Semarang ABSTRAK Dalam dasawarsa terakhir ini, isu perempuan telah mendapat perhatian, terutama oleh orang-orang yang memandang dan menganggap perempuan diperlakukan tidak adil dalam keluarga dan masyarakat. Kaitannya dengan sastra, permasalahan yang ada tidak terbatas pada keterlibatan perempuan di dalam dunia penciptaan, kritik dan sebagai penikmat saja, tetapi yang tidak kalah penting pula adalah bagaimana sosok perempuan direpresentasikan di dalam sebuah teks sastra; khususnya perbandingan teks yang diciptakan laki-laki dan perempuan. Tulisan ini mencoba melihat bagaimana citra perempuan kuasa dalam novel PBS. Permasalah yang diangkat mencakup manifestasi budaya patriarki terhadap kedudukan peempuan, dominasi dan kekerasan terhadap perempuan, dan citra perempuan kuasa dalam novel PBS. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan kritik sastra feminis. Hasil menunjukkan bahwa; pertama manifestasi budaya patriarki terlihat dalam beberapa hal misalnya dalam tradisi keluarga pesantren yang sepertinya membuat perbedaan antara kedudukan laki-laki dan perempuan; tradisi perjodohan yang tidak memberikan pilihan bagi perempuan untuk memilih pasangan hidupnya sendiri; tradisi berpendapat yang menafikan peran perempuan karena perempuan dihegemoni untuk bisa nrimo ing pandum. Kedua, perempuan dalam PBS ternyata mengalami dominasi dan kekerasan. Kekerasan itu dimanifestasikan dalam bentuk fisik dan psikis. Tokoh perempuan dalam novel ini, Annisa, mengalami kekerasan fisik dan psikis dari suami dan keluarganya. Perannya benar-benar dimimalisir hanya karena dia seorang perempuan. Ketiga, manifestasi budaya patriarki dan dominasi serta kekerasan yang dialami Annisa tidak menyebabkan ia menjadi perempuan yang lemah dan menerima begitu saja akan nasib yang menimpanya. Annisa mencitrakan perempuan kuasa dengan pencitraannya yang tegas terhadap prinsip, cerdas, kritis, bertanggung jawab, bertekad kuat dan pantang menyerah. Berdasar pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam PBS, sosok Annisa sebagai tokoh utama perempuan mencitrakan sosok perempuan kuasa dilihat dari perlawanan-perlawanan yang diberikan terhadap tekanan-tekanan terhadap dirinya sebagai seorang perempuan. Kata Kunci: citra kuasa, dominasi, patriarki, pesantren
PENDAHULUAN Selama ini perempuan dipandang sebagai sosok lemah. Banyak anggapan yang beredar di masyarakat tentang diri perempuan itu sendiri
yang menyebabkan perempuan semakin terpinggirkan. Adanya anggapan bahwa sosok perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat
munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Laki-lakilah yang dianggap dominan yang berada di pusat. Perempuan hanya sebagai konco wingking atau dalam istilah bahasa Jawanya “swargo nunut neroko katut” (Fakih 2003: 12). Perempuan dikonsepsikan hanya bisa macak, masak, manak. Di luar itu adalah pekerjaan laki-laki. Fenomena di atas selanjutnya memberi aspirasi munculnya berbagai penelitian yang menjadikan perempuan dengan peran dan posisinya dalam sebuah masyarakat sebagai objek penelitian. Hal ini terjadi seiring dengan perubahan-perubahan sosial dan meluasnya peran perempuan di setiap aspek kehidupan, mulai dari tempat kerja sampai ke bidang-bidang seni, agama, maupun dinamika pribadi kehidupan keluarga. Adapun objek penelitian yang berkaitan dengan peran dan posisi perempuan di dalam masyarakat sangatlah komplek. Beberapa hal yang dapat dikemukakan antara lain yakni pengalaman perempuan di masa lalu, masa kini, sumbangan perempuan pada ilmu pengetahuan, kehidupan politik, kesenian, sastra, dan sebagainya. Kaitannya dengan sastra, permasalahan yang ada tidak terbatas pada keterlibatan perempuan di dalam dunia penciptaan, kritik dan sebagai penikmat saja, tetapi yang tidak kalah penting pula adalah bagaimana sosok perempuan direpresentasikan di dalam sebuah teks sastra. Ketika dicermati lebih lanjut, penelitian yang muncul sebagai suatu kegiatan ilmiah yang berkembang di kalangan akademis pada dekade ini, sesungguhnya bersumber dari kegiatan feminisme (Andersen 1988: 10-12). Dalam hal ini, karya sastra sebagai cerminan masyarakat, dipandang sebagai wadah yang dapat merepresentasikan kehidupan perempuan. Hal ini
