Perekonomian dan Perbankan Juli 2016 Equity Tower Lt 20, 21 & 39 Sudirman Central Business District (SCBD) Jl. Jend Sudirman Kav 52-53 Jakarta 12190
Ringkasan Laporan
Referendum di Inggris Raya pada 23 Juni 2016 menghasilkan keputusan negara itu untuk keluar dari Uni Eropa (Brexit). Brexit menambah ketidakpastian bagi prospek ekonomi global dan menjadi faktor penting yang mendorong IMF untuk memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global. Neraca perdagangan mengalami surplus US$ 900,2 juta pada bulan Juni 2016. Dengan demikian, surplus perdagangan secara kumulatif mencapai US$ 3,59 miliar selama semester I 2016. Menguatnya permintaan masyarakat selama bulan puasa mendorong kenaikan inflasi y/y menjadi 3,45% pada Juni 2016 dari 3,33% pada bulan sebelumnya. Bank Indonesia mempertahankan BI rate dan BI 7-day (reverse) repo rate di posisi 6,5% dan 5,25%. Keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) sempat menekan pasar keuangan global, yang terlihat dari berbagai indikator sentimen pasar yang menunjukkan pemburukan. Tekanan di pasar finansial Indonesia diperkirakan bersifat sementara seiring munculnya sentimen positif dan serangkaian kebijakan dari dalam negeri. Secara umum likuiditas perbakan masih cukup baik dan diperkirakan akan berlanjut hingga akhir tahun. Meskipun terjadi peningkatan LDR secara terbatas ke level 90,3%. Tingkat bunga bank dan pasar uang terus menunjukkan tren menurun mengikuti arah kebijakan moneter. Terjadinya peningkatan NPL merupakan efek dari perlambatan ekonomi dan turbulensi yang terjadi di akhir tahun 2015. Siklus diperkirakan mengalami fase bottoming out dan masih kuatnya sisi permodalan perbankan, maka diperkirakan efek NPL masih manageable. Di tengah perlambatan laju produksi, harga CPO menunjukkan tren pelemahan dalam sebulan terakhir akibat melemahnya permintaan dari China dan India. Sepanjang semester II 2016, terdapat beberapa faktor risiko yang patut dicermati dan akan mempengaruhi kinerja industri seperti terbentuknya siklus La Nina, efek lanjutan pelemahan real dan peso, insentif tambahan konsumsi biodiesel, dan dampak moratorium lahan. Risiko industri perbankan Indonesia masih dalam kondisi normal. Berdasarkan update data perbankan bulan Mei 2016, dan data pasar bulan Juni 2016, angka BSI pada bulan Juni 2016 mengalami penurunan sebesar 15 bps bila dibandingkan dengan angka BSI pada bulan Mei 2016, yaitu dari 99,47 menjadi 99,32.
1
Ekonomi Makro
Brexit dan Dampaknya terhadap Ekonomi Global Seto Wardono Referendum di Inggris Raya pada 23 Juni 2016 menghasilkan keputusan negara itu untuk keluar dari Uni Eropa (Brexit). Brexit menambah ketidakpastian bagi prospek ekonomi global dan menjadi faktor penting yang mendorong IMF untuk memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global. Referendum di Inggris Raya pada 23 Juni 2016 menghasilkan keputusan negara itu untuk keluar dari Uni Eropa (Brexit). Brexit dikehendaki oleh 51,89% dari total pemilih sebanyak 33,55 juta. Hasil referendum ini cukup mengejutkan karena mayoritas survei yang dilakukan menjelang referendum justru memenangkan kubu remain (tetap bersama Uni Eropa). Data Financial Times menunjukkan bahwa delapan dari 13 survei yang dilakukan pada periode 16–22 Juni 2016 atau satu minggu menjelang referendum menyimpulkan kemenangan untuk kubu remain, meski selisihnya dengan kubu leave (keluar dari Uni Eropa) terbilang tipis. Empat dari enam survei yang dilakukan sehari menjelang referendum juga menghasilkan kesimpulan serupa. Hasil Referendum Brexit menurut Wilayah 100% 80%
40,07%
44,22%
Hasil Survei Sebelum Referendum Brexit
60%
38,00% 52,53%
55,41%
51,89%
60%
Leave
Remain
1-Feb-16 1-Mar-16
1-Apr-16
Belum Memutuskan
50% 40%
40%
30%
59,93%
55,78%
62,00%
20%
47,47%
44,59%
48,11%
Wales
Lainnya
Total
20% 10%
0% London
Irlandia Skotlandia Utara
Leave
Remain
0% 1-Jan-16
1-May-16
1-Jun-16
Sumber: Bloomberg, Electoral Commission Gambar 1. Referendum Brexit: Hasil Resmi dan Survei Menyusul adanya keputusan untuk keluar dari Uni Eropa (UE), Inggris kini harus segera memulai proses negosiasi untuk menentukan hubungannya dengan UE ke depan. Secara formal, Inggris harus mengaktivasi Pasal 50 Perjanjian Lisbon yang mengatur pemisahan suatu negara dari UE. Pasal yang muncul pada akhir 2009 ini mengharuskan Inggris untuk secara resmi menyampaikan niatnya untuk keluar dari UE kepada Dewan Eropa (European Council). Setelah itu, dilakukan negosiasi di antara dua pihak itu dengan jangka waktu paling lama dua tahun untuk menyetujui proses pemisahan dan menyepakati kerangka kerjasama ke depan. Selama proses negosiasi ini berlangsung, Inggris masih harus mengikuti aturan-aturan UE. Brexit memiliki implikasi politis dan ekonomis, baik terhadap Inggris sendiri maupun UE. Efek jangka pendek yang langsung terasa di Inggris adalah pergantian pemerintahan. Perdana Menteri David Cameron, yang mendukung Inggris untuk tetap menjadi anggota UE, langsung mengumumkan pengunduran dirinya hanya beberapa jam setelah hasil referendum diketahui pada 24 Juni 2016. Pada 3
13 Juli 2016, posisi perdana menteri secara resmi beralih ke Theresa May, rekan Cameron di Partai Konservatif yang juga mantan menteri dalam negeri. Selain berimbas pada peralihan kepemimpinan, dalam skenario terburuk, Brexit juga dapat berdampak pada keluarnya Irlandia Utara dan Skotlandia dari Inggris Raya. Isu ini berakar dari pilihan rakyat dua negara bagian tersebut untuk tetap menjadi bagian dari UE. Hasil referendum 23 Juni lalu menunjukkan kemenangan kubu remain yang cukup besar di Irlandia Utara dan Skotlandia, masingmasing dengan porsi suara 55,78% dan 62%. Walau demikian, karena kalah suara dari wilayah lain, keduanya harus ikut keluar dari UE. Perdana Menteri Republik Irlandia, tetangga Irlandia Utara, sempat menyatakan bahwa negosiasi antara Inggris dan UE harus mempertimbangkan kemungkinan bersatunya Republik Irlandia dengan Irlandia Utara. Referendum untuk unifikasi dua negara itu pasca Brexit juga mulai disuarakan oleh para politisi Republik Irlandia, meski hal ini dibantah oleh pimpinan Irlandia Utara. Sementara, pimpinan Skotlandia mengungkapkan bahwa referendum kemerdekaan yang kedua di negara itu sangat mungkin terjadi menyusul adanya Brexit. Skotlandia pada 18 September 2014 sempat menggelar referendum untuk menentukan kemerdekaannya dari Inggris Raya. Saat itu, sebanyak 55,3% pemilih memilih untuk tetap bergabung dengan Inggris. Pandangan Favorable terhadap Uni Eropa 70%
60%
Pandangan terhadap Uni Eropa pada Juni 2016
Yunani
68% 60% 59%
Prancis
60%
58%
50%
50% 47% 44%
45% 40%
38% Inggris
Italia
Jerman
Prancis
Spanyol
30% 2012
2013
2014
2015
71%
27%
61%
38%
Inggris
48%
44%
Spanyol
49%
47%
Jerman
48%
50%
Belanda
46%
51%
Swedia
44%
54%
Italia
39%
58%
Hungaria
37%
61%
Polandia
2016
22% Unfavorable
72% Favorable
Sumber: Pew Research Center Gambar 2. Pandangan terhadap Uni Eropa di Beberapa Negara Brexit juga dapat menjadi preseden buruk bagi keutuhan UE, terlebih karena pandangan rakyat di beberapa negara terhadap UE sedang memburuk. Menurut hasil survei Pew Research Center yang dilakukan pada Mei–Juni 2016, terjadi penurunan persepsi terhadap UE selama setahun terakhir di Italia, Jerman, Spanyol, Inggris, Prancis, dan Yunani. Pada tahun ini, persentase jumlah responden yang memiliki pandangan favorable terhadap UE di Prancis dan Yunani bahkan lebih kecil daripada Inggris. Di Spanyol, misalnya, persentase jumlah responden yang memiliki pandangan favorable terhadap UE juga tidak melebihi 50%. Mengenai Prancis, risiko keluar dari UE tampak nyata, terutama karena calon terkuat saat ini untuk posisi presiden pada Pemilu tahun 2017 dikenal skeptis dalam memandang UE. Menurut sebuah survei yang dirilis pada awal Juni lalu, popularitas Marine Le Pen, pemimpin Front Nasional Prancis, sebagai salah satu calon presiden melejit. Popularitasnya bahkan dua kali popularitas presiden Prancis saat ini, Francois Hollande, serta melebihi popularitas mantan presiden, Nicolas Sarkozy. Marine Le Pen adalah salah satu politisi Eropa yang mendukung Brexit. Jika terpilih menjadi presiden Prancis
4
melalui Pemilu pada Mei dan April 2017 mendatang, dia bahkan berencana menggelar referendum untuk keluar dari UE dalam waktu enam bulan berikutnya. Proses negosiasi pemisahan antara Inggris dan UE serta skenario politik di Eropa pasca Brexit merupakan sumber ketidakpastian penting yang menghantui ekonomi dan pasar keuangan Inggris dan Eropa dalam jangka pendek ke depan. Ketika hasil referendum Brexit mulai bisa dipastikan pada 24 Juni 2016, perilaku risk aversion mengemuka dan pasar keuangan global bereaksi negatif. Pada hari itu, indeks saham Dow Jones, FTSE 100, dan Nikkei anjlok masing-masing 3,39%, 3,15%, dan 7,92%. Nilai tukar pound sterling dan euro jatuh 8,81% dan 2,5% terhadap dolar AS. Sementara itu, Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Inggris untuk tahun 2016 dan 2017 sebanyak 0,2 poin persentase (ppts) dan 0,9 ppts menjadi 1,7% dan 1,3%. IMF menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Zona Euro pada tahun 2016 sebesar 0,1 ppts menjadi 1,6% karena realisasi kuartal I 2016 yang melebihi ekspektasi. Akan tetapi, perkiraan pertumbuhan ekonomi Zona Euro pada tahun 2017 dipangkas 0,2 ppts menjadi 1,4% akibat naiknya ketidakpastian bagi konsumen dan dunia usaha. Dengan demikian, ekonomi global diprediksi tumbuh 3,1% pada 2016 dan 3,4% pada 2017, masing-masing turun 0,1 ppts dari proyeksi sebelumnya (April 2016). Pertumbuhan Ekonomi Global
Pertumbuhan Ekonomi Negara Maju
4,0
2,5
3,5
% Tanpa Brexit Baseline Downside Severe
%
Tanpa Brexit Downside
Pertumbuhan Ekonomi Negara Berkembang Baseline Severe
