PERANG DUNIA ANTARA KLAS - KLAS, BUKAN ANTARA NEGERI - NEGERI by Ismael Hossein-Zadeh * Kebanyakan pakar-pakar perkembangan sejarah condong beranggapan bahwa suatu perang dunia yang baru akan merupakan penyebaran alat-alat kemiliteran secara besar-besaran dengan tujuan mengalahkan, menghancurkan atau menundukkan lawan-lawan yang bersaing. Walau pun kemungkinan yang tidak menyenangkan seperti itu memang tidak bisa dikesampingkan, tapi ada alasan untuk berpendapat bahwa Perang Dunia III yang banyak menjadi buah bibir itu mungkin akan merupakan perang jenis lain: Lebih banyak interklas daripada internasional. Maka bila dipandang demikian itu, Perang Dunia III sudah berlangsung sekarang ini; sudah mengamuk terus bertahun-tahun: secara sepihak, perang lintas-batas neo-liberal ekonomi penghematan (cross-border neoliberal war of austerity economics) yang dilancarkan oleh klas oligarki finans transnasional melawan mayoritas mutlak warga dunia, 99% penduduk bumi. Globalisasi kapital dan saling tergantungnya pasar-pasar dunia sudah mencapai titik dimana bentrokan-bentrokan militer besar-besaran ukuran Perang Dunia I dan II bisa mengakibatkan malapetaka finansial bagi semua. Maka tidaklah mengherankan bahwa jaringan elite-elite finansial transnasional, yang sering memilih politisi dan menjalankan pemerintahan dari belakang layar, nampaknya menentang perang internasional besar-besaran lagi yang mungkin akan melumpuhkan pasar-pasar finansial di seluruh dunia. Itulah sebabnya agresi-agresi imperialis belakangan ini sering merupakan intervensi ¨kekuatan lunak¨; revolusi-revolusi warna, kudeta-kudeta ¨demokratis¨, perangsaudara-perangsaudara buatan, sanksi-sanksi ekonomi dsb. Memang, selalu ada pilihan jalan militer yang mengintai di belakang tirai, yang siap ditempuh bila siasat ¨kekuatan lunak¨ untuk mengganti rezim gagal atau ternyata tidak memadai. Akan tetapi dalam hal itu pun diusahakan sekeras-kerasnya (oleh negara-negara induk kapitalis) agar intervensi-intervensi militer macam itu bisa dikendalikan atau diatur, artinya agar terbatas pada tingkatan regional atau nasional. Lagi pula perang-perang terkendali cenderung melindungi harta kekayaan tukang-tukang catut perang dan pihak-pihak yang menarik keuntungan dari pengeluaran biaya-biaya militer (terutama bidang industri militer-keamanan dan bank-bank besar), tapi tidak akan menyebabkan kelumpuhan pasar-pasar finansial internasional. Hal ini juga menerangkan mengapa negara-negara besar seperti Cina, Rusia, India dan Brasil cenderung menghindari bersikap lebih tegas terhadap kebijakan-kebijakaan gertakan dari Amerika Serikat. Kalangan-kalangan olikarki kaya-raya di negeri-negeri tsb. lebih banyak persamaannnya dengan rekan-rekan elite mereka di AS dan negeri-negeri induk kapitalis lain ketimbang dengan sesama warga mereka di negeri sendiri. ¨Menghuni atau tidak menghuni rumah utamanya di New York atau Hongkong, Moskow atau Mumbai, orang-orang supra-kaya dewasa ini semakin merupakan suatu bangsa tersendiri¨, demikian dikemukakan oleh Chrystia Freeland, editor berita dunia dari Reuters, yang telah melakukan perjalanan-perjalanan dengan kaum elite ke berbagai bagian dunia. Maka itu masuk akallah kalau orang berpendapat bahwa ada persekutuan de facto di antara anggotaanggota ¨bangsa¨ bumi kaum supra-kaya ini yang membantu mempermudah operasi rencanarencana imperialis untuk ganti rezim. Misalnya, kalau Rusia diancam oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Eropanya, maka oligark-oligark Rusia condong diam-diam bekerjasama dengan 1
