3
Abstrak Dalam ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetepkan dengan Undang-Undang. Kemudian dalam ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 lebih lanjut menjelaskan i) dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang ii) Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut iii) jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah harus dicabut. Dengan melihat ketentuan di atas bahwa untuk menetapkan “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” adalah hak subyektif dari seorang Presiden. Karena merupakan hak subyektif maka perlu ditetapkan dasar pertimbangan yang jelas tentang makna “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” agar hak subyektif dari seorang Presiden akan menjadi lebih objektif. Dalam penelitian merupakan penelitian yang bersifat yuridis deskriptif, di mana dengan menggunakan data yang bersifat sekunder kemudian dianalisis secara mendalam yang diharapkan dapat menghasilkan hasil yang baik. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa i) Perppu memiliki kedudukan secara yuridis di dalam hirarki perundang-undangan ii) Peraturan Perundang-undangan belum memberikan aturan-aturan yang dapat menjelaskan dasar-dasar dan ukuran-ukuran “kegentingan yang memaksa” dan iii) Perppu memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap tata laksana peraturan perundang-undangan terkait.
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang. Negara Republik Indonesia diproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 atas nama bangsa Indonesia oleh Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta. Sebagai kelanjutan dari proklamasi 17 Agustus 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) ditetapkanlah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai dasar berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berkenaan dengan bentuk negara dalam pasal 1 ayat 1 UUD 1945 disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Republik berasal dari kata “Res” artinya “Kembali” dan “Publica” artinya “Kepentingan Umum” 1. Pengertian secara umum Republik dapat diartikan sebagai “suatu negara yang dalam pelaksanaannya didasarkan kepada kepentingan umum atau orang banyak). 2 Sebagai akibat dari telah ditetapkannya bentuk Negara Indonesia adalah republik sudah selayaknya bahwa sebagai dasar berinteraksi di dalam berbangsa bernegara harus didasarkan hukum 3 sebagai aturan dasar yang harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia. Perjalanan negara dan bangsa Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945 khususnya di dalam penegakan hukum tidaklah semudah dan semulus yang dibayangkan. Hal tersebut sangat berkaitan dengan situasi politik nasional maupun internasional yang sangat besar pengaruhnya terhadap perjalanan Negara Kesatuan Repiblik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari sejarah perkembangan ketatanegaraan Indonesia yang sangat berhubungan dengan sistem dan penegakan hukum di Indonesia. 1. Masa berlakunya UUD 1945 dari Tahun 1945 s/d Tahun 1949. 1
C.S.T. Kansil. Et.al. Ilmu Negara (Umum dan Indonesia) Pradnya Paramita Jakarta 2001. Hal 60 Ibid 3 Penjelasan UUD 1945 menjelaskan bahwa “Negara Indonesia ialah negara berdasarkan hukum (rechtstaat) bukan bedasarkan kekuasaan (maachtstaat). 2
2
2. Masa berlakunya KRIS 1949 dari Tahun 1949 s/d Tahun 1950 3. Masa berlakunya UUDS 1950 dari Tahun 1950 s/d Tahun 1959 4. Masa berlakunya UUD 1945 dari Tahun 1959 s/d Tahun 2000 menjelang perubahan UUD 1945. 5. Masa berlakunya UUD 1945 dari Tahun 2000 sampat saat ini, setelah perubahan UUD 1945. Memperhatikan uraian di atas, telah nampak jelas bahwa sejarah panjang penyelenggaraan Negara Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan yang sudah tentu juga akan berpengaruh kepada sistem ketatanegaraan Indonesia secara umum. Kemudian dapat dilihat pula bahwa pengaruh politik nasional maupun internasional sangat berperan dalam terjadinya eskalasi perubahan dimaksud. Bahkan dapat dipastikan konsep pelaksanaan hukum di Indonesia tidaklah dapat berjalan sebagaimana mestinya sesuai yang diharapkan oleh masyarakat secara keseluruhan. Undang-undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 tidak dapat berjalan secara efektif, hal ini dikarenakan situasi bangsa dan Negara Indonesia masih belum stabil, masih terdapat beberapa wilayah yang belum dapat dikuasai, pemerintahan berpindah-pindah, tekanan-tekanan dari penjajah belanda masih terus berlangsung. Yang akhirnya pada tahun 1949 sebagai hasil dari Konfrensi Meja Bundar (KMB) Den Haag Belanda pemerintah Indonesia dipaksa untuk mengubah bentuk Negara Indonesia dari Negara Kesatuan menjadi Negara Serikat. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) Tahun 1949 telah ditetapkan sebagai konstitusi negara Indonesia yang mengubah bentuk Negara Kesatuan menjadi Negara Serikat. Wilayah Indonesia dipecah menjadi beberapa Negara bagian misalnya ; Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan termasuk Distrik Federal Jakarta, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatra Timur, Negara Kalimantan dan beberapa Negara Satuan-satuan lainnya. Negara federasi juga tidak berjalan lancar, gejolak politik di 3
beberapa Negara bagian terus bergejolak ditambah peranan politik internasional kolonial Belanda yang bermuka dua. Dan dalam rangka untuk menyelamatkan Negara Republik Indonesia sesuai dengan amanat proklamasi, maka pada tahun 1950 ditetapkan UndangUndang Dasar Sementara (UUDS) 1950 yang pada prinsipnya menyatakan kembali kepada Negara Kesatuan Indonesia. 4 Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 selain telah menetapkan kembalinya bentuk Negara Kesatuan dari Negara Serikat, amanat yang sangat penting dari UUDS 1950 telah dibentuknya badan Konstituante untuk merumuskan konstitusi (UUD) yang baru yang akan mampu memberikan jalan keluar yang terbaik untuk masyarakat dan bangsa Indonesia. Dalam masa 9(Sembilan) tahun sejak ditetapkannya, badan konstituante ternyata tidak mampu merumuskan apalagi menetapkan UUD yang baru. Gejolak politik makin meninggi, krisis kepemimpinan makis tidak jelas, pemberontakan dan sparatisme terjadi dibeberapa wilayah Indonesia. Memperhatikan keadaan-keadaan tersebut akhirnya Presiden Ir. Soekarno sebagaimana yang diamantkan dalam ketentuan UUDS 1950 telah menetapkan Dekrit Presiden 5 Juli 1949 yang pada intinya menyatakan kembali kepada UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. 5 Pada tahun 2001 pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, berkenaan dengan krisis politik yang terjadi antara Presiden dan Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR), telah ditetapkan Maklumat Presiden Tahun 2001 yang pada prinsipnya Presiden telah menetapkan pembubaran MPR dan DPR. Dilihat dari kewenangannya maklumat tersebut adalah constitutional sesuai ketentuan UUD 1945 pasca dekrit presiden 5 Juli 1959. Walaupun pada akhirnya Presiden Abdirrahman Wahid akhirnya dijatuhkan oleh MPR.
4 5
UUD 1945 & Konstitusi Indonesia. Indonesia Legal Center Publisher. Jakarta 2006 Hlm 97 Ibid
4
Dari kejadian-kejadian tersebut diatas telah memberikan gambaran bahwa dari waktu-kewaktu berkenaan dengan situasi-situasi yang sangat genting di dalam hal penyelenggaraan negara, setiap Undang-Undang Dasar atau peraturan yang setingkat dengannya telah memberikan ruang kepada pemerintah atau Presiden dengan kewenangan dan tanggung jawab yang dimilikinya dapat mengambil keputusan untuk mengambil langkah-langkah untuk menyelematkan bangsa dan negara. Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia keputusan-keputusan dimaksud ditetapkan dalam suatu “Dekrit” yang berasal dari bahasa Inggris “Decree” yang artinya “Keputusan”, atau “Maklumat” yang berasal dari bahasa Arab “Ma’lumat” yang artinga “Pengumuman” atau dalam istilah pembaharuan hukum katatanegaraan disebut dengan “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang “ atau “Perppu”. Dalam pertimbangan-pertimbangan yang mencantumkan istilah “negara dalam keadaan bahaya”, negara dalam keadaan darurat” atau “dalam ikhwal kegentingan yang memaksa” secara yuridis pertimbangan-pertimbangan dimaksud telah dimasukan dalam pertimbangan penetapan ‘Dekrit” atau “Maklumat” termasuk di dalam “Perppu”. Terlepas dari unsur objektivitas maupun subjektivitas keputusan tersebut dengan personal pengambil keputusan dimaksud. Objektivitas maupun subjektivitas suatu keputusan dapat dilihat dari sejauhmana efektifitas keputusan tersebut dapat diterima dalam proses ketatanegaraan negara. Sejak lahirnya ketetapan Majlis Permusyswaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor : XX/MPRS/1966 tentang Tertib Hukum dan Tata Peraturan PerundangUndangan, ketentuan tentang “Negara Dalam Keadaan Bahaya” ditetapkan oleh Presiden dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Yang selanjutnya juga telah diatur dalam Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor : III/MPR/2000 Tentang Tertib Hukum dan Perundang-undangan, Undang-
5
Undang Nomor : 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Perundang-undangan, dan Undang-Undang Nomor : 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Perundang-undangan. Secara konstitutional pengeluaran Perppu merupakan hak subyektif Presiden yang didasari adanya keadaan yang “genting dan memaksa”, tetapi pembentukannya tetap harus memenuhi asas-asas pembentukan perundang-undangan yang baik, proporsional, dan cermat. Meskipun tujuan dikeluarkannya Perppu tentng MK untuk mengembalikan kepercayaan publik dan kredibilitas hakim konstitusi, tetapi materi muatan Perppu tidak boleh bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Supaya tidak ada penyimpangan dalam penggunaan hak subyektif Presiden dalam Perppu, DPR harus secara objektif menilai apakah Perppu MK layak untuk disetujui menjadi Undang-Undang ataukah ditolak. 6 Selain itu penerbitan suatu “negara dalam keadaan bahaya, negara dalam keadaan darurat” dan “hal ihkwal kegentingan yang memaksa”, harus memili ukuranukuran atau dasar-dasar khusus sehingga siapapun yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab di bidang pemerintahan dapat menggunakannya secara objektif, tidak subjektif. Dalam masa pemerintahan Presiden Susilo Yudoyono berkenaan dengan “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” berkenaan urgensi penyempurnaan ketentuan perundang-undangan Mahkamah Konstitusi RI telah menetapkan Perppu No. 1 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi RI. Berkenaan dengan telah runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara tersebut. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor : 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 24 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah langkah tepat untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap MK setelah ditangkapnya Ketua Nonaktif, Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terdapat sejumlah hal krusial dalam Perppu Nomor : 1 Tahun 6
Ni’matul Huda. Problematika Substantif Perppu Nomor : 1 Tahun 2013 Tentang Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi Vol. 10 No. 4 Hlm 557-578
6
2913 tentang MK yang dinilai sebagai akar persoalan sekaligus obat mujarab untuk tidak terulanginya praktek korupsi di MK, diantaranya adalah mengenai system pengawasan Hakim Kontitusi. Hakim MK sesungguhnya pernah menjadi objek pengawasan Komisi Yudisial (KY), namun sejak terbitnya putusan MK No. 005/PUU-IV?2006, kewenangan KY mengawasi Hakim Konstitusi diputuskan sebagai inkonstitutional. 7 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) merupakan yang dikeluarkan oleh Presiden (secara subyektif) dalam keadaan “kegentingan yang memaksa”. Perubahan undang-undang melalui Perppu adalah perubahan undang-undang yang tidak
lazim, ketidak
laziman perubahan undang-undang
melalu Perppu
menggambarkan sebuah “keadaan” yang mengenyampingkan perubahan undang-undang secara normal. Kualitas sebuah Perppu dinilai dari isi Perppu tersebut, baik perubahan itu mengganti yang ada atau menambah yang belum ada. Sebagai peraturan yang bermuatan undang-undang, maka subyektifitas Presiden haris diobjektifkan melalui DPR. Konsekuensi penilaian tersebut adalah diterima atau tidak diterima. Implikasi terhadap konsekuensi tersebut adalah jika diterima, maka Perppu tersebut formal akan berubah menjadi undang-undang. Perubahan undang-undang melalui Perppu akan meningkatkan kualitas berikutnya karena Perppu diuji keberlakuannya secara empiris oleh DPR. Namun jika tidak diterima maka Perppu tersebut tidak berlaku lagi dan setiap ketentuan yang berlaku dalam Perppu tidak mempunyai hukum mengikat lagi. Kemudian hukum akan berlaku setelah itu adalah undang-undang yang lama. 8 Berkenaan dengan dinamika demokrasi khususnya setelah hampir sepuluh tahun telah terjadi eskalasi pemahaman politik yang luar biasa, baik dikalangan masyarakat, birokrasi pemerintahan, lembaga legislatif maupun para elit-elit politik, hal ini dapat dilihat dari antusiasnya masyarakat dalam berpartisipasi aktif dalam berpolitik 7
Malik, Perppu Pengawasan Hakim Konstitusi versus Putusan Final Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi Vol 10 No. 4 Hal 579-604. 8 Adventus Toding. Pembelajaran Hukum Melalui Perppu No. 1 Tahun 2013 Tentang Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi Vol. 10 No. 4 Hlm 605-626.
