PERBANDINGAN METODE SNI DENGAN METODE Salmonella Latex Test UNTUK MEMANTAU PENCEMARAN Salmonella spp. PADA KOTAK PENGANGKUTAN Day Old Chick (DOC)
TATIT DIAH NAWANG RETNO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perbandingan Metode SNI dengan Metode Salmonella Latex Test untuk Memantau Pencemaran Salmonella spp. pada Kotak Pengangkutan Day Old Chick (DOC), adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2009
Tatit Diah Nawang Retno B251064114
ABSTRACT TATIT DIAH NAWANG RETNO. Comparison between SNI and Salmonella Latex Text Method to Monitor Contamination of Salmonella spp. in Day Old Chick (DOC) Boxes. Under direction of EKO SUGENG PRIBADI and TITIEK SUNARTATIE. Fifty DOC boxes, which were supplied by five breeding company, was examined to Salmonella contamination. SNI and Salmonella latex test method were used for the research. The result indicated four boxes were positive which examined by SNI method and five boxes were positive which examined by Salmonella latex test method. With confidence level of 95% Salmonella latex test has sensitivity of 100% and specificity of 97.8% and the value of kappa statistic was 0.878 or excellent value. Salmonella latex test are containing flagella antibody. This method need time 24-hours faster and cheaper than SNI method. Salmonella latex test can be used as an alternative screening test of Salmonella contamination in clinical or animal product samples. Unfortunately, this method is able to detect flagellaSalmonella only. Key word : Salmonella contamination, DOC transportation boxes, SNI method, Salmonella latex test method
RINGKASAN TATIT DIAH NAWANG RETNO. Perbandingan Metode SNI dengan Metode Salmonella Latex Test untuk Memantau Pencemaran Salmonella spp. pada Kotak Pengangkutan Day Old Chick (DOC). Dibimbing oleh EKO SUGENG PRIBADI dan TITIEK SUNARTATIE. Salmonella spp. adalah bakteri patogen utama penyebab demam typhoid dan penyakit pullorum pada unggas. Kecenderungan yang berkembang saat ini kasus salmonellosis banyak menyerang reptilia dan anak ayam umur sehari yang diperjualbelikan secara bebas. Jumlah kasus yang dilaporkan masih sedikit dibandingkan kejadian nyata di lapangan. Salah satu persyaratan untuk melalulintaskan DOC di wilayah Republik Indonesia adalah, bebas avian salmonellosis dengan menunjukkan bukti hasil laboratorium. Sebagai instansi yang berada pada garda depan, Badan Karantina Pertanian dituntut untuk melakukan pelayanan kepada pengguna jasa secara cepat dan pro fesional. Mengacu dari hal tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk membandingkan metode baku yang digunakan, dalam hal ini metode SNI dan metode uji cepat yaitu Salmonella latex test untuk memantau pencemaran Salmonella spp. pada kotak pengangkutan DOC. Metode yang digunakan dalam memantau pencemaran Salmonella spp. pada kotak pengangkutan DOC adalah, yang pertama dengan menggunakan uji kualitatif yang sesuai dengan SNI yang mengacu pada Bacteriological Analytical Manual, Food and Drug Administration, AOAC International yang terdiri dari beberapa tahapan yaitu pra-pengayaan, pengayaan, isolasi dan identifikasi serta uji serologik. Metode yang kedua, menggunakan uji cepat yaitu Salmonella latex test sebagai uji presumtif Salmonella spp., dengan prinsip aglutinasi terhadap antibodi yang terkandung di dalam Salmonella khususnya antibodi terhadap antigen flagella. Sejumlah besar antigen flagella Salmonella digunakan untuk menghasilkan antisera polyvalent dalam kelinci. Antibodi yang telah dipurifikasi digunakan untuk memberikan efek peka terhadap partikel latex. Sebanyak 50 contoh kotak pengangkutan DOC diambil dari 5 perusahaan pembibitan ayam yang berbeda untuk diuji menggunakan dua metode pengujian. Metode pengujian pertama adalah Metode SNI dan metode pengujian kedua menggunakan Salmonella latex test, untuk mengetahui adanya cemaran Salmonella spp. pada kotak pengangkutan DOC. Dari hasil pengujian dengan metode SNI menunjukkan 4 kotak tercemar Salmonella spp. atau sekitar 8% dari total jumlah contoh. Dari hasil pengamatan terhadap koloni dan uji untuk isolasi dan identifikasi serta uji serologik didapatkan spesies S. Entertidis dari contoh yang diduga Salmonella. Dari hasil pengujian menggunakan Salmonella latex test menunjukkan 5 kotak atau sekitar 10% tercemar Salmonella spp.. Dengan tingkat kepercayaan 95% hasil pengujian Salmonella latex test diperoleh kepekaan 100% dan kekhususan 97,8%. Kepekaan adalah proporsi kotak pengangkutan DOC yang tercemar Salmonella spp. yang memberikan hasil uji positif, sedangkan kekhususan adalah proporsi kotak pengangkutan DOC yang tidak tercemar Salmonella spp. yang memberikan hasil uji negatif. Nilai prediktif positif atau proporsi kotak pengangkutan DOC yang tercemar Salmonella spp. diantara contoh
yang bereaksi positif dengan metode Salmonella latex test sebesar 80% dan nilai prediktif negatif atau proporsi kotak pengangkutan DOC yang tidak tercemar Salmonella spp. diantara contoh yang memberikan reaksi negatif dengan menggunakan metode Salmonella latex test sebesar 100%. Dengan adanya perbedaan hasil antara metode SNI dan Salmonella latex test maka dianalisis dengan menggunakan analisis statistik kappa untuk menguji kesesuaian dua pengujian. Metode baku memberikan prevalensi yang nampak sebesar 0,08, sedangkan dengan metode Salmonella latex test memberikan prevalensi sebesar 0,1. Kedua metode tersebut sama-sama memberikan reaksi positif terhadap 8% dari keseluruhan contoh yang diperiksa. Data ini memberikan indikasi pengujian yaitu proporsi positif yang lebih besar daripada yang lain dan arahan untuk menghitung kesesuaian diantara kedua metode yang digunakan. Nilai kappa yang diperoleh sebesar 0,878 yang berarti bagus sekali atau kesesuaian antara pengujian dengan metode SNI dan Salmonella latex test menunjukkan nilai bagus sekali. Metode Salmonella latex test juga memiliki keuntungan dan kerugian. Keuntungan penggunaan metode ini adalah menyingkat waktu 24 jam lebih cepat serta memerlukan biaya yang lebih hemat dibandingkan metode SNI. Kerugian Salmonella latex test adalah hanya spesies Salmonella yang berflagella yang dapat terlacak oleh alat uji ini. Dengan adanya cemaran S. Enteritidis pada kotak pengangkut DOC, menjadikan kotak pengangkut sebagai sumber penularan bagi orang-orang yang bersentuhan langsung dengan kotak pengangkut DOC tersebut. Misalnya pekerja kandang, penjual DOC dan anak-anak yang membeli DOC yang diperjualbelikan secara bebas, tenaga kesehatan hewan ataupun petugas di laboratorium yang menangani pemeriksaan cemaran mikroba. Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penularan salmonellosis, yang berasal dari kotak pengangkutan DOC adalah dengan cara membakar kotak tersebut setelah DOC dibongkar di tempat tujuan dan mengkampanyekan anjuran cuci tangan setelah menangani atau memegang hewan piara terutama DOC. Pencegahan terhadap pentingnya menjaga higienitas diri dilakukan pada semua kelompok umur baik anak-anak maupun orang dewasa. Pencegahan dilakukan terutama bagi mereka yang rentan terpapar oleh cemaran Salmonella khususnya bagi petugas karantina. Tindakan pencegahan seperti tersebut di atas harus dilakukan untuk memutus mata rantai penularan salmonellosis dan demi terwujudnya wilayah Negara Republik Indonesia yang bebas penyakit hewan menular. Salmonella latex test lebih efektif dan efisien dibandingan dengan metode SNI. Salmonella latex test dapat digunakan sebagai uji tapis, baik pada contoh klinis maupun produk peternakan untuk hasil yang cepat dan akurat. Hasil pengujian cepat dan akurat sangat diperlukan terutama bagi instansi seperti karantina sebagai garda terdepan dalam lalulintas hewan dan produk hewan Kata kunci : cemaran Salmonella, kotak pengangkutan DOC, metode SNI, metode Salmonella latex test
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; b. dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERBANDINGAN METODE SNI DENGAN METODE Salmonella Latex Test UNTUK MEMANTAU PENCEMARAN Salmonella spp. PADA KOTAK PENGANGKUTAN Day Old Chick (DOC)
TATIT DIAH NAWANG RETNO
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. drh. Fachriyan H. Pasaribu
Judul Tesis
:
Nama NIM
: :
Perbandingan Metode SNI dengan Metode Salmonella Latex Test untuk Memantau Pencemaran Salmonella spp. pada Kotak Pengangkutan Day Old Chick (DOC) Tatit Diah Nawang Retno B251064114
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. drh. Eko Sugeng Pribadi, M.S. Ketua
drh. Titiek Sunartatie, M.S. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si.
Tanggal Ujian : 15 Januari 2009
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji Syukur pada Tuhan Yang Maha Kasih penulis panjatkan yang telah mengkaruniakan berkat anugerah dan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2008 ialah Perbandingan Metode SNI dengan Metode Salmonella Latex Test untuk Memantau Pencemaran Salmonella spp. pada Kotak Pengangkutan Day Old Chick (DOC). Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. drh. Eko Sugeng Pribadi, M.S. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan drh. Titiek Sunartatie, M.S. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dalam penulisan tesis ini, Dr. Drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, serta seluruh staf pengajar pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner yang telah membimbing, mengarahkan, membantu dan memberikan saran-saran kepada penulis. Penulis juga menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Badan Karantina Pertanian yang telah memberikan beasiswa serta ijin belajar sehingga penulis dapat menempuh pendidikan magister pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Institut Pertanian Bogor, serta khususnya kepada Ir. Syukur Iwantoro, M.S, MBA. yang memacu, mendorong dan memberi cambuk semangat bagi penulis dalam menyelesaikan seluruh tugas dan kewajiban untuk meraih gelar Magister Sains. Kepada Drh. Bambang Erman, penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan atas ijin yang diberikan kepada penulis demi lancarnya penyelesaian tugas-tugas akhir serta arahan dan masukannya kepada penulis. Selain itu penulis juga mengucapkan terimakasih kepada suami dan anakanak tercinta, drh. Sintong HMT Hutasoit, M.Si., Keyra Beatrice Maduma Putri Hutasoit dan Kevin Leondra Sahatma Raja Putra Hutasoit, Papa dan Mama di Yogyakarta, Bapak (Alm) dan Mama di Siborongborong serta keluarga besar R. Soewito dan keluarga besar Hutasoit atas perhatian, pengertian dan kasihnya selama ini. Ucapan terimakasih juga diberikan kepada Bpk. Agus Haryanto yang telah memberikan waktu, tenaga dan kesabarannya pada penulis dalam menyelesaikan tesis ini serta Ibu Esih dan Bapak Ismet, staf laboratorium Mikrobiologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB atas bantuan dan arahannya selama ini. Ungkapan terima kasih disampaikan juga kepada Kepala Pusat Karantina Hewan, Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta, teman-teman Program Khusus S2 Karantina, rekan-rekan di bidang Karantina Hewan Ekspor dan Antar Area atas perhatian, dukungan dan kerjasamanya selama ini.
