1
PERANAN DAN FUNGSI JASA BIO-EKO-HIDROLOGIS KOMUNITAS BANTARAN SUNGAI*) Oleh: Tarsoen Waryono **)
Abstrak Bentang alam vegetasi riparian di Jakarta sebagai koridor dalam lansekap ekologi perkotaan yang mengakomodasikan keseluruhan daerah riparian dari hulu ke hilir dengan pertimbangan efek tepi (edge effect), walaupun peranan fungsi ekosistemnya telah terganggu sebagai akibat okupasi penduduk, masih mampu memberikan peranan fungsinya atas Jasa Bio-EkoHidrologisnya. Untuk itu upaya konservasi yang harus dilakukan mampu memaksimumkan manfaat vegetasi riparian atas peranan fungsi jasanya, melalui pengaturan tata ruang wilayah, dan mengakomodasikan tiga prinsip yang erat kaitannya dengan; pelestarian manfaat (sustainability fuction), berkelanjutan ekologi (ecolocal sustainability), dan berkelanjutan sosial (social sustainability). Kata kunci: Bantaran sungai, riparian, Bio-eko-hidrologis.
Pendahuluan Bantaran sungai merupakan kawasan (buffer) penyangga daerah pengelolaan air; berfungsi sebagai tanggul sungai, berada pada kanan dan kiri badan sungai (Manan, 1990). Penutupan vegetasinya spesifik “riparian”, membentuk satuan ekologik terkecil (Swol, 1986), dipengaruhi oleh bentuk fisiografi dan jenis batuannya (Sandy, 1976). Menurut Hough (1978) bantaran sungai merupakan jalur koridor hijau, di samping merupakan ekoton antara ekosistem daratan dan perairan, juga merupakan ekoton antara ekosistem riparian dengan ekosistem daratan (Hough, 1978; dan Swol 1986). Terganggunya ekositem bantaran sungai menyebabkan peranan fungsinya terganggu; pada hal seperti halnya hutan, komunitas vegetasi riparian secara teoritis berfungsi sebagai pusat terjadinya keanekaragaman genetik, dan tempat berlangsungnya evolusi secara alamiah (Hough, 1978). Lebih jauh Forman dan Gordon (1986) dan Reis (1990), menyatakan bahwa dampak penting pengembangan wilayah terhadap kondisi fisik bantaran sungai menyebabkan perubahan-perubahan terhadap habitat dan proses-proses yang terjadi di dalamnya. Perubahan yang terjadi, dicirikan oleh bentuk-bentuk degradasi habitat, akibat okupasi penduduk seperti yang terjadi di bantaran sungai Jakarta. Dalam manajemen pengelolaan kawasan sempadan sungai yang mengakomodasi keseluruhan daerah riparian dengan pertimbangan efek tepi “edge effect” menurut Swol (1988), memerlukan dukungan informasi yang erat kaitannya dengan peranan fungsi jasa vegetasi riparian. Penelitian tentang karakteristik, dinamika dan peranan fungsi jasa bio-ekohidrologis *). Seminar Nasional Pengelolaan DAS Terpadu Se Jawa Bali. Departemen Kehutanan. Jakarta Juni, 2001 **). Staf Pengajar Jurusan Geografi FMIPA UI dan Mahasiswa Pasca Sarjana Biologi Universitas Indonesia
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
2 daerah riparian belum banyak dilakukan di Indonesia, namun berbagai penelitian mengenai pentingnya ekosistem riparian telah banyak dipublikasikan (Naiman & Decamps, 1990 dan Brandy & Warner, 1994). Dalam penelitian tersebut menunjukan bahwa daerah riparian sangat bervariasi dalam hal ukuran dan jenis vegetasi, karena kombinasi yang mungkin terjadi antara sumberdaya air dan karakteristik fisik wilayahnya. Bantaran sungai dalam lansekap ekologi perkotaan, merupakan elemen struktur lansekap dalam bentuk koridor hijau (vegetasi riparian); selain memberikan manfaat kesejukan dan keindahan (Hough, 1978), juga memainkan pernanan fungsinya atas jasa bioeko-hidrologis di wilayah perkotaan (Hough, 1978; Forman dan Gordon, 1986). Peranan fungsi jasa biologis vegetasi riparian, seperti diungkapkan oleh Forman dan Gordon (1986), Bradshaw (1987); dan Risser (1990), memberikan jasa sebagai penyaring (filter) materi tanah dan mineral air, beserta zat hara yang terkadung di dalamnya; menurut Swol (1986), Forman dan Gordon (1986), vegetasi riparian juga memiliki kemampuan daya pencar pohon induk untuk mempertahankan kelangsungan regenerasinya; mampu menyediakan berbagai sumber pakan satwa liar (Forman dan Gordon, 1986); pepohonan bantaran sungai di wilayah perkotaan juga berperan sebagai pelerai dan penghalau kecepatan angin, menyerap berbagai bentuk polutan, serta mampu mengendalikan iklim mikro (Hough, 1978). Secara hidrologis, seperti halnya peranan fungsi vegetasi secara umum telah banyak diungkap oleh beberapa akhli hidrologi (Forman dan Gordon, 1986; Reis 1990), namun secara spesifik lebih mampu dalam pengaturan tata air. Besaran laju limpasan air pada waktu musim penghujan dapat dikendalikan oleh jajaran pepohonan yang rapat, hingga luapan air akan tercegah, namun sebaliknya pada musim kemarau potensi air tanah tersedia dapat menjamin lajunya debit aliran sungai yang bermanfaat bagi kepentingan hidup biota perairan. Arsyad (1978), menyebutkan bahwa tutupan vegetasi berperan dalam siklus hidrologi, dalam proses infiltrasi dan perkolasi melalui sistem perakaran, hingga terjaminnya pelestarian air tanah dalam (ground water) yang sangat esensial dalam pengaturan tata air secara alamiah. Peranan fungsi jasa ekologis vegetasi riparian Huogh (1978) di kota-kota pantai, merupakan kawasan penyangga strategis yang membentuk satu kesatuan ekosistem, sebagai habitat dari berbagai jenis kehidupan flora dan fauna. Reis (1990) menyatakan bahwa daerah riparian merupakan koridor distribusi dan pemencaran organisme yang menghubungan berbagai tipe habitat baik secara vertikal maupun horizontal. Lebih jauh Forman dan Gordon (1986), menyebutkan bahwa potensi koridor hijau bantaran sungai dengan berbagai jenis tumbuhan, merupakan habitat dan sangtuari kehidupan satwa burung, mamalia terbang, binatang melata dan beberapa jenis lainnya; selain sebagai penyedia sumber pakan, juga merupakan wahana terjadinya mata rantai makanan. Mecermati uraian di atas, dalam penelitian ini ingin ingin mengetahui sejauh mana peranan fungsi jasa bio-eko-hidrologis vegetasi riparian di bantaran sungai Jakarta.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
3 Lokasi Penelitian Bantaran sungai di seluruh Jakarta (1.384,21 ha), terdiri atas tiga tipe habitat pada hakekatnya merupakan lokasi penelitian (Gambar-1). TELUK JAKARTA
TIPE HABITAT BANTARAN SUNGAI JAKARTA U 2
TH-3
0
2
4 km
KETERANGAN
TH-2 TH-1
TH-1
:TIPE HABITAT-1
TH-2
:TIPE HABITAT-2
TH-3
:TIPE HABITAT-3
Sumber : 1. Peta Dasar Dinas Tata Kota DKI Jakarta Tahun 2000 2. Citra Landsat (terkoreksi) TM Band 54 Tahun 2000
Gambar-1; Tipe habitat dicirikan oleh curah hujan, zona wilayah dan penutupan vegetasi yang berbeda; Habitat-1merupakan hamparan lahan yang bervegetasi riparian masih utuh, Habitat-2 merupakan hamparan lahan vegetasi riparian yang telah terokupasi oleh penduduk 21-54%, dan Habitat-3, merupakan hamparan lahan bantaran sungai yang terokupasi oleh penduduk lebih dari 70%.
