Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
PERANAN USAHATERNAK KAMBING LOKAL SEBAGAI PENUNJANG PEREKONOMIAN PETANI DI PEDESAAN (The Role of Local Goat in Supporting Farmers Economy in Villages) DWI PRIYANTO, B. SETIADI, M. MARTAWIDJAJA dan D. YULISTIANI Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 ABSTRACT Goat production system has very important role in supporting farmers economy in the villages. Kacang goat are commonly raised because this breed is relatively easy to be handle possible to be extensively grazed, consequently it does not need much labour, even though its productivity still varied and relatively low. In fact the contribution on farmer income in the village varied and dependent on farmers motivation in raising goat, availability of farmers family labour and number of goat ownership. Economic analysis in goat production system based on management condition was conducted in Sukabumi and Lampung Selatan District through semistructure survey. Gross margin analysis was used to know the proportion of income from goat production in supporting farmers economy. To know factors that affect income from goat production, analysis using single equation model. Result from survey indicated that goat rearing system in Sukabumi was extensively grassed rubber plantation without any feed supplementation. Goat genetic were majority Kacang goat. In Lampung goat are raised with management system fully confinement with feed resources from rubber plantation. Farmer characteristics in Sukabumi showed that 81.48% farmer work as rubber plantation labour while in Lampung 47.37% farmer work as farm labour. Goat rearing size was higher in Sukabumi than in lampung (average 19.8 vs 6.4 head/farmer). The differences rearing size in those area was influenced different management system, with fully grassing system in Sukabumi the farmer able to raised more than in cut and carry system like in Lampung. Selling rate in Sukabumi was higher than in Lampung (1.89 vs 1.59 head/year) with subsidies income Rp.330.925,- vs Rp.560.526,-/farmer/rear respectively for Sukabumi and Lampung. The higher income of Lampung farmer than Sukabumi was caused by the higher price for goat in Lampung than in Sukabumi. The price of ram in Lampung can be up to Rp.660.000,- while in Sukabumi only Rp.252.000,-/head. Prospect of raising goat in subsidising farmer income other than from food crop was higher. Income for selling goat was 13.14% in Sukabumi, and from labour salary was 76.95%. In Lampung income from food crop farming and from selling goat was 39.18 vs 19.31%. In Lampung the higher income from food crop farming because of the migrant from Java own adequate land to support food crop farming, with dominant crop corn and rice. That number of goat ownership has positive influence on income from goat production, it is indicated that the income by the increasing number of goat ownership (P>0.05). Income from food cropping system significantly affect the income from livestock production, this indicated that livestock production as a complement to cropping system in village. Income from goat production is not responsive to other variables that was predicted in the equation that indicated by elasticity less than one (<1). Key words: Goat production system, income ABSTRAK Secara umum usahaternak kambing di pedesaan, merupakan penunjang usaha pokok sektor pertanian. Salah satu kambing lokal yang umumnya diusahakan petani di pedesaan adalah kambing “Kacang”. Hal tersebut karena sistem pemeliharaan yang relatif mudah (cukup digembalakan), tidak membutuhkan banyak tenaga kerja, walaupun tingkat produkstivitasnya yang masih beragam dan relatif rendah. Kenyataan menunjukkan bahwa tingkat sumbangan pendapatan usahaternak kambing di pedesaan masih beragam dan sangat tergantung pada motivasi usaha (manajemen pemeliharaan), tingkat ketersediaan tenaga kerja keluarga serta skala usaha. Analisis ekonomik usahaternak kembing berdasarkan kondisi manajemen pemeliharaan
419
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
