Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
TINGKAT CEMARAN SALMONELLA SP. PADA TELUR AYAM RAS DI TINGKAT PETERNAKAN KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA WIDAGDO SRI NUGROHO Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Jl. Agro No.1 Karang Malang, Yogyakarta Telp. 0274 901374, email:
[email protected]
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mendapatkan angka prevalensi cemaran Salmonella sp. pada telur ayam ras di Kabupaten Sleman Yogyakarta, (2) menghitung kekuatan asosiasi antar faktor-faktor dengan tingkat prevalensi cemaran Salmonella sp. pada telur di tingkat peternakan. Penelitian dilakukan terhadap 709 sampel telur ayam ras petelur yang diambil dengan teknik sampling tahapan ganda, proporsional, random sederhana, dan convenient dari 35 peternak. Pemeriksaan mikrobiologi dilakukan dengan mengisolasi bakteri dari cangkang, kuning telur, dan ulas kloaka pada media perbiakan kaldu tetrationat (1:10), kemudian media selektif BGA dan XLD serta identifikasi dilakukan dengan menggunakan media TSI. Sampel telur dinyatakan terkontaminasi jika ditemukan biakan Salmonella sp. dari salah satu atau kedua hasil uji terhadap cangkang dan kuning telur. Peternakan dinyatakan positif apabila salah satu dari sampel tersebut terkontaminasi Salmonella sp. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi cemaran Salmonella sp. pada tingkat peternak sebesar 11,4% dan pada tingkat telur sebesar 1,4%. Faktor–faktor yang meningkatkan prevalensi cemaran Salmonella sp. pada telur di tingkat peternak adalah tingkat pendidikan kepala kandang, pencucian kandang, pengendalian tikus, frekuensi pengambilan telur tiga kali sehari, dan adanya cemaran Salmonella sp. di kloaka ayam. Faktor yang menurunkan prevalensi adalah kepadatan ayam dalam kandang, sanitasi air minum, frekuensi pengambilan telur 1 atau 2 kali sehari. Kata kunci: Prevalensi, Salmonella sp., telur, faktor resiko
PENDAHULUAN Salah satu hal penting dalam persyaratan kualitas produk asal hewan adalah bebas patogen mikrobiologi termasuk Salmonella sp. Salmonelosis adalah penyakit yang disebabkan bakteri Salmonella sp. Penyakit ini dapat menyerang unggas, hewan mammalia, dan manusia sehingga memiliki arti penting bagi manusia karena penyakit ini dapat terjadi akibat mengonsumsi makanan/air yang tercemar Salmonella sp. (DOYLE dan CLIVER, 1990). Kasus enteritis infeksi pada manusia di Jerman meningkat tajam dari 49.000 kasus pada tahun 1985 menjadi 195.000 kasus pada tahun 1992. Dua per tiga dari kasus tersebut disebabkan oleh infeksi Salmonella sp. Institut Kesehatan Jerman mengindikasikan bahwa lebih dari 60% kasus berkaitan dengan telur dan produk olahannya (VIELITZ, 1994). Pada tahun 1980-an beberapa dinas kesehatan di
160
Eropa dan Amerika Serikat mencatat peningkatan kasus foodborne disease yang disebabkan S. enteritidis yang ditularkan melalui daging ayam, telur, dan produk-produk olahannya. Kemunculan wabah S. enteritidis sebagai masalah kesehatan masyarakat, berhubungan dengan penerapan tata cara peternakan modern dan menurunnya kualitas genetik unggas (BAUMLER et al., 2000). Situasi tersebut menggambarkan bahwa ayam merupakan ternak yang berpotensi besar sebagai sumber penularan Salmonella sp. ke manusia. Sebuah survei di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa lebih dari 30% hasil unggas yang dijual di pasar swalayan, terkontaminasi Salmonella sp. (DOYLE dan CLIVER, 1990). Hasil pemeriksaan sampel karkas ayam dari pasar swalayan di Portugal, Ohio, dan Arkansas masing-masing menunjukkan bahwa 57, 43, dan 29% tercemar Salmonella sp. EBEL et al. (1993) melaporkan bahwa 52% hasil pemeriksaan terhadap 1000
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
