PERBEDAAN STATUS GIZI ANAK BALITA USIA 1 - 3 TAHUN BERDASARKAN USIA PENYAPIHAN DI DESA SAMBIREJO KECAMATAN BRINGIN KABUPATEN SEMARANG Nasikhatul Zulfa Program Studi Diploma IV Kebidanan STIKES Ngudi Waluyo Ungaran
ABSTRACT Background : Nutrition needed by under five children should be fulfilled especially from 1 to 3 years old because the children on the ages have faster growth than pre-school. Nutrient status is one of the elements which influences the growth of under five children. At Semarang regency, the status of bad and less nutrient mostly happens at the working area of Bringin health centre. At Bringin, there are 316 children experiencing less nutrient, and there are 59 children experiencing bad nutrient. The habit of improper weaning in society can cause nutrient problems because the children who are in the weaning period do not get appropriate nutrients. Purpose: This research is to know the differences of nutrient status of 1 to 3 years old based on the weaning age at Sambirejo village Bringin district Semarang regency. Method: This research used descriptive comparative with retrospective approach. The samples were 62 children from 1 to 3 years old at Sambirejo village, Bringin district, Semarang regency. The sampling technique used proportional random sampling. Bivariate analysis used Kruskal – Wallis test. Results : Based on Kruskal-Wallis test, it got p – value 0,003 < a (0,05), then Ho was rejected and it was concluded that there were a significant differences of nutrient status of 1 to 3 years old children based on the weaning age at Sambirejo Village Brigin District Semarang Regency. Conclusion and suggestion : There were a differences of nutrient status of 1 to 3 years old children based on the weaning age at Sambirejo Village Brigin District Semarang Regency. Hopefully childrens’ mother can monitor the growth of their children and wean their children after they are 1 year old and 2 years old maximally, so the children can achieve good nutrient status. Keywords : the weaning age, nutrient status, under five children
PENDAHULUAN Balita merupakan kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat unik, artinya memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan fisik contohnya koordinasi motorik halus dan motorik kasar juga kecerdasan yang sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang dilalui oleh anak. Oleh karena itu masa lima tahun pertama kehidupan merupakan masa yang sangat peka terhadap lingkungan dan masa ini berlangsung sangat pendek serta tidak dapat diulang lagi. (Kemenkes RI, 2010). Berdasarkan estimasi penduduk sasaran program pembangunan kesehatan, jumlah balita laki-laki dan perempuan adalah
23.700.676 dari 248.422.956 total penduduk semua umur pada tahun 2013 di Indonesia. Dari tahun ke tahun populasi balita di Indonesia meningkat, pada tahun 2011 sejumlah 23.009.874 balita dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 23.352.721 balita (Kemenkes RI, 2011). Meningkatnya populasi balita harus diiringi dengan peningkatan kualitas. Golden age (masa emas) atau fase tumbuh kembang anak balita digunakan untuk menggambarkan betapa pentingnya masa tersebut, anak mengalami tumbuh kembang paling cepat dan paling kritis. Kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan, stimulasi motorik, dan psikis untuk perkembangan harus dipenuhi. Jika tidak dipenuhi, tumbuh kembang anak tidak akan optimal (Septiari, 2012:71).
Perbedaan Status Gizi Anak Balita Usia 1-3 Tahun Berdasarkan Usia Penyapihan Di Desa Sambirejo Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang
1
Anak balita usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan orang tua. Laju pertumbuhan masa balita lebih besar dari masa usia prasekolah, sehingga diperlukan asupan gizi yang relatif seimbang. Peranan gizi pada tahap balita diperlukan untuk perkembangan, kecerdasan, meningkatkan daya tahan tubuh dan pencegahan penyakit. Jika pertumbuhan otak tidak optimal, akibatnya tingkat kecerdasan rendah dan akan sulit bersaing dalam pendidikan. (Fairus dan Prasetyowati, 2009: 1). Status gizi dinyatakan sebagai keadaan tubuh akibat dari konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi dengan 4 klasifikasi, yaitu status gizi buruk, kurang, baik, dan lebih serta dapat diketahui dengan cara mencocokkan umur anak (dalam bulan) dengan berat badan standar tabel WHO-NCHS (National Center for Health Statistics). Bila berat badannya kurang maka status gizinya kurang (Almatsier, 2009: 1). Status gizi balita merupakan hal penting yang harus diketahui oleh setiap orang tua. Perlunya perhatian lebih dalam tumbuh kembang di usia balita didasarkan fakta bahwa kurang gizi yang terjadi di masa emas ini, bersifat irreversible (tidak dapat pulih) (Marimbi, 2010: 92). Salah satu prioritas pembangunan nasional sebagaimana tertuang pada dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis Kementrian Kesehatan 2010- 2014 adalah perbaikan status gizi masyarakat. Sasaran jangka menengah perbaikan gizi yang telah ditetapkan adalah dengan menurunnya prevalensi balita gizi kurang menjadi setinggitingginya 15% pada tahun 2014 (Kemenkes RI, 2013: 1). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan besaran masalah gizi pada balita di Indonesia yaitu gizi kurang sebesar 17,9%, pendek 35,6%, kurus 13,3% dan gemuk 14,2%. Sebaran prevalensi gizi kurang menurut provinsi berdasarkan data Riskesdas tahun 2010, untuk prevalensi gizi kurang yang telah mencapai sasaran rata-rata MDG 2015 (<15%) ada 8 (delapan) provinsi yaitu Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Lampung, DKI, Jabar, DIY, Bali dan Sulawesi Utara. Sedangkan Provinsi Jawa Tengah sendiri masih di atas 15% yaitu 15,7% (Kemenkes RI, 2013:3).
