ANALISIS NILAI-NILAI KULTURAL PONDOK PESANTREN DALAM NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN KARYA ABIDAH EL KHALIEQY
SKRIPSI
Oleh: TUTUT DWI HANDAYANI K1206041
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
ANALISIS NILAI-NILAI KULTURAL PONDOK PESANTREN DALAM NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN KARYA ABIDAH EL KHALIEQY
Oleh: TUTUT DWI HANDAYANI K1206041
Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
ii
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Surakarta, Mei 2010
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Budi Setiawan, M. Pd. NIP 19610524 198901 1001
Sri Hastuti, S. S., M. Pd. NIP 19690628 200312 2001
iii
PENGESAHAN Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Hari
: 18 Mei 2010
Tanggal
: Selasa
Tim Penguji Skripsi Nama Terang
tanda tangan
Ketua
: Dra. Raheni Suhita, M. Hum.
Sekretaris
: Dra. Suharyanti, M. Hum.
Anggota I
: Dr. Budi Setiawan, M. Pd.
Anggota II
: Sri Hastuti, S. S., M. Pd.
Disahkan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Dekan
Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd. NIP 19600727 198702 1001
iv
_________ __________ _________ __________
ABSTRAK Tutut Dwi Handayani. ANALISIS NILAI-NILAI KULTURAL PONDOK PESANTREN DALAM NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN KARYA ABIDAH EL KHALIEQY, Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Mei. 2010. Tujuan penelitian adalah: (1) mengetahui dan mendeskripsikan proses kreatif yang dimiliki oleh Abidah Al Khalieqy dalam penulisan novel Perempuan Berkalung Sorban; (2) mengetahui dan mendeskripsikan nilai-nilai kultur pondok pesantren dalam novel Perempuan Berkalung Sorban; (3) mengetahui relevansi nilai-nilai kultur pesantren dalam novel Perempuan Berkalung Sorban jika digunakan sebagai bahan ajar alternatif pembelajaran sastra di SMA; dan (4) mengetahui penilaian pembaca terhadap novel Perempuan Berkalung Sorban. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra karena penelitian berfokus pada resepsi pembaca terhadap karya sastra. Penelitian dilakukan di Pondok Pesantren Al Quran Desa Narukan Kecamatan Kragan Kabupaten Rembang. Narasumber berasal dari pengurus dan santri yang sedang belajar di sana. Teknik penelitian yang digunakan adalah teknik analisis dokumen dan teknik libat cakap (wawancara) dengan narasumber dengan menggunakan handphone sebagai alatnya. Teknik cuplikan yang digunakan adalah metode purposive sampling. Pemilihan sampel diarahkan pada sumber data yang dipandang memiliki data yang paling erat berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Proses kreatif penciptaan novel Perempuan Berkalung Sorban adalah adanya keinginan dari penulis untuk mensosialisasikan hak-hak reproduksi yang harus diketahui oleh perempuan. Penulisan novel ini dilakukan dengan kerjasama dengan Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF). (2) Pondok pesantren yang dijadikan latar dalam novel ini adalah pondok pesantren tradisional (salafi) yang masih kental dengan ajaran kitab kuning. Pengambilan setting pondok pesantren salaf dilakukan Abidah untuk menjelaskan hegemoni kekuasaan para kyai dan kitab kuning yang sangat mempengaruhi jalannya kultur dalam wilayah pondok pesantren. Nilainilai yang kental terdapat dalam novel tersebut adalah kesamaan hak antara lakilaki dan perempuan. (3) Novel Perempuan Berkalung Sorban dapat digunakan sebagai bahan ajar alternatif pembelajaran sastra di SMA karena isu dan kearifan lokal yang dimilikinya. (4) Novel ini menuai penilaian yang berbeda-beda dari kalangan pembaca. Namun, layaknya sebuah karya sastra yang bernilai adalah karya sastra yang mampu memberikan suatu hiburan sekaligus pendidikan (dulce et utile) kehadiran novel Perempuan Berkalung Sorban juga diakui pembaca mampu memberikan satu hal yang baru. Abidah El Khalieqy berani membuka halhal yang sudah lama ditutup-tutupi dari kalangan pondok pesantren agar masyarakat mengetahuinya. Kata kunci: proses kreatif, kultur, pondok pesantren, resepsi sastra.
v
MOTTO
Sekali dalam hidup orang mesti menentukan sikap. Kalau tidak dia takkan menjadi apa-apa. (Pramudya Ananta Toer, Bumi Manusia)
Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki. Tetapi tidak berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai. (Kata Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia)
vi
PERSEMBAHAN
Kusuntingkan skripsi ini untuk: 1. Ibu-Bapak terkasih di rumah; anugerah terbesar yang dihadiahkan Allah SWT untukku. 2. Mak Ni; perempuan bermahkota mutiara. Simbahku tersayang yang telah membuatku merasa menjadi cucu tersayangnya. 3. Mbak Vivin, Mas Faruq, dan Dek Dian tercinta; semangat yang selalu menyala dan membuatku menjadi Adek dan Mbak yang merasa dicinta. 4. Pemuda, pemilik senyum sederhana. 5. Mardiyah, Yusuf, dan Kris; sahabat-sahabat kecilku, sahabat kehidupanku. 6. Kawan-kawanku di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Motivasi. 7. Bastind ’06; Terimakasih telah menjadi teman dan memberi kenangan yang indah selama di Solo. 8. Almamater; Kampus yang menempaku menjadi manusia seutuhnya. Yang telah memberiku gelar mahasiswa dan aku bangga karenanya.
vii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL…………………………………………………..…………...i PERSETUJUAN…..………………......................……………….........................iii PENGESAHAN......................................................................................................iv ABSTRAK...............................................................................................................v MOTTO..................................................................................................................vi PERSEMBAHAN..................................................................................................vii DAFTAR ISI………………………………………………………………..…...viii KATA PENGANTAR............................................................................................xi DAFTAR TABEL.................................................................................................xiii DAFTAR GAMBAR............................................................................................xiv DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ............................................................................................1 B. Pembatasan Masalah ...................................................................................9 C. Perumusan Masalah.....................................................................................9 D. Tujuan Penelitian.........................................................................................9 E. Manfaat Penelitian.....................................................................................10
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori...........................................................................................12 1. Hakikat Proses Kreatif.........................................................................12 2. Kebudayaan..........................................................................................14 a. Hakikat Kebudayaan......................................................................14 b. Unsur-unsur Kebudayaan...............................................................16 c. Perubahan Sosial Budaya...............................................................22 d. Bentuk-Bentuk perubahan Sosial Budaya......................................26 e. Penetrasi Kebudayaan....................................................................28 f. Cara Pandang Terhadap Kebudayaan............................................29
viii
g. Faktor Mental Bangsa Indonesia...................................................32 3. Pondok Pesantren.................................................................................33 a. Hakikat Pondok Pesantren.............................................................33 b. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia................37 c. Sistem Pendidikan dalam Pondok Pesantren.................................40 4. Hakikat Bahan Ajar.............................................................................41 a. Kriteria Bahan Ajar yang Baik......................................................41 b. Bahan Ajar Pembelajaran Sastra...................................................47 c. Kompetensi Dasar yang Berkaitan................................................50 5. Telaah Sastra.......................................................................................51 6. Sosiologi Sastra...................................................................................55 a. Resepsi Sastra...............................................................................60 b. Kritik Sastra..................................................................................62 7. Profil Abidah El Khalieqy..................................................................69 B. Penelitian yang Relevan...........................................................................70 C. Kerangka Berpikir....................................................................................71
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian..................................................................73 B. Bentuk dan Strategi Penelitian.................................................................74 C. Bentuk dan Sumber Data.........................................................................74 D. Teknik Pengumpulan Data.......................................................................76 E. Teknik Cuplikan.......................................................................................77 F. Validitas Data...........................................................................................77 G. Analisis Data............................................................................................78
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Data…………………………………………………………..81 B. Analisis Unsur Intrinsik Novel Perempuan Berkalung Sorban………...82 1. Tema………………………………………………………………...82 2. Tokoh dan Penokohan………………………………………………86
ix
3. Latar (Setting)……………………………………………………….107 4. Alur (Plot)…………………………………………………………..112 5. Sudut Pandang…...………………………………………………….120 6. Amanat…………...…………………………………………………120 7. Gaya Bahasa………………………………………………………...122 C. Proses Kreatif Novel Perempuan Berkalung Sorban…………………...123 D. Nilai-nilai Kultural Pondok Pesantren dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban…………………………………………………………………..130 E. Relevansi Nilai-nilai Kearifan Lokal Novel Perempuan Berkalung Sorban terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah................................................136 F. Penilaian Pembaca terhadap Novel Perempuan Berkalung Sorban...….140
BAB V PENUTUP A. Simpulan………………………………………………………………..144 B. Implikasi………………………………………………………………..146 C. Saran…………………………………………………………………….148
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................150 LAMPIRAN........................................................................................................153
x
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberi kenikmatan hidup dan kemudahan kepada hamba-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi sebagian persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang telah memberikan izin penulisan skripsi; 2. Drs. Suparno, M. Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni yang telah memberikan persetujuan skripsi; 3. Drs. Slamet Mulyono, M. Pd., Ketua Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan izin penulisan skripsi; 4. Dr. Budi Setiawan, M. Pd., selaku pembimbing I dan Sri Hastuti, S. S., M. Pd., selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan dorongan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan lancar; 5. Drs. H. Purwadi, Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan selama penulis menjadi mahasiswa di Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNS; 6. Bapak dan Ibu dosen Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah membantu penulis selama menimba ilmu di FKIP UNS; 7. Abidah El Khalieqy, Penulis Novel Perempuan Berkalung Sorban yang berkenan untuk menjadi narasumber genetik atas novel tersebut; 8. Pengurus dan santri pondok pesantren Alquran, Narukan, Kragan, Rembang yang bersedia membantu penulis sebagai narasumber penelitian skripsi ini; 9. Ibu, Bapak, Mak Ni, Mbak Vivin, Dek Dian, Mas Faruq dan saudara di rumah yang senantiasa membuatku tersenyum dengan ikhlas. Kalian adalah semangat yang selalu menyala;
xi
10. Heri Budiyawan Suryanto, pemilik senyum sederhana. Angin gunung telah menunggumu!!! Seperti puncak-puncak gunung yang telah kau taklukkan, wujudkan mimpi-mimpimu!!! 11. Rose, Irna, Dewi, Andi, Vandi, Lia, Ida, Mira, Dias, Yanti, Dwi, Doni, Rika, Gancar, Dini, dan teman-teman Bastind 2006 yang menjadi satu kenangan terindah dalam perjalanan hidup; 12. Mbak Nisa, Mbak Septi, Mas Nuno, Rika, Listyawati, Dhika, Listya Putri, Tisna, Zulaihah, Kikis, Fitri, Hanif, Anjar, Jatmiko, Endah, Leoni, Duwi, Mufti, Djoko, dan kawan-kawan lainnya di LPM Motivasi yang membuatku kuat dan membantuku menemukan hakikat diriku. Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun penulis harapkan untuk perbaikan. Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah khasanah ilmu pengetahuan bagi para pembaca.
Surakarta, Mei 2010
Penulis
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jumlah pesantren, madrasah dan santri di Jawa dan Madura pada tahun 1942 (Survai kantor Urusan Agama)......................................................38 Tabel 2. Jumlah pesantren dan santri di Jawa pada tahun 1978 (Laporan Departemen Agama RI)..........................................................................39 Tabel 3. Jadwal penelitian.....................................................................................74
xiii
DAFTAR GAMBAR
Bagan 1. Kriteria Umum Pemilihan Isi Kurikulum...............................................43 Bagan 2. Kerangka Berpikir...................................................................................72 Bagan 3. Analisis Interaktif (Miles & Huberman).................................................79
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Sinopsis Novel Perempuan Berkalung Sorban...............................153 Lampiran 2. Curriculum Vitae Abidah El Khalieqy............................................155 Lampiran 3. Wawancara dengan Abidah El Khalieqy…………………………158 Lampiran 4. Profil Pondok Pesantren Al Quran Desa Narukan………………..164 Lampiran 5. Wawancara dengan Santri Pondok Pesantren…………………….170 Lampiran 6. Foto Wawancara…………………………………………………..175 Lampiran 7. Komentar Pembaca Terhadap Novel Perempuan Berkalung Sorban…………………………………………………………….176 Lampiran 8. Contoh Silabus Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia kelas XI SMA.................................................................................178 Lampiran 8. Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Tentang Izin Menyusun Skripsi/Makalah………………………..202 Lampiran 9. Permohonan Izin Menyusun Skripsi……………………………..203 Lampiran 10. Permohonan Izin Research/Try out untuk Rektor…………..…..204 Lampiran 11. Permohonan Izin Research/Try out untuk Pimpinan Pondok Pesantren…………………………………………………………205
xv
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebudayaan adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Dalam kehidupan manusia kebudayaan diciptakan untuk mempermudah manusia dalam menjalani kehidupannya. Kebudayaan tidak akan ada tanpa manusia, sebaliknya manusia tanpa kebudayaan tidak akan bisa bertahan dalam mengarungi kehidupan. Berdiskusi perihal kebudayaan barangkali dapat dianggap sebagai suatu perjalanan mental yang dalam. Tukar menukar pikiran yang hangat seringkali terjadi untuk mencari definisi atau makna yang tepat untuk menjelaskan hakikat kebudayaan. Diskusi dan pembicaraan yang bersentuhan langsung dengan dimensi yang berhubungan dengan aspek kehidupan akan membuat diskusi tersbut menjadi lebih dalam. Dalam perkembangan selanjutnya, dapat disepakati bahwa pembangunan manusia dan masyarakat mengandung permasalahan kebudayaan. Kalau pembangunan manusia dan masyarakat itu dapat diibaratkan sebagai transformasi, maka proses transformasi tersebut tidak mungkin dapat lepas dari transformasi kebudayaan. Dengan kata lain, pembangunan manusia dan masyarakat tidak mungkin terjadi tanpa transformasi kebudayaan. Karena itulah kebudayaan perlu dilihat sebagai sesuatu yang dinamis dan sesuatu yang terus berkembang. Permasalahan kebudayaan dalam sebuah masyarakat berkembang seperti halnya Indonesia relatif jauh lebih rumit daripada yang ditemui di masyarakatmasyarakat maju. Contoh sederhana saja adalah tradisi Jawa yang masih kental dengan hal-hal yang berbau klenik yang membuat segala sesuatunya semakin rumit. Persepsi-persepsi tersebut akhirnya bersifat jamak atau multi yang dipengaruhi oleh warna kebudayaan suku bangsa, nilai agama yang dianut, kebudayaan asing atau bahkan persepsi yang dipengaruhi oleh ideologi bersama, yakni Pancasila dan UUD 1945. 1
2
Adanya persepsi kebudayaan yang multi inilah yang menunjukkan kepada kita bahwa masyarakat kita masih berada dalam taraf transformasi kebudayaan. Dalam sebuah masyarakat atau bangsa yang sudah maju, masalah transformasi kebudayaan boleh dikatakan berhasil mereka selesaikan sehingga mereka bisa memiliki sebuah kebudayaan yang mantap dan mampu berkembang secara dinamis (Alfian, 1985: 21). Sedangkan di sisi lain, karya sastra sebagai salah satu produk sebuah kebudayaan dapat dikatakan sebagai cerminan dari masyarakat tempat karya sastra itu lahir. Sebuah penelitian yang membicarakan tentang maju tidaknya atau tinggi rendahnya sebuah kebudayaan tidak hanya ditilik dari karya-karya atau tulisan ilmiah yang dihasilkannya. Tetapi, penilaian tentang hal tersebut dapat juga dilakukan dengan melihat karya-karya sastra yang dihasilkan oleh masyarakat yang bersangkutan. Hal tersebut karena bahasa adalah satu unsur yag tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan suatu masyarakat. Bahasa adalah cermin dari sebuah kultur masyarakat. Begitu sering diistilahkan. Karena itulah, tidak perlu harus terjun masuk ke dalam masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui kebudayaan suatu masyarakat. Penelitian dapat dilakukan dengan cara menggali karya-karya fiksi, seperti buku-buku sastra atau novel. Suatu hal yang dapat dimengerti bahwa karya sastra fiksi merupakan suatu produk kehidupan yang banyak mengandung nilai-nilai sosial, politis, etika, religi, filosofis. Seorang pengarang mempunyai banyak kemungkinan untuk dapat mempengaruhi suatu kebudayaan masyarakat tertentu dibalik karya sastra yang diciptakannya. Kemungkinan tersebut misalnya pengarang mengubah pola pikir masyarakat. Sastra bisa mengandung gagasan yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial yang mungkin atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu. Anggapan lain menyatakan bahwa karya sastra adalah sesuatu yang indah yang berasal dari hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Karya sastra dapat mencerminkan masyarakat tempat karya tersebut dilahirkan. Karya sastra yang baik mampu menjadi refleksi atau gambaran keadaan masyarakat di masa itu atau paling tidak sanggup memberikan sumbangan untuk masyarakat penikmatnya,
3
baik itu yang bersifat rekreatif maupun edukatif. Karya sastra yang baik juga bisa menggambarkan bagaimana hubungan antarmanusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan. Ini karena dalam karya sastra seharusnya terdapat ajaran moral, sosial sekaligus ketepatan bahasa dalam pengungkapan karya sastra. Hal inilah yang membuat perkembangan sastra tidak bisa dipisahkan dengan pola kehidupan dan pola pikir masyarakatnya. Cara masyarakat untuk hidup dan bertingkah laku dalam kehidupan sosial mereka bisa sangat mempengaruhi seorang penulis dalam merefleksikan pemikirannya tentang suatu masalah yang kemudian bisa diwujudkan dalam suatu kreasi yang kemudian layak disebut sebagai suatu karya sastra. Dan hal yang serupa juga terjadi pada perkembangan sastra di Indonesia. Perkembangan sastra di Indonesia terjadi secara berkelanjutan dan mulai menggeliat sejak masa Balai Pustaka, sejak saat itulah mulai hadir sastrawansastrawan kita seperti STA, Armin Pane, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Mochtar Lubis, N.H. Dini dan menuju ke penulis-penulis masa kini seperti Cak Nun, Joko Pinurbo, sampai Habiburrachaman, Dee, dan Ayu Utami, misalnya. Dalam perkembangannya, nama Abidah Al Khalieqy merupakan satu nama yang turut serta dalam menghiasi jejak sastra di tanah air. Lewat karyakarya yang dihadirkannya, Abidah biasa melukis kisah wanita dengan aneka perlawanannya terhadap budaya patriarki yang menurutnya masih terasa kental di negeri ini. Karya perdana yang dibukukan pada 2001 mengambil judul Perempuan Berkalung Sorban diakui membuat para pembaca mampu mengetahui sisi lain dari sebuah kehidupan dalam pesantren. Sebuah fakta yang kerap kali disembunyikan di hadapan publik diungkap secara mendetail oleh Abidah dalam novel tersebut. Karya tersebut membuat ia terpilih sebagai juara kedua dalam acara sayembara yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) kala itu. Abidah El Khalieqy menggunakan latar kebudayaan pondok pesantren dalam beberapa karyanya. Kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam pondok pesantren digunakaan Abidah untuk menggambarkan latar karya yang diciptanya. Kebiasaan yang terjadi dalam sebuah pondok pesantren dapat digunakan sebagai
4
gambaran kebudayaan yang hadir di dalamnya. Hal tersebut karena sedikit banyak kehidupan masyarakat kita masih banyak dipengaruhi oleh golongan santri yang menimba ilmu di pondok pesantren. Pondok pesantren diakui sebagai tempat penggemblengan manusia menjadi manusia yang lebih baik setelah mereka keluar dari sebuah pondok pesantren. Pandangan bahwa lulusan dari pondok pesantren akan mampu menjadi tokoh dan panutan dalam masyarakat kita masih mengakar dalam paradigma masyarakat kita. Layaknya sebuah komunitas masyarakat yang tidak dapat lari dari perubahan. Komunitas pondok pesantren pun mengalami hal yang demikian. Jika dahulu pondok pesantren dikesankan sebagai komunitas yang kolot dan ketinggalan zaman, perubahan sosial yang berlangsung saat ini perlahan memupuskan citra-citra negatif semacam itu. Hampir semua pesantren kini telah bergabung ke dalam komunitas global dan menjadi bagian dari komunitas dunia. Yang berbeda mungkin cuma takarannya saja. Yakni seberapa banyak pesantren mengadopsi
dan
memodifikasi
berbagai
kecenderungan
global
dalam
komunitasnya (Mayra Walsh, 2002). Sebagai sebuah lembaga keilmuan, pesantren memiliki kekhasan tersendiri yang unik dan tak dimiliki oleh lembaga keilmuan yang lain. Misalnya saja, ilmuilmu keagamaan tradisional di pondk pesantren pada khususnya dipelajari dengan media kitab-kitab karya ulama klasik yang di antaranya ditulis dalam bentuk puisi. Di lingkungan komunitas intelektual yang lain, bisa dikatakan bahwa tak ada model transmisi keilmuan dengan media puisi seperti di pesantren. Tak hanya dalam transmisi keilmuan, tradisi sastra dalam bentuk puisi juga hadir secara cukup intens dalam kehidupan sehari-hari para santri. Kehidupan sehari-hari di pesantren banyak menampilkan puji-pujian dan zikir keagamaan yang berbentuk puisi. Biasanya dibacakan menjelang atau di sekitar waktu shalat. Secara khusus, syair berisi puji-pujian kepada Nabi Muhammad saw. memiliki bentuk ekspresi yang begitu kaya dalam Islam dan banyak diapresiasi dan hidup dalam keseharian dunia pesantren. Bahkan, beberapa puisi tersebut dianggap memiliki kekuatan magis sehingga tak jarang juga dibacakan sebagai doa untuk keperluan tertentu.
5
Di luar itu, kehidupan dalam pondok pesantren merupakan kehidupan yang cenderung tertata dengan aneka ragam aturan di dalamnya. Pondok pesantren yang dapat juga diidentifikasikan sebagai tempat menuntut ilmu sekaligus tempat istirahat - bahkan makan - mengatur segala tata cara yang dilakoni orang-orang yang hidup di dalamnya. Cara mereka makan, mandi, mengaji, bersih-bersih, atau hal-hal kecil yang lain tidak lepas dari aturan yang disorot oleh pengurus pondok pesantren. Aturan yang terkadang terlalu kolot dan kuno - bagi beberapa pondok pesantren - membuat beberapa penulis memilih keadaan tersebut sebagai salah satu sumber ide kreatif mereka untuk membuat sebuah karya sastra yang layak dinikmati pembaca. Sebagaimana diketahui bahwa karya sastra merupakan sebuah totalitas yang dibangun oleh berbagai unsur pembangunnya. Struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah (Abrams, dalam Nurgiantoro 2002: 36). Strukturalisme memang sering dipahami sebagai bentuk. Karya sastra adalah bentuk (Junus, dalam Endaraswara 2003: 49). Menurut Hawkes dalam Nurgiyantoro (2002: 37) strukturalisme pada dasarnya dipandang sebagai cara berpikir tentang dunia kesastraan yang lebih merupakan susunan hubungan daripada susunan benda. Dengan demikian, kodrat setiap unsur dalam bagian sistem struktur itu baru mempunyai makna setelah berada dalam hubungannya dengan unsur-unsur yang lain yang terkandung di dalamnya. Karena itulah, secara umum analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra, seperti halnya unsur eksternal berupa pengetahuan dan pendidikan pengarang. Dalam hal ini, Abidah Al Khalieqy menangkap peluang itu. Peluang untuk membuat sebuah karya sastra yang layak dinikmati oleh pembaca. Dalam karyakarya yang dibuatnya, Abidah sering menggunakan latar kehidupan pondok pesantren sebagai setting novel yang dibuatnya. Latar belakang kehidupannya yang juga berasal dari kalangan pondok pesantren jugalah yang diyakini sebagai
6
modal kuat baginya untuk menggambarkan kehidupan pondok pesantren dalam sebuah karya sastra. Beberapa karyanya merupakan karya yang mendapatkan predikat Best Seller. Kemampuan menulisnya sudah mendapat pengakuan di antara penulis sastra, terutama penulis wanita. Dalam karya-karya yang dihasilkannya, Abidah sering mengangkat isu gender dengan latar kehidupan pondok pesantren atau pendidikan Islam yang lain. Ini jugalah yang menimbulkan kontroversi pada setiap hasil karya yang terbit atas namanya. Aneka ragam penilaian atas karya yang dihasilkannya muncul ke permukaan setelah tulisannya sampai kepada para penikmat sastra. Penilaian atas karya yang diterbitkannya memang tidak lagi menjadi wewenang Abidah Al Khalieqy selaku penulis karena sebagaimana sudah diketahui bahwa penilaian sastra tidak dapat dipaksakan. Penilaian atas sebuah karya sastra dapat dipengaruhi oleh latar belakang (dapat dalam bentuk sosial atau pendidikan) penikmat sastra. Resepsi tentang sastra cenderung bersifat relatif sehingga tidak ada aturan yang baku dan larangan bagi pembaca atau penikmat sastra untuk menyatakan sebuah karya sastra itu layak atau tidak untuk dinikmati publik. Pada beberapa karya Abidah Al Khalieqy yang mampu menjuarai beberapa sayembara sastra pun tidak lepas dari kontroversi semacam ini. Di luar kontroversi tersebut, karya-karya sastra Abidah dinilai telah berhasil membuka tabir tradisi dunia pesantren, kultur Jawa, dan budaya Arab. Sekaligus juga menawarkan paradigma baru yang lebih substansial untuk menempatkan idealitas perempuan dalam pandangan Islam.
Ahmadun Yosi Herfanda bahkan
menempatkan Abidah sebagai salah satu novelis terbaik di Indonesia dan novelnovelnya dapat dinilai sebagai puncak sastra Islami - bukan fiksi pop Islami (Aning Ayu, 2009). Novel Perempuan Berkalung Sorban adalah sebuah novel yang berbingkai feminisme. Persfektif feminisme lebih mengarahkan pandangannya pada karyakarya sastra yang ditulis perempuan sekaligus menampilkan tokoh perempuan dengan berbagai masalahnya. Perspektif dimaksud tidak semata-mata memandang
7
novel dari kacamata estetika, tetapi juga memfokuskan kajian pada makna dan hubungannya dengan realitas sosial dan budaya. Selain itu, novel
Perempuan Berkalung
Sorban
ditulis
dengan
menggunakan sudat pandang aku-pengarang sebagai tokoh protagonis yang bernama Annisa. Dengan sendirinya, struktur narasi yang digunakan merupakan bagian dari pemikiran tokoh tersebut. Melalui tokoh Annisa, Perempuan Berkalung Sorban berupaya melakukan perlawanan terhadap tradisi keluarga, ustadz dan kitab-kitab yang diajarkan dalam sebuah pesantren yang diasuh oleh ayahnya sendiri. Karena itu, tidak salah jika novel Perempuan Berkalung Sorban telah dijadikan sarana bagi pengarangnya untuk mencapai tujuan tertentu yang terkait dengan perjuangan kaum feminis, baik tujuan yang bersifat ideologis maupun pragmatis. Melalui latar sosial dan pemikiran tokoh di dalamnya, novel ini juga telah berhasil mengungkap fakta dominasi, subordinasi, dan marginalisasi yang dialami perempuan dalam ranah keagamaan. Sehingga, asumsi masyarakat terhadap posisi dikotomis perempuan yang semata-mata didasarkan pada mitos, kepercayaan dan tafsir kitab suci, senantiasa dikritik dan diluruskan kembali. Novel Perempuan Berkalung Sorban memiliki kandungan ekspresi dan konsistensi fiksional untuk mengutuhkan kepribadian, kecerdasan, dan keyakinan tokoh perempuan di dalamnya. Pengutuhan itu bukan saja terbaca dari latar sosial tokohnya, Annisa, tetapi juga emansipasi pemikiran dan keberaniannya untuk melawan dominasi dan diskriminasi tokoh-tokoh antagonis yang bersifat patriarkis. Penggambaran posisi dan sikap tokoh perempuan tersebut juga mencerminkan adanya upaya untuk menanggapai dan mencari solusi terhadap masalah gender yang ditimbulkan oleh ketidakadilan sosial dan budaya di sekitar tokoh itu berada. Abidah El Khalieqy menggambarkan Annisa sebagai seorang santri yang ideal, berpikiran moderat, cerdas dan kerap kali mendebat para ustadznya terutama
untuk
hal-hal
yang
dirasa
mengganggu
logikanya.
Dengan
kecerdasannya pula, Annisa berani menolak terhadap segala sesuatu yang dianggap menyimpang dari nilai agama. Pada akhirnya, setelah Annisa keluar dari
8
pesantren ayahnya, dan menjadi mahasiswi pada sebuah perguruan tinggi, tak putus-putusnya ia berusaha melakukan penafsiran ayat-ayat Alquran dan hadis sebagai sarana juang untuk melindungi dirinya dari penindasan laki-laki. Novel Perempuan Berkalung Sorban memiliki kecenderungan pokok untuk menempatkan perempuan sebagai subjek budaya. Kecenderungan tersebut dapat dilihat melalui berbagai peristiwa yang sengaja ditampilkan oleh pengarangnya, guna mengungkap dan mengangkat eksistensi kaum perempuan untuk menemukan pengetahuan tentang hak atas tubuhnya. Memahami bagaimana cara menolak, menghindar, memberontak dan melawan terhadap dominasi kekuasaan patriarki yang dalam novel tersebut diwakili oleh dominasi kaum pria di lingkungan pondok pesantren. Setting yang dipilih inilah yang kemudian menghadirkan penilaian yang melahirkan bermacam-macam kontroversi karena pembaca atau penikmat novel tersebut disuguhi fenomena dan gambaran yang cukup berbeda dengan yag selama ini diketahui oleh masyarakat awam. Novel tersebut menggambarkan budaya pondok pesantren yang menempatkan wanita dalam posisi “yang menjadi objek”. Satu hal yang bertentangan dengan Islam karena dalam ajarannya, Islam menempatkan wanita dalam posisi yang mulia. Sejajar dengan kaum pria. Beberapa kontroversi yang sempat hadir adalah kecaman yang hadir dari para kyai atas hadirnya novel tersebut. Para Kyai di Jawa Timur menolak penggambaran pondok pesantren seperti yang terdapat dalam novel. Kontroversi semakin menajam ketika novel tersebut kemudian difilmkan ke dalam layar lebar. Kecaman tersebut mengakibatkan film Perempuan Berkalung Sorban tidak bertahan lama di bioskop. Pada minggu pertamanya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta semua pemilik bioskop untuk menurunkan film tersebut dari penanyangannya. Inilah yang kemudian melatarbelakangi peneliti untuk mengkaji karyakarya Abidah Al Khalieqy khususnya novel Perempuan Berkalung Surban yang menuai cukup banyak kontroversi dalam penerbitannya. Penelitian ini berjudul Analisis Nilai-nilai Kultural Pondok Pesantren dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban Karya Abidah Al-Khaleqy.
9
B. Pembatasan Masalah Penelitian ini akan dibatasi pada kajian novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah Al Khalieqy. Kajian akan dibatasi pada proses kreatif penulis dalam penciptaan novel tersebut, penggambaran kultur atau budaya pesantren oleh penulis dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, relevansi novel Perempuan Berkalung Sorban sebagai bahan ajar alternatif pembelajaran sastra di SMA, dan penilaian pembaca terhadap novel tersebut.
C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana proses kreatif Abidah Al Khalieqy dalam penulisan novel Perempuan Berkalung Sorban? 2. Bagaimanakah nilai-nilai kultural pondok pesantren dalam novel Perempuan Berkalung Sorban? 3. Bagaimana relevansi nilai-nilai kearifan lokal dalam novel Perempuan Berkalung Sorban jika digunakan sebagai bahan ajar alternatif pembelajaran sastra di SMA? 4. Bagaimana penilaian pembaca terhadap novel Perempuan Berkalung Sorban?
D. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1.
Mengetahui dan mendeskripsikan proses kreatif yang dimiliki oleh Abidah Al Khalieqy dalam penulisan novel Perempuan Berkalung Sorban.
2.
Mengetahui dan mendeskripsikan nilai-nilai kultural pondok pesantren dalam novel Perempuan Berkalung Sorban.
3.
Mengetahui relevansi nilai-nilai kearifan lokal dalam novel Perempuan Berkalung Sorban sastra di SMA.
jika digunakan sebagai media alternatif pembelajaran
10
4.
Mengetahui penilaian pembaca terhadap novel Perempuan Berkalung Sorban.
E. Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. Manfaaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Manfaat Praktis a. Bagi peserta didik Penelitian ini diharapkan akan membuat peserta didik semakin sadar dan tertarik dengan pelajaran sastra yang ada di kelas. Sekaligus memotivasi siswa untuk menunangkan ide kreatif mereka dalam karya sastra. b. Bagi guru bahasa dan sastra Indonesia Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan kajian dan referensi
untuk
meningkatkan pemahaman
peserta didik tentang
pembelajaran sastra di kelas. c. Bagi kepala sekolah Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan bagi kepala sekolah untuk membina guru sastra agar lebih kreatif dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat membuat kepala sekolah memperhatikan dan menambah sarana dan prasarana serta media ajar dalam pembelajaran sastra. d. Bagi pemegang kebijakan Penelitian ini diharapkan akan mampu menjadi salah satu pertimbangan bagi para pemegang kebijakan dalam merumuskan kurikulum. Terutama dalam kurikulum yang berhubungan dengan pengajaran sastra. Ini perlu dilakukan agar pembelajaran sastra di sekolah menjadi satu hal yang bisa mendapatkan porsi yang seimbang. 2.
Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan akan mampu menjadi salah satu referensi yang
dapat digunakan untuk mengkaji karya sastra dalam segi analisis kultural sebuah produk sastra. Sekaligus dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam hal
11
penilaian atau resepsi sastra bagi para penulis dan penikmat sastra. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan akan mendorong hadirnya penelitian sastra yang baru yang akan lebih inovatif dan kreatif.
12
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Hakikat Proses Kreatif Penulis dan sastrawan Amerika Serikat, Ernest Hemingway (dalam Naning, 2006: 1) menyatakan bahwa menulis adalah petualangan (writing is adventure). Pendapat ini didukung oleh para sastrawan Amerika Latin, Pablo Neruda dan Gabriel Gracia Marquesz dan sastrawati Afrika Selatan Nadine Gordimer serta Milan Kundera, sastrawan Cheko. Petualangan yang dimaksud bukan merupakan pengalaman raga melainkan paduan dari kekayaan batin dan intelektual (materi dasar atau bahan tulisan), imajinasi (kreativitas dan pengembangan) serta kosa kata (penguasaan bahasa). Paduan ini kemudian dirangkai menjadi suatu tulisan melalui suatu proses yang disebut proses kreatif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata „kreatif‟ diartikan: (1) memiliki daya cipta; (2) memiliki kemampuan untuk menciptakan. Jadi, proses kreatif adalah proses mencipta sesuatu dan konteks dalam tulisan ini adalah mencipta tulisan atau menulis, baik itu tulisan yang bersifat fiksi maupun nonfiksi. Seseorang yang menulis fiksi disebut pengarang dan mereka yang menulis non-fiksi disebut penulis. Seorang penulis bisa menjadi pengarang, tetapi pada umumnya sedikit pengarang yang menjadi penulis. Hambatan tersebut biasanya terdapat pada kedalaman referensi yang harus dimiliki oleh seorang penulis karena tulisan yang dibuat harus memiliki kadar ilmiah dan bersifat objektif. Proses menulis memerlukan sebuah proses kreatif. Proses ini dimulai dengan adanya ide yang berupa kekayaan batin dan intelektual sebagai bahan tulisan. Sumber utama munculnya ide adalah bacaan, pergaulan, perjalanan (traveling), kontemplasi, monolog, konflik dengan diri sendiri (internal) maupun dengan di luar diri kita (external), pemberontakan (rasa tidak puas), dorongan mengabdi (berbagi ilmu), kegembiraan, mencapai prestasi, tuntutan profesi dan sebagainya. Semuanya itu bisa dijadikan gerbang untuk mendorong memasuki proses kreatif menulis (Naning, 2006: 2). 12
13
Ide yang muncul berupa kakayaan intelektual atau bahkan yang berbentuk seperti ilham bukan hasil ajaran atau karena mempelajari. Sitor Situmorang (dalam Eneste, 1984: 19) menyatakan: Tidak semua ilham jadi karya; ia bisa menumpuk untuk kemudian tanpa diduga dan tanpa bisa direncanakan terlebih dahulu muncul di kemudian hari, kadang-kadang setelah lewat bertahun-tahun; atau lenyap sama sekali; atau menjadi bagian dari ide/ilham sastra yang lebih luas cakupannya. Si penyair tak bisa menentukan “saat”-nya, pun tidak memilih bentuk untuk kemudian diisi dengan ide sastra (kecuali pada sajak pesanan – jenis yang di luar pembicaraan). Di antara ilham atau gelombang ilham bisa terbentang masa-antara dan masa menunggu yang pendek atau lama. Wallace dalam bukunya The Art of Thought menyatakan bahwa proses kreatif meliputi 4 tahap, yakni: 1. Tahap Persiapan, memperisapkan diri untuk memecahkan masalah dengan mengumpulkan data/ informasi, mempelajari pola berpikir dari orang lain, bertanya kepada orang lain. 2. Tahap Inkubasi, pada tahap ini pengumpulan informasi dihentikan, individu melepaskan diri untuk sementara masalah tersebut. Ia tidak memikirkan masalah tersebut secara sadar, tetapi “mengeramkannya‟ dalam alam pra sadar. 3. Tahap Iluminasi, tahap ini merupakan tahap timbulnya “insight” atau “Aha Erlebnis”, saat timbulnya inspirasi atau gagasan baru. 4. Tahap Verifikasi, tahap ini merupakan tahap pengujian ide atau kreasi baru tersebut terhadap realitas. Disini diperlukan pemikiran kritis dan konvergen. Proses divergensi (pemikiran kreatif) harus diikuti proses konvergensi (pemikiran kritis). Proses kreatif bersifat individual. Proses kreatif ini terkadang membuat penulis atau pengarang menjadi pribadi yang lepas dari dunia di luarnya. Pramudya Ananta Toer (dalam Eneste, 1984: 54) menjelaskan: Proses kreatif adalah semata-mata bersifat individual, yang bisa terjadi hanya setelah terbentuk mistikum sebagai condition sine quo non. Mistikum, kebebasan pribadi yang sangat padat (condensed), yang melepaskan pribadi dari dunia di luarnya, yang membikin pribadi tidak terjamah oleh kekuasaan waktu, suatu kondisi di mana yang ada hanya sang pribadi dalam hubungan antara kawula dengan Gusti dengan bukti kegustiannya, tertampillah sang kreator dengan Kreator melalui pernyataan-pernyataannya. Dan maaf saja, karena ini pengalaman yang sangat individual sifatnya, maka tak membutuhkan pembenaran orang lain. Dan setelah permintaan maaf, yang juga merupakan bagian tak terpisahkan atas keterangan yang sangat pribadi,
14
baru dapat dipisahkan si kreator, si individu, si daif itu, sebagai matahri yang memungkinkan bekerjanya mekanisme kreatif. Dan hanya ada dua mcam kreasi saja: pertama melalui pernyataan alami oleh Sang Kreator dan pernyataan manusiawi melalui si kreator. 2. Kebudayaan a. Hakikat Kebudayaan Kebudayaan sering kali dipahami dengan pengertian yang tidak tepat. Beberapa ahli ilmu sosial telah berusaha merumuskan berbagai definisi tentang kebudayaan dalam rangka memberikan pengertian yang benar tentang apa yang dimaksud dengan kebudayaan tersebut. Akan tetapi ternyata definisi-definisi tersebut tetap saja kurang memuaskan. Terdapat dua aliran pemikiran yang berusaha memberikan kerangka bagi pemahaman tentang pengertian kebudayaan ini, yaitu aliran ideasional dan aliran behaviorisme/materialisme. Kebudayaan adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Dalam kehidupan manusia kebudayaan diciptakan untuk mempermudah manusia dalam menjalani kehidupannya. Kebudayaan tidak akan ada tanpa manusia, sebaliknya manusia tanpa kebudayaan tidak akan bisa bertahan dalam mengarungi kehidupan. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Secara etimologi kebudayaan atau culture berasal dari kata sanskerta yaitu “ buddhayah” yaitu bentuk jamak dari “buddhi” yang berarti budi atau akal (Koentjaraningrat, 2003: 73). Jadi, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Namun, ada sarjana lain yang menyatakan bahwa kebudayaan berasal dari kata budi-daya karena itu ia membedakan antara budaya dengan kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, rasa dan karsa. Sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa dan karsa itu sendiri. Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar (Koentjaraningrat, 2003: 72). Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia,
15
sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Pengertian tersebut merupakan sebagian kecil dari defenisi kebudayaan yang dikemukakan oleh para ahli yang berasal dari berbagai disiplin ilmu. Adapun yang mengumpulkan defenisi kebudayaan dari berbagai ahli tersebut adalah A. L Kroeber dan C. Kluckhohn yang berhasil mengumpulkan 160 defenisi kebudayaan menurut para ahli. Kebudayaan bersifat dinamis, selalu berkembang seiring dengan berjalannya
waktu.
menyesuaikannya
Terjadi
dengan
penyempurnaan
perkembangan
zaman.
yang
dilakukan
Semakin
untuk
bertambahnya
tantangan hidup manusia dari waktu ke waktu maka kebutuhan untuk mengatasi tantangan tersebut akan terus berkembang. Misalnya dalam kehidupan manusia terjadi proses perubahan dari waktu zaman batu - zaman perunggu dan besi zaman modern. Berkembangnya kebudayaan tidak terlepas dari berkembangnya ilmu
pengetahuan.
Ilmu
pengetahuan
merupakan
faktor
yang
sangat
mempengaruhi perkembangan kebudayaan. Kebudayaan disusun atas beberapa komponen yaitu komponen yang bersifat kognitif, normatif, dan material. Dalam memandang kebudayaan, orang sering kali terjebak dalam sifat chauvinisme yaitu membanggakan kebudayaannya sendiri dan menganggap rendah kebudayaan lain. Seharusnya dalam memahami kebudayaan kita berpegangan pada sifat-sifat kebudayaan yang variatif, relatif, universal, dan counterculture. Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan (atau biasa disebut sub-kultur), yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dalam hal perilaku dan kepercayaan dari kebudayaan induknya. Munculnya subkultur disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan politik, dan gender.
16
Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat ketika berhadapan dengan imigran dan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan asli. Cara yang dipilih masyarakat tergantung pada seberapa besar perbedaan kebudayaan induk dengan kebudayaan minoritas, seberapa banyak imigran yang datang, watak dari penduduk asli, keefektifan dan keintensifan komunikasi antar budaya, dan tipe pemerintahan yang berkuasa. 1) Monokulturalisme:
Pemerintah
mengusahakan
terjadinya
asimilasi
kebudayaan sehingga masyarakat yang berbeda kebudayaan menjadi satu dan saling bekerja sama. 2) Leitkultur (kebudayaan inti): Sebuah model yang dikembangkan oleh Bassam Tibi di Jerman. Dalam Leitkultur, kelompok minoritas dapat menjaga dan mengembangkan
kebudayaannya
sendiri,
tanpa
bertentangan
dengan
kebudayaan induk yang ada dalam masyarakat asli. 3) Melting Pot: Kebudayaan imigran/asing berbaur dan bergabung dengan kebudayaan asli tanpa campur tangan pemerintah. 4) Multikulturalisme: Sebuah kebijakan yang mengharuskan imigran dan kelompok minoritas untuk menjaga kebudayaan mereka masing-masing dan berinteraksi secara damai dengan kebudayaan induk.
b. Unsur-unsur Kebudayaan Setiap bangsa di dunia memiliki kebudayaan masing-masing yang brbeda dengan kebudayaan bangsa lainnya. Namun, segala bentuk kebudayaan tersebut terdapat beberapa unsur kebudayaan yang selalu dimiliki oleh masing-masing kebudayaan tersebut, yang selanjutnya dikenal dengan istilah “Tujuh unsur kebudayaan universal” (C. Kluckhohn dalam Koentjaraningrat, 2003: 81). Adapun ketujuh unsur kebudayaan tersebut adalah : 1) Bahasa Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat
17
menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat. Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
2) Sistem Pengetahuan Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaanpercobaan yang bersifat empiris (trial and error). Sistem pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi: (a) pengetahuan tentang alam (b) pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya (c) pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku sesama manusia (d) pengetahuan tentang ruang dan waktu
3) Sistem religi Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagad raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian jagad raya. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta.
