3
TINJAUAN PUSTAKA Day Old Chick (DOC) Anak ayam umur sehari atau Day old chick (DOC) adalah unggas yang menetas pada umur 2 jam atau beberapa jam dan atau sebelum makan (Ministry of Food, Agriculture and Cooperative Pakistan 1985). Anak ayam ini merupakan bibit pada peternakan ayam baik peternakan final stock (FS) yang meliputi ayam pedaging dan petelur maupun parent stock (PS). Beberapa negara produsen bibit ayam pedaging diantaranya Amerika (Cobb, Arbor Arcres, Avian), Prancis (Isa Vedette, Shaper Ross), Inggris (Ross) dan Belanda (Hybro, Hubbard). Negara produsen bibit ayam pedaging di Asia, contohnya Thailand (Fadilah (2005). Bibit ayam yang sehat merupakan salah satu kunci dalam keberhasilan industri peternakan. Ciri-ciri DOC yang berkualitas baik adalah: bebas dari penyakit terutama pulorum, omphalitis dan jamur, DOC terlihat aktif, kakinya besar dan basah seperti berminyak, bulu cerah dan penuh, pantatnya tidak kotor atau tidak terdapat pasta putih, beratnya tidak kurang dari 37 gram. Kualitas DOC yang jelek memiliki ciri-ciri kaki kering, omphalitis, tubuh kerdil dan berat badan tidak merata (Fadilah 2005). Beberapa negara menerapkan standar pengiriman DOC, Pakistan mensyaratkan DOC harus berasal dari telur yang beratnya tidak kurang dari 48 gram. Anak ayam tersebut juga harus berasal dari peternakan yang telah disertifikasi bebas pulorum, negatif terhadap Salmonella sp dan Aspergillosis, jumlah E. coli tidak lebih dari 10 CFU per gram, bebas dari cacat fisik dan luka, hasil uji pulorum negatif, lincah dan sehat (Ministry of Food, Agriculture and Cooperative Pakistan 1985). Hasil penelitian yang telah dilakukan, DOC sehat ternyata masih mengandung bakteri Staphylococcus spp, E. coli dan Proteus spp pada daerah hidung dan kloaka. Pada kondisi stres dapat memicu bakteri-bakteri normal tersebut di atas menjadi patogen dan menimbulkan gejala-gejala omphalitis dan airsaculitis (Geidam et al. 2007).
4
Virus Avian Influenza Virus Avian Influenza (AI) termasuk ke dalam anggota dari famili Orthomixoviridae dan masuk dalam genus influenza virus A. Famili Orthomixoviridae memiliki 3 genus yaitu virus Influenza A, B dan C berdasarkan karakter antigenik protein M dalam envelope virus dan nukleoprotein. Virus Influenza A memiliki 16 antigen hemaglutinin (H1-H16) dan 9 antigen neuraminidase (N1-N9) dan jika dikombinasikan akan membentuk 144 subtipe. Virus Influenza merupakan virus RNA untai tunggal segmen negatif (OIE 2005, WHO 2002 dan Barrett and Inglis, 1985). Influenza A bersifat patogen terhadap kuda, babi, cerpelai Amerika (mink), anjing laut, ikan paus, unggas dan manusia. Influenza B hanya patogen pada manusia dan Influenza C menginfeksi manusia dan babi tetapi jarang menyebabkan sakit yang serius (WHO 2002 dan Murphy et al. 1999). Orthomyxovirus virions berukuran 80-120 nm, bersifat pleomorphic, sering berbentuk spherical tetapi predominan filamentous pada isolat segar. Virion terdiri dari envelope dengan peplomer besar mengelilinginya berjumlah delapan (genus Influenza A dan B), tujuh (genus Influenza C) dan enam (genus Thogavirus) dengan segmen nucleocapsid berbentuk helically symmetrical yang berbeda ukuran. Ada dua jenis glycoprotein peplomer: (1) homotrimers dari protein hemaglutinin dan (2) homotetramers dari protein neuramidase. Virus Influenza C hanya memiliki satu tipe glycoprotein peplomer, yang terdiri dari molekul multifungsional hemagglutinin-esterase. Segmen genom memiliki satu loop di ujung pertama dan terdiri dari molekul RNA virus yang diselubungi capsid yang terdiri dari nucleoprotein berbentuk héliks. Tiga protein yang membentuk viral RNA polymerase (PB1, PB2 dan PA), berasosiasi dengan RNA. Amplop virus dilapisi oleh protein matrik (M1) dan dikelilingi sejumlah kecil ion chanels yang tersusun dari tetramer protein matrik ke 2 (M2). Genom terdiri dari delapan, tujuh atau enam segmen berbentuk linear negative-sense, RNA berutas tunggal, 10-13.6 kilo basa (kb) secara keseluruhan (Murphy et al. 1999).
