Kajian Khusus
Feminitas dan Maskulinitas Politik Perempuan Telaah terhadap Representasi Anggota Dewan Perempuan di Komisi III dan IX DPR RI Periode 2009-2014* Ana Sabhana Azmy
abstract Feminity and masculinity terms present as an indication of gender, complexity of the characteristics and deconstruction of politics, culture and religion. Starting from the analysis, the distinction and separation of working spaces ensued. The public spaces are more focused on men, and the private/domestic spaces more focused on women. In the field of politics, this separation also takes place. The significant difference between the number of male and female legislative who sat in the House of Representatives Committees period of 2009-201, both strategic and non strategic, shows that woman is still considered as feminine and is not suitable to takes part in the more strategic public positions. In this case, the political parties are also contributing to increase the participations of women as members of the House of Representatives Committees. Political education and a good understanding of gender equity is still needed to be socialized among women and men.
Pendahuluan Ana Sabhana Azmy Alumni Pasca Politik Universitas Indonesia, Dosen di Jurusan Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Tenaga Ahli Ketua DPR RI 2009-2014. *Tulisan ini telah dipresentasikan di forum diskusi The Political Literacy Institute pada Juli 2014.
K
ehidupan politik perempuan tidak pernah lu put dari pro dan kontra. Sejumlah kalangan kontra berpendapat bahwa ranah politik bukanlah ranah perempuan, sedangkan bagi sejumlah kalangan yang pro terhadap kehidupan dan isu perempuan, justru berpendapat bahwa ranah politik sangat dekat dengan perempuan. “The Personal is Political”.1 Kata ini selalu didengungkan oleh para fe-
1
Kata-kata “The Personal is Political” seringkali didengungkan oleh para feminis, terlebih selama akhir 1960 an dan 1970 an. Sumber dari ungka75
Ana Sabhana Azmy: Feminitas dan Maskulinitas Politik Perempuan minis untuk menyatakan bahwa hal yang menyangkut “diri” adalah politis. Sehingga tidak hanya laki-laki, tapi juga perempuan harus mempunyai ruang untuk berpendapat, menunjukkan eksistensi dirinya dan juga memperoleh hak untuk didengar, baik di bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, agama dan lainnya. Berbicara tentang politik perempuan, maka tidak pernah lepas dari kata sex dan gender, di mana keduanya saling terkait. Sex adalah hal-hal yang bersifat biologis, sedangkan gender adalah suatu bentuk dari karakteristik yang telah didefinisikan secara kultural. Dari sinilah hadir istilah male (laki-laki) dan female (perempuan) yang mengindikasikan jenis kelamin dan istilah feminin (keperempuan-an) dan maskulin (kelaki-lakian)2 yang mengindikasikan gender, kompleksitas karakteristik yang
pan tersebut masih tidak diketahui dan kadang diperdebatkan. Namun, ungkapan ini untuk menunjukkan dan memberi arti bahwa perempuan mempunyai kebebasan dalam berbicara, menulis, hadirnya “kesadaran” dan juga aktifitas lainnya. Sedangkan dalam essay seorang feminist terkenal, Carol Hanich tertulis bahwa penekanan “The Personal is Political” muncul dalam sebuah antologi “ Notes from the Second Year: Women’s Liberation in 1970". Diakses dari www.womenhistory.about.com pada tanggal 6 Juli 2014 pukul 11.35 WIB. 2
Feminin dapat kita pahami dengan sifat, prilaku, sikap, perasaan, dan karakter kewanitaan seperti lembut, sabar, pengasih, penyayang, lemah, peka, emosional, pasif dan sebagainya. Sementara maskulin adalah sifat, prilaku, sikap, perasaan, dan karakter kelelakian seperti agresif, pemberani, tidak sabar, kasar dan sebagainya. Diambil dari buku Siti Musdah Mulia, Menuju Kemandirian Politik Perempuan, Kibar Press: Yogyakarta, 2007. 76
dikonstruksi secara sosial, yang berkaitan dengan dua jenis kelamin di atas. 3 Konstruksi secara sosial ini seringkali kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh “perempuan tidak pantas memanjat pohon” atau “perempuan lebih baik di rumah saja”, sedangkan bagi laki-laki “laki-laki tidak boleh menangis” atau “laki-laki itu tidak pantas mencuci dan memasak”. Padahal baik laki-laki dan perempuan, keduanya punya sisi maskulin dan feminin dalam dirinya masing-masing. Pelabelan feminin dan maskulin terjadi di tiap bidang, baik politik, sosial, ekonomi, agama dan budaya. Pada bidang politik, perempuan ditempatkan sebagai “orang kedua” atas dalih bahwa politik adalah ranah laki-laki. Adalah penting untuk diketahui bahwa segala pengambilan kebijakan yang merupakan hasil dari proses politik, jelas membutuhkan representasi dan keterlibatan perempuan karena berpengaruh terhadap kehidupan perempuan. Pada bidang sosial, istilah feminin dan maskulin seringkali kita temukan dalam pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan. Feminitas menempatkan perempuan dalam wilayah domestik (memasak, mencuci, menyetrika dan lainnya). Sedangkan maskulinitas menempatkan laki-laki dalam wilayah publik (bekerja, berorganisasi, menjadi pemimpin dan lainnya). Pada 3
Judith Squires, Gender in Political Theory, Polity Press: Cambridge, 1999, hal. 54.
