5 LAJU HISTORIS KARBON SEKUESTRASI DAN LAJU EMISI CO2 DI WILAYAH PESISIR
Laju historis karbon sekuestrasi dan laju emisi CO2 di wilayah pesisir yang dikaji pada bab ini merupakan hasil komparasi antara kawasan TN Sembilang dengan frontier area/FA (Kabupaten Banyuasin),
yaitu suatu wilayah perbatasan yang sangat
berpengaruh terhadap keberlanjutan kawasan hutan konservasi. Data yang diperoleh merupakan
hasil analisis
dari berbagai literatur, penggalian informasi secara
eksploratif, hasil analisis spasial dari citra landsat tahun 2003 dan 2006 maupun berdasarkan verifikasi tinjauan lapangan.
Secara substansial, analisis laju historis
karbon sekuestrasi dan laju emisi antar dua wilayah ini pada prinsipnya untuk mencapai tujuan dan output penelitian meliputi : (1) Mengukur tingkat potensi karbon sekuestrasi dan laju emisi CO2 dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir. (2) Menganalisis indikator penggerak laju emisi karbon di kawasan pesisir
5.1 Potensi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Sumberdaya Pesisir 5.1.1 Tingkat Deforestasi dan Degradasi Sumberdaya Pesisir Pada sub bab ini menganalisis serangkaian citra multi temporal (2003-2006) untuk menghasilkan informasi dinamika sistem tata guna lahan (land use and land use change and forestry) di kawasan pesisir terutama pada kawasan hutan mangrove TN Sembilang dan FA. Selanjutnya data informasi ini dapat digunakan sebagai data penduga deforestasi dan degradasi hutan untuk menganalisis laju emisi CO2 di wilayah tersebut. Tujuan analisis deliniasi spasial ini adalah : (1) Untuk mendapatkan perubahan penggunaan ruang pesisir di kawasan TN Sembilang dan FA (Kabupaten Banyuasin) selama kurun waktu 2003-2006, yaitu waktu referensi perubahan emisi pada studi ini, (2) Memprediksi laju emisi CO2 yang dihasilkan pada kurun waktu tersebut maupun prediksi emisi CO2 di masa datang, baik di kawasan TN Sembilang maupun di FA. 5.1.1.1
Laju Historis Deforestasi dan Degradasi Hutan di Frontier Area
Hasil analisis komparasi citra satelit tahun 2003 dan 2006 menunjukkan dinamika sistem tata guna lahan yang mencakup perubahan tutupan vegetasi serta dinamika penggunaan lahan di seluruh wilayah Kabupaten Banyuasin serta kawasan TN
130
Sembilang. Data historis penggunaan lahan ini penting diketahui untuk mendapatkan informasi luas lahan terkonversi untuk kepentingan produktif lainnya serta luasan lahan hutan yang terdeforestasi maupun terdegradasi. Hasil analisis citra teridentifikasi berbagai liputan luas tutupan meliputi 18 jenis tutupan lahan tahun 2003 dan 19 jenis tutupan lahan tahun 2006. Pada citra tahun 2003 tidak teridentifikasi hutan tanaman dan padang rumput, sedangkan pada citra tahun 2006 tidak teridentifikasi area transmigrasi. Selama periode itu telah terjadi kenaikan dan penurunan fungsi kawasan, baik yang direncanakan (planned degradation) maupun yang tidak direncanakan (unplanned degradation). Perubahan tata guna lahan ini berada di semua fungsi kawasan, yaitu di areal penggunaan lain (APL), hutan lindung (HL), hutan produksi (HP), hutan produksi dapat dikonversi (HPK) maupun di hutan suaka alam (HSA). Hasil analisis deliniasi perubahan tata guna lahan dan sumberdaya pesisir di Kabupaten Banyuasin disajikan pada Tabel 17, Gambar 30 dan Gambar 31. Tata guna lahan yang mengalami kenaikan luas yaitu: tanah kosong (0,01%), perkebunan (3,72%), hutan tanaman (1,16%), tambak (0,12%), padang alangalang/sabana (10,53%), hutan rawa sekunder (10,27%), pemukiman (0,06%), serta badan air (0,17%). Sementara itu tata guna lahan yang mengalami penurunan luas yaitu : Belukar (-2,94%), pertanian lahan kering (-2,04%), pertanian lahan kering campuran dan belukar (-2,12%), tambang (-0,18%), hutan mangrove primer (-0,21%), hutan rawa primer (-4,86%), hutan lahan kering sekunder (-0,23%), hutan mangrove sekunder (0,08%), rawa (-9,19%), serta belukar rawa (-1,12%) sebagaimana disajikan pada Tabel 18.
131
Tabel 17 Pola tata guna lahan di frontier area (Kabupaten Banyuasin) pada periode 2003-2006 Tipe Tutupan Lahan (land cover) Tanah kosong (T) Belukar (B) Pertanian lahan kering (Pt) Pertanian lahan kering dan belukar (Pc) Tambang (Tb) Sawah (Sw) Perkebunan (Pk) Hutan tanaman (Ht) Tambak (Tm) Hutan mangrove primer (Hmp) Hutan rawa primer (Hrp) Padang alang-alang. sabana (S) Hutan lahan kering sekunder (Hs) Hutan mangrove sekunder (Hms) Hutan rawa sekunder (Hrs) Pemukiman (Pm) Rawa-rawa (Rw) Belukar rawa (Br) Transmigrasi (Tr) Badan air (A) Grand Total
2003 3.338 36.737 50.937 115.632 2.638 167.349 43.186 2.294 9.481 5.113
APL (ha) 2006 6.563 18.564 25.305 92.857 991 154.307 92.285 13 2.864 7.866
HL (ha) 2003 2006 236 104 1.792 3.196 50 50 238 213 6.886 7.625 2.353 1.727 37.733
34.449 1.886 1.813 44.823 46.996 89.292 38.814 20.064 25.478 705.873
1.023 71.531 46.996 23.998 100.152 26.108 705.873
1.510 36.695
HP (ha) 2003 2006 477 8 3.597 22 3.250 50 329 8.188 75 20.288 27.090
6.274 2.945 987 703 5.429 881 1.833 64.637
33 504 13.871 70 18.353 125 8.380
HPK (ha) 2003 2006 3.114 1.131 2.250 3.128 1.252 5.431 350 2.939 809 368 13.577 10.791 5.544 5.768 1.120
162 67.528 26.223
77 69.577
2.065
5.862 1.141 3.667 3.842 3.920 23.804
13.890 1.339 34 30.647 97.258
71.397 46 10.012 73.945 12 4.605 20.748
363 73.274
7.861 266.629
9.363 266.629
1.255 593 420 528 5.649
3.407 6.832 77 7.028 8.157
8.791 29.563 723 7.949
2.998 3.196 15.702 22.077
1.368 64.637
1.288 90.084
1.642 90.084
341 73.274
Sumber: Diolah dari Citra Landsat 2003 dan 2006 serta berbagai data lainnya Keterangan: APL : Area Penggunaan Lain HL : Hutan Lindung HSA : Hutan Suaka Alam HP : Hutan Produksi HPK : Hutan Produksi Konversi
2003 833 14.712 142 5.303 173 524
HSA (ha) 2006 355 2.079 253 3.198 106 192 666
Grand Total (ha) 2003 2006 7.996 8.160 59.089 23.770 55.526 31.011 124.586 99.095 3.858 1.677 188.664 172.948 56.919 101.575 13.884 4.259 5.642 135.030 132.491 58.427 125 126.361 3.951 1.186 22.055 21.082 55.993 179.300 51.290 51.993 143.372 33.051 171.735 158.303 20.944 36.802 38.843 1.200.497 1.200.497
132
Gambar 30 Peta tata guna lahan di TNS dan frontier area (Kabupaten Banyuasin) pada tahun 2003
133
Gambar 31 Peta tata guna lahan di TNS dan frontier area (Kabupaten Banyuasin) pada tahun 2006
134