5
Gambar1. Anatomi Virus Influenza A (Subbarao & Joseph 2007) Virus Influenza A yang menginfeksi unggas dapat dibagi ke dalam dua kelompok berdasarkan kemampuan virus menyebabkan penyakit. Virus yang sangat virulen disebut highly pathogenic Avian Influenza (HPAI), infeksinya bersifat sistemik, dengan mortalitas pada flok pada beberapa spesies rentan dapat mencapai 100% (Capua and Maragon 2007). Terminologi highly pathogenic Avian Influenza dan fowl plague merupakan infeksi dari strain virulen influenza A yang diisolasi dari unggas domestik. Isolat highly pathogenic Avian Influenza diklasifikasikan ke dalam notifiable Avian Influenza (NAI). Isolat strain virulen pada saat ini berasal dari subtipe H5 atau H7, namun sebagian besar H5 dan H7 memiliki virulensi rendah. Penyebab perubahan virulensi pada H5 dan H7 dapat terjadi akibat mutasi pada induk semang unggas, sehingga semua subtipe H5 dan H7 diklasifikasikan sebagai NAI virus (OIE 2005). Subtipe H5 dan H7 yang bersifat patogen memiliki multibasic cleavage site dengan prekursor pada molekul H. Virus HPAI infeksinya bersifat “dead-end” pada unggas peliharaan (misalnya ayam dan kalkun) dan memiliki gejala klinis yang bervariasi. Pada unggas air peliharaan dan unggas liar virus ini tidak menyebabkan gejala klinis dan kematian (Capua and Maragon 2007). Diketahui bahwa virus AI beredar secara terus menerus pada unggas air (Ito et. al. 1995).
6
Beberapa virus AI (H1-H16) yang memiliki multibasic cleavage site pada gen H yang berada di alam hidup di dalam tubuh burung liar. Interaksi unggas liar dengan unggas air di alam memungkinkan virus AI ditularkan diantara kedua populasi unggas tersebut.
Unggas air merupakan inang alami yang menjadi
sumber penularan virus bagi hewan lain. Interaksi unggas liar dengan unggas peliharaan menyebabkan virus ini menyebar dalam populasi unggas tersebut. Penyebaran virus pada unggas peliharaan menimbulkan infeksi lokal, gejala sakit ringan seperti gangguan pernafasan, depresi dan masalah produksi telur pada unggas petelur. Teori yang berkembang saat ini menyatakan bahwa virus HPAI berasal dari LPAI H5 dan H7 yang mengalami mutasi atau rekombinasi, yang menyebabkan perubahan gen daerah cleavage site dari protein haemaglutinin (HA) (Capua and Maragon 2007). Kejadian wabah HPAI di Chile dan Kanada disebabkan oleh virus H7 yang bermutasi menjadi HPAI melalui rekombinasi melibatkan nukleoprotein dan gen matrik. Kejadian ini merupakan laporan pertama rekombinasi berasosiasi dengan kenaikan virulensi virus AI (Senne 2007). Introduksi pada populasi burung domestik, menyebabkan bentuk virus menjadi low-pathogenic Avian Influenza (LPAI). Mekanisme mutasi pada virus AI meliputi insersi asam amino dasar atau substitusi asam amino nonbasic pada HA proteolitic cleavage site, kehilangan glycosilasin site menghasilkan virus dengan cleavage site yang tidak terlindungi, atau insersi sejumlah besar RNA. Berdasarkan studi filogenetik virus AI tampak bahwa perubahan virulensi dari rendah ke tinggi mengindikasikan virus HPAI memiliki pohon filogenik yang sama dengan virus LPAI dengan strain H7 yang tidak virulen. Kejadian mutasi virus tidak terprediksi dan dapat berlangsung singkat setelah virus menginfeksi unggas maupun setelah bersirkulasi dalam tubuh unggas peliharaan. Dengan demikian peredaran LPAI subtipe H5 dan H7 juga perlu diperhatikan karena virus LPAI tersebut merupakan prekursor HPAI (Capua and Maragon 2007).