18
Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare, yang berarti “menambatkan”), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Dictionary of Philosophy and Religion (Kamus Filosofi dan Agama) mendefinisikan Agama sebagai berikut: “... sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati”. Agama biasanya memiliki suatu prinsip, seperti “10 Firman” dalam agama Kristen atau “5 rukun Islam” dalam agama Islam. Kadang-kadang agama dilibatkan dalam sistem pemerintahan, seperti misalnya dalam sistem teokrasi. Agama juga mempengaruhi kesenian. (a)
Agama Samawi Agama Samawi atau agama Abrahamik meliputi Islam, Kristen (Protestan
dan Katolik) dan Yahudi. (1) Agama Yahudi Yahudi adalah salah satu agama yang - jika tidak disebut sebagai yang pertama - tercatat sebagai agama monotheistik dan salah satu agama tertua yang masih ada sampai sekarang. Nilai-nilai dan sejarah umat Yahudi adalah bagian utama dari agama Ibrahim lainnya, seperti Kristen dan Islam. (2) Agama Kristen Kristen adalah salah satu agama penting yang berhasil mengubah wajah kebudayaan Eropa dalam 1.700 tahun terakhir. Pemikiran para filsuf modern pun banyak terpengaruh oleh para filsuf Kristen semacam St. Thomas Aquinas dan Erasmus. (3) Agama Islam Islam adalah agama tertua di dunia, agama ini merupakan sumber dari beberapa agama yang pada prosesnya berubah menjadi beberapa agama. Agama Islam merupakan agama monotheime/atau monotheistik pertama
19
dan tertua. Agama lain merupakan modifikasi manusia dari agama islam. kita bisa lihat dari perkembangan agama dari nabi-nabi terdahulu. Agama Islam hanya mengenal satu Tuhan yaitu Allah. Dan semua Nabi dan Rasul, dari Nabi Adam, Idris, Nuh, Hud, Soleh,Ibrahim,Luth, Ismail, Ishak, Yakub, Yusuf, Ayyub, Syueb, Musa, Harun, dzulkifli, Daud, Sulaiman, Yunus, Zakaria, Yahya, Isa, dan para nabi serta rasul lainnya sampai Nabi terakhir yaitu Muhammad saw mengakui bahwa “Tidak ada Tuhan selain Allah”. Agama Islam telah berhasil merubah cara pandang orang-orang eropa terhadap kebudayaan, seperti ilmu-ilmu fisika, matematika, biologi, kimia dan lain-lain oleh para fislsuf barat yang kemudian hal itu diubah dan diakui oleh orang-orang eropa bahwa hal itu merupakan hasil karya orang eropa asli, Terutama oleh kalangan para filsafat. Sementara itu, nilai dan norma agama Islam banyak mempengaruhi kebudayaan Timur Tengah dan Afrika Utara, dan juga sebagian wilayah Asia Tenggara. Pada masyarakat Jawa, biasanya mereka membedakan orang santri dengan orang agama kejawen. Golongan kedua ini sebenarnya adalah orang-orang yang percaya kepada ajaran agama Islam, akan tetapi mereka tidak secara patuh menjalankan rukun-rukun dari agama Islam. Misalnya tidak salat, tidak pernah puasa, tidak bercita-cita untuk melakukan ibadah haji dan sebagainya. Demikian secara mendatar di dalam masyarakat orang Jawa itu, ada golongan santri dan ada golongan agama kejawen. Di berbagai daerah di Jawa baik yang bersifa kota maupun pedesaan orang santri menjadi mayoritas, sedangkan di lain daerah orang bergama kejawen-lah yang dominan (Koentaraningrat, 1999: 344). (b) Filosofi dan Agama dari Timur Filosopi dan Agama seringkali saling terkait satu sama lain pada kebudayaan Asia. Agama dan filosofi di Asia kebanyakan berasal dari India dan China dan menyebar disepanjang benua Asia melalui difusi kebudayaan dan migrasi.
20
Hinduisme adalah sumber dari Buddhisme, cabang Mahāyāna yang menyebar di sepanjang utara dan timur India sampai Tibet, China, Mongolia, Jepang dan Korea dan China selatan sampai Vietnam. Theravāda Buddhisme menyebar di sekitar Asia Tenggara, termasuk Sri Lanka, bagian barat laut China, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Thailand. Agama Hindu dari India mengajarkan pentingnya elemen non-materi sementara sebuah pemikiran India lainnya, Carvaka, menekankan untuk mencari kenikmatan di dunia. Konghucu dan Taoisme, dua filosofi
yang berasal
dari
Cina,
mempengaruhi baik religi, seni, politik, maupun tradisi filosofi di seluruh Asia. Pada abad ke-20, di kedua negara berpenduduk paling padat se-Asia, dua aliran filosofi politik tercipta. Mahatma Gandhi memberikan pengertian baru tentang Ahimsa, inti dari kepercayaan Hindu maupun Jaina, dan memberikan definisi baru tentang konsep antikekerasan dan antiperang. Pada periode yang sama, filosofi komunisme Mao Zedong menjadi sistem kepercayaan sekuler yang sangat kuat di China.
(c) Agama tradisional Agama tradisional, atau terkadang disebut sebagai "agama nenek moyang", dianut oleh sebagian suku pedalaman di Asia, Afrika, dan Amerika. Pengaruh bereka cukup besar; mungkin bisa dianggap telah menyerap kedalam kebudayaan atau bahkan menjadi agama negara, seperti misalnya agama Shinto. Seperti kebanyakan agama lainnya, agama tradisional menjawab kebutuhan rohani manusia akan ketentraman hati di saat bermasalah, tertimpa musibah, tertimpa musibah dan menyediakan ritual yang ditujukan untuk kebahagiaan manusia itu sendiri.
4) Sistem Sosial Kemasyarakatan Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Meyer Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa
21
keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita juga mengenal kelompok kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral. Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.
5) Sistem Teknologi Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara
manusia
mengorganisasikan
masyarakat,
dalam
cara-cara
mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian. Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut juga sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu: (a) alat-alat produktif (b) senjata (c) wadah (d) alat-alat menyalakan api (e) makanan (f) pakaian (g) tempat berlindung dan perumahan (h) alat-alat transportasi
22
6) Sistem Mata Pencaharian Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-masalah mata pencaharian tradisional saja, di antaranya: (a) berburu dan meramu (b) beternak (c) bercocok tanam di ladang (d) menangkap ikan Pada sebagian besar masyarakat Jawa, Selain sumber penghidupan yang berasal daari pekerjaan-pekeraan kepegawaian, pertukangan, dan perdagangan, bertani
adalah
juga
merupakan
salah
satu
mata
pencaharian
hidup
(Koentjaraningrat, 1999: 334).
7) Kesenian Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks.
c. Perubahan Sosial Budaya Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan tersebut meliputi norma sosial, interaksi sosial, pola perilaku, organisasi sosial, lembaga kemasyarakatan, lapisan masyarakat serta susunan kekuasaan dan wewenang. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan. Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sosial: 1) tekanan kerja dalam masyarakat 2) keefektifan komunikasi
23
3) perubahan lingkungan alam. Perubahan budaya juga dapat timbul akibat timbulnya perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh, berakhirnya zaman es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan kemudian memancing inovasi-inovasi baru lainnya dalam kebudayaan. Menurut Soerjono Soekanto (2009: 3) ada sembilan hal yang mempengaruhi adanya perubahan sosial, yaitu: 1) Terjadinya kontak atau sentuhan dengan kebudayaan lain. Bertemunya budaya yang berbeda menyebabkan manusia saling berinteraksi dan mampu menghimpun berbagai penemuan yang telah dihasilkan, baik dari budaya asli maupun budaya asing, dan bahkan hasil perpaduannya. Hal ini dapat mendorong terjadinya perubahan dan tentu akan memperkaya kebudayaan yang ada. 2) Sistem pendidikan formal yang maju. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang bisa mengukur tingkat kemajuan sebuah masyarakat. Pendidikan telah membuka pikiran dan membiasakan berpola pikir ilmiah, rasional, dan objektif. Hal ini akan memberikan kemampuan manusia untuk menilai apakah kebudayaan masyarakatnya memenuhi perkembangan zaman, dan perlu sebuah perubahan atau tidak. 3) Sikap menghargai hasil karya orang dan keinginan untuk maju. Sebuah hasil karya bisa memotivasi seseorang untuk mengikuti jejak karya. Orang yang berpikiran dan berkeinginan maju senantiasa termotivasi untuk mengembangkan diri. 4) Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang. Penyimpangan sosial sejauh tidak melanggar hukum atau merupakan tindak pidana, dapat merupakan cikal bakal terjadinya perubahan sosial budaya. Untuk itu, toleransi dapat diberikan agar semakin tercipta hal-hal baru yang kreatif.
24
5) Sistem terbuka dalam lapisan-lapisan masyarakat. Open stratification atau sistem terbuka memungkinkan adanya gerak sosial vertikal atau horizontal yang lebih luas kepada anggota masyarakat. Masyarakat tidak lagi mempermasalahkan status sosial dalam menjalin hubungan dengan sesamanya. Hal ini membuka kesempatan kepada para individu untuk dapat mengembangkan kemampuan dirinya. 6) Penduduk yang heterogen. Masyarakat heterogen dengan latar belakang budaya, ras, dan ideologi yang berbeda akan mudah terjadi pertentangan yang dapat menimbulkan kegoncangan sosial. Keadaan demikian merupakan pendorong terjadinya perubahan-perubahan baru dalam masyarakat untuk mencapai keselarasan sosial. 7) Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang tertentu. Rasa tidak puas bisa menjadi sebab terjadinya perubahan. Ketidakpuasan menimbulkan reaksi berupa perlawanan, pertentangan, dan berbagai gerakan revolusi untuk mengubahnya. 8) Orientasi ke masa depan. Kondisi yang senantiasa berubah merangsang orang mengikuti dan menyesusikan dengan perubahan. Pemikiran yang selalu berorientasi ke masa depan akan membuat masyarakat selalu berpikir maju dan mendorong terciptanya
penemuan-penemuan
baru
yang
disesuaikan
dengan
perkembangan dan tuntutan zaman. 9) Nilai bahwa manusia harus selalu berusaha untuk perbaikan hidup. Usaha merupakan keharusan bagi manusia dalam upaya memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas dengan menggunakan sumber daya yang terbatas. Usaha-usaha ini merupakan faktor terjadinya perubahan. Menurut Soerjono Soekanto (2009: 5) terdapat delapan faktor penghambat terjadinya perubahan sosial, yakni: 1) Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain. 2) Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat.
25
3) Sikap masyarakat yang mengagungkan tradisi masa lampau dan cenderung konservatif. 4) Adanya kepentingan pribadi dan kelompok yang sudah tertanam kuat (vested interest). 5) Rasa
takut
terjadinya
kegoyahan
pada
integrasi
kebudayaan
dan
menimbulkan perubahan pada aspek-aspek tertentu dalam masyarakat. 6) Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing, terutama yang berasal dari Barat. 7) Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis. 8) Adat dan kebiasaan tertentu dalam masyarakat yang cenderung sukar diubah. Perubahan sosial juga tidak dapat terlepas dari perubahan kebudayaan. Kecenderungan masyarakat untuk berubah dipengaruhi faktor : 1) rasa tidak puas terhadap keadaan yang ada 2) timbul kesadaran memperbaiki kekurangan yang ada 3) kebutuhan kehidupan masyarakat semakin komplek 4) menyesuaikan diri dengan situasi baru 5) sikap terbuka terhadap unsur dari luar Walaupun demikian ada beberapa hal dalam masyarakat yang tetap bertahan, umumnya berhubungan dengan faktor: 1) agama dan religi yang dianut masyarakat 2) sudah terinternalisasi karena sosialisasi sejak kecil Perubahan sosial budaya yang terjadi di masyarakat bisa bersifat progress, bisa pula bersifat regress. 1) Modernisasi Salah satu perubahan sosial budaya yang terarah dan direncanakan adalah modernisasi. Modernisasi ialah pembaharuan yang dilakukan masyarakat sesuai dengan jaman dan konstelasi dunia sekarang tanpa melupakan norma yang ada. Modernisasi merupakan penerapan
pengetahuan ilmiah pada semua bidang
kehidupan di masyarakat. Aspek paling menonjol dalam modernisasi adalah perkembangan ilmu, pengetahuan dan teknologi (iptek) yang tinggi. Contohnya pada perkembangan teknologi pertanian, dari pekerjaan di sawah dengan menggunakan tenaga hewan
26
dan manusia, diganti dengan tenaga mesin. Contoh modernisasi yang lain adalah munculnya
internet sebagai media komunikasi lintas negara. Teknologi ini
merubah sudut pandang manusia. Modernisasi dapat terwujud apabila anggota masyarakat memiliki ciri-ciri di antaranya sebagai berikut: sikap terbuka pada perubahan, mau menerima hal baru, menghargai waktu, orientasi ke masa depan, percaya diri, percaya manfaat ilmu dan teknologi serta memiliki perencanaan. Modernisasi pada satu sisi bersifat progress, sedangkan pada sisi lain bersifat regress. Penggunaan tenaga mesin pada beberapa pekerjaan berguna untuk menghemat biaya dan waktu, tapi mengurangi jumlah tenaga kerja manusia. Pemakaian internet jika digunakan untuk hal positif sangat bermanfaat. Tapi sering juga internet digunakan untuk melakukan tindakan tidak terpuji bahkan merugikan orang lain.
2) Westernisasi Sebagian anggota masyarakat sering menyalah artikan pengertian modernisasi. Mereka menganggap modernisasi sebagai westernisasi, yaitu sikap meniru
budaya
barat
(Eropa
dan
Amerika)
secara
mutlak
tanpa
mempertimbangkan nilai dan norma budaya setempat. Modern tidak harus bergaya seperti orang Barat. Orang yang kebarat-baratan belum tentu modern. Hal-hal yang baik dari Barat kita ambil selama tidak bertentangan dengan norma yang ada.
d. Bentuk-bentuk Perubahan Sosial Budaya 1) Revolusi Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama. Misalnya revolusi industri di Inggris yang memakan waktu puluhan tahun, namun dianggap “cepat” karena mampu
27
mengubah sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat - seperti sistem kekeluargaan dan hubungan antara buruh dan majikan - yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Revolusi menghendaki suatu upaya untuk merobohkan, menjebol, dan membangun dari sistem lama kepada suatu sistem yang sama sekali baru. Revolusi senantiasa berkaitan dengan dialektika, logika, romantika, menjebol dan membangun. Dialektika revolusi mengatakan bahwa revolusi merupakan suatu usaha menuju perubahan menuju kemaslahatan rakyat yang ditunjang oleh beragam faktor, tak hanya figur pemimpin, namun juga segenap elemen perjuangan beserta sarananya. Logika revolusi merupakan bagaimana revolusi dapat dilaksanakan berdasarkan suatu perhitungan mapan, bahwa revolusi tidak bisa dipercepat atau diperlambat, ia akan datang pada waktunya. Kader-kader revolusi harus dibangun sedemikian rupa dengan kesadaran kelas dan kondisi nyata di sekelilingnya. Romantika revolusi merupakan nilai-nilai dari revolusi, beserta kenangan dan kebesarannya, di mana ia dibangun. Romantika ini menyangkut pemahaman historis dan bagaimana ia disandingkan dengan pencapaian terbesar revolusi, yaitu kemaslahatan rakyat. Telah banyak tugu peringatan dan museum yang melukiskan keperkasaan dan kemasyuran ravolusi di banyak negara yang telah menjalankan revolusi seperti yang terdapat di Vietnam, Rusia, China, Indonesia, dan banyak negara lainnya. Menjebol dan membangun merupakan bagian integral yang menjadi bukti fisik revolusi. Tatanan lama yang busuk dan menyesatkan serta menyengsarakan rakyat, diubah menjadi tatanan yang besar peranannya untuk rakyat, seperti di Bolivia, setelah Hugo Chavez menjadi presiden ia segera merombak tatanan agraria, di mana tanah untuk rakyat sungguh diutamakan yang menyingkirkan dominasi para tuan tanah di banyak daerah di negeri itu.
2) Evolusi Evolusi pada dasarnya berarti proses perubahan dalam jangka waktu tertentu. Dalam konteks biologi modern, evolusi berarti perubahan sifat-sifat yang diwariskan dalam suatu populasi organisme dari satu generasi ke generasi
28
berikutnya. Sifat-sifat yang menjadi dasar dari evolusi ini dibawa oleh gen yang diwariskan pada keturunan suatu makhluk hidup. Sifat baru dapat diperoleh dari perubahan gen oleh mutasi, transfer gen antar populasi, seperti dalam migrasi, atau antar spesies seperti yang terjadi pada bakteria, serta kombinasi gen mealui reproduksi seksual. Meskipun teori evolusi selalu diasosiasikan dengan Charles Darwin, namun sebenarnya biologi evolusi telah berakar sejak jaman Aristoteles. Namun demikian, Darwin adalah ilmuwan pertama yang mencetuskan teori evolusi yang telah banyak terbukti mapan menghadapi pengujian ilmiah. Sampai saat ini, teori Darwin tentang evolusi yang terjadi karena seleksi alam dianggap oleh mayoritas masyarakat sains sebagai teori terbaik dalam menjelaskan peristiwa evolusi.
e. Penetrasi Kebudayaan Yang dimaksud dengan penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi dengan dua cara: 1) Penetrasi Damai (penetration pasifique) Masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke Indonesia. Penerimaan kedua macam kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat. Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan Akulturasi, Asimilasi, atau Sintesis. Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Contohnya, bentuk bangunan Candi Borobudur yang merupakan perpaduan antara kebudayaan asli Indonesia dan kebudayaan India. Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis adalah bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli.
29
2) Penetrasi Kekerasan (penetration violante) Masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak. Contohnya, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan dalam masyarakat. Contoh: penjajahan bangsa Eropa ke nusantara banyak sekali merusak budaya asli nusantara. Kaum penjajah masuk ke nusantara dengan paksaan, dengan kekerasan, dengan penipuan, dengan kecurangan, dan dengan kekejaman. Semuanya jauh dari nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Contoh: peraturan tanam paksa dan kerja paksa pembuatan jalan dari Anyer ke Panarukan (jalan pantura). Semua itu amat menyengsarakan rakyat Indonesia dan merupakan pelecehan kemanusiaan yang adil, beradab, dan mulia. Perlawanan dari bangsa Indonesia memang ada, tetapi karena kalah dalam berbagai hal, antara lain persenjataan, iptek, dan belum ada persatuan dan kesatuan bangsa, akhirnya satu demi satu perlawanan bangsa Indonesia dapat dipatahkan oleh kaum penjajah. Dalam era globalisasi sekarang ini semua unsur akulturasi, asimilasi, dan sintesis bercampur baur menjadi satu, ikut mengubah sebagian wajah dan karakter bangsa Indonesia. Tentu saja, hasilnya ada yang positif, secara jasmaniah dan rohaniah, namun ada juga negatif, baik pada wajah maupun pada karakternya. Globalisasi memang tidak bisa kita bendung. Dalam masalah ini, kita semua diminta untuk waspada, bijaksana, dan cerdas, bagaimana cara kita menghadapi globalisasi, agar diri kita, keluarga kita, lingkungan kita, bangsa dan negara kita, tetap teguh-kukuh, mempertahankan kepribadian kita yang adi-luhung, sambil pandai-pandai memilah dan memilih, masuknya budaya asing.
f. Cara Pandang terhadap Kebudayaan 1) Kebudayaan sebagai Peradaban Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan “budaya” yang dikembangkan di Eropa pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gagasan tentang ”budaya” ini merefleksikan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan
30
kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka menganggap ”kebudayaan” sebagai ”peradaban” sebagai lawan kata dari ”alam”. Menurut cara pikir ini, kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya. Pada praktiknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang ”elit” seperti misalnya memakai baju yang berkelas, fine art, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitasaktivitas di atas. Sebagai contoh, jika seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang ”berkelas”, elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah “berkebudayaan”. Orang yang menggunakan kata “kebudayaan” dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang berkebudayaan disebut sebagai orang yang tidak berkebudayaan; bukan sebagai orang ”dari kebudayaan yang lain”. Orang yang tidak berkebudayaan
dikatakan
lebih
”alam”
dan
para
pengamat
seringkali
mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran ”manusia alami” (human nature). Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu berkebudayaan dan tidak berkebudayaan- dapat menekan interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang merusak dan “tidak alami” yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar manusia. Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap mengekspresikan „jalan hidup yang alami” (natural way of life), dan musik klasik sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan. Saat ini kebanyak ilmuwan sosial menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam dan konsep monadik yang pernah berlaku.
31
Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap “tidak elit” dan ”kebudayaan elit” adalah sama - masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Pengamat sosial membedakan beberapa kebudayaan sebagai kultur populer (popular culture) atau pop kultur, yang berarti barang atau aktivitas yang diproduksi dan dikonsumsi oleh banyak orang.
2) Kebudayaan sebagai Sudut Pandang Umum Selama Era Romantis, para cendekiawan di Jerman, khususnya mereka yang peduli terhadap gerakan nasionalisme - seperti misalnya perjuangan nasionalis untuk menyatukan Jerman, dan perjuangan nasionalis dari etnis minoritas melawan Kekaisaran Austria-Hongaria - mengembangkan sebuah gagasan kebudayaan dalam "sudut pandang umum". Pemikiran ini menganggap suatu budaya dengan budaya lainnya memiliki perbedaan dan kekhasan masingmasing. Karenanya, budaya tidak dapat diperbandingkan. Meskipun begitu, gagasan ini masih mengakui adanya pemisahan antara berkebudayaan dengan tidak berkebudayaan atau kebudayaan primitif. Pada akhir abad ke-19, para ahli antropologi telah memakai kata kebudayaan dengan definisi yang lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap manusia tumbuh dan berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah tercipta kebudayaan. Pada tahun 50-an, subkebudayaan - kelompok dengan perilaku yang sedikit berbeda dari kebudayaan induknya - mulai dijadikan subyek penelitian oleh para ahli sosiologi. Pada abad ini pula, terjadi popularisasi ide kebudayaan perusahaan - perbedaan dan bakat dalam konteks pekerja organisasi atau tempat bekerja. 3) Kebudayaan sebagai Mekanisme Stabilisasi Teori-teori yang ada saat ini menganggap bahwa suatu kebudayaan adalah sebuah produk dari stabilisasi yang melekat dalam tekanan evolusi menuju kebersamaan dan kesadaran bersama dalam suatu masyarakat, atau biasa disebut dengan tribalisme.
32
g. Faktor Mental Bangsa Indonesia Faktor sikap mental disebut sebagai faktor penghambat pembangunan di Indonesia. Hal tersebut karena sikap mental sebagian masyarakat Indonesia belum cocok dengan pembangunan (Koentjaraningrat, 1999: 387). Kata sikap mental adalah istilah popular untuk dua konsep yang biasa disebut dengan “sistem nilai budaya”
(cultural value system) dan “sikap” (attitude). Sistem nilai budaya
adalah suatu rangkaian dari konsep abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar sari warga suatu masyarakat, mengenai hal-hal yang dianggap penting dan berharga dalam hidupnya. Nilai budaya biasa berperan sebagai pengarah dan pendorong kelakuan manusia. Konsep tentang nilai budaya masih merupakan suatu yang abstrak tanpa perumusan yang tegas. Konsep-konsep tersebut hanya bisa dirasakan, tetapi sering tidak dapat dinyatakan dengan tegas oleh masyarakat yang bersangkutan. Meskipun begitu, konsep-konsep tadi sering mendarah daging pada masyarakat yang memilikinya dan sukar dirubah atau diganti dengan konsep-konsep yang baru. Jika sistem budaya merupakan pengarah bagi tindakan manusia, maka pedoman yang nyata adalah norma, hukum, dan aturan yang bersifat lebih tegas dan konkret. Berbeda dengan konsep nilai budaya, konsep sikap bukan merupakan bagian dari kebudayaan teteapi merupakan suatu hal yang dimiliki para individu warga masyarakat. Suatu sikap adalah potensi pendorong yang ada dalam jiwa individu untuk bereaksi terhadap lingkungannya beserta segala hal yang ada dalam lingkungannya itu (Koentjaraningrat, 1999: 388). Meski berada di luar kebudayaan, adanya sikap pada setiap individu tersebut dipengaruhi oleh kebudayaan. Artinya, sikap individu akan sangat dipengaruhi oleh norma dan aturan yang dianut oleh individu yang bersangkutan. Koentjaraningrat (1999: 388) mengemukakan: Menurut hemat saya, sistem nilai-budaya yang cocok untuk pembangunan meliputi paling sedikit lima konsep. Pertama, dalam menghadapi hidup, orang harus menilai tinggi unsur-unsur yang menggembirakan dari hidup; dan bahwa ada kesengsaraan, bencana, dosa, dan keburukan dalam hidup memang harus disadari, tetapi hal itu semuanya adalah untuk diperbaiki….kedua, sebagai dorongan dari semua karya manusia, harus dinilai tinggi konsepsi
33
bahwa orang mengintensifkan karyanya untuk menghasilkan lebih banyak karya lagi. Kepuasan terletak dalam kerja itu sendiri. Ketiga, dalam hal menanggapi alam, orang harus merasakan suatu keinginan untuk dapat menguasai alam serta kaidah-kaidahnya. Keempat, dalam segala aktivitas hidup orang harus dapat sebanyak mungkin berorientasi ke masa depan. Akhirnya kelima, dalam membuat keputusan-keputusan orang harus bisa berorientasi ke sesamanya, menilai tinggi kerja sama dengan orang lain tanpa meremehkan kualitas individu dan tanpa menghindari tanggung jawab sendiri. Bertolak dari pemikiran tersebut, setidaknya ada beberapa sikap mental yang diperlukan dalam pembangunan di Indonesia, yakni: a. suatu kesadaran akan pentingnya kualitas dalam karya yang berdasarkan konsep bahwa manusia berkarya untuk menghasilkan karya yang lebih banyak lagi. b. Suatu keinginan untuk menabung yang berorientasi ke masa depan. c. Kedisiplinan dan tanggung jawab murni yang disadari meskipun tidak ada pengawasan dari atas.
3. Pondok Pesantren a. Hakikat Pondok Pesantren Definisi
dari
kosakata
pondok
pesantren
dapat
dikaji
dengan
memperhatikan makna per kata yang menjadi bagiannya. Kata pondok berarti tempat yang dipakai untuk makan dan istirahat. Istilah pondok dalam konteks dunia pesantren berasal dari pengertian asrama-asrama bagi para santri. Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri (Dhofier 1985: 18). Maka pondok pesantren adalah asrama tempat tinggal para santri. Wahid (2001: 171) menerangkan bahwa pondok pesantren mirip dengan akademi militer atau biara (monestory, convent). Dikatakan seperti itu karena mereka yang berada di dalamnya mengalami suatu kondisi yang menuntut adanya sebuah totalitas. Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam terletak diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa (Azra, 2001: 70). Pondok pesantren di Jawa itu membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis
34
pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Namun demikian, ada unsur-unsur pokok pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren. Hasyim (1998: 39) memaparkan bahwa unsur-unsur pokok yang ada dalam sebuah pesantren. Kyai. masjid, santri, pondok, dan kitab Islam klasik (mereka menyebutnya kitab kuning) adalah elemen unik yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya. 1) Kyai Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren (Hasbullah, 1999: 144). Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa (Ziemek, 1986: 130). Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu: 1.sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta; 2. gelar kehormatan bagi orangorang tua pada umumnya; 3.gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya (Dhofier 1985: 55).
2) Masjid Sangkut paut pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani,sosial dan politik, dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi masyarakat. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap sebagai “tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima
35
waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik” (Dhofier 1985: 49). Biasanya yang pertama-tama didirikan oleh seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren adalah masjid. Masjid itu terletak dekat atau di belakang rumah kyai.
3) Santri Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya. Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren (Dhofier, 1985: 52).
4) Pondok Definisi singkat istilah „pondok‟ adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya (Hasbullah, 1999: 142). Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki.
36
Komplek sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama santri dan rumah kyai, termasuk perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau lahan pertenakan. Kadangkadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan. Salah satu manfaat pondok selain dari yang digunakan sebagai tempat asrama
para santri
adalah sebagai
tempat
latihan bagi
santri
untuk
mengembangkan keterampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok. Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang digunakan di Afghanistan (Dhofier, 1985: 45).
5) Kitab-Kitab Islam Klasik Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning. Menurut Dhofier (1985: 50), “pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren.” Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi kepentingan tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan (Hasbullah, 1999: 144). Ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalam kitab-kitab Islam klasik, termasuk: 1.nahwu dan saraf (morfologi); 2.fiqh; 3.usul fiqh;
37
4.hadis; 5.tafsir; 6.tauhid; 7.tasawwuf dan etika; dan 8. cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan kedalam kelompok menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah dan lanjut. Kitab yang diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama (Dhofier 1985: 51).
b. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Pada
tahun
1882
pemerintah
Belanda
mendirikan
Priesterreden
(Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah (Dhofier, 1985: 41). Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kekurangadilan kebijaksanaan pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Namun demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluasluasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi modern bagi
38
bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak (Dhofier 1985: 41). Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk akal untuk menarik kesimpulan bahwa perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa. Seperti yang dikatakan Zuhairini (1997: 150) bahwa jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik di Indonesia. Menurut survai yang diselenggarakan kantor Urusan Agama yang dibentuk oleh Pemerintah Militer Jepang di Jawa tahun 1942 mencatat jumlah madrasah, pesantren dan murid-muridnya seperti terlihat berikutnya dalam Tabel 1. Tabel 1: Jumlah pesantren, madrasah dan santri di Jawa dan Madura pada tahun 1942 (Survai kantor Urusan Agama) Propinsi Daerah
Jumlah Pesantren dan Jumlah Santri Madrasah
Jakarta
167
14.513
Jawa Barat
1.046
69.954
Jawa Tengah
351
21.957
Tawa Timur
307
32.931
Jumlah:
1.871
139.355 (Dhofier, 1985: 40)
39
Tabel 2: Jumlah pesantren dan santri di Jawa pada tahun 1978. (Laporan Departemen Agama RI) Propinsi Daerah
Jumlah Pesantren
Jumlah Santri
Jakarta
27
15.767
Jawa Barat
2.237
305.747
Jawa Tengah
430
65.070
Tawa Timur
1.051
290.790
Jumlah:
3.745
677.374 (Hasbullah, 1999: 140)
Dalam Tabel 2, dapat kita melihat bahwa hampir empat dasawarsa kemudian, jumlah pesantren di Jawa telah bertambah kurang lebih empat kali. Statistik dari Tabel 2, yang dikumpulkan dari laporan Departemen Agama RI pada tahun 1978 yang mengenai keadaan pesantren di Jawa, menunjukkan bahwa sistem pendidikan pesantren di Jawa dipelihara, dikembangkan dan dihargai oleh masyarakat umat Islam di Indonesia. Kekuatan pondok pesantren dapat dilihat dari segi lain, yaitu walaupun setelah Indonesia merdeka telah berkembang jenisjenis pendidikan Islam formal dalam bentuk madrasah dan pada tingkat tinggi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), namun secara luas, kekuatan pendidikan Islam di Jawa masih berada pada sistem pesantren (Dhofier 1985: 20). Data-data tersebut menunjukkan bahwa pesantren sanggup bertahan dan berkembang selama bertahun-tahun penuh dengan tantangan dan kesulitan yang dibuat baik pemerintah Belanda maupun pemerintah RI. Hal ini dikarenakan sistem pendidikan pondok pesantren mampu bertahan dan tetap berkembang karena siap menyesuaikan dan memoderenkan tergantung pada keadaan yang sebenarnya ada di Indonesia. Sejak awalnya, pesantren di Indonesia telah mengalami banyak perubahan dan tantangan karena dipengaruhi keadaan sosial, politik, dan perkembangan teknologi di Indonesia serta tuntutan dari masyarakat umum.
40
c. Sistem Pendidikan dalam Pondok Pesantren Dulu, pusat pendidikan Islam adalah langgar masjid atau rumah sang guru, di mana murid-murid duduk di lantai, menghadapi sang guru, dan belajar mengaji. Waktu mengajar biasanya diberikan pada waktu malam hari biar tidak mengganggu pekerjaan orang tua sehari-hari. Menurut Zuhairini (1997: 212) tempat-tempat pendidikan Islam nonformal seperti inilah yang “menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren.” Ini berarti bahwa sistem pendidikan pada pondok pesantren masih hampir sama seperti sistem pendidikan di langgar atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama. Pendidikan pesantren memiliki dua sistem pengajaran, yaitu sistem sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan yang sering disebut kolektif. Dengan cara sistem sorogan tersebut, setiap murid mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kyai atau pembantu kyai. Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada muridmurid yang telah menguasai pembacaan Quran dan kenyataan merupakan bagian yang paling sulit sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Murid seharusnya sudah paham tingkat sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren (Dhofier, 1985: 28). Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau wetonan. Dalam sistem ini, sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru (Dhofier, 1985: 28). Sistem sorogan juga digunakan di pondok pesantren tetapi biasanya hanya untuk santri baru yang memerlukan bantuan individual. Pesantren sekarang ini dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pendidikan pesantren tradisional sering disebut sistem salafi. Yaitu sistem yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Pondok pesantren modern merupakan sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah).
41
Tujuan proses modernisasi pondok pesantren adalah berusaha untuk menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren. Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan. Perubahan-perubahan yang bisa dilihat di pesantren modern termasuk: mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan di pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat (Hasbullah, 1999: 155).
4. Hakikat Bahan Ajar a. Kriteria Bahan Ajar yang Baik Belajar merupakan suatu proses yang kompleks. Proses tersebut sulit diamati, namun perbuatan atau tindakan belajar dapat diamati berdasarkan perubahan tingkah laku yang dihasilkan oleh tindakan dan proses belajar tersebut. Setiap kegiatan atau proses belajar mengandung unsur-unsur yang bersifat dinamis. Unsur-unsur tersebut bersifat dinamis karena dapat berubah-ubah. Artinya, dapat menjadi lemah atau menjadi kuat. Kedinamisan ini dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yang ada dalam diri siswa dan yang ada di luar diri siswa. Unsur-unsur yang terkait dalam proses belajar terdiri dari (1) motivasi siswa, (2) bahan belajar, (3) alat bantu belajar, (4) suasana belajar, dan (5) kondisi subjek yang belajar. Kelima unsur inilah yang sering berubah, menguat dan melemah sekaligus mempengaruhi proses belajar tersebut (Hamalik, 2001: 50) Bahan belajar merupakan suatu unsur belajar yang perlu mendapatkan perhatian oleh guru. Adanya bahan belajar akan membuat para siswa dapat mempelajari hal-hal yang diperlukan dalam upaya mencapai tujuan belajar. Karena itu, penentuan bahan belajar harus berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran. Misalnya, berupa pengetahuan, keterampilan, sikap, dan pengalaman lainnya. Bahan-bahan yang bertalian dengan tujuan itu telah digariskan dalam silabus dan GBPP (Hamalik, 2001: 51). Silabus dan GBPP memuat dan merumuskan secara rinci materi belajar yang telah ditentukan untuk selanjutnya dipelajari siswa. Rincian tersebut berupa
42
topik-topik inti, topik buku inti serta uraian deskripsi dan bahan kajian lainnya. Sedangkan rincian yang lebih terurai terdapat dalam buku sumber atau buku referensi yang lain. Bahan ajar merupakan bagian penting dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. Melalui bahan ajar guru akan lebih mudah dalam mengajar dan siswa akan lebih terbantu dan mudah dalam belajar. Bahan ajar dapat dibuat dalam berbagai bentuk sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik materi ajar yang akan disajikan. Buku ini disusun dengan harapan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dengan pengembangan bahan ajar, seperti kepala sekolah, guru, pengawas sekolah menengah atas maupun pembina pendidikan lainnya. Bagi kepala sekolah buku ini dapat dijadikan bahan pembinaan bagi guru yang mengalami kesulitan dalam mengembangkan bahan ajar. Aspek-aspek yang terdapat dalam bahan belajar antara lain adalah konsep, fakta, nilai keterampilan, bahkan juga terdapat sejumlah masalah yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat (Harjanto, 2006:220). Istilah-istilah tersebut dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut. 1) Konsep adalah suatu ide atau gagasan atau suatu pengertian yang umum. 2) Prinsip adalah suatu kebenaran dasar sebagai titik tolak untuk berpikir atau merupakan sutu petunjuk untuk berbuat atau melaksanakan sesuatu. 3) Fakta adalah sesuatu yang telah terjadi atau yang telah dikerjakan atau dialami. Fakta dapat berupa hal, objek atau keadaan. Jadi, bukan sesuatu yang diinginkan atau pendapat atau teori. 4) Proses adalah serangkaian perubahan atau gerakan-gerakan perkembangan. Sutu proses dapat terjadi secara sadar atau tidak disadari. Proses juga dapat berupa cara melaksanakan kegiatan operasional. 5) Nilai adalah suatu pola, ukuran atau merupakan suatu tipe atau model. Umumnya, nilai dapat bertalian dengan pengakuan atau kebenaran yang bersifat umum, tentang baik dan buruk. 6) Keterampilan adalah kemampuan berbuat sesuatu dengan baik. Berbuat dapat berarti secara jasmaniah (menulis, berbicara, membaca, dan sebagainya) dan dapat juga berarti rohaniah (membedakan, menganalisis, dan sebagainya).
43
Biasanya, kedua aspek tersebut tidak terlepas satu sama lain, kendatipun tidak selalu demikian adanya (Oemar Hamalik dalam Harjanto, 2006: 220-221) Aspek-aspek tersebut merupakan bahan pertimbangan dalam menentukan bahan belajar dan rinciannya. Prinsip-prinsip ini juga erat kaitannya dengan tujuan intruksional khusus (TIK) yang akan dicapai. Guru harus bersikap kritis dan analitis dan tidak terlalu terikat pada subbahasan yang terdapat dalam GBPP saja. Inovasi dan kreasi dari guru diperlukan agar setiap aspek yang terdapat dalam bahan ajar dapat diterima para siswa secara seimbang. Dalam hal ini, proses pengayaan oleh guru dan siswa menjadi satu hal yang diperlukan. Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/instruktor dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Bahan yang dimaksud bisa berupa bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis. Bahan ajar atau teaching-material, terdiri atas dua kata yaitu teaching atau mengajar dan material atau bahan. University of Wollongong, New South Wales 2522, Australia pada website-nya (Agustus, 1998) menyatakan: Teaching is defined as the process of creating and sustaining an effective environment for learning. Mengajar diartikan sebagai proses menciptakan dan mempertahankan suatu lingkungan belajar yang efektif. Paul S. Ache lebih lanjut mengemukakan tentang bahan ajar bahwa ”Books can be used as reference material, or they can be used as paper weights, but they cannot teach”. Buku dapat digunakan sebagai bahan rujukan, atau dapat digunakan sebagai bahan tertulis yang berbobot, tetapi buku tidak dapat mengajar. Website Dikmenjur dikemukakan pengertian bahwa bahan ajar merupakan seperangkat materi/substansi pelajaran (teaching material) yang disusun secara sistematis, menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dalam kegiatan pembelajaran. Bahan ajar memungkinkan siswa dapat mempelajari suatu kompetensi atau kompetensi dasar secara runtut dan sistematis sehingga secara akumulatif mampu menguasai semua kompetensi secara utuh dan terpadu.
44
Bahan ajar memiliki beberapa fungsi sebagai berikut: 1) Pedoman bagi guru yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya diajarkan kepada siswa. 2) Pedoman bagi Siswa yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya dipelajari atau dikuasainya. 3) Alat evaluasi pencapaian atau penguasaan hasil pembelajaran Materi pelajaran atau bahan ajar berada dalam ruang lingkup isi kurikulum. Karena itu, pemilihan bahan ajar harus sejalan dengan ukuran-ukuran (kriteria) yang digunakan untuk memilih isi kurikulum bidang studi yang bersangkutan. Kriteria tersebut dapat dijelaskan dalam bagan berikut. Kriteria
Sasaran
a. Akurat dan up to date
-
sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan penemuan-penemuan baru dalam bidang teknologi.
b. Kemudahan
-
Untuk memahami prinsip, generalisasi, dan memperoleh data.
c. Kerasionalan
-
Mengembangkan
kemampuan
berpikir
rasional, bebas, logis. d. Essensial
-
Untuk
mengembangkan
moralitas
penggunaan pengetahuan. e. Kemaknaan
-
Bermakna bagi siswa dan perubahan sosial bahan sosial.
f. Keberhasilan
-
Merupakan
ukuran
keberhasilan
untuk
mempengaruhi tingkah laku siswa. g. Keseimbangan
-
Mengembangkan
pribadi
siswa
secara
seimbang dan menyeluruh. h. Kepraktisan
-
Mengarahkan tindakan sehari-hari dan untuk pelajaran berikutnya.
Bagan 1. Kriteria Umum Pemilihan Isi Kurikulum
45
Sedangkan kriteria pemilihan materi atau bahan ajar (Harjanto, 2006: 222) adalah sebagai berikut. 1) Kriteria tujuan instruksional Materi atau bahan ajar harus sesuai dan sejalan dengan tujuan-tujuan instruksional khusus yang telah dirumuskan. 2) Materi pelajaran supaya terjabar Perincian materi pelajaran berdasarkan pada tuntutan dalam TIK yang telah dirumuskan secara spesifik, dapat diamati, dan terukur. Ini berarti ada keterkaitan yang erat antara spesifikasi tujuan dan spesifikasi materi atau bahan ajar. 3) Relevan dengan kebutuhan siswa Kebutuhan siswa yang pokok adalah bahwa siswa ingin berkembang berdasarkan potensi yang dimilikinya. Karena itulah, setiap materi atau bahan ajar yang disajikan hendaknya sesuai dengan usaha untuk mengembangkan pribadi siswa secara bulat dan utuh. Beberapa aspek di antaranya adalah pengetahuan, sikap, nilai, dan keterampilan. 4) Kesesuaian dengan kondisi masyarakat Siswa dipersiapkan untuk menjadi warga masyarakat yang berguna dan mampu hidup mandiri. Karena itulah, bahan ajar yang dipilih hendaknya turut membantu siswa dalam memberikan pengalaman edukatif yang bermakna bagi perkembangan para siswa menjadi manusia yang mudah menyesuaikan diri. 5) Materi pelajaran mengandung segi-segi etik Bahan
ajar
yang
akan
dipilih
hendaknya
mempertimbangkan
segi
perkembangan moral siswa selanjutnya. Pengetahuan dan keterampilan yang akan mereka peroleh dari bahan ajar yang telah mereka terima akan diarahkan untuk mengembangkan diri siswa masing-masing sesuai manusia yang sesuai dengan sistem nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakatnya.
46
6) Materi pelajaran tersusun dalam ruang lingkup dan urutan yang sistematis dan logis Setiap bahan ajar disusun secara bulat dan menyeluruh, terbatas ruang lingkupnya, dan terpusat pada satu topik masalah tertentu. Materi disusun secara berurutan dengan mempertimbangkan faktor perkembangan psikologis siswa. Dengan demikian, diharapkan isi materi tersebut akan lebih mudah diserap oleh siswa dan dapat segera dilihat keberhasilannya. 7) Materi pelajaran bersumber dari buku sumber yang baku, pribadi guru yang ahli, dan masyarakat Ketiga faktor ini perlu diperhatikan dalam memilih bahan ajar. Buku sumber yang baku umumnya disusun oleh para ahli dalam bidangnya dan disusun berdasarkan GBPP yang berlaku meskipun belum tentu lengkap sebagaimana yang diharapkan. Sedangkan guru yang ahli merupakan sumber utama dalam proses belajar. Guru dapat menyimak semua hal yang dianggapnya perlu untuk disajikan kepada para siswa berdasarkan ukuran pribadinya. Masyarakat juga merupakan sumber yang luas, bahkan dapat dikatakan sebagai materi atau bahan ajar yang paling besar. Pengembangan bahan ajar bagi guru akan mendatangkan paling tidak tiga manfaat, yang pertama adalah mereka akan memiliki bahan ajar yang dapat membantu dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, dan yang kedua adalah bahwa bahan ajar dapat diajukan sebagai karya yang dinilai untuk menambah angka kredit guru untuk keperluan kenaikan pangkat. Ketiga akan menambah penghasilan bagi guru apabila hasil karangannya diterbitkan. Kehadiran bahan ajar yang bervariasi akan membuat pembelajaran yang dijalani siswa menjadi lebih menarik. Siswa akan lebih banyak mendapatkan kesempatan untuk belajar secara mandiri dengan bimbingan guru. Siswa akan mendapatkan kemudahan dalam mempelajari setiap kompetensi yang harus dikuasainya. Bentuk bahan ajar dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu bahan cetak (printed) seperti antara lain handout, buku, modul, lembar kerja siswa, brosur, leaflet, wallchart, foto/gambar, model/maket. Bahan ajar dengar (audio)
47
seperti kaset, radio, piringan hitam, dan compact disk audio. Bahan ajar pandang dengar (audio visual) seperti video compact disk, film. Bahan ajar interaktif (interactive teaching material) seperti compact disk interaktif. Sedangkan pengembangan bahan ajar harus memperhatikan beberapa prinsip berikut: 1) Mulai dari yang mudah untuk memahami yang sulit, dari yang kongkret untuk memahami yang abstrak. 2) Pengulangan akan memperkuat pemahaman 3) Umpan balik positif akan memberikan penguatan terhadap pemahaman peserta didik 4) Motivasi belajar yang tinggi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan belajar. 5) Mencapai tujuan ibarat naik tangga, setahap demi setahap, akhirnya akan mencapai ketinggian tertentu. 6) Mengetahui hasil yang telah dicapai akan mendorong peserta didik untuk terus mencapai tujuan
b. Bahan Ajar Pembelajaran Sastra Karya sastra adalah karya seni yang berbicara tentang masalah hidup dan kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Esten, 1980). Rusyana (1982) menyatakan bahwa sastra adalah hasil kegiatan kreatif manusia dalam pengungkapan penghayatannya tentang hidup dan kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan yang menggunakan bahasa. Dari kedua pendapat itu dapat ditarik makna bahwa karya sastra adalah karya seni, mediumnya (alat penyampainya) adalah bahasa, isinya adalah tentang manusia, bahasannya adalah tentang hidup dan kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan Pembelajaran sastra tidak dapat dipisahkan dengan pembelajaran bahasa. Namun, pembelajaran sastra tidaklah dapat disamakan dengan pembelajaran bahasa. Perbedaan hakiki keduanya terletak pada tujuan akhirnya. Oemarjati (1992) menerangkan perbedaan tersebut sebagai berikut.
