PERBAIKAN MUTU BIOMINERAL CAIRAN RUMEN DENGAN PENAMBAHAN MINERAL MAKRO TERHADAP ASPEK POPULASI BAKTERI DAN PROTOZOA RUMEN
SKRIPSI MEGA PRATIWI SARAGI
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RINGKASAN Mega Pratiwi Saragi. (D24070224). 2012. Perbaikan Mutu Biomineral Cairan Rumen dengan Penambahan Mineral Makro terhadap Aspek Populasi Bakteri dan Protozoa Rumen. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
: Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur.Sc. : Prof. Dr. Ir. Dewi A. Astuti, MS
Biomineral adalah suplemen mineral yang berasal dari produk sampingan rumah potong hewan. Suplementasi penting dilakukan karena hijauan pakan ternak di Indonesia ditanam di lahan yang miskin kandungan haranya sehingga biasanya memiliki kandungan mineral yang rendah pula. Defisiensi mineral pada ternak ruminansia dapat mengakibatkan penurunan produksi dan ketidakseimbangan kondisi mikroba rumen. Suplemen biomineral dapat dibuat dari cairan rumen sebagai limbah rumah potong hewan, tetapi kurang kandungan unsur mineral makronya. Biomineral yang diperkaya dengan mineral Ca, P, Mg, dan S dapat menjadi solusi yang baik. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mempelajari perbaikan mutu biomineral cairan rumen dengan mineral makro terhadap aspek populasi bakteri rumen, protozoa rumen, dan sintesis protein mikroba. Penelitian ini dilakukan selama tujuh bulan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok dengan pola faktorial 5 x 2 dan 4 ulangan. Faktor A adalah level biomineral yang diperbaiki mutunya (A1= 0 x Ca, P, Mg, dan S NRC (2000), A2= 0,5 x Ca, P, Mg, dan S NRC (2000), A3= 1 x Ca, P, Mg, dan S NRC (2000), A4= 1,5 x Ca, P, Mg, dan S NRC (2000), A5= 2 x Ca, P, Mg, dan S NRC (2000)). Faktor B adalah waktu inkubasi (0 dan 3 jam). Data yang didapat dianalisa dengan menggunakan analisa sidik ragam (ANOVA) dan yang berbeda nyata diuji lanjut dengan orthogonal kontras. Level biomineral yang diperbaiki dengan penambahan mineral makro sampai dengan 2 kali NRC untuk sapi pedaging dapat meningkatkan populasi bakteri total (P<0,1), tetapi perlakuan ini belum dapat memberikan efek yang nyata terhadap populasi protozoa total, bakteri amilolitik, selulolitik, dan proteolitik. Waktu inkubasi 3 jam dapat meningkatkan populasi bakteri total dan selulolitik (P<0,05) dan bakteri proteolitik (P<0,06). Peningkatan populasi bakteri amilolitik dan sintesis protein mikroba tidak berbeda nyata pada inkubasi 3 jam. Kesimpulannya adalah biomineral yang diperbaiki mutunya dengan level mineral makro (Ca, P, Mg, dan S) 1,5 kali NRC dapat direkomendasikan untuk digunakan sebagai suplemen berdasarkan efeknya terhadap populasi bakteri total. Kata kunci :
biomineral, inkubasi, bakteri, protozoa
i
ABSTRACT Quality Improvement of Rumen Fluid Biomineral with Macro Mineral Enrichment on Rumen Bacterial and Protozoal Populations Mega P. Saragi, A. S. Tjakradidjaja and D. A. Astuti Mineral is nutrient that is necessary to present in diet of ruminants because it has important roles in physiological processes in animals and are required by the rumen microbes. Pastures in Indonesia, especially those that are planted in infertile land, generally have low mineral contents. Organic mineral supplementation is required to balance body processes and increase animal productivity. Biomineral is a mineral supplement that is made up of rumen fluid as byproduct of slaughter house, but it lack of macro mineral. It is necessary to improve biomineral quality by enrichment with Ca, P, Mg, and S. Therefore, this experiment was conducted to study the effect of macro mineral enrichment in improving biomineral quality on rumen bacterial population, protozoal population and microbial protein synthesis. This study used a factorial completely randomized block design with 5 x 2 factors and 4 replications. Factor A was level of macro mineral addition into biomineral : A1= 0 x Ca, P, Mg, and S of NRC (2000), A2= 0.5 x Ca, P, Mg, and S of NRC (2000), A3= 1 x Ca, P, Mg, and S of NRC (2000), A4= 1.5 x Ca, P, Mg, and S of NRC (2000), A5= 2 x Ca, P, Mg, and S of NRC (2000). Factor B was incubation time (0 and 3 hours). The data were analyzed using analysis of variance (ANOVA), the difference between treatments were tested with contrast orthogonal. Levels of biomineral improvement up to 2 x increased total bacterial population (P<0.10); however, these treatments did not produce significant effects on protozoal, amylolitic, cellulolytic and proteolytic bacterial populations. Total and cellulolytic (P<0.05) and proteolytic (P<0.06) bacterial populations increased at 3 h incubation. The increases in amylolytic bacterial population and microbial protein synthesis were not significant at 3 h incubation period. It is concluded that level of 1.5 x NRC is recommended to be used as supplement based on its effect on total bacterial population. Key words : biomineral, incubation, bacteria, protozoa
ii
PERBAIKAN MUTU BIOMINERAL CAIRAN RUMEN DENGAN PENAMBAHAN MINERAL MAKRO TERHADAP ASPEK POPULASI BAKTERI DAN PROTOZOA RUMEN
MEGA PRATIWI SARAGI D24070224
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 iii
Judul Skripsi
: Perbaikan Mutu Biomineral Cairan Rumen dengan Penambahan Mineral Makro terhadap Aspek Populasi Bakteri dan Protozoa Rumen
Nama
: Mega Pratiwi Saragi
NIM
: D24070224
Menyetujui : Pembimbing Utama
Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur.Sc. MS. NIP. 19610930 198603 2 003
Pembimbing Anggota
Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, NIP. 19611005 198503 2 001
Mengetahui : Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB
Dr. Ir. Idat Galih Permana, MSc.Agr. NIP. 19670506 199103 1 001
Tanggal Ujian : 26 Januari 2012
Tanggal Lulus :
iv
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 01 Desember 1989 di Sungai Apit, Riau. Penulis adalah anak kedua dari pasangan Bapak E. Saragi dan Ibu C. Mardiati. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2001 di SDN 014 Sungai Apit, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SMPN 1 Sungai Apit dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2007 di SMUN 3 Siak. Penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB), Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) IPB pada tahun 2007 dan menerima beasiswa penuh untuk S1. Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007. Selama menjalani pendidikan di IPB penulis aktif mengikuti beberapa organisasi kemahasiswaan yaitu UKM Persatuan Mahasiswa Kristen (PMK) khususnya Komisi Kesenian (Komkes) dan terlibat dalam beberapa kepanitiaan dalam acara yang diselenggarakan oleh PMK dan Komkes di lingkungan kampus IPB. Penulis juga pernah menjadi Asisten Mata Kuliah Agama Kristen pada tahun 2010-2011 dan Integrasi Proses Nutrisi pada tahun 2011. Selama menempuh pendidikan di IPB, pada tahun 2009 penulis juga berkesempatan bergabung dalam tim Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) yang mendapat bantuan dana dari DIKTI dengan judul proposal “Pocarichick Sebagai Solusi Penanganan Heat Stress pada Budidaya Ayam Broiler di Daerah Tropis”. Pada tahun 2009 juga penulis berkesempatan untuk magang di Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang dan laboratorium terpadu, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
v
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan berkat dan hikmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Perbaikan Mutu Biomineral Cairan Rumen dengan Penambahan Mineral Makro terhadap Aspek Populasi
Bakteri dan Protozoa
Rumen”. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi, Laboratorium Nutrisi Ternak Perah dan Laboratorium Terpadu, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor selama 7 bulan dari bulan Agustus 2010 hingga bulan Maret 2011. Biomineral cairan rumen merupakan salah satu suplemen mineral yang baik digunakan untuk mengatasi defisiensi mineral pada ternak ruminansia yang mendapatkan pakan hijauan dari hijauan yang ditanam di tanah yang miskin unsur hara sehingga kandungan mineral yang terdapat di dalam hijauan tersebut juga sedikit. Namun kandungan mineral makro biomineral cairan rumen kurang mencukupi kebutuhan ternak tropis sehingga harus diperbaiki mutunya dengan penambahan mineral Ca, P, Mg, dan S. Mineral dibutuhkan oleh inang dan juga oleh mikroba rumen. Keragaman mikroba rumen yang diteliti pada penelitian ini menggambarkan bagaimana pengaruh pemberian biomineral yang telah diperbaiki mutunya terhadap populasi protozoa dan bakteri di dalam rumen dengan harapan biomineral dapat digunakan untuk mengoptimalkan aktivitas mikroba rumen. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat sebagai sumber informasi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah ikut berperan serta sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Bogor, 24 Januari 2012
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman RINGKASAN ...............................................................................................
i
ABSTRACT .................................................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN .........................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP .....................................................................................
v
KATA PENGANTAR .................................................................................
vi
DAFTAR ISI ................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL .........................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
xi
PENDAHULUAN .......................................................................................
1
Latar Belakang ................................................................................. Tujuan ..............................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
3
Biomineral dan Mineral Organik ...................................................... Mineral .............................................................................................. Defisiensi Mineral ............................................................................. Suplementasi Mineral ....................................................................... Rumen ……………………………………………………………. .. Mikroba Rumen ................................................................................ Protozoa ................................................................................ Bakteri .................................................................................. Fungi .................................................................................... Bakteriofage .......................................................................... Kebutuhan Mineral Mikroba Rumen .................................... Fermentasi dalam Rumen dan Teknik Evaluasi ..............................
3 5 6 7 8 8 9 9 11 11 11 13
MATERI DAN METODE ...........................................................................
15
Waktu dan Tempat ............................................................................ Materi ............................................................................................... Alat ....................................................................................... Bahan ................................................................................... Prosedur ........................................................................................... Pembuatan Biomineral ........................................................... Penambahan Mineral Makro .................................................. Fermentasi in vitro Biomineral .............................................
15 15 15 15 15 15 16 16 vii
Perhitungan Populasi Protozoa ........ ..................................... Perhitungan Populasi Bakteri Total, Selulolitik, Amilolitik dan Proteolitik ...................................................... Perhitungan Sintesis Protein Mikroba ........................ .......... Rancangan Percobaan ...................................................................... Perlakuan .................................................................. .......... Model .................................................................................... Peubah ...................................................................................
17
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................
23
Suplementasi Biomineral .................................................................. Populasi Protozoa Total ..................................................................... Bakteri Amilolitik ............................................................................. Bakteri Selulolitik ............................................................................. Bakteri Proteolitik ............................................................................. Bakteri Total ..................................................................................... Sintesis Protein Mikroba ...................................................................
23 27 29 30 33 35 36
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................
39
Kesimpulan ...................................................................................... Saran ................................................................................................ Ucapan Terimakasih ...................................................................................
39 39 40
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
41
LAMPIRAN .................................................................................................
45
17 19 19 19 21 21
viii
DAFTAR TABEL Nomor 1.
Halaman Tabel Rataan Bobot Badan (BB) Awal, Bobot Badan (BB) Akhir, dan Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) Perbobot Badan Metabolis (BBM) Ternak ................................................................
4
2. Tabel Kebutuhan Mineral untuk Sapi Perah (Friesian Holstein) ....
6
3. Tabel Kebutuhan Mineral Sapi Pedaging (Angus) .........................
6
4. Tabel Kandungan Mineral Biomineral ............................................ 20 5. Tabel Pemberian Mineral Makro pada Perlakuan ........................... 21 6. Tabel Kandungan Zat Makanan dalam Biomineral Cairan Rumen..
24
7. Tabel Kandungan Mineral dalam Biomineral Cairan Rumen yang Telah Diperbaiki Mutunya …………………………………. …….
26
8. Tabel Rataan Populasi Protozoa Total pada Perlakuan in vitro…….
27
9. Tabel Rataan Populasi Bakteri Amilolitik pada Perlakuan in vitro...
30
10. Tabel Rataan Populasi Bakteri Selulolitik pada Perlakuan in vitro…
31
11. Tabel Rataan Populasi Bakteri Proteolitik pada Perlakuan in vitro…
34
12. Tabel Rataan Populasi Bakteri Total pada Perlakuan in vitro ……...
36
13. Tabel Sintesis Protein Mikroba Perlakuan in vitro …………………
37
ix
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Biomineral dari Cairan Rumen .......................................................
16
2. Proses Pembuatan Biomineral (Tjakradidjaja et al., 2007) ..............
17
x
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Komposisi dan Pembuatan Media Bakteri Total ..........................
46
2.
Komposisi Media Tumbuh Bakteri Amilolitik .............................
46
3.
Komposisi Media Tumbuh Bakteri Selulolitik .............................
47
4.
Komposisi Media Tumbuh Bakteri Proteolitik.............................
47
5.
Komposisi Media Stock ………………………………………..
47
6.
Komposisi dan Cara Pembuatan Larutan McDougall .................
48
7.
Komposisi dan Cara Pembuatan Larutan TCA ..........................
49
8. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Populasi Protozoa Total ...........................................................................................
49
9. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Populasi Bakteri Amilolitik ......................................................................................
49
10. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Populasi Bakteri Selulolitik ......................................................................................
50
11. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Populasi Bakteri Proteolitik......................................................................................
50
12. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Populasi Bakteri Total ..............................................................................................
51
13. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Sintesis Protein Mikroba .........................................................................................
