Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
155
AKSARA Jurnal Pendidikan Nonformal
156
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
AKSARA Jurnal Pendidikan Nonformal ISSN: 2407-8018 Volume 03, Nomor 02 Maret 2017 Susunan Redaksi Penasehat: Direktur Pascasarjana Universitas Negeri Gorontalo Penanggung Jawab: Kaprodi PLS S2 (Dr. H. Rusdin Djibu, M.Pd.) Ketua Penyunting: Dr. Abdul Rahmat, M.Pd Mitra Bestari: Prof. Dr. H. Achmad Hufadz, M.Ed (UPI Bandung) Prof. Dr. H. Anik Ghufran, M.Pd (UNY Yogyakarta) Dr. Hj. Ruslin W. Badu, M.Pd. (UNG Gorontalo) Pelaksana Tata Usaha: Dr. Isnanto, M.Ed. Hasyim Ishak, S.Pd.
Alamat Redaksi: Lt. 2 Gedung Pascasarjana Universitas Negeri Gorontalo Jl. Jend. Soedirman No. 06 Gorontalo 96128 e-mail:
[email protected]
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
157
PENGANTAR REDAKSI
Segala puji bagi Allah yang karena nikmatnya, sempurnalah kebaikan. Dialah yang telah menunjukkan kita untuk melakukan semua ini. Dalam bentuk yang paling umum pendidikan luar sekolah ada dalam kehidupan pada setiap masyarakat, baik masyarakat maju maupun masyarakat berkembang. Pendidikan luar sekolah bukan merupakan produk baru atau sebagai suatu inovasi, tetapi ada sejak manusia lahir di muka bumi. Sejak tahun 1950-an pendidikan luar sekolah mulai mendapat perhatian dari dunia pendidikan tinggi, perkembangannya dirancang oleh perencanaan pendidikan untuk pembangunan sehingga andilnya dalam pembangunan lebih mantap dan terarah. Kedudukan dan fungsi dalam sistem pendidikan nasional semakin jelas dan terarah. Pendidikan Luar Sekolah adalah setiap kesempatan dimana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar sekolah dan seseorang mendapat informasi, pengetahuan, latihan maupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan hidupnya dengan tujuan mengembangkan tingkat keterampilan, sikap dan nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarganya, pekerjaannya bahkan lingkungan masyarakat dan negaranya. Pendidikan luar sekolah merupakan segala bentuk kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan mulai dari keluarga sampai masyarakat di luar sekolah formal, pendidikan luar sekolah mengandung konsep pendidikan sepanjang hayat. Dari kutipan di atas jelaslah bahwa pada dasarnya Pendidikan Luar Sekolah ada sejak manusia dilahirkan, dimana terdapatnya kesempatan di antara manusia untuk saling memberikan informasi, pengetahuan, keterampilan guna peningkatan taraf hidupnya. Lahirnya AKSARA sebagai jurnal pendidikan nonformal hadir di hadapan pembaca budiman sebagai tuntutan dari berbagai pihak. Pedagogika diterbitkan oleh Prodi PLS Pascasarjana Universitas Negeri Gorontalo. Terbit empat kali setahun. Dewan Redaksi mengundang pakar, pemerhati, dan pelaksana pendidikan untuk menyampaikan gagasan atau hasil-hasil pengalaman/penelitian empiris di bidang peningkatan mutu pendidikan. Gagasan atau pengalaman/penelitian hendaknya dituangkan dalam bentuk tulisan ilmiah seperti dipersyaratkan pada Petunjuk Penulisan Naskah pada halaman akhir Jurnal ini. Akhirnya kepada semua pihak yang membantu terselesaikannya jurnal ini kami haturkan terima kasih semoga amal kita semua langsung maupun tidak, dibalas setimpal oleh Allah Swt. Redaksi menyadari bahwa diperlukan elaborasi eksistensi dan konsistensi dalam pengembangan edisi yang akan datang, dengan rasa keterbatasan dan kemampuan, penulis berharap tegur sapa dan kritik dari segenap pembaca demi perbaikan selanjutnya.
Redaksi
158
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
DAFTAR ISI
KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI KABUPATEN GORONTALO Aziz Salam …………………………………..155 VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA ALAM SUB DAS BIYONGA DALAM KAWASAN DAS LIMBOTO DI KABUPATEN GORONTALO Ahmad Fadhli ……………………………………175 TENTANG KANDUNGAN TANIN DAN FLAVONOID YANG TERDAPAT PADA BUAH, BATANG DAN DAUN TUMBUHAN MANGGROVE (SONNERATIA ALBA) MELALUI PROSES EKSTRAKSI Rieny Sulistijowati S. …………………………187 BAHASA DAERAH GORONTALO DAN FUNGSINYA SEBAGAI MEDIUM SASTRA GORONTALO Sance A. Lamusu ,………………………………..201 MENINGKATKAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU MELALUI PELATIHAN BERJENJANG DI SMP NEGERI 4 MARISA Trisnawaty B. Utiarahman ………………………………..211 PENERAPAN PEMBELAJARAN METODE TUPAKARJI DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PADA MATA PELAJARAN IPS (SEJARAH) SISWA KELAS V SEMESTER 2 MIN LUWUK KABUPATEN BANGGAI Ilmawati Kasim ………………………………………….223 ANALISIS PENGUASAAN SANTRI TERHADAP KITAB KUNING BAERDASARKAN BERDASARKAN POLA PEMBINAAN (STUDI KASUS PONDOK PESANTREN AL-HUDA PROVINSI GORONTALO) Abd. Rasyid Kamaru …………………………………..235 MENINGKATKAN PEMAHAMAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN IPS DENGAN MATERI UPAYA MEMPERTANKAN KEMERDEKAAN RI MELALUI PENERAPAN METODE TANYA JAWAB DI KELAS VIISMP NEGERI 4 LIMBOTO BARAT Sarwin L.Bauka………………………………….. 251 MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA MENDESKRIPSIKAN GAMBAR TUNGGAL DENGAN KATA-KATA SEDERHANA MELALUI METODE PEMBERIAN TUGAS DI KELAS II SDN 77 KOTA TENGAH KOTA GORONTALO Ina Zakaria ……………………………………………261 MENINGKATKAN GERAK DASAR MENDRIBBLE DALAM PERMAINAN BOLA BASKET MELALUI METODE KOOPERATIFE TIPE STAD SISWA KELAS V SDN NO. 77 KOTA TENGAH KOTA GORONTALO Risna Abdullah …………………………………………267
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
159
TINJAUAN SOSIO-YURIDIS PENGHUNI RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA (RUSUNAWA) Candra Cuga ………………………………………277 METODE PENGUKURAN ENERGI GELOMBANG PASANG SURUT BERDASARKAN REKAMAN CITRA TIMELAPSED PERMUKAAN FLUIDA Dewa Gede Eka Setiawan ……………………..289
160
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI KABUPATEN GORONTALO Aziz Salam Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis status keberlanjutan perikanan tangkap ikan cakalang di Kabupaten Gorontalo berdasarkan lima aspek yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan, dan merumuskan suatu rekomendasi strategi untuk mendukung keberlanjutannya. Penelitian tersebut telah dilaksanakan di Kabupaten Gorontalo pada bulan Maret sampai Agustus 2016. Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah metode survey berupa Kuisioner. Sedangkan untuk analisis status keberlanjutannya menggunakan Rappid Appraisal for Fisheries (RAPFISH), dan untuk menyusun prioritas strategi menggunakan analisis SWOT (Strenght, Weaknesess, Opportunities, and Threath). Hasil penelitian menunjukan bahwa status keberlanjutan perikanan tangkap ikan Cakalang dimensi ekologi 85,30 (berkelanjutan), ekonomi 72,90 (berkelanjutan), sosial 57,93 (cukup berkelanjutan), teknologi 57,94 (cukup berkelanjutan), dan kelembagaan 44,67 (kurang berkelanjutan). Apabila dilihat secara multidimensi, kegiatan perikanan tangkap ikan cakalang di Kabupaten Gorontalo dalam keadaan cukup berkelanjutan dengan nilai IKP (Indeks Keberlanjutan Perikanan) sebesar63,14. Strategi yang perlu dilakukan dalam pengelolaan perikanan tangkap ikan cakalang adalah1) Perumusan kebijakan pengelolaan perikanan cakalang berkelanjutan, 2) Pengembangan sarana prasarana penunjang, 3) Perbaikan database sumberdaya perikanan cakalang,4)Pengembangan usaha pengolahan ikan cakalang,5) Pengawasan mandiri melalui kelompok masyarakat,6) Pemetaan daerah penangkapan ikan cakalang, 7)Kerjasama lintas sektor dalam pengawasan sumberdaya ikan, 8) Mempermudah akses pendidikan formal dan informal, 9) Kerjasama terkait permodalan dan teknologi, 10) Modernisasi armada dan alat tangkap dan perluasan daerah penangkapan dan 11) Standarisasi tempat pendaratan ikan. Kata kunci: Cakalang, RAPFISH, SWOT, Kabupaten Gorontalo. PENDAHULUAN Pembangunan perikanan Indonesia adalah salah satu usaha yang dapat diandalkan saat ini maupun masa yang akan datang, karena dapat memberikan kontribusi ekonomi pada sebagian penduduk Indonesia. Sektor perikanan menghasilkan produk perikanan berupa bahan makanan yang dibutuhkan oleh masyarakat sehingga menjadi salah satu sumber pendapatan negara disamping menjadi sumber mata pencaharian masyarakat nelayan yang berada dikawasan pantai. Indonesia dengan wilayah lautnya yang sangat luas memiliki potensi sumberdaya perikanan yang sangat besar dari segi kuantitas maupun keanekaragamannya. Sumberdaya ikan yang terdapat di wilayah perairan laut
Indonesia diantaranya : ikan tuna, cakalang, tongkol, tenggiri, kakap, cumicumi dan ikan karang lainnya. Indonesia memasok lebih dari 16% produksi tuna, cakalang dan tongkol dunia. Volume ekspor tuna, cakalang, dan tongkolpada tahun 2013, mencapai sekitar 209.410 ton dengan nilai $ 764,8 juta. Indonesia juga merupakan negara kontributor terbesar diantara 32 negara anggota IOTC (Indian Ocean Tuna Commission) dengan rata-rata produksi tahun 20092012 sebesar 356.862 ton/tahun (25,22%). Kontribusi dari hasil produksi perikanan tangkap nasional, sekitar 20% termasuk dari Teluk Tomini (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2014).
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
161
Kawasan TelukTomini yang berada dalam wilayah administrasi Provinsi Gorontalo merupakan kawasan yang mempunyai nilai ekologi, ekonomi, dan sosial yang sangat berarti bagi kelangsungan hidup masyarakat di sekitarnya. Perikanan di wilayah Teluk Tomini merupakan salah satu bidang yang diharapkan dapat menjadi penopang perekonomian masyarakat,karena sektor perikanan Teluk Tomini memiliki potensi sumberdaya ikan yang besar dalam jumlah dan keragamannya (Fauzan, 2011). Total produksi perikanan di Teluk Tomini disumbangkan oleh tiga Provinsi yaitu Provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Gorontalo, 2015). Salah satu Kabupaten penyumbang produksi perikanan tangkap di Provinsi Gorontalo adalah Kabupaten Gorontalo. Kabupaten Gorontalo cukup potensial untuk pengembangan potensi perikanan tangkap termasuk pengembangan produksi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis). Kabupaten Gorontalo dengan panjang garis pantai sekitar 79,6 Km (13,6 % dari panjang pantai Provinsi Gorontalo) yang secara dominan memiliki karakteristik pantai berbatu/berpasir. Wilayah pesisir Kabupaten Gorontalo mencapai kurang lebih 587,6 km² yang membentang di 3 (tiga) kecamatan yaitu Kecamatan Batudaa Pantai, Biluhu dan Bilato dengan jumlah wilayah desa mencapai 21 desa pesisir. Kabupaten Gorontalo dengan aktifitas kegiatan penangkapan ikan
156
oleh nelayan setempat di daerah ini, sebagian besar menggunakan alat dan metode penangkapan yangdikenal berdasarkan kebiasaan turun-temurun. Tingkat pendidikan nelayan yang relatif rendah menyebabkan berkurangnyaakses mereka terhadap teknologi, sarana produksi dan permodalan. Akibatnya, jangkauan dan kapasitas penangkapan relatifkecil, hasil tangkapan tidak menentu yang berakibat pada kemiskinan nelayan tersebut. Pemilihan dan pengembangan teknologi penangkapanikan cakalang (Katsuwonus pelamis) menjadi tujuan penangkapan yang tidak merusak kelestarian sehingga efektif untuk dikembangkan, serta menyerap tenaga kerja danmemberikan tingkat pendapatan memadai yang secara ekonomis memberikan keuntungan. Keberlanjutan pengelolaan dan pemanfaatansumberdaya perikanan yang lestari dapat memberi manfaat besar kepada kesejahteraan masyarakat (Syam et al.2007). Jumlah produksi hasil tangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)di Kabupaten Gorontalo dari tahun 2011 – 2015 menunjukkan kecenderung peningkatan setiap tahunnya meskipun terdapat sedikit fluktuasi.Penurunan hasil tangkapan ikan cakalang terjadi pada tahun 2014 yakni 1.815,5 ton/tahun, dibandingkan pada tahun 2015 yang meningkat kembali menjadisebesar 2.077,8 ton/tahun (Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan, 2015). Data hasil tangkapan secara lengkap disajikan pada Gambar 1.
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
Produksi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Kabupaten Gorontalo (dalam Skala Ton) 2500 1998.2 2000 1500
2077.8 1815.5
1098.9
1000 519.2 500 0 2011
2012
2013
2014
2015
Gambar 1.Produksi Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) di Kabupaten Gorontalo (Sumber : Data Statistik Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan Kab. Gorontalo, 2011-2015)
Produksi tangkapan ikan cakalang di Kabupaten Gorontalo dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2015 menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan.Penurunan hasil tangkapan terjadi pada tahun 2014. Produksi hasil tangkapan yang cenderung meningkat secara cepat dari tahun ketahun tersebut bisa menimbulkan masalah baru di masa yang akan datang, apabila pemanfaatan sumberdaya ikan cakalang tidak memperhatikan daya dukung sumberdaya ikan yang ada sehingga dikhawatirkan terjadi tangkapan berlebih (overfishing). Pemerintah daerah terus melakukan upaya peningkatan kemampuan kapasitas penangkapan ikancakalang, seperti : pemberian bantuan armada maupun alat tangkap sehingga jumlah nelayan ikan cakalang semakin meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan analisis keberlanjutan perikanan tangkap ikan cakalang di perairan Kabupaten Gorontalo. Untuk itu, penentuan strategi pengembangan
dan pengelolaan perlu dilakukan sehinggausaha penangkapan ikandapat tetap berkelanjutan tanpa mengurangi manfaatnya dimasa kini maupun masa yang akan datang. TINJAUAN PUSTAKA A. Perikanan Tangkap Indonesia Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPPRI) merupakan wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, konservasi, penelitian dan pengembangan perikanan yang meliputi pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, dan zona ekonomi ekslusif Indonesia (ZEEI).Komisi nasional pengkajian sumberdaya ikan (KOMNASJISKAN) melakukan penentuan 11 WPP-RI sesuai standar internasional FAO (Food and Agriculture Organization of The United Nations) dimana penomoran dan pembagian wilayah berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 01/MEN/2009.
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
157
Perairan Kabupaten Gorontalo/ Teluk Tomini (WPP 8)
Gambar 2.Wilayah Perikanan Laut berdasarkan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI) (Sumber: KKP-RI,2014)
Potensi sumberdaya laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton/tahunyang terdiri dari ikan pelagis besar sekitar 1,165 juta ton/tahun, ikan pelagis kecil sekitar 3,605 juta ton/tahun, demersal sekitar 145 juta ton/tahun dan udang termasuk cumicumi sekitar 0,128 juta ton/tahun(Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2014). Menurut Dahuri (2004), perikanan tangkap di Indonesia dikelompokkan atas tiga yaitu : 1) Perikanan Lepas Pantai; 2) Perikanan Pantai dan 3) Perikanan Darat. Perikanan tangkap di lokasi perairan pesisir saat ini telah mengalami kelebihan tangkap dan mengalami permasalahan yang kompleks dalam pengelolaan dan pemanfaatan berlebih pada sumberdaya yang terbatas. Pengoperasian alat tangkap yang merusak, konflik dan sistem regulasi yang tidak memadai menjadi kontributor dalam menunjang kerusakan sumberdaya perikanan (Fitriantiet al.2013). Perikanan tangkap adalah suatu kegiatan pemanfaatan sumberdaya hayati laut maupun perairan umum
158
melalui penangkapan ikan ataupun pengumpulan hewan dan tumbuhan air lainnya. Wandri (2005), menyatakan bahwa hasil tangkapan ikan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup nelayan dan keluarganya dengan cara mengkonsumsi langsung atau memasarkannya dalambentuk segar ataupun olahan ikan. Sipahelut (2010), menjelaskan bahwa klasifikasi alat tangkap terbagi atas 2 (dua) bentuk pengoperasian yaitu: jenis alat tangkap yang pasif dan alat tangkap yang aktif. Alat tangkap pasif seperti perangkap, jaring insang, dan alat tangkap pancing. Alat tangkap aktif adalah dredges, trawl dan cast net. Pengetahuan dan pengalaman tentang tingkah laku ikan akan sangat dibutuhkan untuk membuat konstruksi alat tangkap pasif maupun aktif sehingga alat tangkap tersebut dapat efektif dan efisien. B. Klasifikasi dan Morfologi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) merupakan ikan pelagis besar yang memiliki tubuh membulat, memanjang dan mempunyai garis
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
lateral. Ciri-ciri ikan cakalang adalah terdapatnya 4 – 6 garis berwarna hitam dan memanjang di samping badan. Ikan cakalang pada umumnya memiliki panjang antara 30-80 cm dengan berat 0,5 – 11,5 kg. Maksimum ukuran fork
length ikan cakalang dapat mencapai 108 cm dan berat 32, 34,5 kg, sedangkan ukuran umum yang tertangkap dapat mencapai40–80cm (Collete, 1983).
Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan cakalang adalah sebagai berikut : Phylum : Chordata Class : Actinopterygii Ordo : Perciformes Famili : Scombridae Genus : Katsuwonus Species : Katsuwonus pelamis
Gambar 3. Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)
(Sumber : Foto Pribadi, 2016) Collete (1983)menjelaskanbahwa ciri-ciri morfologi ikan cakalang yaitu tubuh berbentuk fusiform, memanjang dan agak bulat, tapis insang (gill rakes) berjumlah 53- 63 pada helai pertama. Mempunyai dua sirip punggung yang terpisah. Pada sirip punggung yang pertama terdapat 14-16 jari-jari keras, jari-jari lemah pada sirip punggung kedua diikuti oleh 7-9 finlet. Sirip dada pendek, terdapat dua flops diantara sirip perut. Sirip anal diikuti dengan 7-8 finlet. Badan tidak bersisik kecuali pada barut badan (corselets) dan lateral line terdapat titik-titik kecil. Bagian punggung berwarna biru kehitaman (gelap) disisi bawah dan perut keperakan, dengan 4-6 buah garis-garis berwarna hitam yang memanjang pada bagian samping badan. Cakalang termasuk ikan perenang cepat dan mempunyai sifat makan yang rakus. Ikan jenis ini sering bergerombol yang hampir bersamaan melakukan ruaya disekitar pulau maupun jarak jauh dan senang melawan arus, ikan ini biasa bergerombol diperairan hingga kedalaman 200 m (Suwartana, 1986). Ikan ini mencari
makan berdasarkan penglihatan dan rakus terhadap mangsanya. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)menyebar luas diseluruh perairan tropis dan sub tropis pada lautan Atlantik, Hindia dan Pasifik, kecuali laut Mediterania. Penyebaran ini dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu penyebaran horizontal atau penyebaran menurut letak geografis perairan dan penyebaran vertikal atau penyebaran menurut kedalaman perairan. Populasi ikan cakalangyang ada di perairan Teluk Tomini sebagian besar berasal dari Samudera Pasifik dan memasuki perairan mengikuti arus dan melakukan pemijahan di perairan tersebut. Penyebaran geografis dan kelimpahan ikan cakalang dipengaruhi migrasi untuk mencari daerah baru yang kaya akan sumber makanan. Lokasi penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) di tentukan oleh musim yang berbeda untuk setiap perairan. Penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) secara umum dapat dilakukan sepanjang tahun. Hasil yang diperoleh berbeda dari musim ke
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
159
musim dan bervariasi menurut lokasi penangkapan. Musim hasil penangkapan lebih banyak dari biasanya disebut musim puncak dan musim hasil penangkapan sedikit disebut musim paceklik (Munirah, 2015). C.