2
Untuk menciptakan lingkungan nasional yang kondusif gizi, UNICEF mendukung peluncuran Gerakan Sadar Gizi Nasional (Scaling Up Nutrition – SUN) dan mendukung pengembangan regulasi tentang pemberian ASI, rencana nasional untuk mengendalikan gangguan kekurangan iodine, panduan tentang pencegahan dan pengendalian parasit intestinal dan panduan tentang suplementasi multinutrient (Unicef, 2012: 12). Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Semarang, status gizi balita berdasarkan penimbangan serentak dengan indikator BB/U di Kabupaten Semarang didapatkan 1.019 balita dengan gizi lebih, 60.847 balita dengan gizi baik, 4.395 balita dengan gizi kurang dan 566 balita dengan gizi buruk. Kasus gizi buruk dan gizi kurang terbanyak di Kabupaten Semarang terdapat di wilayah kerja Puskesmas Bringin yang didapatkan 13 balita dengan gizi lebih, 2.667 balita dengan gizi baik, 316 balita dengan gizi kurang dan 59 balita dengan gizi buruk. Pada bulan Maret 2014 jumlah balita dengan gizi buruk terbanyak adalah di Desa Sambirejo. Salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi balita adalah pola pengasuhan, dimana pada pola pengasuhan terdapat praktek memberi makan pada anak dan pemberian ASI. ASI memiliki kelebihan sangat banyak sehingga dianjurkan diberikan kepada bayi sampai usianya 2 tahun dan dianjurkan selama 6 bulan usia bayi secara ekslusif. Di antara manfaat ASI adalah mengandung zat-zat gizi lengkap yang berkualitas tinggi, berguna untuk kecerdasan, pertumbuhan dan perkembangan anak. Tidak kalah pentingnya manfaat ASI yang lainnya adalah sebagai antibodi yang melindungi tubuh bayi dari alergi serta penyakit infeksi lainnya (Istiany dan Rusilanti, 2013: 71). Menghentikan pemberian ASI kepada bayi atau dengan istilah menyapih, merupakan masa yang paling kritis dalam kehidupan anak. Dari beberapa penelitian banyak sekali para ibu yang menyapih anaknya terlalu cepat yaitu pada usia kurang dari 1 tahun terutama bagi ibu-ibu yang bekerja, sedangkan penyapihan yang terlalu awal dapat mempengaruhi pertumbuhan bayi (Marimbi, 2010: 66). Penyapihan yang terlalu awal bisa meningkatkan risiko infeksi, terutama penyakit diare. Hal ini dikarenakan bayi kurang mengkonsumsi ASI yang mengandung faktor anti infeksi (Prasetyono, 2012:198). Penyakit
Perbedaan Status Gizi Anak Balita Usia 1-3 Tahun Berdasarkan Usia Penyapihan Di Desa Sambirejo Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang
infeksi merupakan penyakit yang banyak berhubungan dengan terjadinya kekurangan gizi di negara berkembang. Infeksi yang sering terjadi pada anak adalah penyakit saluran pernafasan atas bawah, diare dan kulit. Adanya penyakit infeksi tersebut merupakan faktor penyebab tingginya angka kematian bayi dan balita di Indonesia (Istiany dan Rusilanti, 2013:130). Desa Sambirejo merupakan salah satu desa yang ada di wilayah kerja Puskesmas Bringin Kabupaten Semarang. Sebagian ibuibu muda bekerja di luar rumah. Pengasuhan anak diserahkan kepada nenek atau bahkan orang lain sehingga pemberian ASI pun diberhentikan sebelum anak berusia 1 tahun. Selain itu pola pengasuhan tentang pemberian makan anak pun kurang dilihat. Anak yang semestinya masih membutuhkan ASI sebagai nutrisinya banyak di antaranya yang disapih terlalu dini sehingga kebutuhan zat gizi yang terkandung dalam ASI tidak bisa didapatkan. Selain itu pemberian ASI lebih dari 2 tahun juga masih banyak diberikan pada ibuibu yang tidak bekerja. Mereka beranggapan bahwa pemberian ASI bisa mencukupi kebutuhan gizi anak walaupun usia lebih dari 2 tahun, sehingga pemberian makanan tambahan bergizi kurang diperhatikan. Tidak benar jika anak terlalu lama disusui karena kandungan ASI setelah usia 2 tahun tidak lagi mencukupi kebutuhan bayi, selain itu akan membuatnya tidak mandiri. Untuk menyapih anak sebaiknya setelah anak berusia satu tahun dan lebih baiknya pada usia 2 tahun (Marimbi, 2010: 68). Studi pendahuluan dilakukan di Desa Sambirejo, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang, berdasarkan data penimbangan pada balita usia 1-3 tahun yang dicocokkan menurut umur terdapat 7 balita dengan status gizi baik, 2 balita dengan status gizi kurang, dan 1 balita dengan status gizi buruk. Berdasarkan wawancara dengan pengasuh/orang tua dari 7 balita dengan status gizi baik, hanya 1 balita yang disapih pada usia kurang dari satu tahun yaitu pada usia 10 bulan dan 6 lainnya disapih pada usia antara 18-24 bulan. Balita yang disapih pada usia 10 bulan dengan alasan ibu merasa anak sudah siap untuk disapih karena sering menolak diberikan ASI dan lebih mengandalkan pada makanan tambahan yang diberikan. Dari 2 balita dengan status gizi kurang, masing-masing balita disapih pada usia 4 bulan dan pada usia 20
bulan. Anak balita yang disapih pada usia 4 bulan dengan alasan ibu bekerja dan air susu keluar sedikit, sehingga pemberian ASI diberhentikan. Sedangkan anak yang disapih pada usia 20 bulan status gizi masih kurang karena pada 2 minggu yang lalu anak pernah sakit diare dan dirawat di rumah sakit selama 6 hari. Sedangkan balita dengan gizi buruk tidak pernah diberikan ASI karena ibu menderita HIV/AIDS. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai perbedaan status gizi anak balita usia 1-3 tahun berdasarkan usia penyapihan di Desa Sambirejo, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang. METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian komparatif yaitu metode penelitian yang digunakan untuk menguji parameter populasi yang berbentuk perbandingan melalui ukuran sampel yang juga berbentuk perbandingan (Sugiono, 2010: 117). Penelitian ini dengan pendekatan teknik pengambilan data secara retrospective dimana efek (status gizi anak balita) diidentifikasi pada saat ini, kemudian faktor resiko (usia penyapihan) diidentifikasi ada atau terjadi pada waktu lalu. Ruang Lingkup Penelitian ini dilakukan di Desa Sambirejo Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang pada tanggal 3, 5, dan 7 Juli 2014. Populasi dan Sampel Populasi Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh anak balita berusia 1-3 tahun di Desa Sambirejo Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang sebanyak 160 anak. Sampel Pada penelitian ini, sampel diambil dari populasi penelitian yaitu balita usia 1-3 tahun. Untuk menentukan besar sampel dengan menggunakan rumus Slovin. Agar karakteristik sampel tidak menyimpang dari maksud penelitian, maka sebelum dilakukan pengambilan sampel terlebih dahulu telah ditentukan kriteria inklusi maupun eksklusi.