Metode Analisis 1. Analisis jasa biologis meliputi: (a). Peranan fungsi penyaring (filter) sifat fisik kimia air, dilakukan dengan membandingkan hasil analisis air (Laboratorium), yang bersumber dari limpasan dan air rembesan. (b). Peranan fungsi penyaring (filter) sifat fisik dan kimia tanah, dilakukan dengan membandingkan hasil analisis tanah (Laboratorium), yang bersumber dari endapan dan tanah asli. (c). Kemampuan daya pencar pohon induk, ditelaah berdasarkan potensi pohon induk tersedia dengan kehadiran permudaannya; 2. Peranan fungsi jasa ekologis (a). Daya dukung habitat biota serasah, ditelaah berdsarkan kehadiran jenis biota dengan komponen iklim mikro; (b). Daya dukung habitat sumber pakan burung, ditelaah berdasarkan potensi sumber pakan dan kehadiran burung; 3. Peranan fungsi jasa hidrologis (a). Distribusi hujan berdasarkan komponen hidrologi, didasarkan atas perhitungan hasil pengukuran hujan, evapotranspirasi dan air limpasan. Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
4 (b). Prediksi besaran erosi, dihitung berdasarkan hasil pengukuran dalam contoh; Hasil dan Pembahasan (1). Peranan Fungsi Jasa Biologis Penyaring (filter) sifat fisik-kimia air Hasil analisis dan perhitungan beda bobot presen perubahan parameter terukur sifat fisik dan kimia air (air limpasan dan rembesan), memperlihatkan bahwa tipe Habitat-1 menunjukkan perubahan-perubahan lebih baik dibanding dengan Habitat-2 dan Habitat-3; hasil presen beda bobot secara rinci disajikan pada Gambar-1. Sumber air (Hujan)
Beda bobot (% Perubahan) Fisik Kimia Air limpasan dan rembesan
Air limpasan
Perkolasi
Infiltrasi
Komp DHL ZTL ZTS TBD K Na Ca Mg Zo BOD COD KB
Ht-1 28,18 -54,19 -51,34 -20,90 -18,42 -6,78 -47,21 -52,29 -52,29 -1,48 -36,96 -15,72
Ht-2 37,44 -53,99 -49,57 -9,36 -16,77 -5,76 -49,74 -49,46 -49,46 -1,39 -34,86 -10,74
Ht-3 0,02 -40,93 -40,93 -4,12 -1,79 -9,40 -21,73 -45,89 -21,73 -0,36 -45,89 -7,22
Sub surface runoff
Gambar-1. Ilustrasi air limpasan (input) dan air rembesan (output); beda bobot (% perubahan) dihitung berdasarkan selisih nilai input-output, dibagi dengan input dalam (%). Tanda (-) menunjukkan perubahan menurun; DHL (daya hantar listrik, ZTL (zat terlarut), ZTS (zat terlarut), TBD (turbidity), pH (keasaman), K (kalium), Na (natrium), Ca (calsium), Mg (Magnesium), BOD (biological oxsigen deman), COD (coliform oxsigen deman), dan KB (kejenuhan basa).
Perubahan (kenaikan/penurunan) parameter fisik-kimia air, membuktikan kemampuan dan efektifnya vegetasi riparian memiliki dalam mengendalikan sifat fisik dan komponen kimia air limpasan, setelah keluar menjadi air rembesan. Menurut Hoef (1953) kemampuan tetumbuhan dalam mengendalikan sifat fisik-kimia air dan kandungannya, karena efektifnya sistem perakaran yang berfungsi sebagai penyaring (filter), dan terjadi setelah air infiltrasi mulai bergerak menjadi air perkolasi. Air perkolasi pada saat mulai bergerak tertahan oleh sistem perakaran dan terhenti untuk sementara waktu, pada saat itulah proses perubahan mulai terjadi terhadap keasaman air (pH) dan DHL. Perubahan keasamaan (kearah pH normal), tertinggi dijumpai pada tipe Habitat-1 (0,67%), diikuti oleh Habitat-2 (0,13%) dan Habitat-3 (0,07%). Perubahan (pH) air Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
5 rembesan menurut Hoef (1953), erat kaitannya dengan kejenuhan basa pada tanah asli, dan memaju terhadap perubahan (DHL)-nya. Kejenuhan basa paling tinggi dijumpai pada tipe Habitat-1 (13,342%), Habitat-2 (11,897%), dan Habitat-3 (11,507%); sedangkan perubahan DHL paling tinggi dijumpai pada tipe Habitat-2 (37,44%), diikuti oleh Habitat-1 (28,18%), dan Habitat-3 (0,02%); tingginya perubahan (DHL) pada Habitat-2 cenderung dipengaruhi oleh tingginya kandungan zat tersuspensi (Zts) pada air limpasan (23,43 ppm), sedangkan pada Habitat-1 (19,54 ppm), dan Habitat-3 (21,47 ppm). Perubahan sifat fisik (Ztl, Zts dan Tbd) air rembesan secara berangsur-angsur mulai efektif, setelah air perkolasi yang sementara tertahan mulai bergerak kembali. Penurunan ketiga parameter di atas, memperlihatkan nilai lebih baik dibanding dengan air limpasan, karena adanya perubahan pH kearah normal. Perubahan Ztl pada ketiga tipe habitat, paling tinggi dijumpai pada tipe Habitat-1 (54,19%); diikuti tipe Habitat-2 (53,99%), dan Habitat-3 (40,93%); Penurunan (Zts) tertinggi dijumpai pada tipe Habitat-1 (51,34%), diikuti oleh Habitat2 (49,57%), dan Habitat-3 (40,93%). Penurunan (Tbd) tertinggi pada Habitat-1 (20,9%), diikuti oleh Habitat-2 (9,36%), dan Habitat-3 (4,12%). Efektifnya perubahan sifat fisik air menurut Menurut Hoef (1953) dan Hamzah (1970), sebagai akibat dari perubahan (pH) dan (DHL)-nya; Lebih jauh Hoef (1953) menyatakan bahwa kemampuan sistem perakaran dalam memacu perjalanan air perkolasi, berperan terhadap perubahan keasaman air rembesan. Perubahan terhadap sifat kimia (K, dan Mg) air rembesan, mulai efektif terjadi saat bergeraknya air perkolasi. Penurunan kandungan (K) paling tinggi dijumpai pada Habitat-1 (18,42%), diikuti oleh Habitat-2 (16,77%) dan Habitat-3 (1,79%); sedangkan kandungan (Na) paling tinggi dijumpai pada Habitat-1 (6,78%), diikuti oleh Habitat-2 (5,76%) dan Habitat-3 (4,9%); Menurut Hoef (1953) dan Hamzah (1970), proses perubahan (K) dan (Mg), dipengaruhi oleh (pH) air rembesan dan kejenuhan basa tanah pada saat mulai terlepas