48
“Pengajaran sastra pada dasarnya mengemban misi efektif, yaitu memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya (lebih ) tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Tujuan akhirnya adalah menanam, menum-buhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap tata nilaian – baik dalam konteks individual, maupun sosial.” Bertolak dari pendapat-pendapat tersebut, maka pembelajaran sastra sangat diperlukan. Hal itu bukan saja karena ada hubungan dengan konsep atau pengertian sastra, tetapi juga ada kaitan dengan tujuan akhir dari pembelajaran sastra. Pembelajaran sastra adalah pembelajaran apresiasi. Menurut Efendi (1998), “Apreasisi adalah kegiatan mengakrabi karya sastra secara sungguhsungguh. Di dalam mengakrabi tersebut terjadi proses pengenalan, pemahaman, penghayatan, penikmatan, dan setelah itu penerapan.” Pengenalan terhadap karya sastra dapat dilakukan melalui membaca, mendengar, dan menonton. Hal itu tentu dilakukan secara bersungguh-sungguh. Kesungguhan dalam kegiatan tersebut akan bermuara kepada
pengenalan secara bertahap dan akhirnya sampai ke
tingkat pemahaman. Pemahaman terhadap karya sastra yang dibaca, didengar, atau ditonton akan mengantarkan peserta didik ke tingkat penghayatan. Indikator yang dapat dilihat setelah menghayati
karya sastra
adalah jika bacaan, dengaran, atau
tontonan sedi ia akan ikut sedih, jika gembira ia ikut gembira, begitu seterusnya. Hal itu terjadi seolah-olah ia melihat, mendengar, dan merasakan dari yang dibacanya. Ia benar-benar terlibat dengan karya sastra yang digeluti atau diakrabinya. Setelah menghayati karya sastra, peserta didik akan masuk ke wilayah penikmatan. Pada fase ini ia telah mampu merasakan secara mendalam berbagai keindahan yang didapatkannya di dalam karya sastra. Perasaan itu akan membantunya menemukan nilai-nilai tentang manusia dan kemanusiaan, tentang hidup dan kehidupan yang diungkapkan di dalam karya itu. Rusyiana (1984:322) menyatakan bahwa kemampuan mengalami pengalaman pengarang yang tertuang di dalam karyanya dapat menimbulkan rasa nikmat pada pembaca. Selanjutnya dikatakan, “Kenikmatan itu timbul karena: (1) merasa berhasil dalam menerima
49
pengalaman orang lain; (2) bertambah pengalaman sehingga dapat menghadapi kehidupan lebih baik; (3) menikmati sesuatu demi sesuatu itu sendiri, yaitu kenikatan estetis.” Fase terakhir dalam pembelajaran sastra adalan penerapan. Penerapan merupakan ujung dari penikmatan. Oleh karena peserta didik merasakan kenikmatan pengalaman pengarang melalui karyanya, ia mencoba menerapkan nilia-nilai yang ia hayati dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan itu akan menimbulkan perubahan perilaku. Itulah yang diungkapkan oleh Oemarjati (1992), “Dengan sastra mencerdaskan siswa: memperkaya pengalaman dan pengetahuan.” Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik memiliki kemapuan sebagai berikut. 1) Berkomunikasi secara efektif dan efesien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis; 2) Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa Negara; 3) Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan; 4) Menggunakan bahasa Indonesia unutk meningkatkan keampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial; 5) Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; 6) Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Tujuan nomor lima dan nomor enam langsung menyebut karya sastra. Tujuan nomor lima diawali dengan kata kerja “menikmati dan memanfaatkan” dan tujuan nomor enam diawali dengan kata kerja “menghargai dan membanggakan”. Keempat kata kerja itu merupakan kata kunci untuk mencapai mata pelajaran sastra Indonesia di sekolah. Melalui pembelajaran sastra, peserta
50
didik dapat menikmati, memanfaatkan, menghargai, dan membanggakan karya sastra. Dengan demikian, semua aktifitas pembelajaran sastra hendaklah mendukung pencapaian tujuan itu. Dukungan itu akan dapat diawali dengan membaca dan memahami standar isi (standar kompetensi dan kompetensi dasar) sastra.
c. Kompetensi Dasar yang Berkaitan Beberapa kompetensi dasar yang berhubungan dengan pembelajaran sastra di kelas XI SMA adalah sebagai berikut. a. Kompetensi
Dasar
5.1:
Mengidentifikasi
peristiwa,
pelaku
dan
perwatakannya, dialog, dan konflik pada pementasan drama. b. Kompetensi Dasar 5.2: Menganalisis pementasan drama berdasarkan teknik pementasan. c. Kompetensi Dasar 6.1: Menyampaikan dialog disertai gerak-gerik dan mimik, sesuai dengan watak tokoh. d. Kompetensi Dasar 6.2: Mengekpresikan perilaku dan dialog tokohprotogonis dan atau antagonis. e. Kompetensi Dasar 7.1: Menemukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik hikayat. f. Kompetensi Dasar 7.2: Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan. g. Kompetensi Dasar 13.1: Mengidentifikasi alur, penokohan, dan latar dalam cerpen yang dibacakan. h. Kompetensi Dasar 13.2: Menemukan nilai-nilai dalam cerpen yang dibacakan. i. Kompetensi Dasar 14.1: Mengekspresikan dialog para tokoh dalam pementasan drama. j. Kompetensi Dasar 14.2: Menggunakan gerak-gerik, mimik, dan intonasi, sesuai dengan watak tokoh dalam pementasan drama. k. Kompetensi Dasar 15.1: Mengungkapkan hal-hal yang menarik dan dapat diteladani dari tokoh.
51
l. Kompetensi Dasar 15.2: Membandingkan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan dengan hikayat. Selanjutnya, kompetensi dasar yang dapat digunakan dengan bahan ajar cetak (novel) adalah KD 7.2, 15.1, dan 15.2. KD-KD tersebut dapat memanfaatkan bahan ajar dalam bentuk cetak yang dapat lebiih difokuskan pada novel Indonesia maupun terjemahan untuk membahas dan mencapai tujuan akhir yang harus dipelajari dan dikuasai siswa.
5. Telaah Sastra Sastra dalam bahasa Sansekerta berasal dari kata sas yang berarti mengarahkan, memberi petunjuk atau instruksi, dan tra yang berarti alat atau sarana (Teeuw, 1984: 23). Dalam pengertian sekarang, sastra banyak diartikan sebagai tulisan. Pengertian ini kemudian ditambah dengan kata su yang berarrti indah atau baik. Terciptalah kata susastra yang bermakna tulisan yang indah. Pengertian sastra yang didasarkan pada makna di atas tidak dapat menggambarkan definisi sastra secara keseluruhan. Hal tersebut misalnya dapat dibandingkan dengan makna sastra yang terdapat dalam bahasa-bahasa Barat. Kerancuan makna pun masih melingkupi makna sastra tersebut. Dalam bahasa Inggris misalnya dikenal istilah literature, Perancis litterature, Jerman literature, dan Belanda letterkunde. Secara etimologis, kata-kata tersebut berasal dari bahasa Latin, yaitu litterature yang merupakan terjemahan dari kata grammatika yang mengandung makna tata bahasa dan puisi. Namun kenyataannya, dalam pengertian yang dikenal saat ini kata literature ternyata mengacu pada makna segala sesuatu yang tertulis. Padahal jika disimak lebih jauh, manifestasi makna tersebut tentu tidak dapat menggambarkan sastra dalam pengertian karya fiksi (Fananie, 2000: 4) Beberapa ahli berpendapat bahwa suatu teks sastra dianggap berbobot atau tidak ditentukan oleh nilai estetik sastra yang dikandungnya. Hal tersebut misalnya seperti yang dikemukakan oleh Rene Wellek dan Austin Warren: cara lain untuk merumuskan apa yang disebut sastra ialah dengan membatasi sastra pada puncak-ouncak karya sastra saja tanpa memperhatikan apa pokok
52
pembicaraannya; asal menarik perhatian karena bentuk sastranya atau karena ekspresinya. Jadi, ukurannya hanya bernilai estetik saja atau nilai estetika dengan kombinasi nilai-nilai intelek lain (Wellek, 1972: 11). Berdasar pada pendapat-pendapat ahli yang ada, paling tidak secara global dapat dirumuskan bahwa sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik, baik yang didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna. Estetika bahasa biasanya diungkapkan melalui aspek puitik atau poetic function (surface structure) sedang estetika makna dapat terungkap melalui aspek deep structure (Fananie, 2000: 6). Selanjutnya, diperlukan kajian yang mendalam terhadap sastra untuk menyelami lebih jauh tentang hakekat karya sastra. Telaah karya sastra merupakan kajian secara mendalam terhadap teks karya sastra dari berbagai unsur yang membentuknya. Unsur-unsur tersebut bisa meliputi unsur instrinsik maupun ekstrinsiknya. Yang paling pokok dalam telaah sastra adalah mencari kekuatan karya sastra. Walaupun aspek-aspek kekuatan sastra umumnya bersifat subjektif dan abstrak bukan berarti tidak dapat dinilai secara konkrit. Itulah sebabnya telaah sastra berbeda dengan apresiasi sastra. Telaah sastra harus bersifat objektif, rasional, berdasarkan bukti-bukti kekuatan atau kelemahan karya yang ditelaah. Telaah sastra kemudian dikategorikan dalam tulisan ilmiah. Hal tersebut membuat sebuah konsekuensi bahwa telaah sastra harus menggunakan bahasa ilmiah, bukan bahasa sastra. Berdasarkan kedudukan dan sifatnya, telaah sastra tidak jauh berbeda dengan kritik sastra. Hanya saja, kritik sastra bisa merupakan penilaian yang bersifat like and dislike (dalam bentuk yang sederhana) dan dapat juga merupakan sebuah karya ilmiah. Kritik sastra yang demikian itulah yang mempunyai kesamaan dengan telaah sastra. Kritik sastra yang demikian adalah kritik sastra yang bertolak dari suatu teori dan kerangka acuan tertentu. Tidak hanya dilakukan karena senang atau tidak senang, suka atau tidak suka berdasarkan selera personal, tetapi lebih merupakan usaha untuk mendapatkan pemahaman yang utuh terhadap sebuah atau lebih karya sastra. Kritik sastra yang demikian dilakukan secara
53
sistematis, analisis, dan bertolak dari kerangka teori tertentu serta diungkapkan secara tertulis (Mursal Esten, 1984: 12). Karya sastra hadir tidak hanya untuk sekedar dinikmati, melainkan perlu juga dimengerti, dihayati, dan ditafsirkan. Karena itu, karya-karya sastra yang bersifat inkonvensional pun belum tentu tidak bernilai. Kesulitan pemahaman terhadap sastra-sastra inkonvensional umumnya lebih banyak disebabkan adanya perbedaan pemakaian kode bahasa atau idiom yang memang belum lazim digunakan. Telaah sastra diperlukan untuk menghadirkan pemahaman tersebut. Dalam hal ini, telaah sastra akan memberikan tolok ukur atau kriteria yang dapat dijadikan pegangan penilaian, di samping uraian-uraian mengenai nilai yang terdapat dalam karya sastra yang sedang ditelaah. Fungsi spesifik telaah dapat disebutkan sebagai berikut. a) Fungsi informatif Telaah sastra dapat menginformasikan eksistensi suatu karya sastra yang dikaji. Karena itu, identitas karya sastra harus dicantumkan secara jelas. Hal ini akan memberikan informasi fisik yang jelas terhadap pembaca hasil telaah sastra. b) Fungsi intelektual Hasil telaah sastra dapat memberikan pengetahuan yang bersifat keilmuan, seperti aspek pemahaman dan penghayatan terhadap karya sastra, baik karya sastra yang bersifat universal maupun inkonvensional. c) Fungsi edukatif Telaah sastra tidak saja memberikan bekal keilmuan, melainkan diharapkan juga memberikan nilai pembentukan moral, kemanusiaan, estetika, filsafat, dan sebagainya. Dengan demikian, pembaca tidak hanya sekadar mengeti tentang cara memahami suatu karya sastra, tetapi juga mengetahui dan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra yang ditelaah dan sejauh mana kompetensi nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
54
d) Fungsi persuasif, apresiatif, dan promotif Hasil telaah sastra mampu menumbuhkan motivasi pembaca untuk mendalami karya-karya sastra yang ditelaah; menumbuhkan penghargaan terhadap karya sastra dengan jalan menunjukkan keistimewaan dan pentingnya karya sastra tersebut untuk dibaca, disimak, dinikmati, dan dipahami kandungan maknanya. Fungsi lain dari telaah sastra dipaparkan oleh Atar Semi (dalam Fanani, 2000: 68-69) sebagai berikut. a) Untuk pembinaan dan pengembangan sastra Telaah sastra merupakan upaya untuk menyelamatkan dan memelihara serta mengembangkan pengalaman manusiawi yang berwujud sebagai karya seni yang bernama sastra. Kemudian, menjadikannya sebagai suatu proses perkembangan struktur yang bermakna. Fungsi ini jauh lebih penting daripada hanya membuat kategori-kategori yang biasa dilakukan, meskipun kategorikategori tersebut berguna. b) Untuk pembinaan kebudayaan dan apresiasi seni Telaah sastra jelas akan membina tradisi budaya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Nilai-nilai tersebut akan dapat dicerna karena selain menunjukkan patokan-patokan tertentu, telaah sastra juga menunjukkan kebaruan-kebaruan yang ada. Hal ini akan membuat apresiasi pembaca terhadap karya sastra meningkat karena selain memberikan patokan-patokan yang berkaitan dengan telaah struktur beserta unsur-unsurnya, telaah sastra juga bertujuan untuk menunjukkan hal-hal yang tersirat dari semua yang tersurat. c) Untuk menunjang ilmu sastra Telaah sastra dapat dikatakan sebagai wadah pengembangan ilmu yang berkaitan dengan ilmu sastra. Melalui telaah tersebut tentu suatu saat akan ditemui gejala-gejala baru yang terdapat dalam karya sastra. Hal tersebut tentu akan memberikan satu kontribusi terhadap perkembangan teori dan ilmu sastra.
55
d) Untuk menumbuhkan kreativitas pengarang Telaah sastra merupakan salah satu upaya untuk menumbuhkan kreativitas pengarang selain digunakan sebagai sarana penilaian dan interpretasi. Pengarang yang karyanya ditelaah secara cermat akan mengetahui sejauh mana nilai karyanya di mata pembaca. Selain itu, pengarang juga akan mengetahui letak kelebihan dan kekurangan karya sastra yang diciptakannya.
6. Sosiologi Sastra Istilah sosiologi muncul pada abad ke-19 sekitar tahun 1839 dari seorang ahli filsafat berkebangsaan Perancis bernama Auguste Comte. Miekel Bal dkk (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 363) berpendapat bahwa sosiologi sebagai ilmu yang relatif muda ditandai dengan terbitnya buku yang berjudul PositivePhilosophy yang ditulis Auguste Comte (1798-1857). Kemudian sosiologi berkembang pesat pada setengah abad sesudahnya yang disusul dengan terbitnya buku Principles of Sociology yang ditulis oleh Herbert Spencer (1820-1903). Secara etimologi, sosiologi berasal dari kata socios yang berarti “kawan” dan logos yang berarti “ilmu”. Bouman (1976: 24) menyimpulkan bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan sosial antara sesama individu, antara individu dengan kelompok serta sifat dan perubahan lembaga-lembaga dan ide-ide sosial. Ia mengusahakan suatu sintesis dan ilmu jiwa sosial dan ilmu bentuk sosial sehingga dengan ilmu itu dapat mengerti hakikat sosial dalam hubungan kebudayaan umum. Sosiologi diketahui sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Gambaran ini akan menjelaskan cara-cara manusia menyesuaiakan diri dengan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosialisasi, proses belajar secara kultural, yang dengannya individuindividu dialokasikan pada dan menerima peranan-peranan tertentu dalam strutur sosial. Di samping itu sosiologi juga menyangkut mengani perubahan-perubahan sosial yang terjadi secara berangsur-angsur maupun secara revolusioner dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perubahan tersebut (Damono, 1978).
56
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat (Semi, 1990: 73). Sastra dapat dikatakan sebagai cerminan masyarakat, tetapi tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya tergambarkan dalam sastra, yang didapat di dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos sosial, seperti lingkungan bangsawan, penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya. Sastra sebagai gambaran masyarakat bukan berarti karya sastra tersebut menggambarkan keseluruhan warna dan rupa masyarakat yang ada pada masa tertentu dengan permasalahan tertentu pula. Karya sastra tidak mungkin jatuh begitu saja dari langit, tentunya selalu ada hubungannya antara sastrawan, sastra, dan masyarakat (Sapardi Djoko Damono dalam Wiyatmi, 2006: 97). Ian Watt (dalam Sapardi Djoko Damono, 1984: 3) menyatakan bahwa sosiologi sastra adalah ilmu yang membicarakan hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Untuk mendekati maupun mengakrabi karya sastra perlu menggunakan suatu pendekatan sosiokultural. Pendekatan ini menyimpulkan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya dan tidak bisa dipisahkan dari lingkungan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Garbstein (dalam Ekarini Saraswati, 2003: 17) mengungkapkan secara singkat konsep tentang sosiologi sastra, yaitu: 1) Karya sastra tidak mungkin dapat dipahami selengkapnya tanpa dihubungkan dengan kebudayaan dan peradaban yang menghasilkannya. 2) Gagasan yang terdapat dalam karya sastra sama pentingnya dalam bentuk teknik penulisannya. 3) Karya sastra bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah sebuah prestasi. 4) Masyarakat dapat mendekati sastra dari dua arah: sebagai faktor material istimewa dan sebagai tradisi. 5) Kritik sastra seharusnya lebih dari sekadar perenungan estetis yang tanpa pamrih.
57
6) Kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa depan. 7) Secara epistemologis (dari sudut teori keilmuan) tidak mungkin membangun suatu sosiologi sastra yang general yang meliputi seluruh pendekatan. 8) Mengenai sosiologi sastra Marxis, garis besarnya sebagai berikut: pertama, manusia harus hidup dahulu sebelum dapat berpikir dan yang kedua, struktur soial masyarakat ditentukan oleh kondisi-kondisi kehidupan khususnya sistem produksi ekonomi, yaitu antara infrastruktur dan suprastrujtur. 9) Sastra merupakan fenomena kedua yang ditentukan oleh infrastruktur, yaitu ekonomi. Wellek dan Warren (1993: 111) menyatakan setidaknya ada tiga pendekatan dalam sosiologi sastra. Yaitu sosiologi sastra yang berkaitan dengan pengarang, sosiologi sastra yang berkaitan dengan karya sastra itu sendiri, dan sosiologi sastra yang berkaitan dengan pembaca. Yang perlu dicatat adalah adanya keterkaitan antara sosiologi dan sastra yang keduanya berhubungan dengan masyarakat. Menurut Laurenson (1972) terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra. 1) Perspektif yang memandang sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan; 2) Perspektif yang mencerminkan situasi sosial penulisnya; dan 3) Model yang dipakai karya tersebut sebagai manifestasi dari kondisi sosial budaya atau peristiwa sejarah. Novel merupakan salah satu di antara bentuk sastra yang paling peka terhadap cerminan masyarakat. Menurut Johnson (Faruk, 2005: 45-46) novel mempresentasikan suatu gambaran yang jauh lebih realistik mengenai kehidupan sosial. Ruang lingkup novel sangat memungkinkan untuk melukiskan situasi lewat kejadian atau peristiwa yang dijalin oleh pengarang atau melalui tokoh-tokohnya. Kenyataan dunia seakan-akan terekam dalam novel, berarti ia seperti kenyataan hidup yang sebenarnya. Dunia novel adalah pengalaman pengarang yang sudah
58
melewati perenungan kreasi dan imajinasi sehingga dunia novel itu tidak harus terikat oleh dunia sebenarnya. Sketsa kehidupan yang tergambar dalam novel akan memberi pengalaman baru bagi pembacanya, karena apa yang ada dalam masyarakat tidak sama persis dengan apa yang ada dalam karya sastra. Hal ini dapat diartikan pula bahwa pengalaman yang diperoleh pembaca akan membawa dampak sosial bagi pembacanya melalui penafsiran-penafsirannya. Pembaca akan memperoleh halhal yang mungkin tidak diperolehnya dalam kehidupan. Menurut Hauser (Ratna, 2003: 63) karya seni sastra memberikan lebih banyak kemungkinan dipengaruhi oleh masyarakat, daripada mempengaruhinya. Sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat erat kaitannya dengan kedudukan pengarang sebagai anggota masyarakat. Sehingga secara langsung atau tidak langsung daya khayalnya dipengaruhi oleh pengalaman manusiawinya dalam lingkungan hidupnya. Pengarang hidup dan berelasi dengan orang lain di dalam komunitas masyarakatnya, maka tidaklah heran apabila terjadi interaksi dan interelasi antara pengarang dan masyarakat. Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang objek studinya berupa aktivitas sosial manusia. Sastra adalah karya seni yang merupakan ekspresi kehidupan manusia. Dengan demikian, antara karya sastra dengan sosiologi sebenarnya merupakan dua bidang yang berbeda, tetapi keduanya saling melengkapi. Sosiologi tidak hanya menghubungkan manusia dengan lingkungan sosial budayanya, tetapi juga dengan alam. Kajian sosiologi sastra yang menonjol adalah yang dilakukan oleh kaum Marxisme yang mengemukakan bahwa sastra adalah refleksi masyarakat yang dipengaruhi oleh kondisi sejarah (Eagleton, 1983). Sastra, karenanya, merupakan satu refleksi lingkungan budaya dan merupakan satu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektika yang dikembangkan dalam karya sastra (Langland, 1984). Fananie (2000: 133) mengutip dari Zerafta mengemukakan bahwa bentuk dan isi karya sastra sebenarnya lebih banyak diambil dari fenomena sosial dibandingkan dengan seni yang lain, kecuali film. Karena itu, karya sastra
59
seringkali tampak terikat dengan momen khusus dalam masyarakat (Michael Zerafta, dalam Elizabeth, 1973). Dalam hal ini, karya-karya mempunyai suatu fungsi pewahyuan dalam pengertian mencakup aspek-aspek kehidupan sosial, ekonomi atau pun budaya. Itulah sebabnya, karya sastra dapat merupakan pencarian dan sekaligus ungkapan pengertian dan esensinya. Dalam konteks metodologis, pendekatan sosiologis selalu mengalami perubahan. Pada mulanya, pendekatan sosiologis diletakkan pada kerangka positivisme. Model ini menitikberatkan pada usaha pencarian hubungan antara sastra dengan beberapa faktor, seperti iklim, geografi, filsafat, dan politik. Sastra diperlakukan sebagai fakta yang statusnya sama dengan penelitian ilmiah (Damono, 1979). Perkembangan selanjutnya, pendekatan sosiologis menolak model positivisme. Pendekatan sosiologis lalu diarahkan pada telaah nilai-nilai. Hal tersebut didasarkan pengertian bahwa karya sastra berkaitan dengan hakikat dituasi di dalam sejarah. Karya sastra adalah karya yang menyajikan persoalanpersoalan interpretasi yang paling tidak terpecahkan yang berkaitan dengan makna (tata nilai) dan bentuk (struktur) dari kondisi sosial dan historis yang terdapat dalam kehidupan manusia. Secara implisit, di dalam teks sastra terdapat proposisiproposisi bahwa manusia tidak pernah hidup sendiri dan lebih dari itu manusia memiliki masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang atau seolaholah merupakan sebuah oracle (sabda dewa atau garis yang pasti dilalui). Karena itu, nilai yang terdapat dalam karya sastra adalah nilai yang hidup, yang selalu berkembang dan dinamis. Ini berarti karya sastra tidak diperlakukan sebagai data jadi, melainkan merupakan data mentah yang masih harus diolah dengan fenomena lain. Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra adalah salah satu pendekatan untuk mengurai karya sastra yang mengupas masalah hubungan antara pengarang dengan masyarakat, hasil berupa karya sastra dengan masyarakat, dan hubungan pengaruh karya sastra terhadap pembaca. Namun, dalam kajian ini hanya dibatasi dalam kajian mengenai gambaran pengarang melalui karya sastra mengenai kondisi suatu masyarakat.
60
a.
Resepsi Sastra
Resepsi sastra secara singkat dapat disebut sebagai aliran yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu. Teori Resepsi Sastra pada tataran dasar secara singkat dapat disebut sebagai teori yang menjelaskan bahwa teks sastra (lisan maupun tulis) dengan bertitik tolak pada pembaca (penikmat) yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks tersebut (Abdullah, 1994: 148). Teori tentang resepsi sastra ini dikemukakan oleh Felix Vodicka dengan memperjelas peranan pembaca. Karya sastra bagi Vodicka diletakkan sebagai sebuah artefak yang mati, baru kemudian dihidupkan oleh pembaca melalui apa yang disebut kongkretisasi. Pada proses tersebut, semuanya bergantung kepada hubungan pembaca dengan tempat, waktu, latar sosialnya, dan karya bersangkutan. Pendekatan inilah yang kemudian dikenal dengan teori resepsi sastra. Teori ini kemudian dikembangkan oleh Robert Jausz yang melontarkan gagasan tentang tanggapan dan efek/rezeption and wirkung (Teeuw, 1984) dan Yori Lotmann dengan konsep horison harapan pembaca (Terry Eagleton, 1983). Perkembangan tersebut akhirnya mengarah pada aspek sosiologi (Burns and Burns, eds., 1973). Pembaca selaku pemberi makna adalah variabel menurut ruang, waktu dan golongan sosial budaya. Menurut perumusan tori ini, dalam memberikan sambutan terhadap sesuatu karya sastra, pembaca diarahkan oleh horison harapan. Horison harapan ini merupakan reaksi antara karya sastra di satu pihak dan sitem interpretasi dalam masyarakat penikmat di lain pihak. Resepsi sastra oleh Jausz disebut sebagai estetika resepsi adalah estetika (ilmu keindahan) yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau resepsi-resepsi pembaca terhadap karya sastra. Karya sastra tidak mempunyai arti tanpa pembaca atau penikmat sastra yang menanggapinya. Karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca yang menilai (Pradopo, 1995: 206). Estetika Resepsi atau Resepsi Sastra memberikan perhatian utama kepada pembaca karya sastra di antara jalinan segitiga pengarang, karya sastra dan masyarakat pembaca (Jausz, 1974: 12). Pada penelitian ini objek analisis adalah
61
novel yang tergolong dalam kategori karya sastra tulis. Masyarakat berusaha untuk memaknai tanda ataupun makna yang terkandung dalam sebuah cerita yang terangkum dalam novel. Kemudian muncullah istilah horizon harapan yang berpijak dari perbedaan pemahaman masing–masing pembaca. Horizon harapan merupakan interaksi antara karya sastra dan pembaca atau penikmat dan mencakup interpretasi dalam masyarakat (Jausz, 1974: 204). Perkembangan berikutnya seperti yang dikemukakan oleh Swingewood bahwa kendati sastra dan sosiologi mempunyai perbedaan namun sebenarnya dapat memberikan penjelasan yang bermanfaat tentang sastra (Laurenson dan Swingewood, 1972). Dengan kata lain, sebagaimana konsep Rene Wellek bahwa sosiologi sastra dianggap sebagai unsur ekstrinsik (Wellek, 1956) dan unsur ekstrinsik tidak hanya meliputi sosiologi, melainkan juga unsur yang lain seperti ideologi, ekonomi, agama, psikologi, dan sebagainya. Sebelum muncul pendekatan sosiologi sastra yang merupakan salah satu dari perkembangan pendekatan sastra yang modern terdapat pendekatan pragmatik yang berdekatan dengan resepsi sastra. Pendekatan pragmatik ini merupakan salah satu dari pendekatan sastra yang bersifat universal selain pendekatan mimesis, objektif, dan ekspresif. Sama dengan resepsi sastra, pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang didasarkan kepada pembaca. Keberhasilan suatu karya sastra diukur dari pembacanya. Karya sastra yang berhasil adalah karya sastra yang dianggap mampu memberikan “kesenangan” dan “nilai”. Walaupun dimensi pragmatik melingkupi pengarang dan pembaca, pembacalah yang lebih dominan. Karena itu, proses komunikasi dan pemahaman karya sastra mempengaruhi dan ikut menentukan sikap pembaca terhadap karya yang dihadapinya (Foulkes, dikutip, Teeuw, 1984: 57). Kemampuan kebahasaan pembaca sangat menentukan karena pembaca bertindak sebagai penentu pemahaman karya sastra. Pengertian pragmatik lebih mengarah pada performance daripada competence apabila pemahaman kebahasaan didasarkan pada sistem kebahasaan Noam Choamsky. Hal ini karena pragmatik tidak mendasarkan pada sistem bahasa semata, melainkan juga aspek-aspek kultural, psikologi, sosial, dan budaya
62
yang menandai pemakaian bahasa sebagai suatu sistem. Kaidah-kaidah pragmatik menurut Choamsky adalah kaidah yang memberikan kondisi yang mencukupi untuk menafsirkan secara pas sebuah bentuk tuturan agar dapat berfungsi sebagai suatu sistem tanda. Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa pendekatan pragmatik dalam telaah sastra hasil akhirnya akan bergantung sepenuhnya pada kemampuan pembaca. Baik kemampuan kebahasaannya maupun kemampuan aspek yang lain, seperti aspek budaya, psikologi, filsafat, pendidikan, dan sebagainya.
b. Kritik Sastra Kritik sastra memiliki korelasi yang erat dengan perkembangan kesusastraan. Menurut Andre Hardjana, kritik sastra merupakan sumbangan yang dapat diberikan oleh para peneliti sastra bagi perkembangan dan pembinaan sastra. Hal senada juga diungkapkan oleh Subagio Sastrowardoyo, bahwa untuk bisa menentukan bagaimana sesungguhnya perkembangan kesusastraan Indonesia, dibutuhkan suatu kritik. Pendekatan dalam kritik sastra cukup beragam. Pendekatan-pendekatan tersebut bertolak dari empat orientasi teori kritik. Yang pertama, orientasi kepada semesta yang melahirkan teori mimesis. Kedua, teori kritik yang berorientasi kepada pembaca yang disebut teori pragmatik. Penekanannya bisa pada pembaca sebagai pemberi makna dan pembaca sebagai penerima efek karya sastra. Resepsi sastra merupakan pendekatan yang berorientasi kepada pembaca. Untuk yang ketiga, teori kritik yang berorientasi pada elemen pengarang dan disebut sebagai teori ekspresif. Sedangkan keempat adalah teori yang berorientasi kepada karya yang dikenal dengan teori obyektif. Dalam kaitan ini, sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.
63
Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Rene Wellek dan dan Austin Warren membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi. Pertama, sosiologi pengarang, yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lainlain yang menyangkut diri pengarang. Kedua, sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra. Yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat. Klasifikasi tersebut tidak jauh berbeda dengan bagan yang dibuat oleh Ian Watt dengan melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Telaah suatu karya sastra menurut Ian Watt akan mencakup tiga hal, yakni konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra. Konteks sosial pengarang adalah yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Sastra sebagai cermin masyarakat menelaah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan masyarakat bagi pembaca. Umar Junus mengemukakan, bahwa yang menjadi pembicaraan dalam telaah sosiologi sastra adalah karya sastra dilihat sebagai dokumen sosial budaya. Ia juga menyangkut penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra. Termasuk pula penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra seorang penulis tertentu dan apa sebabnya. Selain itu juga berkaitan dengan pengaruh sosial budaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya pendekatan Taine yang berhubungan dengan bangsa, dan pendekatan Marxis yang berhubungan dengan pertentangan kelas. Tak boleh diabaikan juga dalam kaitan ini pendekatan strukturalisme genetik dari Goldman dan pendekatan Devignaud
64
yang melihat mekanisme universal dari seni, termasuk sastra. Sastra bisa dilihat sebagai dokumen sosial budaya yang mencatat kenyataan sosio-budaya suatu masyarakat pada suatu masa tertentu. Pendekatan ini bertolak dari anggapan bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Bagaimanapun karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya. Demikian pula obyek karya sastra adalah realitas kehidupan, meskipun dalam menangkap realitas tersebut sastrawan tidak mengambilnya secara acak. Sastrawan memilih dan menyusun bahan-bahan itu dengan berpedoman pada asas dan tujuan tertentu. Henry James mengatakan, bahwa sastrawan menganalisis "data" kehidupan sosial, memahaminya dan mencoba menentukan tanda yang esensial untuk dipindahkan ke dalam karya sastra. Apabila realitas itu adalah sebuah peristiwa sejarah, maka karya sastra dapat mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang. Kecuali itu, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapannya mengenai peristiwa sejarah dan ketiga seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang. Hubungan dialektik antara karya sastra dan realitas sosial budaya memperkuat anggapan bahwa sastra merupakan salah satu institusi sosial. Sastra tidak hanya mendapat pengaruh dari realitas sosial tetapi juga dapat mempengaruhi realitas sosial. Memang benar, sastra mengambil sebagian besar karakternya dari bahasa, namun bentuk dan isi novel lebih banyak berasal dari fenomena sosial daripada dari seni lain, terkecuali film. Novel seringkali merupakan ikatan dengan momentum tertentu dalam peristiwa sejarah masyarakat. Michel Zerraffa mengatakan, bahwa karya sastra merupakan analisis estetis dan sintesis sebuah realitas tertentu dan novelis senantiasa melakukan analisis dan sintesis sebelum memulai menulis.
65
1) Kritik Sastra Feminis Sebuah kata merupakan sebuah unit budaya jika dipandang dari sisi semiotik. Dalam sebuah budaya, sebuah unit merupakan sesuatu yang dideefinisikan secara budaya dan dibedakan sebagai suatu entitas. Unit tersebut bisa jadi adalah seseorang, sebuah tempat, benda, perasaan, peristiwa, firasat, fantasi, halusinasi, harapan atau ide (Sugihastuti, 2007b: 117). Demikian halnya perihal gender dalam karya sastra. Gender adalah sebuah unit budaya yang selanjutnya dapat ditentukan secara semiotik sebagai suatu unit semantik yang dimasukkan dalam sebuah sistem. Unit semacam ini juga dikenal sebagai unit interkultural yang tetap tidak dapat berubah meskipun simbol linguistik tempat tersebut disignifikan. Permasalahan yang dibicarakan akan erat kaitannya dengan studi wanita jika ideologi gender dibicarakan dalam karya sastra. Kajian wanita mencakup berbagai topik yang bertalian dengan wanita, seperti, novel wanita, buruh atau pekerja wanita, psikologi wanita, lesbianisme, dan lain-lain. Kajian wanita di bidang sastra pun menggulir pelan-pelan, yaitu dengan mulai diliriknya penerapan kritik sastra feminis (Sugihastuti, 2007a: 129-130). Analisis kritik sastra feminis terhadap wacana cerita dapat ditelusuri melalui salah satu varian pendekatan kritik sastra feminis yang berkembang di Amerika. Sepeerti diketahui, kritik sastra feminis berawal dari hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulis-penulis wanita pada masa silam. Misalnya, bagaimana kajian atas novel-novel Hamidah dan Selasih sampai novel Ayu Utami. Kajian atas karya novelis-novelis wanita Indonesia pada masa silam menjadi fokus perhatian analisis kritik sastra feminis. Dalam arti leksikal, feminisme adalah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria (KBBI, 1996: 241). Feminisme ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan wanita di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita (Goefe, 1986: 837). Dalam ilmu sastra, feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisis kepada wanita (Sugihastuti, 2000d: 37). Jika selama ini dianggap dengan sendirinya bahwa yang mewakili pembaca dan
66
pencipta dalam sastra barat adalah laki-laki, kritik sastra feminis menunjukkan bahwa pembaca wanita membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya (Showalter, 1985: 3). Kritik sastra feminis didefinisikan oleh Kolodny, seorang pengkritik feminis Amerika sebagai berikut. it involved exposing the sexual stereotyping of women, in both our literature and our literary critism and, as well, demonstrating the inadequency of established critical schools and methods to deal fairly or sensitively with work written by women (dalam Sugihastuti, 2007a: 141) Kolodny menjelaskan bahwa kritik sastra feminis membeberkan wanita menurut stereotipe seksual, baik dalam kesusastraan maupun dalam kritik sastra kita, dan juga menunujukkan bahwa aliran-aliran serta cara-cara yang tidak memadai telah digunakan untuk mengkaji tulisan wanita secara tidak adil dan tidak peka. Menurutnya, mereka yang menekuni bidang sastra pasti menyadari bahwa biasanya karya sastra, yang pada umumnya hasil tulisan laki-laki menampilkan stereotipe wanita sebagai istri dan ibu yang setia dan berbakti, wanita manja, pelacur, dan wanita dominan. Citra-citra wanita seperti itu ditentukan oleh aliran-aliran sastra dan pendekatan-pendekatan tradisional yang tidak cocok dengan keadaan karena penilaian demikian tentang wanita tidak adil dan tidak teliti. Pdahal wanita memiliki perasaan-perasaan yang sangat pribadi, seperti penderitaan, kekecewaan atau rasa tidak aman yang hanya bisa diungkapkan secara tepat oleh wanita itu sendiri. Kritik sastra feminis bertujuan untuk menunjukkan citra wanita dalam karya penulis-penulis pria yang menampilkan wanita sebagai makhluk yang dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan serta disepelekan oleh tradisi patriarkal yang dominan. Hasrat kritikus sastra feminis dapat saja didasari oleh perasaan cinta dan setia kawan terhadap pengarang dan penyair atau penulispenulis wanita dari zaman dahulu sampai sekarang. Dapat pula, hasrat mereka didasari oleh perasaan prihatin dan amarah. Kedua hasrat kritikus sastra feminis ini menimbulkan berbagai ragam cara mengkritik yang kadang-kadang terpadu. Misalnya, dalam meneliti citra wanita dalam karya sastra penulis wanita,
67
perhatian mungkin dipusatkan pada cara-cara yang mengungkapkan tekanantekanan yang diderita oleh tokoh wanita (Sugihastuti, 2007a: 136). Salah satu dari beberapa ragam kritik sastra feminis adalah kritik ideologis. Kritik sastra feminis yang lapang banyak - dan yang sekiranya sederhana, mudah, dan cepat - dipakai adalah kritik ideologis. Kritik sastra feminis ini melibatkan wanita, khususnya kaum feminis sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca adalah citra serta stereotipe wanita dalam karya sastra. Kritik ini juga meneliti kesalahpahaman tentang wanita dan sebab-sebab mengapa wanita sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan sama sekali dalam kritik sastra. Pada dasarnya, ragam kritik sastra feminis ini merupakan cara menafsirkan suatu teks, yaitu satu di antara banyak cara yang dapat diterapkan untuk teks yang paling rumit sekalipun. Cara ini bukan saja memperkaya wawasan para pembaca wanita, tetapi juga membebaskan cara berpikir mereka (Djajanegara, 2000: 28). Sejalan dengan kritik sastra feminis ideologis adalah konsep reading as a woman (Culler, 1983: 43-63). Konsep ini adalah konsep yang sekiranya pantas dipakai untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris atau patriarkal yang sampai sekarang diasumsikan menguasai penulisan dan pembacaan sastra (dalam Sugihastuti, 2007a: 139). Arti kritik sastra feminis secara sederhana adalah sebuah kritik sastra yang memandang sastra dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan manusia. Jenis kelamin itu membuat banyak perbedaan, di antara semuanya dalam sistem kehidupan manusia. Ada asumsi bahwa wanita memiliki persepsi yang berbeda dengan laki-laki dalam membaca sastra (Sugihastutia, 2007: 140). Sumber yang lain menyatakan bahwa feminisme memandang wanita bukan sebagai korban melainkan sebagai pelaku. Menurut Paula Gunn Allen (dalam Zita Rarastesa, 2001): a feminist approach in the Native American women’s writing could both show the power of the indian women and the tendencies to suppress the Indian women’s power and subjectivity. Tulisan tersebut menjelaskan bahwa pendekatan feminis pada wanita barat -yang diwakili
68
oleh
wanita
Amerika-
menunjukkan
kekuatan
wanita
dan
cenderung
memperlihatkan kekuatan wanita dan pelaku.
2) Sastra Mengeksploitasi Manusia Karya sastra mengeksploitasi manusia dan masyarakat. Hal ini yang menjadi alasan utama mengapa sosiologi sastra penting dan dengan sendirinya perlu dibangun pola-pola analisis sekaligus teori-teori yang berkaitan dengannya. Meskipun masalah sastra dan manusia/masyarakat sudah dibicarakan jauh sebelumnya, sosiologi sastra sebagai ilmu yang berdiri sendiri dengan menggunakan teori dan metode ilmiah dianggap baru mulai pada abad ke-18. Paradigma sosiologi sastra berakar dari latar belakang historis dua gejala, yaitu masyarakat dan sastra: karya sastra ada dalam masyarakat, dengan kata lain, tidak ada karya sastra tanpa masyarakat. Sosiologi sastra, meskipun belum menemukan pola analisis yang dianggap memuaskan, mulai memperhatikan karya seni sebagai bagian yang integral dari masyarakat. Tujuannya jelas untuk memberikan kualitas yang proposional bagi kedua gejala: sastra dan masyarakat. Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra. Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah "kebenaran" penggambaran, atau yang hendak digambarkan.
69
Namun, Wellek dan Warren mengingatkan, bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya. Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut kadang tidak disengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu. Karya sastra dapat juga mencerminkan dan menyatakan segi-segi yang kadang-kadang kurang jelas dalam masyarakat.
7. Profil Abidah Al Khalieqy Abidah El Khalieqy lahir di Jombang, Jawa Timur. Setelah ia menamatkan pendidikannya di sekolah ibtidaiyah (setingkat dengan sekolah dasar), ia melanjutkan sekolah di Pesantren Putri Modern PERSIS, Bangil, Pasuruan. Di pesantren inilah ia mulai menulis puisi dan cerpen dengan nama pena Idasmara Prameswari, Ida Arek Ronopati atau Ida Bani Kadir. Abidah
memperoleh
ijazah
persamaan
dari
Madrasah
Aliyah
Muhammadiyah Klaten dan menjadi juara Penulisan Puisi Remaja se-Jawa Tengah pada 1984. Alumni Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga ini menulis tesis Komoditas Nilai Fisik Perempuan dalam Perspektif Hukum Islam (1989). Abidah pernah aktif dalam Forum Pengadilan Puisi Yogyakarta (1987-1988), kelompok Diskusi Perempuan Internasional (KDPI) Yogyakarta pada 1988-1989. Dia juga menjadi peserta dalam pertemuan Asia Pasific Forum on Women, Law and Development (APWLD) pada 1988. Karya-karya penyair dan novelis yang tinggal di kota budaya ini telah dipublikasikan di berbagai media lokal maupun nasional. Media tersebut antara lain The Jakarta Post, Jurnal Ulumul Quran, Majalah Horizon, Republika, Media Indonesia, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Jawa Post, dll. Karya-karyanya juga termaktubkan dalam berbagai buku antologi sastra, seperti Kitab Sastra Indonesia, Angkatan Sastra 2000, Wanita Pengarang Indonesia, ASEANO: an Antology of Poems Shoutheast Asia, Album Cyber Indonesia (Australia), Selendang Pelangi (antologi perempuan penyair Indonesia), Para Pembisik,
70
Dokumen Jibril, Nyanyian Cinta, dan lain-lain. Karya-karyanya juga terdapat dalam beberapa antologi sastra Festival Kesenian Yogyakarta; Sembilu, Pagelaran, Embun Tajalli, dan Ambang. Ia sering membacakan puisinya di sekretariat ASEAn dan hadir dalam Konferensi Perempuan Islam se-Asia Pasifik dan timur Tengah (1999). Abidah mendapatkan Penghargaan Seni dari Pemerintah DIY (1998) dan mengikuti program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) di berbagai SMA kota besar Indonesia (2000-2005). Abidah juga dinobatkan sebagai salah satu tokoh muda “Anak Zaman menerobos Batas” versi Majalah Syir‟ah (2004). Karya-karyanya yang sudah terbit dalam bentuk buku adalah Ibuku Laut Berkobar (1987), Menari Di Atas Gunting (2001), Atas Singgasana (2002), Genijora (2004), Mahabbah Rindu (2007), dan Nirzona (2008). Dari latar belakang pendidikan yang seperti itulah Abidah berkembang menjadi penulis wanita yang cukup produktif dalam menghasilkan karya. Dengan memiliki modal latar pendidikan pesantren inilah kebanyakan karya-karya yang dihasilkannya mampu mendeskripsikan secara detail kebiasaan, peraturan, bahkan unsur-unsur yang ada di dalamnya secara jelas. Begitupula yang melatarbelakangi hadirnya
Novel Perempuan Berkalung Sorban. Keaktifannya dalam berbagai
lembaga dan forum diskusi baik dalam skala nasional maupun internasional membuat namanya berkibar.
B. Penelitian yang Relevan Beberapa penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini telah dilakukan sebelumnya, seperti penelitian yang dilkaukan oleh Ahmad Makki Hasan (Program Pasca Sarjana UIN Malang) yang berjudul Sastra & SosioKultural Masyarakat. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa sastra atau lebih dikenal dengan karya sastra adalah hal yang tidak dapat dilepaskan dalam suatu masyarakat tertentu. Keberadannya -oleh banyak kalangan- merupakan replika kondisi suatu masyarakat. Baik itu merupakan imitasi akan sosio-kultural yang telah ada maupun dapat juga merubah bentuk tatanan yang sudah ada dalam
71
masyarkat. Terlepas dari itu semua peranan akan sastra dalam pembentukan sosiokultural masyarakat bukanlah hal yang sepele. Apalagi dalam masa (global) universalitas seperti saat ini. Penelitian yang lain adalah Sastra dan Kebudayaan; Interaksi Timbal Balik oleh Tjahjono Widarmanto yang dilakukan pada 2007. Pada tulisannya tersebut, Tjahjono mengungkapkan bahwa selama sastra dan kebudayaan membicarakan persoalan manusia- kemanusiaan, masyarakat-kemasyarakatan, dan hidupkehidupan, maka interaksi itu akan terus ada dan akan menawarkan berbagai pendekatan yang akan memperkaya kesusastraan dan kebudayaan. Sedangkan penelitian yang berhubungan dengan objek penelitian ini adalah Kontruksi Perempuan dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El-Khalieqy oleh Dhiroh (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi sosial budaya masyarakat yang mewarnai hampir ajaran agama khususnya yang berkaitan dengan perempuan, pemahaman dan interpretasi penafsiaran agama yang dianggap sebagai kebenaran yang pasti oleh para pemeluknya dan yang terakhir adalah tidak adanya sikap kritis dari para pemeluknya atas tafsir-tafsir agama yang bias gender.