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
Tabel 1.: Komposisi Anggota Dewan Laki-laki dan Perempuan di Tiap Komisi DPR RI Periode 2004-2009 dan 2009-20144
Komisi
1
I (Pertahanan, Intelejen, Luar Negeri, Komunikasi, Informasi)
2 Orang
8 Orang
2
II ( Pemerintahan dalam negeri, Otonomi daerah, Aparatur Negara, Agrarian, KPU)
7 Orang
9 Orang
3
III (Hukum, Perundang-undangan, HAM dan Keamanan)
7 Orang
3 Orang
4
IV (Pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, perikanan, pangan)
3 Orang
8 Orang
5
V (Perhubungan, telekomunikasi, pekerjaan umum, perumahan rakyat)
2 Orang
9 Orang
6
VI (Perdagangan, perindustrian, investasi, koperasi dan usaha kecil menengah, BUMN, standarisasi nasional)
5 Orang
3 Orang
7
VII (Energi, Sumber daya mineral, riset dan teknologi lingkungan hidup)
2 Orang
5 Orang
8
VIII (Agama, Sosial, pemberdayaan perempuan)
13 Orang
12 Orang
9
IX (Tenaga Kerja dan Transmigrasi, kependudukan, kesehatan)
12 Orang
20 Orang
10
X (Pendidikan, pemuda, olahraga, pariwisata, kesenian, kebudayaan)
9 Orang
10 Orang
11
XI (Keuangan, perencanaan perbankan nasional, perbankan, lembaga keuangan bukan bank)
6 Orang
9 Orang
bidang agama dengan pemahaman yang salah, perempuan ditempatkan pada posisi lemah sedangkan laki-laki kuat, begitupula dalam konteks ekonomi dan budaya, bahwa perem4
Jumlah Perempuan Periode 2004-2009
No.
Diolah dari http://www.dpr.go.id/id/anggota/perkomisi, pada Juli 2014 pukul 15.00 WIB.
Jumlah Perempuan Periode 2009-2014
puan berada di bawah laki-laki. Ranah kerja perempuan hanya dinilai sebagai “bantuan” dan bukan bentuk kemandirian perempuan. Bagi para pebisnis, penempatan perempuan dalam dunia kerja dinilai ekonomis, karena dapat digaji lebih kecil dari77
Ana Sabhana Azmy: Feminitas dan Maskulinitas Politik Perempuan pada laki-laki atas dalih pembagian kerja tersebut, domestik dan publik. Salah satu hal yang dapat kita lihat pada bidang politik, adalah komposisi anggota Dewan, baik laki-laki dan perempuan, di tiap komisi yang ada di DPR RI periode 2004-2009 dan 2009-2014 seperti tabel 1. Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa representasi perempuan meningkat dari periode tahun 2004-2009 (11%) ke 2009-2014 (18%). Meski demikian, hal menarik yang bisa kita dapatkan dari data yang ada bahwa telah terjadi pergeseran jumlah perempuan di Komisi penting, yaitu Komisi III DPR RI yang membawahi bidang Hukum, Perundangundangan, HAM dan Keamanan. Pada sisi lainnya, terjadi penambahan jumlah perempuan yang sangat signifikan pada komisi XI DPR RI yang membawahi bidang Tenaga kerja dan transmigrasi, kependudukan dan kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa representasi perempuan lebih banyak berada di isu sosial. kependudukan, kesehatan, pendidikan, kesenian dan lainnya, meski juga terjadi kenaikan pada jumlah perempuan di Komisi I DPR RI. Adalah hal yang patut kita apresiasi bahwa angka keterwakilan perempuan di DPR RI naik dari periode sebelumnya (2004-2009), bahkan jauh pada tahun-tahun sebelumnya. Meski demikian, komposisi persebaran perempuan sesuai kualitas dirinya di Komisi terkait, juga penting untuk dilihat dan ditelaah. Tidak hanya naik secara persentase keselu78
ruhan di parlemen, namun juga harus mempunyai persentase yang cukup di tiap komisi DPR RI. Memang, konstitusi kita telah mengatur jaminan kuota perempuan di parlemen, sebagaimana termaktub dalam pasal 28 H ayat (2) UUD 1945. Jaminan ini dipertegas dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 45dan 46 yang mengatur bahwa sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan pengangkatan di eksekutif dan yudikatif, harus menjamin keterwakilan perempuan sesuai persyaratan yang ditentukan. UU Pemilu No. 10 tahun 2008 pasal 8 butir D menyebutkan bahwa “penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen pada kepengurusan parpol tingkat pusat sebagai salah satu syarat parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Pada pasal 53 juga menyebutkan bahwa daftar bakal calon peserta pemilu juga harus memuat paling sedikit 30 persen angka keterwakilan perempuan. Amanat ini bahkan telah diatur pada UU Pemilu tahun 2003. Meski demikian, mekanisme sanksi yang masih lemah, membuat partai politik setengah hati menjalankan tanggung jawab tersebut. Kenaikan jumlah perempuan dalam parlemen dapat kita lihat pada tabel 2. Data yang ditampilkan oleh tabel di atas menunjukkan bahwa angka representasi perempuan di parlemen semakin meningkat dari periode ke periode. Ini adalah suatu hal yang
