5 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sungai Menurut Ilyas et al (1990) in Jumeneng (2007) sungai adalah perairan yang airnya mengalir secara terus menerus pada arah tertentu menuju hilir. Sungai dicirikan oleh arus yang searah dan relatif kencang dengan kecepatan berkisar antara 0,1-1,0 m/detik, serta dipengaruhi oleh waktu, iklim, dan pola drainase (Effendi 2003). Menurut Wetzel (2001) sungai mentransportasikan bahan-bahan yang tererosi (terlarut maupun tersuspensi) dalam jumlah yang sangat besar dari bagian atas menuju dataran yang lebih rendah dan akhirnya menuju kelaut. Dalam sebuah daerah aliran sungai terdapat beberapa macam penggunaan lahan seperti hutan, perkebunan, pertanian, pemukiman, perikanan, industri, dan sebagainya. Berdasarkan faktor ekologi secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga bagian (Reid 1961). 1. Sungai bagian hulu. Pada bagian ini gradien/kemiringan dasar sungai cukup besar sehingga bergerak dengan arus yang cepat. Substrat dasar pada bagian ini umumnya terdiri dari bebatuan dan krikil, namun pada bagian yang arusnya cukup pelan (pools) ditemukan juga substrat pasir dan detritus organik dengan jumlah yang cukup sedikit. 2. Sungai bagian tengah. Pada bagian ini gradien dasar sungai tidak terlalu besar sehingga air bergerak dengan arus yang relatif lebih pelan dibandingkan pada bagian hulu. Substrat dasar pada sungai bagian ini umumnya didominasi oleh material kasar seperti pasir, sedangkan lumpur hanya ditemukan pada bagian yang sedikit tergenang dan pinggiran sungai. 3. Sungai bagian hilir. Bagian ini terletak pada mulut sungai, substrat dasar umumnya lumpur dan detritus organik. Batas dari pantai pada bagian ini tidaklah jelas karena sungai memiliki daerah banjiran yang luas, sungai pada bagian ini ditandai oleh semak-semak dan rawa. Forman (1983) in Waryono (2008), menyebutkan bahwa bagian dari bentuk luar sungai secara rinci dapat dipelajari melalui bagian-bagian dari sungai, yang sering disebut dengan istilah struktur sungai. Struktur sungai dapat dilihat dari tepian
6 aliran sungai (tanggul sungai), alur sungai, bantaran sungai dan tebing sungai, yang secara rinci diuraikan sebagai berikut. 1. Alur dan tanggul sungai Alur sungai (Forman & Gordon1983; Let 1985 in Waryono 2008), adalah bagian dari muka bumi yang selalu berisi air dan mengalir serta bersumber dari aliran limpasan, aliran sub surface run-off, mata air dan air bawah tanah (base flow). Lebih jauh Sandy (1985) in Waryono (2008) menyatakan bahwa alur sungai dibatasi oleh bantuan keras, dan berfungsi sebagai tanggul sungai. 2. Dasar dan gradien sungai Forman dan Gordon (1983) in Waryono (2008), menyebutkan bahwa dasar sungai sangat bervariasi, dan sering mencerminkan batuan dasar yang keras. Jarang ditemukan bagian yang rata, kadangkala bentuknya bergelombang, landai atau dari bentuk keduanya sering terendapkan material yang terbawa oleh aliran sungai (endapan lumpur). Tebal tipisnya dasar sungai sangat dipengaruhi oleh batuan dasarnya. Dasar sungai dari hulu ke hilir memperlihatkan perbedaan tinggi (elevasi), dan pada jarak tertentu atau keseluruhan sering disebut dengan istilah gradien sungai yang memberikan gambaran berapa peresen rataan kelerengan sungai dari bagian hulu kebagian hilir. Besaran nilai gradien berpengaruh besar terhadap laju aliran air. 3. Bantaran sungai Forman dan Gordon (1983) in Waryono (2008), menyebutkan bahwa bantaran sungai merupakan bagian dari struktur sungai yang sangat rawan. Terletak antara badan sungai dengan tanggul sungai, mulai dari tebing sungai hingga bagian yang datar. Peranan fungsinya cukup efektif sebagai penyaring (filter) nutrien, menghambat aliran permukaan dan pengendali besaran laju erosi. Sungai merupakan habitat tumbuhan yang spesifik (vegetasi sungai), yaitu tumbuhan yang komunitasnya tertentu mampu mengendalikan air pada saat musim penghujan dan kemarau. 4. Tebing sungai Bentang alam yang menghubungkan antara dasar sungai dengan tanggul sungai disebut dengan tebing sungai. Tebing sungai umumnya membentuk lereng atau sudut lereng, yang sangat tergantung dari bentuk medannya. Semakin terjal akan semakin besar dari sudut lereng yang terbentuk. Tebing sungai merupakan
7 habitat dari komunitas vegetasi sungai, kadangkala sangat rawan longsor karena batuan dasarnya sering berbentuk cadas. (Sandy 1985 in Waryono 2008), menyebutkan apabila ditelusuri secara cermat maka akan dapat diketahui hubungan antara lereng tebing dengan pola aliran sungai. Sungai Cipeles adalah sungai yang mengalir di daerah Kabupaten Sumedang dan merupakan salah satu sub DAS Sungai Cimanuk. Hulu Sungai Cipeles berada di Kecamatan Sukasari dan bermuara ke Sungai Cimanuk yang terdapat di Kecamatan Tomo. Berdasarkan data dari Bakosurtanal (1997) in Salim et al (2003), pada Sub DAS Cipeles terdapat 6 pola penggunaan lahan, yaitu sawah, pemukiman/kampung, kebun, tegalan/tanah kosong, dan hutan. Secara geografis Sub DAS Cipeles 0
0
0
0
membentang dari 107 45’34‖-108 01’57‖ Bujur Timur dan 06 45’57‖-06 57’59‖ Lintang Selatan. Menurut BRLKT Cimanuk-Citanduy (2000) in Salim et al (2003) sebagian besar topografi Sub DAS Cipeles dibentuk oleh gunung-gunung, yaitu sekitar 67,67 %, sedangkan sisanya bertopografi datar sampai berbukit-bukit. Pada sub DAS ini sungai utamanya adalah Sungai Cipeles dengan panjang sekitar 61 km yang sepanjang tahun tidak pernah kering. Beberapa anak sungai yang mengalir ke sungai yaitu Sungai Ciherang, Ciseda, Cipongkor, Cisugan, dan Cipicun (Salim et al 2003).