Keberlanjutan Perikanan Tangkap Adrianto (2004), menyatakan bahwa sejarah keberlanjutan perikanan diawali dengan munculnya paradigma konservasi oleh para ilmuan biologi. Keberlanjutan perikanan diartikan sebagai konservasi jangka panjang sehingga sebuah perikanan akan disebut “berkelanjutan” apabila mampu melindungi sumberdaya perikanan dari kepunahan. Keberlanjutan perikanan disini berawal dari konsep keberlanjutan hasil tangkapan (sustainability yields).Konsep berkelanjutan adalah pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi dan sosial (Munasinghe, 2002). Hamdan (2007), menyatakan bahwa konsep pembangunan perikanan berkelanjutan mengandung aspek : 1. Keberlanjutan Ekologi : memelihara keberlanjutan stok atau biomas sehingga melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem dengan perhatian utama; 2. Keberlanjutansosial-ekonomi : memperhatikan keberlanjutan kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu, mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat
yang lebih tinggi merupakan perhatian keberlanjutan; 3. Keberlanjutan teknologi : mengembangkan perikanan dan teknologi yang mampu menumbuhkan industri dan mengamankan sumberdaya secara konsisten dan bertanggung jawab; 4. Keberlanjutan hukum / kelembagaan : menyangkut pemeliharaan aspek finansial dan administrasi yang sehat sebagai prasyarat ketiga pembangunan perikanan. Tujuan perikanan berkelanjutan yaitu memelihara stok sumberdaya perikanan dan melindungi habitatnya. Pengelolaan sumberdaya perikanan untuk pembangunan yang berkelanjutan bersifat multi dimensi dan aktivitas bertingkat (multilevel activities), yang harus mempertimbangkan lebih banyak aspek dibandingkan dengan daya tahan hidup ikan dan perikanan itu sendiri (FAO, 2001). Menurut McGoodwin (1990), dalam menganalisis sumberdaya perikanan, konsekuensi sosial dan ekonomi harus diperhitungkan sama halnya dengan konsekuensi teknologi dan kelembagaan. Hermawan (2006), menyatakan bahwa tantangan bagi pengelolaan perikanan adalah menilai keberlanjutan sumberdaya tersebut dengan pendekatan yang bersifat multi disiplin yang mampu mengintegrasikan beberapa aspek yang beragam tersebut. FAO telah mengembangkan beberapa contoh kriteria untuk masing-masing dimensi dalam Sustainable Developmen Reference System (SDRS) seperti tertera dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Analisis Dimensi Pembangunan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan. No Dimensi Kriteria Ekonomi Volume produksi Nilai produksi Kontribusi perikanan Nilai ekspor perikanan (dibandingkan dengan total nilaiekspor) 1 Investasi dalam armada perikanan dan fasilitaspengolahan Pajak dan subsidi Tenaga kerja (employment) Pendapatan 2
160
Sosial
Angkatan kerja/partisipasi
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
Demografi Pendidikan Konsumsi protein Pendapatan Tradisi/budaya Hutang Distribusi gender dalam pengambilan keputusan Ekologi
Komposisi hasil tangkapan Kelimpahan relatif spesies Tingkat pemanfaatan Dampak langsung alat tangkap terhadap nonspesiestarget Dampak alat tangkap terhadap habitat Keaneka ragaman hayati Perubahan daerah dan kualitas dari habitat penting ataukritis Tekanan dari penangkapan (dibandingkan dengandaerah yang belum termanfaatkan)
Teknologi
Lama trip Tempat pendaratan Pengolahan pra-jual Penanganan di kapal Selektivitas alat Ukuran kapal Perubahan daya Efek samping alat
Kelembagaan
Kepatuhan terhadap sistem kelembagaan (complianceanregime) Hak kepemilikan (property right) Keterbukaan dan partisipasi Kemampuan untuk mengelola Tata kelembagaan yang baik (good governance)
3
4
5
Sumber :FAO Technical Guidlines for Responsible Fisheries No. 8. Indicator forSustainable Development of Marine Capture Fisheries (1999) (Hermawan, 2006) Tiga komponen penting pada sistem perikanan berkelanjutan yaitu : 1) sistem alam (natural system) yang mencakup ikan, ekosistem dan lingkungan biofisik; 2) sistem manusia (human system) mencakup nelayan, pengolah, pengguna, komunitas perikanan, lingkungan sosial, ekonomi dan budaya; dan 3) sistem pengolah perikanan (fisheries management system) mencakup perencanaan, kebijakan perikanan, manajemen perikanan dan pembangunan perikanan (Lukman, 2012).
Pembangunan sumberdaya yang berkelanjutan merupakan suatu proses pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia dengan cara menyerasikan aktifitas manusia sesuai dengan kemampuan daya dukung sumberdaya alam. Perairan laut bersifaf milik bersama (common resource), sehingga siapapun bisa memanfaatkan sumberdaya hayati yang ada didalamnya (Hamdan, 2007). Pemanfaatan laut agar tidak terjadi konflik,maka perlu dibuat peraturan perundang-undangan perikanan, baik
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
161
yang berlaku secara lokal, nasional, maupun internasional. D. Armada dan Alat Bantu Penangkapan Ikan Cakalang Armada penangkapan yang ada di Indonesia terdiri dari perahu motor tempel 233.530 unit (39.17%), perahu tanpa motor 205.460 unit (34.46%), dan kapal motor 157.240 unit atau 26.37%. Berdasarkan tipe kapal motor, terbagi dalam kategori ukuran bobot tonase, yang meliputi kapal motor berukuran < 5 GT (69.70%), 5-10 GT (19.33%), dan sisanya berukuran antara 30 GT sampai di atas 200 GT (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2015). Berdasarkan persentase dari komposisinya, maka disimpulkan bahwa perikanan tangkap Indonesia secara nasional masih rendah atau masih tradisional serta diikuti dengan kualitas teknologi dan sumberdaya manusia yang rendah pula. Alat tangkap yang digunakan untuk perikanan tangkap ikan cakalang skala kecil, umumnya pada masingmasing daerah relatif sama. Mamuaya (2007), menyatakan bahwa contoh alat tangkap skala kecil yang sering digunakan oleh nelayansekitar Manado yaitu kapal ikan berukuran 5 GT menggunakan pancing selar (noru), dan pancing ulur (hand line), sedangkan yang berukuran < 30 GT purse seine. Demikian juga halnya di Pantai Utara Jawa, di Jawa Tengah sebagian besar nelayannya menggunakan alat tangkap gill net, paying atau trammel net untuk kapal berukuran kurang dari 3-5 GT dan 5-10 GT, sedangkan untuk yang berukuran 10-20 GT menggunakan cantrang, dan diatas 200 GT biasanya menggunakan purse seine dan gillnet (Hermawan 2006). Nelayan ikan cakalangskala kecil sebagian besar menggunakan armada kapal berukuran < 3 GT, > 3 GT, 5 GT, 10 GTsampai dengan30 GT, rata-rata dalam melakukan upaya penangkapan di daerah penangkapan menggunakan alat bantu penangkapan ikan berupa rumpon.Alat bantu tersebut digunakan untuk mengumpulkan ikan dengan menggunakan berbagai bentuk dan jenis pemikat dari benda padat yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul. Nelayan menggunakan
162
rumpon sebagai alat bantu penangkapan karena rumpon mempunyai manfaat, yaitu : 1) sebagai tempat berteduh, beristirahat dan mencari makan ikan pelagis (ikan cakalang); 2) perolehan tingkat kepastian hasil tangkapan yang tinggi; 3) biaya oprasional relatif rendah; 4) memperpanjang masa tangkapan dari 6 bulan menjadi 10 bulan bahkan sampai 12 bulan (Hermawan, 2011). Penentuan peletakan posisi rumpon dilakukan sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman tentang pola migrasi ikan cakalang. Penentuan posisi rumpon untuk menjauhkan rumpon dari jangkauan kapal armada lain dengan kedalaman laut antara 3000 - 6000 meter sehingga dikategorikan sebagai rumpon laut dalam. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode survei yang meliputi observasi lokasi penelitian. Teknik penelitian survei digunakan secara deskriptif, yaitu suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran atau kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan penelitian deskriptif adalah membuat deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Fitriyanti et al. 2013). Jenis data pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder baik bersifat kuantitatif dan kualitatif. Data primer diperoleh langsung dari responden melalui teknik wawancara secara langsung, penyebaran kuisioner dan observasi lapangan. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat pesisir dan stakeholder perikanan di Kabupaten Gorontalo. Sampel responden diambil dengan menggunakan metode random purposive sampling, yaitu dilakukan dengan menggambil sampel dari populasi berdasarkan suatu kriteria tertentu secara acak (Hamdan, 2011). Jumlah pengambilan responden berasal dari pihak-pihak terkait yangterdiri dari nelayan, tokoh nelayan, pedagang perikanan, LSM, akademisi,
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
dan pemerintah terkait. Sumber data primer berasal dari pihak-pihak terkait yaitu sebesar 23 orang, yang terdiri dari 3 orang tokoh nelayan, 3 orang pedagang perikanan, 2 orang LSM, 1 orang akademisi, 5 orang aparat pemerintah, dan 9 orang nelayan. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan metode observasi dan pengukuran langsung dilapangan, serta wawancara terstruktur dengan bantuan kuisioner menyangkut 5 (lima) kategori data berdasarkan dimensi yaitu ekologi, sosial, ekonomi,teknologi dan kelembagaan. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi pustaka dengan cara mengumpulkan seluruh informasi yang berkaitan dengan kajian atau tujuan penelitian, baik yang berasal dari perpustakaan maupun dari berbagai instansi – instansi terkait (Dinas, Badan, Kantor dalam lingkup Pemerintah Kabupaten Gorontalo), dan berbagai informasi lainnya yang relevan dengan tujuan penelitian. Untuk memenuhi kriteria data yang relevan dengan pendekatan aplikasi Rapfish, maka kegiatan pengumpulan data dan tahapan penelitian yang dilakukan dilakukan sebagai berikut: 1. Desk study(kepustakaan), dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang umumnya merupakan data runut waktu (time series data). Metode desk study merupakan salah satu upaya untuk mempelajari informasi, data dan laporan yang mempunyai relevansi dengan tujuan penelitian. Data ini digunakan untuk mengisi kolomkolom nilai atribut Rapfish di lokasi studi. 2. Konsultasi ahli, untuk mengisi kolom-kolom yang belum terisi oleh informasi sekunder dan untuk mengklarifikasi kebenaran .
informasi yang sebelumnya telah terkumpul sehingga menjadi penyempurnaan informasi. 3. Verifikasi Lapangan. Untuk mendapatkan data akurat maka yang harus dilakukan menverifikasi langsung dilapangan yaitu : a. Untuk melakukan verifikasi, maka dilakukan wawancara dengan pengambil kebijakan lokal (dinas terkait, fakta-fakta terbaru dengan perkembangan laporan atau dokumen dinas, dan pengalaman lapang pejabat tertentu). Konten yang dibahas adalah jenis perikanan yang akan dianalisis dan dapat mewakili kawasan perairan tersebut dengan penentuan lokasi pengumpulan data primer berdasarkan konsentrasi kegiatan perikanan yang telah ditentukan sebelumnya. b. Wawancara dengan tokoh nelayan, nelayan, LSM, akademisi dan pedagang perikanan. Wawancara juga dilakukan dengan mengkonfirmasi langsung pada akademisi yang mengetahui perkembangan perikanan tangkap dimasa sekarang. Analisis sumberdaya perikanan merupakan salah satu analisis penting dalam teknik Rapfish, tetapi bukan merupakan penentu utama dalam menentukanstatus keberlanjutan perikanan karena keadaan sumberdaya hanya salah satu atribut pada salah satu dimensiyaitu dimensi ekologi selain dimensi ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan. Setiap dimensi dalam penelitian ini akan ditentukan oleh atributnya masing-masingmengikuti Prosedur dari Rapfishyang secara terstruktur dapat dilihat pada Gambar 7
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
163
MULAI
Review Atribut dalam beberapa kategori dan ktiteria
Identifikasi dan pendefinisian perikanan berdasarkan kriteria yang ditentukan
Skoring perikanan (mengontruksi reference point untuk good dan bad serta anchor.
Multidimensional Scaling Ordination (MDS)
Selesai Simulasi monte carlo untuk Analisis leverage untuk mengecek ketidakpastian dari7.Tahapan Analisis Rapfish (Sumber Gambar :Hermawan, anomaly 2011) atribut mengidentifikasi analisis yang dianalisis
Penilaian Keberlanjutan (Assess Sustainability)
PEMBAHASAN 1. Dimensi Ekologi Menurut Hartono (2005), Atribut pada dimensi ekologi mencerminkan baik-buruknya kualitas lingkungan dan sumberdaya perikanan tangkap berikut proses-proses alami yang terkait di dalamnya guna mendukung secara berkelanjutan setiap kegiatan ekologi yang dilakukan dalam perikanan tangkap. Hasil analisis dengan menggunakan perangkat lunak Rapfish menunjukkan bahwa indeks dimensi ekologi sebesar85,30yakni berkelanjutan.
164
Soesilo (2003), mengkategorikan nilai indeks pada skala dari 75– 100 yakni berkelanjutan. Gambar 9 menunjukan bahwa titik ordinasi dimensi ekologi berada pada kuadran negatif (down), hal ini disebabkan rata-rata atribut kunci (Lampiran 1) skoringnya rendah, sehingga harus ada perbaikan secara nyata pada atribut tersebut yang akan berdampak pada keberlanjutan perikanan cakalang pada dimensi ekologi.Hasil ordinasi Rapfish dimensi ekologi disajikan pada Gambar 9.
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
RAPFISH Ordination 60 Real Fisheries
UP 40
References
Anchors
20 Gambar 9.Hasil Ordinasi Rapfish Dimensi Ekologi Setelah nilai indeks dimensi ekologi diketahui, selanjutnya dilakukan analisis leverageattribute (pengungkit). Hasil analisis leverage atribute 0 BAD GOOD untuk dimensi ekologi ditujukan pada Gambar 10. 0 20 40 60 80 100 120 -20
85,30
-40 DOWN -60
Keberlanjutan Perikanan Tangkap Cakalang
Leverage of Attributes
Attribute
Gambar 10.Analisis Leverage AttributeDimensi Ekologi Produktifitas primer
3,32
Tangkapan samping yang terbuang
3,16
Ikan cakalang yang tertangkap sebelum dewasa
3,06
Ukurang ikan cakalang yang tertangkap
2,94
Penurunan spesies pada geografis yang sama
2,68
Jangkauan daerah penangkapan
9,98
Status eksploitasi atau penangkapan cakalang di…
4,44
0
Beberapa atribut yang berpengaruh pada dimensi ekologi yaitu: 1. Jangkauan Daerah Penangkapan Semakin jauhnya jangkauan daerah penangkapan, mengindikasikan
2
4
6
8
10
12
bahwa telah terjadi penurunan daya dukung lingkungan di perairan Kabupaten Gorontalo sedikit terganggu. Hal tersebut terjadi dari berbagai faktor seperti kerusakan
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
165
ekositem tempat tinggal ikan cakalang sehingga nelayan harus melakukan penangkapannya sampai pada jarak > 7 mil. Strategi yang dapat dikembangkan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan moderenisasi armada penangkapan sehingga jangkauan penangkapan nelayan bisa lebih jauh. 2. Status Eksploitasi Ikan Cakalang Dari segi dimensi ekologi, menunjukkan kondisi sumber daya ikan cakalang hampir mengalami overfishing. Hal ini disebabkan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan belum memperhatikan kelestarian sumber daya yang berdampak pada terjadinya peningkatan degradasi lingkungan pesisir. Laju eksploitasi berbanding terbalik dengan ketersediaan stok
ikan diperairan. Eksploitasi berlebihan terjadi dengan cara meningkatnya jumlah armada tangkap, jumlah trip dan jumlah alat tangkap yang tidak memperhatikan kelestarian ikannya . 3. Dimensi Ekonomi Kegiatan penangkapan ikan cakalang diharapkan memberi keuntungan pada peningkatan pendapatan nelayan yang secara merata dan terus menerus sehingga memberikan nilai ekonomi pada nelayan. Dimensi ekonomi ialah kemampuan dari satu kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap dalam memperoleh hasil ekonomis yang berlangsung secara terus menerus dan jangka panjang. Hasil ordinasi Rapfishdimensi ekonomi seperti pada Gambar 11.
RAPFISH Ordination 60
UP Other Distingishing Features
40 20 Real Fisheries 0
GOOD
BAD 0
20
40
60 72,90 80
100
-20
120
References Anchors
-40 DOWN -60 Fisheries Sustainability Gambar 11.Hasil Ordinasi RapfishDimensi Ekonomi Hasil ordinasi Rapfish dimensi ekonomi menunjukkan nilai indeks 72,90. Hasil tersebut menunjukkan bahwa perikanan tangkap ikan cakalang di Kabupaten Gorontalo berada pada
166
status cukup berkelanjutan. Titik ordinasi dimensi ekonomi berada pada kuadran negative (down), hal ini disebabkan rata-rata atribut kunci (Lampiran 1) skoringnya rendah,
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
perbaikan pada setiap atribut kunci tersebut diharapkan akan mampu mendukung tercapainya keberlanjutan perikanan tangkap cakalang. Selanjutnya dilakukan analisis leverageatribute(pengungkit) terhadap
dimensi ekonomi yang bertujuan untuk mengetahui faktor pengungkit yang sensitif terhadap indeks keberlanjutan dimensi ekonomi yang dilihat pada Gambar 12.
Leverage of Attributes Pihak yang diuntungkan
2,96
Attribute
Pasar
5,05
Subsidi
9,94
Pendapatan rata-rata nelayan
2,41
Kontribusi terhadap PDRB
5,91
Keuntungan
3,32 0
2
4
6
8
10
12
Gambar 12.Analisis LeverageAttribute Dimensi Ekonomi
Terdapat 2 (dua) atribut yang mempengaruhi keberlanjutan perikanan tangkap ikan cakalang di Kabupaten Gorontalo pada dimensi ekonomi yaitu : 1. Subsidi Pemerintah Usaha penangkapan ikan cakalang cukup tergantung pada subsidi pemerintah. Daerah penangkapan yang semakin jauh dari garis pantai bisa menghabiskan 240– 400 liter BBM persatu kali operasi penangkapan, selain itu operasional alat bantu penangkapan berupa genset untuk penerangan juga memerlukan biaya yang cukup besar. Dilihat dari sudut pandang ekonomi kelestarian, pengurangan subsidi justru akan berimplikasi baik terhadap keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ikan,
karena pemberian subsidi akan mengurangi biaya total dalam penangkapan sehingga pengusaha nelayan akan mendapatkan keuntungan maksimal. Tingkat keuntungan yang tinggi tentu akan mengundang masuknya nelayan baru pada daerah penangkapan yang menguntungkan tersebut. 2. Kontribusi terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu umumnya diukur melalui laju konstan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Pemerintah Kabupaten Gorontalo menempatkan perikanan sebagai salah satu sub sektor dalam sektor pertanian, dimana sektor ini berkontribusi sebesar 39% kepada
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
167
PDRB. Daripersentase tersebut, sub sektor perikanan berperan sangat kecil yaitu 1,2% pada tahun 2014. Sumbangan sub sektor lainnya adalah kehutanan 2,1%, tanaman bahan makanan 5,2%, tanaman perkebunan 21,4% dan peternakan 9,1%. Kecilnya kontribusi sub sektor perikanan dibanding sub sektor lainnya, dipengaruhi oleh rendahnya proporsi masyarakat yang bekerja sebagai nelayan dibandingkan yang bekerja sebagai petani dan peternak. Profesi nelayan hanya terbatas pada masyarakat yang
berdomisili diwilayah selatan Kabupaten Gorontalo. 3. Dimensi Sosial Menurut Hartono(2005), menyatakan bahwa dimensi sosial mencerminkan bagaimana kehidupan sosial masyarakat perikanan yang berada dalam kegiatan perikanan saling mendukung dan berintegrasi guna pembangunan sektor perikanan tangkap dalam jangka panjang dan berkelanjutan. Hasil ordinasi Rapfish dapat dilihat pada Gambar 13.
RAPFISH Ordination 60 UP Real Fisheries
40
References
20
Anchors
BAD
57,93
0 0
20
40
60
GOOD 80
100
120
-20
-40 DOWN -60
Keberlanjutan Perikanan Tangkap Cakalang Gambar 13. Hasil Ordinasi Rapfish Dimensi Sosial Pada dimensi sosial ini, Hasil ordinasi Rapfishdidapatkan indeks sebesar 57,93nilai tersebut berada pada kisaran 50–75 yang berada pada kategori cukup berkelanjutan.Setelah
168
diketahui nilai indeks dimensi sosial, selanjutnya dilakukan analisis leverage attributes (pengungkit). Hasil analisis leverage attributesdimensi sosial ditunjukan pada Gambar 14.