terkait dengan kedudukan sastra sebagai cermin kehidupan suatu masyarakat dengan pengarang, baik sebagai individu yang mempunyai konsep serta gagasan dalam memandang kehidupan (pengarang) maupun sebagai makhluk sosial yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, karya sastra yang dipandang sebagai salah satu wadah yang dapat merepresentasikan kehidupan perempuan, merupakan sebuah kajian yang menarik. Fenomena tersebut sekaligus menunjukkan adanya perhatian terhadap perempuan melalui kegiatan bersastra. Sejalan dengan maraknya kajian sastra yang menjadikan perempuan sebagai objek penelitian, bermunculan pula pengarang perempuan yang mengangkat perempuan sebagai tokoh utama dalam karya sastra dengan berbagai sisi kehidupannya. Fenomena tersebut merupakan khasanah baru dalam dunia sastra karena selama ini dunia sastra lebih didominasi oleh laki-laki, sehingga ketika orang berbicara tentang kanon sastra maka yang dijadikan tolok ukur adalah penulis laki-laki (Djajanegara 2000: 17-18). Citra perempuan sebagaimana yang digambarkan oleh pengarang laki-laki, biasanya ditentukan oleh pendekatan-pendekatan tradisional yang ada dalam budaya patriarki, yang tidak cocok dengan keadaan yang dialami oleh perempuan karena penilaian yang diberikan terhadap perempuan seringkali dianggap tidak adil dan tidak teliti. Dalam dunia sastra, sastra yang pada umumnya lebih didominasi oleh hasil tulisan lakilaki, seringkali digambarkan stereotipe-stereotipe perempuan (Kolodny via Djajanegara 2000: 19). Karya- karya tersebut memiliki keseragaman dalam objek yang digambarkan, yaitu mendefinikan perempuan sebagai perempuan yang berhubungan dengan bertindak atau bahkan mungkin melanggar kepentingan laki-laki. Kategori
perempuan yang baik menurut mereka adalah perempuan yang selalu melayani kepentingan lakilaki. Kategori perempuan yang baik menurut mereka adalah perempuan yang selalu melayani kepentingan laki-laki, istri yang sabar, begitu pula perempuan dalam peran sebagai ibu yang mencurahkan seluruh perhatian untuk anakanaknya. Sedangkan perempuan yang tidak melayani kepentingan laki-laki dengan benar dianggap sebagai perempuan menyimpang sehingga masuk dalam kategori perempuan yang buruk Karya sastra yang dilahirkan oleh penulis lakilaki sebagaimana gambaran di atas, tidak akan mampu merepresentasikan apa yang ada dalam pengalaman kaum perempuan secara tepat. Kalaupun hal itu diupayakan oleh penulisnya, maka yang terlihat biasanya lebih berupa gambaran perempuan menurut pandangan penulis sebagai pria sehingga sosok perempuan tetap merupakan sesuatu yang lain ketika direpresentasikan. Oleh karenanya, karya semacam ini tetap asing dari pembaca perempuan. Berangkat dari hal tersebut, penelitian ini bermaksud melihat bagaimana citra perempuan dalam karya sastra yang ditulis oleh pengarang perempuan. Karya sastra yang dikaji adalah novel Perempuan Berkalung Sorban ( selanjutnya disebut PBS) karya Abidah El-Khalieqy. Novel dengan tokoh utama perempuan bernama Anisa ini mengangkat persoalan-persoalan perempuan yang sering terjadi dalam sebuah masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Berbagai persoalan yang dimaksud tersebut dapat berupa kekerasan fisik maupun psikis, subordinasi, beban kerja, kekuasaan, ataupun hak-hak reproduksi perempuan. Anisa selaku tokoh utama perempuan dalam novel ini melakukan perlawanan terhadap
budaya patriarki yang mengukungnya. Novel ini menampilkan sosok perempuan dengan karakter kuasa, berani, mandiri, dan berani memposisikan diri setara dengan laki-laki dalam kehidupan. Bertolak dari latar belakang di atas, masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana wujud citra perempuan kuasa dalam novel PBS. Wujud citra perempuan kuasa yang dimaksud ditinjau dari sudut pandang feminis, dengan berdasar pada gambaran serta potensi yang dimiliki perempuan dalam novel PBS. Secara rinci, wujud perempuan kuasa dalam novel tersebut dapat dilihat melalui; manifestasi budaya patriarki terhadap kedudukan perempuan; bentuk dominasi dan kekarasan yang dialami perempuan; perjuangan dan sikap perempuan terhadap kekerasaan dan kekuasaan laki-laki. Karya sastra merupakan sebuah dokumen sosial yang memberikan gambaran jelas mengenai kondisi sosial suatu masyarakat. Diharapkan dengan penelitian ini, maka gambaran citra perempuan di masyarakat khususnya masyarakat jawa dapat ditelaah. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberi masukan bagi perkembangan ilmu sastra serta bagi perkembangan studi terhadap perempuan sebagai sosok pribadi utuh yang menjadi bagian dari suatu masyarakat. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan apresiasi terhadap karya sastra khususnya karya-karya yang ditulis oleh pengarang perempuan. METODE PENELITIAN Metode penelitian ini bersifat kualitatif dengan melihat subtansi (sifat) penelitian. Permasalahan penelitaian ini mengungkap citra perempuan kuasa yang ada dalam novel PBS. Pembicaraan mengenahi citra berarti menyangkut pembicaraan tentang sesuatu yang ada dalam pikiran manusia.