2.2. Leuwi Leuwi yaitu salah satu bagian dari badan sungai dengan karakteristik berarus lambat, kedalaman lebih dari 1m, serta di bagian pinggir banyak ditumbuhi vegetasi sungai seperti bambu (Bambusa sp.), kopo (Hibiscus tiliaceus), bintaro (Cerbera manghas), kelapa (Cocos nucifera), johar (Cassia siamena). Dengan karakteristik tersebut leuwi menjadi tempat yang nyaman bagi sebagian besar ikan sebagai habitat, mencari makan, memijah dan daerah asuhan (Romli 2006). Menurut Sandy (1985) in Jumeneng (2007) kedalaman sungai sangat tergantung dari jumlah air yang tertampung pada alur sungai yang diukur dari penampang dasar sungai sampai ke permukaan air. Level rataan dasar sungai pengukurannya dirata-ratakan minimal dari tiga titik yang berbeda yaitu di bagian tengah dan kanan kirinya.
8 2.3. Karakteristik Fisika Kimia Perairan Sungai 2.3.1. Karakteristik Fisika Kecepatan arus dari suatu badan air akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan akan badan air untuk mengasimilasi dan mengangkut beban pencemar (Effendi 2003). Kecepatan arus dipengaruhi oleh perbedaan gradien atau ketinggian cukup besar maka arus air makin deras. Menurut Whitton (1975) in Effendi (2003) kecepatan arus adalah faktor penting di perairan. Kecepatan arus dapat mengurangi jenis flora sehingga hanya jenis yang melekat saja yang tahan terhadap arus dan tidak mengurangai kerusakan fisik. Welch (1980) in Wijaya (2009) menambahkan, sungai dangkal dengan kecepatan arus cepat, biasanya didominasi oleh diatom perifitik. (Mason 1981) mengklasifikasikan kecepatan arus kedalam lima klasifikasi tersaji pada (Tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi kecepatan arus No Kecepatan arus (cm/s) Kterangan 1 < 10 Berarus sangat lambat 2
10-25 Berarus lambat
3
25-50 Berarus sedang
4 5
50-100 Berarus cepat 100 > Berarus sangat cepat
Sumber : Mason 1981
Debit dinyatakan sebagai volume air yang mengalir pada selang waktu tertentu, biasanya dinyatakan dengan satuan m3/s. Menurut Nordwijk et al. (2009) debit air merupakan volume air yang mengalir melalui suatu irisan melintang dalam satuan waktu. Adanya aktivitas manusia yang menggunakan lahan di sekitar sungai dan curah hujan dapat mempengaruhi debit air. Semakin tinggi curah hujan dan masukan air dari aktivitas manusia maka debit air akan semakin tinggi, sedangkan bila curah hujan dan masukan air dari aktivitas manusia maka debit air juga akan rendah. Konsentrasi bahan-bahan antropogenik yang memasuki badan air akan mengalami penurunan dengan meningkatnya debit badan air karena terjadi proses pengenceran.
9 Menurut Barus (2001) pola temperatur ekosistem sungai dipengauhi oleh beberapa faktor seperti intensitas cahaya, penyinaran matahari, pertukaran panas antara air dengan udara di sekitarnya, ketinggian geografis dan juga faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi). Suhu juga dipengaruhi oleh topografi, pada bagian hulu sungai suhunya akan lebih rendah dibandingkan dengan bagiah hilir (Saeni 1989). Suhu normal air di alam tropis sekitar 20oC-30oC. Secara umum, temperatur air sungai secara horizontal dipengaruhi oleh ketinggian tempat (elevasi). Sandy (1989) in Jumeneng (2007) mengemukakan bahwa di daerah-daerah hulu air sungai relatif dingin, sedangkan di bagian tengah dan hilir semakin tinggi suhunya. Selain pemanasan bersumber dari matahari, suhu air sungai juga sering bersumber dari batuan kapur dan atau panas bumi. Tinggi rendahnya temperatur air sungai, akan berpengaruh terhadap kehidupan (biota) perairan sungai. Kekeruhan mengambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air (APHA 1989). Menurut Mason (1981) kekeruhan air biasanya digambarkan oleh bahan-bahan tersuspensi dan koloid yang terdapat di dalam air, misalnya partikel-partikel lumpur, bahan organik, plankton, dan mikroorganisme. Aliran sungai biasanya menjadi lebih keruh pada saat terjadi hujan dibandingkan kondisi normal. Menurut Mays (1996) in Puspita (2003) padatan tersuspensi total adalah bahan-bahan tersuspensi yang tertahan pada kertas saring millipore berdiameter pori 0,45 µm. Padatan tersuspensi menyebabkan kekeruhan, peraiaran yang keruh dapat menghalangi sinar matahari yang masuk ke dalam air, yang sangat dibutuhkan dalam fotosintesis. Muatan padatan tersuspensi dan kekeruhan, menurut Sandy (1985) in Jumeneng (2007) sangat dipengaruhi oleh musim. Pada waktu musim penghujan kadungan lumpur relatif lebih tinggi karena besarnya laju erosi, sedangkan pada musim kemarau tingkat kekeruhan air sungai dipengaruhi oleh laju aliran air yang terbatas dan hasil endapan sungai. Klasifikasi TSS menurut (Albaster dan Liyod 1980 in Kristina 2001) tersaji pada (Tabel 2).