C. Kerangka Berpikir Perkembangan karya sastra Indonesia bergerak menuju ke arah yang lebih signifikan. Pada beberapa tahun terakhir penulis wanita bahkan banyak bermunculan mengimbangi karya-karya penulis pria. Timbul beberapa pendapat mengenai hal tersebut. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa karya sastra ciptaan penulis wanita ini mampu memberikan warna tersendiri dalam sastra Indonesia. Penelitian ini akan membahas tentang Novel Perempuan Berkalung Sorban yang ikut mewarnai perkembangan sastra di tanah air. Pembahasan akan difokuskan pada analisis nilai-nilai kultural yang terdapat dalam novel tersebut. Teori yang akan lebih digunakan adalah teori resepsi sastra yang bersandar pada sosiologi sastra. Yaitu sebuah pendekatan yang memandang karya sastra dari segi
72
penikmat dan pengarangnya. Penilaian terhadap karya sastra menjadi penting karena karya sastra akan mampu menimbulkan arti tertentu bagi pembacanya. Analisis yang dilakukan terhadap nilai-nilai kultur pondok pesantren yang terdapat dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dapat digunakan sebagai pertimbangan atas penggunaan novel yang bersangkutan sebagai bahan ajar alternatif dalam pembelajaran sastra di SMA. Novel Perempuan Berkalung Sorban
Struktural Genetik Unsur intrinsik karya sastra
Resepsi Sastra Komentar dan penilaian pembaca terhadap karya sastra
Ekspresif Proses kreatif dan penggambaran setting
Relevansi nilai-nilai kultural pondok pesantren dalam novel Perempuan Berkalung Sorban terhadap pembelajaran sastra di SMA Bagan 2. Kerangka Berpikir
73
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang mengunakan karya kesusastraan sebagai objek kajiannya. Hal tersebut menyebabkan tidak adanya pembatasan khusus terhadap tempat dan waktu. Selain itu, penelitian juga mengunakan kajian pustaka dan interpretasi atau penafsiran sehingga penelitian ini dapat dilakukan kapan saja tanpa harus terpancang pada tempat penelitian. Meskipun begitu, peneliti juga melakukan penelitian di pondok pesantren guna menunjang penelitian dari segi nara sumber. Ini dilakukan karena penelitian kesusastraan yang dilakukan terkait dengan pembaca yang memiliki background pondok pesantren atau yang biasa disebut dengan istilah santri. Pondok pesantren yang dipilih adalah Pondok Pesantren Al Quran Desa Narukan, Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang. Alasan pemilihan pondok pesantren tersebut adalah karena pondok pesantren tersebut memiliki latar budaya yang hampir sama, yakni kentalnya pengaruh Nahdlatul Ulama pada pondok pesantren tersebut. Selain itu, Pondok Pesantren Al Quran Desa Narukan tersebut juga termasuk pondok pesantren tradisional (Salafi). Kondisi yang sama dengan gambaran pondok pesantren dalam novel yang dijadikan objek penelitian. Penelitian dilaksanakan selama lima bulan dari bulan Desember 2009 sampai dengan April 2010. Secara terperinci, jadwal penelitian dapat dilihat pada tabel 3.
73
74
No 1
2
Des 2009
kegiatan
Jan 2010
Feb 2010
Pelaksanaan penelitian Observasi dan V V V pendataan awal V Pengumpulan, V klasifikasi, dan deskripsi data. V V Analisis data Penyelesaian penelitian Menyusun laporan penelitian Tabel 3. Jadwal Penelitian
Maret 2010
April 2010
V
V
V
B. Bentuk dan Strategi Penelitian Mengacu pada masalah yang terdapat dalam penelitian ini, penelitian yang dilakukan bersifat kualitatif. Yaitu penelitian yang tidak menggunakan angkaangka sebagai data utamanya. Data yang ada berupa pencatatan dan dokumen terurai dalam bentuk kata-kata. Data berasal dari kajian tentang berbagai tulisan yang berhubungan dengan objek yang dikaji. Di samping itu juga menggunakan kajian pustaka sebagai kajian teori dan wacana. Penelitian ini juga termasuk penelitian deskriptif. Artinya peneliti memberikan gambaran objek penelitian secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan hubungan kausal yang diteliti. Penelitian ini juga mengunakan pendekatan sosiologi sastra, yaitu pendekatan dalam
menganalisis
karya
sastra
dengan
mempertimbangkan
segi-segi
kemasyarakatan untuk mengetahui makna totalitas sebuah karya sastra. Pendekatan sosiologi sastra juga berupaya untuk menemukan keterjalinan antara pengarang, pembaca, dan kondisi sosial budaya dengan karya sastra.
C. Bentuk dan Sumber Data Sumber data utama dalam penelitian ini adalah kajian peneliti terhadap isi novel Perempuan Berkalung Surban yang menjadi sumber data objektif. Peneliti
75
juga mengadakan wawancara dan kuesioner terhadap beberapa pihak terkait dengan novel tersebut. Pertanyaan yang dikemukakan kepada narasumber adalah data-data yang sekiranya menunjang penelitian dan dapat digunakan sebagai data afektif. Hasil wawancara tersebut kemudian diolah untuk dijadikan bahan kajian penelitian. Sutopo (1996: 49-51) menyebutkan bahwa data dapat digali dari informan (nara sumber), peristiwa atau aktivitas, tempat atau lokasi, dokumen dan arsip. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dari berbagai sumber yang meliputi informan dan nara sumber, tempat, dan dokumen. 1. Informan Informan dalam penelitian ini adalah para santri yang tinggal dalam lingkungan pondok pesantren. Pemilihan informan dari kalangan santri dilakukan secara acak. Informan dari kalangan santri adalah Ni‟matussa‟diyah dan Lulik Khumaidiyah. Sedangkan narasumber genetik dalam penelitian ini adalah Abidah El Khalieqy selaku penulis novel Perempuan Berkalung Sorban. 2. Tempat Tempat yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah Pondok Pesantren Narukan yang bertempat di Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang. Tempat ini digunakan peneliti untuk menjawab semua masalah yang telah dirumuskan dalam bab I. Alasan pemilihan pondok pesantren tersebut adalah adanya kesamaan kultur antara pondok pesantren yang bersangkutan dengan setting yang digunakan oleh Abidah El Khalieqy dalam novel Perempuan Berkalung Sorban. Kesamaan kultur yang terdapat pada keduanya adalah pengaruh Nahdlatul Ulama yang masih sangat kental di dalamnya. Pengaruh tersebut terlihat pada sistem pendidikan dan beberapa kitab yang dipelajarinya. 3. Dokumen (arsip) Sumber data dokumen atau arsip dalam penelitian ini meliputi sumber data yang digunakan untuk kajian teori diperoleh dari dokumen atau arsip. Dokumen utama yang menjadi kajian adalah novel Perempuan Berkalung
76
Sorban. Dokumen-dokumen yang lain berupa buku-buku yang menunjang materi dan permasalahan yang dikaji serta tulisan dan artikel ilmiah yang didapat dari studi pustaka dan internet.
D. Teknik Pengumpulan Data Penulis mengunakan teknik pengumpulan data dengan metode content analysis atau analisis dokumen (H. B. Sutopo, 1996: 55). Metode ini diambil peneliti karena data utama yang dikumpulkan berupa teks-teks yang terdapat dalam novel Perempuan Berkalung Surban. Bagian-bagian yang dikaji secara mendalam dalam penelitian ini adalah: 1. Unsur intrinsik novel Perempuan Berkalung Surban; 2. Nilai-nilai kultur pondok pesantren yang terdapat dalam novel Perempuan Berkalung Sorban; dan 3. Unsur ekstrinsik novel Perempuan Berkalung Surban yang dilihat dari latar belakang, proses kreatif, dan sudut pandang penulis novel, yakni Abidah El Khalieqy. Selain itu, Penulis juga menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yang diusulkan oleh Sudaryanto (1993: 133-136), yaitu teknik simak libat cakap. Teknik ini berarti penulis juga berpartisipasi langsung di dalam wawancara yang terjadi. Selain itu, peneliti melakukan wawancara dengan mengacu pada pendapat Sutopo. Sutopo (2002: 59) menyatakan bahwa wawancara dalam penelitian kualitatif umumnya tidak dilakukan secara terstruktur ketat dan tidak dengan pertanyaan tertutup seperti dalam penelitian kuantitatif, tetapi dilakukan secara tidak terstruktur atau sering disebut sebagai teknik wawancara mendalam. Alat yang digunakan adalah perekam suara pada handpone. Alat ini digunakan untuk merekam percakapan antara peneliti dengan objek penelitian. Selain merekam, penulis juga menggunakan metode pencatatan untuk mendukung data rekaman.
77
E. Teknik Cuplikan Bentuk teknik cuplikan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Teknik ini dipilih karena dipandang lebih mampu menangkap kelengkapan dan kedalaman data dalam menghadapi realitas yang tidak tunggal. Pemilihan sampel diarahkan pada sumber data yang dipandang memiliki data yang paling erat berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Teknik cuplikan dalam penelitian ini berfungsi sebagai internal sampling karena tidak digunakan sebagai generalisasi populasi tetapi untuk memperoleh kedalaman studi di dalam suatu konteks tertentu. Teknik cuplikan tidak mewakili sebagai populasi namun mewakili informasi yang dibutuhkan. Sampling diterapkan pada santri putra maupun putri dan pengurus pondok pesantren. Semua informasi di tempat penelitian diharapkan mampu memberikan informasi yang lengkap dan objektif. Dalam penelitian ini informasi yang dipilih dapat berkembang menyesuaikan dengan kebutuhan dan kemantapan dalam memperoleh data.
F. Validitas Data Uji validitas data dilakukan dengan mengumpulkan data di lapangan yang kemudian dilanjutkan dengan melihat teori-teori yang telah berkembang di masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada. Untuk menentukan keabsahan sebuah data digunakan teknik triangulasi. Menurut Moleong (2001: 178) triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang berfungsi sebagai pembanding atau mengecek terhadap data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dari data itu. Moleong menambahkan (2001: 178) ada empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan, yaitu: (1) pemanfaatan menggunakan sumber; (2) metode; (3) penyidik; dan (4) teori. Dalam penelitian ini, uji validitas data yang digunakan adalah teknik triangulasi sumber dan teori dan review informan. Teknik triangulasi sumber data yaitu triangulasi yang mengarahkan peneliti agar di dalam mengumpulkan data wajib menggunakan beraneka ragam sumber data yang tersedia. Artinya, data yang sejenis atau sama akan lebih valid
78
jika diperoleh dari beberapa sumber data yang berbeda. Sedangkan triangulasi teori memungkinkan adanya banyak teori yang dapat digunakan untuk mendukung keabsahan sebuah penelitian. Review informan dilakukan dengan cara mengkonfirmasikan data atau interpretasi temuan kepada informan atau narasumber sehingga diperoleh kesamaan persepsi antara peneliti dan informan tentang data atau interpretasi temuan tersebut. Hal ini dilakukan dengan cara berdiskusi lebih jauh lagi atau dilakukan wawancara yang lebih mendalam lagi agar penafsiran secara sepihak oleh peneliti dapat dihindari.
G. Analisis Data Data utama yang dalam penelitian adalah teks novel Perempuan Berkalung Surban beserta kajian atas teks-teks tersebut. Sedangkan data yang diperoleh dari hasil rekaman dan catatan adalah berupa suara tuturan langsung objek penelitian dan cacatan tentang percakapan objek penelitian. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan interactive model of analysis atau model analisi interaktif oleh yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992: 15-21). Analisis ini melibatkan hal-hal berikut: 1. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan kajian pustaka dan teks novel Perempuan Berkalung Surban. Selain itu juga menggunakan data yang didapatkan dari wawancara dengan narasumber. 2. Reduksi Data Reduksi
data
adalah
proses
pemilihan,
pemusatan
perhatian
pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Proses ini berlangsung dengan cara menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulankesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.
79
3. Penyajian Data Penyajian data merupakan suatu rakitan oraganisasi informasi, desripsi dalam bentuk narasi yang memungkinkan simpulan penelitian dapat dilakukan. 4. Penarikan Simpulan Kegiatan analisis data yang keempat adalah menarik simpulan dan verifikasi. Makna-makna
yang
muncul
dari
data
harus
diuji
kebenarannya,
kekokohannya, dan kecocokannya, yakni yang merupakan validitasnya. Kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung. Secara lebih jelas model analisis data tersebut dapat disajikan dalam bagan berikut. Pengumpulan data
Reduksi data
Penyajian data
Penarikan simpulan/ verifikasi
Bagan 3. Analisis Interaktif (Miles & Huberman, 1992: 23)
Bagan di atas memperlihatkan bahwa proses analisis data mulai dilakukan dengan melakukan tahap pengumpulan data. Pengumpulan data ini dilakukan dengan mengumpulkan berbagai data yang diperlukan, meliputi: wawancara dengan narasumber, studi pustaka dan literature di perpustkaan serta pencarian
80
data melalui dunia cyber. Selain itu, analisis terhadap unsur intrinsik dan ekstrinsik novel juga mulai dilakukan pada tahap pertama ini. Proses selanjutnya adalah adanya pemaparan data serta pengurangan data jika diperlukan. Kedua tahap ini cenderung dapat dilakukan secara bersamaan karena ketika mereduksi data peneliti sekaligus meneliti data yang akan digunakan untuk selanjutnya atau tidak. Tahap penyajian dan reduksi data dapat dilakukan secara berulang-ulang sehingga pada akhirnya akan diperoleh data yang benar-benar diperlukan. Kesimpulan atau penilaian sementara juga dapat dilakukan selama ketiga proses di atas berlangsung sehingga akhirnya diperoleh kesimpulan atau penilaian akhir. siklus ini berjalan berputar dan memungkinkan terjadinya proses yang berkali-kali dilakukan untuk satu kegitan, baik itu pengumpulan data, pengumpulan data, reduksi data maupun verifikasi data.
81
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. DESKRIPSI DATA Perempuan selalu diidentikkan dengan segala sesuatu yang lemah dan membutuhkan perlindungan. Tidak ada masa bagi mereka untuk memiliki kekuasaan bahkan atas diri perempuan itu sendiri. Inilah yang mungkin menjadi dasar bagi budaya patriarki yang memasung perempuan dalam budaya dan hukum-hukum serta norma yang menempatkan mereka selalu dibelakang lelaki dan hanya menjadi rencang wingking saja. Ini jugalah yang kemudian menjadi keresahan bagi beberapa penulis wanita di Indonesia. Abidah El Khalieqy dengan novel Perempuan Berkalung Sorban-nya membidik tema ini dan mulai menulis untuk menemukan satu jalan sebagai usahanya melawan budaya patriarki yang telah berakar kuat terutama bagi para perempuan di Indonesia. Pada novel Perempuan Berkalung Sorban, Abidah menggunakan
latar
pondok
pesantren
sebagai
setting
tempatnya
yang
disempurnakan dengan suasana dan kondisi pesantren serta kebiasaan yang biasa dilakukan di pondok pesantren. Novel Perempuan Berkalung Sorban ini dianalisis dengan menggunakan kajian resepsi sastra. Kajian ini menempatkan peran pembaca pada sisi yang dominan. Peran dan pengetahuan pembaca digunakan peneliti untuk mengetahui sambutan pembaca terhadap novel yang bersangkutan. Sebelumnya, peneliti mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik sastra dalam novel Perempuan Berkalung Sorban terlebih dahulu dan latar belakang penciptaan novel yang kemudian dilanjutkan dengan tanggapan pembaca terhadap novel. Unsur-unsur intrinsik novel yang dibahas dalam penelitian ini meliputi tema, perwatakan, latar (setting), alur (plot), sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa. Pendeskripsian ini memudahkan peneliti untuk memahami novel yang bersangkutan lebih dalam. Penelitian ini juga dilengkapi dengan profil Abidah El Khalieqy sebagai penulis novel sekaligus proses kreatif novel Perempuan 81
82
Berkalung Sorban. Hal ini dikarenakan sedikit banyak background penulis mempengaruhi karya sastra yang dibuatnya. Wawancara yang dilakukan dengan narasumber genetik, yaitu Abidah El Khalieqy dan beberapa santri pada pondok pesantren digunakan peneliti untuk menjawab kondisi pondok pesantren yang digunakan sebagai setting novel yang bersangkutan. Wawancara dengan beberapa santri yang sudah tinggal cukup lama di lingkungan pesantren digunakan peneliti untuk mengetahui gambaran kultur di pondok pesantren salaf. Pondok pesantren salaf adalah pondok pesantren yang digunakan Abidah El Khalieqy sebagai latar tempat dalam novel Perempuan Berkalung Sorban. Selanjutnya, peneliti akan mendeskripsikan nilai-nilai yang terdapat dalam novel Perempuan Berkalung Sorban yang dapat digunakan sebagai bahan ajar alternatif dalam pembelajaran sastra di SMA. Selain itu, tanggapan pembaca yang didapatkan peneliti dari wawancara dan pembagian kuesioner digunakan peneliti untuk mengetengahkan penilaian pembaca mengenai novel Perempuan Berkalung Sorban. Pembaca diminta memberikan penilaian tentang isi novel dan kemampuan penulis terutama dalam mendeskripsikan kultur pesantren.
B. ANALISIS UNSUR INTRISIK NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN Analisis unsur-unsur intrinsik merupakan penelitian terhadap unsur-unsur internal karya sastra. Karya sastra yang menjadi objek penelitian di sini adalah novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy. Unsur-unsur intrinsik yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah tema, perwatakan, latar (setting), alur (plot), sudut pandang, dan amanat.
1. Tema Tema merupakan ide atau gagasan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. Secara sederhana, tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita, sesuatu yang menjiwai cerita, atau sesuatu yang menjadi pokok masalah dalam cerita. Tema merupakan jiwa dari seluruh bagian cerita.
83
Karena itu, tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita. Tema dalam banyak hal bersifat mengikat kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa, konflik serta situasi tertentu, termasuk pula berbagai unsur intrinsik yang lain. Perempuan Berkalung Sorban membidik tema lama yang sebenarnya sudah sering ditulis dan dibicarakan oleh penulis-penulis sebelumnya. Baik penulis laki-laki maupun penulis perempuan. Perbincangan masalah gender menjadi satu masalah yang selalu menarik untuk diperbincangkan atau sekadar dijadikan bahan diskusi dan Abidah menjadikan tema ini sebagai subject matter dalam novel Perempuan Berkalung Sorban yang pertama cetak pada tahun 2001 lalu. Novel Perempuan Berkalung Sorban menceritakan tentang tokoh Annisa yang hidup dalam lingkungan pesantren salaf dengan semua kebiasaan dan adat yang hidup di sana. Nuansa di pesantren masih mengukuhkan kekuatan laki-laki di atas perempuan dalam segala hal hingga perempuan seperti kehilangan kekuatan, bahkan untuk mengatur dan memiliki dirinya sendiri. Budaya patriarkal masih sangat kental dan terasa yang membuat perempuan-perempuan terlihat begitu lemah. Hal tersebut terjadi juga pada Annisa, anak pimpinan pesantren. Di sinilah Annisa kemudian hadir sebagai tokoh revolusioner yang ingin mengubah tradisi yang ada sekaligus memberikan pengetahuan kepada perempuanperempuan yang ada dalam pesantren bahwa menjadi perempuan juga harus cerdas dan tidak hanya sibuk dengan urusan dapur semata. Abidah El Khalieqy menggambarkan kondisi tersebut secara apik dengan sedikit sentuhan gaya bahasa sinisme. “Apapun yang terjadi…aku harus bisa. Aku mesti belajar naik kuda. Aku akan tetap belajar naik kuda. Naik kuda.” Tetapi impian tinggal impian. Setelah tragedy Rizal kecemplung Blumbang dalam pengembaraan kami, dua belas pasang mata santri diberi tugas mengamati aktivitas masa kanakku. Ruang bermainku mendapat pagar baru, lebih tinggi dan lebih sempit untuk cakrawala penglihatanku. Tanganku mulai dilatih memegang piring, gelas, sendok, wajan, dan api pembakaran. Bau asap membuatku pusing dan tersedak bertubi-tubi. Bau bawang dan sambal terong membuatku bersin-bersin. Sampai lidahku tak pernah bisa menikmati sarapan pagi, bahkan tak juga merasakan kebebasan ketika kedua tangan ini mesti kembali mencuci piring yang
84
dipenuhi minyak bekas makanan Rizal, Wildan, dan bapak yang terus saja duduk di meja makan sambil ngobrol dan berdahak. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 8-9) Kutipan di atas menunjukkan tentang posisi dan kondisi wanita yang hadir hanya untuk berada di belakang. Perempuan hadir untuk mengurusi permasalahan rumah tangga dan urusan dapur lainnya. Budaya patriarkal masih beranggapan bahwa perempuan tidak perlu dan tidak pantas untuk tahu lebih jauh tentang hal-hal yang berada di luar kawasan dapur dan rumah. Dengan gaya bahasa yang cenderung menilai sinis terhadap perlakuan yang dilakukan terhadap perempuan, penulis novel ingin mengatakan tidak ikhlasnya dia terhadap perlakuan yang diberikan kepada kaumnya. Abidah El-Khalieqy tidak hanya menghadirkan gambaran kondisi perempuan yang ada dalam dominasi laki-laki, tetapi juga menggambarkan tentang hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh kaum wanita. Bahwa, perempuan seharusnya menyuarakan hal-hal yang seharusnya menjadi haknya seperti pendidikan, persamaan kedudukan, dan penghormatan terhadap harga diri mereka sebagai sesame makhluk Tuhan. Novel Perempuan Berkalung Sorban lebih serius memfokuskan alur dan permasalahan cerita pada sosialisasi isu gender dan hakhak reproduksi perempuan di kalangan pesantren. Dengan makian itu, wajah Samsudin tampak puas. Menyeringai-ringai sambil mempertontonkan atraksi hewani seperti dua pegulat yang saling memburu kemenangan. Saling menjepit dan berganti-ganti dari segala sisi, segala posisi yang aneh-aneh dan menjijikkan. Perutku terasa mual melihatnya. Lalu buru-buru kuambil air wudhlu untuk menghapus semua kengerian dan abu busuk kebinatangan. Selesai sholat dhuhur, aku berzikir hingga sore baru keluar kamar, itupun karena kalsum menggedor-gedor pintu. Sementara samsudin telah pergi entah ke mana. Dan kini tinggal aku dan Kalsum yang berada dalam rumah ini. “Anis, maafkan aku tadi siang ya?” Pinta Kalsum. “Apanya yang harus kumaafkan, Mbak Kalsum?” …. “Seseorang tidak bisa disalahkan atau dibenarkan jika melakukan sesuatu dalam kondisi terpaksa. Tetapi kita harus memiliki sikap yang jelas terhadap sesuatu. Bukankah begitu, Mbak Kalsum?” (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 118-119)
85
Kutipan tersebut menegaskan bahwa sebagai seorang istri, perempuan pun memiliki hak dalam masalah yang berkaitan dengan reproduksi. Perempuan memiliki hak untuk menolak dan menerima ajakan suami untuk melakukan hubungan suami istri. Perempuan juga harus memiliki sikap terhadap perlakuan yang diberikan kepada mereka. Jika perempuan selalu berada dalam posisi manut dalam hal apaun itu maka posisi perempuan akan selamanya menjadi rencang wingking. Bagian yang lain dalam novel ini menceritakan tentang perjuangan Annisa untuk mendapatkan kesempatan yang sama seperti halnya kedua kakaknya yang berjenis kelamin laki-laki. Perjuangan Annisa ini selanjutnya menjadi semangat untuk Annisa melakukan perjuangan yang sama untuk perempuan-perempuan yang mengalami nasib serupa dengannya, yaitu penghargaan yang masih kurang terhadap kaum perempuan. “Apanya yang tabu, Lek. Bukankah Lek Umi juga punya hak untuk memintanya?” “Tetapi aku kan perempuan, nanti dia bilang apa?” “Dia akan bilang bahwa Lek Umi istrinya adanlah perempuan yang jujur, berani dan terbuka.” “Ah. Nggak mungkin. Boleh jadi ia akan bilang kalau aku ini perempuan gatal, pikirannya ke situ melulu. Ah! Nggak ah, Nis. Aku malu.” “Malu yang tidak pada tempatnya itu lebih bahaya daripada orang yang tidak punya rasa malu, Lek.” “Apa kau sendiri suka meminta duluan, Nis?” “Jika aku ingin, mengapa tidak. Mas Khudhori dan pembicaraan dalam komunitasku di organisasi banyak mengubah pandangan dan membentuk cara berpikirku, Lek. Kini baru dapat kurasakan bahwa ilmu telah memberikan banyak hal pada kita, terutama hak-hak kita juga kewajiban kita yang lebih haq dan proporsional.” “Aku tahu, Nis. Memang sejak dulu aku telah melihat kecerdasanmu saat kau mendebat kiai Ali. Dan ternyata benar. Apapun yang kau alami, semua dapat kau ambil hikmahnya. Kau tetap sekolah sekalipun sudah menikah dan kini kau masih juga kuliah. Pastilah telah banyak ilmu dan pengalaman yang telah kau kumpulkan untuk masa depanmu. Sejujurnya, aku cemburu sekali jika mengingat itu, Nis.” “Cemburu pada yang positif itu baik, Lek. Tetapi sekarang, yang lebih penting lagi adalah tidak menutup diri untuk masuknya ilmu. Bahwa hidup itu lapisan pengetahuan dan pengalaman. Dan waktu adalah belajar. Tak ada kata terlambat dan penyesalan juga bukan jalan penyelesaian. Bukankah begitu, Lek?” (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 263-264)
86
Kutipan tersebut menegaskan tentang cara-cara yang digunakan Annisa untuk berbagi ilmu dan pengalaman dengan perempuan-perempuan yang sekiranya bernasib sama dengannya. Diskusi dan obrolan-obrolan ringan yang dilakukan Annisa dengan tokoh lain dalam novel bertujuan untuk memberikan kesadaran akan arti penting posisi perempuan dalam masyarakat. Perempuan harus sadar dengan posisinya. Di sinilah kemudian perempuan memiliki keharusan, kewajiban, dan hak yang sama dengan laki-laki untuk belajar dan mendapatkan pengetahuan karena mereka juga memiliki peranan yang sama pentingnya. Abidah El Khalieqy menegaskan kembali lewat dialog-dialog yang dilakukan oleh para tokoh dalam novel bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan selain perbedaan kodrati semata.
2. Tokoh dan Penokohan Tokoh adalah individu ciptaan/rekaan pengarang yang mengalami peristiwa-peristiwa atau lakuan dalam berbagai peristiwa cerita. Sedangkan penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Ada dua metode penyajian watak tokoh, yaitu: a. Metode analitis/langsung/diskursif, yaitu penyajian watak tokoh dengan cara memaparkan watak tokoh secara langsung. b. Metode dramatik/tak langsung/ragaan, yaitu penyajian watak tokoh melalui pemikiran, percakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang. Bahkan dapat pula dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh. Analisis tokoh dan penokohan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban adalah sebagai berikut: a. Annisa Annisa adalah tokoh sentral atau tokoh utama dalam novel Perempuan Berkalung Sorban. Dia adalah gambaran wanita cerdas yang hidup dalam
87
lingkungan pesantren. Annisa sadar dengan posisi wanita yang seharusnya tidak hanya sibuk dengan urusan belakang saja sejak ia masih kecil. Seperti pagi yang lain, aku tak pernah mendapatkan kesempatan untuk berbicara lebih banyak. Kecuali bersiap diri dan berangkat bersama Rizal menuju ke sekolah yang tidak begitu jauh dari rumah kami. Di dalam kelas selagi aku masih merenung-renung perkataan Rizal, pak guru bahasa Indonesia menyuruhku mengulangi kalimat: A-yah per-gi ke kan-tor I-bu me-ma-sak di da-pur Bu-di ber-ma-in di ha-la-man A-ni men-cu-ci pi-ring “Ulangi sekali lagi, lebih keras dan jelas!” Perintah pak guru. “Bapak pergi ke kantor,” teriakku lantang kemudian terdiam. Aku berpikir sejenak kemudian bertanya, “apa ke kantor itu termasuk urusan laki-laki, Pak Guru?” Pak guru terkejut. Aku juga ikut terkejut. Demikian juga temantemanku. ... . ”Baiklah anak-anak,” pak guru mencoba menguasai suasana, “dalam adapt istiadat kita, dalam budaya nenek moyang kita, seorang lai-laki memiliki kewajiban dan seorang perempuan juga memiliki kewajiban. Kewajiban seorang laki-laki yang terutama adalah bekerja mencari nafkah, baik di kantor, di sawah, di laut atau di mana saja asal bisa mendatangkan rezeki yang halal. Sedangkan seorang perempuan, mereka memiliki kewajiban, yang terutama adalah mereka mengurus rumah-tangga dan mendidik anak. Jadi memasak, mencuci, mengepel, menyetrika, menyapu dan merapikan seluruh rumah adalah kewajiban seorang perempuan. Demikian juga memandikan anak, menyuapi, menggantikan popok dan menyusui, itu juga kewajiban seorang perempuan. Sudah paham, anakanak…?” …. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 10-12) Kutipan di atas menceritakan tentang pencarian Annisa atas hakekat hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan.
Sejak kecil di lingkungan
pesantren, Annisa mendapatkan perlakuan yang berbeda jika dibandingkan dengan dua kakaknya yang laki-laki. Pikiran-pikiran dan keinginan untuk mendapat perlakuan yang sama dengan kedua kakaknya selalu membuat Annisa memiliki pertanyaan-pertanyaan yang selalu mengejutkan orang yang ditanya baik itu gurunya, ibunya, atau temannya. Hal tersebut juga terlihat dalam kutipan berikut.
88
“Tapi aku ingin belajar naik kuda dan pergi ke kantor.” “Apa hebatnya naik kuda dan apa enaknya pergi ke kantor, Nisa?” “Jika aku naik kuda, semua orang mendongak ke arahku jika bicara denganku. Aku juga bisa memimpin pasukan perang seperti Aisyah atau Putri Budur, sehingga laki-laki perkasa menjadi tunduk di belakangku,” aku tertawa geli, “dan jika aku pergi ke kantor, bajuku wangi dan rapi tidak seperti Lek Sumi yang seharian di dapur, badannya bau dan bajunya kedodoran. Jika aku ke kantor, semua orang melihatku dengan hormat, tidak menutup hidung jika aku lewat seperti mereka menutup hidung dekat lek Sumi, karena bau bawang dan terasi. Dan di akhir bulan aku menerima gaji.” “Ssst! Nggak baik berkata seperti itu. Semua pekerjaan itu ada resikonya. Ke kantor pun ada resikonya. Misalnya dimarahi bos, kalau musim hujansuka kahujanan… . “Tetapi jika aku ke kantor, siang hari sudah pulang dan setibanya di rumah tinggal santai sambil nonton televise. Kalau hari minggu bisa rekreasi, memancing ikan di sungai Kajoran atau Kaliangkrik, bisa naik kuda seperti Rizal dan Wildan. Iya kan, Bu?” (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 15-16) Abidah
El
Khalieqy
menggambarkan
sosok
Annisa
melalui
percakapan-percakapan yang dilakukan dengan tokoh lain dalam novel lain atau lewat pemikiran-pemikiran yang dimiliki oleh Annisa. Beberapa contoh percakapan tersebut antara lain. “Bagaimana jika kenyataannya ada seorang isteri yang terbuka dan mengajak lebih dulu dan tidak suka bersikap menunggu.” “Perempuan seperti itu biasanya tidak disukai laki-laki karena terlalu agresif. Nanti laki-laki bisa minder menghadapinya. Sebaiknya seorang isteri adalah pemalu dan bersikap menunggu.” “Tetapi menunggu sampai kapan, Pak Kiai?” Semua terkesima lalu gerr. Ustadz Ali ikut tersenyum lalu gelenggeleng kepala… . “Kira-kira sampai kapan? Tentu saja sampai suami berkenan mengajaknya,” jawabnya enteng, sembari berdehem dua kali. “Bagaimana kalau suami tidak pernah berkenan karena sudah puas dengan dirinya sendiri atau berselingkuh, misalnya?” (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 80-81) Kutipan di atas menampilkan keberanian Annisa untuk tidak segansegan bertanya dan mendebat kiai sekalipun jika pendapatnya diyakini benar. Annisa meyakini bahwa ada yang salah dengan penafsiran yang dilakukan oleh para kiai yang hidup dalam lingkungan pesantren selama ini dan terus
89
diajarkan kepada para santri. Kesalahan tersebut membuat kondisi perempuan yang ada dalam lingkungan pesantren tidak mendapat perlakuan yang seharusnya bisa mereka dapatkan sebagai perempuan. Kesalahan ini juga berakibat pada kesalahan pandangan perempuan yang hidup dalam lingkungan pesantren yang masih dilungkupi dengan kekangan budaya patriarchal yang masih begitu kental. Perempuan-perempuan itu kemudian berpendapat bahwa mereka memang sudah berada pada takaran yang sebenarnya. Sikap nrimo dan pasrah inilah yang membuat mereka semakin erat berada dalam kungkungan patriarkal. Keadaan yang seperti inilah yang ingin diubah oleh Annisa. Annisa memperlihatkan bahwa perempuan harus berani bertindak jika hak mereka sebagai perempuan tidak diberikan, bahkan kepada suaminya sendiru. Ia ingin menegaskan bahwa perempuan punya hak untuk menyuarakan hal yang dinginkan dan tidak diinginkannya. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut. “Itu namanya egois, Mbak. Tidak memperhatikan kondisi jiwa istrinya.” “Memang benar dia itu egois. Jika kau sedang tidak siap, apa kau menolaknya, Anis?” “Itulah masalahnya, Mbak. Dari kitab yang pernah kupelajari, emnolak ajakan suami adalah kutukan. Aku belum tahu dengan jelas alas an dan dalil-dalil yang menguatkan pernyataan itu, juga kesahihan hadisnya. Sepertinya, hadis Nabi itu juga tidak menjelaskan berbagai kemungkinan. Jadi…dalil itu sangat lemah untuk menjawab berbagai persoalan di sekitar masalah itu.” …. “Apa kau pernah merasa kesakitan?” “Bukan hanya pernah, Mbak, tetapi selalu, selalu sakit. Memang sampai sekarang aku belum berani menyatakan penolakanku secara lisan, sebab aku sendiri belum emndapatkan kejelasan tentang hukumnya. Tetapi tubuhku, seluruh bagian dari tubuhku telah melakukan penolakan itu dengan bahasanya sendiri. Terlebih lagi jiwaku. Jika Samsudin merasa dan mengaku telah menguasaiku, itu bohong belaka. Secuil pun aku tak pernah menerima dirinya ke dalam diriku. Aku juga tak pernah merasakan, apa benar Samsudin mencintaiku. Kurasa ia hanya membutuhkanku.” (Perempuan Berkalung Sorban, 2009:138-139) Secara tegas Abidah El Khalieqy juga memberikan gambaran tentang ikhwal perbedaan kodrati antara laki-laki dan wanita lewat percakapan para
90
tokoh. Annisa sebagai perwakilan dari pemikiran dan gagasan pengarang ikut berperan dalam percakapan tersebut. “Apa semua pekerjaan rumah tangga, Lek Umi sendiri yang menangani? Bukankah Lek Mahmud juga suka turun tangan?” “Paling-paling yang dikerjakan Mas Mahmud hanya menyuapi Sania kalau pagi. Selebihnya aku semua yang mengerjakan. Kau bisa bayangkan betapa capeknya, dari mencuci baju dan perabot di dapur, menyapu, mengepel, emamasak dan menyeterika. Kadang-kadang Mas Mahmud mau juga menyetrika , jika kebetulan Sania rewel dan minta bersamaku. “Wah, Nis, tak terbayangkan repotnya punya anak tanpa PRT.” “Sebenarnya lek Umi tidak usah terlalu repot dengan semua itu, karena sebenarnya tugas merawat anak adalah tanggung jawab suami. Jadi memandikan, menyiapkan makanan dan menyuapi bkanlah kewajiban Lek Umi. Juga misalnya lek Umi tidak berkenan untuk menyusuinya, karena terlalu berat dengan tugas-tugas rumah tangga yang lain, maka lek Mahmud harus mencari seorang ibu susu dan dia harus memberi honor yang pantas untuknya. Semua itu adalah kewajiban suami, Lek. Lagipula, bukankah dulu sebelum punya anak, lek Umi sendiri yang memutuskan ingin punya anak?” “Memutuskan ingin punya anak, aku yang memutuskan, kau ini bicara apa, Nis?” “Lek, lek, bukankah seorang anak itu lahir dari rahim perempuan. Dikandung sembilan bulan dan selama itu sang janin memakan saripati makanan dari ibunya. Dan al-quran mengatakan bahwa kondisi ibu hamil itu wahnan „ala wahnin, derita di atas derita, semakin hari semakin payah dan berat nian. Dan semua itu, perempuanlah yang merasakan dan bukan laki-laki. Maka alangkah anehnya jika yang akan mengalami semua itu perempuan dan ternyata dia tidak dilibatkan dalam mengambil keputusan.” (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 265-266) Percakapan yang dilakukan tokoh Annisa tersebut memberikan keterangan yang baru terhadap pembaca bahwa perempuan wajib dilibatkan dalam keputusan untuk reproduksi. Wanita memiliki hak penuh dalam wilayah reproduksi karena yang akan menjalani semua proses tersebut adalah perempuan itu sendiri. Pengetahuan ini masih minim dimiliki oleh perempuan pada umumnya dan inilah yang menjadi misi Abidah sebagai penulis. Yakni ingin memberikan penerangan mengenai pembaca mengenai hal tersebut.
91
Selain memiliki karakter penokohan yang cerdas, keras kepala, semangat, kerja keras, Annisa juga memiliki karakter yang lembut dan kasih sayang terhadap keluarganya (suami dan anaknya). Kelahiran anak kami telah merekat tali kasih sepanjang usia. Begitu nafas jiwaku berkata dalam kelelapan. Saat tersadar dari lelapku, bayi itu telah terbungkus rapi, tidur di sampingku. Setelah bidan dan perawat memberekan urusanku, kami pindah dari ruangan melahirkan menuju kamar yang kami pesan. Sepanjang malam itu, kakiku terasa pegal dan linu dan minta dipijiti terus menerus. Mas Khudhori memijatku sembari membicarakan rencana kami untuk memanggil nama bayi kami saat aqiqah kelak, seminggu lagi. Sekalipun sakit dan lelah, kebahagiaan membayang di seluruh ruangan itu, terutama di wajah mas Khudhori. Sebentar-sebentar dia akan menengok bayi kami dan meneliti seluruh anggota badannya. Dengan senyumsenyum, ia membandingkan segi-segi persamaan antara kami bertiga. …. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 294-295) Annisa adalah seorang istri yang sangat mencintai suaminya, bahkan ketika Khudhori telah meninggal. Rasa cinta Annisa kepada Khudhori masih tertanam dalam jiwanya menemani Annisa sampai akhir hidupnya. Dan cinta itu menemani Annisa dalam perjuangannya untuk membangkitkan kembali posisi perempuan dalam masyarakatnya. Lalu kutatap Mahbub dan kubawa ia mendekati bapaknya, menjabat tangannya dan mencium keningnya. Dingin. Saat menatap wajahnya, aku tak tahan oleh getar kesadaranku sendiri yang baru lahir, bahwa kami akan berpisah, seperti ketika bapak mengusirnya dari rumah kami dahulu, seperti ketika ia akan berangkat menuju Kairo. Tetapi keberangkatannya kali ini, akan merentang jarak penantianku yang begitu panjang, entah kapan kami dapat bertemu kembali. Kemudian, sekali pun berusaha kutahan, airmataku berlinangan. Namun tak satupun kata ratapan kuucapkan. Tubuh yang beku itu, menyiratkan senyum dan wajah kemenangan, menegaskan sikapnya dalam hidup yang pantang menyerah oleh gempuran fitnah dan cobaan. Dan senyum itu membakar semangat hidupku untuk tetap bangkit, berdiri dengan tegar di tengah gelombang yang menerpa, seganas apa pun. Memandanginya membuat energiku terpompa. Melihat masa depan dan Mahbub-ku, Mahbub kami yang menjernihkan mataku dari debu dan mendung dunia. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 313-314)
92
b. Khudhori Khudhori adalah tokoh utama laki-laki dalam novel Perempuan Berkalung Sorban. Ia adalah gambaran dari laki-laki muslim yang menempatkan
perempuan
pada
posisi
yang
seharusnya.
Khudhori
menghormati dan menghargai perempuan pada nilai-nilai kodrati mereka. Pendidikan Khudhori yang memiliki latar belakang pesantren tidak memiliki pandangan yang sama dengan kiai dan teman-temannya yang memiliki latar belakang pondok pesantren juga. Kecerdasan Khudhori berperan dalam pemikirannya karena ia tidak menerima secara utuh ajaran yang dia dapat tetapi membuat relevansinya dengan kehidupan sekarang. Memang, berbeda dengan para pemuda di desa, selain cerdas dan berwawasan luas, lek Khudhori memiliki kebiasaan yang agak aneh. Bagaimana tidak, sambil memancing pun, lek Khudhori suka berteriak mengucapkan kata-kata yang belum pernah kudengar sebelumnya. …. Dan ketika aku bertanya tentang apa yang sedang diteriakkannya dengan semangat, ia menerangkan berbagai hal yang berkaitan dengan sastra. Sehingga aku tahu bahwa lek Khudhori suka pada puisi, bahkan juga mengenal nama-nama penyair dunia yang terkenal. “Lalu, puisi siapakah yang kau baca keras-keras itu, Lek? Apa kau menyukainya?” “Mau tahu? Itu puisinya Rumi. Jalaluddin Rumi, Nisa. Aku menyukai puisi-puisi Rumi karena kata-katanya sangat indah dan sepertinya mewakili perasaanku.” (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 26-27) Kutipan tersebut memberikan penjelasan secara analitik dan dramatik tentang karakter dan penokohan Khudhori. Gambaran yang jelas tentang karakter tokoh ini disajikan Abidah El Khalieqy lewat beberapa pilihan katanya. Pandangan tokoh lain pun menjadi pilihan Abidah untuk menggambarkan karakter Khudhori bahwa ia berbeda dengan pemuda lain yang mendapatkan latar belakang yang cenderung sama. Hal ini terjadi karena dalam perkembangan pendidikannya Khudhori mendapatkan pendidikan dalam jenjang yang lebih tinggi. Khudhori yang bersentuhan dengan dunia pengetahuan yang lebih luas (Al Azhar di Mesir dan pendidikan di Jerman) membuat pandangannya lebih luas terhadap segala sesuatu.
