Perekonomian dan Perbankan Mei 2015 Equity Tower Lt 20, 21 & 39 Sudirman Central Business District (SCBD) Jl. Jend Sudirman Kav 52-53 Jakarta 12190
Ringkasan Laporan
Kecuali di Amerika Serikat dan Brazil, kebijakan moneter berbagai perekonomian utama dunia saat ini cenderung netral atau mengarah ke pelonggaran. Ekonomi Indonesia tumbuh 4,71% y/y pada kuartal I 2015, melambat dari 5,01% pada kuartal sebelumnya. Defisit neraca berjalan turun menjadi 1,81% PDB pada kuartal I 2015 dari 2,58% PDB pada kuartal sebelumnya. Surplus neraca pembayaran menurun dari US$ 2,41 miliar ke US$ 1,3 miliar pada periode yang sama. Nilai tukar dolar AS secara umum terpantau melemah seiring dengan negative surprise pada data ekonomi AS serta sikap wait and see lintasan kebijakan The Fed. Potensi kenaikan suku bunga AS mendorong pasar obligasi rawan terhadap potensi pembalikan arus modal asing. Pasar saham cenderung masih berada dalam tren bullish. Data tren peningkatan NPL menunjukkan bahwa kedepan faktor risiko perbankan telah bergeser dari risiko likuiditas kepada kualitas kredit. Namun demikian perbankan masih cukup memiliki capital buffer yang memadai. Kondisi pertumbuhan kredit yang selaras dengan pertumbuhan DPK diperkirakan akan bertahan hingga akhir tahun 2015. Terbuka potensi memperbaiki NIM bagi bank dengan memanfaatkan kondisi likuiditas yang “relatif” longgar. Tren peningkatan produksi CPO dalam dua bulan terakhir berdampak negatif terhadap level inventory dan pemulihan harga. Langkah pemerintah yang segera menerapkan aturan pungutan untuk kebijakan CPO fund diperkirakan akan berdampak harga CPO yang diterima produsen dan spread harga produk turunan CPO. Risiko industri perbankan Indonesia mengalami sedikit penurunan. Indeks Stabilitas Perbankan (Banking Stability Index, BSI) LPS pada bulan April 2015 menurun sebesar 14 bps dari bulan sebelumnya, atau dari 100,21 menjadi 100,07 (kategori: “Normal”).
i
Ekonomi Makro
Kebijakan Moneter Global, Pertumbuhan Ekonomi, dan Kinerja Neraca Pembayaran Seto Wardono Kecuali di Amerika Serikat dan Brazil, kebijakan moneter berbagai perekonomian utama dunia saat ini cenderung netral atau mengarah ke pelonggaran. Ekonomi Indonesia tumbuh 4,71% y/y pada kuartal I 2015, melambat dari 5,01% pada kuartal sebelumnya. Defisit neraca berjalan turun menjadi 1,81% PDB pada kuartal I 2015 dari 2,58% PDB pada kuartal sebelumnya. Surplus neraca pembayaran menurun dari US$ 2,41 miliar ke US$ 1,3 miliar pada periode yang sama. Stance kebijakan moneter di beberapa perekonomian utama dunia dalam jangka pendek ke depan diperkirakan masih cenderung netral atau mengarah ke pelonggaran. Ini terjadi meski di saat yang sama kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (the Fed), mengarah ke pengetatan. Di kelompok negara maju, Bank Sentral Eropa (ECB) dan Bank of Japan (BOJ) saat ini masih menjalankan program pembelian obligasi (quantitative easing atau QE) mereka untuk menstimulasi perekonomian. Di kelompok negara berkembang, India, Rusia, Tiongkok, dan Turki memangkas bunga acuannya pada empat bulan pertama tahun ini untuk memacu aktivitas ekonomi. Pada saat yang sama, Afrika Selatan, Filipina, dan Malaysia mempertahankan suku bunganya. Sedangkan Brazil melakukan pengetatan kebijakan. Perubahan Bunga Acuan Negara Berkembang (bps)
Nilai Aset Bank Sentral Negara Maju 5.000 Miliar US$
Negara
2012
2013
-50
tetap
+75
Brazil
-375
+275
+175
+150
Filipina
-100
tetap
+50
tetap -50
Afrika Selatan 4.000
3.000 2.000 1.000
Fed
ECB
BOJ
Dec-14
Apr-14
Aug-13
Dec-12
Apr-12
Aug-11
Apr-10
Dec-10
Aug-09
Dec-08
Apr-08
Aug-07
Dec-06
0
2014 Jan-Apr 2015 tetap
India
-50
-25
+25
Indonesia
-25
+175
+25
-25
Malaysia
tetap
tetap
+25
tetap
Rusia
+25
tetap
+1.150
-300
Thailand
-50
-50
-25
-50
Tiongkok
-56
tetap
-40
-50
Turki
-25
-1,00
+375
-75
Sumber: CEIC Gambar 1. Aset Bank Sentral Negara Maju dan Perubahan Bunga Acuan Negara Berkembang Dalam rangka normalisasi kebijakan moneter, bunga acuan AS diperkirakan akan mengalami kenaikan dalam beberapa periode ke depan. Berdasarkan proyeksi terakhir, para pembuat kebijakan di bank sentral AS itu memperkirakan kenaikan titik tengah bunga acuan dari 0,125% saat ini (atau di kisaran 0%–0,25%) menjadi 0,625% pada akhir 2015, 1,875% pada akhir 2016, serta 3,125% pada akhir 2017. Sejalan dengan ekspektasi pengetatan kebijakan ke depan, the Fed akan mulai mengurangi asetnya. Nilai aset the Fed memuncak di angka US$ 4,52 triliun pada pertengahan Januari 2015 atau
1
sekitar empat kali nilai aset sebelum krisis ekonomi 2008/2009. Nilai aset saat ini cenderung mengalami penurunan (Gambar 1) meski kebijakan moneter masih terbilang sangat akomodatif. Berbeda dengan the Fed, ECB saat ini sedang gencar menjalankan program QE-nya selain mempertahankan bunga acuannya di posisi yang sangat rendah, yakni 0,05%. Pada Maret 2015, ECB mulai membeli obligasi pemerintah Zona Euro senilai 60 miliar euro per bulan untuk menambah likuiditas di pasar keuangan, mendorong aktivitas ekonomi, dan melawan deflasi. Program ini direncanakan berlangsung hingga September 2016. Di Jepang, program QE juga masih berlangsung di tengah iklim suku bunga yang sangat rendah. BOJ menargetkan kenaikan basis moneter (monetary base) sebesar 80 triliun yen per tahun. Untuk itu, bank sentral Jepang ini masih melakukan pembelian obligasi pemerintah, exchange-traded fund (ETF), dan Japan real estate investment trust (J-REIT) agar nilai outstanding tiga surat berharga itu bisa naik masing-masing sebesar 80 triliun yen, 3 triliun yen, dan 90 miliar yen per tahun. Kebijakan ini dinilai perlu untuk mencapai target stabilitas inflasi di posisi 2%. Jepang sendiri sejak pertengahan 2013 tidak lagi mengalami deflasi.
Jan-15
Jan-14
Brazil Malaysia
Jan-13
Jan-12
Jan-11
Jan-10
Jan-09
Jan-15
Jan-14
-3
Jan-13
-3,0
Jan-12
0
Jan-11
-1,5
Jan-10
3
Jan-09
0,0
Jan-08
6
Jan-07
1,5
Jan-06
9
Jan-05
3,0
Jan-08
Jepang
Jan-07
Zona Euro
Jan-06
AS
4,5
Inflasi Afrika Selatan, Brazil, Filipina, dan Malaysia 15 % y/y Afrika Selatan Filipina 12
Jan-05
Inflasi AS, Zona Euro, dan Jepang 6,0 % y/y
Sumber: CEIC Gambar 2. Inflasi Beberapa Negara Maju dan Berkembang Di kelompok negara berkembang, Brazil menjadi satu-satunya perekonomian utama yang melakukan pengetatan kebijakan moneter. Selama empat bulan pertama tahun 2015, Bank Sentral Brazil (BCB) telah menaikkan bunga acuan SELIC rate dalam tiga kali kesempatan dengan besaran 150 basis poin (bps) untuk merespons penguatan tekanan inflasi yang didorong oleh depresiasi nilai tukar serta kenaikan harga yang diatur pemerintah. Sementara, bank sentral Afrika Selatan, Filipina, dan Malaysia tidak mengubah bunga acuan mereka selama Januari–April 2015. Selanjutnya, kebijakan moneter di tiga negara ini diperkirakan masih akan netral karena minimnya tekanan inflasi. Di Afrika Selatan, inflasi y/y sejak September 2014 konsisten berada di kisaran sasaran 3%–6% sehingga mengurangi tekanan otoritas moneter untuk menaikkan suku bunga. Bank Sentral Filipina (BSP) memperkirakan bahwa inflasi akan berada di area bawah kisaran target 3%±1% pada 2015 dan 2016 di tengah prospek pertumbuhan ekonomi yang membaik. Sedangkan, Bank Negara Malaysia (BNM) menyatakan bahwa inflasi tidak menjadi kekhawatiran pada saat ini. BNM juga belum melihat risiko pelemahan pada fundamental ekonomi Malaysia ke depan, sehingga pemangkasan suku bunga belum diperlukan.
