Proceeding Simposium Nasional IATMI 25 - 28 Juli 2007, UPN “Veteran” Yogyakarta
_______________________________________________________________________________
PERANAN TEKNOLOGI SEKUESTRASI CO2 DALAM MENCIPTAKAN MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH DI INDONESIA Oleh: 1
Letty Bioletty1, Ego Syahrial1dan Edward Tobing1 PPPTMGB”LEMIGAS”, KPRT Eksploitasi Kelompok Cadangan Pengurasan, Jl.Ciledug Raya, Kav.109 Kebayoran Lama Jakarta Selatan Telp.7394422 ext. 1429, 1410 email:
[email protected] ABSTRAK
Sebagai konsekuensi keikut-sertaan Indonesia menandatangani Protokol Kyoto, Indonesia ikut bertanggung jawab dengan berpartisipasi aktif menciptakan Mekanisme Pembangunan Bersih. Mekanisme Pembangunan Bersih adalah suatu mekanisme yang fleksibel dalam Protokol Kyoto guna mengurangi emisi gas karbon dioksida. Hal ini memberi peluang bagi Indonesia sebagai negara berkembang untuk bisa menjual Credit Emission Reduction CER. Untuk itu Indonesia telah membentuk Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih yang mempunyai otoritas secara nasional yang telah disyahkan secara hukum oleh Kementerian Lingkungan Hidup pada tanggal 21 Juli 2005. Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, maka kebutuhan akan bahan bakar fossil di berbagai sektor industri, transportasi, dan lain-lain akan semakin meningkat, sehingga tidak tertutup kemunginan Indonesia menjadi salah satu negara terbesar penghasil CO2. Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia memikirkan untuk mengurangi emisi CO2 yang salah satunya dengan menerapkan teknologi sekuestrasi. Indonesia memproduksi CO2 dari berbagai sumber, misalnya lapangan-lapangan minyak, pabrikpabrik ammonia, LNG Plant Bontang dan pusat listrik berbahan bakar fossil (gas, minyak, batubara) yang tersebar di seluruh nusantara. CO2 yang terproduksi bisa digunakan untuk meningkatkan perolehan minyak dengan teknologi enhanced oil recovery injeksi CO2 atau bisa juga disimpan kembali di dalam formasi geologi diantaranya deep saline aquifer, depleted reservoir, coal bed methane reservoir, dan deep ocean. Dalam menerapkan teknologi sekuestrasi banyak hal yang harus diperhatikan diantaranya aspek hukum, aspek kebocoran dan aspek keekonomian. Aspek hukum terkait dengan keikutsertaan Indonesia dalam meratifikasi Protokol Kyoto beserta keharusan industri untuk menaati batas emisi yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Aspek kebocoran sewaktu proses penyimpanan tentunya akan terkait erat dengan integritas mekanik dari sumur-sumur injeksi serta sumur-sumur pantaunya. Aspek keekonomian akan menjadi sangat kompleks, karena biaya untuk melakukan penangkapan, penyimpanan, dan pemantauan akan dibebankan kepada konsumen akhir dari produk energi, seperti pengguna listrik, pengguna BBM, dan pengguna petrokimia. Dengan Mekanisme Pembangunan Bersih, negara-negara penghasil emisi CO2 terbesar bisa membantu negara-negara berkembang dalam menciptakan teknologi alternatif yang ramah lingkungan. Sehingga dari proyek proyek Mekanisme Pembangunan Bersih ini, dapat meningkatkan keekonomian negara dari hasil penjualan Credit Emission Reduction (CER). Keywords: emission reduction, climate change, CO2 sequestration, CDM ___________________________________________________________________________________ IATMI 2007-TS-43
Proceeding Simposium Nasional IATMI 25 - 28 Juli 2007, UPN “Veteran” Yogyakarta
_______________________________________________________________________________
PENDAHULUAN Secara alamiah sinar matahari yang masuk ke bumi, sebagian akan dipantulkan kembali oleh permukaan bumi ke angkasa. Sebagian sinar matahari yang dipantulkan itu akan diserap oleh gas-gas di atmosfer yang menyelimuti bumi, dan selanjutnya disebut sebagai “Gas Rumah Kaca (GRK)”, sehingga sinar tersebut terperangkap dalam atmosfir bumi. Peristiwa ini dikenal dengan Efek Rumah Kaca (ERK) karena kejadiannya sama dengan rumah kaca, dimana panas yang masuk akan terperangkap di dalamnya dan tidak dapat menembus ke luar kaca, sehingga dapat menghangatkan seisi rumah kaca tersebut (Gambar-1). Kejadian alam tersebut menyebabkan bumi menjadi hangat dan layak ditempati manusia, karena jika tidak ada ERK tersebut, maka suhu permukaan bumi akan lebih dingin 33o Celsius. Gas Rumah Kaca (GRK) yang berada di atmosfer dihasilkan oleh berbagai kegiatan manusia terutama yang berhubungan dengan pembakaran bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batubara) seperti pada pembangkitan tenaga listrik, transportasi, industri semen, pupuk, kilang minyak, besi baja (Gambar-2). Pembakaran dan penggundulan hutan serta aktivitas pertanian dan peternakan juga menghasilkan GRK. Selain itu, karena pada umumnya gas CO2 terkandung dalam reservoar minyak dan gas bumi, maka apabila hidrokarbon tersebut diproduksikan, gas CO2 akan terbawa ke permukaan sebagai sumber GRK juga. Sebagai contoh adalah Lapangan Gas Natuna dengan perkiraan kandungan hidrokarbon sebanyak 210 triliun kaki kubik, namun 70% kandungannya adalah gas CO2. Contoh lain adalah di daerah Bontang, Kalimantan Timur sedikitnya menghasilkan gas bebas CO2
___________________________________________________________________________________ IATMI 2007-TS-43
Proceeding Simposium Nasional IATMI 25 - 28 Juli 2007, UPN “Veteran” Yogyakarta
_______________________________________________________________________________
> > >
pantai, tapi juga mereka yang di perkotaan akibat intrusi air laut. Meningkatnya frekuensi penyakit yang ditularkan oleh nyamuk, seperti penyakit malaria dan demam berdarah. Menurunnya produktifitas pertanian akibat perubahan suhu dan pola hujan yang tak tentu. Sejumlah keanekaragaman hayati terancam punah akibat peningkatan suhu bumi rata-rata sebesar 1oC. Setiap individu harus beradaptasi pada perubahan yang terjadi, sementara habitatnya akan terdegradasi. Spesies yang tidak dapat beradaptasi akan punah. Spesies-spesies yang tinggal di kutub, seperti penguin, anjing laut, dan beruang kutub, juga akan mengalami kepunahan, akibat mencairnya sejumlah es di kutub.