7
pada tingkat lokal maupun nasional. Lokal dalam pengertian pemerintahan di daerah provinsi dan kabupaten/kota, sedangkan nasional dalam pengertian pemerintah pusat. Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota hal ini berkaitan dengan pemilu legislatif di DPRD maupun pemilihan Kepala Daerah. Dan pemerintah pusat hal ini berkaitan dengan pemilu legislatif di DPR-RI, DPD-RI dan pemilihan Presiden. Belum sempurnanya aturan sistem pemilihan umum untuk anggota legislatif maupun pemilihan umum untuk Kepala Daerah dan Presiden ditambah dengan belum meratanya kesadaran serta pehaman masyarakat Indonesia terhadap sistem hukum yang mengatuyrnya, di dalam pelaksanaannya telah terjadi gejolak yang kadang kala terjadi gesekan-gesekan maupun bentrok antar kelompok yang memiliki kepentingankepentingan politik. Yang sebenarnya tidak perku terjadi jika seluruh masyarakat telah memahami aturan-aturan dan saluran-saluran apa yang dapat ditempuh pada saat terjadi perselisihan-perselisihan diantara para pemangku politik. Dari gejolak dimaksud dan sebagai ekses dari kerasnya persaingan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, di mana telah terjadi kristalisasi kelompok ke dalam dua kelompok yang menamakan Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), yang pada perkembangan selanjutnya merambat kepada tatanan kelembagaan legislatif, di mana telah terjadi pula perebutan kekuasaan yang sudah tentu berpengaruh pula terhadap hasil-hasil regulasi yang dibuat oleh lembaga kegislatif. Dari sekian konflik yang sangat keras karena kepentingannya sangat kuat baik kepada koalisi yang satu maupun kepada koalisi yang lainnya bahkan terjadi pula gejolak di masyarakat (grassroat), yaitu produk hukum tentang pemilihan Kepala Daerah yang mengatur pemilihan langsung atau tidak langsung. Berkenaan dengan gejolak itulah yang pada akhirnya pemerintah dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudoyono menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor : 1 Tahun 2014 yang mengatur tentang Pemilihan 8
Gubernur, Bupati dan Walikota, yang sudah barang tentu Perppu tersebut memiliki akibat yuridis terhadap tatalaksana peraturan-peraturan yang ada. Dalam penelitian ini akan difokuskan kepada kedudukan perppu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, pertimbangan-pertimbangan Perppu maupun akibat hukumnya. Karena itu dalam penelitian ini saya angkat judul “KEDUDUKAN PERATUTAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG
(PERPPU)
DALAM
SISTEM
KETATANEGARAAN INDONESIA, DIHUBUNGKAN DENGAN PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI
UNDANG-UNDANG
NO.
1
TAHUN
2014
TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI DAN WALIKOTA”. B. Identifikasi Masalah. Dari uraian di atas, maka permasalahan dapat diidentifikasi sebagai berikut : 1. Kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dihubungkan dengan Perppu No. 1 Tahun 2004 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. 2. Dasar pertimbangan yuridis diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang (Perppu) oleh Pemerintah, dihubungkan dengan Perppu No. 1 Tahun 2004 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. . 3. Pengaruh secara yuridis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) terhadap pelaksanaan ketentuan peraturan-perundangan terkait lainnya, dihubungkan dengan Perppu No. 1 Tahun 2004 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota
C. Perumusan Masalah. Dari uraian di atas, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dihubungkan dengan Perppu No. 1 Tahun 2004 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. 9
2. Bagaimanakahi dasar pertimbangan yuridis diterbitkannya
Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (Perppu) oleh Pemerintah, dihubungkan dengan Perppu No. 1 Tahun 2004 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. . 4. Sejauhmanakah pengaruh secara yuridis Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang (Perppu) terhadap pelaksanaan ketentuan peraturan-perundangan terkait lainnya, dihubungkan dengan Perppu No. 1 Tahun 2004 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
D. Tujuan Penelitian. 1. Untuk mengetahui kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dihubungkan dengan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. 2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan diterbitkannya
Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (Perppu) oleh Pemerintah. dihubungkan dengan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota 3. Untuk mengetahui pengaruh secara yuridis Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang (Perppu) terhadap para pihak yang memanggu kepentingan``, dihubungkan dengan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota
E. Manfaat Penelitian. 1. Teoritis. Dalam rangka memperkaya kajian-kajian yang bersifat teoritis dengan harapan agar terciptanya referensi-referi ilmiah di bidang akademik kampus. 2. Praktis.
10
Dalam rangka memberikan sumbangan-sumbangan pemikiran kepada masyarakat, yang pada akhirnya masyarakat akan memiliki kesadaran akan pentingnya pemahaman atas segala hal yang berkenaan dengan kenegaraan. 3. Personalitas. Untuk peneliti sendiri agar terus tertantang untuk menggali teori-teori maupun kaidahkaidah yang berkenaan dengan hukum ketatanegaraan. Khususnya ketatanegaraan Indonesia.
F. Kerangka Teori Dalam penelitian ini dikuatkan dengan kerangka teori sebagai berikut : 1. Teori Utama (Grand Theori). Konsep Negara hukum (rechstaats) dari Immanuel Kant serta konsep Rule of Law dari A.V. Decey. Kant dikenal dengan “Imperatif Kategoris-nya”. Ada dua norma yang mendasari prinsip ini :(i) Tiap manusia diperlakukan sesuai martabatnya. Ia harus diperlakukan dalam segala hal sebagai subyek, bukan obyek. (ii) Orang harus bertindak dengan dalil bahwa apa yang menjadi dasar tindakannya memang merupakan prinsip semesta. Prinsip semesta menurut Kant adalah penghargaan akan manusia yang bebas dan otonom. Manusia yang memiliki hak-hak dasar, seperti hak menikah dan hak berkontrak. Disamping itu, terdapat hak-hak jenis lain yang disebut hak-hak lahir, seperti hak milik. Dalam memperjuangkan hak-haknya diperlukan hukum. Hukum adalah merupakan kebutuhan dari setiap mahluk bebas dan otonom yang mau tidak mau harus hidup bersama. 9 2. Teori Menengah (Middle Theori). Konsep Hirarki Perundang-Undangan (stufenbau theory) dari Hans Kelsen dan Hans Nawiansky. Sumber pedoman yang di dalam hukum adalah grundnorm (norma dasar). 99
Bernard L. Tanya. Et.al. Teori Hukum,Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Genta Publishing Jakarta 2010
11
Grundnorm menyerupai pengandaian tentang “tatanan” yang hendak diwujudkan dalam hidup bersama (dalam hal ini negara”). Seluruh tatanan hukum posistif harus berpedoman secara hirarki pada grundnorm. Dengan demikian, secara tidak langsung, Kelsen juga sebenarnya membuat tentang tertib yuridis. 10 3. Teori Pelaksanaan (Applied Theori). Konsep Keadaan Bahaya (dangerous situation) dan Tanggung Jawab (responsibility). Responsibility is a duty or obligation to satisfactorily perform or complete a task (assignment by someone, or created by one;s own promise or circumstances) that one must fulfill, and wich has a consequent penalty for fairlure.
11
Yang arti secara umum
tanggung jawab secara umum adalah suatu tugas atau kewajiban untuk melakukan yang sesuatu yang terbaik atau melakukan tugas yang lengkap (tugas seseorang atau pemikiran sesuatu yang di dalamnya ada suatu janji yang memiliki hubungan dengannya) bahwa seseorang itu harus memenuhinya dan harus konsekuen dengan menerima hukuman pada saat tidak tercapai. Hak subjektif (subjectivity right). Subjective is based on (or related) attitude, beliefs, or opinion, instead of on verifiable evidence or phenomenon. Contracts with objectives. Yang arti secara umum subjectif sesuatu yang didasarkan kepada atau yang berhubungan dengan perilaku, keyakinan atau pendapat yang menggantikan beberapa bukti-bukti atau keadaan. Yang tidak sama dengan objectivitas. 12 Hak prerogratif. Hak prerogatif berasal dari bahasa latin praerogativa (dipilih sebagai yang paling dahulu member suara), praerogativus (diminta sebagai yang pertama member suara), praerogare (diminta sebelum diminta yang lain). Dalam praktek kekuasaan Presiden RI sebagai kepala negara sering disebut dengan istilah “hak
10
Ibid, Hal 126. Bisnis Dictionary.com. 10/01/2014 12 Ibid. 11
12
prerogative Presiden” dan diartikan sebagai kekuasaan mutlak Presiden yang tidak dapat diganggu oleh pihak lain. 13
G. Metode Penelitian. Dalam penelitian dilakukan dengan metodologi sebagai berikut : 1. Sifat penelitian adalah penelitian bersifat analisis yurudis deskriptif, dalam hal mana penulis mencoba mencermati secara mendalam norma-norma yang berkaitan dengan subjek dan objek penelitian, kemudian menggambarkan masing-masing norma sehingga dapat memberikan penjelasan secara gamblang. 2. Model penelitian adalah penelitian kualitatif, di mana dalam penelitian data-data berupa
informasi-informasi
maupun
referensi-referensi
dipergunakan
dalam
mendukung pelaksanaan penelitian. 3. Pengolahan Data. a.