dari sistem perakaran. Namun sebaliknya (Hamzah, 1970), apabila kejenuhan basa rendah seperti pada penutupan vegetasi Imperata cylindrica, maka parameter terukur (pH, Na dan Mg), justru berubah sebaliknya. Perjalanan air perkolasi setelah terlepas dari sistem perakaran (Hoef, 1953), terbagi menjadi dua arah yaitu; menuju kearah air bawah tanah (ground water), dan sebagaian bergerak menyamping. Air perkolasi kearah samping “sub surface runoff”, memacu efektifitas terhadap proses perubahan kandungan K dan Ca; proses ini berlangsung selama tiga sampai delapan jam, sebelum air keluar menjadi rembesan. Perubahan kandungan K tertinggi dijumpai pada Habitat-1 (18,42%), diikuti oleh Habitat-2 (16,77%), dan Habitat-3 (1,79%); sedangkan penurunan kandungan Ca tertinggi pada Habitat-1 (49,74%), diikuti oleh Habitat-2 (41,21) dan Habitat-3 (21,73); Hamzah (1970) menyatakan bahwa perubahan K dan Ca dipengaruhi oleh kedalam solum tanah yang erat kaitannya dengan jangkauan sistem perakaran. Berdasarkan jangkauan (kedalaman) sistem perakaran pada Habitat-3 tercatat (>60 cm), yang memperlihatkan rendahnya kandungan K dan Ca, dibanding pada tipe Habitat-1 (>120 cm), dan Habitat-2 (>85 cm). Lebih jauh Hoef (1953) menyatakan bahwa perubahan parameter terukur (K, dan Ca), akan menjadi lebih stabil pada saat air keluar dan bereaksi dengan unsur lain di udara Perubahan kandungan Zo tertinggi dijumpai pada Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
6 Habitat-1 (52,29%), diikuti oleh Habitat-2 (49,46%), dan Habitat-3 (21,73%). Zat organik pada tanah-tanah tropis menurut Hamzah (1970), bersumber dari lapisan tanah teratas (top soil), di sekitar sistem perakaran hingga kedalaman 30 cm; terlarut masuk kedalam tanah bersamasama air perkolasi kearah samping; dan secara berangsur-angsur dijerap oleh jeluk tanah, hingga air muncul menjadi rembesan. Lebih jauh dikatakan bahwa semakin tinggi penurunan nilai parameter terukur Zo, akan semakin memperkaya zat organik dalam tanah. Perubahan BOD, dan COD, terjadi sejak awal proses yaitu pada saat air infiltrasi berubah menjadi air perkolasi dan tertahan sesaat oleh sistem perakaran, dan perubahan lebif efektif pada saat air perkolasi bergerak menyamping. Perubahan BOD air rembesan tertinggi dijumpai pada tipe Habitat-1 (1,48%), diikuti oleh Habitat-2 (1,39%) dan Habitat-3 (0,36%); demikian halnya terhadap perubahan COD. Perubahan COD tertinggi dijumpai pada Habitat-1 (45,89%), diikuti oleh Habitat-2 (36,98%) dan Habitat-3 (34,86%). Hamzah (1970), menyebutkan bahwa perubahan parameter COD dan BOD, dipengaruhi oleh ketersediaan jumlah oksigen dalam sistem perakaran. Habitat-3, memiliki perubahan paling kecil dibanding kedua tipe habitat lainnya; hal ini memberikan informasi bahwa kondisi tanahnya relatif pejal (masif); karena tingginya kandungan liat dan rendahnya kandungan pasir, hingga berpengaruh terhadap ketersediaan oksigen (02). Mencermati atas proses perubahan nilai parameter air terukur yang bersumber dari air limpasan dan rembesan, nampaknya lebih cenderung dipengaruhi oleh peranan fungsi sistem perakaran; hal ini menunjukkan adanya efektifitas peranan fungsi jasa biologis vegetasi riparian sebagai penyaring sifat fisik dan kimia air yang dikandungnya. Penyaring (filter) sifat fisik-kimia tanah Hasil analisis dan perhitungan beda bobot presen perubahan parameter terukur sifat fisik dan kimia tanah (tanah asli dan endapan), memperlihatkan bahwa tipe Habitat-1 menunjukkan perubahan-perubahan lebih baik dibanding dengan Habitat-2 dan Habitat-3; hasil presen beda bobot secara rinci disajikan pada Gambar-2. Kemampuan vegetasi riparian dalam proses penyaringan sifat fisik kimia tanah, diawali sejak terjadinya hujan, sebagian air terinfiltrasi kedalam tanah dan air bergerak menjadi air limpasan. Perbedaan nilai hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah (tanah endapan dan tanah asli), menunjukan kemampuan vegetasi dalam mengendalikan (fungsi filter) komponen yang dikandungnya. Proses perubahan yang terjadi pada saat air limpasan mulai bergerak; berubahnya keasaman tanah (pH) dan kapasitas tukar kation (KTK). Keasaman (pH) tanah endapan pada ketiga tipe habitat, memperlihatkan lebih tinggi dibanding dengan keasaman (pH) tanah asli. Kenaikan pH pada ketiga tipe habitat berkisar antara (2,79% dan 7,63%), terendah dijumpai pada tipe Habitat-1 (2,79%). Parameter terukur KTK pada tanah endapan, memperlihatkan nilai lebih besar dibanding tanah aslinya. Kenaikan KTK pada ketiga tipe habitat berkisar antara (0,06% dan 0,34%), tertinggi dijumpai pada tipe Habitat-1 (0,34%).
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
7 Sumber air (Hujan)
Beda bobot (% Perubahan) Fisik Kimia Tanah (Tanah asli dan Endapan) Air limpasan Tanah asli Tanah endapan
Infiltrasi
Pe rk ola si
Komp
PSR DBU LIT POR PRM pH BO N-tot P-tot K-tot Na + Ca + Mg + KTK KB
Ht-1
Ht-2
Ht-3
8,4 13,5 -9,34 12,47 10,36 -2,78 19,93 -14,17 -3,21 -6,64 -14,81 -6,26 -18,62 0,34 -6,31
27,98 25,8 -23,6 19,61 15,36 -4,4 4,15 -24,7 -8,63 -13,1 -19,2 -8,6 -25,4 0,13 -21,88
76,84 30,26 -25,24 33,04 22,27 -7,63 10,06 -39,05 -19,05 -30,71 -23,31 -21,53 -39,38 0,05 -40,3
Gambar-2. Ilustrasi tanah asli (input) dan tanah endapan (output); beda bobot (% perubahan) dihitung berdasarkan selisih nilai input-output dalam (%). Tanda (-), menunjukkan perubahan menurun.