93
Khudhori yang sempat mengenyam pendidikan di luar negeri dan mengenyam pendidikan dari Barat tidak lantas membuatnya melupakan ajaran agamanya. Islam masih mengakar kuat pada dirinya. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut. “Jangan, Lek. Kumohon. Jika ada yang melihat kita, namamu berubah jadi hitam sampai jarak seribu mil. Berputar-putar dibawa angina usil ke penjuru kampong.” Ia tertawa dan menjawab dengan mantap. “Tetapi jika benar ada yang lihat, nasibmu bakal berubah melompati jarak lebih dari seribu mil.” “Itu benar. Bapak akan menghardikku seperti anjing dan Samsudin akan menjatuhkan talak tiga. Betapa mudah sesungguhnya.” “Apanya yang mudah, Nisa?” “Mengubah segala sesuatu.” Aku menerawang. Lek Khudhori tercekat melihat bayangan nekat di wajahku. Menyaksikan setan sekaligus malaikat yang menempel di bola mataku. “Lakukan, Lek. Cumbuilah aku dan biarkan mereka semua melihatnya.” “Nisa!!” Lek Khudhori terhenyak. Ia melepaskanku dan membelai-belai kepalaku dengan kasih saying seorang ibu, seorang kakak, seorang manusia yang bijaksana. “Kuatkan hatimu, Nisa. Jangan sampai lepas kendali. Semuanya akan kita atasi bersama. Kau paham kan? Sekarang, sebaiknya kau istirahat di kamar dan besok kita akan bicara.” (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 156-157) Kutipan tersebut menceritakan tentang Khudhori yang masih teguh memegang ajarannya bahwa melakukan hubungan yang tidak disadari dengan ikatan pernikahan adalah sebuah dosa. Meskipun Khudhori sangat mencintai Annisa sejak ia masih kecil tapi rasa itu masih dapat dikendalikannya karena kuatnya ajaran Islam menempel pada tingkah lakunya. Khudhori juga bukan laki-laki yang tertutup dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Pikirannya yang cerdas membuat ia terbuka dengan perkembangan teknologi, termasuk pada hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan bayi tabung yang sampai saat ini masih menuai kontroversi. Abidah El Khalieqy sebagai pengarang menceritakan secara apik karakter
94
yang terdapat pada Khudhori lewat percakapan yang dilakukannya dengan Annisa, istrinya. “Yah… Jika kita ingin punya anak dan ternyata kita mandul, kita bisa memungut anak dari panti asuhan, misalnya, atau… kita coba inseminasi bayi tabung, jika kita setuju.” “Inseminasi bayi tabung?” “Mengapa tidak. Kemajuan ilmu pengetahuan dan kedokteran juga perlu kita coba, jika ternyata bermanfaat. Para pakar berpendapat bahwa upaya bayi tabung adalah untuk membantu para suami istri yang mengalami kemandulan.” “Tetapi bagaimana hukumnya menurut Islam, Mas, apa masyarakat di sini juga sudah banyak yang mencoba inseminasi bayi tabung?” “Banyak sih tidak. Sebab kemandulan sendiri kan sedikit juga yang mengalami. Tetapi telah ada beberapa keluarga yang mencoba dan ternyata berhasil. Sementara mengenai hukumnya, sejauh yang mas ketahui, jika menggunakan buahan di luar tubuh antara semen suami dengan ovum istri dan diinplantasikan dalam rahim (rahim resipien) istri atau dikenal juga dengan sebutan IBS, yaitu inseminasi buatan dengan suami sendiri, hukumnya boleh-boleh saja. Sebab ada yang menganalogkan dengan anak kandung biasa, hanya prosesnya tidak dengan hubungan seksual.” “Lalu yang dilarang seperti apa, Mas.” “Jika semen dari laki-laki lain atau donor, ada yang menganalogkan dengan anak zina karena tidak jelas siapa ayahnya. Dan bayi dengan proses ini nasabnya hanya pada ibunya dan tidak pada ayahnya”. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 250-251) Kutipan di atas mendeskripsikan Khudhori sebagai sosok laki-laki cerdas yang selalu mempertimbangkan sesuatunya secara bijaksana. Di sisi lain, pembaca juga dapat melihat Khudhori sebagai suami yang selalu memperhatikan dan mempertimbangkan pendapat Annisa, istrinya. Dalam setiap langkah yang diambil yang berhubungan dengan kelangsungan rumah tangga, dia selalu menanyakan pendapat Annisa agar terjadi mufakat antara keduanya dan menghindari kesalahpahaman di kemudian hari. Abidah menggambarkan contoh yang bagus dalam kehidupan rumah tangga lewat tokoh-tokoh yang diciptanya. Khudhori adalah laki-laki yang dipenuhi dengan sikap bijaksana, lemah lembut, sekaligus kasih sayang dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Sikap Khudhori dengan Samsudin yang pernah menyiksa Annisa
95
pun masih berada dalam batas kewajaran, bahkan cenderung menghormati. Hal tersebut karena pekerti baik yang dimiliki oleh Khudhori yang mudah memaafkan orang yang pernah bersalah sekaligus sifat khusnudzon yang dimiliki oleh Khudhori. Gambaran ini dapat pembaca rasakan dalam kutipan berikut. Di dalam mobil aku bertanya kepada mas Khudhori, apa Samsudin menanyakan tentang Mahbub kepadanya. “Untuk apa, Nisa? Tanya atau tidak, jelas ia sudah tahu kalau Mahbub anak kita.” “Paling tidak, aku ingin mendengar nada kekalahan paling akhir dari mulutnya.” “Siapa tahu ini bukan yang terakhir.” “Apa maksudmu, Mas?” “Iya. Perjalanan kehidupan Samsudin kan masih panjang, saying. Apa yang terjadi antara kalian hanyalah permulaan baginya. Siapa tahu, hanya Tuhan kan?” “Tetapi aku telah melihat banyak dari matanya, tadi sewaktu kalian sedang bercakap-cakap.” “Apa yang kau lihat, Nisa?” Mas Khudhori meledek. “Ia sinis sekali melihatmu. Pandangan matanya berkobar-kobar dengan dendam dan amarah. Apa Mas tidak melihatnya?” “Ah, itu hanya perasaanmu saja. Kau melebih-lebihkan, Nisa.” “Tidak! Ia pasti masih menaruh dendam pada kita, Mas. Terlebih setelah melihat Mahbub, kedengkiannya mencapai puncaknya.” “Nisa, istghfar! Nggak baik terus menerus su’udzon kepada orang lain. Sudahlah! Semuanya sudah berlalu kan?” (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 303-304)
c. Samsudin Samsudin adalah tokoh dalam novel Perempuan Berkalung Sorban yang merupakan gambaran dari laki-laki yang tidak menghargai posisi wanita. Samsudin menganggap bahwa wanita hanya makhluk yang diciptakan untuk memuaskan laki-laki dalam hasrat seksual dan mengurusi keperluan dapur belaka. Perangai buruk Samsudin terlihat pada semua dialog yang dilakukan dengan tokoh yang lain. Samsudin memiliki watak yang tinggi hati dan cenderung meremehkan Annisa sebagai istrinya. Sikap sombong juga dimilikinya dan terasa sangat kental pada setiap ungkapan yang disampaikannya.
96
“Kepalaku sudah penuh dengan ilmu. Jadi jangan tambah lagi dengan sesuatu yang tidak berguna dari mulutmu, nanti bisa pecah.” “Kupikir yang memenuhi kepalamulah yang tak berguna, bukan sesuatu yang keluar dari mulutku.” “Kau ini lulusan SD berani bertingkah. Tak bisa kubayangkan jika lulus sarjana, Tuhanpun pasti kau debat juga.” “Jika mungkin, mengapa tidak? Besok aku mulai kembali sekolah dan suatu saat akupun sarjana, di manabukan hanya kepala dan otakku akan dipenuhi ilmu, tapi juga hatiku yang dapat menentukan, mana sampah dan mana mutiara.” Ia tertawa dengan pura-pura dan berlalu dengan muka kecewa. “Samsudin!” teriakku “Panggil aku „mas‟!” “Tetapi Aisyah hanya memanggil –yaa Muhammad- kepada Nabi.” “Lalu?” “Beliau mendiamkannya. Berarti ini sunnah. Dan aku menyukai sunnah nabi.” Ia geleng-geleng kepala dan dengan tergesa seakan hendak menimpukkan batu di atas kepala untuk kedua kalinya, ia berlalu dengan wajah lebih keruh dari air bekas cucian. Akupun tergelak karena telah mampu menghalaunya dengan kebenaran yang menyesakkan dadanya. Ia laki-laki yang selalu tak tahan dengan kejujuran dan suara kebenaran. Suara-suara itu seperti bunyi halilintar di tengah malam, ketika seseorang tengah bersembunyi di antara gulitanya. Benar-benar menakutkan. Tetapi ketinggian hatinya menjadikan ia seakan-akan melecehkan semua halilintar itu. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 100-101)
Kutipan tersebut menegaskan tentang perangai Samsudin yang merasa bahwa dirinya berada di atas Annisa baik dari segi ilmu maupun kekuasaan. Samsudin yang merupakan lulusan sarjana meremehkan suara kebenaran dari Annisa yang hanya lulusan SD. Sikap congkak yang sudah melebihi kadarnya membuat Samsudin sudah tidak mampu lagi membedakan kebenaran dan kebatilan yang ada dalam hidup. Sebagai seorang suami, Samsudin juga tidak memiliki sifat yang pengasih kepada istrinya. Seorang istri diperlakukan Samsudin hanya sebagai pemuas hawa nafsu semata. Perlakuan yang tidak senonoh seringkali diberikan kepada Annisa ketika melakukan hubungan suami-istri. “Berikan selimut itu untukku,” aku meminta. Ia hanya mendengus sekali dan menjalarkan api nafsunya.
97
Aku mau selimut, Samsudin!” Teriakku menderita. “Untuk menyelimuti apa, Annisa. Apa kau ingin menyembunyikan sesuatu dari pandanganku. Memangnya aku ini siapa, hah…?!” “Bener, kau ingin tahu siapa dirimu?” “Katakan! Siapa aku ini. Ayo katakana!” “Keledai! Kau keleedai! Dan keledai tidak membutuhkan selimut untuk menutupi tubuhnya. Jadi masalahnya, aku bukan keledai sepertimu, sebab itu aku membutuhkan…..” Plak!Plaakk!! Ia menampar mukaku bertubi-tubi hinga pipi dan pundakku lebam kebiru-biruan. Untuk kali pertama kucakar wajahnya dan ia membanting badanku ke lantai. Bunyi gedebug dan suara berisik di kamar membuat Mbak kalsum curiga. Ia menggedor pintu dengan ketakutan dan Samsudin membentaknya. Seperti keledai tanpa pakaian, ia melenggang kamar dengan tenangnya. Melewati Kalsum dan putri mereka, Fadilah. Sampai anak kecil itu terlongong-longong seakan tengah menyaksikan unta budukan di tengah sahara. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 131-132) Kutipan tersebut menunjukkan oontoh perlakuan yang diberikan Samsudin kepada istrinya. Pukulan dan makian yang tidak seharusnya diberikan Samsudin kepada Annisa, bahkan ketika melakukan hubungan seksual. Perilaku Samsudin tersebut membuat Annisa merasa tidak dihormati dan
berakibat tidak menghormati Samsudin sebagai suaminya. Dalam
kacamata Annisa, Samsudin hanyalah laki-laki yang menginginkan tubuhnya saja untuk memuaskan hawa nafsunya belaka. Samsudin juga bukan seorang yang senang dengan kebahagiaan yang dirasakan oleh orang lain. Annisa yang merasakan kebahagiaan setelah bercerai dengannya bahkan masih belum bisa hidup dengan tenang karena sosok Samsudin masih menghantui. Fitnah dan gunjingan pun Samsudin hadirkan untuk membuat hidup Annisa dan Khudhori menjadi tidak tenang. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut. Sepulang mereka, aku tercenung sendirian memikirkan perjalanan nasibku yang terus berubah. Dari cerita mas Khudhori yang disampaikan ibu kepadanya, kuketahui bahwa Samsudin lah yang meniupkan berita mengenai pernikahan fiktif mas Khudhori di luar negeri. Kepada mas Saipul dan beberapa teman dekat mas Khudhori, ia meniupkan berita itu dengan tambahan, bahwa aku mandul dan mengkhianatinya. Aku tertawa mengingat semua tingkahnya yang kekanak-kanakan. Sejak mengandung
98
ini, rasanya tak ada lagi yang bisa menggertakku dengan tuduhan frigid, mandul ataupun pengkhianat. Sebab semuanya telah terukti nonsense. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 289-290)
Usaha-usaha yang tidak terpuji pun dilakukan Samsudin untuk menghilangkan kebahagiaan Annisa, yaitu dengan memisahkan Annisa dengan Khudhori, suaminya. Usaha ini terlihat pada bagian akhir novel Perempuan Berkalung Sorban. Sekalipun suara-suara itu mengatakan, bahwa Samsudin lah yang menabrak mas Khudhori hingga menyebabkan ia diopname dalam rumah sakit, yang belum juga kuketahui secara pasti kapan sembuhnya, aku tak perlu menyimpan dendam kepadanya atau kepada siapa pun. Hidup dan mati sepenuhnya di Tangan Allah, dan jika kami harus berpisah, sebab Allah memang menghendaki yang demikian. Ia lebih tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Ia Maha Adil. Sekalipun keadilannya memerlukan rentang waktu yang panjang untuk dapat dipahami. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 307-308)
d. Kyai Haji Hanan Abdul Malik Haji Hannan adalah Bapak dari Annisa. Dia adalah pendiri pondok pesantren yang bercita-cita untuk mendidik remaja putri agar menjadi kaum muslimah yang berguna bagi negara dan bangsa. Sosok Kyai Hanan mewakili sosok kyai yang kolot dengan ajaran Islam dan cenderung menerima ajaran Islam secara tekstual semata. Telaah yang dilakukannya dengan kyai-kyai yang lain hanya terbatas pada terminologi tanpa membahasnya lebih dalam pada aspek relevansi. Hal inilah yang membuat Kyai Hanan menjadi sosok yang tidak bijaksana dalam langkah yang diambilnya. Sebagai seorang Kyai, dia juga tidak melakukan perlakuan yang semestinya kepada putrinya, Annisa. Kesenjangan perlakuan terlihat jelas antara Annisa dengan dua saudara lakilakinya. Budaya patriarkal masih kental mempengaruhi pola pikirnya. “Siapa yang mau belajar naik kuda? Kau, bocah wedhok?” “Iya. Memangnya kenapa, Pak? Tidak Boleh? Kak Rizal juga belajar naik kuda.” “Ow…ow…ow… jadi begitu. Apa Ibu belum mengatakan padamu kalau naik kuda hanya pantas dipelajari oleh Kakakmu Rizal, atau Kakakmu Wildan. Kau tahu, mengapa? Sebab kau ini anak perempuan,
99
Nisa. Nggak pantas, anak perempuan kok naik kuda, pencilakan, apalagi keluyuran mengelilingi ladang, sampai ke blumbang segala. Memalukan! Kau ini sudah besar masih bodoh juga, hehh!!” Tasbih bapak bergerak lamban, mengena kepalaku. “Sudah, sudah. Sekarang mandi sana. Kau Rizal. Kau juga Nisa.” Suara ibu menyela sambil mendekati kami berdua, memberi keputusan yang adil. Beberapa santri putrid yang berada di ddekat pintu, kembali masuk ke ruang dapur. Bapak dan Ibu meninggalkan kami dalam kamar mandi. Dua santri mendekati kami dan membereskan kaleng-kaleng yang berserakan. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 7) Namun, sebagai seorang bapak, Kyai Hanan memiliki kasih sayang layaknya orang tua kepada anaknya. Hal ini terlihat ketika Kyai Hanan mengetahui perlakuan yang diterima Annisa dari Samsudin. Kyai Hanan mengakui bahwa kesengsaraan yang dialami Annisa sedikit banyak karena sikap Kyai Hanan yang menjodohkan Annisa tanpa mempertanyakan kepada Annisa terlebih dahulu berkenan atau tidak. Aku gugup dan tidak tahu dari mana memulainya. Ibu menuntunku dengan membuka sedikit permasalahan yang telah kuceritakan kepadanya. Lek Khudhori menambahkan beberapa masalah yang penting-penting saja, kemudian baru aku menyambungnya dengan pesristiwa-peristiwa yang kiranya belum pernah kuceritakan pada keduanya, baik ibu dan lek Khudhori. Bapak memandang Rizal dan Wildan yang terlongong menatapku tak percaya. Aku tak tahu apa yang tengah mereka pikirkan setelah ikut mendengar problem rumah tangga yang sedang kuhadapi. “Bapak tak menyangka. Ini benar-benar pelik. Kiai Nasiruddin, Bapak mertuamu itu adalah sahabat terbaik dan paling dekat dengan Bapak semasa kami sama-sama moncok di Tebuireng. Saat Bapak kehabisan uang dan kiriman belum datang, beliaulah yang sering meminjami uang. Beliau itu orangnya baik, dermawan, tidak suka menyakiti hati orang, apalagi istrinya sendiri. Bagaimana bisa anaknya menjadi seperti itu. Jika semua ini terungkap di hadapannya, aku tak tahu bagaimana reaksinya.” “Apapun reaksinya, Pak, kita harus menyelesaikan masalah ini secara kekluargaan. Demi Nisa. Bapak harus membicarakan masalah ini dengan Kiai Nasir,” ibu mendesak. “Tentu saja, Bu. Masalahnya bukan aku mau atau tidak mau. Ettapi aku sedang berpikir, kira-kira apa dampaknya untuk persahabatan kami selanjutnya.” (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 183-184)
100
Kutipan di atas memperlihatkan sikap Kyai Hanan terhadap kedukaan yang dialami putrinya yang nelangsa karena sikapnya dan dia berusaha memperbaiki sikapnya dengan mencarikan jalan keluar untuk putrinya, Annisa.
e. Hajjah Mutmainah Tokoh ini adalah gambaran dari wanita Jawa yang hidup menurut apa yang telah digariskan. Seperti wanita awam pada umumnya, ia hidup dengan aturan-aturan yang sudah pasti. Hajjah Mutmainah yang berperan sebagai Ibu Annisa berpendapat bahwa wanita harusnya hidup nerimo sesuai dengan kodratnya. Pekerjaan rumah tangga adalah hal yang wajib dikerjakan oleh seorang wanita sebagai seorang istri dan ibu kelak. Sikap pasrah yang terlalu berlebihan inilah yang sering didebat oleh Annisa. Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut. “Tapi aku ingin belajar naik kuda dan pergi ke kantor.” “Apa hebatnya naik kuda dan apa enaknya pergi ke kantor, Nisa?” “Jika aku naik kuda, semua orang mendongak ke arahku jika bicara denganku. Aku juga bisa memimpin pasukan perang seperti Aisyah atau Putri Budur, sehingga laki-laki perkasa menjadi tunduk di belakangku,” aku tertawa geli, “dan jika aku pergi ke kantor, bajuku wangi dan rapi tidak seperti Lek Sumi yang seharian di dapur, badannya bau dan bajunya kedodoran. Jika aku ke kantor, semua orang melihatku dengan hormat, tidak menutup hidung jika aku lewat seperti mereka menutup hidung dekat lek Sumi, karena bau bawang dan terasi. Dan di akhir bulan aku menerima gaji.” “Ssst! Nggak baik berkata seperti itu. Semua pekerjaan itu ada resikonya. Ke kantor pun ada resikonya. Misalnya dimarahi bos, kalau musim hujansuka kahujanan… . “Tetapi jika aku ke kantor, siang hari sudah pulang dan setibanya di rumah tinggal santai sambil nonton televise. Kalau hari minggu bisa rekreasi, memancing ikan di sungai Kajoran atau Kaliangkrik, bisa naik kuda seperti Rizal dan Wildan. Iya kan, Bu?” “Sudah…sudah, Nisa. Kau ini ngomongnya suka ngelantur. Lebih baik ganti pakaian, lalu makan. Dan jangan lupa, belajar baca al-quran, kemudian shalat berjamaah di masjid, sekalian ikut pengajian siang.” (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 15-16)
101
Hajjah Mutmainah juga memiliki karakter keibuan yang mendominasi pada setiap perkataan dan sikap yang dilakukannya. Sebagai seorang ibu, ia memberikan pengertian kepada Annisa bagaimana menjadi perempuan seutuhnya menurut pemikiran yang dilingkupi budaya patriarkal. Hajjah Mutmainah selalu memberikan jawaban dan pengertian kepada Annisa meskipun tidak pernah memuaskan hati putrinya karena perbedaan pandangan antara keduanya. “Sejak saat ini, kau bukan kanak-kanak, Nisa. Darah haid pertama telah menandai batas masa kanak-kanakmu menuju usia dewasa. Sejak hari ini, kau adalah mukallaf. Semua hukum agama harus dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kau paham apa maksud Ibu? “Nisa paham. Tetapi buka itu yang ingin Nisa ketahui, Bu!” sambil berkata demikian, aku teringat pada cerita mbak May, cerita tentang tandatanda seorang perempuan yang dianggap dewasa. Melihat aku menerawang, ibu mempertegas kembali pertanyaanku. “Lalu apa? Apa yang ingin kau ketahui? “Tentang darah haid ini. Benarkah darah haid adalah kotor dan najis. Sehingga perempuan yang sedang haid, kalau orang kota menyebutnya menstruasi, dilarang masuk masjid dan membaca ayat-ayat al-quran?” “Tidak hanya itu, Nisa. Perempuan yang sedang haid juga dilarang shalat, puasa, ihra, di waktu haji dan kegiatan-kegiatan lain yang berkaitan dengan ibadah.” “Kegiatan lain itu misalnya apa, Bu?” “Misalnya jimak atau dukhul antara suami isteri. Nanti pada saatnya, kau akan tahu, mengapa semua itu dilarang untuk dikerjakan perempuan yang sedang mengalami haid. Yang perlu kau ketahui sekarang adalah, menjaga kebersihan dan lebih berhati-hati dalam bersikap. Ingat! Kau sudah dewasa sekarang! … . Selesai bicara dan memberi sedikit kursus untuk menjaga darah haid, ibu segera bangkit dari tempat duduknya dan tergesa menuju ruang tamu. Sama sekali aku tidak puas dengan keterangan ibu. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 92-93) Sebagai seorang Ibu, Hajjah Mutmainah juga sangat mencintai anaknya. Perhatian dan cinta yang begitu besar kepada Annisa terlihat ketika ia mengetahui penderitaan yang dialami oleh Annisa selama pernikahannya dengan Samsudin. Perasaan bersalah juga memenuhi perasaannya karena ia juga ikut memutuskan pernikahan yang tidak pernah diinginkan Annisa tersebut.
102
Aku gugup dan tidak tahu dari mana memulainya. Ibu menuntunku dengan membuka sedikit permasalahan yang telah kuceritakan kepadanya. Lek Khudhori menambahkan beberapa masalah yang penting-penting saja, kemudian baru aku menyambungnya dengan pesristiwa-peristiwa yang kiranya belum pernah kuceritakan pada keduanya, baik ibu dan lek Khudhori. Bapak memandang Rizal dan Wildan yang terlongong menatapku tak percaya. Aku tak tahu apa yang tengah mereka pikirkan setelah ikut mendengar problem rumah tangga yang sedang kuhadapi. “Bapak tak menyangka. Ini benar-benar pelik. Kiai Nasiruddin, Bapak mertuamu itu adalah sahabat terbaik dan paling dekat dengan Bapak semasa kami sama-sama moncok di Tebuireng. Saat Bapak kehabisan uang dan kiriman belum datang, beliaulah yang sering meminjami uang. Beliau itu orangnya baik, dermawan, tidak suka menyakiti hati orang, apalagi istrinya sendiri. Bagaimana bisa anaknya menjadi seperti itu. Jika semua ini terungkap di hadapannya, aku tak tahu bagaimana reaksinya.” “Apapun reaksinya, Pak, kita harus menyelesaikan masalah ini secara kekluargaan. Demi Nisa. Bapak harus membicarakan masalah ini dengan Kiai Nasir,” ibu mendesak. “Tentu saja, Bu. Masalahnya bukan aku mau atau tidak mau. Tetapi aku sedang berpikir, kira-kira apa dampaknya untuk persahabatan kami selanjutnya.” “Jika kita berbicara dan musyawarah secaraa kekeluargaan dan jika benar kiai Nasir itu orang yang baik dan tak suka menyakiti orang lain, tentu persahabatan kita tak terganggu dengan adanya masalah ini, Pak. Bapak jangan lupa, jika ini dibiarkan berlarut-larut, Nisa yang akan jadi korban. Ini saja Ibu rasa sudah terlambat, Pak. Jadi jangan ditunda-tunda lagi. Kasihan Nisa,” desak ibu sambil mengelus kepalaku. Aku merasa, belum pernah nada suara ibu sesimpati itu. Ia terlihat begitu cemas dan tak sabar untuk melihat kehangatan kasih sayangnya merasuk ke dalam jiwaku yang tengah gelisah. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 183-184)
f. Rizal dan Wildan Rizal dan Wildan adalah saudara laki-laki Annisa. Perilaku mereka dalam novel Perempuan Berkalung Sorban menunjukkan perilaku kakak yang cenderung meremehkan adik perempuannya. Mereka masih mengangap bahwa anak perempuan tidak seharusnya menguasai hal-hal yang biasa dikuasi laki-laki. Pandangan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi tempat mereka lahir dan berkembang dan ajaran-ajaran yang selama ini mereka dapatkan. Seperti piring-piring yang berkilatan karena minyak, aku sering mencuri pandang ke arah meja makan yang masih terlihat dari tempat
103
cucian. Mengamati wajah-wajah mereka yang begitu bahagia. Merdeka. Apalagi ketika tangan Rizal mengepal-ngepal sambil bercerita, entah apa yang diceritakannya. Berbeda dengan Wildan yang pendiam dan banyak merenung, ia hanya mengangguk dan banyak menggerakkan tangannya yang menunjukkan tak setuju. Bapak akan terbahak-bahak manakala Rizal mampu menbawakan cerita petualangan yang seru dna lucu. Tetapi begitu aku datang di antara mereka, semuanya jadi terdiam. “Kenapa sih? Kalian piker aku ini hantu? Kok semuanya tiba-tiba diam? Pasti sedang ngerasani aku, ya.” “Lho, lho, lho… kok malah su‟udzon,” kata bapak sambil mengusap rambutku. Aku jengkel dan merasa disepelekan, segera menepiskannya. “Jangan begitu, Nisa. Kita kan sedang bicara urusan laki-laki,” tambah Wildan. “Memangnya urusan laki-laki itu apa? Apa perempuan tak boleh mengetahuinya?” “Boleh sih boleh. Tetapi…ah, sudahlah. Kita mau berangkat nih! Nanti bisa terlambat.” Seperti pagi yang lain, aku tak pernah mendapatkan kesempatan untuk berbicara lebih banyak kecuali bersiap diri dan berangkat bersama Rizal menuju ke sekolah yang tidak begitu jauh dari rumah kami. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 9-10) Perilaku Rizal yang menganggap remeh segala hal yang dikerjakan oleh adiknya, Annisa juga terlihat pada kutipan berikut. Kami pindah ke ruang tengah dan menikmati kue sambil meneruskan perbincangan yang bertambah seru. Ketika Rizal pada akhirnya keluar juga mendengar serunya perbincangan kami, ia tak tahan ingin tahu dan ikut nimbrung. “Serius amat bicaranya. Kasih tahu ding. Masalahnya apaan sih?” “Rahasia ya, Lek. Awas! Jangan katakana apapun sama dia. dia tak bisa nyimpan rahasia,” aku menekan lek Khudhori. Rizal sewot dan berlagak sok tahu. “Alaaah…paling-paling urusan perempuan, feminisme, jender, patriarkhi…apalagi ya, emansipasi RA. Kartini.” “Emangnya tahu, apa itu jender.” “Kalau gendher sih aku tahu, kalau digoreng jadi krupuk asin, ha ha..” “Dasar otak udang! Selalu saja ketinggalan zaman,” cemoohku, “Memangnya apa feminisme itu. Apa gender itu. Tahu apa kau tentang patriarkhi? Sok tahu, Zal, Rizal.” Lek Khudhori memandangku dan Rizal secara bergantian, lalu menggelengkan kepala. Ia hanya tersenyum menyaksikan pertentangan kami berdua. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 172-173)
104
Meskipun begitu, kedua kakak beradik ini juga memiliki perhatian yang cukup besar kepada Annisa ketika mengetahui bahwa selama menikah dengan Samsudin Annisa mengalami perlakuan yang tidak seharusnya. Mereka ikut andil dalam pemecahan masalah Annisa. Lek Khudhori semakin bingung. Tidak mungkin ia mengatakan bahwa Samsudin telah mengetahui hubungan kami. Sebab dengan mengatakannya, sama saja dengan menambah persoalan baru. Sangat tidak etis, membuka satu masalah ketika masalah yang lebih kritis sedang dijajagi dan dicari jalan keluarnya, tiba-tiba datang persoalan lain yang sama pentingnya. Tiba-tiba saja, Wildan yang pendiam dan pemalu, kini angkat bicara sebagai orang dewasa. “Kalau aku diizinkan berpendapat, menurutku, lek Khudhori masih terlalu musa sebagai hakam dalam masalah ini. Apa tidak lebih baik kalau yang diutus sebagai hakam adalah satu pihak yang minimal telah berkeluarga. Sebab dengan itu, pastilah dia lebih tahu urusan dan permasalahan tentang keluarga. Ini pendapat saya.” “Aku setuju,” cepat-cepat aku menyambung Wildan, “mungkin Bapak bisa mengutus Kiai Mahfud atau Kiai Badawi yang jauh lebih sepuh dan pastilah lebih arif untuk membincangkan masalah seperti ini.” “Benar. Ibu kira Kiai Mahfud jauh lebih baik dibandingkan Kiai Badawi. Soalnya Bapak tahu sendiri kan masalah kita dengan Kiai Badawi?,” ibu menyambung dengan teka-teki di antara kami. Ingin kutanyakan, ada apa dengan kiai Badawi tetapi pasti nanti akan jadi persoalan. Lagi pula saat ini masalahku jauh lebih gawat dari persoalan Kiai Badawi. “Baiklah kalau begitu,” bapak memutuskan, “nanti bapak akan menghubungi kiai Mahfud.” Mencairlah sedikit ketegangan dalam hidupku. Malam itu, sekalipun udara pegunungan begitu dingin, melihat simpati yang ditunjukkan oleh semua yang ada di rumah, aku mendapat kehangatan lain yang membuatku terharu dan ingin menangis. Rizal berhenti memperolokku dan Wildan memberikan dukungan yang cukup berarti untuk selesainya masalahku. Ini benar-benar membesarkan hatiku untuk tetap bangkit, terlepas dari perhatian lek Khudhori, dan mahabbah di antara kami yang demikian puitis. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 186-188) g. Mbak Kalsum Tokoh ini adalah perwakilan dari perempuan yang menjadi korban perilaku laki-laki. Kalsum adalah wanita yang terjebak oleh perangkap Samsudin hingga dia hamil di luar nikah. Kalsum menjadi orang ketiga dalam
105
rumah tangga Annisa dan Samsudin meskipun Annisa tidak begitu peduli dengan keberadaannya. Keberadaan Kalsum dianggap sebagai pengalih perhatian dan kebiadaban Samsudin dari dirinya. Hal tersebut digambarkan Abidah El Khalieqy melalui narasi berikut. Pada suatu saat, seorang dari janda itu datang ke rumah dan mengadu padaku atas perilaku Samsudin yang telah menghamilinya. Katanya, ia minta lelaki yang menjadi suamiku itu untuk bertanggungjawab menikahinya. Tapi aku sudah tak peduli, juga tidak memiliki kefasihan untuk menjawab urusan semacam itu. Maka, kuserahkan semuanya pada mertua, agar mereka tahu bahwa anaknya benar-benar menderita sakit yang sulit disembuhkan dan orang yang sehat tak dapat menerimanya. Karena tak ada pilihan lain, sekaligus untuk menutupi kehormatan mereka, jadilah Samsudin melaksanakan niatnya untuk berpoligami. Entah apa maksudnya, perempuan itu disatukan denganku dalam satu rumah. Mula-mula ia begitu baik denganku, ramah dan suka tersenyum. Ia menempati kamar kedua bersebelahan dengan ruang makan. Karena antaraku dan Samsudin sedang terjadi perang batin yang berkepanjangan dan perempuan itu tahu banyak tentang hubungan kami berdua. Itulah sebabnya, ia mulai membanggakan diri sebagai perempuan yang mampu memuaskan dahaga Samsudin. Ia pun mulai mengatur menu makanan dan mengubah letak perabotan. Meja kursi dipindah ke sini, dan lukisan kuno itu dipajang di dinding sana. Pada akhirnya, ia mengambil alih seluruh urusan keluarga. Mengatur keuangan, mengatur belanja, mengatur belanja dan segala keperluan, juga keperluanku. Aku tak peduli dengan semua itu karena kesibukanku adalah sekolah dan hobiku membaca. Perempuan yang bernama Kalsum itu mengerti kondisiku dan ia menyerobot apa yang dapat diserobot. Akupun tak mersa ada pesaing di sisiku, apalagi memiliki rasa cemburu. Bagiku, ia layaknya seorang ibu atau pembantu yang mengurusi urusan rumahtanggaku, karena usianya jauh di atas Samsudin, hampir seusia dengan ibuku. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 116-117) Kalsum juga menggambarkan karakter wanita yang terpaksa menerima perlakuan dari suaminya karena ketidakberdayaannya untuk menolaknya. Dia adalah gambaran wanita yang tergoda karena bujukan materi dari seorang laki-laki. Keterbatasan Kalsum atas pemahaman agama membuatnya tidak memiliki pegangan yang kuat dalam hidupnya. Ini tergambar melalui paragraf berikut. Agaknya Kalsum juga merasa semakin dekat denganku dan ia mulai terbiasa mengutarakan isi hatinya, baik tentang Samsudin atau banyak hal
106
yang lain. Kalsum lulusan Sekolah Menengah Atas belasan tahun lalu. Tetapi karena lingkungan sosial dan budayanya berbeda denganku, Kalsum memiliki pemikiran yang serba bebas tanpa batasan hukum agama. Ia juga sama sekali tak eprnah berpikir tentang syariah dan fiqih sebagaimana caraku berpikir. Sebab itu, Kalsum tak pernah peduli mengenai kesucian dan cinta sejati. Ia juga tak peduli, seaneh apapun perilaku Samsudin, baginya, sepenuhnya itu urusan Samsudin sendiri. Kalsum menjalani kehidupan sebagaimana air mengalir, pada akhirnya ketemu muara juga, jadi untuk apa terlalu dipikirkan. Satu hal yang menjadi pikiran serius bagi Kalsum adalah masalah uang. Ia anak perempuan dari seorang makelar tanah yang selalu bau rupiah. Tembak sana, tembak sini tanpa rasa jengah. Tampaknya, itu juga yang membuat hidungnya mendengus seperti kucing yang mencari daging walau tersembunyi di bawah kasur. Ia akan bertengkar mati-matian hanya seratus rupiah kembalian yang belum dibayarkan. Selain statusnya sebagai janda, Kalsum tertarik rayuan Samsudin adalah karena mendengar warisan Samsudin berjumlah lima hektar sawah dan satu hektar kebun klengkeng. Air liurnya menetes setiap kali ia menyebut sawah dan kebun klengkeng itu. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 122-123) Namun begitu, Kalsum juga memiliki sikap mau memperbaiki kesalahannya. Pertemuan dan pembicaraan yang intens dengan Annisa membuat mata hatinya terbuka atas kebenaran dan menciptakan keinginan untuk belajar ilmu agama kepada Annisa. Satu hal yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya. “Anis, kau seperti adikku sendiri. Jika kau sudi, ajarilah aku tentang hukum-hukum Islam. Aku lihat kau begitu khusuk ibadah dan terlihat sekali, kau menikmati setiap amalan yang kau kerjakan. Aku juga sering tergetar ketika menatap matamu, bagaimana tegasnya ketika kau bicara tentang kebenaran. Bahkan kulihat Mas Sam sendiri segan kepadamu, sekalipun ia tidak menyukaimu.” “Sudahlah, Mbak Kalsum. Terimakasih jika Mbak mau menganggapku seperti itu. Tetapi saya tidak suka dipuji-puji seperti itu. Nanti saya bisa takabbur. Mungkin akan lebih baik, jika kita bersama-sama mulai belajar berperilaku sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah, sebab kita ini muslim dan sekaligus mukminat, insya Allah.” “Kau benar, Anis. Tetapi aku lebih senang lagi jika kau adalah guruku dalam hal ini. Sebab aku telah melihat kemampuanmu dan bagaimana perilakumu selama ini. Aku bicara apa adanya, Anis. Sama sekali tidak mengada-ada.” Kutatap mata mbak Kalsum dan ia ganti menatapku tak berkedip, menyorotkan ketegasan yang belum pernah kulihat selama ini dari dirinya.
107
Akupun yakin ia bicara jujur dan tidak berpura-pura. Karena terharu atas kejujurannya, kupeluk Kalsum dan ia mendekapku seperti seorang ibu mendekap anaknya yang hilang sekian waktu. Kami berdua sesenggukan meluapkan keharuan, seakan gunung es yang begitu tinggi telah mencair dan kami berada dalam kehangatan kasih yang lahir dari sebuah pengertian baru tentang makna dan warna kehidupan. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 124-125) h. Mbak Maryam Tokoh perempuan ini adalah gambaran dari perempuan modern yang berpandangan luas dan memiliki kritik-kritik yang cerdas. Mbak Maryam adalah ketua organisasi (LSM) tempat Annisa bergabung dalam wadah yang bertujuan untuk melindungi hak-hak kaum perempuan. Karakter Maryam diceritakan penulis melalui kutipan berikut. Maryam memiliki karakter yang kuat sebagai pemimpin. Ia mampu memobilisasi massa dan mengelola keuangan sekaligus dengan begitu rapinya. Bicaranya pelan penuh tekanan. Selain itu, Mbak Maryam memiliki kepekaan yang luar biasa dalam hal ketidakadilan. Mungkin hasil pergaulannya dengan suaminya yang pengacara. Dalam beberapa hal, terutama kritikannya yang tajam terhadap kasus-kasus para suami yang menelantarkan istri, melecehkan istri, perlakuan kasar sampai membunuh dan penyelewengan umum yang dilakukan para suami secara sembunyi dan terang-terangan di muka anak-istri, mbak Maryam adalah pusat kekagumanku karena kedalaman kritikannya jauh dari kesan kanak-kanak yang mau menang sendiri. Ia juga sering melontarkan kritik tajamnya terhadap organisasi perempuan yang tidak mandiri, selalu dibayangi dan berada di bawah organisasi induknya yang nota bene adalah kepunyaan laki-laki. Dan satu lagi, ia sangat piawai dalam qira‟ah. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 229-230) 3. Latar (Setting) Latar (setting) adalah segala keterangan mengenai tempat, waktu, dan suasana (keadaan tokoh dan keadaan sosial) terjadinya peristiwa yang terdapat dalam karya sastra. Analisis latar atau setting novel Perempuan Berkalung Sorban adalah sebagai berikut. a. Latar Tempat Novel Perempuan Berkalung Sorban sebagian besar mengambil latar tempat pondok pesantren. Latar ini menjadi tempat awal terjadinya konflik
108
dan perdebatan batin tokoh utama, Annisa. Pendeskripsian latar tempat ini terlihat pada kutipan berikut. Pondok kami memang bukan pondok yang besar sebagaimana pondok pesantren Bahrul Umum Tambakberas atau Tebuireng. Hanya saja, ada beberapa kompleks yang telah dibangun oleh bapak, yang kemudian dihuni oleh lima puluh santri putri, dengan ustadz yang paling tua dan dipercaya oleh bapak, yaitu ustadz Ali. Beliaulah yang memegang pelajaran dan kitab-kitab utama yang wajib diikuti seluruh santri. Namun, aku sendiri tak pernah tertarik untuk mengikutinya, kecuali hanya untuk menuruti keinginan bapak. Itulah sebabnya, aku sering bermain dan belajar bersama-sama teman sekampung, yang tidak terdaftar sebagai santri dipondok kami. Kalaupun bermain atau belajar di pondok, paling-paling hanya bertandang di kamar Mbak May. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 52) Latar tempat yang lain dalam novel ini adalah rumah Annisa dan Samsudin. Rumah ini adalah tempat terjadinya konflik yang mempengaruhi kehidupan Annisa selanjutnya. Tempat ini menjadi latar penganiayaan Annisa oleh suaminya dan tempat pergulatan Annisa untuk memperjuangkan haknya sebagai seorang perempuan. Besoknya aku harus mengikuti rombongan mereka menuju suatu tempat, entah di mana. Sepanjang perjalanan, tentu saja laki-laki bernama Samsudin it uterus menerus di sampingku, menghamburiku dengan segala rayu dan pujian. Aku merasa gembira dan merasa senang, tetapi bukan karena laki-laki di sebelahku atau rayuan gombalnya. Aku gembira karena baru pertama kali naik mobil yang dipenuhi bunga warna-warni dan bau harum mengitariku. Perjalanan seperti ini mampu melambungkanku untuk berkhayal jauh ke suatu negeri seberang untuk menemuinya, membayangkan berduaan bersamanya. Alangkah indahnya jika saja lakilaki yang disebelahku adalah lek Khudhori dan bukan yang lain. Ketika aku sampai di rumah ini, mereka semua mengagumiku, menghormatiku layaknya seorang ratu. Seorang perempuan setengah tua memijatku dengan halus, dan yang lain membukakan berbagai macam hadiah dan kado. Sementara yang lain lagi menyajikan makanan lezat dan enak-enak. Tentu, mereka berharap aku gembira dengan semua itu. Tetapi dua pasang mata tak lepas mengawasiku dan mata itu seperti dua pasang mata singa yang tak memberi kesempatan sedetik pun untuk melepas bakal mangsanya. Itulah mata nafsu Samsudin. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 105-106)
109
Latar tempat yang lain dalam Perempuan Berkalung Sorban adalah rumah Khudhori dan Annisa. Rumah ini mereka tempati setelah mereka menikah dan memutuskan tidak hidup di lingkungan pondok pesantren. Pertama kulihat ruang tamu yang mungil itu dipenuhi buku-buku tebal berbahasa Arab dan Inggris dalam sebuah buffet besar dan di tengahtengahnya ada sebuah gravier bersinar-sinar kehijauan dengan tulisan Asyaddu hubban Lillah memakai huruf Arab Kufi. Lalu di sebelahnya menutupi dinding, adalah sebuah kaligrafi Tughra Sultan Sulaiman Yang Mulia, dengan sajak pendek karya Sultan dalam tulisan Diwani ornamental di bagian bawah dalam pigura klasik berukuran 80x60 cm. Dua pemandangan itu begitu menonjol dan menarik perhatianku. Selebihnya adalah meja kursi dan satu tape recorder dengan sejumlah kaset dari penyanyi-penyanyi Maroko, Mesir, Lebanon dan Turki serta seperangkat komputer terbaru pada saat itu dan tumpukan kertas-kertas. Sementara ruangan kedua adalah kamar tidur yang berisi ranjang, lampu tidur dan telepon dalam satu meja mungil bundar serta lemari pakaian dan televise. Sementara ruangan samping yang berhubungan dengan kamar tidur adalah ruang makan, dapur dan kamar mandi. Dari segi artistik, penataan ruang yang dilakukan lek Khudhori cukup berhasil dan menciptakan imaji keindahan yang nyaman sekali untuk ruangan sesempit itu. Memang debu tipis masih tetap kelihatan, terutama di sekitar buku-buku dan lantai keramik berwarna putih di sudut-sudut ruang. Karena usil, kuperiksa lapisan debu dengan menjentikkan jari antara buku-buku. Lek Khudhori hanya tersenyum maklum. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 208-209) Tempat lain yang digunakan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban adalah rumah sakit tempat Annisa melahirkan dan Komisariat organisasi LSM tempat Annisa berdiskusi dengan teman-temannya dan menyampaikan gagasan yang dimilikinya tentang perempuan dan hak-haknya.
b. Latar Waktu Latar waktu dalam novel Perempuan Berkalung Sorban terentang antara waktu pagi sampai malam hari. Namun, sebagian besar terjadi pada waktu malam hari ketika terjadinya diskusi, konflik atau hubungan suami istri. Salah satu penggambaran atas latar waktu diceritakan oleh penulis seperti paragraf berikut.
110
Malam itu udara alangkah pengap. Di mana-mana menjadi tak nyaman, terlebih jika berada dalam ruangan. Kami memutuskan untuk jalan-jalan sambil melihat pemandangan dan menikmati keindahan purnama kelimabelas. Sambil mengemudi, mas Khudhori rengeng-rengeng menirukan alunan Rubab Kuwait yang tengah kami putar. Malam kian merasuk dan kami masih asyik keliling kota sambil bercanda dan iseng menghentikan mobil di depan pedagang sate di pinggir jalan. Aroma yang keluar dari kepulan asap daging kambing yang tengah dibakar itu membuat air liur meleleh. Kami pun memesan sekian tusuk untuk dimakan di rumah. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 221-222) c. Latar Keadaan Tokoh Latar keadaan tokoh yang banyak diceritakan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban adalah tentang kondisi Annisa dan Khudhori. Masingmasing gambaran keadaan masing-masing tokoh tersebut adalah sebagai berikut. Sejak aku terlahir ke dunia, kata ibuku, Hajjah Mutmainah, aku selalu digadang dan diharapkan agar kelak dapat menggantikan posisi bapak. Tetapi, dalam benakku, harapan itu tak pernah muncul sebagai cita-cita. Sepertinya aku lebih suka untuk bersekolah dan mencari ilmu yang lebih luas dari kompleks pondok kami., juga lebih tinggi dari ilmu yang diperoleh para santri yang paling tua sekalipun. Pondok kami memang bukan pondok yang besar sebagaimana pondok pesantren Bahrul Umum Tambakberas atau Tebuireng. Hanya saja, ada beberapa kompleks yang telah dibangun oleh bapak, yang kemudian dihuni oleh lima puluh santri putri, dengan ustadz yang paling tua dan dipercaya oleh bapak, yaitu ustadz Ali. Beliaulah yang memegang pelajaran dan kitab-kitab utama yang wajib diikuti seluruh santri. Namun, aku sendiri tak pernah tertarik untuk mengikutinya, kecuali hanya untuk menuruti keinginan bapak. Itulah sebabnya, aku sering bermain dan belajar bersama-sama teman sekampung, yang tidak terdaftar sebagai santri dipondok kami. Kalaupun bermain atau belajar di pondok, paling-paling hanya bertandang di kamar Mbak May. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 51-52) Kutipan di atas menceritakan kondisi tokoh Annisa yang sedari kecil telah memiliki pemikiran dan gagasan yang berbeda dengan lingkungan yang didiaminya sejak kecil. Ia mengingkinkan hidup yang lebih luas dan bebas dari tembok pondok pesantren yang dirasakannya sejak kecil. Pemikiran inilah
111
yang sangat mempengaruhi kehidupan Annisa ketika remaja maupun pendewasaan dirinya. Tokoh Khudhori digambarkan oleh Abidah El Khalieqy dalam paragraf-paragraf berikut. Sekian detik, mungkin juga menit, aku terdiam. Satu perasaan sedih tiba-tiba muncul menyeruak di dasar kalbu. Kupandangi wajah lek Khudhori dan kuteliti matanya, hidungnya, rambutnya dan semuanya begitu sempurna di mataku. Bukan saja kata-katanya saja yang bagus, lek Khudhori juga begitu baik, begitu perhatian dan sayang padaku. Tidak seperti lek Mahmud, yang suka mengelus-elus kakiku sewaktu mengajariku mengaji, sehingga bapak melarangku untuk belajar bersamanya. Bahkan bapak telah berkali-kali mengusir dan menyuruh lek Mahmud untuk tidak bermain-main di rumah kami. Padahal ia adalah adik kandung bapakku sendiri. Sikap bapak memang berbeda dengan lek Khudhori. Meskipun ia bukan adik kandungnya sikap bapak lebih lembut kepadanya. Lek Khudhori adalah cucu dari keluarga neneknya ibu. Dan meskipun bapaknya telah meninggal dua tahun yang lalu, ia tetap melanjutkan sekolahnya di pondok Gontor. Hanya saja, kalau pulang selalu ke rumah kami. Dua kakaknya telah berkeluarga dan lek Khudhori lebih suka tinggal di sini, terutama untuk mendapat teman berkomunikasi bahasa Arab dengan bapak dan para ustadz di pondok. Ia tinggal di kamar yang bersebelahan dengan kamar bapak, Rizal dan Wildan. Selama hampir setahun ini, dalam masa cutinya, ia membantu mengajar di pondok serta mengajariku mengaji, nahwu sharaf dan bahasa Arab. Sementara Wildan dan Rizal lebih suka belajar mengaji di masjid dengan lek Mahmud. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 37-38) d. Latar Keadaan Sosial Keadaan sosial dalam novel Perempuan Berkalung Sorban didominasi oleh kultur pondok pesantren. Segala tingkah dan ide yang dimiliki oleh setiap tokoh sangat dipengaruhi oleh ajaran yang diberikan dalam lingkungan pondok pesantren. Telaah atas kitab kuning atau kitab klasik yang dimiliki oleh setiap pondok pesantren mendominasi pemikiran para tokoh. Telaah yang tidak dilakukan secara menyeluruh dan kontekstual inilah yang membuat beberapa kyai sepuh dalam pikiran kolot mereka sehingga sulit menyesuaikan dengan perubahan kondisi zaman. Dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, inilah yang menyebabkan pertentangan dan konflik antartokoh.
