Juli 2016
Jurnal Syariah 4
PERBANDINGAN SYARAT IMPEACHMENT DI DALAM UNDANG-UNDANG DASAR 1945 DENGAN PEMIKIRAN IMAM AL-MAWARDI Catur Alfath Satriya Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Abstrak Pasca reformasi struktur ketatanegaraan Republik Indonesia mengalami perubahan yang fundamental. Lembaga Negara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi menjadi lembaga tertinggi. Selain itu, lembaga kepresidenan juga mengalami perubahan salah satunya adalah impeachment. Sebelum amandemen UUD 1945 pengaturan mengenai impeachment tidak terdapat di dalam UUD 1945. Hal ini menjadikan impeachment hanya didasarkan pada keputusan politik bukan keputusan hukum. Di dalam UUD 1945 setelah amandemen syarat dan mekanisme impeachment dimasukan di dalam UUD 1945. Hal ini bertujuan untuk menjunjung tinggi semangat negara hukum atau rule of law. Dalam hal ini, penulis ingin membandingkan bagaimana syarat impeachment yang diatur di dalam UUD 1945 dengan pemikiran Imam Al-Mawardi sebagai tokoh pemikir politik islam terkemuka. Kata kunci: impeachment, kepala negara, perbandingan
Comparison of Terms of Impeachment in Indonesia’ Constitution 1945 and Political Thought of Imam Al-Mawardi Abstract After reformation, constitutional structure of Republic of Indonesia has transformed fundamentally. People consultative assembly (MPR) is no longer as the highest of state institution anymore. Furthermore, impeachment as one of the feature of presidential government system is regulated in new constitution. Before amendment, Indonesia has no rule of impeachment. So, impeachment is only based on political decision not law decision and it is not appropriate with rule of law principle. This article describe the comparison of impeachment requirement in UUD 1945 with impeachment requirement in Imam Al-Mawardi’s thought as a political islamic scholar. Keywords: impeachment, Head of State, comparison
65
Jurnal Syariah 4
Juli 2016
Pendahuluan Pasca Reformasi, situasi ketatanegaraan di Indonesia mengalami perubahan yang fundamental. Salah satunya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR yang awalnya merupakan lembaga tertinggi di dalam UUD 1945 menjadi lembaga tinggi yang kedudukannya sejajar dengan lembaga negara yang lain seperti DPR, MA, dan Presiden di dalam UUD 1945 setelah perubahan. Selain perubahan kedudukan MPR, perubahan yang fundamental juga terjadi dalam mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang awalnya dipilih melalui MPR berubah menjadi Pemilihan Umum yaitu dipilih oleh seluruh rakyat Indonesia. Perubahan ini menyebabkan kedudukan Presiden berubah tidak lagi menjadi mandataris MPR namun menjadi mandataris rakyat. Menurut Bagir Manan di dalam bukunya Teori dan Politik Konstitusi, secara sistematis perubahan UUD 1945 dapat dikategorikan menjadi1: 1. Pembaharuan Struktur UUD 2. Pembaharuan sendi-sendi bernegara 3. Pembaharuan bentuk susunan negara 4. Pembaharuan kelembagaan atau alat kelengkapan negara 5. Pembaharuan yang berkaitan dengan penduduk dan kewarganegaraan 6. Pembaharuan yang bersangkutan dengan identitas negara Salah satu aspek yang menjadi pembahasan adalah mengenai pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden. Di dalam UUD 1945 sebelum amandemen, tidak ada syarat maupun mekanisme bagaimana memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden ditengah masa jabatannya. Hal ini mengakibatkan dalam pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden yang ada hanyalah proses politik, tidak ada proses hukum di dalamnya. Pemberhentian Presiden di Indonesia terjadi dua kali yaitu ketika Presiden Soekarno dan Presiden Abdurahman Wahid2. Proses pemberhentian kedua PresBagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2000), hlm. 19-20. 2 Soekarno diberhentikan oleh MPRS dikarenakan Pidato pertanggungjawabannya ditolak oleh MPRS, lalu MPRS melalui Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 mencabut Kekuasaan 1
66
Juli 2016
Jurnal Syariah 4