sampel telur segar yang tidak dipasteurisasi mengandung Salmonella sp. Pada tahun 2001 Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan (BPMPP) Bogor, melakukan pengujian cemaran Salmonella sp. pada sampel daging ayam dan telur. Hasil pemeriksaan itu (tidak dipublikasikan) melaporkan bahwa 17 dari 347 sampel daging ayam (4,9%) tercemar Salmonella sp., sedangkan pada telur (26 sampel) tidak ditemukan adanya cemaran. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa 7 dari 42 sampel daging ayam (16,67%) yang berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta mengandung Salmonella sp. Populasi ayam ras petelur di Daerah Istimewa Yogyakarta sampai bulan Mei 1999 sekitar 1.000.000 ekor dengan populasi terbanyak (hampir 50%) terkonsentrasi di Kabupaten Sleman dengan jumlah populasi pada waktu yang sama mencapai 477.940 ekor dengan hasil produksi 2.972,75 ton. (laporan Sub Dinas Peternakan Kabupaten Sleman, tidak dipublikasikan). Prevalensi dan faktor-faktor pendukung kejadian cemaran Salmonella sp. pada telur merupakan informasi penting yang belum tersedia di Yogyakarta. Hal ini dibutuhkan dalam rangka pencegahan dan pengendalian pencemaran dan memberikan jaminan keamanan pangan (food safety) bagi masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendapatkan angka prevalensi cemaran Salmonella sp. pada telur ayam ras di Kabupaten Sleman Yogyakarta, (2) menghitung kekuatan asosiasi antar faktorfaktor peternakan dengan tingkat prevalensi Salmonella sp. dari telur. MATERI DAN METODE Penelitian ini menggunaklan telur ayam ras sebanyak 709 butir yang diambil dari 35 peternakan yang ada di Kabupaten Sleman, Yogyakarta dengan teknik sampling tahapan ganda, proporsional, random sederhana, dan convenient. Variabel data diambil dengan wawancara langsung berdasarkan kuesioner terhadap peternak terpilih berupa pertanyaan pilihan dan
terbuka. Data prevalensi telur tercemar samonela (PTLR) sebagai variabel dependen (Y) dan data independen pada tingkat peternakan (X) adalah: pendidikan kepala kandang (DIK), pengawas kesehatan ternak (PKT), lokasi kandang (LOK), kepadatan kandang (DATDANG), pencucian kandang (CIDG), masa istirahat kandang (ISDG), sanitasi orang (SANMAN), lalu-lintas orang ke dalam kandang (LLTS), pengendalian tikus (DALKUS), kasus penyakit periode sebelumnya (SL), sumber air minum (BERNUM), sanitasi air minum (SANUM), umur ayam (UMUR), frekuensi pengambilan telur (BILUR), pembersihan telur setelah pengambilan dari kandang (SIHLUR), adanya cemaran pada kloaka ayam (SWAB). Pemeriksaan mikrobiologi dilakukan dengan melakukan isolasi dan identifikasi dengan prosedur sebagai berikut. Sampel cangkang digerus dan dimasukkan ke dalam media enrichment tetrathionate solution broth (TSB) (1:10) selama 24 jam pada suhu 3537oC. Kuning telur dipisahkan dari putih telurnya dan dikocok kemudian dimasukkan ke dalam media TSB (1:10) selama 24 jam pada suhu 35-37oC. Biakan dari media enrichment diambil dan ditanam pada media selektif BGA dan XLD selama 24 jam pada suhu 35-37oC. Koloni Salmonella sp. akan berwarna merah muda pada BGA dan hitam pada XLD. Koloni yang diduga positif Salmonella sp. diuji biokimia dengan uji gula (triple sugar iron), dan dinyatakan positif Salmonella sp. apabila TSI menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri dengan warna permukaan agar merah (alkaline), tusukan berwarna kuning (acid), terbentuk gas, dan dapat terbentuk H2S ataupun tidak (JANG et al., 1980; MALLINSON dan SNOEYENBOS, 1989; DOYLE dan CLIVER, 1990). Telur dinyatakan positif apabila salah satu atau kedua material yang diuji dinyatakan positif Salmonella sp. Analisis data dilakukan dengan program Statistix versi 4.0 (SIEGEL, 1992). Data prevalensi cemaran Salmonella sp. pada telur pada tingkat peternak yang merupakan data jujuh, dianalisis dengan Best subset regression, Forward stepwise regression, dan unweight least squares linear regression.