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
Tabel 2.: Perbandingan Jumlah Anggota DPR RI berdasarkan Jenis Kelamin Hasil Pemilu 1995-20045 Perempuan Jumlah %
Laki-Laki Jumlah %
Periode
Jumlah Anggota DPR
1950-1955
245
9
3,7
236
96,3
1955-1960
289
17
5,9
272
94,1
1956-1959
513
25
4,9
488
95,1
1971-1977
496
36
7,3
460
92,7
1977-1982
489
29
5,9
460
94,1
1982-1987
499
39
7,8
460
92,2
1987-1992
565
65
11,5
500
88,5
1992-1997
562
62
11
500
89
1997-1999
554
54
9,7
500
90,3
1999-2004
546
46
8,4
500
91,6
2004-2009
550
63
11,5
487
88,5
2009-2014
560
99
17,7
461
82,3
patut dibanggakan, sekaligus di tingkatkan. Representasi berkaitan erat dengan identitas, karena eksistensi atau keberadaan seseorang dimaknai oleh lingkungannya. Dengan demikian, representasi perempuan di tiap Komisi di DPR RI, menjadi identitas diri perempuan bahwa mereka ada dan dihargai oleh lingkungan, dalam hal ini lingkungan parlemen. Potret jumlah anggota dewan perempuan yang minim di Komisi III DPR RI dibanding anggota dewan laki-laki, menjadi fenomena yang menarik untuk ditelaah. Jika keberadaan para anggota dewan, baik laki-laki maupun perempuan di Komisi DPR RI adalah atas restu pihak partai politik pengusung, maka ada keterkaitan antara partai politik dan representasi
politik perempuan dan laki-laki di DPR RI. Lingkungan memberi identitas tertentu pada laki-laki dan perempuan, karenanya bahasa feminin dan maskulin hadir dalam kehidupan manusia. Terdapat konstruksi yang dibangun oleh pemaknaan yang diberikan oleh lingkungan sekitar. Hal ini lah yang dapat kita lihat pada representasi anggota dewan laki-laki dan perempuan di sejumlah Komisi, khususnya Komisi III dan IX DPR RI. Pertanyaan yang hendak di jawab dalam artikel ini adalah Hal apa yang menyebabkan perbedaan signifikan keterwakilan anggota dewan perempuan di isu strategis dan non strategis pada Komisi DPR RI?
5
Ryan Muthiara Wasti, S.H, www.pahamindonesia.org, diakses pada Juli 2014 pukul 15.00 WIB. 79
Ana Sabhana Azmy: Feminitas dan Maskulinitas Politik Perempuan Teori, Pembahasan dan Analisa 1. Teori Keterwakilan Secara historis, perempuan tidak pernah dimasukkan dalam partisipasi formal institusi politik dengan cara membatasi kewarganegaraan pada cara apapun dalam bentuk hegemoni/dominasi maskulinitas. Dalam merespon hal ini, maka para feminis mengkampanyekan dua hal, yaitu bagaimana cara meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik formal dan kedua adalah untuk meluaskan lagi pemahaman partisipasi, bahwa bisa dalam bentuk diluar institusi politik formal.6 Dalam isu representasi, tidak hanya berkutat pada nominal/jumlah keterwakilan, namun lebih jauh dari itu adalah pertanyaanpertanyaan yang hadir, apakah sebagai perempuan kita menginginkan identitas/kepentingan kita direpresentasikan? Atas hal ini, Anne Philips berargumen dengan empat argumen atas kesetaraan partisipasi perempuan dalam politik formal. (1) argumen tentang model peran, (2) argumen tentang keadilan, (3) argumen yang konsen pada kepentingan perempuan dan (4) argumen yang konsen pada revitalisasi demokrasi.7 Ada sebuah keyakinan atas argument pertama, bahwa keberadaan keterwakilan perempuan akan menyemangati lainnya untuk mendapat se6
Judith Squires, Gender in Political Theory, Polity Press: Cambridge, 1999, hal.195. 7
Ibid, hal. 204.
80
buah keyakinan diri bahwa mereka juga dapat menjalankan peran tersebut. Sedangkan argument tentang keadilan, bahwa representasi yang setara secara jumlah antara laki-laki dan perempuan dalam bidang legislasi itu sendiri adalah tanda keseimbangan, terkait pembuatan kebijakan. Berikutnya, bahwa perempuan perlu untuk masuk dalam politik formal untuk bekerja bagi kepentingan perempuan, baik pada keputusan yang diambil dan kebijakan-kebijakan yang diformulasikan. Dan terakhir bahwa perempuan harus masuk pada posisi kekuasaan karena mereka akan terlibat dalam nuansa politik yang berbeda, dengan demikian akan dapat menyatu secara alami dengan ruang publik.