Upaya dunia internasional untuk menahan penambahan konsentrasi GRK di atmosfer yaitu dengan melakukan kesepakatan tentang perubahan iklim yang dituangkan dalam Protokol Kyoto. Dalam kesepakatan tersebut negara-negara maju yang meratifikasi perjanjian ini wajib menurunkan emisi gas rumah kacanya. Setiap negara memiliki kewajiban yang berbeda, dengan total penurunan sebesar 5,2% dibandingkan tingkat emisi tahun 1990 pada periode komitmen pertama antara 2008 hingga 2012 2003). (http://www.kompas.com.,Maret Mekanisme penurunan gas rumah kaca yang diatur Protokol Kyoto tersebut adalah Joint Implementation, Emission Trading, serta Clean Development Mechanism (CDM). CDM atau Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) merupakan satu-satunya mekanisme yang memungkinkan kerjasama antara negara maju dengan negara berkembang. Selain menurunkan emisi di dalam negeri, negaranegara maju yang punya kewajiban menurunkan tingkat emisi dapat mengklaim penurunan emisi di negara-negara berkembang dengan membeli sertifikat CDM yang dikeluarkan oleh badan independen. Menyadari kemungkinan dampak perubahan iklim,
Indonesia telah meratifikasi Protokol Kyoto dan telah melakukan beberapa tindakan yang mendukung melalui UU No. 17 Tahun 2004. Di dalamnya secara eksplisit disebutkan bahwa sebagai negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia dan jumlah penduduk yang besar dengan kemampuan ekonomi terbatas, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Menurunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, meningkat dan meluasnya kasus penyakit, merupakan beberapa kemungkinan dampak dari perubahan iklim. Jadi, selain memperoleh keuntungan secara ekonomis, keberhasilan proyek-proyek CDM di Indonesia akan memberikan manfaat jangka panjang terhadap lingkungan. Berkaitan dengan semakin meluasnya penerapan konsep CDM, maka gas CO2 yang ikut terproduksikan dari lapangan minyak dan gas bumi tersebut perlu dikelola secara baik. Pengurangan emisi gas CO2 di Indonesia dapat direalisasikan melalui bermacam-macam pilihan kebijakan yang mencakup efisiensi energi dan pengembangan material, penanaman hutan, meningkatkan penggunaan energi terbarukan dan energi nuklir, serta menurunkan intensitas karbon dari bahan bakar fosil. Pilihan yang terakhir memerlukan perubahan perencanaan terhadap intensitas bahan bakar karbon dengan tangkap dan simpan karbon dioksida yang lebih dikenal dengan sekuestrasi CO2. Carbon Capture and Storage (CCS) adalah konsep yang relatif baru dikembangkan di era tahun 1980an dan saat ini belum diterapkan dalam skala besar. Konsep CO2 Capture tersebut diperkirakan dapat diterapkan pada sumber CO2 yang besar dengan proses/tahap kompresi, transportasi dan injeksi ke dalam reservoar geologi untuk injeksi CO2 dalam rangka proses penerapan EOR (Enhanced Oil Recovery) untuk meningkatkan produksi minyak pada tahap produksi tersier. Bila gas CO2 tersebut berlebihan dan tidak mampu seluruhnya terserap untuk kebutuhan EOR, maka pilihan lain adalah disimpan dalam
___________________________________________________________________________________ IATMI 2007-TS-43
Proceeding Simposium Nasional IATMI 25 - 28 Juli 2007, UPN “Veteran” Yogyakarta
_______________________________________________________________________________
depleted reservoir, deep saline aquifer (Underground Storage) dan Coal Bed. TEKNOLOGI SEKUESTRASI CO2 Sekuestrasi gas CO2 didefinisikan sebagai ”menangkap” dan “menyimpan” gas CO2 (CCS) dengan aman ke dalam reservoir yang dinilai lebih baik dibandingkan dengan melepas ke atmosfir bumi. Gas CO2 yang berasal dari gas buang lebih banyak berasal dari industri, pabrik, kendaraan, dll. Kebutuhan akan energi yang berasal dari perut bumi seperti gas, minyak,dan batu bara masih sangat diperlukan sebagai bahan bakar yang digunakan untuk industri, otomotif, dll. Akan tetapi untuk merubah bahan bakar yang berasal dari fossil menjadi energi diperlukan pembakaran yang mengakibatkan terjadinya reaksi karbon dengan udara sehingga terbentuk gas CO2. Produksi gas CO2 yang terlepas ke atmosfir bumi menyebabkan terjadinya perubahan iklim dunia, sehingga emisi CO2 ini harus diturunkan sebanyak 50% untuk menstabilkan konsentrasi CO2 di udara. (CO2 Net,2005). Menangkap CO2 sebelum atau sesudah proses pembakaran pada pusat-pusat tenaga listrik sangatlah efektif untuk mengurangi emisi gas CO2 ke atmosfir. Untuk itu telah dikembangkan beberapa teknologi untuk menangkap dan menyimpan CO2 kembali ke perut bumi. Penyimpanan ini diharapkan dapat menurunkan efek rumah kaca yang berakibat langsung pada lapisan atmosfir bumi. Penurunan produksi gas CO2 dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu: 1. Menggunakan energi yang berbahan dasar fossil secara tepat guna. 2. Menggunakan sumber energi alternatif lain seperti angin, air, matahari, nuclear 3. Menangkap dan menyimpan kembali CO2 kedalam bumi. 4. Mengganti bahan bakar yang kandungan carbonnya lebih sedikit contoh batubara dengan gas alam 5. Menurunkan penggunaan energi
