Peranan PPNS Perikanan Dalam Penanganan Tindak Pidana Perikanan Oleh : Sherief Maronie, SH. MH.
Masalah perikanan tangkap yang melanggar hukum atau lebih dikenal dengan istilah illegal fishing sebenarnya sudah menjadi masalah klasik. Mengapa dikatakan klasik? karena masalah ini telah ada dari zaman dulu yang seakan-akan tidak ada habisnya. Tetapi isu pemberantasan illegal fishing dalam kurun waktu dua tahun terakhir di Indonesia sering mengemuka di media hal ini dikarenakan komitmen tegas yang digaungkan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Berita penangkapan kapal asing dan berita penenggelaman kapal asing oleh aparat penegak hukum di bidang perikanan makin sering kita dapatkan, melalui aksi pemberantasan illegal fishing isu-isu yang ada terungkap bukanlah soal illegal fishing semata. Namun banyak ditemukan tentang ijin dokumentasi yang disalahgunakan, perbudakan dan perdagangan manusia, serta tindakan kriminal lainnya seperti bongkar muat ikan di tengah laut (transhippment). Berbagai tindakan kriminal inilah kemudian dikenal istilah Illegal, Unreported, dan Unregulated Fishing (IUU Fishing) yaitu kegiatan penangkapan ikan yang tidak sah, tidak dilaporkan, dan tidak sesuai aturan. Mengatasi permasalahan ini Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan
dan
Perikanan
(KKP)
telah
mengeluarkan
beberapa
kebijakan
penanggulangan IUU Fishing salah satunya yaitu penguatan penegakan hukum tindak pidana perikanan. Kegiatan penegakan hukum tindak pidana perikanan dilaksanakan melalui dua cara yaitu pencegahan kasus tindak pidana perikanan dan penanganan kasus tindak pidana perikanan. Pencegahan kasus tindak pidana perikanan meliputi pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan, terkait hal ini yaitu pengawasan perizinan dan armada kapal perikanan. Sementara itu penanganan kasus tindak pidana perikanan dikategorikan ke dalam tiga tahapan yaitu penyidikan (investigation level), penuntutan (prosecution level) dan tahap pemeriksaan di pengadilan (court level) tahapan inilah yang disebut dengan integrated criminal justice system (sistem peradilan pidana terpadu).
*) Analis Hukum pada Direktorat Penanganan Pelanggaran Ditjen PSDKP, KKP www.sheriefmaronie.com
1
Penyidikan dalam sistem peradilan pidana Indonesia diartikan sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 Angka 2 KUHAP). Dalam kerangka sistem peradilan pidana, peran aparatur penegak hukum, khususnya Penyidik, sangat strategis. Penyidik merupakan pintu gerbang utama dimulainya tugas pencarian kebenaran materil karena melalui proses penyidikan sejatinya upaya penegakan hukum mulai dilaksanakan. Kegiatan penyidikan tindak pidana perikanan sesuai dengan tercantum dalam Pasal 73 UU Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 45 Tahun 2009 (Selanjutnya disebut UU Perikanan) menjelaskan bahwa penyidikan tindak pidana perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Perwira TNI AL, dan/atau Pejabat Polri. Secara terminologi PPNS Perikanan menurut PP Nomor 58 Tahun 2010 Pasal 1 angka 6, adalah Pegawai Negeri tertentu sebagaimana disebutkan dalam KUHAP, baik yang berada di pusat mauapun di daerah yang diberi wewenang khusus oleh undangundang, dalam hal ini wewenang dalam penanganan tindak pidana perikanan. PPNS Perikanan merupakan salah satu trisula dalam memperkarakan tindak pidana perikanan sebagaimana yang tertuang dalam UU Perikanan pada pasal 73A, penyidik memiliki 12 kewenangan, yaitu : 1). menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang perikanan; 2). memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya; 3). membawa dan menghadapkan