51
xi
PENDAHULUAN Latar Belakang Produktivitas ternak dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, salah satu faktor adalah rendahnya kualitas dan kuantitas pakan, namun defisiensi berbagai nutrien mengakibatkan penurunan performa ternak. Salah satu defisiensi yang sering terjadi pada ternak adalah mineral. Proses-proses dalam tubuh ternak dapat berlangsung sempurna bila mineral tercukupi. Mineral di dalam rumen dibutuhkan oleh mikroba untuk pembentukan komponen sel, komponen enzim dan kofaktor. Dilihat dari fungsi mikroba yang berperan penting dalam proses fermentasi maka defisiensi mineral akan sangat mempengaruhi proses tersebut. Secara alami mineral esensial makro dan mikro terdapat dalam tanaman hijauan atau rumput pakan ternak, akan tetapi kandungan mineral dalam pakan tersebut kurang mencukupi kebutuhan. Keadaan iklim di Indonesia yang tidak menentu dan kondisi tanah yang biasa digunakan untuk menanam hijauan pakan adalah tanah yang kandungan unsur haranya kurang terutama Ca dan P, maka hijauan yang ditanam di tanah yang miskin unsur hara ini mengandung mineral yang sedikit pula. Ternak yang mengkonsumsi hijauan ini akan mengalami defisiensi mineral. Defisiensi mineral yang terjadi pada ternak dapat diatasi dengan pemberian suplemen mineral premix atau biomineral. Biomineral cairan rumen adalah suplemen mineral organik yang dibuat dari mikroba cairan rumen. Cairan rumen adalah produk sampingan usaha peternakan yang terbatas pemanfaatannya. Pembuatan biomineral dari cairan rumen limbah rumah potong hewan (RPH) merupakan salah satu cara pemanfaatan yang baik, karena selain dapat memanen kandungan mineralnya, juga dapat menghindari permasalahan lingkungan yang diakibatkan oleh pembuangan bahan organik ke lingkungan secara langsung. Biomineral kaya akan kandungan mineral mikro seperti Fe, Zn, Se, Al, dan Cu, akan tetapi rendah kandungan mineral makronya seperti Ca, P, Mg, dan S (Tjakradidjaja et al., 2007; Suganda, 2009), oleh karena itu perlu dilakukan penambahan mineral makro yang kurang untuk mendapatkan biomineral yang lebih baik. Biomineral cairan rumen sudah digunakan sebagai suplemen untuk ternak
1
ruminansia dalam beberapa penelitian dan berpengaruh positif terhadap performa ternak. Mikroba rumen penting bagi hewan ruminansia karena selain mampu memecah serat kasar, mikroba dapat juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan protein dan vitamin inangnya. Menurut Suganda (2009), penggunaan suplemen biomineral yang diperkaya kadar Ca-nya pada anak sapi diduga dapat meningkatkan aktivitas mikroba di dalam rumen. Ruckebusch dan Thivend (1980) menyatakan bahwa Ca ikut serta dalam sintesis dan stabilitas struktur dinding sel mikroba, Ca juga diperlukan untuk mengaktifkan berbagai macam enzim mikroba seperti αamilase, dan Ca diperlukan oleh mikroba rumen untuk mencerna selulosa. Perbaikan ini dapat meningkatkan produksi berupa pertambahan bobot badan (PBB) yang lebih besar. Suganda (2009) menyatakan bahwa anak sapi yang hanya diberi pakan kontrol mempunyai PBB sebesar 0,097 kg/hari, sedangkan anak sapi yang diberi pakan kontrol + biomineral mempunyai PBB lebih baik yaitu 0,150 kg/hari. Hasil percobaan Suganda (2009) memperlihatkan bahwa, dari PBB ternak dapat diduga bahwa penggunaan biomineral sebagai suplemen mineral dapat memperbaiki dan menstimulasi aktivitas mikroba rumen dalam mencerna dan menggunakan serat. Hal ini meningkatkan ketersediaan zat makanan untuk PBB. Menurut Suryahadi (1996), ternak di Indonesia harus diberi asupan mineral sekitar 1,5 sampai 2 kali kebutuhan NRC untuk mendapatkan produksi yang optimal, sehingga harus dilakukan perbaikan mutu biomineral dengan cara penambahan mineral makro yang kurang. Dengan demikian perlu diketahui manfaat penggunaan biomineral yang telah diperbaiki mutunya terhadap aktivitas mikroba rumen terutama aspek mikrobiologis rumen yaitu populasi dan sintesis protein mikroba rumen. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek penggunaan suplemen biomineral yang telah ditingkatkan mutu kandungannya dengan penambahan mineral Ca, P, Mg, dan S pada berbagai taraf terhadap populasi bakteri dan protozoa rumen maupun sintesis protein mikroba.
2
TINJAUAN PUSTAKA Biomineral dan Mineral Organik Suplemen mineral dapat diproduksi dari cairan rumen limbah rumah potong (RPH). Cairan rumen mengandung zat makanan, seperti protein, vitamin, mineral, dan lain-lain, yang diproduksi oleh mikroba rumen. Potensi nutrien dari cairan rumen ini dapat dimanfaatkan dan diolah menjadi suplemen biomineral (Tjakradidjaja et al., 2007). Biomineral merupakan salah satu bentuk suplemen mineral yang mempunyai nilai biologis cukup baik bila ditinjau dari segi nutrien mikroba rumen. Cara menghasilkan biomineral dari cairan rumen limbah rumah potong, dapat dilakukan dengan proses pemanenan produk inkorporasi zat makanan oleh mikroba rumen ke dalam protein mikrobalnya melalui penggunaan pelarut asam, pengendapan, penambahan bahan carrier dan pengeringan di bawah sinar matahari (Tjakradidjaja et al., 2009). Biomineral cairan rumen berbeda dengan mineral organik. Biomineral diperoleh dengan cara pemanenan protein mikroba rumen (Tjakradidjaja et al., 2007), sementara mineral organik yang telah banyak diproduksi telah dibuat dengan bantuan fungi atau dengan bantuan media pengikat seperti sumber protein. Pada pembuatan mineral organik yang dilakukan Chaerani (2004), mineral anorganik Zn++ dan Cu++ diikat oleh gugus karboksil dari protein ampas tahu. Penggunaan mineral mikro organik dapat meningkatkan pertumbuhan, reproduksi, dan kesehatan ruminansia karena bioavaibilitasnya lebih tinggi atau lebih mirip dengan sumber mineral yang tersedia di dalam tubuh. Suplemen mineral mikro organik membentuk kompleks dengan unsur logam sehingga sering disebut chelat, bentuk ini stabil di dalam saluran pencernaan sehingga akan mencegah pembentukan bentuk kompleks dengan nutrien lainnya yang akan menghambat penyerapan. Kompleks logam dapat diserap dengan memodifikasinya menjadi bentuk kimia mineral yang dapat diserap. Penggunaan suplemen mineral mikro anorganik tergantung pada kemampuan ternak dalam mengubahnya menjadi bentuk biologi aktif (Spears, 1996). Serangkaian percobaan telah dilakukan untuk mendapatkan produk biomineral cairan rumen yang optimal. Permana (2010) menyatakan bahwa level pH 5,5 adalah level pH pengasaman terbaik yang digunakan untuk mendapatkan kadar bahan kering (BK) dan kadar abu tertinggi. Lebih lanjut menurut Permana (2010), 3
penambahan bahan carrier berupa tepung terigu dan agar menyebabkan penurunan kandungan abu, protein kasar (PK), lemak kasar (LK), dan serat kasar (SK), tetapi peningkatan BETN dibandingkan dengan biomineral yang asli (origin). Penggunaan tepung terigu sebagai bahan carrier mempunyai keuntungan lain yaitu untuk memenuhi kebutuhan energi tersedia untuk sintesis protein mikroba. Pati yang terkandung dalam tepung terigu merupakan jenis karbohidrat mudah larut, namun amilopektin yang menjadi komposisi utama pati sukar larut di air dingin (Hindratiningrum et al., 2009). Mulyawati (2009) menyatakan bahwa xylosa melindungi biomineral cairan rumen dari degradasi oleh mikroba rumen yang terlihat dari penurunan konsentrasi amonia dan VFA dan peningkatan degradabilitas BK, kecernaan BK dan bahan organik (BO). Pipit (2009) menyatakan bahwa biomineral yang dienkapsulasi atau dilindungi dengan xylosa menambah ketersediaan protein dan energi, namun belum dapat meningkatkan konsumsi bahan segar, BK, PK, total digestible nutrien (TDN), produksi susu dan bobot badan sapi FH (FriesianHolstein). Tjakradidjaja et al. (2007) menyatakan bahwa nilai biologis biomineral yang cukup baik dapat dimanfaatkan untuk ternak apabila diikuti dengan tingkat bioavailabilitas dari biomineral dalam organ pasca rumen. Uji stabilitas biomineral dengan metode Tilley dan Terry (1963) menunjukkan bahwa biomineral cukup mudah difermentasi dan didegradasi di dalam rumen. Tingkat degradasi dan kecernaan BK dan BO yang cukup tinggi menunjukkan penggunaan biomineral yang baik di rumen dan organ pasca rumen. Tabel 1 menunjukkan performa ternak yang diberi biomineral cairan rumen dibandingkan dengan kontrol. Tabel 1. Rataan Bobot Badan (BB) Awal, Bobot Badan (BB) Akhir, dan Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) Perbobot Badan Metabolis (BB0,75) Ternak Peubah Perlakuan Pakan Kontrol
Kontrol + Mineral Mix
Kontrol + Biomineral
BB awal (kg)
28,957
35,431
34,259
BB akhir (kg)
33,690
41,489
41,590
PBB (kg/hari)
0,097
0,124
0,150
Konversi Pakan
0,863
0,778
0,638
Suganda (2009)
4
Pemberian biomineral 1% dari konsentrat dalam ransum pada sapi perah dapat meningkatkan performan ternak dan menghasilkan laju pertumbuhan yang lebih baik. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan konsumsi dan pencernaan nutrien, namun penggunaan biomineral belum mampu meningkatkan produksi susu (Suryahadi dan Tjakradidjaja, 2009). Suganda (2009) menyatakan bahwa pemberian biomineral 0,05 kg/ekor/hari (sekitar 1% dari konsentrat) pada sapi jantan FH lepas sapih dapat meningkatkan konsumsi ransum seperti konsumsi BK, PK, SK dan TDN. Pemberian biomineral juga dapat meningkatkan daya produksi ternak dengan menghasilkan PBB yang cukup tinggi (Tabel 1). Rakhmanto (2009) menambahkan bahwa pemberian biomineral mempengaruhi pertambahan lingkar dada dan PBB, konsumsi ransum dan konsumsi mineral Ca, K, Mg dan S. Hasil tersebut tidak berbeda dengan pemberian suplemen mineral mix. Mineral Mineral adalah elemen inorganik yang dibutuhkan makhluk hidup sebagai nutrien (Cheeke, 1999). Mineral berperan penting sebagai koenzim dan kofaktor dalam proses fisiologis ternak, baik untuk pertumbuhan maupun pemeliharaan kesehatan (Darmono, 2007). Mineral yang dibutuhkan dengan kuantitas gram per hari yang relatif banyak disebut mineral makro, termasuk diantaranya adalah Ca, P, Na, Cl, K, Mg, dan S. Mineral makro penting sebagai komponen struktural dari tulang dan jaringan serta bertindak sebagai unsur penting dalam cairan tubuh (Perry et al., 2003). Mineral makro biasanya berfungsi sebagai komponen dari struktur jaringan (Cheeke, 1999). Unsur mineral makro berperan penting dalam aktivitas fisiologis dan metabolisme tubuh (McDowell, 1992). Unsur mineral esensial baik makro maupun mikro sangat dibutuhkan untuk proses fisiologis ternak, terutama ternak ruminansia yang hampir seluruh hidupnya bergantung kepada pakan hijauan. Hijauan pakan ternak, terutama jenis rumput, yang tumbuh di tanah yang miskin unsur mineral akan kurang pula kandungan mineralnya. Akibatnya ternak yang hidup di daerah tersebut akan mengalami penyakit yang disebut penyakit defisiensi mineral (Darmono, 2007). Mineral mikro adalah mineral yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit yaitu ≤ 100 ppm yang dinyatakan dalam ppm atau ppb (McDowell, 1992). Mineral mikro di dalam jaringan tubuh terdapat dalam jumlah sedikit dan yang termasuk dalam 5
mineral mikro adalah kobalt, koper, iodin, besi, mangan, molibdenum, selenium dan seng (NRC, 1989). Mineral mikro berfungsi sebagai aktivator atau kofaktor enzim (Cheeke, 1999). Tabel 2 menunjukkan kebutuhan mineral untuk sapi perah dan Tabel 3 menunjukkan kebutuhan mineral untuk sapi pedaging. Tabel 2. Kebutuhan Mineral untuk Sapi Perah (Friesian Holstein) Laktasi Mineral
Jantan
Dara
Awal laktasi
Kering
Produksi 713 liter
Produksi 13-20 liter
Ca (%)
0,30
0,41
0,77
0,39
0,43
0,51
P (%)
0,19
0,30
0,48
0,24
0,28
0,33
Mg (%)
0,16
0,16
0,25
0,16
0,20
0,20
S (%)
0,16
0,16
0,25
0,16
0,20
0,20
Na (%)
0,65
0,65
1
0,65
0,90
0,90
Fe (ppm)
50
50
50
50
50
50
Mn (ppm)
40
40
40
40
40
40
Zn (ppm)
40
40
40
40
40
40
Sumber : NRC (1989)
Tabel 3. Kebutuhan Mineral Sapi Pedaging (Angus) Mineral Growing & Finishing Bunting
Awal laktasi
Ca ( %)
0,13
0,33
0,16
P (%)
0,05
0,20
0,09
Mg (%)
0,10
0,12
0,20
S (%)
0,15
0,15
0,15
0,06 -0,08
0,06-0,08
0,10
Fe (ppm)
50
50
50
Mn (ppm)
20
40
40
Zn (ppm)
30
30
30
Na (%)
Sumber : NRC (2000)
Defisiensi Mineral Kondisi defisiensi mineral terutama diakibatkan oleh kurangnya kandungan mineral tertentu pada pakan ternak, tetapi juga tidak menutup kemungkinan akibat terjadinya interaksi unsur-unsur mineral dalam pakan tersebut. Timbulnya penyakit 6
juga disebabkan oleh kondisi daerah, yaitu lahan kering marginal dengan curah hujan rendah (Darmono, 2007). Suryahadi (1996) menyatakan bahwa di berbagai daerah di Indonesia mengalami defisien mineral seperti Ca, Na, Zn, P dan Mg, sementara kandungan K, Fe, Mn, dan Cu dalam kisaran cukup. Parakkasi (1999) menambahkan bahwa mineral yang kemungkinan defisien di Indonesia adalah Ca, P, Mg, Co, Se, Zn, dan Si, sedangkan yang berlebihan adalah Mn. Kualitas hijauan dan kesuburan tanah di Indonesia juga merupakan hal-hal yang mempengaruhi defisien mineral (Darmono, 2007). Gejala awal dari defisiensi mineral dapat berupa penurunan reproduksi sekitar 20−75%, retensi plasenta, anak yang lahir menjadi lemah, dan angka kematian anak tinggi. Penyakit lain yang timbul adalah pneumonia, diare, stomatitis, anoreksia, dan penurunan produksi susu pada sapi perah. Terkadang defisiensi terjadi secara simultan pada ternak mengakibatkan ternak menjadi kurus, rontok bulu, depigmentasi rambut, dermatitis, abnormalitas tulang, keguguran, dan performa reproduksi yang buruk (Cheeke, 1999). Suplementasi Mineral Suplementasi mineral penting dilakukan karena mineral merupakan salah satu faktor pembatas pada ternak yang diberi pakan hijauan tropis. Beberapa mineral yang sering defisien di daerah tropis adalah P, Na, Co, Se, Cu, I, dan Zn (Cheeke, 1999). Suplementasi mineral dianjurkan harus memenuhi prinsip diantaranya mengandung Ca dan P dengan rasio sebesar 2 : 1, kecuali untuk hewan ternak yang menyusui. Bentuk suplemen mineral yang digunakan adalah yang mudah pemakaiannya dan terhindar dari kontaminasi mineral-mineral beracun, bersifat cukup tinggi palatabilitanya,
tepat
jumlah
pemberiannya,
pencampuran
harus
homogen
(Parakkasi, 1999). Mineral yang biasa ditambahkan ke dalam ransum dan rumen dapat berupa mineral organik maupun anorganik. Mineral organik adalah mineral yang dibuat dengan bantuan fungi (Silalahi, 2003) atau diikay di dalam protein seperti ampas tahu (Chaerani, 2004). Suplemen mineral anorganik adalah mineral yang dapat ditambahkan langsung ke dalam ransum. Penelitian tentang suplementasi mineral telah banyak dilakukan. Suryahadi (1996) mengatakan bahwa ternak di daerah tropis harus mendapat suplementasi mineral sekitar 1,5-2 kali kebutuhan NRC. Maramis dan Evitayani (2009) 7
