BAB III KRITERIA KAPAL YANG DAPAT DILAKUKAN TINDAKAN PEMBAKARAN DAN/ATAU PENENGGELAMAN KAPAL DALAM TINDAK PIDANA PERIKANAN
A. Kriteria
Kapal
Perikanan
dan
Kewenangan
Penerbitan
Izin
Penangkapan Ikan dengan Kapal Kapal perikanan memiliki jenis yang cukup beragam, mulai dari yang berukuran kecil, seperti kapal yang beroperasi di sekitar pantai dan tidak memiliki mesin penggerak yang hanya dioperasikan oleh seorang nelayan, sampai kapal berukuran besar yang berfungsi sebagai kapal induk (mother boat) dan juga pemasok logistik bagi kapal yang lain. Kapal perikanan, termasuk jenis kapal berukuran kecil yang mana memiliki ciri khas tersendiri dan dipergunakan untuk melakukan tugas dan fungsi perikanan tertentu. Kapasitas dan fasilitas yang terdapat pada kapal tersebut juga disesuaikan dengan jenis kegiatan perikanan yang diemban. Oleh karenanya, kapal perikanan dirancang dan dibangun untuk mampu melaksanakan
tugas
perikanan (penangkapan ikan) yang menjadi fungsi utamanya. 67 Pada dasarnya, kapal perikanan adalah alat dan perlengkapan yang paling penting dan pada umumnya paling mahal di antara peralatan lain yang digunakan untuk menangkap ikan. Kapal perikanan tidak hanya berfungsi untuk menangkap ikan, tetapi juga kerap digunakan untuk penelitian di bidang perikanan, kelestarian 67
Chandra Nainggolan, Metode Penangkapan Ikan: Kapal Perikanan, hal. 24, diakses melalui http://repository.ut.ac.id/4219/1/MMPI5203-M1.pdf.
Universitas Sumatera Utara
sumber daya perikanan, manajemen perikanan, efektivitas serta efisiensi penangkapan dan bahkan penelitian untuk menciptakan kapal perikanan yang lebih baik. Secara umum, kapal perikanan digunakan untuk berbagai kegiatan perikanan di antaranya: 1. Kapal perikanan yang fungsi utamanya sebagai kapal penangkap ikan, seperti kapal pukat cincin (purse seiner), kapal trawl, kapal rawai tuna (tuna long liner), kapal huhate (pole and liner), kapal jaring insang (gill netter). 2. Kapal perikanan yang memiliki fasilitas khusus untuk penanganan dan pengolahan hasil tangkapan serta berfungsi sebagai mother boat. 3. Kapal perikanan yang kegiatan utamanya melakukan eksplorasi, penelitian, pengawasan, dan pelatihan sumber daya manusia perikanan. 4. Kapal perikanan yang digunakan sebagai pengangkut produk perikanan dari fishing ground ke pelabuhan bongkar, seperti kapal angkut pada kegiatan penangkapan dengan pukat cincin. 68 Kapal perikanan pada dasarnya harus memenuhi berbagai persyaratan kapal pada umumnya. Dewasa ini, sudah banyak ketentuan internasional yang menjadi pedoman dan acuan untuk membangun sebuah kapal. Namun demikian, untuk melakukan fungsinya dengan baik, kapal perikanan diharapkan memiliki berbagai persyaratan tertentu yang berbeda dengan kapal lain, seperti kapal penumpang, kapal pesiar dan kapal pengangkut barang. Kapal perikanan termasuk dalam kategori kapal dengan tugas khusus sehingga memiliki fungsi yang berbeda
68
Ibid., hal. 25.
Universitas Sumatera Utara
dengan kapal pada umumnya. Oleh karena tugas dan fungsi yang khusus tersebut, maka kapal perikanan (terutama kapal perikanan modern) memiliki karakter sebagai berikut : 69 1. Struktur Konstruksi yang Kuat Konstruksi kapal harus kuat karena dalam melaksanakan kegiatan menangkap ikan sering menghadapi kondisi laut yang keras. Kapal juga harus tahan terhadap getaran yang disebabkan oleh mesin-mesin kapal dan peralatan bantu penangkapan lainnya yang digunakan untuk mendukung pengoperasian alat penangkap ikan. 2. Stabilitas Kapal yang Tinggi Stabilitas kapal yang tinggi diperlukan kapal perikanan pada saat mengejar dan menangkap ikan, yang kadangkala harus beroperasi pada kondisi lautan yang berat dan sering menerjang badai. 3. Kecepatan (speed) yang Tinggi Kecepatan (speed) yang tinggi diperlukan untuk mengoptimalkan upaya mencari dan memburu kumpulan ikan yang menjadi target tangkapan. Di samping itu, kecepatan yang tinggi juga dibutuhkan untuk berlayar (berangkat dari pelabuhan ke daerah fishing ground) sehingga dapat dengan segera melakukan operasi penangkapan ikan. Ada kalanya daerah fishing ground saling diperebutkan antar kapal penangkap ikan sehingga untuk mendapatkan peluang tangkapan yang lebih maka harus tiba terlebih dahulu. Dan sebaliknya, pada saat mengoperasikan alat tangkap, kapal
69
Ibid., hal 26-28.
Universitas Sumatera Utara
harus bergerak dengan pelan. Oleh karena itu, pemilihan mesin harus dilakukan para ahli yang memiliki pengetahuan yang mendalam sehingga dapat memenuhi berbagai kebutuhan operasi penangkapan ikan, baik untuk melaju dengan cepat maupun bergerak dengan lambat. 4. Kemampuan Olah Gerak yang Baik Kapal penangkap ikan pada saat melakukan penangkapan selalu membutuhkan kemampuan olah gerak yang baik. Hal ini sangat penting ketika mendeteksi, mengikuti gerakan-gerakan ikan yang akan ditangkap dan pada saat mengoperasikan alat penangkap ikan. 5. Ketahanan yang Baik Kapal penangkap ikan harus memiliki kemampuan untuk menahan gelombang laut yang besar dan kuat serta mampu menahan tiupan angin yang kencang. Kapal penangkap ikan dirancang untuk memiliki daya apung yang besar dan stabilitas yang baik sehingga memiliki oleng (rolling and pitching) minimal pada saat diterpa angin kencang dan gelombang yang besar. 6. Mesin yang Ideal Penggunaan ruangan pada kapal penangkap ikan dilakukan seoptimal dan seefisien mungkin. Oleh karena itu, sebaiknya kapal ikan memiliki mesin utama yang ukurannya relatif kecil, sehingga ruang yang dibutuhkan mesin tidak besar, namun mesin tetap memiliki tenaga yang besar. Adapun mesin yang biasa digunakan oleh kapal penangkap ikan adalah mesin diesel yang mana memenuhi persyaratan untuk digunakan pada kapal
Universitas Sumatera Utara
penangkap ikan, berukuran kecil, bertenaga besar, serta mampu bekerja dalam waktu yang lama secara terus-menerus dan relatif mudah dirawat dan dioperasikan. 7. Fasilitas Peralatan dan Permesinan Perikanan yang Lengkap Kapal penangkap ikan dilengkapi dengan fasilitas permesinan yang digunakan untuk memperlancar dan mempermudah pengoperasian alat tangkap ikan. Penggunaan fasilitas ini akan mengurangi kesulitan dalam pengoperasian alat tangkap ikan, mengurangi jumlah sumber daya manusia serta meningkatkan produktivitas penangkapan dan meningkatkan efisiensi kapal. Kapal penangkap ikan juga dilengkapi dengan berbagai peralatan pendeteksi ikan guna mempermudah upaya mencari ikan target tangkapan, menentukan fishing ground yang baik bahkan mengetahui kondisi alat tangkap ketika dioperasikan di dalam air. 8. Peralatan Penanganan Hasil Tangkapan Pada umumnya kapal penangkap ikan menyimpan hasil tangkapannya di atas
kapal
untuk
sementara
waktu
sampai
ikan
tangkapan
dipindahkan.Untuk itu, kapal penangkap ikan dilengkapi dengan fasilitas penanganan ikan hasil tangkapan di atas kapal, yang digunakan untuk menjaga agar mutu ikan tangkapan di atas kapal tetap baik. 9. Memiliki Daya Jelajah yang Baik Kapal penangkap ikan memiliki kemampuan untuk mengarungi laut dalam waktu yang lama dan jauh dari pangkalan. Beberapa jenis kapal penangkap yang dilengkapi alat tangkap, seperti trawl, rawai tuna
Universitas Sumatera Utara
memiliki trip operasi yang lama dan panjang sampai dengan beberapa bulan. Oleh karena itu, kapal penangkap ikan seperti ini memiliki fasilitas untuk menyimpan logistik yang cukup besar dan modern (makanan, air tawar, bahan bakar) untuk mendukung kegiatan operasi penangkapan. Penggunaan kapal perikanan dalam melakukan penangkapan ikan di wilayah perikanan dunia, khususnya Indonesia, merupakan suatu tuntutan zaman yang tidak terelakkan. Keberadaan kapal perikanan sebagai sarana penangkap ikan diperlukan untuk menangkap ikan yang hidup dan berada di laut yang kedalamannya lebih dari 100 meter. Pada kedalaman tersebut banyak dihuni oleh ikan yang ukurannya besar dan mempunyai nilai serta harga yang tinggi, seperti ikan tuna dan ikan cakalang. Penyediaan kapal perikanan sebagai alat tangkap ikan yang berada pada kedalaman tertentu, perlu diatur perizinannya agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Kewenangan merupakan suatu yang melekat pada diri seseorang karena jabatannya, sehingga dengan adanya kewenangan tersebut, pejabat dapat menerbitkan suatu persetujuan berupa izin untuk melakukan suatu kegiatan yang berkaitan dengan hukum, yang lazim disebut “perizinan”. Dalam kaitannya dengan kegiatan usaha perikanan tangkap ini, perizinan merupakan sesuatu yang sangat mutlak, apalagi jika usaha tersebut mempergunakan peralatan perkapalan yang canggih dan dilakukan di lautan yang skalanya lebih luas dan dalam. 70 Adapun mengenai kewenangan penerbitan perizinan usaha perikanan tangkap dengan kapal diatur dalam Pasal 14 Peraturan Menteri Kelautan dan 70
Supriadi dan Alimuddin,2011, Hukum Perikanan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
hal. 337.
