3 September 2007
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN SERI E
12/E
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMONGAN, Menimbang
:
a. bahwa dalam rangka mencapai keberlanjutan sistim irigasi serta untuk mewujudkan peningkatan efektifitas, efisien, produktifitas dalam pengembangan dan pengelolaan serta pengamanan jaringan irigasi di Kabupaten Lamongan perlu adanya pengelolaan irigasi di Kabupaten Lamongan ; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan sebagai pelaksanaan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi, maka dipandang perlu untuk mengatur ketentuan penyelenggaraan dan Pengelolaan Irigasi di Kabupaten Lamongan dengan menetapkan dalam Peraturan Daerah.
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten di Lingkungan Propinsi Jawa Timur (Diundangkan pada tanggal 8 Agustus 1950) ; 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043) ; 224
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4048); 4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478); 5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) ; 6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377); 7. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389) ; 8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4493) yang ditetapkan dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548) ; 225
9. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Rebuplik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4438) ; 10. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3225) ; 11. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258) ; 12. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838) ; 13. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4106) ; 14. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 152, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161); 15. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593) ; 226
16. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4624); 17. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737) ; 18. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 38/PRT/M/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Bidang Pekerjaan Umum yang Merupakan Kewenangan Pemerintah dan Dilaksanakan melalui Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan ; 19. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 2 Tahun 2006 Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Timur ; 20. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 77 Tahun 1995 tentang Pembentukan dan Pembinaan Himpunan Petani Pemakai Air (Lembaran Daerah Propinsi Jawa Timur Tahun 1995, Nomor 77/D3) ; 21. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan Nomor 10 Tahun 1987 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan Tahun 1988, Nomor 1/C) ; 22. Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan Nomor 02 Tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 20062010 (Lembaran Daerah Kabupaten Lamongan Tahun 2006, Nomor 2/E) ;
227
23. Peraturan Daerah Kabupaten Lamongan Nomor 7 Tahun 2005 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan dan Partisipasi Masyarakat (Lembaran Daerah Kabupaten Lamongan Tahun 2005 Nomor 13/E). Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LAMONGAN dan BUPATI LAMONGAN MEMUTUSKAN : Menetapkan
:
PERATURAN DAERAH TENTANG IRIGASI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Daerah, adalah Kabupaten Lamongan. 3. Pemerintah Daerah, adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 4. Kepala Daerah, adalah Bupati Lamongan. 5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lamongan. 6. Dinas, adalah instansi Pemerintah Daerah yang membidangi irigasi.
228
7.
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
17. 18. 19.
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Air, adalah semua air yang terdapat pada, di atas ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan dan air laut yang berada di darat. Sumber Air, adalah tempat atau wadah air alami dan atau buatan yang terdapat pada, di atas ataupun di bawah permukaan tanah. Irigasi, adalah usaha penyediaan, pengaturan dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa dan irigasi tambak ; Daerah Irigasi, adalah kesatuan lahan yang mendapat air dari satu jaringan irigasi. Jaringan Irigasi, adalah saluran, bangunan, dan bangunan pelengkapnya yang merupakan satu kesatuan dan diperlukan untuk penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan dan pembuangan air irigasi. Jaringan Irigasi Primer, adalah bagian dari jaringan irigasi yang terdiri dari bangunan utama, saluran induk/primer, saluran pembuangannya, bangunan bagi, bangunan bagi sadap, bangunan sadap dan bangunan pelengkapnya. Jaringan Irigasi Sekunder, adalah bagian dari jaringan irigasi yang terdiri dari saluran sekunder, saluran pembuangannya, bangunan bagi, bangunan bagi sadap, bangunan sadap dan bangunan pelengkapnya. Jaringan Irigasi Desa, adalah jaringan irigasi yang dibangun dan dikelola oleh masyarakat desa atau pemerintah desa. Jaringan Irigasi Tersier adalah jaringan irigasi yang berfungsi sebagai prasarana pelayanan air irigasi dalam petak tersier yang terdiri dari saluran tersier, saluran kuarter dan saluran pembuang, boks tersier, boks kuarter, serta bangunan pelengkapnya. Petak Irigasi, adalah petak lahan yang memperoleh air irigasi. Petak Tersier, adalah kumpulan petak irigasi yang merupakan kesatuan dan mendapatkan air irigasi melalui saluran tersier yang sama. Hak Guna Air untuk Irigasi adalah hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air dari sumber air untuk kepentingan pertanian
229