seseorang
sebagai
tersangka
dan/atau
saksi
untuk
didengar
keterangannya; 4). menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga digunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan; 5). menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan; 6). memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan; 7). memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang perikanan; 8). mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan; 9). membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan; 10). melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana; 11). melakukan penghentian penyidikan; dan 12). mengadakan tindakan lain yang menurut hukum dapat dipertanggungjawabkan. 2
Proses Penanganan Tindak Pidana Perikanan Kewenangan PPNS Perikanan yang diatur dalam UU Perikanan merupakan lex specialis derogat legi generalis, salah satu asas hukum, yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum. Dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan penyidik, Ditjen PSDKP kemudian menetapkan Keputusan Dirjen PSDKP No.372/DJ-PSDKP/2011, tanggal 29 Desember 2011 tentang Petunjuk Teknis Penyidikan Tindak Pidana Perikanan. Juknis tersebut menjadi petunjuk bagi PPNS perikanan untuk melaksanakan penyidikan yang dimulai dari pemeriksaan pendahuluan, serta penerimaan dan penelitian perkara tindak pidana perikanan yang diserahkan oleh Kapal Pengawas Perikanan. Selain itu, juga menjadi petunjuk dalam melaksanakan proses penyidikan yang meliputi Surat Perintah Tugas, Surat Perintah Penyidikan, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan, Pemanggilan, Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, Penyitaan, Pemeriksaan, dan in Absentia. Adapun penanganan tindak pidana perikanan dan alur proses penyidikan dapat dilihat dalam diagram 1 dan 2.
Henrikhan Kapal Pengawas PENGAWASAN Pengawas SDP Pengawas SDK Instansi terkait Masyarakat/ Pokmaswas
Ad Hoc Pelabuhan Terdekat
Dugaan Tindak Pidana Perikanan
Laporan Kejadian / Pengaduan dan Laporan Hasil Pemeriksaan Pendahuluan dari Penyidik
Penyidikan
PENERIMAAN DAN PENELITIAN AWAK KAPAL/ CALON TERSANGKA/ TERSANGKA/ BENDA SITAAN/ BARANG BUKTI / SURAT-SURAT/ DOKUMEN DAN/ATAU PEMERIKSAAN PENDAHULUAN 1 x 24 JAM HARUS SUDAH MEMILIKI KEPASTIAN HUKUM ( pasal 19 ayat (1) KUHAP dan pasal 73B ayat (1) UU Perikanan
Ditemukan Cukup Bukti Tidak Ditemukan Bukti
SPRINTDIK/SPDP Dari Kepala Pangkalan/ Kepala Stasiun /Pelabuhan Perikanan/ kepada PPNS Perikanan
Diagram 1 Alur Penanganan Tindak Pidana Perikanan
Dilepas
3
Diagram 1 memperlihatkan Juknis Penyidikan Tindak Pidana Perikanan yang ada saat ini tidak hanya mengatur teknis penyidikan yang mengarah pada Operasi Tangkap Tangan saja. Juknis ini juga mengatur kegiatan Pemeriksaan Pendahuluan dari Penyidik sebagaimana kegiatan Penyelidikan yang dilakukan Kepolisian maupun Kejaksaan.