Bogor, Januari 2009 Tatit Diah Nawang Retno
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 2 Januari 1976 sebagai putri pertama dari 3 bersaudara pasangan dr. Purnomo Subagyo, M.Sc. dan Widiarti Rumendah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri Ungaran II Yogyakarta tahun 1988, pendidikan Sekolah Menengah Pertama Negeri 5 Yogyakarta tahun 1991 dan pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri 8 Yogyakarta tahun 1994. Pada tahun 1994 penulis menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan menyandang gelar Dokter Hewan pada tahun 2000. Penulis menikah dengan drh. Sintong HMT Hutasoit, M.Si. pada tanggal 28 Oktober 2000 di Yogyakarta dan dikaruniai dua orang anak, putri dan putra, yang pertama Keyra Beatrice Maduma Putri Hutasoit dan yang kedua Kevin Leondra Sahatma Raja Putra Hutasoit. Saat ini penulis bekerja pada Pusat Karantina Hewan, Badan Karantina Pertanian di Jakarta.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI……………………………………………………………….. xi DAFTAR TABEL…………………………………………………………... xiii DAFTAR GAMBAR……………………………………………………….
xiv
PENDAHULUAN…………………………………………………………..
1
Latar Belakang…………………………………………………... 1 Permasalahan…………………………………………………….
2
Tujuan Penelitian………………………………………………... 3 Manfaat Penelitian………………………………………………. 3 Hipotesis Penelitian……………………………………………...
3
TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………… Salmonella spp. …………………………………………………
4 4
Penularan Salmonella……………………………………………
6
Salmonellosis pada Anak Ayam………………………………… 8 Salmonellosis pada Manusia…………………………………….
11
Diagnosis Salmonella…………………………………………..
15
Uji Cepat terhadap Cemaran Salmonella………………………..
15
MATERI DAN METODE………………………………………………… Waktu dan Tempat………………………………………………
16 16
Alat dan Bahan………………………………………………….
16
Metode Pengujian………………………………………………
17
Pengujian Salmonella spp. dengan Metode SNI………………..
17
Pengujian Salmonella spp. dengan Salmonella Latex Test………
24
Rancangan Penelitian……………………………………………
24
Analisis Data…………………………………………………….
25
HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………………. Hasil Pengujian Salmonella spp. dengan Metode SNI………….
26 26
Hasil Pengujian Salmonella spp. dengan Metode Salmonella Latex Test………………………………………………………... 28
Evaluasi Cemaran Salmonella spp. dengan Metode SNI dan
28
Salmonella Latex Test…………………………………………… Pencemaran S. Enteritidis pada Kotak Pengangkutan DOC KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………….
31 33
Kesimpulan……………………………………………………..
33
Saran……………………………………………………………
33
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………
34
DAFTAR TABEL Halaman 1
Observasi studi veteriner terhadap salmonellosis dengan hipotesis faktor risiko berdasarkan spesies………………………………………. 10
2
Diagnosis salmonellosis………………………………………………..
13
3
Serotipe Salmonella beserta gejala klinisnya…………………………..
14
4
Hasil uji Salmonella spp. pada TSIA dan LIA ………………………...
18
5
Reaksi biokimiawi Salmonella………………………………………....
23
6
Gambaran koloni dari media HEA dan uji biokimiawi contoh yang diduga positif Salmonella……………………………………………………
27
7
Hasil uji Salmonella dengan metode SNI dan Salmonella latex test....... 28
8
Proporsi populasi yang diklasifikasi-silangkan berdasarkan hasil uji dengan metode yang berbeda..................................................................
29
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2
Penularan salmonellosis (kecuali S. Typhi dan Paratyphoid)…………. Koloni Salmonella pada media HEA dari 6 contoh yang diduga positif.......................................................................................................
6
3
Hasil uji khas Salmonella pada media TSIA dan LIA…………….........
27
4
Gambaran aglutinasi pada contoh positif Salmonella spp. dengan metode Salmonella latex test……………………………………………
28
27
PENDAHULUAN
Latar Belakang Salmonella spp. merupakan mikroorganisme yang dikenal sebagai major food borne pathogen pada manusia dan menyebar di seluruh dunia. Di Amerika Serikat dilaporkan setidaknya terdapat 800.000 sampai 4 juta infeksi Salmonella setiap tahunnya dan sekitar 500 dari kasus tersebut bersifat fatal (Ahmed et al. 2005). Kecenderungan yang berkembang saat ini kasus salmonellosis tidak hanya sebatas pada keracunan makanan tetapi sudah dapat diisolasi dari reptilia dan unggas umur sehari (day old chick, DOC) yang diperjualbelikan untuk mainan anak-anak. Tingkat kejadian ditemukannya Salmonella dalam kasus ini dapat mencapai 76.000-140.000 kasus per tahunnya (Warwick et al. 2001). Secara resmi kejadian luar biasa yang disebabkan oleh Salmonella di Indonesia belum banyak dilaporkan. Kasus salmonellosis di Indonesia diperkirakan sebanyak 60.000 hingga 1.300.000 kasus dengan sedikitnya 20.000 kematian per tahun (Suwandono et al. 2005). Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat telah banyak dilaporkan adanya kejadian luar biasa salmonellosis. Namun persentase jumlah yang dilaporkan masih terlalu kecil dibandingkan dengan wabah yang sebenarnya terjadi. Salmonella tidak hanya menyerang hewan ternak tetapi juga menyerang hewan piaraan dan dapat diisolasi dari bahan autopsi yang terdiri dari organ, darah dan feses (PAHO 2003). Avian salmonellosis telah ada di berbagai peternakan dengan tingkatan yang berbeda. Pada umumnya penyakit tradisional misalnya fowl typhoid dan pullorum telah dapat dikendalikan dengan baik meskipun penyakit ini masih tetap banyak di beberapa negara di Amerika Selatan dan Amerika Tengah, Eropa Timur, Asia, Afrika. Bagaimanapun juga infeksi paratyphoid salmonellosis masih merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi. Infeksi pada burung/unggas yang mungkin dapat menimbulkan gejala klinis atau unggas tersebut dapat menjadi agen carrier food-borne salmonellosis. Penularan salmonellosis dapat terjadi secara vertikal. Pencemaran silang oleh Salmonella dapat terjadi dalam suatu
peternakan pembibitan. Kuman Salmonella dapat ditemukan pada pengumpulan contoh dari peternakan asal atau dari kotak pengangkutan unggas/burung. Peneguhan adanya pencemaran Salmonella dapat diambil dari contoh lingkungan tanpa menyebabkan unggas mengalami cekaman (Zancan et al. 2000).
Permasalahan Semua produk pertanian khususnya hewan dan produk hewan yang dilalulintaskan dari dan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia maupun antar pulau harus memenuhi beberapa persyaratan yang terkait dengan tugas pokok dan fungsi karantina, yaitu mencegah masuk dan tersebarnya hama dan penyakit hewan karantina. Salah satu persyaratan yang dibutuhkan untuk pengangkutan antar area khususnya pemasukan day old chicks (DOC) adalah dilengkapi Surat Keterangan Kesehatan yang didalamnya memuat pernyataan tentang persyaratan yang mengharuskan bahwa dari peternakan asal dalam waktu 6 bulan harus bebas Salmonella yang dibuktikan dengan uji laboratorium dan tidak ada bukti gejala klinis avian salmonellosis. Penentuan adanya pencemaran Salmonella perlu dibuktikan dengan uji laboratorium. Metode pengujian Salmonella untuk sampel yang berasal dari lingkungan dalam hal ini adalah kotak pengangkutan DOC adalah metode yang diambil dari SNI. Metode lain yang telah ada di Badan Karantina Pertanian untuk menguji adanya cemaran Salmonella adalah metode cepat menggunakan Salmonella latex test dengan prinsip aglutinasi. Sampai saat ini belum diketahui metode Salmonella latex test terbukti lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan metode SNI. Karantina mempunyai wewenang melakukan pemeriksaan terhadap hewan dan produk hewan yang dilalulintaskan baik dari dalam dan luar negeri maupun antar pulau di pintu pemasukan dan pengeluaran, untuk itu membutuhkan uji cepat dalam mendiagnosis suatu penyakit dan mengidentifikasi adanya kuman patogen.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan metode SNI dengan Salmonella latex test untuk memantau pencemaran Salmonella spp. pada kotak pengangkutan DOC.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberi manfaat berupa pembuktian penggunaan uji yang efektif dan efisien dalam melacak adanya pencemaran Salmonella spp. khususnya pada kotak pengangkutan DOC, sehingga dapat digunakan sebagai uji baku melacak Salmonella spp. pada instansi karantina.
Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah: H0
: metode Salmonella latex test kurang efektif dan efisien untuk memantau pencemaran Salmonella spp. pada kotak pengangkutan DOC dibandingkan metode SNI.
H1
: metode Salmonella latex test lebih efektif dan efisien untuk memantau pencemaran Salmonella spp. pada kotak pengangkutan DOC dibandingkan metode SNI.
TINJAUAN PUSTAKA
Salmonella spp.