Sejak 100 tahun yang lalu telah teridentifikasi bahwa
manusia dapat terinfeksi subtipe H1, H2, H3, N1 dan N2 dan membentuk antibodi terhadap virus tersebut. Kejadian pandemi influenza A H2N2 dan H3N2 kemungkinan berasal dari virus unggas yang mengalamai genetic reassortment antara virus unggas dan manusia (Kawaoka et. al 1989).
7
Penyebaran dan Transmisi Virus Avian Influenza Beberapa faktor yang berperan dalam transmisi virus AI antara lain buruknya biosekuriti pada sistem peternakan, keluar masuknya unggas dan produknya, perdagangan hewan hidup di pasar. Air di kolam atau genangan air memungkinkan virus bertahan di luar induk semang, sehingga dapat menjadi sumber penyebaran virus. Migrasi unggas liar pembawa virus low-pathogenic Avian Influenza (LPAI) maupun highly pathogenic Avian Influenza (HPAI) berperan dalam penyebaran virus ini (Goutard et al. 2007). Populasi itik di Cina dan Vietnam sangat banyak mencapai 70% populasi itik dunia. Sistem pemeliharaan dengan cara diumbar di kedua negara tersebut menjadi masalah kritis dalam epidemiologi AI karena beberapa itik peliharaan dapat membawa HPAI dalam waktu pendek dan tidak ada penerapan biosekuriti dalam pemeliharaan tersebut. Hal ini berpotensi terjadi pertukaran virus antara itik dengan unggas liar. Itik tersebut banyak yang dijual di pasar unggas hidup yang bercampur dengan spesies unggas darat (Sims 2007). Para ahli biodiversiti menyimpulkan bahwa perdagangan global burung sebagai hewan kesayangan berperan dalam perpindahan virus secara besar-besaran. Jalur penularan AI antara lain melalui migrasi burung liar, perdagangan unggas peliharaan dan unggas liar (Kilpatrick et al. 2006 dalam Daszak and Chmura 2008). Murphy et al. (2001) menyatakan adanya virus AI dapat diisolasi di berbagai negara dari importasi burung. Jorgensen et al. (1998) menyatakan bahwa virus AI subtipe H5N2 dapat diisolasi pada burung unta yang diimport dari Zimbabwe ke Belanda dan Denmark pada tahun 1996. Tahun 2004 virus HPAI H5N1 diisolasi dari burung elang yang diselundupkan dari Thailand yang terdeteksi di Bandar Udara Brussel. Virus AI yang terisolasi tersebut secara genetik mirip dengan virus AI asal Thailand. Tahun 2005 AI ditemukan pada importasi kelompok burung dalam kandang di karantina Inggris yang diimpor dari Taiwan, secara genetik virus ini mirip dengan virus Cina (Alexander 2007). Kantor kesehatan hewan di Kanada melaporkan bahwa pada kurun waktu antara tahun 2002 sampai 2005 di negara tersebut, subtipe H3, H5 dan H6 beredar pada unggas peliharaan dan H3, H5, H11 dan H13 berasal dari importasi atau dari spesies unggas liar (Senne 2007).