2
Tiongkok dan India telah memangkas bunga acuan dan diperkirakan masih akan menerapkan kebijakan yang longgar hingga akhir tahun ini. The People’s Bank of China (PBOC) pada Februari dan Mei 2015 memutuskan untuk menurunkan bunga acuan masing-masing sebesar 25 bps. Kebijakan ini dilatarbelakangi risiko pelemahan ekonomi Tiongkok yang relatif besar. Di sisi lain, tekanan inflasi domestik tetap rendah dan suku bunga riil masih berada di atas rata-rata historisnya. Sementara, the Reserve Bank of India (RBI) menurunkan bunga acuannya sebesar 25 bps pada dua kali kesempatan hingga saat ini, yaitu pada bulan Januari dan Februari 2015. Kebijakan ini didukung oleh perkiraan inflasi yang masih terkendali hingga kuartal I 2016 dan perbaikan prospek pertumbuhan ekonomi secara gradual. Pada April 2015, RBI menegaskan akan mempertahankan kebijakan moneter yang akomodatif di masa mendatang. Sementara, kebutuhan untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi mendorong bank sentral di Rusia, Thailand, dan Turki untuk melonggarkan kebijakan moneternya. Setelah melakukan pengetatan kebijakan pada 2014 untuk mempertahankan rubel, Bank Sentral Rusia menurunkan suku bunga pada bulan Januari, Maret, dan April tahun ini dengan total besaran 450 bps. Pada Maret dan April 2015, Bank of Thailand juga memangkas bunga acuannya masing-masing sebesar 25 bps. Bunga acuan Turki pun diturunkan 50 bps dan 25 bps pada Januari dan Februari 2015. Beralih ke Yunani, pemerintah selama hampir empat bulan telah melakukan negosiasi dengan Zona Euro dan IMF selaku kreditor untuk meringankan syarat-syarat reformasi ekonomi yang melekat pada pemberian pinjaman sebesar 7,2 miliar euro. Pinjaman ini adalah pinjaman tahap akhir yang menjadi bagian dari program bailout bernilai total 240 miliar euro. Perbedaan pendapatan antara Yunani dengan kreditornya terutama terkait dengan isu reformasi sistem pensiun, perpajakan, deregulasi pasar tenaga kerja, serta target keseimbangan primer (primary balance) pada anggaran pemerintah. Yunani membutuhkan dana pinjaman baru dari Zona Euro dan IMF untuk memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Selama periode 5–19 Juni 2015, misalnya, akan ada empat pembayaran utang ke IMF yang jatuh tempo senilai 1,56 miliar euro. Perkembangan hingga 20 Mei 2015 menunjukkan adanya klaim dari pemerintah Yunani dan kreditor bahwa negosiasi telah mengalami kemajuan dan kesepakatan antara dua pihak dinyatakan sudah sangat dekat. Klaim ini berbeda dengan kondisi di lapangan yang sebelumnya dilaporkan oleh media. Sebuah laporan rahasia IMF tertanggal 14 Mei 2015 yang bocor ke media menyebut bahwa situasi negosiasi masih jauh dari ideal. Proses negosiasi disebut masih terbilang problematik, yang mana para negosiator tampak memiliki ruang yang terbatas untuk melakukan manuver. Secara umum, masih terdapat ketidakpastian yang cukup tinggi perihal hasil negosiasi antara pemerintah Yunani dengan para kreditornya. Akan tetapi, kami meyakini bahwa pada akhirnya, negosiasi akan menghasilkan kesepakatan. Gagalnya kesepakatan akan berimplikasi besar bagi pasar keuangan Eropa. Jika ini terjadi, Yunani akan dinyatakan gagal bayar ( default) karena tidak punya dana untuk memenuhi utang-utangnya kepada IMF. Yunani juga terancam akan diisolasi dari pasar keuangan internasional dan, dalam skenario terburuk, dapat mendorong negara ini untuk keluar dari Zona Euro (dikenal dengan istilah Grexit). Dibandingkan beberapa tahun lalu saat Eropa menghadapi krisis utang, sistem keuangan di benua ini sekarang lebih siap dalam menghadapi potensi guncangan. Data neraca nasional terbaru masih menunjukkan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 4,71% y/y pada kuartal I 2015, melambat dari 5,01% pada kuartal sebelumnya. Angka kuartal I tersebut adalah juga yang paling rendah sejak kuartal IV 2009.
3
Secara q/q, perekonomian mengalami kontraksi 0,18% pada kuartal I 2015. Kondisi ini terbilang langka karena di setiap kuartal I ekonomi Indonesia biasanya mengalami pertumbuhan q/q yang positif meski tidak besar. PDB Menurut Lapangan Usaha
Pertumbuhan PDB Indonesia 7,0
%
Pertanian
6,5
4
Pertambangan
4Q14
6,0
3
Manufaktur
1Q15
5,5
2
Konstruksi
5,0
1
4,5
0
4,0
-1
3,5
-2
3,0
-3
3Q14
4Q14
1Q14
2Q14
3Q13
4Q13
1Q13
y/y
2Q13
3Q12
4Q12
1Q12
2Q12
3Q11
4Q11
1Q11
2Q11
q/q (Kanan)
1Q15
5
%
3Q14
Perdagangan Transportasi
Informasi Jasa Keuangan Sektor Lainnya PDB
% y/y -3
0
3
6
9
12
Sumber: CEIC Gambar 3. PDB Indonesia Pelemahan aktivitas pada kuartal I 2015 terjadi di 13 dari total 17 sektor ekonomi. Perlambatan pertumbuhan dialami oleh sektor-sektor penting seperti pertambangan, manufaktur, konstruksi, dan jasa keuangan. Harga komoditas tambang yang masih tertekan diduga menjadi penyebab utama bagi lesunya aktivitas di sektor pertambangan. Nilai tambah sektor ini mengalami kontraksi sebesar 2,32% y/y, berbalik dari kuartal IV 2014 yang mencatat pertumbuhan 2,22%. Di segmen manufaktur, kinerja subsektornya terbilang mixed. Kinerja subsektor manufaktur yang terkait pertambangan memburuk. Sebaliknya, pertumbuhan subsektor yang terkait konsumsi domestik seperti makanan dan minuman, kimia, serta elektronik mengalami percepatan. Meski demikian, secara umum pertumbuhan sektor manufaktur mengalami perlambatan dari 4,24% pada kuartal IV 2014 menjadi 3,87% pada kuartal I 2015. Pada saat yang sama, produksi di sektor konstruksi juga mengalami perlambatan pertumbuhan dari 7,67% menjadi 6,04%, diperkirakan akibat pelemahan bisnis properti dan belum berjalannya proyek infrastruktur pemerintah. Sementara, pertumbuhan nilai tambah di sektor jasa keuangan melambat dari 10,2% menjadi 7,57% sejalan dengan aliran kredit yang masih tertekan. Di sisi permintaan, pelemahan konsumsi pemerintah dan konsumsi lembaga non-profit rumah tangga (LNPRT) menjadi faktor yang mendorong perlambatan laju ekonomi Indonesia. Pertumbuhan konsumsi pemerintah turun dari 2,83% y/y pada kuartal IV 2014 menjadi 2,21% pada kuartal I 2015, diduga terkait lambatnya realisasi belanja di berbagai kementerian atau lembaga negara yang baru dibentuk oleh pemerintah. Konsumsi LNPRT pada kuartal I mengalami koreksi 8,25% y/y, menyusul penurunan 0,23% pada kuartal sebelumnya. Pelemahan kinerja konsumsi pemerintah dan LNPRT ini membuat kontribusi gabungan dua komponen ini terhadap pertumbuhan ekonomi y/y turun dari 0,34 poin persentasi (ppts) pada kuartal IV 2014 menjadi hanya 0,04 ppts pada kuartal I 2015.
4
Andil Jenis Pengeluaran terhadap Pertumbuhan y/y PDB 12 ppts
PDB Menurut Jenis Pengeluaran 9
% y/y
3Q14
4Q14
1Q15
6
8
3
4
0
0
-3
1Q15
3Q14
-8
Konsumsi Pemerintah Perubahan Inventori Diskrepansi Statistik
3Q13
PDB
1Q13
Impor
3Q12
Ekspor
3Q11
PMTB
1Q11
Konsumsi Konsumsi Rumah Pemerintah Tangga
1Q12
Konsumsi Swasta* PMTB Ekspor Bersih
1Q14
-4 -6
* Gabungan konsumsi rumah tangga dan konsumsi LNPRT. Sumber: CEIC, LPS Gambar 4. PDB Menurut Jenis Pengeluaran Kinerja komponen pengeluaran lain relatif stabil atau mengalami perbaikan. Pertumbuhan y/y konsumsi rumah tangga stabil di posisi 5,01% pada kuartal IV 2014 dan kuartal I 2015, antara lain ditopang oleh penurunan harga administratif (yang diatur pemerintah). Pada saat yang sama, pertumbuhan investasi pada aset tetap (pembentukan modal tetap bruto atau PMTB) naik dari 4,27% menjadi 4,36%, didukung oleh peningkatan aktivitas investasi di sektor non-bangunan. Ekspor masih mengalami koreksi pada kuartal I 2015, meski masih lebih rendah dari koreksi di kuartal sebelumnya. Impor juga turun sebesar 2,2% y/y, menyusul pertumbuhan 3,22% pada kuartal IV 2014. Dengan demikian, kontribusi ekspor bersih terhadap pertumbuhan y/y PDB membaik dari -2,01 ppts pada kuartal IV 2014 menjadi 0,38 ppts pada kuartal I 2015. Kondisi perekonomian kuartal I 2015 yang lesu sebagaimana tercermin dari perlambatan laju PDB dan berbagai sektor ekonomi juga dikonfirmasi oleh hasil Survei Tendensi Bisnis Badan Pusat Statistik (BPS). Hasi survei ini menunjukkan penurunan pendapatan usaha, penggunaan kapasitas produksi, dan jam kerja pada kuartal itu. Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Bank Indonesia juga menunjukkan pelemahan kondisi likuiditas dan rentabilitas perusahaan pada kuartal I 2015. SKDU juga mengkonfirmasi kondisi oversupply barang pada kuartal lalu. Kondisi ini dapat mengurangi insentif perusahaan untuk menambah produksinya, di tengah iklim bunga kredit yang masih tinggi dan nilai tukar rupiah yang masih lemah. Pelemahan ekonomi pada kuartal I 2015 diperkirakan terkait siklus anggaran pemerintah yang baru mencapai tahap persiapan proyek. Pada kuartal II 2015, belanja pemerintah diperkirakan sudah dapat memacu aktivitas ekonomi. Pemulihan ekspor dan tekanan yang masih kuat terhadap impor juga dapat mendukung pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, ekonomi Indonesia diperkirakan masih dapat tumbuh 5,3% pada 2015 dengan potensi bias ke bawah. Downside risk terutama bersumber dari potensi kegagalan pemerintah dalam merealisasikan target belanja modalnya, apalagi jika di saat yang sama realisasi penerimaan negara menjadi lebih rendah dari ekspektasi.
5
Neraca Pembayaran 16
Dekomposisi Neraca Berjalan
Miliar US$
12
Miliar US$
12 6
8 0
4 0
-6 Basic Balance
1Q15
3Q14
1Q14
3Q13
1Q13
3Q12
Jasa Pendapatan Sekunder
1Q12
1Q10
1Q15
3Q14
1Q14
3Q13
1Q13
3Q12
-18
1Q12
3Q11
1Q11
1Q10
3Q10
Neraca Pembayaran
-12
3Q11
Barang Pendapatan Primer Neraca Berjalan
-12
Neraca Finansial
1Q11
Neraca Berjalan
-8
3Q10
-4
Sumber: BI Gambar 5. Neraca Pembayaran dan Dekomposisi Neraca Berjalan Neraca pembayaran Indonesia mengalami surplus US$ 1,3 miliar pada kuartal I 2015, jauh lebih rendah dari surplus US$ 2,41 miliar pada kuartal sebelumnya. Defisit neraca berjalan turun dari US$ 5,67 miliar (2,58% PDB) menjadi US$ 3,85 miliar (1,81% PDB). Pada waktu yang sama, surplus neraca finansial turun dari US$ 8,91 miliar menjadi US$ 5,95 miliar. Dengan perkembangan ini, cadangan devisa Indonesia mengalami sedikit penurunan dari US$ 111,86 miliar pada akhir kuartal IV 2014 menjadi US$ 111,55 miliar pada akhir kuartal I 2015. Penurunan defisit neraca berjalan pada kuartal I 2015 terutama disebabkan oleh peningkatan surplus neraca barang dan penurunan defisit neraca jasa. Ekspor dan impor barang pada triwulan itu mengalami penurunan akibat pelemahan harga komoditas. Akan tetapi, penurunan impor yang lebih dalam membuat surplus neraca barang naik dari US$ 2,45 miliar pada kuartal IV 2014 menjadi US$ 3,09 miliar pada kuartal I 2015. Sejalan dengan penurunan ekspor dan impor, neraca jasa (yang selama ini didominasi oleh kegiatan transportasi barang lintas negara) mengalami penurunan defisit dari US$ 2,56 miliar menjadi US$ 1,85 miliar. Perbaikan kinerja di neraca pendapatan primer dan pendapatan sekunder juga mendorong penurunan defisit neraca berjalan. Defisit neraca pendapatan primer turun dari US$ 6,96 miliar pada kuartal IV 2014 menjadi US$ 6,52 miliar pada kuartal I 2015. Sedangkan, surplus neraca pendapatan sekunder naik dari US$ 1,4 miliar menjadi US$ 1,44 miliar. Di neraca finansial, penurunan surplus terutama diakibatkan oleh pengalihan simpanan swasta milik residen dalam jumlah besar dari dalam negeri ke luar negeri serta turunnya penarikan utang luar negeri (ULN). Penempatan simpanan swasta milik warga Indonesia ke luar negeri mencapai US$ 4,52 miliar pada kuartal I 2015, berbeda dengan kuartal sebelumnya yang mana terjadi penempatan simpanan ke dalam negeri sebesar US$ 1,72 miliar. Pada waktu yang sama, total penarikan ULN turun dari US$ 13,5 miliar menjadi US$ 8 miliar. Dengan perkembangan ini, pos investasi lainnya mengalami defisit US$ 5,34 miliar pada kuartal I 2015, dibandingkan surplus US$ 4,1 miliar pada kuartal sebelumnya. Pelemahan juga dialami pos investasi langsung, terlihat dari penurunan surplusnya dari US$ 3 miliar menjadi US$ 2,32 miliar. Ini terjadi akibat penurunan penanaman modal asing (PMA). Sebaliknya, pembelian surat berharga negara (SBN) oleh investor asing dalam jumlah besar mendorong adanya perbaikan pada investasi portofolio. Surplus investasi portofolio meningkat tajam dari US$ 1,88 miliar pada kuartal IV 2014 menjadi US$ 8,87 miliar.
