Perekonomian dan Perbankan April 2015 Equity Tower Lt 20, 21 & 39 Sudirman Central Business District (SCBD) Jl. Jend Sudirman Kav 52-53 Jakarta 12190
Ringkasan Laporan
Bank Sentral AS: Federal Reserve mengubah gaya penyampaian (wording) dari pernyataan kebijakan moneternya di bulan Maret, menegaskan bahwa kenaikan suku bunga akan dimulai pada tahun ini. Dampak keluarnya Yunani dari Zona Euro (Grexit), jika sungguh terjadi, diperkirakan akan relatif terkendali dibandingkan jika peristiwa itu terjadi beberapa tahun lalu. IMF, Bank Dunia, dan ADB memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih baik pada tahun 2015 dan 2016 yang berkisar antara 5,3%-5,8% dibandingkan tahun 2014 yang sebesar 5,0%. Surplus neraca perdagangan mencapai US$ 1,13 miliar pada Maret 2015, yang tertinggi sejak Januari 2014. Ekspor naik melebihi pertumbuhan impor. Inflasi headline (y/y) naik menjadi 6,38% di bulan Maret 2015 dari 6,29% pada bulan sebelumnya terutama akibat peningkatan harga bensin. Inflasi inti mencapai 5,04% y/y, tertinggi sejak September 2011. Pasar keuangan global mengalami fluktuasi disebabkan beberapa sentimen utama, yakni renormalisasi kebijakan The Fed dan Grexit. Indonesia memperoleh persepsi yang lebih pasti di antara emerging market utama, disebabkan oleh terobosan di bidang kebijakan fiskal. Rasio permodalan masih dalam rentang aman, dengan potensi kenaikan kredit bermasalah (NPL) yang masih membayangi di awal tahun 2015. Potensi kredit bermasalah terutama berasal dari turunan sektor pertambangan dan komoditas yang harganya masih melemah. Peningkatan kredit bermasalah dari segi sektor ekonomi terjadi pada semua sektor utama yang dipantau: sektor konstruksi, perdagangan, dan transportasi. Sistem kelistrikan Indonesia berada dalam status krisis. Dari 22 sistem kelistrikan nasional hanya enam yang berada dalam status normal, sementara sisanya 11 berstatus siaga dan lima berstatus defisit. Pemberian mandat bagi PLN untuk melakukan pembangunan pembangkit, pemilihan, penunjukan, dan penentuan harga beli listrik diharapkan dapat mempercepat proses pembangunan pembangkit, meski di sisi lain merupakan “eksperimen” berani karena berpotensi menyebabkan konsentrasi risiko di PLN sebagai perseroan. Risiko industri perbankan Indonesia mengalami sedikit penurunan. Indeks Stabilitas Perbankan (Banking Stability Index, BSI) LPS pada bulan Maret 2015 menurun sebesar 6 bps dari bulan sebelumnya, atau dari 100,27 menjadi 100,21 (kategori: “Normal”).
1
Ekonomi Makro
Update Outlook IMF dan Risiko Grexit Seto Wardono IMF mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2015 di 3,5%. The Fed mengubah wording dari pernyataan kebijakan moneternya, menegaskan bahwa kenaikan suku bunga akan dimulai pada tahun ini. Dampak keluarnya Yunani dari Zona Euro (Grexit), jika sungguh terjadi, diperkirakan akan relatif terkendali dibandingkan jika peristiwa itu terjadi beberapa tahun lalu. Proyeksi terbaru Dana Moneter Internasional (IMF) April 2015 menunjukkan pertumbuhan ekonomi global sebesar 3,5% pada 2015, sama dengan proyeksi yang dibuat pada Januari lalu, namun lebih baik dari realisasi pertumbuhan tahun 2014 yang sebesar 3,4%. Proyeksi pertumbuhan tahun 2016 sedikit dinaikkan dari 3,7% menjadi 3,8%. Secara umum, prospek pertumbuhan ekonomi kelompok negara maju dan negara berkembang tidak berubah. Ekonomi negara maju akan tumbuh lebih cepat pada tahun 2015, didukung oleh penurunan harga minyak. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi negara berkembang diproyeksikan turun, mencerminkan penurunan kinerja negara-negara eksportir minyak, perlambatan ekonomi Tiongkok, serta berlanjutnya pelemahan prospek ekonomi di Amerika Latin.
Negara
2010
2011
2012
2013
2014
Negara Maju
3,1
1,7
1,2
1,4
Amerika Serikat
2,5
1,6
2,3
Zona Euro
2,0
1,6
-0,8
Jepang
4,7
-0,5
1,8
Negara Berkembang
7,4
6,2
Afrika Selatan
3,0
Brazil
Proyeksi 2015
2016
1,8
2,4
2,4
2,2
2,4
3,1
3,1
-0,5
0,9
1,5
1,7
1,6
-0,1
1,0
1,2
5,2
5,0
4,6
4,3
4,7
3,2
2,2
2,2
1,5
2,0
2,1
7,6
3,9
1,8
2,7
0,1
-1,0
1,0
Filipina
7,6
3,7
6,8
7,2
6,1
6,7
6,3
India
10,3
6,6
5,1
6,9
7,2
7,5
7,5
Indonesia
6,4
6,2
6,0
5,6
5,0
5,2
5,5
Malaysia
7,4
5,2
5,6
4,7
6,0
4,8
4,9
Rusia
4,5
4,3
3,4
1,3
0,6
-3,8
-1,1
Thailand
7,8
0,1
6,5
2,9
0,7
3,7
4,0
Tiongkok
10,4
9,3
7,8
7,8
7,4
6,8
6,3
Turki
9,2
8,8
2,1
4,1
2,9
3,1
3,6
Dunia
5,4
4,2
3,4
3,4
3,4
3,5
3,8
Sumber: IMF Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Beberapa Negara (% y/y) IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) pada 2015 dan 2016 sebesar 0,5 dan 0,2 poin persentase (ppts), masing-masing menjadi 3,1%. Meski demikian, kinerja
3
ekonomi Zona Euro dan Jepang bakal lebih baik dari perkiraan sebelumnya. Proyeksi pertumbuhan dua perekonomian itu pada tahun 2015 dinaikkan 0,3 dan 0,4 ppts masing-masing menjadi 1,5% dan 1%. Pada saat yang sama, IMF juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi beberapa negara berkembang utama seperti Afrika Selatan, Brazil, dan Rusia, tapi proyeksi pertumbuhan ekonomi India direvisi ke atas. IMF juga memperbaharui proyeksi inflasi dan harga komoditas. Inflasi pada tahun ini dan tahun depan diperkirakan akan lebih lebih rendah dari perkiraan sebelumnya, baik di kelompok negara maju maupun kelompok negara berkembang. Rata-rata inflasi di negara maju bakal mencapai 0,4% pada 2015 dan 1,4% pada 2016, masing-masing turun 0,6 dan 0,1 ppts dari perkiraan sebelumnya. Proyeksi inflasi negara berkembang pada tahun ini dan tahun depan dipangkas 0,3 dan 0,6 ppts masing-masing menjadi 5,4% dan 4,8%. IMF memprediksi penurunan harga minyak sebesar rata-rata 39,6% di tahun ini, sebelum meningkat 12,9% pada tahun depan. Sedangkan, harga komoditas di luar bahan bakar diperkirakan turun rata-rata 14,1% dan 1% pada 2015 dan 2016. Proyeksi harga komoditas secara lebih detil masih menunjukkan prospek ke depan yang suram, terutama untuk beberapa komoditas ekspor utama Indonesia. Harga batu bara dan minyak sawit, misalnya, diprediksi turun 19,8% dan 15,9% pada tahun 2015. Harga timah dan nikel diperkirakan terpangkas 16,6% dan 15,3%, tapi harga karet akan meningkat 6,4%. Inflasi Global 10 % y/y
Harga Beberapa Komoditas pada 2015
Dunia Negara Maju Negara Berkembang
8
Batu Bara Gandum
6
Gas Alam
4
Kedelai
Karet Minyak Mentah
2
Minyak Sawit
Nikel
0
Tembaga
1Q16F
1Q15
1Q14
1Q13
1Q12
1Q11
1Q10
1Q09
1Q08
1Q07
1Q06
1Q05
-2
Realisasi Kuartal I Proyeksi Setahun
Timah
-60
% y/y
-50
-40
-30
-20
-10
0
10
Sumber: IMF Gambar 1. Inflasi Global dan Harga Beberapa Komoditas Meski diperkirakan akan mengalami perbaikan pada tahun 2015 dan 2016, pertumbuhan ekonomi global masih menghadapi downside risk. Lemahnya harga minyak menjadi faktor positif bagi negara-negara importir komoditas ini, namun pemulihan harga yang dapat terjadi lebih cepat dari ekspektasi menjadi downside risk yang patut diwaspadai. Dalam jangka pendek, downside risk lain mencakup gejolak di pasar keuangan, berlanjutnya penguatan dolar AS, inflasi rendah yang berkepanjangan atau deflasi, faktor geopolitik, dan pelemahan ekonomi Tiongkok. Mengenai apresiasi dolar AS, IMF memandang bahwa hal ini masih dapat berlanjut. Jika ini terjadi, kondisi neraca dan pembiayaan eksternal negara-negara debitur dolar akan mengalami tekanan yang lebih merugikan daripada keuntungan yang didapat melalui perbaikan neraca perdagangan. Dalam jangka menengah, IMF menyebut pertumbuhan output potensial yang rendah dan stagnasi di negara maju,
4
penurunan pertumbuhan output potensial di negara berkembang, serta potensi hard landing di Tiongkok sebagai risiko utama. Federal Reserve AS pada Maret lalu mempertahankan bunga acuan di kisaran 0%–0,25%. Besaran suku bunga ini dinilai masih mencukupi untuk mendukung tercapainya penciptaan lapangan kerja yang maksimum serta stabilitas harga. Dalam menentukan arah suku bunga ke depan, bank sentral AS itu menyatakan akan meninjau pencapaian tujuan kebijakan moneter AS, yaitu penciptaan lapangan kerja yang maksimum dan inflasi yang sebesar 2%. Tinjauan ini akan mencakup berbagai informasi, di antaranya kondisi pasar tenaga kerja, indikator tekanan inflasi dan ekspektasinya, serta perkembangan di sektor keuangan dan potensi pengaruh dari luar negeri. Kenaikan suku bunga belum akan terjadi pada April ini, tapi bisa terjadi saat the Fed melihat perkembangan lebih lanjut pada pasar tenaga kerja dan meyakini bahwa inflasi akan kembali ke level 2% dalam jangka menengah. Meski mempertahankan kebijakan moneternya, terjadi perubahan style penyampaian (wording) pada pernyataan kebijakan the Fed yang dapat berimplikasi pada rencana kebijakan ke depan. The Fed kini tidak lagi mengatakan akan sabar dalam memulai normalisasi stance kebijakan moneternya. Menurut Kepala the Fed Janet Yellen, perubahan wording ini tidak mengindikasikan bahwa bank sentral AS itu telah menentukan waktu untuk memulai kenaikan suku bunga. Meski peningkatan suku bunga diduga belum akan terjadi pada April ini, Yellen tidak mengesampingkan kemungkinan kenaikan suku bunga pada rapat penentuan kebijakan berikutnya di bulan Juni. Dalam kesempatan terpisah, dia juga menyatakan bahwa kenaikan suku bunga akan mulai terjadi tahun ini dan kenaikan tersebut akan terjadi secara gradual. Proyeksi Titik Tengah Fed Rate oleh Anggota FOMC pada Maret 2015 4,5
%
Perkembangan Proyeksi Titik Tengah Fed Rate oleh Anggota FOMC 4 Median, % 3,7500
4,0 3,5 3,0
2,5000
2,5
2
2,0
1,3750
1,5
1
1,0
1,8750 Proyeksi September 2014
1,1250
Proyeksi Desember 2014
0,6250
0,5 0,0 2015
3,6875 3,1250
2,8750
3
Proyeksi Maret 2015
0 2015
2016
2016
2017
2017
2018 2018 2019 Jangka Panjang
2015
2016
2017
Sumber: Fed Gambar 2. Proyeksi Fed Rate oleh Anggota FOMC Di tengah meningkatnya kepastian mengenai timing kenaikan suku bunga di AS, the Fed malah bersikap lebih lunak perihal besaran kenaikan suku bunga ke depan. Ini terlihat dari revisi proyeksi Fed rate yang dibuat para pembuat kebijakan yang tergabung dalam Federal Open Market Committee (FOMC). Median dari proyeksi titik tengah (midpoint) kisaran Fed rate akhir 2015 yang dibuat pada Maret lalu berada di angka 0,625%, lebih rendah dari proyeksi bulan September dan Desember 2014 yang masing-masing berada di posisi 1,375% dan 1,125%. Proyeksi titik tengah
5