Perbedaan Status Gizi Anak Balita Usia 1-3 Tahun Berdasarkan Usia Penyapihan Di Desa Sambirejo Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang
3
Yang termasuk kriteria inklusi dalam penelitian ini, yaitu: 1) Anak balita usia 1-3 tahun yang sudah dilakukan penyapihan; 2) Ibu (pengasuh) yang mempunyai anak balita usia 1-3 tahun. Sedangkan kriteria eksklusinya yaitu: 1) Ibu yang tidak bersedia menjadi responden; 2) Anak yang memiliki kelainan bawaan. Teknik Pengambilan Sampel Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel Proporsional Random Sampling yaitu menghendaki cara pengambilan sampel secara random/acak dari tiap-tiap sub populasi dengan memperhitungkan besar kecilnya sub-sub populasi tersebut (Notoadmodjo, 2010). Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya, diamati dan dicatat oleh peneliti. Data primer dalam penelitian ini diperoleh langsung dari responden melalui lembar formulir yang disediakan oleh peneliti. Data sekunder adalah data yang secara tidak langsung diperoleh dari sumbernya, tetapi melalui pihak kedua. Dalam hal ini peneliti mempergunakan data jumlah balita yang diambil dari posyandu Desa Sambirejo Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang. Analisa Data Analisa Univariat Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendiskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian (Notoatmodjo, 2010: 182). Analisis ini menggambarkan tiap-tiap variabel dengan menggunakan distribusi frekuensi. Analisa univariat pada penelitian ini digunakan untuk mendiskripsikan masing-masing variabel yaitu variabel status gizi anak balita usia 1-3 tahun dan usia penyapihan yang kemudian disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dengan menyajikan prosentase dari tiap-tiap variabel. Analisa Bivariat Analisis bivariat berguna untuk membuktikan atau menguji hipotesa yang telah dibuat. Analisis bivariat dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui perbedaan status gizi anak balita usia 1-3 tahun berdasarkan usia
4
penyapihan anak. Untuk menguji perbedaan ini digunakan uji Kruskal-Wallis karena untuk menguji hipotesis komparatif lebih dari dua sampel, bila datanya berbentuk kategorik. Untuk memberikan interpretasi hasil dengan melihat p-value, nilai p-value < α (0,05) maka Ho ditolak yang artinya dalam penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan status gizi anak balita usia 1-3 tahun berdasarkan usia penyapihan di Desa Sambirejo, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang. HASIL PENELITIAN Karakteristik Responden Karakteristik anak balita berdasarkan jenis kelamin Tabel 1. Distribusi frekuensi gambaran jenis kelamin anak balita usia 1-3 tahun di Desa Sambirejo, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%) Perempuan 26 41,9 Laki-laki 36 58,1 Jumlah 62 100 Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa dari 62 anak balita usia 1-3 tahun sebagian besar berjenis kelamin laki-laki yaitu 36 anak dengan persentase 58,1% . Karakteristik anak balita berdasarkan riwayat penyakit infeksi Tabel 2. Distribusi frekuensi gambaran riwayat penyakit infeksi pada anak balita usia 1-3 tahun di Desa Sambirejo, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang Riwayat Jumlah Persentase (%) Penyakit Pernah sakit 25 40,3 Tidak pernah 37 59,7 Jumlah 62 100 Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa riwayat penyakit infeksi dari 62 anak balita usia 1-3 tahun sebagian besar tidak pernah mengalami penyakit infeksi yaitu sebanyak 37 dengan persentase 59,7%.
Perbedaan Status Gizi Anak Balita Usia 1-3 Tahun Berdasarkan Usia Penyapihan Di Desa Sambirejo Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang
Karakteristik ibu berdasarkan status atus pekerjaan Tabel 3. Distribusi frekuensi gambaran status pekerjaan ibu yang mempunyai anak balita usia 1-3 1 tahun di Desa Sambirejo, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang Status Jumlah Persentase (%) Pekerjaan Tidak 28 45,2 Bekerja 34 54,8 Bekerja Jumlah 62 100 Berdasarkan tabel abel 3 dapat diketahui bahwa status pekerjaan dari 62 ibu yang mempunyai anak balita usia 1-3 1 tahun sebagian besar ibu bekerja yaitu sebanyak 34 dengan persentase 54,8%. Analisis Univariat Status Gizi Anak Balita Usia 1-3 3 Tahun Tabel 4. Distribusi frekuensi responden berdasarkan status gizi anak balita usia 1-3 3 tahun di Desa Sambirejo, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang, tahun 2014 Status Gizi Jumlah Persentase (%) Buruk 1 1,6 Kurang 13 21,0 Baik 48 77,4 Lebih 0 0 Jumlah 62 100
Berdasarkan Tabel abel 4 dapat diketahui bahwa dari 62 anak balita usia 11-3 tahun, status gizi anak sebagian besar pada kategori baik, yaitu 48 anak atau dengan persentase 77,4 %, sebagian kecil dalam kategori status gizi kurang yaitu 13 anak dengan presentase 21,0 % dan status gizi buruk yaitu 1 anak dengan persentase 1,6 % serta tidak ada balita dengan status gizi lebih. Usia Penyapihan Anak Balita Usia 11-3 Tahun Tabel 5. Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia penyapihan anak usia 1-33 tahun di Desa Sambirejo, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang, tahun 2014 Usia Persentase Jumlah Penyapihan (%) < 1 tahun 18 29,0 1-2 tahun 41 66,1 > 2 tahun 3 4,9 Jumlah 62 100 Berdasarkan Tabel abel 5 dapat diketahui bahwa dari 62 anak balita, usia penyapihan anak sebagian besar pada kategori usia penyapihan 1-22 tahun, yaitu 41 ana anak atau dengan persentase 66,1 %..