6
Investasi Langsung dan Portofolio Asing 9 Miliar US$
Rata-Rata Saldo Neraca Berjalan 1Q12–1Q15 0,0 -0,5
6
-1,0
3
-1,5 -2,0
0
-2,5
-3
Investasi Langsung
-3,0
Investasi Portofolio
-3,5
1Q15
3Q14
1Q14
3Q13
1Q13
3Q12
1Q12
3Q11
1Q11
3Q10
1Q10
-6 -4,0
% PDB Kuartal I
Kuartal II
Kuartal III
Kuartal IV
Sumber: BI Gambar 6. Investasi Asing dan Pola Musiman Neraca Berjalan Secara umum, faktor musiman memberi pengaruh yang tidak kecil bagi neraca pembayaran pada kuartal I 2015. Kinerja neraca berjalan cenderung membaik di setiap kuartal I, demikian pula penempatan simpanan warga Indonesia ke luar negeri yang cenderung tinggi. Pada kuartal II, faktor musiman diperkirakan masih memiliki peran penting. Impor yang cenderung tinggi untuk mencukupi lonjakan permintaan barang menjelang dan selama bulan puasa akan mengakibatkan kenaikan defisit neraca berjalan pada kuartal II. Dalam jangka pendek, realisasi belanja infrastruktur pemerintah juga dapat memperburuk kinerja neraca berjalan melalui kenaikan impor bahan baku dan barang modal. Selain itu, perlambatan pertumbuhan ekonomi partner dagang Indonesia di Asia juga bisa menambah tekanan bagi neraca berjalan. 75
12M Sum, % y/y
50
Milliar US$ Neraca Perdagangan (Kanan)
4,5
Ekspor
3,0
Neraca Perdagangan Migas 0,4
Impor
25
1,5
0
0,0
Miliar US$
0,0
-0,4 -0,8
-1,2 -1,6
Jan-15
Mar-15
Sep-14
Nov-14
Jul-14
Mar-14
May-14
Jan-14
Nov-13
Jul-13
Sep-13
May-13
Jan-13
-2,0
Mar-13
Jan-15
Jul-14
Jan-14
Jul-13
Jan-13
Jul-12
Jan-12
Jul-11
-3,0
Jan-11
-50
Jul-10
-1,5
Jan-10
-25
Sumber: BPS Gambar 7. Ekspor, Impor, dan Neraca Perdagangan Data sejauh ini menunjukkan potensi pelemahan kinerja neraca berjalan pada kuartal II 2015. Pada bulan April 2015, terjadi surplus perdagangan sebesar US$ 454,4 juta, namun angka ini masih berada di bawah rata-rata surplus bulanan selama Januari–Maret 2015. Ekspor pada bulan itu turun 4,04% m/m, sedangkan impor naik 0,16%. Pada tahun ini, defisit neraca berjalan mungkin akan lebih rendah dari perkiraan kami sebelumnya yang sebesar 3,3% PDB. Perbaikan prospek neraca berjalan
7
ditunjang oleh pertumbuhan ekonomi domestik yang masih lemah serta berbagai kebijakan pemerintah yang suportif. Di sisi lain, berlanjutnya perlambatan ekonomi mitra dagang utama Indonesia dan harga komoditas yang masih rendah dapat membatasi perbaikan kinerja neraca berjalan tahun ini. Inflasi m/m April 2015
Inflasi y/y April 2015
Bahan Makanan
Bahan Makanan
-0,79
Makanan Jadi Perumahan
0,22
Sandang
0,24
Kesehatan
Sandang
7,85
Inti
Harga Administratif
5,04
Harga Administratif
1,88
13,26
Komponen Bergejolak
-0,91
Umum
0,36 -1,0
5,76 4,15
Transpor
1,80 0,24
-1,5
3,67
Pendidikan
Transpor
Komponen Bergejolak
7,52
Kesehatan
0,05
Inti
8,30
Perumahan
0,38
Pendidikan
6,29
Makanan Jadi
0,50
-0,5
0,0
0,5
% 1,0
1,5
2,0
2,5
6,25
Umum
6,79 0
3
6
% 9
12
15
Sumber: BPS Gambar 8. Inflasi IHK April 2015 Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) kembali menjadi pendorong utama inflasi pada April 2015. Indeks harga konsumen (IHK) naik 0,36% m/m pada bulan itu, sehingga inflasi y/y meningkat ke 6,79% dari 6,38% pada Maret 2015. Sementara itu, inflasi inti pada bulan April mencapai 5,04% y/y (+0,24% m/m), sama dengan posisi bulan sebelumnya. Dekomposisi inflasi menurut kelompok barang menunjukkan dampak faktor musiman terhadap pergerakan harga di segmen bahan makanan. Kelompok ini mengalami deflasi 0,79% m/m, selaras dengan penurunan harga beberapa komoditas penting seperti beras, ikan segar, telur ayam ras, dan minyak goreng. Penurunan harga beras (yang memiliki bobot terbesar di kelompok pangan dalam perhitungan IHK) disebabkan oleh panen raya padi yang mulai terjadi di beberapa daerah. Sebaliknya, terjadi inflasi yang tinggi (1,8% m/m) di segmen transportasi yang disebabkan oleh kenaikan harga bensin Premium dan minyak solar sebesar Rp 500 per liter pada akhir Maret. Kelompok makanan jadi juga mengalami inflasi yang relatif tinggi (0,5% m/m), antara lain didorong oleh kenaikan harga gula pasir. Sementara, inflasi m/m di kelompok lain relatif kecil dalam kisaran 0,05%–0,38%. IHK selama empat bulan pertama tahun 2015 (year to date) masih turun 0,08%. Meski demikian, terdapat sejumlah risiko yang dapat mendorong laju inflasi ke depan. Pemulihan harga minyak mentah menjadi risiko inflasi yang utama pada tahun ini karena dampak langsungnya ke pergerakan harga BBM domestik. Pergerakan harga BBM dan tarif listrik domestik kini juga dipengaruhi secara langsung oleh pergerakan nilai tukar, sehingga depresiasi rupiah juga menjadi faktor pendorong inflasi yang patut diwaspadai. Di samping itu, juga muncul ketidakpastian baru bagi inflasi yang bersumber dari perilaku penetapan harga oleh produsen dalam menyikapi harga energi (BBM dan listrik) yang bergejolak, yang memang belum pernah terjadi di Indonesia sebelumnya. Pengalihan bensin Premium ke bensin jenis baru yang dinamakan Pertalite dapat menimbulkan kejutan sesaat (one-time shock) bagi inflasi jika diterapkan secara serentak dan menyeluruh. Namun, pengalihan secara bertahap akan
8
dapat membatasi dampaknya ke inflasi. Melihat berbagai hal tersebut, kami memperkirakan bahwa inflasi akhir 2015 akan berada di atas proyeksi kami sebelumnya yang sebesar 4,2%. 18
Headline y/y
Inti y/y
%
3
-0,8
0
Jan-12
0,0
Jan-11
6
Jan-10
Jan-15
Sep-14
Jan-14
May-14
Sep-13
Jan-13
May-13
Sep-12
May-12
0
0,8
Jan-09
2
9
Jan-08
1,6 4
Jan-12
BI Rate 12
Jan-07
2,4
Sep-11
Bunga Lending Facility
3,2
6
May-11
Bunga Deposit Facility
15
8
Jan-11
%
4,0
Jan-15
Inti m/m (Kanan)
Jan-14
Headline m/m (Kanan)
Jan-06
%
Jan-13
Inflasi IHK Headline dan Inti 10
Sumber: BI, BPS Gambar 9. Inflasi dan Suku Bunga Kebijakan Bank Indonesia (BI) pada 19 Mei 2015 mempertahankan BI rate di posisi 7,5%. Pada saat yang sama, bunga deposit facility dan lending facility ditetapkan kembali masing-masing di 5,5% dan 8%. Menurut BI, kebijakan ini sejalan dengan stance kebijakan moneter yang cenderung ketat untuk menjaga inflasi di kisaran target 4%±1% pada 2015 dan 2016 serta mengarahkan defisit neraca berjalan ke kisaran 2,5%–3% PDB dalam jangka menengah. Meski menegaskan stance kebijakan yang cenderung ketat, BI menyatakan akan melonggarkan kebijakan makroprudensial untuk memelihara momentum pertumbuhan ekonomi. Pelonggaran kebijakan makroprudensial ini akan dilakukan melalui revisi aturan giro wajib minimum (GWM) yang terkait rasio kredit terhadap simpanan (LDR), ketentuan loan to value (LTV) untuk kredit pemilikan rumah (KPR), serta ketentuan pembayaran uang muka untuk kredit kendaraan bermotor (KKB). Meski pertumbuhan ekonomi melambat pada kuartal I 2015, BI melihat adanya potensi percepatan pertumbuhan pada kuartal mendatang akibat perbaikan konsumsi dan investasi yang sejalan dengan realisasi belanja pemerintah dan peningkatan laju kredit perbankan. Mengenai inflasi, BI mewaspadai berbagai faktor risiko ke depan, yaitu perkembangan harga minyak, penyesuaian harga administratif, serta faktor musiman menjelang bulan puasa dan Idul Fitri. BI juga tetap meyakini bahwa pertumbuhan kredit akan membaik (dari posisi terakhir sebesar 11,3% pada Maret 2015) hingga ke kisaran 15%–17% pada tahun ini. Perbaikan kredit ini akan ditunjang oleh likuiditas perbankan yang dinilai masih memadai, peningkatan aktivitas ekonomi, dan pelonggaran kebijakan makroprudensial. Pernyataan BI mengenai stance kebijakan yang cenderung ketat menunjukkan keengganannya untuk menurunkan bunga acuan mengingat adanya berbagai risiko inflasi dan defisit neraca berjalan yang persisten. Ke depan, risiko inflasi yang bersumber dari pemulihan harga minyak dan nilai tukar yang masih lemah akan menjadi faktor utama yang menghalangi penurunan BI rate. Kebijakan otoritas moneter untuk mendukung momentum pertumbuhan ekonomi kami duga lebih berupa pengaturan kebijakan makroprudensial.