SURAT PERINTAH PENYIDIKAN
PEMANGGILAN Pasal 31 ayat (3) huruf b UU No. 45/2009 PAsal 112 dan Pasal 113 KUHAP
PENAHANAN Pasal 73 ayat (6) UU No. 45/2009 (Paling Lama 20 hari, + 10 hari)
SPDP Pasal 73 B ayat (1) UU. 45/2009
JPU
PEMERIKSAAN Pasal 73 ayat (4) huruf e . UU. 45/2009
PENYERAHAN BERKAS Pasal 73 B ayat (6) UU. 45/2009
PENYITAAN Pasal 38 KUHAP, 73 ayat (4) huruf J UU No.45/2009 SK MEN Kehakiman No. M.04.PW.07.03 Tahun 1984
BP. DINYATAKAN LENGKAP (P-21);
PELELANGAN BENDA SITAAN Sifat barang cepat rusak/membahayakan/ Biaya perawatan tinggi Pasal 45 ayat (1) KUHAP, Pasal 76CB UU 45/2009
PENGHENTIAN PENYIDIKAN Pasal 109 ayat (2) KUHAP dan Pasal 73 A huruf a UU. 45/2009
PERBAIKAN BERKAS SESUAI PETUNJUK (P-19)
BERKAS TIDAK LENGKAP (P-18)
PENYERAHAN TERSANGKA DAN BARANG BUKTI
Diagram 2 Alur Penyidikan Tindak Pidana Diagram 2 menunjukkan alur proses penyidikan dari terbitnya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) sampai dengan penyerahan tersangka dan barang bukti kepada Jaksa Penuntut Umum, dalam penyelenggaraan tahapan proses penyidikan tindak 4
pidana perikanan, asas-asas yang dapat digunakan, yaitu Legalitas, yaitu setiap tindakan PPNS Perikanan senantiasa berdasarkan peraturan perundang-undangan; Kepastian hukum, yaitu setiap tindakan PPNS Perikanan dilakukan untuk menjamin tegaknya hukum dan keadilan; Kepentingan umum, yaitu setiap penyidik PPNS Perikanan lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi dan/atau
golongan;
Akuntabilitas,
yaitu
setiap
PPNS
Perikanan
dapat
mempertanggungjawabkan tindakannya secara yuridis, administrasi dan teknis; Transparansi, yaitu setiap tindakan PPNS Perikanan memperhatikan asas keterbukaan dan bersifat informatif bagi pihak-pihak terkait; Efektivitas dan efisiensi waktu penyidikan, yaitu dalam proses penyidikan, setiap PPNS Perikanan wajib menjunjung tinggi efektivitas dan efisiensi waktu penyidikan sebagaimana diatur dalam peraturan ini; dan Kredibilitas, yaitu setiap PPNS Perikanan memiliki kemampuan dan keterampilan yang prima dalam melaksanakan tugas penyidikan. Proses penyampaian hasil penyidikan ke penuntut umum paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pemberitahuan dimulainya penyidikan, hal ini sejalan untuk mendukung rencana strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2015-2019 yakni terselenggaranya pengendalian dan pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan yang partisipatif, dengan salah satu indikator kinerja Direktorat Penanganan Pelanggaran yaitu persentase penyelesaian tindak pidana perikanan secara akuntabel dan
tepat waktu. Peranan PPNS Perikanan Dalam Penanganan Tindak Pidana Perikanan Pada tahun 2012 Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia mengadakan riset mengenai peranan PPNS Perikanan (Jurnal Widyariset, Volume 17, April 2014) disimpulkan pelaksanaan kewenangan PPNS Perikanan dalam proses penyidikan mengalami berbagai kendala terkait masalah koordinasi dengan aparat penegak hukum dan juga sarana prasarana serta dukungan sumber daya yang dimiliki. Selama ini lingkup tugas dan tanggung jawab PPNS Perikanan dalam sistem penegakan hukum di Indonesia menyisakan banyak permasalahan, tidak saja terkait adanya tiga institusi yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan atas suatu tindak pidana perikanan, tetapi juga masih terdapatnya tumpang tindih kewenangan 5