Analisis Bivariat Gambaran mengenai perbedaan status gizi anak usia 1-33 tahun berdasarkan usia penyapihan disajikan pada tabel 4.6 berikut. Tabel 6. Analisis perbedaan status gizi anak balita usia 1-3 1 3 tahun berdasarkan usia penyapihan di Desa Sambirejo, Kecamatan Bringin, Bringin, Kabupaten Semarang, 2014 Status Gizi Usia Penyapihan Total p Kurang Baik Buruk 8 (44,4%) 9 (50,0%) 0,003 < 1 tahun 1 (5,6%) 18 (100%) 4 ( 9, 8%) 37 (90,2%) 1-2 tahun 0 41 (100%) 1 (33,3%) 2 (66,7%) > 2 tahun 0 3 (100%) Tabel 6 menunjukkan nunjukkan hasil analisis perbedaan status gizi anak balita usia 1-3 1 tahun berdasarkan usia penyapihan, diperoleh hasil bahwa sebagian besar anak balita pada usia penyapihan 1-2 2 tahun memiliki status gizi yang baik (90,2%) dan hanya sebagian kecil balita pada ada usia penyapihan 1-2 1 tahun
memiliki status gizi kurang (9,8%) (9,8%). Hasil uji statistik Kruskal Wallis didapatkan nilai p value sebesar 0,003 < nilai = 0,05 sehingga H0 ditolak. Ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara usia penyapihan nyapihan dengan status gizi. Dengan
Perbedaan Status Gizi Anak Balita Usia 1-3 1 Tahun Berdasarkan Usia Penyapihan Di Desa Sambirejo Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang
5
demikian, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara status gizi anak balita usia 1-3 tahun berdasarkan usia penyapihan di Desa Sambirejo, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang. PEMBAHASAN Status Gizi Anak Balita Usia 1-3 Tahun Status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan akibat dari konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi dengan 4 klasifikasi yaitu status gizi buruk, kurang, baik, dan lebih. Dalam penelitian ini metode yang digunakan untuk menilai status gizi anak balita usia 1-3 tahun adalah antropometri dengan pengukuran BB/U. Antropometri sering dipakai sebagai salah satu indikator untuk menentukan status gizi, yaitu berhubungan dengan pengukuran dimensi dan komposisi tubuh pada berbagai tingkat umur (Almatsier, 2011). Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas, dan tebal lemak dibawah kulit, salah satu pengukuran status gizi adalah BB/U karena dengan menghitung masa tubuh sangat sensitive terhadap perubahan-perubahan yang mendadak. Berat badan adalah parameter antropometri yang sangat stabil (Waryana, 2010). Berdasarkan penilaian status gizi dengan menggunakan tabel standar menurut BB/U pada balita usia 1-3 tahun di Desa Sambirejo, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang diketahui dari 62 anak sebagai sampel sebanyak 48 anak (77,4%) kategori status gizi baik dan masih ada 13 anak (21%) kategori status gizi kurang dan 1 anak (1,6%) dengan kategori status gizi buruk. Dari jumlah seluruh responden sebagian besar 58,1% berjenis kelamin laki-laki dan hanya 41,9% balita berjenis kelamin perempuan. Kebutuhan gizi juga ditentukan oleh jenis kelamin. Laki-laki memiliki kebutuhan gizi yang lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Sehingga dalam penentuan status gizi, antara laki-laki dan perempuan menggunakan tabel standar berat badan menurut umur yang berbeda. Dari 13 responden yang mengalami masalah status gizi kurang sebanyak 53,8% dialami oleh balita laki-laki dan 46,2% dialami oleh anak perempuan sedangkan 1 balita dengan status gizi buruk dialami oleh anak laki-laki. Hal ini dikarenakan cakupan gizi yang harus dipenuhi oleh anak laki-laki
6
cenderung lebih banyak dibandingkan dengan anak perempuan. Mengingat pada anak balita usia 1-3 tahun merupakan kelompok konsumen pasif, maka perhatian orang tua terhadap pemenuhan kebutuhan gizi termasuk pemberian ASI dan makanan tambahan anak khususnya anak laki-laki harus lebih intensif, jika tidak maka akan mengakibatkan masalah gizi kurang dan jika dibiarkan akan berlanjut menjadi masalah gizi buruk. Dalam penelitian ini masih ditemukan status gizi kurang dan buruk, hal ini diperkuat dengan beberapa faktor yaitu faktor infeksi pada anak dan pola pengasuhan dalam pemberian ASI. Anak yang sering mengalami penyakit infeksi yaitu 25 anak (40,3%) pernah mengalami sakit seperti ISPA dan diare. Anakanak yang sering menderita penyakit infeksi menyebabkan pertumbuhannya terhambat dan tidak dapat mencapai pertumbuhan yang optimal (Istany dan Rusilanti, 2013). Responden yang digunakan sampel penelitian di Desa Sambirejo terdapat 14 anak balita yang mengalami pertumbuhan terhambat dengan diketahuinya masalah status gizi kurang dan buruk, 64,2% di antaranya anak sering menderita penyakit infeksi. Hal ini menunjukkan bahwa riwayat penyakit infeksi merupakan salah satu faktor yang juga sangat berpengaruh terhadap status gizi anak balita. Faktor lain penyebab permasalahan gizi yang dapat berpengaruh terhadap status gizi anak balita di antaranya adalah pola pengasuhan termasuk pemberian ASI dan makanan tambahan berkualitas. Gizi yang dibutuhkan bagi anak usia di bawah 1 tahun adalah ASI karena telah memenuhi semua zatzat gizi yang diperlukan oleh anak usia 0-1 tahun. Dalam penelitian ini masih ada 18 responden (29,03%) yang berhenti memberikan ASI pada anaknya sebelum berusia 1 tahun. Menurut WHO, sebaiknya bayi hanya diberikan ASI saja tanpa makanan/minuman lain sekurang-kurangnya sampai 6 bulan (ASI Ekslusif). Setelah itu bayi baru bisa diberikan makanan pendamping ASI. Meskipun makanan tambahan diberikan, ASI harus menjadi makanan utama pada tahun pertama anak. Tidak ada makanan lain yang dapat memberikan zat-zat anti infeksi bayi seideal ASI (Widodo, 2009). Setelah anak balita berusia 1 tahun, ASI tidak lagi mencukupi kebutuhan gizi anak, sehingga lebih banyak ditekankan pada