2. Feminisasi lembaga politik Joni Lovenduski dalam bukunya Politik Berparas Perempuan menuliskan bahwa keberadaan lembaga, proses, dan prosedur menjadi faktor yang mempengaruhi perubahan jumlah perempuan dalam politik. Bagi kaum feminis, yang bersifat politis meliputi kehidupan pribadi dan privat (domestik), yang didasarkan atas hubungan kekuasaan yang tidak seimbang di mana kaum laki-laki mempunyai lebih banyak kekuasaan dari kaum perempuan dan juga mempunyai kekuasaan atas perempuan. Dalam hal gender, dapat diperdebatkan bahwa lembaga-lembaga politik mencerminkan lembaga-lembaga pri-
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
vat.8 Terdapat kekuasaan lembagalembaga dalam membentuk maskulinitas dan feminitas. Ada dua pengandaian mendasar yang diurai oleh Lovenduski terkait feminisasi politik. Pertama, suatu unsur-unsur penting dari peran-peran yang dimainkan oleh perempuan dan laki-laki dalam politik tergantung tidak hanya pada satu sama lain, tetapi juga pada hakikat lembaga-lembaga politik. Lembaga-lembaga perwakilan menentukan proses-proses feminisasi politik. Kedua, cara kaum perempuan memikirkan perwakilan politik sekurangkurangnya sama pentingnya dengan bagaimana prosesnya bisa berjalan.9 Lembaga-lembaga politik merupakan organisasi-organisasi, peraturan-peraturan formal dan informal, proses dan prosedur yang berfungsi untuk menjalankan politik. Lembagalembaga politik juga merupakan rezim gender dengan ideologi-ideologi khusus mengenai bagaimana kaum perempuan dan laki-laki harus bertindak, berfikir dan merasa. Lembaga-lembaga politik mengontrol akses ke sumber-sumber daya dan mempengaruhi tersedianya alternatif-alternatif bagi ideologi-ideologi mereka yang tergenderkan ( Connel 1987). Lembaga-lembaga politik mempengaruhi cara yang mengatur praktek perwakilan politik.10
8 Joni Lovenduski, Politik Berparas Perempuan, Kanisius: Yogyakarta, 2008, hal.32-33. 9
Ibid, hal. 55.
10
Pembahasan dan Analisa Urgensi Representasi Perempuan dalam Politik Mengamati keberadaaan perempuan dalam parlemen tidak lepas dari jumlah (kuantitas) dan latar belakang para perempuan (kualitas). Sehingga, jika kita lihat data yang ada di Bab Pendahuluan terkait persentase perempuan dalam parlemen dari masa ke masa, angka keterlibatan perempuan yang masih minim, menimbulkan kekhawatiran, kegelisahan dan bahkan rasa tidak percaya diri. Meski demikian, 18 persen keterwakilan perempuan di DPR RI periode 20092014, sudah bisa membuktikan bahwa perempuan juga bisa berkompetisi dalam dunia politik. Namun, persoalan tidak berhenti di situ. Jika berbicara tentang representasi/keterwakilan, ternyata berdasarkan data yang ada (terlampir pada tabel 1), sebaran perempuan tidak merata pada tiap komisi yang ada di DPR RI. Dalam hal ini pemerataan yang dimaksud adalah menduduki wilayah sosial dan teknologi/isu strategis juga, layaknya anggota parlemen laki-laki. Ada pemahaman yang keliru terkait kehidupan politik perempuan di parlemen, bahwa perempuan tidak cocok ditempatkan pada komisi dengan isu strategis seperti isu pertahanan, luar negeri, keamanan, perundangan, hukum dan HAM juga lainnya. Pelabelan bahwa isu strategis adalah bidang laki-laki masih mencengkeram kuat politik parlemen kita.
Ibid, hal. 55-56. 81
Ana Sabhana Azmy: Feminitas dan Maskulinitas Politik Perempuan Penyebaran tidak merata yang terlihat mencolok ini dapat kita lihat pada keterwakilan anggota dewan perempuan di komisi III dan IX. Terdapat tiga orang anggota dewan perempuan di Komisi III dari 49 anggota yang ada. Komisi III membawahi bidang Hukum dan HAM, Keamanan juga Perundangan. Sedangkan pada Komisi IX yang membawahi bidang tenaga kerja dan transmigrasi, kesehatan, kependudukan terdapat 20 orang anggota dewan perempuan dari 50 anggota.11 Representasi perempuan dalam sebuah lembaga politik, dalam hal ini adalah Komisi DPR RI tidak lepas dari konsep partriarkhi, bahwa ada kekuasaan laki-laki atas perempuan, dan ada sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai melalui bermacam-macam cara. Ada beberapa hal yang dikontrol oleh lakilaki dalam sistem patriarkhi; (1) Daya produktif atau tenaga kerja perempuan, (2) Reproduksi perempuan, (3) Kontrol atas seksualitas perempuan, (4) Gerak perempuan, (5) Harta milik dan sumber daya ekonomi lainnya.12 Tidak hanya lima hal tersebut di atas, namun sistem dan lembaga-lembaga politik pun didominasi laki-laki, mulai dari dewan desa hingga parlemen. Representasi perempuan yang tidak merata di sejumlah Komisi, khususnya Komisi III dan IX DPR RI adalah salah satu potret dari domina11
Diolah dari http://www.dpr.go.id/id/anggota/perkomisi, diakses pada 8 Juli 2014 pukul 14.30 WIB. 12
Kamla Bhasin, Menggugat Patriarki, Yayasan Bentang Budaya: Yogyakarta, 1996, hal. 5-10. 82
si lembaga politik yang di dominasi laki-laki. Keterwakilan perempuan yang minim di Komisi III DPR RI, akan berdampak secara langsung terhadap pencapaian segala kebijakan yang responsif gender, baik di non strategis dan strategis. Perempuan perlu berada dan speak up di Komisi DPR RI yang membidangi isu strategis. Meski demikian, kuantitas perempuan juga perlu diiringi dengan kualitas diri dalam mewakili kepentingan perempuan lainnya di Komisi strategis seperti Komisi III. Kualitas diri ini dapat dilihat dari profil tiap anggota dewan perempuan yang duduk di Komisi Hukum ini. Pertama, Eva Sundari dari Fraksi PDIP. Ia mempunyai latar belakang sebagai seorang pengajar dan aktifis LSM sebelum masuk partai politik. Eva menamatkan pendidikan S1 nya di Fakultas Ekonomi UNAIR dan dua kali magister, masing-masing di Belanda dan UK. Ia masuk pada salah satu daftar anggota dewan perempuan yang cukup vokal, terlebih ketika memperjuangkan keberadaan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) sebagai alat kelengkapan DPR, yang tertuang dalam UU MPR, DPR, DPD dan DPRD. Eva juga masuk sebagai orang yang memperjuangkan penambahan anggaran untuk item trafficking di kejaksaan, salah satunya untuk pelatihan jaksa terkait pengetahuan trafficking. 13 Melihat profil yang ada, Eva dapat dibilang 13
http://profil.merdeka.com, diakses pada Juli 2014 pukul 15. 00 WIB.