8
Patogenesitas Virus AI Mekanisme yang berperan dalam membedakan beberapa strains Avian Influenza lebih virulen dari strain yang lainnya dijelaskan oleh Rudolf Rott, Christof Scholtissek dan kolega-kolega dari Fakultas Kedokteran Hewan Justus Liebig University, Giesen, Germany. Mereka menemukan bahwa haemaglutinin virus sangat penting dalam determinasi virulensi virus, kombinasi atau konstelasi kontribusi gen termasuk gen nukleoprotein dan polymerase (Murphy et al. 1999). Daerah pemotongan (cleavage site) HA menjadi sub unit HA1 dan HA2 menentukan patogenesitas VAI. Proteolisis HA pada daerah pemotongan bersifat spesifik dan spesifisitas protease membatasi distribusi jaringan yang dapat diinfeki virus ini. Kebanyakan AI tidak virulen atau patogenitas rendah mempunyai daerah pemotongan satu asam amino basa, namun strain patogenitas tinggi mempunyai daerah pemotongan lebih dari satu asam amino (Munch et al. 2001). Haemaglutinin cleavability tergantung dari struktur primer dari daerah terjadinya pemotongan (cleavage site) dan keberadaan protease yang sesuai pada jaringan target tempat pemotongan. Di sel epitel saluran pernafasan dan pencernaan, haemagglutinin dari semua virus influenza yang masuk dipotong oleh protease inang, mengaktivasi terjadinya fusi dan masuknya virus ke dalam sel. Hanya pemotongan hemagglutinin dari virus virulen yang menimbulkan penyakit sistemik dan kematian. Fenomena ini tidak hanya berdasarkan perbedaan strain virus tetapi juga kepekaan atau resistensi dari spesies unggas. Patogenesa AI berbeda pada mamalia, dalam hal ini replikasi virus di saluran pencernan sama baiknya dengan replikasi virus di saluran pernafasan. Infeksi dari strain yang sangat virulen menimbulkan viremia, infiltrasi sel-sel limfoid multifokal dan nekrosis visera, menimbulkan pancreatitis, myocarditis, myositis dan encephalitis (Murphy et al. 1999). Gejala klinis pada ayam dan kalkun meliputi petechial hemorrhages dan eksudat serous pada organ respirasi, digesti dan jantung. Kalkun mengalami infeksi kantung hawa dan kongesti paru-paru. Pada semua spesies
unggas,
netralisasi antibodi terdeteksi pada 3 sampai 7 hari setelah kejadian penyakit, mencapai puncaknya pada minggu ke-2 dan persisten di atas 18 bulan (Murphy et al. 1999).
9
Infeksi HPAI H5N1 strain Thailand pada ayam (Gallus gallus ), puyuh (Coturnix coturnix japonica) dan itik (Anas spp.) menunjukkan adanya konsentrasi virus pada organ paru-paru, trakhea, jantung, hati, limpa, pankreas, rektum, ginjal, otak, otot skeletal, duodenum dan indung telur dengan metode indirect immunofluorescence assay. Pada ayam dan puyuh, antigen nukleoprotein virus dideteksi dalam jumlah paling besar pada organ jantung 88% (ayam) dan 89% (puyuh), saluran nafas, pencernaan dan saluran urinasi. Pada itik virus hanya ditemukan pada organ respirasi sehingga memberikan dukungan terhadap hipothesis bahwa jalur transmisi virus HPAI dari spesies ini melalui aerosol dan oral (Antarasena 2006). Pantin-Jackwood dan Swayne (2007) menyatakan infeksi buatan intra nasal dengan virus AI pada itik umur 2 minggu menimbulkan lesi patologi pada 2 hari setelah infeksi. Lesi patologi yang timbul antara lain dehidrasi, proventrikulus lunak, usus tidak berisi, splenomegali, atropi timus, lendir kekuningan pada hidung, kebiruan pada paruh dan kaki, dilatasi dan jantung menjadi lunak yang diikuti peningkatan cairan perikardial, pembesaran ginjal, kongesti otak, penyumbatan pada proventrikulus dan ventrikulus. Adanya warna empedu pada mukosa ventrikulus, pankreas kekuningan, petechia dan eksudat serous pada rongga badan. Perwarnaan Hematoksilin Eosin (HE) dan Imunohistokimia (IHK) menunjukkan virus terdapat pada organ-organ antara lain rongga hidung, trakhea, paru-paru, jantung, otak, kelenjar adrenal, saluran pencernaan, pankreas, hati, ginjal, limpa, bursa, timus dan otot rangka dengan jumlah virus beragam antara negatif, sedikit, sedang dan banyak. Ventrikulus dan proventrikulus itik umur 2 minggu, belum ditemukan adanya virus pada 2 hari setelah infeksi. Pada perlakuan yang diperpanjang sampai 5 hari atau setelah itik menunjukkan gejala klinis semua organ di atas menunjukkan adanya virus dengan konsentrasi beragam. Kebanyakan jumlah virus masuk dalam kategori sedang sampai banyak. Intranasal inokulasi pada itik umur 5 minggu, infeki pada organ-organ tersebut di atas cenderung lebih sedikit dan hewan lebih dapat bertahan hidup lebih lama. Tingkat replikasi virus dalam jaringan, khususnya pada otak dan jantung yang bermanifestasi pada gejala klinis akan menimbulkan kematian pada itik yang terinfeksi AI.
