TINJAUAN PUSTAKA Cairan Rumen Faktor pembatas utama pada lingkungan rumen adalah kondisi tanpa oksigen (anaerob), kapasitas penyangga yang tinggi, tekanan osmotik, dan kompetisi antara mikroba saprofit untuk bertahan hidup (Kamra, 2005). Rumen sapi juga mengandung banyak mikroba rumen yang berpotensi sebagai protein asal mikroba rumen bagi ternak. Ekosistem populasi mikroba rumen yang terus berubah beradaptasi sesuai dengan perubahan pakan yang diberikan. Isi rumen pada dasarnya merupakan bahan pakan yang terdapat dalam rumen sebelum menjadi feses dan dikeluarkan setelah hewan dipotong, dan memiliki kandungan nutrisi cukup tinggi. Soepranianondo (2002) menyatakan bahwa kadar protein isi rumen sapi adalah 9,13% dengan kadar serat kasar 34,68%. Dehority (2004) menunjukkan nilai biologis, kecernaan dan utilisasi protein netto dari bakteri dan protozoa rumen yang cukup tinggi (Tabel 1). Tabel 1. Nilai Biologis, Kecernaan dan Utililisasi Protein Netto (NPU) Bakteri dan Protozoa Rumen Kecernaan Sejati
Utilisasi Protein
(%)
Netto (NPU)
66-87
74-79
63
82
87-91
71
Nilai Biologis Bakteri rumen Protozoa rumen Sumber : Dehority (2004)
Keberagaman spesies, ukuran dan aktivitas mikroba di rumen tidaklah tetap, namun bervariasi tergantung kepada perubahan kondisi pakan. Hobson (1989) menyebutkan bahwa hal ini akan berpengaruh pada ekosistem mikroba rumen yang terdiri dari bakteri (1010–1011 sel/ml, menunjukkan lebih dari 50 genus), protozoa siliata (104–106/ml, dari 25 genus), jamur anaerob (103–105 zoospor/ml, dari 5 genus) dan bakteriofag/ virus (108–109/ml). Bakteri ditemukan dalam cairan rumen mencapai 109–1010 per ml, dengan populasi protozoa dari 105 sampai 106 per ml ml dan kepadatan populasi jamur rumen (jamur zoospora) terdapat pada kisaran 10 3–105 per ml (Dijkstra et al., 2005). Cairan rumen banyak mengandug enzim -amilase, galaktosidase, hemisellulase, sellulase dan xilanase (Church, 1979). Penelitian Lee et al. (2002) menyebutkan bahwa cairan rumen sapi hidup kaya akan enzim selulase, amilase, protease, xilanase dan lain-lain. 4
Pencernaan Fermentatif di Rumen Ternak ruminansia mampu memanfaatkan hijauan dalam jumlah banyak dengan baik karena ternak tersebut memiliki saluran pencernaan yang kompleks dan mampu menerima hijauan (Williamson dan Payne, 1993). Hal ini karena ternak ruminansia mampu memfermentasi pakan dengan kandungan selulosa tinggi dengan bantuan dari mikroba rumen. Pakan yang dikonsumsi oleh ternak akan difermentasi oleh mikroba rumen menjadi Volatile Fatty Acid (VFA), amonia, gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2). Mikroba rumen memiliki beberapa keuntungan diantaranya mampu mensintesis sel protein yang tersedia bagi induk semang, menghidrolisis dan melakukan biohidrogenasi lemak pakan dan mensintesis lemak mikrobial, serta mensintesis vitamin B dan K kompleks (Dehority, 2004). Amonia Protein pakan tersedia yang masuk ke dalam rumen akan difermentasi atau akan lolos (bypass) dari fermentasi rumen dan dicerna di usus halus. Protein yang didegradasi akan diubah menjadi asam amino dan peptida. Asam amino kebanyakan akan dibawa oleh mikroba rumen dan tidak secara langsung digunakan untuk