Sensualitas dan Tubuh Perempuan dalam Film-film Horor di Indonesia (Kajian Ekonomi Politik Media) Primada Qurrota Ayun Pendidikan Pascasarjana Ilmu Komunikasi Gadjah Mada Konsentrasi Ilmu Komunikasi dan Media
[email protected] Abstrak Adanya ketidakseimbangan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan adalah hasil dari strukturasi dalam sistem sosial yang membuat perempuan selalu menjadi objek dalam media massa. Film horor di Indobesia, menampilkan perempuan sebagai komoditas yang di tawarkan. Melalui pendekatan kritis, tulisan ini mencoba untuk melihat bagaimana film horor di Indonesia yang menunjukkan sensualitas dan tubuh perempuan adalah hasil dari tendensi ekonomi dan politik.
Abstract Unbalance social relation between man and woman as a result of structuration in social system makes woman always be the object of mass media. Horror movie in Indonesia, serves woman as trading commodity. Through critical approach, this article tries to clarify that horror movies in Indonesia which show sensuality and woman’s body are the result of economic and political tendency. Keywords: woman, horror movie, commodity, structuration Pendahuluan Masih
ingatkah
kita
akan
kasus
dibintanginya.
Film
horor
yang
seharusnya
pertengkaran antara Dewi Persik dan Julia Peres di
menampilkan kesan mistis dan menakutkan, berubah
infotainmen sekitar bulan November 2010? Kedua
tampilan menjadi sebuah film yang menampilkan
artis
adegan
perempuan-perempuan seksi. Sosok hantu yang
pertengkaran di sebuah film horor, yang berjudul
ditampilkan pun tak ubahnya juga menampilkan
“Arwah Goyang Kerawang”. Video yang beredar di
tubuh perempuan. Yang lebih lucu lagi adalah ketika
dunia maya, memperlihatkan kedua artis yang
kita memperhatikan poster film horor. Siapa yang
memiliki tubuh seksi itu menggunakan baju penari
tampil menonjol dalam poster tersebut? Kalau kita
berpotongan dada rendah dan tampak sedang
perhatikan maka sosok perempuan seksi lebih
bertengkar. Film-film horor di Indonesia identik
mendominasi ketimbang sosok hantu. Sensualitas
dengan sosok perempuan yang memiliki penampilan
dan tubuh perempuan menjadi dua hal yang sangat
“berani” dalam berbusana. Sebut saja beberapa artis
menonjol dalam film horor di Indonesia. Sebagian
seksi yang kerap bermain dalam film horor, seperti
besar film tersebut selalu menampilkan perempuan-
Julia Peres dan Dewi Persik. Mereka berdua begitu
perempuan
memiliki daya pikat dalam film bergenre horor.
menjadikan artis porno sebagai daya pikat untuk
Dengan akting yang pas-pasan kedua artis ini
lakunya film horor tersebut.
seksi
itu
tengah
ribut
karena
mampu mendongkrak rating film horor yang
yang
seksi
dan
ada
pula
yang
Di sinilah ekonomi politik media, menjadi suatu hal
Pembahasan : Sejarah Film Horor Indonesia
yang perlu dikaji untuk melihat apakah sebenarnya
Di Indonesia, genre film horor telah hadir
film-film horor ini memiliki kepentingan bagi politik
sejak
lama.
Hal
ini
dikarenakan
masyarakat
atau keuntungan ekonomi belaka.
Indonesia sangat dekat dengan dunia supranatural. Sebuah tulisan mengenai “Film Horor Indonesia: Dinamika Genre” yang ditulis oleh Rusdiarti (2011),
Alur Pemikiran Kritis Alur pemikiran dalam tulisan ini adalah
mencoba
menjelaskan secara rinci bagaimana
menggunakan cara pandang kritis karena paradigma
perkembangan film horor di Indonesia. Terdapat dua
kritis memiliki tujuan untuk melakukan analisis
film yang sering disebut sebagai film horor pertama
terhadap relasi kekuasaan yang timpang antara peran
di Indonesia, yaitu Tengkorak Hidoep (1941) karya
laki-laki dan perempuan. Asumsi yang mendasari
Tan Tjoei Hock dan Lisa (1971) karya M.