9
Pasar Keuangan
Dampak Penurunan Data Ekonomi Amerika Serikat pada Pasar Keuangan Dienda Siti Rufaedah Nilai tukar dolar AS secara umum terpantau melemah seiring dengan negative surprise pada data ekonomi AS serta sikap wait and see lintasan kebijakan The Fed. Potensi kenaikan suku bunga AS mendorong pasar obligasi rawan terhadap potensi pembalikan arus modal asing. Pasar saham cenderung masih berada dalam tren bullish. Selama bulan April 2015, indeks dolar AS secara umum terpantau menunjukkan tren melemah terhadap beberapa mata uang utama. Pergerakan indeks dolar AS, yang merefleksikan kekuatan mata uang dolar AS terhadap enam mata uang utama lainnya, mengalami penurunan yang cukup signifikan (sebesar 3,82%), yakni dari 98,36 di akhir perdagangan bulan Maret 2015 menjadi 94,60 di akhir perdagangan bulan April 2015, level terendah dalam lima bulan. Melemahnya dolar AS dipicu oleh serangkaian data AS yang mengecewakan, mengkonfirmasi bahwa The Fed masih perlu menunggu waktu lebih lama untuk menaikkan suku bunga acuan AS. Menurut konsensus, kenaikan Fed rate diperkirakan terjadi pada periode Oktober-Desember 2015, mundur dari perkiraan kenaikan sebelumnya yakni di bulan Juni 2015. Menurut rilis data terbaru, produksi industri AS turun untuk yang keempat kalinya, dari 106,10 di bulan Desember 2014 menjadi 103,65 di bulan April 2015. Sejalan dengan penurunan tersebut, indeks kepercayaan konsumen AS juga turun ke level terendah sejak November 2014, dari 95,9 di bulan April 2015 menjadi 88,6 di bulan Mei 2015. Data mortgage di sektor perumahan AS melemah 0,4% menjadi -2,3% dan sektor manufaktur AS turun tajam dari 6,9 ke -1,19. Meskipun terjadi peningkatan penjualan ritel AS pada bulan Maret 2015 sebesar 0,9%, namun masih berada di bawah ekspektasi pasar yang sebesar 1,1%. Jika kita lihat kinerja dari mata uang negara maju, euro mengalami penguatan tertinggi sebesar 4,59% m/m ke level 1,12 per dolar AS. Selain dipengaruhi oleh buruknya data ekonomi AS, sentimen positif datang dari Yunani yang akhirnya dapat membayar utang yang jatuh tempo pada tanggal 12 Mei 2015 sebesar 750 juta euro dengan menggunakan dana rekening khusus di IMF. Meski terhindar dari default, Yunani masih dihadapkan oleh kesulitan likuiditas jika kesepakatan dengan para kreditur internasional tidak tercapai. Seperti diketahui, pemerintah Yunani dalam empat bulan ini masih melakukan negosiasi dengan para kreditur dari zona Euro dan IMF untuk mendapatkan pembayaran terakhir sebesar 7,2 miliar euro, dari total dana talangan sebesar 240 miliar euro yang diterima sejak tahun 2011. Berdasarkan konsensus Bloomberg, mata uang euro berpotensi melemah 14,0% ke level 1,04 per dolar AS di akhir tahun 2015. Testimoni Gubernur Bank Sentral Inggris (BoE) yang mengisyaratkan kemungkinan kenaikan suku bunga pada tahun depan menjadi katalis positif penguatan sterling. Hasil pemilu Inggris yang diluar dugaan menghasilkan suara mayoritas untuk Partai Konservatif turut mendorong penguatan sterling. Kemenangan Partai Konservatif telah mengakhiri kekhawatiran bahwa tidak diperlukannya pembicaraan yang berlarut-larut untuk membentuk sebuah pemerintahan. Sterling menguat sebesar 3,6% m/m ke level 1,54.
11
Mata Uang Negara Maju EUR/USD USD/JPY GBP/USD Negara Berkembang USD/IDR USD/BRL USD/RUB USD/INR USD/CNY USD/ZAR USD/MYR USD/THB USD/TRY USD/PHP
FY2014 (%)
YTD (%)
1M (%)
1W (%)
Posisi 30/04/2015
2015F*)
(11.97) (13.74) (5.92)
(7.22) 0.33 (1.45)
4.59 0.62 3.60
3.70 0.17 1.95
1.12 119.38 1.54
1.04 125.00 1.47
(1.78) (12.51) (84.78) (2.01) (2.50) (10.27) (6.76) (0.63) (8.70) (0.73)
(4.64) (13.43) 15.06 (0.60) 0.04 (2.94) (1.89) (0.33) (14.45) 0.29
0.85 5.70 11.34 (1.48) (0.06) 1.82 3.79 (1.45) (2.89) 0.25
(0.07) (1.47) (1.52) (0.16) (0.09) 1.95 1.66 (1.79) 1.08 (0.68)
12,963 3.01 51.59 63.42 6.20 11.91 3.56 33.02 2.67 44.59
13,425 3.25 61.03 63.50 6.20 12.40 3.74 33.35 2.76 45.20
Sumber: Bloomberg Tabel 1. Perkembangan Nilai Tukar Sejumlah Mata Uang terhadap Dolar AS
Dolar AS juga terpantau melemah terhadap mayoritas mata uang negara berkembang. Rubel menjadi mata uang yang menunjukkan performa terbaik dengan menguat sebesar 11,3% m/m dan ditutup pada level 51,59 per dolar AS. Pemulihan nilai rubel dipicu oleh keputusan Bank Sentral Rusia (CBR) yang memberikan pinjaman dalam mata uang asing senilai 30 miliar dolar AS kepada perbankan di Rusia serta menurunkan suku bunga acuan dari 17% menjadi 14%. Menurunnya ketegangan di Ukraina juga memberikan sentimen positif karena membuka peluang bagi pencabutan sanksi ekonomi terhadap Rusia. Penguatan terjadi pada nilai tukar rupiah yang terkena dampak dari koreksi global. Selama bulan April 2015, rupiah naik 0,85% m/m ke level Rp 12.963 per dolar AS. Kinerja neraca perdagangan yang masih berada dalam tren positif selama lima bulan ini juga memberikan kontribusi positif dalam mendorong penguatan rupiah. Meskipun surplus neraca perdagangan bulan April 2015 relatif mengecil dibandingkan surplus bulan Maret 2015, namun jika kita bandingkan dengan bulan yang sama pada tahun sebelumnya, neraca perdagangan Indonesia menunjukkan kinerja yang jauh lebih baik dengan meningkat dari defisit 1,96 miliar dolar AS (April 2014) menjadi surplus 454,4 juta dolar AS (April 2015). Keputusan Bank Indonesia yang mempertahankan BI rate juga dinilai sebagai sentimen positif dari pergerakan rupiah. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menunjukkan perlambatan di kuartal I-2015 ke level 4,71% berpotensi kembali menekan kinerja rupiah. Berdasarkan konsensus Bloomberg, rupiah diproyeksikan melemah sebesar 8,37% ke level 13.425 di akhir tahun 2015.
12
Sovereign Bond Yield 10Yr (LCY)
FY2014
YTD
1M
1W
Posisi
(bps)
(bps)
(bps)
(bps)
30/04/2015
Amerika Serikat
(86)
(14)
11
7
2.03
Eropa
(139)
(18)
19
20
0.37
-
Jepang
(41)
1
(6)
3
0.34
0.46
Inggris
(127)
8
26
14
1.83
2.01
Indonesia
(66)
(9)
27
17
149
43
(24)
22
7.71 12.80
7.15
Brazil Rusia
44
n/a
n/a
n/a
n/a
-
India
(97)
1
13
11
7.86
7.38
China
2015*)
Negara Maju 2.45
Negara Berkembang -
(97)
(21)
(19)
0
3.44
3.45
Afrika Selatan
6
(1)
14
(12)
7.96
8.28
Malaysia
2
(30)
(4)
(0)
3.85
4.02
(4)
2.48
2.54
Thailand
(117)
(25)
(21)
Sumber: Bloomberg Tabel 2. Perkembangan Obligasi Pemerintah Tenor 10 Tahun
Selama bulan April 2015, kinerja pasar obligasi negara maju dan negara berkembang secara umum menunjukkan adanya tekanan, yang terlihat dari kenaikan imbal hasil obligasi (lihat Tabel 2). Potensi kenaikan suku bunga AS mendorong pasar obligasi rawan terhadap potensi pembalikan arus capital flow (reversal) modal asing. Baru-baru ini, IMF memperingatkan atas risiko reversal serta dampak yang dapat ditimbulkan dari kenaikan Fed rate. Kenaikan Fed rate dinilai dapat memicu gejolak pasar keuangan serta mendorong imbal hasil obligasi naik tajam. Selain itu, IMF juga menyatakan risiko stabilitas keuangan telah meningkat ditengah perbedaan kebijakan moneter. Meskipun pasar obligasi berpotensi meningkat dari adanya bank sentral yang menerapkan pelonggaran moneter, namun kebijakan moneter yang berbeda dapat menyebabkan fluktuasi pada sistem keuangan global secara keseluruhan. Di pasar obligasi pemerintah Indonesia, tekanan jual juga terlihat dari turunnya harga obligasi. Penurunan harga terjadi pada seluruh tenor obligasi. Dalam jangka waktu satu bulan, harga obligasi benchmark seri FR0069 tenor 5 tahun turun 1,5% dari 102,51 (Maret 2015) menjadi 101,04 (April 2015). Sementara itu, harga obligasi tenor panjang seri FR0068 (tenor 20 tahun) turun 2,9% ke level 103,28. Berbanding terbalik, imbal hasil seluruh tenor meningkat dengan peningkatan terbesar ditunjukkan oleh obligasi seri FR0069 (tenor 5 tahun) sebesar 42 bps dari 7,15% ke 7,56%. Turunnya harga obligasi masih dibayangi oleh berbagai sentimen. Risiko gagal bayar Yunani meningkatkan ekspektasi risiko di kalangan investor asing, dimana porsi kepemilikan asing masih mendominasi kepemilikan SBN yang dapat diperdagangkan yaitu sebesar 38,51% per April 2015. Koreksi yang terjadi di pasar obligasi pemerintah Indonesia juga disebabkan oleh rilis data Produk Domestik Bruto (PDB) Tiongkok kuartal I-2015 yang tercatat turun ke level 7%, terendah sejak tahun 2009. Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi global tengah mengalami perlambatan. Disisi lain, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia yang dinilai atraktif telah mendorong dana asing masuk sejak awal tahun 2015. Jika dibandingkan dengan akhir Desember 2014, porsi asing pada
13