sintesis protein tubuhnya, namun dideaminasi dan digunakan sebagai sumber energi, menghasilkan peningkatan pada amonia, VFA rantai bercabang, CO 2 dan metan (Cheeke dan Ellen, 2010). Amonia rumen berfungsi sebagai pusat utama metabolisme nitrogen di rumen. Amonia merupakan nitrogen hasil akhir dari fermentasi protein. Amonia juga merupakan titik tolak awal sintesis asam amino bakteri dan protein mikroba. Amonia diserap lebih cepat dalam kondisi tanpa ion (non-ionized) sebagai NH3. Pada kondisi asam, amonia ada terutama sebagai ion ammonium (NH4+) yang diserap lebih lambat (Cheeke dan Ellen, 2010). NH3 + H+
NH4+
Khampa dan Wanapat (2006) menyatakan bahwa ammonia (N-NH3), karbondioksida (CO2), dan metana (CH4) di dalam rumen digunakan untuk sintesis sel mikroba. Efisiensi penggunaan NH3 bergantung kepada kondisi lingkngan rumen dan ketersediaan energi (Hungate, 1966). Apabila pakan yang diberikan defisien protein atau protein tahan degradasi oleh mikroba rumen, maka konsentrasi amonia rumen menjadi rendah dan hasilnya pertumbuhan mikroba menjadi lambat. Apabila 5
proses degradasi protein lebih cepat dibandingkan sintesis protein, maka amonia akan terakumulasi dalam cairan rumen sehingga konsentrasinya berlebihan. Jika hal ini terjadi maka amonia akan diserap darah, dibawa ke hati dan diubah menjadi urea. Sebagiannya akan masuk kembali ke rumen melalui saliva atau langsung menembus dinding rumen, tetapi sebagian besar diekskresikan melalui urin. Adapun konsentrasi optimum amonia di cairan rumen antara 85 hingga lebih dari 300 mg/l (McDonald et al., 2002). Mumpton dan Fishman (1977) menyatakan bahwa kehadiran zeolit dapat mengikat sebagian ion NH4+ yang tinggi pada penambahan NPN, menahannya sementara waktu dan melepaskannya kembali melalui proses pertukaran dengan kation-kation asal saliva yang memasuki rumen selama periode fermentasi setelah makan. Kapur pun dapat mengurangi kadar NH3 disebabkan kapur memiliki ion Ca2+ yang secara teoritis memberikan penurunan maksimum dalam kehilangan dua mol gas NH3, dengan kata lain 1 mol Ca2+ akan mencegah pelepasan 2 mol gas NH3 (Charlena et al., 2006). Volatile Fatty Acid (VFA) Fraksi pakan yang mengandung serat kasar akan difermentasi oleh mikroba rumen menjadi asam lemak atsiri atau volatile fatty acid (VFA). VFA selanjutnya difermentasi menjadi asam-asam organik, diantaranya asetat, propionat dan butirat. VFA yang terbentuk merupakan sumber energi utama dari ternak ruminansia (Dijkstra et al.,2005) karena sekitar 70-80% VFA akan diserap sebagai energi ternak. Jalur metabolisme karbohidrat dalam rumen dapat diperhatikan pada Gambar 1. Menurut McDonald et al. (2002), konsentrasi VFA dalam rumen bervariasi antara 0,2-1,5 g per 100 mL atau 10-70 mmol/L, sedangkan Sutardi (1980) menyebutkan untuk pertumbuhan mikroba rumen dibutuhkan konsentrasi VFA sebesar 80-160 mM. Proporsi relatif asam-asam yang dihasilkan juga bervariasi. Konsentrasi VFA biasanya berkaitan dengan pola fermentasi dalam rumen. Adapun menurut Dijkstra et al. (2005), faktor yang mempengaruhi pola fermentasi yaitu pakan basal, tipe karbohidrat pakan, tingkat konsumsi, frekuensi makan dan penggunaan aditif kimia.