Tabel 18 Perubahan historis tata guna lahan pada periode 2003-2006 di frontier area No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Perubahan Tipe Tutupan Lahan 2003 2006 (ha) (%) (ha) 7.996 0,67 8.160 59.089 4,92 23.770 55.526 4,63 31.011 124.586 10,38 99.095
Tipe Tutupan Lahan (land cover) Tanah kosong (T) Belukar (B) Pertanian lahan kering (Pt) Pertanian lahan kering dan belukar (Pc) Tambang (Tb) Sawah (Sw) Perkebunan (Pk) Hutan tanaman (Ht) Tambak (Tm) Hutan mangrove primer (Hmp) Hutan rawa primer (Hrp) Padang alang-alang, sabana (S) Hutan lahan kering sekunder (Hs) Hutan mangrove sekunder (Hms) Hutan rawa sekunder (Hrs) Pemukiman (Pm) Rawa-rawa (Rw) Belukar rawa (Br) Transmigrasi (Tr) Badan air (A) Grand Total
3.858 188.664 56.919 4.259 135.030 58.427 3.951 22.055 55.993 51.290 143.372 171.735 20.944 36.802 1.200.497
0,32 15,72 4,74 0,00 0,35 11,25 4,87 0,00 0,33 1,84 4,66 4,27 11,94 14,31 1,74 3,07 100
1.677 172.948 101.575 13.884 5.642 132.491 125 126.361 1.186 21.082 179.300 51.993 33.051 158.303 38.843 1.200.497
(%) 0,68 1,98 2,58 8,25 0,14 14,41 8,46 1,16 0,47 11,04 0,01 10,53 0,10 1,76 14,94 4,33 2,75 13,19 0,00 3,24 100
Perubahan (%) 0,01 -2,94 -2,04 -2,12 -0,18 -1,31 3,72 1,16 0,12 -0,21 -4,86 10,53 -0,23 -0,08 10,27 0,06 -9,19 -1,12 -1,74 0,17
Sumber : Hasil analisis deliniasi spasial (2010).
Perubahan peningkatan alih fungsi untuk pemukiman terjadi pada kawasan hutan mangrove primer (93 ha),
hutan rawa primer (12 ha), hutan lahan kering
sekunder (55 ha), hutan mangrove sekunder (60 ha) dan hutan rawa sekunder (483 ha). Dengan demikian, total perubahan alih fungsi kawasan hutan menjadi pemukiman sekitar 703 ha atau sekitar 234,33 ha th-1 (lihat Tabel 19). Penambahan luas pemukiman dari areal hutan ini merupakan konsekuensi logis dari semakin meningkatnya jumlah penduduk di Kabupaten Banyuasin dimana rata-rata laju pertumbuhan penduduknya mencapai 2,58% th-1. Selain itu juga Kabupaten Banyuasin merupakan daerah tujuan transmigrasi di Provinsi Sumatera Selatan. Namun demikian apabila dicermati lebih lanjut pada peta hasil deliniasi citra 2003-2006 terdapat suatu hal yang kontradiktif dengan fenomena tersebut dimana areal fungsi transmigrasi seluas 20.944 ha telah beralih fungsi perkebunan dan areal persawahan.
menjadi areal hutan tanaman,
135
Tablel 19 Laju historis perubahan deforestasi dan degradasi hutan pada periode 20032006 di frontier area Penutupan Lahan 2003 Hutan mangrove primer (Hmp)
Hutan rawa primer (Hrp)
Hutan lahan kering sekunder (Hs)
Hutan mangrove sekunder (Hms)
Penutupan Lahan 2006
Tanah kosong (T) Belukar (B) Pertanian Lahan kering (Pc) Tambang (Tb) Sawah (Sw) Perkebunan (Pk) Hutan tanaman (Ht) Tambak (Tm) Sabana (S) Hutan mangrove sekunder (Hms) Hutan rawa sekunder (Hrs) Pemukiman (Pm) Rawa-rawa (Rw) Belukar rawa (Br) Badan air (A) Belukar (B) Pertanian lahan kering dan belukar (Pc) Perkebunan (Pk) Sabana (S) Hutan mangrove sekunder (Hms) Hutan rawa sekunder (Hrs) Pemukiman(Pm) Rawa-rawa (Rw) Belukar rawa (Br) Belukar (B) Pertanian lahan kering (Pt) Pertanian lahan kering dan belukar (Pc) Perkebunan (Pk) Pemukiman (Pm) Belukar rawa (Br) Belukar (B) Sawah (Sw) Tambak (Tm) Sabana (S) Hutan rawa sekunder (Hrs) Pemukiman (Pm) Rawa-rawa (Rw) Belukar rawa (Br) Badan air (A)
Total Deforestasi dan Degradasi (ha) 62 213 22 26 310 229 559 235 3.943 10.056
Laju deforestasi dan degradasi (ha th-1)
(%)
Keterangan
20,67 71,00 7,33 8,67 103,33 76,33 186,33 78,33 1.314,33 3.352,00
0,05 0,16 0,02 0,02 0,24 0,18 0,43 0,18 3,04 7,75
Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Degradasi Deforestasi Deforestasi Degradasi
1.914 93 22 6.398 3.003 206 102
638,00 31,00 7,33 2.132,67 1.001,00 68,67 34,00
1,48 0,07 0,02 4,93 2,31 0,16 0,08
Degradasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi
822 333 809
274,00 111,00 269,67
0,63 0,26 0,62
Deforestasi Deforestasi Deforestasi
54.449 12 95 1.308 22 37 1.734
18.149,67 4,00 31,67 436,00 7,33 12,33 578,00
41,97 0,01 0,07 1,01 0,02 0,03 1,34
Degradasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi
2.055 55 47 60
685,00 18,33 15,67 20,00
1,58 0,04 0,04 0,05
Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi
138 9 1.697 7 60 197 1.283 470
46,00 3,00 565,67 2,33 20,00 65,67 427,67 156,67
0,11 0,01 1,31 0,01 0,05 0,15 0,99 0,36
Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi
136
Tabel 19 (lanjutan) Penutupan Lahan 2003 Hutan rawa sekunder (Hrs)
Penutupan Lahan 2006
Tanah kosong (T) Belukar (B) Pertanian lahan kering (Pt) Pertanian lahan kering dan belukar (Pc) Sawah (Sw) Perkebunan (Pk) Hutan tanaman (Ht) Tambak (Tm) Sabana (S) Pemukiman (Pm) Rawa-rawa (Rw) Belukar rawa (Br) Badan air (A)
TOTAL
Total Deforestasi Total Degradasi Total konversi untuk hutan tanaman Total konversi untuk perkebunan Total konversi untuk tambak
Total Deforestasi dan Degradasi (ha) 94 3.525 812 150
Laju deforestasi dan degradasi (ha th-1)
462 4.027 4.651 1.139 3.644 483 5.103 12.211 346 129.739 58.110 71.629 5.210 7.133 1.383
(%)
Keterangan
31,33 1.175,00 270,67 50,00
0,07 2,72 0,63 0,12
Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi
154,00 1.342,33 1.550,33 379,67 1.214,67 161,00 1.701,00 4.070,33 115,33 43.246,33 19.370 23.876 1.737 2.378 461
0,36 3,10 3,58 0,88 2,81 0,37 3,93 9,41 0,27 100,00 44,79 55,21 4,02 5,50 1,07
Deforestasi Deforestasi Degradasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi
Sumber: Hasil analisis deliniasi spasial Kabupaten Banyuasin (2010)
Hasil analisis menunjukkan dimana jumlah areal berhutan yang terdeforestasi dan terdegradasi di FA selama periode 2003-2006 sekitar 129.739 ha atau rata-rata sekitar 43.246,33 ha th-1. Dari luasan tersebut, jumlah areal yang terdeforestasi sekitar 58.110 ha (44,79%) dengan laju deforestasi rata-rata tahunan sekitar 19.370 ha th-1. Sementara itu luas areal terdegradasi sekitar 71.629 ha (55,21%) dengan laju degradasi rata-rata tahunan sekitar 23.876 ha th-1. Selama periode 2003 dan 2006 perubahan fungsi hutan terbesar adalah terdegradasinya fungsi hutan rawa primer menjadi hutan rawa sekunder seluas 54.449 ha (41,97%), sedangkan deforestasi terbesar terjadi pada hutan rawa sekunder seluas 31.996 ha (24,66%) untuk berbagai kepentingan pertanian serta adanya perubahan fungsi hutan menjadi rawa-rawa, belukar rawa, sabana dan perubahan fungsi hutan lainnya. Sementara itu hutan mangrove primer terdeforestasi sebesar 14.556 ha (11,22%) menjadi areal penggunaan lainnya (lihat Gambar 32).