20. Penyediaan Air Irigasi adalah penentuan volume air per satuan waktu yang dialokasikan dari suatu sumber air untuk suatu daerah irigasi yang didasarkan waktu, jumlah dan mutu sesuai dengan kebutuhan untuk menunjang pertanian dan keperluan lainnya. 21. Pengaturan Air Irigasi adalah kegiatan yang meliputi pembagian, pemberian dan penggunaan air irigasi. 22. Pembagian Air Irigasi, adalah kegiatan membagi air di bangunan bagi dalam jaringan primer dan/atau jaringan sekunder. 23. Pemberian Air Irigasi, adalah kegiatan menyalurkan air dengan jumlah tertentu dari jaringan primer atau jaringan sekunder ke petak tersier. 24. Penggunaan Air Irigasi adalah kegiatan memanfaatkan air dari petak tersier untuk mengairi lahan pertanian pada saat diperlukan. 25. Pembuangan Air Irigasi, selanjutnya disebut drainase adalah pengaliran kelebihan air yang sudah tidak dipergunakan lagi pada suatu daerah irigasi tertentu. 26. Himpunan Petani Pemakai Air yang selanjutnya disingkat HIPPA, adalah kelembagaan pengelolaan irigasi yang menjadi wadah petani pemakai air dalam suatu daerah pelayanan irigasi yang dibentuk oleh petani pemakai air sendiri secara demokratis, termasuk lembaga lokal pengelola irigasi. 27. Gabungan Himpunan Petani Pemakai Air yang selanjutnya disingkat GHIPPA, adalah kelembagaan dari sejumlah HIPPA yang memanfaatkan fasilitas irigasi yang bersepakat bekerjasama dalam pengelolaan irigasi pada tingkat sekunder. 28. Induk Himpunan Petani Pemakai Air yang selanjutnya disingkat IHIPPA, adalah kelembagaan dari sejumlah GHIPPA yang memanfaatkan fasilitas irigasi yang bersepakat bekerjasama dalam pengelolaan irigasi pada tingkat primer. 29. Komisi Irigasi adalah lembaga koordinasi dan komunikasi antara wakil pemerintah daerah, wakil himpunan petani pemakai air tingkat daerah irigasi dan wakil pengguna jaringan irigasi. 30. Forum Koordinasi, adalah wadah konsultasi, dan komunikasi dari dan antar himpunan petani pemakai air, petugas pemerintah kabupaten, serta pemakai air irigasi untuk keperluan lainnya dalam rangka pengelolaan irigasi pada satu atau sebagian daerah irigasi yang jaringan utamanya berfungsi multiguna, serta dibentuk atas dasar kebutuhan dan kepentingan bersama ; 230
31. Pengembangan jaringan irigasi adalah pembangunan jaringan irigasi baru dan/atau peningkatan jaringan irigasi yang sudah ada. 32. Pembangunan jaringan irigasi adalah seluruh kegiatan penyediaan jaringan irigasi diwilayah tertentu yang belum ada jaringan irigasinya. 33. Peningkatan Jaringan Irigasi, adalah kegiatan perbaikan jaringan irigasi dengan mempertimbangkan perubahan kondisi lingkungan daerah irigasi guna mengingkatkan fungsi dan pelayanan irigasi. 34. Pengelolaan jaringan Irigasi, adalah kegiatan yang meliputi operasi, pemeliharaan, dan rehabilitasi jaringan irigasi di daerah irigasi. 35. Operasi Jaringan Irigasi, adalah upaya pengaturan air irigasi dan pembuangannya, termasuk kegiatan membuka-menutup pintu bangunan irigasi, menyusun rencana tata tanam, menyusun sistem golongan irigasi, menyusun rencana pembagian air, melaksanakan kalibrasi pintu/bangunan, mengumpulkan data, memantau, dan mengevaluasi. 36. Pemeliharaan jaringan irigasi adalah upaya menjaga dan mengamankan jaringan irigasi agar selalu dapat berfungsi dengan baik guna memperlancar pelaksanaan operasi dan mempertahankan kelestarian. 37. Pengamanan Jaringan Irigasi, adalah upaya untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kerusakan jaringan irigasi yang disebabkan oleh daya rusak air, hewan atau oleh manusia guna mempertahankan fungsi jaringan irigasi. 38. Rehabilitasi Jaringan adalah kegiatan perbaikan jaringan irigasi guna mengembalikan fungsi dan pelayanan irigasi seperti semula. 39. Inventarisasi Daerah Irigasi, adalah kegiatan pencatatan/pendataan fisik, kondisi, fungsi dan perubahan jaringan irigasi guna menunjang pelaksanaan pengelolaan irigasi. 40. Kemandirian, adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berdasarkan potensi yang dimiliki di bidang teknis, keuangan, manajerial administrasi dan organisasi. 41. Pemberdayaan, adalah upaya untuk memfasilitasi himpunan petani pemakai air mengembangkan kemampuan sendiri dibidang teknis, keuangan, manajerial administrasi dan organisasi, secara mantap dapat mengelola daerah irigasi secara mandiri dan berkelanjutan dalam proses yang dinamis dan bertanggungjawab. 42. Pengaturan, adalah usaha untuk melakukan sesuatu agar tujuan dapat dicapai seefisien mungkin. 231
BAB II TUJUAN DAN FUNGSI Pasal 2 (1) Irigasi diselenggarakan dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan air yang menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan, serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani. (2) Irigasi berfungsi mendukung produktifitas usahatani guna meningkatkan produksi pertanian dalam rangka ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani yang diwujudkan melalui keberlanjutan sistem irigasi. BAB III PRINSIP-PRINSIP PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI Pasal 3 Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat petani dan semua pihak yang berkepentingan dan dilaksanakan diseluruh daerah irigasi. Pasal 4 (1) Untuk menjamin terselenggaranya pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang efektif dan efisien serta dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat petani, pengelolaan irigasi dilaksanakan dengan mengoptimalkan pemanfaatan air permukaan dan air bawah tanah secara terpadu. (2) Penyelenggaraan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dengan prinsip satu sistem satu kesatuan pengelolaan, dengan memperhatikan kepentingan pengguna di bagian hulu, tengah dan hilir secara seimbang adil dan merata. (3) Penyelenggaraan pengelolaan irigasi dilakukan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan, agar dapat dicapai pemanfaatan jaringan irigasi yang optimal.