Menurut Hamzah (1970) perubahan pH dan KTK, dipengaruhi oleh kejenuhan basa dan kandungan bahan organik pada tanah asli, yang erat kaitannya dengan kemampuan penutupan vegetasi dalam menginfiltrasi air kedalam tanah. Uraian tersebut terlihat ada hubungan antara kejenuhan basa pada tanah asli dan besaran air infiltrasinya. Kejenuhan basa pada tanah asli berkisar antara (11,507% dan 13,342%), menunjukkan nilai lebih tinggi dibanding tanah endapan (11,503% dan 11,166%); perubahan tertinggi dijumpai pada tipe Habitat-1 (0,34%), dengan potensi infiltrasi (26,92%), diikuti oleh Habitat-2 (0,13%) dengan potensi infiltrasi 12,37%, dan Habitat-3 (0,05%), dengan potensi infiltrasi (6,23%). Sehingga dapat dikatakan bahwa perubahan pH dan KTK dipengaruhi oleh kemampuan vegetasi dalam memacu potensi infiltrasi air kedalam tanah. Perubahan (kenaikan) kandungan pasir tanah endapan pada ketiga tipe habitat berkisar antara 8,40% dan 76,84%; dan tertinggi dijumpai pada Habitat-3; perubahan kandungan debu berkisar antara 13,5% dan 30,26%, dan tertinggi dijumpai pada tipe Habitat3, sedangkan perubahan (penurunan) kandungan liat berkisar antara 9,34% dan 75,24%, dan terendah dijumpai pada tipe Habitat-1. Perubahan tekstur tanah menurut Hamzah (1970) dicirikan oleh besaran erosi yang erat kaitannya dengan air limpasan. Besar kecilnya potensi air limpasan erat kaitannya dengan kemampuan vegetasi dalam mengendalikan air limpasan. Uraian tersebut, memperlihatkan adanya hubungan antara penutupan vegetasi dan besaran erosi pada masing-masing tipe habitat. Kerapatan pohon pada tipe Habitat-1 (73,33 batang /ha), dengan penutupan tajuk (7.219,66 m2/ha), Habitat-2 (84,10 batang/ha), dengan penutupan tajuk (5.727,50 m2/ha), dan Habitat-3 (62,05 batang/ha), dengan penutupan tajuk (1.321,13 m2/ha), sedangkan erosi tertinggi dijumpai pada tipe Habitat-3 (117,22 ton/ha /tahun), diikuti oleh tipe Habitat-2 (71,5 ton/ha/tahun), dan Habitat-3 (54,77 ton/ha/tahun). Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
8 Efektifitas tutupan vegetasi pada tipe Habitat-1 mampu menekan erosi, dan dicirikan oleh perubahan tekstur tanah (% debu, liat dan pasir) paling rendah dibanding kedua tipe habitat lainnya. Namun sebaliknya kurang efektifnya peranan fungsi vegetasi pada tipe Habitat-3, terlihat dari perubahan kandungan pasir endapan menunjukkan paling tinggi dibanding kedua tipe habitat lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan vegetasi dalam mengendalikan air limpasan, dan kandungan meterialnya (endapan tanah tererosi), memperlihatkan adanya perbedaan perubahan terhadap tekstur tanahnya. Perubahan porositas tanah endapan, menunjukkan nilai kesarangan tanah lebih baik dibanding tanah aslinya. Walaupun pada tipe Habitat-1 memperlihatkan perubahan (kenaikan) paling rendah (10,36%), akan tetapi masih menunjukkan nilai paling tinggi (69,0%) dibanding dengan tipe Habitat-2 (62,67%), dan tipe Habitat-3 (54,0%). Hamzah (1970), menyebutkan bahwa semakin tinggi (% pasir) yang dikandungnya; akan memperlihatkan semakin tinggi terhadap porositas tanahnya. Tinggi rendahnya prorositas tanah erat kaitannya dengan kemampuan vegetasi dalam memacu infiltrasi air kedalam tanah. Uraian tersebut, terlihat ada hubungan antara besaran kandungan pasir tanah asli dengan kemampuan sistem perakaran dalam memacu dan besaran air infiltrasi, pada masing-masing tipe habitat. Kandungan pasir pada tipe Habitat-1 (20,70%), Habitat-2 (6,78%), dan Habitat-3 (17,79%); sedangkan porositas tanah yang erat kaitannya dengan kemampuan vegetasi dalam mengendalikan sangat ditentukan oleh kedalaman sistem perakaranya. Kedalaman sistem perakaran pada tipe Habitat-1 (>120 cm); Habitat-2 (85 cm), dan Habitat-3 (>60 cm). Sehingga dapat dijelaskan bahwa kandungan pasir berpengaruh terhadap porositas tanah, dan kedalam sistem perakaran yang erat kaitannya dengan kemampuan vegetasi dalam memacu infiltrasi air kedalam tanah. Hamzah (1972) dan Morgen (1986), menyebutkan secara umum walaupun tanah tererosi dan diendapkan pada tempat tertentu yang lebih rendah, struktur tanahnya jarang berubah secara total, kecuali pada tanah-tanah masif tanpa penutupan vegetasi. Lebih jauh dikemukakan bahwa konsistensi tanah pada dasarnya merupakan kohesi/adhesi masa tanah, yang dipengaruhi oleh kelekatan (stickiness) dan plastisitas (plasticity), yang erat kaitannya dengan naik turunnya persediaan air dalam tanah bagi tetumbuhan. Konsistensi tanah pada ketiga tipe habitat, memperlihatkan hanya satu level perubahan lebih baik; pada tipe Habitat-1 dari agak teguh (AT) menjadi galuh (G); sedangkan pada pada Habitat-2 dan Habitat-3, mengalami perubagan dari teguh (T) menjadi agak teguh (AT). Perubahan tersebut memberikan informasi efektifnya aktivitas sistem perakaran tetumbuhan terhadap kelekatan dan plastisitas tanah, yang erat kaitannya dengan tekanan turgor (naik turunnya) terhadap air dalam tanah untuk kepentingan proses metabolisme dalam tumbuh tetumbuhan itu sendiri. Perubahan unsur hara tersedia (N-total, P-total, dan K-total) pada ketiga tipe habitat menunjukkan lebih baik dibanding dengan tanah aslinya. Perubahan paling tinggi pada kandungan unsur N-total berkisar antara (14,17% dan 39,05%); diikuti oleh kandungan K-total, berkisar antara (6,54% dan 30,71%, terendah kandungan P-total berkisar antara (3,21% dan 39,05%); Walaupun tipe Habitat-1, memperlihatkan penurunan paling rendah namun masih Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
9 menunjukkan nilai tertinggi dibanding pada ketiga tipe habitat lainnya; kandungan N-total pada Habitat-1 (0,033%), Habitat-2 (0,029%), dan Habitat-3 (0,017%); P-total pada Habitat-1 (0,043%), Habitat-2 (0,067%) dan Habitat-3 (0,034%); dan kandungan K-total pada Habitat-1 (2,645%), Habitat-2 (2,811%), dan Habitat-3 (1,693%). Perubahan terhadap unsur-unsur hara tersedia (N-total, P-total, dan K-total), menurut Hamzah (1972) dan Morgen (1986), sangat tergantung dari efektivitas infiltrasi air kedalam tanah. Infiltrasi air kedalam tanah dipengaruhi oleh besar kecilnya laju limpasan air dan premabilitas tanahnya. Peranan fungsi tetumbuhan mampu menghambat laju limpasan air; pada kondisi tanah yang memiliki premabilitas tinggi, maka infiltrasi air kedalam tanah menjadi lebih efektif. Efektifnya infiltrasi air, menyebabkan proses reaksi unsur-unsur hara tersedia yang terangkut oleh air limpasan dengan air hujan menjadi terhambat. Terhambat dan terbatasnya proses reaksi yang ditimbulkannya menyebabkan nilai parameter terukur unsur hara