Salmonella spp. merupakan bakteri berbentuk batang langsing, tidak membentuk spora, bersifat Gram negatif, aerobik atau fakultatif aerobik serta katalase positif dan oksidase negatif. Sifat katalase positif bakteri Salmonella artinya bakteri ini memiliki enzim katalase untuk memecah peroksidase menjadi H2O dan O2. Sifat oksidase negatif Salmonella adalah bakteri ini tidak memiliki enzim superoksida dismutase yang dapat mengubah H2 menjadi peroksida. Bakteri ini kadang-kadang memproduksi asam dan gas dari fermentasi glukosa atau laktosa. Sifat yang lain adalah mereduksi nitrat menjadi nitrit, tumbuh cepat pada berbagai macam media, hidup pada pH 4-9 dan beberapa pada pH 3,7, dapat tumbuh pada kisaran suhu 5-45 0C dengan suhu optimum 35-37 0C, bertahan pada suhu terendah 5,3 0C untuk S. Heidelberg dan 6,2 0C untuk S. Typhimurium. Bakteri ini menghasilkan koloni yang dapat terlihat dengan jelas pada suhu 37 0C selama 24 jam dan tidak dapat bertahan hidup pada konsentrasi garam di atas 9%, serta memiliki nilai aw optimal yaitu 0,96-0,999. Salmonella pertama kali diisolasi oleh Salmon dan Smith pada tahun 1885 dari seekor babi yang terinfeksi hog cholera, selanjutnya spesies Salmonella tersebut dinamakan S. Cholera-suis (PAHO 2003). Kaufmann dan White (1966) dalam Quinn et al. (2002) membedakan Salmonella berdasarkan sifat antigennya. Salmonella dan jenis Enterobacteriaceae mempunyai beberapa jenis antigen yaitu O (somatik), H (flagella), K dan Vi (Kapsul). Antigen O mengandung glikosamin. Antigen H merupakan protein yang disebut flagellin dan bersifat tidak tahan panas. Antigen K terdapat pada permukaan luar bakteri, terdiri dari polisakarida dan tidak tahan panas. Antigen Vi terdapat pada beberapa galur Salmonella misalnya S. Typhi yang mempengaruhi daya virulensi. Genus Salmonella terbagi menjadi dua spesies besar yang pertama adalah S. enterica dan yang kedua adalah S. bongori. S enterica terdiri dari lebih 2.400 serotipe. S.enterica var. typhimurium sekarang ini dikenal dengan nama S. Typhimurium dan S. enterica var. enteritidis yang dikenal dengan nama S. Enteritidis (Gray dan Fedorka-Cray 2002). Menurut PAHO (2003) nama spesies yang diterima oleh the International Committee on Systematic Bacteriology adalah sebagai berikut: S. Typhi, S. Cholera-suis, S. Enteritidis, S. Typhimurium dan S. Arizonae. S. Enteritidis dibagi
lagi menjadi 2.000 serotipe tergantung kepada antigen somatik dan flagella yang dimiliki. Serotipe paratifoid dari S. Typhi dan S. Enteritidis, Paratyphi A dan Paratyphi C merupakan spesies Salmonella yang khas pada manusia. Serotipe Paratyphi B dijumpai pada sapi, babi, anjing dan unggas. S. Cholera-suis dan beberapa serotipe S. Enteritidis seperti Gallinarum, Pullorum, Abortus equi dan Dublin teradaptasi pada hewan dan dapat ditularkan juga ke manusia. Sebagian besar serotipe dari S. Enteritidis merupakan bakteri dari berbagai jenis hewan, vertebrata dan invertebrata. S. Arizonae mempunyai kurang lebih 300 serotipe. Terdapat lebih dari 2.500 serotipe Salmonella yang tersebar di seluruh dunia, diantara serotipe tersebut yang menyerang unggas adalah S. Pullorum dan S. Gallinarum. Serotipe Salmonella mempunyai induk semang khas. S. Thypi dan S. Paratyphi menyerang manusia dan menimbulkan tanda-tanda gangguan pencernaan serta dema tifus dan paratifus. S. Dublin menyerang ternak sapi, S. Abortus equi menyerang kuda, S. Typhimurium terutama menyerang itik dan rodensia, sedangkan S. Pullorum dan S. Gallinarum menyerang ayam (Anonimus 2004). S. Gallinarum dan S. Pullorum merupakan agen penyebab fowl thypoid atau penyakit pullorum yang ditandai dengan diare berwarna kehijauan. Juga, dapat menyebabkan penyakit kronis saluran genitalis yang dapat menurunkan produksi telur dengan tingkat kematian sampai 100% (Proux et al. 2002). S. Enteritidis dikenal sebagai patogen yang penting, baik pada unggas maupun manusia. Kasus keracunan makanan pada manusia berkaitan erat dengan meningkatnya jumlah ayam dan telur ayam yang tercemar oleh serotipe S. Enteritidis (Thorns et al. 1996). Bakteri ini bertahan hidup pada waktu yang lama dalam lingkungan (Hopper dan Mawer 1988). Habitat alami kuman Salmonella adalah saluran pencernaan walaupun dapat ditemukan juga di organ lain seperti kelenjar limfe, limpa, hati, empedu, jantung, paru-paru, urat daging, sumsum tulang dan periosteum. Hewan dan unggas yang menderita salmonellosis dapat menjadi pembawa (carrier) yang menetap (persisten). Kuman Salmonella dapat diisolasi dari tanah, air, limbah yang tercemar dengan material feses (Ray 2001).
Penularan Salmonella Penularan Salmonella pada manusia terjadi karena menelan organisme yang ada di dalam makanan yang berasal dari hewan yang terinfeksi atau makanan yang tercemar oleh kotoran hewan atau kotoran orang yang terinfeksi. Penularan juga terjadi dari bahan-bahan makanan seperti telur, produk telur yang tidak dimasak dengan baik, air yang tercemar, daging dan produk daging, unggas dan produk unggas. Salmonellosis juga dapat ditularkan melalui hewan piara seperti kura-kura, iguana, anak ayam atau obat-obatan berbahan dasar hewan yang tidak disucihamakan (Anonimus 2005). hewan carier & sakit
hewan rentan feses
Memakan makanan asal hewan
Pencemaran makanan dan lingkungan
Air dan
termakan
sayuran
Rute fekal-oral
Gambar 1 Penularan salmonellosis ( kecuali S.Typhi dan Paratyphoid )
Salmonella memperbanyak diri dalam saluran pencernaan hewan yang terinfeksi maupun hewan pembawa selanjutnya akan dikeluarkan melalui feses. Feses yang tercemar akan mencemari makanan dan lingkungan dan akan termakan oleh hewan yang rentan terhadap Salmonella. Manusia terinfeksi Salmonella karena memakan bahan pangan asal hewan, air dan sayuran yang tercemar. Penularan Salmonella dari manusia ke manusia lainnya melalui rute fekal-oral (PAHO 2003).
Jalur utama penularan S. Enteritidis secara vertikal melalui telur dan secara horizontal melalui rute fekal oral (Hopper dan Mawer 1988). Penularan parathypoid salmonella secara oral pertama kali karena adanya kolonisasi di dalam saluran pencernaan, dan selalu berakhir pada perlekatan yang menetap dalam feses. Invasi ke dalam saluran pencernaan memicu perbanyakan Salmonella dalam sistem makrofag pada organ hati dan limpa dan menyebar ke seluruh jaringan. Bakterimia dapat terjadi setelah melalui tahap-tahap tersebut dan berakhir kepada kematian (Thiagarajan et al. 1994) PAHO (2003) menyatakan S. Typhi dan S. Paratyphoid merupakan serotipe yang dominan pada manusia, dan hewan berperan sebagai sumber penularan Salmonella. Makanan yang sering menyebabkan infeksi Salmonella pada manusia pada umumnya berasal dari unggas, babi, sapi, telur, susu dan hasil olahannya. Makanan yang berasal dari sayuran yang tercemar oleh produk-produk hewan, kotoran manusia, pengolahan komersil juga merupakan sumber cemaran Salmonella. S. Typhi dan beberapa Salmonella lainnya juga dapat mencemari air yang digunakan sebagai sumber air bersih. Di Amerika Serikat pernah dilaporkan adanya kematian 2 orang anak kecil karena salmonellosis dari reptil yang menjadi hewan piara. Sementara kejadian kasus salmonellosis karena reptil seperti kura-kura mencapai 280.000 kasus per tahunnya (Warwick et al. 2001). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nakamura di Jepang pada tahun 1986 menunjukkan bahwa 10% dari total produk hewan yang diproduksi tercemar oleh Salmonella dan dari seluruh persentase tersebut mayoritas oleh spesies S. Enteritidis, sedangkan penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa produk hewan yang tercemar oleh Salmonella sebanyak 24% (Nakamura et al. 1994).
Selama tahun 2006, Departemen Kesehatan Amerika Serikat melaporkan adanya tiga kasus wabah infeksi Salmonella pada orang yang pernah kontak dengan anak ayam, anak itik, anak angsa dan anak kalkun yang dijual di toko pertanian (Bidol et al. 2007).
Di Indonesia telah dilakukan pemantauan dan surveilans terhadap kasus salmonellosis. Data dari Rumah Sakit yang menangani penyakit infeksius di Jakarta melaporkan bahwa kasus demam tifoid terus meningkat, dari 11,4% menjadi 18,9% selama tahun 1983-1990. Pada periode tahun 1991-1996 penyakit meningkat dari 22% sampai 36,5%. Kejadian demam tifoid yang dilaporkan oleh Pusat Kesehatan dan Rumah Sakit di Jakarta menyebutkan bahwa penyakit terus meningkat dari 92% menjadi 125% per 100.000 penduduk per tahun selama tahun 1994-1996 (Sujudi 1998). Angka kematian (mortalitas) penyakit menurun dari 3,4% pada tahun 1981 menjadi 0,6% pada tahun 1996. Menurunnya angka kematian dipengaruhi oleh adanya perbaikan fasilitas kesehatan (Arjoso dan Simanjuntak 1998).
Salmonellosis pada Anak Ayam Umur merupakan salah satu faktor penting ketika terpapar Salmonella. Milner dan Shaffer (1990) dalam Bailey et al. (1994) mengamati bahwa dosis dan jumlah hari mempengaruhi dosis kolonisasi pada anak ayam ketika ditantang secara oral dengan 10 serotipe Salmonella. Anak ayam umur sehari dapat terinfeksi Salmonella kurang dari lima sel dan infeksi lanjutan bersifat tidak terpola dan setelah itu dapat mencapai dosis tertinggi (Bailey et al. 1994). Tingkat infeksi dalam saluran pencernaan dibuktikan oleh perlekatan fekal berkorelasi dengan usia unggas dan dosis inokulum. Rute paparan Salmonella juga memegang peranan penting dalam kolonisasi. Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Cox (1992) dalam Corrier et al. (1997) disebutkan suatu hipotesis bahwa rendahnya pH dari saluran pencernaan bagian atas memberikan peranan yang besar pada peningkatan Salmonella pada anak ayam melalui rute oral. Pergerakan dan lokalisasi Salmonella ketika pertama kali pada anak ayam belum dapat dijelaskan secara pasti. Salmmonella mungkin bertranslokasi ke organ lainnya. Salmonella dapat ditemukan pada hati ayam setelah diinokulasi secara oral setelah 22 minggu dan limpa setelah 40 minggu (Corrier et al. 1997). Gejala klinis yang muncul pada unggas adalah lesu, diare dan warna kebiruan pada jengger (Murungkar et al. 2005). S. Enteritidis menyebabkan penyakit klinis pada anak ayam sampai umur enam bulan. Anak ayam yang
terinfeksi menunjukkan gejala depresi, lemah dan diare (Wray et al. 1996). Tingkat kematian sangat tinggi pada anak ayam umur di bawah satu minggu. Ayam dewasa yang terinfeksi menunjukkan pertumbuhan yang lamban serta adanya lesi fokal, perikarditis dan septikemia (Lister 1988). Bakteri ini bertahan hidup untuk waktu yang lama dalam lingkungan (Hopper dan Mawer 1988). S. Enteritidis ditemukan pada unggas dan masuk ke dalam peternakan karena adanya populasi rodensia di peternakan ayam. S. Enteritidis dapat menginfeksi ayam tanpa menimbulkan gejala-gejala penyakit khususnya pada ayam petelur (Cogan dan Humphrey 2003). S. Enteritidis dikenal sebagai patogen yang penting, baik pada unggas maupun manusia. Kasus keracunan makanan pada manusia berkaitan erat dengan meningkatnya jumlah ayam yang tercemar oleh serotipe S. Enteritidis (Thorns et al. 1996). Terdapat tiga macam serotipe yang berkaitan dengan food-borne disease yang terjadi di negara-negara Eropa, Amerika dan Inggris. Wabah salmonellosis tersebut disebabkan oleh S. Enteritidis phage tipe 4, 8 dan 23. Dari beberapa tipe tersebut, tipe phage 4 merupakan serotipe yang paling patogen terhadap ayam (Dhillon et al. 1999). Di Indonesia S. Enteritidis tipe phage 4 awalnya ditemukan dari anak ayam umur sehari (DOC) yang berasal dari peternakan pembibitan parent stock maupun grand parent stock (Poernomo 2000). Salmonella secara cepat dapat menembus dinding dan membran telur tetas. Kondisi selama masa inkubasi dapat yang padanya meningkatkan proliferasi sel bakteri ke dalam usus. Setiap orang, binatang, arthropoda, tumbuh-tumbuhan, tanah atau barang-barang, atau kombinasi dari keduanya, yang padanya Salmonella dapat hidup dengan baik, merupakan sumber utama bagi jalur penularan Salmonella ke dalam telur tetas. Reservoir dapat bertahan dalam kondisi yang optimal dan hanya dapat disingkirkan setelah telur-telur tersebut difumigasi (Cox et al. 1991). Salmonella yang telah berproliferasi ke dalam membran telur akan tertelan oleh embrio dan bertahan di dalam tubuh embrio sampai masa penetasan. Anak ayam yang telah ditetaskan dan terinfeksi Salmonella secara cepat dapat menularkan kuman tersebut kepada anak ayam lainnya dalam suatu kelompok (Cason et al. 1994). Infeksi Salmonella pada anak
ayam yang baru menetas sangat berbahaya karena anak ayam tersebut belum memiliki mikroflora saluran pencernaan yang matang dan Salmonella akan berkolonisasi secara cepat di dalam saluran pencernaan anak ayam tersebut (Blankenship et al. 1993). Ternak ayam yang tidak memperlihatkan gejala klinis dan mati, atau ayam sembuh dari infeksi, dapat menjadi pembawa menahun yang sewaktu-waktu dapat mengeluarkan bakteri S. Enteritidis melalui fesesnya (Gast 1997). Penularan salmonellosis pada hewan tergantung dari beberapa faktor risiko. Faktor-faktor risiko tersebut diantaranya dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini. Tabel 1 Observasi studi veteriner terhadap salmonellosis dengan hipotesis faktor risiko berdasarkan spesies Species
Penyakit
Hipotesa Faktor Resiko
Referensi
Kuda
Infeksi Salmonella spp.