menyatakan bahwa sintesis protein mikroba pada ransum (60% jerami padi + 40% pakan penguat) yang disuplementasi Ca, Mg, S dan P meningkat jika dibandingkan dengan kontrol. Zulkarnaini (2009) menyatakan bahwa suplementasi mineral P dan S pada jerami padi amoniasi mampu meningkatkan kecernaan NDF, ADF, selulosa, dan hemiselulosa, lebih lanjut lagi dikatakan bahwa kebutuhan optimal mineral P untuk mikroba rumen adalah 0,4%. Rumen Ternak ruminansia mempunyai bagian pencernaan yang besar dan multi ruang, di dalamnya juga terdapat ekosistem mikroba yang sangat kompleks yang mendukung proses fermentasi. Rumen-retikulum seperti tong fermentasi yang besar, kapasitasnya bervariasi mulai dari 3-15 liter untuk domba dan 35-100 liter untuk sapi. Rumen memiliki kisaran suhu 38-40 ºC, pH 5,5-7, tekanan osmotik cairan rumen sekitar 250 mOsm/kg, komposisi gas di dalam rumen adalah CO2 65% dan CH4 27% (Dehority dan Burk, 2003). Pakan difermentasi di dalam rumen menjadi VFA, NH3, protein mikroba dan gas (Dehority dan Burk, 2003). Hanya sedikit dari pakan hijauan yang diserap sebagai glukosa, sementara pati dan karbohidrat lainnya difermentasi ke dalam bentuk VFA (Lee, 2009). Produk akhir dari aktivitas bakteri, protozoa, dan fungi adalah asam asetat, asam propionat, dan asam butirat yang merupakan VFA, metan dan CO2 (Hobson dan Stewart, 2003). Setiap mililiter cairan rumen mengandung 1,0 x 109 sampai 5,0 x 109 bakteri, 1,0 x 106 protozoa, dan fungi dan yeast yang bervariasi (Lee, 2009). Mikroorganisme rumen dan protein pakan adalah dua sumber protein yang dapat digunakan untuk hewan ternak (Dehority dan Burk, 2003). Pada keadaan normal, protein mikroba minimal dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok dari ruminan yang bersangkutan. Mikroba Rumen Mikroba rumen terdiri dari bakteri anaerobik, dan campuran spesies protozoa anaerobik dan fungi serta flagelata yang jumlahnya bervariasi (Hobson dan Stewart, 2003). Jumlah bakteri rumen bervariasi bergantung kepada pakan, cara pemberian pakan, waktu pengambilan sampel setelah makan, perbedaan spesies, perbedaan individual spesies, musim, ketersediaan hijauan, dan ada atau tidaknya ciliata protozoa (Ensminger et al., 1990). Fermentasi mikroba terhadap serat menjadi bagian 8
terpenting pada ternak ruminansia, oleh karena itu kebutuhan yang harus terpenuhi terlebih dahulu adalah kebutuhan nutrien untuk mikroba. Tipe mikroba yang paling berperan dalam fermentasi serat adalah bakteri selulolitik dan fungi anaerobik (Bakrie et al., 1996). Protozoa Protozoa rumen merupakan protista eukariotik yang membantu pencernaan karbohidrat yang mudah tercerna seperti pati dan sebagian serat. Protozoa dibagi berdasarkan fungsinya menjadi pengguna gula terlarut, pendegradasi pati, dan penghidrolisis ligno-selulosa (Kamra, 2005). Protozoa dan bakteri amilolitik mempunyai fungsi yang sama untuk mendegradasi pati (Hungate, 1966; Ruckebusch dan Thivend, 1980; Kung, 1999; Lee, 2009). Protozoa juga umumnya memangsa bakteri untuk mendapatkan nutrien yang dibutuhkannya. Ada dua pendapat tentang keberadaan protozoa di dalam rumen. Protozoa diperlukan untuk membantu proses pencernaan nutrien di dalam rumen, namun disisi lain protozoa harus dikurangi jumlahnya di dalam rumen; hal ini karena sifatnya yang merugikan dimana ketidakmampuan protozoa dalam memenuhi kebutuhan nutriennya membuat protozoa umumnya memangsa bakteri dan juga bersifat proteolisis (Hobson dan Stewart, 2003). Kamra (2005) menyatakan bahwa ada beberapa dampak positif dengan pengurangan jumlah protozoa di dalam cairan rumen, diantaranya adanya penurunan aktivitas proteolisis, metanogenesis berkurang, peningkatan jumlah bakteri kemungkinan untuk mengambil alih fungsi protozoa, dan adanya peningkatan efisiensi konversi pakan terutama ransum yang mengandung tinggi serat. Bakteri Bakteri mempunyai fungsi dan produk yang bermacam-macam. Bakteri rumen mempunyai nama sesuai dengan fungsinya yaitu selulolitik, xylanolitik, amilolitik, dextrinolitik, pektinolitik, proteolitik, lipolitik, metanogen. Bakteri-bakteri ini menghasilkan produk yaitu asam format, asam asetat, etanol, asam propionat, asam laktat, asam butirat, suksinat, valerat, hidrogen, CO2, dan metan (Lee, 2009). Bakteri total yang terdapat dalam cairan rumen berdasarkan jenis bahan yang difermentasi dan hasil akhirnya terdiri bakteri pemanfaat selulosa, bakteri pemanfaat hemiselulosa, bakteri pemanfaat pati, bakteri penghasil metan, bakteri pemanfaat
9
gula, bakteri pemanfaat asam, bakteri pemanfaat asam, bakteri pemanfaat lipid (Dehority dan Burk, 2003) Bakteri amilolitik secara spesifik memfermentasi pati (starch). Hasil pencernaan dari gula dan pati akan menghasilkan asam propionat yang akan dikonversi menjadi glukosa di hati ternak ruminansia dan digunakan sebagai energi; dengan demikian asam propionat tergolong sebagai asam yang bersifat glukogenik (Kung, 1999). Secara umum glukosa berguna sebagai sumber energi utama bagi organ-organ tubuh, antara lain: otak, saraf, kelenjar susu dan janin. Tipe mikroba yang paling berperan dalam fermentasi serat adalah bakteri selulolitik dan fungi anaerobik (Bakrie et al., 1996). Karbohidrat merupakan sumber energi utama dalam kehidupan mikroorganisme dan ruminan itu sendiri (Parakkasi, 1999). Ada banyak hal yang mempengaruhi fermentasi serat di dalam rumen, salah satunya pakan kecukupan mineral baik makro maupun mikro yang mempengaruhi kondisi mikrobial rumen. Mineral esensial diperlukan oleh mikroba rumen untuk fungsi sel, aktivitas selulolitik dan pertumbuhan, ditambah lagi mineral juga berkontribusi sebagai kapasitas buffer (Serra, 1996). Bakteri proteolitik di dalam rumen bertanggung jawab untuk mendegradasi protein sehingga dapat dimanfaatkan oleh tubuh ternak (Lee, 2009). Degradasi protein menjadi asam amino adalah nilai penting untuk memprediksi jumlah asam amino yang diserap di usus halus dan dimanfaatkan oleh ternak. Protein didegradasi menjadi asam amino di dalam rumen dengan bantuan enzim protease dan peptidase yang dihasilkan mikroba proteolitik, kemudian asam amino ini akan mengalami katabolisme (deaminasi) lebih lanjut menghasilkan asam lemak terbang ammonia dan karbondioksida. Amonia yang terbentuk merupakan sumber nitrogen utama bagi pertumbuhan mikroba (Lee, 2009), karena amonia digunakan kembali untuk membentuk protein tubuh bakteri. Satu hal yang khas pada ternak ruminansia adalah ternak ini dapat memanfaatkan bakteri sebagai sumber proteinnya. Dehority dan Burk (2003) menyatakan bahwa ternak memiliki pasokan asam amino tidak hanya yang berasal dari protein pakan yang lolos degradasi di dalam rumen melainkan juga protein mikroba yang terbentuk sebagai hasil fermentasi di dalam rumen. Parakkasi (1999) menjelaskan bahwa komposisi asam amino mikroba rumen tidak dipengaruhi
10
oleh ransum jadi yang terpenting adalah kuantitas mikroba yang lolos sampai di usus halus untuk dicerna dan diserap sebagai asam amino. Fungi Fungi awalnya dianggap sebagai protozoa berflagela, namun memiliki miselium. Fungi anaerobik obligat mempunyai fungsi secara aktif dan positif untuk degradasi serat karena memiliki enzim pendegradasi serat. Menghilangkan fungi secara in vitro dari rumen dapat menyebabkan penurunan produksi gas dan degradasi pakan berserat. Fungi memiliki kelebihan karena dapat melakukan penetrasi yang lebih baik ke dalam lignoselulosa (Kamra, 2005). Hubungan antibiosis terjadi antara fungi dan bakteri rumen. Populasi bakteri, terutama bakteri pencerna pati atau karbohidrat yang mudah difermentasi, dapat menghambat aktivitas fungi; hal ini disebabkan oleh penurunan pH yang disebabkan oleh pertumbuhan bakteri yang tibatiba dan cepat. Populasi bakteri yang meningkat cepat membuat tidak berkurangnya energi yang digunakan sebagai media untuk melekatkan diri pada serat pakan dan germinasi bagi fungi (Dehority dan Tirabasso, 2000). Bakteriofage Bakteriofage adalah virus bagi bakteri yang terdapat di rumen dalam jumlah yang cukup besar. Bakteriofage adalah patogen obligat bagi bakteri karena bakteriofage dapat melisis bakteri. Bakteriofage dapat digunakan untuk melisis bakteri sehingga protein mikroba dapat tersedia bagi inangnya dan untuk mengurangi bakteri yang tidak diinginkan seperti metanogen (Kamra, 2005). Kebutuhan Mineral Mikroba Rumen Bagi ternak ruminansia, mineral selain digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri juga digunakan untuk mendukung dan memasok kebutuhan mikroba rumen. Apabila terjadi defisiensi salah satu mineral maka aktifitas fermentasi mikroba tidak berlangsung optimum sehingga akan berdampak pada menurunnya produktivitas ternak (McDowell et al., 2002). Mineral baik makro maupun mikro mempunyai pengaruh terhadap kondisi mikrobial rumen. Mineral esensial diperlukan oleh mikroba rumen untuk fungsi sel, aktivitas selulolitik dan pertumbuhan, mineral juga berkontribusi dalam regulasi psikokimia rumen seperti tekanan osmotik, kapasitas buffer, potensial redox, dan 11
kecepatan pencairan (dilution rate). Semuanya ini berdampak pada fermentasi rumen (Serra, 1995). Mineral berfungsi baik secara langsung maupun tidak langsung untuk meningkatkan populasi mikroba. Secara langsung mineral digunakan sebagai bahan sel tubuh seperti S dan P. Mineral S sebagai komponen asam amino sel seperti metionin, sistein, dan sistin serta vitamin B, tiamin, dan biotin (NRC, 2000). Mineral P digunakan sebagai bahan utama dinding sel yaitu pospolipid (Ruckebusch dan Thivend, 1980). Secara tidak langsung mineral digunakan untuk mengaktivasi produksi enzim mikroba untuk mendukung proses fermentasi di dalam rumen yang akhirnya akan menghasilkan energi, NH3, CO2, dan CH4 . Energi dan N yang berasal dari proses fermentasi akan digunakan untuk membentuk sel. Mineral juga berperan dalam menciptakan suasana rumen yang kondusif bagi proses fermentasi. Mineral Ca, P, Mg dan S adalah mineral esensial yang sangat dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan sel mikroba rumen (Hungate, 1966; Ruckebush dan Stivend, 1980; Komisarczuk dan Durand, 1991). Mineral P esensial untuk semua mikroorganisme karena merupakan bagian integral dari nukleotida dan beberapa koenzim. Sejumlah besar mineral S terdapat dalam asam amino yang mengandung S dalam protein mikroba. Menurut Little (1986), kebutuhan mikroba akan mineral P adalah 2,8 - 4,3 g/kg bahan kering dan S sebesar 2,5 - 3,2 g/kg bahan kering. Indikasi kebutuhan P untuk bakteri selulolitik lebih tinggi dibandingkan dengan jenis bakteri lainnya, kemungkinan kekurangan P akan mengurangi keseluruhan populasi mikroba rumen. Kekurangan S dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan mikroba terutama fungi yang keberadaannya bergantung pada keberadaan sulfida. Mineral Mg dan Ca diperlukan untuk pertumbuhan bakteri (Bakrie et al., 1996). Mineral Mg berfungsi untuk mengaktifkan berbagai enzim yang dihasilkan bakteri termasuk phospohidrolase dan phospotransferase. Mineral Ca berfungsi untuk mengaktifkan berbagai enzim seperti protease, nuklease, lipase, α-amilase, dan selulase (Ruckebusch dan Thivend, 1980). Lebih lanjut Ruckebusch dan Stivend (1980) menjelaskan bahwa mineral Ca mempunyai peran dalam menjaga stabilitas struktur dinding sel, defisiensi mineral ini dapat menyebabkan pertumbuhan dan prosesproses metabolisme yang membutuhkan Ca. Beberapa mineral lainnya yang berperan penting dalam aktivitas mikroba dalam rumen adalah zinc (Zn), selenium (Se), cobalt (Co), dan natrium (Na) (Arora, 12
1989). Mineral Zn berfungsi untuk aktivitas mikroba dalam rumen (McDonald et al., 2002) dan Mn berfungsi untuk pengaktifan enzim yang berperan dalam metabolisme protein (Williamson dan Payne, 1993). Sintesis protein mikroba membutuhkan berbagai mineral diantaranya S dan P (NRC, 1996; Pathak, 2008). Selain mineral yang mempengaruhi sintesis protein mikroba adalah sinkronisasi antara kecepatan protein yang didegradasi untuk menghasilkan amonia dengan ketersediaan energi (Khampa dan Wanapat, 2006). Elihasridas (1995) menduga bahwa tidak cukupnya energi yang tersedia akan menyebabkan amonia tidak dapat dimanfaatkan untuk sintesis protein mikroba. Selain hal yang disebutkan di atas Thomas (1973) mengatakan bahwa suplai nutrien, populasi mikroba dan kondisi lingkungan rumen mempengaruhi sintesis protein mikroba. Fermentasi dalam Rumen dan Teknik Evaluasi Ternak ruminansia dewasa memiliki rumen yang besar dan dilengkapi sejumlah besar papilla, pakan masuk pada bagian rumen-retikulum dan dicerna sepenuhnya oleh aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme rumen (Ensminger et al., 1990). Setiap jenis ternak ruminansia memiliki mikroba rumen dengan kemampuan yang berbeda-beda dalam mendegradasi ransum, sehingga mengakibatkan perbedaan kecernaan. Waktu inkubasi 3-4 jam adalah waktu optimal bagi mikroba untuk tumbuh (Sutardi, 1980; Nsereko et al., 2001). Produk fermentasi dari mikroorganisme rumen harus berada dalam bentuk yang tersedia di rumen (Dehority dan Burk, 2003). Mikroba rumen akan mencerna serat kasar untuk memproduksi VFA dan CO2. Lemak akan dicerna mikroba membentuk asam lemak dan gliserol, gliserol kemudian akan dirubah menjadi asam propionat. Hanya sedikit protein yang dapat lolos dari proses degradasi di rumen (Ensminger et al., 1990). Menurut Bakrie et al. (1996), hanya 36% protein ransum lolos dari degradasi rumen. Produk fermentasi ini akan digunakan untuk menyediakan energi untuk aktivitas dan untuk produksi, misalnya VFA yang digunakan untuk prekursor air susu (Parakkasi, 1999) dan asam propionat yang akan dikonversi menjadi gula di hati (Kung, 1999). Evaluasi ransum secara biologis dapat dilakukan secara laboratorium (in vitro dan in sacco) maupun menggunakan hewan percobaan (in vivo). Metode in vivo sangat baik digunakan untuk mengukur kecernaan ternak, namun kekurangan metode ini adalah membutuhkan sampel yang relatif banyak dan menunjukkan hasil yang 13
bervariasi karena pengaruh ternak, disamping itu juga sering kali membuat ternak stress. Untuk menghasilkan data kecernaan yang hampir sama dengan keadaan yang sebenarnya
dan
menghindari
kelemahan-kelemahan
teknik
in
vivo
maka
digunakanlah teknik in vitro dan in sacco (Theodorou dan France, 2000). Metode ini juga dapat digunakan untuk mempelajari tentang bakteri rumen (Dehority dan Burk, 2003). Ibrahim (1990) memaparkan bahwa metode in vitro juga dapat digunakan untuk mempelajari kelarutan mineral yang terdapat pada pakan. Teknik in vitro dilakukan dengan cara mencampurkan cairan rumen dengan larutan buffer (untuk mensimulasi saliva) dan sampel, seluruh cairan ini ditempatkan dalam tabung fermentor. Sampel ini kemudian difermentasi pada temperatur rumen yaitu 39º C selama waktu tertentu biasanya 24 sampai 48 jam. Tilley dan Terry (1963) telah memperkenalkan metode tersebut sebagai two stage method, metode ini paling banyak digunakan untuk mengukur kecemaan in vitro. Tahap pertama ialah inkubasi dalam larutan buffer dan cairan rumen selama 48 jam dalam kondisi anaerob, kemudian dilanjutkan tahap kedua yaitu pemberian larutan enzim pepsin dan inkubasi selama 48 jam (Tilley dan Terry, 1963).