iden tersebut dilakukan oleh MPR selaku pemberi mandat presiden berdasarkan UUD 1945 sebelum amandemen. Oleh sebab itu, ketika dilakukan amandemen UUD 1945, salah satu kesepakatan adalah penguatan sistem presidensiil yang menjadi arahan dalam proses amandemen UUD 19453. Konsekuensi logis ketika ingin diperkuatnya Sistem Presidensiil yaitu: (1) Adanya masa jabatan Presiden yang bersifat tetap (fixed term); (2) Presiden selain sebagai kepala negara juga merupakan kepala pemerintahan; (3) Adanya mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances); dan (4) adanya mekanisme impeachment4. Dari penjelasan ini dapat dilihat bahwa adanya pengaturan mengenai impeachment di dalam UUD 1945 pasca amandemen merupakan pengejawantahan dari dipertegasnya sistem pemerintahan Presidensil di dalam UUD 1945 pasca amandemen. Di dalam tulisan ini, penulis ingin membuat perbandingan bagaimana syaratsyarat dan mekanisme impeachment antara konsep islam dengan konsep yang terdapat di dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pembahasan Di dalam hukum tata negara terdapat dua konsep pemberhentian seorang Presiden yaitu impeachment dan forum previlegiatum. Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, sedangkan Gus dur diberhentikan dikarenakan tidak mengindahkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, lalu MPR mengeluarkan Ketetapan MPR/ No. II/MPR/2001 untuk memberhentikan Gus dur sebagai Presiden Republik Indonesia. Lihat Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005) 3 Terdapat 5 hal yang menjadi kesepakatan Badan Pekerja MPR RI, yaitu: (1) Tidak mengubah pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; (2) Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) Mempertegas sistem Presidensiil; (4) Hal-hal normatif di dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dimasukan ke dalam batang tubuh UUD 1945; (5) Perubahan UUD 1945 dilakukan dengan cara adendum. Selain kelima kesepakatan tersebut, Badan Pekerja juga bersepakat bahwa pembagian kekuasaan dirumuskan dengan tegas dengan prinsip checks and balances. Lihat Naskah Komperhensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Buku I: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan UUD 1945, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010), hlm. 5 4 Laporan Penelitian “Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” Kerja sama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Konrad Adenauer Stiftung, Jakarta, 2005.
67
Jurnal Syariah 4
Juli 2016
Pengertian impeachment Secara definisi, impeachment adalah proses pendakwaan yang dilakukan oleh lembaga legislatif terhadap pejabat tinggi negara.5 Sementara itu, impeachment juga dapat diartikan sebagai suatu tindakan politik dengan hukuman berhenti dari jabatan dan kemungkinan larangan untuk memegang suatu jabatan, bukan hukuman pidana atau pengenaan ganti kerugian perdata.6 Di dalam Black’s Law Dictionary, impeachment diartikan sebagai “the act (by a legislature) of calling for the removal from office of a public official, accomplished by representing written charge of the official’s alleged misconduct; articles of impeachment- which can be approved by as simple majority in the house- serve as the charging instrument for the later trial in Senate.”7 Namun yang perlu ditekankan adalah bahwa impeachment merupakan proses pendakwaan yang belum tentu berakhir dengan pemakzulan atau mundurnya pejabat tinggi negara tersebut. Hal yang ditekankan dalam impeachment adalah harus adanya alasan hukum yang mendasari proses impeachment. Jangan sampai mundurnya seorang pejabat tinggi negara atau Presiden lebih disebabkan karena alasan yang bersifat politis ketimbang alasan hukumnya. Selain itu, adanya mekanisme impeachment semakin menegaskan bahwa negara tersebut merupakan negara hukum (rechtstaat). Pengertian forum previlegiatum Secara definisi, forum previlegiatum adalah konsep pemberhentian pejabat tinggi negara yang memiliki posisi strategis di pemerintahan, termasuk Presiden melalui mekanisme peradilan khusus. Dalam hal ini, Presiden yang dianggap melanggar hukum diberhentikan melalui mekanisme pengadilan yang dipercepat tanpa melalui jenjang pemeriksaan pengadilan yang konvensional dari tingkat bawah. Forum ini diselenggarakan dengan cepat dan singkat berbeda dengan peradilan umum Reza Syawawi, “Pengaturan Pemberhentian Presiden dalam Masa Jabatan Menurut UUD 1945: Studi Komparatif Sebelum dan Sesudah Perubahan”, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 6, (Desember 2010), hlm. 72. 6 Wiwik Budi Wasito, “Mekanisme, Wewenang, dan Akibat Hukum Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Sistem ketatanegaraan Indonesia”, (Tesis Magister Universitas Indonesia, Jakarta, 2009), hlm. 5. 7 Karina Amanda, “Tinjauan Ketatanegaraan terhadap Mekanisme dan Pengaturan Impeachment di Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,” (Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, 2006), hlm. 7. 5
68
Juli 2016
Jurnal Syariah 4