obligasi pemerintah Indonesia tercatat mengalami kenaikan sebesar Rp 46,83 triliun, yakni dari Rp 461,35 menjadi Rp 508,18 triliun. Pada bulan April 2015, asing masih membukukan net buy senilai Rp 4,1 triliun (lihat Gambar 10). Ketika capital inflow dinilai sudah terlalu tinggi dan mengakibatkan obligasi mengalami oversold, maka investor cenderung akan melakukan profit-taking yang ditunjukkan oleh harga obligasi yang turun dan imbal hasil yang meningkat. Lelang SBN dan SBSN yang diselenggarakan pemerintah selama bulan April 2015 juga terlihat sepi peminat yang tercermin dari rendahnya total penawaran yang masuk (lihat Gambar 10). Total penawaran yang masuk selama bulan April 2015 hanya sebesar Rp 28,05 triliun, turun tajam dibandingkan lelang SBN dan SBSN di bulan Maret 2015 yang tercatat sebesar Rp 66,19 triliun. Total dana yang dimenangkan pemerintah pada lelang bulan April 2015 juga hanya tercatat sebesar Rp 18,17 triliun, menurun dibandingkan lelang bulan Maret 2015 yang sebesar Rp 30,87 triliun. Net Buy SBN (LHS)
40
Nilai Tukar (avg, RHS)
30
13,000
20
12,000
10
11,000
0
10,000
-10 -20
Apr-15
Dec-14
600
IDR Tn
%
15
500
13
400
10
9,000
300
8
8,000
200
5
7,000
100
3
6,000 Aug-14
Apr-14
Dec-13
Aug-13
Apr-13
Dec-12
Apr-12
Dec-11
Apr-11
(IDR Tn) Aug-11
-40
Aug-12
Apr '15 USDIDR (eop) : Rp 12,963 Net Buy SBN : Rp 4.10 Tn
-30
Incoming Bid Bid Accepted 10Y yield Govt Bond (avg)
14,000
0
0 2005
2007
2009
2011
2013
2015 ytd
Sumber: CEIC dan Kementerian Keuangan Gambar 10. Perkembangan Kepemilikan Investor Asing di Pasar SBN serta Lelang SBN dan SBSN
Pergerakan indeks saham beberapa negara yang kami pantau selama bulan April 2015 secara umum berada dalam tren bullish (lihat Tabel 3). Bursa saham di AS selama satu bulan ini cenderung menguat. Ditengah serangkaian rilis data AS yang mengecewakan dan pelemahan dolar AS, indeks Dow Jones dan S&P 500 masih menunjukkan kenaikan meskipun tipis masing-masing sebesar 0,36% m/m dan 0,85% m/m. Indeks Nikkei 225 melanjutkan penguatan dengan naik sebesar 1,63% ke level 19.520,01. Pelemahan nilai tukar yen diindikasikan menjadi salah satu penyebab kenaikan bursa. Disamping itu, neraca perdagangan Jepang mengalami surplus setelah berada dalam tren defisit sejak bulan Juli 2012. Pada bulan Maret 2015, neraca perdagangan Jepang mengalami surplus ke level 227,43 miliar yen, dari defisit 428,47 miliar yen di bulan Februari 2015. Surplus neraca perdagangan Jepang ditopang oleh kenaikan ekspor yang lebih tinggi dibandingkan kenaikan impor. Ekspor tercatat meningkat sebesar 985,4 miliar yen sementara impor hanya meningkat sebesar 329,5 miliar yen. Indeks Shanghai masih mempertahankan momentum kenaikan dan berada pada kenaikan tertingginya, ditengah spekulasi pemerintah untuk melakukan merger perusahaan BUMN dan menambah stimulus untuk menopang pertumbuhan ekonomi yang tengah menghadapi penurunan di
14
sektor properti. Disisi lain, Bank Sentral Tiongkok (PBoC) untuk ketiga kalinya dalam enam bulan terakhir memangkas suku bunga sebesar 25 bps ke level 7,5%. Selama bulan April 2015, indeks Shanghai meningkat sebesar 18,51% ke level 4.441,66 dibandingkan periode sebelumnya. FY2014
YTD
1M
1W
Posisi
(%)
(%)
(%)
(%)
30/04/2015
Dow Jones (USA)
7.52
0.10
0.36
(1.21)
17,840.52
S&P 500 (USA)
11.39
1.29
0.85
(1.30)
2,085.51
Euro Stoxx 50 (Eropa)
4.35
15.55
(0.38)
(2.80)
395.79
Nikkei 225 (Jepang)
7.12
11.86
1.63
(3.31)
19,520.01
FTSE 100 (Inggris)
(2.71)
6.01
2.77
(1.32)
6,960.63
Indeks Saham Negara Maju
Negara Berkembang IHSG (Indonesia)
22.29
(2.69)
(7.83)
(6.43)
5,086.43
Ibovespa (Brazil)
(2.91)
12.44
9.93
0.98
56,229.38
MICEX (Rusia) Sensex (India)
(7.15)
20.89
3.82
1.55
1,688.34
29.89
(1.77)
(3.38)
(2.61)
27,011.31
Shanghai (China)
52.87
37.31
18.51
0.61
4,441.66
JALSH (Afrika Selatan)
7.60
9.38
4.33
(0.45)
54,440.43
KLCI (Malaysia)
(5.66)
3.24
(0.68)
(1.51)
1,818.27
SET (Thailand)
15.32
1.94
1.38
(1.17)
1,526.74
Borsa Istanbul (Turki)
26.43
(2.07)
3.84
(1.88)
83,947.04
PCOMP (Filipina)
22.76
6.70
(2.84)
(2.25)
7,714.82
Sumber: Bloomberg Tabel 3. Perkembangan Indeks Saham Utama Dunia
Berbeda dengan kinerja indeks saham utama di kawasan Asia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada akhir perdagangan April 2015 ditutup pada zona merah dengan turun 7,83%. Penurunan indeks disebabkan dana asing yang keluar dari pasar saham Indonesia. Meskipun secara kumulatif (Januari hingga April 2015) asing masih membukukan net buy, namun net buy tersebut cenderung turun jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Net buy turun dari Rp 33,29 triliun menjadi Rp 10,04 triliun. Penyebab lain dari turunnya indeks adalah realisasi inflasi yang terjadi di bulan April 2015. Naiknya harga BBM jenis premium dan solar masing-masing menjadi Rp 7.300 per liter dan Rp 6.900 per liter per tanggal 1 April 2015 telah mendorong kenaikan inflasi. Inflasi umum bulan April 2015 tercatat naik dari 0,17% m/m menjadi 0,36% m/m. Secara tahunan, inflasi juga meningkat dari 6,38% y/y menjadi 6,79% y/y.
15
Z
+2.5%
-2.5%
+5.0%
2015F
-5.0%
2016F
TH MY
SA CH IN
RU BR Mar-00 Dec-00 Sep-01 Jun-02 Mar-03 Dec-03 Sep-04 Jun-05 Mar-06 Dec-06 Sep-07 Jun-08 Mar-09 Dec-09 Sep-10 Jun-11 Mar-12 Dec-12 Sep-13 Jun-14 Mar-15
3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 -1.5 -2.0 -2.5
ID
Sumber: CEIC dan Bloomberg Gambar 11. Valuasi IHSG
Gambar 11 menunjukkan valuasi P/E ratio (PER) IHSG yang dinormalisasi selama 20 tahun. Dari hasil perhitungan, dapat dilihat bahwa posisi IHSG yang tercermin dari PER saat ini berada pada level 19,27 kali atau diatas rata-rata historis 20 tahun yang berkisar 11,82 kali. Meskipun demikian, angka ini belum menunjukkan level yang eksesif (melebihi nilai wajarnya). Tingginya harga saham di Indonesia saat ini ternyata masih relatif lebih murah jika dibandingkan dengan harga saham di negara emerging market lainnya. PER Indonesia pada tahun 2015 diproyeksikan lebih rendah dengan berada pada level 13,1 kali sementara valuasi saham paling tinggi diperkirakan akan dimiliki oleh Afrika Selatan dengan PER sebesar 18,6 kali. PER Indonesia ini turun jika dibandingkan pada akhir tahun 2014 yang sebesar 21,52 kali. Jika kita lihat secara sektoral, sektor barang konsumsi, keuangan, serta perdagangan dan jasa memiliki PER yang paling tinggi diantara sektor lainnya atau dapat dikatakan ketiga sektor tersebut memiliki valuasi premium. Jika kita lihat, ketiga sektor bahkan memiliki PER yang lebih tinggi dibandingkan valuasi IHSG. PER ketiga sektor tersebut tercatat masing-masing sebesar 27,47 kali, 23,45 kali, dan 22,72 kali. Sementara PER IHSG saat ini hanya sebesar 19,27 kali. PER yang tinggi menunjukkan persepsi pasar yang baik terhadap pendapatan emiten yang tinggi di masa mendatang atau dengan kata lain emiten tersebut memiliki potensi pertumbuhan yang tinggi. Ditengah sentimen pasar saham yang cenderung berfluktuasi, namun permintaan terhadap saham ketiga sektor tersebut masih relatif tinggi. Investor menjadikan saham ketiga sektor tersebut sebagai pilihan investasi ditengah risiko ketidakpastian ekonomi karena dinilai tidak mudah terpengaruh oleh siklus ekonomi.
16
50
Agriculture
Mining
Basic Industry & Chemicals
Miscellaneous Industry
Consumer Goods
Construction, Property and Real Estates
Infrastructure, Utility and Transportation
Finance
Trade and Services (TS)
40 30
20 10 Mar-15
Nov-14
Jul-14
Mar-14
Nov-13
Jul-13
Mar-13
Nov-12
Jul-12
Mar-12
Nov-11
Jul-11
Mar-11
0
Sumber: CEIC Gambar 12. PER Indonesia 9 Sektor
Secara umum, mayoritas emiten di sektor barang konsumsi melaporkan laba yang positif pada kuartal I-2015. Sebagai contoh, Unilever dengan market cap tertinggi diantara emiten-emiten sektor barang konsumsi lainnya mencatatkan kenaikan laba bersih sebesar Rp 230,72 miliar (tumbuh 16,95% y/y), yakni dari Rp 1,36 triliun pada kuartal I-2014 menjadi Rp 1,59 triliun pada kuartal I-2015. Kenaikan laba yang tercermin pada rasio PER juga mengalami earnings surprise yang positif, yang berarti PER aktual berada diatas ekspektasi para analis. PER Unilever pada kuartal I-2015 adalah sebesar 55,77 kali atau lebih tinggi dari ekspektasi yang sebesar 53,67 kali. Berbanding terbalik, sektor pertambangan mencatatkan PER yang paling rendah karena kinerja yang belum membaik di kuartal I-2015. Kinerja emiten di sektor pertambangan memiliki ketergantungan terhadap kondisi ekonomi global karena sebagian besar pasar komoditas ditujukan untuk ekspor. Kondisi perekonomian dunia yang tengah melambat belakangan ini memicu penurunan harga komoditas sehingga belum mampu mendorong sektor pertambangan untuk tumbuh lebih cepat dibandingkan sektor-sektor lainnya. Emiten-emiten di sektor pertambangan secara umum mengalami penurunan laba. Sebagai contoh, laba bersih Adaro Energy pada kuartal I-2015 turun dari USD 128 juta menjadi USD 59 juta. Namun demikian, PER Adaro Energy masih mengalami earnings surprise positif yaitu sebesar 19,65 kali, angka ini lebih tinggi dari ekspektasi sebesar 11,18 kali.
