Majalah
KEAMANAN PANGAN
VOLUME 27 TAHUN XIV 2015
PANGAN AMAN UNTUK SEMUA
Profil Program Cemaran
MEWASPADAI CEMARAN
SALMONELLA SPP PADA PANGAN
KOMPETENSI PROFESI KEAMANAN PANGAN (MENYONGSONG MEA 2015)
INDONESIA RISK ASSESSMENT CENTER (INARAC) SEBAGAI PUSAT KAJIAN RISIKO KEAMANAN PANGAN DI INDONESIA
dari redaksi
Manajemen Keamanan Pangan Berbasis Kajian Risiko
DAFTAR ISI VOLUME 27 TAHUN XIV 2015
T
antangan dalam keamanan pangan selalu berkembang dari waktu ke waktu. Untuk menyikapi dan mengatasinya, diperlukan suatu pendekatan ilmiah, sehingga diperoleh solusi yang efektif dan efisien. Lembaga kesehatan dunia, yang terdiri dari Food and Agricultural Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO) telah mengembangkan suatu metode evaluasi ilmiah yang mengkaji akibat paparan bahaya pangan pada manusia. Metode tersebut dinamakan dengan kajian risiko atau Risk Assesment. Kajian risiko dilaksanakan untuk mengurangi terjadinya penyakit akibat pangan (foodborne diseases). Di Indonesia kajian risiko keamanan pangan selama ini dilaksanakan oleh masingmasing instansi yang terkait sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Komunikasi antar instansi pelaksana kajian risiko dilakukan melalui kelompok kerja Jejaring Intelijen Pangan (JIP). Untuk memfasilitasi kelompok pakar di bidang kajian risiko di tingkat nasional, peningkatan kapasitas, serta berkomunikasi dengan pelaksana kajian risiko di masing-masing Kementerian/ Lembaga, maka kemudian dibentuklah INARAC (Indonesia Risk Assessment Center) di bawah wadah JIP. Mengingat pentingnya informasi INARAC, maka majalah Keamanan Pangan edisi 27 ini memberikan ulasannya secara khusus. Untuk memperkaya informasi, kami juga menyertakan artikel-artikel menarik lainnya, seperti Kompetensi Profesi Keamanan Pangan, Teknologi Proses dan Hasil Pengawasan Produk Susu Cair, Penggunaan Ginseng pada Pangan Olahan, Kajian Regulasi Fortifikasi pada Produk Pangan, dan lainnya. Semoga informasi yang kami berikan dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian.
03 INFO UTAMA
INDONESIA RISK ASSESSMENT CENTER (INARAC) SEBAGAI PUSAT KAJIAN RISIKO KEAMANAN PANGAN DI INDONESIA Profil Program Kompetensi Profesi Keamanan Pangan (Menyongsong MEA 2015)
Wawasan Teknologi Proses & Hasil Pengawasan Produk Susu Cair Penggunaan Ginseng dalam Pangan Olahan
Regulasi Kajian Regulasi Fortifikasi Pangan Di Indonesia Kajian Regulasi Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No Hk.03.1.23.07.11.6664 Tentang Pengawasan Kemasan Pangan
9 12 17 19 23
Teknologi Pangan Manisan Buah Pepaya Kering
26
Peristiwa Bulan Keamanan Pangan Workshop Pengembangan Kompetensi Profesi Keamanan Pangan
Selamat membaca,
Cemaran
Pemimpin Redaksi
Mewaspadai Cemaran Salmonella spp pada Pangan
Penasehat : DR. Roy A. Sparringa, MAppSc Pengarah : Drs. Suratmono, MP; Drs. Halim Nababan, MM; Drs. Mustofa, Apt, MKes; Ir. Tetty H Sihombing, MP; Dra. Elin Herlina, Apt, MP; Dra. Nany Bodrorini, Apt; Pemimpin redaksi/ Penanggung Jawab : Drh. A.A. Nyoman Mertanegara, Redaktur pelaksana : Yustina Muliani, MSi; Yanti Ratnasari, SP, MP; Yanti Kamayanti Latifa, SP, MEpid; Tri Fajarwaty, SP; Indra Pramularsih, SFarm, Apt; Editor : Chyntia DNS, STP; Vinni Rahayu N, SFarm, Apt; Sirkulator : Hasan Hidayat; Dadi Styawan, SH
27 29 30
Alamat Redaksi Jl. Percetakan Negara No. 23, Gd. F. Lt. II Jakarta Pusat 10560 Tlp. 021 428 78701, Fax. 021 428 78701 e-mail promosi_keamanan_pangan@yahoo. co.id
Info Utama
INDONESIA RISK ASSESSMENT CENTER (INARAC) SEBAGAI PUSAT KAJIAN RISIKO KEAMANAN PANGAN DI INDONESIA Risk assessment atau kajian risiko adalah evaluasi ilmiah mengenai akibat paparan bahaya pangan pada manusia. Proses ini terdiri dari tahapan identifikasi bahaya, karakterisasi bahaya, kajian paparan, dan karakterisasi risiko. Kajian risiko merupakan perangkat yang telah dikenal secara global sebagai landasan dalam penyusunan kebijakan keamanan pangan. Oleh: Lia Astriana, SKM (Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan) Kajian Risiko di Tingkat Internasional dan Regional
Kajian risiko telah dikembangkan oleh beberapa organisasi internasional, diantaranya Food and Agricultural Organisation (FAO) dan World Health Organisation (WHO). FAO/WHO telah mengembangkan kajian risiko sebagai salah satu evaluasi ilmiah yang dilaksanakan untuk mengurangi terjadinya penyakit akibat pangan (foodborne diseases). Joint commitee telah dibentuk untuk melaksanakan kajian risiko keamanan pangan, yang meliputi the Joint FAO/ WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA), the Joint FAO/WHO Meeting on Pesticide Residues (JMPR), the Joint FAO/WHO Expert Meetings on Microbiological Risk Assessment (JEMRA) dan World Organisation for Animal Health (OIE) untuk microbial hazard. Selain itu, melalui program Global Environment Monitoring System Food Contamination Monitoring and Assessment Programme (GEMS/Food), WHO melaksanakan pengumpulan dan evaluasi data cemaran kimia pada pangan, termasuk juga merekomendasikan pelaksanaan Total Diet Study (TDS). Komitekomite tersebut berperan sangat penting dalam menyediakan data-data ilmiah bagi penyusunan standar dan kebijakan keamanan pangan di tingkat regional dan internasional.
ASEAN Risk Assessment Center (ARAC)
ASEAN Risk Assessment Center (ARAC) telah diendorsed oleh Senior Officials Meeting on Health Development (SOM HD) pada bulan Juni 2014 dan dilaunching oleh ASEAN Health Minister Meeting (AHMM) pada bulan September 2014 di Malaysia. ARAC berperan dalam mengoordinasikan implementasi kajian risiko keamanan pangan di tingkat ASEAN, memperkuat kapasitas kajian risiko, memfasilitasi pertukaran informasi dan mempersiapkan a pool of qualified experts kajian risiko serta mengoordinasi dan mengomunikasikan kegiatannya dengan ASEAN sectoral bodies. ARAC berada di bawah governing body ASEAN Expert Group on Food Safety (AEGFS). Dalam pelaksanaan tugasnya, ARAC dibantu oleh expert yang akan terintegrasi ke dalam scientific panel dan committee. ARAC berkomunikasi secara intensif dengan focal point kajian risiko di masing-masing negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia. Struktur organisasi ARAC dapat dilihat pada Gambar 1. ARAC terdiri dari Sekretariat, Scientific Committee dan Scientific Panel yang berada di bawah koordinasi ASEAN Group on Food Safety (AEGFS). ARAC selalu berkoordinasi dengan Working Group yang ada di ASEAN dan Collaborative Partner (WHO, FAO dan EU/EFSA).
Majalah Keamanan Pangan | 3
Bagaimana dengan Kajian Risiko di Indonesia?
Kajian risiko di Indonesia diamanahkan dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Dalam pasal 68 ayat 2 disebutkan bahwa pemerintah menetapkan norma, standar, prosedur, kriteria keamanan pangan yang dilakukan berbasis analisis risiko. Dokumen Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) juga menyebutkan bahwa salah satu fokus penguatan sistem pangan dan gizi di Indonesia adalah melalui pengawasan keamanan pangan yang hal ini sejalan dengan kegiatan kajian risiko. Pelaksanaan kajian risiko keamanan pangan di Indonesia selama ini dilaksanakan oleh masingmasing instansi yang terkait dengan keamanan pangan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Komunikasi antar instansi pelaksana kajian risiko dilakukan melalui kelompok kerja Jejaring Intelijen Pangan (JIP). JIP berfungsi untuk mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasi data-data yang terkait dengan keamanan pangan; seperti hasil inspeksi dan monitoring pangan, kasuskasus keracunan pangan, data cemaran, dsb. Hasil JIP dapat dimanfaatkan oleh stakeholder yang berkepentingan. JIP juga menjadi sarana komunikasi, saling berbagi informasi dan pengalaman di antara para ahli yang terlibat dalam kajian risiko keamanan pangan. Anggota JIP dapat mengalokasikan sumber daya yang mereka miliki untuk bersama-sama menyelesaikan permasalahan keamanan pangan yang terjadi di sepanjang rantai pangan.
Pencanangan Indonesia Risk Assessment Center (INARAC)
INARAC dibentuk di bawah wadah JIP untuk memfasilitasi pool of expert (kelompok pakar) di bidang kajian risiko di tingkat nasional, peningkatan kapasitas, serta berkomunikasi dengan pelaksana kajian risiko di masing-masing Kementerian/ Lembaga. Visi INARAC adalah “menjadi lembaga yang kompeten untuk menyediakan data dan informasi ilmiah bagi manajemen risiko dalam penentuan kebijakan keamanan pangan nasional dan diakui secara regional serta internasional”. Sedangkan misi INARAC adalah: 1. Melaksanakan kajian risiko keamanan pangan secara terpadu di sepanjang rantai pangan, 2. Melaksanakan komunikasi hasil kajian risiko untuk dimanfaatkan pihak terkait, 3. Memfasilitasi perkuatan kapasitas sumber daya kajian risiko 4. Berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan kajian risiko di tingkat regional dan internasional INARAC memfokuskan kajian risiko pada tiga kelompok bidang kajian, yaitu bidang mikrobiologi, kimia dan rekayasa proses (Gambar 2). Bidang kajian mikrobiologi dikelompokkan menjadi 4 sub-bidang kajian, yaitu Salmonella spp, Vibrio spp, Listeria spp, dan Hepatitis A. Bidang kajian kimia dikelompokkan menjadi 11 sub-bidang kajian, yaitu bahan tambahan pangan, mikotoksin, toksin alami, kontaminan, residu pestisida, residu antibiotika, residu hormon,
Gambar 1. Struktur Organisasi ARAC
4 | Majalah Keamanan Pangan
Bagaimana Mekanisme Kerja INARAC?