Hird et. al (1984-1986)
Sapi
Salmonellosis
Ras, jenis kelamin, penampilan, keluhan, tindakan darurat, status pra operasi, prosedur pemberian (mis. anestesi, antibiotik) Tata laksana, faktor produksi dan lingkungan. Rekam medis adanya retensi plasenta
Un ggas
Salmonellosis
Daerah geografi, tipe ventilasi, ukuran kawanan ternak, tipe peternakan, tata laksana dan higienitas sumber pakan
Bendixen, et.al (1986a) Vandegraaff (1980) Rowlands et.al. (1986) Graat et.al. (1990)
Sumber : Thrusfield (1995)
Menurut Graat et al. (1990) dalam Thrusfield (1995) terdapat beberapa faktor risiko yang mempengaruhi kejadian salmonellosis pada hewan. Daerah geografis, tipe ventilasi peternakan, ukuran atau jumlah hewan dalam suatu peternakan, tipe peternakan serta tatalaksana dan higienitas sumber pakan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi infeksi Salmonella pada unggas.
Salmonellosis pada Manusia Salmonella mungkin terdapat dalam jumlah yang tinggi pada makanan yang dimakan manusia, walaupun tidak selalu menimbulkan perubahan dalam hal warna, bau maupun rasa dari makanan tersebut. Pada umumnya, semakin tinggi jumlah Salmonella dalam suatu makanan, semakin besar dan cepat timbulnya gejala infeksi pada manusia yang memakan makanan tersebut. Gejala klinis
timbul juga dipengaruhi oleh sifat virulensi dan invasi bakteri, jumlah bakteri yang termakan, daya tahan tubuh inang yang dipengaruhi oleh umur dan kesehatan penderita (Supardi dan Sukamto 1999). Vought dan Tatini (1998) mengemukakan bahwa wabah salmonellosis di Inggris telah terjadi pada orang dewasa akibat memakan es krim yang tercemar S. Enteritidis sebanyak ≥107 colony forming unit (CFU). Pada orang dewasa yang memakan makanan tercemar bakteri tersebut sebanyak 105-106 CFU dilaporkan tidak menunjukkan gejala klinis penyakit. Namun, beberapa penelitian menyatakan bahwa sejumlah kecil S. Enteritidis dalam makanan (≤105 CFU) telah dapat menyebabkan infeksi. Hal ini dapat terjadi karena produk makanan tersebut mengandung banyak lemak dan atau gula yang dapat melindungi Salmonella dari lambung yang bersifat asam sehingga bakteri tersebut dapat mencapai usus halus dan menimbulkan gejala penyakit. Investigasi Centers for Disease Control (CDC) pada tahun 2006 dalam penelitian yang dilakukan selama 5 tahun terakhir melaporkan rata-rata kejadian salmonellosis mencapai 86 kasus per tahun. Isolat yang paling banyak ditemukan dalam kasus tersebut adalah Typhimurium. Kejadian wabah salmonellosis dilaporkan terdapat 171 kasus di 19 negara yang dilaporkan sejak 1 September 2006. Median usia penderita salmonellosis adalah 36 tahun, dan 59% diantaranya adalah wanita. Sebanyak 73 penderita mengalami diare dan 14 (19%) dirawat di rumah sakit. Namun, tidak ada laporan mengenai kematian yang dilaporkan dari kejadian-kejadian sakit tersebut (Anonimus 2006). Salmonellosis menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit kepala, mual, muntah, sakit perut dan diare (Anonimus 2002). Menurut Jawets et al. (2001) gejala salmonellosis dibedakan menjadi demam enterik, bakterimia dengan luka fokal dan enterokolitis. Pada demam enterik memiliki masa inkubasi pada 10-14 hari yang diikuti dengan demam, rasa tidak enak badan, sakit kepala, konstipasi, bradycardia dan myalgia, dan angka kematian dapat mencapai 10-15%. Lesi ditemukan di jaringan organ tubuh seperti hiperplasia dan nekrosis jaringan getah bening, hepatitis, nekrosis dari ginjal, radang limpa, periosteum dan paru-paru. Pada kasus bakterimia yang bersifat lokal yang menyertai infeksi oral, ada invasi awal pada aliran darah dengan luka
fokal pada paru-paru, tulang dan meninges. Kasus enterokolitis merupakan manisfestasi infeksi Salmonella yang banyak terjadi dengan gejala klinis berbentuk mual, sakit kepala, muntah, diare. Deman terjadi dalam 2-3 hari, terdapat luka radang pada usus besar dan usus kecil dan kadang-kadang disertai bakterimia dengan tingkat kejadian 2-4%. Salmonella menyebabkan tiga tipe penyakit utama pada manusia. Namun, tipe yang paling sering adalah tipe campuran, yaitu demam enterik, septikemia dan enterokolitis. S. Typhi menyebabkan demam enterik. Pada tipe enterik, Salmonella mencapai usus kecil kemudian masuk ke getah bening dan ke aliran darah. Oleh sel darah bakteri dibawa ke seluruh organ sasaran, termasuk usus. Salmonella meningkat di dalam jaringan getah bening usus dan dikeluarkan melalui tinja. Sesudah masa inkubasi 10-14 hari, muncul gejala-gejala, seperti demam, rasa tidak enak badan, sakit kepala, konstipasi, bradycardia dan myalgia. Diagnosis dilakukan dengan mengambil contoh dari pembiakan darah dan pembiakan feses. Pada pembiakan darah, positif Salmonella pada waktu 1-2 minggu sakit, sedangkan pada pembiakan feses positif Salmonella setelah dua minggu sakit. S. Cholerasuis menyebabkan tipe septikemia. Gejala klinis yang nampak adalah demam dengan suhu yang meningkat secara tiba-tiba. S. Enteritidis dan S. Typhimurium menyebabkan tipe enterokolitis. Gejala klinis yang menyertai tipe ini adalah demam tingkat rendah dan berlangsung selama 2-5 hari, mual dan muntah pada awal terjadinya diare. Pada pemeriksaan pembiakan feses, ditemukan Salmonella terutama setelah onset penyakit (Jawets et al. 2001).
Tabel 2 dibawah ini menjelaskan diagnosis salmonellosis pada manusia.
Tabel 2 Diagnosis salmonellosis Periode inkubasi Munculnya gejala klinis
Demam enterik 7-20 hari
Septikemia Beragam
Enterokolitis 8-48 jam
Tidak diketahui
Tiba-tiba
Tiba-tiba
Demam
Berangsur-angsur naik dengan stadium typoidal Beberapa minggu
Durasi penyakit Simtom Mula-mula gastrointestina konstipasi, l selanjutnya diare berdarah Pembiakan Positif pada 1-2 darah minggu sakit Pembiakan Positif selama 2 feses minggu, negatif pada awal sakit
Suhu meningkat secara tiba-tiba
Suhu tidak terlalu tinggi
Beragam
2-5 hari
Tidak ada
Mual, muntah, pada onset diare
Positif selama demam tinggi Sering positif
Negattif Positif secara cepat setelah onset
Sumber : Jawets et al. (2001)
Sementara Supardi dan Sukamto (1999) menjelaskan beragamnya gejalagejala infeksi yang timbul setelah tertelannya sel-sel Salmonella. Hal ini tergantung dari daya virulensi, invasi dari serotipe dan galur bakteri tersebut, jumlah sel yang tertelan dan daya tahan tubuh yang dipengaruhi oleh umur dan kesehatan penderita. Kebanyakan Salmonella menyebabkan demam enterik yang disertai dengan diare, tetapi beberapa serotipe seperti S. Typhi, S Paratyphi A, B dan C, serta S. Cholerasuis sering menimbulkan bakteremia. Gejala infeksi, waktu inkubasi dan tanda-tanda yang ditimbulkan oleh masing-masing serotipe Salmonella dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Serotipe Salmonella beserta gejala klinisnya Gejala Gastroenteritis
Serotipe/Galur
S. cholerasuis Enteritidis, Typhimurium, Heidelberg, Derby Java
Waktu inkubasi & Gejala 5-72 jam, umumnya 12-36 jam. Sakit perut, menggigil, demam, muntah, dehidrasi, anoreksia, pusing,, malaise, berlangsung beberapa hari, kadang-kadang terjadi infeksi lokal atau enteritis
Demam typhoid (demam enterik)
Demam paratyphoid (demam enterik)
infantis Montevideo dsb Typhi (antigen 7-28 hari, rata-rata 14 hari Vi) Septikemia, malaise, demam tinggi terus-menerus, batuk, anoreksia, mual, muntah, konstipasi, denyut nadi lambat, limpa membesar, hidung berdarah, bercak merah pada dada, perspirasi meningkat, menggigil, diare, perdarahan pada anus, penyembuhan lambat 1-8 minggu. Paratyphi A 1-15 hari Paratyphi B Infeksi saluran darah, pusing, Paratyphi C demam terus menerus, persirasi Sendai profus, mual, muntah, sakit perut, limpa membesar, diare, kadangkadang bercak merah, lebih ringan dan lebih singkat (1-3 minggu)
Sumber: Supardi dan Sukamto (1999)
Beberapa kebijakan pemerintah terhadap pengamanan pangan asal ternak atau hewan meliputi pengawasan dan pembinaan keamanan terhadap daging, susu dan telur serta unggas. Kewajiban untuk mendapatkan sertifikat bebas Salmonella merupakan salah satu upaya pencegahan penularan infeksi Salmonella. Sertifikat bebas Salmonella merupakan sertifikasi kelayakan dari cara produksi DOC di suatu usaha pembibitan unggas. Pemerintah juga perlu memeriksa pabrik-pabrik makanan ternak, rumah potong unggas atau tempat pemotongan daging, importir/eksportir/penyalur. Peternakan ayam petelur juga harus bebas dari Salmonella sehingga jika akan memasukkan hewan baru sebagai pengganti, hewan tersebut harus benar-benar berasal dari peternakan yang bebas salmonellosis (Dharmojono 2001, Moerad 2003).
Diagnosis Salmonella Diagnosis salmonellosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikrobiologik dengan tahapan-tahapan yaitu pembiakan pra-pengayaan, pembiakan pengayaan, media pembeda, pembiakan medium selektif dan uji biokimia. Identifikasi akhir
dapat dilakukan dengan uji serologik, yaitu dengan uji aglutinasi untuk mengelompokkan Salmonella dengan antigen O: A, B, C, D dan E. (Jawets et al. 2001).