Data yang dipergunakan adalah adalah data sekunder yang di dalamnya terdiri dari : 1.
Bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian.
2.
Bahan hukum sekunder yaitu buku refensi, doktrin yang berkaitan dengan penelitian.
3. b.
Bahan hukum tersier yaitu majalah, jurnal, surat kabar, website dan lain-lain.
Analisis data yaitu dengan mengolah keterkaitan antar data, dalam hal ini perundang-undangan, refensi buku mapun jurnal, majalah, website, dan lain.
4. Waktu Penelitian. Penelitian dilaksanakan dalam waktu 3(tiga) bulan mulai bulan Oktober 2014 sampai Desember 2014.
13
Diy4h’s world.com. 10/01/2014
13
BAB II KONSEP NEGARA HUKUM
A. Negara Hukum. Istilah negara hukum merupakan genus begrip, dalam penelitian telah ditemukan dalam kepustakaan terdapat lima macam konsep negara hukum, 14sebagai genus begrip yaitu; (i) negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah; (ii) negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental, dengan “rechtstaat”, misalnya; Perancis, German, Belanda; (iii) negara hukum menurut konsep yang diterapkan di Negara-negara Anglo Saxon, dengan the rule of law, misalnya; antara lain Inggris, Amerika Serikat dan negara-negara persemakmuran ; (iv)Suatu konsep yang disebut sociality legality yang diterapkan antara lain di negara-negara yang tergabung dalam Uni Soviet, RRC, Korea Utara, Kuba, Vietnam sebagai negara komunis; dan (v) Konsep negara hukum Pancasila, sebagaimana yang dianut oleh Negara Republik Indonesia. Indonesia adalah Negara Hukum (rechtstaat) dan bukan Negara Kekuasaan (machstaat) sebagaimana yang diatur didalam Penjelasan Undang-undang Dasar 1945, 15selanjutnya dengan telah dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945 maka isi dari Penjelasan UUD 1945 tersebut telah ditiadakan,isi serta muatan Penjelasannya telah dimasukan ke dalam Batang Tubuh UUD 1945.Kemudian di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat 3 pasca amandemen ke Ketiga, 16 mengatur bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya didalam interaksi berbangsa dan bernegara
14
Muhammad Taher Azhary,Negara Hukum (Suatu studi tentang prinsip-prinsipnya. Dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada periode Negara Madinah dan masa kini),Kencana Prenada Media Group Jakarta 1991, Hlm 83 15 Penjelasan UUD 1945 (sebelum amandemen). Sistem Pemerintahan Negara. I. Indonesia ialah Negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat). 1. Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan kekuasaan belaka (Machtstaat). 16 Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 (setelah amandemen).Negara Indonesia adalah negara hukum.***)
14
senantiasa didasarkan kepada aruran-aturan hukum yang telah disepakati bersama oleh rakyat yang ada di dalam negara Indonesia. Konsep negara hukum secara eksplisit pada abad ke 19, yaitu dengan munculnya konsep rechtstaat dari Freidrich Julius Stahl, yang diilhami oleh Immanuel Kant. Yang telah menyebutkan unsure-unsur negara hukum (rechtstaat) adalah : 17 1.
Perlindungan hak azasi manusia;
2.
Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak itu;
3.
Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan
4.
Peradilan administrasi dalam perselisihan. Pada saat yang bersamaan muncul pula konsep negara hukum (rule of law) dari
A.V. Decey, yang lahir dalam naungan hukum anglo-saxon. Yang mengemukakan unsurunsur rule of law adalah : 18 1.
Adanya supremasi aturan hukum (supremacy of law).
2.
Adanya kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law).
3.
Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang.
B. Sumber Hukum Tata Negara. Sumber hukum tata negara adalah salah satu cabang Ilmu Hukum. Dengan sendirinya sumber-sumber hukum tata negara tidak terlepas dari pengertian sumber hukum menurut pandangan ilmu hukum pada umumnya. Sumber hukum tata Negara juga mencakup sumber hukum dalam arti material dan sumber hukum dalam arti formil. 19 Sumber hukum material tata negara adalah sumber yang menentukan isi kaidah hukum tata negara. Termasuk ke dalam sumber hukum dalam arti material misalnya : (1) dasar dan pandangan hidup bernegara; (2) kekuatan-kekuatan politik yang berpengaruh 17 Ridwan
HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada Jakarta 2006, hal 8 . 19 Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, UII Press, Yogyakarta 2006. Hal 35. 18 Ibid
15
pada saat merumuskan kaidah-kaidah hukum tata negara; (3) doktrin-doktrin ketatanegaraan. 20 Sumber hukum dalam arti formil terdiri : 21 1.
Hukum perundang-undangan ketatanegaraan. Hukum perundang-undangan ketatanegaraan meliputi UUD, Undang-Undang dan berbagai perundang-undangan lainnya. Peraturan pemerintah pengganti undangundang (Perppu) tidak termasuk (tidak dimasukan sebagai) sumber hukum tata negara. Perppu adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat dalam kegentingan yang memaksa untuk melancarkan pelaksanaan fungsi pemerintahan (fungsi administrasi negara). Perpu adalah sumber hukum administrasi negara, bukan sumber hukum tata negara.
2.
Hukum adat ketatanegaraan. Hukum adat ketatanegaraan adalah bagian dari hukum adat yaitu hukum tidak tertulis yang bersumber dari adat istiadat dan atau putusan penguasa adat.
3.
Hukum kebiasaan ketatanegaraan. Hukum kebiasaan ketatanegaraan yang tidak diatur secara tegas dalam UUD 1945, tetapi telah dilaksanakan secara terus menerus dalam praktek-praktek ketatanegaraan Indonesia.
4.
Yurisprudensi ketatanegaraan. Kaidah-kaidah hukum tatanegara dapat lahir dan “dimatikan” oleh hukum yurisprudensi ketatanegaraan. Pada saat ini, Mahkamah Konstitusi berperan besar melahirkan dan mematikan suatu kaidah hukum.
5.
Hukum perjanjian internasional ketatanegaraan.
20 21
Ibid. Ibid
16
Hukum perjanjian internasional ketatanegaraan dapat dilihat pada perjanjian yang melahirkan misalnya Uni Eropah atau perikatan regional lainnya.
C. Pembentukan Perundang-Undangan. Peraturan adalah dasar dari negara hukum yaitu negara yang pemerintahannya tunduk pada hukum, khususnua undang-undang. Dalam pelaksanaan pembentukan perundang-undangan dapat dilihat ha;-hal sebagai berikut. 1.
Hirarki Perundang-undangan. Paham hirarki norma menggambarkan bahwa sistem hukum hakikatnya merupakan sistem hirarkis yang tersusun dari peringkat yang terendah sampai keperingkat tertinggi. Hukum yang lebih rendah harus berdasar.bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. (lex superior derogate legi inferiori).22 Semakin tinggi kedudukan hukum dalam peringkatnya semakin abstrak dan umum sifat norma yang dikandungnya. Sebaliknya semakin rendah peringkatnya, maka semakin nyata norma yang dikandungnya. Dalam sejarah lahirnya konsep hirarki perundang-undangan dalam hukum ketatanegaraan Indonesia dapat dilihat dari beberapa ketentuan sebagai berikut : a.
Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 Dalam Bab II Sub A, disebutkan bahwa bentuk-bentuk peraturan perundangundangan menurut UUD 1945, adalah : 1.
Undang-Undang Dasar Republik Undonesia Tahun 1945;
2.
Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat;
3.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4.
Peraturan Pemerintah;
5.
Keputusan Presiden;
22
Zaenal Arifin Hoesein, Juducial Review Di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan. Raja Grafindo Persada Jakarta 2009. Hal 16
17
6.
b.
Perturan-peraturan Pelaksanaann lainnya seperti : •
Peraturan Menteri
•
Instruksi Menteri
•
Dan lain-lainnya
Tap MPR No. III/MPR/2000 Dalam Pasal 2. Tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah :
c.
1.
Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3.
Undang-Undang;
4.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
5.
Peraturan Pemerintah;
6.
Keputusan Presiden;
7.
Peratutan Daerah.
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Dalam 7, Jenis dan Hirarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
d.
1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
3.
Peraturan Pemerintah;
4.
Peraturan Presiden;
5.
Peraturan Daerah.
Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Dalam pasal 7, Jenis dan Hirarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : 1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 18
2.
Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat;
3.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
4.
Peraturan Pemerintah;
5.
Peraturan Presiden;
6.
Peraturan Daerah Provinsi; dan
7.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
2. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan, Materi muatan adalah merupakan materi-materi hukum yang wajib dan harus ada di dalam setiap peraturan perundang-undangan sesuai dengan hirarkinya masing. Di bawah ini dapat diuraikan materi-muatan yang ada di dalam setiap produk perundang-undangan khususnya yang berkenaan dengan hirarki perundangundangan. a.
Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 Materi muatan hirarki perundang-undangan sebagai berikut : 1.
Materi Muatan Undang-undang Dasar adalah ketentuan-ketentuan yang tertinggi tingkatnya yang pelaksanaannya dilakukan dengan Ketetapan MPR, Undang-undang atau Keputusan Presiden.
2.
Materi Muatan Ketetapan MPR adalah Ketetapan MPR yang memuat garisgaris besar dalam bidang legislative dilaksanakan dengan Undang-Undang. Dan Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif dilaksanakan dengan Keputusan Presiden.
3.
Materi Muatan Undang-Undang. a.
Untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar atau Ketetapan MPR.
b.
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Presiden berhak menetapkan peraturan-peraturan sebagai pengganti Undang-undang.
19
•
Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikutnya.
•
Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan Pemerintah itu harus dicabut.
4.
Materi Muatan Peraturan Pemerintah adalah aturan-aturan umum untuk melaksanakan Undang-undang.
5.