Perbedaan Status Gizi Anak Balita Usia 1-3 Tahun Berdasarkan Usia Penyapihan Di Desa Sambirejo Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang
pemberian makanan tambahan yang berkualitas. Konsumsi makanan balita berpengaruh terhadap status gizi balita tersebut. Status gizi baik terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara optimal. Sedangkan status gizi kurang terjadi apabila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. (Ari dan Rusilanti, 2013). Rata-rata ibu balita (54,8%) di Desa Sambirejo Kecamatan Bringin bekerja baik sebagai buruh ataupun memiliki usaha sendiri, maka sebagian besar dari mereka memiliki penghasilan sehingga memungkinkan bisa memenuhi kebutuhan gizi anak balita dengan memberikan makanan tambahan yang berkualitas. Sebagian besar anak usia 1-3 tahun (77,4%) memiliki status gizi yang baik. Hal ini sejalan dengan penelitian Aswin (2008) tentang hubungan antara pola asuh dengan status gizi pada bayi di Desa Wangon, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, hasil uji statistik dengan uji exact fisher diperoleh nilai p = 0,021 < alpha (a = 0,05 ) menunjukkan ada hubungan antara pola asuh dengan status gizi. Penelitian ini memberikan kontribusi bahwa pola asuh yang baik dapat berhubungan dengan status gizi. Pola asuh terdiri dari beberapa aktifitas yang dilakukan oleh ibu terhadap bayinya, aktifitas tersebut antara lain pemberian ASI yang tepat serta pemberian makanan pendamping sesuai dengan usia anak. Usia Penyapihan pada Anak Balita Usia 1-3 Tahun Penyapihan atau menyapih artinya menghentikan pemberian ASI kepada anak, masa ini merupakan masa yang kritis dalam kehidupan anak. Untuk usia penyapihan pada anak sebaiknya setelah anak berusia 1 tahun dan lebih baiknya pada usia 2 tahun. Tidak benar jika anak terlalu lama disusui karena kandungan ASI setelah usia 2 tahun tidak lagi mencukupi kebutuhan gizi bayi, selain itu akan membuatnya tidak mandiri (Marimbi, 2010). Dalam penelitian ini terdapat 18 responden (29,0%) menyapih anaknya pada usia kurang dari 1 tahun, 41 responden (66,1%) menyapih anaknya pada usia 1-2 tahun, serta 3 responden (4,9%) menyapih anaknya pada usia lebih dari 2 tahun.
Beberapa hal yang bisa mempengaruhi majunya waktu penyapihan di antaranya adalah kondisi ibu yang bekerja dan kondisi ibu yang tidak memungkinkan memberikan ASI, misalnya karena adanya penyakit tertentu, operasi, atau yang lain. Dari 62 responden, sebagian besar ibu balita bekerja di luar rumah yaitu sebanyak 34 ibu balita (54,8%). Alasan usia penyapihan < 1 tahun 88,8% di antaranya karena ibu bekerja. Dari beberapa penelitian banyak sekali para ibu yang menyapih anaknya terlalu cepat yaitu pada usia kurang dari 1 tahun terutama bagi ibu-ibu bekerja, sedangkan penyapihan yang terlalu awal dapat mempengaruhi pertumbuhan bayi (Marimbi, 2010). Dari 18 anak balita yang disapih terlalu cepat atau kurang dari 1 tahun terdapat 13 balita yang pernah menderita penyakit infeksi seperti diare dan ISPA. Hal ini sesuai dengan teori bahwa penyapihan dapat meningkatkan risiko infeksi, terutama penyakit diare dikarenakan bayi kurang mengkonsumsi ASI yang mengandung faktor anti infeksi (Prasetyono, 2012). Faktor yang mempengaruhi lambatnya waktu penyapihan antara lain adalah anak sering sakit dan anak terlihat masih sangat belum siap untuk disapih. Hal ini sesuai dengan keadaan responden saat penelitian bahwa alasan mereka menyapih anaknya pada usia lebih dari 2 tahun karena mereka merasa bahwa anaknya belum siap untuk disapih. Anak balita yang terlalu lama dilakukan penyapihan (usia penyapihan lebih dari 2 tahun) dalam penelitian ini terdapat 3 balita yang salah satunya mengalami gangguan gizi kurang. Setelah berusia 2 tahun, pemberian ASI harus diberhentikan karena ASI tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan gizi anak. Hal ini sesuai dengan teori bahwa setelah menginjak usia 2 tahun, penyapihan terbukti akan mempermudah anak dalam mulai menyukai makanan sehingga ia akan belajar untuk makan sendiri. Fakta menunjukkan bahwa dengan masih minumnya ASI, kadang anak jadi menjagakan ASI jika perutnya lapar, ia tidak mau berpikir untuk mencari makanan lain, padahal pada usia dua tahun, kondisi ASI sudah tidak terlalu deras mengalir, dan kandungan gizinya sudah semakin berkurang (Arini, 2012). Penyapihan pada usia lebih dari 2 tahun selain mempengaruhi gizinya juga akan membuat anak menjadi tidak mandiri. Hal tersebut dikarenakan anak selalu
Perbedaan Status Gizi Anak Balita Usia 1-3 Tahun Berdasarkan Usia Penyapihan Di Desa Sambirejo Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang
7