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
Leverage of Attributes Tipologi nelayan
1,55
Attribute
Pengalaman nelayan
0,69
Sosialisasi penangkapan
2,66
Tingkat pendidikan
5,22
Pertumbuhan populasi nelayan (fishing community)
0,55
Tingkat konflik
1,54 0
1
2
3
4
5
6
Gambar 14.Analisis LeverageAtribute Dimensi Sosial
Analisis leverage attribute menunjukkan2 (dua) atribut yang berpengaruh pada tingkat sensitifitas yaitu : 1. Tingkat Pendidikan Pendidikan adalah salah satu penentu kualitas sumberdaya kegiatan penangkapan.Pendidikan formal maupun nonformal merupakan modal dasar bagi nelayan di Kabupaten Gorontalo untuk dapat mengakses informasi dari berbagai media sehingga memudahkan nelayan menyerap suatu inovasi yang berhubungan dengan sumberdaya perikanan. Kemampuan dan keterampilan untuk berfikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, sangat ditentukan oleh pendidikan yang dimiliki karena pendidikan merupakan proses pengetahuan, keterampilan maupun sikap yang dapat dilakukan secara terencana sehingga diperoleh perubahan dalam meningkatkan taraf hidup. Rendahnya tingkat pendidikan pada nelayan yang sebagian besar hanya
berpendidikan tamatan SD dan bahkan ada yang berhenti sekolah di tingkat SMP sebagai akibat faktor keterbatasanbiaya. Sehingga dengan keterbatasan keilmuan tersebut, pekerjaan sebagai nelayan adalah satu - satunya alternatif pekerjaan yang tersedia. 2. Sosialisasi Penangkapan Sosialisasi penangkapan merupakan atribut yang sensitif terhadap status keberlanjutan pada dimensi sosial. Hal ini menunjukkan bahwa sosialisasi yang dilakukan oleh dinas terkait kurang terlaksana sehingga pemahaman nelayan dalam melakukan penangkapan ikan belum diterapkan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya pemahaman nelayan dalam menggunakan alat tangkap dengan teknologi yang baik dalam menjaga sumberdaya perikanan sehingga tingkat kesadaran yang rendah menjadikan nelayan tidak memperhatikan aspek kelestarian dengan melakukan penangkapan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
169
3. Dimensi Teknologi Menurut Andi (2011), Dimensi teknologi merupakan cerminan dari derajat pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap dengan menggunakan penangkapan tertentu. Teknologi yang baik adalah teknologi yang dapat mendukung berlangsungnya kegiatan produksi
sektor perikanan tangkap dalam jangka panjang dan berkesinambungan. Hasil ordinasi Rapfish dari aspek dimensi teknologi menunjukkan nilai indeks sebesar 57,94 berada pada status cukup berkelanjutan. Hasil ordinasi dimensi teknologi terlihat pada Gambar 15.
RAPFISH Ordination 60 UP 40 20 57,94 0
BAD 0
GOOD 20
40
60
80
100
120
-20 Real Fisheries
-40
References
DOWN
Anchors
-60
Keberlanjutan Perikanan Tangkap Cakalang Gambar 15. Hasil Ordinasi Rapfish pada Dimensi Teknologi Selanjutnya setelah hasil ordinasi Rapfishkemudian dilanjutkan dengan analisis leverage attributeyang dapat dilihat pada Gambar 16.
Leverage of Attributes 0,43 0,11 1,31
Attribute
Kemampuan meningkatkan kapasitas kapal Alat bantu penangkapan
7,97 9,02
Pengolahan ikan sebelum dijual
3,38 6,74 5,84
Seleketifitas alat
3,98 Lama melaut
1,20
0
2
4
6
8
Gambar 16. Analisis LeverageAtributtepada Dimensi Teknologi
170
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
10
Berdasarkan analisis leverageatributte diperoleh 2 (dua) atribut dengan sensitivitas tinggi terhadap keberlanjutan dimensi teknologi yaitu : 1. Tempat Pendaratan Ikan Secara umum nelayan di Kabupaten Gorontalo mendaratkan ikan hasil tangkapannya secara merata di tempat pelelangan ikan yang ada di Kota Gorontalo, Bone Bolango, Boalemo, dan hanya sebagian kecil nelayan mendaratkan ikannya di TPI yang ada di Kecamatan Bilato. Ini dikarenakan TPI yang ada di Kabupaten Gorontalo hanya satu yang beroperasi dan itupun kerjasama antara Pemerintah Daerah selaku pemilik aset TPI dengan pengelola swasta (perorangan) sebagai yang memanfaatkan TPI tersebut untuk menjual hasil tangkapan nelayan di wilayah pesisir. Sehingga itu perlu dilakukan perbaikan untuk menyediakan fasilitas penanganan di TPI sehingga hasil tangkapan ikan cakalang di perairan di Kabupaten Gorontalo terdata dan harga serta mutu ikan terjaga kualitasnya. 2. Alat bantu penangkapan Rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan perlu pengotrolan kebijakan dalam pengelolaannya,
karena semakin banyak rumpon yang beroperasi maka akan meningkat juga kemampuan eksploitasi sumberdaya perikanan sehingga meningkatnya resiko atau ancaman terhadap kelestarian sumberdaya perikanan khususnya ikan cakalang. Pada dimensi teknologi inidiperlukan kebijakan dalam proses penanganan ikan sebelum dijual, untuk perbaikan kualitas hasil tangkapan yang dapat meningkatkan keuntungan nelayan ikan cakalang. 3. Dimensi Kelembagaan Menurut Maman Hermawan (2006), Atribut pada dimensi kelembagaan mencerminkanderajat pengaturan kegiatan ekonomi manusia terhadap lingkungan perairan laut dan sumberdaya perikanan tangkap yang terkandung di dalamnya. Semakin baik derajat pengaturan yang dilakukan maka semakin dapat menjamin bahwa kegiatan yang dilakukan dapat berjalan dalam jangka panjang dan berkelanjutan. Hasil ordinasi Rapfish dimensi kelembagaan sebesar 44,67. Nilai ini berada pada kisaran 25–50 yang berarti berada dalam kategori status kurang berkelanjutan. Hasil ordinasi Rapfish dapat dilihat pada Gambar 17.
RAPFISH Ordination 60 UP 40 20
Real Fisheries References
0 -20
BAD 0
20
40 44,67
60
80
GOOD Anchors 100 120
-40 -60
DOWN Fisheries Sustainability Gambar 17. Hasil Ordinasi Rapfish Dimensi Kelembagaan
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
171
Titik ordinasi pada dimensi kelembagaan berada pada kuadran negatif(down) hal ini disebabkan skoring atribut kunci rata-rata mendekati buruk(down). Untuk perolehan nilai indeks keberlanjutan yang baik, maka secara keseluruhan
harus dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap atribut yang berpengaruh negatif terhadap indeks.Selanjutnya dilakukan analisis leverageatributte yang dapat ditunjukkan pada Gambar 18.
Leverage of Attributes IUU
1,57
Pengaturan limited entry
3,94
Demokrasi dalam pengambilan kebijakan Ketersediaan penegak hukum di lokasi Penyuluhan hukum dan pengelolaan lingkungan dan SDI Ketersedian aturan tradisi dan kearifan lokal Ketersedian aturan pengelolaan secara formal
2,37
2,81 2,27 4,74 0,46 0
1
2
3
4
5
Gambar 18. Analisis Leverage Atributte Dimensi Kelembagaan
Terdapat 2 (dua) atribut pengungkit utama dimensi kelembagaan yaitu : 1. Ketersediaan Aturan Tradisi dan Kearifan Lokal Pemanfaatan perikanan yang berdasarkan tradisi dan kearifan lokal menjadi faktorpenting dalam menunjang keberlanjutan perikanan tangkap ikan cakalang. Pemanfaatan sumberdaya lokal yang didasarkan pada tradisi atau kearifan lokal akan lebih meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan terhadap sumberdaya ikan cakalang, dengan demikian akan lebih menjamin kelestarian sumberdaya tersebut. Berdasarkan pengamatan dilapangan, tidak terdapat aturan tradisi dan kearifan lokal, namun beberapa formasi etika positif dimiliki nelayan
172
diantaranya: rata-rata nelayan bekerja kelompok dalam melakukan penangkapan, kebersamaan masyarakat pesisirdan adanya tokohtokoh adat nelayan yang selalu mengingatkan dan mendorong untuk menjaga kelestarian lingkungan pesisir pantai. 2. Pengaturan Limited Entri Pengaturan limited entri pada dimensi kelembagaandengan nilai indeks 3.94. Secara kelembagaan pengelolaan perikanan tangkap ikan cakalang di Kabupaten Gorontalo belum menerapkan aturan limited entry (pembatasan upaya penangkapan). Hal ini akan menyebabkan terjadinya tangkapan lebih, karena usaha penangkapannya tidak memperhatikan potensi lestari sumberdaya ikan cakalang.
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
KESIMPULAN 1. Perikanan tangkap ikan cakalang di Kabupaten Gorontalo, produksi hasil tangkapannya dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2015 cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya kecuali pada tahun 2014 mengalami sedikit penurunan. Hasil produksi tangkapan tertinggi berada pada tahun 2015 sebesar 2.077,8 ton/tahun dan hasil produksi tangkapan terendah terjadi ditahun 2011 sebesar 519,2 ton/tahun. 2. Status keberlanjutan secara multidimensi menunjukkan cukup berkelanjutan. Untuk dimensi ekologi berada pada status berkelanjutan dan dimensi kelembagaan berada pada status kurang berkelanjutan.Dimensi ekonomi, sosial dan teknologi berada pada status cukup berkelanjutan. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M. Rommy. 2011. Keberlanjutan Perikanan Pelagis di Ternate dan Strategi Pengembagannya.[DISERTASI]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 376 Hal. Adrianto, L. 2004. Implementasi code of conduct for responsible fisheries dalam perspektif negara berkembang” dalam responsible fisheries. Indonesian Journal of International Law. Vol 2 (3):463482. Alder J, TJ Pitcher, Preikshot D, Kaschner K, Ferriss B. 2000. How good is good?: a rapid appraisal technique for evaluation of the sustainability status of fisheries of the north atlantic. Sea Around Us Methodology Review: 136-182. Andi Irwan Nur. 2011. Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan Cakalang di Perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur. [TESIS]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.178 Hal. Badan Pusat Statistika Kabupaten Gorontalo. 2015. Kabupaten Gorontalo dalam Angka
kerjasama dengan Dinas kelautan Perikanan dan peternakan Kabupaten Gorontalo. Gorontalo. Collette BB, Nauen CE. 1983. Scombrids of the world. An annotated and illustrated catalogue of tunas, mackerels, bonitos and related species known to date. Fish. Synopsis 125(2). FAO. Dahuri, R. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu . Jakarta. David FR. 2003. Strategic Management, concepts and cases, 10th ed. New Jersey: Pearson Education Inc. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2014. Strategi Pengembangan Usaha Perikanan tangkap Skala Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. http://www.perikanantangkap.kkp.go.id. (26 November 2015) Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2015.Model Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta. http://www.perikanantangkap.kkp.go.id. (26 November 2015) Fauzi A, Anna S. 2005. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan Aplikasi Pendekatan Rafish . Jurnal Pesisir dan Lautan Vol. 4 (2).pp:36-49. Google earth tanggal akses 24 Februari 2017. Fitrianti RS., Kalam, MM., Kurnia, R,. 2013. Analisis Keberlanjutan Perikanan Ikan Terbang di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Depok.3(2). 118-127. Hamdan. 2007.Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan Di Kabupaten Indramayu. Institut Pertanian Bogor. Bogor Hartono T.T., Kodiran., M.A. Iqbal. dan S. Koeshendrajana. 2005. Pengembangan teknik rapid appraisal for fisheries (RAPFISH) untuk penentuan indikator kinerja perikanan tangkap berkelanjutan di Indonesia.. Jurnal Pesisir dan Lautan. Volume VI. No.1.
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
173
Hermawan, M. 2006. Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil (Kasus Perikanan Patai Di serang dan Tegal). [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hermawan, David. 2011. Desain Pengelolaan Perikanan Madidihang (Thunnus albacares) di Perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur. [DISERTASI]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kavanagh and Picher. 2004. RAPFISH Software Description (For Microsoft Exel). Rapid Appraisal For Fisheries (RAPFISH) Project. Fisheries Center University of British Columbia; Vancouver. 36p. Kementerian Kelautan Perikanan. 2014. Kelautan dan Perikanan dalam angka 2014. Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan Perikanan. Jakarta.100 hal. Kementerian Kelautan Perikanan. 2015. Petunjuk Teknis Data Statistik Kementerian Kelautan Perikanan. Jakarta.121 hal. Mamuaya, GE. 2007.Penelahan Perikanan Pukat Cincin dan Status Keberlanjutannya di Daerah Kota Manado Menggunakan Permodelan Umpan Balik Sistemis. [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. McGoodwin,J.1990.Crisis in the World Fisheries : PeopleProblems and Policies. Stanford University Press, Stanford Munasinghe, M. 2002. Analysing the nexus of sustainable ad climate change:An overview.France:OECD.53.p Munirah, Tuli. 2015. Pengelolaan Sumberdaya Ikan Cakalang dan Ikan Payang di Perairan Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo. IPB. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nikijuluw VPH. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pusat
174
Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R) dengan PT. Pustaka Cidesindo.Jakarta Ngamel, A. Kartika. 2004. Peranan Sektor Kelautan dan Perikanan Dalam Pembangunan Wilayah Kabupaten Maluku Tenggara. Provinsi Maluku. Institut Pertanian Bogor. Bogor Purba HT. 1997. Analisis Peluang Investasi Sektor Pariwisata Bahari Di Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor.Jurnal Kebijakan dan Riset Sosek Kelautan dan Perikanan. 5 (1): 97 – 112. Rangkuti. 2005. Analisis SWOT Tehnik membedah Kasusu. Jakarta. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. 177 hal Saanin. 1984. Hubungan Panjang – Berat, Kematangan Gonad, dan Frekuensi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Sorog. Hal. 11-19. Papua. Sipahelut, Michel. 2010. Analisis Pemberdayaan Masyarakat Nelayan di Kecamatan Tobelo Kabupaten Halmahera Utara. [TESIS]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sylvia. 2009. Sinergitas perikanan tangkap dengan pariwisata di Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Multi Disiplin Ilmu &Call For Papers Unisbank (Sendi_U). Soesilo SB, 2003. Keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil: studi kasus Kelurahan Pulau Panggung dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. [Disertasi[. Program Pasca SarjanaInstitut Pertanian Bogor. 233 hal. Species Katsuwonus pelamis Linnaeus. 1758. http://fishbase.org. (20 November 2016).
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA ALAM SUB DAS BIYONGA DALAM KAWASAN DAS LIMBOTO DI KABUPATEN GORONTALO Ahmad Fadhli Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengidentifikasi kondisi aktual sumberdaya alam di Sub DAS Biyonga dalam kawasan DAS Limboto; 2) Menghitung nilai guna langsung (direct use value) sumberdaya alam untuk nilai pertanian, nilai perikanan, nilai produk kehutanan, nilai industri dan nilai ekowisata di Sub DAS Biyonga dalam kawasan DAS Limboto; 3) Menghitung nilai guna tak langsung (indirect use value) sumberdaya alam untuk nilai air dan nilai karbon di Sub DAS Biyonga dalam kawasan DAS Limboto; 4) Menghitung nilai keberadaan (existence value), nilai warisan (bequest value) dan nilai pilihan (option value) di Sub DAS Biyonga dalam kawasan DAS Limboto; 5) Menghitung nilai ekonomi total yang dihasilkan di Sub DAS Biyonga dalam kawasan DAS Limboto. Hasil dari penelitian ini adalah: 1) Kondisi aktual sumberdaya alam di Sub DAS Biyonga dalam kawasan DAS Limboto pada saat ini sudah mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut antara lain kualitas air sungai yang rendah, terjadinya pendangkalan dibagian hulu dan hilir, berkurangnya luas hutan akibat konversi lahan dan illegal logging. Hal ini disebabkan karena kesalahan kebijakan pemerintah, pertumbuhan penduduk dan bencana alam; 2) Nilai guna langsung (direct use value) sumberdaya alam Sub DAS Biyonga yaitu sebesar Rp.898.893.740.803,01. Nilai guna langsung terdiri dari nilai pertanian sebesar Rp.786.348.872.153,01, nilai perikanan sebesar Rp.53.746.826.400,00, nilai produk kehutanan sebesar Rp.49.877.154.750,00, nilai industri sebesar Rp.8.017.500.000,00 dan nilai ekowisata sebesar Rp.903.387.500,00; 3) Nilai guna tak langsung (indirect use value) sumberdaya alam Sub DAS Biyonga yaitu sebesar Rp.118.541.872.369,80. Nilai guna tak langsung terdiri dari nilai air sebesar Rp.7.419.592.369,80 dan nilai karbon sebesar Rp.111.122.280.000,00; 4) Nilai keberadaan (existence value) sumberdaya alam Sub DAS Biyonga yaitu sebesar Rp.61.284.600.000,00, nilai warisan (bequest value) sumberdaya alam Sub DAS Biyonga yaitu sebesar Rp.39.456.900.000,00 dan nilai pilihan (option value) sumberdaya alam Sub DAS Biyonga yaitu sebesar Rp.4.071.960.000,00; 5) Nilai ekonomi total (total economic value) yang dihasilkan di Sub DAS Biyonga dalam kawasan DAS Limboto yaitu sebesar Rp.1.122.249.073.172,81. PENDAHULUAN Kondisi DAS di wilayah Sulawesi khususnya DAS Limboto tidak jauh berbeda dengan DAS di wilayah Jawa. Berdasarkan beberapa hasil penelitian, beban sedimen terlihat bahwa laju sedimentasi di kawasan DAS Limboto mencapai 1-2 juta ton per tahun yang bersumber dari sungai-sungai di kawasan daerah tangkap air Danau Limboto yang luasnya mencapai 900 kilometer per segi (LIPI, 2006). Kawasan DAS Limboto terdiri dari beberapa Sub DAS antara lain Sub DAS Biyonga, Sub DAS Marisa dan Sub DAS Alo. Diantara beberapa Sub DAS tersebut, yang paling konsisten
menyuplai air ke Danau Limboto sepanjang tahun adalah Sub DAS Biyonga. Sub DAS Biyonga juga merupakan Sub DAS yang menjadi sumber utama pembawa sedimen paling dominan. Selama ini belum pernah dilakukan penelitian mengenai valuasi ekonomi sumberdaya alam di kawasan DAS tersebut, sehingga nilai ekonomi total (total economic value) di kawasan DAS Limboto maupun di wilayah Sub DAS Biyonga belum dapat diketahui. Selain itu, pemanfaatan air di wilayah Sub DAS Biyonga untuk pertanian dan perikanan sangat besar. Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut diatas,
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
175
maka penelitian mengenai valuasi ekonomi sumberdaya alam Sub DAS Biyonga dalam kawasan DAS Limboto di Kabupaten Gorontalo sangat penting untuk dilakukan. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Nilai merupakan persepsi terhadap suatu objek pada tempat dan waktu tertentu. Sedangkan persepsi merupakan pandangan individu atau kelompok terhadap suatu objek sesuai dengan tingkat pengetahuan, pemahaman, harapan dan norma. Oleh karena itu, nilai sumberdaya alam sangat beragam, tergantung dari persepsi masing-masing individu atau masyarakat. Ilmu ekonomi secara konvensional sering didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana manusia mengalokasikan sumberdaya yang langka. Dengan demikian, ilmu ekonomi sumberdaya alam dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari pengalokasian sumberdaya alam seperti air, lahan, ikan dan hutan. Secara eksplisit ilmu tersebut mencari jawaban seberapa besar sumberdaya harus diekstraksi, sehingga menghasilkan manfaat yang sebesarbesarnya bagi masyarakat. Menurut Fauzi (2006), sumberdaya didefinisikan sebagai suatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi. Dapat juga dikatakan bahwa sumberdaya adalah komponen dari ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kebutuhan manusia. Grima dan Berkes (1989) mendefinisikan sumberdaya sebagai aset untuk pemenuhan kepuasan dan utilitas manusia. Agar sesuatu dapat dikatakan sebagai sumberdaya, maka harus memiliki dua kriteria yaitu harus ada pengetahuan teknologi atau keterampilan (skill) untuk memanfaatkannya dan harus ada permintaan (demand) terhadap sumberdaya tersebut (Rees, 1990).
176
Apabila kedua kriteria tersebut tidak dimiliki, maka sesuatu itu dapat disebut sebagai barang netral. Sumberdaya alam selain menghasilkan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi baik secara langsung (direct) maupun tidak langsung (indirect) juga dapat menghasilkan jasa-jasa lingkungan yang memberikan manfaat dalam bentuk lain, seperti manfaat amenity yaitu keindahan dan ketenangan, manfaat tersebut sering disebut sebagai manfaat fungsi ekologis yang sering tidak terkuantifikasikan dalam perhitungan menyeluruh terhadap nilai sumberdaya. Nilai tersebut tidak saja merupakan nilai pasar barang yang dihasilkan dari suatu sumberdaya melainkan juga nilai jasa lingkungan yang ditimbulkan oleh sumberdaya tersebut (Fauzi, 2006). Menurut Fauzi (2006), penggunaan metode analisis biaya dan manfaat (cost-benefit analysis) yang konvensional sering tidak mampu menjawab permasalahan dalam menentukan nilai ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan karena konsep biaya dan manfaat tersebut sering tidak memasukkan manfaat ekologis didalam analisisnya. Oleh karena itu lahirlah konsep analisis valuasi ekonomi, khususnya valuasi non-pasar (non market valuation). Pengukuran valuasi ekonomi dari DAS dapat menggunakan model pengukuran dari nilai ekonomi sumberdaya, dimana secara tradisional nilai terjadi didasarkan pada interaksi antara manusia sebagai subjek dan objek (Pearce dan Moran, 1994; Turner, Pearce dan Bateman,1994). Setiap individu memiliki sejumlah nilai yang dikatakan sebagai nilai penguasaan yang merupakan basis preferensi individu. Pada akhirnya nilai objek ditentukan oleh bermacam-macam nilai yang dinyatakan (assigned value) oleh individu. Model nilai ekonomi total (total economic value) dapat dilihat pada Gambar 1.