17
Perbankan
Pergeseran Risiko Perbankan: Dari Likuiditas kepada Kredit Moch Doddy Ariefianto, Seno Agung Kuncoro dan Ahmad Subhan Data tren peningkatan NPL menunjukkan bahwa kedepan faktor risiko perbankan telah bergeser dari risiko likuiditas kepada kualitas kredit. Namun demikian perbankan masih cukup memiliki capital buffer yang memadai. Kondisi pertumbuhan kredit yang selaras dengan pertumbuhan DPK diperkirakan akan bertahan hingga akhir tahun 2015. Terbuka potensi memperbaiki NIM bagi bank dengan memanfaatkan kondisi likuiditas yang “relatif” longgar. Tekanan terhadap profitabilitas perbankan masih berlanjut sepanjang kuartal pertama ditahun 2015. Pertumbuhan laba (kumulatif setahun) hanya mencapai 9,4% jauh dibawah periode yang sama tahun lalu yang sebesar 12,8%. Kinerja pertumbuhan laba ini adalah yang terendah pasca krisis global 2008. Tekanan pada profitabilitas perbankan berasal dari penurunan Net Interest Margin (NIM) dan kenaikan biaya kredit yang tercermin dari kenaikan Non Performing Loan (NPL) (lihat gambar 13).
Sumber: Bank Indonesia Gambar 13. Pertumbuhan Laba Perbankan dan Komponen Profitabilitas
Sepanjang kuartal pertama tahun 2015, NIM terus berada pada kisaran 4,2% (dibawah rata-rata 2011-2013 yang sebesar 6,0%). Non-Performing Loan (gross nominal) telah tumbuh sebesar 33,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Akibatnya rasio NPL (terhadap total kredit) meningkat dari 2,16% di akhir tahun 2014 menjadi 2,40%. Rasio coverage (Cadangan Biaya Penghapusan Kredit dibagi dengan NPL) juga telah menurun dari 104,85% menjadi 99,40%. Penurunan rasio coverage telah terjadi sejak tahun 2013 setelah sempat mencapai puncaknya di level 142,83%.
19
Sumber: Bank Indonesia Gambar 14. Perkembangan Interest Margin
Tergerusnya interest margin perbankan disebabkan kenaikan biaya dana yang lebih besar dari pada kenaikan bunga kredit. Sepanjang satu tahun terakhir, biaya dana (yang diproksikan oleh suku bunga deposito tenor 1 bulan) telah naik sebesar 155 bps. Di sisi lain suku bunga kredit perbankan (yang diproksikan oleh suku bunga kredit modal kerja) hanya meningkat sebesar 94 bps. Dengan demikian spread telah menurun dari 508 bps menjadi 438 bps pada periode yang sama. Kondisi pelemahan ini terjadi across the board, secara umum seluruh bank mengalami penurunan NIM yang disebabkan kenaikan biaya dana yang lebih tinggi dibandingkan tingkat bunga kredit. Sejak setahun terakhir tekanan dari penurunan kualitas kredit juga terlihat sehingga memaksa bank untuk mengorbankan aspek profitabilitasnya. Rasio nilai NPL belum menunjukkan peningkatan yang signifikan namun masih manageable. (lihat tabel 4)
Sumber: Lembaga Penjamin Simpanan Tabel 4. Beberapa Indikator Terpilih Berdasarkan Segmen Bank Ke depan terlihat bahwa faktor risiko perbankan akan bergeser dari likuiditas kepada kualitas kredit. Sepanjang kuartal pertama tahun 2015, Dana Pihak Ketiga (DPK) telah tumbuh sebesar 15,2% di atas pertumbuhan kredit sebesar 11,8%. Akibatnya Loan to Deposit Ratio (LDR) mengalami penurunan dari 90,1% di akhir tahun 2014 menjadi 88,7% di akhir kuartal pertama. Perbaikan kondisi likuiditas perbankan juga ditunjukkan oleh relatif stabilnya tingkat bunga pasar simpanan. Suku bunga deposito bank-bank acuan LPS (Suku Bunga Pasar, SBP) sepanjang kuartal pertama 2015 hanya
20
meningkat 11 bps, dibandingkan 17 bps pada periode yang sama tahun lalu. Sejak awal April, SBP bahkan terlihat menurun sebesar 10 bps (lihat gambar 15)
Sumber: BI dan LPS Gambar 15. Perkembangan LDR dan Suku Bunga Pasar Fenomena pada pasar dana seperti yang diuraikan di atas adalah berbeda dengan yang terjadi pada periode yang sama tahun lalu. Hal ini disebabkan kondisi perekonomian yang kurang kondusif menyebabkan korporasi menekan laju ekspansi (dan permintaan kredit mereka). Disisi lain tingkat bunga yang tinggi menyebabkan meningkatnya daya tarik deposito berjangka sebagai salah satu alternatif investasi.
Sumber: BI Gambar 16. Dinamika Pertumbuhan Kredit dan DPK Kondisi seperti ini (pertumbuhan kredit dibawah DPK) diperkirakan bertahan hingga akhir tahun 2015. Terdapat pola dinamis dimana pertumbuhan kredit akan mengalami akselerasi menjelang akhir semester dan akhir tahun (lihat gambar 16), sehingga risiko likuiditas mungkin meningkat di semester kedua. Meskipun demikian kami melihat akselerasi tersebut kemungkinan berada dibawah level
21
historis. Ada kemungkinan bank-bank akan memanfaatkan kondisi likuiditas yang “relatif” longgar untuk memperbaiki NIM (sebesar 20-30 bps dari level saat ini). Sebaliknya risiko kredit masih berada pada posisi yang tinggi. Pelemahan prospek ekonomi, tekanan nilai tukar, dan suku bunga yang tinggi telah menyebabkan meningkatnya kesulitan bagi para debitur untuk memenuhi kewajibannya. Seperti yang terlihat pada Gambar 17, kredit yang dikategorikan bermasalah (kolektibilitas 3-5) masih cenderung tinggi dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 26,6% sepanjang kuartal pertama 2015. Tingkat pertumbuhan ini jauh di atas pertumbuhan rata-rata kredit kolektibilitas lancar yang sebesar 10,6%. Pertumbuhan kredit kolektibilitas “perbatasan” (kolektibilitas 2) juga cukup tinggi (yakni rata-rata sebesar 23,7%) yang mengindikasikan ancaman kredit macet masih signifikan beberapa periode kedepan.
Sumber: BI Gambar 17. Perkembangan Kredit Bermasalah Perbankan
Sektor-sektor yang semula diperkirakan cukup resilien terhadap penurunan kondisi ekonomi juga menunjukkan pertumbuhan kredit bermasalah. Pertumbuhan kredit bermasalah pada sektorsektor seperti manufaktur dan perdagangan masing-masing 28,7% dan 37,6%. Di sisi lain pertumbuhan outstanding kredit pada sektor tersebut hanya tumbuh sebesar (masing-masing) 17,5% dan 11,0%. Tidak mengherankan jika dalam kurun waktu satu tahun terakhir rasio NPL bagi sektorsektor tersebut telah naik pada rentang 213 bps – 218 bps menjadi 215 bps – 329 bps.
22
Sumber: BI Gambar 18. Perkembangan CAR Perbankan Indonesia dan Peer Ditengah potensi kenaikan risiko kredit “untungnya” bank memiliki capital buffer yang cukup tinggi. Rasio modal terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) atau Capital Adequacy Ratio (CAR) mengalami kenaikan dari 19,57% di akhir tahun 2014 menjadi 20,98% di kuartal pertama tahun 2015. Kenaikan CAR ini terutama disebabkan konversi akuntansi laba operasi akhir tahun 2014 menjadi komponen modal laba ditahan. Bank-bank tampaknya menyadari bahwa situasi sulit masih harus dihadapi sepanjang tahun 2015 sehingga manajemen umumnya mengambil kebijakan mengurangi setoran dividen. Rasio permodalan (CAR dan Tier 1 CAR) perbankan Indonesia adalah salah satu yang tertinggi diantara emerging market. Per akhir tahun 2014, rasio CAR dan Tier 1 CAR perbankan Indonesia sebesar 18,7% dan 17,8%, lebih tinggi dibandingkan Brazil, India, Philipina dan Turki. Kondisi perekonomian Indonesia (meskipun menurun) juga secara umum lebih baik dibandingkan negaranegara tersebut (lihat tabel 19)
Sumber: CEIC, BIS, IMF dan McKiensey Gambar 19. Beberapa Indikator Kerentanan Terpilih Indonesia dan Peers
23
Kami memperkirakan risiko kredit sepanjang tahun 2015 masih manageable. Dengan asumsi baseline dimana pertumbuhan ekonomi berada disekitar 5,0% - 5,3%, nilai tukar USD/IDR berada pada kisaran Rp 13.000 - 13.200 dan BI rate pada 7,25% - 7,50% maka rasio NPL diperkirakan berada pada kisaran 2,7% - 3,0%. Rasio ini masih berada dalam comfort zone regulator. Disamping itu dengan tekanan likuiditas yang relative lebih lunak, perbankan diperkirakan dapat mengkompensasi sebagian dampak dari kenaikan biaya kredit sehingga secara keseluruhan diharapkan dapat mencatat pertumbuhan laba di tahun 2015. Perlu diperhatikan bahwa pergeseran risiko perbankan dari likuiditas kepada kredit disebabkan oleh aspek makro ekonomi. Untuk itu salah satu cara untuk menurunkan risiko kredit adalah dengan memperbaiki kinerja perekonomian. Pemerintah dan otoritas dapat membuat suatu bauran kebijakan: fiskal, moneter dan macroprudential yang sinergis untuk meningkatkan kinerja perekonomian. Perubahan skema subsidi BBM sebenarnya memberikan ruang bagi kebijakan fiskal yang lebih efektif dengan dampak multiplier yang tinggi melalui belanja modal pemerintah. Pembangunan infrastruktur, peningkatan regulasi serta efektivitas birokrasi akan meningkatkan iklim bisnis yang mendorong pertumbuhan investasi dalam negeri. Keseimbangan eksternal dapat dicapai dengan menjaga kepercayaan investor. Pembiayaan defisit neraca berjalan dapat bersifat sustained jika dapat disusun rencana jangka menengah panjang untuk meningkatkan porsi industri penghasil devisa dan industri substitusi impor. Insentif fiskal, iklim moneter dan instrument macroprudential dapat diarahkan untuk menstimulasi pertumbuhan industri-industri ini. Rencana tersebut hendaknya memiliki jangka waktu serta dikomunikasikan dengan jelas kepada investor. Mungkin saja terjadi dalam implementasinya, rencana tersebut menyebabkan defisit neraca berjalan justru membesar, tetapi pelaku ekonomi menyadari hal tersebut bersifat sementara. Jika rencana tersebut bisa berjalan, kepercayaan investor diperkirakan tidak akan goyah.