dilakukan melalui survei berstruktur di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lampung Selatan untuk mengetahui keragaman usaha (digembalakan dan dikandangkan). Analisis margin kotor digunakan untuk mengetahui seberapa besar penerimaan usahaternak dalam menunjang perekonomian petani. Sementara itu untuk mengetahui faktor-faktor yang dianggap berpengaruh terhadap penerimaan usahaternak dilakukan analisis dengan menggunakan model persamaan tunggal Hasil pengamatan menunjukkan bahwa skala pemilikan kambing di Sukabumi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Lampung Selatan (19,8 vs 6,4 ekor/peternak), dengan sumbangan penerimaan kotor sebesar Rp. 330.000,- vs Rp.560.526,-/peternak/tahun. Tingginya penerimaan di Lampung Selatan karena kualitas kambing di Lampung Selatan relatif lebih bagus (proporsi darah kambing PE cukup tinggi), yang disebut kambing “Rambon”. Hal demikian ditunjukkan pula tingkat harga kambing yang relatif lebih tinggi pada kondisi umur yang sama. Proporsi pendapatan usahaternak terhadap total pendapatan petani mencapai 13,14 vs 19,31% masing-masing di Sukabumi dan Lampung Selatan. Skala pemilikan kambing berpengaruh positif terhadap penerimaan usahaternak yakni dengan meningkatnya per ekor pemilikan kambing akan meningkatkan penerimaan usahaternak, walaupun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Akan tetapai penerimaan usaha pertanian yang dikelola petani nyata berpengaruh positif (P<0,05) terhadap penerimaan usahaternak. Hal tersebut menunjukkan bahwa usahaternak merupakan usaha komplementer usaha pertanian di pedesaan. Pendapatan usahaternak kambing tidak responsif terhadap peubah yang diduga berpengaruh dalam model persamaan yang ditunjukkan nilai elastisitas yang rendah (kurang dari 1). Kata kunci: Usaha ternak kambing, pendapatan
PENDAHULUAN Pembangunan peternakan diarahkan untuk meningkatkan pendapatan petani peternak, mendorong diversifikasi pangan dan perbaikan mutu gizi masyarakat serta pengembangan ekspor. Komoditas ternak yang umumnya diusahakan oleh petani kecil dalam upaya mendukung pendapatan dipedesaan adalah usahaternak kambing. Dari populasi ternak kambing yang ada di Indonesia yakni sekitar 13.881.400 ekor (BPS, 1999), sebagian besar terkonsentrasi di Pulau Jawa. Komposisi ternak kambing hampir seluruhnya adalah merupakan ternak asli diantaranya adalah kambing Kacang, kambing Peranakan Etawah dan kambing lokal lainnya. Kambing Kacang banyak diusahakan oleh petani di pedesaan karena sistem pemeliharaannya yang relatif mudah yakni cukup digembalakan dan dapat diusahakan tanpa pakan tambahan sehingga dapat menghemat tenaga kerja dan biaya pakan. Alasan pokok dalam pemeliharaan kambing Kacang tersebut adalah dikonsumsi dalam bentuk “sate” yang memiliki proporsi daging yang relatif tinggi dan cocok dengan selera pasar tukang sate. Dari populasi kambing di Indonesia pengelolaan usahaternak hampir seluruhnya berupa usaha peternakan rakyat dengan skala penguasaan relatif kecil yakni sekitar 2-5 ekor (SETIADI et al., 1995). Kambing lokal (Kacang dan Peranakan Etawah) yang ada pada saat sekarang ini masih memiliki tingkat produktivitas yang cenderung beragam. Khususnya kambing Kacang dilaporkan oleh beberapa peneliti (MERKENS dan SYARIF, 1932; SETIADI dan SITORUS, 1984), menunjukkan bahwa tingkat produktivitas relatif masih rendah. Dilain pihak, pada kondisi peternakan rakyat tingkat kelayakan usaha sangat ditentukan oleh kondisi sosio-ekomomik peternak sendiri. Pada kenyataannya menunjukkan bahwa tingkat sumbangan pendapatan usahaternak kambing di pedesaan masih beragam yang sangat tergantung pada motivasi usaha (manajemen pemeliharaan), tingkat ketersediaan tenaga kerja keluarga serta skala pemeliharaan ditingkat peternak khususnya jumlah induk yang dipelihara. Untuk mengetahui tingkat kelayakan ekonomik usahaternak kambing tersebut diperlukan kajian ekonomik usahaternak tersebut ditingkat petani pada kondisi menajemen yang berbeda. Hal ini dilakukan dalam rangka mendapatkan informasi seberapa jauh tingkat kontribusi usahaternak tersebut dalam menunjang 420
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
