PERAN PROMOSI KESEHATAN DALAM PENDIDIKAN NONFORMAL J.H. Sinaulan Dosen UHAMKA, Jakarta
ABSTRACT Health behavior changes is our greatest hope for reducing the burden of preventable disease and death around the world. Policy makers in public health have repeatedly stressed the importance of heredity, environment, health care and health behavior as determinants of public health. This study has examined the existence of health promotion in nonformal education. The results of this study was concluded that the health promotion is the most important and applicable treatment for improving public health, especially in nonformal education. Kata kunci: Promosi kesehatan, kesehatan masyarakat, pendidikan nonformal. PENDAHULUAN “Three million people die every year from diarrheal diseases (such as cholera and dysentery) caused by contaminated water”. (Ganoulis, 2009: 1). Artinya, tiga juta manusia setiap tahun meninggal bukan karena penyakit keturunan, tetapi disebabkan karena lingkungan air yang terkontaminasi. Jumlah tersebut belum termasuk meninggalnya manusia sebagai akibat dari pencemaran udara atau media lainnya. Untuk itu, diperlukan promosi kesehatan yang luas dan efektif bagi masyarakat melalui seluruh saluran komunikasi dan teknologi yang ada, baik saluran formal maupun informal. Derajat kesehatan masyarakat ditentukan oleh berbagai faktor. Disamping faktor keturunan, juga dipengaruhi oleh lemahnya kesadaran masyarakat serta kondisi lingkungan yang tidak didukung oleh pelayanan kesehatan yang memadai, utamanya di negara-negara berkembang. Dengan demikian, untuk meningkatkan derajat kesehatan perlu diupayakan perluasan dan pemantapan pendidikan kesehatan guna mengeliminasi lemahnya perilaku kesehatan dalam lingkungan seharihari. “Health education attempts to close the gap between what is known about optimum health practice and that which is actually practiced”. (Glanz, et al., eds., 2008:10). Lembaga pendidikan nonformal dapat tampil sebagai institusi pendukung pemikiran tersebut. Berdasarkan pemikiran di atas, maka diperlukan promosi kesehatan melalui lembaga-lembaga pengelola pendidikan nonformal dalam kerangka upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Konsep tersebut akan dibahas melalui makalah ini. DETERMINAN KESEHATAN MASYARAKAT Para pakar ilmu kesehatan sependapat bahwa terdapat berbagai faktor yang dapat mengakibatkan penyakit individu dalam masyarakat, atau secara makro dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Faktor-faktor yang berperan dalam menentukan derajat kesehatan masyarakat, dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1). Faktor keturunan; 2). Faktor pelayanan kesehatan; 3). Faktor lingkungan; 4). Faktor perilaku. (Sinta, 2011:126) Keempat faktor yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat, digambarkan oleh Didik Sarudji (2010:48) sebagai berikut:
LINGKUNGA N
KETURUNAN
DERAJAT KESEHATA N
PERILAKU MASYARAKAT
Gambar 1. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Derajat Kesehatan Masyarakat
1)
Keempat faktor tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut: Keturunan Keluarga merupakan satuan terkecil di masyarakat. Orang tidak dapat mengubah keluarga darimana ia berasal. Hal ini merupakan salah satu nasib, karena orang tidak dapat memilih untuk dilahirkan ke dalam keluarga tertentu atau yang dikehendaki. Urutan kelahiran juga merupakan faktor yang ada di dalam keluarga. Seseorang yang dilahirkan sebagai anak pertama, atau anak yang ke sepuluh, tentunya akan berbeda baik dalam potensial kesehatan maupun potensial penyakit yang akan di derita, dan perlakuan keluarga terhadapnya. Faktor keluarga erat hubungannya dengan faktor genetik. (Juli, 2005:57). “Genetics began as the study of heredity”. (Hartl, et al., 1988 : 1). Genetik telah memberikan kontribusi penting