berbahan dasar fossil dan menggantinya dengan energi konversi yang lebih effisien. Sampai saat ini permintaan akan bahan bakar fossil mencapai 85% dan merupakan sumber energi terbesar dunia dibandingkan dengan energi lainnya seperti nuklir, pusat listrik tenaga air, dan energi konservasi lainnya seperti biomasa, geotermal, angin, dan energi matahari. Pada kenyataannya sampai saat ini permintaan dunia akan energi pengganti hanya sekitar 1%. Tetapi melakukan pengurangan penggunaan bahan bakar yang berasal dari fosil dan menggantinya dengan energi lain tidak akan mencapai hasil yang optimum untuk mengurangi gas buang ke udara bila tidak disertai dengan proses penangkapan dan penyimpanan kembali gas CO2 kedalam perut bumi. Skema penerapan teknologi sekuestrasi di beberapa sektor industri yang saling berkaitan dapat dilihat pada Gambar-2. Sumber CO2 Pusat pembangkit tenaga listrik merupakan sumber emisi CO2 terbesar didunia. Hampir 1/3 nya berasal dari industri ini, dimana energi listrik yang bisa dihasilkan sebesar 500-1000 MW. Dari setiap 1000 MW energi listrik yang dihasilkan dari suatu pembangkit listrik dengan menggunakan bahan bakar batu bara akan menghasilkan 6-8 Mt/thn CO2. Bahan bakar fossil menghasilkan 4-6 Mt/thn CO2, dan dengan menggunakan bahan bakar gas alam menghasilkan 3-4 Mt/thn CO2.(Encyclopedia of Energi, 2004) Proses pengilangan minyak, LPG, LNG, dan industri lainnya (pupuk, semen, dsb), pada proses pembakarannya mengandung 5 % sampai 15% gas CO2.(CO2 Net 2005) Beberapa langkah kerja proses industri akan memproduksikan CO2 dengan konsentrasi yang lebih tinggi sebagai hasil dari proses pembakarannya, dibandingkan dengan jumlah keseluruhan CO2 yang dihasilkan relatif lebih sedikit. Proses menangkap CO2 sudah merupakan rangkaian kegiatan dari suatu industri yang menghasilkan produk CO2.
___________________________________________________________________________________ IATMI 2007-TS-43
Proceeding Simposium Nasional IATMI 25 - 28 Juli 2007, UPN “Veteran” Yogyakarta
_______________________________________________________________________________
Sebagai contoh gas alam yang keluar dari sumur biasanya mengandung CO2 dengan konsentrasi yang cukup tinggi sehingga perlu untuk ditangkap dan disimpan kembali ke dalam reservoar. Industri lain yang juga menghasilkan CO2 dan kemudian menangkapnya adalah pabrik amonia, proses fermentasi, dan industri penghasil hydrogen (seperti yang terdapat pada proses pengilangan minyak). Dimasa mendatang proses menangkap CO2 banyak bersumber dari industri yang memproduksikan bahan bakar hydrogen yang berasal dari gas alam, batubara, dan biomasa. CO2 yang dihasilkan sebagai akibat dari proses industri tersebut akan lebih bersih sehingga kenaikkan biaya produksi untuk menangkap CO2 relatif lebih rendah. Pada tahun 2000 emisi yang berasal dari sektor industri dan pembangkit tenaga listrik sebesar 13.44 GTon/tahun. Total emisi CO2 dunia sebagian besar dihasilkan oleh penggunaan bahan bakar fosil yang pada tahun 2002 menghasilkan CO2 sebesar 23.6 MTon, dan hanya sebagian kecil yang dihasilkan oleh proses penggundulan hutan, 60% diproduksikan oleh sektor pembangkit tenaga listrik, pengilangan, dan gas prosesing plants, sedangkan 20% dari industri lainnya. Kedua sektor inilah yang merupakan target untuk menangkap CO2. Sebagai gambaran emisi CO2 pada tahun 2030 akan meningkat mencapai 38.000 MTon/tahun, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar-3. Dari sektor industri, distribusi sumber emisi CO2 diperlihatkan oleh Gambar-4. Berdasarkan pembagian daerah penghasil emisi CO2 terbesar dunia adalah Amerika Utara (37%) dikuti oleh Eropa (14%) dan Cina (10%), (Gambar-5). Menangkap CO2 Proses menangkap CO2 atau teknologi dekarbonisasi untuk menangkap CO2 dibagi dalam3 kategori,(Oil & Gas Science and Technology-Rev.IFP.Vol.60, 2005).(Gambar6):
1.