137
Degradasi hutan rawa sekunder (Hrs) , 4.651 (3,58%)
Deforestasi hutan mangrove primer (Hmp), 14.556 (11,22%)
Deforestasi hutan rawa primer (Hrp), 3.687 (2,84%) Deforestasi Hutan lahan kering sekunder (Hs), 3.950 (3,04%)
Degradasi hutan rawa primer (Hrp) , 54.449 (41,97%) Degradasi hutan mangrove primer (Hmp), 12.529 (9,66%)
Deforestasi hutan rawa sekunder (Hrs), 31.996 (24,66%)
Deforestasi hutan mangrove sekunder (Hms), 3.921 (3,02%)
Gambar 32 Deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir di frontier area pada periode 2003-2006 (ha).
Berdasarkan informasi dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan dan TN Sembilang menunjukkan bahwa terdegradasinya fungsi hutan rawa primer menjadi hutan rawa sekunder terjadi karena frekuensi kebakaran cukup tinggi. Kebakaran hutan dan lahan telah terjadi berulang kali antara 1997-2006, baik di dalam maupun di sekitar TN Sembilang. Kebakaran juga telah mendegradasi hutan rawa gambut yang luas di selatan dan barat kawasan. Beberapa kasus kebakaran ini berhubungan langsung dengan kegiatan pembukaan lahan terutama untuk areal hutan tanaman industri dan kebun sawit. Data hasil analisis deliniasi spasial antara 2003-2006 menunjukkan dimana sekitar
5.210 ha (4,02%) telah dikonversi untuk
hutan tanaman industri (HTI).
Konversi ini berasal dari hutan mangrove primer seluas 559 ha dan dari hutan rawa sekunder sekitar 4.651 ha. Konversi untuk areal perkebunan sawit seluas 7.133 ha (5,5%) berasal dari konversi hutan mangrove primer 229 ha, dari hutan rawa primer 822 ha, dari hutan lahan kering sekunder 2.055 ha dan dari hutan rawa sekunder seluas 4.027 ha. Sementara itu konversi untuk areal tambak seluas 1.383 ha (1,07%), berasal dari konversi hutan mangrove primer 235 ha, dari hutan mangrove sekunder 9 ha dan dari hutan rawa sekunder 1.139 ha. Apabila diperhatikan luas areal konversi yang direncanakan (planned deforestation) untuk hutan tanaman industri, perkebunan sawit dan tambak secara total selama periode 2003-2006 seluas 13.726 ha, secara prosentase sekitar 9,22 % relatif kecil. Akan tetapi konversi ini diprediksi dapat mengganggu fungsi biologi ekosistem kawasan pesisir secara keseluruhan. Sementara itu, laju deforestasi dan degradasi di FA sebagian besar disebabkan oleh deforestation) sebesar 90,88%.
konversi yang tidak direncanakan (unplanned Hal ini terjadi
sebagai akibat tekanan penduduk
maupun faktor alam. Fakta lapangan menunjukkan kecenderungan pengelolaan hutan
138
tanaman dan perkebunan pada umumnya melakukan penggalian kanal-kanal. Hal ini diprediksi dapat mempengaruhi sistem tata air lahan gambut menjadi kering dan rentan kebakaran. Perubahan fungsi kawasan hutan ini
perlu diantisipasi dampaknya
dikemudian hari. Terutama hutan rawa gambut memiliki kandungan organik yang tinggi dan berfungsi sebagai
cadangan karbon terbesar di daratan. Apabila terganggu
keberadaannya dikhawatirkan akan mengganggu keseimbangan ekosistem setempat terutama dalam hal anomali iklim. 5.1.1.2
Laju Historis Deforestasi dan Degradasi Hutan Mangrove di Dalam Kawasan TN Sembilang Hasil analisis deliniasi citra landsat tahun 2003 dan 2006 di dalam kawasan TN
Sembilang telah terjadi deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir sebesar 44.627 ha dengan laju rata-rata tahunan sebesar 14.875 ha th-1. Perubahan terbesar terjadi akibat penurunan kualitas sumberdaya pesisir (degradasi hutan mangrove) seluas 30.718 ha (69%), sedangkan perubahan lahan yang semula berhutan menjadi lahan tanpa tegakan pohon (deforestasi) sebesar 13.909 ha (31%). Sebagian besar dari degradasi sumberdaya itu terjadi pada penurunan kualitas hutan rawa primer (Hrp) menjadi hutan rawa sekunder (Hrs) seluas 25.520 ha (59,64%), kemudian kawasan yang terdeforestasi terbesar adalah perubahan hutan mangrove primer (Hmp) menjadi berbagai bentuk penutupan lahan seperti belukar (B), perkebunan (Pk), tambak (Tm), sabana (S), rawarawa (Rw), belukar rawa (Br) dan badan air (A) sejumlah 8.393 ha (19%). Hasil deliniasi spasial di dalam kawasan pesisir TN Sembilang, secara rinci disajikan pada Tabel 20 dan Gambar 33. Tablel 20 Laju historis deforestasi dan degradasi hutan pada periode 2003-2006 di dalam kawasan pesisir TN Sembilang Tipe Tutupan Lahan 2003 Hutan mangrove primer (Hmp)
Tipe Tutupan Lahan 2006
Total def. dan degr. (ha)
Laju def. dan degr. (ha th-1)
%
Keterangan
Belukar (B) Perkebunan (Pk)
200,61
66,87
0,45
62,84
20,95
0,14
Deforestasi Deforestasi
Tambak (Tm)
300,00
100,00
0,67
Deforestasi
Sabana (S)
3.062,72
1.020,91
6,86
Deforestasi
Hutan mangrove sekunder (Hms) Hutan rawa sekunder (Hrs) Rawa-rawa (Rw) Belukar rawa (Br) Badan air (A)
5.034,78
1.678,26
11,28
Degradasi
162,83
54,28
0,36
11,63
3,88
0,03
2.759,11
919,70
6,18
2.196,17
732,06
4,92
Degradasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi
139 Tabel 20 (lanjutan) Tipe Tutupan Lahan 2003 Hutan rawa primer (Hrp)
Tipe Tutupan Lahan 2006 Sabana (S) Hutan rawa sekunder (Hrs) Rawa-rawa (Rw) Belukar rawa (Br)
Hutan mangrove sekunder (Hms)
Sawah (Sw) Tambak (Tm) Sabana (S) Rawa-rawa (Rw)
Total def. dan degr. (ha)
Laju def. dan degr. (ha th-1)
%
Keterangan
300,34 25.520,19 261,00 73,04
100,11 8.506,73 87,00 24,35
0,67 57,19 0,58 0,16
Deforestasi Degradasi Deforestasi Deforestasi
7,55 1.550,00 1.156,32 197,41
2,52 516,67 385,44 65,80
0,02 3,47 2,59 0,44
Deforestasi Deforestasi Deforestasi Deforestasi
Belukar rawa (Br)
116,44
38,81
0,26
Deforestasi
Badan air (A)
331,75
110,58
0,74
Deforestasi
Belukar (B)
30,31
10,10
0,07
Deforestasi
Sawah (Sw)
2,50
0,83
0,01
Deforestasi
1.262,84
420,95
2,83
Deforestasi
26,11
8,70
0,06
Deforestasi
44.626,48
14.875,49
100
Total Deforestasi
13.909
4.636
31
Total Degradasi
30.718
10.239
69
Total konversi untuk sawah
10,04
3,35
0,02
Total konversi untuk perkebunan Total konversi untuk tambak
62,84
20,95
0,14
1.850
616,67
4,15
Hutan rawa sekunder (Hrs)
Belukar rawa (Br) Badan air (A) TOTAL
Sumber: Hasil analisis deliniasi spasial wilayah pesisir TN Sembilang (2010).