14
MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus 2010 sampai April 2011 di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi Alat Peralatan yang dipergunakan dalam penelitian tersebut antara lain: autoclave, sentrifus, kantong plastik tahan panas, tabung sentrifus, termos, kain penyaring, shaker waterbath, labu Erlenmeyer, oven 60 °C, gegep, sudip, magnetic stirrer, tabung fermentor, tutup karet, pipet Mohr, bulp, timbangan digital, gelas ukur, spatula, pengaduk kaca, counting chamber, botol Schott, mikroskop cahaya, tabung reaksi, freezer, roller tube, spoit. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cairan rumen, tepung terigu, agar-agar, larutan mineral mikro, larutan McDougall, larutan resazurin 0,1%, gas CO2, garam formalin (formal-saline), K2HPO4, NaCl, (NH4)2SO4, KH2PO4, MgSO4, CaCl2, Na2CO3, cystein-HCl, Na2HPO4, KCl, tricloro acetic acid (TCA) dan sulfo salicylic acid (SSA), media tepung brain heart infusion (BHI), carboxy methyl cellulose (CMC), kasein, susu skim, pati, agar, glukosa, larutan hemin 0,05% dan vitamin, aquades. Prosedur Pembuatan Biomineral (Tjakradidjaja et al., 2007) Cairan rumen yang digunakan diperoleh dari rumah potong hewan (RPH) yang ada di kandang A, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Cairan rumen diendapkan dengan larutan HCl 0,1 N hingga pHnya menjadi 5,5, kemudian disaring. Bahan carier berupa tepung terigu dan ditambahkan agar-agar kemudian dikeringkan selama 2-3 hari dengan panas matahari atau menggunakan oven 60 °C. Setelah kering, bahan tersebut digiling sampai menjadi tepung biomineral seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 1, kemudian dianalisis kandungan mineralnya. Untuk lebih jelasnya, prosedur pembuatan biomineral dapat dilihat pada Gambar 2. 15
Gambar 1. Biomineral dari Cairan Rumen
Penambahan Mineral Makro Pencampuran mineral Ca, P, Mg, dan S ke dalam tepung biomineral dilakukan secara manual dengan sendok sampai tercampur semua. Sumber mineral yang ditambahkan adalah CaCO3, MgSO4.7H2O, (NH4)2SO4, dan K2HPO4. Fermentasi in vitro Biomineral (Tilley dan Terry (1963) yang dimodifikasi oleh Sutardi (1979)) Tabung fermentor diisi dengan 1 g biomineral, 12 ml larutan buffer McDougall dengan pH 6,9 dan 8 ml cairan rumen segar. Tabung lalu dikocok dan dimasukkan ke dalam shaker waterbath pada suhu 39 oC untuk menciptakan suasana yang hampir sama dengan kondisi rumen dengan dialiri CO2 selama 30 detik dan ditutup dengan karet berventilasi. Penelitian ini akan mengamati waktu inkubasi 0 dan 3 jam, sehingga pada waktu-waktu tersebut dari dalam tabung fermentor diambil masing-masing 0,05 ml sampel dan dimasukkan kedalam media stok untuk perhitungan populasi bakteri, 1 ml dimasukkan kedalam larutan triphan blue formal saline (TBFS) untuk perhitungan populasi protozoa, dan 1 ml dimasukkan kedalam tabung reaksi berisi larutan pengencer untuk perhitungan sintesis protein mikroba. Saat pengambilan sampel dari tabung fermentor harus terus dialiri CO2 agar tetap dalam suasana anaerob sehingga mikrobanya tidak mati.
16
Cairan rumen
Diendapkan dengan larutan HCl 0,1 N hingga pH 5,5
Disaring
Endapan cairan rumen
Ditambahkan agar dan tepung terigu sebagai bahan carrier
Dikeringkan dengan panas matahari atau dalam oven 60°C selam 2-3 hari
Digiling
Tepung Biomineral
Gambar 2. Proses Pembuatan Biomineral (Tjakradidjaja et al., 2007)
Perhitungan Populasi Protozoa (Ogimoto dan Imai, 1981) Sebanyak 1 ml sampel cairan sampel hasil inkubasi ditambah 1 ml larutan garam formalin (formal saline). Larutan garam formalin dibuat dari campuran formalin 4% ditambah dengan larutan NaCl fisiologis 0,9% dalam 100 ml larutan. Sebanyak ± 2 tetes campuran tersebut lalu ditempatkan pada counting chamber dengan ketebalan 0,1 mm, luas kotak terkecil 0,0625 mm2 yang terdapat 16 kotak dan jumlah kotak yang dibaca sebanyak 5 kotak. Perhitungan populasi protozoa
17
dilakukan dengan menggunakan mikroskop pada pembesaran 100 kali. Populasi protozoa dapat dihitung dengan rumus : Protozoa/ml cairan rumen =
1000 x C x FP (0,1 x 0,0625 x 16 x 5)
C = Jumlah protozoa terhitung FP = Faktor pengenceran Perhitungan Populasi Bakteri Total, Selulolitik, Amilolitik dan Proteolitik (Ogimoto dan Imai, 1981) Medium tumbuh yang digunakan untuk menghitung populasi bakteri total adalah medium BHI, yaitu campuran dari tepung BHI 3,7 g, glukosa 0,05 g, CMC 1 ml, pati (starch) 0,05 g, cystein-HCl 0,05 g, hemin 0,5 ml, resazurin 0,05 ml, dan aquades sampai 100 ml. Campuran medium tersebut dipanaskan perlahan-lahan sambil dialiri gas CO2 sampai terjadi perubahan warna dari kekuningan menjadi merah dan berubah lagi menjadi kuning bening, lalu didinginkan. Selanjutnya medium dimasukkan ke dalam tabung Hungate sebanyak 5 ml yang sebelumnya telah diisi agar Bacto sebanyak 0,15 g. Medium disterilkan dalam autoclave pada suhu 121 ºC selama 15 menit dengan tekanan 1,2 Kgf/cm3. Pada prinsipnya komposisi dan pembuatan medium untuk penghitungan populasi bakteri amilolitik, selulolitik dan proteolitik sama dengan untuk penghitungan populasi bakteri total. Perbedaan terdapat pada penggunaan sumber nutrien yang disesuaikan dengan jenis bakteri tersebut. Bahan medium tumbuh bakteri selulolitik adalah medium BHI ditambah dengan CMC 10 ml per 100 ml medium. Bahan medium tumbuh bakteri amilolitik adalah medium BHI ditambah dengan pati 0,05 g per 100 ml medium. Bahan medium tumbuh bakteri proteolitik adalah susu skim 1 g ditambahkan ke dalam 100 ml medium BHI. Sampel diencerkan terlebih dahulu dengan medium pengencer sebelum dikulturkan. Pengenceran dilakukan dengan cara berikut : 0,05 ml cairan rumen dimasukkan ke dalam 4,95 ml medium pengencer pertama. Selanjutnya diambil kembali 0,05 ml lalu dimasukkan ke dalam 4,95 ml medium pengencer kedua. Dari pengencer kedua diambil kembali 0,05 ml lalu dimasukkan ke media pengencer tiga. Hal yang sama juga dilakukan pada pengencer keempat. Seluruh pengenceran ini diikuti dengan homogenisasi. Dengan demikian di dalam pengenceran satu sampai 18
empat masing-masing mengandung bakteri 102, 104, 106, dan 108 CFU/ml. Pengenceran tersebut dilakukan sampai 4 kali (4 seri tabung). Dari masing-masing seri tabung pengenceran diambil sebanyak 0,1 ml, lalu diinokulasikan ke medium agar dan dihomogenkan dengan diputar sambil dialiri air, sehingga medium dapat memadat secara merata. Tabung yang telah diinokulasi lalu diinkubasi di dalam inkubator pada suhu 39 oC selama 24 jam. Populasi bakteri total, selulolitik, amilolitik, dan proteolitik dapat dihitung dengan rumus : Populasi bakteri = n x 10x/0,05 x 0,1 CFU/ml n = jumlah koloni yang terdapat pada tabung seri pengenceran ke-x Perhitungan Sintesis Protein Mikroba (Shultz & Shultz, 1969) Perhitungan protein yang berupa non protein nitrogen (NPN) diukur dengan menggunakan TCA dan SSA. Larutan yang akan digunakan dibuat dengan mencampurkan larutan TCA 20% dan larutan SSA 2% dengan proporsi 50:50. Sebanyak 1 ml cairan sampel hasil inkubasi dicampur dengan larutan TCA dan SSA, kemudian larutan ini dihomogenkan dengan vortex selama 2 menit. Larutan tersebut lalu disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang dan endapan ditambah dengan aquades (3 ml), kemudian ditambahkan 6 ml campuran TCA-SSA. Campuran ini dihomogenkan lagi dengan vortex selama 2 menit, kemudian disentrifuse pada kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Supernatannya dibuang dan endapannya dianalisis dengan metode mikro Kjehldal. Rancangan Percobaan Perlakuan Perlakuan yang diterapkan meliputi dua faktor. Faktor A adalah suplementasi mineral makro (Ca, P, Mg, dan S) pada biomineral dengan tingkat pemberian 0, 0,5, 1, 1,5, dan 2 kali taraf kebutuhan mineral sapi potong (Angus) yang direkomendasikan oleh NRC (2000). Faktor A adalah sebagai berikut : A1= Biomineral + 0 x kebutuhan mineral Ca, P, Mg, dan S sesuai NRC (2000) A2= A1 + 0,5 x kebutuhan mineral Ca, P, Mg, dan S sesuai NRC (2000) A3= A1 + 1 x kebutuhan mineral Ca, P, Mg, dan S sesuai NRC (2000) A4= A1 + 1,5 x kebutuhan mineral Ca, P, Mg, dan S sesuai NRC (2000) A5= A1 + 2,0 x kebutuhan mineral Ca, P, Mg, dan S sesuai NRC (2000) 19
Faktor B adalah waktu inkubasi cairan rumen secara in-vitro, sebagai berikut : B1= waktu inkubasi 0 jam B2= waktu inkubasi 3 jam Tabel 4 menunjukkan kandungan mineral dalam biomineral cairan rumen yang telah diteliti oleh Suganda (2009) dan Tabel 5 adalah mineral makro yang ditambahkan pada perlakuan. Tabel 4. Kandungan Mineral Biomineral Mineral
Jumlah
P (% BK)
0,29
K (% BK)
0,16
Ca (% BK)
0,31
Mg (% BK)
0,09
Na (% BK)
0,42
S (% BK)
0,25
Fe (ppm)
717
Al (ppm)
1343
Mn (ppm)
50
Cu (ppm)
7
Zn (ppm)
147
Co (ppm)
0,3
Ni (ppm)
1,3
Cr (ppm)
3
Se (ppm)
32,5
Keterangan : Suganda (2009)
20
Tabel 5. Pemberian Mineral Makro pada Perlakuan Mineral
Kebutuhan
Taraf Pemberian (%)
NRC (%)
0 x NRC
0,5 x NRC
1 x NRC
1,5 x NRC
2 x NRC
Ca
0,33
0
0,165
0,33
0,495
0,66
P
0,20
0
0,10
0,20
0,30
0,40
Mg
0,12
0
0,06
0,12
0,18
0,24
S
0,15
0
0,075
0,15
0,225
0,30
Model Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak kelompok (RAK) berpola faktorial 5 x 2. Faktor A taraf pemberian mineral Ca, P, Mg, dan S 0 x, 0,5 x, 1 x, 1,5 x, dan 2 x kebutuhan NRC (2000) yang ditambah ke dalam biomineral dan kontrol. Faktor B adalah waktu inkubasi, 0 dan 3 jam. Cairan rumen sapi potong dengan mineral sebagai ulangan atau kelompok. Model matematika yang digunakan adalah sebagai berikut : Yijk = µ + i + αj + ßk + αjßk + εijk Keterangan : Yijk
= nilai pengamatan kelompok ke-i, perlakuan ke-j, dan waktu inkubasi ke-k
µ
= nilai rataan umum
i
= pengaruh kelompok (cairan rumen) ke-i
αj
= pengaruh perlakuan perbaikan mutu biomineral ke-j
ßk
= pengaruh perlakuan waktu inkubasi ke-k
αjßk
= pengaruh interaksi
εijk
= galat percobaan untuk kelompok ke-i, pengaruh perlakuan mineral makro ke-j dan pengaruh perlakuan waktu inkubasi ke-k
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA) dan untuk mengetahui perbedaan antara perlakuan diuji dengan ortogonal kontras (Steel dan Torrie, 1993). Peubah Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 21
1) Populasi protozoa total yang dihitung dengan metode Ogimoto dan Imai (1981) 2) Populasi bakteri total yang dihitung dengan metode Ogimoto dan Imai (1981) 3) Populasi bakteri selulolitik yang dihitung dengan metode Ogimoto dan Imai (1981) 4) Populasi bakteri proteolitik yang dihitung dengan metode Ogimoto dan Imai (1981) 5) Populasi bakteri amilolitik yang dihitung dengan metode Ogimoto dan Imai (1981) 6) Sintesis protein mikroba dengan metode Shultz & Shultz (1969)
22
HASIL DAN PEMBAHASAN Suplementasi Biomineral Biomineral cairan rumen adalah suplemen mineral organik yang berasal dari limbah RPH. Biomineral dapat dihasilkan melalui proses pemanenan produk inkorporasi zat makanan oleh mikroba rumen melalui pelarut asam, pengendapan, penambahan carrier dan pengeringan dengan sinar matahari dan oven. Penggunaan biomineral sebagai mineral organik akan lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan mineral anorganik karena mineral ini mempunyai bioavailabilitas yang lebih tinggi atau lebih mirip dengan mineral yang digunakan di dalam tubuh (Spears, 1996). Hasil analisa komposisi zat nutrisi biomineral cairan rumen (Tabel 6) memperlihatkan bahwa kandungan nutrisi tinggi yang terdapat dalam biomineral cairan rumen adalah abu, yaitu 21,86 %. Nilai ini menunjukkan bahwa biomineral berpotensi untuk dipakai sebagai suplemen mineral bagi ternak karena menurut Perry et al. (2003), kadar abu merupakan total mineral yang terdapat dalam suatu bahan. Biomineral yang dienkapsulasi dengan limbah kertas mengandung kadar abu yang lebih sedikit yaitu 9,29% (Mulyawati, 2009), dan mineral mix mengandung kadar abu paling tinggi yaitu 78,67% karena mineral mix sedikit sekali mengandung bahan organik (Suganda, 2009). Biomineral cairan rumen mengandung PK 15,79% dan BETN sebesar 56,57%, sementara kandungan PK dan BETN biomineral dienkapsulasi masingmasing 11,27% dan 77,40% (Mulyawati, 2009) jauh lebih tinggi dari mineral mix (PK 0,84%, dan BETN 15,83%). Hal ini dapat dijelaskan karena kandungan PK biomineral berasal dari protein mikroba yang terdapat di dalam cairan rumen yang menjadi bahan baku pembuatan biomineral dan tepung terigu dan agar-agar yang ditambahkan sebagai bahan carrier mengandung pati yang cukup tinggi. PK dan BETN yang baik pada biomineral cairan rumen berpotensi dalam upaya meningkatkan sintesis protein mikroba dan substrat bagi mikroba rumen. BETN merupakan karbohidrat yang mudah larut yang berasal dari bahan carrier yaitu tepung terigu sehingga diharapkan dapat sinkron dengan pelepasan N dari amonia untuk sintesis protein mikroba.