Post-combustion, proses pemisahan CO2 sebagai gas buang dilakukan secara kimia dan fisika yang merupakan proses conventional air-fired combustion dimana kadar CO2 yang dipisahkan berkisar 3%12%. Juga diharapankan dapat memisahkan CO2 dari campuran yang didominasi oleh N2 dan O2, tapi juga kandungan gas lainnya seperti (SOx, NOx) 2. Pre-combustion, Carbon Dioxide ditangkap dari campuran gas yang didominasi oleh gas H2 pada tekanan 1540 bar dan kandungan CO2 atau C sebesar 15-40% yang diproduksikan oleh bahan bakar hidrokarbon. Pada saat pemisahan CO2/H2 terdapat gas lainnya yaitu CO2, H2S. 3. Denitrogenation/Oxyfuel Combustion, CO2 dapat terproduksikan pada saat sebelum atau selama proses combustion atau konservasi energi. Perbedaan dengan proses diatas adalah target yang dihasilkan selama proses pemisahan yaitu memproduksikan O2 dari udara (contoh pemisahan oxygen dari sebagian besar nitrogen), untuk itu tidak diperlukan lain proses pemisahan CO2 . Keuntungan dengan proses ini sebagian besar “impurities” bisa ditangkap, sehingga tidak terdapat gas buang. Ketiga proses diatas ini dapat diaplikasikan pada industri atau pembangkit tenaga listrik yang menggunakan bahan bakar hidrokarbon, biomas, atau dengan menggunakan bahan bakar dari konservasi energi. Tetapi proses secara kimia sangat tergantung dari bahan bakar yang digunakan dan jenis dari proses konservasi energinya Sebagai contoh apabila pusat tenaga listrik menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya dimana batu bara mengandung belerang hal ini akan mempengaruhi desain, biaya operasi pada proses dekarbonisasi. Hal ini berlaku juga bila menggunakan batubara dan aspal. Emisi CO2 hampir 30% berasal dari pembangkit tenaga listrik, oleh karena itu proses penangkapan CO2 pada pembangkit tenaga listrik memberikan dampak yang sangat
___________________________________________________________________________________ IATMI 2007-TS-43
Proceeding Simposium Nasional IATMI 25 - 28 Juli 2007, UPN “Veteran” Yogyakarta
_______________________________________________________________________________
penting dalam mengurangi emisi CO2 di udara. Sumber CO2 lainnya berasal dari proses pembakaran, penangkapan industri uap dan proses calcination (proses oxidasi logam dengan cara membakar). Teknologi penangkapan atau proses dekarbonisasi ini harus diterapkan pada industri di atas untuk mengurangi emisi CO2. Transportasi Setelah proses penangkapan gas CO2, kemudian gas CO2 tersebut dialirkankan ke tempat penampungan. Sebagian besar CO2 adalah bersifat lembam dan mudah ditangani serta dapat dialirkan melalui pipa salur dengan tekanan tinggi. Saat ini di Amerika Serikat kurang lebih 30 juta ton/tahun gas CO2 dialirkan melalui pipa salur. Pipa salur terpanjang yang terpasang adalah di pegunungan Sheep, sepanjang 656 km. Di dunia, saat ini kurang lebih 3100 km pipa salur terpasang dengan kapasitas 45 Juta ton/tahun gas CO2. (CO2Net European Carbon Dioxide Network, September 2004) Gas CO2 dapat ditransportasikan dalam fasa fluida pada tekanan antara 80 bar (minimum) sampai dengan 200 bar. Kebanyakan pipa salur CO2 di Amerika Serikat dioperasikan pada tekanan 120 – 140 bar dan pipa salur tersebut ditanam sedalam 1 meter. (CO2Net European Carbon Dioxide Network, September 2004).Material yang digunakan pada umumnya adalah carbon steel, atau material lain yang diperkirakan tahan terhadap korosi. Pada umumnya gas alam terdiri dari komponen yang dapat menyebabkan korosi seperti air dan gas H2S. Untuk menghindari adanya korosi, gas alam biasanya didehidratasi sebelum masuk jaringan pipa salur. Akan tetapi pipa tersebut dapat dilindungi dengan coating atau cathodic protection. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa laju korosi dapat dikendalikan pada kondisi dibawah suhu 30 oC, dan memungkinkan laju korosi lebih kecil dari 0.1 mm/tahun dengan menginjeksikan penghambat korosi.(IFE,2002)
Menyimpan CO2 Cekungan yang berupa endapan sangat cocok untuk penyimpanan bawah tanah. Reservoar yang mungkin untuk dijadikan tempat penyimpanan CO2 dan kapasitas masing masing reservoar dalam menyimpan CO2 ditunjukkan apada Gambar-7 dan Tabel-1: • Lapangan minyak dan gas yang telah terkuras • Deep saline aquifers • Unmineable coal seams Setiap reservoar seharusnya memenuhi beberapa persyaratan untuk memastikan penyimpanan CO2 yang aman dan optimal, diantaranya: • Volume penyimpanan bergantung pada porositas serta ketebalan yang harus sesuai dengan jumlah CO2 yang direncanakan untuk diinjeksikan • Permeabilitas yang sesuai untuk injeksi • Kedalaman lebih dari 800 m, karena kedalaman penyimpanan CO2 sangat kritikal dimana densitas CO2 dipastikan optimal untuk disimpan • CO2 akan terjebak dalam bentuk gas atau cairan superkritikal. Pada tahap ini CO2 bebas akan naik sampai batuan tudung akibat dari efek gaya apung dan akan terakumulasi. Untuk memastikan CO2 tetap terperangkap selama ribuan tahun maka permeabilitas dari batuan tudung (clay, salt) harus kecil. Kebocoran Ada beberapa risiko yang harus diantisipasi pada waktu menyimpan CO2 di reservoar dimana hal ini dapat menimbulkan kebocoran dengan merembesnya CO2 ke permukaan bumi. Kebocoran ini bisa disebabkan oleh: • Seismicity, timbulnya getaran-getaran kecil bumi yang diakibatkan oleh injeksi CO2. • Ground movement, penurunan atau kenaikan permukaan bumi yang diakibatkan oleh perubahan tekanan