2,0
5,0
%
4,5
1,5
3,0
Tanpa Brexit Baseline Downside Severe
4,0 1,0
2,5
3,5
0,5
2,0
3,0
0,0 2015
2016
2017
2015
2016
2017
2015
2016
2017
Sumber: IMF Gambar 3. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global dalam Berbagai Skenario IMF menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi global dapat lebih buruk dari angka-angka proyeksi baseline tersebut. Dalam skenario downside, kondisi pasar keuangan diasumsikan lebih ketat dengan keyakinan bisnis dan konsumen yang lebih rendah daripada kondisi baseline hingga semester I 2017. Sebagian perusahaan di sektor jasa keuangan diasumsikan merelokasi bisnisnya dari Inggris ke Zona Euro. Jika ini terjadi, ekonomi global diperkirakan tumbuh 2,9% pada 2016 dan 3,1% pada 2017. Dalam skenario severe, tekanan di pasar keuangan diasumsikan makin intensif, terutama dialami oleh negara-negara maju di Eropa, dengan kondisi pasar yang mengetat dan tingkat keyakinan yang memburuk. Dalam skenario ini, negosiasi antara Inggris dan UE berlangsung alot dan perdagangan di antara dua pihak ini akhirnya mengacu ke aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Jika ini terjadi, pertumbuhan ekonomi global diprediksi mencapai 2,8% pada 2016 dan 2017. Brexit dapat mempengaruhi ekonomi global melalui dua jalur, yaitu jalur perdagangan dan sektor keuangan. Dampak melalui jalur perdagangan muncul ketika pelemahan ekonomi di Inggris,
5
yang disebabkan oleh naiknya ketidakpastian yang mendorong pelemahan konsumsi dan investasi, berimbas pada penurunan permintaan negara itu terhadap barang impor. Dalam hal ini, partner dagang Inggris yang paling terkena dampaknya adalah negara-negara UE mengingat porsi agregat ekspornya ke Inggris yang melebihi 7% (data tahun 2015). Di bawahnya ada Afrika Selatan dan Amerika Serikat (AS) meski porsi ekspor mereka ke Inggris tidak melebihi 5% dari total. Secara umum, jika juga memperhitungkan prospek ekonomi UE di luar Inggris, negara-negara yang banyak tergantung pada perdagangan internasional akan paling banyak terkena dampak Brexit. Negara-negara ini termasuk Hong Kong, Rusia, dan Singapura yang memiliki porsi ekspor ke UE (termasuk Inggris) melebihi 7% terhadap produk domestik bruto (PDB). Ekspor ke Uni Eropa pada 2015
Ekspor ke Inggris pada 2015 Uni Eropa Afrika Selatan AS India China Rusia Thailand Jepang Brazil Hong Kong Malaysia Indonesia Singapura Filipina
% thd Total 0
2
4
6
Hong Kong Rusia Singapura Malaysia Afrika Selatan Thailand China Filipina India Brazil Indonesia Jepang AS
8
Ke Inggris Ke Negara Uni Eropa Lainnya % PDB 0
3
6
9
12
15
Sumber: CEIC, LPS Gambar 4. Ekspor Beberapa Negara ke Inggris dan Uni Eropa Dampak Brexit ke ekonomi global melalui jalur pasar keuangan sudah mulai terasa beberapa hari setelah referendum, ketika harga saham dan nilai tukar beberapa negara melemah. Meski efek melalui jalur ini tampak sudah mereda, masih ada risiko bahwa kondisi serupa dapat terjadi lagi di masa mendatang, terutama saat negosiasi antara Inggris dan UE tidak berlangsung sesuai dengan harapan. Di sisi lain, karena meningkatkan ketidakpastian di pasar keuangan, Brexit menjadi peristiwa penting yang mendukung iklim suku bunga rendah di negara-negara maju. Risalah (minutes) rapat penentuan kebijakan moneter Federal Reserve (the Fed) pada 14–15 Juni 2016 menunjukkan risiko gejolak pasar yang disebabkan Brexit sebagai salah satu pertimbangan utama bank sentral AS itu dalam mempertahankan policy rate-nya di kisaran 0,25%–0,5%. Merespons Brexit, Bank of England pada 14 Juli 2016 mengungkapkan rencananya untuk melonggarkan kebijakan moneter pada bulan Agustus mendatang. Sementara itu, naiknya ketidakpastian mendorong Sveriges Riksbank untuk menunda kenaikan suku bunga. Bank sentral Swedia itu sekarang melihat kemungkinan kenaikan suku bunga dari posisi saat ini di -0,5% pada semester II 2017. Bunga acuan Swedia bahkan diprediksi akan terus berada di teritori negatif hingga pertengahan tahun 2018.
6
Perkembangan Neraca Perdagangan, Inflasi, dan Kebijakan Moneter Seto Wardono Neraca perdagangan mengalami surplus US$ 900,2 juta pada bulan Juni 2016. Dengan demikian, surplus perdagangan secara kumulatif mencapai US$ 3,59 miliar selama semester I 2016. Menguatnya permintaan masyarakat selama bulan puasa mendorong kenaikan inflasi y/y menjadi 3,45% pada Juni 2016 dari 3,33% pada bulan sebelumnya. Bank Indonesia mempertahankan BI rate dan BI 7-day (reverse) repo rate di posisi 6,5% dan 5,25%. Indonesia masih mengalami surplus perdagangan di bulan Juni 2016 sebesar US$ 900,2 juta, meningkat dari US$ 373,6 juta pada bulan Mei 2016. Dengan demikian, selama semester I 2016 terjadi surplus perdagangan sebanyak US$ 3,59 miliar, lebih rendah dari US$ 4,48 miliar pada periode yang sama di tahun 2016. Pada saat bersamaan, defisit neraca perdagangan minyak dan gas (migas) turun dari US$ 3,11 miliar menjadi US$ 2,12 miliar, sedangkan surplus perdagangan non-migas turun dari US$ 7,58 miliar menjadi US$ 5,71 miliar. 75
12M Sum, % y/y
Milliar US$
4.5
0,4
Neraca Perdagangan - Kanan Ekspor
50
Neraca Perdagangan Migas
3.0
Impor 25
1.5
0
0.0
Miliar US$
0,0
-0,4 -0,8
-1,2 -1,6 -2,0
Mar-13 May-13 Jul-13 Sep-13 Nov-13 Jan-14 Mar-14 May-14 Jul-14 Sep-14 Nov-14 Jan-15 Mar-15 May-15 Jul-15 Sep-15 Nov-15 Jan-16 Mar-16 May-16
Jun-16
Dec-15
Jun-15
Jun-14
Dec-14
Dec-13
Jun-13
Dec-12
Jun-12
Jun-11
-3.0
Dec-11
-50
Jun-10
-1.5
Dec-10
-25
Sumber: BPS, CEIC Gambar 5. Ekspor, Impor, dan Neraca Perdagangan Peningkatan volume dan harga barang ekspor migas menjadi faktor utama yang mendorong kenaikan nilai ekspor pada Juni 2016. Nilai ekspor tercatat naik 12,18% m/m (-4,42% y/y), kenaikan bulanan tertinggi sejak November 2013. Volume ekspor tercatat meningkat 3,52% m/m, terutama ditopang oleh lonjakan volume ekspor migas sebesar 11,62%. Sejalan dengan kenaikan harga minyak mentah dan gas alam di pasar internasional, rata-rata harga agregat barang ekspor migas naik 11,02% m/m pada Juni lalu. Sementara, harga barang ekspor non-migas meningkat 8,19% dan menjadi faktor utama yang mendorong peningkatan nilai ekspor non-migas sebesar 11,12% m/m pada bulan itu. Dekomposisi ekspor non-migas menurut negara tujuan menunjukkan lonjakan ekspor ke China, Jepang, dan AS. Nilai impor mengalami peningkatan 7,86% m/m (-7,41% y/y) pada Juni 2016, sejalan dengan kenaikan volume dan harganya yang masing-masing mencapai 1,35% dan 6,42%. Berbeda dengan ekspor, penurunan volume impor migas malah menjadi faktor utama yang menekan kenaikan impor pada bulan itu. Volume impor migas terpantau turun 9,52% m/m, antara lain karena efek high base
7
terkait lonjakan volume impor di bulan Mei untuk menjaga kecukupan stok bahan bakar minyak (BBM) menjelang libur Idul Fitri. Sementara, klasifikasi nilai impor berdasarkan kelompok penggunaan barang menunjukkan adanya kenaikan di semua kelompok. Impor barang modal naik paling tinggi pada Juni lalu, yaitu sebesar 20,79% m/m. Pada saat yang sama, impor barang konsumsi dan bahan baku naik 14,2% dan 4,62%. Penjualan Otomotif dan Konsumsi Semen 100 3M Sum, % y/y 75
Impor Barang Konsumsi dan Barang Modal
% y/y
Barang Konsumsi (US$) Barang Modal (US$)
60
Barang Konsumsi (Rp)
40
Penjualan Sepeda Motor Penjualan Mobil Konsumsi Semen
50
Barang Modal (Rp)
25
20
0
0
-25
-20
Jun-16
Dec-15
Jun-15
Jun-14
Dec-14
Jun-13
Dec-13
Jun-12
Dec-12
Dec-11
Jun-11
Jun-10
Dec-10
2Q16
4Q15
4Q14
2Q15
4Q13
2Q14
2Q13
2Q12
4Q12
2Q11
4Q11
4Q10
4Q09
2Q10
2Q09
Jun-09
-50
-40
Dec-09
80
Sumber: CEIC, LPS Gambar 6. Perkembangan Indikator Konsumsi dan Investasi Data impor terbaru menunjukkan adanya sedikit pemulihan pada investasi. Jika diakumulasi secara kuartalan, impor barang modal tercatat masih turun 12,33% y/y pada kuartal II 2016, tapi masih lebih baik dari penurunan 18,14% pada kuartal I. Jika dirupiahkan, impor barang modal juga masih turun 11,13% y/y pada kuartal II, dibandingkan penurunan 13,46% di kuartal sebelumnya. Sementara, indikator investasi lainnya seperti konsumsi semen belum menunjukkan pemulihan. Konsumsi semen tumbuh 3,71% y/y pada kuartal II 2016, melambat dari 4,93% pada kuartal I. Sedangkan, realisasi belanja modal pemerintah pusat masih tumbuh sangat tinggi pada kuartal II, yaitu sebesar 30,04% y/y, namun angka ini masih jauh di bawah pertumbuhan 161,54% pada kuartal I. Sebaliknya, data impor terbaru menunjukkan pelemahan konsumsi. Pertumbuhan y/y impor barang konsumsi dalam rupiah turun signifikan dari 31,27% pada kuartal I menjadi 5,75% pada kuartal II 2016. Perkembangan impor barang konsumsi ini konsisten dengan pergerakan penjualan sepeda motor. Penjualan sepeda motor turun 7,05% y/y pada kuartal II lalu, dibandingkan penurunan 6,27% pada kuartal sebelumnya. Berbeda dengan sepeda motor, penjualan mobil malah meningkat 12,04% y/y pada kuartal II lalu, dibandingkan penurunan 5,35% pada kuartal I. Dengan melihat berbagai perkembangan di atas, daya dukung konsumsi dan investasi terhadap pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2016 tampak tidak banyak berbeda dari kondisi di kuartal I 2016. Meski demikian, perbaikan neraca perdagangan diperkirakan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi di kuartal II. Jika dirupiahkan, surplus perdagangan barang turun 5,83% y/y pada kuartal lalu, namun angka ini masih lebih baik dari penurunan 25,38% pada kuartal I. Selain neraca perdagangan, akselerasi konsumsi pemerintah diyakini juga dapat mendorong perbaikan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II. Realisasi belanja operasional (belanja pegawai dan belanja barang) pemerintah pusat pada kuartal tersebut tumbuh 42,41% y/y, lebih tinggi dari pertumbuhan 25,42% pada kuartal I.