rekan-rekan klasnya di Barat, sehingga menggerowoti perlawanan Rusia terhadap intervensi demikian dari negara-negara Barat. Meninjau sejenak rencana-rencana kotor ganti rezim di negeri-negeri seperti Irak dan Libia, di satu pihak, serta Ukraina dan Iran, di pihak lain, bisa membantu memahami pada waktu apa dan di mana negara-negara imperialis menempuh jalan aksi militer langsung untuk menghasilkan ganti rezim (seperti di Irak dan Libia), dan di mana atau pada waktu apa mereka menempuh jalan taktik ¨kekuatan lunak¨ untuk mencapai tujuan yang sama, seperti di Ukraina dan Iran. Dua sebab atau pertimbangan utama bisa diketahui dalam hubungan ini, yaitu mengenai pilihan imperialis atas cara-cara atau taktik-taktik ganti rezim. Sebab yang pertama menyangkut tingkatan diferensiasi klas di dalam negeri-negeri yang menjadi sasaran ganti rezim. Akibat penswastaan milik umum secara luas (dan seringkali keji) di Ukraina maupun di Iran timbullah lingkungan-lingkungan oligarki finansial yang kaya-raya di kedua negeri ini. Jagoan-jagoan kaya-raya yang berorientasi Barat ini cenderung bekerjasama dengan kekuatankekuatan intervensi luarnegeri untuk ganti rezim; mereka pada intinya merupakan agen-agen ganti rezim dari dalam, yang bekerjasama dengan kekuatan imperialis dari luar. Hal ini menerangkan (sekurang-kurangnya untuk sebagian) mengapa rencana-rencana kotor ganti rezim di kedua negeri ini telah bersandar terutama pada ¨kekuatan lunak¨ dan revolusi warna dan tidak pada intervensi militer langsung. Berlainan samasekali dengan itu, Iraknya Saddam Hussein dan Libianya Muammar Gaddafi kekurangan klas-klas kaya-raya yang berpengaruh dan punya koneksi internasional seperti itu. Baik Saddam maupun Gaddafi bukanlah suriteladan kebajikan atau jago-jago demokrasi, tetapi mereka memainkan peranan apa yang kadang-kadang disebut ¨diktator yang dicerahkan¨, mereka melaksanakan program negara yang luas untuk kesejahteraan, mempertahankan ekonomi sektor umum yang kuat, menentang penswastaan dinas-dinas umum seperti kesehatan dan pendidikan, dan industri-industri utama atau ¨strategis¨ seperti energi dan sistem bank/finansial tetap dimiliki dan diawasi oleh negara. Dikombinasi, kebijakan-kebijakan itu semua telah mencegah timbulnya elite-elite finansial yang kuat seperti elite-elite yang muncul dan berkembang di Iran dan Ukraina. Hal itu berarti, antara lain, bahwa taktik ganti rezim dengan ¨kekuatan lunak¨ dan/atau revolusi warna, yang sangat bersandar pada sekutu-sekutu dalamnegeri atau regional, yaitu apa yang disebut burjuasi komprador, tidak besar kemungkinannya berhasil di negeri-negeri ini – itulah sebabnya mengapa di Irak maupun di Libia digunakan ¨kekuatan keras¨ intervensi/pendudukan militer langsung. Pertimbangan kedua dari kaum imperialis dalam memilih taktik ganti rezim dengan kekuatan lunak atau kekuatan keras itu tergantung apakah suatu peperangan yang dilancarkan dengan tujuan ganti rezim akan bisa dikendalikan dan diatur di tingkat regional atau nasional, ataukah akan menjalar terlepas dari kendali dan menjadi perang regional dan/atau global. Dalam hal Ukraina, misalnya, agresi militer langsung pasti akan melibatkan Rusia, besar kemungkinannya akan menjadi perang global, dengan akibat-akibat ekonomi/finansial yang membawa malapetaka lepas kendali di negeri-negeri imperialis – karena itulah telah dipilih ¨kekuatan lunak¨ dan/atau kudeta ¨demokratis¨ di Ukraina. Begitu pula kekuatiran yang serupa bahwa suatu perang besar melawan Iran mungkin akan tak 2
terkendalikan menerangkan mengapa rencana-rencana ganti rezim di negeri itu (sampai sekarang) juga terutama dipusatkan pada sanksi-sanksi ekonomi dan taktik-taktik kekuatan lunak lain, termasuk ¨revolusi hijau¨ tahun 2009. Sebagai kontras, ¨kekuatan keras¨ atau kekuatan militer belaka telah dipakai di Irak dan Libia berdasarkan pengetahuan hampir pasti bahwa perang ganti rezim melawan negeri-negeri ini akan bisa dikendalikan dengan cukup baik, artinya, bisa dicegah menjadi perang regional atau perang dunia. Kasus Ukraina Krisis baru-baru ini yang masih berlangsung di Ukraina merupakan kasus yang jelas tentang bagaimana elite-elite finansial transnasional condong menghindari perang internasional yang dahsyat ukuran Perang Dunia I atau II dan memilih perang yang bisa dikendalikan yang sering juga berlangsung antar-klas dengan cara sanksi-sanksi ekonomi dan jenis-jenis lain taktik ¨kekuatan lunak¨. Sebagai akibat langsung dari kup 22 Februari di Kiev, yang menjatuhkan Presiden Viktor Janukovych yang telah