bagi ilmu kedokteran dan praktek klinikal modern, namun masih tetap menunjukkan akselerasi yang cepat. “Genetics has made important contributions to medicine and modern clinical practice, but it looks like we are again in for rapid acceleration”. (Hartl, et al., 1988:4). Apabila didapat kelainan gen, maka hal ini akan diturunkan pada anak-cucunya, seperti misalnya penyakit Diabetes mellitus, buta warna, Hemofili, dan lain-lain. Tetapi ada pula faktor yang diturunkan sebagai bakat untuk menderita penyakit tertentu, seperti asma dan penyakit jiwa. Hal ini hanya dapat timbul, apabila lingkungan memungkinkannya timbul, yakni agennya ada dan dapat memasuki tubuh host. Penyakit TBC juga ternyata dapat timbul dengan lebih cepat pada individu yang mempunyai bakat yang diturunkan. (Juli, 2005 : 57). Menurut Prayogo Utomo, beberapa penyakit yang dapat disebabkan oleh faktor keturunan adalah sebagai berikut: 1). Asma (Bengek/Mengi) Asma adalah suatu gejala yang ditimbulkan oleh kelainan saluran pernapasan, menyebabkan peningkatan kepekaan terhadap rangsangan dari lingkungan. Pemicu gejala ini dapat berupa kelelahan pikiran (gangguan emosi), kelelahan jasmani, perubahan lingkungan hidup yang tidak diharapkan (cuaca, kelembapan, temperatur, asap (terutama rokok, dan bau-bauan yang merangsang), infeksi saluran pernapasan terutama rokok, dan bau-bauan yang merangsang), infeksi saluran pernapasan terutama penyakit influenza tertentu, dan reaksi alergi dari bahan yang terhirup atau dimakan. Gejala kepekaan biasanya diawali sejak masa kanak-kanak. Sekitar 50% gejala ini akan sembuh dengan sendirinya, walaupun pada suatu saat gejala ini akan muncul lagi pada tingkat yang lebih berat. Sekitar 55-60% penyakit alergi pernapasan diturunkan ke anak atau cucu dan sisanya diakibatkan karena adanya polusi lingkungan hidup. (Prayogo, 2005:5). 2). Obesitas (Kelebihan Berat Badan)
3).
4).
5).
2)
Kegemukan (obesitas) adalah kelebihan lemak dalam tubuh. Selain tubuh menjadi tidak menarik, kegemukan mengarah kemasalah kesehatan yang serius dan mempersingkat harapan hidup. (Prayogo, 2005:19). Coronary Cardiac Disease (Penyakit Jantung Koroner) Penyakit jantung koroner adalah penyakit jantung yang terjadi karena gangguan pada pembuluh-pembuluh nadi tajuk jantung, dan merupakan penyakit jantung yang sering ditemukan, terutama sekali pada zaman sekarang ini yang segalanya serba modern. Penyakit jantung koroner merupakan penyakit jantung yang paling membuat pusing bagi para spesialis/ahli jantung yaitu bagaimana untuk memastikan adanya penyempitan dari arteri jantung sebelum sesuatu gejala yang hebat timbul, apalagi kalau si penderita sendiri sama sekali tidak pernah mengeluh tentang hal ini. Setelah terjadinya penyempitan arteri jantung sudah mencapai 70% ke atas penderita baru mulai merasakan adanya gejala-gejala yang tidak normal disebabkan karena aliran darah ke jantung terganggu, sehingga otot jantung tidak cukup mendapatkan oksigen dimana untuk gejala ini disebut sebagai inkhemia. (Prayogo, 2005:30-31). Diabetes (Kencing Manis) Nama lengkap penyakit ini adalah diabetes melitus, yaitu suatu gangguan dari kelenjar pankreas. Kelenjar pankreas adalah organ yang menghasilkan hormon insulin. Menurut perkiraan medis, diabetes tidk dapat disembuhkan, tetapi bias dikontrol dengan pengobatan seumur hidup. Serta kalangan medis kedokteran mencatat bahwa penderita diabetes 25 kali lebih mudah terserang kebutaan, 17 kali lebih mudah terserang penyakit ginjal serta 2 kali lebih mudah terserang penyakit jantung koroner. Secara medis pengobatan penyakit kencing manis adalah dengan memberikan tambahan insulin, baik dalam bentuk suntikan maupun dalam bentuk tablet oral, yang tujuannya adalah bukan untuk menormalkan kembali fungsi kelenjar pankreasnya, tetapi sebagai penghasil hormon