23
Tabel 6. Kandungan Zat Makanan dalam Biomineral Cairan Rumen Zat Makanan Kandungan Biomineral Cairan Rumen 86,4*
Biomineral dienkapsulasi** 92,97
Mineral Mix***
Abu
21,86*
9,29
78,67
Protein Kasar
15,79*
11,27
0,84
3,87*
1,23
0,35
Serat Kasar
1,91*
0,81
4,31
BETN
56,57*
77,40
15,83
P
0,09
0,29
0,00
Ca
0,39
0,38
43,37
Mg
0,56
0,09
0,28
Na
2,37
0,46
0,05
4,42
-
-
S
0,19
0,18
0,01
Fe
0,23
0,20
0,01
Al
0,54
0,04
0,04
Mn
196
118
127
21
9
3
Zn
29
107
30
Se
Tidak terdeteksi
0,1
4,6
BK
%BS
Lemak Kasar
Cl
Cu
%BK
%BK
ppm
99,74
Sumber : Balai Penelitian Tanah (2010) * Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, IPB (2010) ** Mulyawati (2009) *** Suganda (2009)
Tabel 6 menunjukkan bahwa kandungan mineral makro biomineral lebih tinggi dibandingkan dengan mineral makro yang terdapat di dalam biomineral dienkapsulasi kecuali mineral P. Kekurangan P dapat dipenuhi dengan penambahan mineral makro P anorganik. Kandungan mineral makro Ca dan Mg yang terdapat dalam mineral mix telah memenuhi kebutuhan sapi potong sesuai kebutuhan NRC (2000), namun kebutuhan akan mineral P dan S belum terpenuhi. Hasil analisa kandungan zat makanan pada Tabel 6 juga memperlihatkan bahwa kandungan Ca dalam mineral mix jauh melebihi kebutuhan yaitu 0,33% dan ambang yang dapat 24
ditoleransi oleh ternak sapi potong menurut NRC (2000), yaitu 4,4%; hal ini dapat membuat ketidakseimbangan mineral bahkan dapat menjadi racun bagi ternak. Biomineral yang dienkapsulasi kekurangan Mg, karena hanya mengandung 0,09% padahal kebutuhan Mg bagi ternak sapi potong adalah 0,12% (NRC, 2000). Kandungan mineral mikro biomineral lebih tinggi dibandingkan dengan biomineral dienkapsulasi dan mineral mix. Kandungan mineral mikro biomineral dan mineral mix sudah memenuhi kebutuhan ternak sapi pedaging sesuai NRC (2000). Kandungan mineral mikro biomineral telah mencukupi bahkan melebihi kebutuhan sapi potong, tetapi tidak sampai pada level toksik, sehingga diharapkan aktivitas dalam tubuh yang membutuhkan mineral ini dapat berjalan optimal. Mineral bagi ternak ruminansia dibutuhkan baik oleh inang maupun mikroba rumen. Kebutuhan mineral Ca, P, Mg, dan S ternak sapi potong (NRC, 2000) yang terdapat pada Tabel 3 dibandingkan kandungan mineral Ca, P, Mg, dan S pada biomineral cairan rumen terdapat pada Tabel 6, maka dapat dilihat bahwa biomineral cairan rumen dapat memenuhi kebutuhan mineral ternak sapi potong, kecuali unsur mineral P. Kandungan Mg biomineral cairan rumen yang mencapai 0,56% berada di atas ambang batas yang dapat ditoleransi oleh ternak yaitu 0,4%, namun menurut NRC (2000), ekses Mg bagi ternak sapi potong tidak terlalu memberi pengaruh yang signifikan. Menurut Suryahadi (1996), ternak di Indonesia harus diberi suplementasi mineral sekitar 1,5 sampai 2,0 kali untuk mendapatkan produksi yang optimal. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut harus dilakukan penambahan unsur yang defisien. Tabel 7 menunjukkan data kandungan mineral dalam biomineral cairan rumen yang telah diperbaiki mutunya. Biomineral cairan rumen mengandung unsur mineral mikro yang cukup tinggi (Tabel 6), namun kandungan unsur mineral makronya kurang untuk memenuhi kebutuhan mineral sampai 2 kali kebutuhan NRC (2000). Perlu adanya penambahan mineral makro ke dalam biomineral cairan rumen untuk memperbaiki kualitasnya. Dalam penelitian ini dilakukan perbaikan mutu biomineral cairan rumen dengan menambahkan unsur Ca, P, Mg dan S yang didapatkan dari CaCO3, MgSO4.7H2O, (NH4)2SO4, dan K2HPO4, dengan level 0,5 x, 1 x, 1,5 x, dan 2 x NRC sapi potong (2000). Perbedaan angka yang terjadi antara Tabel 5 dan 7 atau antara hasil perhitungan dan analisa laboratorium Balai Penelitian Tanah (2011) tidak dapat 25
dihindarkan karena banyak faktor salah satunya homogenisasi yang kurang baik, karena homogenisasi yang dilakukan menggunakan cara manual menggunakan tangan. Hal ini sebenarnya harus dihindari karena syarat suplementasi menurut Parakkasi (1999) adalah dilakukan secara homogen agar kandungan nutrisinya tersebar merata dan menghindari efek toksisitas yang dapat terjadi. Meskipun demikian, dilihat dari hasil penelitian ini terutama pada populasi bakteri total yang ditunjukkan pada Tabel 12, dapat dikatakan bahwa penambahan mineral yang terbaik adalah pada taraf 1,5 x NRC (2000). Tabel 7. Kandungan Mineral dalam Biomineral Cairan Rumen yang Telah Diperbaiki Mutunya Mineral 0 x NRC 0,5 x NRC 1 x NRC 1,5 x NRC 2 x NRC K(%)
1,213
1,430
1,280
1,671
1,671
Na (%)
3,008
4,211
4,176
4,232
4,232
Ca (%)
0,431
0,694
0,698
0,718
0,718
Mg (%)
0,617
0,694
0,698
0,717
0,717
P (%)
0,968
1,705
1,700
1,714
1,714
S (%)
0,392
0,546
0,788
0,602
0,602
Cl (%)
3,905
3,728
3,550
4,083
4,083
Fe (%)
0,266
0,398
0,380
0,408
0,408
Zn (%)
0,003
0,004
0,004
0,005
0,005
Al (%)
0,043
0,081
0,074
0,083
0,083
Mn (%)
0,029
0,036
0,035
0,036
0,036
Sumber : Balai Penelitian Tanah (2011)
Pada penelitian ini dilakukan evaluasi pada bahan biomineral cairan rumen. Evaluasi yang dilakukan adalah terhadap aspek populasi bakteri dan protozoa rumen serta sintesis protein mikroba secara in vitro. Fermentasi in vitro biomineral cairan rumen dilakukan tanpa substrat untuk memastikan bahwa hasil fermentasi adalah murni karena pengaruh biomineral cairan rumen. Biomineral cairan rumen mengandung BETN tinggi yang berasal dari bahan carrier dan PK yang tinggi dari protein mikroba sehingga dapat dijadikan substrat. Kandungan mineral makro yang ditambahkan (Ca, P, Mg, dan S) mempengaruhi populasi mikroba baik langsung maupun tidak langsung. Secara langsung mineral digunakan sebagai bahan sel tubuh mikroba seperti S dan P. Mineral S sebagai komponen asam amino pembangun sel 26
mikroba yang mengandung sulfida (NRC, 2000) dan P digunakan sebagai bahan utama dinding sel yaitu pospolipid (Ruckebusch dan Thivend, 1980). Secara tidak langsung mineral-mineral tersebut digunakan untuk mengaktivasi enzim mikroba dan menciptakan suasana rumen yang mendukung proses fermentasi yang akhirnya akan menghasilkan energi, NH3, CO2, dan CH4. Energi dan N yang berasal dari proses fermentasi akan digunakan untuk membentuk sel mikroba sehingga populasi mikroba meningkat. Populasi Protozoa Total Kamra (2005) menyatakan bahwa kisaran normal rataan populasi protozoa pada berbagai ternak ruminansia adalah 104-106 cfu/ml cairan rumen. Kisaran ini sama dengan kisaran populasi protozoa cairan rumen dalam penelitian ini yaitu 4 log sel/ml cairan rumen atau 104 cfu/sel cairan rumen. Protozoa di dalam rumen mempunyai fungsi untuk membantu mencerna karbohidrat yang mudah dicerna seperti pati. Protozoa mempunyai keterbatasan untuk mensuplai kebutuhan nutriennya, oleh karena itu umumnya sebagian besar protozoa menjadi predator bagi bakteri untuk memperoleh sumber nitrogen dan mengubah protein bakteri menjadi protein protozoa. Tabel 8. Rataan Populasi Protozoa Total Perlakuan pada Percobaan in vitro Taraf perbaikan Inkubasi Rataan±SD biomineral (x NRC 0 jam 3 jam sapi potong, 2000) log sel/ml cairan rumen 0
4,776±0,049
4,603±0,337
4,690±0,122
0,5
4,735±0,155
4,892±0,013
4,813±0,111
1,0
4,798±0,176
4,688±0,048
4,743±0,078
1,5
4,711±0,123
4,537±0,214
4,624±0,123
2,0
4,705±0,251
4,650±0,245
4,677±0,039
Rataan±SD
4,745±0,041
4,674±0,134
4,710±0,050
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa populasi protozoa tidak dipengaruhi oleh perlakuan berupa faktor taraf penambahan mineral dan waktu inkubasi, serta tidak dipengaruhi oleh interaksi kedua faktor (Tabel 8). Perbaikan mutu biomineral
27
dengan penambahan mineral makro Ca, P, Mg, dan S sampai dengan 2 kali kebutuhan NRC (2000) tidak meningkatkan rataan populasi protozoa total. Perbaikan mutu biomineral tidak mengakibatkan kenaikan rataan populasi protozoa (Tabel 7). Hal ini akan memberikan kesempatan pada bakteri rumen untuk hidup lebih baik. Rataan populasi protozoa total yang juga tidak mengalami kenaikan secara nyata pada waktu inkubasi 3 jam dapat memberikan kesempatan pada bakteri rumen untuk dapat menggunakan mineral yang terdapat dalam biomineral dengan lebih baik untuk aktivitasnya dan pada akhirnya akan membantu pencernaan dalam rumen. Protozoa bersifat memangsa bakteri dan juga proteolisis (Hobson dan Stewart, 2003) sehingga dapat menurunkan efisiensi penggunaan nitrogen bagi inangnya. Populasi protozoa total tidak mengalami peningkatan saat diberi perlakuan, sehingga tidak akan mempengaruhi jumlah protein dan energi yang dapat diabsorbsi oleh inang. Protozoa juga berfungsi sebagai pencerna karbohidrat mudah larut seperti pati-patian yang banyak terdapat dalam konsentrat yang menjadi pakan utama pada sapi potong. Protozoa bersama bakteri amilolitik akan mencerna gula dan pati-patian sehingga ternak ruminansia dapat menggunakannya sebagai energi (Kung, 1999). Dari hasil analisa komposisi nutrien biomineral cairan rumen dapat dihitung BETN yaitu 56,57%, dan menunjukkan bahwa karbohidrat yang mudah dicerna dari biomineral ini cukup tinggi. Hal ini diharapkan dapat juga memicu peningkatan populasi dan aktivitas mikroba pencerna karbohidrat mudah dicerna seperti protozoa, namun kebutuhan protozoa akan mineral untuk aktivitasnya harus cukup. Penelitian ini menunjukkan bahwa, ternyata dengan ketersediaan karbohidrat mudah tercerna yang cukup tinggi belum mampu memberikan pengaruh peningkatan populasi protozoa, karena penambahan mineral makro pada biomineral sampai 2 kali kebutuhan NRC (2000) tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap peningkatan populasi protozoa. Hal ini menunjukkan pentingnya fungsi mineral untuk mempengaruhi peningkatan populasi protozoa rumen. Protozoa dan bakteri amilolitik mempunyai fungsi yang sama untuk mendegradasi pati. Hungate (1966) menjelaskan bahwa pencernaan pati yang dilakukan oleh protozoa akan diselesaikan oleh bakteri karena substrat akan jenuh dan permukaan yang tersedia menjadi terbatas untuk protozoa, tetapi kemungkinan 28
masih dapat digunakan oleh bakteri yang ukurannya lebih kecil. Aktivitas protozoa akan lebih optimal dengan kehadiran mineral esensial seperti mineral Ca dan Mg yang dibutuhkan untuk aktivator enzim amilase sesuai dengan pernyataan Ruckebusch dan Thivend (1980), protozoa dan bakteri amilolitik sama-sama mampu untuk menghasilkan enzim amilase. Kedua mikroba ini bersinergi untuk mendegradasi pati (starch), sehingga peruntukkan mineral ini terbagi dua yaitu untuk protozoa dan bakteri amilolitik. Hal inilah yang kemungkinan membuat perbaikan biomineral dengan penambahan mineral makro (Ca, P, Mg, dan S) sampai 2 kali kebutuhan NRC (2000) belum mencukupi. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa dengan tidak meningkatnya jumlah protozoa total pada waktu inkubasi 3 jam, mengakibatkan jumlah bakteri selulolitik, proteolitik dan total meningkat. Hal ini karena bakteri telah dapat menggunakan tambahan mineral yang diberikan dengan lebih optimal dan tanpa ada kegiatan predasi yang berlebihan yang disebabkan oleh populasi protozoa. Pemberian biomineral yang telah diperbaiki mutunya dan waktu inkubasi sampai 3 jam tidak nyata meningkatkan populasi protozoa, sehingga memberikan kesempatan untuk bakteri beraktivitas dengan lebih baik. Kamra (2005) menambahkan bahwa pengurangan jumlah protozoa di dalam cairan rumen dapat mengakibatkan beberapa hal diantaranya adanya penurunan aktivitas proteolisis, metanogenesis berkurang, peningkatan jumlah bakteri kemungkinan untuk mengambil alih fungsi protozoa, dan adanya peningkatan efisiensi konversi pakan terutama ransum yang mengandung tinggi serat. Bakteri Amilolitik Bakteri amilolitik adalah mikroba rumen yang mampu memfermentasi pati (Dehority dan Burk, 2003). Bakteri amilolitik menjadi dominan jumlahnya apabila makanan mengandung pati yang tinggi, seperti biji-bijan (konsentrat pakan ternak). Asam propionat adalah produk yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan pati yang kemudian akan dikonversi menjadi glukosa di hati dan digunakan sebagai sumber energi sehingga asam propionat bersifat sebagai bahan glukogenik (Kung, 1999). Pemberian mineral seperti mineral Ca dan Mg dapat berfungsi sebagai aktivator enzim amilase yang berasal dari bakteri amilolitik dan protozoa (Ruckebusch dan Thievend, 1980). Bakteri amilolitik dan protozoa memiliki tugas 29
utama yang sama yaitu untuk mendegradasi pati dengan bantuan enzim amilase (Lee, 2009). Efek perbaikan mutu biomineral cairan rumen dan waktu inkubasi terhadap rataan populasi bakteri amilolitik dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Rataan Populasi Bakteri Amilolitik Perlakuan pada Percobaan in vitro Taraf perbaikan Inkubasi Rataan±SD biomineral (x NRC 0 jam 3 jam sapi potong, 2000) log sel/ml cairan rumen 0