Gambar 2. Lingkup kegiatan INARAC
INARAC melakukan kajian risiko dan membuat pendapat ilmiah dengan dibantu oleh pakar dari berbagai bidang keilmuan yang tergabung dalam panel pakar. INARAC mengadakan perekrutan anggota panel pakar sesuai dengan Prosedur Seleksi Panel Pakar setiap lima tahun. Secara periodik, Sekjen INARAC dan komite ilmiah membahas usulan topik kajian yang masuk ke INARAC untuk menyeleksi dan menentukan prioritas kajian dengan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: (1) dampak terhadap kesehatan masyarakat, (2) kemungkinan terjadinya risiko, (3) kebutuhan / urgensi untuk menetapkan suatu kebijakan/ peraturan oleh pemerintah, (4) kemungkinan risiko tersebut dapat dikendalikan, dan (5) data yang tersedia, termasuk keragaman dan ketidakpastiannya. Selanjutnya, komite ilmiah menunjuk panel pakar yang sesuai untuk melakukan kajian risiko dengan mengikuti prosedur pelaksanaan kajian risiko. Kajian risiko
residu obat hewan, bahan berbahaya, migrasi kemasan pangan, dan komponen alergen. Bidang rekayasa proses dikelompokkan menjadi 4 subbidang kajian, yaitu proses pangan, iradiasi, nanoteknologi, dan rekayasa genetika. Ketua JIP berperan sebagai pengarah pelaksanaan kajian risiko yang dikoordinasi oleh Sekjen INARAC. Sekjen INARAC akan berkoordinasi dengan komite ilmiah terkait kajian risiko yang akan dilaksanakan. Selain itu, Sekjen INARAC akan memberikan masukan kepada Panel Pakar dalam proses kajian risiko untuk memastikan luaran hasil kajian sesuai dengan kebutuhan pemerintah. Sedangkan sekretariat bertugas untuk membuat rencana kerja, prosedur kerja dan kegiatan terkait administrasi INARAC lainnya. INARAC berperan sebagai focal point untuk ARAC. INARAC merupakan pusat kajian risiko di Indonesia yang bersifat lintas institusi. Tahun pertama sejak launching, INARAC difokuskan pada kegiatan untuk memperkuat kapasitas lembaga untuk menjadi pusat kajian risiko yang handal di Indonesia. Pada tahun anggaran 2015 terdapat 2 (dua) pilot study risk assessment from farm to plate, Gambar 3. INARAC telah diresmikan oleh Menteri Kesehatan yaitu: 1) Kajian Aflatoksin B1 pada pada tanggal 20 November 2014 di Jakarta. kacang dan 2) Kajian Salmonella spp. pada karkas ayam.
Majalah Keamanan Pangan | 5
dilakukan oleh panel pakar yang dibantu oleh staf sekretariat INARAC dengan melalui empat tahap yaitu: (1) identifikasi bahaya, (2) karakterisasi bahaya, (3) kajian paparan, dan (4) karakterisasi risiko. Pada saat panel pakar memerlukan tambahan data untuk keperluan kajian, panel pakar dapat meminta data dari pihak terkait dengan mengikuti prosedur permintaan data untuk kajian risiko. Dalam pelaksanaan kajian risiko, Sekjen INARAC memantau perkembangan kajian risiko dan memfasilitasi komunikasi antara panel pakar dan pihak yang terkait (manajer risiko atau pemangku kepentingan yang lain) agar kajian risiko tersebut dapat menjawab kebutuhan dan dipahami oleh pihak terkait. Kajian risiko yang telah dilakukan INARAC dapat diajukan untuk merespon pertanyaan yang muncul dengan mengikuti prosedur mengemukakan pendapat ilmiah. Selain itu, hasil kajian INARAC dapat diajukan ke badan internasional yang berhubungan dengan keamanan pangan, seperti ARAC di tingkat ASEAN dan Codex Alimentarius
Commission (CAC) di tingkat dunia sebagai respon atas permintan hasil kajian atau usul untuk dibahas dalam lingkup internasional. Pemilihan topik kajian yang diajukan dapat berdasarkan pada kepentingan nasional, baik yang terkait dengan perlindungan kesehatan masyarakat, kepentingan perdagangan, pemeliharaan lingkungan, dan sebagainya. Prosedur dalam mekanisme kerja INARAC terangkum pada Roadmap Kegiatan INARAC 2015-2019, yaitu: (1) Prosedur Seleksi Panel Pakar, (2) Prosedur Pelaksanaan Kajian Risiko (Risk Assessment), (3) Prosedur Mengemukakan Pendapat Ilmiah (Scientific Opinion), (4) Prosedur Permintaan Data untuk Kajian Risiko (Call for Data), dan (5) Prosedur Pengajuan Usulan Hasil Kajian Risiko INARAC ke Badan Internasional. Sebagai gambaran kegiatan dari Roadmap INARAC utamanya kegiatan Capacity Building dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kegiatan capacity building INARAC No
Nama Training
Tempat, Tanggal Pelaksanaan
Narasumber Utama
Peserta
Dr. Ihab Mohamed Habib dari High Institute of Public Health, Alexandria University, Mesir
Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, IPB, dan Badan POM
1
Training Workshop on Food Safety Risk Assessment
Bogor, 25-29 Agustus 2014
2
In-house Indonesia Risk Assessment Center (INARAC) Consultation Session
Jakarta, 4 Februari Prof.(adj) Andrew 2015 Bartholomaeus dari Food Standards Australia New Zealand (FSANZ)
Pusat Riset Obat dan Makanan, Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional, unit kerja terkait di Kedeputian III, serta tim @risk Badan POM.
3
Basic Food Safety Risk Assessment Training
Bogor, 27-29 Mei 2015
Badan POM, SEAFAST Center dan ILSI SEA Region (Yukiko Yamada, Ph.D)
Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kesehatan, dan Badan POM
4
Responsibilities of Risk Assessors and Risk Manager and Their Relationship
Jakarta, 29 Mei 2015
Yukiko Yamada, Ph.D
Unit kerja di Kedeputian III dan Pusat Riset Obat dan Makanan.
6 | Majalah Keamanan Pangan
Pengembangan Program Kegiatan INARAC/ Roadmap dan Prosedur INARAC Program kegiatan INARAC lima tahunan (2015-2019) yang telah disusun sebagai berikut ini.
2015 Program Penguatan dan Kapasitas Organisasi INARAC • Sistem database pakar bidang kajian risiko keamanan pangan dan hasil kajian risiko yang dilakukan perguruan tinggi/ instansi pemerintah dan website INARAC. • Prosedur kerja komite ilmiah dan panel pakar serta anggota panel pakar. • Prosedur baku proses kajian risiko oleh panel pakar dan prosedur pengumpulan data yang diperlukan dalam kajian risiko. Program Penguatan Kapasitas Sumber Daya Manusia dalam Kajian Risiko • Pelatihan kajian risiko di lembaga pendidikan tinggi dan bekerja sama dengan institusi internasional. • Mendatangkan pakar dari luar negeri yang reputable untuk INARAC • Pelatihan kajian risiko dengan mepertimbangkan kekhususan bidang kajian risiko • Workshop untuk mengantisipasi emerging dan reemerging hazard • Pelatihan dasar bagi para peneliti mengenai emerging dan reemerging hazard. Program Penguatan Kapasitas Laboratorium Pengujian dalam Mendukung Kajian Risiko • Kerjasama dengan jejaring, lab pengujian dalam jejaring untuk penguatan fasilitas lab, peningkatan kapasitas SDM dan analisis/pengujian.
2016
2017
Program Penguatan Kapasitas Sumber Daya Manusia dalam Kajian Risiko
Program Penguatan Kapasitas Sumber Daya Manusia dalam Kajian Risiko
• Pelatihan kajian risiko di lembaga pendidikan tinggi dan bekerja sama dengan institusi internasional. • Mendatangkan pakar dari luar negeri yang reputable untuk INARAC • Pelatihan kajian risiko dengan mepertimbangkan kekhususan bidang kajian risiko • Workshop untuk mengantisipasi emerging dan reemerging hazard • Pelatihan dasar bagi para peneliti mengenai emerging dan reemerging hazard.
• Mendatangkan pakar dari luar negeri yang reputable untuk INARAC • Pelatihan kajian risiko dengan mepertimbangkan kekhususan bidang kajian risiko • Workshop untuk mengantisipasi emerging dan reemerging hazard • Pelatihan dasar bagi para peneliti mengenai emerging dan reemerging hazard.
Program Penguatan Kapasitas Laboratorium Pengujian dalam Mendukung Kajian Risiko • Kerjasama dengan jejaring, lab pengujian dalam jejaring untuk penguatan fasilitas lab, peningkatan kapasitas SDM dan analisis/pengujian. Program Kajian Risiko Keamanan Pangan Secara Terpadu Sepanjang Rantai Pangan • Advokasi kepada manajer risiko dan menetapkan prioritas kajian. • Diseminasi hasil kajian risiko INARAC kepada masyarakat • Diseminasi hasil kajian risiko INARAC di tingkat internasional (ARAC atau CAC)
Program Penguatan Kapasitas Laboratorium Pengujian dalam Mendukung Kajian RIsiko • Kerjasama dengan jejaring, lab pengujian dalam jejaring untuk penguatan fasilitas lab, peningkatan kapasitas SDM dan analisis/pengujian. Program Kajian Risiko Keamanan Pangan Secara Terpadu Sepanjang Rantai Pangan 1. Advokasi kepada manajer risiko dan menetapkan prioritas kajian. 2. Diseminasi hasil kajian risiko INARAC kepada masyarakat 3. Diseminasi hasil kajian risiko INARAC di tingkat internasional (ARAC atau CAC)
Program Kajian Risiko Keamanan Pangan Secara Terpadu Sepanjang Rantai Pangan • Advokasi kepada manajer risiko dan menetapkan prioritas kajian. • Diseminasi hasil kajian risiko INARAC kepada masyarakat • Diseminasi hasil kajian risiko INARAC di tingkat internasional (ARAC atau CAC) Majalah Keamanan Pangan | 7
2018
2019
Program Penguatan Kapasitas Sumber Daya Manusia dalam Kajian Risiko
Program Penguatan Kapasitas Sumber Daya Manusia dalam Kajian Risiko
• Mendatangkan pakar dari luar negeri yang reputable untuk INARAC • Pelatihan kajian risiko dengan mepertimbangkan kekhususan bidang kajian risiko • Workshop untuk mengantisipasi emerging dan reemerging hazard • Pelatihan dasar bagi para peneliti mengenai emerging dan reemerging hazard.
• Pelatihan kajian risiko dengan mepertimbangkan kekhususan bidang kajian risiko • Workshop untuk mengantisipasi emerging dan reemerging hazard • Pelatihan dasar bagi para peneliti mengenai emerging dan reemerging hazard.
Program Penguatan Kapasitas Laboratorium Pengujian dalam Mendukung Kajian RIsiko • Kerjasama dengan jejaring, lab pengujian dalam jejaring untuk penguatan fasilitas lab, peningkatan kapasitas SDM dan analisis/pengujian. Program Kajian Risiko Keamanan Pangan Secara Terpadu Sepanjang Rantai Pangan • Diseminasi hasil kajian risiko INARAC kepada masyarakat • Diseminasi hasil kajian risiko INARAC di tingkat internasional (ARAC atau CAC)
8 | Majalah Keamanan Pangan
Program Penguatan Kapasitas Laboratorium Pengujian dalam Mendukung Kajian RIsiko • Kerjasama dengan jejaring, lab pengujian dalam jejaring untuk penguatan fasilitas lab, peningkatan kapasitas SDM dan analisis/pengujian. Program Kajian Risiko Keamanan Pangan Secara Terpadu Sepanjang Rantai Pangan • Diseminasi hasil kajian risiko INARAC kepada masyarakat • Diseminasi hasil kajian risiko INARAC di tingkat internasional (ARAC atau CAC)
Referensi Berita aktual -Training Workshop on Food Safety Risk AssessmentDirektorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan. diunduh dari www.pom.go.id Jejaring Intelijen Pangan – Pendekatan dalam Program Kajian Risiko di Indonesia. diunduh dari http:// skpt.pom.go.id /id/ Ministry of Health – Malaysia. 2014. Draft Term of Reference (TOR) ASEAN Risk Assessment Center (ARAC) Rahayu WP, Kusnandar F. 2015. Final Report - Development of Indonesia Risk Assessment Center. WHO Indonesia. Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan World Health Organization [WHO]. 1995. Application of Risk Analysis to Food Standards Issues. Report of the Joint FAO/WHO Expert Consultation. 13-17 March 1995.