Universitas Sumatera Utara
Perikanan Nomor PER.30/MEN/2012 jo. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 57/PERMEN-KP/2014 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan izin usaha perikanan tangkap kepada Direktur Jenderal, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai kewenangannya. Kewenangan pemberian izin tersebut terdiri atas: a. Direktur Jenderal berwenang menerbitkan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) untuk kapal perikanan dengan ukuran di atas 30 (tiga puluh) gross tonnage dan usaha perikanan tangkap yang menggunakan modal asing dan/atau tenaga kerja asing. b. Gubernur berwenang menerbitkan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) untuk kapal perikanan dengan ukuran di atas 10 (sepuluh) gross tonnage sampai dengan 30 (tiga puluh) gross tonnage untuk orang yang berdomisili di wilayah administrasinya dan beroperasi pada perairan di wilayah pengelolaan perikanan provinsi tersebut berkedudukan, serta tidak menggunakan modal asing dan/atau tenaga kerja asing. c. Bupati/Walikota berwenang menerbitkan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) untuk kapal perikanan dengan ukuran 10 (sepuluh) gross tonnage untuk orang yang berdomisili di wilayah administrasinya
dan
beroperasi
pada
perairan
provinsi
tempat
Universitas Sumatera Utara
kabupaten/kota tersebut berkedudukan, serta tidak menggunakan modal asing dan/atau tenaga kerja asing dan Bukti Pencatatan Kapal untuk nelayan kecil yang menggunakan 1 (satu) kapal berukuran paling besar 5 (lima) gross tonnage untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
B. Ketentuan Pengoperasian Kapal Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia Salah satu kegiatan yang menunjang dan menentukan kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan adalah adanya kegiatan transportasi berupa pengangkutan ikan. Namun demikian semua kapal yang dipergunakan untuk mengangkut ikan harus mendapat izin dari Dirjen Perikanan terlebih dahulu. Persyaratan penggunaan perizinan kapal pengangkutan ikan dilakukan dengan tujuan agar semua kapal perikanan pengangkut ikan benar-benar layak sebagai kapal yang dapat dipertanggungjawabkan kelayakannya. Berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan (2) PERMEN KP Nomor PER.30/MEN/2012 dinyatakan bahwa setiap orang yang melakukan usaha perikanan tangkap di WPP-NRI,wajib memiliki izin usaha perikanan tangkap yang meliputi a. izin usaha perikanan yang diterbitkan dalam bentuk SIUP;b. izin penangkapan ikan yang diterbitkan dalam bentuk SIPI; danc. izin kapal pengangkut ikan yang diterbitkan dalam bentuk SIKPI. Di dalam UU Perikanan diatur bahwa pendaftaran kapal perikanan sifatnya adalah wajib. Hal ini ditegaskan didalam ketentuan Pasal 36 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang
Universitas Sumatera Utara
menyebutkan bahwa kapal perikanan milik orang Indonesia yang dioperasikan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia dan laut lepas wajib didaftarkan sebagai kapal perikanan Indonesia. Penyelenggaraan pendaftaran kapal perikanan dimaksudkan untuk menjamin usaha penangkapan ikan yang efisien (menguntungkan) dan berkelanjutan. Pendaftaran tersebut diarahkan untuk “teridentifikasi dan terdaftarnya kapal perikanan nasional yang beroperasi di perairan Indonesia”. 71 Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki kedaulatan dan yurisdiksi atas wilayah perairan Indonesia, serta kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan tentang pemanfaatan sumber daya perikanan dengan memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta kesinambungan pembangunan perikanan nasional. Konsekuensi hukum atas diratifikasinya Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea 1982 telah menempatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki hak untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku. Hak dan kewenangan atas laut diatur dalam UNCLOS (United Nations Convention on The Law of The Sea ) 1982 yang dibedakan berdasarkan derajat
71
Gatot Supramono,Op. Cit., hal. 44.
Universitas Sumatera Utara
dan tingkat kewenangan bagi negara yang bersangkutan. Ada beberapa jenis laut yang mendapatkan perhatian dikaitkan dengan pengelolaannya, baik bagi negara itu
sendiri,
bersama
dengan
negara-negara
tetangga
ataupun
dengan
memperhatikan kepentingan-kepentingan regional dan internasional. Wilayah
Pengelolaan
Perikanan
Negara
Republik
Indonesiayang
selanjutnya disingkat WPPNRI merupakan wilayahpengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, pembudidayaanikan, konservasi, penelitian dan pengembangan perikanan yangmeliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zonatambahan dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. 72 Perairan Indonesia didefinisikan sebagai laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya. 73 Dengan demikian wilayah perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman. 74 Dalam Undang-Undang Perairan Indonesia dan UndangUndang Perikanan, laut teritorial didefinisikan sebagai jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia. 75 Perairan kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jarak dari pantai, 76 perairan pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi
72
Pasal 1 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 18/PERMEN-KP/2014 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. 73 Pasal 1 Angka 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. 74 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. 75 Definisi laut teritorial mengacu pada UNCLOS yang telah diratifikasi dalam UndangUndang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319). 76 Pasal 3 ayat (3), Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk semua ke dalamnya dari perairan yang terletak pada sisi barat dari suatu garis penutup. 77 Pengaturan mengenai Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) pada Konvensi Hukum Laut 1982 memberikan posisi yang kuat dan keuntungan ekonomis
secara
kepada negara-negara pantai untuk memperoleh hak berdaulat
(sovereign rights) guna memanfaatkan sumber kekayaan alam yang ada di ZEE tersebut khususnya sumber perikanan. ZEE merupakan hal yang sangat penting bagi negara-negara berkembang karena rezim ini merupakan pencerminan dari usaha-usaha yang dilakukan oleh negara yang sedang berkembang untuk melakukan pengawasan dan penguasaan terhadap kekayaan alam yang terdapat di dalam laut yang berbatasan dengan laut wilayahnya. Konsevasi sumber kekayaan hayati di ZEE didasarkan pada prinsip pemanfaatan yang rasional (use the resources rationally) 78 yang menyatakan bahwa masalah penangkapan ikan di ZEE dapat mendatangkan manfaat sosial ekonomi yang sebesar-besarnya dan menciptakan keseimbangan pemanfaatan sumber kekayaan hayati di masa yang akan datang bagi kepentingan masyarakat dan negara pantai tersebut. Negara pantai mempunyai hak berdaulat
untuk
melakukan pemanfaatan sumber perikanan untuk kepentingannya. Dengan demikian negara pantai mempunyai yurisdiksi (extended fisheries juridiction) atas zona perikanan tersebut untuk melakukan pemanfaatan sumber perikanan yang ada di zona tersebut,
77 78
maka negara-negara lain dapat melakukan
Pasal 3 ayat (4), Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Hasjim Djalal, 1995, Indonesia and the Law of the Sea, CSIS, Jakarta, hal. 135-140.
Universitas Sumatera Utara
pemanfaatan sumber perikanan di zona perikanan tersebut melalui persetujuan dengan negara pantai. 79 Indonesia sebagai Negara Pantai mempunyai hak dan kewajiban yaitu: (a) Hak Negara Pantai untuk membuat pengaturan. Untuk
melihat
sejauh mana hak Indonesia, terutama dalam
memanfaatkansumber daya ikan yang terkandung dalam laut kepulauan dan Zona EkonomiEksklusif Indonesia, pertama-tama dapat dilihat dari Pasal 3 Konvensi Hukum Laut 1982 yangmenyatakan bahwa kedaulatan suatu negara pantai selain meliputi wilayahdaratan dan perairan pedalamannya,
dan
dalam
kepulauannya,
meliputi
pula
hal
suatu
suatu
negara
jalur
laut
kepulauan,perairan yang
berbatasan
dengannyayang dinamakan laut teritorial. Maka pada prinsipnya adalah wewenang penuhnegara pantai untuk mengatur pemanfaatan perikanan di wilayah perairannasional Indonesia yaitu di laut pedalaman, laut kepulauan, dan laut teritorial.Walaupun kapal asing diberi hak untuk melakukan lintas damai tetapi pada saatia melakukan lintas itu, tidak diperkenankan untuk menangkap ikan. Hal iniditegaskan oleh Konvensi Hukum Laut 1982 Pasal 19 ayat (2) huruf (i) yang menyatakan bahwa lintassuatu kapal asing harus dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban, ataukeamanan negara pantai, apabila kapal tersebut di laut teritorial melakukan setiapkegiatan perikanan.