Untuk mengetahui pikiran tersebut maka digunakan indikator-indikator yang dituangkan dalam bentuk kata, frase, atau kalimat. Objek material dari penelitian ini adalah novel novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El-khalieqy. Sedangkan objek formal penelitian ini adalah citra perempuan kuasa yang terdapat dalam novel PBS dengan menggunakan pendekatan kritik sastra feminis. Kritik sastra feminis adalah salah satu disiplin ilmu sastra yang menekankan penelitian sastra dengan perspektif feminis. Secara etimologis, kata feminis berasal dari kata Femme (woman), yang berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial (Ratna, 2004: 184). Paham feminis ini lahir dan mulai berkobar diakhir tahun 1960-an di barat, dengan beberapa faktor penting yang mempengaruhinya. Gerakan ini banyak berpengaruh di segi kehidupan dan setiap aspek kehidupan perempuan. Adanya pemahaman yang keliru tentang hakikat sex dan gender selanjutnya melahirkan berbagai ketidakadilan terutama terhadap kaum perempuan yang berada dalam lingkungan masyarakat yang menganut budaya patriarki. Ketidakadilan gender (gender inequalties) tersebut merupakan sistem dan struktur dimana telah terjadi diskriminasi terhadap kaum perempuan yang ada dalam sistem tersebut. Misalnya saja dengan adanya marginalisasi perempuan di sektor ekonomi, subordinasi perempuan dalam keputusan politik, pembentukan stereotipe atau pelabelan negatif, kekerasan terhadap perempuan, distribusi beban kerja yang tidak adil, serta minimnya sosialisasi ideologi nilai peran gender (Fakih dalam Kadarusman 2005: 22). Kondisi sebagaimana paparan di atas pada akhirnya melandasi munculnya sebuah gerakan
yang berangkat dari sebuah asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan diekploitasi, serta berusaha untuk mengakhiri penindasan dan ekploitasi tersebut (Fakih, 1996:82). Gerakan inilah yang selanjutnya dikenal dengan istilah feminisme. Feminisme bukanlah sebuah paham atau gerakan yang bertujuan mengungguli dan kemudian ganti merepresi laki-laki, akan tetapi paham ini hanya berkeinginan mendekati persoalan dasar kehidupan bahwa ada hak-hak kemanusiaan yang perlu diperjuangkan ketika hakhak tersebut terdistorsi oleh ketimpangan jender (Awuy, 1995:88). Teori feminis secara explisit menolak sebuah ”a science of man” yang mendalilkan teori untuk umat manusia yang sebagian besar didasarkan oleh perspektif laki-laki. Pemikiran feminis muncul dan menanggapi realitas kehidupan manusia. Pemikiran ini menekankan pentingnya untuk mendengar suara perempuan dan belajar dari pengalaman perempuan. Dengan perspektif yang kritis ini, penelitian feminis mengubah perhatian dari konsep andosentris, yaitu suatu bentuk representasi yang berpusat pada pria, dimana pria dipandang sebagai pusat atau penentu dalam melihat segala sesuatu sehingga mengabaikan perempuan, dan mulai mendengarkan suara perempuan. Dengan demikian, pembacaan terhadap suatu teks dalam perspektif feminis berarti berusaha untuk membongkar ideologi seks yang bersifat patriarki yang ada dalam sebuah teks. Dalam hal ini kritik sastra feminis mengambil peran sebagai suatu bentuk kritik negosiasi bukan sebagai bentuk konfrontasi. Kritik ini dilakukan dengan tujuan untuk menumbangkan wacana- wacana dominan, bukan untuk berkompromi dengan wacana-wacana tersebut. Kritik wacana feminis memperlakukan karya sastra sebagai sebuah produk kultur