___________________________________________________________________________________ IATMI 2007-TS-43
Proceeding Simposium Nasional IATMI 25 - 28 Juli 2007, UPN “Veteran” Yogyakarta
_______________________________________________________________________________
akibat induksi injeksi CO2. • Brine displacement, sebagai akibat dari injeksi CO2, terjadi perpindahan saline water ke formasi lain yang menyebabkan naiknya permukaan air sehingga menaikkan salinitas air minum di sumur artesis. • Kondisi sumur setelah tahap injeksi yang disebabkan oleh kesalahan desain atau konstruksi dari casing atau semen, korosi pada casing, dan kerusakan semen plug oleh CO2 / air formasi. • Kekuatan tudung batuan, tekanan overburden, dan mekanisme jebakan Untuk melihat potensi kebocoran di reservoar tertentu, perlu diketahui informasi yang lebih rinci meliputi jumlah, jenis, dan umur sumur, serta teknik komplesi. Selain itu kebocoran bisa terjadi di atau sepanjang sumur dan patahan pada tudung batuan (Gambar-8). Patahan pada tudung batuan disebabkan oleh:(CO2 Net,2004) • Capillary leakage, kebocoran ini akan diabaikan jika secara umum tekanan kapiler yang masuk ke batuan tudung dapat menahan tekanan yang terdapat pada hidrokarbon. Tekanan kapiler yang masuk dapat diukur dengan melakukan uji pada core. • Difusi CO2 ( disebabkan oleh perbedaan konsentrasi CO2 ) • CO2 mungkin akan bocor melalui rekahan yang dibuat oleh manusia misalnya: hydraulic fracturing dan over pressure di reservoar contohnya aquifer kecil yang tertutup. Hal ini bisa diatasi dengan cara tekanan injeksi CO2 tidak melebihi tekanan rekahnya, atau tidak melebihi tekanan awal reservoar • Dilatant shear formation, rekahan yang terjadi di tudung batuan, dimana formasi batuan membuat jalur aliran tersendiri, sehingga menaikkan permeabilitas batuan tudung, hal ini akan menimbulkan kebocoran. Tetapi deformasi shear ini dapat juga menyebabkan penurunan permeabilitas.
•
Zona dengan permeabilitas sangat tinggi yang terbentuk sebagai akibat reaksi antara CO2 dengan batuan, sehingga menyebabkan terlarutnya batuan. CO2 dapat mendehidrasi shale pada batuan tudung sehingga menaikkan permeabilitas. bisa keluar sepanjang patahan • CO2 terbuka yang mencapai batuan tudung. Hal ini dapat diminimalkan dengan terlebih dahulu melakukan analisa geologi dari reservoar yang akan diinjeksi. • Gangguan seismic dapat menyebabkan kerusakan pada batuan tudung. Kebocoran akan menyebabkan dampak lokal/regional sampai global. CO2 bisa menyebabkan gangguan kesehatan sampai dengan kematian apabila sampai melalui ambang batas yaitu apabila kandungan CO2 diatas 20-30%. Jika CO2 bermigrasi ke formasi diatasnya (100-200 m dari permukaan tanah) akan menyebabkan penurunan kualitas air tanah dan pada konsentrasi yang lebih besar akan mencemari air permukaan. Kenaikan konsentrasi CO2 di dalam tanah akan menurunkan PH tanah yang berakibat terjadinya penurunan kesuburan. Monitoring CO2 Monitoring memegang peran penting dalam penelitian CO2 sekuestrasi untuk menjamin keamanan dan keefektifan formasi geologi (depleted reservoir) dalam penyimpanan CO2. Selain itu, bisa melihat perkembangan CO2 di reservoar, memperoleh pengetahuan mengenai performance reservoar, tudung batuan, jalur migrasi, solubility, interaksi geochemical, air tanah, kualitas soil, dan pengaruhnya terhadap ekosistim dan micro-sesmicity yang berassosiasi dengan injeksi CO2. Banyak metoda yang dapat dilakukan diantaranya seismik, kombinasi pengukuran geofisik dengan teknik lain seperti pengukuran tekanan formasi dan simulasi reservoar. Dengan cara ini didapat perkiraan harga laju alir kebocoran secara kuantitatif.
___________________________________________________________________________________ IATMI 2007-TS-43
Proceeding Simposium Nasional IATMI 25 - 28 Juli 2007, UPN “Veteran” Yogyakarta