79
Sri Wartini, Implementasi Konvensi Hukum Laut tahun 1982 tentang Pemanfaatan Sumber Perikanan di Zona Ekonomi Ekslusif, Jurnal Magister Hukum, Vol.1 No. 2 Mei tahun 2005, Penerbit Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum UII, Yogyakarta, hal. 204.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya negara pantai diberi kewenangan untuk membuat peraturanperundang-undangan yang berkaitan dengan lintas damai melalui laut teritorialyang meliput i : a. keselamatan navigasi dan pengaturan lalu lintas maritim; b. perlindungan alat-alat pembantu dan fasilitas navigasi serta fasilitas atauinstalasi lainnya; c. perlindungan kabel dan pipa laut; d. konservasi kekayaan hayati laut; e. pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan negarapantai; f. pelestarian lingkungan negara pantai dan pencegahan, pengurangan danpengendalian pencemarannya; g. penelitian ilmiah kelautan dan survey hidrografi; h. pencegahan
pelanggaran
peraturan
perundang-undangan
fiskal,
imigrasi, atausaniter negara pantai. Pengaturan-peraturan yang dibuat oleh negara pantai tersebut tidak berlaku bagidesain, konstruksi, pengawakan, atau peralatan kapal asing, kecuali apabilaperaturan perundang-undangan tersebut melaksanakan peraturan atau standarinternasional yang diterima secara umum (Pasal 21 ayat 2). Dan peraturan-peraturan tersebut harus bersifat transparan dan mudah diketahui oleh negarayang melakukan pelayaran lintas damai tersebut. Kapal asing yang melaksanakanhak lintas damai, harus mematuhi semua peraturan perundang-undangan dansemua peraturan internasional
Universitas Sumatera Utara
yang berkaitan dengan pencegahan tubrukan dilaut yang diterima secara umum. (b) Hak perikanan tradisional bagi negara tetangga. Tanpa mengurangi status perikanan kepulauan, negara pantai (Indonesia) harus tetap menghormati perjanjian yang ada dengan negara lain, dan harusmengakui hak perikanan tradisional serta kegiatan lain yang sah dari negaratetangga yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada dalamperairan kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatandemikian, termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah dimana hak dan kegiatandemikian berlaku, atas permintaan salah satu negara yang bersangkutan harusdiatur dengan perjanjian bilateral antar mereka. Hak demikian tidak bolehdialihkan atau dibagi dengan negara ketiga atau warga negaranya. (c) Hak berdaulat di Zona Ekonomi Eksklusif. Menurut Pasal 56 Konvensi Hukum Laut 1982 negara pantai (Indonesia) dalam Zona Ekonomi Eksklusif nya mempunyai hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasidan eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayatimaupun non hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanahdi bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi daneksploitasi zona tersebut, seperti produksi energi dan air, arus dan angin. Yurisdiksi di ZEE terbatas pada hak untuk melakukan eksploitasi sumberkekayaan alam yang dikandungnya, dengan tetap mengakui adanya
Universitas Sumatera Utara
status laindari perairan tersebut sebagai laut bebas, untuk kegiatankegiatan yang bukan termasuk ke dalam pemafaatan kekayaan alam. Dengan perkataan lain, yurisdiksiyang diberikan oleh Konvensi terbatas terhadap hak-hak ekonomi dan negarapantai atas kekayaan alamnya. Sedangkan di bidang pelayaran dan pemasangankabel dan pipa di bawah laut, tetap merupakan laut bebas. Selain yurisdiksiterhadap kekayaan alam yang terkandung di ZEE, kegiatan-kegiatan yangsesungguhnya memiliki keterkaitan dengan eksistensi dari kekayaan tersebut, konvensi mengakui adanya yurisdiksi yang berkaitan. Sebagaimana dikatakandalam Pasal 56 ayat
(1)
butir
(b)
bahwa
yurisdiksi
sebagaimana
ditentukan
dalamketentuan yang relevan dengan Konvensi ini berkenaan dengan : (i) pembuatandan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan; (ii) riset ilmiah kelautan;dan (iii) perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Ditambah dengan hak dankewajiban lain sebagaimana ditentukan dalam Konvensi.
Namun
dalammelaksanakan
hak-hak
dan
memenuhi
kewajibannya berdasarkan konvensi inidalam ZEE, negara pantai harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hakdan kewajiban konvensi. Mengenai hak-hak negara lain di ZEE ditegaskan dalamPasal 58 yang menyatakan bahwa semua negara, baik negara yang berpantai atau negara tak berpantai tunduk pada ketentuan yang relevan dengankonvensi, menikmati
kebebasan
pelayaran
dan
penerbangan,
serta
kebebasanmeletakan kabel dan pipa bawah laut, dan penggunaan laut lain
Universitas Sumatera Utara
yang sahmenurut hukum internasional yang bertalian dengan kebebasankebebasan kapal,pesawat udara, dan kabel serta pipa bawah laut. (d) Kewajiban
negara
pantai
untuk
melakukan
konservasi
sumber
kekayaanalam hayati. Berdasarkan uraian sebelumnya mengenai hak dan kewajiban negara pantai, maka sesungguhnya yurisdiksi negarapantai yang berlaku di ZEE sifatnya terbatas, dan kebebasan-kebebasan yangberlaku di laut bebas masih melekat dalam hal-hal tertentu. Hal ini dimaksudkanagar pemanfaatan
kekayaan
alam
di
ZEE
jangan
sampai
merusak
kelangsunganhidup sumber daya hayati di perairan tersebut. Mengingat bahwa sumber dayahayati seperti ikan sebenarnya tidak dapat dibatasi oleh suatu batas tertentu, danmempunyai sifat berpindah-pindah, sehingga kepentingan eksploitasi sumber daya ituoleh suatu negara tidak terlepas juga kepentingan negara lain, terutama negara-negara yang berdekatan baik berhadapan maupun yang berdampingan. Oleh karena itu, konvensi mewajibkan hal-hal sebagai berikut (Pasal 61Konvensi Hukum Laut 1982): (1) Negara pantai harus menentukan jumlah tangkapan sumber kekayaan hayati yang dapat diperbolehkan dalam ZEE. (2) Negara pantai, dengan memperhatikan bukti ilmiah terbaik dantersedia
baginya
tindakankonservasi
harus dan
menjamin
pengelolaan
dengan yang
mengadakan
tepat
sehingga
pemeliharaansumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif
Universitas Sumatera Utara
tidakdibahayakan oleh eksploitasi yang berlebihan. Dimana perlu, negara pantai dan organisasi internasional, regional maupun global, harusbekerja sama untuk tujuan ini. (3) Tindakan
demikian
juga
bertujuan
untuk
memelihara
ataumemulihkan populasi jenis yang dapat dimanfaatkan pada tingkatyang dapat menjamin hasil maksimum yang lestari, sebagaimanaditentukan oleh faktor ekonomi dan lingkungan yang relevan,termasuk kebutuhan ekonomi masyarakat nelayan daerah pantai dankebutuhan khusus negara berkembang, dan dengan memperhatikanpola penangkapan ikan, saling ketergantungan persediaan jenis ikandan standar minimum internasional yang dianjurkan secara umum,baik di tingkat sub-regional, regional, maupun global. (4) Dalam
mengambil
tindakan
harusmemperhatikan akibat-akibat
demikian,
negara
pantai
terhadap
jenis-jenis
yang
berhubunganatau tergantung pada jenis yang dimanfaatkan dengan tujuan untukmemelihara atau memulihkan populasi jenis yang berhubungan
atautergantung
demikian
di
atas
tingkat
reproduksinya dapat sangatterancam. (5) Keterangan ilmiah yang tersedia, statistik penangkapan dan usahaperikanan,
serta
konservasipersediaan
data jenis
lainnya ikan
yang
harus
relevan
dengan
disumbangkan
dan
diperuntukan secarateratur melalui organisasi internasional yang
Universitas Sumatera Utara
berwenang baik sub-regional, regional, maupun global dimana perlu dan dengan peranserta semua negara yang berkepentingan, termasuk negara yangwarga negaranya diperbolehkan menangkap ikan di ZEE. (e) Kewajiban
negara
pantai
untuk
memanfaatkan
secara
optimal
wilayahZona Ekonomi Eksklusifnya. Negara pantai diharuskan untuk memanfaatkan secara optimal wilayahZEE-nya, dan harus menetapkan kemampuannya. Apabila ternyata negara pantaitersebut tidak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan seluruh
jumlahtangkapan
sumber
kekayaan
hayati
yang
dapat
diperbolehkan, maka ia harus melalui perjanjian atau peraturan lainnya, memberikan kesempatan pada negaralain untuk memanfaatkan jumlah tangkapan sesuai dengan jumlah tangkapanyang diperbolehkan yang masih tersisa dengan memperhatikan secara khususketentuan Pasal 69 dan Pasal 70, khususnya yang bertalian dengan negaraberkembang yang disebut di dalamnya. Dalam memberikan kesempatanmemanfaatkan kepada negara lain itu, negara pantai harus memperhitungkansemua faktor yang relevan, termasuk antara lain mengenai pentingnya sumberkekayaan hayati yang penting bagi perekonomian negara pantai yangbersangkutan dan kepentingan nasional yang lain (Pasal 62 ayat 3). Warganegara lain yang melakukan penangkapan ikan di ZEEI harus mematuhi tindakan konservasi dan ketentuan serta persyaratan lainnya yang ditetapkan
Universitas Sumatera Utara
dalamperaturan perundang-undangan negara pantai.Peraturan perundangundangan itu meliputi: (1) Pemberian izin kepada nelayan, kapal penangkapan ikan dan peralatannya,termasuk pembayaran bea dan pungutan bentuk lain, yang dalam hal negarapantai yang berkembang, dapat berupa kompensasi yang layak di bidangpembiayaan, peralatan, dan teknologi yang bertalian dengan industri perikanan; (2) Penetapan jenis ikan yang ditangkap, dan menentukan kuota-kuota penangkapan,baik yang bertalian dengan persediaaan jenis ikan atau kelompok persediaan jenis ikan suatu jangka waktu tertentu atau jumlah yang dapat ditangkap olehwarga negara suatu negara selama jangka waktu tertentu; (3) Pengaturan musim dan daerah penangkapan, macam ukuran dan jumlah alatpenangkapan ikan, serta macam, ukuran dan jumlah kapal penangkap ikan yangboleh digunakan; (4) Penentuan umum dan ukuran ikan dan jenis yang boleh ditangkap; (5) Rincian keterangan yang diperlukan dari kapal penangkap ikan, termasuk statistikpenangkapan dan usaha penangkapan serta laporan tentang posisi kapal; (6) Persyaratan, di bawah penguasaan dan pengawasan negara pantai, dilakukanprogram riset perikanan yang tertentu dan pengaturan pelaksanaan
risetdemikian,
termasuk
pengambilan
contoh
Universitas Sumatera Utara
tangkapan, disposisi contoh tersebutdan pelaporan data ilmiah yang berhubungan; (7) Penempatan peninjauan atau trainee di atas kapal tersebut oleh negara pantai; (8) Penurunan seluruh atau sebagian hasil tangkapan oleh kapal tersebut di pelabuhan negara pantai; (9) Ketentuan dan persyaratan bertalian dengan usaha patungan atau pengaturankerja sama lainnya; (10)
Persyaratan untuk latihan personil dan pengalihan teknologi
perikanan, termasuk peningkatan kemampuan negara pantai untuk melakukan riset perikanan; (11)
Prosedur penegakan.