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value)
Nilai Guna (Use Value)
Nilai Guna Langsung (Direct Use Value)
Nilai Guna Tak Langsung (Indirect Use Value)
Nilai Non-Guna (Non-Use Value)
Nilai Pilihan (Option Value)
Nilai Keberadaan (Existence Value)
Nilai Warisan (Bequest Value)
Sumber: Pearce dan Moran (1994) Gambar 1. Model Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) Nilai ekonomi total (total economic value) suatu sumberdaya secara garis besar dikelompokan menjadi nilai guna (use value) dan nilai non-guna/intrinsik (non-use value), (Pearce dan Turner, 1990; Pearce dan Moran, 1994; Turner, Pearce dan Bateman, 1994). Nilai guna (use value) dibagi menjadi nilai guna langsung (direct use value), nilai guna tak langsung (indirect use value) dan nilai pilihan (option value). Nilai guna diperoleh dari pemanfaatan aktual lingkungan (Turner, Pearce dan Bateman, 1994). Nilai non-guna dibagi menjadi nilai keberadaan (existence value), nilai warisan (bequest value) dan nilai pilihan (option value). Nilai guna langsung (direct use value) adalah nilai yang ditentukan oleh kontribusi lingkungan pada aliran produksi dan konsumsi (Munasinghe, 1993). Nilai guna langsung berkaitan dengan output yang langsung dapat dikonsumsi, misalnya makanan, biomassa, rekreasi dan kesehatan. Nilai guna tak langsung (indirect use value) ditentukan oleh manfaat yang berasal dari jasa-jasa lingkungan dalam mendukung aliran produksi dan
konsumsi. Nilai pilihan (option value) berkaitan dengan pilihan pemanfaatan lingkungan pada masa yang akan datang. Pernyataan preferensi (kesediaan membayar) untuk konservasi sistem lingkungan atau komponen sistem berhadapan dengan beberapa kemungkinan pemanfaatan oleh individu dikemudian hari. Ketidakpastian penggunaan dimasa yang akan datang berhubungan dengan ketidakpastian penawaran lingkungan, teori ekonomi mengindikasikan bahwa nilai pilihan adalah kemungkinan positif (Turner et. Al, 1994). 2.2 Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu daerah yang dibatasi oleh topografi alami, dimana semua air hujan yang jatuh didalamnya akan mengalir melalui suatu sungai dan keluar melalui suatu outlet pada sungai tersebut. DAS juga merupakan satuan hidrologi yang menggambarkan dan menggunakan satuan fisik-biologi dan satuan kegiatan sosial ekonomi untuk perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam (Gautama, 2008). Pendekatan DAS menggunakan pengelolaan DAS untuk
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
177
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pembangunan sumberdaya alam. Adapun yang ditanamkan dalam pendekatan ini adalah pengakuan adanya hubungan erat antara lahan dan air, antara daerah hulu dan hilir, serta pelaksanaan praktek yang tepat sesuai dengan sasaran. Ciri-ciri pengelolaan DAS yang baik yaitu menghasilkan produktivitas yang tinggi dengan meningkatnya pendapatan, jumlah dan distribusi kualitas serta kuantitas yang baik serta mempunyai sifat lentur (flexible) dan azaz pemerataan. Adapun indikator pengelolaan DAS yang baik adalah produksi yang berkelanjutan, kesuburan lahan dan air minimum, distribusi hasil air yang berkualitas dan berkuantitas baik, teknologi yang dipakai dapat diterima dan mensejahterakan seluruh masyarakat yang terkait. Untuk menghasilkan tujuan tersebut diperlukan teknologi pengelolaan DAS untuk mengurangi bahaya banjir dan erosi dimusin hujan dan menaikan debit air sungai pada waktu musim kering. Model-model simulasi hidrologi digunakan untuk mendapatkan perubahan tersebut berdasarkan teknologi konservasi tanah berupa cara agronomi, vegetatif, mekanis dan manajemen. Keberhasilan pengelolaan DAS bukan hanya semata dari tujuan, namun yang paling penting adalah bagaimana cara mencapai tujuan tersebut. Untuk itu diperlukan suatu usaha atau strategi pengelolaan DAS secara berkelanjutan. Menurut hasil identifikasi Black (1970), prinsip umum pengelolaan DAS ada tiga, yaitu ekologi alami DAS merupakan suatu sistem dan keseimbangan yang dinamis, mempunyai faktor-faktor yang mempengaruhi run-off dan distribusi air tidak merata dalam siklus hidrologi, sehubungan dengan praktek pengelolaan DAS. 2.3 Kebijakan Pengelolaan DAS Menurut laporan kajian Tim Narasumber Kemenkoperekonomian RI (2010), kebijakan umum bidang sumberdaya air dan irigasi meliputi peningkatan dan pemantapan pasokan air irigasi dengan konservasi ekosistem
178
hidrologis daerah tangkapan air, maka ditempuh strategi produktivitas air tanaman untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan air dan konservasi sumberdaya air. Kebijakan peningkatan dan pemantapan penyediaan air dengan konservasi ekosistem hidrologis DAS yaitu berupa: 1. Konservasi ekosistem hidrologis DAS dengan rehabilitasi lahan kritis dan pemantapan daya dukung lingkungan. a. Mempertahankan fungsi hidrologis daerah tangkapan air dengan mencegah penggundulan hutan dan illegal logging. b. Melaksanakan program penghijauan (GNRHL dan GNKPA) untuk meningkatkan resapan air dan mencegah erosi. c. Memperbaiki daya dukung lingkungan dengan program pengelolaan DAS terkoordinasi. 2. Meningkatkan kapasitas cadangan air permukaan dan air bawah permukaan dengan pembangunan sistem simpanan air skala kecil dan menengah. a. Membangun sarana penyimpanan air bawah permukaan seperti sumur resapan, jebakan air (water trap), waduk bawah tanah dan sebagainya. b. Membangun sarana penyimpanan air permukaan seperti waduk, embung, situ dan long storage. c. Meningkatkan intensitas penanaman (IP), antara lain dengan meminimalkan “lahan tidur”. Pengelolaan DAS merupakan proses alokasi sumberdaya untuk mencapai suatu tujuan bersama. Di Indonesia telah dikenal prinsip yang sangat bagus, yaitu koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi. Namun dalam implementasinya sering dijumpai hambatan pelaksanaan program dan kegiatan, karena prinsip tersebut tidak berjalan dengan baik. Sistem koordinasi tidak dipahami oleh para stakeholder sehingga menyebabkan adanya pihak yang merasa hak dan kewenangannya diambil ataupun dikurangi, serta kegiatan yang berjalan hanya
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
dikomando oleh ketersediaan dana dari pihak tertentu. Tujuan bersama tidak didasari atas pemahaman bersama untuk tetap berpegang pada hak dan kewajiban masing-masing, sehingga dengan demikian koordinasi dapat berjalan tanpa ada pihak yang merasa hak dan kewenangannya diambil atau dikurangi, sehingga sinergisitas dapat terjadi. METODE PENELITIAN Lokasi penelitian ini berada di dalam kawasan DAS Limboto, tepatnya di Sub DAS Biyonga. Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan yaitu mulai awal bulan Februari sampai dengan akhir bulan April 2011. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling dan sekaligus convenience sampling. Metode bertanya kepada responden yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dengan contingent ranking dan payment card. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa alat analisis yaitu, analisis deskriptif, productivity method,
contingent valuation method (CVM), analisis regresi linear sederhana, water residual value, benefit transfer dan net present value (NPV). Adapun program yang digunakan untuk mengolah data dilakukan dengan bantuan program Microsoft Office Excel 2007 dan Minitab 15. HASIL PENELITIAN Pertanian Petani di wilayah Sub DAS Biyonga sebagian besar memiliki lahan pertanian kurang dari satu hektar yaitu sekitar 0,1-0,25 hektar, sedangkan petani yang memiliki lahan pertanian lebih dari satu hektar hanya sekitar 10 persen. Salah satu faktor yang menyebabkan berkurangnya jumlah petani yang memiliki lahan pertanian lebih dari satu hektar yaitu akibat pembagian lahan pertanian kebeberapa keturunannya, sehingga lahan yang seharusnya diperuntukkan sebagai lahan pertanian beralih fungsi menjadi perumahan dan perkantoran. Rata-rata kepemilikan lahan pertanian di wilayah Sub DAS Biyonga dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-Rata Kepemilikan Lahan Pertanian di Wilayah Sub DAS Biyonga Rata-rata Kepemilikan Lahan Jumlah KK Persentase (Ha) (%) 0,10 – 0,25 401 35,8 0,26 – 0,50 357 31,9 0,51 – 1,00 248 22,1 > 1,00 114 10,2 Sumber : Balai Penyuluh Pertanian Kecamatan Limboto, 2011.
Sektor pertanian yang cukup potensial dan banyak diusahakan oleh petani di wilayah Sub DAS Biyonga terdiri dari beberapa sub sektor yaitu sub sektor tanaman pangan dan sub sektor perkebunan rakyat. Sub sektor tanaman pangan yang merupakan komoditas utama yaitu tanaman padi, jagung, cabe
dan tomat. Sedangkan sub sektor perkebunan rakyat yang merupakan komoditas utama yaitu tanaman kelapa, kemiri dan cengkeh. Potensi aktual komoditas utama yang sering diusahakan oleh sebagian besar petani di Wilayah Sub DAS Biyonga tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 2.
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
179
Tabel 2. Potensi Aktual Komoditas Utama di Wilayah Sub DAS Biyonga Tahun 2010 Komoditas Luas Lahan Produksi Utama (Ha) (Ton) Padi 2.168 8.157,93 Jagung 735 975,50 Cabe 253 1.125 Tomat 253 1.125 Kelapa 1.175 765 Kemiri 85 15 Cengkeh 203 9,50 Sumber : Balai Penyuluh Pertanian Kecamatan Limboto, 2011.
Berdasarkan hasil identifikasi lapang yang dilakukan, pada bagian hulu Sub DAS Biyonga didominasi oleh perkebunan rakyat seperti kelapa, kemiri dan cengkeh. Tanaman kelapa kebanyakan tumbuh di Kelurahan Biyonga, sedangkan tanaman kemiri dan cengkeh kebanyakan tumbuh di Kelurahan Malahu. Pada bagian tengah Sub DAS Biyonga, didominasi oleh tanaman pangan seperti padi, jagung, cabe dan tomat. Di Kelurahan Bongohulawa kebanyakan terdapat tanaman padi, jagung, cabe, dan tomat, sedangkan di Kelurahan Kayu Merah hanya terdapat tanaman padi. Pada bagian hilir Sub DAS Biyonga didominasi oleh tanaman pangan seperti padi. Di Kelurahan Hunggaluwa dan Kayu Bulan hanya didominasi oleh tanaman padi karena di daerah tersebut merupakan kawasan Danau Limboto. Jenis komoditi yang paling sering diusahakan di wilayah Sub DAS Biyonga yaitu komoditi padi, jagung, cabe dan tomat. Secara ekonomi komoditi-komoditi tersebut memiliki harga yang cukup tinggi dipasar, namun disisi lain ada hal negatif yang ditimbulkan dari komoditi-komoditi tersebut yaitu penggunaan pupuk yang berlebihan dapat menyebabkan lahan pertanian menjadi jenuh. Apabila lahan menjadi jenuh, maka akan menyebabkan aliran permukaan (runoff) menjadi cukup tinggi dan inilah yang menjadi salah satu penyebab utama kerusakan lingkungan di wilayah Sub DAS Biyonga. Perikanan Salah satu peran penting dari sektor perikanan yaitu dapat
180
meningkatkan pendapatan nelayan dan petambak. Produksi sektor perikanan di Kabupaten Gorontalo masih didominasi oleh perikanan laut dari hasil tangkapan di perairan pantai dan laut. Kabupaten Gorontalo memiliki potensi perikanan perairan umum berupa Danau Limboto. Danau Limboto merupakan bagian hilir dari wilayah Sub DAS Biyonga yang memiliki luasan sekitar 2.400 hektar. Adapun potensi besar yang perlu dikembangkan di wilayah periaran Danau Limboto adalah potensi perikanan budidaya. Berdasarkan hasil identifikasi lapang yang dilakukan, perikanan budidaya yang terdapat di hilir Sub DAS Biyonga secara umum menggunakan karamba jaring apung (KJA). Sebagian besar nelayan yang ada di wilayah Sub DAS Biyonga menggunakan KJA walaupun modal yang dikeluarkan cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari jumlah petak KJA yang ada di wilayah tersebut. Adapun jumlah total keseluruhan dari petak KJA yang ada, yaitu sebanyak 7.848 petak (satu petak KJA berukuran 60 meter kubik). Selain jenis perikanan budidaya yang ada di Sub DAS Biyonga, ada juga jenis perikanan tangkap tradisional yang disebut bibilo. Bibilo adalah satu alat tangkap tradisional yang sering digunakan oleh nelayan di wilayah Sub DAS Biyonga. Bibilo merupakan sejenis rumpon yang digunakan di Danau Limboto. Alat tangkap ini dibuat dari jenis rumput yang hidup di tepi Danau Limboto. Bibilo dapat diperoleh dengan terlebih dahulu membuat petak rumput yang hidup di tepi Danau Limboto seperti enceng gondok, mumbupuluto,
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
tolowe, huhulongo, hata dan langgango buliya, dengan ukuran 800-1.600 meter dan memiliki ketebalan 10-20 cm (diambil dengan tanah). Setelah petakan ini selesai dibuat, kemudian akan ditarik .
ke danau dengan menggunakan perahu sesuai dengan lokasi yang diinginkan. Jenis alat tangkap tradisional bibilo dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Alat Tangkap Perikanan Tradisonal Bibilo
Berdasarkan identifikasi lapang yang dilakukan, jenis perikanan tangkap tradisional bibilo dapat memudahkan nelayan untuk menangkap ikan. Namun disisi lain menimbuklan dampak negatif, yaitu menyebabkan sebagian besar lokasi di Danau Limboto yang merupakan daerah hilir dari Sub DAS Biyonga, menjadi kapling-kapling milik
pribadi atau kelompok. Hal tersebut dapat menimbulkan konflik horizontal diantara sesama nelayan, menyebabkan penyempitan dan pendangkalan danau, serta terjadinya penurunan kualitas sumberdaya air di kawasan DAS Limboto. Adapun jenis-jenis ikan yang terdapat di perairan Danau Limboto dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 3. Jenis-Jenis Ikan di Perairan Danau Limboto Jenis-Jenis Ikan Keterangan Nama Latin Nama Lokal Uphiocara poroceplrala Payangga Endemik Uphiocara sp – Endemik Glossogobius giurus Manggabai Endemik Anguilla sp Belut Endemik Pertunnus sp Kepiting (air tawar) Hasil Introduksi Channa striata Gabus Hasil Introduksi Trichogaster pectoralis Mujair Hasil Introduksi Oreochromis mossambicus Sepat Siam Hasil Introduksi Osteochilus hasselti Nilem Hasil Introduksi Cyprinus carpio Mas Hasil Introduksi Puntius gonionotus Tawes Hasil Introduksi Oreochromis niloticus Nila Hasil Introduksi Sumber : Sarnita (1994) dalam Master Plan Penyelamatan Danau Limboto, 2008.
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
181
Beberapa jenis ikan yang khas di Danau Limboto adalah payangga dan manggabai. Jenis ikan tersebut pada awalnya sangat mudah untuk mendapatkannya. Namun seiring dengan terjadinya penyempitan dan pendangkalan di perairan Danau Limboto, maka jenis ikan tersebut menjadi langka dan tidak tersedia di pasar. Selain jenis-jenis ikan tersebut, ada juga beberapa jenis ikan lokal yang sering ditemui di perairan Danau Limboto antara lain, ikan betok, ikan lele, ikan kepala timah dan ikan seribu. Kehutanan Sub DAS Biyonga merupakan suatu kesatuan dari DAS Limboto yang memiliki potensi sumberdaya alam yang melimpah. Selain berfungsi sebagai lahan pertanian dan perkebunan, Sub DAS Biyonga juga berfungsi sebagai area konservasi untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi. Wilayah tersebut menyimpan air dan curah hujan dengan tutupan vegetasi lahan yang cukup memadai. Kawasan hutan di wilayah Sub DAS Biyonga terletak di daerah hulu, tepatnya di Kelurahan Biyonga dan Kelurahan Malahu. Kawasan hutan tersebut terdiri dari hutan lindung dan hutan produksi. Hutan lindung yang ada di wilayah Sub DAS Biyonga dikenal sebagai kawasan hutan lindung Gunung Damar, sesuai dengan SK Menhut No. 452/Kpts-II/1989 tentang penunjukkan kawasan hutan. Secara administratif,
letak kawasan hutan lindung Gunung Damar berada di dua kabupaten yaitu Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango. Adapun luas kawasan hutan lindung tersebut yaitu sekitar 20.117 hektar. Perlu diketahui bahwa kawasan hutan tersebut dinamakan hutan lindung Gunung Damar, karena sebagian besar tumbuhan yang ada merupakan tumbuhan damar. Selain itu juga, terdapat tumbuhan meranti dan cempaka. Tumbuhan tersebut merupakan tumbuhan yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi. Luas kawasan hutan lindung yang berada di wilayah Sub DAS Biyonga yaitu hanya sekitar 113 hektar atau hanya sekitar 0,5% dari total luas kawasan hutan lindung Gunung Damar. Selain hutan lindung, di wilayah Sub DAS Biyonga juga terdapat kawasan hutan produksi yang hasilnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan di wilayah Sub DAS Biyonga, sebagian besar tumbuhan yang terdapat pada hutan produksi adalah tanaman jati, rotan dan bambu, serta tanaman perkebunan seperti kemiri dan cengkeh. Masyarakat yang tinggal di daerah hulu Sub DAS Biyonga sering mengangkut hasil hutan seperti kayu, rotan dan bambu dengan memanfaatkan sungai sebagai sarana transportasi alami. Bagian hulu dari Sub DAS Biyonga dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Bagian Hulu Sub DAS Biyonga
182
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
Hutan produksi lebih luas dari pada hutan lindung yang ada di wilayah Sub DAS Biyonga. Luas kawasan hutan produksi yang berada di wilayah Sub DAS Biyonga yaitu sekitar 2.754 hektar atau kurang lebih 24 kali lebih luas dari kawasan hutan lindung yang ada di wilayah Sub DAS Biyonga. Data luas kawasan hutan lindung dan hutan produksi di wilayah Sub DAS Biyonga dapat dilihat pada Tabel 10. Berdasarkan hasil identifikasi lapang yang dilakukan pada daerah hulu di wilayah Sub DAS Biyonga, kondisi hutan yang ada sebagian telah mengalami kerusakan. Hal tersebut
dapat dilihat dari total bahaya erosi yang terjadi di wilayah Sub DAS Biyonga yaitu sebesar 54.262,68 hektar. Besarnya total bahaya erosi di wilayah Sub DAS Biyonga, mengindikasikan bahwa tingkat kerusakan yang terjadi di wilayah tersebut cukup besar. Berdasarkan penggunaan lahan (land use), Sub DAS Biyonga didominasi oleh lahan pertanian dan perkebunan, sehingga mengakibatkan setiap tahunnya terjadi alih fungsi la han kehutanan menjadi lahan pertanian dan perkebunan serta pemukiman penduduk.
