1 PERBANDINGAN FHSS dan DSSS (Teknologi Spread Spectrum) Abas Ali Pangera STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Spread spectrum merupakan suatu teknik kom...
PERBANDINGAN FHSS dan DSSS (Teknologi Spread Spectrum) Abas Ali Pangera STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Spread spectrum merupakan suatu teknik komunikasi yang dicirikan oleh bandwidth lebar dan peak power rendah. Komunikasi spread spectrum menggunakan berbagai teknik modulasi dalam LAN nirkabel dan memiliki banyak keunggulan jika dibanding pendahulunya, yaitu komunikasi narrow band. Sinyal-sinyal spread spectrum mirip dengan noise (derau), sulit dideteksi, dan bahkan lebih sulit lagi ditangkap atau didemodulasi tanpa menggunakan perangkat yang tepat. Jamming dan interferensi memiliki pengaruh yang lebih ringan terhadap komunikasi spread spectrum jika dibanding terhadap komunikasi narrow band. Karena alasan ini, teknologi spread spectrum telah lama menjadi teknologi unggulan di dunia militer. Kata Kunci: Spread spectrum, narrow band, DSSS, FHSS 1. Pendahuluan 1.1 Narrow band transmission Untuk membahas pengertian spread spectrum kita harus terlebih dahulu memiliki suatu referensi dengan membahas konsep narrow band transmission. Narrow band transmission merupakan suatu teknologi komunikasi yang hanya menggunakan spektrum frekuensi sekadar cukup untuk membawa sinyal data, tidak lebih dari itu. Memang telah menjadi misi FCC untuk sedapat mungkin menghemat penggunaan frekuensi, yaitu dengan memberikan sebatas yang diperlukan untuk membuat agar fungsi dapat berjalan. Bertentangan dengan misi FCC di atas, teknologi spread spectrum 1
justru menggunakan band frekuensi yang jauh lebih lebar dibanding dengan frekuensi yang dibutuhkan untuk memancarkan. Sinyal dapat dinyatakan bersifat spread spectrum jika bandwidth-nya jauh lebih lebar jika dibandingkan dengan bandwidth yang dibutuhkan untuk mengirim informasi. Gambar 1 mengilustrasikan perbedaan antara narrowband transmission dan spread spectrum transmission. Agar sinyal narrowband dapat diterima, maka sinyal-sinyal itu harus dapat bertahan di atas general noise level, yang disebut noise floor, hingga suatu taraf yang signifikan. Karena lebar band-nya terlalu sempit, maka suatu peak power tinggi mampu menjamin penerimaan sinyal narrowband secara sempurna. Amplitude
Narrowban
Speread Frequency
Gambar 1. Narrowband vs. spread spectrum dalam hal domain frekuensi. Selain kebutuhan peak power tinggi untuk pengiriman sinyal, kelemahan lain dari narrowband transmission adalah bahwa sinyal narrowband dapat di-jam atau mudah sekali mengalami interferensi. Jamming adalah tindakan secara sengaja untuk menindih suatu transmisi dengan daya lebih tinggi menggunakan sinyal yang tak diinginkan pada band yang sama. Karena band-nya terlalu sempit, 2
maka sinyal-sinyal band lainnya, termasuk derau, dapat sepenuhnya melenyapkan informasi melalui overpowering atas suatu narrowband transmission. 1.2 Teknologi Spread Spectrum Teknologi spread spectrum memungkinkan kita untuk membawa sejumlah informasi yang sama seperti yang dapat dikirimkan dengan menggunakan narrowband carrier signal dan menyebarkan sinyal itu pada kisaran frekuensi yang jauh lebih besar. Sebagai contoh, kita mungkin menggunakan 1 MHz pada 10 Watt dengan narrowband, namun pada spread spectrum kita dapat menggunakan 20 MHz pada 100 mW. Dengan menggunakan spektrum frekuensi yang lebih lebar, kita dapat memperkecil kemungkinan bahwa data akan mengalami perubahan/pengurangan (corrupted) atau jamming. Suatu upaya jamming terhadap narrow band pada suatu sinyal spread spectrum kemungkinan besar akan digagalkan oleh sebagian kecil informasi yang masuk ke dalam kisaran frekuensi narrowband signals. Sebagian besar data digital akan diterima secara sempurna. Radio RF spread spectrum yang ada sekarang dapat memancarkan kembali sejumlah kecil data yang hilang akibat interferensi narrowband. Agar suatu sinyal dikelompokkan sebagai spread spectrum, sinyal itu harus menggunakan daya yang rendah. Dua karakteristik spread spectrum ini (penggunaan band frekuensi lebar dan daya yang sangat rendah) membuat sinyal ini seolah-olah merupakan sinyal derau bagi sebagian besar penerima. 2. Pembahasan 2.1 Bagaimana FHSS Bekerja Dalam frequency hopping systems, carrier atau pembawa mengubah-ubah frekuensi, atau melompat, menurut urutan yang bersifat pseudorandom. Urutan pseudorandom merupakan suatu daftar beberapa frekuensi ke arah mana pembawa akan melompat pada suatu interval waktu yang ditetapkan sebelum terjadi pengulangan pola tersebut. Transmiter menggunakan urutan lompatan ini untuk memilih 3
frekuensi pancarnya. Pembawa masih akan berada pada suatu frekuensi tertentu selama jangka waktu yang ditetapkan (yang dikenal dengan dwell time), dan kemudian menggunakan sedikit waktu untuk melompat ke frekuensi berikutnya (hop time). Bilamana daftar frekuensi tersebut telah terpakai semua, maka transmiter atau pemancar akan mengulangi urutan tersebut. Gambar 2 memperlihatkan suatu frequency hopping system yang menggunakan urutan lompatan (hop sequence) 5 frekuensi pada suatu band yang berukuran 5 MHz. Dalam contoh ini urutannya adalah: 1. 2.449 GHz 3. 2.448 Ghz 2. 2.452 GHz 4. 2.450 Ghz 3. 2.448 GHz 5. 2.451 Ghz
Gambar 2. Single frequency hopping system Setelah radio memancarkan informasi pada pembawa 2.451 GHz, radio tersebut akan mengulang hop sequence (urutan lompatan), kemudian dimulai lagi dari frekuensi 2.449 GHz. Proses pengulangan urutan lompatan akan terus berlanjut hingga informasi diterima secara lengkap. Radio Penerima disinkronisasi terhadap hop sequence radio pemancar agar dapat menerima frekuensi yang sesuai pada waktu yang tepat. Sinyal kemudian didemodulasi dan digunakan oleh komputer penerima.
4
2.2 Efek Interferensi Narrow Band Frequency hopping merupakan suatu metode pengiriman data dimana sistem transmisi dan penerima melompat menurut pola frekuensi berulang secara bersamaan. Seperti pada kasus dalam semua teknologi spread spectrum, frequency hopping system bersifat tahan/resisten – namun tidak kebal – terhadap interferensi narrow band. Pada contoh kami dalam Gambar 2, jika terdapat suatu sinyal yang mengganggu atau berinterferensi dengan sinyal pada frequency hopping system, misalnya 2.451 GHz, maka hanya porsi sinyal spread spectrum itu yang hilang. Sinyal spread spectrum lainnya masih akan tetap utuh, dan data yang hilang akan dikirimkan kembali. Pada kenyataannya, suatu sinyal narrow band pengganggu mungkin menempati beberapa megahertz pada bandwidth. Karena frequency hopping band memiliki lebar lebih dari 83 MHz, sinyal pengganggu ini hanya akan menimbulkan sedikit degradasi (pemburukan) sinyal spread spectrum. 2.3 Frequency Hopping Systems Pekerjaan dari IEEE adalah menciptakan standar operasi dalam bingkai peraturan yang diciptakan oleh FCC. IEEE dan OpenAir standard berkenaan dengan FHSS system menggambarkan: • Band frekuensi mana yang harus digunakan • Hop sequence • Dwell times • Data rates IEEE 802.11 standard menetapkan data rates sebesar 1 Mbps dan 2 Mbps dan OpenAir (suatu standar yang diciptakan oleh forum antar operasi LAN nirkabel yang sekarang tidak berfungsi) menetapkan data rates sebesar 800 kbps dan 1.6 Mbps. Agar suatu frequency hopping systems berada pada 802.11 atau sesuai dengan OpenAir, maka ia harus beroperasi pada band frekuensi 2.4 GHz ISM (yang didefinisikan oleh FCC berada pada kisaran dari 2.4000 GHz sampai 2.5000 GHz). Kedua standar ini memungkinkan operasi pada kisaran frekuensi 2.4000 GHz sampai 2.4833 GHz. 5
2.3.1 Saluran Suatu frequency hopping system akan bekerja menggunakan suatu pola lompatan khusus yang disebut saluran (channel). Frequency hopping system secara tipikal menggunakan 26 pola lompatan standar dari FCC dan sebagian dari pola itu. Beberapa frequency hopping system memungkinkan penciptaan suatu pola lompatan yang disesuaikan dengan kebutuhan (custom hop patterns), dan sistem-sistem yang lain bahkan memungkinkan sinkronisasi antar sistem untuk sepenuhnya mengeliminasi kolisi atau benturan dalam suatu lingkungan yang digunakan bersama.
Gambar 3.
Frequency hopping sistem yang menempati lokasi secara bersamaan.
Sekalipun dimungkinkan untuk memiliki hingga sebanyak 79 titik-titik akses tersinkronisasi yang menempati suatu lokasi secara bersamaan, namun dengan pola banyak sistem ini, masing-masing frequency hopping radio akan memerlukan sinkronisasi yang presisi dengan semua radio lainnya agar tidak saling mengganggu (atau memancar pada frekuensi yang sama seperti) frequency hopping radio lainnya di kawasan itu. Biaya untuk satu set sistem semacam itu memang memberatkan dan pada umumnya tidak dipandang sebagai 6
suatu pilihan. Jika digunakan radio-radio yang tersinkronisasi, maka pengeluarannya hanya membolehkan maksimum 12 sistem yang menempati lokasi bersama. Jika digunakan radio-radio non-sinkronisasi, maka 26 sistem dapat ditempatkan bersama-sama dalam suatu lokasi LAN nirkabel; jumlah ini dianggap merupakan jumlah maksimum dalam suatu LAN nirkabel dengan tingkat lalu lintas sedang. Meningkatnya lalu lintas komunikasi secara signifikan atau pengiriman file besar secara rutin memberikan batasan praktis atas jumlah sistem yang menempati lokasi yang sama maksimum sebanyak 15. Lebih dari 15 frequency hopping system yang berada dalam lingkungan ini akan saling mengganggu hingga tingkat dimana kolisi (benturan sinyal) akan mulai mengurangi throughput agregat dari LAN nirkabel. 2.3.2 Dwell Time Pada saat membahas frequency hopping system, kita membahas sistem yang harus memancar pada suatu frekuensi yang telah ditetapkan untuk jangka waktu tertentu, dan kemudian melompat ke frekuensi yang berbeda untuk meneruskan transmisi. Pada saat frequency hopping system memancar pada suatu frekuensi, maka proses pemancaran ini harus berlangsung selama jangka waktu tertentu. Jangka waktu ini disebut dwell time. Setelah dwell time habis, maka sistem ini beralih ke suatu frekuensi berbeda dan mulai memancar lagi. Anggaplah suatu frequency hopping system hanya memancar pada dua frekuensi, yaitu 2.401 GHz dan 2.402 GHz. Sistem tersebut akan memancar pada frekuensi 2.401 selama jangka dwell time – misalnya 100 milidetik (ms). Setelah 100 milidetik radio tersebut akan mengubah frekuensi pemancarnya menjadi 2.402 GHz dan mengirimkan informasi pada frekuensi itu selama 100 milidetik. Karena dalam contoh kami, radio tersebut hanya menggunakan frekuensi 2.401 dan 2.402 GHz maka radio tersebut akan melompat kembali ke frekuensi 2.401 dan memulai proses tersebut secara berulang-ulang. 7
2.3.3 Hop Time Pada saat mempertimbangkan aksi lompatan frekuensi dari suatu frequency hopping radio, dwell time hanya merupakan salah satu pertimbangan. Pada saat suatu frequency hopping radio melompat dari frekuensi A ke frekuensi B, maka ia harus mengubah frekuensi pancar dalam salah satu dari dua cara. Radio tersebut harus beralih ke suatu rangkaian yang berbeda yang telah diselaraskan dengan frekuensi baru tersebut, atau ia harus mengubah sebagian elemen dari rangkaian yang ada untuk menyelaraskan dengan frekuensi baru tersebut. Pada tiap cara, proses peralihan ke frekuensi baru harus tuntas sebelum transmisi dapat dijalankan kembali, dan perubahan ini membutuhkan waktu karena adanya latensi listrik yang inheren dalam sistem rangkaian. Terdapat sedikit waktu selama perubahan frekuensi ini dimana radio tersebut tidak memancar, yang disebut hop time. Hop time diukur dalam mikrodetik (µs) dan dengan dwell time yang relatif panjang yaitu sekitar 100-200 ms, hop time menjadi tidak signifikan. Sistem FHSS 802.11 yang tipikal melompat antar saluran dalam waktu 200-300 µs. Amp.
1 Channel
3
2
4 Freq.
Wide Band
Frequency Hop Sequence: 1, 3, 2, 4 Dengan dwell time yang sangat singkat 500-600 µs, seperti yang digunakan dalam beberapa frequency hopping system seperti 8
Bluetooth, hop time dapat menjadi sangat signifikan. Jika kita memperhatikan efek hop time sehubungan dengan throughput data, kita menemukan bahwa semakin lama hop time jika dibanding dengan dwell time, maka semakin lambat pula laju transmisi data yang diukur dalam bit. Fakta ini secara kasar dapat dituangkan menjadi: semakin lama dwell time = semakin besar throughtput. 2.3.4 Dwell Time Limits FCC mendefinisikan maksimum dwell time dari suatu frequency hopping spread spectrum system pada 400 ms per carrier frequency dalam periode waktu 30 detik. Sebagai contoh, jika suatu transmiter (pemancar) menggunakan frekuensi selama 100 ms, kemudian melompat melalui urutan keseluruhan 75 hop (lompatan) (tiap hop memiliki dwell time yang sama 100 ms) yang kemudian kembali ke frekuensi asal, maka transmisi itu menghabiskan waktu sedikit di atas 7.5 detik dalam hopping sequence ini. Alasan mengapa besar waktunya tidak tepat 7.5 detik adalah karena adanya hop time. Proses pelompatan melalui hop sequence 4 kali berturut-turut akan menghasilkan 400 ms untuk tiap frekuensi pembawa (carrier frequency) selama kerangka waktu yang mencapai 30 detik (7.5 detik x 4 lewatan melalui hop sequence) yang diijinkan oleh peraturan FCC. Contoh lain bagaimana suatu FHSS sistem mungkin berada dalam peraturan FCC adalah dwell time selama 200 ms yang melewati hop sequence hanya 2 x dalam 30 detik atau dwell time sebesar 400 ms yang melewati hop sequence hanya satu kali 30 detik. Skenario manapun yang digunakan sangat cocok bagi pabrik untuk implementasinya. Perbedaan utama antara masing-masing dari skenario ini adalah bagaimana hop time mempengaruhi throughput. Penggunaan dwell time 100 ms, empat kali sebanyak hop harus dilakukan seperti pada saat menggunakan dwell time 400 ms. Hopping time tambahan ini menurunkan sistem throughput.