tersedia pada tanah endapan menjadi lebih rendah dibanding dengan tanah aslinya. Besar kecilnya perubahan unsur hara tanah tersedia (N-total, P-total, dan K-total) menurut (Hamzah, 1970) dicirikan oleh ketersediaan Bo, dan kecepatan daya serap jeluk tanah. Keterdiaan Bo erat kaitannya dengan hasil proses huminifikasi yang dikendalikan oleh biota tanah, sedangkan kecepatan daya serap jeluk tanah, erat kaitannya dengan premabilitas tanah dan kedalaman solum. Uraian tersebut, terlihat ada hubungan antara biota tanah dalam penyediaan Bo; premabilitas dan kedalam solum pada masing-masing tanah aslinya. Jumlah jenis biota tanah pada tipe Habitat-1 yang memiliki frekuensi <10% tercatat (36,61%), Habitat2 (34,80%), dan Habitat-3 (30,72%); sedangkan premabilitas tanah pada tipe Habitat-1 tercatat (11,10 cm/jam), dengan kedalam solum (84,0 cm); Habitat-2 (9,05 cm/jam), dengan kedalam solum (72,0 cm); dan Habitat-3 (11,27 cm/jam).dengan kedalam solum (67,0 cm); Perubahan terhadap kation yang dapat ditukar (Na+, Ca++, dan Mg++) pada tanah endapan memperlihatkan lebih baik dibanding dengan tanah asli. Penurunan tertinggi dijumpai pada tipe Habitat-3. Penurunan Na+ berkisar antara (14,81 % dan 23,31%), Ca++ berkisar antara (6,25% dan 21,53%), dan Habitat-3 berkisar antara (18,62% dan 39,38%). Walaupun tipe Habitat-1, memperlihatkan penurunan paling rendah, namun masih menunjukkan nilai tertinggi dibanding pada ketiga tipe habitat lainnya; kation-kation yang dapat ditukar Na+, pada Habitat-1 (0,397 me/100 gr); Habitat-2 (0,316 me/100 gr), dan Habitat-3 (0,296 me/100 gr); Ca++ pada Habitat-1 (0,887 me/100 gr), Habitat-2 (0,683 me/100 gr), dan Habitat-3 (0,274 me/100 gr); dan Mg++ pada Habitat-1 (1,336 me/100 gr); Habitat-2 (1,442 me/100 gr), dan Habitat-3 (1,006 me/100 gr). Menurut Hamzah (1970), kation (Na+, Ca++, dan Mg++) pada dasarnya termasuk dalam kation basa, sehingga akumulasi parameter terukur pada tanah endapan, akan cepat berubah menjadi rendah. Dijerapnya kation-kation yang terdapat dalam kompleks jerapan koloid pada saat hujan yang berkepanjangan, akan dibebaskan dalam bentuk kation-kation basa dan kation-kation asam, pada saat terangkut oleh aliran air perkolasi. Besar kecilnya air aliran perkolasi pada tahap awal sangat tergantung dari kemampuan sistem perakaran Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
10 tetumbuhan, dalam mengendalikan (air limpasan), menyediakan bahan organik, memacu proses infiltrasi dan perkolasi, dan mengaktifkan jeluk tanah; Mencermati kemampuan vegetasi dalam mengendalikan air limpasan, menyediakan bahan organik; memacu proses infiltrasi dan perkolasi serta mengaktifkan jeluk tanah, yang erat kaitannya dengan proses perubahan nilai parameter terukur tanah endapan, menunjukkan efektifitas peranan fungsi jasa biologis vegetasi riparian dalam menyaring (filter) terhadap sifat fisik dan kimia tanah endapan. Daya pemencaran pohon induk Berdasarkan intensitas sampling 0,5% (41 plot contoh), tercatat 21 plot dijumpai 165 pohon induk dan 420 plances anakan. Pada tipe Habitat-1 tercatat 15 plot terisi 165 pohon induk, dan anakan 178 plances; pada tipe Habitat-2 tercatat 13 plot terisi 28 pohon induk dan 219 plances anakan; sedangkan pada tipe Habitat-3, tidak dijumpai pohon induk, akan tetapi dijumpai 23 plances anakan. Hasil perhitungan kemampuan daya pencar pohon induk terhadap ketersediaan anakan, diperoleh hasil 56,36%; pada Habitat-1 tercatat 39,40%, dan Habitat-2 (16,96%), sedangkan tipe Habitat-3 tidak memiliki daya pencar. Mencermati kemampuan daya pencar pohon induk vegetasi riparian, ada tiga fenomena yang cukup beralasan untuk diketahui faktor penyebabnya yaitu; (a) pohon induk dan anakan tersedia, (b) pohon induk nihil dan anakan tersedia, dan (c) pohon induk tersedia anakan nihil. Hasil pencacahan (PTAT), terhadap pohon induk yang dijumpai pada tipe Habitat-1 tercatat 65 pohon, terdiri dari enam jenis meliputi Gluta renghas (3 individu), Antidesma bunius (12 individu), Bridelia minutriflora (24 individu), Sandoricum koetjape (6 individu), Syzygium poliantum (13 individu), dan Pterospernun javanicum (7 individu); sedangkan anakan yang dijumpai tercatat 76 plances meliputi Gluta renghas (7 individu), Antidesma bunius (11 individu), Bridelia minutriflora (8 individu), Sandoricum koetjape (24 individu), Syzygium poliantum (18 individu), dan Pterospernun javanicum (8 individu); pada Habitat-2 tercatat 28 pohon induk terdiri dari 10 jenis meliputi; Gluta renghas (1 individu), Pithecelobium umbelatum (3 individu), Antidesma bunius (5 individu), Sandoricum koetjape (1 individu), Syzygium poliantum (3 individu), Mellia acedarata (4 individu), Pithecelobium umbelatum (2 individu), Bonea macrophylla (1 individu), Trema orientalis (6 individu). dan Pterospernun javanicum (2 individu); sedangkan anakan yang dijumpai tercatat 151 plances, meliputi; Gluta renghas (6 individu), Pithecelobium umbelatum (11 individu), Antidesma bunius (13 individu), Sandoricum koetjape (21 individu), Syzygium poliantum (27 individu), Mellia acedarata (19 individu), Pithecelobium umbelatum (17 individu), Bonea macrophylla (5 individu), Trema orientalis (23 individu), dan Pterospernun javanicum (9 individu); Menurut Grime (1981), dijumpainya pohon induk dan anakan, pada komunitas tumbuhan merupakan strategi reproduksi bagi tetumbuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, sedangkan Risser (1990) menyatakan bahwa daya pencar (dispersal) pohon induk merupakan proses regenerasi secara alami (permudaan alam). Secara alamiah tetumbuhan mengalami siklus hidupnya mulai dari embrio yang Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