Tabel 4. Luas Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi di Wilayah Sub DAS Biyonga Nama Hutan Lindung Hutan Produksi Kelurahan (Ha) (Ha) Biyonga 2.754 Malahu 113 Bongohulawa Kayu Merah Hunggaluwa Kayu Bulan Total 113 2.754 Sumber: BP DAS Bone Bolango, 2011 (Diolah) Praktek-praktek illegal logging yang ada di daerah hulu Sub DAS Biyonga juga menjadi penyebab terjadinya kerusakan hutan di wilayah Sub DAS Biyonga. Setiap tahunnya terdapat puluhan kasus illegal logging di wilayah Sub DAS Biyonga. Illegal logging tersebut terjadi akibat lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terkait, hal tersebut dapat dilihat dari jumlah polisi hutan yang mengawasi daerah hulu Sub DAS Biyonga hanya berjumlah enam orang, sedangkan luas kawasan hutan yang menjadi wilayah kerjanya mencapai lebih dari 10.000 hektar. Kerusakan hutan tersebut dapat dicegah dengan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya keberadaan hutan, pemanfaatan jenis produk kehutanan itu sendiri tanpa merusak lingkungan yang ada di Sub DAS Biyonga dan menggalakkan gerakan rehabilitasi lahan dan hutan. Namun yang harus diperkuat adalah
pengawasan hutan tersebut oleh pihak terkait dalam hal ini adalah Dinas Kehutanan, Pertambangan dan Energi Kabupaten Gorontalo untuk memperbanyak personil polisi hutan di wilayah tersebut. KESIMPULAN 1. Kondisi aktual sumberdaya alam di Sub DAS Biyonga dalam kawasan DAS Limboto pada saat ini sudah mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut antara lain kualitas air sungai yang rendah, terjadinya pendangkalan di bagian hulu dan hilir, berkurangnya luas hutan akibat konversi lahan dan illegal logging. Hal ini disebabkan karena kesalahan kebijakan pemerintah, pertumbuhan penduduk dan bencana alam. 2. Nilai guna langsung (direct use value) sumberdaya alam Sub DAS Biyonga yaitu sebesar Rp.898.893.740.803,01, terdiri dari
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
183
nilai pertanian sebesar Rp.786.348.872.153,01, nilai perikanan sebesar Rp.53.746.826.400,00, nilai produk kehutanan sebesar Rp.49.877.154.750,00, nilai industri sebesar Rp.8.017.500.000,00 dan nilai ekowisata sebesar Rp.903.387.500,00. 3. Nilai guna tak langsung (indirect use value) sumberdaya alam Sub DAS Biyonga yaitu sebesar Rp.118.541.872.369,80, terdiri dari nilai air sebesar Rp.7.419.592.369,80 dan nilai karbon sebesar Rp.111.122.280.000,00. 4. Nilai keberadaan (existence value) sumberdaya alam Sub DAS Biyonga yaitu sebesar Rp.61.284.600.000,00, nilai warisan (bequest value) sumberdaya alam Sub DAS Biyonga yaitu sebesar Rp.39.456.900.000,00 dan nilai pilihan (option value) sumberdaya alam Sub DAS Biyonga yaitu sebesar Rp.4.071.960.000,00. 5. Nilai ekonomi total (total economic value) yang dihasilkan di Sub DAS Biyonga dalam kawasan DAS Limboto yaitu sebesar Rp.1.122.249.073.172,81. DAFTAR PUSTAKA Balihristi. 2008. Profil Sungai Gorontalo. Badan Lingkungan Hidup, Riset Dan Teknologi Informasi Propinsi Gorontalo. Gorontalo. [Balitbangpedalda]. 2005. Kajian Evaluasi Daerah Aliran Sungai di Propinsi Gorontalo. Balitbangpedalda Propinsi Gorontalo bekerjasama dengan Pusat Survei Sumberdaya Alam Darat Bakosurtanal. Gorontalo. Bishop J, Natasha L. 2002. “Forest Environmental Services: An Overview”. Book Selling Forest Environmental Services. Marketbased Mechanisms for Conservation and Development. Page 15-35. London: Earthscan Publications Ltd. Black, P. E. 2010. Watershed Hidrology. State University of New York. College of Environmental Science
184
and Forestry, Syracuse. New York. Second Edition. Black, P. E. 1995. The Critical Role of Unused Resources. Water Resources Bulletin 31(4):589. Black, P. E. 1970. Runoff from Watershed Models. Water Resources Research 6(2):465. [BPDAS Bone Bolango]. 2009. Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Departemen Kehutanan, Dirjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Bone Bolango. Gorontalo. [BPKH Gorontalo]. 2010. Hasil Pencermatan Penafsiran Citra Satelit Resolusi Sedang. Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XV Gorontalo. Gorontalo. [BPPPK Limboto]. 2011. Program Penyuluhan Pertanian Tahun Anggaran 2011. Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kecamatan Limboto. Gorontalo [BPS]. 2010. Kabupaten Gorontalo Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gorontalo. Gorontalo. [BPS]. 2010. Kecamatan Limboto Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gorontalo. Gorontalo. Brown, K and Pearce, D. W. 1994. The causes of Deforestation: The Economic and Statistical Analysis of the Factor Giving Rise to Loss of the Tropical Forest. University College Press, London and the University of British Columbia Press, Vancouver. [DKPE]. 2010. Penunjukan Kawasan Hutan Propinsi Gorontalo. Dinas Kehutanan, Pertambangan Dan Energi Kabupaten Gorontalo. Gorontalo. [DKPP]. 2011. Laporan Tahunan Dinas Kelautan, Perikanan Dan Peternakan Kabupaten Gorontalo. Gorontalo. [DPTPP].2009. Rekapitulasi Luas Areal Produksi Perkebunan. Dinas Pertanian, Tanaman Pangan Dan Perkebunan Kabupaten Gorontalo. Gorontalo.
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
[EGSLP].2010. Pengkajian Masyarakat Desa Mengenai Penilaian Sistem Lingkungan Pedesaan (Viresa). Environmental Governance And Sustainable Livelihood Program. Canadian International Development Agency. Gorontalo. Fauzi, Achmad. 2007. Instrumen Ekonomi Untuk Pengelolaan Lingkungan. Laporan disampaikan kepada DANIDA Denmark dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) RI. Fauzi A, Suzy A. 2005. Panduan Penentuan Perkiraan Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup RI. Fauzi, Achmad. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Gautama, Iswara. 2008. Daerah Aliran Sungai (DAS), Ekosistem dan Pengelolaan. Kumpulan tulisan. Fakultas Kehutanan. Universitas Hasanudin. Makassar. Grima, A.P.L, and F. Berkes. 1989. “Natural Resources: Access, Right to Use and Management” in Berkes, Fikret (ed). Common Property Resources: Ecology and Community-based Sustainable Development. Belhaven Press, London. Hanley, N. and C. L. Spash. 1993. “Cost Benefit Analiysis And The Environmental. Departement of Economics University of Stirling Scotland. England: Edward Elgar Publishing Limited. Hasim. 2011. Pengelolaan Terpadu Danau Limboto Sebagai Sumber Pangan Perikanan Berkelanjutan. Pertanian Dan Pangan: Tinjauan Kebijakan, Produksi Dan Riset. Hal 23-53. Juanda, B. 2009. Ekonometrika: Pemodelan dan Pendugaan. IPB Press. Bogor. [Kantor Kecamatan Limboto]. 2010. Daftar Laporan Penduduk Warga Negara Indonesia Kecamatan
Limboto, Kabupaten Gorontalo. Gorontalo. [Kemenkoperekonomian RI]. 2010. Laporan Tim Narasumber Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI. Koordinasi Kebijakan Pengembangan dan Pengelolaan Sumberdaya Air untuk Ketahanan Pangan. Jakarta. Khan, Aziz. 2006. Pelatihan Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan: “Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Secara Partisipatif Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Modul SEAMEO-BIOTROP. Bogor. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Departemen Pekerjaan Umum (PU). 2006. Laporan Kajian Ekohidrologi Sebagai Dasar Penetapan Pola Pengelolaan Danau Limboto Secara Terpadu. Gorontalo. Merryna. 2009. Analisis WTP Masyarakat Terhadap Pembayaran Jasa Lingkungan Mata Air Cirahab, Desa Curug Goong, Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Banten. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Mitchell, Setiawan, Rahmi. 2003. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Mitchell, R and Carson, R. 1989. “Using Surveys to Value Public Goods: The Contingent Valuation Method”. Resources for the Future, Washington, D.C., Number of Pages: 463. Keywords: Contingent Valuation. Munasinghe, M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. World Bank Environment Paper Number 2. O‟neill, John et.al. 2008. Routledge Introductions to Environment Series Environmental Values. Simultaneously Published in the USA and Canada. New York. Wijayanti, P dan Hastuti. 2009. Analisis Ekonomi Dan Strategi Pengelolaan Ekowisata: Studi Kasus Kawasan Wisata Gunung Salak Endah kabupaten Bogor.
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
185
Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.13/No.2/2009. Hal.39-59. Yulian E. Noor. 2010. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Taman Hutan
186
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
Raya Bukit Soeharto Di Provinsi Kalimantan Timur. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
TENTANG KANDUNGAN TANIN DAN FLAVONOID YANG TERDAPAT PADA BUAH, BATANG DAN DAUN TUMBUHAN MANGGROVE (SONNERATIA ALBA) MELALUI PROSES EKSTRAKSI Rieny Sulistijowati S. Abstrak Mangrove jenis S. alba hidup pada tanah yang rendah kandungan asamnya, hal ini disebabkan bentuk akarnya yang tumpul dan memiliki akar napas (pneumatophore) sehingga pada vegetasinya mangrove jenis ini termasuk dalam vegetasi mangrove inti. Sampel yang digunakan yaitu daun muda, buah tanpa biji dan kulit batang mangrove S.alba. Sampel dicuci sampai bersih menggunakan air mengalir kemudian diangin-anginkan dan dikeringkan dengan pengering mekanik kemudian dihaluskan lalu diekstraksi. Hasil penentuan total flavonoid mangrove S.alba didapatkan total flavonoid terbanyak yaitu pada sampel buah sebanyak 6.86 µg/g. Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa kadar flavonoid terikat pada jagung, gandum, oat dan padi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kadar flavonoid dalam bentuk bebasnya Kata Kunci: Kandungan Tanin, tumbuhan manggrove PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 17.000 pulau 2 dengan luas laut sekitar 5,8 juta km dan bentangan garis pantai sepanjang 81.000 km (NCB, 2012). Sebagian besar pulau tersebut merupakan pulaupulau kecil yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Pulau-pulau kecil merupakan ekosistem pesisir yang memiliki keunikan dan sumberdaya alam yang beragam salah satunya yaitu hutan mangrove. Dalam tiga dekade belakangan ini telah terjadi penurunan secara drastis luas kawasan hutan mangrove di Indonesia dari seluas 4,25 juta ha menjadi 3,7 juta ha, dan bahkan hanya sekitar 2,1 juta ha dalam keadaan utuh (Susmianto dan Anwar, 2014). Pesisir pantai Indonesia banyak terdapat tanaman mangrove. Hutan mangrove tumbuh subur dan luas di daerah aliran sungai yang besar dengan muara yang lebar. Sonneratia alba merupakan salah satu jenis tanaman mangrove yang tumbuh pada lapisan kedua setelah Rhizophora, S.albaini tumbuh pada substrat dari kombinasi antara batu, lumpur dan pasir dengan kedalaman berkisar antara 18-22 cm (Katili, 2009). Suhu tempat hidup o S.albaberkisar 24,4 – 27,9 C dan kelembaban udara sekitar 80 – 95 % (Onrizal, 2009). Derajat keasaman (pH) tanah pada tegakan S.alba berkisar
antara 6-7. Faktor lingkungan yang mempengaruhi S.alba dalam jangka panjang adalah fluktuasi pasang surut dan ketinggian rata-rata permukaan laut. Beberapa faktor yang mempengaruhi ekosistem S.alba mencakup; topografi dan fisiografi pantai, tanah, oksigen, nutrien, iklim, cahaya, suhu, curah hujan, angin dan gelombang laut, pasang-surut laut, serta salinitas. Mangrove merupakan tumbuhan yang hidup di daerah antara level pasang naik tertinggi sampai level di sekitar atau di atas permukaan laut ratarata. Komunitas (tumbuhan) hutan mangrove hidup di daerah pantai terlindung daerah tropis dan subtropis. Hampir 75% tumbuhan mangrove hidup o o antara 35 LU-35 LS dan terbanyak terdapat di kawasan Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Indonesia yang mempunyai curah hujan tinggi dan bukan musiman (Supriharyono, 2009 dalam Iman, 2014). Menurut Fatiqin (2015), mangrove adalah tipe hutan yang khas dan terdapat di daerah pantai tempat pertemuan muara daratan dan lautan. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil. Dengan kondisi lingkungan seperti itu,
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
187
beberapa jenis mangrove mengembangkan mekanisme yang memungkinkan secara aktif mengeluarkan garam dari jaringan, sementara yang lainnya mengembangkan sistem akar napas untuk membantu memperoleh oksigen bagi sistem perakarannya (Noor, 2012). Mangrove memiliki beberapa fungsi diantaranya yaitu tempat pembangunan lahan, pengendapan lumpur, habitat fauna terutama fauna laut, lahan pertanian dan kolam garam, melindungi ekosistem pantai secara global, keindahan bentang darat, tempat pendidikan dan pelatihan. Berdasarkan beberapa fungsi yang ada, dapat dikatakan mangrove sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitar, masyarakat luas serta fauna laut (Puspayanti, 2013). Jenis mangrove Sonneratia yang sering dijumpai adalah S.alba dan S.caseolaris dan umumnya pohon ini tinnginya mencapai 15 m. Bentuk daun pada Sonneratia berbentuk bulat dan berpasangan pada cabangnya, dengan panjang sekitar 7 cm. Pada bagian ujung daun agak melengkung ke bawah (Bengen, 2002 dalam Pursetyo, 2013). Sifat bunga pada jenis ini terdiri dari bunga bergelantungan dengan panjang tangkai antara 9-25 mm. Bunga terletak diketiak daun dan menggantung. Formasinya sendiri-sendiri dengan daun mahkota berjumlah 10-14 berwarna putih dan coklat jika sudah tua dengan panjang 13-16 mm. Kelopak bunga berjumlah 10-14 dengan warna merah muda hingga merah dan panjangnya berkisar antara 30-50 mm, bentuk buah yang khas yaitu buah melingkar spiral, bundar melingkar dengan panjang antara 2-2,5 cm. Hipokotil lurus, tumpul dan berwarna hijau tua keunguan. Panjang hipokotil antara 12-30 cm dan diameternya 1,5 – 2 cm. (Pursetyo, 2013). KAJIAN PUSTAKA A. Habitat Mangrove dan Karateristik Biologi S.alba Mangrove adalah tumbuhan halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang
188
tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis (Aksornkoae, 1993 dalam Oktavianus, 2013). Dengan demikian secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Oktavianus, 2013). Berdasarkan zonasi mangrove, jenis S. alba mendominasi areal yang benar-benar dipengaruhi oleh air laut. Dimana jenis ini tidak toleran terhadap air tawar dalam periode yang lama. S. alba yang memiliki komposisi floristik dari komunitas di zona terbuka ini sangat bergantung pada jenis substrat yang ada, dimana substrat yang dibutuhkan oleh jenis ini adalah cendrung pada daerah tanah yang bercampur lumpur dan pasir. Selain itu, jenis mangrove S. alba Sering ditemukan di lokasi pesisir yang terlindung dari hempasan gelombang, juga di muara dan sekitar pulau-pulau lepas pantai (Noor, 2012). Mangrove jenis S. alba hidup pada tanah yang rendah kandungan asamnya, hal ini disebabkan bentuk akarnya yang tumpul dan memiliki akar napas (pneumatophore) sehingga pada vegetasinya mangrove jenis ini termasuk dalam vegetasi mangrove inti. S. alba sering dijumpai tumbuh bersama dengan Sonneratia caseolaris, sehingga sulit dibedakan. Salah satu yang membedakan adalah bunganya. Secara umum tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuari dengan salinitas 10-30 ppt. Namun beberapa dapat tumbuh dengan salinitas tinggi seperti Sonneratia sp. yang dapat hidup hingga salinitas 44 ppt. Sedangkan suhu yang dibutuhkan tumbuhan mangrove ini adalah 28-30oC (Saparinto, 2007 dalam Kurniaji, 2014).
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
Klasifikasi tumbuhan mangrove (S. alba) menurut Ruslia (2006) dalam Kurniaji (2014) sebagai berikut: Kingdom : Plantae Phyllum : Magnoliophyta
Class Order Family Genus Species
: : : : :
Magnoliopsida Myrtales Sonneratiaceae Sonneratia Sonneratia alba
Gambar 1. Manggrove Sonneratia alba Sumber : Dokumentasi Pribadi Menurut Tjitrosoepomo (2009), S.alba memiliki kulit kayu berwarna putih hingga coklat. Akar berbentuk kabel di bawah tanah dan muncul ke permukaan sebagai akar nafas yang berbentuk kerucut tumpul dan tingginya mencapai 25 cm. Daun S.alba berbentuk bulat ukuran panjang 5-10 cm. Bunga biseksual; gagang bunga tumpul panjangnya 1 cm; terletak di ujung atau pada cabang kecil. Buah S.alba seperti bola, ujungnya bertangkai dan bagian dasarnya terbungkus kelopak bunga. Buah mengandung banyak biji (150-200 biji) dan tidak akan membuka pada saat telah matang. Mangrove S.alba dapat mencapai ketinggian hingga 20 meter dengan diameter 40 cm, memiliki sistem perakaran akar napas, seperti biji, kokoh, lancip, diameter pangkal akar mencapai 5 cm. S.alba umumnya tumbuh di daerah pertemuan antar sungai dan muara atau teluk berlumpur dalam. Beberapa penelitian tentang mangrove menunjukkan bahwa pada buah, daun dan kulit batang memiliki senyawa kimia yaitu flavonoid, saponin
dan tanin yang dapat digunakan sebagai antioksidan dan juga sebagai antibakteri. Dari hasil penelitian Liya dkk (2006) tentang mangrove jenis Pongamia pinnata, menunjukan bahwa pada akar, batang, bunga, daun dan buah mengandung senyawa flavonoid. Menurut Herawati (2011), flavonoid dalam tubuh manusia berfungsi sebagai antioksidan, sehingga sangat baik untuk pencegahan kanker. Manfaat lain flavonoid antaranya melindungi struktur sel, meningkatkan efektifitas Vitamin C, anti inflamasi, mencegah keropos tulang, dan sebagai Antibiotik. Pernyataan ini didukung berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Santi dan Sukada (2015) tentang aktivitas antioksidan flavonoid dari kulit batang gayam (Inocaprus fagiferus). Flavonoid dalam tubuh manusia berfungsi sebagai antioksidan, sehingga sangat baik untuk pencegahan kanker. Manfaat lain flavonoid antaranya melindungi struktur sel, meningkatkan efektifitas Vitamin C, anti inflamasi, mencegah keropos tulang, dan sebagai Antibiotik (Herawati, 2011). Menurut Shah dan Hossain (2014), flavonoid
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
189
dapat melindungi membran lipid dari oksidasi. Flavonoid juga berperan secara langsung sebagai antibiotik dengan mengganggu fungsi dari mikroorganisme seperti bakteri atau virus. Menurut Jawetz et al (2001) dalam Darminto dkk (2009), pertumbuhan bakteri yang terhambat atau kematian bakteri akibat suatu zat antibakteri dapat disebabkan oleh penghambatan terhadap sintesis dinding sel, penghambatan terhadap fungsi membran sel, penghambatan terhadap sintesis protein, atau penghambatan terhadap sintesis asam nukleat. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Dewi dkk (2014) yang menunjukan bahwa, flavonoid dari ekstrak etanol biji terong belanda (Solanum betaceum) memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai IC50 1.162,60 ppm dalam menghambat reaksi peroksidasi lemak pada plasma darah tikus wistar. Selanjutnya hasil penelitian dari Sukadana (2010) menunjukkan bahwa, flavonoid dari akar awar-awar (Ficus septica) mempunyai aktivitas sebagai antibakteri terhadap Vibrio cholera dengan diameter zona hambat pada kosentrasi 100 ppm sebesar 6,0 mm dan Eschericia coli dengan diameter zona hambat pada kosentrasi 100 ppm sebesar 8,0 mm. Selain itu, flavonoid mampu mencegah proses oksidasi dari Low Density Lipoproteins (LDL) dengan cara menangkap radikal bebas dan menghelat ion logam transisi (Waji dan Sugrani, 2009). Flavonoid dalam tubuh manusia berfungsi sebagai antioksidan, sehingga sangat baik untuk pencegahan kanker. Manfaat lain flavonoid antaranya melindungi struktur sel, meningkatkan efektifitas Vitamin C, anti inflamasi, mencegah keropos tulang, dan sebagai Antibiotik (Herawati, 2011). Menurut Shah dan Hossain (2014), flavonoid dapat melindungi membran lipid dari oksidasi. Flavonoid juga berperan secara langsung sebagai antibiotik dengan mengganggu fungsi dari mikroorganisme seperti bakteri atau virus. Menurut Jawetz et al (2001) dalam Darminto dkk (2009),
190
pertumbuhan bakteri yang terhambat atau kematian bakteri akibat suatu zat antibakteri dapat disebabkan oleh penghambatan terhadap sintesis dinding sel, penghambatan terhadap fungsi membran sel, penghambatan terhadap sintesis protein, atau penghambatan terhadap sintesis asam nukleat. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Dewi dkk (2014) yang menunjukan bahwa, flavonoid dari ekstrak etanol biji terong belanda (Solanum betaceum) memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai IC50 1.162,60 ppm dalam menghambat reaksi peroksidasi lemak pada plasma darah tikus wistar. Selanjutnya hasil penelitian dari Sukadana (2010) menunjukkan bahwa, flavonoid dari akar awar-awar (Ficus septica) mempunyai aktivitas sebagai antibakteri terhadap Vibrio cholera dengan diameter zona hambat pada kosentrasi 100 ppm sebesar 6,0 mm dan Eschericia coli dengan diameter zona hambat pada kosentrasi 100 ppm sebesar 8,0 mm. Selain itu, flavonoid mampu mencegah proses oksidasi dari Low Density Lipoproteins (LDL) dengan cara menangkap radikal bebas dan menghelat ion logam transisi (Waji dan Sugrani, 2009). B. Potensi Senyawa Aktif Mangrove Potensi senyawa metabolit sekunder pada tumbuhan mangrove sangat beragam. Senyawa metabolit sekunder yang sering ditemukan pada tumbuhan mangrove yaitu alkaloid, tannin, flavonoid, steroid, fenolat dan terpenoid. Senyawa-senyawa bahan alam ini digolongkan berdasarkan empat kriteria yang berbeda yaitu; struktur kimia, keaktifan fisiologis, taksonomi dan biogenesis (Harborne, 1987 dalam Ummah, 2010). Jika ditinjau secara umum, tanaman mangrove merupakan tumbuhan yang kaya akan senyawa bioaktif. Menurut Bandaranayake (2002) dalam Herawati (2011), metabolit sekunder yang ditemukan pada tumbuhan mengrove meliputi senyawa golongan alkaloid, tannin, fenolat, steroid, flavonoid, dan terpenoid. Hasil penelitian Darminto dkk (2009), tentang identifikasi metabolit sekunder pada jenis mangrove avicennia sp menunjukkan adanya kandungan
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
golongan senyawa metabolit sekunder alkaloid, terpenoid, steroid dan flavonoid pada tumbuhan mangrove. Senyawa metabolit adalah senyawa yang digolongkan berdasarkan biogenesisnya, artinya berdasarkan jalur biosintesisnya. Terdapat 2 jenis senyawa metabolit yaitu metabolit primer dan sekunder. Metabolit primer (polisakarida, protein, lemak dan asam nukleat) merupakan penyusun utama makhluk hidup, sedangkan metabolit sekunder meski tidak sangat penting bagi eksistensi suatu makhluk hidup tetapi sering berperan menghadapi spesies-spesies lain, misalnya zat kimia untuk pertahanan, penarik seks atau feromon. Contoh dari senyawa metabolit sekunder adalah alkaloid, saponin, triterpen dan tanin (Rustaman, 2000).