menginginkan untuk dekat dengan orang tuanya padahal anak usia >2 tahun harus dilatih dalam berinteraksi dengan teman-teman teman sebayanya. Perbedaan Status Gizi Anak Balita Usia 1-3 1 Tahun Berdasarkan Usia Penyapihan Analisis bivariat ini akan membahas perbedaan status gizi anak balita usia 1-3 1 tahun berdasarkan usia penyapihan di Desa Sambirejo Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang. Berdasarkan hasil penelitian penelit didapatkan nilai p value sebesar 0,003 < nilai = 0,05 yang menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara usia penyapihan dengan status gizi anak balita usia 1-3 tahun. Pada anak usia 1-3 3 tahun merupakan kelompok umur yang sangat perlu diperhatikan akan kebutuhan gizinya. Asupan makanan merupakan kebutuhan dasar bagi hidup manusia. Bayi dan anak balita sangat membutuhkan makanan untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Makanan yang diberikan pada anak balita juga harus disesuaikan dengan ngan kemampuan mencernanya. Untuk itu diperlukan makanan yang cocok bagi usia mereka dan mengandung cukup gizi, karena mereka dalam masa pertumbuhan. Anak yang menderita kurang gizi setelah mencapai usia dewasa tubuhnya tidak akan optimal karena masalah gizi zi yang dialami balita pada usia 1-3 3 tahun bersifat irreversible (tidak dapat pulih) (Marimbi, 2010). Beberapa penelitian menyatakan bahwa status gizi pada bayi sangat dipengaruhi oleh pemberian ASI. ASI pada tahun pertama anak menjadi makanan yang utama sehingga s disarankan untuk tidak menyapih anak pada usia kurang dari 1 tahun karena pada usia 6 bulan sampai dengan 1 tahun lebih dari 60% kebutuhan gizi anak diperoleh dari ASI (Arini, 2012). Dalam penelitian ini responden yang melakukan penyapihan pada usia usi 1-2 tahun terdapat 37 (90,8%) balita di antaranya memiliki status gizi yang baik dan hanya 4 (9,2%) balita memiliki status gizi kurang. Hal ini menunjukkan bahwa anak balita yang dilakukan penyapihan pada usia 1-2 1 tahun cenderung memiliki status gizi yang ya baik. Pada usia penyapihan 1-2 2 tahun ASI hanya bisa memenuhi 30% dari kebutuhan anak, sehingga lebih ditekankan untuk pemberian makanan tambahan bagi anak, karena ASI sudah tidak 8
bisa diandalkan sebagai makanan utama bagi anak. Memasuki usia 1 tahun, si sistem pencernaan anak telah siap menerima makanan bukan cair, karena gigi telah banyak yang tumbuh dan lidah tidak lagi menolak makanan padat. Di samping itu lambung juga telah lebih baik mencerna makanan padat (Arisman, 2007). Dengan demikian menginjak usi usia 1 tahun anak balita sudah siap untuk disapih. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Kristiani (2012) tentang faktor faktorfaktor yang berhubungan dengan status gizi anak balita usia 12-60 60 bulan. Hasil penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan yan yang signifikan antara waktu penyapihan dengan status gizi balita usia 12 12-60 bulan. Dalam penelitian tersebut didapatkan bahwa waktu penyapihan yang dilakukan oleh ibu berpengaruh terhadap status gizi balita. Pada balita yang usia penyapihannya kurang cenderung ng mengalami masalah gizi seperti status gizi kurang maupun status gizi lebih, pada usia penyapihan kurang terdapat 47 balita yang mengalami defisiensi gizi dan hanya 10 balita yang memiliki status gizi yang baik dengan pola penyapihan yang kurang, pada usia ia penyapihan yang kurang balita cenderung mengalami gangguan status gizi kurang karena zat gizi yang seharusnya didapatkan dari ASI itu tidak bisa didapatkan oleh balita, ataupun balita yang mengalami status gizi lebih dikarenakan mendapatkan asupan gizi yang berlebihan seperti mendapatkan susu formula sehingga mengakibatkan kegemukan, karena hanya ASI yang mampu memberikan gizi seimbang bagi anak. Balita yang disapih pada usia 11-2 tahun tetapi masih memiliki status gizi kurang sebanyak 4 balita (9,2%). Ha Hal ini kemungkinan dikarenakan oleh faktor lain yang mempengaruhi status gizi anak balita seperti adanya penyakit infeksi yang diderita anak dalam waktu yang lama atau frekuensi yang sering dan pola pengasuhan terhadap pemberian makanan berkualitas kurang diperhatikan iperhatikan oleh orang tua. Dari 4 balita tersebut, 2 balita di antaranya sering mengalami penyakit infeksi hingga diperlukan pengobatan rawat inap. Pada masa penyapihan, pemberian makanan tambahan harus lebih intensif karena berfungsi menggantikan ASI yan yang tidak lagi diberikan. Ketersediaan PMT harus dapat dijangkau baik jumlah dan kualitasnya, karena fungsinya menggantikan ASI yang diketahui
Perbedaan Status Gizi Anak Balita Usia 1-33 Tahun Berdasarkan Us Usia Penyapihan Di Desa Sambirejo Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang
mengandung nutrisi lengkap dan sudah tersedia secara alamiah. Pemberian makanan tambahan yang tidak berkualitas menyebabkan BB/U anak tidak sesuai dengan standar WHO, selanjutnya gizi anak turun menjadi gizi kurang (Juliawan, 2010). Pada variabel penyapihan kurang dari 1 tahun terdapat 18 responden (29.0%) dari jumlah keseluruhan responden, 9 balita (50%) di antaranya memiliki status gizi baik, 8 balita (44,4%) memiliki status gizi kurang dan 1 balita (5,6%) memiliki status gizi buruk. ASI pada tahun pertama anak menjadi makanan yang pertama dan utama sehingga disarankan untuk tidak menyapih anak pada usia kurang dari 1 tahun karena lebih dari 60% kebutuhan gizi anak diperoleh dari ASI, jika tidak diberikan cenderung akan mengalami masalah gizi seperti gizi kurang dan gizi buruk (Arini, 2012). Hal ini sesuai dengan penelitian Amelia (2013) tentang hubungan antara penyapihan dini dengan status gizi balita usia 0-24 bulan. Dalam penelitian tersebut menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara penyapihan dini dengan status gizi balita usia 0-24 tahun yaitu dari 27 balita yang dilakukan penyapihan dini, 19 balita di antaranya mengalami status gizi kurang. Anak balita