Apabila di ZEE atau di luar tetapi berdekatan dari dua negara atau lebih,terdapat persediaan ikan jenis yang sama atau termasuk dalam jenis yang sama,maka negara-negara ini harus secara langsung melalui organisasi subregionalatau regional, berusaha mencapai kesepakatan mengenai tindakan yangdiperlukan
untuk
mengkoordinasikan
dan
menjamin
konservasi
danpengembangan persediaan jenis ikan yang demikian (Pasal 63 Konvensi Hukum Laut 1982). (f) Hak-hak negara tak berpantai dan negara yang secara geografis takberuntung. Dalam Konvensi Hukum Laut 1982 diakui adanya hak dari negaranegara yang tidakberpantai dan negara yang sekalipun mempunyai pantai
Universitas Sumatera Utara
tetapi secara geografistidak beruntung untuk memanfaatkan sumber kekayaan alam hayati di ZEEI.Negara tak berpantai (Pasal 69) dan negara yang secara geografis tak beruntung (Pasal 70) mempunyai hak untuk berperan serta atas dasar keadilan, dalameksplotasi bagian yang pantas dari kelebihan sumber kekayaan hayati ZEEnegara-negara pantai dalam sub-regional atau regional yang sama, denganmemperhatikan keadaan ekonomi dan geografis yang relevan dengan negarayang berkepentingan. Konvensi Hukum Laut 1982 memberikan pengertian negara yang secara geografis takberuntung sebagai negara pantai, termasuk negara yang berbatasan dengan lauttertutup atau setengah tertutup, yang letak geografisnya membuat tergantungpada eksploitasi sumber kekayaan hayati ZEE negara lain di sub-regional atauregional untuk persediaan ikan yang memadai bagi keperluan gizi penduduknyaatau bagian dari penduduk itu, dan negara-negara yang tidak dapat menuntutZEE bagi dirinya sendiri (Pasal 70 ayat 2 Konvensi Hukum Laut 1982). Persyaratan dan cara peran serta demikian akan ditetapkan oleh negara-negara yang berkepentingan melalui perjanjian bilateral, sub regional, atauregional dengan memperhatikan antara lain hal-hal sebagai berikut: (1) Kebutuhan
untuk
menghindari
akibat
yang
merugikan
bagimasyarakat nelayan atau industri penangkapan ikan; (2) Sejauh mana negara tak berpantai lainnya dan negara yang secarageografis tak beruntung berperan serta dalam eksploitasi
Universitas Sumatera Utara
sumberkekayaan hayati ZEE negara pantai tersebut dan kebutuhan yang timbul karenanya untuk menghindari suatu beban khusus bagisuatu negara pantai tertentu atau suatu bagian dari padanya; (3) Kebutuhan gizi penduduk masing-masing negara. Apabila kapasitas tangkap suatu negara pantai mendekati suatutitik yang
memungkinkan
negara
itu
untuk
menangkap
seluruh
jumlahtangkapan yang diperbolehkan dari ZEE-nya, maka negara pantai dannegara lain yang berkepentingan harus bekerja sama dalam menetapkanpengaturan yang adil atas dasar bilateral, sub-regional, atau regionaluntuk memperbolehkan peran serta negara-negara berkembang takberpantai
di
sub-regional
atau
regional
yang
sama
dalam
eksploitasisumber kekayaan hayati di ZEE negara-negera pantai di dalam sub-regional
atau
regional
sebagaimana
layaknya
dengan
memperhatikankepada dan atas dasar persyaratan yang memuaskan bagi semua pihak.Bahkan negara maju tak berpantai pun berhak untuk berperan serta dalameksploitasi sumber kekayaan hayati dalam ZEE. Hak yang diberikan berdasarkan Pasal 69 dan 70 untukmengeksploitasi sumber kekayaan alam hayati tidak boleh dialihkan, baiksecara langsung atau tidak langsung kepada negara ketiga atau warganegaranya, dengan cara sewa atau perizinan, dengan mengadakan usahapatungan atau dengan cara lain apapun yang mempunyai akibatpengalihan demikian, kecuali disetujui secara lain oleh negara yang bersangkutan. Ketentuan tersebut tidak memperoleh bantuan teknis ataukeuangan dari negara ketiga atau
Universitas Sumatera Utara
organisasi internasional untukmemudahkan pelaksanaan hak-hak itu sesuai dengan ketentuan Pasal 69dan 70, dengan ketentuan bahwa hal itu tidak mempunyai akibatpengalihan hak (Pasal 72 ayat 3). Pengaturan mengenai wilayah pengelolaan perikanan dimaksudkan agar tercapainya optimalisasi pengelolaan perikanan dan pemutakhiran batas-batas wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia serta
mendukung
kebijakan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya sesuai dengan yang diamanatkan pada Pasal 7 ayat (1) UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Wilayah pengelolaan perikanan di Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18/PERMEN-KP/2014 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia adalah sebagai berikut: 1. WPPNRI 571 meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman; 2. WPPNRI 572 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumateradan Selat Sunda; 3. WPPNRI 573 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawahingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timorbagian Barat; 4. WPPNRI 711 meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan LautChina Selatan; 5. WPPNRI 712 meliputi perairan Laut Jawa; 6. WPPNRI 713 meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores,dan Laut Bali;
Universitas Sumatera Utara
7. WPPNRI 714 meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda; 8. WPPNRI
715
meliputi
perairan
Teluk
Tomini,
Laut
Maluku,
LautHalmahera, Laut Seram dan Teluk Berau; 9. WPPNRI 716 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara PulauHalmahera; 10. WPPNRI 717 meliputi perairan Teluk Cendrawasih dan SamuderaPasifik; 11. WPPNRI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timorbagian Timur. Selain itu, untuk mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan yang bertanggung jawab, optimal dan berkelanjutan serta mengurangi konflik pemanfaatan sumber daya ikan berdasarkan prinsip pengelolaan sumber daya ikan, maka dikelompokkanlah jalur penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia yang terdiri atas: 80 1. Jalur penangkapan ikan I terdiri dari: a. Jalur penangkapan ikan IA, meliputi perairan pantai sampai dengan 2 (dua)mil laut yang diukur dari permukaan air laut pada surut terendah. b. Jalur penangkapan ikan IB, meliputi perairan pantai di luar 2 (dua) mil lautsampai dengan 4 (empat) mil laut. 2. Jalur Penangkapan Ikan II meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut terendah. 80
Pasal 2 –Pasal 4 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71/PERMEN-
KP/2016
Universitas Sumatera Utara
3. Jalur Penangkapan Ikan IIImeliputi ZEEI dan perairan di luar jalur penangkapan ikan II. Jalur-jalur penangkapan ikan tersebut ditetapkan berdasarkan karakteristik kedalaman perairan yang dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: 1. Perairan dangkal (≤ 200 meter) terdiri atas: a. WPPNRI 571 : meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman. b. WPPNRI 711 : meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Cina Selatan. c. WPPNRI 712 : meliputi perairan Laut Jawa. d. WPPNRI 713 : meliput i perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali. e. WPPNRI 718 : meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor bagian Timur. 2. Perairan dalam (> 200 meter) terdiri atas: a. WPPNRI 572 : meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda. b. WPPNRI 573 : meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat. c. WPPNRI 714 : meliput i perairan Teluk Tolo dan Laut Banda. d. WPPNRI 715 : meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau. e. WPPNRI 716 : meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara
Universitas Sumatera Utara
Pulau Halmahera. f. WPPNRI 717 : meliputi perairan Teluk Cenderawasih dan Samudera Pasifik. Sementara itu, dalam rangka pelaksanaan pengawasan kapal perikanan yang berkaitan dengan usaha perikanan tangkap terpadu, maka perlu ditentukan sasaran yang akan dijadikan dasar untuk melaksanakan pengawasan kapal perikanan secara intensif meliputi: (a) dokumen perizinan kapal perikanan; (b) fisik kapal perikanan; (c) alat penangkapan ikan; (d) alat bantu penangkapan ikan; (e) ikan hasil tangkapan; (f) ikan yang diangkut; (g) daerah penangkapan; (h) pelabuhan pangkalan/pelabuhan muat/singgah; (i) awak kapal.