Materi Muatan Keputusan Presiden.adalah keputusan yang bersifat khusus (einmalig) untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar yang bersangkutan, Ketetapan MPR dalam bidang eksekutif atau Peraturan Pemerintah.
6.
Materi Muatan Peraturan Pelaksanaan Lainnya seperti : Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lainnya, harus dengan tegas berdasar dan bersumber pada peraturan yang lebih tinggi.
b.
Tap MPR No. III/MPR/2000 Materi muatan hirarki perundang-undangan sebagai berikut : 1.
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam menyelenggarakan negara.
2.
Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia merupakan putusan Majlis Permusyawaratan Rakyat sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam siding-sidang MPR.
3.
Undang-Undang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Presiden untuk melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 serta Ketetapan MPR-RI
20
4.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), dibuat oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan sebagai berikut : a.
Perppu harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam sidang berikutnya.
b.
DPR dapat menerima atau menolak Perppu dengan tidak mengadakan perubahan.
c. 5.
Jika ditolak DPR, Perppu tersebut harus dicabut.
Peraturan Pemerintah dibuat oleh pemerintah untuk melaksanakan perintah Undang-undang.
6.
Keputusan Presiden yang bersifat mengatur dibuat oleh Presiden untuk menjalankan
fungsi
dan
tugasnya
berupa
peraturan
pelaksanaan
administratif negara dan administratif pemerintahan. 7.
Pearturan Daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan. a.
Peraturan daerah propinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;
b.
Peraturan daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
c.
Peraturan desa atau yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau yang setingkat, sedangkan tata cara pembuatan peraturan desa atau yang setingkat diatur oleh peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
c.
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Materi muatan hirarki perundang-undangan sebagai berikut : 1.
Materi muatan Undang-Undang harus berisi : 21
a.
Hak-hak azasi manusia;
b.
Hak dan kewajiban warga negara;
c.
Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;
2.
d.
Wilayah negara dan pembagian daerah;
e.
Kewarganegaraan dan kependudukan;
f.
Keuangan negara.
Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, sama dengan muatan Undang-undang.
3.
Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya.
4.
Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.
5.
Materi muatan Peraturan Daerah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi.
6.
Materi muatan Peraturan Desa/yang setingkat adalah seluruh materi dalamrangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
d.
Materi Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Materi muatan hirarki perundang-undangan sebagai berikut : 1.
Muatan Undang-Undang harus berisi: a.
Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Perintah suatu Undang-undang untuk diatur dengan Undang-Undang; 22
e.
c.
Pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d.
Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e.
Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang.
f.
Peraturan Pemerintah; Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan UndangUndang sebagaimana mestinya.
g.
Peraturan Presiden; Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
h.
Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota Materi muatan Peraturat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
3. Kegentingan Yang Memaksa. Kegentingan yang memaksa merupakan salah satu aspek yang dijadikan pertimbangan untuk ditetapkannya dekrit atau perppu, karena itu untuk dapat menganalisis lebih dalam tentang hal dimaksud, akan diuraikan hal-hal sebagai berikut : a.
Aspek Tata Bahasa (Etimologis Aspects). Terdapat beberapa istilah dalam kaitan pertimbangan dekrit Presiden atau Perpu yaitu: hal ihwal kegentingan yang memaksa, negara dalam keadaan bahaya, 23
negara dalam keadaan darurat. Dari istilah-istilah itu dapat diringkaskan menjadi : kegentingan yang memaksa, keadaan bahaya dan keadaan darurat. dalam istilah “kegentingan yang memaksa” dapat dihubungkan dengan istilah “overmacht”, 23 atau istilah “force majeure” dengan arti “keadaan yang memaksa”, 24istilah keadaan bahaya dapat dihubungkan dengan “dangerious situation”, 25 “use the word dangerous to describe anything that can potentially cause serious harm like snarling pit bull or an icy, techearous road” 26 artinya, penggunaan kata bahaya adalah untuk menggabarkan segala hal yang berkaitan sebab-sebabyang serius tentang kejahatan-kejahatan atau kerugian-kerugian. Sedang istilah keadaan
darurat
dapat
dihubungkan
dengan
istilah
“emergency
situation”. 27”when there’s an emergency, the stakes are high and you may need to act quickly” 28 artinya bahwa ketika ada suatu yang bersifat darurat, seperti adanya kebakaran yang besar anda mungkin harus segera mengambil tindakan. b.
Pengertian (Defination). Dari ketiga istilah tersebut dapat jelaskan dengan memperhatikan tingkatantingkatan kegentingannya. 1.
Overmacht atau kegentingan yang memaksa dapat ditempatkan pada posisi tertinggi,oleh karena kegentingan yang memaksa apa yang terjadi tidak terprediksi sebelumnya, dan kejadiannya sudah terjadi di depan mata dan harus segera dicarikan jalan keluar yang cepat dan tepat.
2.
Dangerious Situation atau keadaan bahaya dapat ditempatkan pada posisi yang kedua, oleh karena keadaan bahaya walaupun kejadiannya sudah
23
John M. Echols dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Gramedia Jakarta 2005. www.santoslolowang.com. 17/12/2014 25 Opcit. John. M. Eshols. 26 www.vocabulary.com. 17/12/2014 27 Opcit. John. M. Eshols. 28 Opcit. Vocabulary.com 24
24
terjadi tetapi sudah terprediksi sebelumnya, karena cara penyelesaiannya masih dapat dipertimbangkan untuk mencari jalan keluar yang tepat. 3.
Emergency Situation atau keadaan darurat dapat ditempatkan pada posisi ketiga, oleh karena keadaan darurat kejadiannya sudah dapat diprediksi dan masih dapat dicarikan jalan-jalan keluar yang lain.
Memperhatikan uraian dimaksud dan jika dikembalikan kepada kepada ketentuan Undang-Undang sampai saat ini belum ditemukan suatu regulasi yang mengatur masalah penerbitan Perppu secara detail oleh Presiden. Misalnya apa yang dimaksud dengan “ikhwal kegentingan yang memaksa” sebagai syarat mutlak dalam penerbitan Perppu sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Selain itu apa yang menjadi unsur-unsur pokok dari istilah “kegentingan yang memaksa” juga belum diketemukan sampai sekarang. Sejumlah pertanyaan inilah yang kemudian kerap mengemuka di tengah-tengah publik ketika Presiden menerbitkan Perppu. 29 Kemudian dalam penelaahan lain bahwa terkait dengan ketentuan UUD 1945 NRI Tahun 1945 setidaknya terdapat sejumlah unsure secara kumulatif yang kemudian dapat membentuk suatu keadaan darurat bagi negara (state of emergency) serta menimbulkan suatu kegentingan yang memaksa. Adapun unsure-unsur yang dimaksud yaitu : 30 Pertama, adanya ancaman yang membahayakan (dangerous threat). Kedua, adanya kebutuhan yang mengharuskan (reasonable necesity). Ketiga, adalah terkait dengan unsure adanya keterbatasan waktu (limited time).
29
Janpatar Simamora. Kretiteria Unsur Kegentingan Yang Memasksa Dalam Penerbitan Perppu. Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1 Maret 2004. Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia RI. Jakarta 2014 30 Jimly Asshidiqy. Hukum Tata Negara Darurat. Rajawali Grafindo Persada. Jakarta 2007. Hlm 207
25
Dalam penjelasan UUD 1945 (naskah asli), frase “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” merupakan terjemahan dari “noodverorderingrects”. Dalam bahasa hukum Amerika, hal ini sama dengan konsep “clear and present danger” yang artinya “situasi bahaya yang terang benderang”.
31
dengan demikian, maka
setidaknya dapat dirinci sejumlah unsure-unsur dari istilah “ikhwal kegentingan yang memaksa” yaitu sebagai berikut :32 1.
Terdapat suatu kondisi atau keadaan yang sangat genting, berbahaya;
2.
Situasi dimaksud dapat mengancam keselamatan bangsa dan Negara jika pemerintah tidak mengambil tindakan konkrit;
3.
Keadaan dimaksud membutuhkan penanganan secara cepat. Jadi ada semacam “paksaan”untuk diselesaikan dengan segera;
4.
Tidak ada alternatif sdebagai sarana lain sebagaimana lazimnya dalam kondisi normal yang mampu untuk menyelesaikan keadaan genting dimaksud;
5. c.
Dilakukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Aspek Sejarah (Empirical Aspect). Aspek yuridis “kegentingan yang memaksa” atau “negara dalam keadaan bahaya” dapat dilihat dari konsideran-konsideran dekrit-dekrit ataupun perpu yang pernah diterbitkan. Diantaranya sebagai berikut : 1.
Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959. Dalam Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, konsideran Dekrit dapat dilihat sebagai berikut : Paragrap pertama,
31
Haposan Sialagan dan Janpatar Simamora. Hukum Tata Negara Indonesia. UD Sobur. Medan 2011. Hlm 47-48. 32 Opcit. Janpatar Simamora.
26
Bahwa anjuran Presiden dari Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang dasar 1945, yang disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstitusnte sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara Paragrap kedua, Bahwa berhubung dengan pertanyaan sebagian terbesar anggotaanggota Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar untuk tidak menghadiri
lagi
siding,
Konstituante
tidak
mungkin
lagi
menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya. Paragrap ketiga, Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dari keselamatan negara, nusa dan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Paragrap keempat. Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satusatunya jalan untuk menyelamatkan negara proklamasi. Paragrap kelima. Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Dalam dekrit Presiden tanggal 5 Juli tahun 1959, telah memberikan gambaran tentang dasar-dasar dan ukuran-ukuran tentang keadaan negara saat itu. 27
2. Dekrit Presiden Tanggal 23 Juli 2001. Dalam Dekrit Presiden Tanggal 23 Juli 2001, Konsideran Dekrit dapat dilihat sebagai berikut : Paragrap Pertama, Setelah melihat dan memperhatikan dengan seksama perkembangan politik yang menuju kepada kebuntuan politik akibat krisis constitutional yang berlarut-larut yang telah memperparah krisis ekonomi
dan
menghalangi
upaya
penegakan
hukum
dan
pemberantasan korupsi yang disebabkan oleh pertikaian politik kekuasaan yang tidak mengindahkan lagi kaidah perundangundangan, apabila hal ini tidak dicegah akan segera menghancurkan berdirinya Negara Kesatuan Indonesia. Paragrap Kedua, Maka dengan keyakinan dan tanggung jawab untuk menyelamatkan negara dan bangsa serta berdasarkan kehendak sebagian terbesar masyarakat Indonesia, kami selaku Kepala Negara Republik Indonesia terpaksa mengambil langkah-langkah sebagai berikut: Dalam Dekrit Presiden tanggal 23 Juli 2001, kurang memberikan gambaran dasar-dasar dan ukuran-ukuran tentang keadaan negara pada saat itu. 3. Perppu Nomor : 1 Tahun 2014. Dalam Perppu Nomor : 1 Tahun 2014, Konsideran Perppu dapat dilihat dalam penjelasan. Sub a. Bahwa Undang-Undang Nomor : 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernir, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses 28
pengambilan keputusannya telah menimbulkan persoalan serta kegentingan yang memaksa sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 138/PUU-VII/2009. Perppu No. 1 Tahun 2014, belum memberikan gambaran dasar-dasar dan ukuran-ukuran tentang keadaan negara pada saat ini.