penggunaan paradigma kritis disebabkan persoalan
Shariefuddin, kedua film ini menjadi peletak dasar
gender menekankan kajian pada adanya penindasan
genre film horor di Indonesia. Tengkorak Hidoep
dan distribusi kekuasaan yang tidak seimbang di
menampilkan sebuah horor of the demonic, monster
masyarakat.
yang bangkit dari kabur dan ingin membalas dendam
Pendekatan kritis dapat dijadikan sebagai
pada reinkarnasi orang yang telah membunuhnya.
suatu alat untuk melihat bagaimana sensualitas dan
Sedangkan, Lisa merupakan horror of personality,
tubuh perempuan begitu eksis dalam film horor di
yang menampilkan ibu tiri yang meminta seseorang
Indonesia, karena dengan pendekatan kritis mampu
membunuh anak tirinya.
mengungkapkan
terkonstruksi.
Pada era itu, genre film horor didominasi
ketidakseimbangan,
oleh horor hantu. Pada tahun 80-an, merupakan
penindasan, penekanan, eksploitasi, diskriminasi,
masa kejayaan film horor di Indonesia. Kejayaan di
dan ketimpangan yang lain dalam kehidupan sosial.
sini bukan hanya karena tingginya jumlah produksi
Pendekatan
ini
realitas
yang
melihat
Pendekatan kritis ini memandang bahwa
film, tetapi juga tingginya jumlah penonton, serta
masyarakat sebagai suatu sistem dominasi suatu
banyaknya
sistem kelas. Masyarakat dilihat sebagai suatu sistem
penghargaan dari sisi kualitasnya. Contohnya adalah
dominasi dan media adalah salah satu bagian dari
film Ratu Pantai Selatan (1980) mendapatkan piala
sistem dominasi tersebut, pandangan ini melihat
LPKJ pada FFI 1981 untuk efek khususnya, atau
masyarakat
elit
film Ratu Ilmu Hitam (1981) masuk ke dalam
(Eriyanto, 2001: 22). Tulisan ini ingin mengkritisi
banyak kategori di FFI. Sayangnya pada tahun-tahun
adanya dominasi sensualitas dan tubuh perempuan.
selanjutnya, jumlah produksi film horor menurun,
Asumsinya adalah bagaimana perempuan yang
hal ini sejalan dengan lesunya dunia perfilman di
terstrukturasi karena adanya ketimpangan kelas,
Indonesia.
didominasi
oleh
kelompok
dijadikan sebagai suatu barang yang patut untuk diperjualbelikan.
film
horor
yang
mendapatkan
Era 2000-an, film horor Indonesia memulai
dikatakan sebagai pelopor keberadaan sensualitas
era baru. Jelangkung (2001) karya Rizal Mantovani
dan tubuh perempuan. Jika kita menonton film
dan Jose Purnomo, berhasil memberikan sentuhan
tersebut, kita bisa menyaksikan bagaimana pakaian
yang berbeda dalam menghasilkan film horor.
yang digunakan oleh Suzana. Gerak-gerik tubuhnya
Dengan mengandalkan kekuatan dalam fotografi,
dengan balutan pakaian seksi, menjadi salah satu hal
editing, dan suara film ini menandai kembalinya
yang membuat film tersebut banyak diminati
penonton ke bioskop-bioskop. Film-film horor era
penonton.
baru menyerbu penonton Indonesia. Di samping itu,
Eksploitasi tubuh perempuan merupakan
ceritanya tidak tergantung lagi pada legenda-legenda
suatu hal yang telah dianggap lumrah dalam film
tradisional. Sebagian besar film menghadirkan
horor. Seks, merupakan suatu hal yang laris
karakter-karakter remaja dan lingkungan perkotaan,
diperjualbelikan untuk memperoleh keuntungan.
yang dulu belum pernah disentuh oleh film horor
Padahal dalam kenyataannya di era Orde Baru
Indonesia.
hingga awal tahun 1990-an, Keputusan hasil
Genre film memiliki dinamika yang terus-
Seminar Kode Etik Produksi Film Nasional pada
menerus berkembang sesuai dengan kreativitas dari
tanggal 4-8 Mei 1981
sineas dan keragaman penonton. Heider (Rusdiarti,
memelihara kesusilaan martabat manusia, Film
2011: 11) menyatakan bahwa film horor Indonesia
Indonesia diputuskan untuk (Irawanto, Novi,
pada masa Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari tiga
Rahayu, 2004: 58) :
hal, yaitu komedi, seks, dan religi. Ketiganya
“.... (7) Tidak diperkenankan menyajikan adegan
menjadi suatu formula ampuh untuk membuat film-
yang menggunakan pakaian terlalu minim yang
film horor di Indonesia yang digemari penontonnya.
dapat
merangang
mengarahkan untuk
nafsu
birahi.