dipilih dengan sah, dan menempatkan kekuasaan di tangan rezim kudeta dukungan Amerika Serikat, ketegangan-ketegangan antara Rusia dan negara-negara Barat begitu meningkat sehingga banyak peninjau memperingatkan akan bahaya ¨pecahnya Perang Dunia III¨. Walaupun ketegangan-ketegangan awal yang disertai bahaya akan bentrokan-bentrokan militer besar antara kedua belah pihak itu masih tetap ada, tapi telah banyak mereda sejak awal bulan Mei ketika Presiden Vladimir Putin dari Rusia secara efektif mundur setapak dalam menghadapi negaranegara Barat dan menyatakan pada tanggal 7 Mei bahwa Rusia akan menghormati pemilihan presiden di Ukraina, dan akan bekerja dengan siapa saja yang terpilih – yang ternyata adalah oligark milyarwan Petro Proshenko. Walaupun dalam kenyataannya tindakan-tindakan ganas terhadap kaum aktivis pejuang otonomi di provinsi-provinsi tenggara dan timur berlangsung terus tanpa reda, tetapi siasat diplomatik yang dipelopori oleh wakil-wakil elie-elite finansial dari Amerika Serikat, Eropa, Ukraina dan Rusia bagaimana pun juga telah berhasil mencegah bentrokan militer antara pihak AS dan pihak Rusia. Maka, apakah gerangan yang telah merobah ancaman-ancaman dulu tentang sanksi-sanksi besarbesaran dan/atau aksi-aksi militer terhadap Rusia itu menjadi agak banyak omongannya saja dan ¨pemecahan-pemecahan diplomatik¨ sekarang ini? Jawabannya, dengan singkat, yalah hanya karena kepentingan-kepentingan ekonomi besar yang tertanam dalam finans internasional, perdagangan dan penanaman kapital (yaitu, elite-elite finansial di Rusia, Ukraina dan negeri-negeri inti kapitalis) tidak bisa menanggung risiko suatu perang yang tak terkendalikan lagi. Memang, bank-bank besar dan kompleks-kompleks industri-keamananmiliter yang berpengaruh cenderung hidup subur dari perang-perang dan ketegangan-ketegangan internasional yang tak habis-habisnya. Tapi juga lebih menyukai perang-perang yang ¨bisa diatur¨ dan ¨dikendalikan¨ pada tingkat regional atau nasional (seperti yang dilancarkan terhadap Irak dan Libia, misalnya) ketimbang perang-perang besar-besaran tingkat regional atau global yang menimbulkan perubahan-perubahan besar. Bukan rahasia lagi bahwa ekonomi Rusia telah semakin terjalin dengan ekonomi-ekonomi Barat (sebagian besar berkat kekuasaan ekonomi dan tingkah-laku oligark-oligark trans-nasionalnya), juga telah semakin peka terhadap fluktuasi-fluktuasi pasar global dan ancaman sanksi-sanksi ekonomi. Hal ini menjelaskan, sampai taraf yang jauh, sikap cari damai dan kebijakan berbaik-baik 3
dari Presiden Putin untuk melumerkan permusuhan dalam krisis Ukraina secara diplomatik. Akan tetapi, yang kurang diketahui yalah bahwa ekonomi-ekonomi Barat pun juga peka terhadap sanksi-sanksi dari Rusia, seandainya Rusia mengambil keputusan untuk membalas. Kenyataannya, Rusia memiliki beberapa senjata ekonomi yang kuat yang bisa dipakai untuk melakukan tindakan balasan kalau perlu. Luka-luka ekonomi akibat sanksi-sanksi pembalasan seperti itu akan bisa menyakitkan sekali bagi sejumlah negeri Eropa. Berkat saling terjalinnya kebanyakan ekonomi dan pasar-pasar finansial, maka sanksi-sanksi balas-berbalas akan bisa sangat memperparah ekonomi Eropa yang sudah begitu rapuh dan bahkan ekonomi dunia. Sanksi-sanksi terhadap ekspor Rusia akan mengungkap lebar-lebar kelemahan Uni Eropa. Eropa mengimpor 30% gasnya dari perusahaan Rusia Gazprom milik negara. Rusia juga merupakan nasabah terbesar Eropa. Uni Eropa adalah mitra-dagang terbesar sekali dari Rusia, meliputi kira-kira 50% dari seluruh ekspor dan impor Rusia. Dalam tahun 2014, perdagangan keseluruhan UE-Rusia berjumlah sekitar 360 milyar euro (US$491 billion) setahun. Jumlah ekspor Rusia ke Uni Eropa, yang terutama berupa bahanbahan mentah seperti gas dan minyak, berjumlah sekitar 230 milyar euro, sedang impor Rusia dari UE jumlahnya sekitar 130 milyar euro, terdiri dari barang-barang jadi dan makanan. Uni Eropa juga merupakan penanam modal terbesar dalam ekonomi Rusia, yakni 75% dari seluruh penanaman modal asing di Rusia.