11 menghasilkan biji/buah, berkecambah, menjadi anakan, permudaan dan akhirnya menjadi pohon dewasa. Pada tingkat hidup pohon dewasa tetumbuhan menghasilkan buah/biji dan memencarkan keturunannya, kadangkala tumbuh langsung atau mengalami masa istirahat (dorman), berkecambah, dan jadi anakan dan seterusnya. Hasil pencacahan (PNAT), terhadap anakan yang dijumpai pada tipe Habitat-1 tercatat 102 plances anakan, terdiri atas enam jenis yaitu: Trema orientalis.(11 individu); Mellia acedarata (25 individu); Pithecelobium umbelatum (9 individu); Pterospernun javanicum. (17 individu); Sandoricum koetjape (12 individu), dan Syzygium poliantum (28 individu); pada Habitat-2 tercatat 68 plances anakan, terdiri atas enam jenis yaitu; Trema orientalis (9 individu); Mellia acedarata (11 individu); Pithecelobium umbelatum (4 individu); Pterospernun javanicum. (13 individu); Sandoricum koetjape (10 individu), dan Syzygium poliantum ( 21 individu); sedangkan pada Habitat-3 tercatat 23 plances anakan, meliputi tiga jenis yaitu; Pithecelobium umbelatum (7 individu); Sandoricum koetjape (4 individu), dan Callophyllum inophyllum (12 individu) Menurut Grime (1981) secara alamiah strategi pemencaran biji tetumbuhan umumnya dibantu oleh gerakan angin, air dan jasa hidupan liar (hewan). Tingkat keberhasilan regenerasi tetumbuhan dipengaruhi oleh faktor fisiografi, iklim (suhu, kelembaban udara, dan cahaya matahari), kondisi tapak (tanah), serta faktor biologis tetumbuhan itu sendiri atau tumbuhan pesaing hidupnya. Polunin (1990) juga menginformasikan hasil penelusuran kemampuan burung dalam menyebarkan biji-bijian di hutan tropis Afrika, dan mampu menyebarkan biji-bijian sejauh 30 mil; demikian halnya Hamzah (1972) juga menyebutkan bahwa biji-biji ketapang (Terminalia catapa) di pantai barat Lampung, atas jasa kelelawar (Pteropus vampyons) dipencarkan hingga 1-2 km kearah daratan. Sehingga dapat dikatakan sangat memungkinkan apabila di bantaran sungai Jakarta ditemukan 10 plot conto yang tidak tersedia pohon induk, akan tetapi dijumpai anakan yang cukup melimpah di dalam plot pengamatan. Hasil pencacahan fenomena PTAN (pohon induk tersedia anakan nihil); pada tipe Habitat-1, tercatat 8 pohon induk dan masuk dalam enam jenis meliputi; Spatodea champanulata, Erytrina variegata, Mangifera foetida, Gluta renghas, Durio zibethetinus, dan Alstonia scholaris, sedangkan pada Habitat-2, tercatat 9 pohon induk dan masuk kedalam sembilan jenis meliputi Cocos nucifera, Spatodea champanulata, Erytrina variegata, Gluta renghas, Durio zibethetinus, Mangifera foetida, Sterculia foetida, Lagerstromea speciosa, dan Alstonia scholaris. Menurut Grime (1981) tidak dijumpainya anakan pada plot contoh, bukan berarti pohon induk tidak mampu memencarkan bijinya, akan tetapi dalam perjalanan siklus hidup tetumbuhan sering mengalami hambatan, atau dipencarkan jauh dari pohon induknya. Lebih jauh Hamzah (1972) menyebutkan bahwa faktor fisiografi (ketinggian tempat dan kelerengan medan), serta kondisi habitat baru sering tidak memenuhi persyaratan tumbuh bagi biji yang baru, karena biji-biji jenis tertentu setelah berkecambah sering memerlukan bantuan (simbiose) dengan jamur (mikroriza) tertentu, atau memerlukan waktu untuk beradaptasi. Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
12 Pada saat kondisi biji dorman Grime (1986) menyebutkan bahwa peluang biji berkecambah sangat ditentukan oleh besaran ruang “gap” (rumpang), dan penyinaran cahaya, kelembaban udara dan kebutuhan air. Hingga jelas walaupun pohon induk tersedia sangat dimungkinkan bahwa anakan tidak terdapat di sekitar pohon induknya. Mencermati atas daya pencar pohon induk vegetasi riparian di bantaran sungai Jakarta, atas dasar jarak anakan (minimal dua plances berdekatan ± 5 meter) terhadap pohon induknya, maka dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu; (a) anakan tersebar pada jarak 1-15 meter dari pohon induknya meliputi jenis; Antidesma bunius, Syzygium polianthum, Trema orientalis, Mellia acedarata, Bridelia nutrifolia, Pterospernum javanicum, (b) anakan tersebar antara 15-25 meter dari pohon induknya; meliputi jenis; Gluta renghas, Bonea macrophylla dan (c) anakan tersebar paling dekat 25 meter dari pohon induk yang sama; meliputi jenis; Calophyllum inophyllum, Sandoricum koetjape dan Pithecelobium lobatum. Penyedia sumber pakan burung Peranan fungsi jasa biologis vegetasi riparian seperti yang dikemukakan oleh Grime (1981), Forman & Gordon (1986), dan Polunin (1990), adalah kemampuannya dalam menyediakan sumber pakan satwa liar khususnya burung dan mamalia terbang. Berdasarkan hasil pencacahan jasa vegetasi riparian sebagai sumber pakan burung tercatat 16,33 pohon/ha; pada Habitat-1 tecatat 8.973 pohon, Habitat-2 tercatat 2.671 pohon, dan pada Habitat-3 tercatat 253 pohon. Menurut kriteria jenis pakannya, dikelompokan menjadi empat sumber pakan yaitu; (a) “biji-bijian” meliputi jenis Antidesma bunius, Syzygium polianthum, dan Sterculia foetida, (b) “biji dan ulat daun” meliputi jenis Trema orientalis, Pterospernum javanicum, Mellia acedarata, Bridelia insulana, Lagerstromea indica, Ficus septica, (c) “ulat daun” meliputi jenis Spatodea campanulata, Vitex pubescens, Pithecelobium umbelatum, dan Erytrina variegata; (d) sumber pakan lainnya (capung dan belalang) pada tumbuhan semak dan perdu, meliputi jenis Lantana camara, Melastoma malabatricum, Solanum javanicum, Saccharum spontanium, dan lalat khususnya di bawah pohon bambu (Gigantocloa apus), yang digunakan untuk tempat sampah dan kakus (WC). Selain sumber pakan burung, vegetasi riparian juga memberikan jasa sumber pakan bagi mamalia terbang; antara lain meliputi jenis Antidesma bunius, Syzygium polianthum, Ficus septica, Pithecelobium umbelatum, Bridelia insulana dan Sandoricum koetjape. (2). Peranan Fungsi Jasa Ekologis Hasil pengukuran elemen iklim mikro di bawah vegetasi riparian, mencirikan lingkungan fisik bagi kehidupan biota serasah pada masing-masing tipe habitat. Lingkungan fisik pada tipe Habitat-1, memiliki rata-rata kelembaban nisbi 79,22%, intensitas cahaya 68,97%, penguapan 0,240 mm/tahun, dan temperatur harian 26,060C. Biota serasah yang dijumpai tercatat delapan jenis, dengan kelimpahan 100 individu. Berdasarkan nilai penting tertinggi dan penyebaran spesifik dijumpai jenis-jenis Myrapoda (19,95%), Platyhelminthes (19,23%), Oligochaeta (21,75%), Coleoptera (31,74%), dan Gastropoda (28,67%). Lingkungan Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
