PERBANDINGAN BERBAGAI TEKNIK MIKROENKAPSULASI PAKAN DALAM MENGHASILKAN DAGING SAPI SEHAT Nur Hidayah Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Bengkulu, Bengkulu Jl. Bali, Kp. Bali, Tlk. Segara, Kota Bengkulu, Bengkulu 38119, Telp (0736) 22765 E-mail:
[email protected]
Abstrak Konsumsi daging segar perkapita masyarakat Indonesia meningkat sebesar 6,65% dari tahun 2013. Namun sampai saat ini kebutuhan tersebut hanya mampu terpenuhi sebesar 50%, sehingga diperlukan peningkatkan produktivitas ternak sapi potong. Peningkatan produktivitas ternak perlu diiringi dengan peningkatan kualitas dagingnya, karena daging sapi dipercaya secara luas dapat meningkatkan kasus penyakit jantung koroner. Salah satu strategi yang dapat dilakukan yaitu dengan penambahan asam lemak tak jenuh dalam bentuk proteksi dengan teknologi mikroenkapsulasi. Tujuannya adalah : (1) menghindari proses biohidrogenasi dari rumen pada ternak ruminansia sehingga dihasilkan daging yang lebih sehat, dan (2) menghindari penurunan pencernaan serat dan aktivitas mikroba. Mikroenkapsulasi merupakan suatu teknik proteksi bahan yang efektif dan mudah dilakukan. Banyak teknik mikroenkapsulasi yang berkembang, sehingga diperlukan sebuah tulisan review terkait perbandingan teknik-teknik mikroenkapsulasi pada pembuatan pakan ternak (prinsip, keuntungan dan kerugiannya). Selain itu review ini akan memaparkan perkembangan hasil-hasil penelitian pada ternak sapi potong yang memanfaatkan teknologi mikroenkapsulasi dalam menghasilkan daging sapi sehat. Kata kunci: biohidrogenasi, daging, mikroenkapsulasi, sapi potong
PENDAHULUAN Ternak sapi potong merupakan komoditas strategis dalam pengembangan sektor peternakan nasional. Namun sampai saat ini produksi daging nasional belum dapat mencukupi permintaan dalam negeri. Diperkirakan kekurangan produksi daging mencapai 664.229 ton. Menurut data [1] pada tahun 2014 nilai impor sapi untuk memenuhi pasokan daging senilai US $682.150.187 (setara dengan 246.835.703 kg daging). Sehingga peningkatan produktivitas ternak sapi potong menjadi sebuah keharusan dalam rangka menekan impor daging sapi. Peningkatan produktivitas ini memerlukan sebuah teknologi pakan yang dapat menstimulasi pertumbuhan ternak sapi potong secara signifikan. Peningkatan produksi sapi potong, seyogyanya diiringi dengan peningkatan kualitas daging. Daging sapi banyak mengandung asam lemak jenuh yang dipercaya secara luas mampu meningkatkan kasus penyakit jantung koroner atau coronary heartdisease (CHD)yang dapat menyebabkan kematian [2]. Pembentukan asam lemak jenuh pada ternak ruminansia terjadi secara alami karena adanya proses biohidrogenasi mikroba rumen yang mengubah asam lemak tak jenuh pada pakan menjadi asam lemak jenuh. Kondisi yang demikian menyebabkan masyarkat enggan mengkonsumsi daging sapi secara kontinyu. Oleh sebab itu perlu dilakukan upaya yang dapat mengurangi kandungan asam lemak jenuh pada daging sapi dan sekaligus meningkatkan kandungan asam lemak tak jenuhnya sehingga lebih aman untuk kesehatan. Salah satu strategi yang dapat dilakukan yaitu dengan penambahan asam lemak tak jenuh dari tanaman dalam bentuk proteksi. Tujuannya adalah : (1) menghindari proses biohidrogenasi dari rumen pada ternak ruminansia, sehingga asam lemak tak jenuh dapat langsung by pass dan Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
143