insulin. Bagi mereka yang mempunyai faktor keturunan tersebut, makan terlalu banyak zat gula, kelebihan berat badan, tekanan batin, dan bahkan kehamilan bisa menjadi faktor pencetus timbulnya diabetes. (Prayogo, 2005:37-38). Rheumatoid Artritis Artritis rheumatoid adalah jenis artritis nomor tiga di Indonesia setelah asteoartritis dan artritis gout. Dapat menyerang semua umur. Yang terserang terutama sendi-sendi tangan. Artritis rheumatoid pada umumnya progresif (tambah lama tambah berat). Apabila faktor genetik berbenturan dengan faktor risiko lingkungan tertentu, terjadilah kekacauan daya tahan tubuh atau gangguan autoimum (gangguan kegagalan daya diskriminasi endogen-endogen pada sistem imun, sehingga bahan/zat yang berasal dari tubuh sendiri, dianggap sebagai bahan asing, dan terhadapnya dibentuk zat anti). Gangguan autoimum mencetuskan rheumatoid artritis. (Prayogo, 2005:65).
Pelayanan Kesehatan “As the entire nation is well aware, the costs of health care have skyrocketed in the last 35 years. In 1997, total expenditures for health care in the United States crossed the trillion-dollar thresh-old more than four times the 1980 figure. In 2000, the amount spent on health care equaled that spent on education, defense, prisons, farm subsidies, food stamps, and foreign aid combined. By the year 2015, total expenditures for health care in the United States are expected to exceed $4.2 trillion. The rising costs of medical care are especially burdensome in the event of catastrophic illnesses or confinement to a nursing home. Bills of tens of thousands of dollars are not unusual in the treatment of cancer. Alzheimer’s disease and other chronic illnesses requiring custodial care”. (Schaefer, 2009: 382). Pelayanan kesehatan dapat dikategorikan sebagai berikut (Soekirdjo, 2010:109): 1). Kategori yang berorientasi pada publik (masyarakat) Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kategori publik terdiri dari sanitasi lingkungan (air bersih, sarana pembuangan limbah baik limbah padat maupun cair, imunisasi, dan perlindungan kualitas udara, dan sebagainya). Pelayanan kesehatan masyarakat lebih diarahkan langsung kea rah publik ketimbang ke arah individu-individu
2).
3).
yang khusus. Orientasi pelayanan kesehatan publik ini adalah pencegahan (preventif) dan peningkatan (promotif). Kategori yang berorientasi pada perorangan (pribadi) Pelayanan kesehatan pribadi adalah langsung ke arah individu, yang pada umumnya mengalami masalah kesehatan atau penyakit. Orientasi pelayanan kesehatan individu ini adalah penyembuhan dan pengobatan (kuratif), dan pemulihan (rehabilitatif) ditujukan langsung kepada pemakai pribadi (individual consumer). Anderson dan Newman (1973) membuat suatu kerangka kerja teoretis untuk pengukuran penggunaan pelayanan kesehatan pribadi. Mereka mempersamakan 3 dimensi dari kepentingan utama dalam pengukuran dan penentuan pelayanan kesehatan, yaitu: tipe, tujuan/maksud, dan unit analisis. a). Tipe Tipe digunakan untuk memisahkan berbagai pelayanan kesehatan antara satu dengan lainnya. Anderson dan Newman menunjukkan bahwa ada perbedaan kecenderungan-kecenderungan jangka panjang dan jangka pendek untuk berbagai tipe dari pelayanan (seperti rumah sakit, dokter gigi, perawatan di rumah, dan lain-lain). Mereka juga menunjukkan penemuan-penemuan riset bahwa faktor-faktor penentu (determinan) individual bervariasi agak besar untuk penggunaan tipe-tipe yang berbeda dari pelayanan kesehatan. Karena kedua faktor ini (cenderung dan faktor penentunya berbeda), maka masuk akal bahwa satu komponen utama dalam pengaturan pelayanan kesehatan menjadi tipe dari pelayanan kesehatan yang digunakan. b). Tujuan Tujuan di sini diklasifikasikan berdasarkan tingkatan perawatan terhadap masalah kesehatan yang dialaminya, yaitu: (1). Primary care (perawatan