161
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
HASIL DAN PEMBAHASAN Sepuluh (10) dari 709 telur (1,4%) sampel yang berasal dari 35 peternakan rakyat ayam ras petelur di Kabupaten Sleman diketahui positif tecemar Salmonella sp. sedangkan 4 peternakan (11,4%) tedeteksi positif Salmonella sp. Data kuesioner memperlihatkan informasi sebagai berikut: lokasi perkandangan yang paling banyak digunakan adalah persawahan (68,6%), pengelola atau kepala kandang hampir seluruhnya merupakan tenaga terdidik (97,1%) dengan rincian tamat SLTA 37,1%, tamat Perguruan Tinggi 28,6%, tamat SLTP 14,3% dan tamat SD 17,1%. Separuh jumlah peternak memiliki pengawas kesehatan ternak (51,4%). Pengelolaan peternakan hampir seluruhnya memanfaatkan air tanah sebagai sumber air untuk keperluan peternakan termasuk air minum bagi ternak dan hanya 1 peternakan memanfaatkan air sungai untuk keperluan peternakannya. Peternakan yang tidak menerapkan sanitasi/sterilisasi air untuk air minum ternak sebanyak 26 peternakan (74,3%). Sanitasi bagi karyawan dari seluruh peternakan yang menjadi responden ternyata hanya 8 peternakan (22,9%) yang menerapkannya, namun demikian pembatasan lalulintas manusia ke dalam lingkungan kandang telah banyak dilakukan yaitu 25 peternakan (71,4%). Persiapan kandang untuk pemeliharaan periode berikutnya kebanyakan peternak melakukan pencucian kandang (91,3%) sedang 3 peternak (8,7%) tidak melakukannya. Pengistirahatan kandang sebelum pemeliharaan periode berikutnya dilakukan antara 1,5 sampai 8 minggu dengan persentase terbesar adalah selama 4 minggu yaitu sebanyak 16 peternak (45,7%) walaupun ada pula yang tidak melakukan pengistirahatan kandang, yaitu 2 peternak (5,7%). Ayam yang dipelihara seluruhnya ditempatkan dalam kandang baterai dengan kepadatan per sangkar 1 ekor sebanyak 11 peternakan (31,4%), 2 ekor sebanyak 24 peternakan (68,6%). Rentang umur ayam berkisar dari 20 minggu hingga 96 minggu. Bentuk pakan yang paling banyak digunakan adalah bentuk tepung (mash) sebanyak 33 peternakan (94,3%) sedang yang menggunakan bentuk pelet hanya terdapat 2 (dua) peternakan (5,7%), gudang pakan yang
162
dimiliki kebanyakan berdinding tertutup (22 peternakan, 62,9%). Pengendalian tikus (pest control) hanya dilakukan oleh 12 peternakan (34,4%). Frekuensi pengambilan telur tiap hari 2 kali dilakukan 25 peternakan (71,4%) dan yang mengambil 1 dan 3 kali dilakukan oleh 5 peternakan (14,3%). Hanya 22 peternakan (62,9%) yang melakukan pembersihan telur setelah pengambilan telur. Penyakit salmonelosis pada periode sebelumnya hanya terdapat pada 6 peternakan (17,1%) dan pemberian obat antibiotika selama satu minggu terakhir sebelum pengambilan sampel terjadi pada 27 peternakan (77,1%). Pembuangan kotoran kebanyakan tidak diprogramkan 26 peternakan (74,3%). Prevalensi cemaran Salmonella sp. pada tingkat peternak sebesar 11,4% dan 1,4% pada tingkat telur. Hasil analisis best subset regression untuk menganalisis prevalensi cemaran pada telur (PTLR) pada tingkat peternak memiliki nilai Mallow’s Cp sebesar 0,1 dan Adjusted R Sqaure sebesar 0,5082 yang kemudian diuji linieritasnya dengan metode unweight least linear regression. Model yang dihasilkan adalah sebagai berikut: PTLR (Ya) = 0,05132 + 0,03312 DALKUS + 0,03136 SWAB +0,01596 DIK4 + 0,00997 CIDG – 0,04159 BILUR2 – 0,03526 BILUR1 – 0,02981 SANUM – 0,01783 DATDANG. Koefisien regresi model tersebut setelah dianalisis dengan metode Wilk-saphiro/Rankit Plot adalah sebesar 0,9052 seperti terlihat pada Gambar 1. Model yang dihasilkan dengan teknik analisis forward stepwise regression adalah sebagaiberikut: PTLR (Yb) = – 0,00383 + 0,04984 BILUR3 + 0,03497SWAB. Nilai R Square sebesar 0,3975 dan Adjusted R Square sebesar 0,3598. Nilai Variance Inflation Factor (VIF) rendah hal ini menunjukkan tidak terjadi multikolinieritas diantara variabel bebas. Uji linieritas Wilk-sphiro/link plot menghasilkan nilai 0,7159 (Gambar 2). Hasil analisis dengan dua pendekatan tersebut memberikan gambaran asosiasi faktorfaktor yang berkontribusi terhadap angka prevalesni cemaran Salmonella sp. pada telur di tingkat peternakan. Model Ya lebih dapat diterima karena multikolinearitas yang rendah dan koefisien regresi yang tinggi (mendekati 1).