yang disapih pada usia kurang dari 1 tahun tetapi memiliki status gizi baik dalam penelitian ini terdapat 9 anak balita (50%). Hal ini dikarenakan anak sudah mendapatkan makanan berkualitas setelah menginjak usia 6 bulan. Sebagian anak ada yang membutuhkan zat gizi dan energi lebih dari sekedar tersedianya ASI. Selain itu meskipun anak disapih pada usia kurang dari 1 tahun, orang tua cenderung memberikan susu formula sebagai pengganti ASI sehingga kebutuhan gizi anak terus terpenuhi karena susu formula diproduksi dengan kandungan yang menyerupai ASI. Meskipun demikian, nilai biologi kandungan ASI lebih tinggi daripada kandungan susu formula. Penyapihan lebih dari 2 tahun dalam penelitian ini hanya terdapat 3 (4,9%) responden, 1 di antaranya mengalami status gizi kurang. Menurut Marimbi (2010), tidak benar jika anak terlalu lama disusui karena kandungan ASI setelah usia 2 tahun tidak lagi mencukupi kebutuhan bayi, sehingga jika ASI terus diberikan maka anak akan lebih mengandalkan ASI sebagai makanannya hal ini akan membuat balita mengalami
kekurangan zat gizi yang seharusnya didapatkan dari makanan berkualitas selain itu akan membuatnya tidak mandiri. Dari 3 anak balita yang telah disapih pada usia lebih dari 2 tahun terdapat 2 anak yang memiliki status gizi baik. Hal ini dikarenakan ibu balita sudah memperhatikan pemberian makanan tambahan. Sistem pencernaan anak, mulai dari usia 1 tahun harus sudah terbiasa dilakukan stimulasi pemberian makanan padat. Proses pencernaan makanan padat dan absopsi berlangsung dengan sangat terkoordinasi sesuai dengan kapasitas lambung dan kemampuan kerjanya. Struktur saluran cerna dan cara kerjanya memungkinkan pemecahan makanan padat menjadi unit-unit sangat halus dan pengantaran produknya ke dalam tubuh. Hal tersebut menunjukkan bahwa anak harus diberikan makanan bukan cair lagi agar hasil pencernaan makanan padat bisa dihantarkan ke dalam tubuh anak balita sebagai energi. Jika ASI masih terus diberikan setelah usia 2 tahun tanpa diimbangi dengan makanan tambahan yang lebih intensif, maka sistem pencernaan anak akan terganggu karena tidak pernah distimulasi oleh makanan padat. Setelah menginjak usia 2 tahun ketergantungan anak terhadap ASI harus diberhentikan dengan mengganti makanan padat bergizi yang bisa disesuaikan dengan menu hidangan keluarga. ASI setelah 2 tahun sudah tidak mengalir deras dan tidak ada kandungan gizinya termasuk kandungan proteinnya. Konsumsi protein yang dibutuhkan anak rata-rata 51,4%, jika kekurangan protein pada anak bisa menyebabkan malnutrisi yang disebut kwarsiorkor. Kwarsiorkor lebih banyak terdapat pada anak usia dua hingga tiga tahun yang sering terjadi pada anak yang terlambat disapih sehingga komposisi gizi makanan tidak seimbang terutama dalam hal pemenuhan protein (Almatsier, 2009). Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti memiliki keterbatasan yaitu hanya meneliti faktor usia penyapihan sebagai variabel yang mempengaruhi status gizi. Masih adanya faktor lain yang mempengaruhi status gizi di antaranya adalah faktor infeksi dan pemberian makanan tambahan yang berkualitas. Karena keterbatasan peneliti, maka peneliti juga memasukkan faktor infeksi dan makanan tambahan pada pembahasan.
Perbedaan Status Gizi Anak Balita Usia 1-3 Tahun Berdasarkan Usia Penyapihan Di Desa Sambirejo Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang
9
KESIMPULAN Sebagian besar balita usia 1-3 tahun mempunyai status gizi baik yaitu sebanyak 48 responden (77,4%) dibandingkan balita yang mempunyai status gizi kurang sebanyak 13 responden (1,6%) dan status gizi buruk yaitu sebanyak 1 responden (21,0%). Sebagian besar responden (ibu balita) menyapih anaknya pada usia 1-2 tahun yaitu sebanyak 41 responden (66,1%) dibandingkan responden (ibu balita) yang menyapih anaknya pada usia <1 tahun sebanyak 18 responden (29,0%) dan yang menyapih pada usia >2 tahun sebanyak 3 responden (4,9%). Terdapat perbedaan yang signifikan pada status gizi anak balita usia 1-3 tahun berdasarkan usia penyapihan di Desa Sambirejo, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang dengan p-value 0,003 < nilai α = 0,05 yang berarti ada perbedaan status gizi anak balita usia 1-3 tahun berdasarkan usia penyapihan. SARAN Bagi masyarakat pada umumnya dan bagi ibu balita khususnya agar lebih memantau pertumbuhan anak balita dan memperhatikan kebutuhan gizinya dengan memberikan ASI yang sesuai dengan kebutuhan dan usia anak. Selain itu pemberian makanan tambahan yang berkualitas setelah anak menginjak usia 1 tahun maupun pada masa penyapihan harus lebih intensif mengingat pada usia tersebut anak harus mendapatkan zat gizi yang baik sebagai pengganti ASI. Hendaknya bagi tenaga kesehatan khususnya bidan agar selalu memantau keadaan status gizi anak balita di wilayah kerjanya dan memberikan pendidikan kesehatan tentang pemberian ASI, makanan tambahan yang sesuai dengan usia anak serta memotivasi ibu balita untuk menyapih anaknya pada usia minimal 1 tahun dan maksimal 2 tahun agar dapat mencapai status gizi yang baik. Bagi institusi pendidikan diharapkan lebih mempersiapkan wawasan penelitian untuk peneliti selanjutnya serta melatih untuk berpartisipasi dan berperan aktif dalam kegiatan sosialisasi khususnya tentang pentingnya pemberian ASI dan makanan tambahan yang tepat sesuai usia anak karena berpengaruh terhadap status gizi anak balita.