5,894±0,864
7,449±1,003
6,670±1,102
0,5
7,430±1,231
7,367±0,959
7,399±0,045
1,0
7,668±1,682
7,913±0,412
7,787±0,179
1,5
7,610±1,166
7,730±1,557
7,762±0,214
2,0
7,280±1,854
7,797±0,722
7,538±0,366
Rataan±SD
7,174±0,733
7,651±0,233
7,412±0,337
Hasil uji ragam menunjukkan populasi bakteri amilolitik dalam penelitian ini tidak berbeda nyata untuk perlakuan level perbaikan biomineral dan waktu inkubasi, begitu pula interaksi antara kedua perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan penambahan mineral makro (Ca, P, Mg, dan S) sampai 2 kali NRC belum dapat mempengaruhi populasi bakteri amilolitik baik pada 0 dan 3 jam waktu inkubasi. Tidak adanya pengaruh yang nyata dari perlakuan yang diberikan dapat diakibatkan oleh tidak adanya peningkatan dalam kadar mineral makro yang ditambahkan (Ca, P, Mg, dan S) sebagaimana yang diharapkan (Tabel 7); hal ini dapat disebabkan oleh pencampuran yang tidak homogen dari mineral makro yang ditambahkan. Bakteri Selulolitik Hasil sidik ragam menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata pada populasi bakteri selulolitik akibat perbaikan mutu suplemen biomineral (Tabel 10). Waktu inkubasi sangat nyata mempengaruhi populasi bakteri selulolitik (P<0,01), yaitu pada waktu inkubasi 3 jam populasi bakteri selulolitik lebih tinggi dibandingkan dengan 0 jam, namun tidak ada interaksi antara kedua perlakuan tersebut. Perbaikan mutu biomineral sampai 2 kali NRC belum mampu meningkatkan populasi bakteri selulolitik secara nyata sebagai akibat tidak adanya peningkatan 30
dalam kadar mineral yang ditambahkan sebagaimana yang diharapkan. Walaupun tidak terdapat peningkatan kadar mineral makro yang ditambahkan dalam biomineral yang diperkaya sebagaimana yang diharapkan (Tabel 7), dibandingkan dengan populasi bakteri selulolitik blanko (tanpa biomineral) yaitu 6,015±1,033, perlakuan penambahan biomineral menunjukkan rataan populasi yang lebih besar. Hasil ini menunjukkan bahwa terjadi pertumbuhan bakteri selulolitik pada waktu inkubasi 3 jam dan diduga bakteri selulolitik memperlihatkan adanya respon yang positif terhadap penambahan biomineral karena biomineral mengandung mineral yang dibutuhkan untuk aktivitas bakteri selulolitik seperti Ca, P, Mg, S, Zn, Co, dan Mn (Arora, 1989). Tabel 10. Rataan Populasi Bakteri Selulolitik Perlakuan pada Percobaan in vitro Taraf perbaikan Inkubasi Rataan±SD biomineral (x NRC 0 jam 3 jam sapi potong, 2000) log sel/ml cairan rumen 0
5,370±0,873
6,953±1,879
6,162±1,119
0,5
6,126±0,888
7,776±1,344
6,951±1,167
1,0
6,269±1,267
7,512±0,639
6,891±0,879
1,5
6,747±0,687
7,278±1,155
7,013±0,375
2,0
6,318±0,989
7,234±0,870
6,776±0,648
Rataan±SD
6,166±0,501
B
7,351±0,310
A
6,758±0,838
Keterangan: Superskrip huruf besar pada baris yang sama berbeda pada P<0,01
Mineral P dan S dibutuhkan untuk mencerna selulosa (Komisarczuk dan Durand, 1991). Kandungan mineral P hasil analisa yang terdapat pada Tabel 7 cenderung lebih tinggi daripada yang diharapkan yaitu pada kisaran 0,968–1,714%, untuk penambahan mineral makro mulai dari 0% sampai 2%. Menurut Zulkarnaini (2009), kebutuhan P optimal mikroba rumen adalah 0,4%. Kelebihan suplai P pada biomineral cairan rumen yang ditambahkan mineral makro P menyebabkan tidak adanya pengaruh pertambahan populasi bakteri selulolitik yang akhirnya akan berdampak pada tidak adanya efek pada pencernaan selulosa. Rataan populasi bakteri selulolitik dipengaruhi secara sangat nyata (P<0,01) oleh waktu inkubasi, pada waktu inkubasi 3 jam populasi bakteri selulolitik lebih tinggi dibandingkan dengan 0 jam. Menurut Sutardi (1980), waktu inkubasi 3-4,5 31
jam merupakan puncak aktivitas mikroba cairan rumen dalam mendegradasi pakan, sehingga produk fermentasi seperti VFA-nya juga optimal. Peningkatan aktivitas enzim selulase yang dihasilkan oleh bakteri ini akan meningkatkan optimalisasi penggunaan pakan dan performa. Hal ini sesuai dengan pendapat Nsereko et al. (2001) yang menyebutkan bahwa ternak ruminansia 3-4,5 jam setelah makan, jumlah mikroba selain protozoa meningkat. Pada inkubasi 3 jam, mineral yang terkandung dalam biomineral telah dapat digunakan dengan lebih baik oleh mikroba rumen untuk menyokong kebutuhan aktivitasnya. Mineral seperti Ca, Mg, dan S terbukti secara in vitro dapat menstimulasi aktivitas bakteri selulolitik (Hungatte, 1966). Indikasi kebutuhan P untuk bakteri selulolitik lebih tinggi dibandingkan dengan jenis bakteri lainnya, kemungkinan kekurangan P akan mengurangi keseluruhan populasi mikroba rumen. Selain itu faktor yang mempengaruhi peningkatan populasi bakteri selulolitik ini adalah karena berkurangnya kompetisi dengan protozoa. Protozoa memangsa bakteri yang terdapat pada cairan rumen dan mencernanya sebagai sumber asam amino bagi pertumbuhannya, akibatnya biomassa bakteri akan berkurang. Peningkatan populasi bakteri selulolitik pada waktu inkubasi 3 jam akan mampu menstimulasi pencernaan karbohidrat kompleks yang lebih baik dan lebih cepat. Karbohidrat kompleks dari pakan berserat tinggi dirubah menjadi VFA oleh mikroba selulolitik yang diserap untuk memenuhi kebutuhan energi dan jika kekurangan energi akan menyebabkan penurunan pertambahan bobot badan karena cadangan energi dalam tubuh dirombak, selain itu VFA tersebut digunakan sebagai prekursor air susu pada hewan laktasi (Parakkasi, 1999). Hal ini menunjukkan bahwa dengan penggunaan suplemen biomineral menunjukkan (P<0,01) peningkatan bakteri selulolitik pada waktu inkubasi 3 jam yang akan memperbaiki produksi ternak ruminansia. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil yan diperoleh Suganda (2009). Bakteri Proteolitik Bakteri proteolitik di dalam rumen bertanggung jawab untuk mendegradasi protein sehingga dapat dimanfaatkan oleh tubuh ternak (Lee, 2009). Bakteri ini menghasilkan enzim protease dan peptidase, aktivitas bakteri ini dan rangkaian kerja sistem pencernaan ruminansia dapat membuat ternak ini mampu memanfaatkan 32
sumber nitrogen yang bukan berasal dari protein. Enzim yang dihasilkan oleh bakteri proteolitik memecah ikatan peptida dan menghasilkan asam amino untuk inangnya dan dirinya untuk mensintesis asam amino sendiri (Dehority dan Burk, 2004). Efek perbaikan mutu biomineral cairan rumen dan waktu inkubasi terhadap rataan populasi bakteri proteolitik dapat dilihat pada Tabel 11. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa belum ada pengaruh secara nyata antara populasi bakteri proteolitik dengan perbaikan mutu biomineral, tetapi populasi bakteri proteolitik mengalami peningkatan (P<0,06) pada waktu inkubasi 3 jam dibandingkan 0 jam. Tidak ada interaksi antara kedua perlakuan perbaikan mutu biomineral dan waktu inkubasi. Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan mutu biomineral dengan penambahan mineral makro (Ca, P, Mg, dan S) sampai 2 kali kebutuhan NRC (2000) belum memberikan efek yang signifikan pada peningkatan rataan populasi bakteri proteolitik. Tidak adanya peningkatan rataan populasi bakteri proteolitik terhadap perlakuan dinilai baik, mengingat fungsi dari bakteri ini adalah untuk mendegradasi protein, sehingga diharapkan dengan penggunaan biomineral tidak terjadi degradasi protein berkualitas yang berlebihan. Harus diperhatikan bahwa peningkatan populasi bakteri proteolitik berarti juga dapat meningkatkan degradasi protein berkualitas oleh bakteri untuk digunakan sebagai pembentuk protein tubuh bakteri tersebut. Beberapa pendapat mengatakan bahwa keberadaan mikroba proteolitik sebaiknya dihambat agar meningkatkan jumlah protein bypass rumen yang dapat langsung diserap di usus kecil dan digunakan oleh ternak ruminansia, karena untuk keperluan mikroba dapat digunakan nitrogen yang bersumber dari bahan bukan protein misalnya urea. Ternak ruminansia tidak efisien menggunakan ransum berprotein kualitas baik karena akan didegradasi oleh mikroba rumen dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan bakteri atas asam amino baru kemudian dibypass sebagian ke usus halus (Parakkasi, 1999). Kondisi ini menjadi hal yang merugikan karena biasanya protein yang berkualitas baik harganya mahal. Penggunaan biomineral sebagai suplemen tidak meningkatkan populasi bakteri proteolitik sehingga tidak terjadi degradasi protein yang terdapat dalam pakan ternak secara berlebihan. Degradasi protein oleh mikroba proteolitik di rumen dan sintesis protein mikroba serta protein bypass inilah yang kemudian mensuplai asam amino untuk digunakan oleh ternak (Parakkasi, 1999). 33
Tabel 11. Rataan Populasi Bakteri Proteolitik Perlakuan pada Percobaan in vitro Taraf perbaikan Inkubasi Rataan±SD biomineral (x NRC 0 jam 3 jam sapi potong, 2000) log sel/ml cairan rumen 0
6,389±0,771
6,904±1,367
6,647±0,364
0,5
6,153±1,092
7,382±1,104
6,768±0,870
1,0
6,828±1,111
7,818±0,266
7,323±0,700
1,5
7,188±1,569
7,220±1,101
7,204±0,023
2,0
6,769±0,831
7,202±0,450
6,986±0,306
Rataan±SD
6,665±0,403a
7,305±0,335b
6,985±0,453
Keterangan: Superskrip huruf pada kolom yang sama berbeda pada P<0,06
Hasil analisa kandungan nutriennya menunjukkan bahwa biomineral cairan rumen mengandung PK sebesar 15,79%, angka ini cukup baik untuk memenuhi kebutuhan ternak ruminansia. Tingginya kandungan protein pada cairan rumen karena di dalamnya terdapat mikroba yang tinggi kandungan proteinnya. Melihat kandungan protein yang tinggi pada biomineral cairan rumen dapat diduga bahwa bahan ini akan meningkatkan populasi dan aktivitas mikroba proteolitik karena substrat yang tersedia cukup. Populasi bakteri proteolitik meningkat (P<0,06) pada waktu inkubasi 3 jam jika dibandingkan dengan waktu inkubasi 0 jam. Hal ini dapat terjadi karena suplementasi biomineral dapat memperbaiki aktivitas bakteri proteolitik. Beberapa mineral yang dibutuhkan untuk aktivitas bakteri proteolitik diantaranya Zn dan Mn. Zn berfungsi untuk aktivitas mikroba dalam rumen (McDonald et al., 2002) dan Mn berfungsi untuk pengaktifan enzim yang berperan dalam metabolisme protein (Williamson dan Payne, 1993). Biomineral cairan rumen mampu meningkatkan efisiensi penggunaan nitrogen baik yang berasal dari protein maupun yang tidak berasal dari protein untuk menghasilkan protein mikroba yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber asam amino bagi ternak. Bakteri Total Bakteri total di dalam rumen adalah kumpulan bakteri yang terdapat di dalam rumen yang menjalankan fungsi masing-masing, sesuai dengan enzim yang dihasilkannya. Terdapat delapan kelompok yang didasarkan pada jenis bahan yang 34
digunakan dan hasil akhir fermentasi, yaitu : bakteri pemanfaat selulosa, bakteri pemanfaat hemiselulosa, bakteri pemanfaat pati, bakteri penghasil metan, bakteri pemanfaat gula, bakteri pemanfaat asam, bakteri pemanfaat protein, bakteri pemanfaat lipid (Dehority dan Burk, 2003). Tabel 12 adalah rataan bakteri total pada percobaan in vitro, hasil ini menunjukkan bahwa perbaikan mutu biomineral cairan rumen dengan penambahan berbagai level mineral makro (Ca, P, Mg, dan S) sampai 2 kali kebutuhan NRC dapat meningkatkan populasi bakteri total pada (P<0,1). Populasi bakteri total meningkat secara nyata (P<0,05) akibat perlakuan waktu inkubasi, tetapi tidak ada interaksi antara kedua faktor. Ada pola peningkatan populasi bakteri total yang diberi biomineral dengan perbaikan mutu dibandingkan dengan blanko (tanpa biomineral) 6,368 ± 0,839 (log/ml cairan rumen). Kondisi ini dapat terjadi karena kecukupan mineral yang disediakan biomineral dengan perbaikan mutu sehingga dapat digunakan oleh mikroba untuk menstimulasi fermentasi mikroba agar berlangsung optimum sehingga akan berdampak pada peningkatan produktivitas ternak (McDowell, 1992). Perbaikan mutu biomineral dengan penambahan mineral makro Ca, P, Mg, dan S pada taraf 1,5 dan 2 kali dari kebutuhan NRC (2000) dapat meningkatkan rataan populasi bakteri total (P<0,1). Hal ini menunjukkan bahwa mineral yang terkandung dalam biomineral dan telah diberi tambahan mineral makro sampai 1,5 kali dan 2 kali kebutuhan NRC (2000) adalah taraf optimum untuk menyokong aktivitas bakteri secara total. Mineral Ca, P, Mg dan S adalah mineral esensial yang sangat dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan sel mikroba rumen (Ruckebush dan Stivend, 1980). Lebih lanjut Ruckebusch dan Stivend (1980) menjelaskan bahwa mineral Ca mempunyai peran dalam menjaga stabilitas struktur dinding sel, defisiensi mineral ini dapat menyebabkan metabolisme
yang
membutuhkan
Ca.