Profil Program
KOMPETENSI PROFESI KEAMANAN PANGAN (MENYONGSONG MEA 2015) Oleh : Novinar, M.Epid Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan
P
entingnya Kompetensi Profesi Keamanan Pangan
Siapa yang tidak kenal atau tidak pernah mendengar “Pasar Bebas ASEAN” atau “Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)”? Kedua istilah ini sudah didengung-dengungkan sejak beberapa waktu lalu. MEA dibentuk oleh para pemimpin ASEAN agar daya saing ASEAN meningkat serta dapat menyaingi China dan India untuk menarik investasi asing. Penanaman modal asing di wilayah ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan lapangan kerja dan kesejahteraan. Te r b e n t u k n y a MEA memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara, termasuk tenaga kerja profesional. Peluang tenaga kerja asing untuk mengisi berbagai jabatan serta profesi di Indonesia, termasuk profesi keamanan pangan akan semakin terbuka. Persaingan di bursa tenaga kerja akan semakin meningkat menjelang pemberlakuan pasar bebas ASEAN pada akhir tahun 2015 mendatang.
Di sisi lain, dengan adanya globalisasi, volume perdagangan pangan lintas n e g a r a s e m a k i n b e s a r. Keamanan pangan menjadi isu yang substansial dan menjadi masalah krusial internasional/global di era perdagangan bebas. Melalui perdagangan produk pangan internasional, pangan yang tidak aman di suatu negara dapat melanda negara lain yang jauhnya ribuan kilometer dari tempat pangan tersebut berasal. Hal ini menyebabkan keamanan pangan menjadi fokus atau prioritas utama
bagi pemerintah dan industri pangan di seluruh dunia guna mencegah atau mengurangi masalah kesehatan akibat pangan yang tidak aman. Keamanan pangan tidak hanya melindungi kesehatan masyarakat konsumen, tetapi juga sebagai alat fasilitasi perdagangan dan membawa manfaat ekonomi. Siapapun yang tidak memiliki kapasitas untuk memenuhi persyaratan keamanan pangan akan terbatas kemampuannya dalam perdagangan pangan dan menimbulkan risiko masalah kesehatan bagi konsumennya. Majalah Keamanan Pangan | 9
Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan (inspeksi) untuk memastikan keamanan pangan di seluruh rantai pangan – “dari lahan hingga ke konsumen”. Hal ini memerlukan penguatan kapasitas keamanan pangan di sepanjang rantai pangan yang melibatkan semua profesi keamanan pangan. Salah satu cara yang dilakukan oleh badan internasional seperti WHO untuk meningkatkan keamanan pangan adalah melalui pelatihan dan sertifikasi tenaga inspektur pangan. Semakin banyak pemerintah dan lembaga otoritas keamanan pangan yang melakukan sertifikasi tenaga pengawas di berbagai negara, maka semakin besar kepercayaan masyarakat terhadap kompetensi pengawas pangan. Sejalan dengan hal tersebut, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah menyiapkan strategi dalam menghadapi pasar bebas. Tenaga profesional keamanan pangan wajib berbahasa Indonesia dan telah disertifikasi oleh lembaga profesi terkait di dalam negeri.
Kompetensi Profesi Keamanan Pangan
Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan
10 | Majalah Keamanan Pangan
dan sikap yang diperlukan oleh individu agar sukses menangani pekerjaannya. Kompetensi profesi keamanan pangan merupakan pengetahuan keamanan pangan yang harus diketahui atau dikuasai tenaga profesi keamanan pangan, agar dapat mempraktikannya dengan baik dan benar, serta bersikap profesional dalam melaksanakan tugasnya di bidang keamanan pangan. Penjaminan mutu dan pemeliharaan kompetensi para profesi keamanan pangan, dapat dilakukan dengan pemberian sertifikasi kompetensi melalui uji / asesmen kompetensi yang dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang diakreditasi oleh Badan Nasional
Sertifikasi Profesi (BNSP) . Menyikapi hal ini, Badan POM telah membentuk LSP pihak II, yaitu LSP Keamanan Pangan Badan POM dan telah mendapatkan sertifikat Lisensi dari BNSP. Badan POM dapat melakukan sertifikasi kompetensi keamanan pangan bagi tenaga penyuluh keamanan pangan (PKP) dan pengawas pangan (District Food Inspector/DFI) yang ada di Balai Besar/ Balai POM dan anggota jejaring keamanan pangan, termasuk di Pemda kabupaten/kota. Pelaksanaan sertifikasi kompetensi, LSP Keamanan Pangan Badan POM dapat dilakukan di Tempat Uji Kompetensi (TUK) yang dibentuk di berbagai daerah, baik di Balai Besar/Balai POM, maupun di industri pangan yang menjadi mitra Balai Besar/ Balai POM. Uji/asesmen kompetensi yang dilakukan LSP Keamanan Pangan Badan POM mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). SKKNI bidang keamanan pangan, telah disahkan melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. KEP 31/MEN/III/2010 tentang Penetapan SKKNI Sektor Industri Pengolahan Sub Sektor Industri Makanan dan Minuman
Bidang Keamanan Pangan. SKKNI bidang keamanan pangan tersebut baru mencakup standar kompetensi untuk profesi fasilitator/penyuluh keamanan pangan, dan profesi inspektur/auditor/ asesor keamanan pangan yang dibagi menjadi profesi inspektur muda, profesi inspektur dan profesi inspektur kepala. Mengingat tuntutan kompetensi profesi keamanan pangan semakin luas dan semakin kuat, maka Badan POM bersama perwakilan industri pangan, asosisasi profesi keamanan pangan, asosiasi industri pangan dan berbagai pihak lainnya melakukan pengembangan standar kompetensi keamanan pangan (baca artikel peristiwa tentang “Workshop Pengembangan Kompetensi Keamanan Pangan di Indonesia”)
Peningkatan Kompetensi Penyuluh Keamanan Pangan (PKP) dan District Food Inspector (DFI)
ditugaskan oleh Balai Besar/ Balai POM dan Kepala Dinas Kesehatan kabupaten/kota. Persyaratan peserta e-learning tenaga PKP dan DFI berbasis kompetensi ini disesuaikan dengan persyaratan skema sertifikasi kompetensi tenaga PKP dan DFI. Setelah peserta dinyatakan kompeten di akhir pelatihan, diharapkan segera mengikuti uji/asesmen kompetensi di LSP Keamanan Pangan. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan dan memelihara kompetensi tenaga PKP dan DFI tersebut.
Harapan ke Depan
Diharapkan standar kompetensi keamanan pangan yang dikembangkan Badan POM bersama berbagai pihak terkait dapat segera dilaksanakan dan dijadikan acuan dalam pelaksanaan uji/asesmen kompetensi profesi keamanan pangan, guna memastikan dan
memelihara kompetensi para profesional keamanan pangan yang menjadi tuntutan di era globalisasi. Pembinaan yang berkelanjutan akan mendorong profesi penyuluh dan inspektur keamanan pangan Indonesia di berbagai rantai pangan tidak kalah bersaing dengan profesi penyuluh dan inspektur keamanan pangan dari negara lain. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah para profesional keamanan pangan Indonesia mampu melakukan pembinaan dan pengawasan produk pangan secara kompeten, sehingga mampu memastikan keamanan pangan di Indonesia. Semoga harapan ini akan menjadi kenyataan karena kita tidak rela tergilas kompetensi profesi keamanan pangan tenaga asing. Yuuuukk kita tingkatkan kompetensi profesi keamanan pangan di Indonesia!!
Kebutuhan akan pemenuhan jumlah ideal tenaga PKP dan DFI yang kompeten serta penyelenggaraan pelatihan kompetensi yang kadang terkendala dana dan w a k t u m e n d o ro n g B a d a n POM membuat terobosan baru berupa peningkatan kompetensi berbasis web (e-learning) guna memenuhi tuntutan tersebut. Badan POM telah mengembangkan program pelatihan berbasis kompetensi melalui sistem e-learning secara on line. Sistem ini didesain untuk mempermudah pembelajaran materi PKP dan DFI berbasis kompetensi secara on line dan mandiri bagi calon peserta di seluruh Indonesia. Peserta yang mengikuti e-learning merupakan peserta yang Majalah Keamanan Pangan | 11
Wawasan
Teknologi Proses & Hasil Pengawasan Produk Susu Cair Oleh : Retno Priyandani, S.Farm, Apt Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan
Susu disebut sebagai pangan asal hewani yang unggul karena kandungan zat gizinya yang lengkap, mudah dicerna dan diserap nutrisinya oleh tubuh, sehingga menjadikannya sebagai sumber gizi potensial. Sayangnya, konsumsi susu masyarakat Indonesia masih terbilang rendah. Pada tahun 2013, konsumsi susu masyarakat Indonesia hanya berkisar 11.09 liter per kapita per tahun. Angka ini sangat rendah dibandingkan dengan sejumlah negara di ASEAN yaitu sekitar 20 liter per kapita per tahun apalagi jika dibandingkan dengan India yang mencapai 42 liter per kapita per tahun.
K
andungan gizi pada susu antara lain berupa air, p ro t e i n , k a r b o h i d r a t , lemak, mineral, enzim-enzim, serta vitamin A, C dan D dalam jumlah memadai dan seimbang. Karena kandungan zat gizi inilah, maka susu merupakan
12 | Majalah Keamanan Pangan
media yang baik bagi mikroba untuk tumbuh dan berkembang biak dan tergolong dalam pangan yang mudah rusak (perishable). Masa simpan susu dapat diperpanjang dengan penerapan teknologi pengawetan, diantaranya
menggunakan panas, yaitu dengan pasteurisasi dan s t e r i l i s a s i . Tu j u a n p ro s e s pemanasan ini adalah untuk membunuh mikroba patogen atau pembusuk sehingga susu aman dikonsumsi dan mempunyai waktu simpan yang
lebih lama. Salah satu produk susu yang banyak digemari oleh masyarakat Indonesia adalah susu cair yang umumnya diolah dengan teknologi pasteurisasi, Ultra High Temperature (UHT) dan sterilisasi komersial.
Teknologi Proses Pembuatan Susu Cair
Menurut Peraturan Kepala Badan POM No. 1 Tahun 2015 tentang Kategori Pangan, definisi susu adalah cairan dari ambing sapi, kerbau, kuda, kambing, domba, dan hewan ternak penghasil susu lainnya baik segar maupun yang dipanaskan melalui proses pasteurisasi, pemanasan dengan suhu sangat tinggi (UHT - Ultra HighTemperature) atau sterilisasi. Susu pasteurisasi adalah produk susu cair yang diperoleh dari susu segar atau susu rekonstitusi atau susu rekombinasi yang dipanaskan dengan metode suhu tinggi dengan waktu singkat (HTST High Temperature Short Time) atau metode holding, dan dikemas segera dalam kemasan yang steril secara aseptis. Proses pasteurisasi merupakan proses pemanasan dengan suhu yang relatif cukup dengan tujuan untuk menginaktivasi enzim dan membunuh mikroba pembusuk. Secara umum tujuan utama pasteurisasi adalah untuk memusnahkan sel vegetatif dari mikroba: patogen, pembentuk toksin dan pembusuk. Beberapa mikroba yang dapat dimusnahkan dengan perlakuan pasteurisasi adalah bakteri penyebab penyakit, seperti Mycobacterium tuberculosis (penyebab penyakit TBC), Salmonella spp. (penyebab tifus) serta Shigella dysenteriae (penyebab disentri). Di samping itu, pasteurisasi juga dapat memusnahkan bakteri pembusuk yang tidak berspora, seperti
Pseudomonas, Achromobater, Lactobacillus, Leuconostoc, Proteus, Micrococcus dan Aerobacter serta kapang dan khamir. Upaya memperpanjang umur simpan susu yang telah dipasteurisasi dapat dilakukan dengan penyimpanan pada suhu rendah, karena tidak semua mikroba mati oleh proses pasteurisasi. Proses sterilisasi dapat dilakukan dengan beberapa cara, dengan cara batch dan kontinyu. Sterilisasi secara batch dilakukan dengan memanaskan bahan pangan pada suhu dan waktu sterilisasi tertentu, selanjutnya dikemas dalam kemasan steril dengan teknik pengisian hot filling. Sementara sterilisasi kontinyu dilakukan dengan menggunakan plat pemindah panas (plate heat exchanger) dan prosesnya berlangsung tanpa terputus. Bahan yang telah disterilisasi langsung dialirkan ke tahap pendinginan dan langsung dikemas. Cara kontinyu menggunakan suhu yang lebih tinggi dengan waktu proses
yang lebih singkat dibandingkan dengan metode batch. Contoh alat untuk proses sterilisasi batch dan kontinyu dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2. Susu steril adalah produk susu cair yang diperoleh dari susu segar atau susu rekonstitusi atau susu rekombinasi yang dipanaskan pada suhu tidak kurang dari 100 °C selama waktu yang cukup untuk mencapai keadaan steril komersial dan dikemas secara kedap (hermetis). Sterilisasi komersial dilakukan dengan alat yang disebut retort atau autoklaf atau sterilizer. Proses sterilisasi komersial ditujukan untuk membunuh semua mikroba yang hidup pada suhu penyimpanan normal (di suhu ruang). Harus diingat, bahwa beberapa mikroba dapat membentuk spora yang mampu bertahan pada suhu tinggi. Pada kondisi penyimpanan yang benar, spora ini tidak bergerminasi, tetapi pada suhu penyimpanan yang salah (suhu penyimpanan di atas suhu penyimpanan normal), maka spora tersebut dapat
Gambar 1. Alat sterilisasi dengan metode batch
Gambar 2. Alat sterilisasi dengan metode kontinyu Majalah Keamanan Pangan | 13
bergerminasi dan menyebabkan kerusakan. Clostridium botulinum menjadi target utama dari proses sterilisasi komersial untuk pangan yang pHnya diatas 4,6. Ketidakcukupan suhu atau waktu sterilisasi akan menyebabkan spora C. botulinum bergerminasi dan tumbuh serta memproduksi toksin botulin yang sangat mematikan. Waktu dan suhu sterilisasi bahan pangan bergantung dari jenis wadah yang digunakan, dan kondisi (jenis, komposisi dan kekentalan) bahan pangan yang akan disterilisasi.