232
BAB IV KELEMBAGAAN PENGELOLAAN IRIGASI Pasal 5 (1) Lembaga Pengelolaan Irigasi di daerah meliputi pemerintah daerah, HIPPA, dan komisi irigasi. (2) Petani pemakai air wajib membentuk HIPPA secara demokratis pada setiap daerah layanan/petak tersier atau desa. (3) HIPPA sebagaimana pada ayat (2) dapat membentuk GHIPPA pada daerah layanan/blok sekunder, gabungan beberapa blok sekunder atau satu daerah Irigasi. (4) GHIPPA sebagaimana dimaksud ayat (3) dapat membentuk IHIPPA pada daerah layanan/blok primer, gabungan beberapa blok primer atau satu daerah Irigasi. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan komisi irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah, dengan tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB V WEWENANG DAN TANGGUNGJAWAB Pasal 6 Wewenang dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi meliputi : a. menetapkan kebijakan daerah dalam pengembangan dan pengelolaan sistemnirigasi berdasarkan kebijakan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi nasional dan provinsi dengan memperhatikan daerah sekitarnya ; b. melaksanakan pengembangan sistem irigasi primer dan skunder pada daerah irigasi dalam satu daerah ; c. memberikan izin penggunaan dan pengusahaan air tanah di daerah untuk keperluan irigasi ;
233
d. menjaga efektivitas, efisiensi, dan ketertiban pelaksanaan pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi yang utuh dalam daerah ; e. memfasilitasi penyelesaian sengketa antar daerah irigasi yang berada dalam daerah yang berkaitan dengan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi ; f. menjaga efektifitas, efisiensi dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi dalam satu daerah yang luasnya kurang dari 1000 ha ; g. memberikan bantuan kepada masyarakat petani dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang menjadi tanggungjawab masyarakat petani atas permintaannya berdasarkan prinsip kemandirian ; h. membentuk komisi irigasi di daerah ; i. melaksanakan pemberdayaan perkumpulkan petani pemakai air ; j. memberikan izin pembangunan, pemanfaatan, pengubahan, dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi primer dan sekunder dalam satu daerah irigasi. Pasal 7 Wewenang dan tanggungjawab pemerintah desa meliputi : a. melaksanakan peningkatan dan pengelolaan sistem irigasi yang dibangun oleh pemerintah desa; b. menjaga efektivitas, efisiensi, dan ketertiban pelaksanaan peningkatan sistem irigasi pada daerah irigasi yang dibangun oleh pemerintah desa ; dan c. menjaga efektivitas, efisiensi, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sistem irigasi pada daerah irigasi yang dibangun oleh pemerintah desa. Pasal 8 Wewenang dan tanggungjawab HIPPA dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi, meliputi : a. melaksanakan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi tersier ; b. menjaga efektivitas, efisiensi, dan ketertiban pelaksanaan pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi tersier yang menjadi tanggungjawabnya ; dan
234
c. memberikan persetujuan pembangunan, pemanfaatan, pengubahan, dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan tersier berdasarkan pendekatan partisipatif. Pasal 9 Pemerintah Daerah dapat saling bekerjasama dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Propinsi dalam pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi primer dan sekunder atas dasar kesepakatan sesuai peraturan perundangundangan. BAB VI PARTISIPASI MASYARAKAT PETANI DALAM PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM IRIGASI Pasal 10 (1) Partisipasi masyarakat petani dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi diwujudkan mulai dari pemikiran awal, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan kegiatan dalam pembangunan, peningkatan, operasi, pemeliharaan, dan rehabilitasi. (2) Partisipasi masyarakat petani sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwujudkan dalam bentuk sumbangan pikiran, gagasan, waktu, tenaga, material, dan dana. (3) Partisipasi masyarakat petani sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara perseorangan atau melalui HIPPA. (4) Partisipasi masyarakat petani sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas kemauan dan kemampuan masyarakat petani serta semangat kemitraan dan kemandirian. (5) Partisipasi masyarakat petani sebagaimana pada ayat (1) dapat disalurkan melalui HIPPA diwilayah kerjanya. Pasal 11 Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya mendorong partisipasi masyarakat petani dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi untuk meningkatkan rasa memiliki dan rasa tanggungjawab guna keberlanjutan sistem irigasi. 235