9
Time Amplitud e
Hop Tim e
Dwell Time
Data
Hop Sequenc e
1
2 Channels
3
4
Frequency
Biasanya, frequency hopping radio tidak akan diprogram untuk beroperasi pada batas resmi ini; namun masih disediakan ruang antara batas resmi dan kisaran operasi yang sebenarnya untuk memberikan sedikit keleluasaan pengaturan bagi operator. Dengan menyesuaikan dwell time, seorang administrator dapat mengoptimalkan jaringan FHSS untuk areal dimana terdapat banyak interferensi atau sangat sedikit interferensi. Pada suatu areal dimana terdapat sedikit interferensi, maka diinginkan adanya dwell time yang lebih lama dan karenanya diinginkan throughput yang lebih besar. Sebaliknya, pada areal dimana terdapat banyak interferensi dan banyak retransmisi diperlukan karena terdapat paket data yang tidak sempurna (corrupted), maka diperlukan dwell time yang lebih singkat.
10
2.4 Direct Sequence Spread Spectrum (DSSS) Direct sequence spread spectrum merupakan jenis spread spectrum yang paling luas dikenal dan paling banyak digunakan, karena sistem ini dikenal paling mudah implementasinya dan memiliki data rate yang tinggi. Sebagian besar peralatan atau piranti LAN nirkabel yang ada di pasaran sekarang ini menggunakan teknologi DSSS. DSSS merupakan suatu metode untuk mengirimkan data dimana sistem pengirim dan penerima keduanya berada pada set frekuensi yang lebarnya adalah 22 MHz. Saluran yang lebar ini memungkinkan piranti untuk memancarkan lebih banyak informasi pada data rate yang lebih tinggi dibanding FHSS system yang ada sekarang. 2.4.1 Bagaimana DSSS Bekerja DSSS menggabungkan sinyal data pada stasiun pengirim dengan suatu data rate bit sequence yang lebih tinggi, yang dikenal sebagai chipping code atau processing gain. Processing gain yang tinggi meningkatkan tahanan sinyal terhadap interferensi. Linear processing gain minimum yang diijinkan oleh FCC adalah 10, dan sebagian besar produk yang ada di pasaran bekerja di bawah 20. Kelompok kerja 802.11 IEEE telah menetapkan persyaratan processing gain minimum sebesar 11. Proses direct sequence dimulai dengan suatu carrier yang dimodulasi dengan suatu code sequence. Jumlah “chips” dalam code tersebut akan menentukan seberapa besar penyebaran (spreading) terjadi, dan jumlah chip per bit dan laju code (dalam chip per detik) akan menentukan data rate. 2.4.2 Direct Sequence System Pada 2.4 GHz ISM band, IEEE menetapkan penggunaan DSSS pada data rate 1 atau 2 Mbps menurut standar 802.11. Menurut standar 802.11b – yang kadang-kadang disebut high-rate wireless – ditetapkan data rate sebesar 5.5 dan 11 Mbps. Piranti IEEE 802.11b yang bekerja pada 5.5 atau 11 Mbps mampu berkomunikasi dengan piranti-piranti 802.11 yang bekerja pada 1 atau 2 Mbps karena standar 802.11b menyediakan backward compatibility. 11
User yang menggunakan piranti-piranti 802.11 tidak perlu mengupgrade keseluruhan piranti LAN nirkabel mereka untuk dapat menggunakan piranti-piranti 802.11b pada jaringan mereka. Tambahan terbaru terhadap daftar piranti yang menggunakan teknologi direct sequence adalah standar IEEE 802.11a, yang menetapkan unit-unit yang dapat bekerja pada lebih dari 54 Mbps. Sayangnya, untuk para pengguna piranti 802.11 dan 802.11b, piranti 802.11a tidak sepenuhnya kompatibel dengan 802.11b karena ia tidak menggunakan band frekuensi 2.4 GHz, namun menggunakan UNII band 5 GHz. Untuk sementara waktu, hal ini masih menjadi masalah karena banyak user ingin memanfaatkan teknologi direct sequence yang bisa mengirimkan data pada data rate 54 Mbps, namun tidak ingin mengeluarkan biaya untuk upgrade LAN nirkabel secara menyeluruh. Oleh karena itu, belakangan ini, standar IEEE 802.11g mendapat persetujuan untuk menetapkan sistem direct sequence yang bekerja pada 2.4 GHz ISM band yang dapat mengirimkan data hingga mencapai data rate sebesar 54 Mbps. Teknologi 802.11g menjadi teknologi 54 Mbps pertama yang memiliki backward compatibility dengan piranti 802.11 dan 802.11b. Sejak penulisan ini, draft pertama dari standar 802.11g telah disetujui sebagai standar di masa yang akan datang, namun spesifikasi standar baru ini masih dalam bentuk draft. Informasi yang lebih lengkap mengenai standar 802.11g bisa diperoleh pada situs 2.4.3
Saluran Berbeda dengan frequency hopping system yang menggunakan hop sequences untuk mendefinisikan saluran, direct sequence system menggunakan suatu definisi saluran yang lebih konvensional. Tiap saluran merupakan suatu band frequensi yang bersebelahan yang lebarnya 22 MHz, dan frekuensi pembawa 1 MHz digunakan dengan FHSS. Saluran 1, misalnya, bekerja dari frekuensi 2,401 GHz sampai 2,432 GHz (2,412 GHz ± 11 MHz); saluran 2 bekerja dari 2,406 sampai 2,429 GHz (2.417 ± 11 MHz), dan seterusnya. Gambar 4 mengilustrasikan penjelasan ini. 12
Gambar 4. Alokasi saluran DSSS dan hubungan spektralnya. Diagram pada Gambar 5 memuat daftar lengkap saluran yang digunakan di AS dan Eropa. Spesifikasi standar 802.11b hanya menetapkan 11 saluran untuk pemakaian tanpa ijin di AS. Kita dapat melihat bahwa saluran 1 dan 2 bertumpang tindih (overlap) dengan suatu besaran yang signifikan. Tiap frekuensi yang dicantumkan pada diagram ini dianggap merupakan frekuensi sentral. Dari frekuensi sentral ini, ditambahkan dan dikurangkan 11 MHz untuk mendapatkan saluran dengan lebar 22 MHz yang terpakai. Sekarang mudah dilihat bahwa saluran-saluran di dekatnya (saluran yang secara langsung bersebelahan satu sama lain) akan bertumpang-tindih secara signifikan. ID Saluran 1 2 3 4 5 6 7
Frekuensi saluran FCC 2,412 2,417 2,422 2,427 2,432 2,437 2,442
Frekuensi saluran ETSI N/A N/A 2,422 2,427 2,432 2,437 2,442 13
8 9 10 11 Gambar 5.
2,447 2,452 2,457 2,462
2,447 2,452 2,457 2,462
Penetapan frekuensi saluran DSSS
Pemakaian sistem DSSS dengan saluran-saluran yang bertumpang-tindih (overlapping channel) akan menimbulkan interferensi antar-sistem tersebut. Karena frekuensi-frekuensi sentral berjarak 5 MHz dan saluran-salurannya memiliki lebar 22 MHz, maka saluransaluran hanya boleh ditempatkan pada lokasi yang sama jika jumlah salurannya 5, yang terpisah satu sama lain: saluran 1 dan 6 tidak bertumpang-tindih, saluran 2 dan 7 tidak bertumpang-tindih, dan seterusnya. Terdapat maksimum 3 sistem sekuens langsung yang mungkin yang dapat ditempatkan pada lokasi yang sama karena saluran 1, 6 dan 11 merupakan saluran-saluran yang tidak bertumpang-tindih secara teoritis. Tiga saluran yang tidak bertumpang-tindih itu digambarkan pada Gambar 6. Istilah “secara teoritis” digunakan di sini karena, seperti yang akan kita bahas pada Bab 9 – Pelacakan Gangguan, saluran 6 pada kenyataannya dapat bertumpang-tindih dengan saluran 1 dan 11 (yang bergantung pada peralatan yang digunakan dan jarak antar sistem), yang dapat menimbulkan degradasi koneksi dan kecepatan LAN nirkabel.
14
Gambar 6. Saluran DSSS yang tidak bertumpang-tindih. 2.5 Membandingkan FHSS dan DSSS Baik teknologi FHSS maupun DSSS memiliki keunggulan dan kelemahannya sendiri-sendiri, dan administrator LAN nirkabel berkewajiban untuk memberikan bobot pertimbangan yang tepat untuk masing-masing sistem saat memutuskan bagaimana mengimplementasikan suatu LAN nirkabel. Bagian ini akan mencakup beberapa faktor yang harus dibahas pada saat menentukan teknologi mana yang cocok untuk perusahaan anda, yang meliputi: • Interferensi narrowband • Co-lokasi • Biaya • Kompatibilitas dan ketersediaan peralatan • Data rate & throughput • Keamanan • Dan sistem support standar 2.5.1 Interferensi Narrowband Keunggulan dari teknologi FHSS meliputi resistensinya yang lebih besar terhadap interferensi narrowband. Sistem DSSS mungkin lebih dipengaruhi oleh interferensi narrowband jika dibanding sistem FHSS karena sistem tersebut menggunakan band-band yang 15
berdekatan yang lebarnya 22 MHz, bukannya 79 MHz seperti yang digunakan pada sistem FHSS. Fakta ini mungkin menjadi suatu pertimbangan yang serius jika situs LAN nirkabel yang diusulkan berada dalam suatu lingkungan yang memiliki interferensi semacam itu. 2.5.2 Biaya Pada saat mengimplementasikan suatu LAN nirkabel, keunggulan dari teknologi DSSS mungkin lebih perlu diperhatikan dibanding keunggulan sistem FHSS, lebih-lebih bila memiliki anggaran yang ketat. Biaya untuk mengimplementasikan suatu direct sequence system jauh lebih rendah jika dibanding dengan biaya frequency hopping system. Peralatan DSSS sekarang tersedia secara meluas di pasaran, dan pemakaiannya oleh banyak kalangan membantu menurunkan biaya. Beberapa tahun yang lalu, peralatan ini hanya bisa dijangkau oleh pelanggan yang berupa perusahaan. Sekarang, PC card, yang sesuai dengan standar 802.11b dengan kualitas yang sangat baik bisa dibeli dengan harga kurang dari $100. FHSS card yang cocok dengan standar 802.11 atau OpenAir standard secara tipikal memiliki harga yang berkisar dari $150 hingga $350 di pasar dewasa ini yang bergantung pada pabriknya dan standar yang bisa digunakan oleh card tersebut. 2.5.3 Ko-lokasi Keunggulan dari FHSS jika dibanding DSSS adalah kemampuannya untuk menepatkan lebih banyak frequency hopping system secara bersamaan jika dibanding pada direct sequence system. Karena frequency hopping system merupakan frekuensi yang memiliki agilitas tinggi dan memanfaatkan 79 saluran diskrit, maka frequency hopping system memiliki suatu keunggulan ko-lokasi, dibanding direct sequence system, yang memiliki kolokasi maksimum 3 titik akses.
16
Gambar 7. Perbandingan Ko-lokasi Meskipun demikian, saat menghitung biaya perangkat keras FHSS system untuk mendapatkan throughput yang sama seperti pada sistem DSSS, maka keunggulan semacam itu segera hilang. Karena sistem DSSS dapat memiliki 3 titik akses pada lokasi yang sama, sementara throughput yang sama untuk konfigurasi ini akan sebesar: 3 access points x 11 Mbps = 33 Mbps Pada kira-kira 50% dari rated bandwidth, throughput system DSSS akan sebesar: 33 Mbps/2 = 16,5 Mbps Dalam konfigurasi ini, suatu sistem FHSS akan memerlukan 13 titik akses tambahan yang harus dibeli untuk mendapatkan throughput yang sama seperti sistem DSSS. Selain itu, jasa instalasi tambahan untuk unit-unit ini, tabel, konektor, dan antena semuanya juga perlu dibeli. Seperti yang anda saksikan, terdapat keunggulan bagi kolokasi untuk tiap jenis sistem. Jika tujuannya adalah biaya yang rendah dan throughput yang tinggi, maka jelas teknologi DSSS akan lebih unggul. Jika tujuannya adalah untuk membuat user yang segmentasi menggunakan titik-titik akses yang berbeda pada suatu lingkungan kolokasi yang padat, maka FHSS merupakan alternatif yang tepat.