terdeposit dalam daging, dan (2) menghindari penurunan pencernaan serat dan aktivitas mikroba. Teknologi proteksi yang dapat digunakan yaitu teknologi mikroenkapsulasi. MIKROENKAPSULASI Mikroenkapsulasi merupakan suatu teknik dimana padatan, cairan, atau bahkan gas dilapisi pelindung tipis dalam bentuk partikel mikroskopis yang menyelimuti sekeliling bahan [3]. Lapisan tipis melindungi dari kebusukan, mengurangi penguapan komponen aktif, dan menghindari dari kondisi yang tidak diinginkan [4]. Proses ini juga bermanfaat untuk melindungi proses oksidasi [5], menghindari kontak dengan udara dan aroma yang tidak diinginkan serta meningkatkan stabilitas dan daya simpan [6]. Hal penting lain dalam proses mikroenkapsulasi adalah mengatur pelepasan bahan aktif pada waktu yang dikehendaki. Bahan-bahan yang berhubungan dengan makanan yang dienkapsulasi meliputi asam, pewarna, enzim, mikroorganime, perasa, lemak dan minyak, vitamin dan mineral, garam, pemanis dan gas [7] Mikrokapsul berukuran 1,0-5000 μm [8] dengan bentuk dapat berupa bola, persegi panjang ataupun tak beraturan. Struktur utama dari mikrokapsul terdiri dari inti dan pelapis. Bahan inti merupakan bahan yang ada di dalam mikrokapsul yang sering disebut materi inti, bahan aktif, pengisi, dan fasa internal. Bahan pelapis merupakan bahan yang melapisi bagian inti sering disebut pelapis, kulit, membran, dinding bahan, fase luar atau matrik [9]. Tipe mikroenkapsulasi secara umum ada dua yaitu satu inti (single core) dan banyak inti (multiple core) pada bagian dindingnya Mikrokapsul dengan banyak inti memiliki inti yang tersebar secara merata di bagian dinding dan bagian tengah mikrokapsul biasanya berupa rongga kosong yang dihasilkan dari pemuaian selama tahap pengeringan akhir (Gambar 1) [10]. Mikrokapsul dengan satu inti biasanya memiliki muatan inti yang tinggi, misalnya 90% dari total berat mikrokapsul.Sedangkan mikrokapsul dengan struktur banyak inti biasanya memiliki persentasi pelapis hingga 70% dari berat mikrokapsul. Bahan pelapis ini akan rusak secara mekanik (pengunyahan, pemanasan, dan pelarut), perubahan pH, enzim, serta sifat fisik dan kimia dari bahan inti (kelarutan, difusivitas, tekanan uap, dan koefisien partisi) dan pelapis (seperti ketebalan, porositas dan kemampuan bereaksi) sehingga bahan inti akan terlepas [7]
Gambar 1. Tipe mikrokapsulasi [10] Keberhasilan melakukan proses mikroenkapsulasi menurut [11] terdiri dari: (1) bentuk bahan inti yang dikapsul (padat, cair, gas), (2) stabilitas terhadap suhu dan pH, (3) jenis bahan pelapis yang digunakan, (4) sifat fisikokimia (solubilitas, hidrofobik atau hidrofilik), (5) medium mikroenkapsulasi yang digunakan (pelarut air atau yang lain), (6) prinsip mikroenkapsulasi yang digunakan (fisik atau kimia) dan (7) ukuran mikroenkapsulasi yang dibuat. Bahan-bahan pelapis yang dapat digunakan dalam proses mikroenkapsulasi harus memiliki syarat yang diantaranya: dapat memberikan lapisan tipis yang bersifat kohesif dengan bahan inti, stabilitas pada bahan inti, tidak higroskopis dan tidak bereaksi dengan bahan inti, mampu melapisi bahan inti secara kuat, keras dan fleksibel, mampu terlepas dibawah kondisi tertentu, dan ekonomis [3]. Bahan-bahan pelapis sudah banyak digunakan yaitu: gum (gum arab, sodium aglinat, karagenan), karbohidrat (pati, dekstrin, sukrosa), selulosa (metilselulosa, karbonsimetilselulosa), lemak (parafin, asam stearat, pospolipid) dan protein (gelatin, albumin). 144
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN MIKROENKAPSULASI Pada Tabel 1 disajikan keuntungan dan kerugian mikroenkapsulasi pada bahan Tabel 1. Keuntungan dan Kerugian Mikroenkapsulasi [3] No 1.