BAB VII PEMBERDAYAAN Pasal 12 Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan HIPPA melalui : a. Peningkatan kemampuan HIPPA yang antara lain melalui pelatihan, bimbingan, pendampingan, pengelolaan, dan kerjasama pengelolaan dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan ; b. Penguatan kelembagaan HIPPA/GHIPPA/IHIPPA yang mencakup kegiatan pemberian fasilitas sebagai badan hukum yang otonom yang bergerak dibidang irigasi, pertanian dan usaha ekonomi lainnya ; c. Apabila terjadi hambatan dalam kepengurusan HIPPA yang menyebabkan tidak berfungsinya petani pemakai air, maka komisi irigasi dapat membantu penyelesaian masalah yang fasilitasinya dibantu oleh pemerintah daerah, dengan memperhatikan prinsip kemandirian. Pasal 13 Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya : a. melakukan penyuluhan dan penyebarluasan teknologi bidang irigasi hasil penelitian dan pengembangan kepada masyarakat petani ; b. mendorong masyarakat petani untuk menerapkan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan, sumber daya dan kearifan lokal ; c. memfasilitasi dan meningkatkan pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang irigasi ; d. memfasilitasi pelindungan hak penemu dan temuan teknologi dalam bidang irigasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB VIII PENYEDIAAN AIR IRIGASI Pasal 14 (1) Air irigasi disediakan untuk mengairi tanaman pada petak-petak tersier, guna mencapai hasil yang optimal namun dalam penyediaan perlu juga memperhatikan keperluan lainnya seperti permukiman, peternakan, perikanan air tawar, industri, dan pelestarian lingkungan hidup dalam suatu daerah irigasi. (2) Apabila terjadi kebakaran atau bencana lainnya, air irigasi diutamakan untuk penanggulangannya. 236
(3) Dalam penyediaan air irigasi dinas berkewajiban untuk mendayagunakan dan atau mengusahakan secara optimal untuk menyediakan air, baik dalam daerah irigasi maupun antar daerah irigasi. (4) Pemerintah Daerah bersama dengan HIPPA/GHIPPA/IHIPPA dapat menetapkan rencana pola tata tanam, membuat inventarisasi tanah yang berhak atas air irigasi yang disusun menurut desa/kelurahan dan daerah irigasi agar air yang tersedia dapat mencukupi kebutuhan bagi usaha pertanian. (5) Pemakaian sumber air bagi kepentingan usaha/industri dapat memanfaatkan saluran irigasi setelah mendapat izin dari Kepala Daerah. BAB IX POLA PEMBAGIAN AIR Pasal 15 (1) Pola pembagian air irigasi dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah bersama dengan HIPPA dalam suatu daerah irigasi berdasarkan atas kesepakatan bersama. (2) Pada daerah irigasi yang penggunaan airnya multi guna pola pembagiannya ditetapkan setiap 6 (enam) bulan sekali sesuai dengan ketentuan pemberian air waktu musim hujan atau musim kemarau sesuai dengan hasil musyawarah antara HIPPA, Pemerintah Daerah melalui forum koordinasi pengelolaan irigasi. (3) Pada kondisi air terbatas, Kepala Daerah dapat membuat suatu kebijakan berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan air bagi pemegang hak guna air sesuai dengan asas keadilan. Pasal 16 (1) Dalam hal penyediaan air tidak mencukupi untuk pemberian air secara serentak pada keseluruhan jaringan irigasi, maka Pemerintah Daerah bersama dengan HIPPA dan pengguna lainnya mengadakan musyawarah untuk merencanakan gilir air. (2) Apabila terjadi kelebihan air pada suatu daerah irigasi dapat dipergunakan ke daerah irigasi lain dengan persetujuan dari HIPPA yang bersangkutan dan Pemerintah Daerah. 237
Pasal 17 (1) Apabila terjadi tangkis putus dan atau kerusakan bangunan pelengkapnya, maka untuk mencegah kerusakan yang lebih berat lagi pada jaringan irigasi tersebut, Dinas untuk sementara dapat mengurangi atau menghentikan penyaluran air irigasi pada jaringan yang rusak dan segera melaporkan kejadian tersebut kepada Kepala Daerah. (2) Putusnya tangkis dan atau bangunan pelengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera ditanggulangi perbaikannya, sehingga jaringan irigasi segera dapat difungsikan kembali. (3) Penanggulangan/perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, HIPPA dan pihak lainnya yang ikut memanfaatkan jaringan irigasi. Pasal 18 (1) Pembagian air irigasi ke petak-petak tersier harus melalui bangunan sadap yang telah ditetapkan kecuali pada daerah irigasi yang belum dilengkapi bangunan dimaksud. (2) Setiap bangunan sadap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan papan operasi, untuk pencatatan pembagian dan pemberian air. Pasal 19 Masa irigasi untuk setiap jaringan dalam rangka pembagian air dan pemberian air secara tepat guna dan sesuai dengan tata tanam ditetapkan dalam 2 (dua) masa irigasi yaitu masa irigasi musim hujan dan masa irigasi musim kemarau. BAB X PENGGUNAAN AIR IRIGASI Pasal 20 (1) Penggunaan air irigasi ditingkat usaha tani harus melalui saluran tersier dan kwarter pada tempat yang telah ditentukan.