29
D. Kerangka Pemikiran. Masalah
Variabel Bebas Teoritis
Dasar Pertim bangan
Hirarki Perund ang2an
Keadaan
Bahaya
Funda mental
Dasar
Opera sional
Tata Laksan a
Keadilan Hukum
Pengar uh Yuridis
Yuridis Kepastian Hukum
Negara Hukum
Falsafah Pancasila Asas Keseimbangan
Kedudu kan Perpu
Filosofis
Variabel Terikat
Sasaran
Kemakmuran Rakyat Yang Berkeadilan
Dalam penelitian ini dapat digambarkan bahwa dari perumusan masalah yang berkenaan dengan Peraturan Pemerintah Penggandi Undang (Perppu) dihubungkan dengan aspek teoritis (grand,middle dan applied), aspek filosofis (dasar fundamental negara), aspek yuridis (tingkatan-tingkatan peraturan undang-undang), sebagai penguatan pendalaman dapat ditambahkan aspek politis, ekonomi maupun sosiologis, setelah dianalisis sedalamdalam diharapkan dapat menghasilkan suatu pemikiran yang akan memberikan sumbangan untuk terciptanya kepastian hukum dan keadilan hukum yang pada akhirnya dapat memberikan tingkat kesejahteraan yang berkeadilan.
30
E. Proposisi. 1.
Dalam sejarah perkembangan hukum ketatanegaraan di Indonesia terutama setelah ditetapkannya Tap MPRS No. XX/MPR/1966, dapat dilihat bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) merupakan salah satu ketentuan hukum dalam hirarki perundang-undangan. Dihubungkan dengan lahirnya Perppu No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
2.
Dalam pertimbangan-pertimbangan ditetapkannnya dekrit
Presiden,
maupun
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), dapat dilihat bahwa penetapan Perppu memiliki dasar-dasar pertimbangan yuridis, ekonomis, politis maupun lainnya. Dihubungkan dengan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. 3.
Dengan ditetapkannya dekrit Presiden maupun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), dapat dilihat memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Dihubungkan dengan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
31
BAB III ANALISIS YURIDIS PERPPU NO. 1 TAHUN 2014
A. Sejarah Lahirnya Perppu di Indonesia. 1.
Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945 naskah asli. Dalam UUD 1945 naskah asli pasal 11 dan 12, yang menyatakan bahwa Presiden menyatakan negara dalam keadaan bahaya yang diatur dengan Undang-Undang. Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia pernyataan keadaan bahaya ditetapkan dengan surat keputusan Presiden (Dekrit). Selanjutnya dalam Pasal 22 ayat (1), menjelaskan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; dalam ayat (2), Peraturan Pemerintah itu harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikutnya; kemudian dalam ayat (3), Jika tidak mendapatkan persetujuan, maka Peraturan Pemerintah harus dicabut. Selama tahun 1945 (antara 17-08-1945 s/d 31-12-1945 Presiden tidak pernah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Ada beberapa faktor yang menyebabkannya, Pertama, Presiden dan Pemerintah pada umumnya lebih menekankan penggunaan kekuasaan Presiden sebagaimana yang diatur dalam Aturan Peralihan Pasal IV, yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk memerintah atau menetapkan sesuatu dengan dekrit (memerintah dengan dekrit). Dan ini terlihat dari penetapan berbagai Maklumat. Kedua, secara teknis Perppu harus segera diajukan kepada DPR untuk disetujui menjadi undangundang atau dicabut (apabila tidak disetujui). Hal ini tidak mungkin dilaksanakan oleh DPR yang dimaksud dengan tanggal 16 Oktober 1945 belum dibentuk. Tertapi
32
setelah status KNIP (dilaksanakan BPKNIP) diubah menjadi badan yang menjalankan kekuasaan legislatif (DPR) pembentukan Perppu telah dimungkinkan. 33 2.
Konstitusi Republik Indonesia Sertikat (KRIS) tahun 1949. Dalam KRIS pasal 139 (1) yang menyatakan bahwa pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan Undang-Undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan federal yang karena keadaan-keadaan yang mendasak perlu diatur dengan segera, ayat (2) “Undang-undang darurat mempunyai kekuasaan dan kuasa Undang-undang Federasi, ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal yang berikut”. Selanjutnya dalam pasal 140 ayat (1) Peraturan-peraturan yang termaktub dalam undang-undang darurat , segera sesudah ditetapkan, disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat yang merundingkan peraturan itu menurut yang ditentukan tentang merundingkan usul undang-undang pemerintah, ayat (2) Jika suatu peraturan yang menurut ayat yang lalu, waktu dirundingkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian ini, ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka peraturan itu tidak berlaku lagi karena hukum, ayat (3) Jika undang-undang darurat yang menurut ayat yang lalu tidak berlaku lagi, tidak mengatur segala akibat yang timbul dari peraturanya baik yang dapat dibetulkan atau maupun yang tidak, maka undang-undang federal mengadakan tindakan-tindakan yang perlu tentang itu, ayat (4) Jika peraturan yang termaktub dalam undang-undang darurat itu diubah dan ditetapkan sebagai undangundang federal, maka akibat-akibat perubahannya diatur pula sesuai dengan yang ditetapkan dalam ayat yang lalu. Dalam praktek ketatanegaraan saat itu Pemerintahan Federal pada akhirnya menggunakan ketentuan itu untuk menetapkan negara dalam keadaan darurat dengan keputusan kembali kepada Negara kesatuan, 33
Bagir Manan, Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia. Alumni Bandung 1997. Hlm 183.
33
3.
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 Dalam UUDS 1950 pasal 96 paragrap (1) bahwa pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan Undang-Undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan federal yang karena keadaan-keadaan yang mendasak perlu diatur dengan segera, paragrap (2) Undang-undang darurat mempunyai kesamaan dan derajat undang-undang, ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal berikut. Pasal 97 paragrap (1) Peraturan-peraturan yang termaktub dalam undangundang darurat , segera sesudah ditetapkan, disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat yang merundingkan peraturan itu menurut yang ditentukan tentang merundingkan usul undang-undang pemerintah, paragrap (2) Jika suatu peraturan yang menurut ayat yang lalu, waktu dirundingkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian ini, ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka peraturan itu tidak berlaku lagi karena hukum, paragrap (3) Jika undang-undang darurat yang menurut ayat yang lalu tidak berlaku lagi, tidak mengatur segala akibat yang timbul dari peraturanya baik yang dapat dibetulkan atau maupun yang tidak, maka undang-undang federal mengadakan tindakan-tindakan yang perlu tentang itu, paragrap (4) Jika peraturan yang termaktub dalam undang-undang darurat itu diubah dan ditetapkan sebagai undang-undang, maka akibat-akibat perubahannya diatur pula sesuai dengan yang ditetapkan dalam ayat yang lalu. Dalam praktek ketatanegaraan saat itu Presiden Soekarno menetapkan negara dalam keadaan darurat dengan berpedoman kepada ketentuan tersebut, mengeluarkan surat keputusan Presiden (Dekrit) tanggal 5 Juli 1959.
4.
Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945 pasca Dekrit 5 Juli 1959 Dalam UUD 1945 pasca Dekrit 5 Juli 1959, pasal 11 dan 12, yang menyatakan bahwa Presiden menyatakan negara dalam keadaan bahaya yang diatur dengan Undang-Undang. Pasal 22 ayat (1), menjelaskan dalam hal ikhwal kegentingan yang 34
memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang; dalam ayat (2), Peraturan Pemerintah itu harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikutnya; kemudian dalam ayat (3), Jika tidak mendapatkan persetujuan, maka Peraturan Pemerintah harus dicabut. Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia pernyataan keadaan bahaya ditetapkan dengan surat keputusan Presiden (Dekrit), sebagaimana yang telah dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid tahun 2001. 5.
Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945 pasca amandemen. Dalam Pasal 12, “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Kemudian dalam Pasal 22 Selanjutnya dalam Pasal 22 ayat (1), menjelaskan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang; dalam ayat (2), Peraturan Pemerintah itu harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; kemudian dalam ayat (3), Jika tidak mendapatkan persetujuan, maka Peraturan Pemerintah harus dicabut. Sebagai tindak lanjut dari ketentuan dimaksud Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah membuat undang-undang sendiri yang mengatur hal itu yaitu UU No. 10 tahun 2004 yang kemudian diubah dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan. Dan berkenaan dengan itu Pemerintah dalam hal ini Presiden telah beberapa kali menetapkan Perppu. Misalnya antara lain Perppu tentang terorisme, perpu tentang MK dan yang terakhir perpu no. 1 dan 2 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
B. Kedudukan Perppu dalam Berbagai Konstitusi Di Indonesia. 1.
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Naskah Asli. 35
Dalam Pasal 11, “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-undang”, dan dalam Pasal 12 “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya ditetapkan dengan Undang-undang”. Kemudian dalam Pasal 22 ayat (1), menjelaskan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang; dalam ayat (2), Peraturan Pemerintah itu harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; kemudian dalam ayat (3), Jika tidak mendapatkan persetujuan, maka Peraturan Pemerintah harus dicabut. 2.
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1949. Diatur dalam Pasal 139 ayat (1) “Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk hal-hal penyelenggaraan pemerintah federal yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera”, dan ayat (2) “Undang-undang darurat mempunyai kekuasaan dan kuasa Undang-undang Federasi, ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal yang berikut”. dalam pasal 140 ayat (1) Peraturan-peraturan yang termaktub dalam undang-undang darurat, segera sesudah ditetapkan, disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat yang merundingkan peraturan itu menurut yang ditentukan tentang merundingkan usul undang-undang pemerintah, ayat (2) Jika suatu peraturan yang menurut ayat yang lalu, waktu dirundingkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian ini, ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka peraturan itu tidak berlaku lagi karena hukum, ayat (3) Jika undang-undang darurat yang menurut ayat yang lalu tidak berlaku lagi, tidak mengatur segala akibat yang timbul dari peraturanya baik yang dapat dibetulkan atau maupun yang tidak, maka undang-undang federal mengadakan tindakan-tindakan yang perlu tentang itu, ayat (4) Jika peraturan yang termaktub dalam undang-undang darurat itu diubah dan 36
ditetapkan sebagai undang-undang federal, maka akibat-akibat perubahannya diatur pula sesuai dengan yang ditetapkan dalam ayat yang lalu. 3.