112
4. Alur (Plot) Alur (plot) adalah rangkaian waktu yang digunakan oleh penulis untuk menggambarkan rangkaian cerita. Abidah El Khalieqy menggunakan alur mundur dalam menggambarkan rangkaian peristiwa yang terdapat dalam novel Perempuan Berkalung Sorban. Cerita berjalan dari Annisa dewasa yang menerawang dan mengingat kembali kehidupannya yang telah lalu. Kemudian, selanjutnya Abidah menggunakan alur maju yang dimulai dari kisah Annisa kecil menuju pergolakan hidupnya untuk memperjuangkan hakekat ke-perempuanan-nya sampai akhir cerita ketika Annisa berhasil mendapatkan haknya sebagai perempuan dan untuk selanjutnya membantu perempuan-perempuan lain agar sadar terhadap posisinya. Akhir cerita kemudian ditutup dengan keinginan Annisa dewasa untuk tetap memperjuangkan hak-hak perempuan yang harus mereka dapatkan. Beberapa bagian dalam rangkaian alur adalah pendahuluan (eksposisi), permasalahan (komplikasi), puncak permasalahan (klimaks), penyelesaian (resolusi), dan simpulan (konklusi) (Kompeten Berbahasa Indonesia untuk SMA Kelas XI, 2009: 106). a. Pendahuluan (eksposisi) Bagian ini berfungsi memberikan penjelasan mengenai segala hal yang diperlukan untuk dapat memahami peristiwa-peristiwa dalam cerita. Keterangan-keterangan itu dapat mengenai tokoh cerita, masalah yang timbul, tempat dan waktu cerita, dan sebagainya. b. Permasalahan (komplikasi) Bagian permasalahan merupakan lanjutan dari bagian pendahuluan. Dalam bagian ini mulai muncul permasalahan. Biasanya, salah seorang tokoh mulai beraksi atau mengalami suatu peristiwa. c. Puncak Permasalahan (klimaks) Klimaks merupakan bagian ketika pihak-pihak yang bermasalah atau berlawanan saling bertemu. d. Penyelesaian (resolusi) Dalam bagian ini, semua masalah yang timbul dipecahkan. Pemecahan masalah yang terjadi antartokoh dapat dilakukan secara baik-baik dengan
113
melibatkan tokoh lain (tritagonis). Akan tetapi, klimaks dapat juga dengan perlawanan sebagai kelanjutan dari klimaks. e. Simpulan (konklusi) Bagian terakhir adalah simpulan. Pada bagian ini, keadaan atau nasib tokohtokoh cerita diputuskan. Penonton dapat mengetahui hal-hal yang terjadi pada setiap tokoh. Analisis alur dalam novel Perempuan Berkalung Sorban adalah sebagai berikut: a. Pendahuluan (eksposisi) Bagian ini dimulai penulis dengan menceritakan pertentangan batin yang sudah dialami tokoh utama, Annisa sejak ia masih kecil. Beberapa lembar di awal dalam novel ini memberikan gambaran pengantar konflik dan gambaran posisi setiap tokoh. Gemercik air tak henti mengalir, mengisi kolam dan blumbang. Sungai-sungai kecil melengkungkan tubuhnya seperti sabit para petani yang menunggu musim panen. Sawah dan ladang berundak-undak seakan tangga untuk mendaki ke dalam istana peri. Semilir angin selalu datang dan pergi, tak pernah bosan menghias diri di pucuk-pucuk dedaunan. Bunga-bunga liar mekar tanpa disiram, menawarkan keindahan di lereng pegunungan, di dusun kecil yang terpisah dari keramaian, tempat bermain masa kanakku yang tak pernah kulupakan. Meski sudah berlalu, jauh di belakang waktu, masa kanak itu banyak menyimpan cerita. Kadang mengasyikkan, tapi lebih banyak yang menyebalkan. Dan kini, setelah aku mendapatkan gelar, sudah memiliki Mahbub, anak semata wayangku, cerita itu sering muncul seturut dengan pengetahuan yang kudapatkan dari lembaran buku kehidupan… . …. “Kita jaring betinanya!”, teriak Rizal, kakakku. “Dia mau bertelur, jangan diganggu!,” sergahku. “Justru di saat bertelur dia tak berdaya. Kesempatan kita menangkapnya.” …. Aku merenung sejenak. Kalau aku tak bisa menemukan jawabannya, dia pasti akan mengejekku. Mencibirku sebagai anak perempuan yang bodoh. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 1-3) Kutipan di atas digunakan oleh penulis untuk menggambarkan tokoh utamanya. Tokoh lain menganggap perempuan adalah makhluk yang lemah
114
yang pantas mendapatkan perilaku tidak terpuji. Kutipan tersebut juga menegaskan sikap tokoh utama, Annisa. Sejak kecil, melalui pertengkaran kecil dengan kakaknya menunjukkan sikapnya terhadap perlakuan yang diberikan kepada perempuan. Sejak kecil Annisa sudah merasakan perbedaan perlakuan itu dan dia ingin perempuan mendapatkan perlakuan yang sama dengan laki-laki, terutama kebebasan untuk mendapatkan hak-hak mereka.
b. Permasalahan (komplikasi) Penulis mulai memasukkan hal-hal yang dialami oleh masing-masing tokoh yang akan membuat permasalahan mencapai klimaks. Paragraf yang menunjukkan tahap ini, misalnya adalah sebagai berikut. Begitulah. Ujung-ujungnya aku juga yang disalahkan. Padahal Rizal yang terlalu bernafsu dengan jaringnya. Sembari mengguyur badan di kamar mandi, kucoba mendinginkan amarahku dengan siraman air pegunungan. Tetapi keinginanku untuk belajar naik kuda telah melampaui nada tertinggi dari kemarahan bapak. Keinginan it uterus menggedor pintu yang disekat oleh batasan-batasan di ruangan hatiku. …. Tetapi impian tinggal impian. Setelah tragedi Rizal kecemplung blumbang dalam pengembaraan kami, duabelas pasang mata santri diberi tugas mengamati aktivitas masa kanakku. Ruang bermainku mendapat pagar baru, lebih tinggi dan sempit untuk cakrawala penglihatanku. Tanganku mulai dilatih memegang piring, gelas, sendok, wajan dan api pembakaran. Bau asap membuatku pusing dan tersedak bertubi-tubi. Bau bawang dan sambal terong membuatku bersin-bersin. Sampai lidahku tak pernah bisa menikmati sarapan pagi, bahkan tak juga merasakan kebebasan ketika kedua tangan ini mesti kembali mencuci piring yang dipenuhi minyak bekas makanan Rizal,Wildan dan bapak yang terus saja duduk di meja makan sambil ngobrol dan berdahak. Seperti piring-piring yang berkilatan karena minyak, aku sering mencuri pandang ke arah meja makan yang masih terlihat dari tempat cucian. Mengamati wajah-wajah mereka yang begitu bahagia. Merdeka. Apalagi ketika tangan Rizal mengepal-ngepal sambil bercerita, entah apa yang diceritakannya. Berbeda dengan Wildan yang pendiam dan banyak merenung, ia hanya mengangguk dan banyak menggerakkan tangannya yang menunjukkan tak setuju. Bapak akan terbahak-bahak manakala Rizal mampu menbawakan cerita petualangan yang seru dna lucu. Tetapi begitu aku datang di antara mereka, semuanya jadi terdiam. “Kenapa sih? Kalian piker aku ini hantu? Kok semuanya tiba-tiba diam? Pasti sedang ngerasani aku, ya.”
115
“Lho, lho, lho… kok malah su‟udzon,” kata bapak sambil mengusap rambutku. Aku jengkel dan merasa disepelekan, segera menepiskannya. “Jangan begitu, Nisa. Kita kan sedang bicara urusan laki-laki,” tambah Wildan. “Memangnya urusan laki-laki itu apa? Apa perempuan tak boleh mengetahuinya?” “Boleh sih boleh. Tetapi…ah, sudahlah. Kita mau berangkat nih! Nanti bisa terlambat.” Seperti pagi yang lain, aku tak pernah mendapatkan kesempatan untuk berbicara lebih banyak kecuali bersiap diri dan berangkat bersama Rizal menuju ke sekolah yang tidak begitu jauh dari rumah kami. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 7-10) c. Puncak Permasalahan (klimaks) Tokoh utama dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, Annisa mengalami konflik-konflik yang kemudian memuncak. konflik dalam rumah tangganya yang pertama yakni dengan Samsudin mengalami puncaknya ketika Annisa mengalami berbagai penganiayaan dan perlakuan yang tidak menyenangkan dari Samsudin. Beberapa penganiayaan yang dilakukan Samsudin terlihat pada kutipan berikut. “Berikan selimut itu untukku,” aku meminta. Ia hanya mendengus sekali dan menjalarkan api nafsunya. Aku mau selimut, Samsudin!” Teriakku menderita. “Untuk menyelimuti apa, Annisa. Apa kau ingin menyembunyikan sesuatu dari pandanganku. Memangnya aku ini siapa, hah…?!” “Bener, kau ingin tahu siapa dirimu?” “Katakan! Siapa aku ini. Ayo katakana!” “Keledai! Kau keleedai! Dan keledai tidak membutuhkan selimut untuk menutupi tubuhnya. Jadi masalahnya, aku bukan keledai sepertimu, sebab itu aku membutuhkan…..” Plak!Plaakk!! Ia menampar mukaku bertubi-tubi hinga pipi dan pundakku lebam kebiru-biruan. Untuk kali pertama kucakar wajahnya dan ia membanting badanku ke lantai. Bunyi gedebug dan suara berisik di kamar membuat Mbak kalsum curiga. Ia menggedor pintu dengan ketakutan dan Samsudin membentaknya. Seperti keledai tanpa pakaian, ia melenggang kamar dengan tenangnya. Melewati Kalsum dan putri mereka, Fadilah. Sampai anak kecil itu terlongong-longong seakan tengah menyaksikan unta budukan di tengah sahara. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 131-132)
116
Permasalahan yang dihadapi Annisa tidak hanya berhenti pada konflik yang dialaminya selama rumah tangga yang pertama. Cerita-cerita selanjutnya yang menjadi isi novel adalah tentang usaha Annisa untuk memberikan kesadaran kepada wanita tentang kedudukan mereka. Rumah tangga kedua Annisa dengan Khudhori dipenuhi dengan kebahagiaan karena hadir tanpa paksaan. Komunikasi yang dilakukan antara keduanya juga membuat hubungan suami-istri menjadi harmonis. Namun, rumah tangga kedua ini tidak bertahan lama karena maut memisahkan Khudhori dan Annisa. Di dalam mobil aku bertanya kepada mas Khudhori, apa Samsudin menanyakan tentang Mahbub kepadanya. “Untuk apa, Nisa? Tanya atau tidak, jelas ia sudah tahu kalau Mahbub anak kita.” “Paling tidak, aku ingin mendengar nada kekalahan paling akhir dari mulutnya.” “Siapa tahu ini bukan yang terakhir.” “Apa maksudmu, Mas?” “Iya. Perjalanan kehidupan Samsudin kan masih panjang, saying. Apa yang terjadi antara kalian hanyalah permulaan baginya. Siapa tahu, hanya Tuhan kan?” “Tetapi aku telah melihat banyak dari matanya, tadi sewaktu kalian sedang bercakap-cakap.” “Apa yang kau lihat, Nisa?” Mas Khudhori meledek. “Ia sinis sekali melihatmu. Pandangan matanya berkobar-kobar dengan dendam dan amarah. Apa Mas tidak melihatnya?” “Ah, itu hanya perasaanmu saja. Kau melebih-lebihkan, Nisa.” “Tidak! Ia pasti masih menaruh dendam pada kita, Mas. Terlebih setelah melihat Mahbub, kedengkiannya mencapai puncaknya.” “Nisa, istghfar! Nggak baik terus menerus su’udzon kepada orang lain. Sudahlah! Semuanya sudah berlalu kan?” Sekalipun aku masih diliputi rasa mengganjal dan kurang puas dengan tanggapannya, akhirnya kupendam sendiri semua kekhawatiran itu. Mas Khudhori terlalu positive thinking. Dan aku malas untuk kembali membincangkan berbagai kemungkinan yang bakal terjadi. Bukankah segala sesuatu yang bakal terjadi tak seorangpun yang mengetahui selain Yang Maha Mengetahui. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 303-305)
117
d. Penyelesaian (resolusi) Resolusi untuk konflik pertama yang kemudian memuncak adalah terjadinya perceraian antara Annisa dan Samsudin yang membuat Annisa memiliki peluang untuk menjadi perempuan yang merdeka. Penyelesaian ini dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam novel tersebut. “Bapak tak menyangka. Ini benar-benar pelik. Kiai Nasiruddin, Bapak mertuamu itu adalah sahabat terbaik dan paling dekat dengan Bapak semasa kami sama-sama moncok di Tebuireng. Saat Bapak kehabisan uang dan kiriman belum datang, beliaulah yang sering meminjami uang. Beliau itu orangnya baik, dermawan, tidak suka menyakiti hati orang, apalagi istrinya sendiri. Bagaimana bisa anaknya menjadi seperti itu. Jika semua ini terungkap di hadapannya, aku tak tahu bagaimana reaksinya.” ... . “Jika kita berbicara dan musyawarah secaraa kekeluargaan dan jika benar kiai Nasir itu orang yang baik dan tak suka menyakiti orang lain, tentu persahabatan kita tak terganggu dengan adanya masalah ini, Pak. Bapak jangan lupa, jika ini dibiarkan berlarut-larut, Nisa yang akan jadi korban. Ini saja Ibu rasa sudah terlambat, Pak. Jadi jangan ditunda-tunda lagi. Kasihan Nisa,” desak ibu sambil mengelus kepalaku. Aku merasa, belum pernah nada suara ibu sesimpati itu. Ia terlihat begitu cemas dan tak sabar untuk melihat kehangatan kasih sayangnya merasuk ke dalam jiwaku yang tengah gelisah. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 183-184) Semua keluarga Annisa termasuk saudara laki-lakinya yang semasa kecil selalu mengejeknya pun memberikan andil dalam permasalahan rumah tangga Annisa. Ketika itulah Annisa merasa bahwa begitu banyak orang yang mencintainya dan dia harus bangkit dari keterpurukan tersebut. “Kalau aku diizinkan berpendapat, menurutku, lek Khudhori masih terlalu muda sebagai hakam dalam masalah ini. Apa tidak lebih baik kalau yang diutus sebagai hakam adalah satu pihak yang minimal telah berkeluarga. Sebab dengan itu, pastilah dia lebih tahu urusan dan permasalahan tentang keluarga. Ini pendapat saya.” “Aku setuju,” cepat-cepat aku menyambung Wildan, “mungkin Bapak bisa mengutus Kiai Mahfud atau Kiai Badawi yang jauh lebih sepuh dan pastilah lebih arif untuk membincangkan masalah seperti ini.” “Benar. Ibu kira Kiai Mahfud jauh lebih baik dibandingkan Kiai Badawi. Soalnya Bapak tahu sendiri kan masalah kita dengan Kiai Badawi?,” ibu menyambung dengan teka-teki di antara kami. Ingin kutanyakan, ada apa dengan kiai Badawi tetapi pasti nanti akan jadi
118
persoalan. Lagi pula saat ini masalahku jauh lebih gawat dari persoalan Kiai Badawi. “Baiklah kalau begitu,” bapak memutuskan, “nanti bapak akan menghubungi kiai Mahfud.” Mencairlah sedikit ketegangan dalam hidupku. Malam itu, sekalipun udara pegunungan begitu dingin, melihat simpati yang ditunjukkan oleh semua yang ada di rumah, aku mendapat kehangatan lain yang membuatku terharu dan ingin menangis. Rizal berhenti memperolokku dan Wildan memberikan dukungan yang cukup berarti untuk selesainya masalahku. Ini benar-benar membesarkan hatiku untuk tetap bangkit, terlepas dari perhatian lek Khudhori, dan mahabbah di antara kami yang demikian puitis. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 187-188) Sedangkan kematian Khudhori yang merupakan ujian besar dalam rumah tangga Annisa dan Khudhori diterima Annisa dengan ikhlas dan lapang dada. Kematian yang telah menimpa Khudhori adalah takdir dari Allah SWT yang tidak bisa ditolaknya. Tidak! Mas Khudhori tidak mati. Aku yakin, bahwa ia hanya tidur kelelahan dan sebentar lagi akan bangun kembali. Tapi keyakinan itu selalu lenyap dalam mimpi. Sebab, hampir dua minggu aku bolak-balik ke rumah sakit. Sampai-sampai aku bermimpi yang bukan-bukan. Di mana aku bangkit, berdiri dan berjalan menuju ruang tengah. Tetapi apa yang kulihat? Tubuh berselimutkan kain panjang itu wajahnya begitu pucat, matanya terpejam dan diam. Aroma kapur barus itu, telah menyentakkan kesadaranku akan makna semua yang diam. Para pelayat yang terus berdatangan dan tatapan mata mereka, semuanya memberitahuku arti sebuah peristiwa. ... . Tubuh yang beku itu, menyiratkan senyum dan wajah kemenangan, menegaskan sikapnya dalam hidup yang pantang menyerah oleh gempuran fitnah dan cobaan. Dan senyum itu membakar semangat hidupku untuk tetap bangkit, berdiri dengan tegar di tengah gelombang yang menerpa, seganas apa pun. Memandanginya membuat energiku terpompa. Melihat masa depan dan Mahbub-ku, Mahbub kami yang menjernihkan mataku dari debu dan mendung dunia. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 312-314) e. Simpulan (konklusi) Bagian ini menjadi penutup cerita dari novel Perempuan Berkalung Sorban yang menceritakan tentang tokoh utama setelah konflik-konflik yang dilaluinya memuncak dan mengalami penyelesaiannya.
119
Namun, sejauh apapun kesedihan terhampar, selalu saja ada bunga yang mekar di ujungnya. Aku yakin, setelah kesulitan pasti kan datang kemudahan. Bahkan lebih dari itu, kesulitan dan kemudahan selalu datang bersamaan. Penderitaan ada dalam kebahagiaan, begitupun sebaliknya, kebahagiaan ada dalam penderitaan. Maka, kurasakan pada saat itu, harapan demi harapan terus berdatangan dalam kepala dan hatiku. Hingga aku dapat berjalan kembali dengan langkah kaki seperti biasanya. Kukerjakan apa saja yang bisa dikerjakan oleh kedua tanganku. Kubaca ayat-ayat semesta, kitab dan buku-buku yang menyimpan lekuk liku perjalanan adam dan hawa. “Nisa, apakah kau masih mencintaiku seperti gadis kecil di pinggir sungai itu?” “Aku tetap Nisa yang dulu, Mas.” “Tapi…” Aku tersenyum bangga. Kuletakkan buku yang sedari tadi kubaca di sisinya. Lalu kucium dahinya dengan lembut. Selembut embun pagi yang menetes dari langit biru. Mengisi jadwal dan kewajiban hari-hariku untuk tetap melangkah, memerdekakan kaumku yang masih saja dianggap lemah. Agar mereka selalu hadir dan mengalir di tengah zaman. Membawa kemudi. Panji matahari. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 315-316) Secara umum, alur yang digunakan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban memiliki alur mundur (regresif, flashback). Cerita dalam novel tersebut dimulai dari keadaan Annisa yang mengenang masa lalunya melalui penggambaran alam desanya. Gemercik air tak henti mengalir, mengisi kolam dan blumbang. Sungai-sungai kecil melengkungkan tubuhnya seperti sabit para petani yang menunggu musim panen. Sawah dan ladang berundak-undak seakan tangga untuk mendaki ke dalam istana peri. Semilir angin selalu datang dan pergi, tak pernah bosan menghias diri di pucuk-pucuk dedaunan. Bunga-bunga liar mekar tanpa disiram, menawarkan keindahan di lereng pegunungan, di dusun kecil yang terpisah dari keramaian, tempat bermain masa kanakku yang tak pernah kulupakan. Meski sudah berlalu, jauh di belakang waktu, masa kanak itu banyak menyimpan cerita. Kadang mengasyikkan, tapi lebih banyak yang menyebalkan. Dan kini, setelah aku mendapatkan gelar, sudah memiliki Mahbub, anak semata wayangku, cerita itu sering muncul seturut dengan pengetahuan yang kudapatkan dari lembaran buku kehidupan. Seperti dalam film, jalanan usiaku membentuk gambar-gambar yang terus bergerak dalam kepala. Kadang juga menjelma padang ilalang, semak dan hutan belantara. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009:1-2)
120
5. Sudut Pandang Sudut pandang dibagi menjadi tiga, yaitu: sudut pandang persona pertama “aku”, sudut pandang persona ketiga “dia”, dan campuran “aku dan dia”. dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, Abidah menggunakan sudut pandang orang pertama “aku”. Penulis adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa atau tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Jadi, pembaca hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh si „aku‟ tersebut. Penggunaan sudut pandang “aku” sudah terlihat sejak cerita dimulai. Gemercik air tak henti mengalir, mengisi kolam dan blumbang. Sungai-sungai kecil melengkungkan tubuhnya seperti sabit para petani yang menunggu musim panen. Sawah dan ladang berundak-undak seakan tangga untuk mendaki ke dalam istana peri. Semilir angin selalu datang dan pergi, tak pernah bosan menghias diri di pucuk-pucuk dedaunan. Bunga-bunga liar mekar tanpa disiram, menawarkan keindahan di lereng pegunungan, di dusun kecil yang terpisah dari keramaian, tempat bermain masa kanakku yang tak pernah kulupakan. Meski sudah berlalu, jauh di belakang waktu, masa kanak itu banyak menyimpan cerita. Kadang mengasyikkan, tapi lebih banyak yang menyebalkan. Dan kini, setelah aku mendapatkan gelar, sudah memiliki Mahbub, anak semata wayangku, cerita itu sering muncul seturut dengan pengetahuan yang kudapatkan dari lembaran buku kehidupan… . …. “Kita jaring betinanya!”, teriak Rizal, kakakku. “Dia mau bertelur, jangan diganggu!,” sergahku. “Justru di saat bertelur dia tak berdaya. Kesempatan kita menangkapnya.” …. Aku merenung sejenak. Kalau aku tak bisa menemukan jawabannya, dia pasti akan mengejekku. Mencibirku sebagai anak perempuan yang bodoh. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 1-3)
6. Amanat Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Sebagaimana tema, amanat dapat disampaikan secara implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku atau peristiwa yang terjadi pada tokoh menjelang cerita berakhir, dan
121
dapat pula disampaikan secara eksplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, atau larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita. Amanat dalam novel Perempuan Berkalung Sorban adalah penghormatan terhadap posisi perempuan. Bahwa perempuan memiliki hak atas dirinya sendiri. Tanpa melupakan kodratnya, perempuan memiliki hak-hak yang seharusnya dibuat adil antara laki-laki dan perempuan. Kata sorban lebih dimaknai sebagai simbol kemuliaan, martabat, dan kehormatan yang melekat pada lelaki muslim. Di Indonesia, sorban selalu dipakai oleh para kiai, haji dan ustadz, hingga Annisa, tokoh utama dalam kisah tersebut, berusaha mendekonstruksi dan merebut makna sorban itu untuk dikalungkan di leher perempuan, seorang nyai, hajjah dan ustadzah. Bahwa pada dasarnya, manusia itu makhluk androgin, yang memiliki kualitas maskulin sekaligus feminin sebagaimana dzat Yang Maha Pencipta. Maka, ketika Annisa berhasil merebut sorban itu, ia pun tidak kemudian menggunakannya sebagai lambang kuasa bagi perempuan atas laki-laki. Namun, sejauh apapun kesedihan terhampar, selalu saja ada bunga yang mekar di ujungnya. Aku yakin, setelah kesulitan pasti kan datang kemudahan. Bahkan lebih dari itu, kesulitan dan kemudahan selalu datang bersamaan. Penderitaan ada dalam kebahagiaan, begitupun sebaliknya, kebahagiaan ada dalam penderitaan. Maka, kurasakan pada saat itu, harapan demi harapan terus berdatangan dalam kepala dan hatiku. Hingga aku dapat berjalan kembali dengan langkah kaki seperti biasanya. Kukerjakan apa saja yang bisa dikerjakan oleh kedua tanganku. Kubaca ayat-ayat semesta, kitab dan buku-buku yang menyimpan lekuk liku perjalanan adam dan hawa. …. Aku tersenyum bangga. Kuletakkan buku yang sedari tadi kubaca di sisinya. Lalu kucium dahinya dengan lembut. Selembut embun pagi yang menetes dari langit biru. Mengisi jadwal dan kewajiban hari-hariku untuk tetap melangkah, memerdekakan kaumku yang masih saja dianggap lemah. Agar mereka selalu hadir dan mengalir di tengah zaman. Membawa kemudi. Panji matahari. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 315-316)
122
7. Gaya bahasa Gaya bahasa adalah teknik pengolahan bahasa oleh pengarang dalam upaya menghasilkan karya sastra yang hidup dan indah. Pengolahan bahasa harus didukung oleh diksi (pemilihan kata) yang tepat. Namun, diksi bukanlah satusatunya hal yang membentuk gaya bahasa. Gaya bahasa merupakan cara pengungkapan yang khas bagi setiap pengarang. Gaya seorang pengarang tidak akan sama apabila dibandingkan dengan gaya pengarang lainnya, karena pengarang tertentu selalu menyajikan halhal yang berhubungan erat dengan selera pribadinya dan kepekaannya terhadap segala sesuatu yang ada di sekitamya. Gaya bahasa dapat menciptakan suasana yang berbeda-beda: berterus terang, satiris, simpatik, menjengkelkan, emosional, dan sebagainya. Bahasa dapat menciptakan suasana yang tepat bagi adegan seram, adegan cinta, adegan peperangan dan lain-lain. Gaya bahasa sinisme juga kerap digunakan Abidah El Khalieqy untuk menggambarkan kesenjangan yang ada atas perlakuan bagi kaum perempuan dan laki-laki. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut. “Apapun yang terjadi…aku harus bisa. Aku mesti belajar naik kuda. Aku akan tetap belajar naik kuda. Naik kuda.” Tetapi impian tinggal impian. Setelah tragedy Rizal kecemplung Blumbang dalam pengembaraan kami, dua belas pasang mata santri diberi tugas mengamati aktivitas masa kanakku. Ruang bermainku mendapat pagar baru, lebih tinggi dan lebih sempit untuk cakrawala penglihatanku. Tanganku mulai dilatih memegang piring, gelas, sendok, wajan, dan api pembakaran. Bau asap membuatku pusing dan tersedak bertubi-tubi. Bau bawang dan sambal terong membuatku bersin-bersin. Sampai lidahku tak pernah bisa menikmati sarapan pagi, bahkan tak juga merasakan kebebasan ketika kedua tangan ini mesti kembali mencuci piring yang dipenuhi minyak bekas makanan Rizal, Wildan, dan bapak yang terus saja duduk di meja makan sambil ngobrol dan berdahak. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 8-9) Melalui beberapa narasi cerita, Abidah sebagai penulis juga mampu memberikan penjelasan tentang gambaran bagaimana pembagian kewajiban dan hak antara suami-istri tanpa ada kesenjangan antara keduanya. Kutipan narasi tersebut dapat dicontohkan sebagai berikut.
123
Saat paling berat kulalui adalah ketika pagi menjelang dan udara dingin menyerang. Perutku serasa diaduk-aduk dan sulit sekali memberi toleransi untuk keringat dan bau mulut yang belum disikat. Maunya begitu mataku terbangun, seluruh isi kamar harus berbau harum segar dan tidak menyengat. Juga tak ada sedikitpun barang yang berantakan, maunya rapid an indah. Jika tidak, aku akan terus menerus muntah berkepanjangan dan pusing dan ingin marah yang tak jelas ujungnya. Tak ada pilihan lain bagi mas Khudhori kecuali menuruti segala permintaanku. Sebelum subuh ia telah bangun dan merapikan semua, menyemprot dan mengepel seluruh ruangan dengan pengharum lalu mandi cepat-cepat sebelum aku terbangun. Jika aku belum juga bangun setelah semuanya beres, ia akan menyiapkan apel kesayanganku di nampan buah dan segelas susu prenagen. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 285-286) Kutipan di atas memberikan penjelasan bahwa tidaklah menjadi satu hal yang tabu jika suami melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh isteri. Mengepel, mencuci baju, mencuci piring, menyiapkan segala hal yang diperlukan dalam rumah tangga adalah hal-hal yang biasa dilakukan oleh seorang suami. Deksripsi yang diberikan oleh Abidah dalam novel tersebut antara Annisa dan Khudhori memberikan penerangan sekaligus kejelasan hak dan kewajiban serta keharusan harus saling membantu antara suami-isteri. Hal ini jelas menolak nilai yang diajarkan dalam lingkungan pondok pesantren tempat Annisa hidup sejak kecil. Bahwa, segalanya yang berbau rumah tangga adalah pekerjaan yang harus diselesaikan oleh seorang isteri tanpa ada pengecualian waktu, termasuk ketika seorang perempuan hamil.
C. PROSES KREATIF NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN Proses kreatif karya sastra adalah proses yang menjadi tahapan atau yang biasa disebut sebagai latar belakang terciptanya sebuah karya sastra. Beberapa karya sastra lahir dari komunikasi antara sastrawan dengan lingkungannya. Sebuah karya sastra juga dapat hadir karena pengalaman sastrawan dalam hidupnya yang mempu menginspirasi sastrawan tersebut untuk menciptakan sebuah karya sastra. Beberapa tema atau subject matter dapat menginspirasi sastrawan dan tidak pernah basi untuk dibicarakan karena masing-masing
124
sastrawan memiliki cara yang berbeda untuk menceritakan subject matter tersebut. Begitu pula dengan isu gender yang selalu menjadi perhatian bagi sastrawan laki-laki maupun perempuan. Isu gender selalu menjadi materi yang menarik untuk diperbincangkan meskipun keberadaannya dalam karya sastra cenderung mengundang perdebatan. Sudut pandang yang berbeda antara penulis laki-laki dan perempuan membuat karya sastra yang mengandung tema ini selalu kaya dengan hal-hal yang baru. Kekuasaan dan seks merupakan tema yang lumrah dan biasa dalam ranah sastra. Hampir di setiap zaman, keduanya hadir sebagai wacana yang mencerahkan, tapi juga sekaligus menyesatkan. Dan dalam kenyataannya, “penyesatan” itu terus berlangsung dan bahkan telah berubah menjadi sejarah. Karena imajinasi seks dalam prosa maupun puisi lebih banyak dimainkan, diorganisir, dicipta dan diekspresikan oleh kepentingan birahi kaum lelaki. Dengan sendirinya, unsur seks yang menonjol, atau sengaja ditonjolkan adalah seksualitas perempuan yang menggunakan ukuran, persepsi, dan libido seksualitas laki-laki. Sehingga keindahan seksualitas perempuan yang sebenarnya menjadi tak terkatakan, bahkan disembunyikan. Ekspresi seks dalam sastra hanya bekerja untuk menggambarkan bentuk dan fungsi alatalat reproduksi perempuan yang menggoda. Seksualitas perempuan hanya dilihat sebagai fenomena alamiah yang tetap dan tidak dapat diubah, sebagaimana yang berkembang dan tertanam dalam budaya patriarki. Sementara kekuasaan, baik dalam ruang sastra maupun dalam kenyataan budaya, juga berada dalam posisi yang serupa, tidak ramah terhadap perempuan, dan menjadikan perempuan sebagai objek semata. Bentukbentuk kekuasaan baik dalam politik, ekonomi, sosial, dan juga agama, tak juga berpindah dari ketiak patriarki. (Abidah, 2007b: 1)
Bertolak dari pemahaman tersebut, gagasan baru lahir yang dipelopori oleh kaum feminis untuk melakukan kampanye tentang pentingnya bagi pengarang perempuan untuk menulis seksualitas dirinya ke dalam karya sastra. Gagasan mereka dikenal dengan sebutan SEXTS, yaitu kombinasi antara kata Sex dan Text. SEXTS adalah bahasa yang diciptakan feminis aliran ini untuk menunjukkan seks perempuan dalam karya sastra melalui metafora dan morfologi keperempuanan yang lebih majmuk dan kaya.
125
Di Indonesia, para perempuan pengarang kontemporer mencoba mengikuti jejak tersebut tanpa memahami, dan mempertimbangkan nalar budaya yang melandasinya. Para pengamat sastra mencurigai, Ayu Utami memotori semua ini. Namun, sebagian besar dari mereka hanya bergerak mengikuti trend budaya pasar yang didominasi dan dikendalikan kapitalisme global yang sangat patriarkis. Seksualitas perempuan dibuka secara lebar-lebar, ditelanjangi dan disebarkan oleh perempuan itu sendiri. Abidah Al Khalieqy hadir di antara penulis perempuan yang mulai menjamur sekarang ini. Abidah El Khalieqy lahir di Jombang, Jawa Timur. Setelah ia menamatkan pendidikannya di sekolah ibtidaiyah (setingkat dengan sekolah dasar), ia melanjutkan sekolah di Pesantren Putri Modern PERSIS, Bangil, Pasuruan. Di pesantren inilah ia mulai menulis puisi dan cerpen dengan nama pena Idasmara Prameswari, Ida Arek Ronopati atau Ida Bani Kadir. Abidah berkembang menjadi penulis wanita yang cukup produktif dalam menghasilkan karya. Dengan memiliki modal latar pendidikan pesantren inilah kebanyakan karya-karya yang dihasilkannya mampu mendeskripsikan secara detail kebiasaan, peraturan, bahkan unsur-unsur yang ada di dalamnya secara jelas. Begitupula yang melatarbelakangi hadirnya Novel Perempuan Berkalung Sorban. Keaktifannya dalam berbagai lembaga dan forum diskusi baik dalam skala nasional maupun internasional membuat namanya berkibar. Proses
kreatif
pembuatan
Novel
Perempuan
Berkalung
Sorban
dilatarbelakangi oleh keinginan Abidah bahwa dalam setiap tulisan yang dihasilkan olehnya agar bermanfaat bagi kaum perempuan. Abidah menginginkan setiap karyanya mampu membuka dan mengubah pandangan kaum perempuan yang selama ini masih terkungkung dengan paradigma yang masih kental dengan budaya patriarki. Karena itulah Abidah menggunakan tokoh Annisa yang cerdas dan berpendidikan agar bisa menjadi model bagi pembaca karya sastra, terutama pembaca perempuan. Ketika dilakukan wawancara dengan Abidah melalui email yang dilakukan pada 15 Oktober 2009 mengenai Novel Perempuan Berkalung Sorban. Berikut adalah kutipan pernyataannya.
126
Saya ingin perempuan memiliki kemandirian. Perempuan harus menguasai ilmu. Ilmu pengetahuanlah yang akan menjawab nasib perempuan. Derajat ditentukan dengan ilmu. (Himpunan Mahasiswa Islam) dan kemudian saya tidak tertarik masalah politik. Ketika itu, isu tentang feminisme yang ditulis dalam novel seperti Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Sadawi dibahas di mana-mana. Saya juga mulai tertarik untuk membahas persoalan perempuan. Dan dalam benak saya, perempuan di Indonesia masih termarginalkan. Jadi, menurut saya, kondisi perempuan sudah sangat parah. Memang harus dicari akar permasalahannya dan disuarakan sekeras-kerasnya. Artinya, harus ada revolusi pemikiran bahwa ini adalah sesuatu yang sangat mendesak. Selama ini soal perempuan memang sudah banyak ditulis, soal penderitaan mereka dan keterpinggiran mereka. Tetapi bagaimana solusi ke depan untuk menyikapi kondisi seperti ini belum ditulis. ... . Dalam novel PBS, pembelaan terhadap pemilikan tubuh dan hak-hak reproduksi perempuan merupakan tumpuan eksplorasi. Melalui tokoh Annisa dalam novel tersebut, seolah saya bernafas dan hidup dalam visi perjuangannya, “tubuhmu adalah milikmu, tak seorang pun yang boleh menguasainya, juga lelaki pasangan hidupmu”. Sementara dalam AS, perjuangan lebih terarah untuk mengentaskan status dan posisi perempuan dari belenggu tradisi patriarkal dalam ruang domestik maupun publik. Kamila, tokoh utamanya, menjadi representasi dari perempuan pemberontak yang berusaha menemukan kesejatian dirinya di tengah ancaman dan kebusukan kaum lelaki. Karena itu, dalam menempuh kariernya, tokoh Kamila selalu berpindah dari kerja yang satu ke jenis pekerjaan lain. Kemudian menjadi lebih berhargadiri, bermartabat, ketika ia masuk dalam organisasi perempuan yang memiliki tujuan yang tidak berbeda dengan perjuangannya. Kutipan tersebut kembali menegaskan bahwa melalui tokoh-tokoh yang dihadirkannya dalam novel Perempuan Berkalung Sorban Abidah ingin menghadirkan sebuah perubahan tentang gambaran yang seharusnya atas kondisi dan kedudukan laki-laki dan perempuan. Setiap tokoh yang dihadirkan dalam novel tersebut merupakan representasi pemikiran Abidah atas kondisi sosial masyarakat pembaca, khususnya kondisi pondok pesantren. Melalui tokoh-tokoh tersebut pula, Abidah memberikan solusi atas ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat kita. Pada sisi ini, Abidah telah berhasil membuat karya sastra yang diciptakannya memiliki nilai manfaat bagi masyarakat pembacanya. Pembuatan novel Perempuan Berkalung Sorban ini bekerjasama dengan Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF). Yayasan ini adalah organisasi bentukan
127
para putri kyai Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur yang masing-masing memiliki pondok pesantren. Mengenai Yayasan tersebut, Abidah menjelaskannya sebagai berikut seperti petikan wawancara yang telah dilakukan. YKF didirikan oleh putri-putri kyai NU Jawa Timur yang kyai ini memiliki pondok pesantren. mereka tidak bergabung dalam Fatayat tapi mereka mendirikan NGO-nya. Mereka memiliki agenda acara seminar, workshop, dan segala macamnya. Dan memiliki salah satu media untuk pemberdayaan perempuan melalui penulisan novel. Penulisan novel ini merupakan satu-satunya cara yang dilakukan oleh NGO di Indonesia. Karena novel itu kan karya sastra , jadi jangkauannya lebih luas dan tidak temporal tapi abadi. Mereka anak kyai yang rata-rata menggugat apa yang dilakukan oleh ayahnya sendiri. (Lampiran Hal. 160) Tujuan dari penulisan novel ini adalah untuk mensosialisasikan hak-hak reproduksi perempuan yang selama ini masih belum banyak diketahui. Abidah El Khalieqy bersama YKF menyuarakan secara tertulis permasalahan yang harus diketahui oleh kaum perempuan tersebut. Alasan lain atas pengambilan tema tersebut karena melihat banyak permasalahan yang masih dirasakan oleh perempuan
yang
mencatut
hak-hak
perempuan.
Masih
banyak
tindak
penganiayaan yang diterima oleh perempuan baik dalam kehidupan rumah tangga atau dunia kerja. Novel ini ditulis untuk mensosialisasi hak-hak reproduksi perempuan yang sudah diratifikasi oleh PBB. Untuk memberikan detail yang jelas, saya juga mengadakan riset tentang hak-hak reproduksi perempuan selama hampir dua tahun. Riset lapangan untuk memberi setting tempat dan yang fisik-fisik selama tiga bulan, di Kaliangkrik, Kajoran, Magelang, Jawa Tengah Di satu kampung ada banyak pesantren salaf. Lokasinya di pegunungan. Saya juga menemukan orang-orang yang naik kuda. Sesudahnya, saya mengikuti seminar-seminar yang dilakukan oleh YKF selama hampir dua tahun, kemudian menulis novel tersebut selama sembilan bulan. (Lampiran Hal. 152) YKF dan Ford Foundation juga ikut membiayai proyek penulisan novel Perempuan Berkalung Sorban. Meskipun kerjasama dilakukan antara Abidah dengan YKF dan Ford Foundation, Abidah El Khalieqy memiliki otoritas pribadi dalam penulisan novel tersebut. YKF atau Fort Foundation tidak diperkenankan
128
untuk ikut campur tangan. Semua isi dan teknik penulisan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban murni dari Abidah El Khalieqy sebagai sastrawan. Abidah menyanggupi kerjasama yang ada karena adanya persamaan misi dan sorotannya dengan karya-karya yang telah ditulis Abidah sebelumnya. Persamaan tujuan dan misi inilah yang kemudian membuat Abidah dan YKF bersama Fort Foundation membuat kerjasama tersebut. Gerakan feminisme yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan terjadi semakin sering dibicarakan pada beberapa dekade terakhir. Melalui berbagai cara, aktivis perempuan berusaha menyadarkan masyarakat mengenai hal itu. Hasilnya cukup signifikan. Salah satunya ditunjukkan dengan munculnya kepekaan pemerintah terhadap kesetaraan gender. Melalui pusat perbukuan, pemerintah menanamkan kesetaraan gender pada siswa sebagai generasi penerus bangsa melalui jalur pengadaan buku teks. Namun dalam kenyataannya, upaya penyampaian kesetaraan gender sejak dini tersebut tidak dilaksanakan secara maksimal. Hal itu terlihat dari masih banyaknya buku teks Bahasa Indonesia untuk tingkat dasar yang menggunakan kutipan karya sastra yang bias gender. Pembicaraan tentang gender menjadi pembicaraan yang cukup ‟panas‟ di beberapa kalangan, termasuk dalam dunia sastra. Kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Ensiklopedia Feminisme (Maggie Humm, 2002: 177 178) menyatakan bahwa gender diartikan sebagai kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki atau perempuan. Perbedaan gender antara manusia laki-laki dan perempuan telah terjadi melalui proses panjang. Mufidah dalam Paradigma Gender (2003: 46) mengungkapkan bahwa pembentukan gender ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut membentuk, kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos seolah-olah telah menjadi kodrat laki-laki dan perempuan. Pembedaan laki-laki dan perempuan sesungguhnya tidak menjadi masalah. Pembedaan tersebut menjadi bermasalah ketika menghasilkan ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu. Masalah gender dalam masyarakat patriarkal telah
129
menempatkan perempuan sebagai objek yang selalu dikendalikan sehingga menimbulkan reaksi dari kelompok perempuan di seluruh dunia. Menurut Mosse (2003:69 70) mereka menuntut seksualitas sebagai sebuah wilayah yang memberikan kesempatan pada perempuan untuk dapat menolak penindasan atas dirinya. Mereka menyoroti masalah pemahaman tentang seksualitas perempuan yang telah diterima, yang mengaitkan subordinasi ekonomi dan sosial perempuan dengan subordinasi seksualnya. Penulis perempuan kini semakin banyak bermunculan. Mayoritas karyakarya yang dihasilkan bercerita tentang realita kehidupan kaumnya. Buah pikiran mereka semakin digandrungi karena mendobrak dominasi para penulis pria. Keadaan inilah yang membuat kajian tentang gender dalam dunia sastra menjadi bahan pembicaraan yang menarik untuk didiskusikan. Dalam sebuah diskusi yang dilaksanakan di Universitas Negeri Surabaya, Abidah mengungkapkan: Sebagai dikembangkan kaum feminis, wacana jender dalam sastra mengarahkan perspektifnya pada beberapa tujuan, yang di antaranya dapat diacu sebagai cara kreatif untuk membebaskan perempuan dalam menulis dan menceritakan pengalamanya sendiri di luar konvensi, aturan, konsep dan premis budaya patriarkis. Wacana jender juga berusaha menciptakan androginitas budaya, membangun kesetaraan tatanan sosial yang didasarkan pada penghargaan terhadap nilai-nilai keperempuanan. Dan secara teoritik, jalan untuk mencapai tujuan-tujuan itu, kajian jender telah menyediakan metode, alat dan perangkat bagi perempuan untuk mengeksplorasi pengalaman, intusi dan intlektualitas, moral dan spiritualitas yang berkembang dari dalam dirinya. Di sisi lain, feminisme, gender berkembang pesat. Buku-buku karya sastra yang terbit merupakan hasil karya penulis perempuan. Abidah Al Khaleqy adalah salah satu penulis wanita yang hadir dengan kontroversi di setiap karyanya. Tanpa ragu karya-karyanya mengungkapkan sisi-sisi kehidupan seorang perempuan dari berbagai sudut pandang. Bahkan, tentang perlakuan terhadap wanita seperti yang diceritakan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban. Abidah dengan para penulis wanita kemudian menciptakan sebuah persaingan sehat dalam berkarya antara penulis laki-laki dan penulis perempuan.