(8)
&
Tidak
Berbeda dengan nuansa religi, komedi dan
diperkenankan menyajikan adegan telanjang bulat,
seks ternyata masih menjadi andalan film horor
sungguhpun dalam bentuk samar-samar, bahkan
Indonesia saat ini. Film-film horor komedi di
dalam bentuk imajiner yang ditampilkan melalui
Indonesia, misalnya adalah Ada Hantu Di Sekolah
reaksi yang tidak senonoh dari pelakunya.
(2005), Film Horor (2006), dan Hantunya Kok
(9) Dilarang menampilkan adegan penelanjangan
Beneran (2008). Di samping itu, terdapat beberapa
yang tidak perlu dan tidak senonoh.”
film-film horor yang cenderung mengeksploitasi
Seiring
dengan
perkembangan
zaman,
tubuh perempuan dan seks. Contohnya adalah Tiren
dibentuklah Lembaga Sensor Film (LSF) yang diatur
(2008), Tali Pocong Perawan (2008), Hantu Budeg
melalui Undang-Undang Perfilman No. 8 Tahun
(2009), Hantu Jamu Gendong (2009), Arwah
1992. Lembaga ini dibentuk oleh pemerintah melalui
Goyang Kerawang (2011) yang diganti judul
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1994. LSF
menjadi Goyang Jupe Depe.
merupakan suatu lembaga non-struktural. Kegiatan
Keberadaan perempuan seksi dalam film
LSF merupakan kegiatan penelitian dan penilaian
horor di Indonesia, mulai melekat ketika film horor
terhadap film dan reklame film dipertunjukan
mengalami masa kejayaannya di Indonesia. Film
dan/atau ditayangkan kepada umum, baik secara
Pantai Selatan yang dibintangi oleh Suzana, bisa
utuh atau suara tertentu. Kriteria penyensoran film
yang dilakukan oleh LSF meliputi beberapa hal
Perempuan di dalam film, bahkan media
sebagai berikut, antara lain (Irawanto, Novi, &
massa yang lain sering digambarkan sangat tipikal,
Rahayu, 2004: 70-71):
sebagai objek seksual atau simbol seks, obyek fetish,
(1) Film dan reklame film yang secara tematis ditolak secara utuh, adalah: b.
yang
cerita
dan
obyek peneguhan pola kerja patriarki, obyek pelecehan dan kekerasan, selalu disalahkan dan
penyajiannya
bersifat pasif, serta menjalankan fungsi sebagai
menonjolkan adegan-adegan seks lebih dari
pengkonsumsi barang atau jasa dan sebagai alat
50%.
pembujuk.
(3) Bagian-bagian yang perlu dipotong atau dihapus dalam suatu film dan reklame film
Perempuan yang Terstrukturasi dan Komoditi
dinilai dari segi sosial budaya, adalah:
dalam Film Horor di Indonesia
a. adegan seorang pria dan wanita dalam
Citra perempuan dalam film era 1970-an di
keadaan atau mengesankan telanjang bulat,baik
Amerika, menggambarkan bahwa terjadi distorsi
dilihat dari depan, samping, atau dari belakang;
penggambaran perempuan. Citra feminim dilekatkan
b. close up alat vital, paha, buah dada, atau
pada
kaum
perempuan
dengan
memberikan
pantat, baik dengan penutup maupun tanpa
gambaran yang sempit mengenai sosok perempuan.
penutup;
Di mana, perempuan dalam film di era tersebut
h. adegan-adegan yang dapat menimbulkan
direndahkan dan terdapat pelecehan.
kesan tidak etis. Kode etik dan kriteria penyensoran film di atas
Kritik terhadap film muncul dengan adanya screen
theory,
yang
mencoba
menjelaskan
menunjukkan bahwa keberadaan perempuan yang
bagaimana citra perempuan di dalam film. Johnston,
menampilkan sensualitas dan tubuh perempuan tidak
Cook, dan Mulvey (Hollows, 2000: 59) menjelaskan
sesuai dengan nilai moral filosofi yang bertujuan
bahwa strukturalisme dan semiotik memberikan
untuk memelihara kesusilaan martabat manusia.