6
Cellulose
Hemicellulose
Pectin
Fructans
Uronic Acid
Pentoses
Galactose
Pentose Pathway
Starch
Maltose
Sucrose
Fructose
Cellobiose Glucose ATP -
COO
C == O
CH3 Pyruvate
Lactate
Oxaloacetic Acid
Formate CO2 H2
Acetyl CoA
Malate Aceto-acetyl CoA Fumarate Succinate Acrylate
CH3
CH3
CH2
CH2
CH3
CH2
COOH
COOH
COOH CH4 Methane
Propionate
Acetate
Butyrate
Gambar 1. Jalur Metabolisme Karbohidrat di dalam Rumen Sumber: Cheeke dan Ellen, 2010
Degradabilitas Degradabilitas memperlihatkan tingkat degradasi yang dilakukan oleh mikroba di dalam rumen. Degradasi adalah jumlah bagian bahan pakan yang larut dan benar-benar dipecah oleh mikroba rumen. Lubis (1992) menyatakan bahwa pengukuran ini ditentukan oleh faktor kelarutan bahan pakan dan waktu inkubasi. 7
Evaluasi degradabilitas dan kecernaan dapat digunakan untuk mengetahui kualitas nutrien dari suatu pakan (Suryahadi dan Tjakradidjaja, 2009). Beberapa sifat fisik dan kimia pakan akan sangat mempengaruhi potensi degradasi pakan di dalam rumen. Sutardi et al. (1994) menyebutkan sifat fisik pakan meliputi aspek keambaan (bulkiness), daya menyerap air (water regain capacity) dan aspek kelarutan (solubility). Sifat kimia yang juga mempengaruhi degradasi antara lain komposisi nutrien, kapasitas tukar kation (cation exchange capacity) dan kapasitas penyangga (buffering capacity) (Erwanto, 1995). Beberapa faktor yang mempengaruhi degradabilitas rumen terhadap protein adalah kelarutan, dan sifat struktur fisiknya (Cheeke dan Ellen, 2010). Laju degradasi protein dan BO di rumen sangat bervariasi, hal ini bergantung kepada perbedaan kandungan nutrien, tipe protein, interaksi nutrien khususnya karbohidrat dalam pakan atau dalam rumen dan kandungan serat kasarnya (Hermon, 2009). Menurut Sutardi (1979), sumber protein ideal bagi ruminansia adalah yang memenuhi persyaratan antara lain; mampu menunjang pertumbuhan mikroba rumen yang maksimal, sebagian besar tahan terhadap degradasi mikroba rumen dan bernilai hayati atau bernilai utilisasi protein netto (NPU) yang tinggi. Kecernaan Kecernaan suatu zat makanan didefinisikan sebagai selisih antara zat-zat makanan yang dikandung dalam suatu makanan yang dimakan dan zat-zat makanan dalam feses (Anggorodi, 1994). Tilley dan Terry (1963) memperkenalkan teknik fermentasi secara in vitro untuk mengukur kecernaan pakan. Selly (1994) menyatakan bahwa kecernaan in vitro dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu pencampuran pakan, cairan rumen dan inokulan, pH kondisi fermentasi, pengaturan suhu fermentasi, lamanya waktu inkubasi, ukuran partikel sampel dan buffer. Kecernaan pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu komposisi bahan pakan, perbandingan komposisi antara bahan pakan satu dengan bahan lainnya, perlakuan pakan, suplementasi enzim dalam pakan, ternak dan taraf pemberian pakan (McDonald et al., 2002). Kecernaan BK dipengaruhi oleh kandungan protein pakan, karena setiap sumber protein memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda-beda (Sutardi, 1977).
8
Mineral Mineral merupakan salah satu komponen yang sangat diperlukan oleh mahluk hidup yang juga dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu. Hingga tahun 1950, tiga belas mineral diklasifikasikan sebagai mineral esensial yang terdiri dari mineral makro (Ca, P, K, Na, Cl, S dan Mg) dan mineral mikro atau trace element (I, Fe, Mn, Zn, dan Co). Selanjutnya sejak 1970, mineral Mo, Se, Cr, dan Fluorin ditambahkan pada daftar bersamaan dengan Ar, B, Li, Ni, Si dan Va (McDonald et al., 2002). Ruminansia membutuhkan mineral dalam jumlah yang cukup, karena mineral akan digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, dan untuk mendukung kebutuhan mikroba rumen. Arora (1989) menyebutkan mineral S, Zn, Se, Co dan Na dapat mempengaruhi proses fermentasi dalam rumen.