masyarakat, sehingga pokok analisisnya adalah masalah relasi jender dan perbedaan jenis kelamin yang dihasilkan oleh suatu kultur masyarakat tertentu yang terlihat dalam suatu karya sastra. HASIL DAN PEMBAHASAN Manifestasi Budaya Patriarki Terhadap Kedudukan Perempuan Dalam novel PBS, hierarki berpikir pengarang cenderung menyoroti nilai-nilai patriarkis dalam budaya pesantren. Pola berpikir yang merujuk pada fakta sosial bahwa budaya patriarkis pada lingkungan pesantren masih dominan. Meskipun kesadaran dan pola kehidupan dilandasi atas norma-norma agama, pengarang sepertinya ingin mendobrak apa yang selama ini diinterpretasi di lingkungan pesantren; bahwa yang dilandasi agama tanpa disertai rujukan dan interpretasi yang tepat maka akan menghasilkan pola yang salah. Gambaran yang kuat mengenai kokohnya posisi laki-laki dalam budaya pesantren tercermin dalam pemberontakan yang dilakukan oleh Annisa; tokoh utama dalam novel PBS. Tradisi dalam Keluarga Dalam budaya pesantren, seorang laki-laki digambarkan sebagai sosok yang bisa terbang bebas tanpa harus melewati batas aturan dan tekanan. Sebaliknya, perempuan dikerdilkan dengan interpretasi dari kitab-kitab yang selama ini menjadi bacaan wajib di pesantren. Hal ini dapat diketahui dari kebebasan yang dimilki oleh kedua saudara laki-laki Annisa, Rizal dan Wildan. Kedua tokoh laki-laki tersebut bebas melakukan apa saja yang dikehendaki tanpa ada tekanan dari siapapun, bahkan dari kedua orang tuanya yang notabene adalah pemilik pondok pesantren. Persoalan naik kuda, bermain bebas, bebas dari tugas, mengambil keputusan, dan segala hak lain seakan mutlak menjadi milik makhluk yang
bernama laki-laki. Sedangkan perempuan hanya bisa berkutat dengan segala tugas yang justru adalah bentuk pelayanan pada laki-laki. Annisa harus melakukan tugas-tugas seputar pekerjaan khas dapur; memasak, mencuci piring, membersihkan dapur, dan tugas-tugas lain yang bagi seorang perempuan sangat berat. Berat karena perempuan mau tidak mau tetap harus melakukannya karena perempuan tidak mempunyai pilihan lain. (1) ”Ow....ow...ow...jadi begitu. Apa ibu belum mengatakan padamu kalau naik kuda hanya pantas dipelajari oleh kakakmu Rizal, atau kakakmu Wildan. Kau tahu, mengapa? Sebab kau ini anak perempuan, Nisa. Nggak pantas, anak perempuan kok naik kuda, pencilakan, apalagi keluyuran mengelilingi ladang, sampai ke blumbang segala. Maemalukan! (PBS 2009; 7) Menurut Ayah Annisa, naik kuda dan bermain di luar adalah dunia laki-laki. Maka sudah sepantasnya seorang perempuan tidak melakukannya. Dunia perempuan adalah dunia rumah tangga yang nantinya perempuan tersebut akan dididik menjadi pelayan laki-laki yakni suami mereka. Maka, sudah sepatutnya perempuan melakukan apa yang menjadi tugasnya dalam dunianya sendiri dan laki-laki juga melakukan tugasnya dalam dunianya sendiri. Diantara keduanya tidak ada saling tukar tugas. Hal inilah yang menyebabkan laki-laki menjadi anti untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, bahkan hanya sekadar membantu. Meskipun banyak sekali perempuan yang mengeluh banyaknya pekerjan rumah tangga, seakan-akan satu hari tidak akan cukup untuk menyelesaikan semua urusan rumah tangga, tetap tidak akan menggemingkan pesan laki-laki untuk mau berkecimpung membantu perempuan dalam
pekerjaannya. Inilah yang menjadikan dunia pesantren menjadi dunia yang sebenarnya bagi laki-laki dan menjadi dunia yang fatamorgana bagi perempuan. Tradisi Perjodohan Masyarakat pesantren dengan kebudayaan yang kental menciptakan gap antara perempuan dan laki-laki. Para Kyai dan tetua-tetua santri yang merupakan orang kepercayaan Kyai mereka, terhegemoni oleh cara berpikir masa lampau. Seorang perempuan diajarkan untuk dapat berperan sebagai ibu rumah tangga, mengurus rumah dan juga dipersiapkan untuk menjadi pelayan suami. Suami yang kadangkala bukan pilihannya sendiri karena seperti biasanya bahwa perempuan tidak mempunyai pilihan sehingga tentu saja tidak bisa memilih. Bahkan untuk urusan masa depannya; memilih suami (PBS, 35). Dalam tradisi pesantren, seorang perempuan diajarkan untuk selalu nerimo ing pandum. Ia harus menerima perannya sebagai seorang ibu, istri dan seorang perempuan yang diposisikan nomer dua setelah laki-laki. Tradisi perjodohan ini pada dasarnya melekat juga pada budaya Jawa