yang mampu menyamak kulit atau mempresipitasi gelatin dari cairan, suatu sifat yang dikenal dengan astringent. Tanin terbentuk dari senyawa fenol yang berikatan atau bergabung dengan senyawa fenol-fenol yang lain sehingga membentuk polifenol dan akhirnya membentuk senyawa tanin (Pansera, 2004). Senyawa tanin merupakan zat organik yang sangat kompleks dan terdiri dari senyawa fenolik. Istilah tanin pertama sekali diaplikasikan pada tahun 1796 oleh Seguil. Tanin terdiri dari sekelompok zat-zat kompleks terdapat secara meluas dalam dunia tumbuhtumbuhan berpembuluh, antara lain terdapat pada bagian kulit kayu, batang, daun dan buah-buahan. Tanin terdapat luas dalam C. S tanin dapat tumbuhan berpembuluh, e bereaksi dengan protein membentuk polimer yang tidak larut ndalam air. Tanin y merupakan senyawa metabolit sekunder a yang berasal dari tumbuhan yang terpisah dari proteinw dan enzim a sitoplasma. Senyawa tanin tidak larut dalam pelarut non polar, seperti eter, kloroform dan benzenaT tetapi mudah a aseton dan larut dalam air, dioksan, n bahkan tidak alkohol serta sedikit atau i larut dalam etil asetat (Harborne, 1987 dalam Ummah, 2010). n
Tanin adalah nama umum untuk satu kelompok subtansi fenolik polimer
Gambar 1. Struktur Tanin Sumber: Harborne (1987) Secara struktural tanin adalah suatu senyawa fenol yang memiliki berat molekul besar yang terdiri dari gugus hidroksi dan beberapa gugus yang bersangkutan seperti karboksil untuk membentuk kompleks kuat yang efektif dengan protein dan beberapa makromolekul (Horvartrf, 1981).
Sebagai salah satu tipe dari senyawa metabolit sekunder, tanin mempunyai karakteristik sebagai berikut (GinerChavez, 2001): - Senyawa oligomer dengan satuan struktur yang bermacam-macam dengan gugus fenol bebas
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
191
Berat molekul 500-20.000 Larut dalam air, dengan pengecualian beberapa struktur yang mempunyai berat molekul besar - Mampu berikatan dengan protein dan terbentuk kompleks tanin-protein yang larut dan tidak larut. Senyawa tanin pada tumbuhan dibagi menjadi dua golongan yaitu tanin terkondensasi (tanin katekin) dan tanin terhidrolisiskan (tanin galat). Tanin terhidrolisis mengandung ikatan ester yang dapat terhidrolisis jika di didihkan dalam asam klorida encer. Bagian alkohol dari ester ini biasanya berupa gula yaitu glukosa. Tanin terhidrolisis biasanya berupa senyawa amorf, higroskopis, berwarna coklat kuning yang larut dalam air membentuk larutan koloid, tanin mudah diperoleh dalam
bentuk kristal. Tanin terhidrolisis juga larut dalam pelarut organik yang polar tetapi tidak larut dalam pelarut organik non polar misalnya kloroform dan benzena (Robinson,1995 dalam Ummah, 2010). D. Senyawa Flavonoid Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan di alam. Menurut Waji dan Sugrani (2009) senyawa-senyawa fenol ini merupakan zat warna merah, ungu dan biru, dan sebagian zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuhtumbuhan. Flavonoid mempunyai kerangka besar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua cincin benzene (C6) terikat pada suatu rantai propena (C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6. (Markham, 1988 dalam Hanifa dkk, 2015).
-
Cincin Benzene
B A
C
Cincin Benzene
Rantai Propena Gambar 2. Struktur Dasar Flavonoid Sumber : Hanifa (2015) Istilah “Flavonoid” yang diberikan untuk senyawa-senyawa fenol ini berasal dari kata flavon, yakni nama dari salah satu jenis flavonoid terbesar jumlahnya dan juga lazim ditemukan (Waji dan Sugrani, 2009). Flavonoid terdiri dari beberapa sub kelas seperti flavone, flavonol, flavanonol, flavanon, flavan dan anthocyanin. Flavonon ditemukan pada famili jeruk. Biasanya mengandung gula yang berkontribusi pada karakteristik flavor. Flavone umumnya ditemukan pada daun, sedangkan isoflavon seringkali ditemukan pada kacang-kacangan (legume) terutama kacang kedelai.
192
Isoflavon berbeda dengan flavon hanya pada penempatan cincin benzene. Isoflavon umumnya dikenal karena aktivitas estrogeniknya. Seperti halnya flavanon, flavonol umumnya juga mengandung gula. Flavonoid yang paling mudah ditemukan (ubiquitious) dalam makanan adalah kuersetin yang termasuk dalam kelas flavonol. Flavan adalah flavonoid yang mempunyai struktur kimia paling kompleks. Beberapa flavonoid yang termasuk dalam kelas flavan adalah catechin, procyanidin, theaflavin dan flavonoid polimerik lainnya seperti thearubigin (Gafur dkk, 2014).
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
Gambar 3 Struktur Sub Kelas Flavonoid Sumber : Gafur dkk (2014) Flavonoid termasuk senyawa fenol alam yang terdapat di hampir semua tumbuhan. Menurut Rahmat (2009), flavonoid terdapat pada seluruh bagian tanaman, termasuk buah, tepung sari, dan akar. Namun, menurut Waji dan Sugrani (2009) senyawa-senyawa flavonoid terdapat pada semua bagian tumbuhan tinggi, seperti bunga, daun, ranting, buah, kayu, kulit kayu dan akar. Akan tetapi, senyawa tertentu seringkali terkonsentrasi dalam suatu jaringan tertentu, misalnya antoisianidin adalah zat warna dari bunga, buah dan daun. Pada umumnya flavonoid di alam ditemukan dalam bentuk glikosida, dimana unit flavonoid terikat pada suatu gula (Herawati, 2011). Flavonoid merupakan senyawa polar karena memiliki sejumlah gugus hidroksil yang tidak tersubstitusi. Pelarut polar seperti etanol, metanol, etilasetat, atau campuran dari pelarut tersebut dapat digunakan untuk mengekstrak flavonoid dari jaringan tumbuhan (Rijke, 2005 dalam Hanifa dkk, 2015). METODOLOGI Sampel yang digunakan yaitu daun muda, buah tanpa biji dan kulit
batang mangrove S.alba. Sampel dicuci sampai bersih menggunakan air mengalir kemudian diangin-anginkan dan dikeringkan dengan pengering mekanik kemudian dihaluskan lalu diekstraksi. Pelarut pengekstraksi tanin yang digunakan adalah pelarut polar yaitu metanol. Hasil ekstrak diuji menggunakan metode fitokimia kemudian dilanjutkan dengan metode Lowenthal-Protecter. Tahapan meliputi preparasi sampel, ekstraksi tanin dengan metode maserasi, identifikasi dengan metode fitokimia dan penentuan kadar tanin menggunakan metode lowenthal-procter. Sampel tumbuhan mangrove diambil di Desa langge Kecamatan Anggrek kabupaten Gorontalo Utara. Sampel yang diambil kurang lebih sebanyak 5 kg. Proses preparasi sampel menurut Nuraini, (2002) yaitu: a. Buah: dicuci dengan air mengalir kemudian dipotong kecil-kecil dan biji buah dipisahkan. Kemudian sampel dikeringkan dengan pengering mekanik pada suhu 60ºC selama 6 jam, selanjutnya dianginanginkan dan dihaluskan
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
193
menggunakan blender sampai menjadi serbuk halus. b. Daun: dicuci bersih dengan air mengalir kemudian dikeringkan menggunakan pengering mekanik selama 6 jam pada suhu 60ºC. Sampel yang telah kering dianginanginkan dan kemudian dihaluskan dengan blender sehingga diperoleh serbuk halus. c. Kulit batang: dicuci bersih dengan air mengalir kemudian dipotong kecil-kecil dan selanjutnya dianginanginkan. Kemudian sampel dikeringkan menggunakan pengering mekanik selama 7 jam pada suhu 60ºC. Sampel yang telah kering kemudian dihaluskan dengan blender sehingga diperoleh serbuk dan diayak menggunakan ayakan 100 mesh.
Uji tanin pada penelitian ini menggunakan FeCl3 dimana ekstrak direaksikan dengan FeCl3. Jika larutan mengandung senyawa tanin akan menghasilkan warna hijau kehitaman atau biru tua (Widowati, 2006). Prinsip penentuan kadar tanin dengan metode LowenthalProcteradalah berdasarkan jumlah gugus fenol pada senyawa tanin. Titrasi dengan larutan kalium permanganat, gugus fenol pada tanin akan teroksidasi. Jumlah gugus fenol berbanding lurus dengan jumlah kalium permanganat yang diperlukan untuk titrasi.Tanin termasuk golongan senyawa yang memiliki gugus fenol, sehingga jumlah gugus fenol ini diasumsikan mewakili jumlah tanin secara keseluruhan (Sudarmadji, 1997).
Preparasi tumbuhan Mangrove S. alba (daun, buah dan kulit batang)
Ekstraksi (metode maserasi) Identifikasi senyawa tanin Pelarut (metode fitokimia) metanol Uji kadar tanin (Lowenthal-Procter) Analisis Data (Deskriptif kualitatif dan kuantitatif) Gambar 1 Prosedur Kerja
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Identifikasi Senyawa Tanin Uji tanin yang paling dikenal adalah pengendapan gelatinnya. Larutan tanin ditambahkan kedalam larutan gelatin 0,5% yang volumenya sama. Semua tanin menimbulkan endapan sedikit atau banyak. Soebagio
194
(2007) menguji tanin dari ekstrak umbi bawang merah dengan melarutkan sedikit aquades kemudian dipanaskan di atas pemanas air lalu diteteskan dengan larutan gelatin (1:1). Hasil positifnya yaitu terbentuknya endapan putih. Tanin terhidrolisis dan terkondensasi menunjukkan reaksi yang berbeda dalam larutan garam Fe III,
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
tanin terkondensasi meghasilkan warna hijau kehitaman sedangkan tanin terhidrolisis menghasilkan warna biru kehitaman. (Widowati, 2006). Identifikasi dengan Kromatografi Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dapat digunakan untuk uji identifikasi senyawa baku. Parameter pada KLT yang digunakan untuk identifikasi adalah nilai Rf. Dua senyawa dikatakan identik jika mempunyai nilai Rf yang sama jika diukur pada kondisi yang sama (Rohman, 2007). Olivia, (2005) mengidentifikasi senyawa tanin dari kulit batang daun salam dilakukan dengan kromatografi kertas Whatman No.1 pengembang yang digunakan adalah nbutanol-asam asetat-air (4:1:5). Pola kromatogram menunjukkan 2 bercak berwarna merah muda dan jingga pada Rf 0,39 dan 0,53. Isolasi larutan merah tua dilakukan pada kromatografi kertas Whatman No.3 dan pengembang nbutanol-asam asetat-air (4:1:5). Isolat zat warna coklat dari kulit batang salam mengandung prodelfinidin (tanin terkondensasi) dan antosianidin. Yuliani (2003) dalam penelitiannya mengidentifikasi dan menganalisa ekstrak tanin dari daun jambu biji secara visual dan kromatografi lapis tipis. Untuk mengetahui karakteristik ekstrak, maka identifikasi dilakukan dengan cara pengamatan secara visual meliputi bentuk, warna, aroma dan rasa ekstrak, juga terhadap kadar airnya. Sedangkan analisa ekstrak secara KLT dilakukan menurut metode Harborne yang telah dimodifikasi, dengan meggunakan eluen toluen : etil asetat (3:1) dengan media silika gel 60 GF 254 dan untuk pendeteksi menggunakan ferri Sulfat, dari hasil pengamatan terhadap hasil KLT dari ekstrak jambu biji diketahui bahwa ketiga tipe daun jambu biji mempunyai jumlah bercak yang berbeda. Penentuan Kadar Tanin Prinsip penentuan kadar tanin dengan metode Lowenthal-Procter berdasarkan jumlah gugus fenol pada tanin. Tanin termasuk golongan senyawa yang memiliki gugus fenol, sehingga jumlah gugus fenol ini diasumsikan mewakili jumlah tanin secara keseluruhan. Titrasi dengan
larutan kalium permanganat, gugus fenol pada tanin akan teroksidasi. Jumlah gugus fenol berbanding lurus dengan jumlah kalium permanganat yang diperlukan untuk titrasi. Sebagai indikator redoks digunakan larutan indigokarmin dan warna yang dihasilkan adalah kuning emas. Penentuan kadar tanin dengan menggunakan persamaan berikut (Sudarmadji, 1997 dalam Ummah, 2010). 50 A − 50 B ×0,00416 Kadar Tanin = × 100% S Keterangan: Perhitungan: 1 ml KmnO4 0,1 N = 0,00416 g tanin (A dan B) : Banyaknya Km nO4 yang diperlukan untuk titrasi (A merupakan senyawa tanin dan B merupakan senyawa non tanin) S : Berat sampel Penentuan Kadar Tanin dengan Metode Stiansy test Metode kuantitatif untuk tanin salah satunya adalah Stiansy test. Reaksi yang terjadi didasarkan pada kereaktifan struktur flavonoid dari tanin terkondensasi terhadap formaldehid. Hasil reaksi ini akan membentuk endapan sehingga secara kuantitatif dapat diketahui adanya tanin terkondensasi (Giner, 1997). Linggawati (2002) dalam penelitianya menentukan kadar tanin dengan metode stiansy test yaitu sebanyak 0,5 gram contoh tanin dilarutkan dalam 175 ml aquades, ditambahkan 28,5 ml HCl 0,28 N dan 1 ml formaldehid 37%. Larutan diaduk selama 5 menit dan disimpan selama 5 jam. Endapan yang terbentuk dibilas dengan aquades, endapan dikeringkan dalam oven dan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Kadar tanin terkondensasi dihitung berdasarkan gravimetri. Berdasarkan hasil penelitian perhitungan kadar tanin dengan menggunakan metode Lowenthalprocter menunjukkan bahwa dari 50 ml larutan ekstrak buah mangrove S.alba memiliki kadar tanin 41,6%, daun 29,12% dan kulit batang 4,16%. Buah mangrove S.alba memiliki presentase tertinggi bila dibandingkan daun dan kulit batang. Hal ini sesuai dengan teori Lisdawati, dkk (2008), yang menyatakan bahwa buah tanaman pada umumnya
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
195
memiliki kandungan metabolit sekunder yang lengkap dalam jumlah yang banyak bila dibandingkan dengan bagian tanaman lainnya. Tanin yang terdapat pada ekstrak daun mangrove S.alba masih tergolong tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Makkar & Becker, (1998) dalamJayanegaraet al.,(2008), menyatakan bahwa kebanyakan dedaunanmengandung senyawa fenolik dalamkonsentrasi yang tinggi, khususnya dalambentuk senyawa tanin. Kandungan tanin yang terdapat dalam kulit kayu Mangrove S.alba adalah yang paling sedikit bila dibandingkan dengan buah dan daun. Hal ini dipengaruhi oleh ukuran diameter pohon yang dijadikan sampel penelitian karena semakin besar diameter pohon maka semakin lama proses pertumbuhan telah berlangsung, sehingga kulit yang telah dibentuk juga semakin banyak atau tebal dengan demikian tanin yang dibentuk juga semakin banyak. Menurut penelitian Hamidah (2007), diameter pohon berpengaruh sangat nyata terhadap kadar tanin. Semakin besar diameter pohon maka kadar tanin semakin meningkat, disebabkan meningkatnya diameter pohon diikuti oleh bertambahnya ketebalan kulit sehingga pada pohon yang berdiameter besar lebih banyak mengandung sel parenkim. Haygreen & Bowyer, (1989) dalam Hamidah, (2007), menyatakan bahwa diantara xylem(jaringan kayu) dan floem (jaringan kulit kayu), terdapat kambium yang membelah berulang-ulang membentuk jaringan xylem dan floem baru. Dengan demikian pada pohon berdiameter besar akan menghasilkan lebih banyak jaringan floem yang mengandung sel-sel parenkim, karena sel-sel parenkim merupakan salah satu komponen yang menyusun floem. Semakin banyak sel-sel parenkim berarti tanin yang ada juga semakin banyak. PENUTUP Hasil penentuan total flavonoid mangrove S.alba didapatkan total flavonoid terbanyak yaitu pada sampel buah sebanyak 6.86 µg/g. Hasil
196
penelitian lainnya menunjukkan bahwa kadar flavonoid terikat pada jagung, gandum, oat dan padi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kadar flavonoid dalam bentuk bebasnya (Adom dan Rui, 2002 dalam Redha, 2010). Penyataan ini memperkuat dugaan bahwa kadar flavonoid pada buah memiliki kadar flavonoid yang banyak jika dibanding dengan daun dan kulit batang tumbuhan. Nurfadillah (2013), menambahkan bahwa, kondisi lingkungan hidup suatu tumbuhan juga sangat memengaruhi adanya kandungan senyawa bioaktif yang terkandung pada suatu tumbuhan, semakin besar pengaruh dari kondisi perairan yang buruk meyebabkan semakin meningkatnya kandungan senyawa bioaktif pada tumbuhan tersebut. Faktor lingkungan yang memengaruhi stabilitas bahan aktif yaitu suhu, radiasi cahaya, udara (terutama oksigen, karbon dioksida dan uap air) dan kelembaban. Faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi stabilitas seperti pH, sifat air dan kondisi biotik, dan keberadaan bahan kimia lain yang merupakan kontaminan atau dari pencampuran produk yang berbeda secara aktif dapat memengaruhi stabilitas sediaan bahan aktif (Akhila dkk, 2007). Menurut Lenny (2006), banyaknya senyawa flavonoid ini disebabkan oleh berbagai tingkat hidroksilasi, alkoksilasi atau glikosilasi dari struktur tersebut. Modifikasi flavonoid lebih lanjut mungkin terjadi pada berbagai tahap dan menghasilkan penambahan atau pengurangan hidroksilasi, metilasi gugus hidroksi inti flavonoid, isoprenilasi gugus hidroksi atau inti flavonoid, metilenasi gugus orto-hidroksi, dimerisasi pembentukan biflavonoid, pembentukan bisulfat, dan terpenting glikosilasi gugus hidroksi (pembentukan flavonoid O-glikosida) atau inti flavonoid (pembentukan flavonoid C-glikosida) (Markham, 1988 dalam Nugrahaningtyas dkk, 2005). DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, D. 1998. Isolasi Tanin Dari Daun Kaliandra (Calliandra calothyrsus).