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
telah menempati tempat yang tepat, yaitu Komisi III DPR RI, meski berasal dari latar belakang pendidikan ilmu ekonomi. Kedua, Himmatul Alyah dari Fraksi Partai Demokrat. Sebelum menjadi anggota DPR, ia aktif sebagai konsultan hukum. Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini pernah bekerja sebagai Managing Partner pada SAS Law Firm di Jakarta. Ia juga menjabat sebagai Kepala Biro Pemberantasan AIDS dan Narkoba di DPP Partai Demokrat hingga tahun 2015. Melihat pada latar belakang pendidikan dan organisasi juga aktifitasnya di partai politik, maka ia sudah menempati tempat yang sesuai dengan disiplin keilmuan nya. Melihat profil yang ada, bahwa anggota Dewan yang ditempatkan sudah baik, namun tidak cukup signifikan mewakili suara kepentingan perempuan dari segi hukum, HAM dan lainnya. Keterwakilan perempuan jelas belum terlihat pada komisi strategis ini. Perempuan dipandang belum mempunyai kompetensi untuk memegang atau terlibat aktif dalam isu-isu strategis yang akan dibahas oleh parlemen. Seperti dituliskan dalam buku Perempuan di Parlemen terkait representasi, bahwa kita harus mengenali posisi-posisi kunci di dalam parlemen dan membangun saluran untuk memasukkan perempuan. Aturan-aturan institusional, kebiasaan dan prosedur menentukan posisi kunci legislatif dan fungsi-fungsi legislatif seperti penunjukkan komite dan par-
tisipasi dalam debat terbuka. Rekrutmen untuk posisi penting ini tergantung pada satu atau kombinasi berbagai faktor termasuk posisi partai, senioritas dan faksi, kemampuan, dukungan pemerintah, profil nasional atau lokal dan keahlian pada isu.14 Dalam hal ini, partai politik memegang peranan penting untuk menempatkan para anggota Dewan dari partai nya masing-masing. Ketidakcocokan latar belakang pendidikan atau kapasitas diri dengan komisi yang dijabat oleh anggota Dewan, pada akhirnya menjadi hal yang biasa terjadi pada tiap kali masa kepemimpinan berganti. Keberadaan perempuan di Komisi III DPR RI sangat penting, mengingat bahwa keterwakilan perempuan di sana merefleksikan hadirnya perhatian pada kepentingan perempuan seperti yang dituliskan oleh Anne Philips. Wajah kebijakan yang responsif gender akan hadir seiring kehadiran perempuan yang proporsional di komisi yang membawahi isu hukum dan HAM juga perundangan tersebut. Meningkatnya keterwakilan perempuan di politik ternyata belum dapat mengubah wajah politik. Ketika perempuan memperoleh kursi di parlemen, mereka tetap harus bersikap seperti laki-laki dan mengikuti aturan main yang dibuat oleh lelaki. Sehingga politik parlemen berparas perempuan, namun berjiwa laki-laki. Memberikan kebebasan, namun di sisi 14
Ed. Azza Karam, Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan, Yayasan Jurnal Perempuan: Jakarta, 1999,hal. 126. 83
Ana Sabhana Azmy: Feminitas dan Maskulinitas Politik Perempuan lain mengikat perempuan, sehingga harus mengikuti prosedur yang ada. Akhirnya keterwakilan yang ada tidak maksimal, hanya duduk namun tidak ikut andil dalam proses pembuatan kebijakan. Di sisi lain, anggota dewan perempuan di Komisi IX mengalami kenaikan jumlah menjadi 20 orang. Profil tiga anggota dewan periode 2009-2014 dari 20 orang anggota perempuan adalah sebagai berikut: Pertama, Ribka Tjiptaning dari Fraksi PDIP, merupakan Ketua Komisi IX DPR RI yang memperhatikan masalah-masalah di bidang tenaga kerja dan transmigrasi, kependudukan dan kesehatan. Juga merupakan anggota dari BURT DPR RI. Sebelum terjun ke dunia politik dan menjadi anggota DPR RI, ia adalah seorang dokter yang membuka sebuah klinik kesehatan di Ciledug pada tahun 1992. Melihat pada latar belakang pendidikan dan juga pengalaman yang ada, penempatan Ribka sangat cocok untuk berada di Komisi IX DPR RI. Kedua, Nova Riyanti dari Fraksi Demokrat, merupakan seorang dokter dengan pengalaman yang sangat mumpuni di bidangnya. Ia tercatat menempati posisi sebagai Wakil Ketua Komisi IX sebelum digantikan oleh Dinajani Mahdi. Nova juga merupakan anggota Asian Advisor Group for International Committee of the Red Cross (ICRC)/Komite Palang Merah Internasional (2012-2014). Sebagai anggota DPR RI, ia terkenal sangat vokal menyuarakan isu kesehatan, 84