Deforestasi hutan mangrove primer (Hmp) 8.593 (19,26%)
Deforestasi hutan rawa primer (Hrp) 634 (1,42%) Deforestasi hutan mangrove sekunder (Hms) 3.359 (7,53%)
Degradasi hutan rawa primer (Hrp) 25.520 (57,19%)
Gambar 33
Degradasi hutan mangrove primer (Hmp) 5.198 (11,65%)
Deforestasi hutan rawa sekunder (Hrs) 1.322 (2,96%)
Deforestasi dan degradasi hutan di wilayah pesisir TN Sembilang periode 2003-2006 (ha)
Hasil deliniasi tata guna lahan di dalam kawasan pesisir TN Sembilang teridentifikasi dimana fungsi kawasan hutan yang terdeforestasi menjadi areal tambak sekitar 1.850 ha atau sekitar 617 ha th-1. Perubahan fungsi hutan untuk tambak ada perbedaan luasan bila dibandingkan dengan kondisi lapangan. Berdasarkan data (TN Sembilang 2009) pada kawasan ini sampai pada saat penelitian dilakukan masih ada
140
areal tambak sekitar 2.013 ha. Dengan demikian terdapat selisih luasan tambak antara hasil analisis citra dengan hasil ground check sekitar 163 ha (8%). Hal ini terjadi karena deliniasi dilakukan terhadap citra satelit tahun 2003 dan 2006 (waktu referensi baseline study deforestasi dan degradasi hutan), sedangkan survey lapangan dilakukan pada tahun 2009 dan 2010. Apabila menggunakan data hasil ground check tersebut, maka selama tiga tahun terakhir (2006-2009) terjadi penambahan luas areal tambak sekitar 163 ha atau rata-rata sekitar 54 ha th-1 (lihat Gambar 34).
Gambar 34 Perambahan fungsi hutan di dalam kawasan pesisir TN Sembilang oleh masyarakat untuk pengembangan tambak (warna merah menunjukkan areal perambahan) (Sumber: TN Sembilang 2009)
Perubahan deforestasi dan degradasi hutan mangrove di kawasan TN Sembilang terjadi selain akibat tekanan penduduk terhadap sumberdaya alam itu, juga sebagai akibat faktor alam. Pada tahun 1997 pernah terjadi kebakaran cukup besar, tetapi seluruhnya berada di luar kawasan TN Sembilang, yaitu di kawasan transmigrasi Karang Agung antara Sungai Sembilang dan Sungai Lalang. Vegetasi bekas kebakaran juga terlihat di Semenanjung Banyuasin dan juga diantara Sungai Terusan Luar dan Sungai Benu. Berdasarkan analisis citra satelit serta informasi dari TN Sembilang dan masyarakat, kebakaran juga pernah terjadi di bagian tengah Pulau Betet serta bagian timur Pulau Alanggantang Penyebab seringnya kebakaran hutan di kawasan ini teridentifikasi adanya pembuatan parit secara ekstensif pada hutan rawa. Berdasarkan informasi, konversi ini
141
dilakukan oleh para pengusaha perkebunan sawit, hutan tanaman industri maupun oleh masyarakat terutama para transmigran. Pembuatan parit ini dapat menyebabkan akses menuju hutan lebih mudah serta dapat menurunkan muka air tanah, sehingga dampaknya lebih rentan terhadap kebakaran.
Gambar 35 berikut adalah gambaran
sebaran titik api yang terjadi pada tahun 1997.
Minggu I September 1997
Minggu II September 1997
Minggu III September 1997
Gambar 35
Minggu IV September 1997
Sebaran titik api (hot spot) yang terekam selama kebakaran hutan tahun 1997 (Catatan: titik hitam menunjukkan hot spot pada kejadian minggu sebelumnya) (data dari EU-FFPCP dalam Dephut 2002).
5.1.2 Potensi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Sumberdaya Pesisir Analisis tingkat potensi emisi dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir didasarkan pada data historis pola pemanfaatan ruang maupun berdasarkan analisis allometrik. Hasil pengukuran biomassa pada skala plot berbagai tipe tutupan lahan dengan menggunakan persamaan
(3.9) dan persamaan (3.10)
hasilnya adalah
sebagaimana disajikan pada Tabel 21. Sementara itu data hipotetik carbon stock yang
142
sudah dilakukan dan dapat digunakan sebagai acuan analisis dalam studi ini disajikan pada Tabel 22. Tabel 21
Hasil pengukuran biomassa dan stok karbon pada berbagai tipe tutupan lahan di dalam kawasan pesisir TN Sembilang dan sekitarnya
No
Tipe tutupan lahan
1 2 3 4
Hutan mangrove primer Hutan mangrove sekunder Hutan kebun Semak berawa
Biomassa (ton ha-1)
Stok karbon (tC ha-1) (0,5*Biomassa) *)
454,67
227,33
204,41 151,79 34,69
102,20 75,89 17,34
Keterangan: *) Konstanta : 0,5 = koefisien kadar karbon pada tumbuhan (faktor konversi) (Murdiyarso et al. 2004) Sumber: Hasil analisis allometrik pada skala plot (2010)
Tabel 22 Perbandingan data stok karbon hasil penelitian pada studi ini serta hipotetik yang digunakan pada berbagai tipe tutupan lahan No
Tipe Tutupan Lahan
1.
Hutan Mangrove Primer *
2. 3. 4. 5.
Hutan Gambut Primer * Hutan Lahan Kering Primer * Hutan Lahan Kering Sekunder * Hutan Mangrove Sekunder *
6. 7.
Hutan Gambut Sekunder * Belukar rawa **
8.
Pertanian Lahan Kering**
9.