Selanjutnya McDowell (2003)
menambahkan bahwa unsur mineral makro seperti Ca, P, Mg, Na dan K berperan penting dalam aktivitas fisiologis dan metabolisme tubuh, sedangkan unsur mineral mikro seperti Fe, Cu, Z, Mn, dan Co diperlukan dalam sistem enzim (McDowell, 2003). Tabel 2 dan 3 menunjukkan kebutuhan mineral pada sapi perah dan pedaging. Defisiensi Mineral Mineral untuk ternak dapat ditemukan di dalam tanaman hijauan atau rumput pakan ternak. Ketersediaannya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jenis tanah, kondisi tanah, jenis tanaman, dan adanya mineral lain yang memiliki efek antagonis terhadap mineral tertentu yang dibutuhkan oleh ternak. Defisiensi ini juga disebabkan oleh kondisi daerah berupa lahan kering marginal dengan curah hujan rendah (Darmono, 2007). Bila pakan dan rumput yang dikonsumsi ternak memiliki kandungan mineral yang rendah maka ternak akan mengalami penyakit yang disebut defisiensi mineral. Defisiensi mineral ditunjukkan dengan gejala awal berupa penurunan reproduksi sekitar 20-75%, retensi plasenta, diare, penurunan produksi susu pada sapi perah, patah tulang, kulit kering dan bersisik, serta penurunan bobot badan (Darmono, 2007). Hasil penelitian Darmono dan Bahri (1989) menunjukkan bahwa sapi di wilayah Kalimantan dan Sumatera kekurangan mineral Cu dan Zn. Suryahadi (1990) menambahkan bahwa berbagai daerah di Indonesia yang meliputi dataran tinggi (Garut, Lembang, Boyolali dan Malang) dan dataran rendah (Bogor, Klaten dan Pasuruan) juga menunjukkan kadar mineral Ca, Na, Zn, P dan Mg yang rendah pada
9
sebagian besar wilayah, sedangkan mineral K, Fe, Mn dan Cu dalam kisaran yang cukup. Keadaan ini cukup memprihatinkan mengingat kandungan mineral yang terdapat di dalam konsentrat umumnya sangat beragam dan kurang memadai. Mikroba rumen membutuhkan mineral untuk pertumbuhannya (Adawiah et al., 2007). Defisiensi mineral pada ternak ruminansia akan menyebabkan aktivitas fermentasi mikrobial tidak berlangsung optimum sehingga akan berdampak pada menurunnya produktivitas ternak. Hal ini merupakan salah satu penghambat perkembangan ternak di beberapa lokasi di Indonesia. Tabel 2. Kebutuhan Mineral Sapi Perah Mineral
Jantan
Dara
Awal laktasi
Laktasi Kering
Produksi 7-
Produksi 13-
13 liter
20 liter
Ca (%)
0,30
0,41
0,77
0,39
0,43
0,51
P (%)
0,19
0,30
0,48
0,24
0,28
0,33
Mg (%)
0,16
0,16
0,25
0,16
0,20
0,20
S (%)
0,16
0,16
0,25
0,16
0,20
0,20
Na (%)
0,65
0,65
1
0,65
0,90
0,90
Fe (ppm)
50
50
50
50
50
50
Mn (ppm)
40
40
40
40
40
40
Zn (ppm)
40
40
40
40
40
40
Sumber : NRC (2001)
Tabel 3. Kebutuhan Mineral Sapi Pedaging Mineral
Growing dan Finishing
Dara
Awal laktasi
Ca ( %)
0,13
0,27
0,16
P (%)
0,05
0,19
0,09
Mg (%)
0,10
0,12
0,20
S (%)
0,15
0,15
0,15
0,06 -0,08
0,06-0,08
0,10
Fe (mg/kg)
50
50
50
Mn (mg/kg)
20
40
40
Zn (mg/kg)
30
30
30
Na (%)
Sumber : NRC (2000)
10
Suplementasi Mineral Bagi ternak ruminansia, mineral selain digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, juga untuk mendukung dan memasok kebutuhan mikroba rumen. Suplementasi mineral untuk ternak sudah banyak dilakukan baik pada skala lapang maupun skala laboratorium. Menurut Parrakasi (1999), suplemen mineral dianjurkan untuk memenuhi beberapa prinsip, antara lain mengandung 6-8% total P; rasio Ca : P sebesar 2 : 1; mensuplai 50% elemen mikro Co, Cu, I, Mn dan Zn; bentuk mineral yang mudah digunakan dan terhindar dari kontaminasi dengan mineral-mineral beracun; hendaknya cukup palatable; diperhatikan ketepatan menimbang, pencampuran yang homogen; besar partikel yang memudahkan pencampuran; kebutuhan cukup, dan daya guna setiap elemen yang digunakan dan tingkat konsumsi hewan baik. Suplementasi mineral organik dilaporkan lebih tersedia bagi ruminansia dibandingkan