sehingga prosesnya tidak mengganggu kinerja dari lembaga yang bersangkutan. Konsep seperti ini diterapkan di Perancis. Di dalam Pasal 68 Konstitusi Perancis menjelaskan bahwa Presiden dan pejabat negara dapat dituntut untuk diberhentikan di dalam forum pengadilan Mahkamah Agung Perancis apabila diduga telah melakukan pengkhianatan terhadap negara, melakukan kejahatan kriminal dan tindakan tidak pantas lainnya yang menurunkan harkat dan martabat Presiden atau pejabat negara yang bersangkutan. Adanya mekanisme ini adalah bentuk dari implementasi konsep negara hukum. Dalam hal ini, putusan akhir berada dalam ranah hukum bukan ranah politik.8 Syarat-syarat impeachment di dalam UUD 1945 Secara garis besar, terdapat 3 kategori Presiden tidak dapat lagi menjalankan jabatan untuk sisa masa jabatannya, yaitu; (1) Mangkat dalam masa jabatannya; (2) Berhenti dalam masa jabatannya; dan (3) Tidak dapat melakukan kewajiban dalam masa jabatannya. Dalam hal, ini berhenti dalam masa jabatannya bisa diartikan mengundurkan diri atau berhenti karena diberhentikan.9 Di dalam Pasal 7A UUD 1945 dijelaskan secara garis besar bahwa Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan rakyat apabila terbukti telah melanggar hukum atau sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Dalam hal ini, pelanggaran hukum yang ditentukan yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.10 Di dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengkhianatan terhadap negara adalah kejahatan terhadap keamanan negara sebagaimana yang diatur di dalam undang-undang. Menurut Wirjono Prodjodikoro di dalam Titel I Buku II KUHPidana memuat tindak pidana yang berReza Syawawi, “Pengaturan Pemberhentian Presiden dalam Masa Jabatan Menurut UUD 1945: Studi Komparatif Sebelum dan Sesudah Perubahan”, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 6, (Desember 2010), hlm. 73-74. 9 Hamdan Zoelva, Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 33. 10 Bunyi Pasal 7A UUD 1945, yaitu: Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. 8
69
Jurnal Syariah 4
Juli 2016
sifat mengganggu kedudukan negara sebagai kesatuan yang berdiri di tengah-tengah masyarakat internasional yang terdiri dari bangsa-bangsa yang merdeka dan berdaulat. Sifat pengkhianatan yang merupakan kesamaan tindak pidana dari title I ini. Secara teori, pengkhianatan negara dibagi menjadi dua macam, yaitu pengkhianatan intern dan pengkhianatan ekstern. Pengkhianatan intern adalah pengkhianatan yang ditujukan untuk merubah struktur kenegaraan atau struktur pemerintahan yang ada, termasuk juga tindak pidana terhadap kepala negara. Pengkhianatan ekstern adalah pengkhianatan yang ditujukan untuk membahayakan keamanan negara terhadap serangan dari luar negeri. Selain itu, kejahatan yang terkait dengan penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, keinginan untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dan kejahatan terorisme dapat dikelompokan sebagai kejahatan yang berkaitan dengan keamanan negara.11 Untuk kejahatan korupsi dan penyuapan, keduanya sudah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomo 20 tahun 2001. Penyuapan terhadap penyelenggara negara atau pegawai negeri sudah dikualifikasi sebagai delik korupsi, namun tidak termasuk penyuapan yang dimaksud di dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 1980. Untuk istilah “kejahatan berat lainnya” dan istilah “perbuatan tercela” tidak dijelaskan lebih rinci di dalam UUD 1945. Di dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi pasal 10 ayat (3) butir c menjelaskan secara singkat bahwa yang dimaksud dengan “tindak pidana berat lainnya” adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. Menurut Friedman, yang termasuk ke dalam tindak pidana berat adalah pembunuhan berencana, pembunuhan, pemerkosaan, penculikan, perampokan, penganiayaan, pencurian tanpa diketahui, masuk dengan paksa, pencurian, penggelapan, pemalsuan, pemerasan, dll. Sedangkan istilah “perbuatan tercela” di dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi pasal 10 ayat (3) butir d yaitu perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden walaupun hal ini masih bisa dianggap multi tafsir.12 Dalam konteks Presiden “sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden” berarti Presiden sudah tidak lagi memenuhi kriteria yang terdapat di dalam Pasal 6 UUD 1945, yaitu: (1) Presiden sudah harus seorang warga negara Indonesia sejak 11 12
Zoelva, Op.Cit., hlm. 54-56. Zoelva, Op.Cit., hlm. 12.