17
2.5.4 Kompatibilitas dan Ketersediaan Peralatan WECA (Wireless Ethernet Compatibility Alliance) melakukan pengujian atas peralatan LAN nirkabel DSSS yang sesuai dengan standar 802.11b untuk menjamin bahwa peralatan semacam itu dapat bekerja pada kondisi adanya dan beroperasi bersama dengan piranti DSSS standar 802.11 lainnya. Standar interoperasibilitas yang diciptakan oleh WECA yang sekarang pemakaiannya disebut sebagai Wireless Fidelity, atau Wi-FiTM, dan piranti-piranti yang lolos uji interoperasibilitas ini disebut sebagai piranti yang memenuhi syarat Wi-Fi. Piranti-piranti dengan predikat Wi-Fi diijinkan untuk menempelkan logo Wi-Fi pada materi serta piranti pemasaran yang terkait yang memperlihatkan bahwa mereka telah diuji dan bisa berinteroperasi dengan piranti-piranti yang memenuhi syarat Wi-Fi lainnya. Tidak dilakukan uji kompatibilitas semacam itu terhadap peralatan yang menggunakan FHSS. Memang terdapat standar seperti 802.11 dan OpenAir, namun belum ada organisasi yang melangkah lebih jauh untuk melakukan semacam pengujian kompatibilitas atas piranti FHSS sebagaimana yang dilakukan oleh WECA untuk DSSS. Karena popularitas radio yang memenuhi syarat standar 802.11b, maka jauh lebih mudah untuk memperoleh unit-unit ini. Terjadi permintaan yang meningkat atas radio yang memenuhi spesifikasi Wi-Fi, sementara permintaan akan radio FHSS masih cukup stabil, sekalipun mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. 2.5.5 Data rate & throughput Frequency hopping system yang paling mutakhir lebih lambat dibanding sistem DSSS paling mutakhir utamanya karena data rate mereka hanya sebesar 2 Mbps. Sekalipun beberapa sistem FHSS beroperasi pada data rate 3 Mbps atau lebih namun sistem-sistem ini tidak memenuhi spesifikasi standar 802.11 dan mungkin tidak berinteroperasi dengan sistem FHSS lainnya. Sistem FHSS dan DHSS memiliki suatu throughput (data yang sungguh-sungguh dikirimkan) hanya sekitar setengah dari data rate-nya. Saat menguji throughput dari suatu instalasi LAN nirkabel baru, pencapaian sebesar 5-6 Mbps 18
pada setting 11 Mbps untuk DSSS atau 1 Mbps pada setting 2 Mbps merupakan hal yang biasa saat menggunakan sistem DSSS. HomeRF 2.0 menggunakan frequency hopping technology dengan band lebar untuk mencapai data rate 10 Mbps, yang pada gilirannya mencapai throughput aktual sekitar 5 Mbps. Yang menjadi persoalan adalah bahwa membandingkan HomeRF 2.0 terhadap sistem 802.11 atau 802.11b tidaklah seperti membandingkan buah apel. Perbedaannya adalah bahwa HomeRF memiliki output daya yang terbatas (125 mW) jika dibanding output pada sistem 802.11 (1 watt). Pada saat wireless frames ditransmisikan, terdapat jeda (pause) antar data frame untuk sinyal kontrol dan tugas-tugas overhead lain. Dengan frequency hopping system, penjarakan antar frame ini tidak lebih panjang dibanding yang digunakan oleh direct sequence system, yang mengakibatkan pelambatan laju dari data yang sungguh-sungguh dikirimkan (throughput). Selain itu, pada saat frequency hopping system sedang dalam proses pengubahan frekuensi pancar, data tidak dikirimkan. Hal ini dapat diartikan adanya throughput yang hilang lagi, sekalipun hanya dalam jumlah kecil. Beberapa sistem LAN nirkabel menggunakan physical layer protocols yang dimilikinya untuk meningkatkan throughput. Metode ini bisa berjalan, yang menghasilkan throughput hingga setinggi 80% dari data rate tersebut, namun jika hal ini dilakukan, akan mengorbankan interoperasibilitas. 3. Penutup Seperti yang pernah dibahas sebelumnya, DSSS banyak diterima pasar karena biayanya yang murah, kecepatan tinggi, dan memiliki standar interoperabilitas Wi-Fi dari WECA, dan masih terdapat banyak faktor lainnya. Penerimaan pasar ini hanya akan mengalami akselerasi akibat adanya industri yang bergerak ke arah teknologi yang lebih baru, dengan sistem DSSS yang lebih cepat, seperti perangkat keras LAN nirkabel yang memenuhi spesifikasi 802.11g dan 802.11a yang baru. Standar interoperasibilitas Wi-Fi5 yang baru dari WECA untuk sistem DSSS 5 GHz yang bekerja dalam band UNII akan membantu menggerakkan industri ke arah yang sama 19
dan lebih cepat seperti yang pernah dicapai sebelumnya. Standar baru untuk sistem FHSS meliputi HomeRF 2.0 dan 802.15 (untuk mendukung WPAN seperti Bluetooth), namun tak satupun untuk memajukan sistem FHSS pada sistem tersebut. Semua standar dan teknologi ini akan dibahas lebih lanjut pada Bab 6 (Organisasi dan Peraturan). Daftar Pustaka James Trulove, Build Your Own Wireless LAN, McGraw-Hill,2002 Behrouz A. Forouzan, Local Area Network, McGraw-Hill, Int. Edition, 2003 Rahardjo. B, Keamanan Sistem Informasi Berbasis Internet, PT Insan Komunikasi Indonesia, Bandung, 2001 Stalling. W, Network and Internet Security, Prentice Hall, Englewood Cliffs New Jersey, New York, 1995 http://standards.ieee.org/cgibin/status?wireless. http://www.fcc.gov http://www.wirelesslan.com http://www.ieee.org Panko’s Business Data Networks and Telecommunications, 5th edition Copyright 2005 Prentice-Hall K. Pahlavan , A. Zahedi, and P. Krishnamurty, “ Wideband Local Access: Wireless LAN and Wireless ATM”, invited paper, Speical Issue on WATM, IEEE Comm. Soc. Mag., Nov. 1997. K. Pahlavan and A. Levesque, Wireless Information Networks, New York: John Wiley and Sons, 1995. K. Pahlavan and A. Levesque, “Wireless Data Communication”, Invited Paper, IEEE Proceedings, Sep. 1994.
20
KOMPUTASI GRID SEBAGAI JAWABAN KETERBATASAN SUMBER DAYA KOMPUTASI Ahlihi Masruro STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Grid ComputinG, suatu arsitektur sistem komputer berkinerja tinggi yang memanfaatkan teknologi grid computing yang ada (beberapa di antaranya: Globus Toolkit 4, Condor, PVM, MPI) sebagai komponen pembangunnya. Dengan terbentuknya infrastruktur komputasi grid computing ini, diharapkan kebutuhan para peneliti akan sumber daya komputasi dapat dipenuhi dan pada gilirannya dapat meningkatkan tingkat kompetitif. Kata Kunci:
1. Pendahuluan 1.1. Kebutuhan Sumber Daya Komputasi pada Pengembangan eScience Saat ini, para peneliti sudah amat menyadari pentingnya peran komputer dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Komputer memungkinkan para peneliti untuk menciptakan laboraturium virtual dalam komputer untuk melakukan eksperimeneksperimen yang akan mahal sekali jika dilakukan di dalam sebuah laboraturium fisik atau bahkan tidak mungkin. Beberapa pihak bahkan telah memberikan nama tersendiri untuk menggambarkan kegiatan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berbasis komputer ini dengan sebutan e-Science 0.
21
1.2. Mahalnya sumber daya komputasi Untuk melakukan eksperimen dengan menggunakan komputer dalam konteks pengembangan e-Science di atas umumnya dibutuhkan sumber daya komputasi yang berkinerja tinggi (atau juga dikenal dengan sebutan high performance computing). Pada beberapa dekade yang lalu, sumber daya komputasi berkinerja tinggi ini hanya dapat dipenuhi oleh komputer yang dikategorikan sebagai supercomputer (seperti komputer Cray X-MP, CDC, Illiac-IV). Supercomputer memang dapat memenuhi kebutuhan para peneliti e-Science, namun karena harganya yang mahal, hanya sedikit dari para peneliti tersebut yang dapat memilikinya/menggunakannya. Sejalan dengan perkembangan teknologi komputer, baik dari sisi perangkat keras maupun perangkat lunak, saat ini sumber daya komputasi berkinerja tinggi tidak lagi harus dipenuhi oleh komputerkomputer berkategori supercomputer. Bahkan dengan teknologi komputer yang dikenal dengan nama grid computing, sejumlah komputer yang lazim digunakan di perkantoran dapat digabung untuk secara bersama-sama melakukan eksperimen seperti yang dahulu biasa dilakukan oleh supe computer. 1.3. Grid Computing sebagai Solusi Bagi para peneliti di negara-negara yang kemampuan ekonominya terbatas maka solusi yang diberikan oleh teknologi grid computing ini merupakan suatu alternatif yang harus dipertimbangkan dengan amat serius. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk yang dilakukan dengan menggunakan bantuan komputer (e-Science), tidak harus terhenti hanya karena keterbatasan dana. Teknologi grid computing memungkinkan para peneliti memanfaatkan sumber daya komputasi yang telah ada semaksimal mungkin. Dengan menggunakan teknologi ini, para peneliti dapat menggabungkan komputer-komputer yang berada di tempat-tempat yang secara geografis terpisah menjadi suatu kesatuan sistem komputer. Gabungan banyak komputer ini secara keseluruhan mampu menyediakan sumber daya komputasi yang setara atau bahkan lebih dengan komputer berkategori supercomputer. Lebih lanjut, sistem 22
komputer ini dapat digunakan secara bersama-sama oleh para peneliti yang juga berasal dari instansi-instansi yang lokasinya berlainan. Secara keseluruhan, tidak saja teknologi grid computing memungkinkan para peneliti menerapkan e-Science untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan biaya yang relatif “terjangkau”, tetapi juga dapat memanfaatkan sumber daya komputasi yang ada seefisien mungkin secara bersama-sama oleh banyak peneliti. 2. Pembahasan 2.1. Evolusi Grid Computing Teknologi grid computing merupakan teknologi yang telah dikembangkan dalam waktu yang panjang. Secara evolusi kita melihat pengembangan teknologi sejenis mulai dari Condor 0, kemudian diikuti oleh PVM (Parallel Virtual Machine) 0 dan MPI (Message Passing Interface) 0, sampai dengan Globus Toolkit 0. Sejak awal, para peneliti di bidang komputasi berkinerja tinggi telah menggunakan dua pendekatan 0, (1) supercomputer, membangun sebuah komputer dengan teknologi perangkat keras berkinerja tinggi, dan (2) multicomputer, membangun sebuah sistem komputer dengan teknologi jaringan interkoneksi dan perangkat lunak. Pendekatan pertama umumnya menghasilkan sebuah komputer yang berkinerja tinggi, tetapi berharga amat mahal sehingga hanya dapat dimiliki oleh segelintir pihak saja. Pendekatan kedua menghasilkan suatu sistem komputer yang kinerjanya bervariasi sesuai jumlah komputer yang tergabung dan konfigurasi perangkat lunak yang digunakan. Walaupun harga suatu sistem komputer berkinerja tinggi yang dibangun dengan pendekatan multicomputer lebih terjangkau dibandingkan dengan supercomputer, pemakaiannya masih terbatas. Sistem komputer berbasis jaringan tersebut umumnya diterapkan pada komputer-komputer yang terhubung dalam suatu jaringan lokal (LAN). Salah satu penyebabnya adalah masalah keamanan jaringan yang belum tertangani dengan baik. Selain itu, sistem perangkat lunak pendukung yang memungkinkan komputer-komputer tersebut bekerja sebagai satu kesatuan umumnya memiliki konfigurasi yang kompleks 23
sehingga penggunanya harus memiliki keahlian tersendiri sebelum dapat memanfaatkan sistem komputer tersebut. Sejalan dengan perkembangan teknologi Internet dan teknologiteknologi komputer yang berkaitan lainnya seperti protokol komunikasi data, teknologi keamanan jaringan, teknologi pemgrograman terdistribusi, dan teknologi bahasa pemrograman yang independen terhadap arsitektur komputer maka sistem komputer berkinerja tinggi berbasis jaringan menjadi lebih mudah untuk diimplementasikan dan digunakan. 2.2. Grid Computing & Solusi yang Ditawarkan Pada beberapa tahun belakangan ini, sekelompok peneliti di bidang komputasi berkinerja tinggi secara serius memusatkan perhatian pada pengembangan sistem komputer berbasis jaringan seperti yang telah diuraikan di atas dengan menggunakan teknologi yang dikenal dengan sebutan teknologi grid computing 0. Teknologi grid computing adalah suatu cara penggabungan sumber daya yang dimiliki banyak komputer yang terhubung dalam suatu jaringan sehingga terbentuk suatu kesatuan sistem komputer dengan sumber daya komputasi yang besarnya mendekati jumlah sumber daya komputasi dari komputer-komputer yang membentuknya. Lebih lanjut, sebagian atau seluruh sumber daya komputasi ini dapat dipakai oleh penggunanya sesuai kebutuhan masing-masing. Penamaan “grid” disini meminjam istilah yang digunakan dalam ketenagalistrikan 0, dimana pembangkit-pembangkit tenaga listrik dihubungkan satu sama lain untuk secara bersama-sama memasok kebutuhan tenaga listrik penggunanya. Masing-masing pengguna hanya menggunakan sebagian dari daya listrik yang dihasilkan oleh seluruh pembangkit tenaga listrik tersebut. Berbeda dengan teknologi-teknologi pendahulunya seperti Condor, PVM, atau MPI, teknologi grid computing dilengkapi oleh komponen-komponen yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya komputasi yang terhimpun secara lebih optimal dan aman. Untuk melihat komponen-komponen dari teknologi grid computing ini, disini akan diuraikan dengan singkat sistem Globus Toolkit yang 24
dikembangkan oleh para peneliti di Argonne National Laboratory, Amerika Serikat 0. Sistem Globus Toolkit merupakan salah satu teknologi grid computing yang populer dan banyak digunakan oleh pihak-pihak yang ingin mengintegrasikan sumber daya komputasi mereka yang tersebar menjadi satu kesatuan. Secara spesifik, sistem Globus Toolkit yang akan dibahas disini adalah sistem Globus Toolkit versi 4 (GT4) 0, yang merupakan versi mutakhir dari sistem Globus Toolkit. Sistem GT4 dibangun dengan menggunakan teknologi Web Services 0 yang telah berkembang menjadi suatu standar dalam pengembangan perangkat lunak terdistribusi. Teknologi Web Services memungkinkan GT4 mengadopsi konsep berorientasi layanan (service-oriented) yang menggunakan layanan, bukan perangkat keras, sebagai komponen dasar bangunannya. Di atas Web Services ini GT4 membangun komponen-komponen utama dari sistem komputasi grid berikut ini. 2.3.Infrastruktur Komputasi Grid Dengan meningkatnya kebutuhan para peneliti akan sumber daya komputasi untuk melakukan e-Science seperti telah disebutkan dimuka dan berkembangnya teknologi grid computing maka beberapa negara telah mengambil inisiatif untuk mengimplementasikan infrastruktur komputasi grid di tingkat nasional. Beberapa contoh di antaranya: India 0, Singapura 0, dan Jepang 0. Suatu infrastruktur komputasi grid akan dapat menekan biaya investasi dibandingkan bila masing-masing institusi tersebut harus mengadakan perangkat komputasinya sendiri-sendiri. Lebih lanjut, sistem komputasi grid yang menuntut penggunaan sumber daya komputasi secara bersama-sama akan menumbuhkan semangat berkolaborasi di antara para peneliti tersebut. Suatu hal yang amat positif. Melihat manfaat yang dapat diberikan oleh keberadaan suatu infrastruktur komputasi grid di tingkat nasional maka pada makalah ini diajukan rancangan RI-GRID, yaitu infrastruktur komputasi grid di tingkat negara Republik Indonesia yang bertujuan memanfaatkan sumber daya komputasi yang berada di institusi-institusi penelitian 25
baik saat ini maupun di masa akan datang sehingga dapat digunakan oleh para peneliti di negara ini untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. 2.4.Arsitektur GRID COMPUTING Gambar 1 berikut menunjukkan rancangan arsitektur infrastruktur komputasi grid. Seperti terlihat pada gambar tersebut, GRID COMPUTING dibangun dengan jalan menggabungkan sistemsistem komputasi grid yang berada di institusi-institusi penelitian (GRID-2, 3, 4) menjadi satu kesatuan. Konfigurasi perangkat keras dan perangkat lunak masing-masing sistem di tingkat institusi dapat berbeda, namun dengan mengoperasikan teknologi grid computing seperti GT4 pada simpul-simpul penghubung dari masing-masing sistem, keseluruhan sistem membentuk satu kesatuan infrastruktur komputasi grid. Dengan konfigurasi seperti ini, jika dibutuhkan, pengguna di suatu institusi dapat memanfaatkan sumber daya komputasi yang berada di luar institusinya. User
User
GRID-4
GRID-3
GRID COMPUTING
User GRID-2
Cluste
Cluste
...
...