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Diatur dalam Pasal 96 paragrap (1) “Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk hal-hal penyelenggaraan pemerintahan yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur segera”, paragrap(2) “Undang-undang darurat mempunyai kekuasaan dan derajat undangundang, ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal yang berikut”. Dalam pasal 97 paragrap (1) “Peraturan-peraturan yang termaktub dalam undangundang darurat, sesudah ditetapkan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pada siding berikut yang merundingkan peraturan ini menurut yang ditentukan tentang usul undang-undang Pemerintah”, paragrap (2) “Jika suatu peraturan yang dimaksud dalam ayat yang lalu, waktu dirundingkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian ini, ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka peraturan ini tidak berlaku lagi, karena hokum”, paragrap (3) Jika undang-undang darurat yang menurut ayat lalu tidak berlaku lagi, tidak mengatur segala akibat yang timbul dari peraturannya-baik yang dapat dipulihkan maupun yang tidak, maka undang-undang mengadakan tindakan-tindakan yang perlu tentang itu”, paragrap (4) “Jika perturan yang termaktub dalam undang-undang darurat ini diubah dan ditetapkan sebagai undang-undang, maka akibat-akibat perubahannya diatur pula sesuai dengan yang ditetapkan dalam ayat yang lalu”.
4.
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasca Amandemen Dalam Pasal 12, “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Dalam pasal 22 ayat (1) menjelaskan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang; dalam ayat 37
(2), Peraturan Pemerintah itu harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; kemudian dalam ayat (3), Jika tidak mendapatkan persetujuan, maka Peraturan Pemerintah harus dicabut.
C. Dasar dan Ukuran Negara Dalam Bahaya. Syarat-syarat yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan negara dalam keadaan bahaya dapat dirujuk kepada kondisi apa yang dijadikan dasar ditetapkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Hal demikian dapat difahami karena Dekrit Presiden 5 Juli 1959 berlaku efektif dan diterima oleh seluruh rakyat Indonesia saat itu, bahkan dijadikan sebagai salah satu sumber hukum tata negara. 1.
Aspek Politik. 34 a.
Kehidupan politik yang kacau dan semakin buruk, lebih sering dikarenakan sering jatuh bangunnya kabinet dan persaingan partai politik yang semakin menajam.
b.
Kinflik antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional, di mana banyaknya partai politik dalam parlemen yang saling berbeda pendapat. Dan masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai.
c.
Kegagalan badan konstituante dalam menyusun Undang-Undang Dasar. Di mana Undang-undang Dasar yang menjadi dasar pemerintahan Negara belum berhasil dibuat, sedangkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 dengan system pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia.
d.
Terjadinya gangguan keamanan berupa pemberontakan bersenjata di daerahdaerah. Dan bahkan sudah menjurus kepada separatisme, 34
www.artikelsiana.com. 18/12/2014
38
2.
Aspek Ekonomi. 35 Pada saat itu Indonesia sedang mengalami krisis, terjadi kegagalan produksi hampir disemua sektor. Inflasi hampir mencapai 65%, kenaikan harga-harga antara 200300%. Mata uang Indonesia mengalami peningkatan jumlah yang tidak proporsional. Hal ini disebabkan oleh penanganan dan penyelesaian masalah ekonomi yang tidak rasional, lebih bersifat politis dan tidak terkontrol. Serta adanya proyek merealisasikan dan kontrovensi. Nilai pasar bebas merosot tajam, laju inflasi rata-rata Rp. 1.140 terhadap Dolar US menjadi 2.350 pada bulan juli 1953, Rp. 2.700 pada bulan Juni 1954 dan Rp. 4.600 pada bulan Juni 1955. Indeks harga dari 44 jenis barang impor di Jakarta meningkat sekitar 59,5%. Harga beras melonjak 42,3% antara bulan Agustus 1953 sd Juni 1955. Selain itu juga harga komoditi ekspor utama yaitu karet dan minyak, banyak pasar gelap dan pembiayaan Operasi Militer.
3.
Aspek Yuridis. Setelah kembalinya ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana yang diatur dalam UUDS 1950 dari bentuk Negara Serikat sebagaimana yang diatur dalam KRIS 1959. Indonesia menerapkan sistem pemerintahan parlementer di mana di dalamnya terdapat dua kekuasaan yaitu Presiden sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan. Di dalam praktek ketatanegaraan saat itu telah terjadi saling berbenturan antara peraturan yang dikeluarkan oleh Presiden dan oleh Perdana Menteri, yang pada akhirnya telah minciptakan tidak adanya kepastian hukum.
D. Lahirnya Perpu No. 1 Tahun 2014. Perkembangan hukum ketatanegaraan Indonesia khususnya setelah lahirnya era reformasi yang ditandai dengan adanya beberapa tuntutan masyarakat diantaranya : 35
Ibid
39
1.
Agar segera dilakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Agar segera dilaksanakan program otonomi daerah;
3.
Agar segera dilakukan perubahan sistem pemerintahan dari sistem parlementer ke sistem presidensil;
4.
Agar segera dibentuk pemerintahan yang bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Dari tuntutan-tuntutan dimaksud pada era Presiden B.J. Habibi salah satunya yaitu
yang berkaitan dengan peleksanaan otonomi daerah telah direalisasikan dengan diundangkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Undangundang ini sangat diharapkan untuk dapat memberikan tempat kepada daerah-daerah untuk dapat mengurus rumah tangganya sendiri. Berjalan dengan terus bergulirnya tuntutan pelaksanaan reformasi birokrasi, sejak tahun 2001 telah dimulai pelaksanaan perubahan Undang-undang Dasar 1945 oleh Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang perubahan mana telah dilakukan sampai dengan 4(empat) kali perubahan. Sejalan dengan perubahan tersebut telah memiliki ekses yang sangat luas terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia diantaranya ; menempatkan MPR sebagai lembaga negara biasa bukan sebagai lembaga tertinggi negara, memberikan kekuasaan yang lebih kuat dibidang pemerintahan kepada Presiden, memberikan kekuasaan yang lebih kuat di bidang legislasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), memberikan kekuasaan yang lebih kuat di bidang yudikatif kepada Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Selain terdapat perubahan-perubahan yang signifikan lainnya seperti sistem pemilihan umum dan pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah. Sebagai akibat dari perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 khususnya yang berkenaan dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka substansi materi UndangUndang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah secara formil maupun materil sudah 40
tidak lagi sesuai dengan materi terkait yang diatur dalam UUD 1945. Karena dalam rangka penyelarasan tersebut Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berkenaan dengan pelaksanaan otonomi daerah telah menetapkan UndangUndang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Undang-undang No. 32 Tahunn 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai akibat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan aturan tentang pemilihan kepala daerah dari calin independen (non partai) telah diubah dengan Undang-undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah daerah. Dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun khususnya pada era 2(dua) kali pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono pelaksanaan otonomi daerah dapat berjalan dengan stabil walaupun terjadi gejolak atau tuntutan agar pelaksanaan otonomi daerah segera disempurnakan sesuai dengan perkembangan. Pelaksanaan pemerintahan di daerah dapat berjalan dengan lancar, pemilihan kepala daerah secara langsung juga berjalan dengan lancar, walaupun disana sini terdapat kekurangan-kekurangan. Sejalan dengan akan berakhirnya masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang dipastikan secara constitutional tidak dapat lagi mencalonkan sebagai Presiden, maka eskalasi tensi politik nasional menjadi tinggi, kompetisi antar kelompok elit politik makin panas, khususnya dengan semakin mengerucutnya kekuatan politik ke dalam 2(dua) kekuatan yaitu kelompok Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Keadaan ini memiliki dampak yang sangat luar biasa terhadap kekuasaan-kekuasaan dalam kelembagaan negara bahkan dalam masyarakat secara nasional menjadi mengkristal. Sejalan dengan itu tuntutan agar segera disempurnakannya Undang-Undang yang mengatur tentang pemerintah daerah di dalam pembahasannya tidak terlepas dari tarik menarik antara 2(dua) kekuatan politik tersebut. Undang-undang Nomor : 32 Tahun 2004 yang telah diubah dengan Undang-undang No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah 41
Daerah, sesuai dengan program legislasi nasional (prolegnas) DPR juga mengalami proses pembahasan yang ketat dan melelahkan. Penetapan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagai pengembangan dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 penetapannya dapat berjalan dengan lancar. Kemudian penetapan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengembangan dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 walaupun agak tersendat namun penetapannya dapat berjalan dengan lancar. Namun demikian Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai pengembangan dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, penetapannya tidak berjalan dengan lancar. Persaingan kepentingan politik antara 2(dua) kekuatan politik sangat ketat. Yang pada akhirnya sidang paripurna penetapan undang-undang dimaksud ditandai dengan ketidak hadiran beberapa fraksi di DPR (wolk out). Terjadi persilangan pendapat secara meluas disemua sektor misalnya di pemerintahan, parlemen, peradilan, para praktisi, para akademisi, partai politik bahkan di masyarakat. Yang telah menimbulkan secara luas yang dikhawatirkan akan memecah kesatuan dan persatuan bangsa, yang pertimbangan-pertimbangan itulah dijadikan dasar oleh Pemerintah untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota,
42
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian. 1. Kedudukan Perppu. Memperhatikan konsep negara hukum Indonesia yang menganut positivisme hukum di mana hukum itu senantiasa ditempatkan di dalam suatu buku undang-undang, setiap kaidah, norma, gejala yang hidup dalam masyarakat ditempatkan dalam suatu undang-undang, hukum senantiasa dibuat oleh pembuat undang-undang, di luar undang tidak ada hukum, semua para penegak hukum harus senantiasa berpedoman kepada undang-undang yang telah pada saat melaksanakan hukum. Dalam pemahaman aliran positivisme hukum adalah undang-undang
negara,
pada saat 43negara sudah menetapkan hukum maka masyarakat sudah dianggap mengetahui tentang materi hukum dan perundang-undangan yang sudah ditetapkan. Hukum dibuat oleh 43negara untuk memberikan ketertiban hukum kepada masyarakat, selain itu hukum bertujuan untum dapat memberikan rasa kepastian hukum dan rasa keadilan hukum. Semua itu dapat dilaksanakan jika 43negara memiliki hukum yang baik yang dapat memberikan jaminan terhadap perlindungan hak-hak warga negara. Indonesia adalah 43negara
hukum sebagaimana yang telah diatur dalam
ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 3.Undang-undang Dasar 1945 adalah merupakan hukum dasar yang tertulis yang memiliki kedudukan yang tertinggi dalam hirarki hukum Indonesia. Karena itu pelaksanaan konsep 43negara hukum Indonesia adalah merupakan suatu kewajiban karena sudah secara tegas ditetapkan di dalam konstitusi. Tertib hukum perundang-undangan yang dituangkan ke dalam suatu hirarki perundang-undangan, adalah merupakan suatu 43konsep negara hukum yang khusus 43
dalam negara hukum Indonesia. Hirarki perundang-undangan adalah merupakan konsep negara hukum yang dikembangkan oleh Hans Kelsen dengan “grundnorm theory”-nya, di mana hukum itu adalah secara berjenjang dari hukum yang paling sampai kepada norma dasar yang paling tinggi. Kemudian dengan pengembangan 44konsep negara hukum oleh dilanjutkan muridnya Hans Kelsen yaitu Hans Nawiansky dengan “stufenbau theory”nya, di mana hukum secara berjenjang dibagi kedalam 4(empat) kelompok hukum. Yaitu; yang pertama sebagai kelompok norma fundamental, yang kedua sebagai kelompok norma dasar, kelompok ketiga sebagai kelompok norma operasional, dan yang keempat sebagai kelompok norma tata laksana. Perkembangan 44negara hukum Indonesia dalam kurun waktu 20 tahun sejak proklamasi tahun 1945 sampai menjelang tahun 1960 telah terjadi tidak adanya suatu 44aragr hukum yang berlaku secara nasional. Terdapat berbagai aspek yang mempengaruhi kondisi seperti itu diantaranya belum stabil 44aragr politik nasional Indonesia dan besarnya pengaruh politik internasional. Sehingga 44aragr hukum nasional belum dapat berdiri tegak pada sebagaimana layaknya. Keadaan sudah mulai kondusif pada saat ditetapkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang pada dasarnya telah menetapkan berlakunya kembali UUD 1945, Pembubaran Badan Konstituante dan segera dibentuknya Majlis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) serta ditetapkannya keanggotaan Utusan Golongan Daerah sebagai keterwakilan wilayah-wilayah Indonesia. Lahirnya era baru 44negara
hukum Indonesia dimulai dengan adanya
rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) kepada Majlis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) tentang “pentingnya suatu tertib hukum dan tata
urutan
perundang-undangan”.