C. Kapal
yang
Dapat
Dilakukan
Tindakan
Pembakaran
dan/atau
Penenggelaman Kapal dalam Tindak Pidana Perikanan Ketentuan yang berkaitan dengan usaha perikanan diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang menyatakan bahwa usaha perikanan adalah kegiatan yang dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran. Upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya ikan secara maksimal di wilayah perikanan Indonesia, tidak terlepas dari usaha perikanan yang dilakukan oleh perorangan dan badan hukum. Di dalam Undang-Undang Perikanan, ditentukan bahwa usaha perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia,
Universitas Sumatera Utara
kecuali terhadap orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban negara Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku. 81 Pemberian surat izin usaha perikanan kepada orang dan/atau badan hukum asing yang beroperasi di ZEEI harus didahului dengan perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal. 82 Meskipun telah mendapatkan izin untuk melakukan penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), namun sesuai dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, bahwa setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk menangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia tetap wajib dilengkapi Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). 83 Selain itu, setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk mengangkut ikan di wilayah perikanan negara Republik Indonesia juga wajib dilengkapi dengan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).84 Secara normatif, penangkapan ikan yang dilakukan di perairan zona ekonomi eksklusif merupakan hak negara pantai dan mempunyai kewajiban untuk
81
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun
82
Pasal 30 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun
2009 2009 83
Surat Izin Penangkap Ikan (SIPI) sebagaimana dimaksud dalam pasal ini adalah SIPI asli dan bukan fotokopi dan/atau salinan yang mirip dengan SIPI asli. 84 Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
Universitas Sumatera Utara
mengatur dengan baik pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Apalagi pengaturan kebijakan pemanfaatan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) telah diuraikan lebih lanjut oleh keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan sejak tahun 2001, yang khusus mengatur mengenai pengaturan kapal perikanan yang melakukan penangkapan ikan di wilayah tersebut. Namun secara faktual, masih saja terjadi pencurian yang dilakukan oleh nelayan negara tetangga. Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, keberadaan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pertahanan keamanan bangsa Indonesia dalam rangka mencapai ketertiban dan keamanan secara keseluruhan. 85 Sejalan dengan dilakukannya penetapan Republik Indonesia atas zona ekonomi eksklusif telah mendapatkan persetujuan secara bilateral oleh beberapa negara tetangga. Zona ekonomi eksklusif merupakan hak yang diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melakukan segala aktivitas yang ada kaitannya dengan lautan dan pesisir, khususnya kegiatan penangkapan ikan. Zona ekonomi eksklusif Indonesia telah diakui pula oleh negara-negara tetangga, sehingga apabila terdapat negara-negara tetangga yang melakukan penangkapan ikan tanpa persetujuan atau izin dari Pemerintah Republik Indonesia, maka
85
Supriadi dan Alimuddin, Op. Cit., hal. 401.
Universitas Sumatera Utara
nelayan tetangga tersebut dapat ditangkap oleh pejabat yang berwenang di bidang kelautan dan perikanan. 86 Setiap negara pada prinsipnya mempunyai kekuasaan dan kewenangan penuh atas wilayahnya masing-masing baik di wilayah darat, air, udara yang berada di wilayah kedaulatannya masing-masing. Kedaulatan atas wilayah laut adalah kewenangan yang dimiliki suatu negara di laut guna melaksanakan kewenangannya di wilayah kedaulatannnya tersebut, dimana yang berlaku adalah hukum nasional apabila terjadi pelanggaran. 87 Oleh karena itu muncul konsep ―kedaulatan teritorial― dimana akan berlaku hukum negara yang memiliki wilayah teritorial. 88 Kapal asing yang memasuki perairan Indonesia secara illegal dan melakukan penangkapan ikan merupakan salah satu bentuk pelanggaran kedaulatan negara. Karena perairan Indonesia merupakan daerah perairan yang menjadi wilayah kedaulatan teritorial Indonesia. Sehingga Indonesia mempunyai hak untuk dapat melakukan penegakan hukum sesuai dengan hukum nasional. Laut Indonesia sebagai wilayah kedaulatan teritorial, merupakan daerah yang menjaditanggungjawab sepenuhnya Pemerintah RI dengan penerapan hukum nasional Indonesia. 89
86
Ibid., hal. 403. Popi Tuhulele, Upaya Hukum Indonesia Mengajukan Landas Kontinen Ekstensi (Antara Peluang dan Tantangan), Jurnal Perspektif, Volume 16 Nomor 3, 2011, ISSN : 14103648, Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon, 2011, hal. 184. Diakses melalui http://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/201207081310382587/15.pdf. 88 J.G Starke, 2010, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 210. 89 Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hal. 21. 87
Universitas Sumatera Utara
Penegakan Hukum (law enforcement) menurut Jimly Asshiddiqie, adalah mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum (memberikan sanksi) terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia membuat peradilan perikanan untuk menerapkan hukum dan melakukan tindakan hukum berupa “sanksi” bagi para kapal asing yang melakukan illegal fishing di wilayah perairan Indonesia. 90 Dalam rangka penegakan hukum di wilayah laut yurisdiksi nasional, terhadap kapal perikanan berbendera asing yang melakukan illegal fishing di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia dapat dilakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 11 /PERDJPSDKP/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tindakan Khusus Terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing, pengertian Tindakan khusus adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan dan/atau Pengawas Perikanan yang berada di atas Kapal Pengawas Perikanan dalam rangka melindungi keselamatan diri atau menegakan peraturan perudang-undangan di bidang perikanan. Tindakan khusus yang dilaksanakan
berupa pembakaran
dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
90
Supriadi dan Alimuddin, Op. Cit., hal. 429.
Universitas Sumatera Utara
Tindakan tersebut dapat dilaksanakan pada saat dilakukan pemeriksaan di tengah laut berdasarkan ketentuan Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang menyatakan: “Dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan, penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.”
Bukti permulaan yang cukup misalnya kapal perikanan berbendera asing tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIKPI), serta nyata-nyata menangkap dan/atau mengangkut ikan ketika memasuki wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Ketentuan ini menunjukkan bahwa tindakan khusus tersebut tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi hanya dapat dilakukan apabila penyidik dan/atau pengawas perikanan yakin bahwa kapal perikanan berbendera asing tersebut betul-betul melakukan tindak pidana di bidang perikanan. 91 Ditinjau dari peraturan perundang-undangan, terdapat tiga tahap dalam melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal yaitu : Tahap pertama adalah pada tahap pengawasan di laut. Pada tahap ini, penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing pelaku
91
Penjelasan Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
Universitas Sumatera Utara
Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing. Hal ini mengacu pada Pasal 66C ayat (1) huruf k yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya di bidang perikanan, pengawas perikanan berwenang untuk melakukan tindakan khusus terhadap kapal perikanan yang berusaha melarikan diri dan/atau melawan dan/atau membahayakan keselamatan kapal pengawas perikanan dan/atau awak kapal perikanan, dan Pasal 69 ayat (1) dan ayat (4) yang menyatakan bahwa kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Tindakan khusus ini dilakukan pada saat kapal perikanan berbendera asing yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perikanan dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) dan pada saat akan ditangkap oleh kapal pengawas perikanan (kapal patroli) berusaha ingin melarikan diri atau berusaha melakukan perlawanan yang membahayakan keselamatan kapal pengawas perikanan atau awak buah kapal perikanan. Selain itu, tindakan khusus ini juga dapat dilakukan berdasarkan bukti permulaan yang cukup yaitu apabila kapal perikanan berbendera asing tidak memiliki dokumen yang lengkap seperti tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan/atau tidak memiliki Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIKPI) serta nyata-nyata menangkap dan/atau
Universitas Sumatera Utara
mengangkut ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). 92 Ketentuan hukum lainnya yang menguatkan tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing dalam tahap pengawasan di laut adalah Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 tentang Barang Bukti Kapal dalam Perkara Pidana Perikanan, huruf a yang berbunyi : “bahwa terhadap Pasal 69 ayat (4) dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup. terhadap penggunaan Pasal 69 ayat (4) UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ini, Ketua Pengadilan Negeri tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan persetujuan.” Penguatan ketentuan hukum dari Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Barang Bukti Kapal dalam Perkara Pidana Perikanan di atas, maka penyidik dan/atau pengawas perikanan mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing tanpa harus meminta persetujuan terlebih dahulu kepada Ketua Pengadilan Negeri. Hal ini dilakukan 92
Kahfi Bima Kurniawan, Tinjauan Yuridis Pembakaran dan/atau Penenggelaman Kapal Berbendera Asing Pelaku Tindak Pidana Pencurian Ikan (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan), Diponegoro Law Jurnal, Volume 5 Nomor 3 Tahun 2016, hal. 6 diakses melalui ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/article/download/12346/11992.