kisaran Fed rate akhir 2016 juga dipangkas dari 2,875% ke 2,5% dan lalu menjadi 1,875%. Dengan demikian, jika the Fed masih mempertahankan selisih batas atas dengan batas bawah bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) seperti sekarang, Fed rate akan menjadi 0,5%–0,75% pada akhir 2015 dan 1,75%–2% pada akhir 2016. Rencana kenaikan Fed rate secara gradual dapat diterjemahkan sebagai kenaikan sebesar 25 bps setiap kenaikan. Bank sentral AS itu akan menaikkan bunga acuan pada dua kesempatan di tahun 2015, yakni bulan Oktober dan Desember sesuai dengan jadwal rapat FOMC yang telah diumumkan. Selain merevisi proyeksi suku bunganya, para anggota FOMC juga memperbaharui proyeksi berbagai indikator makro AS. Mereka menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS pada 2015 dari 2,6%–3% menjadi 2,3%–2,7%. Pada 2016, ekonomi AS diperkirakan tumbuh 2,3%–2,7%, lebih rendah dari proyeksi Desember lalu yang berada di kisaran 2,5%–3%. Meski prospek pertumbuhan ekonomi memburuk, pasar tenaga kerja dinilai akan berkinerja lebih baik dibandingkan perkiraan sebelumnya. Proyeksi tingkat pengangguran AS diturunkan menjadi 5%– 5,2% pada 2015 dan 4,9%–5,1% pada 2016 dari perkiraan sebelumnya di kisaran 5,2%–5,3% dan 5%–5,2%. Di sisi lain, inflasi yang lebih rendah dari target 2% masih menjadi tantangan dalam penentuan kebijakan moneter. Para anggota FOMC memangkas proyeksi inflasi tahun ini dari 1%–1,6% ke 0,6%–0,8%, sedangkan proyeksi inflasi 2016 direvisi dari 1,7%–2% menjadi 1,7%– 1,9%. Tingkat Pengangguran dan Pekerja Non-Pertanian AS 12 % ∆ m/m, ribu
600
10
300
8
0
6
-300
4
-600
Inflasi IHK AS 6 % 4 2 0
Umum
-2
Di Luar Pangan dan Energi
Tingkat Pengangguran
Jul-14
Jan-15
Jul-13
Jan-14
Jul-12
Jul-10
Jan-11
Jul-09
Jan-10
Jul-08
Jan-09
Jul-07
Jan-08
Jul-06
-4
Jan-07
Jan-06 Jul-06 Jan-07 Jul-07 Jan-08 Jul-08 Jan-09 Jul-09 Jan-10 Jul-10 Jan-11 Jul-11 Jan-12 Jul-12 Jan-13 Jul-13 Jan-14 Jul-14 Jan-15
-1,200
Jan-06
0
Jan-13
-900
Jul-11
Pekerja Non-Pertanian (Kanan)
Jan-12
2
Sumber: CEIC, LPS Gambar 3. Indikator Ketenagakerjaan dan Inflasi AS Data terbaru mengkonfirmasi pertumbuhan ekonomi AS sebesar 2,2% q/q (disetahunkan) pada kuartal IV 2014, ditunjang oleh kenaikan belanja konsumen yang tertinggi selama delapan tahun. Dengan demikian, produk domestik bruto (PDB) tumbuh 2,4% selama 2014, yang tertinggi sejak 2010. Sementara, tingkat pengangguran berada di 5,5% pada Maret 2015, sama dengan posisi bulan sebelumnya atau yang paling rendah sejak Juni 2008. Meski demikian, tambahan jumlah pekerja di sektor non-pertanian AS sebesar 126.000 pada bulan lalu adalah yang terendah selama 15 bulan. Sementara, indeks harga konsumen (IHK) tak berubah secara y/y pada Februari lalu, namun inflasi inti (inflasi di luar komoditas pangan dan energi) mencapai 1,7%.
6
Perkembangan krisis utang di Yunani saat ini tengah mencapai masa-masa kritis. Pemerintah baru Yunani, yang mendapat mandat melalui pemilihan umum pada Januari 2015, bermaksud memperlunak reformasi fiskal yang harus dijalankan sebagai syarat pemberian dana talangan. Untuk itu, negosiasi telah diadakan dengan pihak kreditur yang terdiri dari Komisi Eropa, Bank Sentral Eropa (ECB), dan IMF, tapi hingga kini belum membuahkan hasil. Kebuntuan negosiasi menimbulkan kekhawatiran bahwa Yunani akan mengalami gagal bayar (default) karena menolak mematuhi syarat-syarat pemberian pinjaman. Jika ini terjadi, akses Yunani ke sumber pendanaan eksternal akan terputus sehingga negara ini tidak akan mampu memenuhi kewajiban kewajiban keuangannya. Salah satu solusinya, yang berpotensi menimbulkan instabilitas di pasar keuangan global, adalah Yunani mencetak uangnya sendiri untuk melunasi segala kewajibannya. Dengan kata lain, negara ini keluar dari Zona Euro dan membuat mata uang baru (Grexit). Kemungkinan terjadinya Grexit sebenarnya masih relatif kecil karena berdasarkan survei sebagian besar masyarakat Yunani masih menginginkan negaranya bergabung dengan Zona Euro. Akan tetapi, sebagian pelaku pasar keuangan menilai probabilita Grexit telah meningkat dalam beberapa pekan belakangan karena kebuntuan negosiasi syarat pinjaman antara Yunani dengan kelompok kreditur multinasionalnya yang dikenal dengan sebutan Troika. Riset Morgan Stanley pada Maret lalu, misalnya, menyebut bahwa kemungkinan Grexit adalah sebesar 25%. Menurut bank investasi asal AS itu, Grexit dapat terjadi jika kegagalan negosiasi Yunani dengan Troika diikuti dengan penghapusan akses dana dari ECB ke perbankan Yunani. Selain itu, kondisi yang dapat memicu Grexit adalah munculnya persepsi dari anggota Uni Eropa bahwa peristiwa itu memiliki risiko rambatan (contagion risk) yang rendah dan dinilai akan menimbulkan preseden politik yang kecil. Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa negara-negara Eropa lain merasa tidak berkeberatan jika Yunani keluar dari Zona Euro. Bila skenario Grexit terealisasi, Yunani bakal merilis mata uang baru untuk menggantikan euro. Mata uang baru ini diyakini akan langsung mengalami depresiasi yang tajam dan Yunani bakal kesulitan untuk melunasi utang luar negerinya. Akan tetapi, utang domestiknya bisa segera dilunasi dengan mata uang baru yang dapat dicetak sendiri oleh otoritas Yunani. Masih ada ketidakpastian yang tinggi perihal dampak Grexit ke pasar keuangan global. Meski demikian, jika Grexit terjadi saat ini, pengaruhnya ke negara-negara Eropa diperkirakan akan lebih terkendali dibandingkan jika Grexit terjadi pada beberapa tahun lalu. Eksposur bankbank Eropa ke Yunani telah turun signifikan dalam beberapa tahun terakhir sehingga Yunani menjadi kurang sistemik saat ini. Selain itu, jaring pengaman sistem keuangan di Eropa kini juga lebih siap dalam menghadapi guncangan. Misalnya saja, Zona Euro kini memiliki the European Stability Mechanism (ESM), yaitu institusi yang memberikan bantuan keuangan kepada negara dan lembaga keuangan di saat krisis. ESM bahkan juga memiliki wewenang untuk melakukan pembelian surat utang di pasar primer dan sekunder untuk menstabilkan pasar keuangan. Selain itu, kebijakan quantitative easing yang dijalankan ECB akan dapat memitigasi dampak negatif Grexit ke pasar keuangan Eropa dan global.
7
Update Prospek Ekonomi Domestik, Kinerja Perdagangan, dan Arah Kebijakan Moneter Seto Wardono IMF, Bank Dunia, dan ADB memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih baik pada tahun 2015 dan 2016 dibandingkan pada 2014. Surplus neraca perdagangan mencapai US$ 1,13 miliar pada Maret 2015, yang tertinggi sejak Januari 2014. Ekspor naik melebihi pertumbuhan impor. Inflasi y/y naik menjadi 6,38% pada Maret 2015 dari 6,29% pada bulan sebelumnya terutama akibat peningkatan harga bensin. Inflasi inti mencapai 5,04% y/y, tertinggi sejak September 2011. IMF, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia (ADB) baru saja melakukan update terhadap prospek ekonomi Indonesia. Secara umum, tidak terdapat perbedaan pandangan yang signifikan dari tiga lembaga multilateral ini dalam memperkirakan arah perekonomian Indonesia ke depan. Ekonomi diproyeksikan akan tumbuh lebih baik pada 2015 dan 2016, terutama didorong oleh perbaikan konsumsi pemerintah dan investasi. IMF dan Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,2% pada 2015 dan 5,5% pada 2016, sementara ADB tampak lebih optimis dengan proyeksi pertumbuhan 5,5% pada 2015 dan 6% pada 2016. Perkiraan ADB itu dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa pemerintah bakal mampu mempertahankan momentum reformasinya yang cepat serta mengimplementasikan rencana kebijakannya untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, memperbaiki iklim investasi, memotong biaya logistik, dan memperbaiki eksekusi anggaran. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi 2015–2016
Proyeksi Neraca Perdagangan 2015–2016
Proyeksi Saldo Neraca Berjalan 2015–2016
8
14
0,0
% y/y
2015
2016
12 6
Miliar US$ 11,3
2015
11,7
2016
-0,8
6,0 5,2
5,5
5,2
5,5
5,5
10 8,3 8
6,6
4
6
7,3
-1,6
6,1
-2,4
-2,4
4
2
-3,2
-3,0
-2,8
2 0
IMF
Bank Dunia
ADB
0
IMF
Bank Dunia
ADB
-4,0
% PDB IMF
-3,0
-2,8
-3,2 2015
Bank Dunia
2016 ADB
Sumber: ADB, Bank Dunia, IMF Gambar 4. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi, Neraca Perdagangan, dan Neraca Berjalan Indonesia IMF dan ADB melihat adanya perbaikan pada neraca perdagangan di tahun ini dan tahun depan. Dua institusi ini memperkirakan surplus neraca perdagangan sejumlah US$ 11,3 miliar dan US$ 7,3 miliar pada 2015, melebihi surplus US$ 6,9 miliar pada tahun lalu. Perbaikan neraca perdagangan ini dinilai akan berlanjut pada tahun 2016. IMF secara khusus menyoroti peningkatan ekspor manufaktur sebagai penopang kinerja ekspor ke depan, selain perbaikan momentum pertumbuhan di AS serta dampak depresiasi rupiah yang bersifat lagging. Dengan perkembangan ini,
8
IMF dan ADB memproyeksikan defisit neraca berjalan sebesar 3% dan 2,8% PDB pada 2015, sebelum membaik menjadi 2,8% dan 2,4% PDB pada 2016. Sebaliknya, Bank Dunia melihat prospek neraca perdagangan dan neraca berjalan yang lebih suram pada tahun ini dan tahun depan. Menurut Bank Dunia, surplus neraca perdagangan akan menurun dari US$ 6,9 miliar pada 2014 menjadi US$ 6,6 miliar pada 2015 dan US$ 6,1 miliar pada 2016, sedangkan defisit neraca berjalan akan melebar dari 2,9% PDB pada tahun lalu menjadi 3% pada tahun ini dan 3,2% pada tahun depan. Bank Dunia mengkhawatirkan dampak percepatan belanja investasi pada 2016 yang diduga bakal memacu impor dan meningkatkan defisit neraca berjalan. IMF dan Bank Dunia memperkirakan pelemahan tekanan inflasi di tahun ini akibat penurunan harga minyak serta efek high base. Menurut perkiraan IMF, inflasi pada akhir 2015 akan mencapai 4,5%, lebih rendah dari 8,4% pada akhir 2014. Bank Dunia juga melihat penurunan inflasi akhir tahun menjadi di bawah 5% pada tahun ini. Menurut Bank Dunia, prospek inflasi ke depan akan sangat dipengaruhi oleh perubahan harga bahan bakar minyak (BBM) yang selanjutnya tergantung pada perkembangan harga minyak internasional dan nilai tukar rupiah. Di sisi lain, tekanan inflasi dari sisi permintaan dibatasi oleh pertumbuhan ekonomi yang moderat. Terlepas dari berbagai perkembangan positif yang diperkirakan bakal terjadi pada 2015 dan 2016, ekonomi Indonesia masih menghadapi sejumlah risiko. IMF menyoroti kondisi eksternal sebagai sumber downside risk yang utama. Downside risk tersebut di antaranya perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara-negara partner dagang Indonesia, peningkatan volatilitas di pasar finansial global, dan berlanjutnya penguatan dolar AS. Bank Dunia mengkhawatirkan lemahnya prospek produksi minyak dan gas dalam jangka menengah. Ini adalah implikasi dari rendahnya belanja eksplorasi selama periode booming komoditas pada dekade 2000-an serta kondisi sebagian besar lapangan minyak di Indonesia yang telah mature. Risiko ini dipandang penting karena pengaruhnya yang tidak kecil pada keseimbangan eksternal dan posisi fiskal Indonesia. Sementara, shortfall penerimaan pemerintah dan melambatnya momentum reformasi dinilai ADB sebagai risiko utama bagi prospek ekonomi Indonesia. Penerimaan pemerintah yang di bawah target pada semester I 2015 dapat mendorong pemerintah untuk memperlebar target defisit anggarannya dan memangkas target investasinya di infrastruktur. Melambatnya reformasi dinilai akan menghambat pemulihan investasi swasta.