Gambar 1. Arsitektur Grid Computing 26
Konfigurasi yang ditunjukkan pada Gambar 1 di atas tidak menuntut masing-masing sistem di tingkat institusi untuk merubah konfigurasi sistem masing-masing secara signifikan. Jika suatu institusi telah mengimplementasikan suatu teknologi grid computing tertentu seperti SUN Grid Engine (SGE) atau teknologi komputasi berbasis jaringan seperti PVM, MPI, Condor maka sistem GT4 dapat dikonfigurasikan untuk berkoordinasi dengan masing-masing teknologi tersebut. Salah satu prasyarat dari pembentukan GRID COMPUTING adalah tersedianya suatu backbone jaringan berkapasitas besar untuk menghubungkan simpul-simpul penghubung di masing-masing institusi (harus memiliki lebar pita mulai 2 Mbps sampai dengan 155 Mbps). GRAM: Grid Resource Allocation & Management Komponen ini bertanggung jawab dalam mengelola seluruh sumber daya komputasi yang tersedia dalam sistem komputasi grid. Pengelolaan ini mencakup eksekusi program pada seluruh komputer yang tergabung dalam sistem komputasi grid, mulai dari inisiasi, monitoring, sampai penjadwalan (scheduling) dan koordinasi antarproses. Suatu hal yang menarik dengan sistem GT4 adalah kemampuannya untuk bekerja sama dengan sistem-sistem pengelolaan sumber daya komputasi yang telah ada sebelumnya seperti Condor, PVM, atau MPI. Dengan mekanisme ini maka program-program yang telah dibangun sebelumnya tidak perlu dibangun ulang atau kalaupun harus dimodifikasi, modifikasinya minimum, jika akan dijalankan dalam lingkungan komputasi grid berbasis GT4. RFT/GridFTP: Reliable File Transfer/Grid File Transfer Protocol Komponen ini memungkinkan pengguna mengakses data yang berukuran besar dari simpul-simpul komputasi yang tergabung dalam sistem komputasi grid secara efisien dan dapat diandalkan. Hal ini penting karena kinerja komputasi tidak saja bergantung pada 27
seberapa cepat komputer-komputer yang tergabung dalam sistem komputasi grid ini mengeksekusi program, tetapi juga seberapa cepat data yang dibutuhkan dalam komputasi tersebut dapat diakses. Perlu diingat bahwa, data yang dibutuhkan oleh suatu proses tidak selalu berada pada komputer yang mengeksekusi proses tersebut. MDS: Monitoring & Discovery Service Komponen ini memungkinkan pengguna sistem GT4 melakukan monitoring proses komputasi yang tengah berjalan sehingga masalah yang timbul dapat segera diketahui. Sementara itu, aspek discovery dari komponen ini memungkinkan pengguna mengidenti-fikasi keberadaan suatu sumber daya komputasi berikut karakteristiknya. GSI: Grid Security Infrastructure Komponen ini bertanggung jawab atas keamanan sistem komputasi grid secara keseluruhan. Komponen ini pula yang merupakan salah satu ciri pembeda teknologi GT4 dengan teknologiteknologi pendahulunya seperti PVM atau MPI. Dengan diterapkannya mekanisme keamanan yang terintegrasi dengan komponen-komponen komputasi grid lainnya, sistem berbasis teknologi grid computing seperti GT4 dapat diakses oleh publik (WAN) tanpa menurunkan tingkat keamanannya. Sistem keamanan GT4 dibangun atas komponen-komponen standar keamanan yang telah teruji, yang mencakup proteksi data, autentikasi, delegasi, dan autorisasi. Konfigurasi dasar GT4 mengasumsikan baik pengguna maupun layanan menggunakan standar keamanan yang menggunakan standar kunci publik X.509. 3. Penutup Sistem komputasi berkinerja tinggi berbasis teknologi grid computing tidak identik dengan sistem komputer berharga mahal. Lebih lanjut, infrastruktur komputasi grid dapat dibangun dengan menggabungkan sumber-sumber daya komputasi yang telah ada 28
menjadi satu kesatuan yang kemudian dapat berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan, prinsip kolaborasi yang melandasi teknologi grid computing dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita untuk menerapkannya dalam konteks kehidupan yang lain. Daftar Pustaka CHEOK Beng Teck, “Development in Grid Activities in Singapore,” 3rd PRAGMA Workshop, January 2003. D. Booth, et. Al., “Web Services Architecture,” W3C, Working Draft http://www.w3.org/TR/ 2003/WD-ws-arch-20030808/, 2003. Ditjen DIKTI, “Kerangka Acuan Kerja Jaringan Pendidikan dan Penelitian Perguruan Tinggi di Indonesia,” Januari 2006. Ian Foster & Carl Kesselman, “Globus: A Metacomputing Infrastructure Toolkit,” Int’l J. of Supercomputer Applications, 11 (2), 1998. Ian Foster, Carl Kesselman, Steven Tuecke, “The Anatomy of the Grid: Enabling Scalable Virtual Organizations,” Int’l Journal of Supercomputer Applications, 2001. Ian Foster, “A Globus Primer ,” Early Draft, May 2005. Ian Foster, “Service-Oriented Science,” Science, 308 (5723), May 2005. Geist, et. Al., “PVM: Parallel Virtual Machine|A User's Guide and Tutorial for Network Parallel Computing,” MIT Press, 1994. W. Gropp, E. Lusk, and A. Skjellum, “Using MPI: Portable Parallel Programming with the Message Passing Interface, ” MIT Press, 1995. M. Litzkow, M. Livney, and M. Mutka, “Condor - a hunter of idle workstations,” in Proc. 8th Int’l Conf. on DCS, 1988. Kenichi Miura, “Overview of Japanese National Research Grid Initiative (NAREGI) Project,” FUJITSU Sci. Tech. J., 40 (2), December 2004. N. Ram & S. Ramakrishnan, “GARUDA: India's National Grid Computing Initiative,” CTWatch Quarterly, 2 (1), February 2006. REKAM MEDIS BERBASIS ALAT BERGERAK 29
MOBILE MEDICAL RECORDS Arief Setyanto STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstract Medical record is an important data. paper based medical record has many weakness although it has been used for a long time. Paper based medical records has data integrity, data accuracy, information timelines and relevance. Mobile medical records is an implementation of electronics medical records. This paper propose a systems to store medical data in a mobile device in order to solve data distribution problem. Indonesia as a maritime country has big problem in transportation and communication infrastructure. It is impossible to guarantee that all of the hospital connected with data network infrastructure. For data interchange between one hospital t another we have to provide that, but it will be too expensive. For dealing with those problem I propose to copy each medical records to mobile device. Because the application will be distributed, I propose an XML standard for medical records data. Keywords : Mobile Application, Medical Records, Electronic Medical Records, XML, XML Medical Records, Health Management Systems, Indonesian Health problem. 1. Pendahuluan Rekam medis sebagai data riwayat kesehatan pasien sangat diperlukan dalam bidang kesehatan. Riwayat pasien ini akan digunakan oleh dokter untuk menangani pasien secara berkelanjutan. Pada kasus pasien berobat hanya di satu rumah sakit setiap kali pasien berobat riwayat penyakitnya akan selalu tercatat sehingga dokter bisa mendapatkan data yang cukup tentang pasien yang sedang dihadapi, bagaimana sejarah penyakit yang diderita maupun pernah diderita 30
sebelumnya serta penanganan apa saja yang sudah pernah diberikan. Informasi ini berharga bagi dokter yang melakukan penanganan untuk memberikan diagnosa dan terapi yang tepat. Permasalahan akan muncul ketika pasien berganti rumah sakit. Rekam medis saat ini menjadi milik dari rumah sakit dimana pasien berobat sehingga di rumah sakit yang baru pasien tersebut tidak memiliki data riwayat kesehatan. Pencatatan rekam medis yang manual di atas kertas sangat sulit untuk di transfer antar rumah sakit apalagi pada kondisi geografis Indonesia dengan bentuk negeri seribu pulau. Masalah transportasi menjadi permasalahan yang bisa menghambat pertukaran informasi riwayat kesehatan pasien. Saat ini penulisan rekam medis dilakukan di atas kertas dan disimpan di bagian rekam medis sebuah rumah sakit. Data manual riwayat kesehatan pasien ini di simpan dan menggunung di ruang rekam medis menjadi masalah pengersipan tersendiri. Proses pencarian kembali (retrieval) menjadi makin sulit dilakukan pada kondisi pasien yang telah berusia lanjut karena riwayatnya sudah cukup panjang. Seorang dokter harus membaca lembaran lembaran tulisan tangan manual yang cukup banyak untuk memperolah pengetahuan yang cukup tentang riwayat kesehatan pasien. Tentunya waktu yang terlalu lama akan menurunkan throughput dan respon time dari fasilitas kesehatan secara keseluruhan. Output dari instrument medic yang saat ini telah tersentuh teknologi digital seperti USG, pengukuran detak jantung, pengukuran tekanan darah, roentgen dll mesti di transfer ke printer menjadi grafik cetakan untuk di arsip dalam data rekam medis. Padahal data data tersebut telah tersedia dalam format digital sehingga penyimpanan dalam format digital menjadi lebih mudha disbanding penyimpanan hasil pengukuran insrumen medis dalam format cetak. Dengan data data pengukuran dalam format digital yang tersedia dimungkinkan juga dibuatkan perangkat lunak untuk membantu melakukan interpretasi data tersebut secara otomatis.
31
1.1 Teori Sistem Informasi Informasi merupakan output dari pengolahan data. Data berasal dari kata datum yang berarti representasi dari fakta tunggal, jika datum datum dikumpulkan akan disebut data. Dalam bidang informatika data data yang tersedia akan di kumpulkan dan disimpan dalam format tabular kemudian disebut sebagai table. Tabel table yang menyimpan data secara bersama sama dan saling terhubung kemudian disebut dengan basis data relasional. PErangkat lunak yang dikhususkan mengelola basis data relasional disebut sebagai sistem manajemen basis data terelasi (relational database management systems) atau dikenal dengan singkata RDBMS. Informasi akan dihasilkan oleh sebuah perangkat lunak yang bertugas membaca data yang tersimpan dalam basis data lalu mengolahnya sehingga menghasilkan informasi. Informasi yang baik adalah informasi yang bernilai (valuable). Teori sistem informasi memberikan 3 kriteria terhadap sebuah informasi yang bernilai yaitu tepat waktu, akurat dan relevan dengan kebutuhan pengguna. 1.2 Rekam Medis (Medical Record) Rekam medis adalah Dasar hukum rekam medis di Indonesia1. o Peraturan pemerintah No. 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran. o Peraturan pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang Tenga Kesehatan o Keputusan menteri kesehatan No. 034 / Birhub / 1972 tentang Perencanaan dan Pemeliharaan Rumah Sakit di mana rumah sakit diwajibkan: Mempunyai dan merawat statistik yang up to date. Membina rekam medis yang berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan. o Peraturan menteri kesehatan No. 749a / Menkes / Per / xii / 89 tentang Rekam Medis 1
Aspek Hukum Dalam Rekam Medis, http://www.yoyoke.web.ugm.ac.id / hal 5 32
Rekam medis berbasis kertas (paper based medical records) merupakan rekam medis yang pada umumnya rumah sakit diindonesia menggunakan saat ini. Sedangkan rekam medis berbasis elektronik adalah rekem medis yang disimpan dalam media elektronik seperti computer digital.2 1.3 Deskripsi Permasalahan 1.3.1 Pencatatan Rekam Medis Rekam medis saat ini dicatat secara manual dan di tulis dikertas. Format standar rekam medis yang ada saat ini memberikan kesempatan kepada dokter untuk mencatat data dalam bentuk naratif yang minimum format. Penyimpanan dilakukan secara manual yang rentan kerusakan sesuai dengan umur kertas. Rekam medis dilengkapi dengan data data cetakan dari berbagai sumber alat ukur medis. Tentunya cetakan cetakan ini tidak masuk ke dalam format catatan rekam medis standar. Permasalahan pengarsipan yang menumpuk, data retrieval yang sulit mengikuti model pencatatan rekam medis yang ada saat ini. Terlebih pada rumah sakit yang telah berusia tua dan melayani banyak pasien kasus kehilangan data rekam medis cukup tinggi. Pada beberapa rumah sakit modern telah dicoba mengalihkan metode pancatatan rekam medis ini ke dalam media digital dan disimpan di server rumah sakit yang bersangkutan. Permasalahan pertama yang muncul di paparan ini sebenarnya bisa terselesaikan dengan model ini. 1.3.2
Permasalahan Transfer Data Data rekam medis yang ditulis di kertas akan cukup sulit untuk dipindahkan. Pada kasus kasus mendesak dimana pasien harus ditangani dengan cepat maka tidak dimungkinkan untuk mengambil data rekam medis dari rumah sakit asal dimana pasien tersebut biasa di tangani. Bagi pasien yang biasa berpindah tempat kemungkinan 2
Suhermin Ari Pujiati, S.Si , EMR Sebuah Tawaran Atau Tuntutan, http://www.berbagi.net diakses tanggal 19 Februari 2008 33
besar catatan medisnya akan tersebar di berbagai rumah sakit yang telah memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien tersebut. Kondisi kedua yang mungkin terjadi adalah data rekam medis pasien telah tersimpan secara elektronik di rumah sakit asal. Pada kasus ini sebenarnya data digital bisa saja dikirimkan dari rumah sakit asal ke rumah sakit baru dimana pasien dirawat. Terdapat dua permasalahan disini yaitu apakah ada sarana komunikasi data yang cukup memadai untuk proses transfer data. Permasalahan yang kedua adalah permasalahan kompatibilitas format data. Walaupun transfer data dapat dilakukan akan tetapi belum tentu rumah sakit tujuan dapat membaca data yang ditransfer dengan baik. Negara Indonesia secara geografis memiliki keberagaman yang cukup tinggi. Keberagaman ini sedikit banyak memiliki pengaruh terhadap ketersediaan sarana transportasi dan komunikasi. Kondisi ini sangat berbeda dengan Negara di daratan yang luas seperti amerika atau Australia dimana pada kondisi alam seperti itu kelancara transportasi dan kemungkinan tersedianya infrastruktur telekomunikasi jauh lebih baik. Kondisi berpulau pulau menyebabkan ada beberapa daerah yang terisolir sehingga jalur komunikasi data bisa saja terputus. Keadaan ini berimplikasi pada pemilihan solusi independent mobile computing lebih cocok untuk diterapkan di Indonesia. 1.3.3
Permasalahan Readibilitas Data Rekam medis saat ini dicatat secara manual dan di tulis dikertas. Format standar rekam medis yang ada saat ini memberikan kesempatan kepada dokter untuk mencatat data dalam bentuk naratif yang minimum format. Grafik grafik cetakan yang dihasilkan dari instrumen medis semakin lama akan menjadi kurang jelas bahkan kemungkinan kehilangan informasi penting dalam grafik tersebut cukup tinggi. Data-data yang tidak terformat dengan baik juga sulit untuk dipakai melakukan pengambilan keputusan. Padahal bisa saja pengambilan keputusan terapi berasal dari beberapa data yang saling berhubungan dalam waktu yang cukup panjang sehingga secara telitiu 34
sang dokter harus membaca banyak lembaran rekam medis. Lembaran rekam medis berbasis kertas tidak berelasi dengan rekam medis keluarganya padahal beberapa penyakit ada kemungkinan dipengaruhi oleh riwayat penyakit keluarga. 1.4 Rancangan Solusi 1.4.1 Standarisasi – medical xml Beberapa standar penulisan rekam medis secara elektronik sudah diusulkan sejak tahun 90 an. Dengan munculnya XML sebagai subset dari SGML maka standar catatan rekam medis elektronik dapat disusun. Salah satu standar untuk mencatat data medis penulis mengambil referensi dari IBM dapat dilihat di lampiran makalah ini.3 Dokumen XML ini akan dijadikan pedoman untuk saling bertukar data antar aplikasi yang menerima masukan rekam medis dan mengeluarkan output data rekam medis. Dalam rancangan ini siapa saja yang akan menggunakan XML sebagai standar pertukaran data : • aplikasi Web service • Aplikasi Web Client • Aplikasi Desktop Client • Aplikeasi Mobile client Keempat aplikasi ini merupakan bagian dari arsitektur mobile medical records yang diusulkan penulis. 1.4.2
Penyimpanan ganda Aplikasi mobile medical records akan melakukan penyimpanan ganda terhadap data data rekam medis. Data rekam medis akan disimpan di server milik rumah sakit dimana pasien tersebut ditangani dan di kopi di device mobile milik pasien sendiri. Penyimpanan ganda ini dilakukan agar pada saat diperlukan data rekam medis pasien pada rumah sakit lain dimana pasien baru pernah ditangani, rumah sakit baru bisa mengambil data rekam medis dari pasien bersangkutan tanpa perlu berhubungan dengan rumah sakit asal pasien. 3
http://www.trl.ibm.com, diakses tanggal 19 Februari 2008 35
Penambahan data rekam medis pada transaksi pengobatan saat itu akan direkam kembali kedalam mobile device milik pasien. Dengan cara ini data rekam medis yang terdapat di dalam mobile device akan menjadi data yang terlengkap. Agar terjadi sikronisasi dengan data di rumah sakit awal jika sang pasien menginginkan membackup data terbarunya – sekaligus mensinkronisasi data rekam medisnya maka aplikasi yang tertanam di mobile device akan melakukan sinkronisasi dengan sistem rumah sakit asal dimana dia tercatat melalui layanan web service yang dimiliki rumah sakit. Fitur ini bisa dirancang secara otomatis ketika mendapatkan sinyal jaringan komunikasi data aplikasi akan melakukan sinkronisasi data. 2. Pembahasan 2.1 Nilai Informasi Informasi yang dihasilkan dari aplikasi ini diusahakan meningkat pada ketiga paremeternya. Ketepatan waktu sampainya informasi rekam medis kepada dokter yang manangani pasien dijamin lebih tepat karena Informasi yang dibutuhkan dibawa secara fisik dan logic oleh pasien yang bersangkutan. Akurasi informasi yang disajikan akan mengalami peningkatan karena data terformat dengan baik. Grafik digital yang dihasilkan oleh instrument medis juga tersimpan tanpa mengalami perubahan kualitas dengan berjalannya waktu berbeda dengan grafik tercetak pada kertas yang akan rusak seiring berjalannnya waktu. Kemungkinan untuk menghubungkan dengan data rekam medis keluarga juga sangat dimungkinkan dengan data digital. Relevansi dengan kebutuhan informasi juga dapat ditingkatkan karena dengan format digital dokter dengan mudah melakukan pengelompokan data yang relevan, melakukan sorting, filtering data dan lain sebagainya sehingga dokter bisa mendapatkan informasi yang relevan dengan kasus penyakit yang dihadapi pasien saat itu. 2.2 Manfaat Aplikasi 36
Mobile medical record ini akan bermanfaat bagi banyak pihak. pihak pengelola rumah sakit diuntungkan dengan tersedianya basis data yang lengkap sehingga bisa menyajikan data data statistic kesehatan dengan lebih akurat. Dokter akan terbantu dalam melakukan pengambilan keputusan terapi yang terbaik bagi pasien. Pasien akan mendapatkan manfaat dari kepastian data riwayat kesehatannya terbaca dan dijadikan dasar pengambilan keputusan pengobatan bagi dirinya. Pemerintah dan peneliti bidang kesehatan akan mendapatkan data siap olah yang berlimpah sehingga penelitian bisa dilakukan dengan lebih mudah dan data lebih lengkap. Keputusan strategis juga dapat diambil pemerintah dengan lebih baik karena kelengkapan data. Penyedia layanan komunikasi data mobile juga diuntungkan dengan naiknya trafik layanan yang tidak hanya merambah mobile banking tetapi memliki lahan baru yaitu mobile medic. 2.3 Realibilitas Lapangan Mobile medical record dirancang berjalan dalam platform JAVA. Web Service akan dibangun dengan J2EE server yang dapat berjalan di berbagai sistem operasi. Aplikasi desktop dibangun bagi administrasi rumah sakit. Sedangkan aplikasi web akan dibangun untuk memberikan kemungkinan akses dilakukan oleh public yang menggunakan jaringan internet. Aplikasi mobile dibangun bagi pengguna mobile yang berpinda pindah dan mereka memiliki handphone yang memiliki memori cuku dan mendukung koneksi GPRS/3G serta java enabled. Aplikasi mobile akan dibangun menggunakan J2ME. Saat ini hamper semua handphone keluaran baru mendukung fitu yang dipersyaratkan diatas dengan harga yang cukup terjangkau.