Universitas Sumatera Utara
untuk efisiensi waktu apabila kapal perikanan berbendera asing tidak dapat dibawa ke pelabuhan terdekat untuk proses pemeriksaan lebih lanjut karena kapal perikanan berbendera asing mungkin saja mengalami rusak berat atau tidak memiliki nilai ekonomi yang tinggi apabila dilelang atau kondisi cuaca yang tidak memungkinkan untuk membawa kapal perikanan berbendera asing ke pelabuhan terdekat, maka penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus tersebut dan tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu kepada Ketua Pengadilan Negeri. 93 Tahap Kedua adalah pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing pelaku IUU Fishing di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia pada tingkat penyidikan. Pada tahap ini, ketentuan hukum mengacu kepada Pasal 76A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang berbunyi: “Benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan Ketua Pengadilan Negeri.” Ketentuan hukum lainnya yang menguatkan Pasal 76A tersebut adalah Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2015 huruf b dan huruf c tentang Barang Bukti Kapal dalam Perkara Pidana Perikanan, yang menyatakan bahwa kapal yang terlibat kejahatan pencurian ikan di laut yang telah disita oleh penyidik secara sah menurut hukum dan dijadikan barang bukti maka apabila hendak dimusnahkan atau dilelang, penyidik harus meminta persetujuan Ketua Pengadilan Negeri setempat, Pasal 76A Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 93
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan jo. Pasal 38 dan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP). Pada tingkat penyidikan, pemusnahan barang bukti kapal perikanan berbendera asing berupa pembakaran dan/atau penenggelaman bertujuan agar barang bukti berupa kapal tidak dapat digunakan sebagaimana dengan fungsinya, maka dalam hal ini penyidik harus meminta persetujuan ketua pengadilan negeri setempat. Apabila dalam keadaan sangat perlu dan mendesak serta penyidik harus bertindak dan tidak mungkin mendapatkan surat izin terlebih dahulu, maka penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk memperoleh persetujuannya. 94 Benda sitaan cepat rusak atau membahayakan atau memerlukan biaya perawatan yang tinggi apabila perkara masih di tangan penyidik atau penuntut umum maka benda sitaan dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut umum dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya, sedangkan apabila perkara sudah ditangan pengadilan maka benda sitaan dapat dijual lelang atau diamankan oleh penuntut umum atas izin hakim yang penyidangan perkaranya disaksikan oleh tersangka atau kuasanya. Di samping itu, dalam ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2015 huruf c tentang Barang Bukti Kapal dalam Perkara Pidana Perikanan dinyatakan “apabila perkara
94
Ibid., hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
telah dilimpahkan ke Pengadilan Tingkat Pertama, Banding dan Kasasi maka persetujuan pemusnahan diterbitkan oleh Majelis Hakim yang Bersangkutan.” Oleh karena itu, apabila berkas tersebut telah dilimpahkan ke Majelis, maka dalam hal ini tahap pemusnahan kapal perikanan berbendera asing dilakukan apabila sudah ada putusan Majelis Hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan ini merupakan cara pembakaran dan/atau penenggelaman tahap ketiga. Pemusnahan kapal berbendera asing ini merupakan sanksi pidana berupa pidana tambahan yang mana hakim dapat menjatuhkan sanksi pidana tersebut. 95
95
Ibid., hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PROSEDUR TINDAKAN PEMBAKARAN DAN/ATAU PENENGGELAMAN KAPAL DALAM TINDAK PIDANA PERIKANAN DI INDONESIA
A. Penyidik dan Penyidikan dalam Tindak Pidana Perikanan Penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik yang dilakukan oleh pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya. 96 Titik berat (tekanan) yang diletakkan pada tindakan penyidikan yaitu “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. 97 Ketentuan mengenai penyidik dan penyidikan, diatur dalam Bab IV, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 73A, Pasal 73B, dan Pasal 73C UU Perikanan. Berdasarkan Pasal 73 ayat (1) UU Perikanan: “Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL, dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.” Dari rumusan pasal tersebut dapat diketahui bahwa penyidik perikanan terdiri atas 3 (tiga) macam, yaitu Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), penyidik TNI AL, dan Penyidik Polri. Pelanggaran-pelanggaran terhadap UU Perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, mengenai kewenangannya juga telah ditetapkan oleh UU Perikanan, yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 73 ayat (2) UU Perikanan maka pihak yang berwenang melakukan penyidikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) 96
Pasal 1 Angka 2 UU Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP). Alvi Syahrin, 2011, Ketentuan Pidana dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindu7ngan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta: PT Sofmedia, hal. 6. 97
Universitas Sumatera Utara
adalah penyidik TNI AL dan penyidik PNS.Penyidikan yang dilakukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan bersifat koordinatif dengan Penyidik Perwira TNI Angkatan Laut agar penyidikan tersebut berjalan lebih efisien dan efektif berdasarkan Prosedur Tetap Bersama. 98Sedangkan khusus untuk peristiwa pelanggaran yang terjadi di pelabuhan perikanan, pihak yang berwenang melakukan penyidikan adalah penyidik PNS (Pasal 73 ayat (3) UU Perikanan). Koordinasi diperlukan selain untuk kelancaran pelaksanaan tugas penyidik, juga dimaksudkan untuk memperlancar komunikasi dan tukar-menukar data, informasi, serta hal lain yang diperlukan dalam rangka efektivitas dan efisiensi
penanganan
dan/atau
penyelesaian
tindak
pidana
perikanan. 99
Berdasarkan ketentuan Pasal 73 ayat (5) UU Perikanan, untuk melakukan koordinasi dalam penanganan
tindak pidana di bidang perikanan Menteri
diperintahkan untuk membentuk suatu lembaga yang disebut forum koordinasi dalam penanganan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan. Adapun susunan dari anggota Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan menurut Permen KP Nomor PER. 13/MEN/2005 jo. Permen KP Nomor PER. 11/MEN/2006 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan terdiri dari: a. Ketua
:
Menteri Kelautan dan Perikanan
b. Wakil Ketua I
:
Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia
98
Penjelasan Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 45 Tahun 2009. 99 Penjelasan Pasal 73 ayat (4) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 45 Tahun 2009.
Universitas Sumatera Utara
c. Wakil Ketua II
:
Kepala
:
Direktur
Staf
Tentara
Nasional
IndonesiaAngkatan Laut d. Sekretaris I merangkap
Jenderal
Pengawasan
dan
anggotaPengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, DKP e. Sekretaris II merangkap
: Kepala Badan Reserse dan Kriminal,
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia f. Anggota
: 1)Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus, Kejaksaan Agung; 2)Asisten
Operasi
Kepala
Staf
TentaraNasional Indonesia Angkatan Laut; 3)Direktur Jenderal Imigrasi, Departemen Hukum dan HAM; 4)Direktur
Jenderal
Perhubungan
Laut,
Departemen Perhubungan; 5)Direktur
Jenderal
Bea
dan
Cukai,
Departemen Keuangan; 6)Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi; 7)Direktur Pidana, Mahkamah Agung; 8)Direktur
Polisi
Perairan,
Badan
Pembinaan Keamanan, Mabes Polri.
Universitas Sumatera Utara
Dengan adanya aturan yang demikian, maka penyidik perikanan lain yaitu penyidik Polri atau penyidik TNI AL yang kebetulan sedang berada di pelabuhan perikanan dan mengetahui adanya kejadian tindak pidana di bidang perikanan dapat menginformasikan kepada penyidik PNS untuk segera ditindaklanjuti. Koordinasi antarpenyidik cukup berperan penting, seperti dengan cara tukarmenukar informasi yang dapat memperlancar tugas penyidikan sehingga penanganan perkara perikanan dapat berjalan efektif dan efisien. 100 Mengenai kewenangan penyidik perikanan (penyidik PNS, TNI AL, dan Polri) telah ditetapkan secara limitatif di dalam Pasal 73A UU Perikanan, melakukan tindakan sebagai berikut : a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang perikanan; b. memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya; c. membawa dan menghadapkan seseorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya; d. menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga digunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan; e. menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan; f. memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan;
100
Gatot Supramono, Op. Cit. , hal. 98.