24
Industri
Industri CPO: Risiko Pemulihan Produksi Ahmad Subhan Tren peningkatan produksi CPO dalam dua bulan terakhir berdampak negatif terhadap level inventory dan pemulihan harga. Langkah pemerintah yang segera menerapkan aturan pungutan untuk kebijakan CPO fund diperkirakan akan berdampak harga CPO yang diterima produsen dan spread harga produk turunan CPO. Laju produksi dan tingkat inventory hingga akhir April terus memberikan tekanan terhadap proses pemulihan harga CPO di pasar global, tercatat harga CPO Spot pada Bursa Malaysia merosot 23,0% YoY ke level RM2.082 atau sekitar Rp7,7 juta per ton. Data yang dirilis Bloomberg melaporkan inventory CPO di Malaysia naik 18,0% ke 2,19 juta ton pada akhir April atau level inventory tertinggi pada 8 bulan terakhir, sementara pada periode yang sama produksi perkebunan sawit di Indonesia berdasarkan hasil survey diperkirakan naik ke level 2,6 juta ton (8,3%-MoM) atau volume bulanan terbesar dalam 3 tahun terakhir. Proyeksi penurunan tingkat produksi yang sempat diperkirakan terjadi di tahun ini hanya tampak pada 2 bulan pertama tahun 2015, selanjutnya tingkat produksi dan inventory terus menunjukkan tren pemulihan.
Sumber: Bloomberg Gambar 20. Perkembangan harga CPO Global Tren pemulihan produksi saat ini berkorelasi positif dengan level inventory di tengah masih melemahnya permintaan. Selain Indonesia, level produksi bulanan CPO Malaysia juga cenderung menunjukkan peningkatan meskipun sepanjang tahun 2014 mayoritas tanaman di kebun mengalami masa stress berupa kekeringan di 1Q-14 dan 3Q-14 serta banjir di 4Q-14. Hingga akhir April 2015 produksi CPO Malaysia diperkirakan berada di kisaran 1,7 juta ton atau meningkat sekitar 13,0% secara MoM. Pemulihan produksi diperkirakan akan terus berlanjut hingga puncak masa siklus panen di bulan September hingga Oktober dengan potensi pelemahan terbatas di bulan Juni-Juli.
26
Pemulihan produksi di Indonesia dan Malaysia yang terjadi diluar perkiraan dalam 2 bulan terakhir diperkirakan akan terus berlanjut. Kondisi ini akan diperkirakan akan memaksa harga CPO bergerak flat di kisaran RM 2.100-2.300 per ton hingga Juni 2015. Selanjutnya harga tersebut akan kembali tertekan pasca lebaran hingga level RM 1.900 per ton mengikuti siklus puncak panen dan level inventory yang meningkat.
Sumber: MPOB Malaysia Tabel 5. Perkembangan Produksi, Ekspor dan Impor CPO Malaysia Selain kedua faktor utama tersebut harga CPO diproyeksikan masih akan terus tertekan dan cenderung flat sepanjang tahun ini disebabkan beberapa faktor risiko antara lain; 1) tren rendahnya harga minyak mentah telah menyebabkan menurunnya tingkat keekonomian konversi CPO menjadi biodesel. 2) hasil panen kedelai dari kawasan Amerika Selatan dan Amerika Serikat diperkirakan akan meningkat sekitar 18,0% YoY sepanjang tahun ini di tengah masih tingginya tingkat inventory. Tercatat pada Maret tahun ini, produksi kedelai naik menjadi sekitar 47,4 juta ton dari produksi awal bulan sebesar 47,1 juta ton dan sekaligus menyebabkan meningkatnya persediaan minyak kedelai di pasar dunia menjadi sekitar 3,6 juta ton dibandingkan dengan 3,3 juta ton pada awal bulan tahun ini. 3) pangsa pasar CPO diperkirakan akan berkurang akibat gap harga dengan minyak kedelai yang semakin tipis. 4) cadangan edible oil di India menunjukkan level peningkatan meski di sisi lain cadangan China cenderung menurun dan membuka potensi reinventorying dalam jangka pendek. 5) harga komoditas cenderung akan terus tertekan seiring penguatan nilai tukar USD. 6) dari pasar domestik, lemahnya implementasi dan eksekusi mandatory biodiesel berbasis CPO menyebabkan permintaan tidak optimal, kerena adanya ketidakpastian terkait risiko selisih harga
27
Sumber: Bloomberg dan Credit Suisse Gambar 21. Perbandingan harga minyak mentah dan CPO dan Proyeksi Produksi berdasarkan negara utama
Di level perusahaan potensi pemulihan produksi dan inventory serta beberapa faktor risiko di atas telah berdampak pada kinerja keuangan. Sebagai gambaran dengan koreksi tingkat harga sebesar -16% (YoY) untuk periode 1Q-15 dan tingkat produksi yang masih rendah saja kinerja profit after tax (PAT) mayoritas emiten CPO di bursa mengamai koreksi rata-rata diatas -70% secara YoY. Rendahnya pasokan tandan buah segar yang terjadi sepanjang 1Q-15 belum mampu memberikan sentimen kuat pada pemulihan harga, sehingga kinerja emiten mengalami tekanan dari sisi produksi dan harga jual CPO. Selanjutnya sinyal pemulihan produksi saat ini disatu sisi diperkirakan dapat memperbaiki tingkat penjualan meski di sisi lain berpotensi menimbulkan risiko oversupply yang berujung tekanan pada harga CPO.
Sumber: Bloomberg Tabel 6. Kinerja Beberapa Emiten Perkebunan 1Q-15 Hasil diskusi dengan sebagian pelaku industri mengindikasikan bahwa untuk saat ini produsen CPO sangat berharap pada pemulihan konsumsi khususnya untuk pasar domestik. Dalam jangka pendek masuknya bulan Ramadhan dan Lebaran diharapkan dapat memperbaiki tingkat permintaan
28
domestik, sementara untuk jangka menengah tindak lanjut kebijakan biodiesel yang dicanangkan oleh pemerintah diharapkan dapat segera dieksekusi dengan tepat. Dari sisi kebijakan pemerintah pada awal bulan Mei ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan beleid mengenai pungutan dana pengembangan sawit atau yang dikenal sebagai CPO supporting fund (CSF)/CPO Fund sudah disetujui presiden. Melalui kebijakan ini pemerintah akan menarik pungutan untuk setiap ton CPO dan produk olahan CPO seperti Olein yang dijual di pasar ekspor. Selanjutnya pemerintah akan membentuk Badan Layanan Umum (BLU) yang bertanggung jawab mencatat, mengatur dan mengelola penggunaan dana atas CPO Fund. Sebagai gambaran dana CPO Fund tersebut dapat digunakan untuk kegiatan re-planting hingga menutupi pembelian biodiesel Pertamina dari produsen. Dari kebijakan ini diperkirakan akan terkumpul dana dari industri sawit sekitar USD700 juta atau sekitar Rp7-8 triliun per tahun. Langkah pemerintah yang akan segera menerapkan aturan pungutan untuk kebijakan CPO Fund masing-masing sebesar USD 50/ton untuk CPO dan USD30/ton untuk produk turunan diperkirakan akan berdampak pada harga CPO domestik dan kinerja produsen disisi hulu. Dua hal yang diperkirakan akan terjadi dalam jangka pendek akibat dari kebijakan tersebut adalah, pertama, harga CPO yang diterima produsen cenderung akan lebih rendah karena pembeli akan membebankan biaya pungutan kepda produsen. Kedua, spread harga produk CPO global dan harga produk turunan CPO dari Indonesia akan semakin sempit, sehingga akan memberikan keuntungan bagi produsen produk hilir. Dalam pelaksanaanya aturan pungutan CPO Fund tersebut akan disinergikan dengan kebijakan bea keluar (BK) yang selama ini telah diterapkan sehingga tidak membebani produsen lebih besar.
Sumber: NOAA - National Oceanic and Atmospheric Administration Gambar 22. ENSO Outlook dan Potensi El Nino 2015 Meski banyak faktor risiko negatif yang berpotensi menyebabkan tekanan pada harga CPO baik dari sisi supply dan demand sepanjang tahun ini namun laporan terbaru dari Australia’s Bureau of Meteorology pada tengah bulan ini memberikan sinyal berbeda. Dalam laporan tersebut diidentifikasi bahwa probabilitas pembentukan El Nino pasca Juni sudah mendekati 90% dan terus stabil di level 80% hingga awal tahun 2016. Potensi El Nino yang kembali menguat ini merupakan episode ulangan tahun 2014 yang pada saat itu gagal terbentuk secara penuh akibat adanya efek Monsoon di India dan
29
Filipina. Meski laporan ini masih bersifat awal dan masih menunggu konfirmasi lanjutan namun sebagian trader berharap sentimen El Nino saat ini dapat memberi katalis positif terhadap harga. Secara historis fenomena El Nino berpotensi mengganggu produksi perkebunan kelapa sawit, namun efeknya diperkirakan tidak akan langsung selain belum dapat diproyeksikan seberapa besar ketegori El Nino yang akan terjadi berat, sedang, ringan, atau bahkan tidak akan berdampak di Indonesia. Efek dari fenomena El Nino tahun ini kemungkinan baru akan terasa pengaruhnya terhadap perlambatan produksi CPO tahun depan (lag 10-12 bulan). Dalam jangka pendek potensi El Nino yang diramalkan akan terjadi di kawasan Pasifik diperkirakan belum akan berpengaruh signifikan terhadap kinerja industri sawit dalam negeri pada kuartal II tahun ini. Hal tersebut didasarkan pada pola harga CPO yang masih berfluktuasi dan belum menunjukkan perbaikan. Usaha peningkatan konsumsi domestik akan menjadi kunci untuk memperbaiki kinerja harga sekaligus mengantisipasi pemulihan produksi yang lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. ewajiban menggunakan biodiesel sebesar 15% pada bahan bakar yang diberlakukan mulai 1 April 2015, harus segera ditindaklanjuti dengan langkah nyata dalam bentuk pengadaan sehingga memberi sinyal positif terhadap transaksi di pasar. Meskipun harus diakui idealnya kebijakan mandatori biodiesel ini dilakukan ketika BBM lebih mahal dari BBN, tapi fakta saat ini menunjukan harga BBN yang lebih mahal. Melalui peningkatan ini akan dibutuhkan tambahan 5,3 juta KL biodiesel yang setara dengan konsumsi CPO sekitar 5,8 juta ton. Jumlah ini cukup signifikan jika dibandingkan dengan peningkatan untuk kebutuhan minyak goerng konsumsi yang diperkirakan hanya sekitar 1,5-2 juta ton.