9
75
12M Sum, % y/y
50
Milliar US$ Neraca Perdagangan (Kanan)
4,5
Ekspor
3,0
Neraca Perdagangan Migas 0,4
Impor
25
1,5
0
0,0
Miliar US$
0,0
-0,4 -0,8
-1,2 -1,6
Mar-15
Jan-15
Nov-14
Jul-14
Sep-14
May-14
Jan-14
Mar-14
Sep-13
Nov-13
Jul-13
May-13
Jan-13
-2,0
Mar-13
Jul-14
Jan-14
Jul-13
Jan-13
Jul-12
Jul-11
Jan-12
-3,0
Jan-11
-50
Jul-10
-1,5
Jan-10
-25
Sumber: BPS, CEIC Gambar 5. Ekspor, Impor, dan Neraca Perdagangan Surplus neraca perdagangan Indonesia kembali muncul pada Maret 2015 akibat pertumbuhan ekspor yang melebihi pertumbuhan impor. Surplus pada bulan itu mencapai US$ 1,13 miliar, melebihi surplus bulan Februari yang sebesar US$ 662,7 juta dan menjadi yang tertinggi sejak Januari 2014. Dengan demikian, pada kuartal I 2015, terjadi surplus perdagangan sebanyak US$ 2,43 miliar, jauh melampaui surplus US$ 1,06 miliar pada periode yang sama di tahun sebelumnya. Pada Maret lalu, nilai ekspor melonjak 12,63% m/m (-9,75% y/y), sedangkan impor naik 9,29% (-13,39% y/y). Kenaikan terjadi pada ekspor beberapa kelompok komoditas utama, seperti bahan bakar mineral dan alat elektronik, namun ekspor beberapa komoditas tambang seperti timah, besi, dan nikel malah mengalami penurunan. Di sisi lain, impor barang konsumsi dan barang modal naik cukup tinggi pada bulan itu. Sementara itu, secara volume, terjadi lonjakan 18,74% m/m pada ekspor, jauh di atas pertumbuhan volume impor yang sebesar 5,46%. Rata-rata harga barang ekspor turun 5,14%, namun harga barang impor naik 3,63% m/m pada Maret lalu. Inflasi m/m Maret 2015 Bahan Makanan
Inflasi y/y Maret 2015 Bahan Makanan
-0,73
Makanan Jadi Perumahan
5,04
Harga Administratif
0,83
11,49
Makanan Bergejolak
-0,83
Umum
0,17 -0,8
6,16
Inti
0,29
Harga Administratif
4,34
Transpor
0,77
Inti
6,00
Pendidikan
0,10
Transpor
3,17
Kesehatan
0,64
Pendidikan
-1,2
7,55
Sandang
-0,08
Kesehatan
Makanan Bergejolak
8,25
Perumahan
0,29
Sandang
5,96
Makanan Jadi
0,61
-0,4
0,0
0,4
% 0,8
1,2
5,87
Umum
6,38 0
2
4
6
% 8
10
12
14
Sumber: BPS Gambar 6. Inflasi IHK Maret 2015 Tingkat harga yang dihadapi konsumen secara umum mengalami peningkatan pada Maret 2015, terutama didorong oleh kenaikan harga bensin. Pada bulan itu, terjadi inflasi 0,17% m/m,
10
sehingga membuat inflasi y/y naik menjadi 6,38% dari 6,29% pada bulan Februari. Sementara, inflasi inti y/y terakselerasi menjadi 5,04% (+0,29% m/m) dari 4,96% (+0,34% m/m) pada Februari 2015. Inflasi inti bulan lalu itu adalah juga yang tertinggi sejak September 2011. Dekomposisi inflasi menurut kelompok komoditas menunjukkan tekanan inflasi yang kuat di kelompok transportasi seiring dengan kebijakan pemerintah yang menaikkan harga bensin jenis Premium sebesar Rp 200 per liter. Inflasi m/m di kelompok ini tercatat sebesar 0,77%, tertinggi dibanding yang lain. Akan tetapi, tekanan inflasi dari sektor transportasi itu dikurangi oleh adanya deflasi di kelompok bahan makanan dan sandang. Indeks harga konsumen (IHK) di segmen bahan makanan turun 0,73% m/m, mengikuti pola musimannya. Sedangkan, IHK kelompok sandang terkikis 0,08% m/m selaras dengan penurunan harga emas perhiasan. Sepanjang tahun ini, rata-rata inflasi y/y kami perkirakan mencapai 6,3%. Pada akhir 2015, inflasi y/y diproyeksikan sebesar 4,2%. 18
Headline y/y
Inti y/y
3
-0,8
0 Jan-12
0,0
Jan-11
Jan-15
Sep-14
Jan-14
May-14
Sep-13
May-13
Jan-13
Sep-12
Jan-12
May-12
0
6
Jan-10
2
0,8
Jan-09
4
9
Jan-08
1,6
Sep-11
BI Rate 12
Jan-07
2,4 6
May-11
Bunga Lending Facility
15 3,2
8
Jan-11
Bunga Deposit Facility
Jan-15
Inti m/m (Kanan)
%
4,0
Jan-14
Headline m/m (Kanan)
%
Jan-06
%
Jan-13
Inflasi IHK Headline dan Inti 10
Sumber: BI, BPS Gambar 7. Inflasi dan Suku Bunga Kebijakan Bank Indonesia (BI) pada 14 April 2015 mempertahankan BI rate di posisi 7,5%. Bunga depocit facility dan lending facility juga ditetapkan kembali masing-masing di level 5,5% dan 8%. Kebijakan ini sejalan dengan upaya untuk mencapai target inflasi 4%±1% pada 2015 dan 2016 serta mengarahkan defisit neraca berjalan ke kisaran 2,5%–3% dari produk domestik bruto dalam jangka menengah. BI melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang moderat pada kuartal I 2015, sebelum mengalami perbaikan pada kuartal II. Sepanjang tahun ini, terdapat risiko bahwa pertumbuhan ekonomi akan menuju ke batas bawah kisaran proyeksi 5,4%–5,8%. Menurut BI, pencapaian angka tersebut akan dipengaruhi oleh realisasi berbagai proyek infrastruktur yang direncanakan pemerintah serta konsumsi yang masih kuat dan perbaikan ekspor. BI melihat adanya defisit neraca berjalan di kuartal I 2015 yang jauh di bawah angka kuartal sebelumnya, disokong oleh surplus neraca perdagangan. Terkait inflasi, realisasinya pada Maret lalu dipandang mendukung pencapaian target inflasi 4%±1% tahun ini. BI juga memperkirakan pertumbuhan dana pihak ketiga perbankan sebesar 14%–16% dan pertumbuhan kredit sebesar
11
15%–17% pada 2015. Untuk itu, BI menyatakan akan segera mengumumkan kebijakan makroprudensial yang lebih akomodatif. Meski bunga acuan dipertahankan, pernyataan kebijakan moneter BI pada April ini menurut kami menunjukkan stance kebijakan yang agak lunak. Ini antara lain tercermin dari niat BI untuk mengeluarkan kebijakan makroprudensial yang lebih akomodatif atau lebih longgar guna mendorong laju kredit. Upaya untuk mendorong pertumbuhan kredit sebenarnya dapat ditempuh dengan kembali menurunkan BI rate, tapi ruang untuk memangkas bunga acuan ini sangat dibatasi oleh depresiasi rupiah serta ketidakpastian mengenai besaran pemulihan harga minyak yang akan berimbas bagi inflasi ke depan. Di sisi lain, perbaikan neraca perdagangan dan neraca berjalan serta kebutuhan untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi membatasi ruang BI untuk menaikkan suku bunga. Berbagai faktor di atas masih akan menjadi penentu arah suku bunga dalam beberapa bulan ke depan. Apabila prospek perekonomian secara umum tidak berubah dari posisi saat ini, kebijakan untuk mempertahankan BI rate menurut kami akan dapat dijustifikasi. BI rate diperkirakan akan bertahan di 7,5% sepanjang tahun ini.