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
[SKRIPSI] Jurusan Kimia Institut Pertanian Bogor. Bogor Ahmad, M.M., 2006, Anti Inflammatory Activities of Nigella sativa Linn (Kalongi, black seed), (http://lailanurhayati.multiply.com/j ournal, diakses 18 November 2010). Aini K, Betty L, Balqis. 2014. Skrining Fitokimia Dan Penentuan Aktivitas Antioksidan Serta Kandungan Total Fenol Ekstrak Buah Labu Siam (Sechium edule (Jacq.) Sw.). Karya Ilmiah. Jurusan Biologi Fakultas matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang. Malang Akhila, J.S., Shyamjith, Deepa, dan Alwar M.C. 2007. Acute toxicity studies and determination of median lethal dose. Journal Science. 93(7):917-920. Apriani, J. N. 2015. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Jeruk pepaya (Citrus medica) Terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Makassar. Asikin, S. 2014. Serangga Dan Serangga Musuh Alami Yang Berasosiasi Pada Tumbuhan Liar Dominan Di Lahan Rawa Pasang Surut. Jurnal teknologi pertanian. Prosiding Seminar Nasional. Astarina NWG, Astuti, Warditiani NK. 2013. Skrining Eksrtak Metanol Rimpang Bangle (Zingiber purpureum Roxb.). Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana. Bali Awika JM, Yang LY, Browning JD, and Faraj A. 2009. Comparative Antioxidant, Antipoliferatif and Phase II Enzyme Inducing Potential of Sorghum (Sorghum bicolor) Varieties. LWT - Food Science and Technology Journal. 42: 1041-1046. Azizah, D.A., Kumolowati E., dan Faramayuda F. 2014. Penetapan Kadar Flavonoid Metode Alcl3 Pada Ekstrak Metanol Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao) .
Jurnal Ilmiah Farmasi, ISSN 2354-6565. Badan Pusat Statistik. 2012. Gorontalo dalam Angka. Provinsi Gorontalo Bismo, S. 2006. Eknologi Radiasi Sinar Ultra-Ungu (UV) dalam Rancang Bangun Proses Oksidasi Lanjut untuk Pencegahan Pencemaran Air dan Fasa Gas. Modul. Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia. Cahyanta, A. N. 2016. Penetapan Kadar Flavonoid Total Ekstrak Daun Pare Metode Kompleks Kolorimetri Dengan Pengukuran Absorbansi Secara Spektrofotometri. Jurnal Farmasi. Stikes Bhamada. Tegal. Chang, C., Yang M., Wen H., and Chern J. 2002. Estimation of total flavonoid content in propolis by two complementary colorimetric methods. Journal of Food and Drug Analysis, Vol. 10, No. 3. Cheong, W.J., et.al. 2005. Determination Of Catechin Compounds In Korea Green Tea Influsions Under Various Extraction Conditions By High Performance Liquid Chromatography. department of chemistry anginstitute of basic research, inha university, bull. Korea chem.sec.2005.vol.26, no.5 Darminto, Alimuddin, dan Dini I. 2009. Indentifikasi Senyawa Metabolit Sekunder Potensial Menghambat Pertumbuhan Bakteri Aeromonas hydrophyla dari Kulit batang Tumbuhan Aveccennia sp. Jurnal Chemica. Vol. 10 Nomor 2. Deny. 2007. Pemanfaatan Tannin Sebagai Perekat. Jurnal Penelitian Fakultas Teknologi Pertanian Bogor. Desmiaty, Y., Ratnawati J. dan Andini P. 2009. Penentuan Jumlah Flavonoid Total Ekstrak Etanol Daun Buah Merah (Pandanus conoideus lamk) Secara Kolorimetri Komplementer. Jurnal Farmasi. Jurusan Farmasi Universitas Achmad Yani. Jawa Barat.
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
197
Dewi, A.C., Puspawati, Swantara I.D., Asih I.A.R. dan Rita W.S. 2014. Aktivitas Antioksidan Senyawa Flavonoid Ekstrak Etanol Biji Terong Belanda (Solanum betaceum) Dalam Menghambat Reaksi Peroksidasi Lemak Pada Plasma Darah Tikus Wistar. Jurnal. Volume 2, Nomor 1. Fatiqin, A. 2015. Eksplorasi Aktinomiset Sebagai Penghasil Antibiotika Dari Tanah Mangrove Sonneratia caseolaris Di Tanjung Api Api. Jurnal Biota. Vol. 1 No. 1. Firman F. 2014. Analisis Data Statistik Deskriptif. Gafur, M.A., Isa I. dan Bialangi N. 2014. Isolasi Dan Identifikasi Senyawa Flavonoid Dari Daun Jamblang (Syzygium cumini). Jurnal Kimia. Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo. Garmana, A.N., Sukandar E.Y. dan Fidriannya I. 2014. Activity of Several Plant Extracts Against Drug-Sensitive and DrugResistant Microbes. Journal Procedia Chemistry. 164 – 169. Giner-Chavez, B.I. dan Cannas, A. 2001. Tannins: Chemichal Structural The Struktur Of Hydrolysable Tannins. http://www.ansci.cornell.edu/plant/ toxicagents/tannin/image/int.big.gi f. cornert university. Diakses tanggal 20 November 2015 Halimu, R.B. 2016. Analisis Kadar Tanin Pada Buah, Daun Dan Kulit Batang Mangrove Sonneratia alba Dengan Metode Lowenthalprocter. Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo. Halvorsen, B. L., Holte K., dan Myhrstad M.C.W. 2002. A systematic Screening of total antioxidant In Diethaey Plants.J. Nutrition. 135 : 461 – 471. Hamidah S, Elva D I. 2007. Rendemen Dan Kadar Tanin Kulit Kayu ApiApi (Avicennia marina Vierh) Melalui Metode Ekstraksi Air Panas. Jurusan Manajemen
198
Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat. Banjarmasin.. Jurnal Hutan Tropis Borneo Volume 08 No. 2189-105 Hanifa, R.A., Lukmayani Y., dan Syafnir L. 2015. Uji Antioksidan Serta Penetapan Kadar Flavonoid Total Dari Ekstrak Dan Fraksi Daun Paitan (Tithonia Diversifolia (Hemsley) A. Gray). Prosiding Penelitian Unisba. ISSN 24606472. Bandung. Harborne, S.N. 1986. Phytochemical Methods. Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata dan Iwang Sudiro. Edisi ke-2. ITB. Bandung. Herawati, N. 2011. Identifikasi Senyawa Bioaktif Tumbuhan Mangrove Sonneratia alba. Jurnal Chemica. Vol. 12 Nomor 2, Hal 54 – 58. Hernani dan Nurdjanah R. 2009. Aspek Pengeringan Dalam Mempertahankan Kandungan Metabolit Sekunder Pada Tanaman Obat. Jurnal TRO. ISSN 1829-6289. Huda, N. 2001. Pemeriksaan Kinerja Spektrofotometer UV-Vis GBC 911A Menggunakan Pewarna Tartrazine CL19140. Jurnal Sigma Epilson. ISSN 0853-9013. Iman, A.N. 2014. Kesesuaian Lahan Untuk Perencanaan Rehabilitasi Mangrove Dengan Pendekatan Analisis Elevasi Di Kuri Caddi, Kabupaten Maros. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Makassar. Indrayani, S. 2008. Validasi Penetapan Kadar Kuersetin Dalam Sediaan Krim Secara Kolorimetri Dengan Pereaksi AlCl3. Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta. Istiqomah. 2013. Perbandingan Metode Ekstraksi Maserasi Dan Sokletasi Terhadap Kadar Piperin Buah Cabe Jawa (Piperis retrofracti fructus). Skripsi. Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah. Jakarta. Katili, A S. 2009. Penurunan Jasa (Servis) Ekosistem Sebagai Pemicu Meningkatnya Perubahan
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
Iklim Global. Jurnal Pelangi Ilmu Vol. 1 : 1 – 11 Kelly, S. G. 2011. Quersetin. Alternative Medicine Review. Journal Volume 16, number 2. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Cetakan Pertama. Jakarta : UIPress. Kristianto, A. 2013. Pengaruh Ekstrak Kasar Tanin Dari Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) Pada Pengolahan Air. [SKRIPSI]. Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Jember. Jember Kurniaji, A. 2014. Uji Daya Hambat Ekstrak Daun Mangrove (Sonneratia alba) Pada Bakteri Vibrio Harveyi Secara In Vitro. Skripsi. Universitas Halu Oleo. Kendari. Lenny, S. 2006. Senyawa Flavonoida, Fenilpropanoida Dan Alkaloida. Karya Ilmiah. Departemen Kimia. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara. Medan. Lisdawati V, Daroham M, Sukmayanti A. 2008. Karakterisasi Daun Miana (Plectranthus scutellarioides (L.) Dan Buah Sirih (Piper betle L.) Secara Fisiko Kimia Dari Ramuan Lokal Antimalaria Daerah Sulawesi Utara. Artikel Media Litbang Kesehatan. Vol 18, No 4. Liya, L., Xiang L., Shi C., Deng Z., Fu H., Proksch P. dan Lin W. 2006. Pongamone A–E, five flavonoids from the stems of a mangrove plant, Pongamia pinnata. Journal Phytochemistry. 1347–1352. Lumbessy, M., Abidjulu J. dan Paendong J.E. 2013. Uji Total Flavonoid Pada Beberapa Tanaman Obat Tradisonal Di Desa Waitina Kecamatan Mangoli Timur Kabupaten Kepulauan Sula Provinsi Maluku Utara. Jurnal Mipa Unsrat Online. 2 (1) 50-55. Marduansyah, 2013. Penentuan Konversi CO Yang Menjadi Metanol Pada Metanol Reaktor Di PT. Kaltim Metanol Industri. Karya
Ilmiah. Program Studi D3 Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Markham, K.R dan Andersen O.M. 2006. Chemistry, Bichemistry and Aplications. Press is an Imprint of Taylor and Francis. Maulida, R dan Guntarti A. 2015. Pengaruh Ukuran Partikel Beras Hitam (Oryza sativa L.) Terhadap Rendemen Ekstrak dan Kandungan Total Antosianin. Jurnal Pharmaҫiana, Vol. 5, No.1. Mulyani, Y., Bachtiar E., dan Kurnia U.A. 2013. Peranan Senyawa Metabolit Sekunder Tumbuhan Mangrove Terhadap Infeksi Bakteri Aeromonas hydrophila Pada Ikan Mas (Cyprinus caprio). Jurnal Akuatika. Vol. IV, No.1. ISSN 0853-2523. National Coordinating Body (NCB) MFF Indonesia. 2012. Adaptasi Pengelolaan Pesisir Berkelanjutan; Perbaikan dan Rehabilitasi Kerusakan Pesisir Utara Jawa. Prosiding Seminar Nasional Mangrove. Semarang. Neldawati, Ratnawulan, dan Gusnedi. 2013. Analisis Nilai Absorbansi dalam Penentuan Kadar Flavonoid untuk Berbagai Jenis Daun Tanaman Obat. Jurnal Pillar Of Physics, Vol. 2., 76-83. Noor, R.Y., Khazali M., dan Suryadiputra I.N.N. 2012. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP. Bogor. Nugrahaningtyas, K.D., Matsjeh T.S. dan Wahyuni U.W. 2005. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Flavonoid dalam Rimpang Temu Ireng (Curcuma aeruginosa). Jurnal Biofarmasi. ISSN : 16932242. Nuraini, A.D. 2007. Ekstraksi Komponen Antibakteri Dan Antioksidan Dari Biji Teratai (Nymphaea pubescens). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nuraini, F, 2002, Isolasi Dan Identifikasi Tannin Dari Daun Gamal (Gliricidiasepium (Jackquin) kunth ex walp.). [SKRIPSI]. Jurusan
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
199
Kimia
200
Universitas
Brawijaya.
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
Malang
BAHASA DAERAH GORONTALO DAN FUNGSINYA SEBAGAI MEDIUM SASTRA GORONTALO Sance A. Lamusu Universitas Negeri Gorontalo Abstrak Diketahui bersama bahwa di Indonesia ini masih terdapat penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pada pendidikan dasar karena bahasa Indonesia belum dipahami oleh siswa, seperti di sekolah- sekolah terpencil, dan di sekolah-sekolah yang diperkotaan bahasa dan sastra daerah digunakan sebagai mata pelajaran muatan lokal. Jika dicermati hal ini, mengisyaratkan bahwa bahasa dan sastra daerah memainkan peran yang amat menentukan sebagai sarana komunikasi dan sarana ekspresi seni dan budaya di kalangan kelompok masyarakat penggunanya. Bahasa dan sastra daerah pada dasarnya ditentukan oleh ketepatan serta kejelasan kaidah yang mengatur penggunaan bahasa dan sastra, serta kelengkapan perbendaharaan kata dan peristilahannya. Oleh sebab itu, perlu adanya gramatikal bahasa daerah dan kejelasan fungsinya sebagai media sastra daerah utamanya bagi bahasa dan sastra daerah yang baru mengenal tradisi tulisan seperti bahasa dan sastra daerah Gorontalo. Kata kunci: bahasa daerah, sastra dan tradisi tulisan PENDAHULUAN Bahasa dan sastra daerah di Indonesia jumlahnya sangat banyak karena setiap suku bangsa memiliki bahasa dan sastra daerah yang sampai saat ini masih dipertahankan keberadaannya. Bahasa dan sastra daerah merupakan alat komunikasi dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Selain itu, bahasa dan sastra daerah digunakan sebagai sarana ekspresi dalam bidang kebudayaan dan kesenian. Walaupun dalam tradisi dan intensitasnya tidak sama, karena ada bahasa dan sastra daerah yang sudah sejak lama telah mengenal tradisi tulisan misalnya, bahasa dan sastra Jawa, Sunda, Minagkabau, dan juga Bugis dan ada pula bahasa dan sastra daerah yang baru akan mengenal tradisi tulisan, antara lain bahasa dan sastra daerah Gorontalo. Ketidaksamaan tradisi dan intensitas bahasa dan sastra ini tampak pula pada pelaksanaan seni dan adat istiadatnya, dan yang tidak kalah penting pula peran bahasa dan sastra daerah dalam bidang pendidikan. Jika bahasa Gorontalo merupakan medium sastra Gorontalo, maka jelas keterlibatan pengarang
(khususnya masyarakat Gorontalo) dalam menggeluti bahasa daerah Gorontalo itu secara serius untuk kepentingan kreatifnya. Misalnya, seorang pengarang dalam memilih kata (diksi) tentu mencerminkan kekhususan dirinya atau masyarakatnya dengan pengarang atau masyarakat lainnya. Kebebasan seorang pengarang sastra dalam memilih kata yang digunakan tetap berada pada kemungkinan aturan kebahasaan. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode linguistik lapangan yang mengacu pada teori Samarin (1998). Teori linguistik lapangan merupakan suatu cara untuk memperoleh data dan mempelajari fenomena-fenomena linguistik. Bidang ini meliputi dua peserta: penutur suatu bahasa dan peneliti bahasa itu. Penelitian yang paling tepat dan langsung adalah melalui hubungan pribadi. Penutur bahasa yakni informan adalah sumber informasi bahasa itu. Menurut Hockett (dalam Samarin, 1998: 15) pendekatan studi bahasa seperti ini dinamakan metode informan dan dapat juga disebut metode kontak. Teori yang akan dijadikan dasar untuk menganalisis
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
201
data penelitian ini adalah teori struktural baik teori struktural kebahasaan maupun teori struktural kesastraan. KAJIAN PUSTAKA Teori Strukturalis Teori strukturalis dalam linguistik strukturalis berusaha untuk mendeskripsikan suatu bahasa berdasarkan ciri atau sifat khas yang dimiliki bahasa itu. Teori strukturalis ini berawal dari Saussure (1988: 219) yang membedakan hubungan sintagmatik dan paradigmatik atau asosiatif. Hubungan sintagmatik adalah kalimat yang tersempurna. Hubungan sintagmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan, yang tersusun secara berurutan, bersifat linier. Di dalam sintagmatik tidak ada batas yang jelas antara peristiwa bahasa, pemarkah adat kolektif, dan peristiwa parole yang tergantung dari kebebasan individu. Hubungan sintagmatik pada tataran fonologi tampak pada urutan fonem-fonem pada sebuah kata yang tidak dapat diubah tanpa merusak makna kata itu. Hubungan sintagmatik pada tataran morfologi tampak pada urutan morfem-morfem pada suatu kata, yang juga tidak dapat diubah tanpa merusak makna dari kata tersebut. Ada kemungkinan maknanya berubah, tapi ada kemungkinan pula tak bermakna sama sekali. Hubungan sintagmatik pada tataran sintaksis tampak pada urutan kata-kata yang mungkin dapat diubah, tetapi mungkin juga tidak dapat diubah, tetapi mungkin juga tidak dapat diubah tanpa mengubah makna kalimat tersebut, atau menyebabkan tak bermakna sama sekali (dalam Chaer, 2007: 349). Di samping hubungan sintagmatik ada juga hubungan paradigmatik atau asosiatif adalah hubungan yang digandai oleh makna dan bentuk, dan ada kalanya hanya makna atau hanya bentuk. Kata apa pun selalu dapat diasosiasikan dengan cara apa pun (Saussure, 1988: 223). Hubungan paradigmatik atau asosiatif ini dapat dibuktikan dengan cara substitusi baik pada tataran fonologi,
202
morfologi, maupun tataran sintaksis (dalam Chaer, 2007: 350). Berdasarkan teori struktural yang diuraikan di atas, maka yang menjadi dasar analisis data penelitian ini adalah leksikon, morfologi, dan sintaksis (Samsuri, 1981: 51-246; Samarin, 1988: 275-287; Robins, 1992: 223-305; Verhaar, 1996: 97-366;). Konsep Leksikon atau Kosakata Leksikon atau kosakata adalah label-label yang diberikan kepada bentuk-bentuk bahasa sasaran sebagai suatu pejelasan yang berbeda antara bentuk yang satu dengan bentuk lainnya. Setiap leksikon atau kosakata dapat dikelompokkan ke dalam kelaskelas gramatikal, misalnya ke dalam kelas kata benda, kata kerja atau kata sifat atau dikelompokkan ke dalam bidang-bidang semantik. Prinsip yang digunakan dalam menentukan makna adalah perolehan informasi yang sebanyak-banyaknya mengenai konteks kebahasaan dan fisik seperti yang diartikan orang atau penjelasan suatu istilah (Samarin, 1988: 287). Kata pada dasarnya merupakan satuan dalam bahasa sebagai satuan sistem. Bloomfield (dalam Robins, 1992: 228) mengatakan bahwa kata adalah ”bentuk bebas terkecil”. Kata sebagai penggalan ujaran yang membolehkan jeda singkat di kedua sisinya yang dapat juga muncul di antara jeda-jeda tak tentu sebagai kalimat terkecil. Kata yang didefinisikan sebagai bentuk bebas terkecil merupakan elemen yang sama dengan penggalan ujaran yang ditinjau dari perbedaan intonasi, tekanan, dan kadang-kadang perbedaan komposisi segmental dalam situasi yang sesuai. Menurut Robins (1992: 469) bahwa setiap bahasa harus menjadi memadai bagi kebutuhan dan lingkungan para penuturnya pada setiap waktu. Oleh sebab itu kosakata yang berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu waktu ke waktu yang lain berkenaan dengan kayanya atau miskinnya unsur leksikal dalam berbagai bidang atau jangkauan semantis. Misalnya, bahasa Arab dikatakan memiliki sejumlah besar kata untuk berbagai jenis unta dan berbagai keadaan kesehatan unta. Di samping
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
spesifikasi leksikon atau kosakata dalam berbagai bidang semantis sesuai dengan keperluan kebudayaan dan lingkungan dari penutur yang berbedabeda, maka hal yang wajar pula bahasabahasa itu berbeda karena dalam pembentukan leksikon atau kosakatanya bertalian dengan topik tertentu. Misalnya, sisten istilah kekerabatan biasanya dibentuk berdasarkan pembedaan leksikal dalam hubungan keluarga manusia yaitu: hubungan antara orang tua dan anak, pertalian keluarga, dan hubungan anatara suami dan istri. Tentu saja setiap bahasa pembedaan untuk bidang leksikon atau kosakata ini berbedabeda. Sistem leksikal, baik dari istilah kekerabatan maupun dari jangkauan semantis lainnya, tidak sama dengan sistem hubungan antar pribadi, seperti sistem kekeraabatan yang merupakan bagian dari kehidupan sosial bangsabangsa. Selain itu, perbedaan antarsistem leksikal tidak selalu menyiratkan perbedaan perilaku di bidang-bidangkehidupan meskipun ada beberapa korelasi, seperti keharusan menyatakan rasa hormat bagi orang yang lebih tua dengan menggunakan kata-kata tertentu yang sesuai dengan istilah kekerabatan. Suatu klasifikasi bahasa lebih khusus tentang jenis-jenis leksikon atau kosakata dapat dilakukan berdasarkan berbagai ciri yang paling menonjol dalam kata-kata itu sendiri. Malinowski (dalam Samarin, 1988: 289) mengatakan kata-kata harus dipelajari dalam tiga jenis konteks: konteks kebudayaan, konteks keadaan (apa yang diucapkan ketika mengungkapkan tuturan), dan konteks bahasa (tuturan yang sebenarnya di mana kata itu digunakan). Proses Pembentukan Kata Proses pembentukan kata disebut juga dengan proses morfologis yakni cara pembentukan kata-kata dengan menghubungkan morfem yang satu dengan morfem yang lain. Kata merupakan bentuk minimal yang bebas. Bentuk bebas berarti bentuk tersebut dapat diucapkan tersendiri, bentuk bebas itu bisa dikatakan, bisa didahului dan diikuti oleh jeda yang potensial. Di