Uji Cepat terhadap Cemaran Salmonella Selain menggunakan metode pembiakan dan serologik, pengujian untuk menduga adanya cemaran Salmonella dalam contoh klinis maupun contoh produk hewan dapat menggunakan uji cepat. Beberapa uji cepat yang ada untuk menduga cemaran Salmonella diantaranya adalah: Salmonella latex test yang menggunakan antigen dan antibodi flagella untuk reaksi aglutinasi (Zancan et al. 2000); enzim substrat 4-methyllumbelliferyl-caprylate (MUCAP) yang didasarkan pada deteksi caprylate esterase; serta medium agar baru yang menggunakan karakteristik novel fenotipe yaitu Rambach Agar (Manafi dan Sommer 1992). Uji cepat lainnya untuk menduga cemaran Salmonella adalah Widal tes yaitu tes aglutinasi pengenceran dalam tabung dan the MicroScreen latex slide agglutination (Jawes et al. 2001). Salmonella latex test adalah suatu uji serologik dengan berdasarkan reaksi aglutinasi untuk mengidentifikasi isolat yang diduga Salmonella spp. Prinsip dari uji ini adalah menghasilkan antisera polyvalent terhadap antigen flagella Salmonella dengan menggunakan hewan kelinci. Antibodi yang telah dipurifikasi digunakan untuk memberikan efek peka terhadap partikel latex. Satu loopful materi diambil, dicampurkan dengan satu tetes reagen latex test. Jika terjadi aglutinasi, berarti Salmonella ada pada material tersebut (Anonimus 2007).
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan dari bulan September-Oktober 2008. Tempat penelitian dilakukan di Bagian Mikrobiologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, tabung reaksi, pipet ukuran 1 ml, 2 ml, 5 ml, 10 ml; botol media, gunting, pinset, jarum inokulasi (ose), stomacher, pembakar Bunsen, pH meter, timbangan, magnetic stirrer, pengocok tabung (vortex), inkubator, penangas air, autoklaf, lemari sucihama (clean bench), lemari pendingin (refrigerator), freezer. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lactose broth (LB, Oxoid, England); selenite cystine broth (SCB, Oxoid, England); tetrathionate broth (TTB, Oxoid, England); rappaport vassiliadis (RV, Oxoid, England); xylose lysine deoxycholate agar (XLDA, Oxoid, England); hektoen enteric agar (HEA, Oxoid, England); bismuth sulfite agar (BSA, Oxoid, England), triple sugar iron agar (TSIA, Oxoid, England); lysine iron agar (LIA, Oxoid, England); brain heart infusion broth (BHIB, Oxoid, England); lysine decarboxylase broth (LDB, Oxoid, England); kalium cyanida broth (KCNB, Oxoid, England); methyl redvoges-proskauer (MR-VP,Oxoid, England); tryticase soy tryptose broth (TSTB, Oxoid, England); sulphide indol motility (SIM, Oxoid, England); reagen kovac (Oxoid, England); urea broth (Oxoid, England); malonate broth (Oxoid, England); phenol red (Oxoid, England ); phenol red sucrose broth (Oxoid, England); dulcitol broth (Oxoid, England); phenol red lactose broth (Oxoid, England); simmon’s citrate agar (SCA, Oxoid, England); kristal keratin; larutan bromcresol purple dye 0,2%; larutan physiological saline 0,85%; PBS pH 7,4, larutan formalinized physiological saline; Salmonella polyvalent somatic (O) antiserum A-S (Oxoid, England); Salmonella polyvalent flagellar (H) antiserum fase 1 dan 2 (Oxoid, England); Salmonella somatic grup (O) monovalent antisera : Vi (Oxoid, England, Isolat murni S. Enteritidis dari Institut Pertanian Bogor .
Metode Pengujian Ada dua macam metode pengujian yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu uji kualitatif sesuai dengan Metode SNI yang diacu dari Isolation and Enumeration dalam Bacteriological Analytical Manual, Food and Drug Administration. AOAC International (BAM 2001); dan yang kedua adalah Salmonella latex test.
Pengujian Salmonella spp. dengan Metode SNI Metode pengujian yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji kualitatif diambil dari Metode Standar Nasional Indonesia yang mengacu pada Bacteriological Analytical Manual, Food and Drug Administration, AOAC International (BAM 2001). Setiap proses pengujian selalu disertai dengan kontrol positif dan negatif.
Pra-pengayaan Kotak pengangkutan DOC dengan luas 10 x 10 cm2 di-swab menggunakan swab sucihama yang sebelumnya telah dibasahi dengan PBS pH 7,4. Swab-swab tersebut dipindahkan ke dalam Erlenmeyer atau wadah sucihama yang berisi lactose broth. Kemudian diinkubasikan pada suhu 35 0C selama 24 jam ± 2 jam.
Pengayaan Biakan pra-pengayaan diaduk secara perlahan kemudian diambil, dipindahkan masing-masing 1 ml ke dalam 10 ml media TTB, dan 0,1 ml ke dalam 10 ml media RV. Untuk contoh dengan dugaan cemaran Salmonella spp. tinggi (high microbial load), maka media RV diinkubasikan pada suhu 42 0C ± 0,2 0C selama 24 jam ± 2 jam, sedangkan untuk media TTB diinkubasi pada suhu 43 0C ± 0,2 0C selama 24 jam ± 2 jam. Untuk contoh dengan dugaan cemaran Salmonella spp. rendah (low microbial load), maka media RV diinkubasikan pada suhu 42 0C ± 0,2 0C selama 24 jam ± 2 jam, sedangkan untuk media TTB diinkubasi pada suhu 35 0C ± 2 0C selama 24 jam ± 2 jam.
Isolasi dan Identifikasi
Sebanyak dua atau lebih biakan bakteri diambil dengan jarum öse dari masingmasing media pengayaan yang telah diinkubasikan, dan diinokulasikan pada media HE, XLD dan BSA. Selanjutnya media-media tersebut diinkubasi pada suhu 35 0C selama 24 jam ± 2 jam. Bila masa inkubasi telah tercapai dan koloni yang tumbuh di Media BSA belum jelas, maka inkubasi dilanjutkan lagi selama 24 jam ± 2 jam. Pengamatan dilakukan terhadap koloni Salmonella pada media HE, yakni koloni yang terlihat berwarna hijau kebiruan dengan atau tanpa titik hitam (H2S). Pada media XLD pengamatan diarahkan kepada koloni yang terlihat merah muda dengan atau tanpa titik mengkilat atau terlihat hampir seluruh koloni hitam. Pada media BSA pengamatan diarahkan kepada koloni yang terlihat keabu-abuan atau kehitaman, kadang metalik, media di sekitar koloni berwarna coklat dan semakin lama waktu inkubasi akan berubah menjadi hitam. Tahap selanjutnya adalah mengambil koloni yang diduga Salmonella dari ketiga media tersebut dan diinokulasikan ke media TSIA dan LIA. Inokulasi dilakukan dengan cara menusukkan jarum inokulasi ke dasar media agar dan selanjutnya digores pada bagian miring agar. Kedua media diinkubasi pada suhu 35 0C selama 24 jam ± 2 jam. Setelah masa inkubasi tercapai, dilakukan pengamatan terhadap koloni yang mengarah kepada koloni Salmonella dengan menggunakan hasil reaksi seperti yang tercantum pada Tabel 4.
Tabel 4 Media TSIA
LIA
Hasil uji Samonella spp. pada TSIA dan LIA
Bagian Miring Agar (Slant) Alkalin / K (merah)
Bagian Dasar Agar (Buttom) Asam / A (kuning)
H2S
Gas
Positif (hitam)
Negatif/ positif
Alkalin / K (ungu)
Alkalin / K (ungu)
Positif (hitam)
Negatif/ positif
Uji Biokimiawi Uji Urease Koloni yang positif Salmonella dari TSIA diinokulasikan dengan öse ke urea broth. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 35 0C selama 24 jam ± 2 jam. Hasil uji positif ditandai dengan perubahan warna kuning menjadi
merah. Hasil uji negatif ditandai dengan tidak adanya perubahan warna. Hasil uji khas Salmonella adalah negatif uji urease.
-
Uji Indole Koloni dari media TSIA yang menunjukkan reaksi positif Salmonella, diinokulasikan pada SIM dan diinkubasi pada suhu 35 0C selama 24 ± 2 jam. Sebanyak 0,2-0,3 ml Reagen Kovacs ditambahkan ke atas permukaan media setelah masa inkubasi tercapai. Hasil uji positif ditandai dengan adanya cincin merah di permukaan media. Hasil uji negatif ditandai dengan terbentuknya cincin kuning. Hasil uji khas Salmonella adalah negatif uji Indole.
-
Uji Voges-Proskauer (VP) Biakan dari media TSIA yang menunjukkan reaksi positif Salmonella, diambil dengan öse lalu diinokulasi ke tabung yang berisi 10 ml media MRVP dan diinkubasi pada suhu 35 0C selama 48 ± 2 jam. Sebanyak lima mililiter MR-VP dipindahkan ke tabung reaksi dan larutan α-naphthol sebanyak 0,6 ml dan 0,2 ml KOH 40% ditambahkan ke dalamnya setelah masa inkubasi tercapai. Tabung digoyang sampai tercampur merata dan didiamkan. Untuk mempercepat reaksi ditambahkan kristal kreatin. Hasil dibaca setelah empat jam. Hasil uji positif apabila warna larutan berubah menjadi berwarna
merah jambu
sampai merah delima.
Umumnya
Salmonella memberikan hasil negatif untuk uji VP (tidak terjadi perubahan warna pada media).
-
Uji Merah Metil (Methyl Red, MR) Sebanyak 5 ml media MR-VP, yaitu setengah bagian dari pengujian VP digunakan untuk uji MR. Sebanyak 5-6 tetes indikator merah metil ditambahkan ke dalam larutan setelah masa inkubasi tercapai. Hasil uji positif ditandai dengan adanya difusi warna merah kedalam media. Hasil uji
negatif ditandai dengan terjadinya warna kuning pada media. Umumnya Salmonella memberikan hasil positif untuk uji MR. -
Uji Sitrat Koloni dari TSIA yang menunjukkan reaksi positif Salmonella, diinokulasikan ke dalam SCA dengan öse. Kemudian diinkubasi pada suhu 35 0C selama 96 jam ± 2 jam. Hasil uji positif ditandai adanya pertumbuhan koloni yang diikuti perubahan warna dari hijau menjadi biru. Hasil uji negatif ditandai dengan tidak adanya pertumbuhan koloni atau tumbuh sangat sedikit dan tidak terjadi perubahan warna. Umumnya Salmonella memberikan hasil positif pada uji sitrat.
-
Uji Lysine Decarboxylase Broth (LDB) Sebanyak satu öse koloni dari TSIA yang menunjukkan reaksi positif Salmonella, diambil dan diinokulasikan k edalam LDB. Kemudian diinkubasi pada suhu 35 0C selama 48 ± 2 jam dan diamati setiap 24 jam. Salmonella memberikan reaksi positif yang ditandai dengan terbentuknya warna ungu pada seluruh media dan hasil reaksi negatif memberikan warna kuning. Jika hasil reaksi meragukan (bukan ungu atau bukan kuning), maka ke dalam media ditambahkan beberapa tetes 0,2 % bromcresol purple dye dan diamati perubahan warnanya.