2. 3.
4.
Keuntungan Mampu mengatur bahan inti (mengubah bahan inti cair menjadi padat, sehingga lebih mudah penanganannya dan memiliki bau yang lebih netral) Melindungi bahan inti (Mencegah perubahan dan pengurangan kadar bahan inti) Meningkatkan kestabilan bahan inti selama proses produksi sampai produk akhir (mengurangi penguapan bahan aktif, reaksi dengan udara, air dan bahan lain, serta proses degradasi Mengontrol proses pelepasan bahan inti
Kerugian Perubahan stabilitas pengkapsulan selama proses produksi dan penyimpanan Ketidakpuasan konsumen terhadap kualitasnya Meningkatkan kekomplekan proses produksi
Penambahan cost
TEKNIK MIKROENKAPSULASI SERTA KELEBIHAN DAN KEKURANGANNYA Metode Mikroenkapsulasi terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu mikroenkapsulasi dengan proses fisik/mekanik (spray drying, spray chilling/cooling, extrusion, and fluidized bed coating), dan proses kimia (coacervation, co-crystallization, molecular inclusion, and interfacial or in-situ polymerization). Dalam beberapa kasus kombinasi kedua proses tersebut digunakan dalam pembentukan single atau double emulsi dengan metode spray drying [12]. Dalam bidang peternakan bahan pakan yang sering dilindungi (mudah teroksidasi dan pemanfaatan yang baik untuk ternak) adalah lemak, protein, vitamin dan mineral. Berdasarkan hasil review dari [13] teknologi mikroenkapsulasi yang dapat digunakan dalam melindungi lemak dan protein antara lain freeze drying, spray drying, spray chilling/cooling, fluidized bed coating, coacervation, dan liposom entrapment. Sehingga dalam paper ini lebih banyak membahas metode-metode mikroenkapsulasitersebut. a. Freeze Drying Merupakan metode mikroenkapsulasi yang digunakan dalam proses pengeringan pada hampir semua bahan yang sensitif terhadap panas dan aroma. Telah digunakan untuk mengkapsul essence yang larut dalam air dan aroma alami [14]. Menurut [9] pada tahap pertama, sampel dibekukan dalam suhu antara −90 dan −40°C, kemudian pengeringan dengan sublimasi langsung dibawah tekanan rendah sehingga suhunya menurun antara −90 dan −20°C. Setelah pengeringan sampel yang terbentuk dapat dihancurkan dalam bentuk yang lebih kecil, apabila perlu dapat melakukan proses penghancuran melalui grinding. Kerugian utama metode freeze draying adalah penggunaan energi yang tinggi, prosesnya yang lama dan struktur pori yang terbuka yang mana secara umum kurang bagusnya ikatan yang mengelilingi bahan aktif. Dibandingkan dengan spray drying, metode freeze drying 30–50 kali lebih mahal [15]. b. Spray Drying Merupakan metode yang umum digunakan dalam mengeringkan bahan pakan dalam bentuk cairan melewati gas panas. Pakan dalam bentuk cair dipompa melalui alat-alat atomiser Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
145