_______________________________________________________________________________
Alasan yang mendasari dilakukannya monitoring pada penyimpanan CO2 bawah permukaan diantaranya:(Oil & Gas Sience and Technoligy-Rev.IFP.Vol.60,2005). • Kesehatan dan keamanan, • Untuk memastikan apakah injeksi dan penyimpanan CO2 tidak berdampak buruk kepada kesehatan dan lingkungan. Memperkecil kemungkinan terjadinya kebocoran CO2. • Keseimbangan massa • Untuk memastikan apakah injeksi CO2 tepat berada di target formasi, dan jumlah CO2 yang diinjeksi sesuai dengan CO2 yang disimpan (keseimbangan masa). Monitoring adalah implementasi untuk mengawasi rencana jumlah CO2 yang diinjeksikan sesuai dengan kuota emisi dan kredit carbon (Kyoto portocol) yang diijinkan. • Mengembangkan pengetahuan mengenai kinerja CO2 yang diinjeksikan kedalam reservoar dan meramalkannya di masa mendatang. • Untuk pengembangan teknik dan metodologi penyimpanan CO2 di bawah permukaan dan kemungkinan gas lain yang bisa diinjeksikan di masa mendatang. IMPLEMENTASI SEKUESTRASI CO2 DI INDONESIA Teknologi sekuestrasi ini sudah dikembangkan dan diimplementasikan dibeberapa negara sejak tahun 1990 dimana sampai saat ini teknologi terus dikembangkan dan penelitian terus dilakukan terutama pada teknologi capture sehingga diharapkan dimasa mendatang teknologi ini cukup efisien dan ekonomis. Negara-negara yang sudah melakukan diantaranya(CO2 Net, 2004) : • Proyek BP and Sonatrach yang menginjeksikan CO2 dari lapangan gas In Salah, Aljazair ke perut bumi sejak tahun 2004. Proyek ini diharapkan mampu
mengurangi emisi sebesar 1000 ton CO2 per tahun. • Project Crust di Belanda yang menginjeksikan gas CO2 ke dalam reservoar lapangan gas lepas pantai yang dilakukan oleh Gaz de France. • Proyek LNG Snohvit Di Norwegia, Stato Oil sedang mengembangkan tiga lapangan gas di Brent Sea mempergunakan instalasi produksi bawah laut yang disambung ke jaringan pipa proses dan kilang pencairan di darat. Setiap tahun gas CO2 sebesar 700 ton mampu dipisahkan dari gas dan diinjeksikan ke dalam lapisan garam yang berada 2600 m di bawah permukaan laut. • Industri Gas Alam di Alberta, Canada memproduksi emisi CO2 dan H2S diinjeksikan ke deep salt reservoar yang berada pada kedalaman 1400-2900 m di bawah permukaan bumi sejak tahun 1994. • Lapangan Gas Sleipner West, Laut Utara sejak tahun 1996 menginjeksikan CO2 ke deep salt reservoar yang berada di bawah dasar laut. • Beberapa projek di Amerika yang menggunakan CO2 untuk meningkatkan perolehan minyak yang selanjutnya disimpan di depleted reservoar. Dari hasil kajian teknologi sekuestrasi CO2, terlihat kemungkinan teknologi ini bisa diterapkan di Indonesia. Indonesia memproduksi CO2 dari berbagai sumber, misalnya lapangan-lapangan minyak dimana gas CO2 sebagai gas ikutan, pabrik-pabrik ammonia, LNG Bontang, dan pusat-pusat listrik berbahan bakar fossil (gas, minyak, batubara) yang mana ini akan menjadi masalah untuk mengatasinya. CO2 yang terproduksi bisa digunakan untuk meningkatkan perolehan minyak dengan teknologi injeksi CO2 atau bisa juga disimpan kembali di depleted reservoir, deep saline aquifer dan coal bed. Dengan teknologi ini diharapkan Indonesia dapat menurunkan emisi gas buang CO2 keudara. Saat ini posisi Indonesia berada pada urutan ketiga dunia penghasil emisi gas CO2, dimana penghasil emisi terbesar berasal dari
___________________________________________________________________________________ IATMI 2007-TS-43
Proceeding Simposium Nasional IATMI 25 - 28 Juli 2007, UPN “Veteran” Yogyakarta
_______________________________________________________________________________
pembakaran hutan dan perubahan penggunaan lahan dari tanah pertanian ke sektor industri (Gambar-9 dan Tabel-2). Sektor-sektor lain yang turut memberi kontribusi penghasil emisi diantaranya dari : 1. Transportasi, dimana sampai saat ini energi pengganti bahan bakar fossil masih belum berkembang dengan baik. 2. Penggunaan bahan bakar batubara di sektor pembangkit tenaga listrik dimasa mendatang tidak bisa dihindari lagi, walaupun teknologi yang berkembang nanti menggunakan teknologi batu bara bersih. 3. Industri migas, terproduksinya CO2 sebagai gas ikutan dan pembakaran gas. Potensi CO2 yang dihasilkan dari lapangan minyak dan gas dapat dilihat pada Gambar-10. Penelitian untuk penerapan teknologi sekuestrasi di Indonesia belum banyak dilakukan, sementara potensi untuk menyimpan CO2 di wilayah Indonesia sangat memungkinkan. Penghitungan kapasitas penyimpanan di formasi geologi, depleted reservoar, deep saline aquifer, deep ocean, dan coal bed secara regional belum pernah dilakukan. Sumber CO2 yang berasal dari pembangkit tenaga listrik, industri kimia, pupuk, lapangan minyak, dll. apabila berlokasi dekat dengan formasi geologi yang memenuhi persyaratan penyimpan dapat ditangkap dan disimpan. Selain itu CO2 dapat digunakan untuk meningkatkan perolehan minyak dengan menerapkan salah satu teknologi EOR. Pembuatan roadmap di seluruh wilayah Indonesia yang berawal dari sumber-sumber CO2 yang berasal dari industri, ditangkap kemudian disimpan di reservoar geologi atau digunakan kembali perlu untuk dilakukan dimana hal ini memudahkan para investor terutama negara maju untuk dapat melakukan mekanisme pembangunan bersih di Indonesia. Dilain pihak Indonesia yang sudah menandatangani Kyoto Protokol menunjukkan peranan aktif di sektor energi dalam menurunkan emisi gas CO2 ke atmosfir.