10 Tabel 2. Klasifikasi TSS untuk kegiatan perikanan No
TSS (mg/l)
1
Keterangan
< 25 Tidak membahayakan kehidupan ikan 25 – 80 Cukup bagi kehidupan ikan
2 3
80 – 400 Kurang baik
4
> 400 Tidak baik
Sumber : Albaster dan Liyod 1980 in Kristina 2001
Konduktivitas (Daya Hantar listrik) adalah gambaran numerik dari kemampuan air untuk meneruskan aliran listrik. Semakin banyak garam-garam terlarut yang dapat terionisasi, semakin tinggi pula nilai DHLnya. Reaktivitas, bilangan valensi, dan konsentrasi ion-ion terlarut sangat berpengaruh terhadap nilai DHL. Asam, basa, dan garam merupakan penghantar listrik (konduktor) yang baik, sedangkan bahan organik, seperti sukrosa dan benzena yang tidak dapat mengalami desosiasi, merupakan penghantar listrik yang jelek (APHA 1976; Mackereth et al. 1989). Perairan alami memiliki nilai konduktivitas sekitar 20-1500µmhos/cm (Boyd 1989 in Effendi 2003).
2.3.2. Karakteristik Kimia Nilai pH didefinisikan sebagai nilai logaritma negatif dari ion hidrogen bebas (Wetzel 2001). Nilai pH air alami ditentukan oleh besarnya interaksi ion H+ dari pelepasan H2CO3 dan dari ion OH- yang dihasilkan dari hidrolasi bikarbonat. Oksidasi dari batu pyrit dan tanah pada badan sungai dapat menghasilkan asam sulfur dan dapat menurunkan nilai pH perairan (Wetzel 2001). Nilai pH pada sungai berkisar antara 4,50-8,50 (Mays 2007). Menurut Effendi (2003) kadar oksigen terlarut diperairan bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Selain itu kadar oksigen terlarut juga berfluktasi secara harian (diurnal) dan musiman tergantung pada percampuran (mixing), dan pergerakan (turbulen) masa air, aktivasi, fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air. Dengan
11 bertambahnya altitude, tekanan udara dan suhu perairan akan menjadi lebih rendah (Brown 1987).
2.4. Karakteristik Biologi Ikan Sungai Ikan sungai adalah ikan khas yang habitatnya terdapat pada ekosistem sungai. Beberapa jenis ikan yang terdapat di perairan Sungai Cipeles yaitu genggehek (Mystacoleucus marginatus), seseren (Cyclocheilichthys sp.), tagih (Hemibagrus nemurus), sengal (Hemibagrus nemurus), berod (Macrognathus maculate), hampala (Hampala macrolepidota), lalawak (Tor douronensis), parai (Rasbora argyrotaenia) (Susilawati 2001). Sedangkan Luvi (2000) menyatakan ikan yang dominan terdapat di Sungai Cimanuk segmen Sumedang yaitu ikan lalawak (Barbodes balleroides), beunteur (Puntius binotatus), ikan parai (Rasbora lateristriata), (Rasbora aprotaenia), dan ikan kehkel (Glyptathorax platypogon). Menurut Effendie (1997) kebiasaan makanan adalah jenis, kuantitas, dan kualitas makanan yang dimakan oleh ikan, sedangkan kebiasaan cara makan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan waktu, tempat dan bagaimana cara ikan memperoleh makanannya. Effendie (1997) menambahkan bahwa faktor-faktor yang menentukan suatu jenis ikan akan memakan suatu jenis organisme adalah ukuran makanan, ketersediaan makanan, warna, rasa, tekstur makanan dan selera ikan terhadap makanan. Selanjutnya dikatakan bahwa faktor yang mempengaruhi jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh suatu spesies ikan adalah umur, tempat dan waktu. Berdasarkan status urutan makanan ikan yang dinyatakan Nikolasky (1963) memberikan batasan nilai IP (Index of Preponderance) sebagai berikut nilai IP lebih dari 25% sebagai makanan utama, nilai IP antara 4-25% sebagai makanan tambahan, dan nilai IP < 4% sebagai makanan pelengkap. Berdasarkan jenis makanan, ikan dapat digolongkan menjadi ikan herbivora (ikan pemakan tumbuhan), ikan karnivora (ikan pemakan daging), dan ikan omnivora (ikan pemakan segala). Melalui struktur anatomi pencernaan ikan bisa menduga jenis ikan berdasarkan kebiasaan makannya. Beberapa organ pencernaan yang dapat diajadikan indikator untuk menentukan jenis ikan berdasarkan makanannya yaitu tulang tapis insang, rongga mulut, usus dan lambung, tersaji pada (Tebel 3).