8
Tekanan inflasi menguat di bulan Juni 2016, didukung oleh naiknya permintaan masyarakat selama bulan puasa. Indeks harga konsumen (IHK) terangkat 0,66% m/m di bulan itu, sehingga meningkatkan inflasi y/y ke 3,45% dari 3,33% pada bulan Mei. Pada periode yang sama, inflasi inti y/y juga meningkat dari 3,41% menjadi 3,49%. Sama dengan konsumen, pedagang besar juga menghadapi penguatan tekanan harga pada bulan Juni lalu. Inflasi indeks harga perdagangan besar (IHPB) nonmigas mencapai 11,54% y/y (+0,91% m/m) di bulan itu, naik dari 11,39% (+1,23% m/m) pada Mei 2016. Kenaikan inflasi IHPB ini terutama didukung oleh kenaikan harga produk pertanian. Inflasi m/m Juni 2016
Inflasi y/y Juni 2016 Bahan Makanan
Bahan Makanan
7,77
Makanan Jadi Perumahan
4,24
Sandang
Kesehatan
4,39
Kesehatan
Pendidikan
Pendidikan
3,59
Inti
0,03
0,63 0,33
Harga Administratif
-0,50
Makanan Bergejolak Umum
3,45 0
2
4
% 6
8
0,72
Makanan Bergejolak
8,12
-2
0,70 0,34
Inti
3,49
-4
0,15
Transportasi
-0,99
Harga Administratif
0,58
Perumahan
1,18
Sandang
Transportasi
1,62
Makanan Jadi
6,16
10
1,71
Umum 0,0
0,66 0,4
0,8
% 1,2
1,6
2,0
Sumber: BPS Gambar 7. Inflasi IHK Juni 2016 Sesuai dengan pola musimannya, inflasi yang relatif tinggi pada bulan Juni lalu terjadi di segmen bahan makanan (+1,62% m/m), sandang (+0,7%), dan transportasi (+0,63%). Menguatnya permintaan masyarakat selama bulan puasa menyebabkan kenaikan harga yang cukup tinggi pada komoditas pangan termasuk daging dan telur ayam ras, ikan segar, beras, serta sayur -sayuran seperti kentang, wortel, dan bayam. Sementara, inflasi yang cukup tinggi di kelompok sandang sejalan dengan kenaikan penjualan pakaian selama bulan puasa serta peningkatan harga emas perhiasan. Mobilitas masyarakat yang meninggi menjelang Idul Fitri juga mendorong kenaikan tarif angkutan udara dan tarif angkutan darat antar kota, sehingga berdampak pada inflasi yang relatif tinggi di kelompok transportasi. Kami masih melihat tekanan inflasi yang cukup tinggi pada Juli 2016, meski diduga tidak setinggi di bulan Juni. Data harga komoditas pangan harian yang dirilis Kementerian Perdagangan menunjukkan kenaikan harga daging sapi, daging ayam, gula pasir, cabai merah, dan bawang merah pada bulan Juli. Mengikuti pola musimannya, tekanan harga di segmen pendidikan diperkirakan juga mulai meningkat pada bulan ini dan mencapai puncaknya di bulan Agustus. Inflasi dalam jangka pendek ini juga akan didukung oleh kenaikan tarif listrik pada mayoritas segmen pelanggan rumah tangga yang terjadi di bulan Juni (+0,84%) dan Juli (+3,5%). Inflasi rata-rata di sepanjang tahun ini kami perkirakan mencapai 4% dengan posisi akhir tahun di 4,2%. Bank Indonesia (BI) melalui Rapat Dewan Gubernur tanggal 20–21 Juni 2016 memutuskan untuk mempertahankan BI rate dan BI 7-day (reverse) repo rate masing-masing di posisi 6,5% dan 5,25%. Di saat yang sama, BI juga mempertahankan bunga deposit facility dan bunga lending facility di angka 4,5% dan 7%. Keputusan ini sejalan dengan stabilitas ekonomi makro yang tetap terjaga,
9
tercermin dari inflasi yang terkendali di kisaran target 4%±1%, neraca berjalan yang membaik, dan nilai tukar rupiah yang relatif stabil. BI menyoroti pelemahan prospek ekonomi global yang dipicu oleh naiknya ketidakpastian pasca Brexit. Ekonomi negara maju dan beberapa negara berkembang yang berhubungan kuat dengan Inggris dan Uni Eropa diprediksi akan tumbuh lebih lambat. Di sisi lain, Brexit mengurangi peluang kenaikan Fed rate di masa mendatang. Di tengah pelemahan prospek ekonomi global, BI melihat potensi perbaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II 2016, meski diperkirakan masih terbatas. Ekonomi Indonesia bahkan diprediksi akan terus membaik pada kuartal-kuartal mendatang, didukung oleh pelonggaran kebijakan moneter dan makroprudensial, penguatan stimulus fiskal yang sejalan dengan implementasi UU Pengampunan Pajak, serta belanja pemerintah yang tetap tinggi. Menurut perkiraan BI, ekonomi Indonesia akan tumbuh berkisar 5%– 5,4% pada tahun 2016. Mengenai inflasi, BI memandang bahwa perkembangan hingga Juni lalu masih mendukung pencapaian target inflasi tahun ini yang sebesar 4%±1%. Transmisi pelonggaran kebijakan moneter melalui jalur suku bunga dinilai terus berlangsung, terlihat dari suku bunga perbankan yang terus mengalami penurunan. Sementara, pertumbuhan kredit yang masih terbatas menunjukkan bahwa transmisi kebijakan melalui jalur kredit belum optimal. Walau demikian, pelonggaran kebijakan moneter dan makroprudensial yang telah dilakukan serta implementasi UU Pengampunan Pajak diyakini akan dapat meningkatkan pertumbuhan kredit. Kebijakan BI pada Juli 2016 masih sesuai ekspektasi kami dan kami saat ini belum melihat perubahan bunga acuan di sepanjang semester II tahun 2016. BI 7-day (reverse) repo rate diperkirakan masih akan berada di level 5,25% pada akhir tahun ini. Meski demikian, imbangan risiko terhadap perkembangan bunga acuan ke depan tampak lebih mengarah ke bawah, terutama jika realisasi pertumbuhan ekonomi domestik ternyata tidak setinggi yang diharapkan. Arah suku bunga juga akan tergantung pada keberhasilan UU Pengampunan Pajak dalam menarik dana ke dalam negeri dan potensi apresiasi nilai tukar yang ditimbulkannya.
10
Pasar Keuangan
11
Brexit: Sentimen Penggerak Pasar di Pertengahan Tahun 2016 Dienda Siti Rufaedah Keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) sempat menekan pasar keuangan global, yang terlihat dari berbagai indikator sentimen pasar yang menunjukkan pemburukan. Tekanan di pasar finansial Indonesia diperkirakan bersifat sementara seiring munculnya sentimen positif dan serangkaian kebijakan dari dalam negeri. Wacana keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE) yang telah memicu ketidakpastian selama berbulan-bulan ini akhirnya terjawab, menyusul hasil referendum Inggris yang digelar pada tanggal 23 Juni 2016. Berdasarkan hasil perhitungan akhir, diperoleh suara sebanyak 51,89% (17.410.742 suara) yang menginginkan agar Inggris keluar dari UE, sementara 48,11% sisanya (16.141.241 suara) menginginkan agar Inggris tetap berada di UE. Pasca referendum, Perdana Menteri David Cameron mengumumkan pengunduran dirinya. Keluarnya Inggris dari UE atau yang dikenal dengan istilah “Brexit” ini sempat menekan pasar global. Hal ini terlihat dari meningkatnya berbagai indikator sentimen pasar keuangan global, seperti indeks VIX dan spread LIBOR-OIS. Selama bulan Juni 2016, indeks VIX dan spread LIBOR-OIS meningkat ke level 15,63 dan 27,82. Kenaikan indeks VIX dan spread LIBOR-OIS ini mengindikasikan peningkatan volatilitas di pasar keuangan global, seiring memburuknya sentimen investor terhadap keputusan referendum Inggris. 45.00
VIX
LIBOR-OIS
37.50
30.00
22.50
15.00
Jun-16
Apr-16
Feb-16
Dec-15
Oct-15
Aug-15
Jun-15
Apr-15
Feb-15
Dec-14
Oct-14
Aug-14
Jun-14
7.50
Sumber: Bloomberg Gambar 8. Perkembangan Indeks VIX dan Spread LIBOR-OIS Keputusan Inggris untuk keluar dari keanggotaan UE dinilai dapat memberikan sentimen negatif, khususnya bagi perekonomian Inggris sendiri. Pertumbuhan ekonomi Inggris diperkirakan akan melambat sebagai dampak dari menurunnya investasi yang masuk ke negara tersebut. Sebelum referendum, Dana Moneter Internasional (IMF) telah memperingatkan bahwa Brexit berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi Inggris akibat penurunan aktivitas bisnis yang muncul di sektor
12
perdagangan, investasi, serta kapasitas produksi. Di sisi lain, Brexit juga diyakini dapat berimplikasi pada penghematan anggaran serta fiskal yang lebih ketat. Pasca keputusan yang diambil Inggris ini, dua lembaga pemeringkat internasional menurunkan peringkat utang Inggris. Standard & Poor’s (S&P) untuk pertama kalinya menurunkan peringkat utang Inggris dari AAA menjadi AA dengan outlook negatif. Menurut S&P, hasil referendum bisa menyebabkan kerangka kebijakan yang dikeluarkan menjadi kurang dapat diprediksi. Fitch Ratings juga menurunkan rating utang Inggris dari AA+ ke AA dengan outlook negatif. Fitch memperkirakan akan ada perlambatan pada pertumbuhan ekonomi Inggris dalam jangka pendek. Sebelumnya, Moody’s telah menurunkan outlook utang jangka panjang Inggris dari stabil menjadi negatif. Mereka menilai bahwa hasil referendum ini akan memiliki implikasi negatif bagi prospek pertumbuhan jangka menengah Inggris. Di sisi lain, Brexit juga telah berdampak pada pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi global oleh sejumlah lembaga keuangan dunia. Pada 19 Juli 2016, IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini sebesar 3,1%, turun 0,1% dari proyeksi sebelumnya. Menurut IMF, meski ada perbaikan ekonomi di Jepang dan Eropa serta mulai membaiknya harga komoditas, Brexit tetap menciptakan ketidakpastian yang dapat menurunkan kepercayaan investor. Perkembangan Nilai Tukar Sejumlah Negara thd USD EUR/USD