238
(2) Untuk penggunaan air irigasi dalam suatu daerah irigasi GHIPPA menunjuk petugas bagian teknik untuk tingkat tersier dan kwarter, Koordinator bagian teknis untuk sekunder dan tim teknis untuk tingkat primer. (3) Penggunaan air selain untuk tanaman dalam satu daerah irigasi harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari HIPPA dan dinas. BAB XI INVENTARISASI DAERAH IRIGASI Pasal 21 (1) Pemerintah Daerah bersama dengan HIPPA melakukan inventarisasi pada daerah irigasi setiap 1 (satu) tahun sekali. (2) Hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditetapkan dalam daftar inventarisasi oleh Pemerintah Daerah. BAB XII PENGELOLAAN JARINGAN IRIGASI Bagian Kesatu Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi Pasal 22 Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan keberadaan daerah irigasi yang ada. Pasal 23 (1) Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi primer dan sekunder menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Daerah. (2) HIPPA dapat berperan serta dalam operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. (3) HIPPA dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi primer dan sekunder. (4) Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi primer dan sekunder dilaksanakan atas dasar rencana tahunan operasi dan pemeliharaan Pemerintah Daerah dengan mempertimbangkan kondisi jaringan dan kebutuhan HIPPA disetiap daerah irigasi. 239
(5) Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab HIPPA. (6) Operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi milik badan usaha, badan sosial, atau perseorangan menjadi tanggung jawab pihak yang bersangkutan. Pasal 24 Dalam hal HIPPA tidak mampu melaksanakan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi yang menjadi hak dan tanggung jawabnya Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan dan/atau dukungan fasilitas berdasarkan permintaan dari HIPPA dengan memperhatikan prinsip kemandirian. Pasal 25 (1) Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan waktu pengeringan dan bagian jaringan irigasi yang harus dikeringkan setelah berkonsultasi dengan HIPPA. (2) Pengeringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk keperluan pemeriksaan atau pemeliharaan jaringan irigasi. Pasal 26 (1) Dalam rangka operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi dilakukan pengamanan jaringan irigasi yang bertujuan untuk mencegah kerusakan jaringan irigasi. (2) Pengamanan jaringan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan instansi pemerintah, HIPPA dan pihak lain sesuai dengan tanggung jawab masing-masing. Pasal 27 (1) Dalam rangka pengamanan jaringan irigasi diperlukan penetapan garis sempadan pada jaringan irigasi. (2) Pemerintah Daerah menetapkan garis sempadan pada jaringan irigasi yang menjadi kewenangannya.
240
(3) Untuk mencegah hilangnya air irigasi dan rusaknya jaringan irigasi Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan larangan membuat galian pada jarak tertentu diluar garis sempadan. (4) Dalam pemanfaatan tanah diluar garis sempadan dalam penguasaan pemerintah harus mendapat izin dari Kepala Daerah. Pasal 28 (1) Dalam rangka operasi dan pemeliharaan setiap anggota masyarakat wajib ikut serta secara aktif untuk memelihara fungsi jaringan irigasi dan drainase beserta bangunan pelengkapnya (2) Sebagai upaya pengamanan terhadap jaringan irigasi dan drainase berserta bangunan pelengkapnya ditetapkan garis sempadan pada jaringan irigasi untuk pendirian bangunan dan untuk pembuatan pagar dengan ketentuan sebagai berikut : a. garis sempadan pada jaringan irigasi untuk bangunan, diukur dari tepi atas samping saluran atau dari luar kaki tangkis saluran atau bangunannya dengan jarak : - 5 (lima) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan dengan kemampuan lebih dari 4 m3/detik; - 3 (tiga) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan dengan kemampuan 1 m3/detik sampai 4 m3/detik ; - 2 (dua) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan dengan kemampuan kurang dari 1 m3/detik. b. garis sempadan pada jaringan irigasi untuk pagar, diukur dari tepi atas samping saluran atau dari luar kaki tangkis saluran atau bangunannya dengan jarak : - 3 (tiga) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan dengan kemampuan lebih dari 4 m3/detik; - 2 (dua) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan dengan kemampuan 1 m3/detik sampai 4 m3/detik; - 1 (satu) meter untuk saluran irigasi dan pembuangan dengan kemampuan kurang dari 1 m3/detik.