tingkat I): Perawatan tingkat I dikaitkan dengan perawatan pencegahan (preventive care). (2). Secondary care (perawatan tingkat II): Perawatan tingkat II dikaitkan dengan perawatan perbaikan (pengembalian individu ke tingkat semula dari fungsionalnya). (3). Tertiary care (perawatan tingkat III): Perawatan III dikaitkan dengan stabilitas dari kondisi yang memperhatikan penyakit jangka panjang agar tidak terjadi serangan penyakit yang sama lagi. (4). Fourthly care (perawatan tingkat IV): Perawatan IV dikaitkan semata-mata dengan kebutuhan pribadi dari pasien dan tidak dihubungkan dengan perawatan penyakit. c). Unit Analisis Unit analisis merupakan dimensi ke-3 dalam rangka kerja Anderson dan Newman yang mendukung 3 perbedaan di antara unit-unit analisis, yaitu: kontak, volume, dan episode. Alasan utama bagi perbedaan ini adalah bahwa cirri-ciri khas individu mungkin menjadi tanggung jawab bagi sejumlah episode, sedangkan ciri-ciri khas dari sistem pembebasan (khususnya pada dokter) mungkin menjadi tanggung jawab utama bagi sejumlah akibat dari kontak kunjungan sebagai akibat dari setiap episode penyakit. Jadi karena jumlah kontak, episode, daan volume pelayanan kesehatan yang digunakan ditentukan oleh faktor-faktor yang berbeda, maka pengukuran penggunaan pelayanan kesehatan akan membuat suatu perbedaan di antara unit-unit pelayanan kesehatan yang berbeda. (Soekidjo, 2010:110-111). Lingkungan “Industrial growth did come, but at a high cost to the natural environment. The accumulation of industrial wastes is a special problem”. (Henslin, 2005:660). Dimensi dari lingkungan umum meliputi aspek internasional teknologi, sosial budaya, ekonomi, hukum dan politik, serta alam. “The dimensions of the general environment include international, technological, sociocultural, economic, legal-political, and natural”. (Daft, 2012:65). Disamping dimensi lingkungan umum tersebut, secara khusus lingkungan kesehatan dapat dipilahkan dalam (1) lingkungan biologis, (2) lingkungan fisik, dan (3) lingkungan sosial, dengan penjelasan sebagai berikut:
a).
4).
Lingkungan biologis: unsur-unsur biologis yang dapat menjadi sumber makanan, sumber penularan maupun vektor penyakit. Misalnya: tanaman air yang tidak dijaga kejernihan airnya/tidak sering diganti, akan menjadi lingkungan yang buruk bagi tetangga sekitar untuk terkena penyakit DB. b). Lingkungan fisik: terdiri dari tanah, udara, air, topografi, iklim, dan lain-lain yang dapat menunjang terjadinya suatu penyakit atau peristiwa kesehatan. Misalnya: kasus penyakit gondok yang diderita oleh penduduk Magelang sebagai efek dari lokasi tempat tinggalnya di daerah pegunungan. Akibat dari lingkungan fisik ini sumber yodium yang ada di dalam tanah selalu terbawa oleh air hujan. c). Lingkungan sosial: sistem ekonomi, organisasi masyarakat, sistem pelayanan kesehatan, adat istiadat, dan lain-lain. Misalnya: akibat dari sistem pelayanan kesehatan yang tidak baik (misalnya alur pelayanan terlalu panjang dan dibedakan antara pasien umum dengan pasien JPKM dokter sering terlambat) dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan kasus penyakit atau masalah kesehatan. Hal ini bisa terjadi karena masyarakat yang mempunyai kartu JPKM jadi merasa tidak nyaman dengan perbedaan pelayanan tersebut, sehingga tidak bersedia untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada, atau bersedia dengan kondisi tertekan/keterpaksaan. (Hariza, 2011). Perilaku Menurut Gochman, perilaku kesehatan tidak hanya perilaku yang tampak, tetapi juga kejadian-kejadian mental dan keadaan perasaan yang dapat dilaporkan dan diukur. “It includes not only observable, overt actions, but also the mental events and feeling states that can be reported and measured”. (Glanz, et al., eds., 2008:12). Gochman berpendapat bahwa perilaku kesehatan