[1] Rusia juga akan bisa membalas kebijakan-kebijakan dan ancaman-ancaman negara-negara Barat untuk membekukan aset tokoh-tokoh dan perusahaan-perusahaan Rusia dengan membekukan aset perusahaan-perusahaan dan penanam-penanam modal Barat: Dalam hal diadakan sanksi-sanksi ekonomi Barat, anggota-anggota parlemen Rusia telah mengumumkan bahwa mereka akan mengesahkan sebuah undang-undang pembekuan aset perusahaan-perusahaan Eropa dan Amerika yang beroperasi di Rusia. Di pihak lain, lebih dari 100 orang pengusaha dan politisi Rusia dikatakan menjadi sasaran Uni Eropa untuk dikenakan pembekuann aset mereka di Eropa. Di samping Alexey Miller, kepala Gazprom milik negara, CEO dari Rosneft, Igor Sechin, nampaknya juga tercantum dalam daftar sasaran. Rosneft adalah perusahaan minyak terdaftar yang terbesar di dunia dan, karena itu, mempunyai mitra-mitra di seluruh dunia, termasuk di Barat. Misalnya, perusahaan ExxonMobil yang berpangkalan di Amerika Serikat mempunyai proyek exsplorasi minyak $500 juta dengan Rosneft di Siberia, dan Exxon-Mobil sudah bermitra dengan perusahaan minyak raksasa Rusia ini untuk mengelola cadangan-cadangan minyak Laut Hitam.[2] Rusia masih mempunyai senjata-senjata ekonomi tambahan pula untuk menimbulkan kerusakan pada ekonomi-ekonomi Amerika Serikat dan Eropa. Misalnya, sebagai reaksi terhadap ancamanancaman pembekuan aset-asetnya oleh AS dan sekutu-sekutu Eropanya, Rusia meng-uangkan (pada akhir Februari dan awal Maret) lebih dari $100 milyar saham-saham obligasinya berupa US Treasury Bonds (Surat Obligasi Departemen Keuangan AS – pen.). Peningkatan ancaman-ancaman sembrono semacam pembekuan aset-aset pemerintah-pemerintah yang tidak bersahabat bisa juga melibatkan Cina dengan akibat-akibat yang celaka bagi dollar AS, karena ¨Cina ditaksir memiliki obligasi-obligasi US Treasury $1.3 trillion dan merupakan penanam modal nomor satu di antara negeri-negeri lain¨.[3] Taraf perjalinan ekonomi finansial ini menjelaskan mengapa – dengan dukungan Washington dan anggukan setuju Moskow – diplomat-diplomat Eropa dari Berlin dan Brussel bergegas-gegas ke 4
Kiev mengusahakan apa yang dinamakan Pembicaraan Meja Bundar dan meratakan jalan untuk pemilihan presiden gadungan tanggal 25 Mei dan dengan demikian memberi legitimisasi kepada rezim kudetanya serta menghindari kemungkinan peningkatan sanksi-sanksi ekonomi dan/atau aksiaksi militer yang saling merusak. Pembandingan dengan Irak dan Libia Ganti rezim di Libia (2011) dan Irak (2003) dengan cara intervensi militer ¨kekuatan keras¨ (bertolak belakang dengan rencana-rencana ¨kekuatan lunak¨ untuk ganti rezim) cenderung membenarkan alasan yang dikemukakan dalam esai ini bahwa, dalam mengusahakan ganti rezim, negara-negara imperialis menggunakan aksi-aksi militer langsung bila (a) keterlibatan militer seperti itu bisa dikendalikan atau dibatasi pada negeri yang disasar, dan (b) tidak ada sekutu-sekutu regional yang penting atau kuat di negeri yang disasar, yaitu kekuatan oligark-oligark kaya-raya lokal yang mempunyai hubungan-hubungan dengan pasar-pasar global dan, karenanya, hubungan dengan kekuatan-kekuatan ganti rezim dari luar. Walaupun baik Gaddafi maupun Saddam memerintah negeri mereka dengan kasar, tapi mereka mempertahankan ekonomi sektor umum yang kuat dan industri-industri serta dinas-dinas yang secara luas dinasionalisasi. Hal ini khusus berlaku dalam hal industri-industri strategis seperti energi, perbankan, transportasi dan komunikasi, serta juga bagi dinas-dinas sosial yang vital seperti kesehatan, pendidikan dan keperluan umum (air leding, penerangan dsb). Mereka berbuat begitu bukanlah karena mempunyai keyakinan sosialis (meskipun kadangkala mereka menyatakan seolah-olah mereka adalah pejuang ¨Sosialisme Arab¨), melainkan karena dalam perjuangan mereka melawan rezim-rezim saingan atau bangsawan-bangsawan suku atau tuantanah mereka telah mendapat pelajaran bahwa pengendalian ekonomi nasional lewat pengaturan negara birokratis, disertai kesejahteraan negara yang kuat, adalah lebih menguntungkan