yang menghasilkan tetesan halus (bubuk dengan ukuran 1 μm sampai 150 μm). Gas panas adalah udara, dimana biasanya udara yang digunakkan adalah gas O 2, tetapi ketika bahan aktifnya sensitif maka pengeringannya menggunakan gas N2 [13]. Bagian utama peralatan spray drying terdiri dari bagian inlet (suhu 150–220°C) dan outlet (suhu 50–80°C) yang diatur untuk menghasilkan bubuk dengan temperatur kurang dari 100°C[9]. Pada Gambar 2 disajikan peralatan spray drying. Keuntungan dari proses ini adalah biayanya relatif rendah, kemudahan dalam scel up (dari skala laboratorium ke skala industri), kapsul memiliki kualitas tinggi, ukurannya kecil dan stabilitasnya tinggi. Kemudahan bahan inti untuk lepas tanpa adanya sisa-sisa pelapis, terutama pelapis yang terbuat dari bahan dengan kelarutan air yang tinggi. Keterbatasan dari proses spray drying ini adalah terbatasnya bahan-bahan yang cocok digunakan sebagai pelapis, pelarut organik (khawatir mudah terbakar dan toksik). Gambar2. Peralatan spray dryingrendah (<40%) dan bermasalah pada bahan [9] yang peka terhadap panas ([14]; [12]). c. Spray Chilling/ Spray Cooling Merupakan metode yang tidak terlalu mahal, prosesnya mirip dengan spray drying yang mana bahan aktif tersebar dalam bahan pelapis dan ada proses atomisasi. Tujuan dari metode ini adalah meningkatkan stabilitas panas, memperlambat pelepasan pelapis pada lingkungan yang basah dan mengkonversi cairan kedalam bentuk bubuk [14]. Secara umum tidak ada proses evaporasi air. Emulsi yang terbentuk dari bahan aktif dan pelapis dispray (atomisasi) sehingga terbentuk tetesan kemudian dicampur dalam media (camber) pendingin sehingga terbentuk bubuk [12]. Kerugian penggunaan metode ini adalah memerlukan penanganan dan kondisi penyimpanan yang spesial (tidak mudah dan sembarangan dilakukan) [16]. d. Fluidized bed coating Merupakan teknik yang digunakan dalam mengkapsul bubuk dengan peralatan yang diset dalam proses kontinyu atau tidak. Bubuk dibentuk oleh udara yang ekstrim dengan temperatur yang spesifik kemudian dispray dengan atomisasi untuk membuat bahan pelapis. Sehingga secara berangsur-angsur bahan aktif akan tertutup oleh pelapis pada saat dispray. Bahan pelapis harus memiliki sifat viskositas cocok sehingga dapat dipompa dan diatomisasi, harus stabil dalam kondisi panas dan seharusnya dapat membentuk lapisan film sebagai bahan pelapis [9]. Keterbatasan penggunaan teknologi ini adalah hanya dapat digunakan untuk mengkapsul partikel padat dan ukuran produk yang terbentuk tidak dapat kurang dari 10 μm [14]. e. Coacervation Merupakan proses pemisahan yang melibatkan 2 fase cairan dalam sebuah sistem koloid. Langkah pertama yaitu pemecahan koloid cair dalam pelarut yang tepat, termasuk koloid alami. Ketika kondisi lingkungan berubah seperti pH berubah, kelarutan koloid mengalami penurunan dan sebagian besar koloid dapat dipisahkan ke dalam fase baru. Sehingga fase asli yang awalnya safu fase menjadi dua fase, dimana fase yang lebih banyak mengandung koloid kelihatan sebagai tetesan cairan amorphous yang disebut tetesan coacervate, yang mana dinding pelapis berupa kapsul. Proses coacervation ada tiga tahap yaitu : pembentukan tetesan, dinding coacervative, dan isolasi kapsul. Coacervative merupakan teknik mikroenkapsulasi yang sebenarnya dimana bahan inti diselimuti secara sepenuhnya oleh bahan pelapis [12]. Kelebihan dari metode ini adalah memiliki payload yang sangat tinggi yaitu > 99% dan kemudahan dalam mengontrol lepasnya bahan inti dari pelapis [14]. Kelemahannya yaitu biaya proses produksi yang tinggi dan pembatasan yang komplek apabila ingin digunakan secara komersial [12].