70
Juli 2016
Jurnal Syariah 4
kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri; (2) tidak pernah mengkhianati negara; dan (3) mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden. Syarat-syarat pemakzulan Presiden menurut Imam Al-Mawardi Imam Al-Mawardi di dalam bukunya, Al-Ahkam As-Sulthaniyah menjelaskan bahwa terdapat 2 kondisi yang menyebabkan bahwa seorang pemimpin dapat dipecat, yaitu: (1) Cacat dalam keadilannya; dan (2) Cacat tubuh. Cacat dalam keadilannya dalam hal ini diartikan sebagai fasik. Cacat dalam keadilannya dibagi menjadi dua. Pertama, akibat dari syahwat. Kedua, akibat dari syubhat. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan “akibat dari syahwat” berkaitan dengan tindakan-tindakan organ tubuh yang mengerjakan larangan dan kemungkaran karena menuruti syahwat dan tunduk kepada hawa nafsu. Kefasikan ini membuat seseorang tidak bisa diangkat sebagai pemimpin dan memutus kelangsungan kepemimpinannya. Jika sifat tersebut terjadi pada seorang pemimpin, pemimpin tersebut harus mengundurkan diri dan apabila dia kembali ke jalan Allah SWT (tidak fasik) hal tersebut tidak berlaku surut sehingga apabila ingin menjadi pemimpin harus ada pengangkatan baru.13 Kedua, yang dimaksud dengan “akibat dari syubhat” dalam hal ini adalah tidak sesuai dengan kebenaran. Terdapat perbedaan pendapat dari para ulama mengenai hal ini. Sebagian ulama mengatakan bahwa syubhat menyebabkan seseorang tidak boleh diangkat sebagai pemimpin dan membatalkan kelangsungan kepemimpinannya. Namun, sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa syubhat tidak menghalangi seseorang untuk dijadikan pemimpin dan tidak harus mundur dari kepemimpinannya, sebagaimana syubhat tidak membatalkan jabatan hakim dan saksi.14 Di dalam bukunya, Imam Al-Mawardi membagi cacat pada tubuh menjadi 3 bagian, yaitu: (1) Cacat panca indera; (2) Cacat organ tubuh: (3) Cacat tindakan. 1. Cacat Panca Indera a. Cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat menjadi pemimpin Ada dua jenis cacat yang menghalangi seseorang untuk dapat diangkat Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyah: Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam, diterjemahkan oleh Fadli Bahri, cet. 6, (Bekasi: Darul Falah, 2014), hlm. 26. 14 Ibid. 13
71
Jurnal Syariah 4
Juli 2016
menjadi pemimpin yaitu hilang ingatan dan hilang penglihatan. Hilang ingatan dibagi menjadi dua yaitu: (a) Hilang ingatan yang mempunyai peluang untuk sembuh. Hilang ingatan seperti ini tidak menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai pemimpin dan tidak mengharuskannya mundur sebagai pemimpin. Hal ini dikarenakan hilang ingatan seperti itu termasuk penyakit ringan yang dapat sembuh dalam waktu yang cepat. (b) Hilang ingatan yang terus menerus dan tidak ada harapan untuk sembuh. Contohnya seperti gila. Gila sendiri dibagi menjadi dua. Pertama, gila terus menerus tanpa ada harapan untuk sembuh. Gila yang seperti ini menghalangi seseorang untuk dapat dijadikan pemimpin dan membatalkan kelangsungan kepemimpinannya. Kedua, gila yang pulih dan kembali sehat. Permasalahan seperti ini harus ditinjau secara mendalam. Apabila masa gilanya lebih lama daripada masa normalnya, maka ia dianggap sebagai orang yang gila terus menerus. Oleh sebab itu, ia tidak dapat diangkat menjadi pemimpin dan kepemimpinannya tidak dapat diteruskan. Selain hilang