bagi kestabilan dan kelanjutan kekuasaan mereka ketimbang mengizinkan perkembangan lepas kendali dari kekuatan-kekuatan pasar dan/atau munculnya finansialis-finansialis yang kuat di sektor swasta. Apa pun yang mendorong, kenyataannya tetap bahwa baik Saddam maupun Gaddafi tidak menyetujui tumbuhnya elite-elite finansial kuat yang mempunyai ikatan-ikatan penting dengan pasar-pasar dunia atau Barat. Tidaklah mengherankan bahwa tokoh-tokoh oposisi dan kekuatankekuatan yang bekerjasama dengan rencana-rencana busuk imperialis tentang ganti rezim di kedua negeri ini untuk sebagian besar terdiri dari sisa-sisa zaman kerajaan/suku-suku atau cendekiawancendekiawan kecil pelarian serta pembalas-pembalas dendam militer terhadap Saddam dan Gaddafi yang terpaksa hidup dalam pengasingan. Berbeda dengan elite-elite finansial di Ukraina, misalnya, kekuatan-kekuatan oposisi di Irak dan Libia tidak memiliki sarana-sarana ekonomi untuk membiayai kekuatan-kekuatan ganti rezim, dan juga tidak mempunyai basis/dukungan sosial yang luas di negeri asal mereka. Mereka pun juga tidak mempunyai ikatan finansial dan politik yang kuat atau bisa diandalkan dengan pasar-pasar dan kekuasaan-kekuasaan politik Barat. Hal itu menjelaskan mengapa sanksi-sanksi ekonomi dan taktik-taktik ¨kekuatan lunak¨ (seperti menggerakkan, melatih dan membiayai kekuatan-kekuatan oposisi) ternyata tidak cukup untuk mengganti rezim-rezim Saddam dan Gaddafi; dan mengapa imperialisme Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya terpaksa menggunakan ¨kekuatan keras¨ aksi/pendudukan militer untuk mencapai tujuan yang keji itu. Tambahan lagi, sebagaimana sudah disebut tadi, negara-negara imperialis intervensionis tahu pasti bahwa (berbeda dengan di Ukraina atau Iran, misalnya) invasi-invasi militer seperti itu akan bisa dikendalikan dan dicegah menjalar keluar perbatasan Libia atau Irak.
5
Kasus Iran Kebijakan Amerika Serikat mengenai ganti rezim di Iran nampaknya lebih menyerupai pola yang telah dijalankan di Ukraina ketimbang yang dijalankan di Irak atau Libia. Hal itu sebagian besar disebabkan karena (a) dikhawatirkan bahwa intervensi langsung di Iran tidak akan bisa dikendalikan atau dibatasi pada negeri itu saja, dan (b) Iran mempunyai oligarki finansial berorientasi Barat yang relatif telah berkembang yang akan bisa diandalkan oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya untuk menghasilkan reformasi dan/atau ganti rezim dari dalam. Sudah tentu, soalnya bukannya harus pakai kebijakan yang ini atau yang itu: atau kekuatan militer atau ¨kekuatan lunak¨. Soal lebih banyak mengandalkan kebijakan yang satu atau kebijakan yang lainnya itu tergantung dari keadaan khusus. Memang, agenda imperialis mengenai ganti rezim di Iran sejak revolusi 1979 di negeri itu meliputi sejumlah taktik (yang seringkali dijalankan pada waktu yang bersamaan). Taktik-taktik itu yalah mulai dari menghasut dan menyokong Saddam untuk menyerbu Iran, ke melatih dan membiayai organisasi-organisasi teroris anti-Iran untuk menggoyahkan negeri itu, ke perang terus-menerus dan ancaman militer, ke usaha-usaha menyabot pemilihan presiden tahun 2009 lewat apa yang dinamakan ¨revolusi hijau¨, dan ke peningkatan sistematis sanksi-sanksi ekonomi. Setelah gagal (sampai sekarang) melaksanakan rencana-rencana busuknya mengenai ¨ganti rezim¨ dari luar, nampaknya Amerika Serikat dalam tahun-tahun belakangan ini telah memindahkan titik berat pada ganti rezim (atau reformasi) dari dalam; yaitu lewat kerjasama politik dan ekonomi dengan arus-arus yang berorientasi Barat di dalam kalangan-kalangan pemegang kekuasaan di Iran. Yang nampaknya telah membuat pilihan ini lebih menarik bagi Amerika Serikat dan sekutusekutunya adalah bangkitnya suatu klas kapitalis yang penuh ambisi di Iran yang kelihatannya sebagai prioritas utamanya mengejar kemampuan untuk berbisnis dengan rekan-rekan mereka di Barat. Mereka itu adalah sebagian besar oligark-oligark kaya-raya Iran yang boleh dikata secara harfiah bermaksud menjalankan bisnis; bagi mereka itu