37
3. Penutup Kesimpulan Rekam medis berbasis alat bergerak (mobile medical records) merupakan salah satu alternative penerapan rekam medis berbasis elektronik (electronics medical records). Model penyimpanan rekam medis secara elektronik membutuhkan standar agar dapat dipertukarkan dengan baik. Standar yang diusulkan adalah XML (seperti yang dilampirkan). Manfaat rekam medis berbasis alat bergerak dapat dirasakan oleh banyak pihak. Mulai dari masyarakat pengguna jasa layanan kesehatan sampai pengambil keputusan di negeri ini. Realibilitas di lapangan juga cukup tinggi mengingat penyebaran handphone saat ini cukup tinggi. Jumlah pelanggan seluler saat ini telah mencapai 70 juta orang di Indonesia. Saran Mengubah dokumen kertas (paper based) menjadi dokumen elektronik tidak selalu mudah dilakukan. Terlebih budaya kerja dokter dan tenaga medis dan rumah sakit selama ini telah terbiasa menggunakan dokumen kertas. Perubahan atau pemaksaan perubahan ini meskipun memiliki banyak kelebihan tentu akan menjadi sulit diwujudkan secara serta merta di lapangan. Perlu langkah langkah yang panjang, terencana dan terukur untuk melakukan perubahan sistem. Pemerintah sebagai pemilik otoritas harus secara tegas mengatur hal ini. Revisi undang undang kesehatan yang membolehkan digunakannya dokumen elektronik, pengesahan tanda tangan digital sebagai sarana pengganti tanda tangan manual serta penyusunan standar dokumen harus dilakukan. Banyak permasalahan bangsa ini yang bisa diselesaikan dengan ketersediaan data yang cukup. Gizi buruk, wabah penyakit, maraknya mall praktek, keraguan terhadap data keluarga miskin dan banyak masalah lain muncul karena selama ini negeri ini tidak memiliki data yang akurat. Semoga sumbangan pemikiran ini dapat membuka peluang penyelesaian berbagai masalah yang melilit bangsa seribu pulau di nusantara yang bernama INDONESIA. 38
Daftar Pustaka Aspek Hukum Rekam Medis, hhtp://www.yoyoke.web.ugm.ac.id, 2007 http://www.trl.ibm.com, diakses tanggal 19 Februari 2008 Suhermin Ari Pujiati, S.Si , EMR Sebuah Tawaran Atau Tuntutan, http://www.berbagi.net diakses tanggal 19 Februari 2008 Joy Pritts, JD,Nina L. Kudszus, YourMedical Record Rights in Alabama,Health Policy Institute.Georgetown University, http://hpi.georgetown.edu, diakses tanggal 19 Februari 2008 Lampiran - <medical_record> - - ABC Hospital <department>Surgery - <patient_info> Patricia60 <sex>female 123456Frank - 2000-09-012000-09-14 -
========================================== --> - - - Gastric CancerHyper tension - <pathological_diagnosis> - Well differentiated adeno carcinoma2000-10-05 <malignancy type="yes" /> - - <method_of_surgery>total gastrectomy 2000-09-20 - -
<prescription>5-FU 500mg and CDDP 10mg /day x10days <start_date>2000-10-10 <end_date>2000-10-21
PENGEMBANGAN KONSEP ONTOLOGY DALAM PEMANFAATAN LEARNING MANAGEMENT SYSTEM (LMS) Heri Sismoro 1 dan Ahmad Luthfi 2 1 STMIK AMIKOM Yogyakarta 2 Universitas Bina Darma Palembang Abstract The development of information technology will enhance educational platform, a new function will provide better education service, but it will result in too much work to modify and update the old system. Ontology is one of the alternative solutions, because it is an explicit specification of a conceptualization. Furthermore, based on several new technologies, such as ontology engineering, semantic web, and grid system. This research proposed a flexible educational architecture for e-Learning system. The core of OntoEdu is Educational Ontology. It is divided into five parts: user adaptation, automatic composition, education ontology, service model, and content model. At the meantime, the grid-based design is also proposed, which realized the concept of OntoEdu User Registration and Resources. In this research, a more detailed design is proposed based on Grid System which is includes Metadata and Data Type Definition (DTD). As a result, an e-Learning services architecture offering gridbased system for students, lecturers, and others to browse and obtain information through web services. Services could include user authentication, course online, materials, quiz, assignment, semantic search, and grade. Keywords: Grid System, Ontology, OntoEdu, e-Learning
42
1. Pendahuluan Dalam alam kompetisi, untuk dapat mempertahankan eksistensisnya, suatu badan organisasi, perusahaan, atau instansi harus dapat melakukan dua hal pokok yaitu ‘to create customer’ dan ‘to inovate’ untuk menghasilkan sesuatu yang akan menjadi nilai tambah. Proses nilai tambah akan tumbuh dengan subur jika dikembangkan sikap keberanian bereksperimen yang tentunya akan menciptakan resiko serta didukung oleh pengalaman dan pengetahuan yang memadai. Meskipun demikian, hal ini masih sangat membutuhkan waktu yang lama, biaya yang besar, dan terlalu banyak pekerjaan untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Salah satu hambatannya adalah teknologi. Artinya, teknologi tersebut harus memperhatikan atau mempertimbangkan berbagai aspek diantaranya mobile computing, ubiquitous computing, semantic web, ontology, dan teknologi lainnya. Hal lain yang perlu untuk dipertimbangkan adalah pembangunan atau implementasi sistem aplikasi seperti menambahkan teknologi baru ke dalam sistem e-Learning yang lama, dan proses modifikasi sistem yang lama juga membutuhkan waktu yang lama dan pekerjaan yang sangat banyak: mendesain ulang arsitektur dan mengimplementasikan ulang sistem e-Learning. Artinya, terlalu banyak faktor yang harus disiapkan oleh lembaga pendidikan akan meng-update sistem mereka dan mengakibatkan banyak sumber daya lainnya teralokasi ke sistem yang baru. Pada penelitian ini juga menggunakan sistem grid pada OntoEdu, yaitu sebuah pendekatan yang berorientasi pada sistem menggunakan layanan terbuka untuk mengizinkan proses perhitungan secara terdistribusi di internet. Pendekatan ini akan membantu para peneliti dan lembaga pendidikan untuk dapat mengumpulkan komponen Information Technology yang berbeda. 2. Metodologi Penelitian Sistem Grid pada Ontology Education terdiri dari 3 bagian utama, yaitu Education Server, Service Grid, dan Ontology System. 43
Education Server bertanggung jawab atau mengelola layanan terhadap User Adaptation dan System Composition. Service Grid bertanggung jawab pada register user, publish dan eksekusi, dan education service termasuk content service. Sedangkan untuk ontology system bertanggung jawab kepada query yang dapat di request oleh user. Sistem Grid adalah sebuah metode atau pendekatan yang berorientasi pada Service Oriented. Artinya, sistem grid benar-benar mengedepankan layanan kepada user, dimana user dapat melakukan semua aktivitasnya secara dominan terhadap sistem yang dibuat. Gambar 1 berikut ini adalah rangkaian atau alur dari Sistem Grid pada suatu sistem e-Learning.
Gambar 1. Alur Kerja Sistem Grid E-Learning Data Flow Diagram (DFD) Level 0 (Diagram Context) dari sistem e-Learning menggambarkan secara umum sistem yang terdiri dari tiga kelompok pemakai (user) sistem e-Learning yaitu Admin, Dosen, dan Mahasiswa. Ketiga kelompok ini memiliki rangkaian proses baik secara masukan (input) maupun informasi yang akan diterima (output) masing-masing berbeda Data Type Definition (DTD) adalah suatu aturan yang mendefinisikan bagaimana struktur isi suatu dokumen dituliskan atau dirancang. DTD juga merupakan salah satu unsur penting dalam 44
merancang suatu dokumen atau sistem informasi yang berbasis Ontology. Pada Gambar 2 dibawah ini dapat dilihat bagaimana sebuah sistem kerja dasar dari Data Type Definition (DTD).
Gambar 2. Hirarki Data Type Definition (DTD) e-Learning merupakan sebuah salah satu alternatif metode pembelajaran secara langsung dengan mengedepankan fungsi interaktivitas antara siswa dan guru atau mahasiswa dan dosen. Sistem ini dapat dimulai dari pengaksesan materi pembelajaran sampai dengan latihan dan evaluasi. Berikut ini adalah gambar perancangan arsitektur layanan ELearning berbasis Sistem Grid. Pada Gambar 3 ini dapat dilihat pada bagian Resources, ada komponen Database. Kemudian pada Services, yaitu kumpulan dari jenis layanan-layanan yang dapat diakses oleh pemakai.
45
Gambar 3. Arsitektur Layanan E-Learning dengan Sistem Grid Sistem Ontology juga berperan untuk membuat sebuah rancangan tatap muka (User Interface) menjadi terstruktur dan mulai dari otentikasi sampai dengan pengaksesan sumber daya yang ada pada website e-Learning. Gambar 4 adalah gambar rancangan skema tatap muka website e-Learning.
Gambar 4. Rancangan Skema Tatap Muka Website e-Learning
46
Pada Gambar 4 diatas dapat dilihat bagaimana struktur atau skema perancangan tatap muka website e-Learning. Dimulai dari tujuh elemen, dimana ada dua elemen yang memiliki sub elemen, yaitu Course Category yang memiliki tiga pilihan yaitu Select Course, Search Course, dan All Course. Sedangkan pada sub elemen Login (authentication) memiliki tiga bagian yaitu User name, Password, dan Create new account. Hak akses (Authentication) adalah salah satu sistem yang dapat dijadikan alat keamanan, dimana sistem ini akan emmbatasi hak akses kepada pemakai website. Dengan menggunakan sistem Ontology, dapat dibuat rancangan otentikasi untuk website eLearning.
Gambar 5. Rancangan Skema Authentication Website eLearning Pada Gambar 5 dapat dapat dijelaskan bahwa seorang pemakai atau user, sebelum masuk ke sumber daya (resources) yang ada pada website e-Learning terlebih dahulu harus melakukan proses 47
otentikasi, dimana jika tidak memiliki hak akses, maka user tersebut harus melakukan proses pendaftaran (create new account). Untuk proses pendaftaran otentikasi ini, batasan hak akses tetap hanya bisa dilakukan oleh Sistem Administrasi atau dikenal dengan nama admin. Pada implementasinya, nanti akan ada tiga tipe user secara umum yaitu Students (mahasiswa), Lecturer (Dosen), dan Guest (Tamu). Administrator berhak penuh untuk memberikan batasan-batasan akses terhadap sumber daya yang ada pada website eLearning. Berikut ini adalah contoh dari dokumen xml dalam pembuatan sebuah sistem otentikasi:
Perancangan mata kuliah adalah awal dari pembuatan website e-Learning. Dimana dengan perancangan ini, maka akan dijadikan rangkaian proses-proses selanjutnya yaitu Material, Assignment, Quiz, Semantic Search, dan Grade. Ada tujuh komponen utama yang menjadi elemen mata kuliah, dimana elemen-elemen tersebut berhubungan erat satu dengan yang lainnya. Adapun user yang berhak untuk membuat dan melakukan perubahan terhadap mata kuliah ini yaitu admin, dan user yang diber hak akses untuk melakukan proses ini seperti dosen pengampu mata kuliah tersebut seperti yang terlihat pada Gambar 6.