berkaitan dengan kepercayaan pribadi, harapan, motif, nilai persepsi dan unsur-unsur kognitif lain; karakteristik kepribadian, termasuk keadaan dan sifat afektif dan emosional, serta pola perilaku lahiriah, tindakan, dan kebiasaan yang terkait dengan pemeliharaan kesehatan, perbaikan kesehatan dan kemajuan kesehatan. “He defined health behavior as “those personal attributes such as beliefs, expectations, motives, values, perceptions, and other cognitive elements; personality characteristics, including affective and emotional states and traits; and overt behavior patterns, actions, and habits that relate to health maintenance, to health restoration, and to health improvement” (Gochman, dalam Glanz, et al., eds., 2008:12).
a). b). c). a)
b).
c).
Perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Perilaku pemeliharaan kesehatan; Perilaku pencarian dan penggunaan sistem; Perilaku kesehatan lingkungan. (Sinta, 2011:126-127) Perilaku pemeliharaan kesehatan Perilaku ini merupakan usaha seseorang untuk menjaga kesehatannya, agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan, bilamana sakit. Pemeliharaan kesehatan terdiri dari 3 aspek, yaitu: (1) Perilaku pencegahan dan penyembuhan penyakit, serta pemulihan kesehatan bilamana sembuh dari penyakit. (2) Perilaku peningkatan kesehatan apabila seseorang dalam keadaan sehat, karena harus mencapai kesehatan yang optimal. (3) Perilaku gizi. Makanan dan minuman dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya, makanan dan minuman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan, bahkan mendatangkan penyakit. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan atau perilaku pencarian pengobatan Perilaku ini berkenaan dengan saat seseorang menderita penyakit dan/atau kecelakaan. Tindakan perilaku dimulai dengan cara mengobati diri sendiri sampai harus mencari pengobatan ke luar negeri. Perilaku kesehatan lingkungan
Perilaku ini merespon lingkungannya dengan baik, yaitu dari aspek atau budaya, sehingga lingkungan tidak mengganggu kesehatannya, keluarga atau masyarakat. Misalnya dalam pengelolaan tinja, air minum, tempat pembuangan sampah, serta limbah. Menurut Becker, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1). Perilaku hidup sehat Perilaku ini berkaitan dengan upaya atau bagian kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya, mencakup: makan makanan yang seimbang (mengandung zat gizi yang dibutuhkan tubuh serta kuantitas dalam artian dengan jumlah yang cukup), olah raga yang teratur, tidak merokok, tidak minum minuman keras, istirahat yang cukup, mengendalikan stress, perilaku dan gaya hidup sehat. (2). Perilaku sakit Perilaku mencakup respon seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsi terhadap sakit, pengetahuan tentang penyebab dan gejala penyakit, pengobatan dan sebagainya. (3). Perilaku peran sakit Dari segi sosiologis, orang sakit mempunyai peran yang mencakup hak-hak orang sakit dan kewajibannya. Hak dan kewajiban ini harus diketahui orang yang sakit itu sendiri maupun orang lain (terutama keluarganya), yang meliputi: (a). Tindakan untuk memperoleh kesembuhan. (b). Mengenal/mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan penyembuhan penyakit yang layak. (c). Mengetahui hak (hak memperoleh perawatan dan pelayanan kesehatan) dan kewajibannya (memberitahukan penyakitnya kepada orang lain, terutama pada dokter/petugas kesehatan, tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain, dan sebagainya. EKSISTENSI PROMOSI KESEHATAN Sebelum membahas mengenai peran promosi kesehatan, kiranya perlu dipahami mengenai pengertian promosi kesehatan. Promosi kesehatan dapat diartikan sebagai setiap kombinasi dari pendidikan kesehatan dan terkait dengan organisasi, ekonomi dan dukungan lingkungan bagi perilaku individu, kelompok atau komunikasi