masalah-masalah seperti tehnologi nuklir atau kedaulatan nasional adalah nomor dua pentingnya. Setelah secara metodis (dan sering keji) memperkaya diri di bayangan sektor umum ekonomi Iran, atau dengan menggunakan kesempatan dari kedudukan politik/birokratis yang mereka pegang tadinya (atau masih pegang) di berbagai bidang dalam aparat pemerintah, orang-orang itu kini sudah kehilangan segala selera yang dulu mereka punyai akan tindakan-tindakan radikal yang diperlukan untuk mandiri dalam ekonomi agar dapat melawan atau menahan pukulan terberat sanksi-sanksi ekonomi yang ganas. Kini nampaknya mereka malah ingin sekali mengadakan transaksi-transaksi bisnis dan penanaman modal dengan sekutu-sekutu transnasional mereka di luarnegeri. Lebih dari lapisan sosial yang mana pun, Presiden Hassan Rouhani dan pemerintahnya mewakili kepentingan dan cita-cita klas kapitalis pemilik modal yang sedang bangkit ini di Iran. Wakil-wakil klas oligarki finansial ini menjalankan kekuasaan ekonomi dan politik terutama lewat Kamar Dagang Industri, Pertambangan, dan Pertanian Iran (ICCIMA – Iran Chamber of Commerce, Industries, Mines, and Agriculture). Keakraban ideologis dan/atau filosofis antara Presiden Rouhani dan perantara-perantara kekuasaan yang duduk di dalam ICCIMA tercermin dalam kenyataan bahwa, segera setelah terpilih, presiden mengangkat mantan kepala Kamar Dagang Mohammad Nahavandian, seorang pakar ekonomi liberal didikan Amerika Serikat dan penasehat mantan presiden Hashemi Rafsanjani, sebagai kepala stafnya. 6
Adalah lewat Kamar Dagang Iran bahwa, dalam bulan September 2013, sebuah delegasi ekonomi Iran menyertai Presiden Rouhani ke PBB di New York untuk merundingkan kontrak-kontrak bisnis/penanaman modal yang mengandung kemungkinan besar dengan rekan-rekan Amerika mereka. Kamar Dagang Iran juga telah mengorganisasi sejumlah delegasi ekonomi yang menyertai Menteri Luarnegeri Iran Mohammad Jawad Zarif ke Eropa untuk mengejar tujuan-tujuan serupa. Banyak peninjau hubungan-hubungan AS-Iran cenderung berpendapat bahwa dialog-dialog diplomatik yang baru-baru ini diadakan antara kedua negeri, termasuk kontak-kontak teratur dalam rangka perundingan nuklir Iran, baru dimulai dengan terpilihnya Rouhani sebagai presiden. Akan tetapi bukti-bukti menunjukkan bahwa kontak-kontak di belakang layar antara wakil-wakil eliteelite finansial di dalam dan sekitar pemerintah-pemerintah Amerika Serikat dan Iran sudah dimulai jauh sebelum Rouhani dipilih sebagai presiden. Misalnya, suatu berita yang relatif baik risetnya di Wall Street Journal baru-baru ini mengungkapkan: Pejabat-pejabat Dewan Keamanan Nasional [AS] telah mulai menanam benih-benih pertukaran seperti itu berbulan-bulan lebih dulu – dengan mengadakan serentetan rapat-rapat rahasia dan pembicaraan telepon dan mengumpulkan berbagai raja Arab, orang-orang buangan Iran dan mantan diplomat-diplomat AS untuk dengan diam-diam meneruskan pesan-pesan antara Washington dan Teheran, demikian menurut pejabat-pejabat dan mantan pejabat-pejabat AS di Timur Tengah dan Eropa yang telah mendapat briefing tentang usaha itu.[4] Berita itu, yang memperlihatkan bagaimana ¨jaringan komunikasi yang rumit telah membantu mendorong langkah-langkah belakangan ini ke arah saling mendekati,¨ menunjukkan bahwa rapatrapat yang sering di belakang layar itu adalah ¨rapat-rapat yang diadakan di Eropa, terutama di ibukota Swedia Stockholm.¨ Dengan menggunakan saluran-saluran diplomatik internasional seperti Asia Society, United Nations Association dan Council on Foreign Relations, ¨pihak Amerika dan pihak Iran berkumpul di hotel-hotel dan ruang-ruang konferensi, mencari rumus-rumus untuk memadamkan krisis tentang program nuklir Iran dan menghindari perang¨, demikian berita itu mengemukakan lebih lanjut. Penulis-penulis berita itu, Jay Solomon dan Carol E. Lee, juga menulis: Asia Society dan Council on Foreign Relations yang non-pemerintah menjadi tuan rumah untuk Tuan Rouhani dan Tuan Zarif ketika mereka berkunjung untuk menghadiri Sidang Umum PBB dalam bulan