suatu
Moral filosofi dalam Moscow diartikan sebagai
mengkonstruksi dan mereproduksi gagasan kita
suatu nilai yang membantu untuk menghasilkan
tentang
perilaku sosial di mana kebebasan individu menjadi
merefleksikan kenyataan yang ada.
salah satu nilai di dalamnya.
cara
pemahaman
apa
Bahasa
itu
bagaimana
“kenyataan”,
membagi-bagi
teks
dan
dunia
film
bukan
menjadi
Dengan menjadikan sensualitas dan tubuh
berkelas-kelas, termasuk laki-laki dan perempuan.
perempuan sebagai suatu yang diperdagangkan
Film horor di Indonesia secara tidak langsung
dalam film horor, secara tidak langsung, kebebasan
menghasilkan ideologi patriarki. Laki-laki sebagai
perempuan terengut. Ditambah lagi, penampilan
seorang yang maskulin dan menandai aktivitas,
perempuan dalam film tersebut jauh dari nilai
sedangkan
perempuan
budaya dan etika perempuan Indonesia, yang
feminim
menandai
digambarkan sebagai perempuan yang sopan santun,
kepasifannya.
lemah lembut, dan berpenampilan tertutup.
Perempuan hanya bisa berfungsi sebagai objek
sebagai
seorang
ketidakberadaan
yang dan
narasi dan memandakan kepasifan, sedangkan laki-
laki adalah subjek aktif narasi. Citra perempuan di
konsumsi sumber daya. Sumber daya di sini adalah
dalam film dapat dilihat dari dua sisi, yaitu fetisisme
produk-produk dari komunikasi, misalnya surat
dan voyerisme.
kabar, buku, video, film, dan khalayak. Di dalam
Fetisisme, mengubah perempuan menjadi citra yang aman, dapat dinikmati dan tidak
ekonomi politik terdapat tiga pilar utama, yaitu komodifikasi, strukturasi, dan spasialisasi.
mengancam dengan mengubah beberapa bagian
Perempuan dalam film horor ini secara tidak
tubuhnya menjadi fetis – yaitu dengan memusatkan
langsung adalah perempuan yang terstrukturasi
perhatian pada beberapa aspek perempuan yang
karena adanya ketimpangan gender. Strukturasi
dibuat menyenangkan – misalnya, kaki dan rambut.
dalam Moscow (2009), dijelaskan sebagai suatu
Voyerisme, mencoba menginvestigasi perempuan,
sistem yang timpang dalam kelas sosial di
memahami
menganggap
masyarakat. Relasi kekuasaan yang tidak seimbang
perempuan sebagai sosok yang dapat diketahui,
antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat
dikendalikan, dan merupakan subjek kekuasaan laki-
mengahasilkan
laki.
sumber
Perempuan menjadi dikesampingkan oleh laki-laki
kenikmatan laki-laki. Akibatnya perempuan harus
dalam akses media, telekomunikasi, dan teknologi
berfungsi sebagai objek erotis utama dalam film
informasi, termasuk pekerjaan dalam industri ini dan
(Hollows, 2000: 63).
sumber daya komunikasi yang dihasilkan oleh
misterinya,
Perempuan
Perempuan merupakan
objek
kemudian
dijadikan
dalam yang
sebagai
film
horor,
berfungsi
juga
perempuan
termarjinalisasikan.
mereka.
untuk
Penampilan
sensualitas
dan
tubuh
menyenangkan kaum laki-laki. Cerita horor yang
perempuan dalam film horor menunjukkan bahwa
seharusnya memberikan kesan ketakutan kepada
perempuan berada di dalam sebuah struktur sosial
khalayak telah diubah menjadi film yang seronok
yang timpang. Secara tidak langsung di dalam film
dengan menjual desahan perempuan dan kemolekan
horor tersebut, perempuan mengalami kekerasan
tubuh perempuan. Perempuan dijadikan sebagai
serta penindasan yang dikarenakan oleh sebuah
komoditi dalam pasar film horor. Mereka dijadikan
sistem kekuasaan dalam berbagai bentuk. Film horor
sebagai suatu objek yang memiliki daya jual tinggi
yang memperkerjakan perempuan secara tidak
dipasar.
langsung telah melakukan tindakan diskriminasi Muncul sebuah pertanyaan menarik yang
kerja, upah serta perempuan dijadikan sebagai obyek
patut dikaji yaitu, apa manfaat dari ideologi patriarki
yang
dilecehkan
secara
seksual,
memiliki
yang ditanamkan dalam film horor. Untuk mengkaji
ketergantungan kepada kaum laki-laki, serta adanya
lebih lanjut mengenai hal itu, maka kita bisa
pembagian peran yang tidak seimbang dalam peran
menggunakan pendekatan ekonomi politik media.
sosial.