48
Gambar 6. Rancangan Skema Mata Kuliah Website e-Learning 3. Hasil Dan Pembahasan Berdasarkan perancangan yang dibuat, maka akan dihasilkan tatap muka pengguna sistem e-Learning. Tatap muka ini dirancang dengan menggunakan metode ontologi dan sistem grid.
Gambar 7 Tatap Muka Pengguna Sistem e-Learning 49
Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa halaman utama tatap muka sistem e-Learning memiliki beberapa blok utama yaitu: 1. Header Header pada halaman ini berfungsi untuk menampilkan desain grafis berupa tampilan gambar dengan tulisan Komunitas eLearning. 2. Kategori Mata Kuliah Pada blok ini pengguna dapat melakukan akses langsung terhadap mata kuliah, blok ini sebenarnya memiliki level akses, artinya bagi pengguna yang belum mendaftar atau (register) maka mereka tidak dapat mengakses sumber daya ini. Namun, jika sistem admin memberikan hak akses kepada pengguna yang berstatus tamu (guest), maka blok ini artinya dapat digunakan oleh siapapun.
Gambar 8. Blok Kategori Mata Kuliah Pada Gambar 8 dapat dilihat Blok Kategori mata kuliah juga terdapat dua link halaman akses yaitu Cari Mata Kuliah, dan Materi Mata Kuliah yang suda tersedia. Dengan tambahan akses link ini, maka akan sangat membantu pengguna untuk mengkases sumber daya yang ada pada sistem e-Learning. 3. Mata Kuliah Tersedia Pada prinsipnya blok ini sama dengan blok Kategori Mata Kuliah, namun pada blok ini menampilkan matakuliah yang terbaru beserta categori dan nama mata kuliah, sehingga jika sebuah mata kuliah memiliki tiga jenis pokok bahasan maka ketiga judul pokok 50
bahasan tersebut juga akan ditampilkan pada blok ini, seperti pada Gambar 9.
Gambar 9. Blok Mata Kuliah Tersedia 4. User Online Pada blok ini dapat dilihat beberapa user yang sedang aktif mengakses sistem e-Learning pada saat itu. Dengan fasilitas ini dapat pengguna dapat mengetahui siapa saja yang sedang mengakses sumber daya di sistem ini. Jika pengguna adalah seorang mahasiswa, maka mereka akan mengetahui apakah dosen mata kuliahnya sedang aktif atau tidak.
Gambar 10 Blok Online Users Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa ada dua user yang sedang aktif yaitu a luthfie dan Admin User. Sistem online user ini juga berfungsi jika seorang dosen yang ingin memberikan tugas (assignment) kepada mahasiswa, maka dosen akan dengan langsung 51
dapat mengetahuinya. Demikian juga bagi seorang admin sistem juga dapat memberikan pesan-pesan khusus kepada user yang sedang online pada saat itu. Seperti yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnyha bahwa sistem e-learning ini menggunakan hak akses (authentication) yang merupakan penerapan dari metode sistem grid pada ontology education, dimana titik berat pada sistem e-learning adalah User Adaptation. Artinya, sistem ini harus mampu melayani user untuk dapat mengakses sumber daya yang ada di sistem ini. Karena sistem ini memiliki sumber daya yang penting seperti data tugas, quiz, sampai pada nilai mahasiswa, maka masing-masing user harus memilki account sendiri dan juga memiliki level akses yang berbeda.
Gambar 11 Authentication Sistem E-Learning Untuk dapat mengakses sumber daya yang ada pada sistem eLearning ini, maka user harus melakukan proses login akses dengan megisikan Nama Pengguna dan Password dengan benar, seperti yang terlihat pada Gambar 11. 4. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil dari perancangan dan implementasi sistem eLearning pada penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Konsep Sistem Grid dalam Ontology Education dapat di implementasikan pada sebuah sistem e-Learning. 2. Ontology Education berfungsi agar sistem yang dirancang menjadi lebih terstuktur dan spesifik, sehingga akan memudahkan jika sistem itu akan diperbaharui maupun dikembangkan lagi. 52
3. Metadata dan Data Type Definition (DTD) dapat digunakan sebagai suatu metode untuk membantu agar Sistem Grid dan Ontology Education dalam perancangan dan pembuatan suatu sistem e-Learning. 4. Sistem e-Learning yang dirancang memiliki beberapa sumber daya yang dapat diakses seperti Hak Akses (Authentication), Mata Kuliah (Course), Tugas (Assignment), Ujian (Quiz), Nilai (Grade), dan Pencarian Informasi (Semantic Search). Daftar Pustaka Abbas, Z., Umer, M., Odeh, M., McClatchey, R., Ali, A., Ahmad, F., A Semantic Grid-based E-Learning Framework (SELF), Jurnal. 2004. http://www3.learning.net/jur11/semgrid22.pdf. 2004. Berners-Lee, Tim., The Semantic Web: An Introduction. 2002. http://infomesh.net/2001/swintron/. 2005. Dwiyani, N., Nugroho, Lukito., Metadata untuk aplikasi e-Learning, Jurnal, 2004. http://www.ilmukomputer.com/internet/metadata/.2005. Fikes., Faquhar, The translition system with Ontology Concept. 2005. Glossary, e-Learning for education system in aplication. 2001. http://www.glosaryframe.com. 2005. Gruber, TR., A translation approach to portable ontologies. Knowledge Acquisition. http://wwwksl.stanford.edu/kst/what-is-an-ontology.html. 2005. Guangzuo, C., Fei, C., Chenhu., Shufang, Li., OntoEdu: Ontologybased Education Grid System for e-Learning. 2004. http://pku.edu.cn/ontoedu/elearning/onto_edu.pdf. 2005. Hartley, D., e-Learning Methodology and Concept using the Internet. 2001. Josephson., The character of Ontology as a body of language in domian. 2004. Simpson, J., Just XM., Andi Yogyakarta. 2002. Team, Univ. Utrecht&Unpad., Panduan WebCT4.1 untuk pengajar, 2004. http://www.webict.com/elearning/. 2005. 53
KOMPRESI CITRA GRAY SCALE DENGAN MODIFIKASI ALGORITMA KUANTISASI Krisnawati STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstract Suatu file yang kapasitasnya besar dapat diperkecil dengan pemampatan (compression). Untuk file image metode kuantisasi bisa menjadi salah satu pilihan. Pada citra grayscale metode kuantisasi bekerja dengan mengurangi derajat keabuan, sehingga jumlah bit yang digunakan untuk merepresentasikan citra menjadi berkurang. Oleh karena jumlah bit berkurang maka ukuran file menjadi lebih kecil. Dari algoritma kuantisasi yang ada, dilakukan modifikasi pada saat konversi derajat keabuan lama ke derajat keabuan yang baru, dengan mengabaikan unsur penyebaran derajat keabuan. Hasilnya kapasitas citra hasil kompresi tidak berubah. Histogram citra sangat berpengaruh terhadap hasil akhir. Keyword : kompresi, citra grayscale, kuantisasi. 1. Pendahuluan Perkembangan media penyimpan berkapasitas besar mengakibatkan orang tidak lagi menemui masalah jika mempunyai file dengan ukuran yang besar. Lebih-lebih jika file yang kita punya merupakan file image. Walaupun demikian, adakalanya ukuran file yang besar tersebut terasa mengganggu jika kita harus memanage media penyimpan yang kita punya untuk bermacam-macam data. Apalagi jika file tersebut akan akan kita kirim secara elektronik, tentunya kapasitas file menjadi masalah tersendiri. Kompresi citra (image compression) adalah proses untuk meminimalkan jumlah bit yang merepresentasikan suatu citra sehingga ukuran citra menjadi lebih kecil. Pada dasarnya teknik kompresi citra digunakan untuk proses transmisi data (data transmission) dan penyimpanan data (storage). Kompresi citra banyak 84
diaplikasikan pada penyiaran televisi, penginderaan jarak jauh (remote sensing), komunikasi militer, radar dan lain-lain. Ada banyak metode kompresi data, salah satunya adalah metode kuantisasi. Metode kuantisasi bekerja dengan mengurangi jumlah intensitas warna, sehingga jumlah bit yang digunakan untuk merepresentasikan citra menjadi berkurang. Oleh karena jumlah bit berkurang maka ukuran file menjadi lebih kecil. Dengan berkurangnya intensitas warna tentu saja ada informasi yang hilang dari citra asal. Oleh karena itu metode ini termasuk dalam loossy compression. Oleh karena itu citra yang sudah dikompresi sulit didekompresi kembali karena adanya informasi yang hilang. Proses kompresi tentunya akan berdampak kepada banyak hal. Yang pertama adalah ukuran citra hasil kompresi. Ukuran citra diharapkan lebih kecil dari citra asal. Kedua adalah kualitas citra untuk input terhadap proses berikutnya. Sampai berapa persenkah citra asli bisa dikompresi ini tentunya tergantung pada banyak factor. Faktor inilah yang ingin diketahui pula dalam penelitian ini. Ada beberapa teknik kompresi yang dapat dikategorikan ke dalam Lossless maupun Lossy Compression, antara lain: 1. Kompresi berbasis Statistik (Lossless) Merepresentasikan citra dengan frekuensi kemunculan nilai intensitas tertentu. 2. Kompresi berbasis Kuantisasi (Lossy) Mengurangi jumlah intensitas warna. 3. Kompresi berbasis Transformasi (Lossless/Lossy) Mengoptimalkan kinerja kompresi berbasis statistik dan kuantisasi dengan cara melakukan transformasi terlebih dahulu sebelum menerapkan salah satu teknik tersebut. Sehingga kompresi bersifat lossy atau lossles tergantung teknik mana yang digunakan setelah transformasi apakah itu statistik (lossless) atau kuantisasi (lossy). 4. Kompresi berbasis fraktal (Lossy) Fraktal merupakan bentuk rekursif yang merepresentasikan komponen dasar objek. Dalam konsep kompresi, data direpresentasikan sebagai pasangan antar elemen fraktal, pola 85
umum konfigurasi yang membentuk objek secara keseluruhan, dan koefisien transformasi spasial (affine) untuk masing-masing fraktal sesuai dengan posisinya dalam konfigurasi pembentuk objek. 1.1 Proses Kompresi 1.1.1 Kompresi Berbasis Kuantisasi Kompresi berbasis kuantisasi menggunakan metode pengurangan jumlah intensitas warna, sehingga dapat mengurangi jumlah bit yang digunakan untuk merepresentasikan citra. Kompresi ini bersifat lossy, karena intensitas warna berkurang, sehingga kualitas gambar hasil kompresi menjadi kurang baik. Secara algoritma teknik kompresi ini diberikan sebagai berikut: 1. Buat histogram citra asal. Histogram citra adalah grafik yang menunjukkan distribusi dari intensitas citra. Histogram citra menyatakan frekuensi kemunculan berbagai derajat keabuan dalam citra. Teknik pemodelan histogram mengubah citra hingga memiliki histogram sesuai keinginan. Untuk meningkatkan kualitas citra salah satunya dapat dilakukan dengan ekualisasi histogram. Dengan ekualisasi histogram dapat diperoleh histogram citra dengan distribusi seragam. 2. Tentukan jumlah kelompok dalam histogram. Jumlah tersebut menunjukkan tingkat intensitas warna citra kompresi. 3. Buat kelompok intensitas warna baru dengan menghitung jumlah piksel/jumlah kelompok. 4. Atur pengelompokan. 5. Lakukan kuantisasi. 6. Kodekan nilai intensitas warna hasil kuantisasi ke dalam citra kompresi.