12 Tabel 3. Struktur anatomi saluran pencernaan ikan berdasarkan jenis makanan Organ Tulang tapis insang
Herbivora Banyak, rapat, panjang
Omnivora Karnivora Tidak teralau banyak, Sedikit, pendek, dan tidak terlalu panajang, kaku tidak rapat Rongga mulut Sering, tidak Bergigi kecil Umumnya bergigi bergigi tajam dan kuat Lambung Tidak Lambung seperti Memiliki lambung berlambung, kantung dengan berbagai lambung palsu bentuk Usus Panjang Sedang 2-3 dari Lebih pendek jika beberapa kali panjang tubuh dibandingkan panjang panjang tubuhnya tubuhnya Sumber : Huet 1971
Pertumbuhan dalam istilah yang sederhana dapat dikatakan sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu. Akan tetapi apabila dilihat lebih lanjut, pertumbuhan merupakan proses biologis yang komplek dimana banyak faktor mempengaruhinya. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ini dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor tersebut ada yang dapat dikontrol dan ada juga yang tidak dapat dikontrol. Faktor dalam adalah faktor yang sulit dikontrol, di antaranya adalah keturunan, umur, jenis kelamin, hormon dan penyakit sedangkan faktor luar yang utama mempengaruhi pertumbuhan ialah makanan dan suhu perairan. Di daerah tropik makanan merupakan faktor yang lebih penting dari pada suhu perairan. Bila keadaan faktorfaktor lain normal, ikan dengan makanan berlebih akan tumbuh lebih pesat (Effendie 1997). Pola pertumbuhan ikan dapat diketahui dengan melakukan analisis hubungan panjang-bobot. Bobot dapat dianggap sebagai fungsi dari panjang. Nilai praktis yang didapat dari perhitungan panjang-bobot dapat digunakan untuk menduga panjang dan bobot ikan atau sebaliknya, keterangan mengenai perumbuhan, kemontokan, dan perubahan dari lingkungan (Effendie 2002). Faktor kondisi menurut Effendie (1997) menunjukan keadaan ikan dilihat dari kapasitas fisik atau bertahanan hidup dan bereproduksi. Faktor kondisi bergantung pada kepadatan populasi, tingkat kematangan gonad, makanan, jenis kelamin, dan umur. Pertumbuhan populasi ikan di alam sangat tergantung pada
13 strategi reproduksi dan respon dari perubahan lingkungan. Selama musim hujan (banjir), ikan jenis white fish, seperti halnya ikan memasuki perairan pedalaman hingga ke daerah rawa untuk melakukan pemijahan. Pemijahan adalah salah satu dari proses reproduksi ikan, dan proses lainnya meliputi seksualitas, tingkat kematangan gonad (TKG), indeks kematangan gonad (IKG) dan fekunditas (Arnentis dan Yustina 2002). Dalam siklus hidup mahluk hidup termasuk ikan, reproduksi merupakan bagian salah satu dari siklus hidup yang akan menjamin kelangsungan keturunan dari mahluk hidup (Nikolsky 1963). Beberapa aspek biologi reproduksi antara lain rasio kelamin, frekuensi pemijahan, lama pemijahan, ukuran ikan, dan ukuran ikan pertama kali matang gonad (Nikolsky 1963). Tingkat kematangan gonad merupakan tahapan tertentu perkembangan gonad baik sebelum maupun sesudah ikan memijah. Dasar yang dipakai untuk menentukan tingkat kematangan gonad dengan cara morfologi maupun histologi. Pengamatan gonad secara morfologi ialah bentuk, ukuran panjang dan berat, warna dan perkembangan isi gonad yang dapat dilihat. Perkembangan gonad ikan betina lebih banyak diperhatikan dari pada ikan jantan karena perkembangan diameter telur yang terdapat dalam gonad lebih mudah dilihat dari pada sperma yang terdapat di dalam testes (Effendie 1997). Ada dua faktor yang mempengaruhi waktu ikan pertama kali matang gonad yaitu faktor dari dalam dan dari luar. Faktor dari dalam adalah perbedaan spesies, umur, ukuran serta sifat fisiologis dari ikan tersebut seperti kemampuan adaptasi terhadap lingkungan. Sedangkan faktor dari luar yang mempengaruhi adalah makanan, suhu, dan arus (Effendie 2002). Tiap-tiap spesies ikan pertama kali matang gonad pada waktu dan ukuran tidak sama, demikian pula ikan yang sama spesiesnya (Effendie 1997) Perubahan yang terjadi dalam gonad secara kuantitatif dapat dinyatakan dengan indeks kematangan gonad (IKG) atau gonad somatic indeks (GSI) yaitu persentase perbandingan berat gonad dengan berat tubuh (Effendie 1997). Ikan yang mempunyai indeks kematangan gonad lebih kecil dari 20 % dapat memijah berkalikali dalam satu tahun dan ikan-ikan yang mempunyai indek kematangan gonad lebih besar dari 20 % memijah sekali dalam satu tahun (Bagenal 1978). Menurut Nikolsky (1963) jumlah telur yang terdapat dalam ovari ikan dinamakan fekunditas individu, fekunditas mutlak atau fekunditas total. Nikolsky (1969) menyatakan bahwa
14 fekunditas individu adalah jumlah telur dari generasi tahun itu yang akan dikeluarkan pada tahun itu pula. Faktor-faktor yang mempengaruhi fekunditas antara lain komposisi umur, faktor lingkungan seperti persediaan makanan, kepadatan populasi, suhu perairan, oksigen terlarut. Diameter telur adalah garis tengah atau ukuran panjang sebuah telur yang diukur dengan mikrometer berskala yang sudah ditera dan dilihat di bawah mikroskop. (Effendie 2002) bahwa diameter telur semakin besar pada tingkat kematangan gonad lebih tinggi terutama saat mendekati waktu pemijahan. Diameter telur digunakan untuk melihat frekuensi pemijahan dari ikan dengan TKG III dan IV. Ovarium yang mengandung telur masak berukuran sama besar menunjukan waktu pemijahan yang pendek sedangkan ovarium yang mengandung telur masak dengan ukuran bervariasi menunjukkan waktu pemijahan yang panjang dan terus menerus (Hoer 1969 in Sari 2007). Adaptasi secara umum dapat kita artikan sebagai proses penyesuaian diri terhadap lingkungannya dalam hal ini lingkungan ekosistem sungai. Welcome (1986) & Lagler et al. (1977) in Hartoto dan Mulyana (1996) mengemukakan bahwa ikan-ikan di sungai tropik pada umumnya mempunyai ciri kemampuan beradaptasi yang besar terhadap dua faktor lingkungan terpenting di sungai, yaitu arus yang deras dan oksigen terlarut dan rendah pada saat musim kemarau.
2.5. Kelembagaan Poloma (2000) in Haswanto (2006) mengidentifikasi kelembagaan sebagai organisasi atau kaidah-kaidah baik formal maupun nonformal yang mengatur perilaku dan tindakan anggota masyarakat tertentu, baik dalam kegiatan rutin seharihari maupun dalam usahanya mencapai tujuan tertentu. Khaerallah dan Kristen in Haswanto (2006) mengatakan secara umum kelembagaan diartikan sebagai suatu gugus aturan (rule of conduct) formal (hukum, kontrak, sistem politik, organisasi, pasar dan sistem lainnya), serta informal (norma, tradisi, sistem nilai, agama, trend sosial, dan lain sebagainya) yang memfasilitasi koordinasi dan hubungan antara individu ataupun kelompok. Selanjutnya dijeleskan kelembagaan memberi ketentuan terhadap anggota masyarakat mengenai hak-hak, kewajiban dan tanggung jawab, di samping itu anggota mendapat satu jaminan hak dan perlindungan dari masyarakat.