ekonomi rumah tangga di pedesaan, serta sebagai acuan model pengembangan kambing dalam jangka panjang. METODOLOGI PENELITIAN Suatu pengamatan dilakukan melalui survei terhadap peternak kambing untuk mengetahui potensi Kambing berdasarkan kondisi pemeliharaan yang berbeda dan untuk mengetahui karakteristik usahaternak serta prospek pengembangannya. Lokasi contoh pengamatan adalah Desa Sumberjaya, Kecamatan Surade di Kabupaten Sukabumi dan Desa Sri Mulya, Kecamatan Negrikatoon, Kabupaten Lampung Selatan yakni sebagai wilayah potensial Kambing lokal. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Lampung Selatan model pemeliharaannya relatif berbeda yakni digembalakan dan dikandangkan penuh dengan pemberian pakan secara diaritkan. Analisis ekonomik usaha ternak dilaksanakan berdasarkan analisis margin kotor menurut petunjuk AMIR dan KNIPSCHEER (1989). Sementara itu untuk mengetahui faktor-faktor lain yang diduga berpengaruh terhadap pendapatan usahaternak maka dilakukan analisis model persamaan tunggal (KOUTSOYIANNIS, 1977) dengan persamaan: ITER = ao+a1PTER+a2 IPOKOK+a3 JTER+a4 LLAHAN+a5 IPERT+U Dimana: ITER PTER IPOKOK JTER LLAHAN IPERT ao a1,a2, a3, a4, a5 U
= Penerimaan usahaternak kambing (Rp.000/tahun) = Harga jual kambing (Rp.000/ekor) = Penerimaan usaha pokok (Rp.000/bl) = Jumlah ternak yang dipelihara peternak (ekor) = Luas lahan yang digarap peternak (m2) = Penerimaan dari hasil pertanian (Rp/th) = intersep = parameter estimasi = galat
Sementara itu untuk mengetahui responsibilitas peubah penerimaan usahaternak terhadap peubah bebas yang dimasukkan dalam persamaan dilakukan perhitungan elastisitas yang dirumuskan sebagai berikut: X E
=
B Y
Dimana: E = elastisitas masing-masing peubah bebas B = nilai parameter estimasi ¯X = rataan peubah bebas ¯Y = rataan peubah tak bebas
421
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi umum wilayah penelitian Kondisi agro-ekosistem wilayah di Desa Sumberjaya, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi sebagian besar merupakan wilayah lahan kering perbukitan dengan pola usaha perkebunan karet dimana usahaternak kambing dibudidayakan oleh peternak dengan memanfaatkan areal penggembalaan dibawah perkebunan karet (PTP XII). Sistem pemeliharaan yang dilakukan adalah digembalakan penuh tanpa pakan tambahan. Bangsa kambing yang dipelihara adalah kambing Kacang, yang dipelihara dengan dikandangkan dalam kandang komunal (berkelompok) dengan memanfaatkan lahan perkebunan yang terletak dibelakang perumahan karyawan perkebunan tersebut. Sama halnya dengan di Desa Srimulya, Kecamatan Negrikaton, Kabupaten Lampung Selatan ternak kambing dibudidayakan dengan memanfaatkan rerumputan dari areal perkebunan karet, akan tetapi sistem pemeliharaanya dengan dikandangkan penuh dengan sistem diaritkan (cut and carry). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa mata pencaharian peternak di lokasi pengamatan Kabupaten Sukabumi (Tabel 1), pada umumnya sebagai buruh perkebunan (81,48%). Proporsi kedua adalah sebagai petani (14,81%), serta sebagian kecil sebagai pedagang (3,78%). Berbeda dengan peternak di Kabupaten Lampung Selatan, proporsi mata pencaharian peternak tertinggi adalah sebagai petani (47,37%), kemudian disusul sebagai pegawai dan buruh tani masing-masing sebesar 26,31 dan 16,31% dari jumlah responden responden. Peternak di Kabupaten Lampung Selatan pada umumnya merupakan petani transmigran dari Jawa yang memiliki lahan garapan untuk pertanian. Sehingga motivasi usahaternak kambing lebih belakangan dibandingkan dengan usaha pertanian. Tabel 1. Distribusi mata pencaharian peternak responden di dua lokasi pengamatan Mata pencaharian Buruh perkebunan Tani Dagang Pegawai Buruh tani Total
Sukabumi Jumlah 22 4 1 27
Lampung Persen 81,48 14,81 3,78 100
Jumlah 9 5 5 19
Persen 47,37 26,31 16,31 100
Potensi sumberdaya kambing Kacang Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rataan skala pemeliharaan kambing Kacang oleh peternak di lokasi Sukabumi relatif cukup tinggi (19,8 ekor/peternak). dengan status pemilikan ternak sendiri maupun gaduhan. Sementara itu di lokasi pengamatan Lampung Selatan, hanya mencapai rataan 6,4 ekor/peternak dengan status ternak gaduhan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan di lokasi Sukabumi. Proporsi tertinggi menurut status fisiologis ternak kambing yang dimiliki peternak adalah betina dewasa (Tabel 2). Hal tersebut karena pola usahaternak yang dibudidayakan adalah pola usaha produksi anak (pola pembibitan), sehingga induk adalah merupakan modal dasar usaha ternak.