yang merupakan basic dasar pada novel PBS. Dalam novel ini, keniscayaan perempuan menikah muda menjadi sesuatu yang lumrah dengan disertai alasan bahwa perempuan perlu menunggu sesuatu; bahkan untuk urusan menunggu mneuntut ilmu karena perempuan tidak diwajibkan menuntut ilmu tinggi-tinggi. Hanya bisa membaca dan menulis itu dianggap sudah cukup untuk kategori perempuan. Menuntut ilmu tinggi hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Sedangkan perempuan lebih diwajibkan untuk menimba ilmu berkaitan dengan tugasnya sebagai seorang perempuan yang akan mendampingi laki-laki kelak; sosok suami. Bahwa
perempuan tidak berhak bersekolah tinggi-tinggi dapat dilihat dalam kutipan berikut. (2) ”Tetapi anak perempuan kan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Sudah cukup jika telah mengaji dan khatam. Sudah ikut sorogan kitab kuning. Kami juga tidak terlalu terburu-buru. Ya, mungkin menunggu sampai si Udin wisuda kelak.... (PBS 90) Dalam kutipan di atas terlihat bahwa dalam tradisi pesantren yang lebih dipentingkan adalah mengaji kitab. Ironisnya, interpretasi terhadap kitab-kitab kuning tersebut justru dilakukan oleh laki-laki sehingga wajar saja jika keadilan perempuan menjadi bias. Keberadaan laki-laki dan perempuan menjadi timpang dan tidak sejajar. Perempuan ditekan untuk tidak mendapatkan haknya dalam ilmu yang lebih formal, lebih umum. Tradisi Berpendapat Dalam budaya pesantren, perempuan ditradisikan untuk selalu tunduk pada aturan dan juga laki-laki. Setiap perintah yang diperdengarkan maka sudah selayaknya perempuan sami’na wa atho’na; mendengar dan taat. Karena tradisi inilah, maka perempuan sepertinya kehilangan hak dalam berpendapat. Perempuan tidak boleh berpendapat, membantah dan tidak perlu bertanya terlalu banyak. Perempuan hanya diperbolehkan bertanya itupun dalam rangka memperkuat hegemoni yang selama ini menjeratnya. Begitu juga yang terjadi pada Annisa. Meskipun dalam benaknya timbul banyak sekali pertanyaan berkaitan dengan perannya yang dimarginalkan, ketika ia menanyakan semua itu maka jawaban yang diinginkan tidak akan didapatkannya. Ujung-ujungnya akan kembali pada pokok persoalan semula bahwa perempuan tidak layak untuk bertanya terlalu banyak. Bahkan pada persoalan mendasar mengenai hak dan kewajiban
(3) ”Tidak perlu diteruskan. Lebih baik kita memperdalam topik kita malam ini, ” tegas pak kiai dengan nada memutus. Ada yang terasa aneh dalam benakku. Bukankah pertanyaanku jug adalam rangka memperdalam topik malam ini. Mengapa pak kiai Ali memutuskan dan menganggap hal itu di luar topik pembicaraan.--. Apa yang telah dibahas kiai Ali membuat taman impian masa depanku menjadi ladang kerontang yang mengerikan....(PBS; 84) Diputusnya pembicaraan Annisa ketika dia banyak bertanya menunjukkan bahwa tidak seharusnya perempuan bertanya terlalu jauh apalagi protes dengan apa yang sudah ditetapkan. Perempuan layaknya gelas, maka ia hanya bisa diterima, diisi sehingga perempuan pada akhirnya hanya sebagai penerima saja, tidak lebih. Hal inilah yang menyebabkan perempuan tidak leluasa berpendapat dan kebanyakan hal itu ditunjukkan oleh sikap tawaduk-nya para santri ketika mereka mendengarkan penjelasan dari kyainya. Meskipun penjelasan tersebut kadangkala mengganjal di hati mereka. Namun mereka tidak akan berani membantah dan hanya bisa menunduk taat tanda kepatuhan dan ketaaan. Dominasi dan Kekerasan Terhadap Perempuan Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assaulty) terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang ( Fakih, 2006:17). Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu disebabkan oleh anggapan jender. Anggapan yang disebabkan bias jender Anggapan yang disebabkan bias jender disebut jender related violence (2006: 17). Kekerasan inilah yang salah satunya juga dialami oleh Annisa; tokoh utama dalam novel PBS.