15 Menurut Anwar (2001) in Haswanto (2006) agar kelembagaan dapat berjalan dan ditaati oleh para anggotanya, maka dalam kelembagaan tersebut harus ada struktur insentif yang mengandung pahala (reward) dan sanksi. Tanpa struktur insentif kelembagaan berbentuk hukum (legal) sekalipun tidak akan berjalan, sehingga hukum tertulis hanya ada di dalam keretas saja. Kelembagaan
dapat
diartikan sebagai organisasai atau aturan main. Selanjutnya dijelaskan kembali oleh Pakpahan (1991) in Haswanto (2006) bahwa kelembagaan dicirikan oleh tiga hal yaitu. Hak-hak kepemilikan (property right), yaitu hak-hak atas benda materi maupun non materi, batas yuridiksi (jurisdictional boundery) dan aturan representasi (rule of representation). Perubahan kelembagaan dicirikan oleh perubahan dari salah satu atau lebih unsur-unsur kelembagaan tersebut. 1. Hak-hak kepemilikan (property right) mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban yang didefinisikan dan diatur oleh hukum adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dalam hal kepentingan terhadap sumberdaya, situasi atau kondisi. Dalam bentuk formal property right merupakan produk dari sistem hukum formal dalam bentuk lainnya merupakan produk dari tradisi atau adat kebiasaan dalam masyarakat. Oleh karena itu tidak seorangpun yang dapat menyatakan hak milik tanpa pengesahan dari masyarakat dimana ia berada. Memilik property right berarti memiliki kekuasaan
atau
partisipasi
dalam
pengambilan
keputusan
penggunaan
sumberdaya untuk menciptakan ongkos bagi orang lain apabila ia menginginkan sumberdaya tersebut. 2. Batas yuridiksi (yuridictional boundery) menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam kelembagaan suatu masyarakat. Konsep batas yuridiksi dapat berarti batas wilayah kekuasaan atau otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga. Perubahan batas yuridiksi akan menghasilkan performance seperti yang diharapkan ditentukan oleh paling tidak empat hal yaitu, perasaan sebagai suatu masyarakat (sense of community) eksternalitas, homogenitas dan skala ekonomi. 3. Aturan representasi (rule of representation) mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan sumberdaya yang dibicarakan. Keputusaan apa yang diambil dan apa akibat
16 terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusaan.
2.6. Modal Sosial dalam konten Jejaring, Kepercayaan, dan Norma Modal sosial merupakan struktur hubungan antar individu-individu yang memungkinkan mereka menciptakan nilai-nilai baru di tingkat masyarakat. Komunitas nilai sosial dinilai secara kuantitatif
berdasarkan
karakteristik
kepentingan masyarakat dalam jejaring sosial, dan kepercayaan (Borgeti et al. 1998 in Bodin & Corona 2007). Eksistensi modal sosial terlihat dari kemampuan suatu komunitas merajut pranata yang menjadi acuan dalam bertindak. Pranata (institution) adalah seperangkat aturan yang berlaku dan digunakan dan dijadikan sebagai acuan untuk bertindak (Lubis 1999 in Sembiring & Berutu 2004). Putnam (1993) in Sembiring dan Berutu (2004) menyatakan komponen modal sosial terdiri dari. kepercayaan (trust), aturan-aturan (norms) dan jaringan-jaringan kerja (networks) yang dapat memperbaiki efisiensi dalam suatu masyarakat melalui fasilitas tindakan-tindakan yang terkordinasi. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya semua kelompok masyarakat memiliki sejumlah modal sosial karena modal sosial tercipta dari dinamika budaya masingmasing. Bila dikaitkan dengan proses pembangunan menjadi sangat penting karena selain berbasis masyarakat (partisipatif) juga mampu menciptakan nilai dan aturanaturan baru dalam rangka pemenuhan berbagai aspek kebutuhan pendukungnya. Salah satu contoh modal sosial yang terdapat di kalangan masyarakat yaitu awigawig di Bali dan Lubuk Larangan di Mandaling Tapanuli. Peran potensi lokal dalam rangka keseimbangan lingkungan (ekosistem) dan sosial juga ditemukan oleh Roy Rappaport (1984) in Sembiring dan berutu (2004) pada upacara-upacara adat orang Tsembaga di Papua Nuiginea.
2.7. Model Sistem Pengelolaan Sungai Berbasis Masyarakat di Daerah Lain Masyarakat di sekitar aliran Sungai Pangkalan Indarung sejak tahun 1982 melalui keputusan adat Ninik Mamak telah menetapkan sebagian wilayah aliran sungai tersebut sebagai wilayah yang terlarang untuk diambil hasil ikannya selama jangka waktu tertentu atau dikenal dengan istilah Lubuk Larangan (Suhana 2008).