422
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Usaha ternak kambing di lokasi Sukabumi ternyata dapat menunjang perekonomian peternak, yakni dengan melakukan penjualan kambing yang dipelihara sesuai dengan kebutuhan. Hal tersebut tidak terlepas dari sistem pemeliharaan yang digembalakan, sehingga peternak relatif lebih mampu memelihara dengan jumlah yang lebih tinggi. Areal perkebunan karet merupakan areal sangat potensial untuk penggembalaan kambing. Peternak hanya melepas ternaknya dilahan perkebunan dan pada saat sore hari kambing tersebut pulang dengan sendirinya. Hal tersebut yang mendorong adanya tingkat skala usaha yang relatif tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya. Keterbatasan tenaga kerja keluarga menuntut pertimbangan sistem usahaternak yang relatif praktis. Tabel 2. Skala pemilikan ternak kambing di dua lokasi pengamatan Status fisiologis Jantan Dewasa Betina Dewasa Jantan Muda Betina muda Jantan anak Betina anak Total
Sukabumi (ekor) Gaduhan 0,8 0,2 0,1
Sendiri 2,9 6,9 2,2 3,9 1,4 2,4 19,7
Total 2,9 (62,9) 8,8 (96,3) 2,3 (66,7) 3,9 (81,4) 1,4 (70,4) 2,4 (66,7) 19,8
Sendiri 0,5 2,0 0,6 0,6 1,2 0,9 5,8
Lampung (ekor) Gaduhan 0,2 0,2 0,1 0,1 0,6
Total 0,5 (26,3) 2,2 (89,5) 0,6 (42,1) 0,8 (63,2) 1,3 (63,2) 1,0 (63,9) 6,4
Keterangan: (..): menyatakan persen
Berbeda dengan peternak di Kabupaten Lampung Selatan, oleh karena sistem pemeliharaan kambing dengan cara diaritkan, cenderung membutuhklan tenaga kerja yang lebih banyak. Keterbatasan tenaga kerja yang dialokasikan untuk usahaternak kambing akan membatasi jumlah kepemilikan kambing yang dipelihara, karena mengarit rumput merupakan tenaga kerja tersisa yang dialokasikan oleh peternak dari usaha pertanian sebagai usaha pokoknya. Hasil penjualan kambing yang dilakukan selama setahun terakhir tertera pada Tabel 3. Terlihat bahwa di kedua lokasi pengamatan. proporsi penjualan yang tertinggi adalah pada kambing jantan. Rataan penjualan kambing selama setahun di lokasi Sukabumi, sebesar 1,59 ekor/peternak dan 1,89 ekor/peternak di lokasi Lampung, dengan rataan pendapatan sebesar Rp.330.925,-/peternak/tahun (Sukabumi) dan Rp.560.526,-/peternak/tahun (Lampung). Hasil penjualan kambing jantan dewasa di Lampung jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Sukabumi. Hal tersebut menunjukkan bahwa kualitas kambing Kacang yang dipelihara di Lampung jauh lebih baik dibandingkan dengan di Sukabumi. Berdasarkan pengamatan, genotipe kambing di Lampung merupakan kambing persilangan antara kambing Kacang dengan kambing Peranakan Etawah (PE) yang umum dikenal sebagai kambing “Rambon” (istilah lokal). Tabel 3. Penjualan kambing selama setahun terakhir yang dilakukan peternak di kedua lokasi pengamatan Status Fisiologis Jantan dewasa Betina dewasa Jantan muda Betina muda Jantan anak Betina anak Total Rata/peternak
Ekor 23 9 4 7 43 1,59
Sukabumi Total (Rp) 5.800.000 1.880.000 800.000 455.000 8.935.000 330.925
Rataan (Rp) 252.000 208.900 200.000 65.000 -
Ekor 9 4 8 10 2 3 36 1,89
Lampung Total (Rp) 5.940.000 675.000 1.075.000 1.210.000 150.000 250.000 10.650.000 560.526
Rataan (Rp) 660.000 168.750 134.375 121.000 75.000 83.333 -
423