146
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
f. Liposom Entrapment Liposom terbentuk dari dua lapis membran yang mana terdiri dari molekul lipid seperti fospolipid (lecithin) dan kolesterol. Mereka terbentuk ketika lipid terpisah pada media cair dan terekspos sebagai potongan yang menggunakan microfluidization atau penggilingan koloid. Mekanisme utama dalam pembentukan liposom adalah interaksi hidrofilik dan hidrofobik antara fospolipid dan molekul air. Bahan aktif dapat ditangkap dengan bahan cair dari liposom atau dengan menangkap dengan membran. Ukuran partikel antara 30 nm atau beberapa dalam bentuk mikron. Penyimpanan menyebabkan ukuran menjadi lebih besar sehingga perlu dijaga dengan electrostatic repulsion (seperti dengan penambahan lipid pada membran pelapis [9]. Menurut [12] kerugian metode ini adalah kestabilannya hanya dalam waktu yang pendek, susah dalam proses scale up dan susah dalam proses kapsul karena bahan membutuhkan kondisi kering. Ringkasan Proses Mikroenkapsulasi Tabel 2. Proses Mikroenkapsulasi Teknologi Freeze Drying
Alur Proses Bentuk 1. Penyebaran bahan aktif dengan Matrix bahan pelapis pada air 2. Pembekuan sampel 3. Pengeringan dalam temperatur yang rendah Spray-drying 4. Proses pengecilan produk 1. Penyebaran bahan aktif pada Matrix pelapis cair 2. Atomisasi 3. Pengeringan Spray-chilling/ 1. Penyebaran bahan aktif pada Matrix Cooling pelapis lipis 2. Atomisasi Fluid bed 3. Pendinginan coating 1. Pembentukan bubuk aktif Reservoir 2. Pelapisan secara semprot Coacervation 3. Pengeringan atau pendinginan 1. Mempersiapkan pencampuran Reservoir bahan aktif pada fase cair 2. Pencampuran dengan menggunakan turbulen 3. Pendinginan Liposome 1. Penyebaran bahan aktif pada Berbagai entrapment lemak macam 2. Pengurangan ukuran
Muatan (%) Berbagai macam
Partikel (μm) 20-5.000
5-50
10-400
10-20
20-200
5-50
5-5.000
40-90
10-800
5-50
10-1.000
Sumber : [9] HASIL-HASIL TERNAK
PENELITIAN
METODE
MIKROENKAPSULASI
PADA
PAKAN
a. Ternak Babi [17] melakukan proses mikroenkapsulasi pada capsicum oleorasin dengan metode spray cooling dimana bahan aktif yang akan dikapsul adalah capcaisin (zat aktif pada tanaman yang efektif sebagai antibakteri) dengan bahan pelapis minyak rapeseed. Hasil mikroenkapsulasi tersebut Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
147
diuji waktu rusaknya bahan pelapis pada pencernaan babi secara in vitro, dimana proses spray cooling yang berbeda digunakan untuk membuat formula (tipe pipa semprot/nozzle, temperatur dan ukuran partikel) dalam menghasilkan produk mikroenkapsulasi. Metode spray cooling yang digunakan terdiri dari sistem fluidized air bed (F1 dengan ukuran produk yang bermacam-macam yaitu : F1a (180 - 250 μm), F1b (250 -500 μm), F1c (500 - 710 μm), dan F1d (710 - 1.000 μm) dan sistem vibrating nozzle (F2) dengan ukuran partikel 500 - 710 μm. Hasil menunjukkan bahwa formula F2 merupakan sistem terbaik dari proses spray cooling karena menghasilkan pelepasan (release) (T50% dan T90%) capcaisin yang paling lama (8 jam) setelah adanya proses pencernan (Tabel 2). Hal ini dikarenakan temperatur pada sistem vibrating nozzle sangat rendah yaitu - 40C dan memiliki hasil yang lebih seragam dan teratur dibandingkan dengan sistem fluidized air bed. Temperatur sangat berpengaruh terhadap kepadatan partikel yang dihasilkan. Namun penggunaan temperatur yang sangat rendah akan mengakibatkan proses mikroenkapsulasi membutuhkan biaya ekstra sehingga sistem ini dapat dipakai tergantung dari bahan aktif yang dikapsul. Tabel 3. Waktu Pelepasan Inti (Capcaisin) dari Bahan Pelapis pada 50% & 90%