seperti kampanye anti rokok, termasuk juga RUU Lambang Palang Merah. Ketiga adalah Chusnunia, anggota DPR Komisi IX dari FPKB. Alumni IAIN Semarang yang aktif di bidang politik. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Divisi Eksternal Komite Independen Pemantau Pemilu Jawa Tengah dan Staf Wakil Ketua DPRD Provinsi Jawa Tengah. Terbilang aktif dalam menolak kampanye Kementerian Kesehatan tentang penggunaan kondom.15 Melalui profil tiga anggota Dewan Perempuan tersebut, kita dapat melihat bahwa kehadiran mereka sebagai anggota DPR RI adalah karena kemampuan dan kualitas dirinya. Isu sosial identik dengan kehidupan perempuan. Komposisi perempuan terbilang banyak di Komisi ini dan tidak seperti komisi lainnya. Keterwakilan perempuan dalam bidang politik masih dianggap sebagai pelengkap. Peningkatan partisipasi perempuan dalam tiap komisi DPR RI secara proporsional tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan perempuan, tetapi juga perlu dukungan dari lembaga politik, dalam hal ini adalah partai politik. Representasi anggota Dewan perempuan dalam tiap komisi, terutama komisi strategis, sebagaimana di katakan oleh Anne Philips bahwa kehadiran/ partisipasi perempuan secara formal adalah tentang argumen yang konsen pada kepentingan 15
http://profil.merdeka.com, diakses pada Juli 2014 pukul 15.30 WIB.
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
perempuan. Ada jaminan kehadiran pihak yang membela kebutuhan perempuan. Rendahnya kepercayaan dan penghargaan terhadap diri perempuan, didukung oleh pola-pola kultural tertentu yang tidak memudahkan akses perempuan ke karier politik. Kultur ini yang kita lihat pada banyak lembaga politik yang ada, termasuk partai politik. Penempatan anggota dewan perempuan tidak lepas dari kebijakan partai politik masing-masing anggota dewan.
Perempuan dalam Lembaga Politik Kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga politik yang ada, sangat mewarnai kehidupan politik perempuan. DPR RI, Partai Politik, Kantor dan ruang publik lainnya berkontribusi pada pemenuhan hak perempuan. Minimnya representasi perempuan dalam komisi strategis di DPR RI seperti komisi III, menunjukkan bahwa partai politik sebagai pihak yang berwenang mengatur penempatan, masih setengah hati dalam mengupayakan perwakilan perempuan di tiap Komisi DPR RI. Ada beberapa faktor yang disebutkan dalam buku Perempuan di Parlemen terkait sulitnya perempuan masuk ke parlemen. Dalam hal ini, kita juga dapat memahami kesulitan perempuan berada pada komisi-komisi strategis. (1) lemahnya perempuan memiliki akses dan berintegrasi ke dalam lembaga-
lembaga politik, (2) menyesuaikan beberapa lembaga-lembaga ini sesuai dengan standar laki-laki dan prilaku politik, (3) lemahnya dukungan partai, termasuk uang dan sumber-sumber lainnya untuk membiayai kampanye perempuan dan mendorong kredibilitas politik, ekonomi, sosial, dan politiknya, (4) lemahnya perhatian media terhadap potensi dan kontribusi perempuan, yang juga akibat lemahnya pemilih bagi perempuan, (5) lemahnya koordinasi dan dukungan dari organisasi perempuan dan LSM-LSM lainnya, (6) rendahnya kepercayaan dan penghargaan diri perempuan, didukung oleh pola kultural tertentu yang tidak memudahkan akses perempuan dalam politik dan, (7) tipe sistem pemilihan dan kurangnya syarat kuota.16 Terkait penempatan anggota dewan dalam tiap komisi di DPR RI, mekanisme yang berjalan dari partai politik adalah; adanya penilaian tim inti di partai yang merujuk pada kompetensi masing-masing dewan dan juga aspirasi dari anggota dewan itu sendiri. Harus diakui bahwa ketika membicarakan kuantitas perempuan, maka bahasan kualitas selalu hadir. Namun, dalam mengupayakan partisipasi perempuan di dunia politik, kita harus memikirkan kuantitas (kuota 30 persen sebagai ambang ideal secara internasional) terlebih dahulu,