Saat ini gas CO2 yang terproduksi di lapangan migas diinjeksikan kembali sebagai pressure maintenance. Padahal untuk menyimpan CO2 ke reservoar bisa dilakukan dengan menggunakan teknologi konvensional yang biasa dilakukan di industri perminyakan seperti injeksi air, gas, dan uap panas. Hal ini dikarenakan belum adanya penelitian yang menginformasikan kemampuan formasi geologi dalam meyimpan CO2 sehingga banyak industri belum berani untuk melakukan teknologi ini. Dalam menerapkan teknologi sekuestrasi banyak hal yang harus diperhatikan mulai dari aspek hukum, kemungkinan terjadinya kebocoran pada waktu proses penyimpanan, pemantauan, sampai dengan faktor keekonomian. Hal ini menjadi suatu tantangan yang harus bisa diatasi hingga menjadi suatu peluang untuk meningkatkan ekonomi negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Aspek hukum terkait dengan keikutsertaan Indonesia dalam meratifikasi Protokol Kyoto beserta keharusan industri untuk menaati batas emisi yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Aspek kebocoran sewaktu proses penyimpanan tentunya akan terkait erat dengan integritas mekanik dari sumur-sumur injeksi serta sumursumur pantaunya. Dalam hal pemantauan tentunya akan menjadi bagian tak terpisahkan dari operasi industri yang menyimpannya. Aspek keekonomianlah yang akan menjadi sangat kompleks, karena biaya untuk melakukan penangkapan, penyimpanan, dan pemantauan akan dibebankan kepada konsumen akhir dari produk energi, seperti pengguna listrik, pengguna BBM, dan pengguna petrokimia. Dengan mekanisme pembangunan bersih, negara-negara penghasil emisi CO2 terbesar bisa membantu negaranegara berkembang dalam menciptakan teknologi alternatif yang ramah lingkungan. Di sektor migas beberapa hal yang bisa dilakukan diantaranya merubah pembakaran gas sisa yang mengandung emisi CO2, metana (CH4), dan
___________________________________________________________________________________ IATMI 2007-TS-43
Proceeding Simposium Nasional IATMI 25 - 28 Juli 2007, UPN “Veteran” Yogyakarta
_______________________________________________________________________________
bahan kimia berbahaya seperti karsinogen dan logam menjadi kegiatan yang produktif seperti untuk proyek penginjeksian ulang, peningkatan efisiensi dan untuk kebutuhan energi sendiri maupun dijual. Dengan memasukkan proyekproyek tersebut sebagai proyek CDM, maka penjualan CER dapat memberikan penghasilan tambahan bagi proyek dan meningkatkan keekonomian negara dan sekaligus bisa menekan biaya yang harus ditanggung oleh konsumen akhir.
Hal ini diakibatkan oleh kebutuhan energi berbahan dasar fossil akan semakin meningkat sebanding dengan pertambahan penduduk. PPPTMGB ”LEMIGAS” diharapkan untuk terus melakukan penelitian secara lebih intensif dalam menerapkan teknologi sekuestrasi CO2 di bagian lain wilayah Indonesia. Hal ini diharapkan tidak dilakukan sendiri, tetapi bekerja sama dengan industri-industri terkait yang didukung oleh pemerintah sebagai pemegang kebijakan.
ANALISA DAN PEMBAHASAN
KESIMPULAN
Teknologi sekuestrasi CO2 merupakan teknologi alternatif yang bisa digunakan untuk mengatasi permasalahan pemanasan global yang sudah menjadi isu internasional dan menjadi tanggung jawab masyarakat dunia. Untuk Indonesia hal ini menjadi tantangan dalam meningkatkan kemampuannya di bidang teknologi yang dimulai dari pengembangan SDM guna menguasai teknologi ini. Adanya kerja sama diantara negara-negara industri dan negara-negara berkembang, maka pertukaran teknologi bisa terjadi dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Kini saatnya bagi lembagalembaga penelitian yang ada di Indonesia termasuk perguruan tinggi bekerja sama dengan industri industri terkait untuk bersamasama menciptakan teknologi alternatif yang ramah lingkungan dan menerapkan teknologi sekuestrasi. Teknologi sekuestrasi merupakan gabungan dari teknologi penangkapan dan penyimpanan (CCS atau Capturing and Storing CO2) yang sangat bermanfaat buat industriindustri yang mengeluarkan limbah CO2. Tentunya pemerintah harus bertindak sebagai motor penggerak dan pengawas kegiatan secara keseluruhan agar hal ini bisa terwujud. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk No.3 terbanyak di dunia sudah saatnya untuk lebih serius menangani hal ini, karena kemungkinan besar di masa mendatang Indonesia bisa menjadi salah satu negara penghasil limbah CO2 terbesar di dunia.
1.
2.
3.
Dengan menerapkan Mekanisme Pembangunan Bersih di Indonesia selain dapat menurunkan emisi CO2, juga dapat menaikkan devisa negara melalui perdagangan Credit Emision Reduction Perlu dilakukan suatu kajian yang terintegrasi antara industri-industri penghasil emisi CO2 dengan Pusat Penelitian MIGAS dan Perguruan Tinggi untuk dapat mengimplementasikan teknologi sekuestrasi pada formasi geologi (depleted reservoar, deep saline aquifer, coal bed) CO2 yang terproduksi bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan perolehan minyak dengan teknologi injeksi CO2 .
DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
3.
CO2 storage in Deep salt Water Reservoirs, IEA Green House gas R&D Programme Storing CO2 In Geological Reservoirs: The Sleipner And Sacs Projects, Tore A Torp, Statoil R&D Center, N-7005 Trondheim, Norway. John Gale, IEA Greenhouse Gas R&D Programme, Cheltenham, UK.
Monitoring Subsurface CO2 Storage, P.Winthaegen, R.Arts and B.Schroot, Oil & Gas Science and TechnologiRev.IFP, Vol.60(2005).
___________________________________________________________________________________ IATMI 2007-TS-43
Proceeding Simposium Nasional IATMI 25 - 28 Juli 2007, UPN “Veteran” Yogyakarta
_______________________________________________________________________________
4.
5. 6. 7. 8. 9. 10.
IPCC Special Report on Carbon Capture and Storage, Edited by Bert Metz, Ogunlade Devidson, Heleen de Coninck, Manuela Loos, Leo Meyer, Cambridge University, 2005 Geological Storage of CO2 , IEA Green House gas R&D Programme, 2003 Capture and Storage of CO2, IEA Green House gas R&D Programme. Capturing and Storing Carbon Doxide: Technical Lessons Learned, September 2004. CO2 Capture Process Priciples and Costs, P.H.M.Feron and C.A.Hendriks Capturing and Storing Carbon Dioxide: Technical Lessons Learned, September 2004 Geological Storage of CO2, IEA GHGs R&D Programme, 2003
11. 12.