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
Gambar 1. Linieritas model prevalensi cemaran Salmonella sp. pada telur hasil analisis best subset regression (PTLR Ya)
Gambar 2. Linieritas model prevalensi cemaran Salmonella sp. pada telur hasil analisis forward stepwise
Pendidikan kepala kandang merupakan variabel yang berasosiasi dengan angka cemaran Salmonella sp. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa latar belakang pendidikan setingkat SLTA (DIK4) menunjukkan kecenderungan untuk meningkatkan angka cemaran. Usaha beternak ayam merupakan suatu bentuk pekerjaan yang sesungguhnya bukan pekerjaan padat karya dan dapat juga tidak padat modal kalau
dilakukan dalam skala usaha yang kecil (peternakan rakyat). Sifat kerja yang aktifitasnya temporer dan monoton, lokasi yang jauh dari keramaian, dan terutama motifasi bekerja sangat mempengaruhi kondisi pekerja yang akhirnya mempengaruhi juga kondisi ternak (RASYAF, 1994). Pengendalian tikus (pest control) merupakan salah satu program keamanan biologi untuk mengurangi terjadi penyebaran
163
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
penyakit oleh hewan perantara seperti tikus, burung-burung liar, serangga, binatang melata, dan hewan-hewan lain ke dalam kandang yang berpotensi mempengaruhi status kesehatan ternak. Meskipun secara teoritis sudah dimengerti namun penerapan di lapangan sering kali tidak konsisten. Kondisi inilah yang sering menimbulkan masalah dalam peternakan meskipun sudah ada upaya melaksanakannya dan CARVER, 1999). (VALLINCOURT Pelaksanaan yang tidak disiplin dan konsisten yang dapat menjelaskan keadaan peternakan yang meskipu telah melakukan upaya pengendalian tikus namun tidak berhasil baik justru meningkatkan prevalensi angka cemaran Salmonella sp. pada telur. Penularan Salmonella sp. selain jalur horisontal dapat pula melalui jalur vertikal (HORROX, 1997), sehingga memungkinkan terjadinya pencemaran meskipun telah dilaksanaknnya program pengendalian tikus. Menurut VIELITZ (1994), pengawasan dan pengendalian tikus ini harus dilakukan secara berkelanjutan. Sistem pemeliharaan ayam dengan cara all-in all-out tidak berlaku bagi tikus penghuni kandang yang merupakan agen penular yang sangat potensial pada ayam periode pemeliharaan berikutnya. Adanya cemaran Salmonella sp. pada kloaka juga berasosiasi positif dengan angka cemaran Salmonella sp. pada telur. Kloaka merupakan ruangan yang dibentuk oleh tiga sistema yaitu sistema pencernaan, perkencingan, dan reproduksi (SISSON, 1953). Salmonella sp. dikenal merupakan bakteri usus, sehingga apabila terjadi pengeluaran bakteri (shedding) dari ayam yang menderita salmoleosis maka kloaka akan terlewati tinja akibatnya bakteri dapat ditemukan di daerah tersebut. Telur ayam yang dihasilkan sistema reproduksi juga akan melewati kloaka saat dikeluarkan dari tubuh. Sehingga sangat besar kemungkinan telur akan tercemar Salmonella sp. di kloaka. Pengambilan telur merupakan bagian tata cara beternak. Frekuensi pengambilan telur ternyata juga berpengaruh secara bermakna (P<0,1) dengan angka cemaran Salmonella sp. pada telur. Pengambilan sekali atau dua kali sehari cenderung menurunkan angka cemaran namun apabila pengambilan telur dilakukan 3 kali sehari justru akan meningkatkan angka cemaran (P<0,01). Frekuensi gangguan yang
164