Universitas Sumatera Utara
g. memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang perikanan; h. mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan; i.
membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
j.
melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana;
k. melakukan penghentian penyidikan; dan l.
mengadakan
tindakan
lain
yang
menurut
hukum
dapat
dipertanggungjawabkan. Sejalan dengan kewenangan yang dimiliki penyidik tersebut, penyidik perikanan dalam
menjalankan tugasnya
mempunyai kewenangan untuk
melakukan penahanan. Tindakan penahanan dapat dilakukan terhadap orang dan terhadap barang. Untuk penahanan terhadap orang ditujukan kepada tersangka, sedangkan penahanan terhadap barang sudah ditentukan bentuknya yaitu berupa kapal perikanan.
B. Prosedur Pelaksanaan Tindakan Pembakaran dan/atau Penenggelaman Kapal dalam Tindak Pidana Perikanan di Indonesia Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 11/PER-DJPSDKP/2014 Dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi penegakan hukum tindak pidana perikanan di laut oleh Kapal Pengawas Perikanan, serta mencegah
Universitas Sumatera Utara
terjadinya
pelaksanaan
tindakan
khusus
berupa
pembakaran
dan/atau
penenggelaman kapal secara sewenang-wenang maka diperlukan adanya petunjuk teknis pelaksanaan tindakan khusus tersebut. 101 Sehubungan dengan hal tersebut maka Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan mengeluarkan peraturan terkait petunjuk teknis pelaksanaan tindakan khusus terhadap kapal perikanan berbendera asing. Peraturan ini sekaligus menjadi acuan bagi PPNS Perikanan dan/atau Pengawas Perikanan di atas kapal pengawas perikanan dalam melaksanakan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal terhadap kapal perikanan berbendera asing serta guna menyeragamkan pola pikir dan pola tindak bagi PPNS Perikanan dan/atau Pengawas Perikanan di atas kapal pengawas perikanan dalam pelaksanaan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman terhadap kapal perikanan berbendera asing yang melakukan pelanggaran di WPPNRI, sehingga pelaksanaan tindakan khusus dapat dilaksanakan secara benar dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Pelaksanaan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing dapat dilakukan jika memenuhi syarat subyektif 102 dan syarat obyektif 103. Adapun syarat subyektif yang harus dipenuhi meliputi : 104
101
Bagian menimbang huruf a Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 11 /PER-DJPSDKP/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tindakan Khusus Terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing. 102 Syarat subyektif merupakan syarat yang terdapat di dalam diri pelaku tindak pidana seperti kealpaan ataupun kesengajaan. 103 Syarat obyektif merupakan syarat yang terdapat di luar diri pelaku tindak pidana seperti perbuatan atau kelakuan manusia, dimana perbuatan atau kelakuan manusia itu ada yang aktif (berbuat sesuatu), misal membunuh (Pasal 338 KUHP), menganiaya (Pasal 351 KUHP). 104 Pasal 7 Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 11 /PER-DJPSDKP/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tindakan Khusus Terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing.
Universitas Sumatera Utara
a. nakhoda dan/atau anak buah kapal perikanan asing melakukan perlawanan dan/atau manuver yang membahayakan Kapal Pengawas Perikanan dan awak kapalnya pada saat Kapal Pengawas Perikanan menghentikan, memeriksa dan/atau membawa kapal ke pelabuhan terdekat; b. kondisi cuaca tidak memungkinkan untuk menarik/membawa atau mengawal kapal ke pelabuhan terdekat; dan/atau c. kapal perikanan berbendera asing mengalami rusak berat yang dapat menimbulkan bahaya bagi keselamatan tersangka dan kapal pengawas perikanan. Selain syarat subyektif, terdapat pula syarat obyektif yang harus dipenuhi yang terdiri dari syarat kumulatif dan/atau syarat alternatif. Adapun syarat kumulatif meliputi : 105 a. tidak mempunyai dokumen perizinan yang sah dari Pemerintah Republik Indonesia; b. nyata-nyata melakukan penangkapan ikan dan/atau pengangkutan ikan di WPPNRI; dan c. kapal perikanan berbendera asing dengan semua awak kapal warga negara asing. Sedangkan syarat alternatif yang harus dipenuhi meliputi : 106
105
Pasal 8 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 11 /PER-DJPSDKP/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tindakan Khusus Terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing. 106 Pasal 8 ayat (3) Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 11 /PER-DJPSDKP/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tindakan Khusus Terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing.
Universitas Sumatera Utara
a. Kapal perikanan perikanan berbendera asing yang ditangkap tidak memiliki nilai ekonomis tinggi; dan/atau b. Kapal perikanan berbendera asing tidak memungkinkan untuk dibawa ke pelabuhan terdekat, dengan pertimbangan: 1) kapal membahayakan keselamatan pelayaran dan/atau kepentingan karantina; 2) kapal mengangkut muatan yang mengandung wabah penyakit menular dan/atau bahan beracun dan berbahaya; 3) jumlah kapal yang ditangkap tidak memungkinkan untuk di adhock/dikawal ke pelabuhan terdekat; dan/atau 4) biaya menarik/membawa kapal sangat tinggi. Berdasarkan ketentuan syarat-syarat tersebut maka dapat diketahui bahwa untuk melakukan tindakan khusus harus memenuhi syarat-syarat baik syarat subjektif dan/atau syarat objektif. Jika dilihat dari ketentuan Pasal 66C ayat (1) huruf k Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, tindakan khusus dapat dilakukan apabila kapal perikanan berusaha melarikan diri, melawan dan/atau membahayakan keselamatan pengawas perikanan. Dalam hal ini ketentuan pasal tersebut termasuk dalam syarat khusus atau syarat subjektif untuk melakukan tindakan khusus. Adapun pada Pasal 69 ayat (4) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, tindakan khusus dilakukan apabila berdasarkan bukti permulaan yang cukup serta nyata-nyata menangkap dan/atau mengangkut ikan di WPPNRI. Dalam hal ini syarat yang
Universitas Sumatera Utara
ditetapkan dalam pasal tersebut termasuk kedalam syarat objektif, yaitu syarat kumulatif dimana untuk melakukan tindakan khusus tersebut minimal harus ada 2 (dua) syarat kumulatif yang harus dipenuhi. Ketika membahas mengenai tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal, maka ada serangkaian prosedur atau mekanisme untuk melakukan tindakan tersebut. Prosedur tindakan khusus tersebut mengacu pada Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12 dan Pasal 13 Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan
Sumber
Daya
Kelautan
dan
Perikanan
Nomor
11/PER-
DJPSDKP/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tindakan Khusus terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing. 1) Nakhoda Kapal Pengawas Perikanan wajib melaporkan kepada Direktur Jenderal hal-hal sebagai berikut: 107 a. nama kapal; b. posisi perairan dan koordinat kapal; c. asal kapal dan bendera kebangsaan; d. kewarganegaraan awak kapal; e. dugaan pelanggaran; dan f. barang bukti; Bentuk laporan berupa: 108 a. lisan melalui telepon satelit atau radio SSB; atau
107
Pasal 9 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 11 /PER-DJPSDKP/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tindakan Khusus Terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing. 108 Pasal 9 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 11 /PER-DJPSDKP/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tindakan Khusus Terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing.
Universitas Sumatera Utara
b. tertulis melalui telegraf atau alat komunikasi lainnya. Setelah laporan tersebut mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal, maka tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan sudah dapat dilaksanakan. 109 2)Sebelum melakukan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal, Nakhoda Kapal Pengawas Perikanan harus : 110 a. memberikan peringatan kepada awak kapal perikanan untuk meninggalkan kapal; b. menyelamatkan seluruh anak buah kapal perikanan berbendera asing; c. mengupayakan melepaskan bendera kapal dari kapal asing yang akan dikenakan tindakan khusus; d. mendokumentasikan baik menggunakan kamera/kamera digital maupun audio visual/video; dan e. mencatat posisi kapal perikanan terbakar dan/atau tenggelam pada jurnal kapal. 3) Tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman dilakukan dengan cara: 111 a. menentukan jarak tembak yang aman dengan memperhitungkan arah angin dan arus serta pertimbangan keselamatan; 109
Pasal 9 ayat (3) Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 11 /PER-DJPSDKP/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tindakan Khusus Terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing. 110 Pasal 10 Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 11 /PER-DJPSDKP/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tindakan Khusus Terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing. 111 Pasal 11 Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 11 /PER-DJPSDKP/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tindakan Khusus Terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing.
Universitas Sumatera Utara
b. menggunakan bahan peledak untuk melakukan pembakaran dan/atau penenggelaman; dan/atau c. mengarahkan penembakan ke ruang mesin agar cepat terbakar dan tenggelam. Tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman dapat dilaksanakan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia apabila syarat subyektif telah terpenuhi sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. 112 4) Setelah melakukan pembakaran dan/atau penenggelaman, Nakhoda Kapal Pengawas Perikanan wajib melaporkan kepada Direktur Jenderal mengenai: 113 a. posisi koordinat kapal perikanan berbendera asing yang dibakar dan/atau ditenggelamkan; b. kondisi Awak kapal perikanan kapal perikanan berbendera asing; c. tujuan membawa dan menyerahkan awak kapal perikanan berbendera asing; dan d. membuat berita acara pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing. Laporan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal tersebut dilengkapi dengan : 114
112
Pasal 12 Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 11 /PER-DJPSDKP/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tindakan Khusus Terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing. 113 Pasal 13 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 11 /PER-DJPSDKP/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tindakan Khusus Terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing. 114 Pasal 13 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 11 /PER-DJPSDKP/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tindakan Khusus Terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing.