Ekonomi politik, merupakan sebuah kajian
Perempuan dalam film horor dituntut untuk
relasi sosial mengenai kekuasaan. Kajian ekonomi
menggunakan pakaian-pakaian terbuka, mereka
politik menurut Moscow (2009), berarti sebagai
diskriminasi karena tidak dapat memilih pakaian apa
kajian relasi sosial. Relasi di sini adalah relasi
yang layak menutupi tubuh mereka. Mereka dituntut
kekuasaan, yang memproduksi, mendistribusi, dan
untuk berpenampilan secara profesional dengan rela
menampilkan tubuh mereka dan beradegan sensual.
mempertahankan dan menguatkan posisi kelas
Upah yang mereka dapatkan dalam film horor pun
penguasa.
tidak sama dengan apa yang telah mereka lakukan.
Dalam proses strukturasi ini, pembagian
Strukturasi di Indonesia, membagi kelas
kelas yang timpang antara laki-laki dan perempuan
antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki menjadi
menjadikan perempuan sebagai sesuatu objek yang
sosok
dapat diekspos melalui sensualitas dan tubuhnya.
yang
dominan,
sedangkan
perempuan
dijadikan sebagai suatu hal yang di dominasi.
Hegomoni
Dengan kata lain, Simon de Beauvoir (Tong, 2008:
mengkonstruksikan
262) menjelaskan bahwa laki laki adalah “Sang
makhluk yang tidak berdaya dan hanya bisa
Diri”, sedangkan perempuan adalah “Sang Liyan”.
dijadikan objek sebagai pemuas seks belaka.
Jika Liyan adalah ancaman bagi Diri, maka
dalam
Adanya
film-film bahwa
perempuan
horor
mencoba
perempuan
yang
sebagai
terstrukturasi
perempuan adalah ancaman bagi laki-laki. Untuk itu,
karena ketimpangan kelas sosial di masyarakat,
laki-laki harus mensubordinasikan perempuan, agar
membuat
mereka bebas. Secara tidak langsung strukturasi,
komoditi yang patut diperjualbelikan. Komodifikasi
membuat pembagian gender yang mengopresi
dalam
perempuan.
penambahan nilai guna menjadi nilai tukar. Terdapat
Relasi kelas sosial telah membuat adanya ketimpangan kelas antara laki-laki dan perempuan.
dianggap
sebagai
sesuatu
Moscow
dijadikan
(2009),
sebagai
dijelaskan
suatu
sebagai
tiga hal yang mampu dikomodifikasikan, yaitu: konten, audiens, dan pekerja.
Salah satu masalah rilnya adalah dalam film horor, perempuan
perempuan
Komodifikasi bermain di dalam tubuh
yang
perempuan. Pemberian nilai lebih pada konten tubuh
mengancam laki-laki, untuk itu perempuan harus
perempuan dengan menampilkan sosok seksi dan
dijadikan objek dominasi. Di samping adanya
penampilan perempuan yang berbaju minim serta
ketimpangan kelas, perempuan juga memiliki nilai
menonjolkan sensualitas menjadi nilai lebih dalam
guna yang mampu dijadikan nilai tukar. Film horor,
film horor sehingga tetap laris di pasaran walau
menganggap bahwa perempuan memiliki nilai tukar
hanya menampilkan adegan dan akting yang standar
dan menyimpan potensi badaniah untuk diekspos.
dan itu-itu saja. Perempuan dijadikan suatu komoditi
Sensualitas dan tubuh perempuan sering ditampilkan
dalam film horor. Mereka dianggap memiliki daya
sebagai sesuatu hal yang mempunyai daya tarik
tarik dengan mengekspos tubuh mereka.
sendiri.