-2.35%
GBP/USD
-8.05% -1.08%
USD/IDR
-1.11%
USD/BRL
-0.82%
-2.82% -1.82% -2.24% -1.30% -0.76% -2.92% -3.56% -0.36% -1.62% -3.36% -1.29% -2.09%
USD/CNY
-0.62%
USD/ZAR
-4.62%
USD/MYR
-1.90%
USD/THB
-0.55%
USD/TRY
-2.61%
USD/PHP
-0.80%
USD/SGD
-1.19% -8%
-3.15%
USD/INR
-1.07%
-4%
0%
4%
8%
Dow Jones (USA) S&P 500 (USA) Stoxx Europe 600 (Eropa) Nikkei 225 (Jepang) FTSE 100 (Inggris) IHSG (Indonesia) Ibovespa (Brazil) MICEX (Rusia) Sensex (India) Shanghai (China) Shenzhen (China) Hang Seng (China) JALSH (Afrika Selatan) KLCI (Malaysia) SET (Thailand) Borsa Istanbul (Turki) PCOMP (Filipina) FSSTI (Singapura)
-3.39% -3.59%
-7.03% -7.92%
USD/RUB
-2.29%
-12%
Perkembangan Indeks Saham Utama Dunia
USD/JPY
3.71%
-9%
-6%
-3%
0%
Perkembangan Yield Obligasi Global Amerika Serikat
-19
Eropa
-14
Jepang
-3
Inggris
-29
Indonesia
18 -1
Brazil
0
India China
-1
Afrika Selatan
21
Malaysia
2
Thailand
-9 -40
-30
-20
-10
0
10
20
30
Sumber: Bloomberg Tabel 1. Perkembangan Pasar Keuangan Dunia Pasca Brexit (d-t-d)
Di sisi lain, dampak Brexit juga terlihat dari kondisi pasar keuangan global yang menunjukkan adanya tekanan. Nilai tukar pound sterling terhadap dolar AS anjlok ke level terendah dan ditutup melemah -8,81% (d/d) pada perdagangan tanggal 24 Juni 2016. Negara berkembang juga mengalami pelemahan nilai tukar secara serentak terhadap dolar AS. Hal ini antara lain terjadi pada Afrika Selatan (-4,62%), Turki (-2,61%), dan Rusia (-2,29%). Penurunan pun terlihat di pasar saham. Indeks saham utama Inggris, FTSE 100, ditutup di level 6.139 atau turun 3,15%. Sementara itu, indeks Dow Jones, Stoxx Europe 600, dan Nikkei 225 juga turun masing-masing sebesar 3,39%, 7,03%, dan 7,92%. Tekanan yang terjadi di pasar keuangan global juga terjadi di Indonesia. Nilai tukar rupiah tertekan -1,08% (d/d) ke level Rp 13.391/US$. IHSG juga sempat turun 2,28% ke level 4.763 sebelum akhirnya ditutup di level 4.835 (turun 0,82%) pada perdagangan tanggal 24 Juni 2016. Dalam satu hari, yield obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun naik signifikan sebesar 18 bps ke level 7,79%. Meskipun terjadi koreksi di pasar keuangan Indonesia, dampak Brexit terhadap ekonomi Indonesia diperkirakan hanya bersifat sementara. Pelemahan rupiah, indeks saham, dan yield obligasi
13
merupakan hal yang wajar mengingat koreksi juga terjadi di berbagai negara sebagai dampak dari flight to quality ke pasar-pasar safe haven, seperti AS dan Jepang. Mata Uang Negara Maju EUR/USD USD/JPY GBP/USD Negara Berkembang USD/IDR USD/BRL USD/RUB USD/INR USD/CNY USD/ZAR USD/MYR USD/THB USD/TRY USD/PHP USD/SGD
FY2015 (%)
YTD (%)
MTD (%)
1M (%, Jun-16)
1W (%)
(10,22) (0,37) (5,40)
1,59 12,76 (10,48)
(0,64) (1,63) (0,89)
(0,23) 6,80 (8,09)
(0,14) (4,32) 1,84
1,11 103,20 1,33
1,10 104,88 1,32
1,08 105,00 1,27
(0,57) 12,66 (13,82)
(11,30) (49,04) (19,40) (4,93) (4,64) (33,69) (22,79) (9,48) (24,93) (4,89) (7,02)
5,02 17,18 12,18 (1,39) (3,08) 5,79 8,12 2,90 (3,38) 0,35 4,98
0,86 (2,09) 0,29 0,67 (0,68) 1,04 2,06 0,38 (4,80) 0,89 (0,05)
3,21 11,04 4,27 (0,39) (0,95) 6,25 2,42 1,82 2,43 (0,82) 2,21
0,64 0,60 0,28 0,44 (0,04) (0,25) 2,20 0,55 (4,27) 0,93 (0,13)
13.210 3,21 63,87 67,53 6,65 14,73 4,03 35,12 2,88 47,16 1,35
13.096 3,28 63,69 67,07 6,69 14,57 3,95 34,99 3,02 46,74 1,35
13.625 3,54 66,50 69,00 6,74 15,68 4,15 36,00 3,09 47,80 1,40
1,18 10,62 8,30 (4,30) (3,79) (1,37) 3,36 0,08 (5,92) (1,91) 1,30
Posisi Posisi Depre/Apre 2016F*) 30/06/2016 15/07/2016 2015F
Sumber: Bloomberg Tabel 2. Perkembangan Nilai Tukar Sejumlah Negara terhadap Dolar AS
Pada minggu kedua bulan Juli 2016, tekanan akibat Brexit di pasar keuangan global terlihat mereda yang ditunjukkan oleh membaiknya kinerja nilai tukar sejumlah negara terhadap dolar AS. Tekanan terhadap mata uang pound sterling mulai menurun, terlihat dari pelemahan sebesar 0,89% month to date (mtd) ke level 1,32 per dolar AS. Keputusan Bank of England (BOE) untuk mempertahankan bunga acuan memberikan sentimen positif bagi pergerakan pound sterling. Sementara itu, mayoritas mata uang negara berkembang menunjukkan penguatan, seperti ringgit Malaysia (+2,06%), rand Afrika Selatan (+1,04%), dan peso Filipina (+0,89%). Perekonomian negara berkembang di Asia dan Pasifik diperkirakan masih akan tumbuh solid meskipun terjadi guncangan akibat Brexit. Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam laporan terbarunya menyatakan bahwa meskipun proyeksi pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang di Asia cenderung melambat ke level 5,6% di tahun 2016, dampak Brexit terhadap ekonomi riil dalam jangka pendek diperkirakan relatif kecil. Menurut ADB, pertumbuhan di tahun 2016 masih dipimpin oleh Asia Selatan, terutama India yang terus berkembang pesat dan Tiongkok yang masih mampu mencapai proyeksi pertumbuhan sebelumnya. Sementara itu, proyeksi pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara tahun 2016 masih tidak mengalami perubahan di level 4,5%, ditopang oleh pengeluaran rumah tangga pada semester I 2016.
14
Indeks Saham Negara Maju Dow Jones (USA) S&P 500 (USA) Stoxx Europe 600 (Eropa) Nikkei 225 (Jepang) FTSE 100 (Inggris) Negara Berkembang IHSG (Indonesia) Ibovespa (Brazil) MICEX (Rusia) Sensex (India) Shanghai (China) Shenzhen (China) Hang Seng (China) JALSH (Afrika Selatan) KLCI (Malaysia) SET (Thailand) Borsa Istanbul (Turki) PCOMP (Filipina) FSSTI (Singapura)
FY2015 (%)
YTD (%)
MTD (%)
1M (%, Jun-16)
1W (%)
(2,23) (0,73) 6,79 9,07 (4,93)
6,26 5,76 (7,62) (13,32) 6,84
3,27 3,00 2,44 5,92 2,54
0,80 0,09 (5,06) (9,63) 4,39
2,04 1,49 3,23 9,21 1,19
17.929,99 2.098,86 329,88 15.575,92 6.504,33
18.516,55 2.161,74 337,92 16.497,85 6.669,24
(12,13) (13,31) 26,12 (5,03) 9,41 63,15 (7,16) 1,85 (3,90) (14,00) (16,33) (3,85) (14,34)
11,26 28,21 10,19 6,58 (13,70) (11,70) (1,16) 4,72 (1,42) 15,84 15,47 15,51 1,48
1,86 7,86 2,63 3,10 4,26 3,27 4,16 1,67 0,87 3,25 7,82 3,00 2,97
4,58 6,30 (0,42) 1,24 0,45 5,44 (0,10) (3,13) 1,73 1,45 (1,27) 5,33 1,79
0,81 4,59 2,45 2,62 2,22 1,31 5,33 3,53 1,45 2,50 6,16 3,33 2,75
5.016,65 51.526,93 1.891,09 26.999,72 2.929,61 1.974,24 20.794,37 52.217,72 1.654,08 1.444,99 76.817,19 7.796,25 2.840,93
5.110,18 55.578,24 1.940,85 27.836,50 3.054,30 2.038,73 21.659,25 53.088,46 1.668,40 1.492,00 82.825,36 8.030,06 2.925,35
Posisi Posisi 30/06/2016 15/07/2016
Sumber: Bloomberg Tabel 3. Perkembangan Indeks Saham Utama Dunia
Setelah pertumbuhan yang negatif pasca pengumuman Brexit, bursa saham global pada pertengahan bulan Juli 2016 secara serentak berada pada teritori positif. Di negara maju, peningkatan terbesar terjadi pada indeks Nikkei 225, yaitu sebesar 5,92%. Penguatan indeks harga saham ini ditopang oleh ekspektasi paket stimulus setidaknya sebesar 30 triliun yen guna mendorong perekonomian Jepang dan mengatasi kemungkinan dampak negatif dari Brexit. Prospek pelonggaran moneter ini direspons positif serta mendongkrak kinerja pasar saham global. Sentimen positif juga datang dari rilis data klaim tunjangan pengangguran AS (yang mengukur jumlah tenaga kerja yang sedang menganggur atau mencari pekerjaan serta mengajukan kompensasi untuk memperoleh tunjangan dari pemerintah) yang menunjukkan penurunan. Per tanggal 16 Juli 2016, klaim tunjangan pengangguran AS mengalami penurunan sebanyak 1.000 menjadi 253.000. Dua indeks utama AS, Dow Jones dan S&P 500, masing-masing naik sebesar 3,27% dan 3% ke level 18.517 dan 2.162 pada perdagangan tanggal 15 Juli 2016. Di negara berkembang, peningkatan terbesar terjadi pada indeks Ibovespa dan Borsa Istanbul, masing-masing sebesar 7,86% dan 7,82% ke level 55.578 dan 82.825. Indeks Ibovespa melonjak seiring rencana pemerintah Brasil untuk memotong defisit anggaran di tahun 2017 untuk menopang keuangan negara. Sementara itu, indeks saham utama Turki naik menyusul pernyataan bank sentral yang akan menyediakan dana untuk membantu likuiditas perbankan pasca ketidakstabilan politik yang terjadi akibat usaha kudeta.