Berikut penjelasan mengenai kekerasan yang dialami Annisa. Kekerasan Seksual Dalam sebuah keluarga, antara suami istri bisa terjadi peluang pemerkosaan. Apalagi jika keluarga tersebut dibangun tidak atas landasan saling mencintai dan memahami. Anggapan masyarakat awam, diperparah dengan anggapan bahwa tidka ada pemerkosaan dalam hubungan suami istri. Padahal hubungan suami istri dilindungi oleh undang-undnag perkawinan. Akan tetapi perilaku seksual yang menyimpang, bisa dikategorikan dalam kasus pemerkosaan. Pemahaman masyarakat yang minim membuat pengarang merasa perlu merefleksikan melalui karyanya. Dalam novel PBS, tokoh perempuan, Annisa mengalami kekerasasan ketika menikah dengan samsudin, laki-laki yang dijodohkan oleh orangtuanya (4) ....Dengan paksa pula ia membuka bajuku dan semua yang nempel di badan. Aku meronta kesakitan tapi ia kelihatan semakin buas dan tenaganya semakin lama semakin berlipatlipat. Matanya mendelik ke wajahku. Kedua tangannya mencengkeram lenganku. Beban gajihnya begitu berat menindih tubuhku sehingga semuanya menjaid tidak tertahankan. Seperti ada peluru karet yang menembus badanku. (PBS 96-97) Dalam kutipan di atas, terlihat bahwa annisa tidak mendapatkan perlakuan selayaknya seroang istri yang harus dihormati hak-haknya. Samsudin sebagai seorang suami merasa bahwa ia merasa mempunyai kekuasan penuh terhadap istrinya. Ia tidak perduli apakah istrinya merasa kesakitan atau tidak. Padahal sudah selayaknya hubungan suami istri itu dinikmati dan dirasakan berdua tanpa ada yang merasa mendominasi dan
didominasi. Inilah yang tidak didapatkan Annisa dalam pernikahannya dengan Samsudin. Kekerasan Psikis Dalam Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Melihat batasan di atas terlihat bahwa Annisa mengalami kekerasan psikis baik di lingkungan keluarganya sebagai seorang anak maupun di lingkaran suaminya. Di lingkungan keluarga, Annisa tidak memperoleh hak-haknya secara wajar. Pemaknaan agama sekaligus pemaksaan kehendak terutama oleh ayahnya membuat Annisa sedikit kehilangan kepercayaan diri dan ketakutan. Sedangkan dengan Samsudin, Annisa mendapat kekerasan psikis yang lebih parah lagi. Ia sering dicemooh dan dimaki. Bahkan dalam perilaku yang lebih parah, Annisa diperlihatkan oleh Samsudin cara berhubungan suami istri dengan istri barunya, Kulsum. Samsudin melakukan hubunagn seksual dengan istrinya yang lain tepat dihadapan Annisa dan hal ini menimbulkan perasaan yang menjijikkan dalam jiwa Annisa. Pendeknya Annisa mengalami tekanan mental yang luar biasa ketika menikah dengan Samsudin. Berikut kutipannya. (5) ”Lihatlah Annisa, bagaimana caranya main di taman sorga. Lihatlah kami! Dan kau boleh bergabung jika mau. .... Perutku terasa mual melihatnya. Lalu buruburu aku ambil air wudlu untuk menghapus semua kengerian dan bau busuk kebinatangan (PBS, 118) Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik yang dialami Annisa justru didapatkan dari suaminya sendiri. Annisa sengaja melakukan pemberontakan dengan caranya sendiri dan hal inilah yang menyebabkan Samsudin menjadi geram. Menjadi hal biasa ketika Annisa dicaci bahkan dicemooh. Demikian juga ketika Annisa harus mengalami kekerasan fisik. Berikut kutipannya. (6) Plak! Plaakk!! Ia menampar mukaku bertubi-tubi hingga pipi dan pundakku lebam kebiru-biruan (PBS 131). Peristiwa di atas terjadi ketika Samsudin memaksakan kehendaknya untuk berhubungan suami istri dengan telanjang bulat tanpa menggunakan selimut. Sedangkan Annisa menginginkannya dan hal itu membuat kesabaran Samsudin habis. Samsudin akhirnya menampar Annisa. Kekerasan seperti itu jelas menyakiti secara fisik dan itu tidak diperbolehkan dalam hubungan suami istri. Seorang suami sudah selayaknya menghormati istrinya bukan malah menganggapnya sebagai seorang pembantu yang bisa dimaki dan ditampar seenak hatinya. Namun, Samsudin sepertinya tidak mneyadari hal itu. Pendidikan yang tinggi tidak menjamin seorang laki-laki bisa menghargai hak-hak perempuan. Citra Perempuan Kuasa Dalam novel PBS terlihat jelas bahwa Annisa mencitrakan kekuasaan seorang perempuan yang tidak mau dinomorduakan dan tidak ingin diberangus hak-haknya sebagai manusia utuh yang berdampingan dengan laki-laki. Dalam novel tersebut terlihat bahwa Annisa mempunyai tekad yang luar biasa untuk memperjuangkan hakhaknya. Dia tidak ingin dikatakan lemah dan menyerah menghadapi situasi yang sepertinya hnaya berpihak pada laki-laki. Sikap yang