Pertanian campuran (dryland and bushes) ** Padi sawah ** Perkebunan * Hutan tanaman *
10. 11. 12 13
Padang rumput, pemukiman, transmigrasi **
data
Biomassa (ton ha-1) 454,67 482 279,03 421,5 216 464 230 204,40 256 154 34,68 40 10
Stok Karbon *) (tC ha-1) 227,33 241 139,51 210,75 108 232 115 102,20 128 77 17,34 20 5
158
79
Hasil penelitian (2010) CER Indonesia (2009) Kusmana et al. (1992) Komiyama et al. (2008) Istomo et al. (2006) CER Indonesia (2009) Wasrin et al., 2000 Hasil penelitian (2010) CER Indonesia (2009) Istomo et al. (2006) Hasil penelitian (2010) CER Indonesia (2009) Murdiyarso et al.(2005) Wasrin et al. (2000)
8 118 151,79 118 6
4 59 75,89 59 3
Wasrin et al. (2000) Wasrin et al. (2000) Hasil penelitian (2010) CER Indonesia (2009) Wasrin et al. (2000)
Sumber
Keterangan : * : Lahan berhutan ; ** : Lahan Tidak Berhutan. *) Konstanta : 0,5 : koefisien kadar karbon pada tumbuhan (faktor konversi) (Murdiyarso et al. 2004)
Tabel 21 merupakan hasil pengukuran tingkat potensi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan pada studi ini dan merupakan hasil analisis berdasarkan fungsi allometrik pengukuran biomassa pada skala plot di areal hutan mangrove primer (Hmp), hutan mangrove sekunder (Hms), hutan kebun dan semak belukar rawa. Sementara itu Tabel 22 merupakan stok karbon untuk mengukur laju emisi pada berbagai tipe hutan di luar ke empat fungsi hutan tersebut di atas yang digunakan berdasarkan pendekatan hasil penelitian sebelumnya.
143
5.1.2.1 Laju Historis Potensi Emisi CO2 di Frontier Area Tingkat potensi emisi CO2 dari deforestasi dan degradasi hutan dihitung menggunakan persamaan (3.11), persamaan (3.12) dan persamaan (3.13). Hasil analisis spasial dan fungsi allometrik menunjukkan bahwa laju deforestasi dan degradasi hutan mangove di FA periode 2003-2006 rata-rata sebesar 43.246 ha th-1 dengan laju emisi CO2 tahunan rata-rata sekitar 11,25 MtCO2 th-1. Laju emisi terbesar berasal dari perubahan lahan yang semula berhutan menjadi lahan kosong (deforestasi) sebesar 7,17 MtCO2 th-1 (64%) sedangkan laju emisi akibat perubahan kualitas sumberdaya hutan (degradasi) sebesar 4,08 MtCO2 th-1 (36%). Laju peningkatan emisi deforestasi tertinggi berasal dari perubahan tata guna lahan hutan mangrove primer sebesar 3,9 MtCO2 th-1 (34,43%) sedangkan degradasi tertinggi berasal dari hutan rawa primer sebesar 2,08 MtCO2 th-1 (18,46%) (lihat Tabel 23 dan Gambar 36). Tabel 23 Laju historis potensi emisi CO2 dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir di frontier area (2003-2006) Tipe Tutupan Lahan 2003 Hutan mangrove primer (Hmp)
Hutan rawa primer (Hrp)
Tipe Tutupan Lahan 2006 Tanah kosong (T) Belukar (B) Pertanian Lahan kering dan belukar (Pc) Tambang (Tb) Sawah (Sw) Perkebunan (Pk) Hutan tanaman (Ht) Tambak (Tm) Sabana (S) Hutan mangrove sekunder (Hms) Hutan rawa sekunder (Hrs) Pemukiman (Pm) Rawa-rawa (Rw) Belukar rawa (Br) Badan air (A) Belukar (B) Pertanian lahan kering dan belukar (Pc) Perkebunan (Pk) Sabana (S) Hutan mangrove sekunder (Hms) Hutan rawa sekunder (Hrs) Pemukiman(Pm) Rawa-rawa (Rw) Belukar rawa (Br)
Total Def. dan Degr. (ha)
Laju Def. dan Degr. (ha th-1)
C(exante) (tCth-1)
C(expost) (tCth-1)
62 213 22
20,67 71 7,33
227,33 227,33 227,33
19,99 78,65
4.698 14.722 1.090
17.243 54.028 4.002
26 310 229 559
8,67 103,33 76,33 186,33
227,33 227,33 227,33 227,33
4,23 59 75,89
1.970 23.055 12.850 28.218
7.231 84.611 47.158 103.561
235 3.943 10.056
78,33 1.314,33 3.352
227,33 227,33 227,33
3 102,20
17.808 294.851 419.438
65.355 1.082.102 1.539.339
1.914
638
227,33
76,67
96.127
352.787
93 22 6.398 3.003 206 102
31 7,33 2.132,67 1.001 68,67 34
227,33 227,33 227,33 227,33 107,84 107,84
3 17,34 17,34 78,65
6.954 1.667 447.840 227.562 6.214 992
25.523 6.118 1.643.572 835.153 22.806 3.642
822 333 809
274 111 269,67
107,84 107,84 -
59 3
13.382 11.637 -
49.113 42.709 -
54.449
18.149,67
107,84
76,67
565.816
2.076.544
12 95 1.308
4 31,67 436
107,84 107,84 107,84
3 17,34
419 3.415 39.456
1.539 12.533 144.804
C LC-D (tC)
Emisi CO2 (tCO2 th-1) *) (3,67* C LC-D )
144
Tabel 23 (lanjutan) Tipe Tutupan Lahan 2003 Hutan lahan kering sekunder (Hs)
Hutan mangrove sekunder (Hms)
Hutan rawa sekunder (Hrs)
Hutan rawa sekunder (Hrs)
Tipe Tutupan Lahan 2006 Belukar (B) Pertanian lahan kering (Pt) Pertanian lahan kering dan belukar (Pc) Perkebunan (Pk) Pemukiman (Pm) Belukar rawa (Br) Belukar (B) Sawah (Sw) Tambak (Tm) Sabana (S)
Total Def. dan Degr. (ha) 22 37
Laju Def. dan Degr. (ha th-1)
C LC-D (tC)
Emisi CO2 (tCO2 th-1) *) (3,67* C LC-D )
C(exante) (tCth-1)
C(expost) (tCth-1)
7,33 12,33
115 115
19,99 5
697 1.357
2.557 4.979
1.734
578
115
78,65
21.010
77.108
2.055 55 47 60 138 9 1.697
685 18,33 15,67 20 46 3 565,67
115 115 115 102,20 102,20 102,20 102,20
59 3 17,34 19,99 4,23 3,00
38.360 2.053 1.530 1.644 4.507 307 56.116
140.781 7.536 5.615 6.035 16.541 1.125 205.947
7
2,33
102,20
76,67
60
219
Hutan mangrove sekunder (Hms) Hutan rawa sekunder (Hrs) Pemukiman (Pm) Rawa-rawa (Rw) Belukar rawa (Br) Badan air (A)
60
20
102,20
3
1.984
7.282
197 1.283 470 94
65,67 427,67 156,67 31,33
102,20 102,20 102,20 76,67
17,34 -
6.711 36.292 16.012 2.402
24.631 133.190 58.764 8.816
Tanah kosong (T)
3.525
1.175
76,67
19,99
66.596
244.408
Belukar (B) Peranian lahan kering (Pt)
812 150
270,67 50
76,67 76,67
5 78,65
19.397 (99)
71.188 (364)
Pertanian lahan kering dan belukar (Pc)
462
154
76,67
4,23
11.156
40.942
Sawah (Sw) Perkebunan (Pk) Hutan tanaman (Ht) Tambak (Tm) Sabana (S)
4.027 4.651 1.139
1.342,33 1.550,33 379,67
76,67 76,67 76,67
59 75,89 -
23.712 1.194 29.107
87.024 4.382 106.823
3.644 22
1.214,67 7,33
76,67 115
3 19,99
89.478 697
328.386 2.557
Pemukiman (Pm)
483
161
76,67
3
11.860
43.526
Rawa-rawa (Rw)
5.103
1.701
76,67
-
130.407
478.594
Belukar rawa (Br)
12.211
4.070,33
76,67
17,34
241.455
886.140
346
115,33
76,67
-
8.842
32.450