penyidikan antara beberapa institusi. Akibatnya, antar institusi penyidik muncul kesan kurang terjalin koordinasi dan sinergitas yang dapat berdampak pada berkurangnya kredibilitas institusi penegak hukum dimata masyarakat. Permasalahan sebagaimana disimpulkan di atas tentunya akan terus berlanjut apabila tidak segera ditemukan jalan keluarnya, dan yang lebih mengkhawatirkan adalah terancamnya rasa keadilan masyarakat. Hanya karena muncul sikap ego sektoral di antara masing-masing intitusi penegak hukum, rasa keadilan masyarakat yang seharusnya dijunjung tinggi harus dikorbankan. Hal ini yang menjadi masalah klasik pada proses penegakan hukum di bidang perikanan karena adanya tiga penyidik yang berwenang. Namun permasalahan ini telah dieliminir dengan telah ditandatanganinya Piagam Kesepakatan Bersama (PKB) antara KKP dengan TNI AL dan Polri pada tanggal 30 Desember 2015. Piagam Kesepakatan Bersama ini disusun sebagai pedoman bagi Penyidik dalam rangka penegakan hukum tindak pidana perikanan dan tujuannya adalah untuk menjamin keseragaman pola tindak dan kepastian hukum dalam penanganan tindak pidana perikanan, adapun ruang lingkup PKB ini meliputi penegakan hukum dan pertukaran data dan informasi. PKB ini merupakan produk dari Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Perikanan (Forkor Penanganan TPP) di tingkat pusat, wadah koordinasi ini tidak hanya di tingkat pusat tapi juga di daerah yang merupakan amanat Pasal 73 ayat (5) UU Perikanan, tujuan terbentuknya forum koordinasi ini untuk memperlancar komunikasi serta tukar menukar data, informasi, dan hal-hal lain yang diperlukan dalam rangka efektifitas dan efisiensi penanganan tindak pidana perikanan secara terpadu, yang dimaksudkan untuk optimalisasi penanganan dan keberhasilan proses hukum perkara di bidang perikanan melalui wadah kerja sama antar aparat penegak hukum. Kerja sama antar aparat penegak hukum (penyidik, penuntut umum, dan hakim) memiliki peran penting dalam mencapai maksud dan tujuan tersebut di atas mengingat sistem peradilan yang berlaku di Indonesia yaitu Integrated Criminal Justice System. Forkor Penanganan TPP beranggotakan Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI-AL, Polri, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan, Kementerian Ketanagakerjaan, Kementerian Luar Negeri dan Mahkamah Agung. 6
Dalam hal operasi penegakan hukum tindak pidana perikanan dibentuk Satuan Tugas Pemberantasan Ikan Secara Ilegal atau yang dikenal dengan sebutan Satgas 115 berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 115 Tahun 2015. Wadah yang beranggotakan unsur dari KKP, TNI AL, Polri, Bakamla dan Kejaksaan Agung ini bertugas mengembangkan dan melaksanakan operasi penegakan hukum dalam upaya pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal di wilayah laut yurisdiksi Indonesia secara efektif dan efisien, termasuk pula tugas Satgas meliputi kegiatan perikanan yang tidak dilaporkan (unreported fishing). Untuk permasalahan sarana prasarana PPNS Perikanan, tiga tahun terakhir Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen PSDKP) mendapatkan alokasi anggaran yang sangat besar terutama dalam penguatan sarana prasarana dalam melaksanakan pengawasan kelautan dan perikanan hal ini untuk pemantauan operasi kapal perikanan melalui sistem pemantuan terintegrasi antara Pusat Pengendali (Pusdal), Unit Pelaksana Teknis (UPT) PSDKP, Kapal Pengawas, hingga Surat Keterangan Aktivasi Transmiter (SKAT) Vessel Monitoring System. Dengan adanya sarana prasarana ini dapat digunakan untuk kepentingan pemeriksaan pendahuluan sebagai petunjuk/informasi bahkan dapat saja menjadi bukti permulaan yang cukup. Disamping itu permasalahan mengenai biaya penyidikan meliputi honor penyidik, penerjemah dan saksi ahli, yang biaya pemberkasan perkara diserahkan kepada Penyidik setelah berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Jaksa Penuntut Umum (Proses P21) atau pada saat diterbitkannya Surat Penghentian Penyidikan (SP3) hal ini