12
Pasar Keuangan
Pasar Keuangan di Tengah Renormalisasi Kebijakan the Fed dan Grexit Dienda Siti Rufaedah Pasar keuangan global mengalami fluktuasi disebabkan beberapa sentimen utama, yakni renormalisasi kebijakan The Fed dan Grexit. Indonesia memperoleh persepsi yang lebih pasti di antara emerging market utama, disebabkan oleh terobosan di bidang kebijakan fiskal. Kinerja pasar keuangan global sepanjang bulan Maret 2015 masih berfluktuasi, diwarnai oleh beberapa sentimen utama yakni perubahan bahasa kebijakan the Fed serta potensi keluarnya Yunani dari Zona Euro (Grexit). Dalam testimoni terbarunya menyusul pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) tanggal 18 Maret 2015, the Fed memutuskan belum akan menaikkan suku bunga acuan (Fed rate) dalam waktu dekat, meskipun sinyal kemungkinan naiknya Fed rate masih terbuka lebar. Pada pertemuan tersebut, the Fed memperkenalkan perubahan bahasa komunikasi yang baru dengan merubah frasa “it can be patient” menjadi “reasonably confident”. Sejalan dengan hal tersebut, the Fed memangkas median perkiraan suku bunga acuan pada akhir tahun 2015 yaitu dari 1,125% pada pertemuan Desember 2014 menjadi 0,625% pada pertemuan Maret 2015. Penundaan kenaikan Fed rate tersebut dilakukan hingga ada penilaian lebih lanjut mengenai kondisi perekonomian AS. Pasalnya, untuk menentukan kisaran Fed rate, FOMC menilai beberapa indikator, yakni kondisi pasar tenaga kerja, tekanan, dan ekspektasi inflasi AS, serta perkembangan kondisi ekonomi global. Meskipun beberapa rilis data AS terbaru seperti tingkat pengangguran yang cenderung bergerak stagnan serta angka inflasi yang masih berada di bawah target the Fed, namun beberapa pembuat kebijakan the Fed optimis terhadap pemulihan ekonomi AS. Sejalan dengan sinyal positif dari the Fed tersebut, perbedaan kebijakan moneter antara bank sentral AS serta beberapa bank sentral mendorong nilai tukar dolar AS masih menguat terhadap major currencies (lihat Tabel 2). Seperti diketahui, The Fed bersiap untuk melakukan pengetatan moneter, sementara beberapa bank sentral seperti Bank Sentral Eropa (ECB) dan Bank Sentral Jepang (BoJ) masih bertahan dengan kebijakan quantitative easing (QE). Di sisi lain, isu mengenai Grexit kembali mengemuka serta turut berkontribusi terhadap tren bullish dolar AS. Pemimpin sayap kiri Yunani, Alexis Tsipras, yang terpilih menjadi perdana menteri pada Januari 2015 masih melakukan negosiasi dengan para kreditur dan akan menentukan keberadaan Yunani di Zona Euro. Jika Yunani memutuskan untuk keluar dari Zona Euro, maka hal ini hampir dipastikan akan memicu risiko fluktuasi pasar keuangan. Apalagi lembaga pemeringkat Standard & Poor’s baru-baru ini memangkas rating utang jangka panjang Yunani dari B- menjadi CCC+ dengan prospek negatif. Gubernur Bank Sentral Yunani menyatakan bahwa pemerintah Yunani hampir mencapai kesepakatan tentang dana bailout dengan para mitra Uni Eropa sehingga dana bailout ketiga tidak lagi diperlukan jika kesepakatan dapat segera tercapai. Seperti diketahui, Yunani menghadapi kesulitan mendapatkan pendanaan tahap akhir karena Uni Eropa dan IMF menolak untuk mengucurkan kucuran dana terakhir dari total bailout sebesar 240 miliar euro.
14
Sepanjang bulan Maret 2015, hampir seluruh mata uang utama yang kami pantau melemah terhadap dolar AS dengan pelemahan tertinggi dialami oleh euro. Sesuai ekspektasi, pasar merespons Grexit dan stimulus moneter ECB hingga September 2016 dan mendorong euro terdepresiasi sebesar 4,15% m/m ke level 1,07 per dolar AS. Selama periode QE ECB berlangsung dan kesepakatan mengenai Yunani belum ada, kami perkirakan euro masih akan terus melemah. Menurut konsensus Bloomberg, euro diperkirakan akan ditutup di level 1,05 per dolar AS (turun 13,21%) di akhir tahun 2015. Di antara negara berkembang yang kami pantau, mata uang real Brazil menunjukkan pelemahan yang paling tinggi dengan depresiasi sebesar 12,51% m/m ke level 3,20 per dolar AS. Di tengah maraknya demonstrasi yang menentang kebijakan ekonominya, Presiden Brazil Dilma Rousseff menyampaikan langkah-langkah pengetatan belanja seperti kenaikan pajak bahan bakar, impor, dan kosmetik guna mengendalikan belanja pemerintah dan menekan defisit anggaran yang sempat naik tiga kali lipat pada masa kepemimpinannya. Pada 5 Maret 2015, Bank Sentral Brazil (BCB) kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps ke level 12,75%, tertinggi dalam enam tahun terakhir. Sebelumnya, BCB telah menaikkan suku bunga pada akhir Januari 2015 dari 11,75% menjadi 12,25%.
Mata Uang Negara Maju EUR/USD USD/JPY GBP/USD Negara Berkembang USD/IDR USD/BRL USD/RUB USD/INR USD/CNY USD/ZAR USD/MYR USD/THB USD/TRY USD/PHP
FY2014 (% )
YTD (% )
1M (% )
1W (% )
(11.97) (13.74) (5.92)
(11.30) (0.29) (4.87)
(4.15) (0.42) (4.02)
(1.77) (0.31) (0.22)
1.07 120.13 1.48
1.05 125.00 1.48
(1.78) (12.51) (84.78) (2.01) (2.50) (10.27) (6.76) (0.63) (8.70) (0.73)
(5.54) (20.29) 4.20 0.87 0.09 (4.85) (5.90) 1.11 (11.24) 0.04
(1.10) (12.51) 5.78 (1.07) 1.11 (4.06) (2.76) (0.58) (3.56) (1.37)
(1.25) (1.82) (0.78) (0.40) 0.10 (2.82) (1.49) (0.17) (1.78) (0.07)
13,074 3.20 58.19 62.50 6.20 12.13 3.70 32.55 2.60 44.70
13,425 3.25 64.00 63.19 6.22 12.26 3.74 33.80 2.70 45.40
Posisi *) 2015F 31/03/2015
Sumber: Bloomberg Tabel 2. Perkembangan Nilai Tukar Sejumlah Negara terhadap Dolar AS Di tengah volatilitas serta sentimen global, kebijakan-kebijakan positif yang diambil oleh pemerintahan Joko Widodo dalam melakukan reformasi ekonomi dinilai cukup baik untuk meredam tekanan lebih lanjut terhadap rupiah. Pada bulan Maret 2015, rupiah memang terlihat masih mengalami depresiasi, namun relatif lebih terbatas jika dibandingkan dengan mata uang peers. Langkah positif pemerintah yang dinilai berani dalam menghapus subsidi bahan bakar minyak (BBM) telah mendorong Indonesia keluar dari kategori “fragile five” atau lima negara dengan mata uang yang rawan terkena dampak kebijakan moneter the Fed.
15
Pergerakan rupiah juga mendapat sentimen positif dari surplus neraca perdagangan Indonesia. Neraca perdagangan Indonesia menunjukkan surplus yang meningkat dari US$ 662,7 juta (Februari 2015) menjadi US$ 1,13 miliar (Maret 2015). Peningkatan surplus neraca perdagangan ini disebabkan peningkatan ekspor yang lebih tinggi daripada peningkatan impor. Ekspor tercatat naik sebesar US$ 1,54 miliar dari US$ 12,17 miliar menjadi US$ 13,71 miliar. Sementara impor hanya meningkat sebesar US$ 1,07 miliar dari US$ 11,51 miliar menjadi US$ 12,58 miliar. Di pasar obligasi, capital outflow terjadi di bulan Maret 2015 yang terlihat dari kepemilikan investor asing di obligasi pemerintah yang menunjukkan penurunan (lihat Gambar 8). Kecemasan terhadap potensi gagal bayar di tengah penguatan dolar AS dan perlambatan ekonomi global memicu investor mulai melepas obligasi negara berkembang. Para pemodal global kembali melirik obligasi AS, karena The Fed diyakini akan menaikkan suku bunga acuan pada tahun ini. Pasar obligasi negara berkembang menunjukkan kondisi yang positif belakangan ini, hal ini terlihat dari penurunan yield obligasi selama bulan Januari dan Februari 2015. Namun, dengan semakin dekatnya potensi kenaikan suku bunga AS, pasar obligasi negara berkembang semakin rawan terhadap potensi pembalikan arus modal asing. Kenaikan dolar AS juga membuat biaya untuk melunasi surat utang meningkat.
10,000
-10
9,000
-20 -30 (IDR Tn)
7,000 Mar-15
6,000 Oct-14
-40
8,000
Mar '15 USDIDR (avg) : Rp 13,071 Net Buy SBN : - Rp 3.59 Tn May-14
Mar-15
Jul-14
Nov-14
Mar-14
Jul-13
Nov-13
Mar-13
Jul-12
Nov-12
Mar-12
Jul-11
Nov-11
Mar-11
0
11,000
0
Dec-13
75
10
Jul-13
150
12,000
Feb-13
225
20
Sep-12
300
13,000
Apr-12
375
14,000
Nilai Tukar (avg, RHS)
30
Jun-11
45% 40% 35% 30% 25% 20% 15% 10% 5% 0%
450
Net Buy SBN (LHS)
Jan-11
525
40
Nov-11
Amount Foreign Ownership % Foreign Ownership
IDR Tn
Sumber: Bloomberg dan CEIC Gambar 8. Perkembangan Kepemilikan Investor Asing di Pasar SBN Di pasar obligasi pemerintah Indonesia, kepemilikan investor asing mencatatkan penurunan sebesar Rp 3,59 triliun, yaitu dari Rp 507,67 triliun (40,03% dari total SBN yang dapat diperdagangkan) menjadi Rp 504,08 triliun (dengan porsi 38,61%). Investor asing melakukan profit taking yang terlihat dari net sell pasar SBN yang mencapai Rp 3,59 triliun. Jika dibandingkan dengan akhir Februari 2015, angka ini turun signifikan dari net buy sebesar Rp 6,84 triliun. Sejalan dengan penurunan kinerja SBN, kurva imbal hasil (yield) obligasi pemerintah selama satu bulan terakhir bergerak ke atas dengan peningkatan pada yield tenor pendek hingga panjang. Dalam rentang 27 Februari 2015 hingga 31 Maret 2015, harga obligasi mengalami penurunan tajam (lihat Gambar 8). Harga obligasi benchmark seri FR0070 tenor 10 tahun turun 3,27% dari 109,89 ke 106,29. Berbanding terbalik, yield meningkat sebesar 51 bps dari 6,89% ke 7,4%. Sementara itu, yield
16
obligasi tenor panjang (seri FR0068 tenor 20 tahun) mengalami kenaikan sebesar 46 bps dari 7,28% menjadi 7,74% dengan penurunan harga sebesar 4,38% atau dari 111,16 menjadi 106,29. Berdasarkan hasil asesmen yang kami lakukan pada bulan Maret 2015, prospek pasar obligasi Indonesia di tahun 2015 kami perkirakan akan relatif membaik seiring dengan sentimen positif yang datang dari dalam negeri. Namun demikian, dipandang perlu untuk mewaspadai tingginya volatilitas pasar sebagai konsekuensi dan ekspektasi terhadap kondisi ekonomi global dan domestik, terlebih adanya potensi kenaikan suku bunga AS dan risiko gagal bayar.