17 Akan tetapi masyarakat masih dapat mengambil ikan di wilayah yang tidak ditetapkan sebagai Lubuk Larangan. Kawasan Lubuk Larangan Indarung berada di sekitar aliran Sungai Pangkalan Indarung dengan panjang 1500 m dan lebar 35 m dengan kedalaman sungai sekitar 3-5 m. Selain itu juga guna mendukung kelestarian sumberdaya ikan di wilayah Lubuk Larangan, masyarakat melarang menebang pohon di sekitar Lubuk Larangan karena ikan-ikan yang ada di wilayah Lubuk Larangan sumber makanannya adalah daun-daun pohon yang jatuh. Batas wilayah Lubuk Larangan dengan bukan Lubuk Larangan ditandai oleh perbedaan kecepatan aliran sungai. Wilayah yang relatif tenang aliran sungainya ditetapkan sebagai Lubuk Larangan, sementara yang lebih cepat aliran sungainya tidak ditetapkan. sebagai wilayah Lubuk Larangan (Suhana 2008). Pengetahuan lokal dalam penentuan batas wilayah tersebut menunjukan bahwa masyarakat setempat tahu bahwa ikan sebagian besar menyukai wilayah perairan yang relatif tenang. Secara ekologi, sumber makanan ikan tersebut lebih banyak di wilayah perairan sungai yang relatif lebih tenang. Pengelolaan Lubuk Larangan Sungai Indarung selama ini dilakukan oleh lembaga adat Ninik Mamak Pangkalan Indarung. Lembaga adat tersebut dipimpin oleh dua orang datuk, yaitu Datuk Bandaro dan Datuk Sutan Penghulu. Selain itu juga kedua datuk tersebut dibantu oleh lima orang penghulu yang berasal dari keturunan kedua datuk tersebut. Pada tahun 2007 aturan adat Lubuk Larangan Indarung telah dikukuhkan dalam surat keputusan Ninik Mamak secara tertulis. Keputusan adat tersebut dikeluarkan dengan pertimbangan demi menjaga kelestarian sumberdaya ikan di Sungai Singingi dalam wilayah Desa Pangkalan Indarung. Suhana (2008) menyatakan aturan adat yang telah diputuskan oleh lembaga adat Ninik Mamak tersebut adalah. 1. Setiap pelaku menangkap ikan di kawasan Lubuk Larangan akan dikenakan sangsi Rp.500.000 per ekor ikan. 2. Pembeli atau penadah dikenakan sangsi Rp. 500.000 per orang. 3. Apabila pelaku dan penadah tertangkap akan diproses oleh Dubalang Ninik Mamak untuk diselesaikan secara adat sesuai kemenakan mamak yang bersangkutan.
18 4. Apabila poin 1 dan 2 dilakukan oleh Ninik Mamak, perangkat desa dan anggota Badan Perwakilan Desa dikenakan sangsi Rp. 1.000.000. Kondisi
wilayah
Sumatera
Utara
sangat
memungkinkan
untuk
mengembangkan perikanan air tawar, yaitu pada sungai-sungai (yang dikenal dengan Lubuk Larangan). Sejak tahun 1980-an bermunculan gagasan di 70 desa Kabupaten Mandailing Natal untuk menyelenggarakan sistem pengelolaan sungai dengan model Lubuk Larangan (river protected area) (Lubis 2007). Keberadaan desa tersebut dapat ditelusuri mulai dari Kecamatan Muara Sipongi-hulu Sungai Batang Gadis ke arah hilir Kecamatan Kotanopan hingga ke Kecamatan Penyambungan. Selain itu terdapat juga desa di sepanjang Sungai Batang Natal dan beberapa anak sungai yang ada di Kecamatan Batang Natal, serta sepanjang Sungai Batang Selai sampai Danau Rinaete di Tapanuli Selatan. Ide tentang Lubuk Larangan di Kabupaten Mandailing Natal berdasarkan pada hal-hal berikut. Pertama, Lubuk Larangan berasal dari seorang pemuka agama dan kelompoknya yang sedang mengadakan kegiatan keagamaan (suluk). Kedua, hasil musyawarah mufakat masyarakat desa. Ketiga, larangan mengambil ikan sudah ada sejak jaman dahulu (pada masa Kuria pemimpin desa), yaitu ukuran mata jala ditetapkan empat jari (4cm s/d 5cm), yang hanya dapat menangkap ikan-ikan yang besar saja. Keempat, pasca tahun 1950-an masyarakat membuat ―Taburan‖ atau Lubuk Larangan pribadi (Putra 2001). Sejak tahun 1979, bentuk pengelolaan Lubuk Larangan bersifat dari, oleh dan untuk masyarakat, sudah merupakan organisasi masyarakat yang memiliki aspek sosial ekonomi dan aspek lingkungan. Putra (2001) menyatakan sebagai aktivitas sosial organisasi ini meliputi empat kegiatan utama, antara lain: 1. Pembentukan Lubuk Larangan yaitu pemilihan lokasi, penentuan batas dan panjang, serta pemberian nama. 2. Pemeliharaan, yaitu jenis ikan yang dipelihara, pemberian bibit, pemberian pakan, pengawasan dan sanksi. 3. Panen, yaitu penentuan hari, pembuatan empang, anggota panen, harga tiket, dan model tiket. 4. Penutupan.
19 Keempat kegiatan ini secara umum didasarkan atas musyawarah desa, dan dilaksanakan secara gotong royong. Organisasi Lubuk Larangan, mempunyai tujuan yang jelas, masyarakat mendukung kehadirannya, pembagian kerja jelas, penyampaian pengumuman juga jelas, pengambilan keputusan dilakukan dengan musyawarah desa, dan masyarakat berusaha untuk meningkatkan peminat/anggota pada saat pembukaan/panen, dan tidak ada beasiswa yang diberikan kepada pelajar yang berprestasi dari masing-masing desa. Pemanfaatan hasil Lubuk Larangan sangat tinggi yaitu untuk membangun mesjid, membangun sekolah madrasah, santunan anak yatim/piatu, membangun jalan desa, dan membiayai kegiatan pemuda-pemudi. Dalam hal ini, tidak terdapat perbedaan bentuk organisasi Lubuk Larangan antara kecamatan Kota Nopan dan batang Nata. Lubis (2007) menyatakan paling tidak ada dua hal yang istimewa dari munculnya fenomena pengelolaan sungai dengan sistem Lubuk Larangan. Pertama, kemampuan komunitas setempat di kawasan Mandailing melakukan perubahan radikal dalam konsepsi penguasaan sumberdaya alam (sungai), dari yang semula dipahami sebagai sumberdaya yang bisa diakses secara bebas oleh siapapun menjadi sumberdaya yang dimiliki secara komunal (communally owned resources). Dengan perubahan konsepsi tersebut, maka kecenderungan eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya alam menjadi terkurangi, sehingga gejala "tragedi milik bersama" (tragedy of the common) dalam pengelolaan sumberdaya yang bersifat akses terbuka tidak terjadi, khususnya dalam konteks pengelolaan sumberdaya yang ada di sungai. Kedua. Komunitas desa pengelola Lubuk Larangan di Kabupaten Mandailing Natal mampu menanam dan mengembangkan investasi modal sosial (social capital) di antara mereka dalam pengelolaan sumberdaya milik bersama. Komunitas desa pengelola Lubuk Larangan di Mandailing sampai batas-batas tertentu mampu menyiasati kondisi yang tidak sehat itu, yang terlihat dari tetap kukuhnya mereka membangun sistem pengelolaan Lubuk Larangan yang relatif terbebas dari campur tangan penguasa. Lubuk Larangan adalah salah satu pengelolaan sumberdaya ikan yang dilakukan oleh masyarakat sehingga keberadannya perlu dijaga karena menjadi salah satu kearifan lokal secara tradisional dalam mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan.