16
Ed. Azza Karam, Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan, Yayasan Jurnal Perempuan: Jakarta, 1999,hal.35. 85
Ana Sabhana Azmy: Feminitas dan Maskulinitas Politik Perempuan diiringi dengan akses pada pendidikan politik yang baik. Dalam hal pencalonan, partai politik memang telah memperhatikan kuota 30 persen untuk perempuan sebagaimana telah diamanatkan UU. Namun tidak ada jaminan dalam hal angka jadi bahwa partai politik akan memperhatikan partisipasi politik perempuan dalam politik formal. Kita harus belajar dari Norwegia. Partai-partai politik di sana menjadi pihak terdepan, dalam memperkenalkan kuota gender untuk pemilihan kandidat parlemen dari awal 19670-an ke atas.17 Keterwakilan perempuan di komisi DPR RI jelas membutuhkan campur tangan partai politik sebagai lembaga yang mempunyai otoritas dalam hal sarana rekrutmen politik, sebagaimana salah satu dari empat fungsi penting partai, yaitu sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi politik, dan sarana pengatur konflik.18 Beranjak dari pemahaman partai politik, sebagaimana diurai oleh Sigmund Neumann yaitu “ Adalah organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada pengendalian kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa kelompok lain
yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Dengan demikian partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologiideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengkaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas”.19 Kehidupan partai politik sangat erat dengan kekuasaan, negosiasi, lobi dan kedekatan. Hal-hal tersebut diidentikkan dengan maskulinitas seorang laki-laki. Sehingga, meski perempuan masuk dalam partai politik, namun aturan yang berlaku tetaplah aturan laki-laki. Pemahaman adil gender dalam partai politik belum bisa membuat perempuan dapat menempati tempat yang strategis di ruang politik, baik ketika pencalonan maupun telah berada di dalam parlemen. Asumsi bahwa isu strategis adalah domain laki-laki sebetulnya juga dapat ditelusuri dari keberpihakan negara yang terlihat pada sejumlah kebijakannya. Sebagai contoh, ketika Orde Baru militer mempengaruhi ideologi negara, tetapi visinya untuk mendomestikkan perempuan berbeda dengan Departemen Tenaga Kerja yang berkeinginan meningkatkan eksploitasi perempuan sebagai buruh murah bagi sektor industri manufaktur.20 Pada masa reformasi, “seman-
17 Anne Philips, The Politics of Presence, Oxford University Press: New York, 1995, hal. 57. 18
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia: Jakarta, 2008, hal.105. 86
19
Miriam Budiarjo, Partisipasi dan Partai Politik, Gramedia: Jakarta, 1982, hal. 14.
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
gat” untuk melakukan eksploitasi terhadap perempuan dalam sektor kerja buruh, baik industry maupun migran, masih terus terjadi. Hal ini ditandai dengan tidak hadirnya kebijakan perlindungan dan penempatan TKI di luar negeri yang berkualitas dan berkekuatan hukum yang baik dari pemerintah Indonesia, meski kita telah mempunyai UU tentang Pengarusutamaan Gender. Secara politik, sebelum masuk ke parlemen, perempuan mempunyai beberapa kendala yang dihadapi; (1) kelaziman “model maskulin” mengenai kehidupan politik dan badan pemerintahan hasil pemiihan, (2) kurangnya dukungan partai politik, seperti terbatasnya dukungan dana bagi kandidat perempuan; terbatasnya akses untuk jaringan politik dan meratanya standar ganda, (3) kurangnya hubungan dan kerjasama dengan organisasi publik lainnya seperti serikat dagang (buruh) dan kelompok-kelompok perempuan, (4) tiadanya sistem pelatihan dan pendidikan yang berkembang, baik bagi kepemimpinan perempuan pada umumnya, maupun bagi orientasi perempuan muda pada kehidupan politik khususnya, (5) hakikat sistem pemilihan, yang mungkin atau tidak mungkin menjadi menguntungkan bagi kandidat perempuan.21 Dalam hal
20
Susan Blackburn, Perempuan dan Negara dalam Era Indonesia Modern, Cambridge University Press: UK, 2004, hal. 18.