Susu UHT adalah produk susu cair yang diperoleh dari susu segar atau susu rekonstitusi atau susu rekombinasi yang disterilkan pada suhu tidak kurang dari 135 °C selama 2 detik dan dikemas segera dalam kemasan yang steril secara aseptis. Faktor yang membedakan susu UHT dan susu steril adalah tingginya suhu dan teknik pemanasan yang dipakai. Pada susu steril, pemanasan dilakukan secara konvensional, sedangkan pada susu UHT dengan teknik PHE (plate heat exchange) yaitu mengalirkan cairan susu ke pipa panas. Pemrosesan susu segar menjadi
susu UHT dilakukan secara otomatis dengan peralatan steril dan meminimalkan kontak tangan. Pemanasan singkat dengan teknologi UHT yang dilakukan dengan benar dapat mempertahankan cita rasa, warna, dan aroma susu UHT mendekati susu segar. Susu UHT memiliki beberapa kelebihan antara lain adalah kerusakan proteinnya tidak terlalu tinggi, tidak seperti kerusakan protein pada pengolahan susu cair menjadi susu bubuk yang dapat mencapai 30 %. Perbedaan dari ketiga produk susu tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. perbedaan susu cair pasteurisasi, susu steril UHT dan susu steril biasa Karakteristik susu cair
Susu Pasteurisasi
Susu Steril UHT
Susu Steril Biasa
Proses pengolahan
• Pemanasan pada suhu 63 °C selama 30 menit (atau 72 °C selama 15 detik) • Membunuh mikroba patogen. • Tidak membunuh spora
• Pemanasan pada suhu 135–140 oC selama 2-5 detik • Membunuh mikroba patogen. • Membunuh mikroba pembusuk dan spora
• Pemanasan pada suhu 116-121 oC selama 4-30 menit • Membunuh mikroba patogen. • Membunuh mikroba pembusuk dan spora
Pengaruh proses pengolahan terhadap zat gizi
• Tidak berpengaruh nyata pada lemak, kalsium, dan fosfor • Tidak berpengaruh nyata pada vitamin larut lemak • Kerusakan zat gizi minimal (tiamin < 3 %, piridoksin 0-8 %, kobalamin < 10 %, asam folat < 10 % • Denaturasi protein, khususnya protein whey 35-65 %
• Kerusakan zat gizi minimal. • Kerusakan tiamin 10 %, piridoksin 10 %, asam folat 10 %, biotin 0 % • Denaturasi protein whey susu,12-40 %; tetapi tidak secara nyata memengaruhi nilai biologi protein
• Kerusakan zat gizi cukup besar • Kerusakan tiamin, 35 %, piridoksin, 50 %, asam folat, 50 %, biotin, 0 % • Denaturasi protein whey susu 87 %; tetapi sedikit sekali mempengaruhi nilai biologi protein
Pengaruh proses pengolahan terhadap mutu
• Tidak steril • Perubahan warna dan citarasa khas susu sangat minimum (mampu mempertahankan citarasa dan flavor susu segar)
• Steril • Perubahan warna, citarasa dan flavor khas susu sangat kecil
• Steril • Terjadi perubahan warna, citarasa dan flavor khas susu; ada rasa masak (cooked flavor, disukai/ tidak disukai bergantung dari pengalaman konsumen)
Cara penyimpanan sebelum dibuka
• Harus selalu disimpan da• Dapat disimpan di suhu lam suhu rendah (lemari es) ruang
• Dapat disimpan di suhu ruang
Lama simpan sebelum dibuka
• 5-14 hari
• 10-18 bulan
• 10-18 bulan
Cara penyimpanan setelah dibuka
• Harus langsung dihabiskan, atau simpan dalam lemari pendingin
• Harus langsung dihabiskan dalam waktu beberapa jam
• Harus langsung dihabiskan, atau simpan dalam lemari pendingin
14 | Majalah Keamanan Pangan
Hasil Pengawasan Produk Susu Cair
Dalam rangka pengawasan keamanan dan mutu produk pangan beredar guna melindungi masyarakat dari bahaya pangan yang tidak memenuhi persyaratan, Badan POM secara rutin melakukan pengawasan dengan pengambilan sampel di sarana distribusi dan pengujian laboratorium yang ditunjukkan pada Gambar 3. Pada Gambar 3 disajikan data pengujian susu yang memenuhi syarat (MS) dan tidak memenuhi syarat (TMS) dari tahun 20122014. Gambar 3 menunjukkan persentase produk susu yang MS meningkat dari tahun 2011 sampai tahun 2014, walaupun pada tahun 2012 terdapat penurunan. Pada Gambar 4 dapat dilihat persentase produk susu cair yang TMS untuk masing-masing jenis susunya. Persentase TMS paling banyak ditemukan produk susu pasteurisasi, dan yang paling kecil persentase TMS nya adalah susu steril. Pada proses pembuatan susu pasteurisasi, panas yang digunakan tidak cukup membunuh semua mikroba pembusuk sehingga produk susu yang telah dipasteurisasi harus disimpan di suhu rendah saat pendistribusian dan penyimpanan baik di pabrik, ritel maupun di tangan konsumen. Penanganan susu pasteurisasi yang tidak hati-hati sehingga suhu penyimpanan tidak terkontrol inilah yang menyebabkan penurunan mutu susu pasteurisasi. Hasil pengujian tahun 2014 menunjukkan penyebab susu TMS adalah karena masalah mutu yaitu kandungan protein, kandungan lemak, dan kadar abu yang kurang dari yang dipersyaratkan. Proses panas selama produksi susu dapat
Gambar 3. Hasil pengujian produk susu
Gambar 4. Produk susu TMS
mempengaruhi kadar protein dan lemak pada susu walaupun hanya sedikit. Selain itu, penanganan produk dan kontrol suhu pada saat distribusi dan penyimpanan terutama untuk susu pasteurisasi juga dapat
disimpulkan bahwa kualitas susu cair dengan aplikasi proses termal yang beredar di Indonesia masih dalam kategori baik. Hal ini karena temuan produk yang tidak memenuhi syarat masih sebatas pada mutu
Tabel 2. Data penyebab TMS pada sampel susu cair di Tahun 2014 No
Jenis Susu
Penyebab TMS
Jumlah Sampel TMS
Persentase TMS (%)
1
Susu UHT
Kadar Protein, Kadar Lemak
7
70
2
Susu Pasteurisasi
Kadar Protein, Kadar Lemak
3
30
10
100
Jumlah berpengaruh pada mutu produk susu. Rincian penyebab TMS sampel susu di tahun 2014 tersaji pada Tabel 2. Berdasarkan hasil pengawasan produk susu, dapat
yang mempengaruhi kualitas dan bukan merupakan temuan yang mempengaruhi keamanan produk susu.
Majalah Keamanan Pangan | 15
TIPS MEMBELI PRODUK SUSU CAIR
S
ebelum membeli produk susu cair, sebagai konsumen yang cerdas, hendaknya teliti dalam mencermati label dan kondisi fisik susu yang akan dibeli. Berikut ini tips dalam memilih produk susu yang baik. 1. Pastikan produk susu terdaftar di Badan POM. Hal ini ditandai dengan pencantuman nomor izin edar BPOM RI MD atau BPOM RI ML pada kemasan 2. Cermati label kemasan susu, perhatikan keterangan pada label antara lain nama produk, berat bersih, nama dan alamat produsen, komposisi dan informasi nilai gizi, kode produksi, nomor registrasi, tanggal kedaluwarsa dan petunjuk penyimpanan 3. Perhatikan kondisi penyimpanan pada toko/ritel. Hindari susu yang disimpan pada kondisi suhu yang tidak sesuai terutama untuk susu pasteurisasi 4. Pastikan kemasan susu dalam keadaan utuh dan tidak rusak. Pada susu kemasan kaleng, kondisi kaleng yang menggembung, penyok dan berkarat merupakan indikator terjadinya pencemaran. Hindari susu dalam kemasan pouch dan tetrapak yang sudah penyok atau menggembung, karena kemungkinan terjadi kebocoran dan produk sudah tercemar.
16 | Majalah Keamanan Pangan
Wawasan
Penggunaan
Ginseng
Dalam Pangan Olahan Oleh : Arnita Yeyen, M.Si., Apt. Direktorat Penilaian Keamanan Pangan
Keanekaragaman pangan saat ini membuat konsumen cenderung tidak hanya menilai pangan dari segi citarasa atau nilai gizi saja, tetapi juga mempertimbangkan pengaruh pangan tersebut terhadap kesehatan tubuhnya. Hal tersebut menjadi latar belakang utama munculnya pangan fungsional, yaitu pangan yang selain memiliki fungsi citarasa dan nilai gizi, juga memiliki efek menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh.
M
inat masyarakat terhadap pangan fungsional terlihat dari peningkatan kecepatan pertumbuhan pasar produk pangan fungsional yaitu sebesar 15-20% per tahun (Hilliam 2000). Salah satu bahan yang ditambahkan pada pangan olahan adalah ginseng. Nama lain ginseng antara lain adalah ninjin, ginseng, ginsengwurzel,
hakusan, hakushan, higeninjin, hongshen, hungseng, hungshen, hunseng, jenseng, jenshen, jinpi, kao-li-seng, korean ginseng, minjin, nhan sam, ninjin, ninzin, niuhuan, oriental ginseng, otane ninjin, renshen, san-pi, shanshen, shengsai-seng, shenshaishanshen, shengshaishen, t’ang-seng, tyosenninzin, yakuyo ninjin, yakuyo ninzin, yehshan-seng,
yuan-seng, yuanshen (WHO 1999).
Sejak Kapan Ginseng Digunakan ?