Badan air (A) TOTAL Total Deforestasi Total Degradasi Total konversi untuk HTI Total konversi untuk perkebunan Total konversi untuk tambak
129.739
43.246,33
3.064.332
11.246.097
58.110 71.629 5.210 7.133 1.383
19.370 23.876 1.737 2.378 461
64% 36% 1,0% 2,9% 1,5%
7.169.483 4.076.614 107.943 324.076 173.303
Keterangan: *) Konstanta : 3,67* C LC-D , konstanta 3,67 merupakan faktor atomic carbon dioxide terhadap carbon: 44/12 (ton CO2e/ton C) ( Bush et al. 2009)
Sumber : Hasil analisis deliniasi spasial dan allometrik (2010)
145
Emisi dari degradasi hutan rawa sekunder (Hrs) 4.382 (0,04%)
Emisi dari deforestasi hutan mangrove primer (Hmp) 3.872.095 (34,43%)
Emisi dari degradasi hutan rawa primer (Hrp) 2.076.544 (18,46%)
Emisi dari deforestasi hutan rawa primer (Hrp) 277.145 (2,46%)
Emisi dari degradasi hutan mangrove primer (Hmp) 1.995.688 (17,75%)
Emisi dari deforestasi hutan rawa sekunder (Hrs) 2.327.934 (20,70%)
Emisi dari deforestasi hutan mangrove sekunder (Hms) 453.733 (4,03%)
Emisi dari deforestasi Hutan lahan kering sekunder (Hs) 238.576 (2,12%)
Gambar 36 Laju historis emisi CO2 dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir di frontier area pada periode 2003-2006 (tCO2 th-1)
Perubahan tipe tutupan lahan di FA (Kabupaten Banyuasin) dipengaruhi dua faktor:
aktivitas yang direncanakan dan tidak direncanakan.
Aktivitas yang
direncanakan (planned deforestation) didasarkan pada rencana tata ruang wilayah (RUTR), sedangkan aktivitas yang tidak direncanakan
(unplanned deforestation)
sebagai akibat adanya faktor alam (kebakaran hutan), maupun kebiasaan masyarakat (human being) seperti perambahan hutan maupun adanya pembalakan liar (illegal logging). Selama kurun waktu 2003-2006 di FA telah terjadi perubahan fungsi hutan mangrove primer menjadi belukar rawa (Br) seluas 6.398 ha (4,3%). Hal ini diprediksi telah menyebabkan peningkatan laju emisi CO2 sebesar 1,64 MtCO2 th-1 (14,50%). Semua hutan rawa di Kabupaten Banyuasin adalah berupa gambut, sehingga tingkat emisi yang sebenarnya dari deforestasi dan degradasi diprediksi dapat lebih tinggi dari hasil analisis ini.
5.1.2.2 Laju Historis Potensi Emisi CO2 di dalam Kawasan Pesisir TN Sembilang Hasil analisis
spasial dan fungsi allometrik di dalam kawasan pesisir TN
Sembilang menunjukkan laju potensi emisi CO2 tahunan sebesar 5,23 MtCO2 th-1. Sekitar 2,90 MtCO2 th-1 (56%) diantaranya berasal dari emisi deforestasi, sedangkan yang berasal dari degradasi hutan sekitar disajikan pada Tabel 24.
2,32 MtCO2 th-1 (44%). Secara rinci
146
Tabel 24 Laju historis potensi emisi CO2 dari deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir di TN Sembilang Tipe Tutupan Lahan 2003 Hutan mangrove primer (Hmp)
Tipe Tutupan Lahan 2006
Total Def. dan Degr. (ha) 201 63 300 3.063 5.035
Laju Def. dan Degr. (hath-1)
C(exante) (tCth-1)
C(expost) (tCth-1)
C LC-D (tC)
Emisi CO2 (tCO2 th-1) *) (3,67* C LC-D )
Belukar (B) 66,87 227,33 19,99 13.866 Perkebunan (Pk) 20,95 227,33 59,00 3.526 Tambak (Tm) 100 227,33 22.733 Sabana (S) 1.020,91 227,33 3,00 229.025 Hutan mangrove 1.678,26 227,33 102,20 210.002 sekunder (Hms) Hutan rawa 163 54,28 227,33 76,67 8.178 sekunder (Hrs) Rawa-rawa (Rw) 12 3,88 227,33 881 Belukar rawa (Br) 2.759 919,70 227,33 17,34 193.129 Badan air (A) 2.196 732,06 227,33 166.422 Hutan rawa Sabana (S) 300 100,11 107,84 3,00 10.496 primer (Hrp) Hutan rawa 25.520 8.506,73 107,84 59,00 415.469 sekunder (Hrs) Rawa-rawa (Rw) 261 87 107,84 9.382 Belukar rawa (Br) 73 24,35 107,84 17,34 2.203 Hutan Sawah (Sw) 8 2,52 102,20 4,23 246 mangrove Tambak (Tm) 1.550 516,67 102,20 52.805 sekunder Sabana (S) 1.156 385,44 102,20 3,00 38.237 (Hms) Rawa-rawa (Rw) 197 65,80 102,20 6.725 Belukar rawa (Br) 116 38,81 102,20 17,34 3.294 Badan air (A) 332 110,58 102,20 11.302 Hutan rawa Belukar (B) 30 10,10 76,67 19,99 573 sekunder Sawah (Sw) 2 0,83 76,67 4,23 60 (Hrs) Belukar rawa (Br) 1.263 420,95 76,67 17,34 24.971 Badan air (A) 26 8,70 76,67 667 44.626 14.875,49 - 1.424.193 Total 13.909 4.636 56% Total deforestasi 30.718 10.239 44% Total degradasi Total konversi untuk sawah 10 3 0,02% Total konversi untuk kebun 63 21 0,25% Total konversi untuk tambak 1.850 617 5,30% Keterangan: *) Konstanta : 3,67* C LC-D , konstanta 3,67 merupakan faktor atomic carbon dioxide terhadap carbon: 44/12 (ton CO2e/ton C) ( Bush et al. 2009)
Sumber : Hasil analisis deliniasi spasial dan allometrik (2010)
Emisi dari degradasi hutan rawa primer (Hrp) 1.524.770 (29,17%)
Emisi dari deforestasi hutan mangrove primer (Hmp) 2.310.564 (44,21%)
Emisi dari degradasi hutan mangrove primer (Hmp) 800.721 (15,32%) Emisi dari deforestasi hutan rawa sekunder (Hrs) 96.415 (1,84%)
Gambar 37
Emisi dari deforestasi hutan mangrove sekunder (Hms) 413.279 (7,91%)
Emisi dari deforestasi hutan rawa primer (Hrp) 80.038 (1,55%)
Laju emisi deforestasi dan degradasi sumberdaya pesisir di TN Sembilang tahun 2003-2006 (tCO2 th-1)
50.887 12.941 83.432 840.521 770.707 30.013 3.233 708.784 610.768 38.520 1.524.770 34.432 8.086 904 193.796 140.330 24.682 12.088 41.478 2.102 221 91.643 2.449 5.226.787 2.901.296 2.325.491 904 12.941 277.228
147
Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa kecenderungan laju emisi CO2 di FA lebih disebabkan dua faktor, yaitu akibat aktivitas yang direncanakan (9,22%) seperti dampak kebijakan melalui RUTR dan yang tidak direncanakan sebagai akibat antropogenik dan bencana alam (90,88%). Sementara itu, laju emisi CO2 di kawasan pesisir TN Sembilang lebih disebabkan faktor aktivitas yang tidak direncanakan (unplanned deforestation). Data hasil analisis menunjukkan dimana laju emisi CO2 akibat tekanan penduduk terhadap kawasan TN Sembilang menyumbang sekitar 291.073 tCO2 th-1 atau sekitar 5,57% dari total emisi CO2. Sumbangan emisi tersebut bersumber dari konversi untuk lahan sawah (10 ha) sebesar 904 tCO2 th-1 (0,02 %), konversi untuk kebun kelapa (63 ha) sebesar 12.941 tCO2 th-1 (0,25 %) sebesar 277.228 tCO2 th-1 (5,30%).