15
Sovereign Bond Yield 10Yr (LCY) Negara Maju Amerika Serikat Eropa Jepang Inggris Negara Berkembang Indonesia Brazil India China Afrika Selatan Malaysia Thailand
FY2015 (bps)
YTD (bps)
MTD (bps)
1M (bps, Jun-16)
1W (bps)
10 9 (6) 20
(72) (62) (49) (113)
8 14 (1) (3)
(38) (27) (11) (56)
19 20 6 10
1.47 (0.13) (0.22) 0.87
1.55 0.01 (0.23) 0.83
1.72 0.11 -0.18 1.17
95 415 (10) (79) 183 4 (23)
(159) (456) (49) (1) (106) (62) (57)
(30) (11) (18) (1) (9) (18) (2)
(42) (92) (2) (11) (57) (18) (35)
6 (10) (11) 3 3 (13) 4
7.45 12.06 7.45 2.86 8.83 3.74 1.95
7.16 11.95 7.27 2.85 8.74 3.56 1.93
7.50 n/a 7.33 2.95 9.13 3.96 2.07
Posisi Posisi 30/06/2016 15/07/2016
2016*)
Sumber: Bloomberg Tabel 4. Perkembangan Obligasi Pemerintah Tenor 10 Tahun
Pada minggu kedua bulan Juli 2016, kinerja pasar obligasi negara maju dan negara berkembang secara umum menunjukkan perbaikan, yang terlihat dari penurunan imbal hasil obligasi. Sinyal stimulus dari beberapa bank sentral seperti Inggris dan Eropa diperkirakan dapat memberikan sentimen positif yang mendorong penguatan di pasar obligasi. Setelah BOE secara mengejutkan mempertahankan bunga acuan di rekor terendah 0,5%, bank sentral Inggris ini juga memberi sinyal untuk memberi stimulus tambahan yang akan dikeluarkan pada bulan Agustus guna membantu perekonomian pasca Brexit. Sebelumnya, Bank Sentral Eropa (ECB) telah mengkonfirmasi program pembelian aset per bulan senilai 80 miliar euro yang akan berlanjut hingga Maret 2017 atau hingga laju inflasi konsisten ke arah targetnya. ECB pun menyatakan tidak akan ragu untuk menambah stimulus bila diperlukan.
-10
5,500
5
5,250
0
5,000
-5
4,750
4,250 4,000 Jun-16
Apr-16
Mei-16
Mar-16
Jan-16
Feb-16
Des-15
Okt-15
Nop-15
Sep-15
6,000
-15 Jul-15
(IDR Tn)
7,000
4,500
Jun '16 IHSG (eop) : 5,016.65 Net Buy Saham : Rp +8.81 Tn
-10
Agust-15
8,000
Jun '16 USDIDR (eop) : Rp 13,210 Net Buy SBN : Rp +22.03 Tn
-30
Jun-15
-20
-40
5,750
9,000
Jun-16
Jun-16
Feb-16
Jun-15
Oct-15
Feb-15
Jun-14
Oct-14
Feb-14
Jun-13
Oct-13
Feb-13
Jun-12
Oct-12
0%
10,000
Dec-15
0
0
Mar-16
10%
100
11,000
Jun-15
200
10
Sep-15
20%
IHSG (eop, RHS)
10
12,000
Dec-14
300
13,000
Mar-15
30%
20
Jun-14
400
Net Buy Saham (LHS)
15,000 14,000
Sep-14
500
Nilai Tukar (eop, RHS)
30
Dec-13
40%
Net Buy SBN (LHS)
40
Mar-14
50%
% Foreign Ownership
Jun-13
Amount Foreign Ownership
(IDR Tn)
600
Sep-13
700
Sumber: Bloomberg Gambar 9. Perkembangan Kepemilikan Asing di SBN, Net Buy SBN, dan Net Buy Saham
Dari dalam negeri, kinerja nilai tukar rupiah terus mengalami perbaikan. Pada tanggal 15 Juli 2016, rupiah telah terapresiasi sebesar 5,02% (ytd) ke level Rp 13.096/US$. Berbagai sentimen positif dari dalam negeri turut menopang kinerja nilai tukar rupiah di tengah keputusan referendum Inggris. Data neraca perdagangan melanjutkan tren surplus dalam enam bulan berturut-turut. Sedangkan,
16
pemerintah Indonesia terus melakukan serangkaian kebijakan guna meredam volatilitas pasca referendum Inggris, salah satunya adalah dengan pengampunan pajak (tax amnesty). Presiden Joko Widodo pada tanggal 1 Juli 2016 telah mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Menurut UU ini, wajib pajak yang belum melaporkan pajaknya akan mendapat tarif tebusan yang lebih rendah dengan pembagian sebagai berikut: 1. Usaha Kecil dan Menengah Wajib pajak berbentuk usaha kecil dan menengah yang mengungkapkan hartanya sampai Rp 10 miliar akan dikenai tarif tebusan sebesar 0,5%. Sedangkan yang mengungkapkan lebih dari Rp 10 miliar dikenai tarif 2%. 2. Wajib Pajak yang Bersedia Merepatriasi Asetnya di Luar Negeri Wajib pajak yang bersedia merepatriasi asetnya dari luar negeri ke dalam negeri akan diberikan tarif tebusan sebesar 2% untuk Juli–September 2016, 3% untuk periode Oktober–Desember 2016, dan 5% untuk periode Januari–Maret 2017. 3. Deklarasi Aset di Luar Negeri Tanpa Repatriasi Wajib pajak yang mendeklarasikan asetnya di luar negeri tanpa melakukan repatriasi ke dalam negeri akan dikenai tarif 4% untuk periode Juli–September 2016, 6% untuk periode Oktober– Desember 2016, dan 10% untuk periode Januari–Maret 2017. Pengampunan pajak akan berlaku hingga akhir Maret 2017. Dengan adanya kebijakan ini, pemerintah menyatakan optimis dapat menjaga defisit anggaran di semester II 2016 sebesar 0,52% terhadap produk domestik bruto (PDB), lebih rendah dibandingkan defisit anggaran di semester I 2016 yang sebesar 1,83%. Dengan demikian, defisit APBN-P sepanjang tahun 2016 masih akan sesuai target sebesar 2,35% terhadap PDB. Apresiasi rupiah, rilis data ekonomi yang positif, dan kebijakan tax amnesty juga menjadi katalis positif bagi kinerja obligasi pemerintah Indonesia. Setelah selama Juni 2016 investor asing membukukan pembelian bersih (net buy) sebesar Rp 22,03 triliun yang menaikkan kepemilikannya ke level Rp 643,99 triliun, mereka kembali mencatatkan net buy pada paruh pertama bulan bulan Juli 2016 sebesar Rp 15,58 triliun. Kepemilikan asing atas surat berharga negara (SBN) rupiah yang dapat diperdagangkan tercatat naik dari Rp 643,99 triliun (39,1% dari total) pada akhir Juni menjadi Rp 659,57 triliun (39,55% dari total) pada pertengahan Juli 2016. Net buy juga terjadi di pasar saham Indonesia. Selama bulan Juni 2016, investor asing telah membukukan pembelian bersih sebesar Rp 8,81 triliun, membaik dibandingkan net sell selama bulan Mei 2016 sebesar Rp 0,18 triliun. Dengan masuknya investor asing ke pasar saham Indonesia, maka IHSG tercatat meningkat ke level 5.017 pada akhir Juni 2016. Sementara itu, meskipun terdapat libur perdagangan di bursa saham Indonesia selama hari raya, tetap terjadi capital inflow sebesar Rp 8,86 triliun pada paruh pertama bulan Juli 2016. IHSG juga menguat dan ditutup pada level 5.197 pada perdagangan tanggal 22 Juli 2016.
17
Perbankan
Perbankan: Bertahan Menghadapi NPL Seno Agung Kuncoro Secara umum likuiditas perbakan masih cukup baik dan diperkirakan akan berlanjut hingga akhir tahun. Meskipun terjadi peningkatan LDR secara terbatas ke level 90,3%. Tingkat bunga bank dan pasar uang terus menunjukkan tren menurun mengikuti arah kebijakan moneter. Terjadinya peningkatan NPL merupakan efek dari perlambatan ekonomi dan turbulensi yang terjadi di akhir tahun 2015. Siklus diperkirakan mengalami fase bottoming out dan masih kuatnya sisi permodalan perbankan, maka diperkirakan efek NPL masih manageable. Tahun 2016 ini, pelaku industri perbankan dituntut untuk memeras otak agar kinerja perbankan bisa bertahan di tengah volatilitas kondisi perekonomian global dan domestik. Kondisi perekonomian global terbaru menunjukkan adanya probabilita yang sangat besar bahwa the Fed akan menunda kenaikan suku bunga hingga akhir tahun 2016. Pertimbangannya adalah faktor Brexit (keluarnya Inggris dari Uni Eropa) yang dampaknya terhadap ekonomi dan politik Inggris sendiri dan anggota Uni Eropa umumnya belum bisa diprediksi, karena ini adalah hal baru di dunia. Hal tersebut membuat nilai tukar dolar AS menguat terhadap beberapa mata uang negara maju. Untungnya bagi Indonesia, Parlemen telah mengesahkan UU Pengampunan Pajak (tax amnesty) yang membawa implikasi positif bagi sektor keuangan, terutama menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pada dasarnya, kinerja perbankan di Indonesia tergantung pada pertumbuhan ekonomi yang berjalan. Pengaruh pertumbuhan sektor perbankan terhadap perekonomian hanya akan muncul bila kualitas fundamental perekonomian, dalam arti bukan hanya infrastruktur tetapi dalam arti luas, bisa mendorong produktivitas dan keunggulan kompetitif relatif terhadap negara lain. Dalam hal ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang didorong oleh konsumsi, investasi, ekspor neto, dan belanja pemerintah sangat dipengaruhi oleh kondisi eksternal.
19
Sumber: OJK Tabel 5. Kinerja Industri Perbankan dan Rasio NPL
Kinerja sektor perbankan sampai dengan Mei 2016 masih belum memperlihatkan perbaikan. Total kredit perbankan hanya tumbuh 8,34% y/y, sementara penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) pun juga hanya tumbuh sebesar 6,53% y/y. Sementara, ketahanan industri perbankan masih terjaga dengan baik, melihat dari rasio permodalan yang sebesar 22,41%, diimbangi dengan likuiditas yang masih mencukupi (Tabel 5). Secara umum, likuiditas perbakan masih cukup baik dan diperkirakan akan berlanjut hingga akhir tahun. Meskipun terjadi peningkatan LDR secara terbatas ke level 90,3%, di sisi lain tingkat bunga bank dan pasar uang terus menunjukkan tren menurun mengikuti arah kebijakan moneter. Keinginan pemerintah untuk menurunkan suku bunga sebenarnya merupakan angin segar bagi para pelaku usaha. Tren penurunan inflasi yang sudah berlangsung selama beberapa bulan berhasil memperlebar spread dengan suku bunga acuan. Hingga akhirnya Bank Indonesia (BI) dapat menurunkan suku bunga acuan hingga tiga kali sepanjang semester I 2016. Bagi perbankan, turunnya suku bunga acuan menjadi pendorong untuk menurunkan cost of fund, tapi hal ini belum cukup untuk menstimulasi penurunan suku bunga kredit. Salah satu komponen pembentuk suku bunga pinjaman adalah faktor risiko yang saat ini belum bisa dikendalikan karena perlambatan pertumbuhan ekonomi menekan kemampuan bayar dari debitur. Salah satu sektor yang tertekan akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi adalah sektor perdagangan dan konstruksi yang memiliki rasio kredit bermasalah (NPL) per Mei 2016 masing-masing sebesar 4,40% dan 4,84%, relatif tinggi dibandingkan dengan sektor lainnya. Untuk penyaluran kredit berdasarkan jenis sektor, hampir seluruh sektor mengalami perlambatan pertumbuhan. Pertumbuhan kredit sektor rumah tangga dan perdagangan, sebagai sektor yang dominan dari total kredit, juga masih mengalami perlambatan. Kredit sektor rumah tangga, dengan porsi 29% dari total kredit, pada Mei 2016 tumbuh sebesar 8,75% y/y, turun 127 bps dari pertumbuhan di akhir tahun 2015 (Tabel 6). Sementara, redit sektor perdagangan yang memiliki porsi 21% dari total kredit perbankan hanya mampu tumbuh 7,38% y/y atau turun 319 bps dari pertumbuhan akhir tahun 2015.