13 fisik pada tipe Habitat-2, memiliki rata-rata kelembaban nisbi 79,29%, intensitas cahaya 74,62%, penguapan 0,297 mm/tahun, dan temperatur harian 26,110C. biota serasah yang dijumpai tercatat delapan jenis dengan kelimpahan 64 individu. Berdasarkan nilai penting tertinggi dan penyebaran yang unik, dijumpai jenis-jenis Chilopoda (22,19%), Scarpionidae (31,26%), Coleoptera (19,23%) Platyhelminthes (11,43%), dan Oligochaeta (11,72%). Lingkungan fisik Habitat-3, memiliki rata-rata kelembaban nisbi 79,27%, intensitas cahaya 89,42%, penguapan 0,253 mm/tahun, dan temperatur harian 26,130C; biota serasah yang dijumpai tercatat delapan jenis, dengan kelimpahan 50 individu. Berdasarkan nilai penting tertinggi dan penyebaran yang unik dijumpai jenis-jenis Platyhelminthes (9,77%), Chilopoda (16,45%), Coleoptera (11,74%) dan Scarpionidae (19,17%). Perbedaan jenis biota serasah yang menduduki masing-masing tipe habitat, nampaknya disebabkan oleh intensitas cahaya yang berpengaruh terhadap suhu dan kelembaban, sehingga Myrapoda dan Gastropoda hanya dijumpai pada tipe Habitat-1, namun sebaliknya terhadap jenis-jenis lain walaupun pada ketiga tipe habitat dijumpai, namun memperlihatkan presentase penguasaan yang berbeda yang erat kaitannya dengan intensitas cahaya. Mencermati jenis biota serasah yang dijumpai di bawah vegetasi riparian atas dasar pengaruh iklim mikronya, menurut Stiles (1969), berpengaruh terhadap proses pembentukkan humus. Keberadaan ini terlihat dari larva Coleoptera yang dijumpai pada masing-masing lingkungan fisik habitat, namun pada Habitat-1, memperlihatkan bobot humus rata-rata 4,31 kg/m2, dan Habitat-2 tercatat rata-rata 2,32 kg/m2, sedangkan pada Habitat-3 tercatat 1,26 kg/m2; sehingga dapat dikatakan bahwa kehidupan ”biota tanah” di bawah tegakkan vegetasi riparian yang memiliki kondisi iklim mikro berbeda, berpengaruh terhadap produksi hasil proses-proses huminifikasinya; yang memberikan gambaran adanya hubungan timbal balik antara elemen-elemen iklim mikro terhadap jenis-jenis biota dan produksi yang dihasilkan. Hubungan timbal balik antara kehidupan burung dengan vegetasi riparian, ditunjukkan oleh kemampuan vegetasi sebagai sumber pakan, sedangkan burung sebagai pemanfaatnya. Potensi berdasarkan sumber pakan tertinggi dalam bentuk ulat daun (16,69%), diikuti oleh sumber pakan lain-lain (15,62%), sumber pakan biji-bijian (11,38%), dan sumber pakan bebijian dan ulat daun (4,87%). Sumber pakan ulat daun, meliputi jenis Spatodea campanulata, Vitex pubescens, Pithecelobium umbelatum, dan Erytrina variegata; dijumpai lima jenis burung yang paling sering menghinggapinya. Jenis tersebut meliputi Nectarinia jugularis, Prinia familiaris, Prinia trivirgatus, Abroscopus sp, dan Pycnonotus aurigaster. Sumber pakan lain-lain (capung dan belalang) pada tumbuhan semak dan perdu, meliputi jenis Lantana camara, Melastoma malabatricum, Solanum javanicum, Saccharum spontanium, dijumpai delapan jenis burung yang paling sering menghinggapinya. Jenis tersebut meliputi Aegithina tiphia, Hirundo tahitica, Cisticola exillis, Nectarinia jugularis, Prinia familiaris, Prinia trivirgatus, Abroscopus sp, dan Pycnonotus aurigaster. Sumber pakan bijibijian, meliputi jenis-jenis Antidesma bunius, Syzygium polianthum, dan Sterculia foetida, dijumpai tujuh jenis burung yang paling sering menghinggapinya. Jenis tersebut meliputi Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
14 Pycnonotus aurigaster, Pycnonotus goiavier, Copsychus saularis, Celeus brachyurus, Abroscopus sp, Prinia familiaris, dan Cisticola exillis. Sumber pakan biji dan ulat daun, meliputi jenis Trema orientalis, Pterospernum javanicum, Mellia acedarata, Lagerstromea indica, Ficus septica, septica dan Bridelia insulana, dijumpai sembilan jenis burung yang paling sering menghinggapinya. Jenis tersebut meliputi Aegithina tiphia, Nectarinia jugularis, Celeus brachyurus, Copsychus saularis, Pycnonotus aurigaster, Pycnonotus goiavier, Prinia familiaris, Abroscopus sp dan Cisticola exillis. Rumpun bambu (Gicantocloa apus), selain sebagai sumber pakan lalat bagi burung Dicrurus sp dan Ficedula sp, juga merupakan tempat bertengger dan atau beristirahat beberapa jenis burung seperti kuntul kecil (Egretta garzetta), peking (Lonchura punctulata), bondol (Lonchura maja), sedangkan jenis burung sering dijumpai namun jarang hinggap adalah gagak (Corvus macrorhynchos), dan alap-alap (Elanus caeruleus). Selain burung dan mamalia terbang, dijumpai satwa liar lainnya seperti tikus (Raffus spp), biawak (Varanus sp), dan kadal (Mabuia sp). Kemampuan daya dukung sumber pakan vegetasi riparian pada tipe Habitat-1 tercatat 46,93%; tipe Habitat-2 (34,69%) dan Habitat-3 (18,75%). Daya dukung habitat satwa burung (pengamatan sesaat), memperlihatkan fenomena hal-hal sebagi berikut; (a) sumber pakan ulat daun, menduduki posisi tertinggi dibanding dengan sumber pakan lainnya; menurut Hamzah (1972), sumber pakan burung di daerah tropis umumnya lebih tersedia bebijian, diikuti dengan sumber pakan lain-lain. Rendahnya sumber pakan bebijian di bantaran sungai Jakarta, erat kaitannya dengan terdegradasinya ekosistem dan berpengaruh langsung terhadap daya dukung habitat kehidupan burung; (b) terlihat adanya ketimpangan antara jumlah pohon sumber pakan dengan jumlah burung pemanfaatnya. Hasil perhitungan menunjukan 1 : 2; secara teoritis perbandingan tersebut cukup aman; Forman dan Gordon (1981), menyebutkan pohon sumber pakan ideal yang mampu memberikan jasa terhadap pemanfaatnya secara berkelanjutan, memiliki perbandingan 1 : 15 bahkan lebih, (c). memperhatikan sumber pakan burung tersedia dalam bentuk ulat daun dan pakan lain (serangga, capung dan lalat), keberadaan ini memberikan kecenderungan terhadap beberapa jenis burung (kutilang, crocokan, dan jenis-jenis prejak) yang akan mampu bertahan; serta ancaman bermigrasinya burung untuk mencari lokasi baru yang sumber pakannya relatif berlimpah; (d) burung gereja (Passer montanus) pada Habitat-3, paling banyak dijumpai, walaupun menduduki posisi tertinggi akan tetapi bantaran sungai bukan habitatnya, karena hidup di sekitar pemukiman. Mencermati atas kemampuan vegetasi riparian sebagai sumber pakan berbagai jenis burung, serta dijumpainya beberapa satwa liar lainnya, dapat dikatkan bahwa ekosistem bantaran sungai di Jakarta, secara alamiah merupakan habitat dari berbagai jenis satwa liar, serta berperan secara ekologis terhadap kehidupannya. (3). Peranan Fungsi Jasa Hidrologis Hasil perhitungan besaran elemen hidrologi pada lingkungan fisik Habitat-1, curah hujan rata-rata tercatat 1.22,73 mm/tahun, besaran evapotranspirasi (Evt) 2.527.398 Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