-
Uji Potasium Sianida (KCN) Sebanyak satu öse biakan dari TSIA yang menunjukkan reaksi positif Salmonella, diinokulasikan ke media TB dan diinkubasi pada suhu 35 0C selama 24 ± 2 jam. Sebanyak satu öse koloni dari TB diambil dan diinokulasikan ke dalam KCNB. Inkubasi pada suhu 35 0C selama 48 ± 2 jam. Hasil uji positif ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan koloni yang ditandai dengan terjadinya kekeruhan. Hasil uji negatif ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan pada media. Umumnya Salmonella memberikan hasil negatif untuk uji KCN.
-
Uji Gula-Gula
a) Phenol Red Dulcitol Broth atau Purple Broth Base dengan 0,5% Dulcitol Koloni dari TSIA yang menunjukkan reaksi positif Salmonella, diambil dan inokulasikan pada médium dulcitol broth. Kemudian diinkubasi pada suhu 35 0C dan diamati setiap 24 jam selama 48 jam ± 2 jam. Reaksi positif oleh Salmonella ditandai dengan pembentukan gas dalam tabung Durham dan warna kuning (pH asam) pada media. Reaksi negatif oleh Salmonella ditandai dengan tidak terbentuknya gas pada tabung Durham dan pada media terbentuk warna merah (pH basa) untuk indikator phenol red atau ungu untuk indikator bromcresol purple.
b) Uji Malonate Broth Sebanyak satu öse dari TB dipindahkan ke dalam malonate broth. Kemudian diinkubasi pada suhu 35 0C dan diamati setiap 24 jam selama 48 jam ± 2 jam. Hasil uji positif ditunjukkan dengan adanya perubahan warna menjadi biru. Reaksi negatif Salmonella yang ditandai dengan adanya warna hijau atau tidak ada perubahan warna.
c) Uji Phenol Red Lactose Broth Koloni dari TSIA yang menunjukkan reaksi positif Salmonella, diinokulasikan ke dalam phenol red lactose broth. Kemudian diinkubasi pada suhu 35 0C dan diamati setiap 24 jam selama 48 jam ± 2 jam. Hasil reaksi positif ditandai dengan dihasilkannya asam (warna kuning) dengan atau tanpa gas. Hasil reaksi negatif Salmonella ditandai dengan tidak ada perubahan warna dan pembentukan gas.
d) Uji Phenol Red Sucrose Broth Koloni dari TSIA yang menunjukkan reaksi positif Salmonella, diinokulasikan ke dalam phenol red sucrose broth. Kemudian diinkubasi pada suhu 35 0C selama 48 jam ± 2 jam dan diamati setiap 24 jam. Hasil uji positif ditandai dengan adanya asam yang disertai perubahan warna (kuning) dan dengan atau tanpa pembentukan gas. Hasil uji negatif
Salmonella ditandai dengan tidak ada perubahan warna dan pembentukan gas.
Uji Serologik -
Uji Polyvalent Somatik (O) Sebanyak satu öse koloni dari TSIA atau LIA yang menunjukkan reaksi positif Salmonella, diletakkan pada gelas obyek dan ditetesi satu tetes larutan garam fisiologis (NaCl 0,85%) sucihama dan diratakan dengan biakan Salmonella spp.. Sebanyak satu tetes antiserum Salmonella polyvalent somatic (O) diberikan di samping suspensi koloni. Suspensi koloni dicampur ke antiserum sampai tercampur sempurna. Gelas objek dimiringkan ke kiri dan ke kanan dengan latar belakang gelap sambil diamati adanya reaksi aglutinasi. Kontrol negatif dibuat dengan mencampur hanya larutan garam fisiologis dan antiserum.
-
Uji Polyvalent Flagelar (H) Koloni dari TSIA yang memberikan hasil uji urease negatif diinokulasikan ke dalam BHIB dan diinkubasi pada suhu 35 0C selama 4-6 jam atau ke dalam TSTB dan inkubasi pada suhu 35 0C selama 24 ± 2 jam. Sebanyak 2,5 ml larutan garam fisiologis berformalin (formalinized physiological saline) ditambahkan ke dalam lima mililiter dari salah satu biakan di atas. Sebanyak 0,5 ml larutan antisera Salmonella Polyvalent flagellar (H) diambil dengan menggunakan pipet dan dimasukkan ke dalam tabung serologik ukuran 10 x 75 mm. Kemudian ditambahkan 0,5 ml antigen yang akan di uji. Larutan garam fisiologis kontrol disiapkan dengan mencampurkan 0,5 ml larutan garam fisiologis berformalin dengan 0,5 ml antigen berformalin (formalinized antigen). Kemudian diinkubasi kedua campuran tersebut dalam penangas air pada suhu 48-50 0C. Pengamatan dilakukan terhadap ada-tidaknya penggumpalan setiap 15 menit selama satu jam. Hasil uji yang positif ditandai dengan adanya penggumpalan, sedangkan pada kontrol tidak terjadi penggumpalan.
Interpretasi Hasil Salmonella spp. Interpretasi hasil uji biokimiawi Salmonella spp. terpapar pada Tabel 5.
Tabel 5 Reaksi biokimiawi Salmonella Hasil reaksi No
Uji substrat Positif
Negatif
1
Glucose (TSI)
Bagian dasar agar kuning
2
Lysine decarboxylase (LIA) H 2S (TSI dan LIA)
Bagian dasar agar ungu
Lysine decarboxylase broth Phenol red dulcitol broth
Warna ungu
Warna kuning
Warna kuning dan atau dengan gas
Tanpa berubah warna dan tanpa terbentuk gas Tidak ada pertumbuhan Tidak berubah warna Tidak berubah warna Permukaan warna kuning Tidak aglutinasi Tidak aglutinasi Tidak terbentuk gas dan tidak berubah warna Tidak terbentuk gas dan tidak berubah warna Tidak berubah warna Warna kuning menyebar Tidak ada pertumbuhan dan tidak ada perubahan
3 4 5
Hitam
KCN broth
Ada pertumbuhan
7 8 9
Malonat broth Uji Urease Uji Indole
Warna biru Warna merah Permukaan warna merah
10 11 12
Uji polyvalent flagelar Uji polyvalent somatik Phenol red lactose broth
Aglutinasi Aglutinasi Warna kuning dengan/tanpa gas
Phenol red sucrose broth
+ + +
6
13
Bagian dasar agar merah Bagian dasar agar kuning Tidak hitam
Salmonella
Warna kuning dengan/tanpa gas
14 15
Uji voges-proskauer Uji methyl red
pink sampai merah Merah menyebar
16
Simmon’s sitrat
Pertumbuhan warna biru
+ +a) -b + + + -b)
+ -
Keterangan : a ) Mayoritas dari pembiakan S.arizonae adalah negatif b) Mayoritas dari pembiakan S.arizonae adalah positif
Sumber : BAM (2001)
Pengujian Salmonella spp. dengan Salmonella Latex Test Contoh dibiakkan melalui teknik pra-pengayaan dan pengayaan sebelum diuji menggunakan Salmonella latex test kit. Reagen latex dibawa ke suhu ruangan yaitu berkisar ± 27 0C. Sebanyak satu tetes larutan NaCl fisiologis 0,85% yang terdapat pada kit, dimasukkan ke dalam satu lingkaran tes dalam kartu reaksi. Hal yang sama juga dilakukan untuk kontrol positif dan negatif. Isolat
Salmonella spp. dari media Blood Agar diambil dan dilarutkan dalam larutan NaCl fisiologis 0,85% di kartu reaksi. Kemudian reagen latex diteteskan disamping suspensi tersebut. Kedua larutan dicampurkan dan kartu uji digoyanggoyang dengan gerakan melingkar selama dua menit. Dilakukan pengamatan adatidaknya reaksi aglutinasi Reaksi dinyatakan positif jika terjadi aglutinasi dalam waktu dua menit dan tidak terjadi aglutinasi dalam waktu dua menit pada kontrol latex (Anonimus 2007).
Rancangan Penelitian Contoh yang diperiksa adalah kotak pengangkutan DOC yang dilalulintaskan melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Pengambilan contoh dilakukan dengan metode acak berkelompok (cluster random sampling). Jumlah contoh diambil secara proporsional sebanyak 50 kotak yang berasal dari lima perusahaan pembibitan yang berbeda dan 50 kotak yang dicemari S. Enteritidis sebagai kontrol positif. Dari kelima perusahaan pembibitan tersebut diambil masing-masing 10 contoh. Contoh diambil dari dinding bagian dalam dan bagian bawah kotak pengangkutan DOC pada luasan 10 x 10 cm2 menggunaan gauze swab yang telah dibasahi phosphat buffer saline (PBS) pH 7,4. Kapas tersebut kemudian dimasukkan ke sebuah tabung Erlenmeyer berisi 100 ml lactose broth dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 42 0C (Wray dan Davies 1994). Terhadap kotak-kotak yang menunjukkan hasil positif adanya cemaran Salmonella spp., selanjutnya dilakukan pemeriksaan identifikasi Salmonella spp. dan keragaman spesies Salmonella yang ada.
Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisis secara deskriptif, yaitu mengumpulkan, menyederhanakan dan menyajikan data sehingga bisa memberikan informasi dalam bentuk tabel dan gambar (Montgomery 2001) dan dilakukan analisis statistik kappa untuk kesesuaian dua pengujian (Thrusfield 2005).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian Salmonella spp. dengan Metode SNI Lima puluh contoh kotak pengangkutan DOC yang diuji dengan metode SNI menunjukkan hasil: empat contoh positif S. Enteritidis (8%). Hasil uji dapat dilihat pada Tabel 6, Gambar 2 dan Gambar 3.
Tahapan pengujian Salmonella menggunakan metode SNI diawali dengan proses pra-pengayaan, pengayaan, dilanjutkan isolasi pada media selektif pembeda, yaitu HEA, XLD dan BSA. Koloni yang diduga Salmonella pada media HEA akan berwarna hijau kebiruan dengan atau tanpa titik hitam karena terbentuknya H2S. Koloni terlihat merah muda pada media XLD dengan atau tanpa titik mengkilat atau terlihat hampir seluruh koloni hitam Koloni terlihat keabu-abuan atau kehitaman pada media BSA. Kadangkala koloni berwarna metalik dengan media di sekitar koloni berwarna coklat dan berubah hitam dengan bertambahnya waktu inkubasi (Merck 2004). Koloni Salmonella spp. pada media HEA dapat dilihat pada Gambar 2. Keenam contoh yang diduga positif Salmonella dilanjutkan ke uji-uji biokimiawi. Hasil identifikasi dari uji-uji biokimia mengarah kepada S. Enteritidis (Cowan 1981). Menurut Quinn et al. (2002) Salmonella bersifat non motil pada suhu 30 0C, tidak memfermentasi laktosa, tidak menghasilkan indole (tidak terbentuk cincin warna merah pada uji indole), menggunakan glukosa untuk memproduksi asam (uji methyl red positif, ditandai dengan warna merah menyebar), tidak memetabolisme glukosa untuk menghasilkan asetoin dan 2,3-butanadiol (uji voges-proskauer negatif, ditandai dengan tidak adanya perubahan warna), menggunakan sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon (ditandai dengan adanya pertumbuhan koloni Salmonella dan media berwarna biru pada uji sitrat), menghasilkan H2S, menghasilkan lysine decarboxylase (ditandai dengan perubahan warna ungu pada uji lysine decarboxylase) dan tidak memetabolisme urea (tidak adanya perubahan warna atau warna tetap kuning pada uji urease). Terhadap enam contoh yang diduga Salmonella spp., dilanjutkan pengujian serologik di Balai Besar Penelitian Veteriner untuk mengetahui spesies Salmonella. Hasil yang didapatkan dari enam contoh tersebut, hanya empat contoh yang positif S. Enteritidis. Sedangkan dua contoh yang diuji menunjukkan hasil bukan Salmonella spp.