86
Contoh: Diketahui citra array berukuran 6x6 piksel (8 derajat keabuan, 3 bit) sebagai berikut : 1 1 3 7 1 2 4 4 6 1 2 2 7 7 7 5 5 1 6 4 4 4 2 2 5 5 2 2 2 1 2 2 3 3 0 0 Citra diatas memiliki histogram sebagai berikut: K Nk 0 2 1 6 2 10 3 3 4 5 5 4 6 2 7 4 Misalnya citra akan dikompresi menjadi 4 derajat keabuan (0 – 3), sehingga setiap derajat keabuan direpresentasikan dalam 2 bit. Citra asli terdiri dari 36 piksel, sehingga jika dibagi menjadi 4 kelompok maka dibuat 36/4= 9 piksel tiap kelompok sehingga histogram baru menjadi sebagai berikut: K 0 1 2 3 4 5 6 7
Nk 2 6 10 3 5 4 2 4
nb 8
kb 0
10 8
1 2
10
3
87
Dari histogram baru tersebut diperoleh citra baru (dengan 4 derajat keabuan, 2 bit) sebagai berikut: 0 0 2 3 0 1 2 2 3 0 1 1 3 3 3 3 3 0 3 2 2 2 1 1 3 3 1 1 1 0 1 1 2 2 0 0 Ukuran citra sebelum kompresi = 36 piksel x 3 bit = 108 bit Ukuran citra setelah kompresi = 36 piksel x 2 bit = 72 bit UkuranCitraHasilKompresi x100% UkuranCitr aSemula
Rasio kompresi = 100% −
= 100% - ((72/108) x 100%) = 100% - 66.67% = 33.33% 1.1.2 Pengembangan Algoritma Kompresi Pengembangan dilakukan dengan mengubah proses pengkodean warna baru. Pengkodean dilakukan dengan cara yang lebih sederhana dengan mengelompokkan intensitas warna yang ada ke intensitas warna kompresi yang diinginkan. Contoh: Citra asal terdiri dari 8 derajat keabuan akan dikompresi menjadi 4 derajat keabuan. K Nk kb 0 2 0 1 6 0 2 10 1 3 3 1 4 5 2 5 4 2 6 2 3 7 4 3 88
Histogram citra terkompresi menjadi sebagai berikut: K Nk 0 8 1 13 2 9 3 6 Dari histogram diatas didapat matrik citra terkompresi sebagai berikut: 0 0 1 3 0 1 2 2 3 0 1 1 3 3 3 2 2 0 3 2 2 2 1 1 2 2 1 1 1 0 1 1 1 1 0 0 Untuk ukuran citra kompresi tidak berubah dari algoritma asal yakni 36 piksel x 3 bit = 108 bit. 2. Pembahasan Allgoritma diatas diimplementasikan dengan MatLab 6.5. Gambar lama yang semula mempunyai 256 derajat keabuan (8 bit), dikompresi menjadi 128 derajat keabuan (7 bit). Langkah pertama adalah melakukan pembacaan terhadap file citra sebagai berikut: clc;clear; j=imread('anakblm.jpg'); gblama=j; Selanjutnya dicari ukuran matrik citra. Ukuran ini nantinya akan digunakan sebagai indek perulangan dalam proses selanjutnya. Selain itu juga harus diketahui derajat keabuan minimum dan maksimun untuk menentukan ukuran vektor histogram citra. [m,n]=size(gblama); array=double(gblama); figure,imshow(gblama); %cari derajat keabuan min dan max 89
abumax=max(max(array)); abumin=min(min(array)); Histogram citra asal dapat diketahui dengan cara menghitung kemunculan untuk setiap derajat keabuan yang ada di dalam citra. %bikin histogram image yg pake fungsi imhist arraybaru=zeros(1,256); for i=1:256 for j=1:m for k=1:n if (array(j,k)==i) arraybaru(i)=arraybaru(i)+1; end end end end; %hitung jumlah pixel jpixel=m*n; %gambar histogram figure,plot(arraybaru); %cari rentang derajat keabuan derajatabu=(abumax-abumin)+1; %membuat histogram kompresi %256 drjt keabuan (8 bit) menjadi %128 derajat keabuan (7bit) hiskompresi=zeros(1,128); j=1; for i=1:128 hiskompresi(i)=arraybaru(j)+arraybaru(j+1); j=j+2; end 90
%bikin array image baru dari hasil kompresi gbbaru=zeros(m,n); for i=1:m for j=1:n if mod(double(gblama(i,j)),2)==0 gbbaru(i,j)=((double(gblama(i,j))+1))/2; else gbbaru(i,j)=double(gblama(i,j))/2; end end end %konversi array gambar terkompresi %dari double ke uint8 gbbaru1=uint8(gbbaru); %Tampilkan histogram gambar hasil kompresi %dan gambar hasil kompresi figure, plot(hiskompresi); figure, imshow(gbbaru1); %Simpan gambar ke media penyimpan imwrite(gbbaru1,'anakkomp.jpg'); Hasil pada saat program dijalankan dengan beberapa sampel gambar yang berbeda adalah sbb: Ukuran file Rasio Gambar Ukuran file sebelum kompresi setelah kompresi kompresi 1 57.5 KB 33.8 KB 41.22 % 2 4.27 KB 2.84 KB 33.49 % 3 2.5 KB 1.84 KB 26.40% 4 15.2 KB 10.5 KB 30.92 % 5 3.89 KB 2.72 KB 30.08% 91
6 7 8 9 10
4.86 KB 3.49 KB 5.25 KB 2.39 KB 5.12 KB
3.54 KB 2.51 KB 3.66 KB 1.76 KB 3.62 KB
27.16 % 28.08 % 30.29 % 26.36% 29.36%
Rerata rasio kompresi didapat sebesar 30.33% 3. Kesimpulan Modifikasi yang dilakukan terhadap algoritma asal tidak mengubah kapasitas file dari citra hasil kompresi. Presentase kompresi dipengaruhi oleh histogram citra yang diberikan citra asal. Tingkat kemunculan derajat keabuan suatu citra, antara citra yang satu dengan citra yang lainpun berbeda-beda. Daftar Pustaka Departmen Teknik Elektro, Modul Praktikum Pengolahan Citra dan Pengenalan Pola, Institut Teknologi Bandung. Paul Wintz, 2000, Digital Image Processing, Prentice-Hall. MatLab 6 Help. William J Palm, 2004, Introduction to MatLab 6 for Engineers, The McGraw-Hill Companies, Inc. www.iprg.ee.itb.ac.id/lectures.html www.datacompression.info/Quantization.shtml www.cbloom.com/src/index_im.html
92
WINDOWS - LINUX TERMINAL SERVER PROJECT Rico Agung Firmansyah STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Pembangunan jaringan komputer internet, intranet maupun ekstranet memang membutuhkan resources yang besar, apalagi jika ada aplikasi server dan router-nya. Ada beberapa developer jaringan yang mengabaikan kalkulasi biaya demi mendapatkan performa yang baik. Ada juga yang mengabaikan performa karena pengaruh biaya yang minim. Dua kasus diatas sebenarnya bisa dijembatani dengan membuat sistem terminal server atau pc cloning, sehingga kita tetap bisa mengedepankan performa yang baik dengan biaya yang tidak besar. Namun, dengan terminal server, masalah lain muncul lagi, yaitu tidak semua user bisa familier dengan sistem ini (Linux), dimana kebanyakan user terbisa dengan windows. Oleh karena itu, solusi cerdasnya adalah pengembangan aplikasi Terminal server yang berbasis Linux dan Windows sekaligus. Kata Kunci: Jaringan komputer, PC Cloning, Linux Terminal Server, Windows Terminal Server. 1. Pendahuluan. Sesuai dengan abstraksi diatas, pengembangan jaringan komputer dengan banyak client/user memang akan membutuhkan banyak resources mulai dari hardware, software, brainware, dan lainnya. Hal ini otomatis akan membutuhkan biaya yang cukup besar. Jika kita tekan biaya seminim mungkin, performa sistem akan menurun, Tapi jika kita kedepankan performa, maka biaya yang akan membengkak. Memang hal ini sangat dilematis dan perlu dicari solusinya tanpa mengorbankan salah satunya. 93
Akhirnya para ahli IT bersama-sama membangun sebuah sistem tersentral yang diberi nama terminal server atau cloning sebagai jawaban masalah tersebut. Ada bermacam-macam versi aplikasi terminal server yang dibangun sesuai dengan kebutuhan masingmasing. Misalnya Novel Netware, Linux Terminal Server Program (LTSP), dan banyak lagi yang lainnya. Kebanyakan diantaranya berbasis Unix. Tetapi, dengan solusi tersebut, muncul kembali masalah yang sangat mendasar, yaitu tidak semua user bisa familier dengan sistem ini (Linux), dimana kebanyakan user terbisa dengan windows. Oleh karena itu, solusi cerdasnya adalah pengembangan aplikasi Terminal server yang berbasis Linux dan Windows sekaligus. Maka dari itu para ahli mendevelop sistem tersebut agar bisa menampung beberapa basis sistem operasi sekaligus. Penulis kali ini hanya akan menjelaskan interoperability antara dua buah sistem operasi, yaitu Linux dan Windows dengan menggunakan aplikasi Linux Terminal Server. Aplikasi terminal server identik dengan pengurangan resources pada client dengan anggapan seluruh/sebagian aktifitas client akan diberi oleh Servernya. Alasan inilah yang digunakan sebagai pengurangan resources pada sisi client, yakni berupa penghematan hardware dan software (proses). Penghematan hardwarenya diantaranya tidak diperlukannya lagi hardisk, cd-rom, atau dvd-rom sebagai media strorage di sisi client, hanya cukup membutuhkan sebuah floppy disk sebagai sistem loader PC client ke servernya. 2. Pembahasan 2.1 Sistem Requirement Untuk membangun sebuah sistem, kita perlu mengkalkulasi resources yang akan dibutuhkan (sistem requirement). Kali ini kita asumsikan sebuah warnet yang akan dibangun dengan aplikasi Windows Linux Terminal Server Project (WLTSP). Implementasi pada contoh kasus yang berbeda juga akan serupa dengan penjelasan pada contoh kasus kali ini. Misalkan kita akan membangun sebuah warnet WLTSP dengan jumlah client 10 PC, maka PC yang diperlukan sebanyak 14 buah. 10 94
PC untuk client (5 PC Linux dan 5 PC Windows), 1 PC untuk operator, 1 PC untuk router, serta 2 buah PC untuk server aplikasi WLTSP (gambar 1). Jika anggarannya masih tidak memungkinkan juga untuk mengadakan 14 PC, maka PC Linux Server bisa difungsikan ganda,sekaligus sebagai Router jika perbandingan jumlah client dan kemampuan server masih dalam batas-batas normal (gambar 2). Skenarionya bisa dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 1. Skenario Kebutuhan standar Sistem WLTSP.
Gambar 2. Skenario Kebutuhan minimalis (alternatif) Sistem WLTSP. 95
Dari dua buah gambar diatas, terlihat sebuah LAN yang terhubung ke internet melalui Router (Gateway). LTSP Server bersistem operasi Linux, berungsi sebagai terminal server. windows server nantinya akan berfungsi sebagai pemberi layanan untuk clientnya yang akan berbasiskan windows. Penulis tidak akan membahas pembuatan PC Router, namun hanya akan membahas aplikasi Terminal Servernya saja. Penulis mengasumsikan Gateway sudah dapat difungsikan, baik dengan skenario pada gambar 1 maupun gambar 2. Dari penjelasan singkat, requirement untuk masing-masing mesin berbeda-beda karena disesuaikan dengan kebutuhan, fungsionalitas serta seberapa berat kerja (proses) yang akan dikerjakan. Berikut ini sistem requirement minimal untuk masingmasing mesinnya. a. PC Server LTSP : P-4 1.2 Ghz Processor, 512 MB Internal Memory, 8 GB Hard drive, 42X CDRom, 1 Ethernet Card, Linux OS (RedHat, Mandrake, Mandriva, Suse, Ubuntu, dsb). b. PC Server Windows : P-4 1.2 Ghz Processor, 128 MB Internal Memory, 5 GB Hard drive, 42X CDRom, 1 Ethernet Card, Win2000 Server OS / Win2003 Server / Win XP Professional. c. PC Router/Gateway : P-2 300 MHz Processor, 64 MB Internal Memory, 4 GB Hard drive, 2 Ethernet Card, Linux OS, Squid (Routing dan Proxy Server). d. PC Operator : PC operator sama seperti PC Client jika dikonfigurasi sebagai Client dari WLTSP. Namun jika ingin dikonfigurasi independen, spek PC bisa disesuaikan dengan keinginan, kenyamanan kerja si operator atau sesuai budget. Sistem 96
operasi yang akan digunakan pada pc ini tergantung user, bisa linux atau windows. e. PC Client : P-2 300 MHz Processor, 32 MB Internal Memory, 1 Ethernet Card, 1 Floppy Drive. f. 1 buah Hub atau Switch 24 port. Penulis menyarankan untuk menggunakan switch untuk performa jaringan yang lebih baik. Selain requirement diatas, kita juga masih harus mempersiapkan beberapa hal, diantaranya: a. Siapkan File Installer untuk aplikasi LTSP (http://www.ltsp.org). File yang dibutuhkan antara lain ltsp-4.10.iso (104MB), ltsp-utils-0.1.0.tgz (40KB). Kemudian Burn file tersebut ke CD untuk instalasi. b. Siapkan file Boot ROM Loader (http://rom-o-matic.net). File ini digunakan untuk sistem loader dari client ke server melalui NIC yang terkoneksi ke jaringan. File Boot Rom ini harus dikonfigurasi berdasarkan parameter pada NIC client sebelum di download. Kemudian burn file tersebut ke Boot sector pada floppy disk. c. Siapkan file Virtual Network Connection (VNC : http://www.realvnc.com) untuk mentransfer GUI dari sever ke clientnya. Sebenarnya di Linux juga ada fasilitas serupa, yaitu remote desktop. Jika anda tidak mendownload realvnc, maka cukup gukanan remote desktop. d. Siapkan Aplikasi DHCP server, TFTP server, NFS server, dan XDMCP server, untuk servis di LTSP server. Biasanya file tersebut sudah terdapat dalam paket distro Linux versi enterprise atau advance server. Penulis menggunakan Red Hat versi Enterprise Advance Server. e. Siapkan file Windows Linux Terminal Server Client (www.linuxtsc.org) yang akan digunakan Windows Server untuk mentransfer GUI-nya ke Linux Server kemudian ke client yang meminta layanan GUI Windows. 97
2.2 Cara Kerja Sistem WLTSP Setelah kita lihat gambar dan requirement tiap mesin, maka terlihat bahwa kedua server yang nantinya memberikan layanan kepada clientnya mulai dari sistem operasi, GUI, servis serta fasilitasfasilitas yang akan dijalankan di client. Server Linux akan memberikan layanan berupa GUI ke client yang akan berbasis Linux, serta menjembatani client yang akan berbasis windows untuk meminta layanan ke server windowsnya. Jika kedua server sudah siap bekerja, saat ada client yang menghidupkan komputernya kemudian booting dengan disket yang berisi Boot ROM, maka setelah inisialisasi hardware di client selesai, maka NIC client akan menghubungi server LTSP (Linux Server). Linux Server akan merespon dengan memberi konfigurasi NIC Client dengan servis DHCPnya. Kemudian LTSP Server akan mentransfer Sistem Operasi yang di-share (NFS daemon) melalui servis TFTP. Setelah sistem operasi di client siap, selanjutnya server mentransfer GUI-nya menggunakan servis XDMCP. Dengan demikian client seperti memiliki sistem operasi sendiri (linux) padahal sistem dan GUI-nya adalah sistem dan GUI-nya LTSP Server. Serupa dengan cara kerja client Linux, client Windows juga meload Boot ROM-nya ke LTSP Server (Linux Server), lalu direspon dengan memberikan layanan DHCP ke NIC client. Namun kemudian LTSP Server tidak akan mentransfer sistem operasinya ke client, tapi LTSP Server akan mengakses file sistem dari Windows Server yang sudah di share, kemudian ditransfer ke clientnya. Dengan demikian client akan me-load sistem operasi windows ditambah beberapa file konfigurasi LTSPnya. Setalah sistem operasi windows di load, maka servis XDMCP di Linux Server akan mentransfer GUI dari Windows Server ke Clientnya dengan remote desktop atau dengan VNC, sehingga di sisi client akan tampak GUI Windows. Dengan demikian, LTSP Server bekerja ganda, bahkan triple, yaitu bekerja untuk dirinya sendiri, bekerja untuk 98
melayani client yang ber-GUI Linux, serta sebagai jembatan antara windows server dengan client yang ber-GUI Windows. Oleh karena itu, LTSP Server haruslah dikonfigurasi dengan sebaik mungkin dan dijaga performanya agar tetap bisa melayani banyaknya proses dan servis terhadapnya. 2.3 Instalasi dan Konfigurasi Jika software yang akan dibutuhkan telah siap, cara kerja sistem juga sudah diketahui, maka langkah selanjutnya adalah tahap instalasi dan konfigurasi sistem. Dalam artikel ini hanya akan dibahas instalasi sistem WLTSP-nya saja. Penulis mengasumsikan pada Linux server dan Windows Server sudah sudah terinstal software requirement seperti dijelaskan pada bab sebelumnya secara default dengan penambahan paket (install-lah) DHCP Server, TFTP Server, NFS Server, dan XDMCP Server. Jika anda tidak mendapatkan paket tersebut di distro anda, anda bisa mendownload dari situs yang sesuai dengan distronya. Berikutnya konfigurasi ip address dan netmask pada NIC Linux Servernya, misalnya “ # ifconfig eth0 192.168.0.1 netmask 255.255.255.240 “. Konfigurasi netmask dan IP Address bisa dirubah sesuai dengan kebutuhan. Begitu juga dengan windows server, instalasi sistem operasinya sesuai dengan prosedur/default saja, kemudian konfigurasi ip address dan netmask-nya, misalkan ip address 192.168.0.2, netmask 255.255.255.240. lalu instal aplikasi didalam windows server anda, misalnya aplikasi perkantoran, media player, photo editor, browser, dan sebagainya yang akan digunakan. Jika prosedur diatas telah dilalui, langkah berikutnya adalah sebagai berikut, kita mulai dari windows server, kemudian linux server. 1. Instal apliaksi yang ingin digunakan di windows server, lalu konfigur ip address dan netmasknya, misalnya 192.168.0.2 255.255.255.240. Berikutnya instal windows linux terminal server client (Linux TSC). Aplikasi ini akan bekerja sama dengan remote desktop dan protokol XDMCP untuk mentransfer GUI di windows server ke client yang menginginkan layanan Windows (Windows OS). 99