13.
14. 15.
16.
Executive Summary: Indonesia and Climate Change, Working Paper On Current Status and Policies, March 2007 Workshop On Carbon Dioxide Capture & Storage, Proceedings Published By ECN, Intergovernmental Panel On Climate Change, Regina, Canada, 18 – 21 November 2002 Monitoring to Ensure Safe And Effective Geologic Storage of CO2, Sally M.Benson & Larry Myer, Lawrence Berkeley National Lab. Berkeley, California. A”Down – To – Earth” Solution To Climate Change, European Carbon Dioxide Network, CO2 Net 2005. Carbon Capture and Storage From Fossil Fuel Use, Howard Herzog and Dan Golomb, Massachusetts Insitute of Technology, Lab.For Energy and The Environment. http://www.kompas.com, Maret 2003
TABEL 1. KAPASITAS PENYIMPANAN CO2 (Sumber: IEA GHGs R&D Programme, 2003)
___________________________________________________________________________________ IATMI 2007-TS-43
Proceeding Simposium Nasional IATMI 25 - 28 Juli 2007, UPN “Veteran” Yogyakarta
_______________________________________________________________________________
TABEL 2. NEGARA-NEGARA PENGHASIL EMISSI CO2 TERBESAR DUNIA (Sumber: Executive Summary: Indonesia and Climate Change, Working Paper On Current Status and Policies,2007)
GAMBAR 1. ILUSTRASI EFEK RUMAH KACA (Sumber: Workshop On Carbon Dioxide Capture & Storage, Proceedings Published By ECN, Intergovernmental Panel On Climate Change, Nov.2002)
___________________________________________________________________________________ IATMI 2007-TS-43
Proceeding Simposium Nasional IATMI 25 - 28 Juli 2007, UPN “Veteran” Yogyakarta
_______________________________________________________________________________
GAMBAR 2. SKEMA PENERAPAN TEKNOLOGI SEKUESTRASI
(Sumber: IPCC Special Report on Carbon Capture and Storage, Edited by Bert Metz, Ogunlade Devidson, Heleen de Coninck, Manuela Loos, Leo Meyer,Cambridge University, 2005)
CO 2 emissions (Mt/yr)
20000
2030 2002
16000 12000 8000 4000 0 power
industry
transport
residential + services
other sectors
GAMBAR 3. DIAGRAM SUMBER EMISI GAS CO2 (Sumber: Workshop On Carbon Dioxide Capture & Storage, Proceedings Published By ECN, Intergovernmental Panel On Climate Change, Regina, Canada, 18 – 21 November 2002)
___________________________________________________________________________________ IATMI 2007-TS-43
Proceeding Simposium Nasional IATMI 25 - 28 Juli 2007, UPN “Veteran” Yogyakarta
_______________________________________________________________________________
GAMBAR 4. DISTRIBUSI SUMBER EMISI CO2 UNTUK SEKTOR INDUSTRI12) (Sumber : Workshop On Carbon Dioxide Capture & Storage, Proceedings Published By ECN, Intergovernmental Panel On Climate Change, Regina, Canada, 18 – 21 November 2002)
GAMBAR 5. DISTRIBUSI PENGHASIL EMISI CO2 DI DUNIA12) (Sumber: Workshop On Carbon Dioxide Capture & Storage, Proceedings Published By ECN, Intergovernmental Panel On Climate Change, Regina, Canada, 18 – 21 November 2002)
___________________________________________________________________________________ IATMI 2007-TS-43
Proceeding Simposium Nasional IATMI 25 - 28 Juli 2007, UPN “Veteran” Yogyakarta
_______________________________________________________________________________
GAMBAR 6. SISTEM PENANGKAPAN CO2
(Sumber: IPCC Special Report on Carbon Capture and Storage, Edited by Bert Metz, Ogunlade Devidson, Heleen de Coninck, Manuela Loos, Leo Meyer, Cambridge University, 2005)
GAMBAR 7. TEMPAT MENYIMPAN CO2 DI FORMASI GEOLOGI
(Sumber: IPCC Special Report on Carbon Capture and Storage, Edited by Bert Metz, Ogunlade Devidson, Heleen de Coninck, Manuela Loos, Leo Meyer, Cambridge University, 2005) ___________________________________________________________________________________ IATMI 2007-TS-43
Proceeding Simposium Nasional IATMI 25 - 28 Juli 2007, UPN “Veteran” Yogyakarta
_______________________________________________________________________________
GAMBAR 8. KEMUNGKINAN KEBOCORAN PADA WAKTU PENYIMPANAN CO2 (Sumber: Monitoring to Ensure Safe And Effective Geologic Storage of CO2, Sally M.Benson & Larry Myer, Lawrence Berkeley National Lab. Berkeley, California)
GAMBAR 9. NEGARA-NEGARA PENGHASIL EMISI CO2 TERBESAR DUNIA (Sumber: Executive Summary: Indonesia and Climate Change, Working Paper On Current Status and Policies,2007) ___________________________________________________________________________________ IATMI 2007-TS-43
Proceeding Simposium Nasional IATMI 25 - 28 Juli 2007, UPN “Veteran” Yogyakarta
_______________________________________________________________________________
CO2 Potential
CO2 Composition in Indonesian Gas Reserves: Java -Gas: Kalimantan -Gas: Sumatera -Gas: Irian -Gas: Natuna Field -Gas :
CO2, 10 – 20% CO2, 7 – 14% CO2, 7 – 12% CO2, 2% CO2 > 60%
Total Reserves more than 180 TCF
18
GAMBAR 10. POTENSI EMISI CO2 DI SEKTOR MIGAS INDONESIA (Sumber: Dirjen MIGAS, 2006)
___________________________________________________________________________________ IATMI 2007-TS-43