241
Bagian Kedua Rehabilitasi Jaringan Irigasi Pasal 29 (1) Rehabilitasi jaringan irigasi dilaksanakan berdasarkan urutan prioritas kebutuhan perbaikan irigasi yang ditetapkan Pemerintah Daerah setelah memperhatikan pertimbangan komisi irigasi. (2) Rehabilitasi jaringan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin dan persetujuan dari Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. (3) Pengawasan rehabilitasi jaringan irigasi dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Pasal 30 (1) Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab dalam rehabilitasi jaringan irigasi primer dan sekunder. (2) HIPPA dapat berperan serta dalam rehabilitasi jaringan irigasi primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya berdasarkan persetujuan dari Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dalam pengelolaan sumber daya air. (3) Rehabilitasi jaringan irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab HIPPA. (4) Dalam hal HIPPA tidak mampu melaksanakan rehabilitasi jaringan irigasi tersier yang menjadi hak dan tanggung jawabnya Pemerintah Daerah dapat membantu rehabilitasi jaringan irigasi tersier berdasarkan permintaan dari HIPPA dengan memperhatikan prinsip kemandirian. (5) Badan usaha, badan sosial, atau perseorangan atau HIPPA bertanggung jawab dalam rehabilitasi jaringan irigasi yang dibangunnya. Pasal 31 (1) Rehabilitasi jaringan irigasi yang mengakibatkan pengubahan dan/atau pembongkaran jaringan irigasi primer dan sekunder harus mendapat izin dari Kepala Daerah sesuai dengan kewenangannya. (2) Pengubahan dan/atau pembongkaran jaringan irigasi tersier harus mendapat persetujuan dari HIPPA setempat. 242
(3) Waktu pengeringan yang diperlukan untuk kegiatan rehabilitasi dan peningkatan jaringan irigasi harus dijadwalkan dalam rencana tata tanam. Pasal 32 (1) Guna pemeriksaan dan atau perbaikan jaringan irigasi, Pemerintah Daerah menetapkan waktu dan bagian-bagian yang harus dikeringkan. (2) Pelaksanaan pengeringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diumumkan selambat-lambatnya 2 (dua) minggu sebelum pelaksanaan pengeringan dan harus dipilih waktu yang tepat sehingga dapat menekan kerugian yang mungkin timbul akibat pengeringan jaringan irigasi tersebut. (3) Untuk pengeringan yang dilaksanakan pada musim penghujan yang memakan waktu lebih dari 2 (dua) minggu dalam keadaan darurat dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari Kepala Daerah. (4) Pemerintah Daerah berhak menghentikan untuk sementara atau mengurangi penyaluran irigasi apabila terjadi kelalaian atau dengan sengaja HIPPA tidak memelihara dengan baik jaringan irigasi yang menjadi tanggungjawabnya. BAB XIII PENGEMBANGAN JARINGAN IRIGASI Pasal 33 (1) Pengembangan jaringan irigasi dilaksanakan berdasarkan rencana induk pengelolaan sumber daya air dengan memperhatikan rencana pembangunan petanian dan sesuai dengan norma, kebutuhan teknis. (2) Kepala Daerah menetapkan rencana pengembangan jaringan irigasi beserta bangunan pelengkapnya atas usul HIPPA dan pihak lain yang terkait. (3) Badan usaha, badan sosial, atau perseorangan dapat membangun sendiri jaringan irigasi beserta bangunan pelengkapnya sesuai dengan rencana induk pengelolaan sumber daya air. (4) Pengawasan pengembangan jaringan irigasi dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.
243
BAB XIV PEMBIAYAAN Pasal 34 (1) Pembiayaan pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi primer, sekunder dan bangunan pelengkapnya menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah. (2) Pembiayaan pengembangan jaringan irigasi tersier menjadi tanggung jawab HIPPA. (3) Dalam hal HIPPA tidak mampu membiayai pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi tersier yang menjadi tanggung jawabnya pemerintah daerah dapat membantu pembiayaan pengembangan jaringan irigasi tersier berdasarkan permintaan dari HIPPA dengan memperhatikan prinsip kemandirian. (4) Pembiayaan pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi yang diselenggarakan oleh badan usaha, badan sosial atau perseorangan menjadi tanggung jawab yang bersangkutan. BAB XV KEBERLANJUTAN SISTIM IRIGASI Pasal 35 (1) Pemerintah Daerah berkewajiban mempertahankan sistim irigasi secara berkelanjutan dengan mewujudkan kelestarian sumber daya air menyelenggarakan sistim irigasi yang partisipatif mencegah alih fungsi lahan beririgasi untuk kepentingan lain. (2) Untuk mewujudkan pelestarian Sumber Daya Air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Daerah berkewajiban untuk melakukan upaya konservasi daerah-daerah pengaliran sungai. (3) Untuk menyelenggarakan sistim irigasi yang partisipatif Pemerintah Daerah berkewajiban untuk melakukan pemberdayaan kepada HIPPA. Pasal 36 (1) Perubahan status sawah menjadi tanah darat atau sebaliknya dalam suatu daerah irigasi yang telah dietapkan dalam daftar inventarisasi tanah, harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Kepala Daerah setelah mendapat rekomendasi dari komisi irigasi. 244
(2) Suatu daerah irigasi dinyatakan tertutup untuk perluasan tanah persawahan baru bila persediaan air irigasi hanya cukup untuk tanah-tanah yang telah terdaftar dalam inventarisasi tanah. (3) Prosedur dan tata cara perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah. BAB XVI LARANGAN Pasal 37 Dalam rangka menghindari kerusakan dan menjaga kelestarian jaringan irigasi setiap orang atau badan dilarang : a. mengubah dan/atau membongkar bangunan irigasi serta bangunan lain yang ada, mendirikan bangunan lain didalam, diatas atau yang melintasi saluran irigasi, kecuali atas izin Pemerintah Daerah ; b. melakukan tindakan yang dapat mengganggu fungsi drainase ; c. membuat saluran air irigasi selain pada tempat yang telah ditentukan oleh Pemerintah Daerah ; d. mengambil air bawah tanah pada daerah irigasi dan dibuat daerah irigasi dengan mempergunakan pompa tanpa seizin Kepala Daerah ; e. mengambil bahan galian dari jaringan irigasi tanpa seizin Kepala Daerah ; f. menggembalakan dan menambatkan ternak atau hewan pada bangunanbangunan di daerah irigasi ; g. membuang limbah benda padat, cair atau tanpa alat-alat mekanis yang dapat menghambat aliran, merubah sifat air serta merusak bangunan jaringan irigasi beserta tanah turutannya ; h. membuang galian atau membuat selokan sepanjang saluran irigasi dan bangunan pelengkapnya yang dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan irigasi ; i. merusak atau mencabut tanaman yang ditanam sepanjang saluran irigasi dan bangunan pelengkapnya ; j. menghalangi atau merintangi kelancaran jalannya air dengan jalan apapun; k. menanam tanaman dan membuat bangunan atau pagar dalam batas garis sempadan air ; l. mengambil air irigasi selain melalui Jaringan Irigasi.