ditunjukkan Annisa mencitrakan sosok perempuan kuasa khususnya dalam menghadapi hegemoni patriarki yang sudah mengakar. Dibawah ini akan dipaparkan pencitraan perempuan kuasa dalam novel PBS. Bertekad Kuat dan Pantang Menyerah Annisa adalah tokoh perempuan yang dibentuk pengarang sebagai agen atau poiner perbaikan derajat kaum perempuan khususnya dalam lingkungan pondok pesantren. Annisa berusaha membebaskan diri dan perempuan lain dari kebiasaan dan cara pandang yang memandang sesuatu dari sudut jenis kelamin. Dalam hal ini Annisa digambarkan sebagai sosok yang mempunyai tekad kuat dan pantang menyera. Tekad itu ia manifestasikan ketika menghadapi berbagai masalah yang menyudutkannya. Diantaranya ketika ia harus dilarang keras orangtuanya untuk belajar naik kuda. Annisa tidak ingin manut begitu saja hanya karena alasan dia adalah seorang perempuan. Dia ingin menunjukkan bahwa Annisa juga mampu melakukan sesuatu yang kebanyakan dilakukan oleh laki-laki. (7) ”Apapun yang terjadi...aku harus bisa. Aku mesti belajar naik kuda. Aku akan tetap belajar naik kuda. Naik kuda (PBS; 8) Tegas Perjalanan yang dilalui Annisa memang tidak mulus. Ia banyak menghadapi tantangan khususnya ketika ia harus menikah dengan Samsudin. Penderitaan Annisa dimulai dari sini. Ia tidak menemukan kebahagiaan sama sekali. Maka, apapun ynag dilakukan Samsudin, segila apapun, Annisa seakan tidak perduli. Samsudin bukanlah laki-laki yang baik seperti yang digambarkan ibunya dulu. Samsudin banyak sekali menyimpan kelemahan yang tidak patut ditiru.
Kehidupan rumah tangga Annisa dengan Samsudin tidak seperti kehidupan suami istri yang lain. Annisa pun tidak merasa bahwa ia pernah menjadi istri seseorang. Bahkan ketika Samsudin berusaha untuk memaki dan memperolok Annisa dengan mengatakan perempuan mandul, Annisa juga tidak perduli. Puncaknya ketika Samsudin berusaha membuat Annisa cemburu dengan mengatakan bahwa ia akan menikah lagi, Annisa juga tidak perduli. Meskipun Annisa masih sekolah do tingkat Stanawiyah, Annisa bisa tegas terhadap tindakan yang dilakukan Samsudin padanya. Cerdas Kecerdasan adalah milik semua orang; baik lakilaki maupun perempuan. Namun, stereotipe yang selama ini melekat adalah laki-laki lebih cerdas dibandingkan perempuan. Namun, hal ini sepertinya tidak berlaku bagi Annisa. Annisa ingin menunjukkan bahwa laki-laki memiliki kecerdasan yang sama dengan perempuan. Kecerdasan Annisa memang diakui. Namun, sepertinya budaya patriarki membuat kecerdasan Annisa tidak terlihat dan sengaja ditekan. Orang tua Annisa lebih melihat kecerdasan anak laki-lakinya daripada anak perempuan. Kecerdasan Annisa sebenarnya sudah terlihat ketika kecil. Kecerdasan Annisa juga ditunjukkan dengan kehausannya akan ilmu. Ia selalu ingin belajar dan belajar. Ia tidak mudah puas dengan ilmu yang diterimanya. Kehausan akan ilmu ditunjukkan dengan semangatnya untuk terus sekolah. Ia tahu bahwa dengan ilmu maka ia akan mampu menemukan kejanggalan-kejanggalan hidup yang selama ini ditemuinya. Ia akan membantah dengan mengemukakan logika yang masuk akal. Annisa tidak ingin timpang dalam mempelajari satu ilmu. Dalam hal ini, ia juga mempelajari ilmu agama dan ilmu umum. Ilmu