Pada awalnya, ginseng digunakan sebagai obat herbal di China. Buku pertama yang menjelaskan tentang ginseng untuk aplikasi medis dari herbal adalah Shanghan Lun Book (Buku Pengobatan Majalah Keamanan Pangan | 17
Penyakit Diinduksi Dingin). Berdasarkan buku tersebut, ginseng merupakan bahan yang digunakan dalam 21 formula. Menurut Tradisional Chinese Medicine (TCM) herba ginseng baik berupa akar dari tumbuhan yang tumbuh liar maupun yang dibudidayakan dapat digunakan sebagai ramuan obat tradisional. Penamaan ginseng dalam bahasa China tergantung dari asal dan pengolahannya. Ginseng yang berasal dari akar tumbuhan liar disebut shan shen, sedangkan yang dibudayakan disebut yuan shen. Akar ginseng yang telah dibersihkan lalu dijemur atau dipanggang sampai kering dinamakan sheng shai shen dan bila akar ginseng dikukus kemudian dikeringkan disebut hong shen/ da li shen. Jika direndam dengan air gula lalu dijemur sampai kering disebut tang shen/ bai shen. Bila herba ini berupa akar halus disebut shen xu. Shan shen yang dijemur sampai kering disebut heng shai shan shen (Shinse Justina dkk 2010).
Apa Kandungan Kimia Ginseng ?
Kandungan kimia utama pada ginseng adalah ginsenosida yang termasuk golongan terpenoid (saponin triterpen) (Dharmananda 2000). Komponen tersebut adalah: 1. A g l i k o n ( 2 0 S ) protopanaxadiol: termasuk ginsenosida Ra1, Ra2, Ra3, Rb2, Rb3, 2. A g l i k o n (20s)protopanaxytriol: termasuk ginsenosida Re, Rf, Rgl, notoginsenosida R1. 3. Aglikon asam oleanolat: termasuk ginsenosida Ro, chikuset-susasaponin-V Rb1, Rb2, Re, Rd, Re, Rg1. 4. P o l i s a k a r i d a l a r u t a i r : panaxane A atau U
18 | Majalah Keamanan Pangan
5. Polyynes : termasuk falcarinol (panaxynol), falcarintriol (panaxytriol). Saponin triterpen terdapat lebih dari 30 jenis didasarkan pada struktur dammarane, dan satu ginsenosida Ro yang berasal dari asam oleanoliat. Saponin dammarane adalah turunan dari protopanaxadiol atau protopanaxatriol, termasuk ginsenosida Ra1_3, Rb1_3, Rc, RC2, Rd, RD2, Rh2, (20S)-ginsenosida Rg3, dan ginsenosida malonil RB1, RB2, Rc, dan Rd (Anonim 2004).
Apakah Ginseng Boleh Digunakan pada Pangan Olahan ?
Pangan olahan yang dievaluasi di Direktorat Penilaian Keamanan Pangan diantaranya adalah pangan yang menggunakan akar dan ekstrak ginseng seperti yang tercantum pada Codex STAN 295R-2009 tentang Regional standard for ginseng products. Jenis ginseng yang boleh digunakan sebagai pangan adalah Panax ginseng C.A. Meyer dan Panax quinquefolius L.
Mengapa Penggunaan Ginseng Dibatasi ?
B e rd a s a r k a n p e n e l i t i a n Siegel (1979), penggunaan ginseng dengan dosis 15 g per hari dalam jangka waktu dua tahun dapat menimbulkan beberapa efek di antaranya adalah diare, stimulan, depresi, edema, kecemasan, euphoria, peningkatan gairah seksual, penurunan nafsu makan, depresi, ruam, dan peningkatan stamina. Efek yang timbul tersebut dinamakan Ginseng Abuse Syndrome (GAS). Penggunaan bersama dengan kafein menimbulkan efek hipertensi. Pada 12 bulan pertama dilaporkan terjadi GAS,
namun 18-24 bulan selanjutnya jarang dilaporkan terjadi GAS, seiring dengan diturunkannya dosis menjadi 1.7 g per hari. Sebanyak 50 % subyek penelitian menghentikan konsumsi ginseng setelah 24 bulan pengujian. Kesimpulan penelitian ini adalah dalam jangka panjang gingseng menimbulkan gejala hipertensi.
Berapa Banyak Ginseng yang Diizinkan untuk Pangan Olahan ?
Berdasarkan kajian Direktorat Standardisasi Produk Pangan dan mengacu pada CODEX STAN 312-2015 Standard for Ginseng Products, kadar ginseng yang dapat digunakan sebagai bahan baku pada pangan adalah 0.5 – 2.0 g akar kering per hari. Penggunaan ginseng dalam bentuk akar utuh sebagai bahan pangan belum dapat diizinkan karena selain tidak lazim dikonsumsi sebagai bahan pangan bagi masyarakat Indonesia juga efek samping yang ditimbulkan dari konsumsi ginseng dalam jangka lama. Referensi
Anonim. 2004. PDR For Herbal Medicine. 3rd ed. Inggris Dharmananda S. 2000. Safety Issues Affecting Chinese Herbs: The Case of Ginseng. Institute for Traditional Medicine. Portland, Oregon Goldberg I. 1994. Functional Food. Champan and Hill. New York. Hilliam M. 2000. Functional food: how big is the market? World of Food Ingredient 12: 50-53. Sinshe Justina dkk. 2010. Herba Shinse Plus Resep Ramuan Warisan 2000 Tahun. PT. Gramedia. Jakarta. Siegel R. 1979. Ginseng abuse syndrome problems with the Panacea. Journal of The American Medical Association. Vol 241. America. WHO 1999. WHO Monographs on Selected Medicinal Plants. Volume1. Geneva
Regulasi
KAJIAN REGULASI FORTIFIKASI PANGAN DI INDONESIA Oleh: Yusra Egayanti, S.Si, Apt. (Direktorat Standardisasi Produk Pangan) Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia dan hak asasi setiap rakyat Indonesia yang senantiasa harus tersedia secara cukup, aman, bermutu, bergizi, dan beragam. Selain itu, pangan juga harus tersedia dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat. Pada Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan, telah ditekankan perlunya sistem pangan yang memberikan perlindungan, baik bagi pihak yang memproduksi maupun yang mengonsumsi pangan. Majalah Keamanan Pangan | 19
P
erlindungan yang dimaksud adalah dalam aspek ketersediaan, keamanan dan nilai gizi pangan. Kelaparan terhadap pangan dapat diartikan karena ketersediaan yang tidak memadai dan karena kelaparan terhadap zat gizi atau yang dikenal sebagai kelaparan tersembunyi (hidden hunger). Kelaparan terhadap zat gizi diantaranya adalah karena kekurangan zat gizi mikro.
Defisiensi Zat Gizi Mikro
Zat gizi mikro diperlukan tubuh karena secara ilmiah sudah terbukti bahwa kekurangan zat gizi mikro memberikan kontribusi besar terhadap beban penyakit yang melanda dunia. Pada tahun 2000, the World Health Report mengidentifikasi bahwa defisiensi yodium, zat besi, vitamin A, dan zink sebagai faktor risiko kesehatan yang paling serius di dunia. Disamping adanya manifestasi klinis yang nyata, kekurangan zat gizi mikro juga mengakibatkan berbagai gangguan fisiologis non-spesifik; penurunan daya tahan terhadap infeksi; gangguan metabolisme; dan gangguan perkembangan fisik dan psikomotorik. Defisiensi terhadap zat gizi mikro seperti gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY), anemia gizi besi (AGB) dan kurang vitamin A (KVA) secara luas menimpa lebih dari sepertiga penduduk dunia, termasuk Indonesia.
Fortifikasi pangan
Fortifikasi pangan merupakan penambahan zat gizi mikro pada pangan olahan. Dalam berbagai situasi, strategi ini dapat meningkatkan status gizi mikro secara relatif cepat dan dengan hemat biaya, terutama jika dapat memanfaatkan teknologi dan jaringan distribusi lokal yang ada. Karena manfaatnya yang besar, fortifikasi pangan
20 | Majalah Keamanan Pangan
dapat menjadi pilihan intervensi kesehatan masyarakat. Keberhasilan fortifikasi antara lain ditunjang dengan kepastian bahwa pangan yang diperkaya tersebut dikonsumsi dalam jumlah yang cukup oleh sebagian besar individu sasaran dalam suatu populasi. Selain itu juga diperlukan kemudahan akses seperti fortifikan yang digunakan dapat diserap dengan baik namun tidak mempengaruhi sifat sensori pangan. W H O d a n FA O t e l a h menerbitkan Guidelines on Food Fortification with Micronutrients (2006) untuk menangani permasalahan kekurangan zat gizi mikro. Pedoman ini dapat digunakan untuk membantu negara dalam merancang dan mengimplementasikan program fortifikasi pangan yang sesuai. Secara rinci, juga dijelaskan manfaat, kekurangan, rancangan, penerapan, monitoring, evaluasi, cost–benefit fortifikasi pangan, terutama untuk negara berkembang. Dalam pedoman ini juga dimuat bahwa kebijakan dalam penanganan kekurangan zat gizi mikro dapat dilakukan melalui diversifikasi dan fortifikasi pangan, pendidikan gizi, atau suplementasi. Diversifikasi keanekaragaman pangan dianggap sebagai pilihan yang paling baik
dan berkesinambungan, namun dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengimplementasikannya. Fortifikasi pangan cenderung mempunyai dampak lebih lambat namun cakupannya lebih luas dan berkelanjutan. Sedangkan suplementasi dapat meningkatkan status gizi individu atau populasi sasaran dengan cepat.
Aturan Fortifikasi
Dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada Pasal 141, dinyatakan bahwa upaya perbaikan gizi masyarakat ditujukan untuk peningkatan mutu gizi perseorangan dan masyarakat. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat bersama-sama menjamin tersedianya bahan pangan yang mempunyai nilai gizi yang tinggi secara merata dan terjangkau. Lebih jauh dijelaskan bahwa pemerintah berkewajiban menjaga agar bahan pangan memenuhi standar mutu gizi yang ditetapkan. Ketentuan serupa juga diperkuat dalam UndangUndang nomor 18 Tahun 2012 Pasal 63 yang menyatakan: 1. Pemerintah menetapkan kebijakan di bidang gizi untuk perbaikan status gizi masyarakat. 2. Kebijakan pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: penetapan persyaratan perbaikan atau pengayaan gizi pangan tertentu yang diedarkan apabila terjadi kekurangan atau penurunan status gizi masyarakat; Dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2004 Pasal 35 lebih rinci diuraikan pembagian kewenangan dalam penanganan masalah gizi ini, antara lain: 1. Dalam hal terjadi kekurangan dan/atau penurunan status gizi masyarakat perlu dilakukan upaya perbaikan gizi melalui pengayaan dan/ atau fortifikasi gizi pangan tertentu yang diedarkan. 2. Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan menetapkan jenis dan jumlah zat gizi yang akan ditambahkan serta jenisjenis pangan yang dapat ditingkatkan nilai gizinya melalui pengayaan dan/atau fortifikasi. 3. Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian menetapkan jenis-jenis pangan yang wajib diperkaya dan/atau difortifikasi dan tata cara pengayaan dan/atau fortifikasi gizi pangan tertentu . 4. Setiap orang yang memproduksi pangan yang harus diperkaya dan/atau difortifikasi untuk diedarkan wajib memenuhi ketentuan dan tata cara pengayaan dan/ atau fortifikasi gizi. 5. Pangan fortifikasi wajib memiliki surat persetujuan pendaftaran dari Badan POM. Dalam PP 28/2004 ini lebih spesifik dijelaskan bahwa penanganan masalah kekurangan gizi mikro dilakukan melalui pengayaan dan/atau fortifikasi. Pengayaan gizi
pangan didefinisikan sebagai penambahan zat gizi yang kurang secara alami atau yang hilang akibat pengolahan dan/ atau penyimpanan. Sedangkan fortifikasi gizi pangan adalah penambahan zat gizi esensial pada pangan tertentu yang sebelumnya tidak mengandung zat gizi yang bersangkutan.