130
D. NILAI-NILAI KULTURAL PONDOK PESANTREN DALAM NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang diperkenalkan di Jawa sekitar 500 tahun yang lalu. Sejak saat itu, lembaga pesantren tersebut telah mengalami banyak perubahan dan memainkan berbagai macam peran dalam masyarakat Indonesia. Secara historis, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang di-kembangkan secara indigenous oleh masyarakat Indonesia. Karena sebenarnya pesantren merupakan produk budaya masyarakat Indonesia yang sadar sepenuhnya akan pentingnya arti sebuah pendidikan bagi orang pribumi yang tumbuh secara natural. Novel Perempuan Berkalung Sorban memiliki setting pondok pesantren yang berfungsi sebagai tempat berkembangnya gagasan-gagasan masing-masing tokoh dan awal terciptanya konflik. Abidah El Khalieqy sebagai penulis menempatkan pondok pesantren sebagai institusi pendidikan yang berperan penting dalam perubahan pola pandang masyarakat saat ini. Dalam wawancara yang dilakukan dengan Abidah El Khalieqy di kediamannya, dia mengungkapkan sebagi berikut. Pesantren ini kan satu institusi pendidikan yang merupakan agent of change untuk merubah pola pikir masyarakat. Bagaimana mindset masyarakat itu di rubah. Dari masyarakat yang patriarki menjadi tidak patriarki atau patriarki ini dilestarikan terus menerus ya berasal dari sini. Kalau dari agennya saja tidak mau berubah semua ini, kita tidak akan berbah. Karena yang bisa merubah pola pikir masyarakat adalah agen-agen perubahan ini. Nah, kalau kita ingin melakukan revolusi pemikiran ya dari agen-agen ini. Ada juga yang menanyakan kenapa Mbak Abidah nggak menulis saja novel yang setting-nya pelacuran atau tempat-tempat yang lain. Itu kan juga sarat sekali dengan nilai-nilai feminisme. Tapi bukan itu yang saya inginkan. Kalau kita ingin perubahan kita cari dulu akarnya dalam masyarakat. Kalau ada ketimpangan, ada ketidakseimabangan dalam masyarakat kita cari dulu akar permasalahannya. Awalnya, kita lakukan kritik-kritik dulu, kita benahi ada apa sebenarnya dalam pondok pesantren. di sana kan ada penguasa-penguasa, yaitu kyai dan kitab kuning. Dalam PBS saya memberikan contoh-contoh beberapa hadist dan profil seorang kyai yang dominan terhadap keluarga dan pondok pesantrennya. Maka, setting pondok pesantren adalah satu kewajiban yang harus diangkat. Latar pondok pesantren adalah target untuk dikritisi karena dari sana akar dari
131
masalah perubahan. Yang ingin kita lakukan dalam PBS adalah merevolusi pemikiran. Bagaimana mindset dan paradigma kita dirubah. (Lampiran Hal. 158) Menurut Dhofier (1985), secara umum pondok pesantren dibagi menjadi dua yaitu pondok pesantren tradisional (salafi) dan pondok pesantren modern (khalafi). Pesantren tradisional mengajarkan pengajaran kitab-kitab islam klasik sebagai inti pendidikannya tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Metode pengajaran di pondok pesantren tradisional menggunakan sistem bandongan (kelompok) dan sorogan (individual). Selain itu, di pondok pesantren tradisional kyai memiliki otoritas yang besar dalam menentukan kebijakan. Sistem pendidikan tergantung kepada selera kyai serta tidak adanya sebuah aturan baik menyangkut manajerial, administrasi, birokrasi, struktur, budaya, dan kurikulum (Wahid, 2001). Dalam kehidupan sehari-hari, di pondok pesantren tradisional karisma dan kepribadian kyai sangat berpengaruh terhadap santri. Sikap hormat, takzim, dan kepatuhan mutlak kepada kyai. Ini adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan kepada setiap santri. Sedangkan pondok pesantren modern telah memasukkan pengajaran pengetahuan umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkan atau membuka tipe-tipe sekolah
umum
di
lingkungan
pesantren
dengan
metode
pembelajaran
menggunakan sistem klasikal. Ini juga seperti dijelaskan oleh Lulik Khumaidiyah, santri pondok pesantren Al Quran, Narukan Kecamatan Kragan bahwa dalam pondok pesantren tidak ada santri yang mengikuti sekolah umum. Santri belajar dalam pondok pesantren sepanjang hari yang dimulai pada pukul 8 pagi sampai jam 11 siang dan dilanjutkan hingga sore hari. Santri belajar sepanjang hari secara berkelompok dan individual. Sebagaimana namanya, pondok pesantren ini lebih memfokuskan pengajaran dan pemahaman tafsir Al Quran kepada para santri yang belajar di sana. Bertolak dari pemikiran tersebut, Abidah El Khalieqy kemudian menggunakan latar pondok pesantren salaf, bukan pondok pesantren modern. Dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, Abidah menggambarkan sosok kyai
132
yang memiliki dominasi yang besar terhadap santri-santrinya juga terhadap keluarganya. Novel tersebut juga menggambarkan para kyai yang masih kolot dengan penafsiran kitab kuning mereka. Hal tersebut dikemukakan Abidah El Khalieqy dalam wawancara berikut. Sebagai institusi pendidikan yang mewakili satu rezim tafsir agama tertentu. Kalau saya sebagai muslimat, saya tahu bahwa kondisi perempuan kita, tidak hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia, kita mengalami segala macam ketidakadilan, gender dan lain sebagainya itu berasal dari salah tafsir. Jadi tidak berasal dari ayat-ayat alquran yang kita pegang selama ini tapi penafsiran. Dan penafsiran ini merupakan otoritas dari kyai, ulama, dan ustadz kita dan mereka ada di pesantren. …. Pondok pesantren yang saya jadikan tempat observasi di Kali Angkrik, Magelang itu sangat kecil. Tidak seperti di filmnya ya, kalau filmnya kan depannya laut. Tidak seperti itu. Setting-nya di daerah pegunungan yang turun naik begitu. Jadi memang sangat asyik. Dan tentang naik kuda itu memang benar. Saya mengadakan observasi di lapangan selama 3 bulan di sana. Saya perlu observasi di lapangan karena kultur pondok muhammadiyah dengan NU itu berbeda, dengan pondok modern juga berbeda. Saya berasal dari pondok modern dan beberapa kitab yang digunakan beberapa juga berbeda. Ketika observasi saya sempat terbelalak dengan ajaran di sana karena ternyata ajarannya sampai seperti itu. Sebelumnya, sama sekali tidak pernah saya pelajari di pondok saya. (Lampiran Hal. 159 dan 161) Pengambilan setting pondok pesantren salaf dilakukan Abidah untuk menjelaskan hegemoni kekuasaan para kyai dan kitab kuning yang sangat mempengaruhi jalannya kultur dalam wilayah pondok pesantren. Hal tersebut sulit ditemui jika Abidah mengambil setting pondok pesantren modern karena santri pada pondok pesantren modern telah cukup banyak bersinggungan dengan dunia di luar pesantren. misalnya, dengan sekolah di sekolah umum mereka akan bersinggungan dengan individu-individu baru dengan kebiasaan-kebiasaan yang juga baru. Bertolak dari penjelasan Wahid di atas tentang otoritas kyai pada pondok pesantren modern yang mengharuskan santri memiliki kepatuhan yang tinggi kepada kyai, Abidah menceritakan sebagai berikut dalam kutipan novel Perempuan Berkalung Sorban.
133
Sengaja kuambil tempat paling tengah persis di depan ustadz Ali, dan di sebelah kiri Mbak May untuk menyaringkan pendengaran dan memudahkan bertanya jika, perlu. Setelah memberi pengantar secukupnya, beliau memberi penjelasan. “Malam ini, saya akan menjelaskan macam-macam kaum perempuan yang masuk neraka dan masuk surga.” ... . “Perempuan mana saja yang diajak suaminya untuk berjimak lalu ia menunda-nunda hingga suaminya tertidur, maka ia kan di laknat oleh Allah.” Kemudian lanjutnya, “perempuan mana saja yang cemberut di hadapan suaminya, maka dia dimurkai Allah sampai ia dapat menimbulkan senyuman suaminya dan meminta keridlaannya.” …. “Bagaimana jika isterinya yang mengajak ke tempat tidur dan suami menunda-nunda hingga isteri tertidur, apa suami juga dilaknat Allah, Pak Kiai?” “Tidak. Sebab tidak ada hadist yang menyatakan seperti itu. Lagipula mana ada seorang isteri yang mengajak lebih dulu ke tempat tidur. Seorang isteri biasanya pemalu dan bersikap menunggu.” “Bagaimana jika kenyataannya ada seorang isteri yang terbuka dan mengajak lebih dulu dan tidak suka bersikap menunggu.” “Perempuan seperti itu biasanya tidak disukai laki-laki karena terlalu agresif. Nanti laki-laki bisa minder menghadapinya. Sebaiknya seorang isteri adalah pemalu dan bersikap menunggu.” “Tetapi menunggu sampai kapan, Pak Kiai?” Semua terkesima lalu gerr. Ustadz Ali ikut tersenyum lalu gelenggeleng kepala… . “Kira-kira sampai kapan? Tentu saja sampai suami berkenan mengajaknya,” jawabnya enteng, sembari berdehem dua kali. “Bagaimana kalau suami tidak pernah berkenan karena sudah puas dengan dirinya sendiri atau berselingkuh, misalnya?” Ustadz Ali yang sering dipanggil Kiai Ali memang sudah agak tua hingga ketika melotot, menambah ramai kerut merut dan tegangan di wajahnya. Dan seperti kucing kehujanan, para santri menggeletar ketakutan. Seakan puing-puing tengah berhamburan karena suaraku adalah irama bom yang diledakkan persis di tengah kesunyian malam menggertak sasaran. Ingin kupamerkan tawa dan kegembiraan andai aku tak ingat pada wajah bapak dan irama geramannya saat amarahnya meletus. Kurendahkan pandanganku menunggu sampai ustadz Ali dapat menguasai perasaannya kembali. (Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 78-82) Kutipan tersebut memberikan gambaran tentang ketakutan dan sikap hormat yang berlebihan yang dimiliki oleh santri-santri di pondok pesantren terhadap kyai-kyai mereka. Sikap hormat yang berlebihan tersebut bahkan
134
memiliki dampak yang negatif terhadap kekritisan pikiran para santri karena mereka cenderung takut untuk membantah atau berdiskusi atas materi dan setiap ajaran yang diterima agar dapat relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Ketakutan yang kemudian menutup keberanian para santri untuk bertanya atas setiap ajaran yang diberikan membuat kesalahan tafsir yang dilakukan oleh para kyai terjadi secara terus menerus. Kelanjutan dari proses tersebut adalah bahwa pondok pesantren yang seharusnya menjadi institusi pendidikan yang mampu membawa perubahan pemikiran ke arah yang lebih baik tidak melakukan fungsi tersebut. Kesalahan tafsir yang diterima secara serta merta ini kemudian disebarkan kembali oleh para santri lulusan pondok pesantren. Maka, masyarakat akan menerima informasi yang salah dan hal tersebut terjadi secara simultan dan kontinyu. Hal tersebut akan semakin bertambah buruk karena masyarakat pun akan menerima ajaran tersebut secara total. Ini terjadi karena kultur masyarakat di tanah air cenderung langsung percaya dengan ajaran-ajaran yang disebarkan melalui pondok pesantren tanpa di saring terlebih dahulu. Masyarakat masih menempatkan posisi kyai sebagai status sosial yang dikultuskan dan cenderung selalu benar. Novel Perempuan Berkalung Sorban diciptakan dengan menggunakan kearifan lokal sebagai kekuatannya. Setting pondok pesantren yang dipilih Abidah El Khalieqy memiliki satu kekuatan bagi pembaca sastra di tanah air. Setting pondok pesantren yang sudah dikenal pembaca akan membuat pembaca mudah untuk menggambarkan kondisi tempat, sosial atau budaya yang dijadikan Abidah sebagai latar novel tersebut. Selain isu gender yang menjadi subject matter novel Perempuan Berkalung Sorban pemilihan setting pesantren dinilai memiliki kekuatan dan daya tarik tersendiri, terutama bagi pembaca sastra di tanah air. Alasan tersebut antara lain karena pondok pesantren merupakan satu institusi pendidikan yang dalam masyarakat dinilai sebagai kawah candradimuka yang menghasilkan tokoh-tokoh masyarakat. Lulusan yang telah menikmati pendidikan - pendidikan umum dan agama - dalam pondok pesantren ditempatkan masyarakat sebagai guru dalam kehidupan sehari-hari. Namun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
135
pada beberapa pondok pesantren terdapat sikap hormat yang berlebihan sehinga para santri menerima dengan serta merta ajaran dan tafsir Alquran dan hadist. Keadaan seperti itu membuat hegemoni tafsir yang tekstual yang dilakukan oleh para kyai berlangsung terus menerus tanpa ada relevansi dengan kehidupan sekarang yang bersifat kontekstual. Hal tersebut yang akhirnya membuat beberapa kebijakan dan fatwa yang dikeluarkan para kyai dari kalangan pondok pesantren mengundang kontroversi dalam masyarakat. Nilai-nilai yang terdapat dalam penggambaran kultur pondok pesantren dalam novel Perempuan Berkalung Sorban antara lain adalah, pertama, sikap hormat yang berlebihan terhadap sesama manusia tidak akan menghasilkan dampak yang positif. Hal tersebut terlihat jelas pada penggambaran kultur dan kebiasaan para santri di pondok pesantren terhadap para kyai, terutama kyai sepuh. Kedua, novel Perempuan Berkalung Sorban sarat dengan tema kesetaraan gender. Tema tersebut adalah tema krusial yang penting untuk dikaji karena berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Pembicaraan mengenai kesetaraan gender telah dimulai sejak beberapa dekade terakhir dan makin marak dibicarakan sekarang ini seiring semakin aktifnya organisasi-organisasi yang bergerak dan mengusung tema ini sebagai arah gerak organisasi mereka. Pengangkatan tema tersebut ke dalam karya sastra akan membuat pembaca secara tidak langsung ikut mengamati sekaligus berdiskusi atau mengadakan kontemplasi tentang fenomena yang berada di sekitar. Fakta dan kejadian yang ada di sekitar akan membuat pembaca dekat dengan novel tersebut karena pembaca mengetahui sendiri fenomena tersebut. Kontemplasi yang dilakukan pembaca atas karya sastra yang mengandung isu kesetaraan gender ini akan membuat pembaca sedikit banyak mengetahui dan memahami solusi atau pemecahan masalah yang terjadi. Sekaligus sebuah kesadaran bahwa pola patriarkal yang ada dalam struktur masyarakat kita membawa dampak yang tidak selalu baik, terutama bagi kaum perempuan. Pembaca perempuan khususnya akan memahami nilai-nilai tersebut dan memahami bahwa hak-hak perempuan yang dimiliki harus diperjuangkan. Namun, harus tetap sesuai dengan kodrat mereka.
136
Sedangkan nilai ketiga, berkaitan dengan nilai kedua adalah bahwa perjuangan diperlukan untuk mencapai segala mimpi, termasuk ketika hendak meminta hak pribadi. Novel Perempuan Berkalung Sorban menceritakan secara jelas perjuangan tokoh Annisa untuk mendapatkan kembali kemerdekaan dan hakhak yang seharusnya dapat ia nikmatAbidah El Khalieqy menggambarkan Annisa sebagai perempuan yang berani memperjuangkan hak-hak yang dimilikinya dengan kecerdasan dan keberaniannya. Melalui tokoh Annisa, Abidah merepresentasikan pemikirannya tentang sikap dan pemikiran perempuan yang seharusnya. Tokoh inilah yang kemudian diharapkan Abidah El Khalieqy mampu menjadi model bagi perempuan-perempuan lainnya.
E. RELEVANSI NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH Bahasa sebagai sarana yang dimiliki oleh manusia memiliki peranan sentral dalam perkembangan intelektual, emosional, dan spiritual seseorang. Begitu pula bagi siswa, selain memiliki peran sentral terhadap perkembangan intelektual, emosional, dan spiritual mereka, bahasa sekaligus menjadi penunjang bagi para siswa untuk mempelajari dan menguasai bidang studi yang lain. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia diharapkan dapat membantu siswa untuk lebih mengenal dirinya, budayanya, dan lingkungan di sekitarnya. Pembelajaran sastra hendaknya dapat membuat siswa berani untuk mengemukakan gagasannya dan menggunakan kemampuan analitis dan imajinasi yang ada dalam dirinya, terutama yang berkenaan dengan apresiasi sastra. Hakikat pembelajaran
dan apresiasi sastra merupakan komponen yang penting pada
pembelajaran bahasa indoneisa. Hal tersebut ditandai dengan adanya materi tersebut dari tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) sampai lanjutan atas (SMA/SMK sederajat). Mutu pendidikan tidak semata-mata diukur dengan nilai-nilai ujian yang mencapai atau di atas nilai kelulusan. Departemen Pendidikan Nasional mengakui hal tersebut dan menyikapinya dengan membuat aturan kelulusan yang
137
mengharuskan siswa harus memiliki pekerti yang baik agar mereka dapat lulus. Nilai-nilai budaya, budi pekerti, religius, maupun kemasyarakatan harus digali sendiri oleh siswa. Nilai-nilai tersebut dapat diperoleh siswa dengan membaca karya sastra, dalam hal ini adalah novel. Hal tersebut dapat menambah kekayaan batin siswa sekaligus membimbing mereka ke arah pola pikir yang lebih dewasa. Kedewasaan pola pikir ini ditandai dengan adanya kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual yang dimiliki siswa. Teks sastra dapat digunakan guru sebagai media alternatif dalam pembelajaran sastra. Guru dapat menjadikan novel sebagai materi pembelajaran yang membantu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan, penuh empati, dan bahkan bermain-main. Teks sastra seperti novel dapat membongkar kebekuan daya cipta siswa dan mengisinya dengan kesadaran sosiokultural. Novel yang berlatar kearifan lokal sastrawan yang disertai dengan eksplorasi nilai estetis dapat menghasilkan teks sastra yang bermutu dan otentik. Hal tersebut dapat menumbuhkan kesadaran untuk berkreasi bagi para siswa. Permasalahan yang terjadi dalam pembelajaran sastra di kelas adalah pemanfaatan sinopsis bagi para guru sebagai satu-satunya cara untuk memperkenalkan karya sastra terhadap siswa. Sinopsis adalah inti cerita yang ditulis secara singkat. Pembelajaran tersebut akan membuat siswa tidak bersentuhan langsung dengan novel atau karya sastra dan membuat siswa tidak dapat merasakan kenikmatan dalam pembelajaran apresiasi karya sastra. Pembelajaran seperti itu akan menghasilkan siswa-siswa yang tidak paham dan mengetahui informasi dalam novel tersebut. Siswa tidak akan banyak mengetahui tentang siapa nama pelaku dalam novel, bagaimana penokohannya, latar ceritanya, temanya, amanatnya, dan penghargaan terhadap karya sastra akan berkurang. Hal tersebut akan terjadi secara simultan dan akan menyebabkan semakin hilangnya apresiasi terhadap karya sastra. Bertolak pada pembelajaran kontekstual, pembelajaran sastra dapat dilakukan melalui pemanfaatan teks-teks sastra dengan mempertimbangkan akar tradisi sosio-kultural masyarakat setempat. Pembelajaran kontekstual menuntut guru sastra mengetahui minat siswa sehingga dapat menyajikan suatu karya sastra
138
yang tidak menuntut gambaran diluar jangkauan pembayangan yang dimiliki siswa. Novel Perempuan Berkalung Sorban adalah salah satu novel yang dicipta dengan kearifan lokal dari latar sosio-kultural. Penggunaan novel ini dalam pembelajaran apresiasi sastra dapat memberikan mafaat bagi siswa agar mereka mengetahui kondisi yang ada di sekitar mereka dan menjadikan siswa tidak asing dengan karya-karya di lingkupnya sendiri. Novel Perempuan Berkalung Sorban cocok digunakan sebagai materi pembelajaran apresiasi novel di tingkat SMA pada kelas XI. Pertimbangan yang digunakan adalah bahwa pada tahap ini, seseorang sudah tidak lagi berminat pada hal-hal praktis, tetapi juga berminat untuk menemukan konsep-konsepabstrak dengan menganalisis sebuah fenomena. Kompetensi dasar yang berhubungan dengan pembelajaran sastra yang menggunakan bahan ajar novel adalah KD 7.2, 15.1, dan 15.2. Novel Perempuan Berkalung Sorban sarat dengan perjuangan perempuan dalam kesetaraan gender. Novel ini dapat digunakan siswa untuk memahami fenomena gender yang ada dalam masyakarat. Selain itu,novel ini dapat digunakan siswa untuk dapat lebih mengetahui budaya pondok pesantren. Nilainilai dalam novel ini dapat menjadi bahan renungan yang bermakna dalam kehidupan sekaligus kesadaran kreativitas pada siswa. Pemanfaatan novel Perempuan Berkalung Sorban dalam pembelajaran apresiasi sastra novel dapat mempertajam pemaknaan dan penafsiran siswa terhadap akar tradisi sosio-kultural dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Teks sastra akan hidup dan berkembang dalam pemaknaan dan penafsiran serta menghindari pemaknaan tunggal. Pemahaman pembaca (siswa) yang juga terus berkembang akan membuat teks sastra tidak akan pernah mati karena penafsiran pembaca (siswa) yang selalu kaya dalam mengapresiasi lambang bahasa di dalamnya. Model pembelajaran apresiasi novel di kelas dapat dilakukan sebagai berikut:
pertama, guru membuat daftar hal-hal yang ada dalam novel untuk
dibahas. Pembahasan dan diskusi dilakukan dengan maksimal agar siswa dapat mengetahui isi novel secara mendalam. Pembahasan dapat dilakukan selama 3-4
139
kali
pertemuan.
Misalnya,
pertemuan
pertama
untuk
membahas
atau
mendiskusikan isi, pertemuan kedua mendiskusikan gaya bahasa dan unsur kebahasaan. Begitu selanjutnya sampai guru menilai siswa telah memahami karya sastra yang menjadi objek kajian. Kedua, siswa dapat dibagi dalam beberapa kelompok sesuai dengan bagian dalam novel. Setiap kelompok kemudian berdiskusi untuk menghasilkan porto folio dan mempresentasikan hasil kerja kelompoknya di depan teman-teman sekelas. Guru bertindak sebagai fasilitator dan siswa berkreativitas untuk menemukan hal-hal yang ingin digali dalam novel. Jika dimasukkan dalam tema pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA kelas XI dalam buku teks di kelas, novel Perempuan Berkalung Sorban dapat dijadikan bahan ajar alternatif pada beberapa tema. Misalnya tema perjuangan. Tema yang diangkat dalam novel tersebut dapat dijadikan bahan ajar alternatif yang bersifat kontekstual. Jadi, pembelajaran yang dilakukan tidak hanya mencakup pada perjuangan para pahlawan nasional tetapi lebih menyentuh siswa karena isu terkini yang diberikan oleh guru atas tema yang sama. Guru dapat menjelaskan hal-hal yang baru tentang konsep perjuangan dan membawa murid masuk pada perjuangan kesetaraan gender. Pembahasan yang dilakukan guru tentang emansipasi dan kesetaraan gender dapat lebih luas. Misalnya, tidak hanya tentang RA. Kartini dan perjuangannya, tetapi juga kepada tokoh-tokoh perempuan yang lain untuk kemudian guru dapat membuat apersepsi dan mengajak siswa masuk pada novel Perempuan Berkalung Sorban. Relevansi yang lain dari novel Perempuan Berkalung Sorban dapat dijadikan bahan ajar alternatif ketika terdapat pembahasan tentang unsur intrinsik dan ekstrinsik sastra. Selain itu, pembahasan atas novel ini juga dapat dibawa saat pembelajaran mengambil tema drama. Hal ini mengingat bahwa novel ini telah diangkat ke dalam layar lebar sehingga analisis yang dilakukan para siswa dapat masuk pada analisis drama film selain analisis karya sastra novel. Variasi dan kekreativan guru sangat berperan pada jalannya pembelajaran di kelas, begitupula dengan motivasi dan minat para siswa. Adanya bahan ajar alternatif yang baru
140
dapat digunakan untuk meningkatkan minat dan motivasi siswa sekaligus kekreativan guru dalam memanfaatkan bahan ajar alternatif tersebut. Pembelajaran sastra yang masih bergabung dengan pelajaran bahasa Indonesia sesungguhnya memudahkan proses ini karena siswa dapat belajar sastra sekaligus bahasa melalui novel. Materi kebahasaan (struktur dan kosakata), berbicara, menyimak, membaca dan menulis sudah terpadu dalam kegiatan ini. Siswa sudah melakukan praktik langsung tanpa harus banyak berteori. Novel memiliki contoh-contoh penggunaan bahasa untuk dibahas, begitu pula penggunaan majas dan peribahasa yang terkandung dalam novel yang juga dapat digunakan guru sebagai contoh dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
F. PENILAIAN PEMBACA TERHADAP NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN Karya sastra tidak pernah lepas dari sastrawan, lingkungan, dan pembacanya. Karya sastra tidak mungkin jatuh begitu saja dari langit, tentunya selalu ada hubungannya antara sastrawan, sastra, dan masyarakat (Sapardi Djoko Damono dalam Wiyatmi, 2006: 97). Sebuah karya sastra menjadi bernilai ketika karya sastra tersebut memiliki makna dan memberikan sesuatu kepada masyarakat pembacanya sebagaimana sifat karya sastra yang bersifat dulce et utile, mendidik dan menghibur. Karya
sastra
dapat
menjadi
sarana
bagi
pengarangnya
untuk
menyampaikan pikiran, perasaan dan gagasannya sekaligus imajinasi yang dimilikinya kepada pembaca. Oleh karena itu, karya sastra diakui dapat befungsi sebagai media yang dapat mengubah pola pikir dan paradigma masyarakat. YKF melihat peluang tersebut dan untuk melakukan sosialisasi atas hak-hak reproduksi kaum perempuan lembaga ini menggandeng sasrtawan Abidah El Khalieqy. Abidah yang memiliki kesamaan misi dengan YKF-pun menerima tawaran tersebut. Novel Perempuan Berkalung Sorban mengangkat isu gender dengan latar kehidupan pondok pesantren. Berbagai macam penilaian hadir atas karya yang dihasilkannya setelah tulisannya sampai kepada para penikmat sastra. Novel
141
Perempuan Berkalung Sorban juga menuai banyak kontroversi setelah diterbitkan. Beberapa kecaman hadir dari kalangan pondok pesantren terutama oleh para kyai sepuh. Hal tersebut seperti yang diungkapkan Abidah El Khalieqy dalam wawancara di kediamannya. Penulisan novel ini merupakan satu-satunya cara yang dilakukan oleh NGO di Indonesia. Karena novel itu kan karya sastra , jadi jangkauannya lebih luas dan tidak temporal tapi abadi. Mereka anak kyai yang rata-rata menggugat apa yang dilakukan oleh ayahnya sendiri. Ketika kemarin rame-rame kontroversi PBS saya juga ke pondokpondok pesantren dan kyai berang pada saya, saya diundang ke Jombang. Tapi menurut saya, karena sastrawan otoritasnya lebih jadi saya memperjuangkan mana yang hak dan yang salah. Secara hati nurani saya seperti itu. Jadi, saya mau menulis novel itu. Meskipun beberapa orang bilang ini novel pesanan dan saya bersedia di koloni, jawabannya ya itu tadi. Saya bertemu dengan teman-teman dari YKF dan nyambung di isu itu. (Lampiran Hal. 160) Selanjutnya, penilaian atas karya yang diterbitkannya memang tidak lagi menjadi wewenang Abidah Al Khalieqy selaku penulis karena sebagaimana sudah diketahui bahwa penilaian sastra tidak dapat dipaksakan. Penilaian atas sebuah karya sastra dapat dipengaruhi oleh latar belakang (dapat dalam bentuk sosial atau pendidikan) si penikmat sastra. Resepsi tentang sastra cenderung bersifat relatif sehingga tidak ada aturan yang baku dan larangan bagi pembaca atau penikmat sastra untuk menyatakan sebuah karya sastra itu layak atau tidak untuk dinikmati publik. Bertolak dari hal tersebut, beberapa pembaca yang menjadi narasumber penelitian ini memberikan penilaian bahwa novel Perempuan Berkalung Sorban adalah sebuah novel yang bagus karena menggugah dan penuh dengan inspirasi. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Fetty Permatasari, “Asyik. Nuansa perlawanan dari tokoh utama terasa kental di novel itu. Ciri khas Abidah dalam karya lain juga begitu. Abidah selalu melihat sisi lain”. Novel Perempuan Berkalung Sorban adalah sebuah novel berbingkai feminisme yang cukup kental. Beberapa pembaca menilai bahwa gagasan yang disampaikan penulis melalui novel tersebut menyentuh sisi-sisi ini. Abidah El Khalieqy sebagai penulis menginginkan perubahan paradigma pembaca terhadap
142
hal-hal yang harus diperjuangkan oleh perempuan dalam hidupnya. Melalui tokoh Anisa, Perempuan Berkalung Sorban berupaya melakukan perlawanan terhadap tradisi keluarga, ustadz dan kitab-kitab yang diajarkan dalam sebuah pesantren yang diasuh oleh ayahnya sendiri. Karena itu, tidak salah jika novel Perempuan Berkalung Sorban telah dijadikan sarana bagi pengarangnya untuk mencapai tujuan tertentu yang terkait dengan perjuangan kaum feminis, baik tujuan yang bersifat ideologis maupun pragmatis. “Menurutku novel itu sangat bagus karena mengandung pesan moral dan nilai religi yang tinggi. Bahwa seorang wanita berhak mendapatkan pendidikan meskipun dia sudah menikah dan berkeluarga. Juga terdapat gerakan feminisme yang tinggi, yaitu bahwa cewek dan cowok mempunyai hak yang sama”. (Anis Ningsih) (Lampiran Hal. 177) Beberapa komentar juga menyatakan kekagumannya pada sosok Annisa yang menjadi tokoh perempuan utama dalam novel tersebut. Penilaian tersebut menunjukkan bahwa Abidah El Khalieqy berhasil menciptakan tokoh-tokoh yang menjadi nilai lebih dalam novel Perempuan Berkalung Sorban. “Penggambaran tokoh kuat dengan masing-masing karakter yang dimilikinya. Amanat yang dikandung dalam novel tersebut bahwa sebagai perempuan harus bisa memperjuangkan haknya, jangan mau kalah dengan laki-laki. Usaha untuk persamaan gender antara laki-laki dan wanita”. (Dian Fitri Argarini) (Lampiran Hal.177) Abidah menggambarkan Anisa sebagai seorang santri yang ideal, berpikiran moderat, cerdas dan kerap kali mendebat para ustaznya terutama untuk hal-hal yang dirasa mengganggu logikanya. Dengan kecerdasannya pula, Anisa berani menolak terhadap segala sesuatu yang dianggap menyimpang dari nilai agama. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Lulik, salah satu santri pondok pesantren Al Quran Desa Narukan Kecamatan Kragan Kabupaten Rembang, “Novel itu memberikan pengalaman yang baru terhadap kami. Tentang perjuangan Annisa sebagai wanita yang kuat, tegar, dan tabah dalam menjalani hidupnya”. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ni‟matussa‟diyah, salah satu santri dari pondok pesantren yang sama sebagai berikut.
143
“Menurut saya, Annisa itu seorang perempuan yang pintar dan cerdas Meskipun pada beberapa bagian bahasanya terlalu kasar, tapi novel itu memberikan pelajaran terhadap kami. Tetapi, tetap saja wanita tidak boleh menyalahi kodratnya. Tidak baik kalau misalnya dalam novel itu perempuan naik kuda.” (Lampiran Hal. 176) Selanjutnya,
pembaca
juga
memberikan
penilaian
terhadap
cara
penggambaran Abidah El Khalieqy terhadap kondisi pondok pesantren yang menjadi setting novel. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Vivin Ariyani, “Bagus. Lebih menonjolkan gerakan feminisme. Tetapi, saya pikir tidak semua pondok pesantren digambarkan seperti itu apalagi pada masa sekarang. Kalau dalam novel tersebut pondok pesantren digambarkan sebagai sebuah lingkungan pendidikan yang sangat mengekang santri-santrinya”. (Lampiran Hal. 176) Penilaian yang beragam tersebut memiliki beberapa fungsi yang bersifat timbal balik. Penilaian tersebut dapat digunakan pengarang untuk mengetahui letak kelebihan dan kekurangan karya sastra yang diciptakannya. Sedangkan pada sisi yang lain, pembaca dapat semakin meningkatkan apresiasi terhadap karya sastra.
144
BAB V PENUTUP
A. SIMPULAN Bertolak dari hasil temuan penelitian dan hasil analisis data dapat ditarik simpulan bahwa: 1. Proses kreatif dalam penciptaan novel Perempuan Berkalung Sorban dilatarbelakangi
oleh
Yayasan
Kesejahteraan
Fatayat
(YKF)
yang
memprakarsai lahirnya novel tersebut. Tujuan utama lahirnya novel Perempuan Berkalung Sorban adalah untuk mensosialisasikan hak-hak reproduksi yang harus diketahui oleh perempuan. Media novel dipilih oleh yayasan ini karena novel memiliki nilai sastra yang cenderung dapat diterima semua kalangan dan novel yang berbentuk buku akan membuat pesan yang disampaikan tersimpan dalam waktu yang lama bahkan abadi selama literatur itu masih ada. Pola pikir dan cara penceritaan Abidah El Khalieqy yang bisa dikatakan agak feminis dalam karya-karya yang dihasilkannya menarik YKF untuk mengajak Abidah El Khalieqy sebagai mitra kerja dalam penciptaan novel tersebut. Abidah El Khalieqy yang bertindak sebagai penulis novel tersebut menerima kerjasama yang ada karena ada kesamaan visi dan misi antara setiap karya yang dihasilkannya dengan tujuan YKF dalam pembuatan novel Perempuan Berkalung Sorban. Selain itu, pengetahuan dan pengalaman Abidah yang merupakan lulusan dari pondok pesantren sekaligus keluarga santri membuat Abidah capable untuk menulis novel yang bertendensi khusus tersebut. 2. Novel Perempuan Berkalung Sorban memiliki setting pondok pesantren yang berfungsi sebagai tempat berkembangnya gagasan-gagasan masing-masing tokoh dan awal terciptanya konflik. Abidah El Khalieqy sebagai penulis menempatkan pondok pesantren sebagai institusi pendidikan yang berperan penting dalam perubahan pola pandang masyarakat saat ini. Pondok pesantren yang dijadikan latar dalam novel ini adalah pondok pesantren tradisional (salafi) yang masih kental dengan ajaran kitab kuning. Kyai memiliki 144
145
dominasi dan otoritas yang besar terhadap jalannya pondok pesantren. Dalam kehidupan sehari-hari, di pondok pesantren tradisional karisma dan kepribadian kyai sangat berpengaruh terhadap santri. Sikap hormat, takzim, dan kepatuhan mutlak kepada kyai. Ini adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan kepada setiap santri. Pengambilan setting pondok pesantren salaf dilakukan Abidah untuk menjelaskan hegemoni kekuasaan para kyai dan kitab kuning yang sangat mempengaruhi jalannya kultur dalam wilayah pondok pesantren. Hal ini sesuai dengan tujuan lain dari penciptaan novel Perempuan Berkalung Sorban yang digunakan untuk mengkritisi hegemoni yang berlebihan yang dimiliki oleh para penguasa pesantren, yaitu kyai dan kitab kuning. Perubahan paradigma masyarakat tentang sistem hidup yang patriarkal akan berubah jika pesantren sebagai salah satu institusi pendidikan yang dekat dengan masyarakat Indonesia mampu berubah terlebih dahulu dari sistem ini. Abidah El Khalieqy meyakini bahwa pondok pesantren yang mewakili rezim pengajaran agama tertentu sangat berpengaruh terhadap perubahan mindset masyarakat karena pondok pesantren juga berfungsi sebagai agent of change. 3. Penelitian ini dapat digunakan oleh pembaca untuk menambah referensi bacaan tentang apresiasi sastra, terutama yang berkaitan dengan unsur ekstrinsik karya sastra. Selanjutnya, novel Perempuan Berkalung Sorban juga dapat digunakan sebagai bahan ajar alternatif pembelajaran sastra di SMA. Alasan yang menguatkannya adalah karena novel tersebut memiliki nilai-nilai kearifan lokal dan banyak nilai yang dapat diambil hikmahnya oleh para siswa dengan meneladani sikap dan cara pandang tokoh-tokoh protagonis yang ada dalam novel tersebut. Secara khusus, kompetensi dasar yang langsung berfokus pada pembelajaran sastra melalui media novel adalah kompetensi dasar 7.2, 15.1, dan 15.2. 4. Berbagai penilaian kemudian hadir setelah novel Perempuan Berkalung Sorban diterbitkan dan dibaca oleh masyarakat. Novel ini juga menuai banyak kontroversi setelah diterbitkan. Beberapa kecaman hadir dari kalangan pondok pesantren terutama oleh para kyai sepuh. Namun, layaknya sebuah karya sastra yang bernilai adalah karya sastra yang mampu memberikan suatu
146
hiburan sekaligus pendidikan (dulce et utile) kehadiran novel Perempuan Berkalung Sorban juga diakui pembaca mampu memberikan satu hal yang baru. Abidah El Khalieqy berani membuka hal-hal yang sudah lama ditutuptutupi dari kalangan pondok pesantren agar masyarakat mengetahuinya. Sebagian besar pembaca kagum dengan tokoh Annisa yang diciptakan oleh penulis dengan ketabahan, kesabaran, keteguhan, dan kecerdasan yang dimilikinya untuk mendapatkan hidup yang lebih baik dan merdeka. Bertolak dari hal tersebut, pembaca memegang peranan yang sangat penting. Pengetahuan dan pengalaman pembaca dalam menikmati karya sastra akan turut memberikan kontribusi dalam apresiasi maupun telaah sastra. Pikiran yang terbuka dengan ilmu pengetahuan akan mampu membuka cakrawala pembaca untuk memberikan penghargaan dan penghayatan terhadap karya sastra. Karena itulah, kebudayaan, latar belakang budaya, pendidikan, dan agama ikut mempengaruhi kemampuan pembaca dalam hal ini.
B. IMPLIKASI Karya sastra merupakan salah satu hasil kebudayaan masyarakat yang memiliki nilai estetika tinggi baik dari segi bahasa maupun segi makna. Estetika bahasa biasa diungkapkan melalui aspek puitik atau poetic function (surface structure) dan estetika makna dapat terungkap melalui aspek deep structure. Kajian yang mendalam terhadap sastra diperlukan untuk menyelami lebih jauh tentang hakekat karya sastra. Kajian yang dilakukan dapat meliputi unsur-unsur pembentuk karya sastra, yakni unsur instrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik dan ekstrinsik inilah yang menjadi kekuatan sebuah karya sastra. Kajian yang dilakukan selanjutnya bukan hanya berkisar pada telaah sastra yang bersifat objektif dan rasional melainkan juga pada apresiasi sastra yang lebih bersifat subjektif sekaligus abstrak. Keduanya memiliki tingkatan masing-masing dalam penghargaan terhadap karya sastra. Kecenderungan ini terjadi karena karya sastra hadir tidak hanya untuk sekedar dinikmati, melainkan perlu juga dimengerti, dihayati, dan ditafsirkan.
147
Selanjutnya, penelitian ini melakukan pengkajian terhadap nilai-nilai kultural dalam pondok pesantren dalam novel Perempuan Berkalung Sorban. Hasil penelitian ini memiliki implikasi positif terhadap bidang lain dan dapat dijelaskan dalam beberapa hal. Pertama, implikasi teoritis yang menegaskan bahwa penelitian ini dapat membuka wawasan dan pendalaman materi tentang khasanah kesusastraan. Pembahasan yang baru dengan objek karya sastra yang baru pun memungkinkan adanya temuan positif ke arah pengayaan penelitian sastra berbasis gender dan sosio-kultural. Selain itu, penelitian ini dapat membuka wawasan pembaca tentang beragamnya novel yang dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran. Kedua adalah implikasi pedagogis. Implikasi ini bersinggungan dengan bidang pendidikan. Yakni penelitian ini memberikan gambaran bahwa keberhasilan proses pembelajaran sastra dipengaruhi oleh faktor guru dan siswa. Keduanya harus saling mendukung untuk menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif, lancar, efektif, dan efisien. kondisi tersebut dapat tercipta ketika guru memiliki kemampuan dalam mengembangkan dan menyampaikan materi, mengelola kelas serta menguasai metode dan teknik pengajaran dan didukung adanya minat dan motivasi yang tinggi dari siswa untuk belajar. Selain itu, penelitian ini membuka cakrawala bahwa pengajaran apresiasi sastra dengan menggunakan novel Perempuan Berkalung Sorban akan membuat siswa mengetahui kondisi sosio-kultural pondok pesantren sekaligus membuat siswa tanpa sadar belajar tentang nilai-dan norma yang terkandung dalam novel. Nilainilai tersebut dapat dimanfaatkan dan ditanamkan dalam pembelajaran sastra dan bahasa Indonesia di kelas dengan kreasi dan inovasi yang dilakukan guru dan siswa agar minat dan motivasi meningkat dan membuat pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia semakin kondusif. Sedangkan implikasi yang ketiga adalah implikasi praktis. Penelitian ini menempatkan novel Perempuan Berkalung Sorban sebagai bahan pertimbangan untuk lebih dapat mencermati dan memahami fenomena gender sekaligus sosiokultural pondok pesantren yang terdapat dalam karya sastra dan masyarakat. Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk memacu penelitian lain
148
yang sejenis sekaligus dapat dijadikan acuan peneliti lain untuk melakukan penelitian yang lebih kreatif dan inovatif.
C. SARAN Karya sastra yang baik mampu menjadi refleksi atau gambaran keadaan masyarakat di masa itu atau paling tidak sanggup memberikan sumbangan untuk masyarakat penikmatnya, baik itu yang bersifat rekreatif maupun edukatif. Karya sastra yang baik juga bisa menggambarkan bagaimana hubungan antarmanusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan. Pada tahapan-tahapan tersebut, sastrawan harus mampu mengkomunikasikan dirinya dengan lingkungan dan masyarakat yang menjadi pembaca karyanya. Proses selanjutnya setelah karya sastra itu hadir adalah penilaian dan apresiasi pembaca terhadap karya yang ada. Sastrawan sebagai penulis cerita harus memiliki sikap lapang dada dan membuka pikiran agar tidak terjadi pengacuhan terhadap penilaian pembaca. Demikian juga para pembaca yang harus melakukan hal yang sama agar penilaian dan kritik yang mungkin ada bersifat konstruktif terhadap pembangunan dan apresiasi sastra, khususnya di tanah air. Pro dan kontra yang timbul akibat hadirnya novel Perempuan Berkalung Sorban pun harus disikapi secara bijaksana. Namun, terlepas dari penilaian pembaca, novel Perempuan Berkalung Sorban telah ikut meramaikan bursa karya sastra di tanah air. Penilaian beragam tersebut diharapkan mampu menambah kematangan pembaca untuk memberikan penilaian terhadap karya sastra. Saran peneliti terhadap komponen-komponen terkait pembelajaran sastra adalah sebagai berikut: 1. Guru mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia Pengelolaan kelas untuk pembelajaran sastra di kelas menuntut guru untuk memiliki kreativitas yang lebih dalam pengelolaan kelas. Penciptaan rasa simpati dan empati dalam diri siswa akan membuat siswaa memiliki minat dan motivasi dalam pembelajaraan. Karena itulah, kerjasama guru dan siswa harus berjalan dengan baik.
149
2. Siswa Pembelajaran sastra dalam kelas harusnya membuat siswa dapat mengambil hikmah atas karya sastra yang sedang dikaji. Pembelajaran sastra dapat berhasil jika siswa berani menyampaikan gagasan dan pendapat serta apresiasinya terhadap karya sastra. Untuk mencapai hal tersebut, siswa harus mampu menghargai dan mencintai kebudayaan sendiri 3. Kepala Sekolah Peran kepala sekolah merupakan salah satu kunci keberhasilan pembelajaran dalam sebuah sekolah, termasuk dalam pembelajaran sastra. Kepala sekolah harus melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap guru-guru sastra dalam hal teknik dan variasi yang digunakan dalam pembelajaran di kelas. Selain itu, pemenuhan terhadap sarana, buku, dan bahan ajar yang lain akan meningkatkan kualitas pembelajaran. 4. Peneliti lain Penelitian-penelitian yang dilakukan setelah penelitian ini diharapkan lebih kreatif dalam meneliti dan menelaah kajian sastra berperspektif gender dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Inovasi-inovasi lain pun diharapkan akan hadir untuk melengkapi penelitian ini.