yang kondusif bagi kesehatan. “As defined by Green, it is “any combination of health education and related organizational, economic, and environmental supports for behavior of individuals, group, or communities conducive to health” (Glanz, et al., eds., 2008:11). Promosi kesehatan juga dapat diartikan sebagai suatu ilmu dan seni yang membantu merubah gaya hidup dalam menghadapi keadaan kesehatan yang optimum. Perubahan gaya hidup dapat difasilitasi oleh suatu kombinasi upaya untuk meningkatkan kesadaran, merubah perilaku dan menciptakan lingkungan yang mendukung praktek kesehatan yang baik. “Health promotion is the science and art of helping people change their lifestyle toward a state of optimum health…Lifestyle changes can be facilitated by a combination of efforts to awareness, change behavior, and create environments that support good health practices”. (Glanz, et al., eds., 2008:11) Apabila kombinasi termaksud dapat diwujudkan, maka akan tercipta perubahan kesadaran, perilaku dan lingkungan yang mendukung peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Sebagaimana telah diuraikan di atas, kombinasi yang dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, mencakup empat faktor, yaitu: 1). Keturunan; 2). Pelayanan kesehatan; 3). Lingkungan; 4). Perilaku. Pertanyaan yang sering timbul ialah mengenai peran promosi kesehatan terhadap faktor keturunan. Pemaknaan yang keliru menyatakan bahwa promosi kesehatan tidak akan memberi pengaruh apapun terhadap penyakit yang diakibatkan oleh faktor keturunan. Padahal hasil-hasil
penelitian terdahulu menunjukkan bahwa beberapa penyakit yang disebabkan faktor keturunan, ternyata keturunan, bukan merupakan penyebab tunggal. Misalnya, hanya sekitar 55-60% penyakit alergi pernapasan disebabkan oleh faktor keturunan, sedangkan sisanya diakibatkan oleh adanya polusi lingkungan hidup. (Prayogo, 2005:5). Demikian pula obesitas, disamping disebabkan faktor keturunan juga disebabkan oleh faktor-faktor lain, yaitu: 1). Terlalu banyak makan. Bila makan lebih banyak dari yang sebenarnya dibutuhkan oleh tubuh, maka kelebihan tersebut akan disimpan sebagai lemak dalam tubuh. 2). Depresi, sehingga terdorong untuk banyak makan, sebagai akibat suatu stress psikologi kehamilan, dan melahirkan. 3). Pada kasus-kasus yang jarang, obesitas bisa disebabkan oleh metabolisme tubuh yang rendah, sehingga tubuh hanya membutuhkan tenaga yang minimal untuk aktivitasnya. 4). Kurang aktifnya kelenjar tiroid (hypothyroidism) yang biasanya dialami oleh wanita setengah baya. (Prayogo, 2005:20). Coronary Cardiac Disease dapat disebabkan oleh faktor keturunan, namun dapat pula diakibatkan oleh faktor-faktor lain, yaitu: 1). Berkaitan dengan meningkatnya umur seseorang. 2). Terlalu berlebihan merokok. 3). Hipertensi (tekanan darah tinggi). 4). Diabetes (kencing manis). 5). Obesitas (kegemukan). 6). Kurang berolah raga (kurang aktivitas fisik). (Prayogo, 2005:31). Penyakit diabetes, hingga dewasa ini belum diketahui penyebabnya secara pasti. Faktor keturunan masih merupakan kemungkinan, disamping kemungkinan lain, yaitu kelenjar pankreas rusak, dikarenakan beberapa faktor seperti: terlalu banyak mengkonsumsi makanan berlemak dan berkadar gula tinggi, tetapi kurang aktivitas gerak (berolah raga) yang menyebabkan terjadinya penimbunan gula yang bisa merusak kelejar pankreas, sehingga kelenjar pankreas tidak cukup mengeluarkan insulin yang menyebabkan gula dan hidrat arang yang terkandung dalam makanan atau minuman sebagian besar terbuang karena tidak bisa diubah menjadi glukogen. Kadar glukosa dalam darah lebih tinggi dari keadaan normal sehingga glukosa masuk ke dalam air seni. (Prayogo, 2005:38). Demikian pula rheumatoid artritis. Faktor keturunan dapat mengakibatkan penyakit tersebut, apabila faktor genetik berbenturan dengan faktor risiko lingkungan tertentu, terjadilah kekacauan daya tahan tubuh atau gangguan autoimum (gangguan kegagalan daya diskriminasi endogenendogen pada sistem imun, sehingga bahan/zat yang berasal dari tubuh sendiri, dianggap sebagai bahan asing, dan terhadapnya dibentuk zat anti). Gangguan autoimum mencetuskan rheumatoid artritis. (Prayogo, 2005:65). Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keempat determinan tingkat derajat kesehatan masyarakat, yaitu keturunan, pelayanan kesehatan, lingkungan dan perilaku masyarakat, dapat dikombinasikan melalui promosi kesehatan yang dapat meningkatkan awareness, change behavior, and create environments that support good health practices, sebagaimana dikemukakan oleh Glanz, et al di atas. PROMOSI KESEHATAN DALAM PENDIDIKAN NONFORMAL Dalam sistem pendidikan nasional Indonesia, dibedakan antara (1) pendidikan formal, (2) pendidikan nonformal, dan (3) pendidikan informal, dengan pembedaan sebagai berikut: 1). Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang, yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. 2). Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. 3). Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. (UU 20/2003). Melalui tiga jenis pendidikan tersebut, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (UU 20/2003). Berdasarkan rumusan tersebut, jelas bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa Indonesia, yang antara lain bertujuan untuk mengembangkan kesehatan peserta didik.
Agar pendidikan informal sebagai jalur pendidikan keluarga dan lingkungan dapat efektif dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, diperlukan kesadaran dan pemahaman pimpinan keluarga dan lingkungan tentang kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, promosi kesehatan harus menjangkau seluruh lapisan keluarga yang secara moril ikut bertanggung jawab terhadap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Eksistensi peran tersebut, juga menjadi ranah pendidikan formal. Namun karena pendidikan formal mempunyai struktur dan kurikulum yang relatif baku dan universal, sehingga dalam mengejawantahkan konsep-konsep promosi kesehatan menghadapi constraints fleksibilitas waktu dan kurikulum. Fleksibilitas yang lebih luas justru lebih dimiliki oleh pendidikan nonformal. Peran pendidikan nonformal menjadi lebih penting, pada saat pengangguran meningkat karena keterbatasan kesempatan kerja disertai lemahnya kemampuan masyarakat untuk melanjutkan studi di pendidikan formal. Gejala tersebut justru tampak di Indonesia. Di samping relatif mahalnya biaya pendidikan formal, sementara program pendidikan gratis belum efektif secara nasional, Indonesia juga masih menghadapi pengangguran struktural yang tinggi, yaitu “unemployment that results because the number of jobs available in some labor markets is insufficient to provide a job for everyone who wants one”. (Manliw, 2004:607). Gejala faktual tersebut menunjukkan bahwa masyarakat sangat membutuhkan pendidikan nonformal, terutama untuk memenuhi tuntutan kebutuhan kerja yang mensyaratkan berbagai spesifikasi pekerjaan. Kondisi ini muncul karena jalur pendidikan formal tidak sanggup memberikan bekal keterampilan atau kecakapan kerja kepada para alumninya sesuai spesifikasi pekerjaan yang dipersyaratkan dunia kerja, sehingga memerlukan kontribusi jalur pendidikan nonformal untuk memberikan tambahan keterampilan/kecakapan. Fakta fenomenal inilah yang menuntut kehadiran kebijakan pendidikan nonformal, terutama untuk memadati dan memenuhi kebutuhan keterampilan dan kecakapan kerja yang dipersyaratkan dunia kerja. Dengan kondisi seperti ini, maka kebijakan pendidikan nonformal merupakan urgensi yang tidak mungkin ditunda kehadirannya berikut aplikasinya di lapangan. (Alifuddin, 2011:4). Adanya fleksibilitas dalam