Selain komodifikasi konten, perempuan juga Proses strukturasi menjadi suatu hal yang
dikomodifikasikan sebagai pekerja. Sebagai seorang
penting di dalam pembentukan suatu hegomoni.
pekerja, mereka harus mau dan ikhlas apabila tubuh
Moscow
mereka
(2009),
menggambarkan
hegomoni,
dijadikan
sebagai
sebuah
komoditi.
sebagai proses penjajahan pikiran oleh kelas
Perempuan diharuskan untuk bekerja secara ekstra
penguasa (pemilik modal/alat produksi) terhadap
dengan menampilkan kesensualitasan tubuhnya
kelas-kelas
memperoleh
untuk melariskan film horor yang dibintangi. Tubuh
“persetujuan” dari masyarakat sosial yang dituju
dan sensualitas mereka kerap diekspos hanya demi
untuk
menarik perhatian audiens. Di sini, komodifikasi
di
mencapai
bawahnya
suatu
untuk
tujuan
tertentu
serta
audiens juga secara tidak sengaja terjadi. Para
dengan kepentingan kelompok dominan yaitu kaum
audiens dituntut untuk selalu menikmati sensualitas
pria pemilik modal. Dengan menjadikan perempuan
dan tubuh perempuan dalam film horor tersebut.
sebagai suatu komoditas konten dalam film horor,
Meski cerita horor di Indonesia hanya berkisah itu-
secara tidak langsung terjadi proses hegemoni dalam
itu saja,
masyarakat bahwa perempuan didominasi oleh kaum
tetapi audiens tetap
tertarik untuk
menikmati film terebut. Hal ini tidak lain karena
pria.
para penonton yang kebayakan kaum adam dan hawa begitu menikmati penampilan perempuan
Penutup : Kesimpulan dan Saran
dalam film tersebut.
Fenomena mengenai tubuh dan sesualitas
Ketika kita memperperhatikan secara cermat
perempuan dalam film horor ini banyak disayangkan
poster film-film horor di Indonesia, perempuan
oleh para pengamat film di Indonesia. Seharusnya
tampil untuk menonjolkan tubuhnya dan sensualitas
film horor di Indonesia mampu menjadi kekuatan
dirinya melalui pakaian terbuka dan pose yang
perfilman
menggoda. Alur film horor pun, selalu menampilkan
pertimbangan komersial sering menenggelamankan
sosok
dia
potensi kuat film Indonesia. Hal ini diakibatkan oleh
merupakan sosok hantu. Atau jika dia bukan sosok
adanya kemalasan berfikir produser serta sineas
hantu, dia merupakan pemeran utama yang memiliki
Indonesia dalam proses kreatifnya.
perempuan
yang
seksi,
meskipun
Indonesia,
tetapi
pertimbangan-
tubuh seksi, yang mampu membuat film hantu
Melihat film horor diminati penonton, maka
tersebut menjadi diminati banyak orang. Akting para
produser dan sineas Indonesia membuat film horor
artis perempuan dalam film horor dapat dibilang
dengan
pas-pasan, namun sensualitas dan tubuh mereka
mengenai
merupakan sebuah komoditi yang laris di pasaran.
Pertimbangan ekonomi yang dominan, film-film
Ekspos badaniah dalam beberapa film horor di
horor di Indonesia tidak dibuat secara sungguh-
Indonesia,
sungguh. Biaya yang murah, estetika yang kacau,
merupakan
hal
yang
tidak
dapat
terelakan.
tema
yang
sama
eksploitasi
dan
terus-menerus
tubuh
perempuan.
jalan cerita yang tidak masuk akal menjadi buah dari
Film horor merupakan salah satu film yang
rangkaian kemalasan tersebut. Menurut Sasono
diminati penonton, oleh karena itu produser dan
(Rusdiarti, 2011: 12), hal ini dapat menjatuhkan film
sineas Indonesia membuat film horor dengan tema
Indonesia, khususnya genre horor ke dalam suatu
yang sama dan terus-menerus mengeksploitasi tubuh
jurang pelecehan.
perempuan.