Tabel 6 No
Perusahaan
HEA
Gambaran koloni dari media HEA dan uji biokimiawi contoh yang diduga positif Salmonella TSIA
LIA
Dul
Lac
Suc
MR
VP
Indol
Citrat
Urea
Motilitas
1
A5
2
A9
3
B2
4
B5
5
B7
6
B8
Kontrol positif Kontrol negatif
Hijau kebiruan, rata Hijau kebiruan, rata Hijau kebiruan, rata Hijau kebiruan, rata Hijau kebiruan, rata Hijau kebiruan, rata Hijau kebiruan, rata -
-
b/a, +,+
b/b, +,+
+/+
-/-
-/-
positif
negatif
negatif
positif
negatif
non motil
b/a, +,+
b/b, +,+
+/+
-/-
-/-
positif
negatif
negatif
positif
negatif
motil
b/a, +,+
b/b, +,+
+/+
-/-
-/-
positif
negatif
negatif
positif
negatif
motil
b/a, +,+
b/b, +,+
+/+
-/-
-/-
positif
negatif
negatif
positif
negatif
motil
b/a, +,+
b/b, +,+
+/+
-/-
-/-
positif
negatif
negatif
positif
negatif
motil
b/a, +,+
b/b, +,+
+/+
-/-
-/-
positif
negatif
negatif
positif
negatif
non motil
b/a, +,+
b/b, +,+
+/+
-/-
-/-
positif
negatif
negatif
positif
negatif
motil
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Gambar 2 Koloni Salmonella pada media HEA dari 6 contoh yang diduga positif
Media TSIA Media LIA Gambar 3 Hasil uji khas Salmonella pada media TSIA dan LIA Hasil Pengujian Salmonella spp. dengan Metode Salmonella Latex Test Pengujian 50 contoh kotak pengangkutan DOC terhadap adanya cemaran Salmonella spp. menggunakan metode Salmonella latex test menunjukkan hasil hanya lima contoh sampel positif Salmonella spp. (10%). Contoh yang bereaksi positif dengan Salmonella latex test ditandai dengan adanya reaksi aglutinasi pada kartu reaksi seperti pada Gambar 4.
terjadi aglutinasi
tidak terjadi aglutinasi
Gambar 4 Gambaran aglutinasi pada contoh positif Salmonella spp. dengan metode Salmonella latex test Proses aglutinasi pada Salmonella latex test disebabkan oleh reaksi antibodi terhadap antigen flagella Salmonella. Salmonella latex test merupakan salah satu uji cepat Salmonella yang lebih menyingkat waktu dibandingkan dengan metode baku pengujian Salmonella. Menurut Anonimus (2007) metode ini dapat mendeteksi spesies Salmonella diantaranya S. Typhimurium, S. Enteritidis, S. Virchow, S. Newport, S. Infantis, S. Anatum, dan berbagai subspesies Salmonella lainnya yang masuk dalam serotipe B, C1, C2, C3, D1 and E1. Evaluasi Pengujian Cemaran Salmonella spp. dengan Metode SNI dan Salmonella Latex Test Perbedaan hasil uji Metode SNI dan Salmonella Latex Test terpapar pada Tabel 7 di bawah ini.
Tabel 7 Hasil uji Salmonella dengan metode SNI dan Salmonella latex test Kotak Kontrol Kontrol DOC (%) Positif (%) Negatif (%) SNI 4/50 (8) 50/50 (100) 50/50 (100) Salmonella latex test 5/50 (10) 50/50 (100) 50/50 (100) Untuk membandingkan antara metode SNI dan Salmonella latex test Metode
diketahui dengan cara menghitung kepekaan dan kekhususan. Pengulangan dan kepekaan dan kekhususan peubah mempengaruhi ketepatan suatu pengujian diagnostik (Budiharta dan Suardana 2007). Analisis statistik kappa digunakan menghitung kepekaan dan kekhususan kedua metode pengujian berdasarkan data yang dihimpun dalam Tabel 8 di bawah ini.
Tabel 8 Proporsi populasi yang diklasifikasi-silangkan berdasarkan hasil uji dengan metode yang berbeda Metode Salmonella latex test Jumlah
Positif Negatif
Metode SNI Positif Negatif 4 1 0 45 4 46
Jumlah 5 45 50
Kepekaan dan kekhususan Salmonella latex test mencapai 100% dan 97,8% dengan tingkat kepercayaan 95%. Kepekaan adalah proporsi kotak pengangkutan DOC yang tercemar Salmonella spp. yang memberikan hasil uji positif, sedangkan kekhususan adalah proporsi kotak pengangkutan DOC yang tidak tercemar Salmonella spp. yang memberikan hasil uji negatif. Dengan menggunakan data Tabel 8 Salmonella latex test memberikan nilai pendugaan (prediktif) positif sebesar 80% dan nilai prediktif negatif sebesar 100%. Nilai prediktif positif adalah proporsi kotak pengangkutan DOC yang yang tercemar Salmonella spp. diantara contoh yang bereaksi positif dengan metode Salmonella latex test, sedangkan nilai prediktif negatif adalah proporsi kotak pengangkutan DOC yang tidak tercemar Salmonella spp. diantara contoh yang memberikan reaksi negatif dengan menggunakan metode Salmonella latex test. Nilai prediksi pengujian telah digunakan sebagai cara untuk memilih pengujian yang dilakukan, namun nilai prediksi tidak hanya dipengaruhi oleh kepekaan dan kekhususannya, tetapi dipengaruhi juga oleh prevalensi yang sebenarnya. Prevalensi sebenarnya biasanya sulit diketahui, maka tidak dapat secara langsung dianggap bahwa suatu pengujian yang memiliki nilai prediksi tertinggi selalu paling peka dan khas. Untuk menentukan kesesuaian antara pengujian baku dan pengujian baru dilakukan analisis statitstik kappa (Thrusfield 2005). Metode SNI memberikan prevalensi yang nampak sebesar 0,08, sedangkan dengan Salmonella latex test memberikan prevalensi sebesar 0,1 dan kedua metode tersebut sama-sama memberikan reaksi positif terhadap 8% dari keseluruhan contoh yang diperiksa. Data ini tidak memberikan petunjuk bahwa reaksi positif berarti status hewan di lapangan terinfeksi oleh Salmonella spp. dan reaksi negatif berarti status hewan di lapangan tidak terinfeksi Salmonella spp., tetapi hanya memberikan indikasi
pengujian yang memberikan proporsi positif yang lebih besar daripada yang lain dan arahan untuk menghitung kesesuaian diantara kedua metode yang digunakan. Dari Tabel 8 diperoleh nilai kappa sebesar 0,878. Berdasarkan Budiharta dan Suardana (2007) nilai kappa ≥0,7-1,0 dinilai bagus sekali, 0,5≤kappa<0,7 dinilai bagus, 0,4≤kappa<0,5 dinilai cukup dan <0,4 dinilai jelek. Dari hasil analisis pengujian dengan metode SNI dan Salmonella latex test diperoleh kesesuaian bagus sekali. Maka metode Salmonella latex test dapat digunakan sebagai uji tapis untuk mengetahui adanya cemaran Salmonella spp. baik dari contoh klinis maupun dari contoh produk-produk pertanian. Ada beberapa keuntungan dan kerugian terhadap penggunaan metode Salmonella latex test. Keuntungan yang diperoleh dengan metode tersebut adalah: dapat menyingkat waktu kurang lebih 24 jam dibandingkan dengan metode SNI yang memakan waktu lebih lama untuk mengetahui adanya cemaran Salmonella dalam kotak pengangkutan DOC. Studi yang dilakukan oleh Metzler dan Nachamkin (1988) menjelaskan bahwa penggunaan metode Salmonella latex test dapat menyingkat waktu kurang lebih 21 jam per 100 contoh karena tidak dilakukan uji biokimiawi untuk menduga adanya cemaran Salmonella. Keuntungan lain dari penggunaan metode Salmonella latex test yaitu adanya pengurangan media yang digunakan dalam uji biokimiawi, menyingkat prosedur yang digunakan untuk membiakkan bakteri dari feses, membaca dan menginterpretasikan hasil biakan pada lempengan agar dan uji tapis terhadap cemaran Salmonella spp. (Hinrichs et al. 1985). Salmonella latex test terbukti cukup efisien dilihat dari segi pembiayaan. Untuk memeriksa 50 contoh yang diuji menggunakan Salmonella latex test membutuhkan biaya kurang lebih Rp 1.750.000,-. Dengan metode SNI menghabiskan biaya sekitar Rp 3.750.000,Jadi dengan menggunakan metode Salmonella latex test dapat menghemat biaya sekitar Rp 2.000.000,- per 50 contoh. Dalam penelitiannya dengan menggunakan Salmonella latex test terhadap 100 contoh yang diuji, Metzler dan Nachamkin (1988) menyatakan dapat dilakukan penghemat biaya sekitar USD 251.2. Dengan demikian, pengguna jasa laboratorium, dalam hal ini adalah pemilik produk, tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar untuk memeriksakan produk yang dikirim olehnya.
Selain beberapa keuntungan tersebut penggunaan metode Salmonella latex test efektif digunakan untuk uji dugaan adanya cemaran Salmonella pada produkproduk peternakan, khususnya pangan asal hewan. Juga, dengan teknik ini dapat dibedakan antara Salmonella dengan spesies lainnya. Dari beberapa pertimbangan tersebut, terlihat bahwa metode ini dapat dipergunakan untuk uji penapisan pada instansi-instansi yang membutuhkan hasil uji yang cepat, tepat dan akurat, seperti halnya karantina. Kerugian menggunakan Salmonella latex test adalah tidak semua spesies Salmonella dapat terlacak dengan uji tersebut. Hal ini dikarenakan antigen yang digunakan adalah antigen flagella yang khusus terdapat pada spesies Salmonella yang motil, seperti S. Enteritidis, S. Pomona, S. Hadar, S. Heidelberg, S. Infantis, S. Agona, S. Typhimurium, S. Newport, S. Java dan S. Virchow (Anonimus 2007).