pertumbuhan dan proses-proses
Mineral
P
esensial
untuk
semua
mikroorganisme karena merupakan bagian integral dari nukleotida dan beberapa koenzim. Mineral Mg sangat penting untuk berbagai proses seluler sehingga diperlukan oleh semua mikroorganisme. Sejumlah besar mineral S terdapat dalam asam amino yang mengandung S dalam protein mikroba. Mineral Ca, P, Mg dan S juga terlibat dalam mengaktivasi enzim yang dibutuhkan untuk memfermentasi zat 35
makanan di dalam rumen, sehingga dengan cara lansung maupun tidak langsung kecukupan mineral ini dapat mempengaruhi populasi mikroba rumen. Tabel 12. Rataan Populasi Bakteri Total Perlakuan pada Percobaan in vitro Taraf perbaikan Inkubasi Rataan±SD biomineral (x NRC 0 jam 3 jam sapi potong, 2000) log sel/ml cairan rumen 0
5,089±1,572
7,287±0,223
6,188±1,554e
0,5
6,279±2,272
7,513±0,343
6,896±0,873e
1,0
6,607±1,568
7,411±0,507
7,009±0,568e
1,5
7,709±1,697
7,553±0,372
7,631±0,110f
2,0
7,670±1,717
7,479±0,340
7,575±0,135f
Rataan±SD
6,671±1,088b
7,448±0,104a
7,060±0,550
Keterangan: Superskrip huruf kecil pada baris yang sama berbeda nyata pada P<0,05 Superskrip huruf kecil pada kolom yang sama berbeda pada P<0,1
Waktu fermentasi (inkubasi) dalam rumen 3-4 jam setelah ternak diberi makan dapat dijadikan sebagai patokan dalam menentukan pertumbuhan dan aktivitas mikroba rumen (Sutardi, 1980). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa populasi bakteri amilolitik, proteolitik, dan selulolitik juga meningkat pada inkubasi 3 jam. Hal ini dipicu karena pada waktu inkubasi 3 jam mineral yang terdapat dalam biomineral sudah dapat digunakan secara optimal. Sintesis Protein Mikroba Sintesis protein di dalam rumen dipengaruhi oleh beberapa faktor penting seperti suplai nutrien, populasi mikroba dan kondisi lingkungan rumen (Thomas, 1973). Bakteri menggunakan NH3 untuk mensintesis proteinnya. Pemanfatan sumber nitrogen bukan protein untuk mensintesis protein mikroba akan terjadi jika sumber energi yang mudah terfermentasi tersedia. Jumlah dan kecepatan degradasi karbohidrat dengan protein yang sinergis dan cocok dengan ekologi dalam rumen akan meningkatkan efisiensi sintesis protein mikroba (Khampa dan Wanapat, 2006). Efek perbaikan mutu biomineral cairan rumen dan waktu inkubasi terhadap sintesis protein mkroba dapat dilihat pada Tabel 13. Sintesis protein mikroba tidak
36
dipengaruhi perlakuan taraf perbaikan mineral makro (Ca, P, Mg, dan S), waktu inkubasi dan interaksi kedua perlakuan itu. Tabel 13. Sintesis Protein Mikroba Perlakuan pada Percobaan in vitro Taraf perbaikan Inkubasi biomineral (x NRC 0 jam 3 jam sapi potong, 2000) mg N/g BO
Rataan±SD
0
70,895±45,810
60,582±42,784
65,739±7,292
0,5
79,918±44,895
84,529±82,688
82,223±3,260
1,0
116,605±66,144
88,473±63,837
102,539±19,893
1,5
120,946±39,172
71,955±58,391
96,450±34,642
2,0
95,228±58,969
73,908±42,797
84,568±15,075
Rataan±SD
96,718±21,559
75,889±11,030
86,304±14,728
Kandungan PK dan BETN biomineral yang cukup baik (15,79% dan 56,57%) adalah kondisi yang memungkinkan untuk sintesis protein mikroba, namun perlakuan yang diterapkan tidak dapat meningkatkan sintesis protein mikroba. Hal ini dapat diakibatkan oleh jenis karbohidrat dari bahan carrier yang digunakan, terigu, adalah amilopektin yang kurang dapat tersedia dengan cepat di dalam rumen (Hindratiningrum et al., 2009). Oleh karena fermentabilitas karbohidrat yang lambat kemungkinan tidak sinkron dengan ketersediaan nitrogen dalam rumen, yang akhirnya mempengaruhi efisiensi mikroba dalam mensintesis protein. Jumlah dan kecepatan degradasi karbohidrat dengan protein yang sinergis dan cocok dengan ekologi dalam rumen akan meningkatkan efisiensi sintesis protein mikroba (Khampa dan Wanapat, 2006). Elihasridas (1995) menduga bahwa tidak cukupnya energi yang tersedia akan mengakibatkan kelebihan amonia yang dihasilkan tidak dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen untuk menghasilkan protein mikroba. Faktor lain yang menyebabkan pengaruh perlakuan yang tidak nyata terhadap sintesis protein mikroba adalah ketersediaan dan kecukupan berbagai mineral yang dibutuhkan oleh mikroba rumen, seperti S, dan P (NRC, 2000; Pathak, 2008). Mineral S esensial bagi bakteria rumen karena sel bakteri kaya akan kandungan asam amino yang mengandung sulfur seperti metionin dan sistein (NRC, 2000). Mineral P dibutuhkan untuk sintesis ATP dan protein mikroba rumen. Ketidaktersediaan atau pun ketidakcukupan kedua mineral tersebut dapat menghambat pertumbuhan dan 37
pembentukan sel mikroba, dan membatasi aktivitas mikroba dalam memfermentasi dan mendegradasi zat makanan pakan. Meskipun kebutuhan akan mineral telah dipenuhi, kadar mineral dari biomineral yang diperbaiki tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 7) dan hal inilah yang menyebabkan tidak ada pengaruh nyata dari perlakuan perbaikan mutu biomineral terhadap sintesis protein mikroba.
38
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Perbaikan mutu biomineral dengan penambahan mineral makro Ca, P, Mg, dan S sampai taraf 2 kali kebutuhan sesuai NRC (2000) belum dapat mengakibatkan kenaikan populasi protozoa, bakteri amilolitik, selulolitik, dan proteolitik, tetapi dapat meningkatkan populasi bakteri total. Populasi bakteri selulolitik, proteolitik, dan total meningkat pada waktu inkubasi 3 jam. Saran Perlu dilakukan kajian lebih lanjut tentang pengaruh perbaikan mutu biomineral cairan rumen dengan penambahan taraf mineral makro Ca, P, Mg, dan S pada biomineral cairan rumen terhadap proses fermentasi dan kecernaan zat makanan di dalam rumen maupun penampilan produksi ternak.
39
UCAPAN TERIMA KASIH Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus sebagai Raja, Bapa, dan Sahabatku, sebagai sumber kekuatan dan hikmat sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur.Sc. selaku dosen pembimbing utama dan Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS. selaku dosen pembimbing anggota dan pembimbing akademik yang senantiasa sabar mendidik, mengarahkan, memberi ilmu dan motivasi mulai dari penyusunan proposal, jalannya penelitian hingga penulisan skripsi terselesaikan. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Dr. Sri Suharti, S.Pt., M.Si. selaku dosen pembahas seminar, Ir. Widya Hermana, MSi. selaku panitia seminar, Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, MAgr.Sc., dan Ahmad Yani, S.TP. MSi. selaku dosen penguji sidang serta Ir. Lilis Khotijah, MSi. sebagai perwakilan dari departemen INTP yang telah memberikan kritik, saran dan sumbangan pemikiran serta masukan dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih atas masukan ilmu, tiap tawa selama penelitian dan teman diskusi dari teman-teman satu penelitian (Fatma, Sulis, Sapril, Faris dan Juanda) dan tim teletubis (Nur, Utha, Widy, dan Ami, plus Eja). Terimakasih juga atas masukan dan bantuan selama penelitian yang berharga dari Bu Yani. Terima kasih untuk saudara di freno comselto (Olin, Retni, Vera, Sisca, Tian, dan Boris) untuk setiap sharing, berbagi nilai-nilai yang berharga dan telah menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk dapat saling menguatkan. Terimakasih untuk Korsues si ‘semangat’ku. Terimakasih untuk teman-teman komkes, asistensi agama Kristen, dan kopral atas semua pelajaran berharga dan menjadi wadah bertumbuh dalam kasih. Teman-teman antraks 44. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas bantuan dari semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga Tuhan memberkati. Terakhir terimakasih untuk kedua orang tua dengan cinta kasih yang terbaik, kak Lasma, Vita, Melin dan Yuda untuk semua sukacita yang dibagi dan kalian salah satu alasan bagi penulis untuk selalu mencoba memberikan yang terbaik. Semoga skripsi ini bermanfaat. Amin. Bogor Januari 2011 Penulis 40
DAFTAR PUSTAKA Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Hewan Ruminansia. Penerjemah : R. Muwarni. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Bakrie, B., J. Hogan, J.B. Liang, A.M.M. Tereque, & R.C. Upadhay. 1996. Ruminant Nutrition and Production in the Tropics and Subtropics. Autralian Center for International Agriculture Research, Canberra. Chaerani, L. 2004. Pemberian ransum suplemen yang mengandung ikatan ampas tahu dengan seng dan tembaga untuk meningkatkan produksi susu sapi perah di Pengalengan. Skripsi. Fakultas Peternakan, Insitut Pertanian Bogor, Bogor. Cheeke, P. R. 1999. Apllied Animal Nutrition. Prentice-Hall, New Jersey. Darmono. 2007. Penyakit defisiensi mineral pada ternak ruminansia dan pencegahannya. Jurnal Litbang Pertanian: 26: 104-108. Dehority, B.A. & P.A. Tirabasso. 2000. Antibiosis between ruminal bacteria and ruminal fungi. Applied and Environmental Microbiology 66: 2921-2927. Dehority, B.A. & A. Burk. 2003. Rumen microbiology. Nottingham university press, Nottingham. Elihasridas. 1995. Pengaruh penggunaan ubi jalar-urea kompleks terhadap biosintesis protein mikroba. Tesis. Program pasca sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ensminger, M.E., J.E. Oldfield, & W.W. Heinemann. 1990. Feeds and Nutrition. The Ensminger Publishing, California. Hindratiningrum, N., M. Bata, & Suparwi. 2009. Produksi protein mikroba dan neraca nitrogen sapi lokal jantan yang diberi jerami pada amoniasi. Animal Production 11: 116-121. Hobson, P. N. & C. S. Stewart. 1997. The Rumen Microbial Ecosystem. Blackie Academic and Professional, London. Hungate, R.E. 1966. The Rumen and Its Microbes. Academic Press, London Ibrahim, M. N. M., A. Van Der Kamp, G. Zemmelink, & S. Tamminga. 1990. Solubility of mineral element present in rumen feeds. Journal Agriculture Science 114: 265-274. Kamra, D. N. 2005. Rumen microbial ecosystem. Current Science 89 : 1-2. Khampa, S. & M. Wanapat. 2006. Supplementation levels of concentrate containing high levels of cassava chip on rumen ecology and microbial protein synthesis in cattle. Pakistan Journal Nutrition 5: 501‐506. Komizarczuk, S. & M. Durrand. 1991. Effect of mineral on microbial metabolism. Rumen Microbial Metabolism and Ruminant Digestion. J.P. Jouany (Ed) INRA publ., Versailes. Kung, L. 1999. The Role of Fiber in Ruminant Ration Formulation. Department of Animal & Food Sciences. University of Delaware, Delaware.
41
Lee,
I. C. 2009. Animal Nutrition Handbook. Second revision. "http://arbl.cvmbs.colostate.edu/," and others. [17 november 2010].