20
Sumber: OJK Tabel 6. Kinerja Sektor Industri Perbankan dan Rasio NPL BI berencana untuk melonggarkan kembali kebijakan makroprudensial terkait sektor konsumsi terutama properti. Sektor properti dianggap memiliki multiplier effect dan backward linkage yang cukup besar kepada sektor-sektor ekonomi lainnya, yang diharapkan bisa memberi tenaga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Aturan baru ini diperuntukkan bagi pembayaran uang muka (down payment atau DP) untuk landed house atau rumah tapak pertama dengan luas lebih dari 70 m2 menjadi sebesar 20% dari harga rumah, 30% untuk rumah kedua, serta 40% untuk rumah ketiga (Tabel 7). Sedangkan untuk rumah tapak dengan luas 22–70 m2, perubahan rasio loan to value (LTV) ini membuat pembeli cukup membayar DP sebesar 20% untuk rumah kedua dan 30% untuk rumah ketiga. Aturan ini juga berlaku untuk pembelian kredit rumah susun (rusun). Pembeli rusun pertama dengan luas lebih dari 70 m2 bisa membayar DP hanya sebesar 20%. Sedangkan untuk rusun kedua, dikenakan DP minimal sebesar 30% dan untuk rusun ketiga sebesar 40%.
21
Sumber: BI Tabel 7. Rencana Pelonggaran Aturan LTV Kebijakan yang akan digulirkan tersebut diharapkan dapat mendorong berjalannya fungsi intermediasi perbankan dalam penyaluran kredit kepada masyarakat. Akan tetapi, perlu diingat juga bahwa pembelian properti hanya sebagian dari total kredit konsumsi. Dengan melonggarkan aturan LTV, BI selaku regulator makroprudensial tentu berharap bahwa permintaan kredit properti akan bisa meningkat, yang pada gilirannya akan membangkitkan kembali bisnis properti. Hal ini diperlukan mengingat penjualan properti menjadi salah satu indikator awal dari meningkatnya pertumbuhan perekonomian. Setidaknya pelonggaran kebijakan LTV properti diikuti oleh pelonggaran kebijakan LTV untuk penjualan otomotif. Dengan demikian, efek multiplier yang diharapkan akan lebih mengena. Ada juga kemungkinan bahwa regulator ingin melihat terlebih dahulu dampak dari pelonggaran kebijakan LTV untuk properti. Bila dampak dari pelonggaran kebijakan itu tidak seperti yang diharapkan, kebijakan itu akan diikuti oleh pelonggaran kebijakan LTV untuk pembiayaan otomotif. Penyaluran kredit perumahan dan apartemen relatif stabil hingga Mei 2016. Kredit yang mengalir untuk pemilikan rumah (KPR) dan apartemen (KPA) tersebut tercatat sebesar Rp 348,6 triliun atau tumbuh sebesar 7,79% y/y (Gambar 10). Pertumbuhan kredit tersebut cenderung tidak bergerak selama 13 bulan terakhir. Dalam hampir 10 tahun terakhir, pertumbuhan kredit properti rata-rata selalu di atas 25%, bahkan pada pertengahan tahun 2012 kredit properti bisa tumbuh hingga di atas 40% y/y. Namun, pada pertengahan tahun 2014, pertumbuhan kredit properti anjlok cukup dalam hingga hanya tumbuh sebesar 17,92% dan terus melambat hingga saat ini. BI juga memperlonggar pembiayaan kredit melalui sistem inden dengan pembiayaan bertahap sesuai progress pembangunan untuk rumah tapak, rumah susun, rukan sampai fasilitas kredit atau pembiayaan kedua. Dengan pelonggaran tersebut, kredit atau pinjaman bisa cair sewaktu-waktu tanpa harus menunggu rumah tersebut benar-benar selesai dibangun. Tidak hanya itu, BI juga menaikkan batas bawah loan to financing ratio (LFR) terkait giro wajib minimum (GWM-LFR) dari 78% menjadi 80%, dengan batas atas tetap sebesar 92%.
22
Sumber: BI, OJK Gambar 10. Pertumbuhan Jenis Kredit dan Kredit Konsumer Pelemahan kinerja perbankan bukan hanya terlihat dari melambatnya pertumbuhan kredit, tetapi juga dari potensi kenaikan jumlah kredit bermasalah. Dengan kondisi yang serba ketat saat ini, peluang untuk memperbaiki NPL akan menjadi prioritas bagi perbankan untuk mempertahankan kinerjanya. Namun, hal tersebut belum memperlihatkan hasil yang menggembirakan karena sampai dengan bulan Mei 2016, kredit macet perbankan semakin meningkat. Terjadinya peningkatan NPL merupakan efek dari perlambatan ekonomi dan turbulensi yang terjadi di akhir tahun 2015. Namun seiring dengan siklus yang sudah bottoming out dan masih kuatnya sisi permodalan perbankan, efek NPL diperkirakan masih dalam batas yang manageable.
Sumber: OJK Gambar 11. Pertumbuhan NPL dan Rincian Data NPL
23
Pertumbuhan NPL nominal naik signifikan dari 27,30% y/y pada April 2016 menjadi 30,41% y/y pada Mei 2016. Bila melihat kenaikan nominal bulanan (m/m), jumlah NPL periode Mei naik sebesar 7,95% dibanding kenaikan bulan April yang sebesar 3,73%. Penurunan kualitas kredit disumbang oleh semua kategori kolektibilitas kredit bermasalah yang meningkat terutama kategori macet (loss) yang secara nominal mengalami kenaikan tertinggi sebesar Rp5,1 triliun. Setelahnya, ada peningkatan nominal kategori kolektibilitas diragukan (doubtful) yang sebesar Rp 3,5 triliun. Meningkatnya jumlah nominal kredit bermasalah pada akhirnya berimbas pada rasio NPL gross perbankan yang mengalami peningkatan namun masih di bawah regulatory comfort zone sebesar 5%. Rasio NPL gross perbankan meningkat dari 2,93% pada April 2016 menjadi sebesar 3,11% pada Mei 2016.
Sumber: OJK Gambar 12. Rasio NPL Sektoral dan Proporsi Jenis Kredit Tren peningkatan NPL nominal mengalami kenaikan pada hampir semua sektor (Gambar 12). Pada Mei 2016, peningkatan NPL nominal yang signifikan terjadi di sektor perdagangan, konstruksi, pertambangan, dan rumah tangga. Kenaikan NPL ini terjadi seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi domestik dan gejolak perekonomian global. Tekanan kredit bermasalah kami perkirakan masih akan berlangsung sepanjang tahun 2016. Dari awal tahun 2016, perbankan telah melakukan penambahan pencadangan kredit bermasalah demi mengantisipasi potensi kredit macet yang terjadi. Beberapa hal yang bisa menstimulasi terbatasnya risiko pemburukan kualitas kredit antara lain adalah peningkatan penyerapan anggaran belanja pemerintah dan likuiditas yang mulai membaik, terutama setelah disahkannya kebijakan tax amnesty. Di satu sisi, likuiditas valuta asing (valas) mulai mengalami sedikit tekanan akibat simpanan valas yang anjlok sangat dalam dibandingkan kontraksi kredit valas. Pada Mei 2016, simpanan valas turun hingga 11,25% y/y dibandingkan kontraksi kredit valas sebesar 4,67% y/y. Akibatnya rasio LDR valas mengalami tekanan dan berubah dari 85,76% di
24
April 2016 menjadi sebesar 91,10% pada Mei 2016 (Gambar 4). Hal tersebut terutama dipicu oleh sentimen kenaikan suku bunga the Fed, perlambatan ekonomi global, serta faktor depresiasi rupiah.
Sumber: OJK Gambar 13. Pertumbuhan DPK Valas dan Proporsi DPK Valas Tren pertumbuhan simpanan deposito yang terus menurun selama setahun terakhir membuat porsi dana murah secara gradual mengalami peningkatan. Kini, bank tak hanya bersaing di dalam industri untuk berebut dana murah di pasar. Tetapi, bank juga harus berebut dana masyarakat dengan pemerintah yang gencar menerbitkan surat utang dengan bunga tinggi, yang kadang melebihi bunga deposito bank. Dengan berbagai faktor yang kurang menguntungkan bagi perbankan, mulai dari perlambatan pertumbuhan ekonomi, sumber daya yang tidak optimal, dan kenaikan NPL, timbul tekanan pada tingkat profitabilitas yang dihasilkan. Pada Mei 2016, pertumbuhan laba y/y perbankan masih mengalami kontraksi sebesar 4,30% (Gambar 14). Beberapa bank dengan skala aset menengah tercatat menghasilkan pertumbuhan laba yang negatif. Kontraksi pada pendapatan bunga belum bisa ditutupi oleh penurunan cost of fund, sehingga membuat manajemen bank harus mencari cara untuk memperbaiki profil sumber pendapatan dan pengeluaran. Beberapa bank sangat besar bahkan telah mengeluarkan program pensiun dini dan konsolidasi struktur organisasi untuk mengefisienkan pengeluaran. Penurunan laba pada dasarnya disebabkan oleh dua hal, yaitu turunnya penyaluran kredit baru dengan disertai naiknya beban provisi atas NPL. Di satu sisi, rasio NIM mengalami kenaikan 4 bps menjadi 5,60% di Mei 2016 dari posisi bulan sebelumnya karena persentase kenaikan pendapatan bunga bersih yang lebih tinggi dibandingkan kenaikan aset produktif. Tren suku bunga bank benchmark yang dipantau LPS (suku bunga pasar) secara rata-rata di sepanjang bulan Juli 2016 masih memperlihatkan penurunan yang terbatas. Dalam rentang Juni dan Juli 2016, suku bunga deposito perbankan secara rata-rata turun sebesar 4 bps menjadi 6,45% (Gambar 5). Di sisi lain, posisi suku bunga maksimum untuk bunga deposito rata-rata perbankan pada 25
periode yang sama mengalami penurunan lebih tinggi, yakni sebesar 7 bps menjadi 7,39%. Penurunan suku bunga deposito ini merupakan efek lanjutan dari penurunan suku bunga acuan yang dilakukan oleh BI di sepanjang tahun 2016. Dengan penurunan suku bunga deposito ini, biaya dana (cost of fund) bank seharusnya turun sehingga profitabilitas bank akan membaik.