penempatan keterwakilan perempuan di komisi strategis, seharusnya partai politik dapat melakukan rekrutmen politik yang baik dan mengupayakan program pendidikan politik bagi kepemimpinan perempuan. Jika partai politik sudah mencapai tahap ini dengan baik, maka wacana adil gender/ feminisasi partai politik sebagai lembaga politik telah berhasil. Sayangnya, senioritas dan pola berfikir patriarkhal masih mendominasi partai politik yang ada di Indonesia. Sistem proporsional terbuka yang diterapkan saat ini, menambah masalah baru, yaitu meningkatkan persaingan antar kandidat di dalam partai politik itu sendiri, sehingga perempuan pun sudah dihadapkan lebih dahulu dengan kandidat sesama partai politik yang didominasi oleh laki-laki. Pada akhirnya, penulis berpendapat bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan perbedaan signifikan keterwakilan anggota dewan perempuan di isu strategis dan non strategis pada komisi DPR RI: (1) peran dan restu dari partai politik (sebagai lembaga politik) terkait penempatan kader perempuan di komisi DPR. Anggota dewan perempuan terpilih memang mempunyai aspirasi dan posisi tawar, namun keputusan terakhir tetaplah milik partai politik. Kerjasama antar laki-laki dan perempuan
21
Ed. Azza Karam, Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan, Yayasan Jurnal Perempuan: Jakarta, 1999,hal.20 87
Ana Sabhana Azmy: Feminitas dan Maskulinitas Politik Perempuan dalam membangun kehidupan politik perempuan yang baik tidak akan dapat terlaksana tanpa hakikat lembaga politik yang berpihak terhadap perempuan, (2) kurangnya pemahaman yang baik tentang konsep adil gender bagi kehidupan politik perempuan. Perlu ada penyadaran bahwa ketika sejumlah perempuan ditempatkan dalam tiap komisi DPR yang ada, maka pencapaian pada kebijakan yang responsif gender akan dapat terlaksana. Keberadaan perempuan yang lebih banyak lagi di parlemen, dalam hal ini Komisi III (sebagai komisi strategis), akan memberikan “warna” terhadap bidang hukum dan perundangan yang ramah terhadap perempuan sebagaimana semangat Indonesia ketika meratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination Discrimiantion Against Women) pada tahun 1984, Hal yang ke (3) pendidikan politik yang minim bagi perempuan, baik sebelum maupun ketika telah menjadi anggota parlemen. Meski kita lihat jumlah anggota parlemen perempuan yang sangat sedikit di Komisi III dan jumlah yang banyak di Komisi IX, namun pendidikan politik tetap menjadi hal utama yang harus diberikan oleh partai politik. Kenapa? Tidak semua anggota parlemen perempuan dapat menuangkan gagasannya di ruang publik meski memiliki kapasitas/ kualitas diri yang baik. Atau sebaliknya, berani berbicara di depan publik, namun masih terdapat kekurangan secara kualitas/pemahaman terhadap isu yang berkembang. 88
Kesimpulan Representasi perempuan di tiap komisi DPR RI terutama komisi III sebagai komisi strategis tidak bisa dipandang tidak penting. Perempuan dapat memainkan peranan, menghadirkan kebijakan yang responsif gender dalam bidang hukum, juga menjadi contoh peran bagi perempuan lainnya, baik dalam politik formal maupun informal. Berbagai kendala dihadapi perempuan dalam upaya meningkatkan keterwakilannya, diantaranya; polapola kultural yang masih berlaku di masyarakat, konsep patriarkhal yang membuat perempuan di nomer duakan baik dalam urusan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Gerak perempuan dibatasi dengan sejumlah cara, mulai dari aturan partai politik dan kehidupan parlemen yang maskulin, sehingga meskipun perempuan dilibatkan, namun ia dipaksa ikut dalam aturan laki-laki. Hal ini menyebabkan partisipasi perempuan yang setengah hati dalam politik. Karena sesungguhnya, amat sulit bagi perempuan ketika memutuskan untuk aktif dalam politik. Pertim-bangan keluarga menjadi pemikiran utama, ditambah dengan harus menjalani aturan main politik yang maskulin dalam parlemen juga partai politik. Minimnya keterwakilan perempuan dalam salah satu komisi strategis DPR RI, yaitu komisi III, dan banyaknya kehadiran perempuan
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
dalam komisi IX DPR RI, dapat dilihat dari beberapa faktor, yaitu peran dan restu dari partai politik, kurangnya pemahaman adil gender bagi politik perempuan dan pendidikan politik yang masih minim bagi anggota dewan perempuan.
Hal-hal tersebut dapat diatasi dengan perubahan paling mendasar dari partai politik dan parlemen sebagai lembaga politik, yaitu penerapan konsep feminisasi lembaga politik. ++
DAFTAR PUSTAKA Buku Bhasin, Kamla, Menggugat Patriarki, Yayasan Bentang Budaya: Yogyakarta, 1996. Blackburn, Susan, Perempuan dan Negara dalam Era Indonesia Modern, Cambridge University Press: UK, 2004. Budiarjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia: Jakarta, 2008. Budiarjo, Miriam, Partisipasi dan Partai Politik, Gramedia: Jakarta, 1982. Ed. Karam, Azza, Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah, Bukan Sekedar Hiasan, Yayasan Jurnal Perempuan: Jakarta, 1999. Lovenduski, Joni, Politik Berparas Perempuan, Kanisius: Yogyakarta, 2008. Musdah Mulia, Siti, Menuju Kemandirian Politik Perempuan, Kibar Press: Yogyakarta, 2007. Philips, Anne, The Politics of Presence, Oxford University Press: New York, 1995. Squires, Judith, Gender in Political Theory, Polity Press: Cambridge, 1999.
Internet www.womenhistory.about.com , Juli 2014 pukul 11.35 WIB. http://www.dpr.go.id/id/anggota/per-komisi, Juli 2014 pukul 15.00 WIB. www.pahamindonesia.org, Juli 2014 pukul 15.00 WIB. http://www.dpr.go.id/id/anggota/per-komisi, Juli 2014 pukul 14.30 WIB. http://profil.merdeka.com, Juli 2014 pukul 15. 00 WIB. 89