20 2.8. Pengelolaan Berbasis Masyarakat Carter (1996) in Mallawa (2006) mendefinisikan Community-Based Resource Management sebagai (CBM) : “A strategy for achieving a people-centered development where the focus of decision making regard to the sustainable use of natural resources in area lies with the people in the communities of that area” (Suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pengambilan keputusan tentang keberlanjutan sumberdaya dalam pemanfaatannya di daerah tersebut berada di tangan masyarakat). Model pengelolaan yang berbasis masyarakat memberikan beberapa keuntungan namun juga memiliki beberapa kelemahan (Bengen 2005 in Mallawa 2006). Keuntungan CBM sumberdaya perikanan/SDI : 1. Mampu mendorong pemerataan (equity) dalam pengelolaan SDI. 2. Mampu merefleksikan kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik. 3. Mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada. 4. Mampu meningkatkan efisiensi secara ekologis dan ekonomis. 5. Responsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal. 6. Masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola sumberdaya secara berkelanjutan. Kelemahan CBM sumberdaya perikanan/SDI. 1. Hanya dapat diterapkan dengan baik pada masyarakat yang kondisi strukturnya masih sederhana dengan skala dan wilayah kegiatan yang tidak luas. 2. Tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya lingkungan. 3. Terjadinya kesukaran dalam implementasi karena kurang mendapat dukungan. 4. Hanya efektif pada kawasan pengelolaan yang batas geografisnya jelas dan terbatas. 5. Rentan terhadap intervensi luar atau peledakan permintaan sumberdaya ikan dan jasa lingkungan. Pengelolaan berbasis masyarakat sudah menjadi alternatif dalam upaya pemanfaatan
keanekaragaman
hayati
sebagai
program-program
aksi
yang
berdasarkan pada pemikiran atau konsep barat. Dua komponen penting keberhasilan pengelolaan berbasiskan masyarakat (PBM) adalah : 1. Konsensus yang jelas dari tiga pelaku utama, yaitu pemerintah, masyarakat, dan peneliti (sosial, ekonomi, dan sumberdaya)
21 2. Pemahaman yang mendalam dari masing-masing pelaku utama akan peran dan tanggungjawabnya
dalam
mengimplementasikan
program
pengelolaan
berbasiskan masyarakat. Dalam prakteknya, PBM dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu PBM tradisional dan PBM nontradisional (Dahuri 2003). PBM tradisional umumnya berdasarkan adat dan tradisi yang lazim atau telah ada di masyarakat sejak lama, misalnya sasi di Maluku, pengelolaan pesisir di Biak, panglima lot di Aceh. Sedangkan keberadaan PBM nontradisional sengaja dilahirkan berdasarkan aturanaturan baru yang diterapkan oleh masyarakat sendiri atau difasilitasi oleh pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Model CBM sumberdaya ikan dapat dikembangkan menuju Model CoManagement untuk menutupi kelemahan seperti yang diuraikan di atas dengan menambahkan beberapa prasyarat sebagai berikut : 1. Masyarakat harus diberi hak dan kewajiban secara jelas (tipe SDP yang akan dikelola, wilayah, waktu, dan cara pengelolaan). 2. Dalam implementasi pengelolaan, hukum adat dan hukum ulayat serta kebiasaan lokal tidak boleh dikesampingkan dan kalau perlu diintegrasikan dalam rencana. 3. Perlu mempertimbangkan kecenderungan masa lalu, saat sekarang, dan yang akan datang dalam pemanfaatan dan pengelolaan SDI oleh masyarakat. 4. Rencana strategi pengelolaan harus mencerminkan kebutuhan nyata masyarakat. Pomeroy &Dauvner (2008) menyatakan partisipasi stakeholder
dalam
pengelolaan sumberdaya terdiri dari 6 tingkatan yaitu Comunication, information, consultation, dialogue, concertration, dan negotiation. Menurut Nobel (2000) ada enam institusi untuk Co-Management yang baik, antara lain : 1. Organisasi bersifat interaktif antar semua organisasi. 2. Dapat menjadi kontrol lokal/atau sesuai berdasarkan keinginan masyarakat lokal. 3. Mendapatkan dukungan dari komunitas. 4. Mempunyai proses yang terencana dengan baik. 5. Mempunyai keseragaman substansi atau keanggotaan mewakili keseluruhan masyarakat. 6. Mempunyai keseimbangan tujuan kemasyarakatan, ekologis, dan ekonomis.