2. Instal apliaksi LTSP pada Linux Server.
Sebelum instalasi LTSP, servis DHCP, TFTP, NFS, dan Display Manager harus sudah aktif. Caranya ketikkan perintah : # service dhcpd restart (mengaktifkan servis DHCP) # service nfsd restart (mengaktifkan servis NFS) # service tftpd restart (mengaktifkan servis TFTP) # service dm restart (mengaktifkan servis display manager) 9 Servis DHCP, digunakan untuk mengkonfigurasi NIC client dari server. Konfigurasilah isi dari file /etc/dhcpd.conf sesuai dengan konfigurasi jaringan anda (ip server/ip address sendiri, netmask, ip router ke internet, DNS, dan range ip clientnya). Sebagai tambahan, baris yang bertuliskan “filename” pada file /etc/dhcpd.conf, harus diisi nama filenya. Misalkan : filename “/lts/vmlinuz-2.4.26-ltsp-2” ; 9 Servis NFS (network file sistem), digunakan untuk mengatur file sistem dalam jaringan. Konfigurasilah parameter-parameter pada isi file berikut : o /etc/host dan /etc/host.allow (berisi konfigurasi host mana saja yang boleh mengakses dan bagaimana cara atau aturan-aturan host untuk konek ke servernya). o /etc/export (berisi konfigurasi file/resources apa saja yang akan di-share ke jaringan). 9 Servis TFTP (Trivial File Transfer Protocol), digunakan untuk mentransfer file yang berukuran besar serta file yang sedang digunakan/file sistem (OS) dari server ke client. Tambahkan beberapa paramenter dalam file /etc/xinetd.d/tftp, yaitu edit parameter “disable” dengan “no”, serta parameter “ –s /tftpboot “ pada poin server_args. 100
Servis Display Manager digunakan untuk memberikan tampilan server ke clientnya, meskipun servis ini nanti harus berjalan dengan servis XDMCP nantinya. Anda tidak mengkonfigurasi servis ini, karena servis display manager hanya dikonfigurasi secara default saja. Aktifkan dan konfigurasi servis XDMCP di PC Linux Server dengan cara: 9 Ubah Run Level untuk meng-enable-kan Display Manager kdm/gdm dengan perintah : # vi /etc/inittab , kemudian ubah run level-nya menjadi : “ id:5:initdefault: “. 9 Aktifkan xdmcp-nya dengan mengedit file: /etc/X11/gdm/gdm.conf (jika anda menggunakan gdm) atau file: /etc/X11/xdm/xdm-config (jika anda menggunakan kdm). Kemudian masuk ke [xdmcp], lalu set “Enable” dengan “1”. Jika anda menggunakan gdm, maka cari baris “DisplayManager.requestPort:0”. Kemudian Ubah baris tersebut menjadi: “!DisplayManager.requestPort:0”. 9 Edit file Xaccess supaya bisa dibuka oleh semua work station. Caranya editlah file /etc/X11/xdm/Xaccess dengan editor pico atau vi. Kemudian cari baris “ #* # Any host can get a login window ”, lalu hilangkan satu buah tanda # di awal baris tersebut. 9 Edit file /etc/X11/xdm/kdmrc atau /usr/share/config/kdm/kdmrc atau /etc/opt/kde2/share/config/kdm/kdmrc. Kemudian ubah nilai agar “Enable” menjadi “True”. Setelah itu restart komputer anda untuk mendapatkan efek dari konfigurasi yang telah dilakukan. Instal ltsp-utils dengan cara: # cp ltsp-utils.0.1.0.tgz/usr/local/src # tar zxvf ltsp-utils.0.1.0.tgz # cd ltsp-utils # ./install.sh/
9
101
Konfigurasi agar instalasi diatas mengambil source ke cdrom, caranya masukkan CD LTSP yang telah didownload, kemudian ketikkan :# ltspadmin --> configure the installer options --> where to retrieve packages from? [ ketik file:///mnt/cdrom ] --> use http proxy ? [ Enter ] --> use ftp proxy ? [ Enter ] --> Correct ? [ Y ] # ltspadmin --> install / update LTSP Packages --> A --> Q Instalasi akan berjalan otomatis setelah kita menekan tombol Q. 3. Konfigur LTSP Server (/opt/ltsp/i386/etc/lts.conf), dimana parameter didalam file ini akan mengatur langsung rule atau aturan-aturan pada clientnya. Anda cukup sesuaikan dengan konfigurasi pada client nantinya, dengan isi parameternya dalam file tersebut. Misalkan ip server (isi sesuai ip address server), XServer (screen resolution pada client misalnya diisi 1024x768), X_Mouse_Protocol (=”PS/2” atau “Com1”), Screen_01 (tty1 atau session1 akan diisi tampilan apa, misalkan = startx), serta parameter device lainnya yang akan difungsikan (printer, keyboard, touch screen, dan lain sebagainya). Penulis tidak memberi konfigurasi lengkapnya karena konfigurasi ini sangat bergantung pada kondisi sesungguhnya. 4. Konfigur Screen scripts (/opt/ltsp/i386/etc/screen.d) untuk layanan session terminalnya. Linux memberikan fasilitas multiple screen session atau beberapa sesi tampilan yang bisa dilihat dan dikonfigurasi berbeda-beda dalam satu proses. Misalkan pada session 1 tampilan XWindow (startx) yang berfungsi, di session 2 shell (commend line interface), pada session 3 untuk remote desktop ke mesin lain, atau yang lain sebagainya. 9
102
Contohnya “SCREEN_01 = rdesktop –f w2k.mydomain.com, SCREEN_02 = telnet server2.mydomain.com, SCREEN_03 = startx”. Pada contoh diatas, session pertama pada client akan mengakses remote desktop dengan target windows 2000 dalam domain mydomain.com. akibatnya client akan menampilkan GUI Windows 2000 pada session pertama. Sedangkan pada session kedua akan mengakses telnet ke LTSP server dengan tampilan CLI. Serta pada session ketiga akan mengakses mode xwindow pada LTSP server, Untuk client yang akan difungsikan dengan GUI Windows, maka cukup panggil session yang parameternya berisi rdesktop (session pertama atau tekan ALT+F1), dengan catatan remote desktop ke target Windows Server dan Linux TSC-nya sudah aktif. Begitu juga dengan client yang akan difungsikan dengan GUI Linux, maka cukup buka session baru dengan mengetikkan Alt + F2, maka tampilan langsung akan berpindah ke session telnet, begitu juga dengan session berikutnya. Bahkan anda bisa memanfaatkan dua session atau lebih dalam satu waktu. Dengan multiple session yang dikonfigurasi sistem operasi yang berbeda-beda tiap sessionnya, memungkinkan untuk berpindah sistem operasi dengan sangat cepat dan mudah. Bahkan hal ini mustahil dilakukan dengan PC Stand-alone atau workstation non LTSP. Jika anda tidak menggunakan remote desktop atau anda menggunakan aplikasi Real VNC atau yang lainnya, konfigurasinya sama seperti penjelasan diatas. 3. Penutup Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sistem Windows Linux Terminal Server ini memiliki keuntungan dan kerugian sebagai berikut. 1. Keuntungannya antara lain : • Mudah dalam pengoperasian, memonitor, mengontrol serta memenejemen aktifitas client. Hal ini dikarenakan keseragaman konfigurasi sistem operasi yang dijalankan dari 103
servernya (sistem yang tersentral), serta tidak perlu banyak konfigurasi di client-nya. • Mengurangi penggunaan sumberdaya secara illegal oleh orang yang tidak bertanggungjawab dengan adanya servis DHCP dan NFS. • Biaya pembangunan sistem dapat ditekan dengan adanya sistem diskless serta konsumsi resources yang minimalis yang digunakan di sisi clientnya. • Dengan adanya multi session, tentunya memberikan kenyamanan lebih terhadap user yang ingin menggunakan dua sistem operasi sekaligus atau secara bergantian. • Multi session juga bermanfaat dalam hal fleksibelitas terhadap penggunaan sistem operasi yang bisa saling bergantian. Misalkan ketika pada suatu waktu terdapat banyak client yang minta layanan windows semua, maka seluruh work station akan bisa cepat diseting ke mode windows. Demikian juga sebaliknya, jika suatu saat banyak pengunjung yang minta layanan Linux, maka dengan segera bisa menggunakan Linux. Hal ini sangat menguntungkan bagi pemilik warnet/kantor, serta bagi user. 2. Kerugiannya antara lain : • Dengan sistem tersentral, maka jika kondisi Server sedang labil, maka seluruh workstationnya akan merasakan hal yang serupa. Misal hang, terserang virus, bottle neck terhadap banyaknya proses dari clientnya, interrupt dari client, serangan DoS, dan sebagainya. • Dengan fungsi kerja Linux Server yang berlipat ganda, rentan sekali terjadi tabrakan data, bottle neck, hang, sistem crash, memory overload, dan sebagainya sehingga mengakibatkan performa sistem menjadi lebih rendah dibandingkan dengan performa PC Stand alone. • Aktivitas client dengan servernya banyak memakan resources untuk aplikasi LTSP dan transfer GUI-nya, secara otomatis bandwidth ke network luar (internet/upstream-nya) menjadi 104
berkurang atau terasa lambat. Sangat tidak cocok untuk jaringan yang memiliki banyak client. 3. Saran penulis : • Jangan implementasikan sistem ini dengan jumlah client berlebih. Sesuaikan kemampuan kedua server dengan jumlah clientnya, terutama Linux servernya. Lakukan kalkulasi, analisa serta pengetesan sebelum mengimlementasikan sistem ini. Performa sangat bergantug pada resources yang anda pakai di sistem ini. • Gunakan spek yang baik pada servernya, untuk mendapatkan performa baik, diatas rata-rata atau bahkan yang ekstrem. • Selalu kontrol kondisi kedua server (hardware dan softwarenya) karena baik/tidaknya performa sistem ini bergantung pada server. • Pada konfigurasi DHCP-nya, berikan range ip yang sesuai kebutuhan, jangan samapai berlebih agar tidak banyak memakan resources. • Untuk keamanan yang lebih baik lagi, tambahkan aplikasi/konfigurasi proxy, firewall atau autentikasi pada Linux server. Daftar Pustaka Basic LTSP How to URL : http://www.ltsp.org/documentations/index.php - http://sourceforge.net - http://benpinter.net Windows Linux Terminal Server Project How to URL www.linuxtsc.org Windows Cloning URL : http://www.microsoft.com/technet/arcive/termsrv/plan/tscap.mspx http://onno.vlsm.org/
:
105
PENGGUINAAN FILE TEXT SEBAGAI BASIS DATA PADA WEBSITE UNTUK MENANGGULANGI WEBHOSTING GRATIS YANG TIDAK MENDUKUNGAN LAYANAN DBMS Sudarmawan1 dan Welly Widodo Sindu Putra2 STMIK AMIKOM Yogyakarta Abstraksi Sebuah web site mampu menunjang efektifitas dan efisiensi suatu perusahaan atau lembaga, terutama perannya sebagai sarana komunikasi, publikasi serta sarana untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan oleh semua pihak. Untuk menghemat biaya dalam publikasi sebuah web site tentunya dengan menggunakan web hosting yang bersifat gratis akan tetapi hal tersebut seringkali memberikan kendala berupa dukungan layanan penyimpanan data yang bermasalah. Untuk mengatasi masalah penyimpanan data pada web hosting yang bersifat gratis dapat menggunakan file text yang diolah dengan mesin program dalam hal ini yang dipakai adalah bahasa pemrograman web PHP. PHP merupakan bahasa pemrograman web yang mampu mengolah file text sedemikian rupa sehingga mampu menjadi basis data yang secara mendasar cara kerjanya hampir sama dengan Sistem Manajemen Basis Data (DBMS). Pada tingkat kebutuhan sebuah web site yang praktis dan menghemat biaya, file text mampu digunakan sebagai basis data pengganti DBMS tetapi tentu saja memiliki kelemahan yang lebih besar dalam hal keamanan data yang disimpan. Kata Kunci : internet, web site, hosting gratis, file text sebagai basis data.
106
1. Pendahuluan Teknologi informasi telah membuka mata dunia akan sebuah dunia baru dengan cara interaksi yang baru. Perkembangan Internet telah mengubah pola interaksi masyarakat seperti; interaksi bisnis, ekonomi, sosial dan budaya. Internet telah memberikan kontribusi yang besar bagi masyarakat, perusahaan, organisasi, pendidikan, pemerintah, dan semua pihak yang membutuhkannya. Hadirnya sebuah web site yang dipublikasikan ke Internet mampu menunjang efektifitas dan efisiensi suatu perusahaan atau lembaga, terutama perannya sebagai sarana komunikasi, publikasi serta sarana untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan oleh semua pihak. Untuk menghemat biaya dalam publikasi sebuah web site tentunya dengan menggunakan web hosting yang bersifat gratis akan tetapi hal tersebut seringkali memberikan kendala berupa dukungan layanan penyimpanan data yang bermasalah. Untuk mengatasi masalah penyimpanan data pada web hosting yang bersifat gratis dapat menggunakan file text yang diolah dengan mesin program dalam hal ini yang dipakai adalah bahasa pemrograman web PHP. PHP merupakan bahasa pemrograman web yang mampu mengolah file text sedemikian rupa sehingga mampu menjadi basis data yang secara mendasar cara kerjanya ٛ amper sama dengan Sistem Manajemen Basis Data (DBMS).
107
2. Pembahasan 2.1. Internet Internet dapat diartikan sebagai jaringan komputer luas dan besar yang mendunia, yaitu menghubungkan pemakai komputer dari suatu negara ke negara lain di seluruh dunia, dimana di dalamnya terdapat berbagai sumber daya informasi dari mulai yang statis hingga yang dinamis dan interaktif. Secara fisik, Internet dianalogikan sebagai jaring laba-laba (web) yang menyelimuti bola dunia dan terdiri dari titik-titik (node) yang saling berhubungan. Node bisa berupa komputer, jaringan lokal atau peralatan komunikasi, sedangkan garis penghubung antar simpul disebut sebagai tulang punggung (backbone) yaitu media komunikasi terestrial (kabel, serat optik, microwave maupun satelit. Node terdiri dari pusat informasi dan database, peralatan komputer dan perangkat interkoneksi jaringan serta peralatan yang dipakai pengguna untuk mencari, menempatkan dan atau bertukar informasi di Internet. Walaupun secara fisik Internet adalah interkoneksi antar jaringan komputer namun secara umum Internet harus dipandang sebagai sumber daya informasi. Isi Internet adalah informasi, dapat dibayangkan sebagai suatu database atau perpustakaan multimedia yang sangat besar dan lengkap. Bahkan Internet dipandang sebagai dunia dalam bentuk lain karena hampir seluruh aspek kehidupan di dunia nyata ada di Internet seperti bisnis, hiburan, olah raga, politik dan lain sebagainya. 2.2. HTML Hypertext Markup Language (HTML) adalah adalah sebuah bahasa markup yang digunakan untuk membuat sebuah halaman web dan menampilkan berbagai informasi di dalam sebuah browser Internet. Bermula dari sebuah bahasa yang sebelumnya banyak digunakan di dunia penerbitan dan percetakan yang disebut dengan SGML, HTML adalah sebuah bahasa markup standar yang digunakan secara luas untuk menampilkan halaman web dan HTML. Secara garis besar, terdapat 4 jenis elemen dari HTML: 108
1. Structural, tanda yang menentukan level atau tingkatan dari sebuah teks (contoh,
Golf
akan memerintahkan browser untuk menampilkan "Golf" sebagai teks tebal besar yang menunjukkan sebagai Heading 1) 2. Presentational. tanda yang menentukan tampilan dari sebuah teks tidak peduli dengan level dari teks tersebut (contoh, boldface akan menampilkan huruf tebal. 3. Hypertext, tanda yang menunjukkan alamat tempat ke bagian dari dokumen tersebut atau alamat tempat ke dokumen lain 4. Elemen widget yang membuat objek-objek lain seperti tombol (