September. Kedua orang itu memakai pertemuan itu untuk menjelaskan rencana-rencana Teheran kepada pengusaha-pengusaha, mantan pejabat-pejabat pemerintah, intelektual-intelektual dan wartawan-wartawan Amerika. Obama pribadi telah mendekati Rouhani musim panas yang lalu segera setelah Rouhani terpilih. Presiden Amerika Serikat menulis surat kepada pemimpin baru Iran, menekankan bahwa Washington ingin mengachiri sengketa nuklir mereka secara damai. Rouhani menjawab dengan perasaan serupa. Zarif, sementara itu, menyambung kembali hubungannya dengan pejabat-pejabat politik luarnegeri Amerika yang pernah bertemu dengan dia ketika ia menjadi dutabesar Iran di PBB dalam tahun-tahun 2000an. Ms (Suzanna) Di Maggio dari Asia Society mengatakan ia termasuk di antara orang-orang di New York yang mengadakan kontak dengan Zarif tak lama sesudah ia diangkat ke dalam pemerintahan Rouhani. Sebagai seorang kawakan dalam memperlancar kontak-kontak informal antara pejabat-pejabat Amerika dan Iran, ia telah mengadakan pertemuan yang tak terbilang banyaknya dengan diplomat didikan Amerika itu mengenai cara-cara mengachiri kemacetan nuklir.[5] Hal itu menerangkan mengapa Presiden Rouhani (dan lingkungan penasehat-penasehat berorientasi 7
Baratnya yang memandang keluar) telah memilih Zarif sebagai menteri luarnegeri, dan mengapa mereka telah menaruh, barangkali dengan tidak bijaksana, segala harapan mereka akan pemulihan ekonomi di Iran pada saling mendekati dalam politik dan ekonomi dengan Barat, artinya, pada perdagangan bebas dan penanaman modal tak terbatas dari Amerika Serikat dan negeri-negeri kapitalis besar lain. (Kebetulan, hal itu juga menjelaskan mengapa tim perunding nuklir Presiden Rouhani mau tak mau telah ditempatkan pada kedudukan tawar-menawar yang lemah dalam pembicaraan mereka dengan grup negara-negara P5+1; dan mengapa perunding-perunding Iran telah melepaskan begitu banyak untuk mendapatkan begitu sedikit) Kesimpulan dan implikasi-implikasi Sedangkan pihak-pihak kuat yang memperoleh keuntungan dari pengeluaran perang dan militer -bank-bank besar (sebagai pemberi piutang utama kepada pemerintah-pemerintah) dan komplekskompleks industri militer-keamanan – hidup subur bila ada perang dan ketegangan internasional, tapi tokh mereka condong memilih perang-perang regional, nasional, terbatas, atau ¨bisa diatur¨ ketimbang perang wilayah besar atau perang dunia yang, dengan terjadinya perubahan besar, akan melumpuhkan samasekali pasar-pasar global. Hal itu agak bisa menjelaskan mengapa dalam mengejar ganti rezim di Irak dan Libia, misalnya, Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya bersandar pada aksi/pendudukan militer langsung; sedangkan dalam hal-hal seperti Ukraina dan Iran mereka (sampai sekarang) menghindari intervensi militer langsung dan bersandar pada, sebagai gantinya, taktik-taktik ¨kekuatan lunak¨ dan revolusi warna. Sebagaimana dikatakan di atas, hal itu adalah terutama, di satu pihak, karena dikhawatirkan bahwa perang dan intervensi militer di Ukraina atau Iran mungkin tak akan bisa dikendalikan, di pihak lain, di Iran maupun di Ukraina terdapat elite-elite finansial pro-Barat yang cukup berpengaruh dan besar yang akan bisa menjadi sandaran dalam mengejar reformasi dan/atau ganti rezim dari dalam, artinya tanpa menanggung risiko malapetaka suatu perang dunia lagi yang akan dapat memusnahkan harta-kekayaan klas kapitalis transnasional beserta segala apa lainnya. Negara-negara intervensionis selamanya pandai sekali memakai taktik-taktik pecah belah dan berkuasa. Yang agak baru dalam rangka diskusi ini yalah bahwa, sebagai tambahan atas pola-pola penggunaan taktik ini (yang seringkali bersandar pada isu-isu pemecah seperti kebangsaan, etnik, ras, agama dsb) kejadian-kejadian belakangan ini di mana dipakai taktik ini semakin sering bersandar pada perbedaan klas. Perhitungannya rupa-rupanya yalah bahwa, bila/kalau suatu negeri seperti Iran atau Ukraina bisa dibagi menurut klas-klas, dan persekutuan-persekutuan bisa disusun dengan oligark-oligark