15 m3/tahun; air infiltrasi (Ift) 19.839.115,30 m3/tahun, dan air limpasan (Lim) 70.466.696,78 m3/tahun; pada Habitat-2 curah hujan rata-rata 1.069,30 mm/tahun, besaran (Evt) 3.963.764,22 m3/tahun; air infiltrasi (Ift) 7.696.830,95 m3/tahun, dan air limpasan (Lim) 121.458.952,50 m3/tahun; Habitat-3, curah hujan rata-rata 890,598 mm/tahun, besaran (Evt) 1.175.620,80 m3/tahun; air infiltrasi (Inf) 2.284.226,64 m3/tahun, dan air limpasan (Lim) 33.205.601,62 m3/tahun. Hasil prediksi parameter terukur komponen hidrologi, yang memperlihatkan jasa vegetasi riparian. Dalam siklus hidrologi, air yang bersumber dari air hujan ada yang langsung jatuh kepermukaan tanah dan ada yang ditahan sementara oleh kanopi tetumbuhan. Air hujan yang ditahan oleh tetumbuhan (air intersepsi), dan sekaligus dikembalikan kealam dalam bentuk transpirasi. Terhambatnya cucuran air hujan oleh tetumbuhan sampai ke permukaan tanah, akan diterima oleh serasah dan atau bahan organik, sebagian meresap kedalam tanah sebagai air infiltrasi, sebagian mengalir menjadi air limpasan. Meresapnya air kedalam tanah diimbangi oleh penguapan baik dari tetumbuhan itu sendiri maupun dari permukaan tanah atau dari permukaan air yang tergenang (evapotraspirasi). Jasa vegetasi riparian terhadap keseimbangan tata air tanah tersirat pada Habitat-1 dengan sumbangan infiltrasi terbesar 21,37%, dan penguapan terendah 2,72%. Tingginya nilai jasa vegetasi riparian terhadap tata air tanah, sesuai dengan pendapat Forman dan Gordon (1981), yang menyebutkan bahwa terkendalinya neraca keseimbangan air sangat ditentukan oleh penutupan vegetasi dan ketersediaan serasah di lapisan tanah teratas, karena berpengaruh langsung terhadap premabilitas dan porositas tanahnya. Rendahnya jasa hidrolofgis pada tipe Habitat-2 dan Habitat-3, cenderung dipengaruhi oleh okupasi pemukiman penduduk yang berpengaruh langsung terhadap luasan tapak, hingga terganggunya peluang infiltrasi air kedalam tanah. Kesimpulan Bentang alam vegetasi riparian sebagai koridor dalam lansekap ekologi perkotaan yang mengakomodasikan keseluruhan daerah riparian dan pertimbangan efek tepi (edge effect), walaupun peranan fungsi ekosistemnya telah terganggu sebagai akibat okupasi penduduk, masih mampu memberikan peranan fungsinya atas; (a) Jasa biologis, mampu berperan sebagai penyaring hara nutrien, sifat fisik-kimia dan tanah, kemampuan dalam strategi regenerasi melalui daya pencar pohon induk; serta mampu sebagai penyedia dan sumber pakan satwa liar; (b) jasa ekologis, berperan sebagai filtrer penyaring sifat fisik dan kimia tanah dan air; kemampuan daya pencar; serta sebagai daya dukung habitat kehidupan satwa liar, dan (c) peran jasa hidrologis sebagai pengaturan tata air tanah, termasuk evapotranspirasi, infiltrasi dan mengendalikan besaran laju limpasan air; Terganggunya peranan fungsi ekosistem bantaran sungai, pada dasarnya merupakan resultante dari interaksi terdegradasinya dua komponen utama yaitu; habitat, dan potensi sumberdaya hayati; hingga manfaat fungsi sebagai sistem penyangga kehidupan dan pengawetannya, menjadi terganggu. Untuk itu upaya konservasi yang harus dilakukan mampu memaksimumkan manfaat vegetasi riparian atas peranan fungsi jasa Bio-hidro-ekologis Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
16 melalui pengaturan tata ruang wilayah, dan mengakomodasikan tiga prinsip yang erat kaitannya dengan; pelestarian manfaat (sustainability fuction), berkelanjutan ekologi (ecolocal sustainability), dan berkelanjutan sosial (social sustainability). Terwujudnya kedua pendekatan tersebut, akan mampu menjamin kelestarian peranan fungsi ekosistem bentang alam bantaran sungai dalam pembangunan berkelanjutan dalam jangka waktu yang relatif tidak terbatas. Daftar Acuan
Backer, C.A. 1907. Flora van Batavia. Mededeelingen uitgaande van het Departement van Landbouw No.4 Dicotyledones Diapetalae (Thalamiflorae en Disciflorae). G. Kolff & Co., Batavia. Backer, C.A. & R.C. Bakhuizen van den Brink. 1968. Flora of Java (Spermatophytes only). Vol. III. Angiospermae, Families 191-238 Addenda et corrigenda, General index to volume I-III. WoltersNoordhoff N.V., Groningen. Balcom, B.J. & R.H. Yahner. 1996. Microhabitat and landscape characteristics associated with the threatened allegheny woodrat. Conservation Biology 10(2): 515-525. Berggren, A., B. Birath & O. Kindvall. 2002. Effect of corridors and habitat edges on dispersal behavior, movement rates, and movement angles in Roesel’s Bush-Cricket (Metrioptera roeseli). Conservation Biology 16(6): 1562-1569. BPLHD (Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah) DKI Jakarta. 2000. Kajian spasial penurunan permukaan tanah di wilayah Kotamadya Jakarta Utara. BPLHD DKI Jakarta, Jakarta. Bridges, E.M. 1992. Quality of land restoration: an introduction. Land Degradation & Rehabilitation 3(2): 153-155. Briggs, M.K. 1996. Riparian ecosystem recovery in arid lands: Strategies and references. The University of Arizona Press, Tucson. Childs, E. C. 1969. An introduction to the physical and chemical basis of soil and water analysis. John Wiley and Sons, New York. Drayton, B. & R.B. Primack. 1996. Plant species lost in an isolated conservation area in Metropolitan Boston from 1894 to 1993. Conservation Biology 10(1): 30-39. Goeltenboth, F. 1996. Environmental destruction and overpopulation as triggers of migration the example of Indonesia. Applied Geography and Development 47: 7-15. Grime, J.P. 1979. Plant strategies and vegetation processes. John Wiley & Sons, Chichester. Hallé, F., R.A.A. Oldeman & P. Tomlinson. 1983. Tropical trees and forests: An architectural analysis. Springer-Verlag, Berlin. Mabberley, D. J. 1983. Tropical Rain Forest Ecology. Chapman & Hall, New York.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008
17 Machtans, C.S., M.-A. Villard & S.J. Hannon. 1996. Use of riparian buffer strips as movement corridors by forest birds. Conservation Biology 10(5): 1366-1379. Neumann, R.P. 1992. Political ecology of wildlife conservation in the Mt. Meru area of Northeast Tanzania. Land Degradation & Rehabilitation 3:85-98. Quinby, P.A., S. Willot & T. Lee. 2000. Determining the average width of the riparian zone in the Cassels-Rabbit lakes area of Temagami, Ontario using Understory Indicator Species. Ancient Forest Exploration & Research, Toronto. Scullion, J. 1992. Re-establishing life in restored topsoils. Land Degradation & Rehabilitation 3(3): 161168. Semmel, A. 1994. Soil and land utilization in gulmaland (Southeastern Burkina Faso). Applied Geography and Development 43: 105-118. Stiles, K.A., R.W, Hegner & R.A. Boolootian. 1969. College zoology. Macmillan Publishing, New York. Swol, J.H. 1990. Restoration of riparian wetlands along channelized river: Oxbow Lakes and the Middle Missouri. Dalam: Berger, J.J. (ed.). 1990. Environmental restoration: Science and strategies for restoring the earth. Island Press, Washington D.C.: 294-305. Whitmore, TC, 1986. Tropical Rain Forests of the Far East, ELBS edition, Oxford University Press, Oxford. Wieland, R.G. & M.J.A. Werger. 1985. Land types and vegetation in the Luuq district of South-Western Somalia. Journal of Tropical Ecology 1: 65-87.
Kumpulan Makalah Periode 1987-2008