Indeks Saham Negara Maju Dow Jones (USA) S&P 500 (USA) Euro Stoxx 50 (Eropa) Nikkei 225 (Jepang) FTSE 100 (Inggris) Negara Berkembang IHSG (Indonesia) Ibovespa (Brazil) MICEX (Rusia) Sensex (India) Shanghai (China) JALSH (Afrika Selatan) KLCI (Malaysia) SET (Thailand) Borsa Istanbul (Turki) PCOMP (Filipina)
FY2014 (% )
YTD (% )
1M (% )
1W (% )
Posisi 31/03/2015
7.52 11.39 4.35 7.12 (2.71)
(0.26) 0.44 15.99 10.06 3.15
(1.97) (1.74) 1.30 2.18 (2.50)
(1.30) (1.13) (1.29) (2.57) (3.51)
17,776.12 2,067.89 397.30 19,206.99 6,773.04
22.29 (2.91) (7.15) 29.89 52.87 7.60 (5.66) 15.32 26.43 22.76
5.58 2.29 16.44 1.67 15.87 4.84 3.95 0.55 (5.69) 9.82
1.25 (0.84) (7.55) (4.32) 13.22 (2.18) 0.53 (5.11) (3.92) 2.72
1.30 (0.69) 0.47 (0.73) 1.53 (1.28) 0.92 (0.56) (1.45) 1.42
5,518.68 51,150.16 1,626.18 27,957.49 3,747.90 52,181.95 1,830.78 1,505.94 80,846.03 7,940.49
Sumber: Bloomberg Tabel 3. Perkembangan Indeks Saham Utama Dunia Di pasar saham, kinerja indeks utama dunia bergerak mixed. Di bulan Maret 2015, peningkatan terbesar terjadi pada indeks Nikkei 225 yang meningkat sebesar 2,18% ke level 19.206,99. Pelemahan nilai tukar yen menjadi pendorong utama bagi penguatan indeks Nikkei 225 yang selama kuartal pertama 2015 telah menunjukkan rally. Pelemahan yen mendorong beberapa saham eksportir Jepang melonjak seperti yang dialami oleh saham Honda dan Panasonic yang membukukan gain lebih dari 1%. Bursa saham Eropa ditutup positif 1,30% pasca pengumuman keputusan kebijakan moneter ECB. Sesuai ekspektasi pasar, ECB mempertahankan suku bunga acuan di level 0,05% sejak 4 September 2014. Pada pertemuan tersebut, Kepala ECB Mario Draghi menampik kekhawatiran terhadap potensi default Yunani serta penggelembungan di pasar obligasi. Namun demikian, reformasi ekonomi Yunani yang masih belum menemukan titik temu dengan para kreditur sebagai persyaratan untuk mendapatkan dana talangan kami perkirakan akan menjadi potensi
17
risiko terhadap aksi profit taking bursa saham di Eropa. Menteri Keuangan Uni Eropa kembali dijadwalkan untuk melakukan pertemuan pada tanggal 24 April 2015. Dari negara berkembang, kenaikan tertinggi terjadi pada indeks Shanghai, yaitu sebesar 13,22% ke level 3.747,90. Keputusan Bank Sentral Tiongkok (PBoC) yang memangkas rasio giro wajib minimum sebesar 100 bps menjadi 18,5% mendongkrak pergerakan indeks. Sebelumnya, PBoC juga memangkas suku bunga acuan sebesar 25 bps ke level 5,35% pada 2 Maret 2015. Selain itu, pergerakan indeks ditopang oleh data aktivitas manufaktur Tiongkok yang di luar perkiraan, yakni naik ke level 50,1 di bulan Maret 2015. Angka ini lebih tinggi dibandingkan angka bulan Februari 2015 yang sebesar 49,9. Pada perdagangan akhir Maret 2015, IHSG mencatatkan rekor baru setelah ditutup menguat 1,25% ke level 5.518,68. Keputusan the Fed yang belum menaikkan suku bunga acuan untuk sementara menopang penguatan IHSG. Bahkan dalam 13 hari terakhir, investor asing kembali memasuki pasar saham Indonesia dengan membukukan net buy sebesar Rp 14,01 triliun, angka ini meningkat tajam dibandingkan net sell yang terjadi sepanjang Maret 2015 sebesar Rp 5,43 triliun. Namun demikian, pergerakan indeks masih rawan terkena aksi profit taking mengingat adanya sentimen negatif yang berasal dari renormalisasi kebijakan the Fed dan potensi gagal bayar.
18
Perbankan
Ketahanan Perbankan Ditengah Turbulensi Perekonomian Seno Agung Kuncoro Rasio permodalan masih dalam rentang aman, meskipun potensi kenaikan kredit bermasalah (NPL) masih membayangi di tahun 2015. Potensi kredit bermasalah terutama berasal dari turunan sektor pertambangan dan komoditas yang harganya masih melemah. Peningkatan kredit bermasalah dari segi sektor ekonomi terjadi pada semua sektor utama yang dipantau, dengan perhatian utama adalah sektor konstruksi, perdagangan, dan transportasi. Usainya kuartal I tahun 2015 telah membawa suasana baru pada dunia perbankan Indonesia, dengan banyaknya perombakan susunan komisaris dan direksi pada Bank BUMN (Tabel 4). Selain itu, berdasarkan hasil keputusan pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang digelar pada bulan Maret 2015, empat bank BUMN juga telah membagikan dividen untuk tahun buku 2014 dengan jumlah total Rp 15,15 triliun, meningkat sebesar 1,09% dari tahun sebelumnya. Bank Mandiri
Bank BRI
Bank BNI
Bank BTN
Komisaris Utama/Independen Darmin Nasution
Mustafa Abubakar
Rizal Ramli
Sukardi Rinakit
Komisaris Utama Imam Apriyanto Putro
Gatot Trihargo
Pradjoto
Kamaruddin Sjam
Abdul Aziz
Fuad Rahmany
Anny Ratnawati
Catherinawati Hadiman
Aviliani
Ahmad Fuad
Jos Luhukay
Arie Coerniadi
Goei Siauw Hong
Adhyaksa Dault
Daniel T Sparringa
Lucky Fathul Aziz H.
Bangun Sarwito Kusmuljono
Sony Keraf
Zulkifli Zaini
Agung Kuswandono
Cahaya Dwi Rembulan Sinaga
Vincentius Sony Loho
Revrisond Basywir
Askolani
Jeffry W. Wurangian
Kiagus A Badaruddin
Suwhono
Gatot M. Suwondo
Pataniari Siahaan Direktur Utama
Budi Gunadi Sadikin
Asmawi Syam
Achmad Baiquni
Maryono
Wakil Direktur Utama Sulaiman Arif Arianto
Sunarso
Suprajarto
Irman A. Zahirrudin
Direktur Sentot A. Sentausa
Djarot Kusumayakti
Rico Rizal Budidarmo
Mansyur Nasution
Ogi Prastomiyono
Gatot Mardiwasisto
Herry Sidharta
Iman Nugroho Soeko
Pahala Nugraha Mansury
A. Toni Soetirto
Adi Sulistyowati
Ony Febriarto R.
Kartika Wirjoatmodjo
Randi Anto
Bob Tyasika Ananta
Adi Setianto
Royke Tumilaar
Susy Liestiowaty
Anggoro Eko Cahyo
Sulis Usdoko
Hery Gunardi
Zulhelfi Abidin
Imam Budi Sarjito
Sis Apik Wijayanto
Tardi
Sutanto
Ahmad Siddik Badruddin Kartini Sally
Sumber: LPS Tabel 4. Susunan Direksi dan Komisaris Bank BUMN
20
Bank Rakyat Indonesia (BRI) memiliki dividend payout ratio terbesar dengan jumlah dividen Rp 7,3 triliun atau sebesar 30% dari perolehan laba bersih 2014. Bank Mandiri membagikan dividen senilai Rp 4,9 triliun atau 25% total laba bersih. Bank Negara Indonesia (BNI) membagikan dividen senilai Rp 2,7 triliun atau sebesar 25% dari laba bersih tahun 2014. Sementara, Bank Tabungan Negara (BTN) membagikan rasio dividen sebesar 20% untuk tahun buku 2014, yakni sekitar Rp 223 miliar dari perolehan laba bersih pada tahun lalu senilai Rp 1,1 triliun.
Sumber: LPS Tabel 5. Perkembangan Kinerja Industri Perbankan Sampai dengan Februari 2015, industri perbankan mengalami pertumbuhan aset yang masih cukup tinggi, yaitu sebesar 16,3% (Tabel 5), meskipun berada di bawah bayangan tekanan likuiditas yang belum memperlihatkan penurunan. Industri perbankan sepertinya masih menunggu langkah konkret pemerintah dan regulator perbankan dalam menyikapi dampak perkembangan ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia. Pertumbuhan kredit dan dana pihak ketiga menurun dalam dua bulan periode, dengan tren pertumbuhan laba yang masih menurun. Rasio permodalan masih dalam rentang aman pada kisaran 20,6%, dengan potensi kenaikan kredit bermasalah (NPL) yang masih membayangi di awal tahun 2015. Potensi kredit bermasalah terutama berasal dari turunan sektor pertambangan dan komoditas yang harganya masih melemah. Likuiditas perbankan pada bulan Februari 2014 masih belum memperlihatkan peningkatan, yang ditandai dengan stabilnya rasio kredit terhadap simpanan atau LDR. LDR sedikit menurun dari 95,9% pada Januari 2015 menjadi 95,8% pada Februari 2015. Stabilnya LDR ini disebabkan oleh perlambatan lebih lanjut pada pertumbuhan kredit, sementara dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 100 bps lebih tinggi dibandingkan pada bulan sebelumnya. Pertumbuhan kredit sudah mengalami peningkatan, yaitu dari 11,3% y/y pada Januari 2015 menjadi 11,9% y/y pada bulan Februari 2015. Akan tetapi, jika dilihat dengan rata-rata bergerak, sebenarnya pertumbuhan kredit masih berada dalam tren menurun.
21
Sumber: LPS Gambar 9. Perkembangan Kredit dan DPK Berdasarkan Kategori Aset Perlambatan pertumbuhan kredit dialami oleh seluruh kelompok aset bank (Gambar 9), dengan penurunan terdalam dialami oleh segmen bank sangat besar (BSB). Hal tersebut disebabkan beberapa hal, antara lain sentimen pelemahan rupiah, penurunan prospek bisnis yang ditandai dengan iklim suku bunga yang masih tinggi, potensi risiko kredit yang semakin meningkat, dan proyek infrastruktur pemerintah yang belum banyak berjalan. Di samping itu, banyaknya peraturan yang dikeluarkan oleh regulator dalam dua tahun terakhir untuk menahan potensi terjadinya bubble turut berperan dalam menahan pertumbuhan kredit. Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) terlihat mencoba untuk rebound yang didorong oleh pertumbuhan DPK BSB (Gambar 9), sementara DPK kelompok aset bank lain masih dalam tren turun, kecuali bank menengah (BM). Kenaikan tersebut terutama masih disumbang oleh pertumbuhan simpanan deposito selaras dengan pertumbuhan likuiditas perekonomian (M2) di bulan Februari 2015 sebesar 16,1% y/y, lebih tinggi dibandingkan peningkatan bulan Januari 2015. Perbaikan M2 tersebut dipengaruhi oleh pertumbuhan kredit yang disalurkan perbankan dan ekspansi operasi keuangan pemerintah.
Sumber: LPS, BI Gambar 10. Pertumbuhan Kredit Berdasarkan Jenis
22
Beralih ke jenis penggunaan kredit, peran sektor produktif (kredit modal kerja dan kredit investasi) masih tetap dominan. Tren pertumbuhan dua jenis kredit tersebut sejak akhir 2014 masih mengalami penurunan, sementara pertumbuhan kredit konsumsi meningkat 360 bps dibanding akhir tahun 2014 (Gambar 10). Pertumbuhan kredit modal kerja dan kredit investasi yang menurun ini dipengaruhi oleh lemahnya sentimen bisnis sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang masih lemah. Sementara itu, dampak kebijakan loan to value (LTV) terhadap pelemahan permintaan kredit pemilikan rumah (KPR) diindikasikan mulai menurun. Ini terjadi seiring dengan strategi sejumlah bank untuk mendorong kredit KPR, antara lain melalui penurunan bunga dengan proyeksi pertumbuhan KPR mencapai 10%–12%. Pada Februari 2015, pertumbuhan sektor properti cenderung stabil sebesar 16,9% y/y, dengan nominal penyaluran kredit mencapai Rp 551,2 triliun dibandingkan pertumbuhan pada Januari 2015 yang sebesar 16,8%. Peningkatan pertumbuhan kredit properti itu terutama bersumber dari kredit konstruksi dan real estate, yang tumbuh 28,4% y/y dan 16,5% y/y. Pertumbuhan permintaan kredit konsumsi untuk kredit multiguna dan kredit kendaraan bermotor (KKB) masih melambat pada kuartal I 2015 berdasarkan survei Bank Indonesia. Penurunan permintaan KKB tersebut sejalan dengan menurunnya penjualan mobil dan sepeda motor pada awal tahun 2015, rata-rata penjualan mobil dan sepeda motor pada periode Januari-Februari 2015, masing-masing menurun sebesar 0,3% dan 11,1% dibandingkan periode yang sama pada kuartal sebelumnya (Gambar 10). Dengan ancaman kondisi ekonomi global yang membayangi, perbankan seharusnya lebih prudent dan fokus pada masalah penyaluran kredit baru untuk meminimalisir potensi kenaikan risiko kredit pada tahun ini.