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Peranan usahaternak kambing di pedesaan Berdasarkan distribusi pendapatan kotor peternak di dua lokasi pengamatan (Tabel 4), menunjukkan bahwa proporsi tertinggi dalam menunjang pendapatan petani di lokasi Sukabumi adalah pendapatan diluar pertanian yang mencapai Rp.1.937.772,-/peternak/tahun (76,95% dari total pendapatan), dan di lokasi Lampung mencapai Rp.1.294.728,-/peternak/tahun (44,60% dari total pendapatan). Pendapatan diluar usahatani di Sukabumi cukup menonjol karena peternak tersebut sebagian besar merupakan buruh tetap pada perkebunan karet (PTP XII) yang membentuk kelompok usaha ternak kambing dan domba dengan sistem kandang kelompok di areal perkebunan tersebut. Sebaliknya di Lampung usaha yang menonjol adalah sebagai buruh tani karena sektor pertanian di Lampung cukup potensial khususnya usaha pertanaman jagung. Kontribusi usaha pertanian lebih dominan di Lampung (30,07%) dibandingkan dengan di Sukabumi (9,90%), sedangkan kontribusi pendapatan usahaternak lebih tinggi di lokasi pengamatan Lampung dibandingkan dengan di Sukabumi (19,31 vs 13,14%). Tabel 4. Distribusi pendapatan kotor rumah tangga peternak di kedua lokasi pengamatan (setahun terakhir) Sektor usaha
Sukabumi Pendapatan (Rp)
Lampung %
Pendapatan (Rp)
%
Usaha pertanian
249.351
9,90
1.047.105
36,07
Usahaternak
330.925
13,14
560.526
19,31
Luar usahatani
1.937.772
76,95
1.294.728
44,60
Total
2.518.048
100
2.672.758
100
Usaha ternak kambing cukup membantu perekonomian petani di pedesaan disamping sumbangan pendapatan dari luar usaha pokok baik dari usaha pertanian maupun usaha lainnya. Di Kabupaten Sukabumi, usahaternak kambing Kacang menyumbangkan 13,14% penerimaan peternak disamping dari usaha pokok diluar pertanian (76,95%), yakni sebagai karyawan tetap di perkebunan karet dengan upah antara Rp.160.000,- s.d. Rp.200.000,-/bulan. Di Lampung Selatan usahaternak kambing menyumbang penerimaan sebesar 19,31%, dan usaha diluar usaha pertanian dan dari usaha pertanian hampir seimbang yakni sebesar 36,07% dan 44,60%. Proporsi sumbangan usahaternak kambing dikedua lokasi pengamatan terhadap total pendapatan peternak menunjukkan nilai yang cukup tinggi dibandingkan dengan usaha ternak penelitian kambing Peranakan Etawah 11-13% (SUBANDRIYO et al., 1995) di wilayah kantong ternak di Kabupaten Purworejo. Sementara itu peneltian SUDARYANTO et al. (1995), dalam penelitiannya di lahan kering di Kabupaten Semarang, menunjukkan bahwa kontribusi pendapatan usaha ternak domba hanya mencapai 3,4-6,9% dari total pendapatan petani. Kondisi demikian tidak terlepas dari potensi usaha lainnya dan tergantung pada spesifikasi lokasi dan potensial sumberdaya lahan dan sumberdaya pendukung lainnya. Tingginya penerimaan dari sektor usaha pertanian di lokasi Kabupaten Lampung Selatan karena mata pencaharian utama penduduk adalah dari usaha pertanian, dengan komoditas unggulan adalah padi dan jagung. Di kedua lokasi pengamatan, pengembangan ternak kambing masih berpeluang tinggi karena perternak relatif masih mau memperluas skala usahanya karena dukungan pakan yang cukup potensial di kedua lokasi yakni di areal perkebunan karet. Pada kondisi wilayah Sukabumi pengembangan kambing unggul dapat diterima peternak dengan asumsi bahwa kondisi pemeliharaannya masih bisa dilakukan secara digembalakan, mengingat kondisi keterbatasan tenaga kerja keluarga yang cenderung tercurahkan penuh pada buruh tetap perkebunan. 424
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