Fortifikasi Wajib Garam Beryodium Upaya fortifikasi garam beryodium telah dimulai dengan adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri (Kesehatan; Perindustrian dan Perdagangan; dan Dalam Negeri) tahun 1982 tentang dimulainya upaya yodisasi garam rakyat. Surat keputusan bersama ini tahun 1985 ditingkatkan menjadi SKB – 4 menteri ditambah dengan Menteri Pertanian dan pada tahun 1994 ditingkatkan menjadi Keputusan Presiden No. 69 tahun 1994 tentang
wajib Yodisasi Garam. Dalam Kepres ini dinyatakan bahwa: 1. Garam yang dapat diperdagangkan untuk keperluan konsumsi manusia atau ternak, pengasinan ikan, atau bahan penolong industri pangan adalah garam beryodium yang telah memenuhi Standar Industri Indonesia (SII)/Standar Nasional Indonesia (SNI). 2. Sebelum diperdagangkan wajib terlebih dahulu diolah melalui proses pencucian dan yodisasi. Ketentuan teknis diatur dalam SNI 3556 tahun 2010 tentang garam konsumsi beryodium, yang telah diberlakukan secara wajib oleh Menteri Perindustrian, antara lain meliputi persyaratan mutu khususnya kandungan Kalium yodat (KIO 3) sebesar 30 mg/ kg. Disamping itu juga terdapat Peraturan yang mengatur penunjukan Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) yang diakui melalui Peraturan Menteri Majalah Keamanan Pangan | 21
Perindustrian No. 59/M-IND/ PER/11/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian No. 10/M-IND/PER/2/2013 tentang Penunjukan Lembaga Penilaian Kesesuaian dalam Rangka Pemberlakuan dan Pengawasan SNI Garam Konsumsi Beryodium secara Wajib. Tepung Terigu Fortifikasi Tepung terigu sebagai bahan pangan adalah tepung yang dibuat dari endosperma biji gandum Triticum aestivum L (club wheat) dan/atau Triticum compactum Host atau campuran keduanya dengan penambahan Fe, Zn, vitamin B1, vitamin B2 dan asam folat sebagai fortifikan. Menteri Kesehatan melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1452/ MENKES/SK/X/2003 tentang Fortifikasi Tepung Terigu mewajibkan bahwa tepung terigu yang diproduksi, diimpor atau diedarkan di Indonesia harus ditambahkan fortifikan sehingga mengandung: 1. Besi min 50 ppm; 2. Seng min 30 ppm; 3. Vitamin B1 (tiamin) min 2,5 ppm; 4. Vitamin B2 (riboflavin) min 4 ppm; 5. Asam folat min 2 ppm Pada tahun 2001, ditetapkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.153 tahun 2001, tentang Standar Nasional Indonesia Tepung Terigu yang pada bulan Pebruari 2008, SNI wajib fortifikasi tepung terigu dicabut oleh pemerintah. Pada bulan Juli 2008, SNI wajib fortifikasi tepung terigu diberlakukan kembali. Saat ini SNI dan Peraturan Menteri Perindustrian tentang tepung terigu telah diperbaharui sebagai berikut ini. 1. SNI tentang Tepung Terigu Sebagai Makanan diatur
22 | Majalah Keamanan Pangan
dalam SNI 3751 tahun 2009 2. Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 35/M-IND/PER/3/2011 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Tepung Terigu sebagai Bahan Makanan secara Wajib Minyak Goreng Sawit Fortifikasi Minyak goreng sawit fortifikasi diatur dalam SNI 7709: 2012 tentang Minyak Goreng Sawit, yang telah diberlakukan secara wajib melalui Peraturan Menteri Perindustrian No. 87/M-IND/PER/12/2013. Dalam SNI, minyak goreng sawit didefinisikan sebagai: ”bahan pangan dengan komposisi utama trigliserida berasal dari minyak sawit, dengan atau tanpa perubahan kimiawi, termasuk hidrogenasi, pendinginan, dan telah melalui proses permunian dengan penambahan vitamin A”. Minyak goreng sawit wajib dikemas dalam kemasan (bukan curah) menggunakan kemasan tara pangan serta wajib mengandung kadar vitamin A minimal 40 IU.
Fortifikasi Sukarela
Produsen dapat melakukan f o r t i f i k a s i s u k a re l a u n t u k mempertahankan mutu atau meningkatkan nilai tambah produk untuk tujuan pemasaran. Upaya ini bukan merupakan suatu kewajiban yang dimandatkan oleh regulasi. Pertimbangan fortifikasi sukarela, disamping sebagai upaya persaingan dagang namun juga dapat dijadikan pilihan bagi masyarakat untuk meningkatkan status kesehatan asalkan cermat dalam memilih. Meskipun demikian, penambahan zat gizi secara sukarela ini juga telah diatur dalam sejumlah regulasi dan harus dipenuhi oleh produsen pangan dalam rangka jaminan informasi yang
benar bagi masyarakat dan persaingan dagang yang jujur dan bertanggung jawab.
Monitoring dan Evaluasi
Dalam PP 28/2004, dijelaskan bahwa pangan fortifikasi wajib didaftarkan di Badan POM, dan tidak dapat didaftarkan sebagai Produk Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT). Disamping harus memenuhi persyaratan teknis yang ada dalam SNI; garam, tepung terigu dan minyak goreng sawit; juga harus memenuhi persyaratan lainnya. Persyaratan lainnya adalah ketentuan pelabelan (termasuk kewajiban pencantuman informasi nilai gizi), penggunahan bahan tambahan pangan, batas maksimum cemaran lainnya, pemenuhan cara produksi pangan yang baik serta ketentuan teknis lainnya. Pengawasan terhadap peredaran pangan fortifikasi wajib agar memenuhi ketentuan dilakukan oleh Badan POM sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku. Monitoring dan evaluasi merupakan komponen penting dalam program fortifikasi pangan. Monitoring dan evaluasi memberikan kesempatan tidak hanya untuk menilai kualitas implementasi dan pelaksanaan program, tetapi juga untuk mengetahui sejauh mana program tersebut mencapai rumah tangga dan individu sasaran serta pencapaian tujuan perbaikan gizi. Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi, pembuat kebijakan dapat membuat keputusan untuk melanjutkan, memperluas cakupan, atau mengakhiri program fortifikasi.
Regulasi
KAJIAN REGULASI PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN No HK.03.1.23.07.11.6664 TENTANG PENGAWASAN KEMASAN PANGAN Oleh : Dra. Ani Rohmaniyati, M.Si dan Dra. Yohana Sente Limbu, Apt (Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya)
Peraturan Kepala Badan POM No HK.03.1.23.07.11.6664 tentang Pengawasan Kemasan Pangan yang merupakan Revisi dari Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor: HK 00.05.55.6497 tentang Bahan Kemasan Pangan, adalah peraturan teknis yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah N0 28 tahun 2004 tentang Keamanan Mutu dan Gizi Pangan dan Undang-Undang No 18 tahun 2012 tentang Pangan terus mengalami perubahan terkait dengan perkembangan ilmu dan teknologi di bidang kemasan pangan. Saat ini peraturan tersebut sedang dilakukan amandemen terutama terkait dengan Lampiran 2C yang berisi perubahan tentang jenis simulan, lama dan suhu pengujian. Sampai tanggal 13 April 2015 sedang dilakukan notifikasi ke SPS (Sanitary and Phyto Sanitary) karena adanya permintaan perpanjangan jangka waktu notifikasi oleh suatu negara.
Majalah Keamanan Pangan | 23
P
eraturan kemasan pangan inter nasional sebagian besar mengacu pada salah satu dari tiga peraturan dari Uni Eropa, US-FDA dan Jepang. Perkembangan ilmu pengetahuan terkait dengan keamanan kemasan pangan berkembang sangat pesat, sehingga peraturan yang sekarang ada harus selalu dievaluasi. Hal ini sejalan dengan perubahan beberapa peraturan acuan tentang kemasan pangan seperti peraturan dari Uni Eropa yang perubahannya dilakukan setiap 6 bulan. Begitu juga peraturan dari US-FDA dan Jepang yang selalu berubah seiring notifikasi yang diterbitkan. Selain itu, standar kemasan pangan merupakan salah satu standar yang akan diharmonisasikan terkait dengan AEC (Asean Economic Community) 2015 dan termasuk dalam skema
24 | Majalah Keamanan Pangan
Task Force on Harmonization of Prepared Foodstuff Standards (TF-HPFS). Selama ini tidak ada peraturan kemasan pangan yang sama diantara negara ASEAN, sehingga semakin menguatkan perlunya pembahasan yang lebih intensif terkait persyaratan keamanan kemasan pangan. Pada peraturan yang sudah diterbitkan di Indonesia yang mengacu pada UU No. 18 tahun 2012 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, dinyatakan bahwa kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus pangan baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak. Peraturan tersebut mengatur bahan yang dilarang maupun bahan yang diizinkan sebagai kemasan pangan. Bahan yang diizinkan mencakup berbagai
bahan kemasan pangan seperti plastik, kertas, logam, keramik, karet, dll termasuk bahan aditif (penolong) dalam pembuatan kemasan pangan maupun bahan penyusun kemasan pangan. Sedangkan keamanan kemasan pangan terkait dengan batas migrasi bahan yang diizinkan sebagai kemasan pangan.
Fungsi kemasan
Fungsi kemasan pangan adalah sebagai: - Wadah; agar bahan yang dikemas tidak berserakan, mudah disimpan dan disusun, mudah dihitung dan memudahkan transportasi - Pelindung; agar bahan yang dikemas tidak rusak oleh faktor dari luar, seperti air, uap air, oksigen, dan cahaya serta supaya zatzat yang terkandung dalam bahan tersebut tidak hilang
primer/primary amines (PAAs) dalam kemasan poliamide (Nylon). Sebagai acuan adalah pedoman dan kriteria FA according to the guidelines and criteria specifically set by the EU-RL-NRL Network (EUR 24105, 2009).
Kesimpulan
- Sarana promosi dan informasi; agar produk yang dikemas dapat dengan mudah diketahui fungsi, cara pakai, keunggulan, dan untuk membedakannya dengan produk lain yang sejenis. Fungsi kemasan sebagai pelindung adalah agar bahan yang dikemas terlindung dari pengaruh fisik, kimia dan biologi. Perlindungan dari pengaruh fisik dapat dilihat dari ketahanan kemasan terhadap pengaruh luar seperti masuknya udara, oksigen maupun uap air. Perlindungan dari pengaruh kimia dipengaruhi oleh besaran senyawa kimia yang dapat berpindah ke dalam pangan (migrasi). Besaran migrasi diatur berdasarkan keamanan bahan tersebut terhadap kesehatan, misalnya syarat migrasi Bisfenol A adalah 0.6 ppm.
Perkembangan Peraturan
Mengingat perkembangan ilmu dan teknologi dan penggunaan bahan kimia yang beragam untuk kemasan pangan maka perlu dilakukan evaluasi keamanan secara terus menerus. Hal penting yang perlu ditinjau ulang terkait teknologi kemasan pangan antara lain adalah sebagai berikut.
1. Perbaikan sifat fisik kemasan. Perkembangan teknologi memungkinkan penambahan berbagai bahan/senyawa untuk mendapat sifat yang diinginkan. Sebagai contoh, untuk mencegah masuknya uap air ke dalam kemasan dapat ditambahkan lapisan pada kemasan fleksibel, seperti PET/PE/LLDPE atau lapisan Aluminium (Al metalized) seperti OPP20/ tinta/adh/ VMCPP25 atau PET12/TINTA/PE15/Al7/ adh/CPP25, sehingga perlu dilakukan pengelompokan kemasan multilayer. 2. Penambahan persyaratan migrasi global pada semua jenis kemasan plastik yang mengacu ke EC Regulation (EC) No. 882/2004.