dan konversi untuk tambak (1.850 ha)
Secara komparatif laju emisi CO2
akibat
antropogenik ini relatif kecil (11,14%) dibandingkan laju emisi CO2 yang disebabkan bencana alam (88,86%) seperti kebakaran hutan dan faktor alam lainnya yang secara masif pernah melanda kawasan ini pada tahun 1997 dan 2006. Hubungan aktivitas antropogenik
antara
dengan konsentrasi emisi CO2 yang terjadi pada kawasan
dilindungi undang-undang (TNS) nampak tidak linier. Laju emisi CO2 akibat bencana alam dan faktor alam lainnya menyumbang sekitar 4,64 MtCO2 th-1 (86,86%). Namun demikian, berdasarkan informasi bahwa proses kebakaran tersebut pun sesungguhnya bersumber dari aktivitas masyarakat yang kurang ramah lingkungan, terutama aktivitas di FA. Kecenderungan masyarakat di FA dalam pemanfaatan sumberdaya alam seringkali dilakukan kurang bijaksana dan bahkan berdampak pada ekosistem pesisir TN Sembilang. Pembuatan kanalisasi untuk jalur transportasi masuk ke hutan serta pembalakan secara ilegal telah menyebabkan
fragmentasi habitat,
terganggunya
koridor jelajah satwa liar, serta merusak keutuhan ekosistem secara keseluruhan. Diferensiasi dampaknya berupa penurunan hasil hutan nir kayu dan produktivitas perikanan. Dampak kanalisasi serta sistem tebang bakar untuk membuka lahan kebun masyarakat sering kali menyebabkan terkurasnya air di lahan gambut, sehingga menimbulkan subsidensi, gambut menjadi kering dan
sangat rentan terhadap
kebakaran. Potensi emisi CO2 di masa yang akan datang, baik di FA maupun di dalam kawasan pesisir TN Sembilang diprediksi bersumber dari aktivitas yang direncanakan dan aktivitas yang tidak direncanakan. Potensi emisi CO2 di FA sumbangan terbesar
148
diprediksi bersumber dari dampak kebijakan tata ruang. Sedangkan potensi emisi CO2 di kawasan pesisir TN Sembilang diprediksi lebih disebabkan tekanan penduduk serta faktor perubahan alam secara alamiah. Tingkat emisi CO2 mendatang di dua wilayah ini (FA dan TNS) diprediksi berdasarkan hasil simulasi dan pemodelan dianalisis secara rinci pada Bab 6.
5.2
Indikator Penggerak Emisi Karbon di Wilayah Pesisir Indikator penggerak (driver) emisi karbon di wilayah Kabupaten Banyuasin
diprediksi bersumber dari yang direncanakan (planned deforestation) dan yang tidak direncanakan (unplanned deforestation). Indikator penggerak yang direncanakan bersumber pada kebijakan tata ruang dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam (contoh kebijakan rencana tata ruang wilayah/RTRW). Sementara itu indikator penggerak yang tidak direncanakan bersumber dari tekanan penduduk terhadap lahan serta perilaku dan karakter masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam tersebut (contoh pemanfaatan hutan/konversi lahan secara ilegal, perambahan hutan, kebakaran hutan dan sebagainya). Atas dasar itu maka perlu dianalisis indikator-indikator penggerak apa saja yang diprediksi dapat meningkatkan emisi karbon. Secara ringkas disajikan pada Tabel 25. Indikator penggerak emisi CO2 diluar kawasan TNS (FA) dapat ditelusuri berdasarkan hasil analisis spasial
tata guna lahan periode 2003-2006 (RTRW
Kabupaten Banyuasin) dimana telah terjadi deforestasi dan degradasi seluas 129.739 ha. Dari luasan tersebut, sebesar 58.110 ha (44,79%) merupakan perubahan lahan yang semula berhutan menjadi lahan tanpa tegakan pohon (deforestasi). Sementara itu sekitar 71.629 ha (55,21%) merupakan areal hutan rawa dan hutan mangrove tetapi telah mengalami penurunan kualitas (degradasi). Alih fungsi hutan ini merupakan salah satu penggerak peningkatan emisi karbon historis di FA sebesar 11,25 MtCO2 th-1. Fakta ilmiah menunjukkan terdapat sekitar 107.943 tCO2 th-1 (0,96%) merupakan hasil konversi hutan untuk HTI dan perkebunan sawit menyumbang sebesar 324.076 tCO2 th-1 (2,88%). Dengan demikian selama periode 2003-2006 total potensi emisi CO2 akibat indikator penggerak yang direncanakan (planned deforestation) relatif kecil yaitu 432.019 tCO2 th-1 (3,84%) dibanding potensi emisi CO2 akibat indikator penggerak yang tidak direncanakan (unplanned deforestation) sebesar 10,81 MtCO2th-1 (96,16%).
149
Tabel 25
Indikator penggerak emisi CO2 di wilayah pesisir TN Sembilang
No
Sumber
A
Direncanakan (planned deforestation) Tidak Direncanakan (unplanned deforestation)
B
Indikator Penggerak
Faktor Penyebab
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK)
Kebutuhan perencanaan tata ruang untuk pengembangan wilayah Kabupaten Banyuasin
a. Populasi penduduk
Peningkatan populasi penduduk akibat kebijakan transmigrasi yang berdekatan dengan wilayah TNS terdapat kecenderungan adanya tekanan penduduk terhadap lahan. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk di wilayah ini adalah 2,58%/tahun Semakin tinggi populasi penduduk, serta semakin rendahnya tingkat produktivitas lahan dapat menyebabkan tekanan penduduk terhadap lahan semakin meningkat. Kebutuhan luas lahan minimal untuk hidup layak (z) di wilayah ini sebesar 1,02 ha/orang a) Pembuatan tambak-tambak dan lahan pertanian. Saat ini masih ada sekitar 2.013 ha tambak illegal di dalam TN Sembilang b) Rata-rata tingkat perambahan hutan (encroachment) saat ini sekitar 54 ha/tahun a) Pemanfaatan daun Nipah (Nypa fruticans) sangat intensif b) Penggunaan pohon Nibung (Oncosperma tigillarium) untuk tiang bangunan Penebangan liar jenis Dipterocarpaceae yang kerap luput dari pengamatan petugas mengingat lokasinya paling jauh di bagian utara berbatasan dengan TN Berbak a) Beberapa kebakaran yang telah terjadi berhubungan langsung dengan kegiatan pembukaan lahan yang luas (contoh : transmigrasi dan kebun kelapa sawit), yang lainnya disebabkan oleh penduduk b) Penyebab utama dari kebakaran ini adalah kegiatan penebang liar untuk budidaya pertanian, nelayan yang melakukan pembukaan vegetasi untuk mencari ikan serta pengembangan kawasan transmigrasi.