Analisis faktor-faktor produksi usahaternak kambing Hasil analisis pendugaan faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi penerimaan usahaternak kambing di pedesaan (Tabel 5), menunjukkan bahwa: (1) harga kambing ditingkat peternak; (2) jumlah ternak yang dipelihara (skala pemilikan); serta (3) penerimaan usaha pertanian; berpengaruh positif terhadap penerimaan usahaternak kambing. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan meningkatnya harga kambing ditingkat peternak, jumlah kambing yang dipelihara dan pendapatan usaha pertanian cenderung akan meningkatkan pendapatan usahaternak. Jumlah ternak yang dipelihara dan harga ternak memang merupakan faktor utama dalam peningkatan usahaternak. Faktor pemilikan ternak adalah merupakan asset peternak dalam usaha, sedangkan harga merupakan komponen penentu dalam fakror usaha. Hal lain yakni pendapatan usaha pertanian, merupakan komponen penting bagi petani untuk memperbesar usahaternak. Hal tersebut menurut informasi petani bahwa penghasilan usahatani akan merupakan bagian modal dalam usahaternak khususnya bagi peternak kecil yang sifatnya musiman. Pada saat panen banyak petani memanfaatkan hasil penjualan produk pertanian untuk pembelian ternak. Ternak tersebut dipersiapkan untuk tabungan sehingga cenderung menambah asset ternak yang dipelihara yang lebih jauh berdampak pada pendapatan usahaternak yang dibudidayakan petani. Tabel 5. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi penerimaan usahaternak dan nilai elastisitas Peubah
Parameter estimasi
Tingkat nyata
Intersep
-96,075
tn
Elastisitas*
Harga jual kambing
1,399
tn
0,69
Penerimaan usaha pokok
-0,188
tn
-0,07
Jumlah kambing yang dipelihara
5,212
tn
0,15
Luas lahan yang digarap
-0,053
tn
-0,15
Penerimaan usaha pertanian
1,472
**
0,58
Keterangan: tn = tidak berbeda nyata dalam (P>0,05) ** = berbeda nyata dalam (P<0,05) *(Elastisitas) = menggambarkan tingkat responsibilitas penerimaan usahaternak terhadap peubah yang diduga dalam persamaan (peubah bebas)
Sebaliknya bahwa pendapatan pokok petani dan luas lahan yang dimiliki petani yang dapat dikatakan mencerminkan luasan lahan garapan petani akan berpengaruh negatif terhadap penerimaan usahaternak kambing yang diamati. Pendapatan pokok petani akan berkompetitif dengan usaha ternak kambing, hal tersebut karena dengan semakin besar pendapatan pokok petani maka ada kecenderungan mengabaikan usaha lainnya termasuk usahaternak. Demikian halnya dengan semakin luas lahan garapan petani maka alokasi waktu yang tercurah pada usaha pertanian tersebut (tenaga kerja) akan lebih banyak terserap sehingga semakin sedikit tenaga kerja dialokasikan untuk usahaternak dan peternak akan mengurangi skala pemilikan ternaknya yang berdampak pada semakin menurunnya pendapatan usahaternak. Berdasarkan hasil perhitungan nilai elastisitas masing-masing peubah yang diamati menunjukkan bahwa penerimaan usahaternak kambing tidak responsif terhadap peubah yang dimasukkan dalam persamaan dengan hasil elastisitas kurang dari satu (peubah harga kambing, pendapatan pokok petani, jumlah kambing yang dipelihara, luas lahan serta pendapatan usaha pertanian). Hal tersebut berarti bahwa dengan meningkatnya satu persen peubah yang diduga, akan meningkatkan penerimaan usahaternak kurang dari satu persen (tidak elastis). 425
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
KESIMPULAN Dari hasil penelitian dikedua lokasi pengamatan (di Desa Sumberjaya, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi dan Desa Srimulyo, Kecamatan Negrikaton, Kabupaten Lampung Selatan) tentang profil usaha ternak kambing lokal dapat disimpulkan bahwa: 1.