ditimbulkan dengan pengambilan ini dapat berakibat ayam mendapatkan cekaman. NAKAMURA et al. (1994) menjelaskan bahwa efek cekaman akan dapat meningkatkan shedding S. enteritidis melalui tinja baik pada ayam yang pernah divaksinasi Salmonella sp. maupun yang tidak. Angka cemaran Salmonella sp. pada telur memiliki asosiasi negatif secara bermakna (P<0,01) dengan kepadatan kandang, sanitasi air minum, dan pengambilan telur. Sanitasi air minum akan menurunkan angka cemaran, oleh REINWICK et al. (1992) dinyatakan air minum yang tidak disucihamakan memiliki resiko kontaminasi terbesar. Klorinasi air minum akan dapat menurunkan kontaminan. Penelitian ini memperlihatkan bahwa prevalensi cemaran Salmonella sp. pada telur ayam sebesar 11,4% pada tingkat peternak dan 1,4% pada tingkat ayam. Faktor–faktor yang meningkatkan prevalensi cemaran Salmonella sp. pada telur ayam ras petelur pada tingkat peternak di Kabupaten Sleman adalah tingkat pendidikan kepala kandang, pencucian kandang, pengendalian tikus, frekuensi pengambilan telur tiga kali sehari, dan adanya cemaran Salmonella sp. di kloaka ayam. Faktor yang menurunkan prevalensi cemaran Salmonella sp. pada telur ayam petelur ras di Kabupaten Sleman adalah kepadatan ayam dalam kandang, sanitasi air minum, pengambilan telur 1 atau 2 kali sehari. DAFTAR PUSTAKA BAUMLER, A.J., B.M. HARGIS, and R.M. TSOLIS, 2000, Tracing origin of salmonella outbreaks, science, 287 (5450):50-52. DOYLE, M.P., and D.O. CLIVER, 1990, Salmonella, In: Foodborne Diseases D.O. Cliver (ed), Academic Press, Inc., 185-204. EBEL, E.D., J.MASON, L.A. THOMAS, K.E. FERRIS, M.G. BECKMAN, D.R. CUMMINS, L.S.TUCKER, W.D.SUTHERLIN, R.L.GLASSHOFF, and N.M. SMITHHISLER, 1993, Occurrence of salmonella enteritidis in unpateurized liquid egg. In: The United States, Avian Diseases 37:135-142. HORROX, N., 1997, Salmonella-a practical overview. International Hatchery Practice 12 (12): 1517. JANG, S.S., E.L. BIBERSTEIN, and D.C. HIRSH, 1980, A diagnostic manual of veterinary clinical
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan
bacteriology and mycology. UNESCO/CIDA Regional Training Course in Veterinary Diagnostic Microbiology, 30-34, 115,148. MALLINSON, E.T., and G.H. SNOEYENBOS, 1989, Salmonellosis, In: A laboratory manual for isolation and identification of avian pathogens. 3rded., American Association of Avian Pathologists, 3-10. MARTIN, S.W., A.H. WEEK, and P.WILLEBERG, 1988, Veterinary epidemiology principles and methods, 1sted., Iowa State University Press, Ames: 22-175. NAKAMURA, M., N. NAGAMINE, T. TAKAHASHI, S. SUZUKI, and S. SATO, 1994, Evaluation of efficacy of a bacterin against salmonella enteritidis infection and the effect of stress after vaccination, Avian Diseases 38:717-724. RASYAF, M., 1994, Beternak ayam petelur, Penebar Swadaya, 40-70.
REINWICK, S.A., R.J. IRWIN, R.C. CLARKE, W.B. MCNAB, C.POPPE, and S.A. MCEWEN, 1992, Epidemiological Associations between characteristics of registered broiler chicken flocks in Canada and the salmonella culture status of floor litter and drinking water, Can. Vet. J. 3: 449-458. SIEGEL, J., 1992, Statistix version 4.0 user’s Manual, anlytical software. St. Paul, Minnesota. SISSON, S., 1953, The anatomy of the domestic animals, ed.4th, W.B. SAUNDERS Company, Philadelphia, 940. VAILLANCOURT, J.P., and D.K. CARVER, 1999, Biosecurity: Perception is not reality, Poultry Digest No. 5, 28-30. VIELITZ, E., 1994, Salmonella control programmes worldwide, Poultry International, March, 3238.
165