245
BAB XVII PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN Pasal 38 (1) Dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi pada setiap daerah irigasi dilaksanakan pengendalian dan pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan melibatkan peran masyarakat. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan : a. pemantauan dan evaluasi agar sesuai dengan norma, standar, pedoman dan manual; b. pelaporan ; c. pemberian rekomendasi ; d. penertiban. (3) HIPPA, badan usaha, badan sosial atau perseorangan menyampaikan laporan mengenai informasi pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. BAB XVIII PENGELOLAAN ASET IRIGASI Pasal 39 Pengeloaan terhadap aset irigasi dilakukan oleh masing-masing pihak yang membangun atau pihak penanggungjawab terhadap daerah irigasi dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB XIX KOORDINASI PENYELENGGARAAN IRIGASI Pasal 40 (1) Dalam pengelolaan atau penyelenggaraan irigasi seluruh penyelenggara irigasi wajib saling menjalin hubungan kerja dan berkoordinasi secara baik. (2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat kerjasama, koordinatif dan konsultatif menurut wilayah kerjanya.
246
BAB XX KETENTUAN PENYIDIKAN Pasal 41 (1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kabupaten diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. (2) Wewenang penyidik sebagaimana di maksud pada ayat (1) adalah : a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana terhadap pelanggaran Peraturan Daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas ; b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan hukum tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana terhadap pelanggaran Peraturan Daerah ; c. meminta keterangan dan barang bukti dari orang pribadi atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana terhadap pelanggaran Peraturan Daerah ; d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana pelanggaran Peraturan Daerah ; e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap barang bukti tersebut ; f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka melaksanakan tugas penyidikan tindak pidana pelanggaran Peraturan Daerah ; g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan/atau dokumen yang dibawa sbagaimana dimaksud huruf e ; h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana terhadap pelanggaran Peraturan Daerah ; i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; j. menghentikan penyidikan ; 247
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana terhadap pelanggaran Peraturan Daerah menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. (3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai denan ketentuan yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. BAB XXI KETENTUAN PIDANA Pasal 42 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 14 ayat (5), Pasal 27 ayat (4), Pasal 28 ayat (2), Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 37 dalam Peraturan Daerah ini diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. BAB XXII KETENTUAN PENUTUP Pasal 43 Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah, sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah. Pasal 44 Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, segala ketentuan yang bertentangan dengan peraturan daerah ini dinyatakan dicabut dan tidak berlaku.
248
Pasal 45 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Lamongan. Ditetapkan di Lamongan pada tanggal 31 Mei 2007 BUPATI LAMONGAN ttd, MASFUK
249
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI I.
UMUM Sehubungan dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi, maka dalam rangka mencapai keberlanjutan sistem irigasi serta untuk mewujudkan peningkatan efektifitas, efisien, produktifitas dalam pengembangan dan pengelolaan serta pengamanan jaringan irigasi di Kabupaten Lamongan perlu adanya pengelolaan irigasi di Kabupaten Lamongan dengan menetapkannya dalam Peraturan Daerah.
II.
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Pasal ini dimaksudkan untuk menyamakan pengertian atau menyamakan arti dalam penggunaan beberapa istilah yang dipergunakan dalam Peraturan Daerah ini. Pasal 2 Pasal 3
Cukup jelas. Cukup jelas.
Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “terpadu” adalah pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi yang dilakukan dengan mengintegrasikan kepentingan antar sektor terkait. 250
ayat (2) Yang dimaksud dengan prinsip “satu sistem irigasi satu kesatuan pengembangan dan pengelolaan” adalah bahwa satu daerah irigasi yang mendapat pelayanan irigasi dari satu sistem yang terdiri atas jaringan primer, jaringan sekunder, dan jaringan tersier ditetapkan satu sistem perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi. Yang dimaksud dengan bagian hulu adalah daerah irigasi pada bagian atas yang berdekatan dengan sumber air. Yang dimaksud dengan bagian tengah adalah daerah irigasi pada bagian antara hulu dan hilir. Yang dimaksud dengan bagian hilir, adalah daerah irigasi pada bagian bawah yang paling jauh dari sumber air. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 huruf g
Pasal 7
Yang dimaksud dengan prinsip kemandirian adalah mencakup kemandirian dalam pembiayaan, kemampuan, teknis dan kelembagaan. Cukup jelas.
Pasal 8 Huruf a Huruf b Huruf c
Cukup jelas. Cukup jelas. Yang dimaksud dengan pendekatan partisipatif adalah pendekatan dalam pengembangan dan pengelolaan system irigasi yang berbasis peran serta masyarakat.
251
Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Partisipasi masyarakat dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuannya yang meliputi kemampuan kelembagaan, teknis dan pembiayaan. Kemampuan kelembagaan dapat diindikasikan antara lain dari status hokum organisasi, kemampuan manajerial, keaktifan pengurus dan jumlah anggota yang aktif. Kemampuan teknis dapat diindikasikan antara lain dari jumlah tenaga ulu-ulu (pembagi air) yang mampu membagi secara adil dan merata, jaringan irigasi terpelihara dengan baik dan meningkatnya usaha tariff. Kemampuan membiayai pengelolaan system irigasi dan kemampuan mengelolanya yang harus disalurkan melalui HIPPA. Pasal 11 Pasal 12
Cukup jelas. Cukup jelas.
Pasal 13 Yang dimaksud dengan kearifan lokal adalah merupakan suatu tradisi, tata cara, perilaku atau adat istiadat daerah setempat. Pasal 14 Ayat (1) Ayat (2) Ayat (3)
Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. 252
Ayat (4) Yang dimaksud dengan rencana/pola tata tanam adalah rencana luas tanaman, jenis komoditi, jadwal waktu tanam di daerah irigasi sesuai dengan ketersediaan air yang ada. Ayat (5) Pasal 15 Pasal 16 Pasal 17 Pasal 18
Pasal 19
Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Yang dimaksud dengan bangunan sadap adalah bangunan yang berfungsi untuk mengalirkan air ke petak tersier yang letaknya ditentukan berdasarkan kesepakatan masyarakat petani dan dituangkan dalam rencana teknis yang ditetapkan oleh pemerintah. Yang dimaksud dengan rencana teknis adalah rencana yang memuat tata letak dan gambar-gambar teknis secar rinci pada suatu daerah irigasi yang tertuang dalam bentuk dokumen. Yang dimaksud dengan masa irigasi musim hujan adalah penggunaan air irigasi pada waktu curah hujan tinggi yang biasanya terjadi pada bulan Oktober sampai dengan Maret. Yang dimaksud dengan masa irigasi musim kemarau adalah penggunaan air irigasi pada waktu jarangnya turun hujan atau curah hujan mengecil yang biasanya terjadi pada bulan April sampai dengan September.
253
Pasal 20 Pasal 21
Pasal 22 Pasal 23 Pasal 24 Pasal 25 Pasal 26 Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas. Inventarisasi pada daerah irigasi yang merupakan inventarisasi asset irigasi adalah meliputi inventarisasi jaringan irigasi dan pendukung pengelolaan irigasi, lembaga pengelola irigasi dan Sumber Daya Manusia. Inventarisasi jaringan irigasi bertujuan untuk mendapatkan jumlah, dimensi, jenis, kondisi dan fungsi seluruh asset irigasi serta data ketersediaan air, nilai asset dan areal pelayanan pada setiap daerah irigasi. Inventarisasi pendukung pengelolaan irigasi bertujuan untuk mendapatkan jumlah spesifikasi, kondisi dan fungsi pendukung pengelolaan irigasi. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas.
Yang dimaksud dengan pengamanan jaringan irigasi adalah upaya untuk mencegah tindakan manusia atau hewan yang dapat merusak jaringan irigasi. Yang dimaksud dengan pihak lain adalah perseorangan, badan usaha atau kelompok masyarakat diluar kelompok HIPPA. 254
Pasal 27 Ayat (1)
Pasal 28 Pasal 29 Pasal 30 Pasal 31 Pasal 32 Pasal 33 Pasal 34 Pasal 35 Ayat (1) Ayat (2) Ayat (3)
Yang dimaksud dengan garis sempadan adalah batas pengamanan bagi saluran-saluran dan/atau bangunan jaringan irigasi dengan jarak tertentu sepanjang salurahn dan sekeliling bangunan. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas.
Cukup jelas Cukup jelas. Pemberdayaan kepada HIPPA bertujuan untuk memperkuat dan meningkatkan kemandirian HIPPA dalam kegiatan pembangunan, peningkatan, operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi. 255
Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Pasal 40 Pasal 41 Pasal 42 Pasal 43
Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas.
Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas.
256