Universitas Sumatera Utara
a. berita acara pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing; b. kronologis
pembakaran
dan/atau
penenggelaman
kapal
perikanan
berbendera asing; dan c. Laporan Henrikhan Kapal Perikanan. Pada tingkat penyidikan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dapat melakukan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal berbendera asing dengan mengacu pada ketentuan Pasal 76A Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing dapat dilakukan apabila sudah mendapatkan persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri. Sedangkan pada tingkat pengadilan, pelaksanaan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal dilakukan apabila telah ada putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap oleh Majelis Hakim. Hal ini berdasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2015 huruf c tentang Barang Bukti Kapal dalam Perkara Pidana Perikanan dimana apabila perkara telah dilimpahkan kepada Majelis, maka persetujuan pemusnahan barang bukti berupa kapal diterbitkan oleh Majelis Hakim yang Bersangkutan. Dari keseluruhan
prosedur
pelaksanaan
tindakan
khusus
berupa
pembakaran dan/atau penenggelaman kapal yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dianalisis penerapan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal yang telah dilakukan beberapa waktu lalu yaitu terhadap kapal berbendera Malaysia yakni kapal pukat trawl dengan nomor PSF 2436. Kapal berbobot 52,68 GT itu
Universitas Sumatera Utara
ditangkap di wilayah perairan Batubara, pada 20 Maret 2016 dengan tersangka Phan Rhuanthong, asal Thailand dan dua kapal berbendera Indonesia yang menangkap ikan menggunakan alat yang dilarang, tidak memiliki nama kapal dan tidak memiliki nomor selar. Satu kapal memiliki bobot 7 GT dan bermesin 28 PK, sedangkan kapal lainnya berbobot 5 GT dan bermesin dompeng 28 PK, ketiganya telah ditenggelamkan pada tanggal 5 April 2016 di Perairan Belawan. 115 Selain itu terdapat pula kapal KM. SLFA 2675 asal Malaysia, tersangka Zaw warga negara Myanmar. Lalu, KM. SLFA 4778 kapal asal Malaysia dengan tersangka Chia Keechan warga negara Malaysia. Kemudian, KM. PKFA 3378 kapal asal Malaysia, tersangka Tepparak Insorn warga negara Thailand.KM. Extra Joss- III kapal asal Indonesia, tersangka Amiruddin warga negara Indonesia. Seterusnya, KM. PKFB 1152 kapal asal Malaysia, tersangka Chit Soe warga negara Myanmar. KM. PKFA 8115 kebangsaan kapal asal Malaysia, tersangka Moe als Swan warga negara Myanmar, dan KM. KHF 1767 kapal asal Malaysia, tersangka Ko Kyaw Soe als Kyaw Soe warga negara Myanmar. Ketujuhnya telah dieksekusi pada tanggal 1 April di Perairan Belawan. 116 Keseluruhan peledakan dan penenggelaman terhadap kapal-kapal pelaku illegal fishing tersebut telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia yang mana mengacu pada Pasal 76A Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, yang menyatakan bahwa benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau dihasilkan
115
http://m.metrotvnews.com/sumatera/peristiwa/ObzJ1Elb-tiga-kapal-diledakkan-diperairan-belawan, diakses pada tanggal 31 Mei 2017. 116 http://topmetro.news/polda-sumut-ledakkan-7-kapal-ilegal-fishing-di-belawan/,diakses pada tanggal 31 Mei 2017.
Universitas Sumatera Utara
dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua pengadilan negeri. Dari rumusan pasal tersebut dapatlah disimpulkan bahwa pemusnahan dengan cara penenggelaman terhadap kapal-kapal tersebut adalah sah dan tidak melanggar hukum dan pelaksanaannya dilakukan setelah ada instruksi dari Menteri Kelautan & Perikanan juga diputuskan oleh Pengadilan dan putusan itu sudah memiliki kekuatan hukum (Inkracht).
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan Penelitian dalam skripsi ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Perbuatan-perbuatan yang termasuk tindak pidana perikanan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 terdiri atas 2 (dua) macam delik, yaitu delik kejahatan (misdrijven) yang terdapat didalam Pasal 84 ayat (1), (2), (3), (4), Pasal 85, Pasal 86 ayat (1), (2), (3), (4), Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93 ayat (1), (2), (3), (4), Pasal 94, Pasal 94A, dan delik pelanggaran (overtredingen) yang terdapat didalam Pasal 87 ayat (1), (2), Pasal 89, Pasal 90, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97 ayat (1), (2), (3), Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100. 2. Kriteria kapal yang dapat dilakukan tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal dalam tindak pidana perikanan yaitu kapal perikanan berbendera asing yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perikanan dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) dan pada saat akan ditangkap oleh kapal pengawas perikanan (kapal patroli) berusaha ingin melarikan diri atau berusaha melakukan perlawanan yang membahayakan keselamatan kapal pengawas perikanan atau awak buah kapal perikanan. Selain itu, tindakan khusus ini juga dapat dilakukan berdasarkan bukti permulaan yang cukup yaitu
Universitas Sumatera Utara
apabila kapal perikanan berbendera asing tidak memiliki dokumen yang lengkap seperti tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan/atau tidak memiliki Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIKPI) serta nyata-nyata
menangkap
dan/atau
mengangkut
ikan
di
Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). 3. Prosedur tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal dalam tindak pidana perikanan di Indonesia menurut peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 11/PERDJPSDKP/2014 diawali dari Nakhoda Kapal Pengawas Perikanan melaporkan kepada Direktur Jenderal mengenai a. nama kapal; b. posisi perairan dan koordinat kapal; c. asal kapal dan bendera kebangsaan; d. kewarganegaraan awak kapal; e. dugaan pelanggaran; dan f. barang bukti. Kemudian sebelum melakukan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal, Nakhoda Kapal Pengawas Perikanan harus : a. memberikan peringatan kepada awak kapal perikanan untuk meninggalkan kapal; b. menyelamatkan seluruh anak buah kapal perikanan berbendera asing; c. mengupayakan melepaskan bendera kapal dari kapal asing yang akan dikenakan tindakan khusus; d. mendokumentasikan baik menggunakan kamera/kamera digital maupun audio visual/video; dan e. mencatat posisi kapal perikanan terbakar dan/atau tenggelam pada jurnal kapal. Setelah itu tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman dilakukan dengan cara menentukan jarak tembak yang aman dengan memperhitungkan arah angin dan arus serta pertimbangan keselamatan,
Universitas Sumatera Utara
menggunakan bahan peledak untuk melakukan pembakaran dan/atau penenggelaman, dan/atau mengarahkan penembakan ke ruang mesin agar cepat terbakar dan tenggelam. Tindakan khusus terssebut dilaksanakan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia apabila syarat subyektif telah terpenuhi yakni: 1) nakhoda dan/atau anak buah kapal perikanan asing melakukan perlawanan dan/atau manuver yang membahayakan Kapal Pengawas Perikanan dan awak kapalnya pada saat Kapal Pengawas Perikanan menghentikan, memeriksa dan/atau membawa kapal ke pelabuhan terdekat; 2) kondisi cuaca tidak memungkinkan untuk menarik/membawa atau mengawal kapal ke pelabuhan terdekat; dan/atau 3) kapal perikanan berbendera asing mengalami rusak berat yang dapat menimbulkan bahaya bagi keselamatan tersangka dan kapal pengawas perikanan. Pelaksanaan tindakan pembakaran dan/atau penenggelaman kapal tersebut sudah dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari Direktur
Jenderal
Pengawasan
Sumber
Daya
Kelautan
dan
Perikanan.Maka berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan undang-undang maka pelaksanaan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal yang melakukan illegal fishing telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia dan tidak melanggar hukum karena didasarkan pada Pasal 76A UndangUndang No. 31 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 yang menjelaskan bahwa terhadap benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk
Universitas Sumatera Utara
negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua pengadilan negeri dan juga dalam pelaksanaannya dilakukan setelah ada instruksi dari Menteri Kelautan & Perikanan juga diputuskan oleh Pengadilan dan putusan itu sudah memiliki kekuatan hukum (Inkracht).
B. Saran 1. Perlu adanya tindakan tegas guna menegakkan hukum dan menjaga kedaulatan Indonesia yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tidak melanggar ketentuan nasional maupun internasional sehingga nantinya tidak ada timbul konflik di kemudian hari. 2. Perlu dilakukan tindakan pencegahan yang efektif, yaitu pengawasan yang lebih ketat. Selain itu, diperlukan sarana dan prasarana dalam melakukan pengawasan, antara lain kapal patroli yang lebih banyak, alat komunikasi yang canggih, Vessel Monitoring System (VMS), pesawat patroli udara, radar
pantai,
sistem
pengawasan
masyarakat
(SISWASMAS),
kelembagaan, senjata api sebagai alat pengaman diri, dan personil pengawas perikanan yang lebih banyak lagi.
Universitas Sumatera Utara