10
Pengendalian Avian Influenza Murphy et al. (2001) menyebutkan kontrol terhadap AI dibagi ke dalam tiga tingkatan yaitu international, nasional dan lokal: 1. Tingkat international, suatu negara harus melaporkan kejadian wabah penyakit. “Fowl Plague” atau AI merupakan penyakit list A dalam International Animal Health Code dari Office Internationale des Epizooties; penyakit ini notifiable dan restriksi dalam perpindahan unggas dan ayam produksi. Kesuksesan eradikasi secara international tergantung pada kesadaran setiap negara untuk melaporkan adanya wabah di negaranya. 2. Tingkat nasional, banyak negara menerapkan regulasi yang bertujuan untuk mencegah masuk dan menyebarnya virus ini. Kebijakan meliputi penghentian perdagangan untuk mencegah masuknya unggas yang terinfeksi atau produk unggas dari suatu negara yang tidak mendeklarasikan bebas virus AI. Amerika Serikat, Australia dan hampir seluruh negara Eropa menerapkan bahwa virus AI virulen masuk ke dalam penyakit eksotik; diterapkan tindakan diagnosa, karantina dan pemusnahan. Penyebaran sekunder diminimalisir dengan kebijakan higiena yang ketat meliputi pembersihan dan desinfeksi dalam interval pemotongan dan depopulasi serta melakukan kontrol perpindahan manusia dan hewan. 3. Tingkat lokal peternakan, bertujuan untuk mencegah masuknya virus dari unggas liar ke dalam flok ayam dan kalkun. Sekarang ini fasilitas unggas komersial telah dibuat aman dan terlindungi dari unggas liar. Kebijakan pengendalian AI dapat dilakukan dengan tindakan karantina (pengasingan) segera sesaat penyakit terdeteksi di peternakan. Kebijakan tersebut meliputi pembatasan perpindahan unggas, produknya dan peralatan peternakan, pengawasan oleh petugas yang terlibat, pengujian sampel di laboratorium referensi nasional dan laboratorium referensi OIE. Hal tersebut dilakukan di Chile ketika terjadi wabah AI. Keadaan darurat nasional diterapkan dan membentuk tim koordinasi nasional dan regional. Tim tersebut bekerja meliputi peningkatan biosekuriti, surveillance penyakit, risk communication (komunikasi resiko),
11
investigasi epidemiologi dan managemen database. Pengujian klinis dan laboratorium dilakukan pada peternakan pembibitan kalkun sekali seminggu dalam periode selama tindakan karantina. Tindakan stamping out dilakukan dengan pemusnahan unggas dan peralatan peternakan. Membentuk zona infeksi seluas 3 km dan melakukan surveillance sepanjang 10 km diantara peternakanpeternakan yang terinfeksi. Pengujian dilakukan pada unggas di peternakan, ayam kampung, unggas di kebun binatang dan unggas-unggas liar. Pembersihan, desinfeksi dan metode deteksi silent infeksi dilakukan oleh industri perunggasan dan dinas terkait. Kegiatan dilakukan dengan pengujian serologi dan uji sentinal di peternakan tersangka. Kebijakan tersebut di atas dapat membebaskan Chile dari AI dalam 7 bulan setelah virus terdeteksi (Max et al. 2007).