Gambar 3. Bentuk Mikroenkapsulasi (a) Sistem Fluidized dan (b) Sistem Vibrating Nozzle b. Ternak Broiler [18] melakukan penelitian yang membandingkan pakan kontrol (CTR) dan pakan yang ditambah campuran asam sitrat dan organik (fumarat, malat, sitrat dan sorbat) yang dibuat dengan teknologi mikroenkapsulasi sebanyak 400 ppm (TRT). Tujuannya adalah mengamati konsentrasi asam sitrat dan organik yang tertinggal pada gizard, usus halus dan sekum. Semakin banyak yang tertinggal di usus maka indikasi meningkatnya degradasi dan penyerapan nutrien dan dapat menurunkan kolonisasi bakteri patogen dan produksi racun metabolit. Hasil menunjukkan bahwa penambahan asam campuran asam sitrat dan organik secara nyata (P<0,05) meningkatkan konsentrasi asam sitrat dan organik pada gizard dan usus halus (Gambar 4). Mikroenkapsulasi mampu memperlambat lepasnya bahan organik tersebut karena ada pelapis yang melindungi bagian inti sehingga lajunya tidak akan cepat dan menyebabkan nutrien akan banyak yang tertinggal di usus.
148
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
Gambar 4. Konsentrasi Asam Sitrat dan Organik Pada Organ Pencernaan Broiler c. Ternak Sapi Perah Perusahaan kesehatan dan nutrisi ternak [19] melalukan penelitian terhadap keefektifan produk yang dihasilkan yaitu “AminoShure-L” (Mikroenkapsulasi Asam amino Lysin). Lisin merupakan salah satu asam amino pembatas produksi dan kandungan protein susu, sehingga ketersediaan dalam pakan sangat penting. Beberapa hasil melaporkan bahwa terdapat hubungan langsung antara penambahan lisin dengan usus halus dan produksi protein susu, semakin tinggi penambahan lisin maka lisin dalam usu halus dan protein susu meningkat. Penambahan lisin dalam bentuk mikrokapsul sebesar 80% mampu melindungi lisin dari degradasi rumen (Tabel 4). Penelitian yang dilakukan membedakan level penambahan lisin yaitu 0 g (pakan kontrol), AminoShure-L 30 g/ sapi, dan 60 g/sapi. Hasil menunjukkan bahwa penambahan AminoShure-L secara nyata meningkatkan konsumsi pakan, produksi susu, kandungan lemak dan protein susu. Semakin tinggi penambahan AminoShure-L semakin meningkatkan parameter tersebut (Tabel 5). Hal ini akan sangat menguntungkan para industri peternakan sapi perah. Tabel 4. Tingkat Bypass Lisin dari Degradasi Mikroba Rumen
Tabel 5. Parameter Susu dengan Penambahan AminoShure-L pada Berbagai Level
Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
149
KESIMPULAN Mikroenkapsulasi merupakan teknik yang bertujuan melindungi bahan aktif dari kondisi yang tidak diinginkan (oksidasi, udara, dan aroma), meningkatkan stabilitas dan daya simpan dan mengatur pelepasan bahan aktif pada waktu yang diinginkan. Pada bidang peternakan metode mikroenkapsulasi yang sering digunakan adalah metode spray drying dan cooling. Metode ini relatif mudah dilakukan dan daya scale up dalam industri tinggi. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan metode mikroenkapsulasi pada berbagai ternak sangat menguntungkan. Mampu menurunkan daya laju lepasnya nutrien sehingga terjadi peningkatan penyerapan nutrien pada usus halus dan meningkatkan produk ternak. Proses mikroenkapsulasi dan ukuran partikel produk menjadi kunci keberhasilan dalam menghasilkan produk mikroenkapsulasi yang berkualitas. DAFTAR PUSTAKA [1] [2]
[3] [4]
[5]
[6]
[7] [8]
[9]
[10] [11] [12] [13]
[14] [15]
[16] 150