Little, D. A. 1986. The Mineral Content of Ruminant Feed and the Potential for Mineral Supplementation in South-East Asia with Particular Reference to Indonesia. In R.M. Dixon (Ed). IDP, Canberra. Maramis & Evitayani. 2009. Respon suplementasi mineral terhadap sintesis protein mikroba pada ternak sapi lokal di Sumatera Barat. Laporan Hibah. Padang. McDonald, P., R. A. Edward, J. F. D. Greenhalg, & C. A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 6th Edition. Ashford Colour Press, New York. McDowell, L. R. 1992. Minerals in Animal and Human Nutrition. Academic Press Inc. Publisher, San Fransisco. Mulyawati, Y. 2009. Fermantabilitas dan kecernaan in vitro biomineral dienkapsulasi. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. National Research Council. 1989. National Research Council Nutrient Requirenment of Dairy Cattle. 7th Edition. National Academy of Science. Washington D. C. National Research Council. 2000. National Research Council Nutrient Requirenment of Beef Cattle. National Academy of Science. Washington D. C. Nsereko, V. L., K. A. Beauchemin, D. P. Morgavi, L. M. Rode, A. F. Furtado, T. McAllister, & Iwaasa. 2002. Effect of a fibrolytic enzyme preparation from Trichoderma longibrachiatum on the rumen microbial population of dairy cows. Canadian Journal of Microbiology 48: 14-20. Ogimito, K. & S. Imai. 1981. Atlas of Rumen Microbiology. Japan Scientific Societies Press, Tokyo. Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Penerbit UI press, Jakarta. Pathak. A. K. 2008. Various factors affecting microbial protein synthesis in the rumen. Veterinary World 1: 186-189. Permana, Z. 2010. Konsumsi, kecernaan dan performa tikus putih yang diberi ransum suplementasi biomineral cairan rumen. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Perry, T. W., A.E. Cullison, & R.S. Lowry. 2003. Feeds and Feeding. Book News Inc. Portland. Pipit. 2009. Respon produksi susu sapi FH terhadap pemberian suplemen biomineral dienkapsulasi. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rakhmanto, F. 2009. Pertambahan ukuran tubuh dan bobot badan pedet sapi FH jantan lepas sapih yang diberi ransum bersuplemen biomineral cairan rumen. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ruckebush Y. & P. Thievend. 1980. Digestive Physiology and Metabolism in Ruminants. Avi Publishing. Connecticut.
42
Serra, S. D., A. B. Serra, T. Ichinohe, & T. Fujuhara. 1996. Ruminal solubilization of macrominerals in selected Philippine forages. Journal of Animal Science. 9: 75-81. Shultz T. A. & E. Shultz. 1969. Estimation of rumen microbial nitrogen by three analytical methods. Journal Dairy Science 53: 781-784. Silalahi, R. E. 2003. Uji Fermentabiltas dan kecernaan in vitro suplemen Zn anorganik dan Zn organik dalam ransum ruminansia. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Spears, J. W. 1996. Organic trace minerals in ruminant nutrition. Animals Feed Science Techology 58: 151-163. Steel, R. G. D. & J. H Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Penerjemah : M. Syah. Edisi ketiga. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Suganda. 2009. Performa sapi jantan Fresian-Holstein lepas sapih yang diberi ransum mengandung suplemen biomineral isi rumen. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suryahadi. 1996. Analisis Ketersediaan Mineral Pakan sebagai Landasan Penanggulangan Defisiensi Mineral pada Ternak. Laporan Penelitian. PAU Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suryahadi & A. S. Tjakradidjaja. 2009. Dairy cattle nutrition in Indonesia problems and solutions. A paper presented in International Seminar in Dairy Cattle: Improving Productivity of Dairy Catlle using Natural Product. Faculty of Animal Science-Andalas University, 2-3 June 2009. Padang. Sutardi, T. 1979. Ketahanan Protein Bahan Makanan terhadap Degradasi Mikroba Rumen dan Manfaatnya bagi Peningkatan Produktivitas Ternak. Prosiding Seminar Penelitian dan Penunjang Peternakan. LPP Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Jilid I. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Theodorou, M. K. & J. France. 2000. Feeding Sytems and Feed Evaluation Models. CAB International. London. Thomas P. C. 1973. Microbial Protein Synthesis. Proceedings Nutrition. 32: 85-91. Tilley, J. M. A. & R. A. Terry. 1963. A two-stage tehnique for the in-vitro digestion of forage crops. Journal British Grassland Society. 18: 104-111. Tjakradidjaja, A. S., B. Bakrie, & Suryahadi. 2007. Pengolahan dan Pemanfaatan Cairan Rumen Limbah Rumah Potong Hewan di DKI Jakarta sebagai Biomineral. Laporan Hasil Penelitian KKP3T. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat IPB bekerjasama dengan Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembagan Pertanian, Bogor. Tjakradidjaja, A. S., Suryahadi, B. Bakrie, & Z. Permana. 2009. Nutrient Potential of Biomineral Supplement for Dairy Calf Produced from Fluid Byproduct of Slaughter House. A paper presented in International Seminar in Dairy Cattle: 43
Improving Productivity of Dairy Cattle using Natural. Product; Faculty of Animal Science-Andalas University, 2-3 June 2009. Padang. Williamson A. R. T & T. W. Payne. 1993. An Introduction to Animal Husbandry in the Tropics. 5th Edition. Univesity Press. Cambridge. Zulkarnaini. 2009. Pengaruh suplementasi mineral P dan S pada jerami padi amoniasi terhadap kecernaan NDF, ADF, selulosa dan hemiselulosa. Jurnal Ilmiah Tambua 8: 473-477.
44
LAMPIRAN
45
Lampiran 1. Komposisi dan Pembuatan Media Bakteri Total (100 ml) Bahan : BHI powder
3,70 g
Glukosa
0,05 g
CMC
1 ml
Starch
0,05 g
Cystein-HCl
0,05 g
Hemin (0,05 %)
0,5 ml
Resazurin
0,05 ml
Aquades sampai 100 ml Cara pembuatan : Semua bahan dimasukkan ke dalam botol Scotch kecuali cystein-HCl, kemudian ditambahkan aquades sampai volume 100 ml. Larutan tersebut dimasak sampai mendidih dan didinginkan sambil dialiri gas CO2. Setelah larutan dingin, cystein-HCl dimasukkan. Larutan dicek pHnya, pH yang diinginkan adalah 7, kemudian dialiri gas CO2 hingga berubah warna dari merah menjadi kuning. Larutan media (5 ml) dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang terlebih dahulu telah ditambahkan dengan 2 sendok muncung (0,15 g) agar bacto, dan diautoclave selama 15 menit. Cara pembuatan media tumbuh amilolitik, selulolitik, dan proteolitik sama dengan cara pembuatan media tumbuh bakteri total; namun demikian komposisi media tumbuhnya berbeda.
Lampiran 2. Komposisi Media Tumbuh Bakteri Amilolitik (100 ml) Bahan : BHI powder
3,70 g
Starch
0,05 g
Cystein-HCl
0,05 g
Hemin (0,05 %)
0,5 ml
Resazurin
0,05 ml
Aquades sampai 100 ml
46
Lampiran 3. Komposisi Media Tumbuh Bakteri Selulolitik (100 ml) Bahan : BHI powder
3,70 g
CMC
10 ml
Cystein-HCl
0,05 g
Hemin (0,05 %)
0,5 ml
Resazurin
0,05 ml
Aquades sampai 100 ml
Lampiran 4. Komposisi Media Tumbuh Bakteri Proteolitik (100 ml) Bahan : BHI powder
3,70 g
Glukosa
0,05 g
Susu Skim
1g
Cystein-HCl
0,05 g
Hemin (0,05 %)
0,5 ml
Resazurin
0,05 ml
Aquades sampai 100 ml
Lampiran 5. Media stock untuk 100 ml Bahan : Larutan Mineral I
7,5 ml
Larutan Mineral II
7,5 ml
Cystein-HCl
0,05 g
Na2CO3
0,3 g
Resazurin (0,1 %)
0,1 ml
Gliserol (80%)
0,1 ml
Aquades sampai 100 ml Cara pembuatan : Semua bahan dicampur, setelah itu dialiri gas CO2 sampai berubah warna dari biru menjadi bening. Campuran bahan ini dimasukkan ke dalam tabung reaksi (terlebih dahulu telah diisi gliserol 0,1 ml untuk setiap tabung) masing-masing 47
sebanyak 4,85 ml ditutup rapat dan dibungkus dengan isolasi, kemudian disterilkan dalam autoclave 121o C selama 15 menit. Bahan : a. Larutan Mineral I K2HPO4
0,6 g
Aquades sampai 100 ml b. Larutan Mineral II KH2PO4
0,6 g
NaCl
1,2 g
CaCl2
0,12 g
(NaH4)2SO4
1,2 g
MgSO4.7H2O
0,25 g
Aquades sampai 100 ml Cara pembuatan : Semua bahan langsung dicampurkan, tetapi dipisahkan wadahnya antara larutan mineral 1 dan 2. Untuk larutan mineral 2 CaCl2 dicampurkan terakhir. Pembuatan media pengencer sama dengan pembuatan media stock, tetapi tidak menggunakan gliserol dan volume yang dimasukkan ke dalam setiap tabung reaksi adalah 4,95 ml.
Lampiran 6. Komposisi dan Cara Pembuatan Larutan McDougall (1 l) Bahan : NaHCO3
9,8 g
Na2HPO4.7H2O
7g
KCl
0,57 g
NaCl
0,47 g
MgSO4.7H2O
0,12 g
CaCl2
0,004 g
Cara pembuatan : Semua bahan dicampurkan dalam labu Erlenmeyer, tetapi CaCl2 dimasukkan terakhir saat semua bahan telah larut. Semua bahan dihomogenkan dengan magnetic
48
stirrer dan aliri terus dengan gas CO2. Hangatkan pada suhu 37o C sebelumnya cek pHnya harus pada kisaran 6,8-7.
Lampiran 7. Komposisi dan Cara Pembuatan Larutan TCA (tricloro acetic acid)SSA (sulfo salicylic acid) 200 ml Bahan : TCA
20 g
SSA
2g
Cara pembuatan : TCA dilarutan ke dalam akuades 100 ml, ditempat terpisah SSA juga dilarutkan ke dalam akuades 100 ml. Setelah homogen, larutan TCA dan SSA dicampurkan ke dalam satu wadah dan dihomogenkan lagi. Lampiran 8. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Populasi Protozoa Total SK
Db
JK
KT
Fhit
f0,05
f0,01
Keterangan
Perlakuan
9
0,365
0,041
1,184
2,250
3,149
tn
Kelompok
3
0,146
0,049
1,424
2,960
4,601
tn
Faktor A(level bio)
4
0,165
0,041
1,204
2,728
4,106
tn
Faktor B (wkt inkubasi)
1
0,051
0,051
1,479
4,210
7,667
tn
Interaksi A*B
4
0,150
0,037
1,091
2,728
4,106
tn
Error
27
0,925
0,034
Total
39
1,437
Keterangan :
tn
: tidak berbeda nyata
Lampiran 9. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Populasi Bakteri Amilolitik SK
Db
JK
KT
Fhit
f0,05
f0,01
Keterangan
Perlakuan
9
11,707
1,301
0,990
2,250
3,149
tn
Kelompok
3
9,332
3,111
2,368
2,960
4,601
tn
Faktor A(level bio)
4
6,168
1,542
1,174
2,728
4,106
tn
Faktor B (wkt inkubasi)
1
2,274
2,274
1,731
4,210
7,677
tn
Interaksi A*B
4
3,265
0,816
0,622
2,728
4,106
tn
Error
27
35,461
1,313
Total
39
56,499
Keterangan :
tn
: tidak berbeda nyata
49
Lampiran 10. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Populasi Bakteri Selulolitik SK
Db
JK
KT
Fhit
f0,05
f0,01
Keterangan
Perlakuan
9
19,589
2,177
2,683
2,250
3,149
*
Kelompok
3
15,420
5,140
6,335
2,960
4,601
**
Faktor A(level bio)
4
3,808
0,952
1,173
2,728
4,106
tn
Faktor B (wkt inkubasi)
1
14,026
14,026
17,288
4,210
7,677
**
1
14,026
14,026
17,288
4,210
7,677
**
Total
1
14,026
Interaksi A*B
4
1,755
0,439
0,541
2,728
4,106
tn
Error
27
21,906
0,811
Total
39
56,915
0 vs 3 jam
Keterangan :
** * tn
: sangat berbeda nyata (P<0,01) : berbeda nyata (P<0,05) : tidak berbeda nyata
Lampiran 11. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Populasi Bakteri Proteolitik SK
Db
JK
KT
Fhit
f0,05
f0,06
Keterangan
Perlakuan
9
8,480
0,942
0,945
2,250
2,151
tn
Kelompok
3
5,321
1,774
1,779
2,960
2,784
tn
Faktor A(level bio)
4
2,594
0,648
0,650
2,728
2,578
tn
Faktor B (wkt inkubasi)
1
4,092
4,092
4,104
4,210
3,854
****
1
4,092
4,092
4,104
4,210
3,854
****
Total
1
4,092
Interaksi A*B
4
1,795
0,449
0,450
2,728
2,578
tn
Error
27
26,921
0,997
Total
39
40,722
0 vs 3 jam
Keterangan :
**** tn
: berbeda pada (P<0,06) : tidak berbeda nyata
50
Lampiran 12. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Populasi Bakteri Total Db
JK
KT
Fhit
F0,1
f0,05
f0,01
Perlakuan
9
25,159
2,834
2,239
1,874
2,250
3,149
*
Kelompok
3
16,097
5,576
4,298
2,299
2,960
4,601
**
Faktor A(level bio)
4
11,046
2,848
2,212
2,165
2,728
4,106
***
A4, A5 VS A1, A2, A3
1
7,866
7,866
6,301
2,901
4,210
7,677
***
A4 vs A5
1
0,013
0,013
0,010
2,901
4,210
7,677
tn
A2, A3 Vs A1
1
3,116
3,116
2,496
2,901
4,210
7,677
tn
A3 Vs A2
1
0,051
0,051
0,041
2,901
4,210
7,677
tn
Total
4
11,046
Faktor B (wkt inkubasi)
1
6,044
6,044
4,841
2,901
4,210
7,677
*
1
6,044
6,044
4,841
2,901
4,210
7,677
*
Total
1
6,044
Interaksi A*B
4
8,349
2,087
1,672
2,165
2,728
4,106
tn
Error
27
33,708
1,248
Total
39
79,965
0 vs 3 jam
Keterangan :
***
: berbeda sangat nyata (P<0,1)
** * tn
: berbeda sangat nyata (P<0,01) : berbeda nyata (P<0,05) : tidak berbeda nyata
Keterangan
Lampiran 13. Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Sintesis Protein Mikroba SK
db
JK
KT
Fhit
f0,05
f0,01
Keterangan
Perlakuan
9
14.020,205
1.557,801
0,767
2,250
3,149
tn
Kelompok
3
39.619,847
13.206,616
6,503
4,210
4,601
**
Faktor A(level bio)
4
6.472,882
1.618,220
0,797
2,728
4,106
tn
Faktor B (wkt inkubasi)
1
4.338,462
4.338,462
2,136
4,210
7,677
tn
Interaksi A*B
4
3.208,861
802,215
0,395
2,728
4,106
tn
Error
27
054.834,839
2.030.920
Total
39
108.474,891
Keterangan :
** tn
: berbeda sangat nyata (P<0,01) : tidak berbeda nyata
51