22 Pengelolaan sumberdaya perikanan oleh masyarakat (SDP) dijadikan alternatif solusi karena terbukti memberikan sejumlah manfaat karena adanya jaminan mata pencaharian, kesamaan akses terhadap SDP dan mekanisme resolusi konflik serta berorientasi pada keberlanjutan (Berkes1989 in Satria 2009). Merujuk pada Berkes dan Scott (1989) in Satria (2009) mengidentifikasi tiga dimensi pengelolaan sumberdaya perikanan (SDP) oleh masyarakat. Pertama dimensi normatif, dimensi ini berisi sistem nilai yang menjadi dasar bagi proses pengelolaan SDP. Di sinilah tujuan pengelolaan dirumuskan. Kedua adalah dimensi regulatif yang berisi tata pengelolaan SDP. Terkait dengan pengelolaan sumberdaya (Ruddle 1994) mengidentifikasi unsur-unsur pengelolaan sebagai berikut : 1. Wewenang (authority) sumberdaya laut biasanya dikontrol penggunaannya oleh kewenangan tradisi yang secara alami mencerminkan organisasi sosial lokal, ada empat prinsip yang dikenal yaitu. Kepala desa pemimpin agama, ketua organisasi masyarakat, pemilik hak (ownwership), katagori-katagori ini sering ditemui secara bersamaan pada individu (overlapping) pengaturan di sini biasanya terkait pemanfaatan dan pengaturan sumberdaya. 2. Hak kepemilikan (right) di bawah sistem tradisional eksploitasi sumberdaya diatur oleh hak kepemilikan/penggunaan. Hak di sini menjelaskan siapa saja yang dapat mengakses sumberdaya (fishing ground) dan bagi siapa yang melanggar ada sanksi hukuman. Pada umumnya masyarakat mempunyai hak otomatis memanfaatkan sumberdaya terkait dengan statusnya sebagai masyarakat nelayan. 3. Aturan (rules) aturan di sini menjelaskan : substansi dan struktur hak kepemilikan melalui penentuan bagaimana satu hak dapat digunakan melalui aturan ini ditetapkan area geografis penangkapan ikan, siapa yang diperbolehkan menangkap siapa yang tidak, dan bagaimana aturan jika orang luar ingin ikut menangkap. 4. Monitoring (monitoring, acuntability, dan enforcement) agar hak-hak dapat diterapkan perlu adanya monitoring pelaksanaan aturan, bagi yang melanggar ada sanksi hukuman. Pada pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat tugas monitoring dan pelaksanaan dilakukan oleh masyarakat lokal.
23 5. Sanksi (sanction) sanksi diperlukan bagi pelanggar hak pemanfaatan sumberdaya dan pelanggaran atau perusakan aturan lokal. Empat prinsip tipe sanksi adalah, sosial, ekonomi, hukuman fisik, dan supranatural (hal gaib) Ketiga dimensi kognitif, yang berisi teknik pengelolaan dan pengetahuan lokal (local knowledge). Pengetahuan lokal seringkali bersanding dengan beberapa istilah seperti pengetahuan ekologis tradisional atau pengetahuan asli. (Ruddle 2000) in Satria (2009) lebih memilih menggunakan pengetahuan lokal dan mengidentifikasi karakteristik pengetahuan lokal sebagai berikut : 1. Bersifat jangka panjang, empiris, berbasis observasi lokal, yang disesuikan dengan kondisi lokal dan mampu mencakup sejaumlah variasi lokal, serta bersifat rinci. 2. Berorientasi pada hal yang praktis yang menyangkut prilaku, serta fokus pada tipe-tipe sumberdaya dan spesies. 3. Terstruktur sehingga sebenarnya kompetibel dengan konsep biologi barat, khususnya terkait dengan kesadarana akan keterkaitan ekologis dan pentingnya koservasi SDP. 4. Bersifat dinamis. Berkes (1999) in Satria (2009) juga mencoba mengidentifikasi karakteristik pengetahuan asli sebagai berikut : 1. Pengetahuan melekat pada budaya lokal. 2. Memiliki dimensi ruang dan waktu. 3. Kurang memisahkan antara alam dan budaya, serta antar subjek dan objek. 4. Komitmen bahwa lingkungan lokal bersifat unik dan menjadi tempat yang tidak bisa dipindah. 5. Tidak menggunakan pendekatan instrumental terhadap alam. Ketiga dimensi tersebut tekait satu sama lain. Artinya dimensi normatif akan mempengaruhi dimensi regulatif yang berisi aturan alam pengelolaan sumberdaya perikanan. Tata aturan tersebut dibuat berdasarkan sistem pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat (dimensi kognitif). Dengan demikian, pengelolaan oleh masyarakat merupakan sebuah sitem di dalamnya terdapat unsur-unsur yang saling terkait.
24 2.9. Pengelolaan Berbasis Ekosistem Alam memiliki suatu sistem yang dinamis dan menjadi sumber utama yang diperlukan manusia dalam kehidupan. Keterkaitan dan keberlangsungan sistem di alam tersebut memberikan aliran energi terhadap biota didalamnya sebagai suatu bentuk dukungan alam terhadap proses kehidupan yang berlangsung. Dukungan alam tersebut memiliki keterbatasan (Daya Dukung Lingkungan) dan sangat tergantung oleh interaksi-interaksi berbagai komponen yang ada di dalamnya. Keharmonisan hubungan tersebut didukung oleh tingkat biodiversitas yang memiliki kerentanan tinggi terhadap faktor internal ekosistem dan faktor luar yang mendukung bentuk ekosistem yang ada (Zain 2010). Ekosistem sebagai sendi utama kehidupan di muka bumi harus menjadi salah satu dasar pertimbangan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan. Pengelolaan berbasiskan ekosistem merupakan suatu dasar dalam mengelola sumberdaya dengan melihat dari kondisi ekologis dari ekosistem tertentu. Dalam pengelolaan sumberdaya termasuk didalamnya konservasi juga diatur dalam Undang-undang No. 31 Tahun 2004 (sekarang menjadi Undang-Undang No 45 Tahun 2009), khususnya pada pasal 1 angka 8 dan pasal 13 ayat (1) dan (2), serta disyahkannya peraturan turunannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang konservasi sumberdaya ikan. Dalam kedua sumber hukum tersebut mengatur tentang perlunya upaya konservasi untuk pengelolaan SDI. Penyelenggaraannya meliputi konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan dan konservasi genetik ikan, yang wilayah pengelolaannya meliputi perairan tawar, payau dan laut, dari pegunungan hingga dasar laut, sepanjang di wilayah tersebut berfungsi sebagai habitat ikan (Haryani et all. 2008).