Diagnosa Laboratorium Virus Avian Influenza Diagnosa laboratorium terhadap virus Avian Influenza yang paling utama adalah identifikasi agen penyebab. Sampel berasal dari hewan hidup maupun mati. Sampel asal unggas mati dapat berupa organ pencernaan, trakhea, paru-paru dan jantung. Sampel dari hewan hidup dapat berupa satu gram feses, usapan trakhea dan usapan kloaka. Sampel dimasukkan ke dalam media transport pH 7.07.4, ditambahkan antibiotik. Sampel tersebut dapat diisolasi virusnya dengan menyuntikkan pada telur ayam berembrio spesifik pathogen free (TAB-SPF) atau spesifik antibodi negatif (SAN) umur 9-11 hari selama 4-7 hari (OIE 2005). Keberadaan virus Influenza A dapat dikonfirmasi dengan agar gel immunodiffusion (AGID) test, tes tersebut menunjukkan adanya antigen matrik atau nukleokapsid, keduanya umum ada pada virus Influenza A. Antigen dapat diambil dengan mengkonsentrasikan cairan alantois yang terinfeksi virus atau dari membran korioalantoik yang terinfeksi. Antigen direaksikan dengan antiserum positif. Virus dapat dikonsentrasikan dari cairan alantois yang terinfeksi dengan ultrasentrifugasi atau dengan presipitasi pada kondisi asam. Metode terbaru, dengan menambahkan 1.0 M HCl pada cairan alantois yang terinfeksi sampai pH 4.0. Campuran diletakkan pada kotak berisi es selama 1 jam dan kemudian disentrifugasi 10.000 g pada 4oC. Bagian supernatan dibuang, konsentrat virus diresuspensikan pada glycin/sarcosyl buffer yang terdiri dari 1 % (w/v) sodium
12
laoryl sarcosinate buffered sampai pH 9.0 dengan 0.5 M glycine. Konsentrat terdiri dari nukleokapsid dan matrik polipeptida. Preparasi yang kaya nukleokapsid antigen dapat berasal dari membran korioalantois yang digunakan pada AGID test. Membran korioalantois diambil dari telur yang telah diinfeksi. Membran tersebut dihomogenisasi, diikuti dengan freeze-thawing berkali-kali, kemudian disentrifugasi pada 1000 g selama 10 menit. Pelet dibuang dan supernatan digunakan sebagai antigen dengan menambahkan 0.1 % formalin. Uji serologi lain untuk mengidentifikasi virus AI adalah menggunakan uji HI. Berbagai kit enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) menggunakan monoklonal antibodi terhadap Influenza A juga banyak tersedia sebagai kit komersial. Alternatif diagnosa, menggunakan reverse transcriptase-polymerase chains reaction (RT-PCR) dengan primer nukleoprotein spesifik atau matrik spesifik. Keberadaan virus influenza subtipe H5 atau H7 juga dapat dikonfirmasikan menggunakan primer H5 dan H7 (OIE 2005). Pengelompokan subtipe antigen dapat juga dilakukan dengan antiserum spesifik asal hewan yang memiliki reaksi nonspesifik rendah seperti kambing. Antiserum asal hewan tersebut dapat menetralisasi berbagai subtipe H maupun N. Deteksi cepat antigen Influenza A dapat digunakan kit tes cepat dengan menggunakan monoklonal antibodi terhadap nukleoprotein dengan prinsip kerja seperti ELISA untuk mendeteksi virus Influenza A. Kit ini banyak tersedia secara komersial di pasaran (WHO 2002). Pengujian virulensi isolat, dilakukan uji patogenisitas dengan penyuntikan intraserebral atau intravena menggunakan DOC atau anak ayam umur 6 hari (WHO 2002 dan Murphy et al. 1999).