Rekomendasi
DPRGR
dimaksud
kemudian
ditindaklanjut dengan sidang MPRS yang pada akhirnya telah menetapkan dengan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Isinya secara umum adalah ; 44
a. Menetapkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber tertib hukum Indonesia. b.
Menetapkan tata urutan perundang-undangan yaitu ; (1) Undang-Undang Dasar 1945, (2) Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat, (3) Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, (4) Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 sesuai dengan tuntutan zaman pada tahun
2000 telah disempurnakan dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Tertib Hukum dan Perundang-undangan. Yang isinya secara umum adalah; a. Menetapkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber tertib hukum Indonesia. b.
Menetapkan tata urutan perundang-undangan yaitu ; (1) Undang-Undang Dasar 1945, (2) Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat, (3) Undang-Undang (4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, (5) Peraturan Pemerintah, (6) Keputusan Presiden, (7) Peraturan Menteri dan (8) Peraturan Daerah. Dengan bergulirnya gelombang reformasi dan dengan telah diamandemennya
UUD 1945 yang telah mengakibatkan berubahnya berbagai aspek ketatanegaraan Indonesia, maka Ketetapam MPR No. III/MPR/2000 tentang Tertib Hukum dan Perundang-undangan, diubah dengan Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan. Yang isinya secara umum adalah; a.
Menetapkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara.
b.
Menetapkan tata urutan perundang-undangan yaitu ; (1) Undang-Undang Dasar 1945, (2) Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, (3) Peraturan Pemerintah, (4) Peraturan Presiden, dan (5) Peraturan Daerah. Dalam kurun waktu
kurang
lebih 10 (sepuluh) tahun dengan berbagai
permasalahan yang muncul dalam 45aragr hukum dan perundang-undangan Indonesia. Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-udangan pada akhirnya disempurnakan dengan merubah Undang-undang dimaksud menjadi 45
Undang-undang Nomor: 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan. Yang isinya secara umum yaitu ; a. Menetapkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum 46aragr. b.
Menetapkan tata urutan perundang-undangan yaitu ; (1) Undang-Undang Dasar 1945, (2) Ketetapan MPR, (3) Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, (4) Peraturan Pemerintah, (5) Peraturan Presiden, (6) Peraturan Daerah Provinsi dan (7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
2. Dasar Pertimbangan Penetapan Perppu. Terdapat 3 (tiga) istilah yang telah diatur di dalam beberapa ketentuan UndangUndang Dasar Indonesia yaitu : a. Negara Dalam Keadaan Bahaya (state is being dangerous). Dapat dilihat bunyi dalam ketentuan UUD 1945 (naskah asli). Pasal 11 Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-undang”, dan dalam Pasal 12 “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya ditetapkan dengan Undang-undang. b. Keadaan-keadaan Yang Mendesak (emergency situation). Dalam KRIS 1949 pasal 139 (1) yang menyatakan bahwa pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan Undang-Undang darurat untuk mengatur hal-hal penyelenggaraan federal yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu diatur dengan segera, ayat (2) “Undang-undang darurat mempunyai kekuasaan dan kuasa Undang-undang Federasi, ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal yang berikut”. UUDS 1950 dalam Pasal 96 paragrap (1) “Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung jawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk hal-hal penyelenggaraan pemerintahan yang karena keadaan-keadaan yang mendesak perlu 46
diatur segera”, paragraph(2) “Undang-undang darurat mempunyai kekuasaan dan derajat undang-undang, ketentuan ini tidak mengurangi yang ditetapkan dalam pasal yang berikut”. Dilihat dari ketentuan tersebut di atas dapat disebutkan bahwa ada beberapa istilah yang dapat dihubungkan dengan dasar pertimbangan ditetapkannya dekrit atau perppu yaitu i) 47negara dalam keadaan bahaya, (ii) 47negara keadaan-keadaan yang mendesak, dan iii) hal ikhwal kegentingan yang memaksa. c. Hal Ikhwal Kegentingan Yang Memaksa (state is being emergency-force meujeure). Dapat dilihat dalam bunyi ketentuan UUD 1945 (naskah asli) Pasal 22 ayat (1), menjelaskan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang; dalam ayat (2), Peraturan Pemerintah itu harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; kemudian dalam ayat (3), Jika tidak mendapatkan persetujuan, maka Peraturan Pemerintah harus dicabut.
3. Pengaruh Yuridis Penetapan Perppu. Bagaimana dampak Perppu terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang terkait dapat dilihat dari bunyi ketentuan perundang-undangan sebagai berikut : a.
Ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 (naskah asli): Ayat (1) dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang Ayat (2) Peraturan Pemerintah itu harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; kemudian dalam ayat (3), Jika tidak mendapatkan persetujuan, maka Peraturan Pemerintah harus dicabut.
b. Ketentuan Pasal pasal 140 Konstitusi RIS tahun 1949 ayat (1) berbunyi : Peraturanperaturan yang termaktub dalam undang-undang darurat, segera sesudah ditetapkan, 47
disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat yang merundingkan peraturan itu menurut yang ditentukan tentang merundingkan usul undang-undang pemerintah, ayat (2) Jika suatu peraturan yang menurut ayat yang lalu, waktu dirundingkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian ini, ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka peraturan itu tidak berlaku lagi karena hukum, ayat (3) Jika undangundang darurat yang menurut ayat yang lalu tidak berlaku lagi, tidak mengatur segala akibat yang timbul dari peraturanya baik yang dapat dibetulkan atau maupun yang tidak, maka undang-undang federal mengadakan tindakan-tindakan yang perlu tentang itu, ayat (4) Jika peraturan yang termaktub dalam undang-undang darurat itu diubah dan ditetapkan sebagai undang-undang federal, maka akibat-akibat perubahannya diatur pula sesuai dengan yang ditetapkan dalam ayat yang lalu. c. Ketentuan Pasal Dalam pasal 97 paragrap (1) “Peraturan-peraturan yang termaktub dalam undang-undang darurat, sesudah ditetapkan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pada sidang berikut yang merundingkan peraturan ini menurut yang ditentukan tentang usul undang-undang Pemerintah”, aragraph (2) “Jika suatu peraturan yang dimaksud dalam ayat yang lalu, waktu dirundingkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian ini, ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka peraturan ini tidak berlaku lagi, karena hukum”, 48aragraph (3) Jika undang-undang darurat yang menurut ayat lalu tidak berlaku lagi, tidak mengatur segala akibat yang timbul dari peraturannya-baik yang dapat dipulihkan maupun yang tidak, maka undang-undang mengadakan tindakantindakan yang perlu tentang itu”, 48aragraph (4) “Jika perturan yang termaktub dalam undang-undang darurat ini diubah dan ditetapkan sebagai undang-undang, maka akibat-akibat perubahannya diatur pula sesuai dengan yang ditetapkan dalam ayat yang lalu”.
48
d. Ketentuan Pasal 22 UUD 1945 pasca amandemen dalam pasal 22 ayat (1) menjelaskan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang; dalam ayat (2), Peraturan Pemerintah itu harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; kemudian dalam ayat (3), Jika tidak mendapatkan persetujuan, maka Peraturan Pemerintah harus dicabut.
B. Pembahasan. 1. Kedudukan Perppu. Memperhatikan materi-materi dari 4(empat) ketentuan hukum dalam hasil penelitian tersebut diatas, di dalamnya telah mengatur tentang keberadaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai suatu kaidah atau norma yang merupakan bagian dari hirarki perundang-undangan Indonesia. Walaupun kedudukannya terkadang berada sama dengan Undang-Undang pada sisi lain terkadang berada di bawah Undang-Undang. Isi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) uraian dan penjelasannya dapat dilihat di dalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut : a. Tap. MPRS No. XX/MPRS/1966 Tentang Tertib Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan. Yaitu berbunyi: Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Presiden berhak menetapkan peraturan-peraturan sebagai pengganti Undang-undang. 1. Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikutnya. 2.
Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan Pemerintah itu harus dicabut.
b. Tap. MPR No. III/MPR/2000 Tentang Tertib Hukum dan Tata Urutan Perundangundangan. Yaitu berbunyi: 49
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), dibuat oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Perppu harus diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dalam sidang berikutnya. 2.
DPR dapat menerima atau menolak Perppu dengan tidak mengadakan perubahan.
3.