ingatan, yaitu hilang penglihatan yang terjadi pada seseorang membuatnya tidak bisa diangkat menjadi pemimpin dan sekaligus menghentikan kepemimpinannya apabila terjadi pada seorang pemimpin. Namun, apabila gangguan penglihatannya hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu, maka hal tersebut tidak menghalangi seseorang untuk menjadi pemimpin dan tidak menghentikan kepemimpinannya. Adapun lemah penglihatan, jika masih dapat mengenai orang per orang, maka tidak menghalangi seseorang untuk menjadi pemimpin. Namun, jika tidak bisa mengenali orang per orang, maka membuatnya tidak bisa diangkat menjadi pemimpin dan menghentikan kepemimpinannya.15 b. Cacat yang tidak menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai pemimpin Cacat panca indera yang tidak mempengaruhi kepemimpinan ada 2, yai15
Al-Mawardi, Op.Cit., hlm. 27-28.
72
Juli 2016
Jurnal Syariah 4
tu: (a) Cacat di hidung yang menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu (b) Kehilangan alat perasa yang membedakan rasa makanan Kedua cacat di atas dianggap tidak mempengaruhi kepemimpinan dikarenakan kedua cacat tersebut tidak mempengaruhi pola pikir dan perbuatan.16 c. Cacat yang diperdebatkan para ulama Di kalangan ulama terdapat 2 cacat yang masih diperdebatkan apakah mempengaruhi kepemimpinan atau tidak yaitu tuli dan bisu.17 2. Cacat organ tubuh Imam Al-Mawardi membagi cacat organ tubuh dalam 4 bagian, yaitu:18 1) Hilangnya organ tubuh yang tidak menghalangi seseorang untuk menjadi pemimpin dan tidak menghentikan kepemimpinannya. Dalam hal ini, hilangnya organ tubuh yang tidak mempengaruhi pola pikir, perbuatan, gerak, dan ketajaman penglihatan 2) Hilangnya organ tubuh yang menghalangi seseorang untuk menjadi pemimpin dan membatalkan kelangsungan kepemimpinannya. Dalam hal ini, hilangnya organ tubuh yang mempengaruhi kerja seperti hilangnya kedua tangan atau kedua kaki yang menyebabkan pemimpin tidak mampu bekerja dan bertindak cepat 3) Hilangnya organ tubuh yang menghalangi seseorang untuk diangkat menjadi pemimpin namun diperdebatkan sah tidaknya kelangsungan kepemimpinannya seperti hilangnya organ tubuh yang menyebabkan seseorang hanya mampu mengerjakan sebagian pekerjaan. Contohnya yaitu kehilangan salah satu tangan atau salah satu kaki Al-Mawardi, Op.Cit., hlm. 29. Ibid. 18 Ibid., hlm. 30-32. 16
17
73
Jurnal Syariah 4
Juli 2016
4) Hilangnya organ tubuh yang menghentikan kelangsungan kepemimpinan seorang pemimpin namun diperdebatkan apakah hal tersebut menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai pemimpin yaitu seperti kelainan fisik yang tidak mempengaruhi kerja dan gerak, seperti hidungnya jelekatau salah satu matanya rabun sehingga tidak dapat melihat dengan jelas 3. Cacat tindakan
Imam Al-Mawardi membagi cacat tindakan menjadi 2 jenis yaitu:19 1) Hajru Dalam istilah fiqh yang dimaksud dengan Hajru adalah pembatasan gerak yang ditetapkan pada seseorang dikarenakan selama ini tindakan-tindakannya tidak benar. Contohnya, orang yang boros dan sering menghambur-hamburkan uang. Hal tersebut apabila dibiarkan akan membahayakan yang bersangkutan dan masyarakat umum. Oleh sebab itu, untuk kepentingan umum orang tersebut dapat dikenakan Hajru (pembatasan gerak). Namun, jika dalam waktu tertentu orang tersebut menyadari kesalahannya dan mampu mengelola keuangan dengan baik, maka Hajru dapat dicabut darinya. Sebaliknya, Jika orang tersebut tidak mengakui kesalahannya, maka Hajru tidak dapat dicabut dari orang tersebut. 