untuk mengukur tingkat keberhasilan penyidikan. Telah dialokasikan pula anggaran untuk biaya penanganan awak kapal perikanan yang ditahan, biaya ini diserahkan kepada penyidik pada saat proses penyidikan dengan menghitung jumlah awak kapal perikanan yang ditahan dan dikalikan maksimal 30 (tiga puluh) hari masa tahanan. Untuk biaya penanganan barang bukti diserahkan juga pada saat proses penyidikan dengan menghitung hari masa penyidikan sesuai dengan Standar Biaya Khusus. Permasalahan lainnya mengenai dampak pemberlakuan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, terdapat polemik mengenai tidak adanya lagi kewenangan pemerintah kabupaten/kota atas urusan pengawasan sumber daya 7
kelautan dan perikanan untuk jarak 4 mil laut, pengawasan ini diserahkan kepada pemerintah provinsi. Hal ini berimbas tidak terlembaganya PPNS Perikanan pemerintah kabupaten/kota dalam Satuan Tugas Pelaksana Daerah (SKPD), untuk mengatasi hal ini maka peran pemerintah provinsi sangat diperlukan untuk memberdayakan PPNS Perikanan di pemerintah kabupaten/kota dengan melaksanakan kegiatan pengawasan di kabupaten/kota. PPNS Perikanan yang tersebar di seluruh Indonesia sampai saat ini berjumlah 540 orang (Tabel 1), menurut hasil penelitian LIPI jumlah personil PPNS Perikanan ini belum signifikan untuk penanganan kasus tindak pidana perikanan ditambahkan pula dengan jumlah wilayah perairan Indonesia yang lebih dari 3.500.000 KM2. Tabel 1 : Jumlah PPNS Perikanan
No
Unit Kerja
Jumlah
1
Pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan)
91
2
UPT Ditjen PSDKP
169
3
Dinas Kelautan dan Perikanan
280
TOTAL
540
Sumber : Direktorat Penanganan Pelanggaran Tabel 2 : Sebaran PPNS pada UPT Ditjen PSDKP Tahun 2016
No
Unit Kerja
Jumlah
1
Pangkalan PSDKP Jakarta
60
2
Pangkalan PSDKP Bitung
35
3
Stasiun PSDKP Pontianak
30
4
Stasiun PSDKP Belawan
26
5
Stasiun PSDKP Tual
18
TOTAL
169
Sumber : Direktorat Penanganan Pelanggaran
8
Tabel 3 : Sebaran PPNS Perikanan di Dinas Kelautan dan Perikanan SEBARAN PPNS PERIKANAN DI DINAS KELAUTAN DAN PERIKANAN TAHUN 2016
25 20 15 10
Papua
Papua Barat
Maluku
Maluku Utara
Nusa Tenggara Timur
Gorontalo
Nusa Tenggara Barat
Sulawesi Barat
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Utara
Kalimantan Timur
Bali
Kalimantan Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Barat
D.I. Yogjakarta
Banten
DKI Jakarta
Lampung
Jambi
Kep. Bangka Belitung
Bengkulu
Sumatera Utara
Kep. Riau
Sumatera Selatan
Riau
Aceh
0
Sumatera Barat
5
Sumber : Direktorat Penanganan Pelanggaran
Berdasarkan data diatas sebaran PPNS Perikanan di Indonesia tidak merata di seluruh Unit Pelaksana Teknis (UPT) dan Satuan Pengawas (Satwas) dan Dinas Kelautan dan Perikanan, hal ini ditambah pula dengan kewenangan lingkup wilayah kerja yang dimiliki PPNS Perikanan. Untuk mengatasi hal ini maka Ditjen PSDKP melakukan perubahan wilayah kerja PPNS Perikanan, untuk PPNS Perikanan Kota/Kabupaten dinaikkan wilayah kerjanya sampai tingkat provinsi, PPNS Pusat dan UPT wilayah kerjanya mencakup seluruh Indonesia. Penghitungan jumlah ideal PPNS Perikanan sampai saat ini belum dikeluarkan oleh Ditjen PSDKP, penulis mengasumsikan jumlah penyidik yang ideal berbanding lurus dengan jumlah unit kerja yang tersebar atau luas wilayah perairan, baik itu unit kerja dari Ditjen PSDKP dan unit kerja dari Dinas Kelautan dan Perikanan. Untuk Ditjen PSDKP telah terbentuk 14 UPT PSDKP dan 58 Satwas PSDKP, selain itu dapat juga dengan melihat jumlah ideal PPNS Perikanan berbanding lurus dengan jumlah kasus yang ditangani atau tingkat kerawanan tindak pidana perikanan. Adapun kasus yang ditangani PPNS Perikanan dalam kurun waktu tiga terakhir dapat dilihat dalam Tabel 4.