Sumber: CEIC Gambar 11. Pertumbuhan Berdasarkan Jenis DPK Tren pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) mengalami peningkatan pada bulan Februari 2015. Pertumbuhan rata-rata DPK meningkat dari 12,55% y/y pada Desember 2014 menjadi 12,96% y/y pada Februari 2015 dengan nominal mencapai Rp 4.151 triliun (Gambar 9). Pertumbuhan DPK ditopang oleh kenaikan pertumbuhan segmen bank menengah (BM) dan bank sangat besar (BSB) masing-masing sebesar 16,58% y/y dan 14,62% y/y. Sementara kelompok segmen bank lain tumbuh di bawah 10% y/y (Gambar 9).
23
Hasil survei Bank Indonesia (BI) memperkirakan optimisme pertumbuhan DPK pada tahun 2015 tidak setinggi pada tahun sebelumnya yang mengindikasikan masih adanya potensi risiko keketatan likuiditas. Jika dilihat menurut jenis simpanan, pertumbuhan deposito masih menjadi pendorong tumbuhnya DPK pada Februari 2015 yang tumbuh rata-rata selama 12 bulan terakhir sebesar 18,8% y/y. Sementara itu, tabungan dan giro rata-rata tumbuh sebesar 7,8% dan 7,4% y/y dengan tren pertumbuhan yang melambat (Gambar 11). Prioritas pertama responden dalam menempatkan kelebihan likuiditas pada kuartal I 2015 adalah pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI), sedangkan prioritas kedua pada instrumen Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FASBI) dan prioritas ketiga di Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Persaingan memperebutkan DPK di kuartal I tahun ini dengan demikian diperkirakan masih akan terus berlanjut walau tidak akan seketat tahun lalu.
Sumber: BI (diolah) Gambar 12. Distribusi Suku Bunga Simpanan Terlihat bahwa jumlah bank umum yang memberikan suku bunga di atas 9,75% telah menurun signifikan, yakni sekitar 25% (Gambar 12). Sementara, jumlah bank yang memberikan suku bunga simpanan di bawah tingkat bunga penjaminan untuk deposan jumbo (dengan nilai rekening di atas Rp 2 miliar) masih dalam rentang 23%–24% dari total jumlah 107 bank konvensional. Dari gambar distribusi suku bunga simpanan tersebut, diketahui bahwa mulai terjadi pergeseran pemberian suku bunga simpanan yang lebih rendah, dengan melakukan reprofiling cost of fund untuk meningkatkan efisiensi. Biaya dana simpanan pada bank berkategori sangat kecil mengalami peningkatan signifikan dibandingkan dengan kategori bank lain. Hal tersebut terjadi karena mereka adalah bank-bank yang paling merasakan dampak dari ketatnya perebutan likuiditas DPK, terutama apabila harus berhadapan dengan bank yang lebih besar. Yang patut untuk diperhatikan adalah jika bank sangat kecil menaikkan suku bunga di atas market rate, maka tentunya harus diiringi dengan kenaikan suku bunga kredit yang bisa berakibat pada penurunan kualitas kredit (NPL). Bank umumnya lebih memilih untuk menghindari risiko tersebut dan cenderung untuk menerima turunnya NIM yang mempengaruhi profitabilitas bank.
24
Sumber: LPS, BI (diolah) Gambar 13. Pertumbuhan Cost of Fund dan Dana Murah Tekanan pada likuiditas terjadi di hampir semua kategori bank. Hal ini terlihat dari tingkat LDR yang masih tinggi terutama untuk kategori bank menengah dan bank besar yang melebihi 100%. Selain itu, pertumbuhan kredit pada beberapa kategori bank juga masih positif bila dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara, pertumbuhan DPK mengalami perlambatan di semua kategori bank. Sebagai catatan, tambahan DPK sistem perbankan selama Februari 2014 sampai Februari 2015 adalah sebesar Rp 544,4 triliun, sedangkan penyaluran kredit pada periode yang sama hanya bertambah Rp 394,4 triliun. Adanya tren perlambatan kredit di akhir tahun 2014 terjadi pada semua sektor utama yang dipantau, antara lain sektor manufaktur. Ini disebabkan oleh permintaan domestik yang masih lemah, sektor pertambangan yang melambat karena adanya larangan ekspor mineral, dan harga komoditas yang masih tertekan. Selain itu, perlambatan pada sektor rumah tangga yang memiliki andil dalam perlambatan kredit pada sistem perbankan
Sumber: LPS Tabel 6. Kinerja Kelompok Aset Bank Ketatnya likuiditas DPK (Tabel 6) seharusnya menggugah regulator perbankan untuk mendorong bank mencari sumber dana alternatif melalui pendalaman pasar keuangan (financial
25
deepening). Salah satu alternatif sumber dana adalah penerbitan obligasi dan perluasan pasar obligasi, yang juga didorong oleh semakin baiknya peringkat Indonesia yang kini telah masuk dalam investment grade (peringkat dari Fitch dan Moody’s). Dengan demikian, akan ada lebih banyak investor jangka panjang yang masuk ke Indonesia karena risiko yang rendah. Selain itu, ketergantungan pada utang luar negeri juga bisa dikurangi dengan mengembangkan pasar obligasi domestik, serta meminimalisir risiko maturity mismatch terhadap penyaluran kredit. Meskipun pasar obligasi korporasi mata uang lokal di Indonesia selalu tumbuh semenjak tahun 2000, ukuran pasarnya yang diukur dalam rasio terhadap PDB tetap konstan di sekitar angka 2% (Gambar 14). Sebagai perbandingan, ukuran rata-rata pasar obligasi korporasi mata uang lokal di negara berkembang Asia Timur adalah sekitar 23% dari PDB. Ini menjadikan pasar Indonesia sebagai salah satu pasar yang terkecil di Asia. Langkah yang diperlukan untuk pengembangan pasar obligasi adalah, pertama, meningkatkan pertumbuhan investor institusi lokal pada jangka pendek dan juga retail pada jangka menengah. Langkah kedua adalah memberikan insentif bagi perusahaan yang ingin mencari tambahan modal melalui pasar uang terutama pasar obligasi. Hal tersebut tentunya membutuhkan kerjasama antar institusi pemerintahan untuk mengintegrasikan peraturan-peraturan yang selama ini kurang mendukung. Salah satunya implementasinya adalah relaksasi kebijakan penempatan dana pensiun ataupun dana investasi asuransi milik pemerintah yang hanya boleh diinvestasikan dengan persyaratan tertentu, yang bisa menyebabkan alokasi yang berlebih pada simpanan di bank dan obligasi pemerintah.
Sumber: Bloomberg Gambar 14. Kapitalisasi Pasar Uang dan Yield Obligasi Pemerintah Kondisi ekonomi global dan domestik yang belum stabil serta masih adanya tekanan pada likuiditas menyebabkan pertumbuhan kredit mengalami perlambatan dalam beberapa periode terakhir. Industri perbankan diharapkan untuk fokus pada peningkatan efisiensi operasional, menjaga kualitas kredit, dan mengamankan kondisi likuiditas. Seperti diketahui, saat ini perbankan nasional menghadapi masalah penurunan kualitas kredit yang tercermin dari peningkatan kredit bermasalah. Data pertumbuhan kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) perbankan
26
nasional, baik secara nominal maupun secara rasio, menunjukkan tren peningkatan selama setahun terakhir. Pertumbuhan NPL nominal naik signifikan dari 14,2% y/y pada Januari 2014 menjadi 41,6% y/y pada Januari 2015. Rasio NPL perbankan juga mengalami peningkatan 21 bps dari 2,16% di akhir tahun 2014 menjadi 2,37% di Januari 2015, namun masih di bawah regulatory comfort zone 5%. Peningkatan kredit bermasalah terbesar disumbangkan oleh golongan kolektibilitas 4 (doubtful) sebesar 59,02% y/y, disusul oleh kolektibilitas 3 (substandard) sebesar 47,33% y/y (Gambar 15). Kenaikan terbesar kolektibilitas 3 dan 4 tersebut merupakan indikasi mulai adanya permasalahan struktural pada nasabah, seperti kesulitan pembayaran dan semakin meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan, di luar iklim usaha yang cenderung masih kondusif. Tren kenaikan NPL nominal yang signifikan seperti ini menjadi sinyal bahwa kualitas kredit perlu mendapat perhatian yang lebih besar dari regulator maupun industri perbankan. Analisa terhadap sektor industri yang menjadi mesin utama penggerak pertumbuhan kredit bank sudah seharusnya ditinjau kembali dan dilakukan revitalisasi.
Sumber: CEIC, BI (diolah) Gambar 15. Pertumbuhan NPL dan Distribusi NPL. Peningkatan kredit bermasalah dari segi sektor ekonomi terjadi pada semua sektor utama yang dipantau, dengan perhatian utama pada sektor konstruksi, perdagangan, jasa sosial, dan transportasi. Empat sektor tersebut menyumbang porsi kredit bermasalah sebesar 46,52% dari total kredit bermasalah perbankan pada Januari 2015. Dari sisi pertumbuhan NPL nominal, kenaikan kredit bermasalah yang cukup signifikan terjadi pada sektor lain-lain, yaitu 1.133,0% y/y, sektor perantara jasa keuangan sebesar 304,34% y/y, sektor kelistrikan, gas, dan air sebesar 171,11%, serta sektor pertambangan sebesar 87,33% y/y pada Januari 2015 (Gambar 16). Penyebab kenaikan NPL secara umum disebabkan oleh kondisi ekonomi yang melemah dan perlambatan pertumbuhan kredit perbankan. Secara khusus, ada tiga hal yang menekan kinerja usaha konstruksi, yakni kenaikan tarif dasar listrik (TDL), kenaikan tarif tagihan operator terminal (container handling charge/CHC), kenaikan premi asuransi tanpa ada diskon langsung, dan kenaikan upah tenaga kerja. Hal tersebut menimbulkan biaya produksi tinggi dan mengakibatkan hasil produksi dalam negeri menjadi tidak kompetitif dan lebih mahal dibandingkan dengan produk
27
impor. Dengan suku bunga kredit yang juga masih tinggi, penyaluran kredit sektor konstruksi dan manufaktur berpeluang terhambat yang pada akhirnya bisa meningkatkan rasio kredit bermasalah.
Sumber: BI (diolah) Tabel 7. Perkembangan NPL Industri. Di sisi lain, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga menyebabkan peningkatan biaya pembelianbahan baku impor dan cash flow pada industri konstruksi dan manufaktur. Penurunan pertumbuhan industri ini dapat berpengaruh pada penurunan daya saing industri sebagai ancaman utama deindustrialisasi di Indonesia. Laporan Global Competitiveness Report 2014–2015 yang dirilis World Economic Forum (WEF) menunjukkan peringkat daya saing Indonesia masih berada di bawah negara-negara emerging market. WEF menempatkan Indonesia di peringkat 35 dari 144 negara yang disurvei. Meskipun peringkat tersebut mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya, daya saing Indonesia masih berada di bawah Thailand yang berada di peringkat 31, Malaysia di peringkat 20, dan Singapura yang ada di peringkat 2. Berkaitan dengan sektor industri transportasi yang mengalami kenaikan NPL nominal sebesar 70,30% y/y, bisa dikatakan bahwa industri ini lebih sensitif dengan fluktuasi harga bahan bakar minyak (BBM) yang saat ini mendapatkan subsidi tetap, tetapi pada prakteknya di lapangan terdapat kesulitan karena negosiasi dengan pelanggan yang harus berubah. Selain itu, faktor suku cadang (spare parts) juga menjadi masalah tersendiri karena terpengaruh langsung oleh nilai tukar rupiah dan PPnBM untuk spareparts. Penyesuaian upah minimum, kenaikan tarif tol, suku bunga bank, dan kenaikan tarif listrik juga berperan penting dalam menyumbang pelemahan kinerja industri transportasi yang pada akhirnya meningkatkan risiko kredit bermasalah. Sektor industri rumah tangga (household) termasuk sektor yang tidak terlalu terguncang oleh perlambatan ekonomi dan iklim suku bunga yang tinggi. Dengan porsi kredit terbesar yang mencapai 22,95% terhadap total kredit, sektor rumah tangga mencatatkan peningkatan pertumbuhan NPL
28
nominal sebesar 28,65% y/y pada Januari 2015. Sedangkan rasio NPL sektor rumah tangga pada bulan Januari 2015 naik 10 bps dibandingkan tahun lalu menjadi sebesar 1,66%. Kondisi permodalan industri perbankan sampai dengan periode Februari 2015 masih sangat baik dengan rasio kecukupan modal (CAR) sebesar 20,6%, naik tipis 10 bps dibandingkan bulan lalu yang berada di level 20,5%. Peningkatan CAR ini terjadi karena meningkatnya laba ditahan sehingga modal inti meningkat. Secara umum, risiko pasar di industri perbankan juga relatif lebih rendah dan masih dapat dikelola dengan baik. Ini terlihat dari rasio posisi devisa neto (PDN) perbankan per Januari 2015 yang berada di level 1,68% dibandingkan posisi akhir tahun 2014 sebesar 2,16%.