10
Hendaknya lebih meningkatkan pengetahuan tentang teori yang terkait bidang kesehatan dan kesesuaian kondisi di lapangan serta menambah wawasan tentang metodologi penelitian sehingga untuk penelitian ke depan dapat menghasilkan penelitian yang baik dan terinci. Peneliti selanjutnya hendaknya dapat mengembangkan penelitian ini dengan menambah variabel penelitian yaitu tentang faktor-faktor lain yang mempengaruhi status gizi dan usia penyapihan serta lebih meningkatkan pengetahuan dalam bidang penelitian. DAFTAR PUSTAKA [1] Aisyaroh, Novery. (2012). Dukungan Bidan dalam Pemberian ASI Eksklusif di Desa Sumbersari Kecamatan Ngampel Kabupaten Kendal. Diakses pada tanggal 7 Maret, 2014, dari http://cyber.unissula.ac.id/journal/dosen/p ublikasi/ 210104090/3581Dukungan_Bidan_dlm_ ASI_Eksklusif.pdf [2] Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama [3] Amelia, Rizka. 2013. Penyapihan Dini dengan Status Gizi Balita Usia 0-24 Bulan Di Posyandu Dusun Kedungbendo Desa Gemekan Sooko Mojokerto [4] Arisman. 2007. Gizi Dalam Daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta: EGC [5] Aritonang, Irianto. 2013. Memantau dan Menialai Status Gizi Anak, Aplikasi Standar WHO-Antro 2005. Yogyakarta: Leutikabooks [6] Arini. 2012. Mengapa Seorang Ibu Harus Menyusui. Jogjakarta: FlashBooks [7] Aswin. 2008. Hubungan Antara Pola Asuh dengan Status Gizi pada Bayi Di Desa Wangon, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 3 No.2 Juli 2008 [8] Dahlan, Sopiyudin. 2013. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika
Perbedaan Status Gizi Anak Balita Usia 1-3 Tahun Berdasarkan Usia Penyapihan Di Desa Sambirejo Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang
[9] Dewi, Vivian Nanny. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta: Salemba Medika
[20] Maryunani, Anik. 2010. Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan. Jakarta: CV. Trans Info Media.
[10] Dinkes Kabupaten Semarang. 2012. Profil Kesehatan Angka Tahun 2012. Kabupaten Semarang
[21] Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
[11] Fairus, Martini dan Prasetyowati. 2009. Buku Saku Gizi dan Kesehatan Reproduksi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
[22] Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
[12] Hidayat, Aziz Alimul. 2010. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Ananlisi Data. Jakarta: Salemba Medika. [13] Istiany, Ari dan Rusilanti. 2013. Gizi Terapan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya [14] Juliawan, Dudut Eko, dkk. 2010. Evaluasi Program Pencegahan Gizi Buruk Melalui Promosi dan Pemantauan Pertumbuhan Anak Balita. Berita Kedokteran Masyarakat, Vol.26, No 1. [15] Kemenkes RI. 2010. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta [16] Kemenkes RI. 2011. Data Penduduk Sasaran Program Pembangunan Kesehatan 20112014.httpwww.depkes.go.iddownloadsBu ku%20PSPK%202011%20-%202014.pdf. Diakses tanggal 28 Februari 2013 pukul 10.28 WIB. [17] Kemenkes RI. 2013. Rencana Kerja Pembinaan Gizi Masyarakat Tahun 2013. http://gizi.depkes.go.id/download/Pedoma n%20Gizi/bk%20rencana%20kerja%20gi zi%20FINAL.pdf. Diakses tanggal 10 Februari 2014 pukul 20.28 WIB [18] Kristiani, Elisabeth Eva. 2012. Faktorfaktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Balita Usia 12-60 Bulan Di Desa Gari Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunung Kidul [19] Marimbi, Hanum. 2010. Tumbuh Kembang, Status Gizi, dan Imunisasi Dasar Pada Balita. Yogyakarta: Nuha Medika
[23] Nugroho, Taufan. 2011. ASI dan Tumor Payudara. Yogyakarta: Nuha Medika [24] Nursalam, dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (Untuk Perawat dan Bidan). Jakarta: Salemba Medika. [25] Paath, Erna Francin, dkk. 2004. Gizi dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta: EGC. [26] Prasetyawati, Arsita Eka. 2012. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dalam Millenium Development Goals (MDGs). Yogyakarta: Nuha Medika [27] Prasetyono, Dwi Sunar. 2012. Buku Pintar ASI Ekslusif Pengenalan, Praktik, dan Kemanfaatan-kemanfaatannya. Yogyakarta: Diva Press [28] Septiari, Bety Bea. 2012. Mencetak Balita Cerdas dan Pola Asuh Orang Tua. Yogyakarta: Nuha Medika [29] Soetjiningsih. 2014. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC [30] Sugiyono. 2010. Statistika untuk Penelitian. Bandung. ALFABETA [31] Supariasa, I Dewa Nyoman, dkk. 2012. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC [32] Unicef. 2012. Unicef Indonesia Laporan Tahunan Tahun 2012. http://www.unicef.org/indonesia/UNICEF _Annual_Report_%28Eng%29_130801_1 626.pdf. Diakses tanggal 10 Februari 2014 pukul 19.47 WIB. [33] Waryana. 2010. Gizi Reproduksi. Yogyakarta : Pustaka Rihama [34] Widodo, Rahayu. 2009. Pemberian Makanan, Suplemen, dan Obat pada Anak. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
Perbedaan Status Gizi Anak Balita Usia 1-3 Tahun Berdasarkan Usia Penyapihan Di Desa Sambirejo Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang
11