Berdasarkan uraian tersebut, d i p e r l u k a n re v i s i b e r k a l a terhadap peraturan pengawasan kemasan pangan. Hal-hal yang perlu selalu diperbaharui untuk dikaji antara lain adalah: 1. Batas migrasi/residu beberapa senyawa yang menjadi perhatian internasional (misalnya BPA, stirena) 2. Jenis bahan tambahan kemasan pangan yang diizinkan. Keterangan : • OPP = Oriented Polypropylene • PE = Polyethylene • LLDPE = Linear Low Density Polyethylene • PET = Polyethylene Terephthalate • VMCPP = Vaccum Metallized Cast Polypropylene • Al metalized : Lapisan metal/ logam aluminium • Adh = Adhesive • APP = Atactic Polypropylene
3. Penambahan persyaratan untuk kertas. Syarat yang perlu ditambahkan adalah penggunaan simulan pada pangan kering dan pengelompokan jenis bahan tambahan kertas, termasuk yang digunakan untuk cupcake 4. Penambahan berbagai aditif. Termasuk yang sudah diizinkan oleh FDA setelah tahun 2010 5. Penambahan senyawa amin Majalah Keamanan Pangan | 25
Teknologi Pangan
Manisan Buah Pepaya Kering Oleh : Fauzi Achmadi, STP, MP Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan
B
uah pepaya merupakan salah satu buah yang enak untuk dikonsumsi dan banyak mengandung vitamin, mineral dan serat. Pepaya merupakan buah yang banyak terdapat di daerah tropis, seperti Indonesia. Vitamin yang dominan dari buah pepaya adalah vitamin A (Direktorat Gizi Depkes RI, 1992), sehingga pepaya ber manfaat membantu menjaga kesehatan mata. Buah pepaya yang matang biasanya langsung dikonsumsi, sedangkan buah pepaya muda dikonsumsi sebagai sayuran. Buah pepaya mengkal yang agak tua dapat diolah menjadi manisan kering. Pembuatan manisan buah pepaya kering sama seperti pembuatan manisan buah pada umumnya. Gula cair digunakan sebagai pemberi rasa manis sekaligus akan menurunkan aktivitas air sehingga membantu agar manisan awet. Pengeringan akan menjadikan manisan buah pepaya kering dan awet. Natrium benzoat sebagai pengawet dapat digunakan atau tidak bergantung dari kondisi pengeringan dan lama penyimpanan yang diinginkan.
26 | Majalah Keamanan Pangan
Cara Pembuatan Bahan-bahan : • 10 kilogram buah pepaya (agak mengkal) • 5 kilogram gula pasir • 300 gram kapur sirih • 4 gram natrium benzoat (sebagai pengawet) • 15 gram garam • Air bersih secukupnya Proses pembuatan : 1. Pertama-tama kulit buah pepaya dikupas kemudian dipisahkan biji dari daging buah pepaya. Setelah itu daging buah pepaya dipotong-potong sesuai selera. Dianjurkan pemotongan dengan ukuran agak kecil agar gulanya nanti cepat meresap. 2. Selanjutnya disiapkan 300 gram kapur sirih yang dilarutkan dalam 150 liter air. Potongan buah pepaya dimasukkan ke dalam larutan tersebut dan dibiarkan terendam selama kurang lebih satu jam. Setelah itu, potongan buah pepaya diangkat, dicuci dengan air bersih dan ditiriskan. 3. Sementara itu, gula dilarutkan dalam air (untuk satu kilogram gula dibutuhkan satu liter air). Kemudian natrium benzoat dimasukkan dalam larutan gula dan larutan dididihkan. Setelah mendidih, api dikecilkan dan potongan buah pepaya dimasukkan ke larutan gula dan dibiarkan selama kurang lebih 2 jam. Setelah itu, api dimatikan, dan potongan buah pepaya dibiarkan terendam selama 5 jam. Langkah ini diulangi beberapa kali agar larutan benar-benar meresap ke dalam potongan buah pepaya. 4. Potongan buah pepaya yang sudah terendam selama 5 jam diangkat, ditiriskan dan dikeringkan di bawah sinar matahari. 5. Jika sudah kering, manisan buah pepaya dapat disimpan dalam kemasan kedap udara agar manisan buah pepaya dapat disimpan lama.
Peristiwa
Bulan Keamanan Pangan Oleh : Novinar, M.Epid Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan
P
Foto bersama dengan Kepala Badan POM pada acara bulan keamanan pangan
embaca yang budiman, apakah anda tahu bahwa tanggal 7 April 2015 merupakan hari istimewa bagi dunia pangan ? Mengapa ? Ya, karena tangga 7 April 2015 merupakan hari Kesehatan Dunia dengan tema Food Safety dan merupakan kesempatan untuk mengingatkan pemerintah, p ro d u s e n , p e n g e c e r d a n masyarakat tentang pentingnya keamanan pangan, dimana
masing-masing pihak dapat berperan untuk memastikan bahwa pangan aman untuk dikonsumsi. Badan POM berpartisipasi dengan menyelenggarakan Gebyar Bulan Keamanan Pangan mulai tanggal 9 april hingga tanggal 30 April 2015 dengan tema “Mewujudkan Pangan Aman Hingga Tingkat Perseorangan Melalui Edukasi Keamanan Pangan Berbasis
Mona Ratuliu dan keluarga Pompi
Masyarakat” Acara bulan keamanan pangan dibuka pada tanggal 9 April 2015 dengan melaksanakan penyuluhan keamanan pangan yang dikemas dalam bentuk talk show antara Kepala Badan POM, Dr. Roy A. Sparringa dengan artis Mona Ratuliu yang sangat perhatian terhadap keluarga dan Master Cheff Junior tahun 2015, Chacha. Talk show bertema “Pangan Aman berasal dari keluarga Cerdas” tersebut mengupas tuntas permasalahan keamanan pangan keluarga, sekaligus mempertunjukkan demo menyiapkan pangan secara aman. Acara ini merupakan acara interaktif dengan para peserta, dimana beberapa peserta melontarkan pertanyaan dan mengajukan saran dengan antusias. Acara pembukaan berupa talk show ini dihadiri oleh masyarakat luas yang sebagian besar merupakan organisasi masyarakat seperti perwakilan kowani, PKK, Ketua Persaudaraan Istri Anggota (PIA) DPR, pramuka, PP Salimah, dll. Selama bulan keamanan diselenggarakan beberapa pertemuan berupa workshop dengan berbagai tema keamanan pangan yang dihadiri oleh berbagai pihak atau pemangku kepentingan (stakeholder), yaitu : Workshop Jejaring Intelijen Pangan (JIP), Wo r k s h o p P e n g e m b a n g a n Kompetensi Keamanan Pangan, Workshop Indonesia Cheff Association (ICA), Forum Diskusi Peningkatan Daya Saing UMKM pangan, Workshop Jejaring Keamanan Pangan Nasional Majalah Keamanan Pangan | 27
Peserta bulan keamanan pangan antusias berinteraksi
(JKPN), Workshop Kebijakan Keamanan Pangan, Training Fasilitator Keamanan Pangan Sekolah dan Workshop Jejaring Promosi Keamanan Pangan (JPKP). Pada workshop JIP disampaikan hasil kajian tentang perkiraan kerugian ekonomi akibat KLB Keracunan Pangan di Indonesia sebesar 2.9 Triliun rupiah, namun kajian ini masih perlu dilengkapi mengingat masih menggunakan asumsi – asumsi, misalnya standar biaya minimal, Upah Minimum Regional (UMR), dan kehilangan penjualan akibat penarikan produk. Workshop Keamanan Pangan Kuliner bersama Cheff Indonesia dengan tema “Peran Chef Dalam Peningkatan Keamanan dan Mutu Pangan Kuliner di Indonesia”. Harapannya para chef dapat menjadi agent-agent keamanan pangan di sektor pangan siap saji. Pelatihan Fasilitator Keamanan Pangan Sekolah diikuti oleh guru PAUD dan instruktur guru PAUD dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), aktivis, mahasiswa, ibu rumah tangga dan pramuka.
Workshop JPKP yang dihadiri Pada acara penutupan oleh berbagai perwakilan tersebut juga sempat instansi, universitas, YLKI, diperagakan edukasi keamanan GAPMMI dan media massa pangan melalui per mainan membahas isu/informasi ular tangga yang bertemakan keamanan pangan melalui keamanan pangan. media massa termasuk media Untuk informasi lebih elektronik, dengan nara sumber lengkap, dapat membaca buku Prof. Winiati Pudji Rahayu dan Kaleidoskop Bulan Keamanan perwakilan dari TV Trans 7. Pangan 2015 yang diterbitkan Gebyar Bulan Keamanan D i re k t o r a t S u r v e i l a n d a n Pangan berakhir pada tanggal 30 Penyuluhan Keamanan Pangan April 2015 yang ditandai dengan Badan POM. acara “Publikasi Buku Keamanan Yuk kita tingkatkan kesadaran Pangan” dan talkshow tentang dan pengetahuan masyarakat “Nano Teknologi Pada Pangan” mengenai pentingnya keamanan bersama ahli nano teknologi, Dr pangan. Etik Mardliyati, M.Eng. dari BPPT. Untuk pemenuhan keamanan produk pangan yang menggunakan teknik nano dan partikel nano, harus ada persyaratan / standar keamanan partikel nano yang diizinkan untuk pangan dan kesiapan peralatan yang akan digunakan untuk melakukan pengawasan. Talkshow Kepala Badan POM dengan Mona Ratuliu dan Chef Chacha Junior Masterchef
28 | Majalah Keamanan Pangan
Peristiwa
Workshop Pengembangan Kompetensi Profesi Keamanan Pangan
Peserta Workshop Pengembangan Kompetensi
S
alah satu rangkaian acara dalam Bulan Keamanan Pangan yaitu Workshop Pengembangan Kompetensi Profesi Keamanan Pangan yang dihadiri oleh instansi terkait, asosiasi profesi keamanan pangan (PATPI, APKEPI), asosiasi industri pangan, perwakilan industri pangan, perwakilan perguruan tinggi, perwakilan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) Dalam sambutannya, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Drs. Suratmono, MP. menyampaikan bahwa kompetensi di bidang keamanan pangan sangat penting, karena di akhir tahun 2015 sudah diberlakukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community / AEC). Badan POM telah mengembangkan Sistem Kompetensi bagi tenaga Pengawas Pangan dan LSP Keamanan Pangan yang sudah d i a k re d i t a s i B N S P. U n t u k mengembangkan kompetensi di rantai pangan lainnya, Deputi Bidang Pengawasan Kemanan Pangan dan Bahan Berbahaya mengajak semua pihak untuk bersama-sama mengembangkannya, semua komponen bangsa bergerak bersama Pada workshop ini Direktur
Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Badan POM RI menyampaikan tentang pentingnya Sertifikasi Profesional Muda di Bidang Keamanan Pangan seiring dengan pertumbuhan usaha pangan skala mikro. Tenaga di industri pangan perlu profesional sehingga mampu memproduksi produk pangan yang aman dan bermutu. Para profesional muda bidang keamanan pangan ini berperan penting dalam menganalisa akar permasalahan keamanan pangan dan perencanaan tindakan pencegahan agar permasalahan keamanan pangan yang serupa tidak terulang kembali. Badan POM RI telah mengembangkan LSP pihak 2 untuk regulator / pengawas pangan, diharapkan LSP pihak 3 untuk profesional keamanan pangan bisa berkembang. LSP Indonesia juga diharapkan mampu bersaing dengan LSP asing Sedangkan Ir. Surono Mphil, Ketua Komisi Perencanaan dan Har monisasi Kelembagaan BNSP, menyampaikan tentang Dasar Pemikiran Sertifikasi Kompetensi Profesi Tenaga Kerja, manfaat dan Keamanan pangan merupakan sektor utama di ASEAN yang harus dipercepat. Profesional