Prospek usahaternak kambing di lahan petani cukup menunjang pendapatan petani di pedesaan yang memberikan kontribusi dari total pendapatan sebesar 13,14% di lokasi Sukabumi dan 19,31% dari total pendapatan di lokasi Lampung. Proporsi genotipe kambing yang dipelihara peternak cukup berpengaruh terhadap keberhasilan usahaternak kaitannya dengan harga jual kambing dan kontribusi usahaternak dalam pendapatan keluarga.
2.
Prospek pengembangan kambing dengan kualifikasi yang lebih bagus (kambing persilangan) cukup dapat diterima oleh peternak sepanjang manajemen pemeliharaanya relatif mudah khususnya di Sukabumi sepanjang pemeliharaanya dapat digembalakan, karena kondisi pekerjaan peternak yang cukup padat (sebagai buruh perkebunan).
3.
Harga kambing ditingkat petani, skala pemilikan kambing serta pendapatan usaha pertanian berpengaruh positif terhadap pendapatan usahaternak di pedesaan. Hal tersebut karena usahaternak cenderung merupakan usaha komplementer usaha pokok petani di pedesaan yakni usaha pertanian. Sebaliknya dengan semakin besarnya pendapatan pokok petani cenderung akan menurunkan pendapatan usahaternak, demikian pula luasan lahan yang digarap petani kaitannya dengan kompetisi tenaga kerja.
4.
Pendapatan usahaternak kambing tidak responsif terhadap peubah yang dimasukkan dalam persamaan yang ditunjukkan adanya nilai elastisitas yang dihasilkan kurang dari satu (tidak elastis). DAFTAR PUSTAKA
AMIR, P. dan KNIPSCHEER. 1989. Conducting On-farm Animal Research Procedures and Economic Analysis. Winrock Intern. Inst. for Agric. Development Res. Centre. Singapore National Printers Ltd. Singapore. ASTUTI, M., M. BELL, P. SITORUS and G.E BRADFORD. 1984. The impact of altitude on sheep and goat production. Working paper No. 30, SR-CRSP/Balitnak. Bogor. BIRO PUSAT STATISTIK. 1999. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 1998. Buku Statistik Peternakan 1998. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta. KNIPSCHEER, H.C., J. DE BOER and T.D. SOEDJANA. 1983. The Economic Role of Sheep and Goat in West Java. Bul. of Indonesian Economics Studies. Vol. XIX. No. 3: 74. KOUTSOYIANNIS, A. 1977. Theory of Econometrics, 2nd. The Macmillan. Press. Ltd. United. Kingdom. MERKENS. J dan SYARIF. 1932. Bijdfrage tot de kennis van de geitenfokkerij in Nederlandsh Oost Indie (Sumbangan Pengetahuan tentang Peternakan Kambing di Indonesia) dalam Utoyo, R.P. (penterjemah) 1979. Domba dan Kambing. LIPI. SETIADI, B dan P. SITORUS. 1984. Penampilan Reproduksi dan Produksi Kambing Peranakan Etawah. Proc. Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil. Pusdat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. pp.118-121.
426
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001
SETIADI, B., SUBANDRIYO, I.K. SUTAMA, K. DIWYANTO, I. INOUNU, M. MARTAWIDJAJA. A. ANGGRAENI, A. WILSON dan NUGROHO, 1999. Peningkatan Produktivitas Kambing Melalui Metode Persilangan. Laporan Hasil Penelitian APBN T.A. 1998/1999. Balai Penelitian Ternak. SUBANDRIYO, B. SETIADI, D. PRIYANTO, M. RANGKUTI, W.K. SEJATI, D. ANGGRAENI, RIA SARI, HASTONO dan O.S. BUTAR-BUTAR. 1995. Analisis potensi kambing Peranakan Etawah dan Sumberdaya di Daerah sumber bibit pedesaan. Pusat Penelitian dan pengembangan Peternakan. Bogor. SUDARYANTO, B., D. PRIYANTO, H.P. SALIEM, T. PRANAJI, E. JUARINI dan B. SETIADI. 1995. Introduksi sistem Pengembangan Model Usahaternak Domba di Daerah Lahan Kering. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak. Ciawi-Bogor.
427