2) Kalah Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kalah adalah pemimpin jatuh menjadi tawanan pihak musuh yang menang dan tidak mampu melepaskan diri dari cengkraman musuh. Dalam keadaan seperti ini, seseorang tidak dibenarkan untuk dijadikan pemimpin karena dalam kondisi tertawan seseorang tidak mampu memikirkan urusan dan permasalahan kaum muslimin. Namun, jika seseorang tertawan oleh musuh ketika sebagai pemimpin, maka seluruh ummat wajib membebaskannya karena di antara pemimpin yaitu mendapatkan pertolongan.
19
Al-Mawardi, Op.Cit., hlm. 33. 74
Juli 2016
Jurnal Syariah 4
Penutup Di dalam tulisan ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan dan persamaan antara syarat impeachment yang diatur di dalam UUD 1945 dengan pemikiran Al-Mawardi. Persamaannya yaitu bahwa sebagai pemimpin sehat jasmani dan rohani merupakan unsur utama. Pemimpin tidak boleh cacat yang membuatnya tidak mampu menjalankan urusan-urusan negara walaupun Imam Al-Mawardi masih mengklasifikasikan mana cacat yang dibolehkan mana yang tidak. Kedua, yaitu pemimpin tidak boleh melakukan pelanggaran. Dalam hal ini, Al-Mawardi mengklasifikasikan istilah “melakukan pelanggaran” dengan istilah “berbuat fasik” yang berarti pemimpin telah melanggar apa yang ditetapkan oleh Allah SWT sehingga dianggap cacat keadilannya. Di dalam UUD 1945, Presiden dapat dimakzulkan apabila terbukti telah melakukan pelanggaran berat dalam hal ini pelanggaran yang ancaman hukumannya lebih dari 5 tahun dan melakukan perbuatan yang merendahkan harkat dan martabat Presiden. Sedangkan, perbedaannya di dalam pemikiran Al-Mawardi diatur mengenai cacat tindakan yaitu Hajru dan Kalah sedangkan di dalam UUD 1945 tidak diatur mengenai cacat tindakan.
Referensi Buku dan Dokumen Al-Mawardi, Imam. Al-Ahkam As-Sulthaniyah: Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam. Diterjemahkan oleh Fadli Bahri. cet. 6. Bekasi: Darul Falah. 2014. Amanda, Karina. Tinjauan Ketatanegaraan terhadap Mekanisme dan Pengaturan Impeachment di Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Skripsi Sarjana Universitas Indonesia. 2006. Laporan Penelitian “Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” Kerja sama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Konrad Adenauer Stiftung, Jakarta. 2005. Manan, Bagir. Teori dan Politik Konstitusi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. 2000. 75
Jurnal Syariah 4
Juli 2016
Naskah Komperhensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Buku I: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan UUD 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi 2010. Syawawi, Reza. “Pengaturan Pemberhentian Presiden dalam Masa Jabatan Menurut UUD 1945: Studi Komparatif Sebelum dan Sesudah Perubahan. Jurnal Konstitusi. Volume 7 Nomor 6 (Desember 2010). Wasito, Wiwik Budi. “Mekanisme, Wewenang, dan Akibat Hukum Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Sistem ketatanegaraan Indonesia.” Tesis Magister Universitas Indonesia. Jakarta. 2009. Zoelva, Hamdan. Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945. Jakarta: Konstitusi Press. 2005 Perundang-undangan Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945. Indonesia, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316
76