Adanya
strukturasi
mengakibatkan
Ekonomi politik media telah menjadikan
perempuan sebagai manusia yang terpinggirkan,
perempuan sebagai suatu komoditi dalam pasar film
tidak setara dengan laki-laki, sehingga diijinkan
horor di Indonesia. Adanya strukturasi membuat
untuk diekspos sesuai dengan kebutuhan pasar.
pembagian kelas antara laki-laki dan perempuan
Sensualitas dan tubuh perempuan dalam
menjadi timpang. Perempuan dianggap memiliki
film horor selain memiliki tujuan menghasilkan
nilai lebih di dalam film horor Indonesia, mereka
profit, tetapi juga profit secara politik kultural di
juga menjadi sebuah pasar dalam petarungan kuasa
mana terbentuknya suatu konstruksi realitas sesuai
berbagai kepentingan dan ideologi. Dominasi oleh
kaum laki-laki dan kepentingan pemilik modal,
dominasi pemilik modal dalam film horor yang
membuat perempuan menjadi suatu komoditi yang
ogah-ogahan menghasilkan film berkualitas dan
layak untuk diperdagangkan. Citra perempuan dalam
hanya memikirkan keuntungan semata seharusnya
film horor, digambarkan sebagai sosok yang negatif.
memikirkan
Sosok perempuan yang berpenampilan terbuka,
pembuatannya. Perempuan bukanlah suatu barang
nakal, dan bukan perempuan baik-baik.
atau komoditi yang bisa diperdagangkan. Mereka
Hasil
dari
menunjukkan
kajian
bahwa
ekonomi
sensualitas
politik
dan
tubuh
sebuah
etika
moral
di
dalam
memiliki nilai kepintaran yang bisa diekspos, bukan hanya tubuh semata.
perempuan dalam film horor di Indonesia sarat akan kepentingan.
Dari
memberikan
sebuah
segi
politik,
tempat
film
bagi
horor
kepentingan
ideologi tertentu. Ideologi patriarki dalam film horor Indonesia,
dimanfaatkan
sebagai
di
Daftar Pustaka Eriyanto. 2001. Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Wacana. Yogyakarta: LkiS
mana
perempuan dijadikan objek dalam film ini. Hal ini
Hollows, J. 2000. Feminsme, Feminitas & Budaya
secara
Populer. Yogyakarta: Jalasutra
tidak
langsung
melegalkan
konstruksi
perempuan sebagai mahluk yang lemah dan hanya mampu diekspos secara badaniah. Kemudian, dalam
Irawanto, B, Novi, K, dan Rahayu. 2004. Menguak
segi
film
Peta Perfilman Indonesia. Jakarta: Kementrian
merupakan suatu institusi bisnis yang menginginkan
Kebudayaan dan Pariwisata RI Jurusan Ilmu
keuntungan semata, hal ini dapat dilihat dari alur
Komunikasi , FISIPOL, Universitas Gadjah Mada
cerita
ekonomi,
yang
media
itu-itu
massa
saja,
khususnya
tetapi
kerap
sekali
diproduksi.
Moscow, V. 2009. The Political Economy of
Film seharusnya memiliki kegunaan sebagai agen
untuk
menggambarkan
realitas
Communication. Singapore: SAGE.
yang
sesungguhnya mengenai perempuan dan membantu
Sunarto. 2009. Televisi, Kekerasan, & Perempuan.
perempuan untuk membangun citra positif mengenai
Jakarta: Kompas
perempuan. Tidak hanya film yang membangun citra positif perempuan, namun media massa keseluruhan
Tong, R. P. 2008. Feminist Thought. Yogyakarta:
juga harus membantu membangun citra positif
JalaSutra
perempuan. Selain media massa, seharusnya terdapat kebijakan yang mengatur mengenai hukum yang
Rusdiarti, S. R. (2011). Film Horor Indonesia :
melarang pornografi jangan sampai menjadikan
Dinamika Genre.
perempuan sebagai korban. Pemerintah seharusnya memperhatikan
kebijakan-kebijakan
mengenai
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q= sejarah%2Bfilm%2Bhoror%2Bdi%2BIndon
perempuan dalam perfilman. Selama ini, kebanyakan kebijakan dibuat dari cara pandang laki-laki. Di samping itu,
esia&source=web&cd=2&ved=0CCEQFjA B&url=http%3A%2F%2Fstaff.ui.ac.id%2Fi
nternal%2F0706050113%2Fpublikasi%2FFi lmHororIndonesia.pdf&ei=kT6uTuucLZDrr QfIqMDADA&usg=AFQjCNHuLbj66z1nFf 9CVqIfgWMz-oLokQ&cad=rja, tanggal
31
Oktober
diakses 2011.