proses pembelajaran serta kurikulum yang ditawarkan oleh programprogram pendidikan nonformal, merupakan ranah yang sangat feasible untuk mengembangkan eksistensi promosi kesehatan dalam kerangka upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat di Indonesia. Peningkatan promosi kesehatan melalui proses pembelajaran pada program pendidikan nonformal, diharapkan secara makro dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, apalagi bila disadari bahwa peserta didik pada program-program pendidikan nonformal, umumnya masih usia muda dan produktif, sehingga pengembangan promosi kesehatan mempunyai makna antisipatif dan furtural, sebagai visi promosi kesehatan, yaitu keadaan dimana individu-individu dalam rumah tangga (keluarga) masyarakat Indonesia telah melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dalam rangka: 1). Mencegah timbulnya penyakit dan masalah-masalah kesehatan lain 2). Menanggulangi penyakit dan masalah-masalah kesehatan lain 3). Memanfaatkan pelayanan kesehatan 4). Mengembangkan dan menyelenggarakan upaya kesehatan bersumber masyarakat (Sinta, 2011:88) PENUTUP Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa promosi kesehatan sangat dibutuhkan bagi masyarakat dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Pemerintah dengan partisipatif seluruh komponen masyarakat, perlu memberikan pelayanan masyarakat sebagai bagian dari promosi kesehatan, yang dilaksanakan melalui jalur-jalur komunikasi yang tersedia, baik jalur formal maupun informal, utamanya melalui program-program yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga pendidikan. Mengacu pada pengelompokan pendidikan dalam sistem pendidikan nasional Indonesia, peran promosi kesehatan sangat besar pada pendidikan nonformal karena fleksibilitasnya dalam proses pembelajaran maupun karena variatifnya kurikulum yang ditawarkan.
DAFTAR PUSTAKA Alifuddin, Moh., H. Kebijakan Pendidikan Nonformal. Teori, Aplikasi dan Implikasi. Jakarta: MAGNAScript Publishing, 2011. Daft, Richard L. New Era of Management. Tenth Edition, International Edition. Mason: SouthWestern, 2012. Didik Sarudji. Kesehatan Lingkungan. Bandung: Karya Putra Darwati, 2010. Ganoulis, Jacques. Risk Analysis of Water Pollution. Second Edition. Weinheim: WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, 2009. Glanz, Karen, Barbara K. Rimer, and K. Viswanath, eds., Health Behavior and Health Education. Theory, Research, and Practice. Fourth Edition. San Francisco: Jossey-Bass, 2008. Hariza Adnani. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika, 2011. Hartl, Daniel L., David Freifelder, and Leon A. Snyder. Basic Genetics. First Edition. Boston: Jones and Bartlett Publishers, Inc., 1988. Henslin, James M. Sociology. A Down-to-Earth Approach. Seventh Edition, International Edition. Boston: Allyn and Bacon, 2005. Juli Soemirat. Epidemiologi Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005. . Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011. Mankiw, N. Gregory. Principles of Economics. Third Edition, International Edition. Mason, Ohio: South-Western, 2004. Oswari, E. Penyakit dan Penanggulangannya. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2000. Prayogo Utomo. Apresiasi Penyakit. Pengobatan Secara Tradisional dan Modern. Jakarta: Rineba Cipta, 2005. Saleh Marzuki, H.M. Pendidikan Nonformal. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010. Schaefer, Richard T. Sociology. A Brief Introduction. Eighth Edition. International Edition. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc., 2009. Sinta Fitriani. Promosi Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011. Soekidjo Notoatmodjo. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, 2010. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Lembaran Negara R.I. Tahun 2003 Nomor 78.