b. Kebutuhan luas lahan minimal untuk hidup layak (z)
c. Konversi lahan
d. Pemanfaatan hasil hutan yang tidak lestari e. Illegal logging
f. Kebakaran hutan dan lahan
Sumber : Hasil identifikasi lapangan (2010)
Indikator penggerak emisi karbon yang tidak direncanakan (unplanned deforestation) baik di FA maupun di TN Sembilang berkaitan dengan faktor alam seperti kemarau panjang yang menyebabkan kebakaran hutan serta faktor lain seperti peningkatan populasi penduduk serta kebutuhan luas lahan minimal untuk hidup layak dapat meningkatkan tekanan penduduk terhadap lahan. Sumber tekanan penduduk terhadap lahan erat kaitannya dengan masalah kebutuhan mata pencaharian masyarakat, sehingga terdapat kecenderungan konversi lahan untuk memenuhi kebutuhannya itu. Diantaranya adalah konversi lahan untuk ladang dan sawah serta tambak udang secara
150
ilegal. Faktor penggerak lainnya adalah adanya kecenderungan dimana dengan semakin naiknya harga komoditas udang serta gagal panen di wilayah lain, dapat mempengaruhi motivasi terjadinya tekanan penduduk terhadap hutan mangrove. Untuk mengetahui tingkat tekanan penduduk terhadap lahan (TP) dapat didekati dengan persamaan (3.15) dan hasil pengolahan data
Kabupaten Banyuasin Dalam
Angka tahun 2008 (BPS Kabupaten Banyuasin 2008/2009) disajikan pada Tabel 26, sedangkan rincian hasil pengolahan Tekanan Penduduk terhadap lahan (TP) disajikan pada Lampiran 4. Berdasarkan kriteria tekanan penduduk terhadap lahan, diperoleh nilai TP 2,14 (nilai TP > 2) sehingga termasuk kelas kriteria buruk. Hal ini mencerminkan bahwa penduduk memiliki kecenderungan untuk melakukan okupasi lahan minimal untuk dapat hidup layak. Dengan meningkatnya jumlah penduduk di wilayah ini sebesar 2,58% serta rendahnya lapangan pekerjaan diprediksi dapat menimbulkan degradasi lingkungan.
Semakin
besar
jumlah
penduduk,
semakin
besar
pula
tingkat
ketergantungan terhadap sumberdaya alam, sehingga tekanan terhadap sumberdaya yang ada juga meningkat. Dengan demikian, wilayah pesisir semakin rentan terhadap berbagai perubahan iklim yang akan terjadi. Tabel 26
Luas lahan minimal hidup layak (z) dan tekanan penduduk terhadap lahan (TP) di frontier area
No
Pertanian
1 2 3
Padi sawah Ketela dan umbi-umbian Produksi pekarangan (palawija) Total lahan pertanian Nilai z padi sawah (ha/orng) Nilai z ketela&umbi (ha/org) Nilai z palawija (ha/orang) Nilai z rata-rata (ha/orang)
Luas (ha)
Produksi (ton)
180.584 8.825 9.735
740.425 52.169 18.699
Rata-rata produksi (ton ha-1) 4,10 5,91 1,92
Rata-rata nilai panen (Rp ha-1) 12.300.500 5.911.524 5.762.373
Harga (Rp kg-1) 2.600 1.000 3.000
199.144 0,82 1,71 1,75 1,02
Sementara itu indikator penggerak emisi karbon di FA pada masa mendatang diprediksi sebagian besar bersumber dari laju deforestasi dan degradasi (DD) yang direncanakan (planned deforestation). Kebijakan alokasi lahan untuk RUTR 2006-2026 seluas 115.207 ha merupakan sumber emisi karbon terestrial yang potensial, karena seluruhnya masih berpenutupan vegetasi.
151
Data historis pada kawasan yang dilindungi (TNS) menunjukkan dimana laju DD hutan mangrove primer (Hmp) menjadi tambak rata-rata 0,138% th-1 dan laju DD hutan mangrove sekunder (Hms) menjadi tambak rata-rata 2,68% th-1. Luasan prediksi tambak selama 25 tahun umur simulasi
menunjukkan luasan sebesar 11.600 ha atau
rata-rata 464 ha th-1. Laju DD tersebut diprediksi dapat menyumbang emisi karbon ratarata sebesar 387.124 tCO2 th-1. Okupasi penduduk terhadap lahan TN Sembilang pada umumnya digunakan untuk usaha tambak, sehingga dapat menimbulkan potensi GRK yang lebih besar lagi. Kegiatan tambak ilegal di TN Sembilang sesungguhnya sudah dimulai sejak 1995 oleh sekitar 400 keluarga yang datang dari Provinsi Lampung. Pada tahun 20002001, sekitar 493 sampai 1.045 keluarga terlibat dalam konversi sekitar 2.159 ha hutan mangrove di Semenanjung Banyuasin antara Sungai Bungin dan Sungai Tengkorak. Dampak negatif dari budidaya tambak ini diprediksi dapat menyebabkan rusaknya kawasan mangrove yang menyokong banyak fungsi biologi penting. Di samping itu, lokasi spesifik tambak tersebut berada dekat dengan lokasi utama bagi burung-burung migran termasuk beberapa spesies burung langka bangau bluwok (Mycteria cinerea) dan bangau tongtong (Leptoptilos javanicus) untuk mencari pakan. Di samping kawasan yang dikonversi sebagai tambak, beberapa lokasi ada yang dibuka untuk pertanian, seperti di sekitar Tanah Pilih (Terusan Luar), yang dulunya dikonversi menjadi perkebunan kelapa dan persawahan di tahun 1970-an. Penyebab lainnya yaitu prediksi konversi lahan dan mangrove oleh para spekulan tanah yang secara langsung mengacu pada rencana pembangunan pelabuhan samudra Tanjung ApiApi. Indikator penggerak emisi karbon lainnya adalah pemanfaatan hutan secara ilegal (penebangan liar) yang umumnya dilaksanakan di kawasan bekas HPH di luar TN Sembilang (FA). Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas TN Sembilang bahwa penebangan liar
banyak dilakukan di sepanjang Sungai Kepahiang, Sungai
Merang dan Sungai Bakorendo. Jenis kayu yang diambil berasal dari spesies Shorea spp., Koompassia sp., Dyera costulata dan lain-lain. Kegiatan penebangan liar ini dilakukan baik oleh masyarakat setempat maupun oleh masyarakat yang berasal dari luar Kabupaten Banyuasin. Kasus yang terakhir dipantau petugas TN Sembilang terjadi di sekitar Sungai Sembilang dan dilakukan oleh masyarakat setempat (Dusun Sembilang). Penebangan liar ini dilakukan biasanya untuk keperluan sendiri seperti