suplementasi mineral anorganik. McDowell (2003) menyebutkan bahwa suplementasi mineral anorganik menyebabkan rendahnya ketersediaan dan jumlah yang dapat diserap oleh tubuh ternak. Biomineral Biomineral merupakan salah satu bentuk suplemen mineral yang berbahan dasar mikroba cairan rumen limbah RPH dan memiliki nilai biologis yang cukup baik ditinjau dari segi nutrien mikroba rumen. Istilah ini terlahir agar nampak perbedaannya dengan mineral organik. Biomineral dari cairan rumen limbah RPH diperoleh melalui proses pemanenan produk inkorporasi zat makanan oleh mikroba rumen kedalam protein mikrobialnya dengan menggunakan pelarut asam, pengendapan, penambahan bahan carrier dan pengeringan di bawah sinar matahari (Tjakradidjaja et al., 2007). Berdasarkan pengukuran uji stabilitas dengan metode Tilley dan Terry (1963), biomineral cukup fermentable dan degradable di dalam rumen. Tingkat degradasi dan kecernaan bahan kering (BK) dan bahan organik (BO) yang cukup tinggi menunjukkan penggunaan biomineral yang bagus di rumen dan organ pasca rumen (Tjakradidjaja et al., 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Suganda (2009), penambahan biomineral sebesar 0,05 kg/ekor/hari pada sapi jantan FriesianHolstein lepas sapih dapat meningkatkan konsumsi ransum seperti konsumsi BK, protein kasar (PK), serat kasar (SK), dan Total Digestible Nutrient (TDN) dan
11
meningkatkan daya produksi ternak dengan menghasilkan pertambahan bobot badan yang tinggi melalui peningkatan konsumsi dan pencernaan nutrien (Suryahadi dan Tjakradidjaja, 2009). Pemberian biomineral yang dienkapsulasi dengan xilosa pada taraf pemberian 1,5% dapat menstimulasi aktivitas mikroba rumen sehingga dapat memperbaiki fermentabilitas dan kecernaan Tjakradidjaja et al. (2008). Kapur Kapur adalah istilah untuk berbagai bahan kalsium, baik CaO atau kapur tohor, maupun kalsium hidroksida atau kapur mati, sedangkan kapur tulis (CaCO3) sering dinamakan kapur berasam arang (Shadily, 1983). Batu kapur adalah kelompok batu-batuan terutama mengandung CaCO3 terbentuk dari endapan kapur atau kerangka kapur dari berbagai hewan. Komponen utama dari batu kapur adalah kalsium karbonat (CaCO3), magnesium karbonat (MgCO3), silika dan alumina. Kapur yang dijual di pasaran biasanya telah mengalami proses kalsinasi dari batuan kapur (Kusnoputranto dan Jaya, 1984). Kapur yang dihasilkan dari proses ini memiliki dua bentuk senyawaan kalsium, yaitu CaO dan Ca(OH)2. Komposisi dari kedua bentuk senyawa ini bervariasi, CaO mudah larut dalam air dan asam. CaO yang bereaksi dengan air akan menghasilkan panas yang tinggi dan juga menghasilkan gugus hidroksi yang bersifat basa. Kapur secara umum homogen atau sama di semua karakteristik kimianya, dan didominasi oleh CaCO 3, namun variasinya dapat sangat berbeda pada karakter fisiknya seperti kekerasan, kandungan fosil, dan porositas (Smith dan Viles, 2006). Kapur dapat juga berperan sebagai desinfektan yang dapat mencegah mikroba patogen melalui dua cara, yaitu absorbsi secara fisik oleh partikel-partikel kapur sehingga membentuk gumpalan-gumpalan dan mempertinggi pH sehingga menghancurkan mikroba patogen. Kapur sebagai desinfektan untuk mengurangi bau yang ditimbulkan dan mencegah perkembangan bakteri-bakteri penyebab penyakit (Tabbu dan Hariono, 1993). Kapur dapat mengurangi kadar NH3, disebabkan kapur memiliki ion Ca2+ yang secara teoritis memberikan penurunan maksimum dalam kehilangan dua mol gas NH3, dengan kata lain 1 mol Ca2+ akan mencegah pelepasan 2 mol gas NH3 (Charlena et al., 2006). Selain itu Kusnoputranto dan Jaya (1984) melaporkan bahwa semakin tinggi dosis kapur yang diberikan akan menurunkan kadar air, mengingat sifat kapur yang dapat menyerap dan bereaksi dengan air.