30
Indeks Stabilitas Perbankan
Indeks Stabilitas Perbankan (Banking Stability Index) Agus Afiantara, Dienda Siti Rufaedah Risiko industri perbankan Indonesia mengalami penurunan, hal ini tercermin dari Indeks Stabilitas Perbankan (Banking Stability Index, BSI) LPS pada bulan April 2015 yang menurun dari periode sebelumnya yaitu Maret 2015 dengan penurunan BSI sebesar 14 bps dari 100,21 menjadi 100,07. Sesuai kategori skala observasi Crisis Management Protocol (CMP), angka BSI saat ini masih berada pada kondisi “Normal”. Penurunan BSI ini didominasi oleh penurun sub indeks Interbank Pressure (IP) dan sub indeks Market Pressure (MP), sedangkan sub indeks Credit Pressure (CP) terjadi "stagnasi" dengan tren menurun dari awal tahun 2015. Sub indeks IP dan MP mengalami penurunan sebesar 42 dan 21 bps. 104
Credit Pressure
Krisis
106
103 Siaga
104
102 Waspada
102
101
100
100 Apr-15, 100.07
Normal
98 96
97
94
Apr-04 Oct-04 Apr-05 Oct-05 Apr-06 Oct-06 Apr-07 Oct-07 Apr-08 Oct-08 Apr-09 Oct-09 Apr-10 Oct-10 Apr-11 Oct-11 Apr-12 Oct-12 Apr-13 Oct-13 Apr-14 Oct-14 Apr-15
98
Apr-04 Oct-04 Apr-05 Oct-05 Apr-06 Oct-06 Apr-07 Oct-07 Apr-08 Oct-08 Apr-09 Oct-09 Apr-10 Oct-10 Apr-11 Oct-11 Apr-12 Oct-12 Apr-13 Oct-13 Apr-14 Oct-14 Apr-15
99
Sumber: LPS Gambar 23. Banking Stability Index (BSI) dan Sub Indeks Credit Pressure (CP) Likuiditas perbankan cenderung mengalami perbaikan yang tercermin dari rasio kredit terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK) atau Loan to Deposit Ratio (LDR) yang turun dari 89,61% pada Januari 2015 menjadi 89,04% pada Februari 2015. Peningkatan DPK yang lebih besar terhadap pertumbuhan kredit, menyebabkan rasio LDR menjadi turun. Pertumbuhan kredit membaik dari 11,4% y/y pada Januari 2015 menjadi 12,0% y/y pada Februari 2015. Disisi lain, penghimpunan DPK tumbuh lebih kencang dari 14,1% y/y pada Januari 2015 menjadi 15,4% pada Februari 2015.. Dari sisi kualitas kredit, rasio Gross NPL cenderung stabil dimana pada bulan Februari 2015 sebesar 2,43% dibandingkan dengan posisi Januari 2015 sebesar 2,37%. Disisi lain, indikator profitabilitas perbankan yang tercermin dari pertumbuhan Return on Equity (ROE) mengalami penurunan menjadi 18,16% pada Februari 2015, setelah sebelumnya tercatat sebesar 19,01% pada Januari 2015. Dengan stabilnya risiko kredit, sub indeks CP cenderung tidak mengalami perubahan sebesar 99,71 pada bulan Maret dan April 2015.
.
32
Interbank Pressure
106 105
104
104
103
103
102
102
101
101
100
100
99
99
98
98
97
97
96
96
Apr-04 Oct-04 Apr-05 Oct-05 Apr-06 Oct-06 Apr-07 Oct-07 Apr-08 Oct-08 Apr-09 Oct-09 Apr-10 Oct-10 Apr-11 Oct-11 Apr-12 Oct-12 Apr-13 Oct-13 Apr-14 Oct-14 Apr-15
105
Market Pressure
Apr-04 Oct-04 Apr-05 Oct-05 Apr-06 Oct-06 Apr-07 Oct-07 Apr-08 Oct-08 Apr-09 Oct-09 Apr-10 Oct-10 Apr-11 Oct-11 Apr-12 Oct-12 Apr-13 Oct-13 Apr-14 Oct-14 Apr-15
106
Sumber: LPS Gambar 24. Sub Indeks Interbank Pressure dan Market Pressure Sub indeks IP mengalami penurunan pada April 2015 sebesar 42 bps bila dibandingkan pada bulan Maret 2015, dari 100,32 pada Maret 2015 menjadi 99,90 pada April 2015. Penurunan sub indeks IP disebabkan oleh penurunan pada penempatan antarbank riil dari Rp 134,4 triliun pada Januari 2015 menjadi Rp 126,5 triliun pada Februari 2015. Sementara itu, suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) overnight mengalami peningkatan dari 5,65% pada Februari 2015 menjadi 6,87% pada Maret 2015. Indikator pembentuk sub indeks MP mengalami penurunan sebesar 21 bps dari 100,88 pada Maret 2015 menjadi 100,67 pada April 2015. Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mengalami pelemahan sebesar 432 poin dengan data penutupan IHSG pada bulan Maret 2015 sebesar 5.518,68 menjadi 5.086,43 pada bulan April 2015. Pada sisi laju nilai tukar rupiah terhadap dolar mengalami perbaikan pada bulan April 2015 dari posisi Rp 13.084 menjadi Rp 12.937 atau menguat sebesar 1,14% dibandingkan bulan Maret 2015. Sedangkan JIBOR 3 bulan tidak mengalami perubahan pada Maret 2015 dan April 2015 yaitu sebesar 6,88%.
33
PENGARAH Fauzi Ichsan, Salusra Satria KOORDINATOR Moch. Doddy Ariefianto, Hendra Syamsir, Seno Agung Kuncoro ANALIS Ahmad Subhan Irani, Seto Wardono, Agus Afiantara, Dienda Siti Rufaedah, Citra Amanda DESAIN & LAYOUT Mutiara Aisyah
Laporan Perekonomian dan Perbankan ini dipublikasikan dalam rangka pelaksanaan fungsi Lembaga Penjamin Simpanan untuk turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan. Tujuan penerbitan laporan ini adalah untuk meningkatkan wawasan dan kewaspadaan publik terhadap berbagai potensi risiko perekonomian dan sistem keuangan ke depan. Laporan Perekonomian dan Perbankan ini memuat hasil monitoring dan analisis Lembaga Penjamin Simpanan mengenai perkembangan ekonomi makro, pasar keuangan, perbankan, industri, dan indeks stabilitas perbankan
Pendapat / Saran / Komentar dapat ditujukan kepada : Group Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Direktorat Penjaminan dan Manajemen Risiko Equity Tower lantai 39 Sudirman Central Business District (SCBD) Lot 9 Jalan Jend. Sudirman Kav. 52-53 Jakarta 12190 Telp : +62 21 515 1000 ext 340 Email :
[email protected] Website : www.lps.go.id
34
Lampiran
Proyeksi Besaran Ekonomi Makro dan Perbankan Terpilih Variables
2011
2012
2013
2014
2015F
2016F
7.427
8.616
9.525
10.543
11.812
13.147
Nominal GDP (USD bn)
847
918
914
888
916
1.011
Real GDP (% YoY)
6,2
6,0
5,6
5,0
5,3
5,6
Inflation (eop, % YoY)
3,8
4,3
8,1
8,4
4,2
4,7
Inflation (avg, % YoY)
5,4
4,0
6,4
6,4
6,3
5,3
IDR/USD (eop)
9.068
9.793
12.189
12.440
12.950
13.050
IDR/USD (avg)
8.779
9.396
10.452
11.879
12.900
13.000
BI Rate (eop)
6,00
5,75
7,50
7,75
7,50
7,50
Fiscal Balance (% GDP)
(1,1)
(1,8)
(2,2)
(2,2)
(1,8)
(1,8)
Merchandise Exports (% YoY)
27,4
(2,0)
(2,6)
(1,5)
(0,9)
4,1
Merchandise Exports (USD bn)
191,1
187,3
182,1
175,3
173,7
180,9
Merchandise Imports (% YoY)
32,2
13,6
(1,4)
(3,4)
(2,0)
3,5
Merchandise Imports (USD bn)
Key Makro Variables Nominal GDP (IDR tn)
External Sustainability
166,6
178,7
176,3
168,4
165,1
170,9
Current Account Balance (USD bn)
1,7
(24,4)
(29,1)
(26,2)
(30,4)
(32,4)
Current Account Balance (% GDP)
0,2
(2,7)
(3,2)
(3,0)
(3,3)
(3,2)
110,5
112,8
99,4
114,3
121,8
135,2
25,2
27,4
29,1
32,9
36,7
38,6
Household Consumption
5,1
5,5
5,4
5,1
5,3
5,3
Government Expenditure
5,5
4,5
6,9
2,0
5,2
5,6
Gross Fixed Capital Formation
8,9
9,1
5,3
4,1
5,0
5,7
Exports of Goods & Services
14,8
1,6
4,2
1,0
1,1
2,6
Imports of Goods & Services
15,0
8,0
1,9
2,2
1,6
4,1
Primary Sector
4,1
3,9
3,2
2,7
2,6
2,8
Secondary Sector
6,3
5,6
4,5
4,6
5,1
5,3
Tertiary Sector
8,5
6,8
6,4
6,2
6,5
6,9
1Y
5,5
4,6
5,7
6,9
6,2
6,6
3Y
6,4
5,1
5,9
7,6
6,8
7,4
5Y
6,9
5,4
6,0
7,9
7,1
7,8
10Y
7,5
6,0
6,5
8,2
7,7
8,4
20Y
8,7
6,8
7,3
8,7
8,3
9,2
Loan
24,6
23,1
21,6
11,6
14,2
16,6
Deposit
19,1
15,7
13,6
12,3
12,2
13,8
Forex Reserves (USD bn) External Debt (% GDP) Real GDP by Expenditure (% YoY)
Real GDP by Sector (% YoY)
IDR Govt Bond Yields (avg, %)
Banking (% YoY)
Sumber: LPS
36
Jadwal Rilis Data dan Peristiwa Penting 1 Mei - 29 Mei 2015 Negara
Tanggal
Indikator/Peristiwa
Amerika Serikat
5-Juni-15
Tingkat Pengangguran Mei 2015
18-Juni-15
Inflasi Mei 2015
24-Juni-15
PDB 1Q15
3-Juni-15
Suku Bunga Acuan
5-Juni-15
PDB 1Q15
8-Juni-15
Transaksi Berjalan April 2015
8-Juni-15
PDB 1Q15
17-Juni-15
Neraca Perdagangan Mei 2015
2-Juni-15
Neraca Perdagangan Mei 2015
11-Juni-15
Rapat Kebijakan Moneter
24-Juni-15
Transaksi Berjalan Mei 2015
4-Juni-15
Inflasi Mei 2015
11-Juni-15
Neraca Perdagangan April 2015
18-Juni-15
Tingkat Pengangguran Mei 2015
2-Juni-15
Suku Bunga Acuan
10-Juni-15
Neraca Perdagangan Mei 2015
12-Juni-15
Inflasi Mei 2015
1-Juni-15
Manufaktur PMI Mei 2015
8-Juni-15
Neraca Perdagangan Mei 2015
9-Juni-15
Inflasi Mei 2015
17-Juni-15
Inflasi Mei 2015
18-Juni-15
Transaksi Berjalan 1Q15
1-Juni-15
Inflasi Mei 2015
15-Juni-15
Neraca Perdagangan Mei 2015
18-Juni-15
Suku Bunga Acuan
Zona Euro Jepang
Brazil
Rusia
India
China
Afrika Selatan Indonesia
Sumber: LPS (Mei 2015)
37
www.lps.go.id