Jika ditolak DPR, Perppu tersebut harus dicabut.
c. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Pembentukan Perundang-undangan. Yaitu berbunyi: Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, sama dengan muatan Undang-undang d. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Perundang-undangan. Yaitu berbunyi : Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang. Begitu juga dengan memperhatikan muatan-muatan dari 4(empat) ketentuan hukum tersebut di atas, di dalamnya telah mengatur tentang muatan-muatan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai suatu kaidah atau norma yang merupakan bagian dari hirarki perundang-undangan Indonesia. Walaupun muatan-muatannya terkadang dijelaskan sama dengan Undang-Undang pada sisi lain terkadang berbeda dengan Undang-Undang. Perppu mempunyai kesederajatan dengan undang-undang. Pada dasarnya Perppu adalah sebuah Peraturan Pemerintah yang disederajatkan dengan undang-undang. Pemberian kesederajatan ini, karena materi muatannya semestinya diatur dengan undangundang. Tetapi karena kegentingan yang memaksa terpaksa dengan Peraturan Pemerintah
50
sebagai pengganti undang-undang. 36 Yang membedakan terletak pada pembuatnya dan tatacara pembuatannya. Serta Perppu hanya dapat ditetapkan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. 37 Suatu Perppu harus memenuhi criteria sebagai berikut :38 1.
Hanya dikeluarkan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa (UUD 1945, Pasal 22). Dalam praktek ketatanegaraan yang berlaku sekarang, pemahaman mengenai “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” diartikan juga dengan “kepentingan yang mendesak”. Berdasarkan pemahaman luas tersebut, ditemukan pembenaran penetapan penundaan berlakunya undang-undang tentang Pajak Pertambahan Nilai 1984 (Perppu No. 1 Tahun 1984).
2.
Perppu tidak boleh mengatur mengenai hal-hal yang diatur dalam UUD 1945 atau Tap MPR
3.
Perppu tidak boleh mengatur mengenai keberadaan dan tugas wewenang Lembaga Negara. Tidak boleh ada Perppu yang dapat menunda atau menghapuskan kewenangan Lembaga Negara.
4.
Perppu hanya boleh mengatur ketentuan undang-undang yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan.
2. Dasar Pertimbangan Perppu. Jika dirujukan antara ke 3(tiga) istilah tersebutsebagaimana yang diuraikan dalam hasil penelitian tersebut diatas, maka terdapat sisi-sisi kesamaan dan sisi perbedaaan. Sisi persamaan dapat dilihat dari bagaimana keadaan tersebut berpengaruh terhadap keadaan negara, namun dari sisi perbedaan hanya terdapat pada bobot urgensi penyelesaiannya. 36
Opcit. Bagir Manan Et.All Soehino. Hukum Tata Negara, Teknik Perundang-undangan. Liberty Yogyakarta 1990. Hal 33 38 Ibid 37
51
Selanjutnya yang dapat dijadikan dasar untuk menunjukan keadaan dalam keadaan yang bahaya, genting, memaksa, sebagai mana yang di sampaikan Jimlly Ashidiqy dapat dilihat sebagai berikut : 39 1.
Terdapat suatu kondisi atau keadaan yang sangat genting, berbahaya;
2.
Situasi dimaksud dapat mengancam keselamatan bangsa dan 52aragr jika pemerintah tidak mengambil tindakan konkrit;
3.
Keadaan dimaksud membutuhkan penanganan secara cepat. Jadi ada semacam “paksaan”untuk diselesaikan dengan segera;
4.
Tidak ada 52aragraph52e sdebagai sarana lain sebagaimana lazimnya dalam kondisi normal yang mampu untuk menyelesaikan keadaan genting dimaksud
5.
Dilakukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Dari ke 5 (lima) ukuran yang menjadi dasar diterbitkannya dekrit ataupun perppu jika relevansikan dengan pertimbangan Dekrit tanggal 5 Juli 1959, Dekrit tanggal 23 Juli 2001 dan dengan Perppu No. 1 Tahun 2014, maka pertimbangan Dekrit tanggal 5 Juli 1959 sangat relevan dengan ke 5(lima) ukuran dimaksud. Hal ini dapat dilihat dalam konsideran Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 sebagai berikut : Paragrap pertama, Bahwa anjuran Presiden dari Pemerintah untuk kembali kepada UndangUndang dasar 1945, yang disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstitusnte sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara Paragrap kedua,
39
Opcit. Jimly Ashidiqy. Hukum Tata Negara Darurat.
52
Bahwa berhubung dengan pertanyaan sebagian terbesar anggota-anggota Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya. Paragrap ketiga, Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dari keselamatan 53aragr, nusa dan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Paragrap keempat. Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan 53aragr proklamasi. Paragrap kelima. Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Sementara itu jika melihat dasar pertimbangan Dekrit Presiden tanggal 23 Juli 2001 maupun Perppu Nomor : 1 Tahun 2014 yang telah ditetapkan oleh pemerintah, tidak memiliki kuatan yang didukung oleh aspek-aspek yang kuat (filosofis, politis, sosiologis, ekonomis), sebatas oleh aspek-aspek kepentingan politik. Dekrit Presiden tanggal 23 Juli 2001 pada akhirnya tidak berlaku efektif dan akhirnya secara keseluruhan masyarakat Indonesia tidak mendukung dekrit itu. Kemudian Perppu No, 1 Tahun 2014 saat ini selain menunggu pembahasan oleh DPR, juga saat ini sedang menunggu pengujian materi undang-undang di Mahkamah Konstitusi.
53
Bahkan sampai saat ini masih menjadi perdebatan (pro & kontra) diberbagai sector masyarakat maupun pemerintahan.
3. Pengaruh Yuridis Perppu. Memperhatikan isi dari ke 4 (empat) ketentuan di atas, di dalam uraian hasil penelitian, penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keberlakuan suatu ketentuan yang sedang berlaku. Pengaruh mana dapat dilihat dari berbagai sisi : a. Pada saat Perppu hanya mengubah beberapa ketentuan/pasal dari suatu Undangundang. Maka ketentuan-ketentuan pasal dari Undang-undang dimaksud dinyatakan tidak berlaku, sampai dengan adanya pembahasan pada sidang DPR. b.
Pada saat Perppu telah mengubah seluruh ketentuan/dari suatu Undang-undang. Maka seluruh ketentuan-ketentuan dari Undang-undang dimaksud dinyatakan tidak berlaku, sampai dengan adanya pembahasan pada sidang DPR.
c.
Pada saat Perppu setelah dibahas pada sidang DPR dan diterima menjadi Undangundang. Maka ketentuan-ketentuan Undang-undang dimaksud sebagian maupun secara keseluruhan tetap berlaku.
d.
Pada saat Perppu setelah dibahas pada sidang DPR dan ditolak menjadi Undangundang. Maka ketentuan-ketentuan Undang-undang dimaksud sebagian maupun secara keseluruhan menjadi tidak berlaku. Dan ketentuan yang berlaku adalah ketentuan yang lama, sampai ada Undang-undang baru yang dibuat oleh DPR.
54
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) memiliki landasar konstitutional, selain telah memiliki kedudukan sebagai norma yang setara dengan undang-undang sebagaimana yang diatur dalam Tap MPRS No. XX/MPRS/1966, Tap MPR No. III/MPR/2000, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 dan UndangUndang No. 12 Tahun 2011. Termasuk Perppu No. 1 Tahun 2014 walaupun sangat melekat keputusan yang sangat subyektif dengan seorang Presiden.
2.
Secara akademik dasar-dasar atau ukuran-ukuran ikhwal kegentingan yang memaksa sebagai dasar diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) telah dapat dirumuskan. Karena itu dengan memperhatikan rumusanrumusan akademik dimaksud dan jika dihubungkan dengan rumusan konsideran Perpu No. 1 Tahun 2014 tidaklah kuat.
3.
Dalam ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 maupun Undang-Undang Dasar lainnya, hanya manyebutkan bahwa Perppu yang ditetapkan oleh Presiden harus mendapatkan persetujuan DPR pada sidang berikutnya. Namun demikian tidak disebutkan batas waktu pada yang mana.
B. Saran 1.
Kedudukan Perppu walaupun isi dan muatannya sama dengan Undang-Undang, dalam hirarki perundang-undangan ditempatkan di bawah kedudukan UndangUndang.
55
2.
Rumusan akademik tentang dasar-dasar atau ukuran-ukuran hal ikhwal kegentingan yang memaksa, agar dijelaskan dalam Undang-Undang, hal ini dilakukan agar hak subyektif yang melekat kepada seorang presiden tidak disalah gunakan.
3.
Harus ditetapkan kepastian waktu dalam persidangan kapan Perppu tersebut dapat disetujui atau ditolak oleh DPR.
56
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU Adventus Tobis, Pembelajaran Hukum Melalui Perppu No. 1 Tahun 2013 Tentang Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi Vol. 10 No. 4. Jakarta 2013. Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, FH UII Press Yogyakarta, 2006. ----------------, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni Bandung 1997. Bernard L. Tanya. Et.al. Teori Hukum,Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Genta Publishing Jakarta 2010 Carl Schmidts,………………………… Emeritus John Gilissen, Emeritus Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, Renika Aditama Jakarta, 2009. I.C. van der Vlies, Buku Pegangan Perancangan Peraturan Perundangundangan. Direktorat Jenderal Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia RI, Jakarta 2005. Indonesia Legal Center Publishing. Undang-Undang Dasar 1845 dan Konstitusi Di Indonesia. Jakarta 2006. Muhammad Taher Azhary,Negara Hukum (Suatu studi tentang prinsipprinsipnya. Dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada periode Negara Madinah dan masa kini), Kencana Prenada Media Group Jakarta 1991 Malik, Perppu Pengawasan Hakim Konstitusi versus Putusan Final Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi Vol. 10 No. 4. Jakarta 2013 Munir Fuady, Sejarah Hukum. Ghalia Indonesia, Bogor 2009. Ni’matul Huda, Problematika Subtansi Perppu Nomor : 1 Tahun 2013 Tentang Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi Vo; 10 N0. 4. Jakarta 2013 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada Jakarta 2006 Sri Soemantri, Hak Menguji Meterial di Indonesia, Alumni Bandung, 1982 Soehino,
Hukum Tata
Negara,
Yogyakarta 1981.
B. UNDANG-UNDANG. 1. Undang-Undang Dasar 1945. 2. Undang-Undang Dasar Amerika Serikat. 57
Teknik Perundang-undangan,
Liberty
3. Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 4. Tap MPR No. III/MPR/2000 5. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 6. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 7. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 8. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 9. Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959 10. Dekrit Presiden Tanggal 23 Juli 2001 11. Perppu No. 1 Tahun 2014 12. Perppu No. 2 Tahun 2014 13. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 14. Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 15. Undang-Undang No. 22 Tahun 2014
C. JURNAL, MAJALAH, WEBSITE. 1. Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 11 No. 1 Maret 2004. Dirjen Peraturan Perundangundangan Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia RI. 2. Jurnal Konstitusi, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta 2013. 3. www.artikelsiana.com. 4. www.santosololowang.com 5. www.vocabulary.com 6. Business Dictionary.com 7. Diy4h’s world.com
58