150
DAFTAR PUSTAKA Alfian. 1985. Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Jakarta: PT Gramedia. Ayu Kusuma, Aning. 2009. Artikel: Sastra, Santri, dan Film Perempuan Berkalung Sorban. Jakarta: Koran Republika. Azra, Azyumardi. 2001. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Penerbit Kalimah. Dhiroh. 2007. Kontruksi Perempuan dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El-Khalieqy. Skripsi. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. El Khalieqy, Abidah. 2007a. Aku Perempuan yang hadir dan Mengalir. Yogyakarta: Majalah Jendela Jurnal Seni dan Budaya Taman Budaya Yogyakarta, edisi III Tahun 2007. _________. 2007b. Seks dan Kekuasaan: Jejak Sastra di Ketiak Patriarki. Surabaya: Fakultas Seni dan Budaya Universitas Negeri Surabaya. _________. 2009. Perempuan Berkalung Sorban. Yogyakarta: Arti Bumi Intaran. Eneste, Pamusuk. 1984. Proses Kreatif. Jakarta: PT Gramedia. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. 2009. Pedoman penulisan Skripsi. Surakarta: FKIP UNS. Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Hamalik, Oemar. 2001. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Harjanto. 2006. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Hasbullah. 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia:Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Indyastini, Titik. 2005. Strategi Pengenalan Tokoh pada Wacana Novel Kinanti. Widyaparwa Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan, Vol. 33, No. 1, Juni 2005: 29-42. Kodiran. 1999. “Kebudayaan Jawa”. Dalam Koentjaraningrat, Prof., Dr. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
150
151
Koentjaraningrat. 1999. “Aneka Warna Manusia dan Kebudayaan Indonesia dalam Pembangunan”. Dalam Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. _________. 2003. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Mafrukhi, dkk. 2009. Kompeten Berbahasa Indonesia untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Erlangga. Makki Hasan, Ahmad. 2009. Sastra & Sosio-Kultural Masyarakat. Malang: Pascasarjana UIN Malang. Mayra, Walsh. 2002. Skripsi: Pondok Pesantren dan Ajaran Golongan Islam Ekstrim (Studi Kasus di Pondok Pesantren Modern Putri Darur Ridwan Parangharjo, Banyuwangi). Malang: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Malang. Pemilia, Kartika. Mei 2009. “Kritik Terhadap Konstruksi Feminisme dalam Novel „Perempuan Berkalung Sorban”. http: //www.inpasonline.com/ diakses 19/10/2009. Pranoto, Naning. 2006. “Proses Kreatif dan Mengolah Kata”. http://www.rayakultura.net/wmview.php?ArtID=100 diakses 26/5/2010. Rarastesa, Zita. 2001. The Image of Women in Louise Erdrich’s Love Medicine: A Feminist Approach. Jurnal Bahasa, Sastra, dan Studi Amerika, Vol.5, No. 6, September 2001. Surakarta: Sastra Inggris-Fakultas Sastra UNS. Rifai, Aminudin. 2005. Belenggu Armijn Pane. Jurnal Widyaparwa Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan, Vol. 33, No. 1, Juni 2005: 43-60. Rokhmansyah, Alfian., Laili Ernawati., Widiyawati., & Septa Indriawati. 2008. Perspektif Feminisme dalam Novel Layar Terkembang Karya Sutan Takdir Ali Sjahbana: Kajian Feminisme. Fakultas Sastra: Universitas Negeri Semarang. Safitri, Endang. 2007. Nilai-nilai Kultural Jawa Tokoh Utama Wanita Novel Pengakuan Pariyem Karya Linus Suryadi Agustinus (Sebuah Kajian Sosiologi Sastra). Skripsi. Malang: Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Saparie, Gunoto. 2009. Luasnya Wilayah Sosiologi Sastra. Surakarta: Dewan Kesenian Jawa Tengah. Sarris, Greg. 1993. Keeping Slug Woman Alive: A holistic Approach to American indian Texts. Los Angeles: University of California Press.
152
Sugihastuti. 2007a. “Gadis Jakarta: Perspektif Kritik Sastra Feminis”. Dalam Sugihastuti, Dra., M. S. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka pelajar. _________. 2007b. “Gender Tindak Komunikasi dan Sastra”. Dalam Sugihastuti, Dra., M. S. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka pelajar. _________. 2007c. “Proses Kreatif dan Teori Interpretasi”. Dalam Sugihastuti, Dra., M. S. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka pelajar. _________. 2007d. “Struktur Naratif: Masalah-Masalah Pendahuluan”. Dalam Sugihastuti, Dra., M. S. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Wahid, Abdurrahman. 2001. Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren. Yogyakarta: LkiS. Widarmanto, Tjahjono. 2007. ”Sastra dan Kebudayaan; Interaksi Timbal Balik”. http: www.cahyonowidar.blogspot.com. diakses 23/11/2009. Zuhairini. 1997. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
LAMPIRAN
153
Lampiran 1.
Sinopsis Novel Perempuan Berkalung Sorban Di tengah desa yang agak jauh dari kota , terdapat sebuah pesantren yang didirikan serta diasuh oleh Kyai Hanan dan Kyai Ali sebagai badalnya. Kyai Hanan memiliki tiga anak, dua lelaki dan satu perempuan yang bernama Annisa. Namun berbeda dengan kedua kakak lelakinya, Annisa dikaruniai kecerdasan dan memiliki sikap kritis sejak kecil. Hingga pada usia 10 tahun, ketika ia ingin belajar naik kuda sebagaimana kedua kakak lelakinya, Ayahnya melarang dan bahkan memarahinya. Bermula dari peristiwa ini, Annisa tumbuh sebagai perempuan yang selalu bertanya tentang segala sesuatu yang tidak menyenangkan berkaitan dengan posisinya sebagai anak perempuan. Oleh kenyataan itu, Annisa tak pernah merasa nyaman dengan lingkungan keluarga dan pesantren. Dia selalu merasa disisihkan dengan alasan yang kurang masuk akal, karena berjenis kelamin perempuan. Sementara Ibunya, Nyai Muthmainah, juga bersikap diam, dan seolah tidak berpihak pada kegelisahan Annisa. Di tengah kegelisahannya itu, Annisa sering mengadu dan berkeluh kesah pada Khudori, saudara jauh ibunya yang sempat tinggal beberapa bulan di rumahnya, sehingga Annisa merasa memiliki sandaran dan pelindung yang dikagumi. Khudori adalah pemuda cerdas, berpikiran terbuka dan alumni sebuah pesantren modern. Namun perlindungan Khudori pada Annisa tidak berlangsung lama. Khudori pergi ke Al-Azhar Kairo untuk melanjutkan kuliahnya di sana . Meninggalkan Annisa sendirian. Dalam kesendiriannya itu, Annisa yang masih muda dinikahkan paksa dengan Samsudin, putra seorang kyai sahabat ayahnya. Pernikahan dini itu telah membawa garis hidup Annisa ke dunia yang lain. Dunia yang penuh dengan ancaman, kekerasan dan pelecehan terhadap eksistensi perempuan dalam sebuah keluarga. Apalagi, ketika Samsudin memaksanya untuk menyetujui poligami, keberanian Annisa untuk memberontak terhadap kuasa lelaki kian membara. Sehingga Annisa pulang kembali ke rumah keluarganya, dan menolak untuk hidup bersama Samsudin, hingga keduanya bercerai secara resmi.
154
Tujuh tahun kemudian, ketika Khudori selesai dari kuliahnya di Kairo, dan kembali datang ke pesantren ayahnya, Annisa merasa lega karena ada orang yang mau menolongnya. Tapi ternyata, kedatangan Khudori tak bisa menolong Annisa. Maka berjuanglah Annisa sendirian untuk mendapatkan kebebasan dan keadilan yang selalu dirindukannya. Hingga ia memberanikan diri dan memutuskan untuk melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi agama Islam di Yogyakarta. Di kota inilah, Annisa tak pernah lelah untuk terus berjuang dan aktif dalam berbagai kegiatan kampus, khususnya kegiatan-kegiatan yang berpihak pada kesetaraan dan keadilan terhadap kaum perempuan. Serta berupaya mengkritisi pendapat dan mitos-mitos tentang perempuan yang disampaikan oleh “para kyai dan “kitabkitab kuning” yang bersifat missoginis, untuk kemudian menawarkan solusi perubahan; reinterpretasi terhadap ayat-ayat al-quran dan hadis, serta rekontruksi fiqih yang berkaitan dengan eksistensi dan masalah-masalah perempuan. Pada akhirnya, ketika Annisa telah mendapatkan pencerahan pemikiran di Yogyakarta, tiba-tiba Khudori datang dan menumbuhkan kembali cinta terpendam yang pernah dirindukan Annisa pada masa kecilnya. Lalu keduanya pun berjuang untuk menjalin cinta manusiawi dan menikah atas izin dari orang tuanya. Keduanya hidup dalam ketentraman, saling pengertian, saling mendukung dan mendorong untuk menyelesaikan berbagai masalah rumah tangga dengan keadilan, kebajikan dan kebaikan yang sesuai dengan ajaran agama Islam. Sementara Annisa, tak pernah lelah untuk terus berjuang secara mandiri, mengentaskan ketertindasan kaum perempuan di sekelilingnya.
Diambil dari: Jurnal Ilmu Agama dan Ilmu Sosial, Sosio-Religia, Vo. 7, No. 2, Februari 2008.
155
Lampiran 2. CURRICULUM VITAE Nama Lengkap
: ABIDAH EL KHALIEQY
Tempat/Tgl lahir
: Jombang, 01 Maret 1965
Alamat Asal
: Desa Menturo, Kec. Sumobito, Kab. Jombang, Jawa Timur
Alamat Sekarang
: Gg. Menur No. 60 Nayan Maguwoharjo Yogyakarta 55281
Menikah
: pada hari Ibu, 22 Desember 1992.
Pekerjaan
: Pengarang / Writers
Nama Suami
: Hamdy Salad (penyair, pekerja teater dan dosen)
Anak kandung
: Jauhara Nadvi Azzadine (Zadin, 15 th); Geffarine Firdaws (Geffa, 13 th); Zahida Aine Hawwa (Ain, 8 th.)
Nama Ayah
: H. Abdul Khalieq (almarhum, adik dari neneknya Emha Ainun Najib / Cak Nun).
Nama Ibu
: Hj. Misnawati Kamal (almarhum)
Saudara kandung
: Nomor 4 dari 7 saudara.
Nama Fam
: Bani Abdul Qadir
SEKOLAH Madrasah Ibtidaiyah ( tamat 1977/1978) Pesantren Putri Modern PERSIS, Bangil, Pasuruan (tamat 1983/1984) Madrasah Aliyah Muhammadiyah Klaten (1984/1985) Fakultas Syariah IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jurusan Pidana Perdata Islam (tamat 1990) dengan skripsi “Komoditas Nilai Fisik Perempuan dalam Perspektif Hukum Islam” Study Perempuan Independen (1991-1992) AKTIVITAS Study dan Apresiasi Sastra Yogyakarta (1985-1989) Teater Eska sejak tahun 1987 Forum Pengadilan Puisi Yogyakarta (1986-1988) Kelompok Diskusi Perempuan Internasional (1988-1989)
156
Asian Pacific Forum on Women, Law and Development (1989) Baca puisi di Taman Ismail Marzuki Jakarta (1994 dan 2000) ASEAN Writers Conference, Manila , Philipina (1995) Pendamping Kreatif Majlis Sastra Asia Tenggara (1997) Baca puisi di Sekretariat ASEAN (1998) Konferensi Perempuan Islam se Asia-Pasifik dan Timur Tengah (1999) Apresiasi Sastra Keliling Indonesia, Yayasan Indonesia dan Ford Fondation (2000-2005) Narasumber Pertemuan Sastrawan Melayu -Nusantara (2005) Narasumber Sastra dan Agama, di Kedutaan Kanada (2007) International Literary Biennale (2007) Jakarta Internationale Literary Festival (2008) PRESTASI Juara Penulisan Tingkat Tsanawiyah Pesantren (1979/80) Juara Penulisan Puisi Remaja Se-Jawa (1984) Memperoleh Penghargaan Seni dari Pemerintah Propinsi DIY (1998) Pemenang Lomba Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (2003) Dinobatkan sebagai tokoh “10 Anak Zaman Menerobos Batas”, Majalah As-Syir‟ah (2004) Memperoleh IKAPI dan Balai Bahasa Award (2008) Memperoleh Adab Award dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (2009) BUKU YANG SUDAH TERBIT: Ibuku Laut Berkobar (puisi, 1997) Menari Di Atas Gunting (cerita pendek, 2001) Perempuan Berkalung Sorban (novel, 2001) Atas Singgasana (novel, 2002) Geni Jora (novel, 2004) Mahabbah Rindu (novel, 2007) Nirzona (novel, 2008) Mikraj Odyssey (cerita pendek, 2009).
157
BUKU ANTOLOGI BERSAMA : ASEANO: An Antology of Poems Shoutheast Asia (1996) Album Cyber Indonesia – Australia (1998) Force Majeure (2007) Rainbow: Indonesian Womens Poet (2008) Indonesian Literary: A Womens Shot Strory (2008) American E-Journal – Word Without Borders (2009) E- Books Library For Diffabel (2007) Pengarang Perempuan Indonesia (1997) 18 Penyair Perempuan Indonesia (2007) Kitab Sastra Indonesia (2006) Dan masih banyak lagi.
158
Lampiran 3. Wawancara dengan Abidah El Khalieqy
Nomor catatan lapangan
:1
Hari, tanggal
: Rabu, 7 April 2010
Pukul
: 16.45 WIB
Informan
: Abidah El Khalieqy
Jabatan
: Penulis novel Perempuan Berkalung Sorban
Topik
: Proses kreatif, tujuan penulisan, dan segala hal yang berkaitan dengan novel Perempuan Berkalung Sorban
Tempat
: Rumah Abidah El Khalieqy, Gang Menur (Gang Masjid) No. 60, Nayan, Maguwoharjo, Yogyakarta (belakang Hotel Quality)
Mengapa memilih latar (setting) pondok pesantren? Dalam proses kreatifnya, Perempuan Berkalung Sorban (PBS) dibuat berdasarkan ide dari YKF untuk pemberdayaan perempuan. Dan dari YKF sendiri ini meminta background-nya itu harus pesantren. Karena ini sebenarnya dibentuk untuk mengkritisi para „penguasa‟ pesantren, yaitu para kyai dan kitab kuning. Jadi, mau tidak mau settingnya harus pesantren. Nah, pesantren ini kan satu institusi pendidikan yang merupakan agent of change untuk merubah pola pikir masyarakat. Bagaimana mindset masyarakat itu di rubah. Dari masyarakat yang patriarki menjadi tidak patriarki atau patriarki ini dilestarikan terus menerus ya berasal dari sini. Kalau dari agennya saja tidak mau berubah semua ini, kita tidak akan berbah. Karena yang bisa merubah pola pikir masyarakat adalah agen-agen perubahan ini. Nah, kalau kita ingin melakukan revolusi pemikiran ya dari agenagen ini. Ada juga yang menanyakan kenapa Mbak Abidah nggak menulis saja novel yang setting-nya pelacuran atau tempat-tempat yang lain. Itu kan juga sarat sekali dengan nilai-nilai feminisme. Tapi bukan itu yang saya inginkan. Kalau kita
159
ingin perubahan kita cari dulu akarnya dalam masyarakat. Kalau ada ketimpangan, ada ketidakseimabangan dalam masyarakat kita cari dulu akar permasalahannya. Awalnya, kita lakukan kritik-kritik dulu, kita benahi ada apa sebenarnya dalam pondok pesantren. di sana kan ada penguasa-penguasa, yaitu kyai dan kitab kuning. Dalam PBS saya memberikan contoh-contoh beberapa hadist dan profil seorang kyai yang dominan terhadap keluarga dan pondok pesantrennya. Maka, setting pondok pesantren adalah satu kewajiban yang harus diangkat. Latar pondok pesantren adalah target untuk dikritisi karena dari sana akar dari masalah perubahan. Yang ingin kita lakukan dalam PBS adalah merevolusi pemikiran. Bagaimana mindset dan paradigma kita dirubah.
Kalau ingin merubah dari akarnya, mengapa tidak mengambil latar dari keluarga guru atau keluarga ningrat? Di sana kan masih memiliki suasana patriarki yang juga masih kental? Ya, boleh jadi. Keluarga merupakan satu unit keluarga terkecil. Tapi, bahwa institusi pendidikan mewakili satu rezim tafsir agama tertentu. Kalau saya sebagai muslimat, saya tahu bahwa kondisi perempuan kita, tidak hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia, kita mengalami segala macam ketidakadilan, gender dan lain sebagainya itu berasal dari salah tafsir. Jadi tidak berasal dari ayat-ayat alquran yang kita pegang selama ini tapi penafsiran. Dan penafsiran ini merupakan otoritas dari kyai, ulama, dan ustadz kita dan mereka ada di pesantren. dan saya pikir ini lebih mendasar lagi daripada latar ningrat. Saya pikir ini malah latar budaya yang lebih luas lagi. Memang keterpinggiran perempuan itu dilatarbelakangi oleh banyak faktor. Saya mengangkat penafsiran ayat suci yang mengalami distorsi sedemikian rupa yang dari abad ke abad sampai ke kita seperti ini. Sesuatu yang tidak adil, sesuatu yang tidak seimbang. Mungkin dari kebudayaan juga seperti itu tapi untuk itu saya piker akan ada yang membahasnya sendiri. Saya yang alumni pondok pesantren, seorang santri, dan berasal dari keluarga santri kira-kira akan lebih capable jika saya membahasnya. Maka itu,
160
YKF meminta saya sebagai sastrawan -saya bukan orang YKF- yang kebetulan cara berpikir saya mungkin agak feminis, jadi mereka meminta saya.
Jadi, sebelumnya tidak ada hubungan antara Mbak Abidah dengan orangorang dari YKF? Mereka temen juga, cuma selama ini saya tidak pernah berhubungan dengan mereka secara organisatoris. Saya berhubungan sebagai teman saja. Mereka ada yang lulusan IAIN, saya kan juga lulusan sana. Jadi, alasannya semata-mata karena saya sastrawan yang memiliki kepedulian terhadap perempuan.
Kalau dalam PBS ada LSM yang dipimpin oleh Mbak Maryam, apakah organisasi ini mewakili YKF? Kebetulan, YKF ini berasal dari putri kyai NU Jawa Timur yang kyai ini memiliki pondok pesantren. mereka tidak bergabung dalam Fatayat tapi mereka mendirikan NGO-nya. Mereka memiliki agenda acara seminar, workshop, dan segala macamnya. Dan memiliki salah satu media untuk pemberdayaan perempuan melalui penulisan novel. Penulisan novel ini merupakan satu-satunya cara yang dilakukan oleh NGO di Indonesia. Karena novel itu kan karya sastra , jadi jangkauannya lebih luas dan tidak temporal tapi abadi. Mereka anak kyai yang rata-rata menggugat apa yang dilakukan oleh ayahnya sendiri. Ketika kemarin rame-rame kontroversi PBS saya juga ke pondok-pondok pesantren dan kyai berang pada saya, saya diundang ke Jombang. Tapi menurut saya, karena sastrawan otoritasnya lebih jadi saya memperjuangkan mana yang hak dan yang salah. Secara hati nurani saya seperti itu. Jadi, saya mau menulis novel itu. Meskipun beberapa orang bilang ini novel pesanan dan saya bersedia di koloni, jawabannya ya itu tadi. Saya bertemu dengan teman-teman dari YKF dan nyambung di isu itu.
161
Apakah dalam novel-novel sebelumnya, Mbak Abidah sudah pernah bersentuhan dengan teman-teman dari YKF karena isu dalam novel yang lain hampir sama? Belum. Sebelumnya tidak pernah. Hanya dalam novel PBS saja.
Latar pondoknya sebenarnya menggunakan latar daerah mana, karena suasana dalam novel PBS seperti pondok pesantren NU di Jawa Timur tapi beberapa tempat seperti latar Yogyakarta? Saya menggunakan salah satu pondok pesantren di Magelang, di Kali Angkrik. Dan saya mengadakan observasi di lapangan selama 3 bulan di sana. Saya perlu observasi di lapangan karena kultur pondok muhammadiyah dengan NU itu berbeda, dengan pondok modern juga berbeda. Saya berasal dari pondok modern dan beberapa kitab yang digunakan beberapa juga berbeda. Ketika observasi saya sempat terbelalak dengan ajaran di sana karena ternyata ajarannya sampai seperti itu. Sebelumnya, sama sekali tidak pernah saya pelajari di pondok saya. Sebelum melakukan riset di lapangan, saya juga sempat mengikuti beberapa kegiatan YKF selama dua tahun. Untuk selanjutnya, saya menulis sekitar 10 bulanan. Intens saya menulis juga cuma 5 bulanan saja dari 10 bulan tadi.
Latar Mbak Abidah dari pondok pesantren sangat mempengaruhi karyakarya Mbak? Dua karya saya yang sangat diwarnai latar pondok pesantren adalah Genijora dan Perempuan Berkalung Sorban. Arizona membicarakan perempuan dalam dunia politik di Aceh, Mahabbah Rindu dan Atas Singgasana juga tidak.
Kalau untuk tokoh Annisa, kalau saya baca seperti mewakili pemikiran penulis. Apa benar seperti itu? (ha..ha..ha…) Mungkin, ya mungkin. Ada sebagian fase dari kehidupan pengarang yang masuk dalam karya sastrawan itu. Hal itu tidak bisa dipungkiri di abwah sadarnya. Meskipun sudah dibuat jarak sedemikian rupa. Di Barat, sastrawan-sastrwan penerima Nobel itu meraih penghargaan karena 80% mereka
162
menulis masa hidup sebelum mereka berusia 15 tahun. Kalau tokoh di Genijora itu adalah saya, Annisa itu adalah saya, wah..betapa banyak kepribadian saya. Yang pasti, setiap saya menceritakan seorang tokoh ada model-model yang menginspirasi saya. Kalau saya menambahkan ini dan itu, hal tersebut adalah gagasan yang ingin saya sampaikan kepada pembaca.
Kemudian untuk tokoh Khudhori, dia juga berasal dari pondok pesantren, tetapi mengapa Mbak Abidah menggambarkan dia sebagai laki-laki yang berpandangan cerdas dan moderat? Kita semua tahu Gontor itu pondok pesantren modern dan kita juga tahu Gontor itu memiliki lulusan-lulusan yang sudah mumpuni. Tokoh Khudhori ini dibandingkan dengan pondok pesantren salaf kecil yang seperti dimiliki oleh Kyai Hanan itu. Ini yang saya jadikan sample. Jadi, pandangan Khudhori yang lulusan Gontor di sini memang benar-benar mewakili lulusan Gontor.
Tentang Setting pondok pesantrennya, apakah benar-benar seperti itu? Novel ini ditulis untuk mensosialisasi hak-hak reproduksi perempuan yang sudah diratifikasi oleh PBB. Untuk memberikan detail yang jelas, saya juga mengadakan riset tentang hak-hak reproduksi perempuan selama hampir dua tahun. Riset lapangan untuk memberi setting tempat dan yang fisik-fisik selama tiga bulan, di Kaliangkrik, Kajoran, Magelang, Jawa Tengah Di satu kampung ada banyak pesantren salaf. Lokasinya di pegunungan. Saya juga menemukan orangorang yang naik kuda. Sesudahnya, saya mengikuti seminar-seminar yang dilakukan oleh YKF selama hampir dua tahun, kemudian menulis novel tersebut selama sembilan bulan. Pondok pesantren yang saya jadikan tempat observasi di Kali Angkrik, Magelang itu sangat kecil. Tidak seperti di filmnya ya, kalau filmnya kan depannya laut. Tidak seperti itu. Setting-nya di daerah pegunungan yang turun naik begitu. Jadi memang sangat asyik. Dan tentang naik kuda itu memang benar. Di sana orang masih naik turun dengan naik kuda. Monggo kalau mau napak tilas karena pemandangannya memang sangat asyik, bagus sekali. (sambil tertawa…)
163
Kalau tentang tokoh Annisa sendiri, saya memang benar-benar memiliki model itu. Sekarang dia menjadi salah satu angora DPRD Magelang. Dulu, waktu saya sedang menulis novel PBS dia masih berstatus calon bu nyai (tertawa lagi…) dan dia juga ikut acara-acara YKF.
Begitu dulu Mbak Abidah, terimakasih atas waktunya untuk wawancara. Oh iya, sama-sama. Semoga sukses untuk skripsinya. Kalau diperlukan wawancara lagi, saya ada undangan di UMS pada 28 April besok. Bisa sekalian hadir di acara saya nanti. Masih sama membahas tentang PBS. Refleksi Wawancara dilakukan peneliti dengan penulis novel Perempuan Berkalung Sorban, Abidah El Khalieqy secara langsung di kediamannya. Narasumber menyambut peneliti dengan tangan terbuka dan memberikan keterangan serta jawaban sesuai dengan pertanyaan peneliti. Dalam wawancara tersebut, peneliti menanyakan tentang proses kreatif, latar belakang penulis, dan sambutan pembaca atas novel terkait serta beberapa hal yang berhubungan dengan novel tersebut. Dan Abidah El Khalieqy sebagai narasumber menjawab pertanyaan tersebut secara jelas, bahkan narasumber juga menjelaskan pengalaman-pengalaman yang dialaminya selama menulis dan menerbitkan novel tersebut. Hal tersebut menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti, terutama yang berkaitan dengan proses kreatif dan tentang dunia kepenulisan. Pada akhir wawancaranya, narasumber berkenan memberikan keterangan lain yang mungkin dibutuhkan oleh peneliti lagi.
164
Lampiran 4. PROFIL PONDOK PESANTREN AL-QURAN DESA NARUKAN KECAMATAN KRAGAN, KABUPATEN REMBANG
1. Pendahuluan Islam merupakan agama samawi yang diturunkan sebagai rohmatan lil alamin menjamin kedamaian dan kebersamaan. Ajaran islam telah lengkap untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan alam. Dalam ajaran agama islam dipentingkan nilai-nilai kebersamaan, keadilan, tolong-menolong yang menghargai dan menghormati satu sama lain dalam bingkai ahsani taqwim, oleh sebab itu, keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat sebagai pedoman bagi umat manusia. Untuk menuju ahsani taqwim, kemudian Allah menurunkan kitab suci Alquran sebagai petunjuk bagi umat manusia melalui wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. Pesantren sebagai institusi, lahir dan berkembang seiring dengan derap langkah perubahan-perubahan yang ada dalam masyarakat global. Karena itu, tidak berlebihan jika pondok pesantren memiliki dua potensi besar yaitu potensi pengembangan masyarakat dan potensi pendidikan. Dalam kaitan ini, bila ditilik dari sejarah kehadirannya, terbentuk institusi pesantren ternyata memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan peranannya dewasa ini. Pertama, pesantren didirikan untuk memberikan respon terhadap situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat yang tengah diharapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral melalui transformasi nilai yang ditawarkannya (amar ma’ruf nahi munkar). Kehadiran pesantren juga untuk agen perubah dan melakukan kerja-kerja pembebasan
(liberation) pada masyarakat dari segala keburukan moral,
penindasan politik, kemiskinan ilmu pengetahuan, dan kemiskinan ekonomi. Institusi pesantren telah berhasil mentranformasikan masyarakat di sekitarnya dari kekafiran menuju kesalehan dan dari kemiskinan menuju kemakmuran atau kesejahteraan. Oleh karena itu, kehadiran pesantren sebagai suatu bentuk institusi yang dilahirkan atas kehendak dan kebutuhan masyarakat. Dengan kesadarannya, pesantren dan masyarakat telah membentuk hubungan yang harmonis, sehingga
165
komunitas pesantren kemudian diakui menjadi bagian yang tak terpisahkan atau sub-kultur dari masyarakat pembentuknya. Pada tataran ini, pesantren telah berfungsi sebagai pelaku pengembangan masyarakat. Kedua, salah satu misi awal didirikannya pesantren adalah menyebarluaskan informasi ajaran tentang universalitas islam keseluruh pelosok Nusantara yang berwatak pluralis, baik dalam dimensi kepercayaan, budaya maupun kondisi sosial masyarakat. Fungsi utama pondok pesantren pada dasarnya untuk pendalaman agama islam (tafaqquh fiddin). Fungsi ini kemudian dijabarkan untuk melahirkan pemimpin dan kader umat seperti ulama, mubaligh, dan tokoh agama yang senantiasa memelihara ilmu-ilmu agama islam, juga sebagai lembaga dakwah dan juga sebagai lembaga pengembangan masyarakat. Fungsi terakhir ini menjadi pusat perhatian yang cukup besar dari banyak pihak, termasuk oleh pemerintah. Pondok pesantren merupakan lembaga yang mandiri dan mengakar di masyarakat merupakan lembaga yang sangat dipercaya oleh masyarakat lingkungannya. Berdasarkan hal yang demikian, adalah sangat tepat apabila dalam proses pembangunan pondok diikut sertakan secara aktif. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia, selain fungsi utama sebagai tempat pendalaman agama ( tafqquh fiddin ), telah memacu diri dengan mencari bentuk baru yang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menghadapi perkembangan jaman dengan tetap kandungan iman dan taqwa kepada Allah SWT. Dengan demikian pondok pesantren ini menjelma menjadi pusat pendidikan dan pemikiran serta pengembangan masyarakat sekaligus menjalankan peran transformasi terhadap ide-ide dan wawasan baru bagi kesejahteraan rakyat dan bangsa.
2. Pendiri Pondok Pesantren Al-Quran Desa Narukan Pondok pesantren Al-Quran didirikan pada tahun 1974 oleh KH. Noer Salim. Beliau adalah salah seorang Kyai yang pertama kali merintis Pondok Pesantren Alquran di Desa Narukan. KH. Noer Salim adalah menantu dari KH. Shidiq Narukan. KH.Noer Salim dilahirkan di kota Tuban pada Tanggal 20 Februari 1942. Semasa kecil beliau belajar mengaji di KH. Zubaidi Tuban.
166
Kemudian, pada masa remaja beliau menuntut ilmu di KH. Abdullah Salam Kajen Kabupaten Pati untuk memperdalam Al-Quran. Dan beliau wafat pada hari Minggu tanggal 14 Agustus 2005.
3. Sarana dan Prasarana Pondok Pesantren Al-Quran Narukan a. Mempunyai 2 Perpustakaan (1 putra dan 1 putri) b. Mempunyai 15 Kamar (10 putra dan 5 putri) c. Mempunyai 4 Aula (2 putra dan 2 putri) d. Mempunyai 2 Mushola (1 putra dan 1 putri) e. Mempunyai 7 Kamar Mandi dan WC (4 putra dan 3 putri)
4. SISTEM PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN AL-QURAN Sistem pendidikan ini mendasarkan pada tuntunan Al-Qur‟an yang dituangkan sebagai hudallinnasi wabayyinatin minal huda wal furqon. Untuk itu Pesantren Al-Quran ini mengunakan sistem pendidikan sebagai berikut : a. Tahfidzul Quran yaitu menghafal ayat-ayat suci Al-Quran 30 juz. b. Pemahaman dan pendalaman tafsir Al-Quran melalui metode pendidikan tektual dan kontektual dengan rujukan kitab-kitab salaf. c. Studi-studi islam yang terintegrasi dalam pembentukan ahsani taqwim. Adapun Kitab-Kitab Yang Di Ajarkan Di Pondok Pesantren Adalah : a. Tafsir Jalalain Al-Maraghi b. Tafsir Munir c. At-Tibyan Ulumil Quran d. Mahabis Fi Ulumil Quran e. Hidayah Al-Mustafid f. Aqidatul Awam g. Ad-Din Al-Islami h. Kifayah Al-Awwam i. Syarah Muhtashorjidan j. Mutamminah k. Al-Imrithi
167
l. Al-Afiyah Ibn Malik m. Ta‟lim Al-Muta‟alim n. Al-Arbain An-Nawawi o. Bulughol Marom p. Jawahirul Al-Bukhori q. Shohih Muslim r. Shohih Bukhori s. Fath Al-Qorib t. Fath Al-Mu‟in u. Al-Bajuri
5.
STRUKTUR KEPENGURUSAN PONDOK PESANTREN AL-QURAN NARUKAN
Ketua
: Zaimul Umam NS
Wakil Ketua
: Abdul Fatah
Sekretaris 1
: Ahmad Najih
Sekretaris 2
: Zainal Arifin
Bendahara 1
: Ahmad Rifa‟i
Bendahara 2
: Muhlishin
Sie Pendidikan
: - Abdul Jamil - Mahfudz - Ibnu Mudzir - Sholihin
Sie Keamanan
: - Amin Thohari - Masyhudi - Masrukhin
Sie Humas
: - Slamet Riyadi - Amin Rosyidi
Sie Kebersihan
: - Syahruddin - Fakhril Islam
168
Sedangkan daftar nama ustadz-ustadzah Pondok Pesantren Al-Quran Desa Narukan adalah sebagai berikut. a. Zaimul Umam NS
Rembang
b. Muhlisin Ibnu Qosim
Bojonegoro
c. Amin Thohari
Rembang
d. Abdul Fatah
Pati
e. Mashudi
Bojonegoro
f. Ahmad Rifa‟i
Tuban
g. Ibnu Mundzir
Madura
h. Lulik Chumaidiyyah
Bojonegoro
i. Miyazatul Falahah
Tuban
j. Ni‟matus Sa‟diyah
Rembang
6. JADWAL AKTIFITAS a. Aktifitas Harian Pondok Pesantren Al-Quran WAKTU
AKTIFITAS
04:45 – 05:15
Jamaah Shubuh
05:20 – 06:30
Mengaji Al-Quran Bil Ghoib
06:30 – 07:00
Persiapan Sekolah
07:00 – 12:00
Sekolah
12:00 – 13:00
Istirahat dan Persiapan Jamaah
13:00 – 13:30
Jama‟ah Dzuhur
13:30 – 14:30
Mengaji Hadits
14:30 – 15:30
Istirahat dan Persiapan Jamaah
15:30 – 16:00
Jamaah Ashar
16:00 – 17:00
Mengaji Al-Quran Bin Nadzor
17:00 – 18:00
Istirahat dan Persiapan Jamaah
18:00 – 18:30
Jamaah Maghrib
18:30 – 19:15
Mengaji Fiqih
19:15 – 19:45
Jamaah Isya‟
169
19:45 – 20:45
Mengaji Tafsir
20:45 – 21:00
Istirahat
21:00 – 22:00
Musyawarah ( Belajar Bersama )
22:00 – 04:45
Istirahat
b. Aktifitas Mingguan Pondok Pesantren Al-Quran HARI Selasa
AKTIFITAS Ziarah ke KH. SHIDIQ Dzibaiyyah Ziarah ke KH. NOER SALIM
Jum‟at
Dzibaiyyah Khitobiyyah
7. POTRET KE DEPAN Pengembangan Pondok Pesantren Al-Qur‟an Desa Narukan Kecamatan Kragan Kabupaten Rembang ke depan diarahkan kepada : a. Peningkatan kemajuan sistem pendidikan agama islam yang di jiwai oleh nilai-nilai luhur (akhlaqul karimah) sebagai cermin ihsan yang mandiri cakap dan terampil. b. Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sekitar pondok pesantren mengenai potensi ekonomi umat yang mengarah pada kegiatan produktif dan kemandirian umat. c. Perwujudan dan mencetak calon-calon kader bangsa yang memiliki kredibilitas dan kualitas yang handal dengan bersandar pada nilai-nilai agama.
170
Lampiran 5. Wawancara dengan Santri Pondok Pesantren
Nomor catatan lapangan
:2
Hari, tanggal
: Selasa, 13 April 2010
Pukul
: 18.30 WIB
Informan
: Ni‟matuss‟diyah dan Lulik Khumaidiyah
Jabatan
: Santri Ponpes Alquran Narukan
Topik
: Tanggapan terhadap novel Perempuan Berkalung Sorban dan kultur pondok pesantren tempat mereka menuntut ilmu.
Tempat
: Pondok Pesantren Alquran (LP3AI) Desa Narukan, Kecamatan Kragan, Kab. Rembang
Berikut adalah wawancara yang peneliti lakukan dengan dua orang narasumber tersebut: P
: “Sebelumnya, perkanalan dulu mbak. Saya tutut, ini dengan mbak siapa saja?”
D
: “Saya Diah, ini Mbak Lulik.”
P
: “Sudah siap dengan wawancaranya? Ini kita cuma ngobrol saja kok.”
D+L
: (diam sambil senyum dan tertawa sebentar)
P
: “Nggak apa-apa kok mbak? Siap ya?”
D+L
: “Ya, Mbak. Kami siap.”
P
: “Bagaimana pendapat Mbak berdua tentang novel Perempuan Berkalung Sorban?”
L
: “Penilaiannya, setelah membaca novel itu paling tidak menambah pengalaman kehidupan. Terutama tentang sosok Annisa.”
P
: “Tentang Annisa? Maksudnya?”
L
: “Ya, maksudnya Annisa itu orang yang sabar, yang tabah dan tegar.”
D
: “Iya, yang tidak pernah putus asa juga.”
171
P
: “Ehm, waktu Mbak Diah tadi bilang Annisa itu wanita yang tidak mudah putus asa. Contonhnya pada bagian mana ini, Mbak?”
D
: “Contohnya ketika Annisa hidup dengan Samsudin, ketika itu Annisa kan tersiksa, Mbak. Tetapi dia tetap belajar dan belajar.”
P
: “Begitu. Kemudian kalau Khudhori bagaimana menurut Mbak?”
L+D
: (tertawa) “Kita pengen punya suami yang seperti itu. Hehe…”
P
: (tertawa juga) “Oh, kira-kira di pesantren sini ada tidak yang seperti Khudhori?”
D
: “Iya, mungkin ada. Tapi ya tidak sesempurna Khudhori. Kalau dalam novel itu kan Khudhori digambarkan sangat sempurna menurut saya.”
P
: “Kemudian kembali lagi ke Annisa. Menurut Mbak Berdua bagaimana? Dia ini dalam cerita bisa dikatakan sebagai calon bu nyai tetapi sikapnya cukup keras seperti itu? Katanya kalau jadi wanita kan nggak boleh pethakilan, naik kuda misalnya. Lha ini bagaimana?”
D
: “Ehm, ya nggak boleh. Mosok anak putri seperti itu. Ditambah Annisa kan ingin seperti idolanya itu, Putri Budur seperti di zaman Nabi. Menurut saya, Annisa itu seorang perempuan yang pintar dan cerdas Meskipun pada beberapa bagian bahasanya terlalu kasar, tapi novel itu memberikan pelajaran terhadap kami. Tetapi, tetap saja wanita tidak boleh menyalahi kodratnya. Tidak baik kalau misalnya dalam novel itu perempuan naik kuda.”
L
: “Tapi kalau menurut saya boleh-boleh saja. Nggak pa pa.
P
: “Oh, iya, Mbak. Mau Tanya? Mbak berdua sudah berapa tahun tinggal di pondok ini?”
D+L
: “Kita sudah sekitar 6 tahun di sini. Sudah dari tahun 2004.”
P
: “Dari umur berapa?”
D+L
: “Dari kita lulus sekolah tsanawiyah”.
P
: “Oh, begitu. Kembali ke novel tadi, bagaimana kalau tentang sikap dan karakter Kyai Hanan?”
172
D
: “Ya, kalau menurut saya nggak pa pa. itu kan buat mendidik anaknya. Anak putri kok seperti itu itu. Jadi, sebagai bapak ya memang seperti itu.”
L
: “Hanya saja, kalau menurut saya harus agak lembut. Kan sama anaknya sendiri. Apalagi anak putri.”
P
: “Kemudian tentang kedua kakaknya Annisa, Rizal dan Wildan.”
D
: “Kalau tentang kakak-kakaknya tidak banyak diceritakan, hanya masa kecil mereka saja. Dan menurut saya ya itu cuma kenakalan anak-anak kecil,saling mengejek dan lain-lain.”
P
: “Kemudian kalau untuk kehidupan di pesantren sini, ada perbedaan perlakuan atau tidak antara santri putra dengan santri putri?”
L
: “Tidak ada perbedaan, semua diperlakukan sama”
D
: “Hanya saja kalau untuk santri putra cara mendidiknya lebih keras. Karena mereka kan dididik untuk dapat memimpin umat, yang nanti akan menjadi kepala keluarga. Tapi, kalau yang putri kan cuma akan menjadi makmum.”
P
: “Kemudian kalau menurut Mbak tentang sikap Annisa yang ingin sejajar dengan laki-laki bagaimana, misalnya ingin dapat sama-sama kesempatan belajar dan lain-lain?”
L
: “Kalau menurut saya itu terlalu over karena semampu-mampunya wanita itu kan sekuat-kuatnya laki-laki. Jadi, tidak bisa wanita menyamai laki-laki.”
P
: “Di sini juga digambarkan kultur pesantren, ada mengaji kitab kuning dan lain-lain. Sama atau tidak penggambaran yang ada dalam novel ini dengan kebiasaan yang ada di pondok pesantren sini?”
D
: “Pada dasarnya sama hanya saja kalau sini lebih ditekankan pada tafsir Al Quran. Bukan kitab kuning.”
L
: “Pondok kami ini juga kan pondok pesantren Al Quran jadi tekanannya berbeda. Kami juga lebih fokus pada Al Quran sebagai pedoman kami.”
P
: “Tetapi kitab kuning tetap dipelajari?”
173
D
: “Kami pelajari, hanya saja tidak sebanyak tafsir Al Quran. Mosok kita lebih banyak mengkaji kitab lain tapi Al Quran tidak.”
P
: “Oh, begitu. Kemudian antara santri putra dan putri apakan ada forum musyawarah bersama atau forum bersama yang lain?”
D
: “Santri putra dan putri dipisah termasuk dalam forum musyawarahnya. Santri putra sendiri, sanri putri sendiri.”
P
: “Kalau hari Jumat itu libur, biasanya digunakan santri untuk apa?”
D
: “Ehm, biasanya digunakan untuk kerja bakti, belanja juga.”
L
: “Biasanya juga ada yang pulang ke rumah kalau santri-santri yang rumahnya dekat.”
P
: “Kalau di sini tidak ada yang sekolah umum ya?”
D
: “Tidak ada, semuanya cuma mondok saja di sini.”
P
: “Aktivitas belajar biasanya dimulai dari jam berapa?”
L
: “Dari jam 8 sampai jam 11 nanti lanjut lagi sampai sore buat mengaji kitab.”
P
: “Ustadz-ustadz sini beragam?”
D
: “Ustadznya beragam. Masing-masing punya bidangnya sendiri.”
P
: “Kalau untuk ustadz yang mengajar tafsir Al Quran siapa?
D+L
: “Ustadz Baha‟udin”
P
: “Waktu belajar, ada sistem diskusi atau cuma searah saja dari ustadz ke santri?”
L
: “Ada diskusi, antara santri satu dengan yang lain juga bisa bertukar pendapat. Kami cukup bebas bertanya apa yang ingin kami tahu kepada ustadz kami.”
D
: “Pokoknya selama ustadz bisa ya dijawab tapi kalau tidak ya dibuat PR dulu untuk dicarikan jawabannya.”
P
: “Jadi, seperti di sekolah-sekolah umum ya? (mengangguk) Ya sudah Mbak, begitu dulu. Terimakasih untuk waktunya.”
D+L
: “Iya, Mbak. Sama-sama.”
174
Keterangan
:
P
: Peneliti
D
: Ni‟matuss‟diyah
L
: Lulik Khumaidiyah
Refleksi Wawancara dilakukan peneliti dengan dua orang santri Pondok Pesantren Al Quran Desa Narukan Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang. Dua orang santri tersebut adalah Ni‟matuss‟diyah dan Lulik Khumaidiyah yang sudah belajar di pondok pesantren tersebut selama kurang lebih enam tahun. Sebelum dilakukan wawancara, peneliti memberikan novel Perempuan Berkalung Sorban kepada keduanya untuk dibaca terlebih dahulu agar sedikit banyak narasumber mengetahui isi pembicaraan dalam wawancara dan mengetahui bagaimana isi novel tersebut karena wawancara yang dilakukan juga bertujuan untuk mengetahui penilaian pembaca novel terhadap novel Perempuan Berkalung Sorban. Pada awal wawancara peneliti menilai bahwa kedua narasumber mengalami ketegangan karena sebelumnya belum ada yang melakukan wawancara terhadap mereka atau melakukan penelitian di pondok pesantren tersebut. Namun, seiring dengan berjalannya wawancara suasana mencair sedikit demi sedikit sehingga suasana benar-benar cair. Kedua narasumber mulai memberikan wawancara dengan jawaban yang lancar sampai akhir wawancara. Pada umumnya, penilaian kedua narasumber terhadap novel Perempuan Berkalung Sorban merupakan penilaian yang baik. Artinya, kedua narasumber menilai novel tersebut memberikan pengetahuan dan pengalaman baru tentang arti perjuangan kaum perempuan terutama dalam lingkungan pesantren. Namun, kedua narasumber manyatakan bahwa cara penggambaran Abidah El Khalieqy sebagai penulis novel Perempuan Berkalung Sorban terlalu berlebihan sehingga terlihat bersikap keras terhadap pondok pesantren.
175
Lampiran 6.
Gb.1 Wawancara dengan dua orang santri Pondok Pesantren Al Quran, Desa Narukan, Kec, Kragan, Kab. Rembang
176
Lampiran 7.
KOMENTAR PEMBACA TERHADAP NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN Ni‟matussa‟diyah, Santri Pondok Pesantren Al Quran, Narukan, Kragan, Rembang “Menurut saya, Annisa itu seorang perempuan yang pintar dan cerdas Meskipun pada beberapa bagian bahasanya terlalu kasar, tapi novel itu memberikan pelajaran terhadap kami. Tetapi, tetap saja wanita tidak boleh menyalahi kodratnya. Tidak baik kalau misalnya dalam novel itu perempuan naik kuda.” Lulik Khumaidiyah, Santri Pondok Pesantren Al Quran, Narukan, Kragan, Rembang “Novel itu memberikan pengalaman yang baru terhadap kami. Tentang perjuangan Annisa sebagai wanita yang kuat, tegar, dan tabah dalam menjalani hidupnya”. Fetty Permatasari, Wartawan Solo Pos “Asyik. Nuansa perlawanan dari tokoh utama terasa kental di novel itu. Ciri khas Abidah dalam karya lain juga begitu. Abidah selalu mampu melihat sisi lain”. Vivin Ariyani, Guru Bahasa Inggris SMP 4 Sarang, Rembang “Bagus. Lebih menonjolkan gerakan feminisme. Tetapi, saya pikir tidak semua pondok pesantren digambarkan seperti itu apalagi pada masa sekarang. Kalau dalam novel tersebut pondok pesantren digambarkan sebagai sebuah lingkungan pendidikan yang sangat mengekang santri-santrinya”.
177
Irna Setyowati, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNS “Cerita novel Perempuan Berkalung Sorban sangat bagus. Saya salut dengan keberanian Annisa sebagai tokoh utama. Tetapi, sedih juga karena cerita novel itu memiliki akhir sad ending”. Dian Fitri Argarini, Mahasiswa Pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang “Penggambaran tokoh kuat dengan masing-masing karakter yang dimilikinya. Amanat yang dikandung dalam novel tersebut bahwa sebagai perempuan harus bisa memperjuangkan haknya, jangan mau kalah dengan laki-laki. Usaha untuk persamaan gender antara laki-laki dan wanita”. Anis Ningsih, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNS “Menurutku novel itu sangat bagus karena mengandung pesan moral dan nilai religi yang tinggi. Bahwa seorang wanita berhak mendapatkan pendidikan meskipun dia sudah menikah dan berkeluarga. Juga terdapat gerakan feminisme yang tinggi, yaitu bahwa cewek dan cowok mempunyai hak yang sama”.