agama untuk akhirat dan ilmu umum untuk menjawab persoalan dunia. Kritis Ia sangat kritis terhadap segala persoalan terutama yang menyangkut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Ia tidak ingin sekadar menerima penjelsan saja. Setiap persoalan yang mengusiknya maka ia akan terus mengejarnya. Ia tidak akan pernah puas dengan jawaban yang diterimanya. Selama ia belum menemukan titik temunya dan kejanggalan hatinya belum terjawab, maka ia akan terus mengemukakan pertanyaan itu. Meskipun kadangkala hal ini akan menimbulkan kejengkelan sendiri pada orang yang ditanyainya. Namun, Annisa kadangkala tidak perduli. Ia ingin mendekontruksi pemikiran yang selama ini mengekang kehidupan pesantren. Kekritisan Annisa dapat dilihat dalam kutipan berikut. (8) ”Yang aneh apanya, Bu. Pak guru bilang kewajiban seorang perempuan itu banyak sekali, ada mencuci, memasak, menyetrika, mengepel, menyapu, menyuapi, menyusui, memandikan, dan banyak lagi. Tidak seperti laki-laki, Bu, kewajibannya Cuma satu, pergi ke kantor.... (PBS: 14) Annisa termasuk perempuan yang kritis terhadap fenomena kedudukan dan peran antara laki-laki dan perempuan. Ia tidak ingin melihat kaumnya dideskriminasi. Ia tidak ingin melihat kaum perempuan khususnya dilingkungan pesantren hanya bisa manut terhadap segala aturan yang selama ini membelenggunya.Anisa ingin merubah itu semua dengan membuka wacana melalui pertanyaan-pertanyaan dasar mengenai hak laki-laki dan hak perempuan. Bertanggung Jawab
Annisa adalah salah satu perempuan yang bertanggung jawab. Sikap dia yang cenderung revolusioner namun tetap diimbangi dengan budaya pesantren yang kental dengan dunia religi. Salah satu hal yang harus ditunjukkan sebagai seorang muslim sejati adalah rasa tanggung jawab. Rasa tanggung jawab ini ditunjukkan Annisa dengan tetap melayani Samsudin berhubungan suami istri. Meskipun sebenarnya Annisa sangat membenci Samsudin namun agama melarang seorang iatri yang tidak mau melayani suaminya. Mau tidak mau Annisa tetap melayani suaminya. Sikap Annisa yang demikian menunjukan bahwa Annisa mencitrakan sikap yang bertanggung jawab. PENUTUP Berdasar pembahasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. (1) Manifestasi budaya patriarki terlihat dalam beberapa hal misalnya dalam tradisi keluarga yang sepertinya membuat perbedaan antara kedudukan laki-laki dan perempuan; tradisi perjodohan yang tidak memberikan pilihan bagi perempuan untuk memilih pasangan hidupnya sendiri; tradisi berpendapat yang menafikan peran perempuan karena perempuan dihegemoni untuk bisa nrimo ing pandum. (2) Perempuan dalam PBS ternyata mengalami dominasi dan kekerasan. Kekerasan itu dimanifestasikan dalam bentuk fisik dan psikis. Annisa mengalami kekerasan fisik dan psikis dari suami dan keluarganya. Dalam kategori fisik, Annisa sering mendapat tamparan dan sikap kasar dari suami bukan pilihannya; Samsudin. Sedangkan psikis; ia banyak menerima tekanan yang menyebabkan hilangnya rasa percaya diri, rasa aman, dan
tekanan-tekanan yang lain. Perannya benarbenar dimimalisir hanya karena dia seorang perempuan. (3) Manifestasi budaya patriarki dan dominasi serta kekerasan yang dialmi Annisa tidak menyebabkan ia menjadi perempuan yang lemah dan menerima begitu saja akan nasib yang menimpanya. Annisa mencitrakan perempuan kuasa dengan pencitraannya yang tegas, cerdas, kritis, bertanggung jawab, bertekad kuat dan pantang menyerah. DAFTAR PUSTAKA Anderson, M. H. 1988. Thinking About Women: Sociological and Feminist Persfektives. New York: Macmillang Publicing Co inc. Awuy, Tommy F. 1995. Wacana Tragedi dan Dekontruksi Kebudayaan. Yogyakarta: Jentera Wacana Publika. De Beauvoir, Simone. 1989. The Second Sex, Book One: Facts and Myths. New York: Vintage. Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis, Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fakih, Mansoer. 1996. Membincang Feminisme, Diskursus Gender Perspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti. ---------------. 2003. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Goodman, Lizbeth. 2001. Literature and Gender. New York: The Open University. Humm, Maggie. 2002. Ensiklopedia Feminisme. Terjemahan Muhdi Rahayu. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Kadarusman. 2005. Agama, Relasi Gender & Feminisme. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ruthven, K.K. 1990. Feminist Literaty Studies: An Introduction. Cambridge: Cambridge University Press.