9
Tabel 4 Rekapitulasi Data Penanganan Tindak Pidana Perikanan yang Ditangani Oleh PPNS Perikanan (Update Januari 2017)
Sumber : Direktorat Penanganan Pelangaran
Tabel diatas menunjukkan sejak Susi Pudjiastuti menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, PPNS Perikanan semakin banyak menangani kasus tindak pidana perikanan, hal ini dikarenakan dengan bertambahnya armada Kapal Pengawas dan
dilaksanakannya
diklat
rekrutmen
PPNS
Perikanan
setiap
tahun
serta
dilaksanakannya pelatihan peningkatan kapasitas PPNS Perikanan berupa Pelatihan Teknik Pengungkapan Kasus, Temu Teknis Aparat Penegak Hukum Perikanan, dan juga Temu Koordinasi PPNS Perikanan yang menjadi cikal bakal terbentuknya Asosiasi PPNS
Perikanan
sebagai
wadah
pemersatu
yang
bertujuan
meningkatkan
profesionalisme, membentuk jaringan komunikasi dan peningkatan kinerja PPNS Perikanan. Dengan berbagai pelaksanaan kegiatan capacity building diharapkan meningkatkan kualitas PPNS Perikanan yang mempunyai kemampuan khusus, karena kasus tindak pidana perikanan masuk kategori pidana khusus bukan pidana biasa. Untuk kasus yang telah ditangani oleh PPNS Perikanan meliputi penggunaan alat tangkap terlarang, penangkapan ikan yang dilindungi, modifikasi kapal perikanan secara ilegal, menggunakan nakhoda dan ABK Asing, Transhipment, dan pemboman ikan. Adapun kasus-kasus yang mendapatkan atensi publik yang ditangani oleh PPNS Perikanan yaitu kasus penyelundupan benih lobster ke Vietnam, kasus kasus Kapal
10
Silver Sea berbendera Thailand, kasus Kapal Gui Bei Yu berbendera Tiongkok, dan kasus PT. PBR di Benjina yang telah menjadi perhatian internasional. Kasus penyelundupan benih lobster sebanyak 2.116 ekor ke Vietnam di Lombok yang dilakukan warga negara Taiwan kasusnya telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) dengan vonis 2,5 tahun penjara dan denda 1 miliar. Kasus kapal Silver Sea 2 yang ditangkap oleh TNI AL pada 12 Agustus 2015 kemudian diserahkan oleh PPNS Perikanan atas dugaan transhipment saat ini sementara dalam proses penyidikan. Kasus Kapal Gui Bei Yu 10078 yang tidak memiliki dokumen penangkapan dan menggunakan alat tangkap terlarang telah memasuki proses banding. Sedangkan kasus PT. PBR di Benjina yang memiliki 52 Kapal Ikan merupakan tantangan besar bagi PPNS Perikanan, karena kasus ini terbongkar setelah adanya praktek perbudakan, selain itu diharapkan melalui penanganan kasus PT. PBR Benjina dapat menjadi pintu gerbang untuk menangani tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh korporasi. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas penulis dapat menyimpulkan PPNS Perikanan menjadi pilar penegakan hukum tindak pidana perikanan dalam upaya mengusung misi KKP yaitu kedaulatan, keberlanjutan dan kesejahteraan dengan melihat rekapitulasi data banyaknya kasus yang ditangani oleh PPNS Perikanan. Untuk permasalahan mengenai koordinasi antar penyidik telah dieliminir dengan penandatanganan PKB antara KKP dengan TNI AL dan Polri, serta telah dibentuknya dua wadah koordinasi yaitu Forkor Penanganan TPP dan Satgas 115. Permasalahan sarana dan prasarana telah
cukup
teratasi
dengan
berbagai
anggaran
yang
tersedia.
Sedangkan
permasalahan minimnya tenaga PPNS Perikanan, sulit untuk mengukur hal ini karena tidak adanya data jumlah ideal tenaga PPNS Perikanan yang dikeluarkan oleh Ditjen. PSDKP KKP tetapi dengan 540 PPNS Perikanan yang ada diharapkan dapat diberikan berbagai macam pelatihan untuk peningkatan kualitas PPNS Perikanan, misalnya Pelatihan Teknik Pengungkapan Kasus Destructive Fishing (Scientific Investigation Crime) atau Pelatihan Diklat Intelijen Dasar hal ini dengan melihat adanya tahapan pemeriksaan pendahuluan sebelum penyidikan.
11