kayaraya dari negeri-negeri yang menjadi sasaran ganti rezim, maka apalah gunanya melancarkan serangan militer besar-besaran yang mungkin akan merusak tanpa pilih-pilih kepentingan sendiri dan sekutu-sekutu setempat bersama dengan kepentingan-kepentingan musuh. Bila sanksi-sanksi ekonomi berbareng dengan persekutuan dan kerjasama dengan oligark-oligark dalamnegeri yang kuat ekonominya bisa dipakai untuk menjalankan kudeta ¨demokratis¨ atau revolusi warna (seringkali lewat pemilihan umum gadungan), maka buat apa mengambil risiko serangan militer tak pandang bulu dengan akibat-akibat yang tak bisa dipastikan dan mungkin membawa malapetaka? Hal ini menunjukkan (antara hal-hal lain) bagaimana kebijakan-kebijakan imperialis mengenai 8
agresi telah berkembang seiring dengan masa – dari tingkat-tingkat awal berupa pendudukan militer ¨kasar¨ di zaman kolonial sampai taktik-taktik intervensi yang halus, bercabang-cabang dan diamdiam dewasa ini. Menurut istilah atau dalam rangka petualangan-petualangan politik luarnegeri Amerika Serikat belakangan ini, bisalah dikatakan bahwa pola duluan yang berupa agresi imperialis terang-terangan ada relevansinya dengan kebijakan luarnegeri militer tak tahu malu dari Presiden George W. Bush, sedang pola yang belakangan ada kesamaannya dalam kebijakan-kebijakan intervensi ¨pintar¨ njlimet yang busuk dan sembunyi-sembunyi dari Presiden Obama. Sedang jago-jago dari faksi militeristik terang-terangan dalam elite berkuasa di Amerika Serikat mengritik Obama sebagai presiden yang ¨takut pakai bedil¨ atau ¨lemah¨, tapi kenyataannya yalah bahwa kebijakan tanpa banyak gembar-gembor tapi mbulet dalam secara metodis menyusun persekutuan – baik dengan sekutu-sekutu tradisional Amerika Serikat maupun dengan kekuatankekuatan oligarki atau komprador – telah terbukti lebih efektif (dalam rangka ganti rezim) ketimbang kebijakan model Bush-Dick Cheney berupa aksi militer sepihak. Hal itu bukanlah spekulasi dan juga bukan sekedar dalam teori: Menteri Luarnegeri John Kerry baru-baru ini mengatakannya dengan jelas sekali dalam rangka kebijakan pemerintahan Obama terhadap Ukraina dan Iran ketika ia pada tanggal 30 Mei 2014 ditanya oleh Gwen Ifill dari Public Broadcasting System (PBS): ¨Apakah menurut pendapat anda Presiden harus mendapat kecaman karena lemah dan tidak melihat hasil-hasil besar jangka jauh tapi hanya mengejar hasil-hasil dekat?¨ Kerry menjawab: ¨Terus-terang, saya rasa Presiden kurang dipuji mengenai sukses-sukses yang sudah tercapai sekarang ini . . . Maksud saya, kalau kita melihat apa-apa yang telah terjadi di Ukraina, Presiden telah memimpin usaha untuk menjaga agar Eropa tetap bersatu dengan Amerika Serikat untuk mengajukan sanksi-sanksi yang berat. Eropa telah menyambutnya dengan kurang hangat tapi setuju juga. Itu namanya kepemimpinan. Dan akhirnya Presiden berhasil mempengaruhi, bersama Eropa, pilihan-pilihan yang harus dihadapi oleh Presiden Putin. ¨Selain itu, Presiden telah menghadapi Iran. Kita tadinya menempuh jalan tubrukan mutlak dimana mereka membangun sebuah sistem nuklir dan dunia berdiri menentangnya. Tetapi Presiden mengadakan serentetan sanksi, suatu kemampuan untuk membawa Iran ke meja perundingan. Senjata itu – program nuklir – telah dibekukan dan digulung mundur. Dan kini kita telah memperluas banyaknya waktu yang mungkin akan dipunyai oleh Iran untuk melepaskannya. Itu namanya sukses. ¨Jadi, saya rasa kita bertindak, lebih bertindak dari kapan pun dalam sejarah Amerika, dan saya rasa hal itu sepenuhnya akan terbuktikan dan terbeberkan.¨ Dan demikian itulah intisari ciri imperialisme licik dari pemerintahan Obama, dibandingkan dengan imperialisme yang baru akil balig dari pemerintahan Bush (Jr) Notes: [1] Gilbert Mercier, Ukrain´s Crisis: Economic Sanctions Could Trigger a Global Depression. [2] Ibid. , [3] Ibid [4] Wall Street Journal, US-Iran Thaw Grew From Years of Behind-the-Scenes Talks. [5] Ibid. * Ismael Hossein-Zadeh is Professor Emeritus of Economics (Drake University) (Copyright 2014 Ismael Hossein-Zadeh) 9