Sumber: BI (diolah) Gambar 16. Perkembangan Laba Industri Perbankan. Secara keseluruhan, profitabilitas perbankan mengalami tekanan di awal tahun 2015. Meski laba perbankan tetap meningkat positif, tetapi pertumbuhannya terlihat semakin melambat selama dua tahun terakhir. Meningkatnya biaya dana (cost of fund) menjadi penyebab utama penurunan pendapatan bunga bersih, ditambah dengan adanya peningkatan kredit bermasalah yang ikut mendorong peningkatan biaya pencadangan CKPN. Sementara, fee based income belum sepenuhnya bisa menutupi biaya operasional, sehingga laba bersih menjadi tertekan. Adanya pengurangan jumlah dividen payout ratio terutama pada bank BUMN sangat membantu dalam menjaga rasio permodalan. Profitabilitas perbankan pada tahun 2015 diperkirakan belum dapat pulih bila faktor likuiditas, terutama dari segi pendanaan, belum membaik.
29
Industri
Infrastruktur: Peluang dan Risiko Dibalik Proyek 35.000 MW Ahmad Subhan Irani Sistem kelistrikan Indonesia berada dalam status krisis. Dari 22 sistem kelistrikan nasional, hanya enam yang berada dalam status normal, sementara sisanya 11 berstatus siaga dan lima berstatus defisit. Pemberian mandat bagi PLN untuk melakukan pembangunan pembangkit, pemilihan, penunjukkan dan penentuan harga beli listrik diharapkan dapat mempercepat proses pembangunan pembangkit, meski di sisi lain merupakan “eksperimen” berani karena berpotensi menyebabkan konsentrasi risiko di PLN sebagai perseroan. Di awal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, salah satu proyek infrastruktur besar yang akan digarap pemerintah adalah pembangunan pembangkit listrik baru dengan total kapasitas 35.000 MW dalam lima tahun ke depan (2014–2019). Total investasi yang dibutuhkan untuk pembangunan pembangkit baru tersebut diperkirakan mencapai Rp 1.127 triliun dengan komposisi PLN (persero) Rp 512 triliun dan swasta Rp 615 triliun. Tuntutan atas kebutuhan dan permintaan listrik merupakan latar belakang utama yang mendasari rencana pemerintah tersebut. Kondisi terkini sektor kelistrikan Indonesia menunjukkan bahwa rasio elektrifikasi berada di level 84,35% dengan total kapasitas pembangkit 53.585 MW. Ditinjau dari sisi konsumsi dan produksi, energi listrik Indonesia masih surplus, namun jika dilihat secara sistem maka dapat dinyatakan bahwa sistem kelistrikan Indonesia berada dalam status krisis. Hal ini karena dari total 22 sistem kelistrikan nasional hanya enam yang berada dalam status normal, sementara sisanya 11 dalam status siaga dan lima berstatus defisit.
Sumber: Kementerian ESDM Gambar 17. Profil Kondisi Kelistrikan Nasional Posisi Desember 2014
31
Keterlambatan pemerintah dalam merelisasikan proyek fast track 10.000 MW tahap I dan II yang dimulai sejak tahun 2005 merupakan penyebab utama kondisi krisis tersebut. Keterlambatan lebih dari 18–24 bulan untuk fast track tahap I dan masih banyaknya kendala pada proyek tahap II disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain masalah pembebasan dan penyediaan lahan, proses negosiasi harga antara PLN dan IPP, proses penunjukan dan pemilihan IPP, pengurusan izin di level pusat dan daerah, kinerja developer dan kontraktor, kapasitas manajemen proyek, koordinasi lintas sektor, serta isu konflik hukum. Meskipun kedua proyek besar tersebut telah dimandatkan melalui Peraturan Presiden, kebijakan tersebut tampaknya hanya menjadi “macan kertas” yang kurang kuat di level implementasinya. Di sisi lain permintaan dan kebutuhan listrik di Indonesia terus tumbuh dan cenderung sulit “dikendalikan”. Data analisa oleh PLN dan Wood Mackenzie menunjukkan bahwa permintaan listrik nasional tumbuh rata-rata 8,7% dalam 10 tahun ke depan dengan kondisi Jawa Timur berkontribusi hampir 48% dari total permintaan tersebut. Khusus untuk sistem Jawa-Bali, diproyeksikan gap supply dan demand di level pembangkit akan meningkat dari level 1.000 MW di tahun 2016 menjadi 4.000 MW di tahun 2019, bahkan untuk wilayah Jawa Timur kondisi saat ini dan ke depan berpotensi untuk terus mengalami negative reserve margin (dari kondisi ideal reserve margin yang sebesar 30% dari beban puncak). Negative reserve margin tersebut dalam jangka pendek perlu mendapat perhatian karena tidak hanya dapat menganggu sistem Jawa-Bali, namun juga dapat menghambat pertumbuhan industri dan ekonomi secara luas.
Sumber: PLN dan Wood Mackenzie Gambar 18. Proyeksi Permintaan Listrik Nasional 2015-2025 Meningkatnya kebutuhan listrik selalu identik dengan besarnya kebutuhan investasi, tidak hanya dari sisi jumlah nominal namun juga dari sisi kontinuitas. Hingga akhir tahun 2020 diproyeksikan Indonesia membutuhkan investasi di sektor kelistrikan tidak kurang dari US$ 30 miliar
32
untuk tetap mempertahankan seluruh wilayah Indonesia diterangi listrik. Setelah periode tersebut, selanjutnya rata-rata dibutuhkan tambahan investasi antara US$ 7 miliar–US$ 7,5 miliar per tahun hingga akhir tahun 2025 untuk dapat memenuhi permintaan listrik yang terus tumbuh sejalan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Keterbatasan dana pemerintah dan PLN sebagai pemegang kuasa usaha sektor kelistrikan di Indonesia mendorong pemerintah untuk kembali melakukan berbagai terobosan kebijakan dan strategi. Kebijakan dan strategi yang mencakup aspek permasalahan lahan hingga hukum tersebut tidak lepas dari pembelajaran pada “kegagalan” program Fast Track 10.000 MW tahap I dan II. Dari beberapa kebijakan tersebut, salah satu kebijakan yang cukup besar dampaknya adalah terkait kerjasama penyediaan tenaga listrik dan pemanfaatan jaringan serta aturan tentang pembelian dan patokan harga tenaga listrik melalui pemilihan langsung dan penunjukkan langsung.
Sumber: Kementerian ESDM Tabel 8. 8 Strategi Kebijakan Percepatan Pembangunan Pembangkit 35.000 MW Peraturan Menteri ESDM No. 1 dan No. 3 tahun 2015 mengatur beberapa hal pokok, antara lain: a) PLN dapat bekerjasama melakukan jual-beli tenaga listrik antara pemegang izin tenaga listrik dan tidak memerlukan IUPL baru. b) Pemakaian bersama jaringan transmisi tenaga listrik, dengan harga sewa jaringan mengikuti harga yang berlaku pada badan usaha pemberi sewa, c) PLN dapat membeli tenaga listrik dari pemegang izin operasi (excess power); dan d) PLN memiliki mandat langsung membeli listrik melalui pemilihan dan penunjukkan langsung. Secara lebih sederhana, aturan ini memberikan kewenangan yang sangat besar pada PLN untuk melakukan transaksi bisnis dengan pihak IPP (independent power plant) dalam hal pemilihan dan penunjukan, termasuk dalam hal negosiasi harga. Terobosan pemerintah dengan memberikan mandat yang besar pada PLN di sisi hulu diikuti pula dengan memberikan ruang besar di sisi hilir melalui pelonggaran tarif. Pelonggaran tarif ini diwujudkan secara lebih konkret dengan menghapus sebagian besar subsidi untuk mayoritas pelanggan PLN. Melalui langkah ini pemerintah tidak hanya memberikan ruang pada PLN untuk
33
menyesuaikan tarif sesuai struktur biaya yang ada, namun juga memberikan sinyal pada investor IPP bahwa investasi sektor kelistrikan di Indonesia cukup menarik. Dikutip dari publikasi PLN, terkait rencana pembangunan 35.000 MW terdapat sekitar 109 proyek pembangkit baru, 74 proyek pembangunan berkapasitas 25.904 MW akan dikerjakan dengan skema IPP, dan 35 proyek berdaya 10.681 MW dikerjakan oleh PLN. Dari 74 proyek IPP, sebanyak 21 proyek berkapasitas 10.348 MW telah sampai pada proses pengadaan, 16 proyek (4.648 MW) proses pengadaannya sudah dimulai melalui penunjukan langsung dan 37 proyek IPP (10.908 MW) proses pengadaannya akan dilakukan menggunakan mekanisme pelelangan. Sementara itu, dari 35 proyek yang dikerjakan PLN, delapan proyek berkapasitas 2.301 MW di antaranya sudah berlangsung proses pengadaannya dengan metoda pelelangan. Proses pengadaan 27 proyek lainnya dengan kapasitas 8.380 MW juga akan dilakukan dengan mekanisme pelelangan.
Sumber: Kementerian ESDM Tabel 9. Perkembangan Pembangunan Pembangkit 35.000 MW (Posisi Maret 2015) Bagi sektor keuangan atau perbankan, langkah deregulasi pembiayaan investasi dan tarif sektor kelistrikan tersebut memberikan peluang sekaligus risiko. Dalam jangka pendek hal tersebut dapat dilihat dari langkah cepat yang dilakukan PLN untuk melakukan pengamanan transaksi valas (hedging) pada sisi kewajiban yang mayoritas dalam bentuk valuta asing. Tidak kurang dari US$ 950 juta kewajiban PLN telah di-hedge melalui kerjasama dengan tiga bank BUMN. PLN menyadari sepenuhnya bahwa mandat 10.000 MW dari total 35.000 MW yang diberikan pemerintah untuk membangun pembangkit baru membutuhkan investasi dalam bentuk dolar yang sangat besar sehingga untuk mengurangi potensi risiko pelemahan nilai tukar rupiah, perseroan memutuskan melakukan hedging. Bagi perbankan yang aktif terlibat dalam sektor kelistrikan, perubahan kebijakan sektor kelistrikan tersebut di atas perlu dicermati dengan seksama. Tidak hanya dari sisi peluang bisnis yang akan lebih berkembang sejalan dengan bergulirnya proyek-proyek pembangkit baru, namun juga potensi adanya konsentrasi risiko pada satu sisi, dalam hal ini standby buyer energi listrik. Langkah pemerintah saat ini cukup dimaklumi jika dilihat dari kacamata strategi untuk memperkuat BUMN sebagai penggerak ekonomi dan pembangunan, khususnya di sektor kelistrikan.