Pencemaran S. Enteritidis pada Kotak Pengangkutan DOC Dengan adanya cemaran S. Enteritidis pada kotak pengangkutan DOC menjadikan kotak pengangkutan sebagai sumber penularan bagi orang-orang yang bersentuhan langsung dengan kotak pengangkutan DOC tersebut, misalnya pekerja kandang, penjual DOC dan anak-anak yang membeli DOC yang diperjualbelikan secara bebas. Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penularan salmonellosis yang berasal dari kotak pengangkutan DOC adalah dengan cara membakar kotak tersebut setelah DOC dibongkar di tempat tujuan dan mengkampanyekan anjuran cuci tangan setelah menangani atau memegang hewan piara terutama DOC. CDC melaporkan adanya tiga kejadian wabah salmonellosis pada anak-anak di Amerika Serikat yang terinfeksi dari anak ayam yang dibeli di toko peternakan selama tahun 2006 (Bidol et al. 2007). Wabah tersebut menjelaskan bahwa salmonellosis yang berkaitan dengan anak ayam dan anak unggas memerlukan penanganan yang serius, khususnya penanggulangan sumber penularan dari perusahaan pembibitan ayam. Kejadian tersebut terjadi dimungkinkan karena higienitas yang tidak terjaga setelah kontak langsung dengan anak ayam yang
diperjualbelikan secara bebas dan menjadi hewan piara atau mainan bagi konsumen khususnya anak-anak. Pencegahan terhadap pentingnya menjaga higienitas diri dilakukan pada semua kelompok umur baik anak-anak maupun orang dewasa terutama bagi mereka yang rentan terpapar oleh cemaran Salmonella spp.. Bagi petugas karantina tindakan pencegahan seperti tersebut di atas harus dilakukan dan menjadi standar operasional prosedur dalam menangani hewan maupun produk hewan khususnya kotak pengangkutan DOC sebagai salah satu upaya untuk memutus mata rantai penularan salmonellosis dan demi terwujudnya tugas pokok dan fungsi karantina yaitu mencegah masuk dan tersebarnya hama dan penyakit hewan karantina baik dari luar negeri maupun antar pulau atau antar area di dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Pemeriksaan terhadap 50 contoh kotak pengangkutan DOC dengan metode SNI diperoleh hasil adanya pencemaran S. Enteritidis pada empat contoh kotak (8%) dan dengan Salmonella latex test diperoleh hasil lima contoh kotak positif Salmonella spp. (10%).
Salmonella latex test dapat digunakan sebagai alternatif uji tapis dalam melacak cemaran Salmonella karena merupakan salah satu uji cepat yang efektif dan efisien. Pembuktian dilakukan dengan analisis statistik yaitu dengan tingkat kepercayaan 95% memiliki nilai kepekaan 100% dan kekhususan 97,8%. Analisis statistik kappa menunjukkan nilai 0,878 yang berarti kesesuaian pengujian antara metode SNI dan Salmonella latex test dalam memantau pencemaran Salmonella spp. bagus sekali serta metode ini lebih menyingkat waktu dan murah dibandingkan metode SNI.
Saran Untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap infeksi salmonelosis, perlu dikembangkan pemakaian metode yang lebih peka dalam melacak keberadaan kuman Salmonella pada produk-produk peternakan. Juga, perlu dilakukan adanya validasi alat uji tapis sebelum diperkenalkan sebagai uji lapang. Perlu dilakukan pengujian menggunakan rapid test lainnya yang mengandung antibodi terhadap antigen selain flagella dari Salmonella.
DAFTAR PUSTAKA Ahmed AM, Nakano H, Shimamoto T. 2005. Molecular characterization of integrons in non-typhoid Salmonella serovars isolated in Japan: description on an usual class 2 integron. J Antimicrob Chemo 55: 371-374. [Anonimus]. 2002. Food Safety and Foodborne Illnes. Washington DC: World Health Organization. [Anonimus]. 2004. Salmonellosis, Manual Diagnosis Test and Vaccines for Terrestrial Animal. Chapter 2.10.3. Office International des Epizooties. Paris.
[Anonimus]. 2005. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI. [terhubung berkala] http://www.pppl.depkes.go.id /catalogcdc [17 September 2007]. [Anonimus]. 2006. CDC Salmonellosis outbreak investigation update. [terhubung berkala] http://www.cdc.gov/ncidod/dbmd/diseaseinfo/salmonellosis2006/ outbreak_notice.htm [17 September 2007]. [Anonimus]. 2007. Rapid food test. Oxoid Salmonella Latex Test. [terhubung berkala] http://www.oxoid.com/UK/blue/catbrowse/catbrowse.asp?c= UK&lang=EN [23 November 2007]. Arjoso S, Simanjuntak CH. 1998. Typhoid and salmonellosis in Indonesia. Med J Indones 70: 20-23. [BAM]. Bacteriological Analytical Manual. Division of Microbiology. 2001.U.S. Food and Drug Administration AOAC International. USA. Bailey JA, Cox N, Berrang ME. 1994. Hatchery-acquired Salmonellae in broiler chicks. Poult Sci 73: 1153-1157. Bidol S, Leschinsky D, Ettestad P, Smelser C, Sena-Johnson, Jung J, Tafoya N, Torres P, Taylor F, Keene W, Plantenga M, Progulske B, TenEyck R, Rada R, Effinger L, Lockett J, Patel N, Angulo F, Bair-Brake H, Gaffga N. 2007. Three outbreaks of salmonellosis associated with baby poultry from three hatcheries—United States, 2006. J Amer Med Assoc 297: 2468-2472. Blankenship LC, Bailey JS, Cox NA, Stern NJ, Brewer R, Williams O. 1993. Two step mucosal competitive exclusion flora treatment to diminish Salmonellae in commercial broiler chickens. Poult Sci 72: 1667-1672. Budiharta S, Suardana IW. 2007. Buku Ajar Epidemiologi dan Ekonomi Veteriner. Ed ke-1. Cetakan 1. Denpasar: Udayana Press. Cason JA, Cox NA, Bailey JS. 1994. Transmission of Salmonella typhimurium during hatching of broiler chicks. Avian Dis 38:583-588. Cogan TA, Humphrey TJ. 2003. The rise and fall of Salmonella enteritidis in the UK. J Appl Microbiol 94: 114-119. Corrier DE, Nisbet DJ, Hargis BM, Holt PS, DeLoach JR. 1997. Provision of lactose to molting hens enhance resistance to Salmonella enteritidis colonization J Food Protect 60: 10-15. Cox NA, Bailey JS, Muldin JM, Blankenship LC, Wilson JL. 1991. Extent Salmonellae contamination in the breeder hatcheries. Poult Sci 70:416418.
Cowan ST. 1981. Manual Identification of Medical Bacteria. Ed ke-2 revise. Cambridge, London: Cambridge University Press. Dharmojono. 2001 . Penyakit tifus (salmonellosis) . Di dalam: Penyakit menular dari binatang ke manusia . Ed ke-1. Milenia Populer. hlm 111-121. Dhillon AS, Alisantosa B, Shivaprasad HL, Jack O, Schaberg D, Bandli D. 1999. Pathogenicity of Salmonella enteritidis phage types 4, 8 and 23 in broiler chicks. Avian Dis 43:506-515. Gast RK. 1997. Paratyphoid Infection. Di dalam: Disease of Poultry. Ed ke-10. Ames, Iowa, USA: Iowa State University Press. Gray JT, Fedorka-Cray PJ. 2002. Salmonella. Di dalam: Foodborne Diseases. Ed ke-2. Cliver, D.O. and Riemann, H. (Eds.). New York: Academic Press. pp. 55-68. Hopper SA, Mawer S. 1988. Salmonella enteritidis in a commercial layer flock. Vet Rec 123: 351. Hinrichs J, Gautnier A, Keating M, Murray P. 1985. Evaluation of a new scrreening system for enteric pathogens. Diagn Microbiol Infect Dis 3: 397-401. Jawets, Melnick and Adelberg’s. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Brooks GF, Butel JS, Morse SA, penerjemah: Mudihardi HE dkk. Jakarta: Penerbit Salemba Medika. Terjemahan dari : Medical Microbiology. Lister SA. 1988. Salmonella enteritidis infection in broilers and broiler breeders. Vet Rec 123: 350. Manafi M, Sommer R. 1992. Comparison of three rapid screening methods for Salmonella spp.: 'MUCAP test, MicroScreenR latex and Rambach Agar'. Appl Microbiol 14: 163-166. Merck E. 2004. Microbiology Manual. Darmstadt, Germany. Metzler J, Nachamkin I. 1988. Evaluation of a latex agglutination test for the detection of Salmonella and Shigella spp. by using broth enrichment. J Clin Microbiol 12: 2501-2504. Moerad B. 2003 . Pencemaran Salmonella spp . dalam produk pangan asal ternak dan kebijakan pemerintah dalarn penanganan masalah keamanan pangan. Direktorat Kesehatan Veteriner. Direktorat Jendral Produksi Peternakan. Disampaikan pada Simposium Sehari Purna Bakti “Teknologi Veteriner dalam Peningkatan Hewan dan Produknya" . Balitvet, 12 Maret 2003. Montgomery DC. 2001. Design and Analysis of Experiments. Ed ke-5. Arizona State University. New York: John Wiley and Sons Inc.
Murungkar HV, Rahman H, Ashok K and Bhattacharyya D. 2005. Isolation, phage typing and antibiogram of Salmonella from man and animals in northeastern India. Indian J Med Res 6: 197-200. Nakamura M, Nagamine N, Suzuki S, Norimatsu M, Oishi K, Kijima M, Tamura Y, Sato S. 1994. Horizontal transmission of Salmonella enteritidis and effect of strees on shedding in laying hens. Avian Dis 38:282-288. Proux K, Florence H, Jouy E, Houdayer C, Lalande F, Oger A, Salyat G. 2002. Improvements required for the detection of Salmonella pullorum and gallinarum. Can J Vet Res 66: 151-157. [PAHO] Pan American Health Organization. 2003. Zoonosis and Communicable Disease to Man and Animals. Ed ke-3. Volume I Bacteriosis and Mycoses. Washington DC. Poernomo S. 2000. Training microbiological diagnostic. Balitvet Newsletter 15: 57. Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJ, Leonard FC. 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Garsinton Road, Oxford, United Kingdom: Blackwell Publishing Company. Ray B. 2001. Fundamental Food Microbiology. Ed ke-2. Boca Raton Florida: CRC Press. Sujudi. 1998. Pidato pada pembukaan the Third Asia Pacific Symposium on Typhoid Fever and Other Salmonellosis and the Seventh National Congress of the Indonesian Society for Microbiology. Denpasar, Indonesia, 8 Desember 1997. Med J Indonesia 70: 2. Supardi I dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Jakarta: the Ford Foundation dan Yayasan IKAPI. Suwandono AM, Destri, Simanjuntak C. 2005. Salmonellosis dan Surveillans Demam Tifoid yang Disebabkan Salmonella di Jakarta Utara. Disampaikan dalam Lokakarya Jejaring Intelijen Pangan-BPOM RI. Jakarta, 25 Januari 2005. Thiagarajan D, Saeed AM, Asem EK. 1994. Mechanism of transovarian transmission of Salmonella enteritidis in laying hens. Poult Sci 73 :89-98. Thorns CJ, Bell MM, Soika MG, Nicholas RA. 1996. Development and application of enzyme-linked immunosorbent assay for spesific detection of Salmonella enteritidis in chicken based on antibodies to SEF 14 fimbrial antigen. J Clin Microbiol 34: 729-737. Thrusfield M. 2005. Veterinary Epidemiology. Ed ke-3. London: Blackwell Publisher Company. Vought KJ, Tatini SR. 1998. Salmonella enteritidis contamination of ice cream associated with a 1994 multistate outbreak. J Food Protect 61: 276-279.
Warwick C, Lambiris AJL, Westwood D, Steedman C. 2001. Reptile-related salmonellosis. J R Soc Med 94: 124-126. Wray C, Davies RH. 1994. Guideline on Detection and Monitoring of Salmonella Infected Poultry Flocks with Particular Reference to Salmonella enteritidis, Graz, Australia: World Health Organization. Wray D, Davies RH, Corkish JD. 1996. Enterobacteriaceae. London: W.B. Saunders Company Ltd. Zancan FT, Junior AB, Fernandes SA, Gama NMSQ. 2000. Salmonella spp. investigation in transport boxes of day-old birds. J Microbiol 31: 230-232.