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2015. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan Phillip J. 2012. Red meat consumption increases risk of death from heart disease and cancer up to twenty percent [Online]. [diunduh 2013 Maret 13]. Tersedia: http://www.naturalnews.com/035560_red_meat_heart_disease_cancer.htm. Agnihotri N., R. Mishra, C. Goda, and M. Arora.. 2012. Microencapsulation-A novel approach in drug delivery: a review. Indo GlobalJ of Phram Sci. 2 (1): 1-20 Selim K. A., K. E.Khalil, M. S.Abdel-Bary, and N. A. Abdel-Azeim. 2008. Extraction, encapsulation and utilization of red pigments from Roselle (Hibiscus sabdariffa L.) as natural food colourants. Egypt: Food Sci and Tech. Fayoum University SunC., S. Gunasekaran, and M. P. Richard. 2005. Beta-cyclodextrin microencapsulation and oxidation stability of freeze dried fish oil powder[Online]. [Acessed 2013 April 3]. Tersedia pada: http://ift.confex.com/ift/2005/techprogram/session-4046.htm Keoght M. K., B. T. O’Kennedy, J. Kelly, M. A. Auty, P. M. Kelly, A. Fureby, and A. M. Haar 2001. Stability to oxidant of spray-dried fish oil powder microencapsulated using milk ingradient. J Food Sci, 66: 217-224 Paramita V. 2010. Mikroenkapsulasi dalam industri pangan. IPTEK Inovasi 16: 22. King A. H. 1995. Encapsulation of food ingredients – a review of available technology, focusing on Hydrocolloids. In Encapsulation and Controlled Release of Food Ingredients, American Chemical Sociaty Symposium Series, 590: 26–39 Zuidam, N. J. and E. Shimoni. 2010. Overview of Microencapsulated for Use in Food Product or processes and Methods to Make Them[Online]. [Acessed 2013 Maret 25]. Tersedia pada: . http://www.springer.com/978-1-4419-1007-3 Jafari S. M., E. Assadpoor, Y. He, and B. Bhandari. 2008. Encapsulation Efficiency of Food Flavours and Oils during Spray Drying. J Drying Tech. 26: 816-835. Deasy P. 1987. Microencapsulation and Related Drugs Process. London (UK): Marcel Dekker, Madene A., M. Jacquot, J. Scher, and S. Desobry. 2006. Flavour encapsulation and controlled release – a review. J Food Sci and Tech. 41: 1-21. Olive Li Y. 2009. Development of microencapsulation-based technologies for micronutrient fortification in staple foods for developing countries [Dissertation]. Toronto: University of Toronto Gouin S. 2004. Microencapsulation: industrial appraisal of existing technologies and trends. J Food Sci and Tech. 15: 330-347 Gharsallaoui A, G. Roudaut, O. Chambin, A. Voilley, and R. Saurel. 2007. Applications of spray-drying in microencapsulation of food ingredients: an overview. J Food Res Intern. 40: 1107–1121 Taylor A. H. 1983. Encapsulation systems and their applications in the flavor industry. Food Flavor Ingredient and Process Packaging. J Food Sci. 4: 48–52 SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
[17] Meunier J. P, J. M. Cardot, E. G. Manzanilla, M. Wysshaar, and M. Alric. 2007. Use of spray-cooling technology for development of microencapsulated capsicum oleoresin for the growing pig as an alternative to in-feed antibiotics: A study of release using in vitro models. J Anim Sci. 85: 2699-2710 [18] Grilli E, J. C.Bodin, P. P.Gatta, M. Tedeschi, and A. Piva. 2007. Microencapsulation allows slow release of organisc acids in the GI tracvt of broliers. Proceeding of 16th European Symposium on Poultry Nutrition (436-466) August 26 - 30, Strasbourg, France [19] BALCHEM Corporation. AminoShure-L Rumen Protedted Lysine [Online]. [Accessed 2013 April 30]. Tersedia pada : http://www.balchem.com/anh/aminoshure-l%C2%AE
Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
151