Sumber: OJK, LPS Gambar 14. Profitabilitas Perbankan dan Tren Suku Bunga Bank Benchmark Rasio modal terhadap aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) atau capital adequacy ratio (CAR) terus mengalami kenaikan, yaitu dari 21,39% pada akhir tahun 2015 menjadi 22,41% pada Mei 2016. Kenaikan CAR ini terutama disebabkan oleh kebijakan pelonggaran perhitungan ATMR yang membuat pertumbuhan ATMR menjadi lebih rendah dibandingkan pertumbuhan modal. Bank-bank tampaknya menyadari bahwa situasi sulit masih harus dihadapi di sepanjang tahun 2016 sehingga manajemen mengambil kebijakan untuk memaksimalkan adanya pelonggaran perhitungan ATMR dan proses restrukturisasi. Dengan situasi ekonomi global yang dipenuhi ketidakpastian dan ekonomi domestik yang melambat, industri perbankan nasional dihadapkan pada potensi kinerja yang menurun. Dibutuhkan peran yang lebih aktif dari pemerintah untuk mendorong roda perekonomian. Komitmen pemerintah untuk segera membangun proyek infrastruktur dapat menjadi peluang yang baik bagi perbankan untuk dapat dijadikan “tambahan amunisi” guna mencapai target pertumbuhan kredit yang rasional di tahun 2016. Di sisi lain, bank harus menyeimbangkan target pertumbuhannya dengan potensi kenaikan NPL akibat pelemahan kondisi ekonomi.
26
Industri
Industri Kelapa Sawit: Risiko Supply-Demand Semester II 2016 Ahmad Subhan
Di tengah perlambatan laju produksi, harga CPO menunjukkan tren pelemahan dalam sebulan terakhir akibat melemahnya permintaan dari China dan India. Sepanjang semester II 2016, terdapat beberapa faktor risiko yang patut dicermati dan akan mempengaruhi kinerja industri seperti terbentuknya siklus La Nina, efek lanjutan pelemahan real dan peso, insentif tambahan konsumsi biodiesel, dan dampak moratorium lahan.
Harga CPO di pasar global pasca bulan Juni 2016 menunjukkan kecenderungan turun di tengah rendahnya permintaan dan adanya peningkatan produksi sebagai efek musiman. Secara umum tingkat produksi di Malaysia dan Indonesia masih dipengaruhi dampak El Nino meskipun secara m/m terjadi peningkatan secara terbatas. Level inventory CPO Malaysia di bulan Juni ditutup pada level yang masih ketat di sekitar 1,78 juta ton (-17,5% y/y) sementara di Indonesia pada periode yang sama diproyeksikan masih terjadi peningkatan inventory hingga ke level 3,04 juta ton atau naik sekitar 500 ribu ton dari bulan sebelumnya. Penurunan harga yang terjadi berturut-turut dalam 5 minggu terakhir hingga ke level RM 2.325 per ton disinyalir disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain membaiknya proyeksi produksi minyak kedelai di Amerika, rendahnya permintaan minyak nabati terutama dari China dan Uni Eropa, meningkatnya tingkat inventory minyak nabati di India, dan adanya tren penguatan nilai tukar ringgit terhadap dolar AS pasca Brexit.
Sumber: Bloomberg, Credit Suisse Gambar 15. Pergerakan Harga CPO dan Nilai Tukar Ringgit Malaysia Melambatnya ekspor CPO tidak hanya dialami oleh Malaysia, namun juga Indonesia. Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menunjukkan volume ekspor CPO pada Mei hanya sebesar 1,76 juta ton atau turun sekitar 16% dibandingkan kinerja bulan sebelumnya. Sementara itu, data terbaru dari Malaysia menunjukkan angka ekspor di bulan Juni terkoreksi lebih dari -33 % y/y atau 12% m/m. Meskipun secara umum cadangan minyak nabati dunia tengah menurun, namun ekspor CPO cenderung menurun akibat konsumen yang lebih memilih untuk menggunakan minyak kedelai akibat selisih harga yang semakin tipis.
28
Berdasarkan data dari Oil World, di sepanjang kuartal II 2016 pembelian minyak kedelai terus dilakukan China secara besar-besaran. Imbasnya, stok minyak kedelai tercatat sangatlah tinggi semenjak tahun 2012. Bagi China, minyak kedelai dapat digunakan untuk industri makanan dan selanjutnya, limbah minyak kedelai dapat diolah menjadi pakan ternak. Dengan demikian, minyak kedelai memang menjadi pilihan utama sedangkan minyak sawit posisinya lebih sebagai minyak nabati substitusi.
Sumber: Maybank KimEng, MPOB Malaysia Gambar 16. Premium/Discount CPO Terhadap Minyak Kedelai dan Kinerja Ekspor CPO Dari sisi supply, efek El Nino akan menyebabkan pasar minyak nabati cenderung ketat di sepanjang tahun ini hingga kemungkinan tahun depan. Proyeksi dari Oil World untuk level stock to usage ratio (SUR) dari 17 jenis minyak nabati di tahun 2015/2016 akan berkisar di level 17,6% atau lebih rendah dari tahun 2014/2015 yang masih berada di level 21,4%. Sementara, berdasarkan proyeksi awal untuk tahun 2016/2017, level SUR akan membaik ke kisaran 18,3% meskipun secara umum lebih rendah dari rata-rata lima tahun terakhir yang berkisar 19,7%. SUR untuk CPO di tahun 2016/2017 diproyeksikan akan berada di level 18,3%, sementara SUR untuk kedelai dan rapeseed masing-masing berada di level 10,8% dan 16,6%.
Sumber: Maybank KimEng, Oil World Gambar 17. Stock To Usage Ratio (SUR) Minyak Nabati Utama Dunia
29
Membaiknya proyeksi level SUR minyak nabati di tahun 2016/2017 tidak dapat dilepaskan dari proyeksi peningkatan produksi yang akan lebih tinggi dibandingkan peningkatan konsumsi. Kondisi ini perlu diwaspadai mengingat akan membawa efek negatif terhadap harga CPO secara umum. Hasil review beberapa lembaga riset menunjukkan bahwa pola koreksi produksi di tingkat kebun di Malaysia pada semester I 2016 sama dengan yang terjadi pada periode El Nino kuat di semester I 1998, yang mana pada saat ini terjadi koreksi produksi sekitar 16% y/y. Hal yang justru menarik, secara absolut produksi CPO Malaysia pada saat itu hanya terkoreksi sebesar 8,3% akibat periode ekspansi tanaman muda beberapa tahun sebelumnya. Sehingga, meskipun diperkirakan dampak dari El Nino akan sama dengan periode 1997/1998, secara agregat dampaknya akan lebih kecil terutama pada produksi di Indonesia mengingat sejak akhir tahun 2005 perkebunan di Indonesia melakukan ekspansi yang sangat masif. Beberapa faktor risiko yang perlu diperhatikan di semester II tahun 2016 terkait supply dan demand untuk produk CPO antara lain adalah: pertama, proyeksi pembentukan siklus La Nina di penghujung tahun 2016. Secara umum, di sepanjang semester I 2016, curah hujan di wilayah produksi baik Indonesia dan Malaysia cenderung kembali normal namun belum menunjukkan adanya event La Nina. Meski demikian, adanya potensi pembentukan La Nina dengan probabilitas di atas 50% di akhir tahun 2016 perlu diperhatikan sebab dapat berdampak negatif terhadap tingkat harga akibat adanya perbaikan produksi. Terjadinya La Nina dalam jangka pendek akan menyebabkan banjir, gangguan operasi, dan panen, namun selanjutnya akan diikuti dengan perbaikan produksi dalam beberapa bulan ke depan. Secara historis siklus El Nino kuat yang kemudian dilanjutkan dengan siklus El Nina akan menyebabkan kenaikan produksi yang diikuti juga dengan penurunan harga secara drastis (periode 1999).
Sumber: Maybank KimEng, NOAA Gambar 18. Dampak El Nino dan La Nina Terhadap Harga dan Produksi CPO Kedua; dampak tidak langsung dari tren pelemahan real Brazil dan peso Argentina. Melimpahnya supply kedelai sepanjang periode El Nino dari wilayah Amerika termasuk Amerika Selatan (Brazil dan Argentina) telah menyebabkan discount price (spread) minyak kedelai dan CPO semakin tipis. Kondisi ini akan semakin diperparah jika nilai tukar dua negara tersebut relatif melemah terhadap dolar AS sehingga menyebabkan persaingan harga relatif antara produksi minyak kedelai
30
dan CPO semakin menguat. Insentif bagi petani di dua negara produsen kedelai tersebut (Brazil kedua terbesar dan Argentina ketiga terbesar) akan semakin besar seiring dengan pelemahan nilai tukar, sebab nominal penerimaan petani lokal akan jauh lebih tinggi dengan nilai tukar saat ini.
Sumber: Maybank KimEng Gambar 19. Harga Minyak Kedalai Relatif dalam Real (Brazil) dan Peso (Argentina) Ketiga; melambatnya tambahan permintaan biodiesel. Harga minyak yang terus bertahan di level kurang dari US$ 50 per barel diyakini sulit untuk menciptakan tambahan konsumsi biodiesel secara signifikan, sebab tidak memberikan margin positif bagi perusahaan pemilik kilang (refinery plant). Premium discount yang diyakini merupakan indikator level subtitusi antara kedua produk menunjukkan kecenderungan menurun, sementara di sisi lain secara umum permintaan terhadap kebutuhan bahan bakar menunjukkan pelemahan sejalan dengan dampak dari perlambatan ekonomi. Keempat; dampak lanjutan dari moratorium pembukaan lahan sawit terhadap investasi lahan baru. Meskipun secara resmi aturan moratorium belum keluar, namun estimasi awal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan bahwa tidak kurang dari 3,5 juta ha lahan konsesi sawit berpotensi akan terkena dampak moratorium, yang mana untuk saat ini telah dipastikan bahwa 950 ribu ha dari 61 permohonan telah dibatalkan. Dalam draft aturan yang sedang difinalisasi oleh pemerintah terdapat setidaknya lima kelompok jenis lahan yang akan menjadi objek target moratorium yaitu: a. Pelepasan dan tukar menukar kawasan hutan untuk tujuan perkebunan kelapa sawit yang belum dibangun. b. Terindikasi izin dan pelepasan diperoleh secara ilegal atau berasal dari pindah tangan pihak lain. c. Izin sawit yang telah berjalan atau existing dengan tutupan hutan masih produktif. d. Terindikasi izin digunakan tidak sesuai dengan tujuan pelepasan dan tukar menukar. e. Perkebunan kelapa sawit yang terindikasi masuk kawasan hutan. Sampai dengan akhir tahun, kinerja industri CPO masih akan dipengaruhi gejolak harga yang berasal dari sentimen jangka pendek seperti harga minyak mentah, nilai tukar, dan harga komoditas minyak nabati lain. Penurunan kinerja ekspor berpotensi terjadi pasca Lebaran akibat permintaan China yang melambat dan masuknya periode panen besar. Peluang kenaikan permintaan hanya berasal dari pasar India dengan jumlah terbatas dan tentunya pasar domestik.
31
Indeks Stabilitas Perbankan
Indeks Stabilitas Perbankan (Banking Stability Index) Agus Afiantara Angka BSI pada bulan Juni 2016 mengalami penurunan sebesar 15 bps bila dibandingkan dengan angka BSI pada bulan Mei 2016, yaitu dari 99,47 menjadi 99,32. Angka CP (Credit Pressure) naik sebesar 7 bps dari 99,90 menjadi 99,97, angka IP (Interbank Pressure) turun sebesar 49 bps dari 99,08 menjadi 98,58 dan angka MP (Market Pressure) turun sebesar 74 bps dari 100,04 menjadi 99,30. Angka BSI pada bulan Juni 2016 menunjukkan bahwa kondisi risiko industri perbankan indonesia masih berada dalam kondisi “Normal”.