34
Sumber: PLN dan Wood Mackenzie Gambar 19. Harga Penjualan Listrik Berdasarkan Segmen dan Tahapan Penghapusan Subsidi Pemberian mandat yang sangat besar bagi PLN untuk melakukan pemilihan, penunjukan, dan penentuan harga beli listrik sekaligus ikut serta dalam membangun pembangkit di sektor kelistrikan di satu sisi memang dapat mempercepat proses pembangunan pembangkit yang selama ini cenderung lambat akibat proses birokrasi di level pemerintah pusat dan daerah. Namun di sisi lain, langkah merupakan “eksperimen” yang berani karena berpotensi menyebabkan konsentrasi risiko di PLN sebagai perseroan. Di sisi hulu, peluang PLN untuk memperoleh direct lending dari berbagai sumber akan menjadikan ruang PLN menjadi lebih luas dalam mencari alternatif sumber dana dan model pembiayaan investasi. Sementara di sisi hilirnya, pemilihan dan pembelian serta penentuan tarif yang lebih longgar akan menjadi keuntungan bagi PLN dalam mengejar target laba. Patut ditunggu apakah model strategi pengembangan sektor hulu kelistrikan yang saat ini ditempuh pemerintah akan berhasil mempercepat pembangunan pembangkit atau sebaliknya akan dijadikan “arena permainan baru” bagi sebagian kalangan yang mencari keuntungan dari adanya “kelonggaran” kebijakan yang dibungkus dalam pendelegasian kewenangan dan kemudahan bagi PLN dan pihak swasta.
35
Indeks Stabilitas Perbankan
Indeks Stabilitas Perbankan (Banking Stability Index) Agus Afiantara Risiko industri perbankan Indonesia mengalami penurunan, tercermin dari Indeks Stabilitas Perbankan (Banking Stability Index, BSI) LPS pada bulan Maret 2015 yang menurun dari bulan sebelumnya sebesar 6 bps, yaitu dari 100,27 menjadi 100,21. Sesuai kategori skala observasi Crisis Management Protocol (CMP) angka BSI saat ini masih berada pada kondisi “Normal”. Penurunan BSI ini didorong oleh penurunan pada sub indeks Interbank Pressure (IP) dan Market Pressure (MP), masing-masing sebesar 105 bps dan 9 bps, namun terjadi kenaikan pada Credit Pressure (CP) sebesar 26 bps.
Sumber: LPS Gambar 20. Banking Stability Index (BSI) dan Sub Indeks Credit Pressure (CP) Likuiditas perbankan mengalami penurunan yang tercermin dari rasio kredit terhadap DPK atau loan to deposit ratio (LDR) yang turun dari 89,42% pada Desember 2014 menjadi 88,48% pada Januari 2015. Penurunan LDR ini dipicu oleh peningkatan pertumbuhan DPK yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan kredit. Pertumbuhan DPK turun dari 12,3% y/y pada Desember 2014 menjadi 14,1% y/y pada Januari 2015. Dana mahal, yaitu deposito, masih menopang pertumbuhan DPK bank. Sedangkan pertumbuhan kredit juga mengalami penurunan dari 11,6% y/y pada Desember 2014 menjadi 11,4% y/y pada Januari 2015. Di sisi kualitas kredit, rasio Gross NPL mengalami peningkatan yang mana pada bulan Januari 2015 berada pada level 2,37%, dibandingkan dengan posisi Desember 2014 sebesar 2,16%. Hal ini menunjukkan tingkat risiko kredit meningkat. Di sisi lain, indikator profitabilitas perbankan yang tercermin dari pertumbuhan Return on Equity (ROE) kembali mengalami penurunan menjadi 18,72% pada Januari 2015, setelah sebelumnya tercatat sebesar 18,93% y/y pada Desember 2014. Berdasarkan indikator pembentuk sub indeks tersebut, sub indeks CP mengalami peningkatan sebesar 26 bps dari 99,46 pada Februari 2015 menjadi 99,71 pada Maret 2015.
.
37
Sumber: LPS Gambar 21. Sub Indeks Interbank Pressure dan Market Pressure Sub indeks Interbank Pressure (IP) mengalami penurunan. Sub indeks IP turun 105 bps dari 101,69 pada Februari 2015 menjadi 100,32 pada Maret 2015. Penurunan sub indeks IP disebabkan oleh peningkatan signifikan pada penempatan dana antarbank riil dari Rp 111,59 triliun pada Desember 2014 menjadi Rp 134,4 triliun pada Januari 2015. Hal yang sama terjadi pada suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) tenor overnight yang mengalami peningkatan dari 5,65% pada Februari 2015 menjadi 6,87% pada Maret 2015. Indikator pembentuk sub indeks Market Pressure (MP) mengalami penurunan sebagai akibat pengaruh internal dan eksternal. Nilai tukar rupiah masih terus mengalami tekanan terhadap dolar AS. Sampai akhir Maret 2015, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada pada posisi Rp 13.084 atau melemah sebesar 1,72% dibandingkan bulan sebelumnya yang berada pada Rp 12.863. Di sisi lain, kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sampai akhir Maret 2015 masih positif sehingga mampu menahan pemburukan sub indeks MP yang berasal dari kinerja nilai tukar dan JIBOR tiga bulan. Laju IHSG berada dalam tren positif sepanjang awal tahun 2015. IHSG ditutup menguat sebesar 68 poin (1,25%) dari 5.450 pada akhir Februari 2015 menjadi 5.518 pada Maret 2015. Selain tekanan pada kurs rupiah terhadap dolar, tekanan indikator sub indeks MP juga terjadi pada JIBOR tiga bulan yang mengalami peningkatan. Data menunjukkan JIBOR bertenor tiga bulan naik dari 6,83% pada Februari 2015 menjadi 6,88% pada akhir Maret 2015. Perbaikan kinerja IHSG menyebabkan penurunan pada sub indeks MP sebesar 9 bps, yaitu dari 100,97 pada Februari 2015 menjadi 100,88 pada Maret 2015.
38
PENGARAH Fauzi Ichsan, Salusra Satria KOORDINATOR Moch. Doddy Ariefianto, Hendra Syamsir, Seno Agung Kuncoro ANALIS Ahmad Subhan Irani, Seto Wardono, Agus Afiantara, Dienda Siti Rufaedah, Citra Amanda DESAIN & LAYOUT Mutiara Aisyah
Laporan Perekonomian dan Perbankan ini dipublikasikan dalam rangka pelaksanaan fungsi Lembaga Penjamin Simpanan untuk turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan. Tujuan penerbitan laporan ini adalah untuk meningkatkan wawasan dan kewaspadaan publik terhadap berbagai potensi risiko perekonomian dan sistem keuangan ke depan. Laporan Perekonomian dan Perbankan ini memuat hasil monitoring dan analisis Lembaga Penjamin Simpanan mengenai perkembangan ekonomi makro, pasar keuangan, perbankan, industri, dan indeks stabilitas perbankan
Pendapat / Saran / Komentar dapat ditujukan kepada : Group Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Direktorat Penjaminan dan Manajemen Risiko Equity Tower lantai 39 Sudirman Central Business District (SCBD) Lot 9 Jalan Jend. Sudirman Kav. 52-53 Jakarta 12190 Telp : +62 21 515 1000 ext 340 Email :
[email protected] Website : www.lps.go.id
39
Lampiran
Proyeksi Besaran Ekonomi Makro dan Perbankan Terpilih Variables
2011
2012
2013
2014
2015F
2016F
7.427
8.616
9.525
10.543
11.812
13.147
Nominal GDP (USD bn)
847
918
914
888
916
1.011
Real GDP (% YoY)
6,2
6,0
5,6
5,0
5,3
5,6
Inflation (eop, % YoY)
3,8
4,3
8,1
8,4
4,2
4,7
Inflation (avg, % YoY)
5,4
4,0
6,4
6,4
6,3
5,3
IDR/USD (eop)
9.068
9.793
12.189
12.440
12.950
13.050
IDR/USD (avg)
8.779
9.396
10.452
11.879
12.900
13.000
BI Rate (eop)
6,00
5,75
7,50
7,75
7,50
7,50
Fiscal Balance (% GDP)
(1,1)
(1,8)
(2,2)
(2,2)
(1,8)
(1,8)
Merchandise Exports (% YoY)
27,4
(2,0)
(2,6)
(1,5)
(0,9)
4,1
Merchandise Exports (USD bn)
191,1
187,3
182,1
175,3
173,7
180,9
Merchandise Imports (% YoY)
32,2
13,6
(1,4)
(3,4)
(2,0)
3,5
Merchandise Imports (USD bn)
Key Makro Variables Nominal GDP (IDR tn)
External Sustainability
166,6
178,7
176,3
168,4
165,1
170,9
Current Account Balance (USD bn)
1,7
(24,4)
(29,1)
(26,2)
(30,4)
(32,4)
Current Account Balance (% GDP)
0,2
(2,7)
(3,2)
(3,0)
(3,3)
(3,2)
110,5
112,8
99,4
114,3
121,8
135,2
25,2
27,4
29,1
32,9
36,7
38,6
Household Consumption
5,1
5,5
5,4
5,1
5,3
5,3
Government Expenditure
5,5
4,5
6,9
2,0
5,2
5,6
Gross Fixed Capital Formation
8,9
9,1
5,3
4,1
5,0
5,7
Exports of Goods & Services
14,8
1,6
4,2
1,0
1,1
2,6
Imports of Goods & Services
15,0
8,0
1,9
2,2
1,6
4,1
Primary Sector
4,1
3,9
3,2
2,7
2,6
2,8
Secondary Sector
6,3
5,6
4,5
4,6
5,1
5,3
Tertiary Sector
8,5
6,8
6,4
6,2
6,5
6,9
1Y
5,5
4,6
5,7
6,9
6,2
6,6
3Y
6,4
5,1
5,9
7,6
6,8
7,4
5Y
6,9
5,4
6,0
7,9
7,1
7,8
10Y
7,5
6,0
6,5
8,2
7,7
8,4
20Y
8,7
6,8
7,3
8,7
8,3
9,2
Loan
24,6
23,1
21,6
11,6
14,2
16,6
Deposit
19,1
15,7
13,6
12,3
12,2
13,8
Forex Reserves (USD bn) External Debt (% GDP) Real GDP by Expenditure (% YoY)
Real GDP by Sector (% YoY)
IDR Govt Bond Yields (avg, %)
Banking (% YoY)
Sumber: LPS
41
Jadwal Rilis Data dan Peristiwa Penting 1 Mei - 29 Mei 2015 Negara
Tanggal
Indikator/Peristiwa
Amerika Serikat
8-Mei-15
Tingkat Pengangguran April 2015
21-Mei-15
Rilis FOMC Meeting (28 - 29 April 2015)
22-Mei-15
Inflasi April 2015
29-Mei-15
PDB 1Q15
13-Mei-15
PDB 1Q15
13-Mei-15
Rapat Kebijakan Moneter
19-Mei-15
Inflasi April 2015
13-Mei-15
Transaksi Berjalan Maret 2015
20-Mei-15
PDB 1Q15
25-Mei-15
Neraca Perdagangan April 2015
5-Mei-15
Neraca Perdagangan April 2015
7-Mei-15
Rapat Kebijakan Moneter
26-Mei-15
Transaksi Berjalan April 2015
29-Mei-15
PDB 1Q15
6-Mei-15
Inflasi April 2015
12-Mei-15
Neraca Perdagangan Maret 2015
22-Mei-15
Tingkat Pengangguran April 2015
8-Mei-15
Neraca Perdagangan April 2015
12-Mei-15
Inflasi April 2015
29-Mei-15
PDB 1Q15
1-Mei-15
Manufaktur PMI April 2015
8-Mei-15
Neraca Perdagangan April 2015
9-Mei-15
Inflasi April 2015
4-Mei-15
Tingkat Pengangguran 1Q15
20-Mei-15
Inflasi April 2015
21-Mei-15
Rapat Kebijakan Moneter
26-Mei-15
PDB 1Q15
4-Mei-15
Inflasi April 2015
5-Mei-15
PDB 1Q15
15-Mei-15
Neraca Perdagangan April 2015
19-Mei-15
Rapat Kebijakan Moneter
Zona Euro
Jepang
Brazil
Rusia
India
China
Afrika Selatan
Indonesia
Sumber: LPS (April 2015)
42
www.lps.go.id