12
Zeolit Zeolit merupakan mineral yang mempunyai struktur 3 dimensi tetrahedral silica dan alumina. Ikatan ion Al-Si-O dapat membentuk kristal dan struktur kristal ini memiliki banyak rongga yang dapat menyimpan air dan kation (Astiana, 1989). Zeolit berasal dari batuan beku dan mengandung unsur Na, Ca, K, Mg, Si dan Ba. Kristal zeolit berisi molekul air bebas bila dalam keadaan normal ruang hampa, namun bila dipanaskan, zeolit dapat menyerap gas atau cairan (Mumpton dan Fishman, 1977). Zeolit terdiri dari dua macam, yaitu zeolit sintetik dan zeolit alam. Zeolit alam pada umumnya memiliki kristalinitas yang tidak terlalu tinggi, ukuran porinya tidak seragam, aktivitas katalitiknya rendah, dan mengandung banyak pengotor. Zeolit alam telah ditambang secara intensif di Indonesia, diantaranya di daerah Bayah, Tasikmalaya, Sukabumi dan Lampung. Unsur penyusun dari zeolit Bayah, Tasikmalaya dan Lampung adalah Al, Si, P, K, Ca, Ti, Fe, dan S. Luas permukaan zeolit Lampung sebesar 10,047 754 m², adsorpsi zeolit Lampung segar sebesar volum 24,500 ml/g pada tekanan parsial (P/Po) sama dengan 1 mmHg, dan jari-jari pori 16,065 319 Å (Aslina et al., 2007). Zeolit yang ditemukan di Lampung mempunyai kelimpahan sebesar 30 juta ton (Arryanto et al., 2002). Zeolit dapat digunakan sebagai suatu reservoir atau cadangan untuk menjaga konsentrasi amonia selama fermentasi. Zeolit memiliki keistimewaan dalam menyerap ion yang besar seperti amonium (NH4+). Hal ini menyebabkan zeolit dapat berperan sebagai satu reservoir amonia yang memperlambat perpindahan amonia dan kemudian melepaskannya berangsur-angsur untuk digunakan oleh mikroorganisme. Pada penambahan NPN dalam ransum ternak ruminansia, sering terjadi efek keracunan karena tingginya level NH4+ di dalam rumen. Zeolit juga memiliki kemampuan menarik sejumlah ion-ion positif lainnya, misalnya K+, Na+, Ca2+, dan Mg2+. Ion tersebut dapat diikat dan dilepas lagi, tergantung pada kondisi lingkungan disekitarnya. Sigit et al. (1993) menyatakan bahwa zeolit banyak mengandung kation yang bersifat alkalis sehingga zeolit mampu mempertahankan pH rumen. Kenyataan ini dapat menguntungkan sistem fermentasi di dalam rumen, terutama saat rasio penggunaan konsentrat yang lebih tinggi daripada hijauan. Hasil-hasil penelitian tentang penggunaan zeolit sebagai pakan tambahan menunjukkan efek yang positif pada ternak. Penambahan zeolit jenis aclinop 2
13
kg/100 kg ransum dan penaburan zeolit 2,5 kg/m 2 litter (R2L1) memiliki kadar air manur (15,70%) terendah dan rasio C/N (14) tertinggi dibanding perlakuan lainnya. Sigit et al. (1993) menambahkan bahwa penambahan zeolit 1,5% bahan kering konsentrat dapat meningkatkan kecernaan bahan kering ransum dan menanggulangi gangguan fermentasi dalam rumen pada penggunaan ransum tinggi konsentrat. Penggunaan zeolit 6% pada ransum ternak babi lepas sapih memperlihatkan efisiensi penggunaan makanan yang lebih baik dibandingkan penggunaan 3 dan 9% (Siagian, 1990). Penelitian Salundik dan Siregar (1991) menunjukkan bahwa zeolit juga berperan dalam mengefisiensikan penggunaan nitrogen (N) dalam pakan, kotoran ternak babi yang diberi perlakuan penambahan zeolit 9% mampu menurunkan kandungan PK dan SK dikotorannya dibandingkan yang tidak diberi zeolit. Semakin tinggi penggunaan zeolit dalam ransum akan menurunkan kadar protein kotorannya. Kotoran mengandung lebih sedikit unsur N karena unsur ini dirubah menjadi protein tubuh ternak.
14