Sumber: LPS Gambar 20. Banking Stability Index (BSI) dan Sub Indeks Credit Pressure (CP) Kualitas aset perbankan mengalami pelemahan, terlihat dari meningkatnya angka NPL gross bank umum dari 2,93% pada April 2016 menjadi 3,1% pada bulan Mei 2016. Berdasarkan data yang kami dapatkan, angka NPL gross pada bulan Mei 2016 merupakan angka NPL gross tertinggi selama lima tahun terakhir. Meskipun posisi NPL masih dalam batas wajar karena masih di bawah 5%, tren peningkatan yang terjadi pada NPL harus tetap diwaspadai. Perolehan laba perbankan nasional pada bulan April 2016 mengalami penurunan sebesar 38 bps bila dibandingkan dengan Maret 2016 sebagai akibat terjadinya pemburukan kualitas aset bank umum. Untuk menjaga tingkat kualitas aset neto-nya, pihak perbankan meningkatkan cadangan kerugian perolehan nilai aset keuangan (CKPN) sehingga laba yang dikumpulkan perbankan tergerus. Angka ROE turun dari 15,22% pada bulan Maret 2016 menjadi 14,84% pada bulan April 2016. Pertumbuhan DPK perbankan pada bulan April 2016 melampaui pertumbuhan kredit, sehingga menyebabkan likuiditas perbankan pada bulan April 2016 sedikit melonggar. LDR mengalami penurunan dari level 89,60% pada bulan Maret 2016 menjadi 89,52% pada bulan April 2016. Meskipun mengalami penurunan secara bulanan, LDR pada bulan Mei 2016 masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan LDR pada bulan Mei 2015 yang berada pada level 87,94%. Suku bunga kredit perbankan pada periode April 2016 mengalami penurunan dari 12,67% pada bulan Maret 2016 menjadi 12,59% pada bulan April 2016. Penurunan suku bunga kredit ini disumbang oleh bunga kredit modal kerja yang mengalami penurunan dari 12,28% pada April 2016 menjadi 12,14% (14 bps) dan bunga kredit investasi yang turun dari 11,83% pada Maret 2016 menjadi 11,71% pada Mei 2016 (12 bps). Sementara itu, bunga kredit konsumsi tidak mengalami perubahan di level 13,91%.
33
Penempatan dana antarbank riil mengalami penurunan pada bulan Mei 2016 bila dibandingkan dengan bulan April 2016, yaitu dari Rp 126,77 triliun menjadi Rp 126,13 triliun. Penurunan penempatan dana antarbank ini terjadi seiring dengan meningkatnya pertumbuhan kredit pada bulan Mei 2016. Perbankan tampak berupaya untuk menyalurkan sebagian dananya dalam bentuk penyaluran kredit di tengah tren suku bunga kredit pinjaman yang menurun. Suku bunga rata-rata perbankan dengan tenor overnight (JIBOR overnight) pada bulan Mei 2016 mengalami penurunan dibandingkan dengan bulan April 2016, yaitu dari 4,93% menjadi 4,90%. Seiring dengan turunnya penempatan antarbank, JIBOR overnight pada bulan Juni 2016 kembali berada pada level 5,00%.
Sumber: LPS Gambar 21. Sub Indeks Interbank Pressure (IP) dan Market Pressure (MP) Menjelang libur panjang Lebaran, nilai tukar rupiah semakin menguat. Berdasarkan data dari Bank Indonesia, kurs tengah rupiah menguat 3,2% dari Rp 13.615/US$ pada akhir bulan Mei 2016 menjadi Rp 13.180/US$. Faktor domestik dan eksternal yang positif memberikan kekuatan ba gi rupiah untuk bertahan. Pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) menunjukkan tren positif. Indeks berhasil menembus level psikologisnya di angka 5.000. Indeks pada penutupan perdagangan akhir Juni 2016 tercatat berada pada posisi 5.016,65, lebih tinggi 219,78 poin dibandingkan dengan periode akhir Mei 2016 yang berada pada level 4.796,87. Sentimen pengampunan pajak (tax amnesty) memberikan pengaruh positif terhadap pergerakan indeks. Yield obligasi pemerintah bertenor 10 tahun pada akhir Juni 2016 mengalami penurunan sebesar 53 bps dibandingkan dengan yield satu bulan sebelumnya, yaitu dari 7,93% pada akhir Mei 2016 menjadi 7,40% pada akhir Juni 2016.
34
PENGARAH Fauzi Ichsan, Salusra Satria KOORDINATOR Moch. Doddy Ariefianto, Hendra Syamsir, Seno Agung Kuncoro ANALIS Ahmad Subhan, Seto Wardono, Agus Afiantara, Dienda Siti Rufaedah, Citra Amanda Laporan Perekonomian dan Perbankan ini dipublikasikan dalam rangka pelaksanaan fungsi Lembaga Penjamin Simpanan untuk turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan. Tujuan penerbitan laporan ini adalah untuk meningkatkan wawasan dan kewaspadaan publik terhadap berbagai potensi risiko perekonomian dan sistem keuangan ke depan. Laporan Perekonomian dan Perbankan ini memuat hasil monitoring dan analisis Lembaga Penjamin Simpanan mengenai perkembangan ekonomi makro, pasar keuangan, perbankan, industri, dan indeks stabilitas perbankan
Pendapat / Saran / Komentar dapat ditujukan kepada : Group Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Direktorat Penjaminan dan Manajemen Risiko Equity Tower lantai 39 Sudirman Central Business District (SCBD) Lot 9 Jalan Jend. Sudirman Kav. 52-53 Jakarta 12190 Telp : +62 21 515 1000 ext 340 Email :
[email protected] Website : www.lps.go.id
35
Lampiran
Proyeksi Besaran Ekonomi Makro dan Perbankan Terpilih Variabel
2012
2013
2014
2015
2016P
2017P
PDB Nominal (Triliun Rp)
8,616
9,546
10,566
11,541
12,442
13,777
PDB Nominal (Miliar US$)
918
916
890
862
938
1,037
PDB Riil (% y/y)
6.0
5.6
5.0
4.8
5.0
5.3
Inflasi (akhir periode, % y/y)
3.7
8.1
8.4
3.4
4.2
4.5
Inflasi (rata-rata, % y/y)
4.0
6.4
6.4
6.4
4.0
4.2
USD/IDR (akhir periode)
9,793
12,189
12,440
13,795
13,250
13,350
USD/IDR (rata-rata)
9,396
10,452
11,879
13,392
13,300
13,300
5.75
7.50
7.75
7.50
-
-
-
6.25
5.25
5.00
(2.5)
(2.5)
(2.5)
Variabel Kunci
BI Rate (akhir periode) BI 7-Day Reverse Repo Rate (akhir periode) Surplus/Defisit Fiskal (% PDB)
(1.8)
(2.2)
(2.2)
Sustainabilitas Eksternal Ekspor Barang (% y/y) Ekspor Barang (Miliar US$) Impor (% y/y)
(2.0)
(2.8)
(3.7)
(15.4)
(7.3)
1.8
187.3
182.1
175.3
148.4
137.5
139.9
13.6
(1.3)
(4.5)
(19.7)
(5.5)
3.7
Impor (Miliar US$)
178.7
176.3
168.3
135.1
127.7
132.4
Neraca Berjalan (Miliar US$)
(24.4)
(29.1)
(27.5)
(17.7)
(21.7)
(25.5)
Neraca Berjalan (% PDB)
(2.7)
(3.2)
(3.1)
(2.0)
(2.3)
(2.5)
112.8
99.4
114.3
105.9
118.8
124.8
27.4
29.1
33.0
36.1
36.4
35.8
Konsumsi Swasta
5.5
5.5
5.3
4.8
5.1
5.2
Konsumsi Pemerintah
4.5
6.7
1.2
5.4
5.8
6.7
Pembentukan Modal Tetap Bruto
9.1
5.0
4.6
5.1
5.7
5.8
Ekspor Barang dan Jasa
1.6
4.2
1.0
(2.0)
(1.0)
2.3
Impor Barang dan Jasa
8.0
1.9
2.2
(5.8)
(2.2)
5.9
Sektor Primer
3.9
3.5
2.8
0.3
0.9
1.4
Sektor Sekunder
5.6
4.4
4.6
4.2
4.5
4.7
Sektor Tersier
6.8
6.3
6.2
5.7
6.5
6.7
1 Tahun
4.6
5.7
6.9
7.3
6.5
5.8
3 Tahun
5.1
5.9
7.6
7.9
7.0
6.4
5 Tahun
5.4
6.0
7.9
8.1
7.2
6.6
10 Tahun
6.0
6.5
8.2
8.2
7.4
7.0
20 Tahun
6.8
7.3
8.7
8.5
7.9
7.6
Pinjaman
23.1
21.6
11.6
10.4
10.0
12.0
Dana Pihak Ketiga
15.7
13.6
12.3
7.3
8.0
10.1
Loan to Deposit Ratio (%)
84.0
89.9
89.3
92.0
93.6
95.2
Cadangan Devisa (Miliar US$) Utang Luar Negeri (% PDB) PDB Riil menurut Pengeluaran (% y/y)
PDB Riil menurut Industri (% y/y)
Yield SUN Rupiah (rata-rata, %)
Perbankan (% y/y)
Sumber: LPS
37
Jadwal Rilis Data dan Peristiwa Penting 1 Agustus - 31 Agustus 2016 Negara
Tanggal
Indikator/Peristiwa
Amerika Serikat
5-Agustus-16
Tingkat Pengangguran Juli 2016
16-Agustus-16
Inflasi Juli 2016
18-Agustus-16
Rilis FOMC Minutes 26-27 Juli 2016
26-Agustus-16
PDB 2Q16
12-Agustus-16
PDB 2Q16
18-Agustus-16
Inflasi Juli 2016
18-Agustus-16
Rapat Kebijakan Moneter ECB
8-Agustus-16
Transaksi Berjalan Juni 2016
15-Agustus-16
PDB 2Q16
18-Agustus-16
Neraca Perdagangan Juli 2016
26-Agustus-16
Inflasi Juli 2016
2-Agustus-16
Neraca Perdagangan Juli 2016
23-Agustus-16
Transaksi Berjalan Juli 2016
30-Agustus-16
Tingkat Pengangguran Juli 2016
31-Agustus-16
PDB 2Q16
4-Agustus-16
Inflasi Juli 2016
11-Agustus-16
Neraca Perdagangan Juni 2016
11-Agustus-16
PDB 2Q16
10-Agustus-16
Neraca Perdagangan Juli 2016
12-Agustus-16
Inflasi Juli 2016
31-Agustus-16
PDB 2Q16
8-Agustus-16
Neraca Perdagangan Juli 2016
9-Agustus-16
Inflasi Juli 2016
2-Agustus-16
Tingkat Pengangguran 2Q16
24-Agustus-16
Inflasi Juli 2016
1-Agustus-16
Inflasi Juli 2016
1-Agustus-16
Cadangan Devisa Juli 2016
5-Agustus-16
PDB 2Q16
15-Agustus-16
Neraca Perdagangan Juli 2016
18-Agustus-16
Suku Bunga Acuan
Zona Euro
Jepang
Brazil
Rusia
India
China Afrika Selatan Indonesia
Sumber: LPS
38
www.lps.go.id