dan karyawan di industri pangan harus kompeten (shall be competent). Industri pangan harus memastikan dan memelihara kompetensi karyawannya. Dibahas pula tentang keterpaduan (link and match) sistem sertifikasi kompetensi dengan sistem pendidikan berbasis kompetensi dan kerangka kualifikasi (KKNI) dalam rangka pengembangan karir, serta peta (usulan) skema sertifikasi kualifikasi keamanan pangan. Pada saat diskusi, terungkap harapan para profesional keamanan pangan bahwa okupasi dapat diharmonisasi (BRC, GFSI), tidak harus uji kompetensi di luar negeri. Di akhir pertemuan dihasilkan rekomendasi, yaitu disepakati bahwa semua pihak, baik Pemerintah, Perguruan Tinggi, Industri pangan, Asosiasi profesi, Asosiasi industri pangan berperan mengembangkan kompetensi Profesional Muda Keamanan Pangan dan akan mengidentifikasi serta memetakan jabatan bidang keamanan pangan hingga lanjut ke sistem sertifikasi kompetensi, Untuk itu akan dibentuk Komite Standar Kompetensi yang terdiri dari berbagai pihak terkait guna mengembangkan SKKNI Bidang Keamanan Pangan secara cepat. Novinar – Dit SPKP Majalah Keamanan Pangan | 29
Cemaran
Mewaspadai Cemaran Salmonella spp pada Pangan Oleh : Rina Puspitasari, STP, MSc Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Salmonella merupakan kelompok bakteri paling populer sebagai penyebab penyakit akibat pangan di muka bumi. Sebanyak 93.8 juta kasus gastroenteritis dengan 155 ribu kematian diperkirakan terjadi setiap tahun karena Salmonella. Sekitar 80.3 juta kasus di antaranya disebabkan konsumsi pangan yang tercemar bakteri ini. Oleh karena itu, penyakit akibat Salmonella menyebabkan kerugian yang tidak sedikit di negara berkembang maupun maju dan menjadi perhatian dalam kesehatan masyarakat. Salmonella dicirikan sebagai bakteri Gram-negatif berbentuk batang yang terbagi dalam dua spesies utama yaitu Salmonella enterica dan Salmonella bongori. S.enterica dikelompokkan lebih lanjut dalam 6 sub-spesies dan sub spesies diklasifikasikan dalam serovar atau serotipe yang kemudian digunakan dalam penamaan Salmonella secara umum. Sekitar 2.600 serovar Salmonella telah berhasil diidentifikasi hingga tahun 2007. Kondisi lingkungan normal sangat kondusif untuk pertumbuhan Salmonella sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1. Meskipun demikian, beberapa Salmonella mampu bertahan dan menoleransi
akan sembuh dengan sendirinya dibandingkan penyakit tifoid. Perbandingan karakteristik kedua penyakit ini dirangkum pada Tabel 2. Saluran pencernaan hewan mamalia dan unggas merupakan sumber utama cemaran Salmonella non-tifoid meskipun beberapa strain bakteri ini juga dijumpai pada hewan berdarah dingin (reptil, kura-kura) dan hewan yang hidup di air (kerangkerangan, ikan). Oleh karenanya, penyakit non-tifoid ini termasuk penyakit yang dihantarkan oleh hewan (zoonosis). Sebaliknya, manusia adalah inang dari mana Salmonella penyebab tifoid berasal. Sekitar 95% Salmonella non-tifoid dan 80% Salmonella tifoid diperkirakan masuk ke tubuh secara oral. Salmonella dapat mencemari rantai pangan melalui beberapa rute seperti (1) terbawa pada pangan asal hewan yang menjadi sumber Salmonella; (2) kotoran hewan atau manusia yang mencemari tanah di mana tanaman pangan dibudidayakan, air untuk irigasi lahan pertanian atau mencuci sayur dan buah; (3) kotoran hewan digunakan sebagai pupuk pada lahan pertanian; dan (4) kontaminasi silang antara pangan mentah dan pangan matang, penjamah pangan carrier Salmonella dengan pangan matang, atau Tabel 1. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan Salmonella permukaan yang terkontaminasi dengan pangan matang. Oleh Faktor Minimal Optimal Maksimal karenanya, meskipun konsumsi pangan mentah atau setengah Suhu 5.2 35-43 46.2 matang umumnya menjadi jalur pH 3.8 7-7.5 9.5 utama masuknya Salmonella ke aw 0.93 0.99 > 0.99 dalam tubuh, konsumsi pangan
30 | Majalah Keamanan Pangan
keadaan lingkungan yang ekstrim seperti suhu beku (-23 o C pada butter) dan aw rendah (0.3-0.5 pada cokelat). Keberadaan atau ketiadaan oksigen tidak menjadi masalah untuk pertumbuhan Salmonella karena bakteri ini merupakan organisme anaerobik fakultatif. Kemampuan Salmonella membentuk biofilm pada berbagai permukaan seperti plastik, gelas, dan stainless steel menjadi tantangan lain yang harus pula diwaspadai dalam pencegahan kontaminasi bakteri ini ke dalam pangan kita. S.enterica diyakini b e r t a n g g u n g j a w a b menyebabkan mayoritas penyakit akibat pangan di dunia. Penyakit yang ditimbulkannya digolongkan dalam dua kelompok, tergantung serovar penyebabnya, yaitu salmonellosis non-tifoid dan salmonellosis tifoid. Kedua jenis penyakit ini dapat menimpa siapapun dalam berbagai kelompok umur meskipun perhatian khusus perlu diberikan pada kelompok rentan seperti lansia, bayi dan orang dengan sistem imun rendah yang memiliki risiko terinfeksi lebih besar dengan gejala lebih parah dibandingkan kelompok yang sehat. Gejala yang timbul pada penyakit nontifoid biasanya lebih ringan dan
Daftar Pustaka
Tabel 2. Karakteristik salmonellosis non-tifoid dan tifoid Karakteristik
Non-tifoid
Tifoid
Penyebab
Serotipe selain S.Typhi and S.Paratyphi A. Umumnya S.Typhimurium dan S.Enteritidis
S. Typhi dan S.Paratyphi A
Masa inkubasi
6-72 jam, paling sering 12-36 jam
3 hari-1 bulan, umumnya 8-14 hari
Gejala
Mual, muntah, kram perut, diare, demam, sakit kepala
Demam tinggi berkepanjangan; lesu; gangguan pencernaan (sakit perut, diare atau konstipasi); sakit kepala; kehilangan nafsu makan. Ruam, bintik-bintik merah kadang-kadang terjadi
matang yang terkontaminasi silang dengan bakteri ini juga patut diwaspadai dapat menyebabkan sakit. Jenis pangan yang telah diketahui menjadi penyebab kejadian luar biasa penyakit akibat pangan yang tercemar Salmonella adalah telur dan produk yang menggunakan telur mentah atau telur yang tidak dimasak sempurna, susu, dan daging (sapi, unggas), produk perikanan, dan sayuran. Beberapa survei dan studi di Indonesia dan negara tetangga juga menunjukkan keberadaan Salmonella pada berbagai pangan seperti daging ayam (Restika, 2012; Setiowati dan Inanusantri, 2011; Siahaan, 2009), telur (Oktavera, 2011), sayuran segar (Agustin, 2004; Salleh, et al, 2003; Susilawati, 2002), makanan matang (Srianta dan Rinihapsari, 2003; Yusuf, 2004), dan minuman es (Waturangi et al, 2012). Sebuah studi di Thailand juga menunjukkan kontaminasi Salmonella pada daging, produk perikanan, dan sayuran yang diambil dari ritel. Sebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia, mensyaratkan Salmonella tidak ada dalam 25 g atau ml pangan. Bahkan Uni Eropa menetapkan kriteria yang lebih ketat yaitu tidak ada dalam 10 g sampel untuk daging. Berbagai upaya pencegahan dan pengendalian perlu diterapkan untuk mencegah kontaminasi dan berkembangnya
Salmonella. Penerapan Cara Budidaya yang Baik dengan memperhatikan sumber air dan pupuk organik (alami) yang digunakan pada proses budidaya tanaman pangan ataupun praktik higiene dan sanitasi secara konsisten pada peternakan dan pemotongan hewan menjadi titik awal untuk meminimalisir potensi kontaminasi Salmonella pada rantai pangan. Penggunaan teknologi iradiasi; perlakuan panas yang sempurna; penambahan pengawet seperti asam benzoat, asam sorbat, dan asam propionat; serta kombinasi perlakuan seperti penuruhan pH dan suhu adalah beberapa alternatif yang dapat diterapkan di industri pangan untuk mengeliminir atau menghambat pertumbuhan Salmonella pada pangan. Konsumen juga tidak ketinggalan untuk melakukan praktik yang baik seperti mencuci tangan setelah menangani bahan pangan berisiko (daging, telur, sayur) atau menyentuh hewan peliharaan, membersihkan permukaan kontak pangan, dan memasak pangan hingga matang untuk mencegah kontaminasi Salmonella pada pangan yang akan dikonsumsi. Penerapan praktik yang baik di sepanjang rantai pangan merupakan upaya nyata mewaspadai cemaran Salmonella pada pangan.
Agustin, D.S. 2004. Prevalensi Salmonella pada Selada Segar di Pasar Tradisional Daerah Bogor dan Evaluasi Prosedur Pengujiannya. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Ananchaipattana, C., Hosotani, Y., Kawasaki, S., Pongsawat,S., Md. Latiful, B., Isobe, S., and Inatsu, Y. 2012. Prevalence of Foodborne Pathogens in Retailed Foods in Thailand. Foodborne Pathogens and Disease. Volume 9, Number 9 Anses (French Agency for Food, Environmental, and Occupational Health and Safety). 2011. Data sheet on foodborne biological hazards: Salmonella spp Hammack, T. 2012. Salmonella species in US FDA Bad Bug Books Foodborne Pathogenic Microorganisms and Natural Toxins - Second Edition Majowicz, S.E., Musto, J., Scallan, E., Angulo, F.J., Kirk, M., O’Brien, S.J., Jones, T.F., Fazil, A., and Hoekstra, R.M. 2010. The Global Burden of Nontyphoidal Salmonella Gastroenteritis. Clinical Infectious Diseases 50: 882-889 Oktavera, N.W. 2011. Keberadaan Salmonella spp pada telur ayam dan telur bebek yang dijual di pasar tradisional di Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Restika, K. D. 2012. Keberadaan Salmonella pada Daging Ayam yang Dijual di Pasar Tradisional di Kota Tangerang Selatan. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Salleh, N.A., Rusul, G., Hassan, Z., Reezal, A., Isa, S.H., Nishibuchi, M., dan Radu, S. 2003. Incidence of Salmonella spp. in raw vegetables in Selangor, Malaysia. Food Control 14: 475-479 Setiowati, W.E., Inanusantri. 2011. Kajian Monitoring dan Surveilan Cemaran Mikroba pada Daging dan Hati Ayam Mengacu pada Persyaratan SNI di DKI Jakarta. Prosiding PPI Standardisasi 2011 – Jakarta, 16 November 2011 Siahaan, R.I. 2009. Cemaran Salmonella spp pada Daging Ayam di Pasar Wilayah Kota Jakarta Barat. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor Susilawati, A. 2002. Keamanan Mikrobiologi dan Survei Lapangan Sayuran di Tingkat Petani dan Pasar Tradisional di Daerah Bogor. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Srianta dan Rinihapsari, E. Deteksi Salmonella pada Nasi Goreng yang Disediakan oleh Restoran Kereta Api Kelas Ekonomi. 2003. Jurnal Teknol. dan Industri Pangan, Vol XIV, No 3 Waturangi, D., Wiratama, E., Sabatini, A. 2012. Prevalence and and molecular characterization of Salmonella enterica Serovar Typhimurium from ice and beverages sold in Jakarta, Indonesia, using most probable number and multiplex PCR. 15th ICID Abstracts / International Journal of Infectious Diseases 16S: e2–e157 Yusuf, A.L. 2004. Studi Keamanan Mikrobiologis Makanan Jajanan di Kantin Asrama Putri Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Majalah Keamanan Pangan | 31
SMS : 081.21.9999.533 Email :
[email protected] www.pom.go.id @bpom_ri bpomri
32 | Majalah Keamanan Pangan