samping itu, bentuk bebas yang dimaksud akan mendapat pola intonasi dasar /[2] 3 1). Misalnya bentuk-bentuk /apa/, / mana/, /sukar/ mendapat kontur intonasi /3 1/; bentuk /keras/, /beras/, /deras/, /kera/, /dera/ mendapat kontur intonasi /231/, dan lain sebagainya. Jadi proses pembentukan kata atau proses morfologis ialah proses penggabungan morfem-morfem menjadi kata. Morfem adalah bentuk terkecil dan kata adalah bentuk yang terbesar. Menurut Samsuri (1981: 190193), bahwa proses pembentukan kata atau proses morfologis tersebut dapat melalui afiksasi, reduplikasi, perubahan interen, suplisi, dan modifikasi kosong. Afiksasi adalah penggabungan akar atau pokok dengan afiks. Afiks terdiri atas awalan, sisipan, dan akhiran. Reduplikasi adalah proses morfologis melalui pengulangan kata. Reduplikasi terdiri atas: reduplikasi penuh, reduplikasi dengan modifikasi, dan reduplikasi sebagian. Perubahan interen adalah proses morfologis yang menyebabkan perubahan-perubahan bentuk morfem-morfem, karena perubahan-perubahannya terdapat di dalam morfem-morfem itu sendiri. Suplisi adalah proses morfologis yang menyebabkan adanya bentuk yang baru. Modifikasi kosong adalah proses morfologis yang tidak menimbulkan perubahan pada bentuknya, tetapi konsepnya yang berubah. Selain itu, dalam pembentukan kata dikenal adanya konstruksi morfologis merupakan bentukan kata dari morfem tunggal dan gabungan antara morfem yang satu dengan morfem yang lain. Bentukan morfem tunggal ini disebut konstruksi sederhana. Bentukan kata yang merupakan gabungan antara morfem yang satu dengan morfem yang lain disebut konstruksi rumit. Konstruksi sederhana terdiri atas kata-kata yang merupakan morfem tunggal atau akar kata dan konstruksi yang terdiri atas morfem-morfem tunggal tetapi pada umumnya berwujud kecil, secara morfologis dapat berdirisendiri, tetapi secara fonologis biasanya mendahului atau mengikuti morfemmorfem lain yang disebut klitik. Jika
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
203
morfem-morfem tersebut, mendahului kata-kata lain disebut proklitik, dan jika mengikuti kata-kata tersebut disebut enklitik. Konstruksi rumit adalah hasil proses penggabungan antara dua morfem atau lebih. Bentukan ini bisa berupa gabungan antara dan afiks, seperti ber + juan, ter+tawa, atau bentukan berupa gabungan antara akar dan afiks, seperti gulai + i, ke + hujan + an; atau bentukan berupa gabungan antara pokok dan pokok, seperti gelak + tawa, atau bentukan berupa gabungan antara pokok dan akar, seperti daya +juang, atau bentukan yang berupa gabungan akar dan akar, seperti meja + makan. Adanya lapisan-lapisan konstruksi tersebut, terdapat perbedaan infleksi dan derivasi. Infleksi adalah perubahan morfemis dengan mempertahankan identitas leksikal dari kata yang bersangkutan dan derivasi adalah perubahan morfemis yang menghasilkan kata dengan identitas morfemis yang lain. Misalnya, dalam bahasa Inggris friend dan friends adalah leksem yang sama, dan friend dan befriend merupakan leksem-leksem yang berbeda. Verba to befriend adalah hasil derivasi dari nomina friend, dan bukan hasil infleksi, karena kedua kata itu tidak sama kelasnya yaitu verba dan nomina. Jikalau dua kata dengan dasar yang sama termasuk kelas kata yang sama tetapi berbeda maknanya dan kedua kata itu juga berbeda secara leksikal, maka disebut infleksi. Mislanya, dalam bahasa Inggris; friend dan friendship atau dalam bahasa Indonesia pengajar dan pengajaran yang samasama kelas katanya dan dasarnya. Di samping itu pula, terdapat pemajemukan Majemuk ialah konstruksi yang terdiri atas dua morfem atau dua kata atau lebih. Konstruksi majemuk ini berupa akar + akar, atau akar + pokok (pokok + akar) yang bermakna. Misalnya, dalam bahasa Indonesia terdapat konstruksi: 1) [sabun mandi, rumah sakit, kaki tangan ]; 2) [orang mandi, anak sakit, kaki meja]. Konstruksi pada deretan (1) tidak dapat disisipkan morfem yang lain, oleh sebab itu disebut majemuk dan konstruksi
204
pada deretan (2) dapat disisipkan morfem yang lain disebut frasa. Pada konstruksi majemuk dan konstruksi frasa dapat dibedakan mana yang disebut endosentrik dan mana eksosentrik. Suatu bentukan disebut endosentrik, apabila konstruksi distribusiya sama dengan kedua, ketiga, atau salah satu unsur-unsurnya. Suatu bentukan disebut disebut eksosentrik, apabila konstruksi itu berlainan distribusinya dari salah satu unsurunsurnya. Misalnya, bentukan anak malas dan si kaya. Bentukan anak malas adalah bentukanendosntrik dan bentukan si kaya disebut eksosentrik. Proses Pembentukan Kalimat Di dalam bahasa Indonesia terdapat kalimat yang terdiri atas satu kata, dua kata, tiga kata, empat kata, lima kata, enam kata, tujuh kata, delapan kata dan seterusnya. Tetapi perlu diketahui ketentuan suatu kalimat tidak tergantung banyaknya jumlah kata yang menjadi unsurnya melainkan intonasinya. Menurut Ramlan (dalam Putrayasa, 2007: 20) bahwa setiap satuan kalimat dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik. Menurut Alwi et.al, 1998 dan Kridalaksana 1985 bahwa kalimat dalam wujud lisan, kalimat diucapkan dengan suara naik turun dan keras lembut, disela jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir yang diikuti oleh kesenyapan yang mencegah terjadinya perpaduan asimilasi bunyi ataupun proses fonologis lainnya. Dalam wujud tulisan kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru. Selain itu, kalimat dapat dikatakan adalah susunan kata-kata yang teratur yang berisi pikiran yang lengkap (Chaer, 2007: 240). Jenis kalimat menurut Chaer (2007) terdiri atas: kalimat inti dan non inti; kalimat tunggal dan kalimat majemuk; kalimat myor dan kalimat minor; kalimat verbal dan kalimat nonverbal; kalimat bebas dan kalimat terikat. Kaimat inti biasa disebut kalimat dasar adalah kalimat yang dibentuk dari klausa inti yang lengkap bersifat deklaratif, aktif, atau netral, dan
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
afirmatif. Dalam bahasa Indonesia pola dan struktur kalimat inti sebagai berikut: - FN + FV: Ayah datang - FN + FV + FN: Ayah membeli ayam - FN + FV + FN + FN: Ayah memperindah rumah ibu - FN + FA: Ibu cantik - FN + FNum: Uangnya lima juta - FN + FP: Uangnya di dompet Keterangan: FN = Frasa Nominal FV = Frasa Verba FA = Frasa Ajektiva FNum = Frasa Numeral FP = Frasa Preposisi FN dapat diisi dengan kata nominal; FV dapat diisi dengan kata verbal;
KALIMAT INTI
FA dapat diisi dengan kata ajektifal; dan FNum dapat diisi dengan kata numeralia. Kalimat inti dapat diubah menjadi kalimat noninti dengan berbagai proses transformasi seperti transformasi pemasifan, transformasi penanyaan, transformasi pemerintahan, transformasi penginversian, transformasi pelesapan, dan transformasi penambahan. Mislanya dari kalimat inti ‟Ayah membeli ayam‟ dapat diberlakukan transformasi pemasifan menjadi ‟Ayam dibeli ayah‟. Jadi dapat dikatakan kalimat inti +proses transformasi = kalimat noninti. (lihat gambar 1 ) di bawah ini:
PROSES TRANSFORMASI Gambar 1
Kalimat tunggal dan kalimat majemuk berdasarkan banyaknya klausa yang ada di dalam kalimat tersebut. Jika klausanya hanya satu, maka kalimat itu disebut kalimat tunggal. Jika di dalam kalimat itu terdapat klausa lebih dari satu, maka kalimat itu adalah kalimat majemuk. Berkenaan dengan sifat hubungan klausa-klausa di dalam kalimat itu, dibedakan adanya kalimat majemuk koordinatif atau kalimat majemuk setara; kalimat majemuk subordinatif atau kalimat majemuk bertingkat; dan kalimat majemuk kompleks. Kalimat majemuk koordinatif atau kalimat majemuk setara adalah kalimat majemuk yang klausa-klausanya memiliki status yang sama, yang setara, atau yang sederajat. Klausa-klausa dalam kalimat majemuk koordinatif secara eksplisit dihubungkan dengan konjungsi koordinatif, seperti dan, atau, tetapi, lalu. Tetapi terkadang pula hubungan hanya secara implisit artinya tanpa menggunakan konjungsi. Selain itu, apabila ada unsur klausa yang sama, maka unsur yang sama itu disenyawakan atau dirapatkan. Kalimat majemuk subordinatif adalah kalimat majemuk yang hubungan antara klausa-klausanya tidak setara
KALIMAT NONINTI
atau tidak sederajat. Klausa yang satu merupakan klausa atasan, dan klausa yang lain merupakan klausa bawahan. Kedua klausa itu biasanya dihubungkan dengan konjungsi subordinatif, seperti kalau, ketika, meskipun, karena. Tetapi terkadang pula hubungan itu dilakukan secara implisit. Proses terbentuknya kalimat majemuk subordinatif dapat ditinjau dari dua sudut pandang yang bertentangan. Pertama: dipandang sebagai hasil proses menggabungkan dua buah klausa atau lebih, klausa yang satu dianggap sebagai klausa atasan atau klausa utama atau induk kalimat dengan klausa bawahan atau anak kalimat. Kedua: konstruksi kalimat subordinatif adalah sebagai hasil proses perluasan terhadap salah satu unsur klausanya. Jenis kalimat majemuk yang lain adalah kalimat majemuk kompleks yang terdiri atas tiga klausa atau lebih. Dalam kalimat majemuk kompleks ini ada yang dihubungkan secara koodinatif dan ada pula yang dihubungkan secara subordinatif. Jadi kalimat majemuk ini merupakan campuran dari kalimat majemuk koordinatif dengan kalimat majemuk suboordinatif. Pembedaan kalimat mayor dan kalimat minor adalah berdasarkan
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
205
lengkap tidaknya klausa yang menjadi konstituen dasar kalimat itu. Jika klausanya lengkap, minimal memiliki subjek dan predikat, maka kalimat itu disebut kalimat mayor. Jika klausanya tidak lengkap, hanya terdiri atas subjek saja, objek saja, atau keterangan saja, maka kalimat itu disebut kalimat minor. Kalimat minor meskipun unsur-unsurnya tidak lengkap, tetapi dapat dipahami karena konteksnya diketahui oleh pendengar atau pembicara. Konteks ini bisa berupa konteks kalimat, konteks situasi, atau juga konteks topik pembicaraan. Jadi kalimat-kaliamt jawaban singkat, kalimat seruan, kalimat perintah, kalimat salam adalah termasuk kalimat minor. Adanya pembedaan klausa verbal dan klausa nonverbal karena konstituen dasar kalimat biasanya adalah klausa, dengan demikian pembahasan tentang kalimat verbal dan kalimat nonverbal sejalan dengan pembahasan tentag klausa verbal dan klausa nonverbal. Jadi dapat dikatakan bahwa kalimat verbal adalah kalimat yang dibentuk dari klausa verbal atau kalimat yang predikatnya berupa kata atau frase yang berkategori verba. Kalimat nonverbal adalah kalimat yang predikatnya bukan kata atau frase yang berkategori verbal, tetapi nominal, adjektifal, adverbial, dan numeralia. Tipe verba dibedakan atas kalimat transitif, kalimat intrasitif, kalimat aktif, kalimat pasif, kalimat dinamis, dan kalimat statis. Kalimat transitif adalah kalimat yang predikatnya berupa verba transitif, yaitu verba yang biasanya diikuti oleh sebuah objek atau bersifat monotransitif, dan apabila verba tersebut diikuti dua objek, maka verbanya itu berupa verba bitransitif. Selain itu, terdapat verba transitif yang tidak perlu diikuti objek, tetapi sudah dipahami oleh penuturnya dan sudah gramatikal. Kalimat intransitif adalah kalimat yang predikatnya berupa verba intransitif yaitu verba yang tidak memiliki objek, antara lain verba menari, berlari, dan datang. Kalimat aktif adalah kalimat yang predikatnya kata kerja aktif. Dalam bahasa Indonesia verba aktif ditandai dengan prefiks me- atau memper-. Kalimat pasifyaitukalimat yang
206
predikatnya adalah verba pasif. Verba pasif dalam bahasa Indonesia ditandai dengan prefiks di- atau diper-. Selain itu, terdapat pula kalimat aktif yang anti pasif dan kalimat pasif yang anti aktif karena adanya verba aktif yang tidak dapat dipasifkan, dan verba pasif yang tidak dapat dijadikan verba aktif. Kalimat dinamis adalah kalimat yang predikatnya berupa verba yang secara semantis menyatakan tindakan atau gerakan. Kalimat statis adalah kalimat yang predikatnya berupa verba yang secara semantis tidak menyatakan tindakan atau kegiatan. Fungsi Bahasa sebagai Medium Sastra Bahasa bagi seorang sastrawan adalah alat untuk menyampaikan isi hati atau ungkapan hati baik secara individu maupun ungkapan hati kelompok masyarakat dan lingkungannya. Menurut Jakobson (dalam Kadarisman, 2009: 52) terdapat enam fungsi bahasa yang terkait dengan enam komponen komunikasi yang memiliki fokus yang berbeda yaitu (1) fungsi referensial yang berfokus pada isi tuturan atau makna denotatif; (2) fungsi emotif atau ekspresif yang berfokus pada sikap atau perasaan penutur terhadap isi tuturannya; (3) fungsi konatif berfokus pada mitra tutur dan lazimnya muncul sebagai kalimat perintah; (4) fungsi fatis berfokus pada upaya memlihara keberlangsungan komunikasi antara penutur dan mitra tutur; (5) fungsi metalingual berfokus pada penggunaan bahasa untuk membicarakan bahasa; dan (6) fungsi puitis berfokus pada bahasa itu sendiri atau menonjolkan bentuk bahasa demi dampak estetis. Di antara keenam fungsi bahasa tersebut, yang paling utama adalah fungsi referensial. Bahasa adalah sarana verbal untuk menyampaikan pesan. Tetapi bukan berarti kelima fungsi lainnya diabaikan, sebab dalam komunikasi verbal fungsi-fungsi bahasa lainnya saling terkait, tidak ada fungsi bahasa yang tunggal tanpa disertai yang lainnya. Barthes (dalam Kurzweil, 2010: 250) mengatakan bahwa bahasa ada di mana-mana dapat mengungkapkan semua fenomena sastra dan sosial
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
olehnya harus mampu memberikan petunjuk kepada semua pengetahuan. Crystal (dalam Kadarisman, 2009: 54) mengatakan bahwa dalam arti yang luas, puitika merujuk pada salah satu fungsi bahasa. Jakobson mengatakan, the poetic function projects the principle of equivalence from the axis of selection in to the axis of combination. Pernyataan ini megmplikasikan. Pertama, adanya kebebasan kreatif dalam diri penutur sebagai pencipta. Pencipta karya sastra bisa memilih bentuk atau makna yang tidak terbatas pada poros paradikmatik (lajur mental lexicon), untuk kemudian diproyeksikan pada poros sintagmatik (phonotactic and syntactic plane). Kedua, ketika memproyeksikan pilihan bentuk dan makna pada poros paradigmatic yang dibimbing oleh prinsip keseimbangan (the principle of equivalence). Secara structural, proyeksi tersebut, muncul sebagai pengulangan lingual yang variatif. Pada tataran fonologis, muncul aliterasi dan asonansi atau rima; pada tataran sintaksis muncul paralelisme struktur; dan pada tataran semantic muncul paralelisme makna. Ketiga, hasil konkret dari proyeksi tersebut, adalah bahasa puitis, yaitu bahasa yang bentuknya ditonjolkan demi dampak estetis. Di samping itu, dalam pemahaman terhadap karya sastra, menurut Teeuw terdapat lima faktor penting yang perlu diketahui oleh pembaca dan penganalisis karya sastra. Lima faktor tersebut adalah sebagai berikut ini. (a) Faktor sistem bahasa sebagai media karya sastra. Struktur kebahasaan sangat berperan dalam menganalisis sastra, karena struktur kabahasaan tersebut, diindikasikan dalam model pemahaman. Penelitian sastra yang tidak memperhatikan bahasa sebagai acuan, maka dapat dikatakan menghilangkan sesuatu yang hakiki dalam karya sastra. (b) Faktor konvensi sastra. Penguasaan akan bahasa saja tidaklah cukup untuk memahami sastra, karena sastra sesungguhnya mempunyai konvensi sistemiknya sendiri yang dibangun di atas sistem bahasa.
Oleh sebab itu, konvensi yang berlaku dalam karya sastra itu disebut sebagai sistem tanda tingkat kedua atau sistem tanda sekunder. Dalam kaitannya dengan bahasa sebagai sistem tanda primernya, konvensi sistemik sastra ini bersifat eksploratif. Bangunan maknawi sastra adalah hasil dari pemanfaatan sistem bahasa menurut konvensikonvensi tertentu yang mampu menghasilkan persepsi dan maknamakna yang segar, baru, unik yang tidak mungkin dicapai melalui sistem bahasa saja. Orang tidak dapat memahami cerita rakyat walaupun menguasai bahasa daerahnya sendiri. Misalnya cerita rakyat Gorontalo atau puisi daerah tidak dimengerti pakem-pakem yang berlaku dalam cerita atau puisi tersebut. (c) Faktor pembaca sebagai variabel sosial dan historis. Komunikasi melalui sastra adalah sebuah proses dinamik yang melibatkan beragam pembaca dari pelbagai lingkungan, kategori, dan kelas sosial yang tidak selalu berasal dari waktu yang sezaman dengan karya, dengan demikian pemahaman sastra yang berpretensi menyeluruh tidak boleh meninggalkan dinamika dalam komunikasi sastra yang terjadi karena adanya jarak sosial dan jarak historis ini. Oleh sebab itu, aspek dinamika komunikasi dalam pembacaan dan penanggapan atas karya sastra itu harus ditampilkan dalam model situasi yang melingkupi karya sastra secara menyeluruh. (d) Faktor bentuk karya sastra sebagi variabel. Oleh karena berbagai faktor, seperti proses pewarisan antargenerasi, komunikasi antarbudaya, perkembangan agenagen pendukung penyebaran sastra, maka bentuk karya sastra dimungkinkan mengalami transformasi. Contoh transformasi yang paling mudah adalah kasus penyalinan karya sastra yang masih yang berbentuk manuskrip pada masa lalu, kasus penerjemahan karya sastra, dan adaptasi antargenre. Transformasi merupakan
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
207
fenomena penting dalam dunia suatu hasil karya, pendapat, dan kesusastraan karena di dalam sebagainya.” berbagai transformasi terimplikasikan PEMBAHASAAN permasalahan penting bagi pemahaman sastra terutama untuk Bahasa Gorontalo tidak berbeda tinjauan sejarah sastra dan sosiologi dengan bahasa lainnya. Berdasarkan sastra. hasil penelitian teori-teori yang (e) Faktor kriteria penilaian sastra. dikemukakan oleh para pakar tentang kata tersebut dapat ditemukan dalam Meskipun masalah penilaian sastra merupakan biidang tersendiri yakni leksikon bahasa Gorontalo. Mislanya, estetika, tetapi hal itu tidak dapat kata kerja, kata benda, dan kata sifat dipisahkan dari penelitian sastra (Samarin, 1988: 287); kata adalah khususnya kritik sastra. Dalam KBBI bentuk bebas terkecil (Bloomfield (2001: 601) bahwa aktivitas kritik itu (dalam Robins, 1992: 228)); dan kata sendiri mengndung arti ”kecaman menurut konteks kebudayaan, konteks atau tanggpan, kadang-kadang juga keadaan, serta konteks bahasa disertai dengan uraian dan (Malinowski (dalam Samarin, 1988: pertimbangan baik buruk terhadap 289)). Pada bahasa Gorontalo di dalam kelas kata kerja (verba) terdapat leksikon seperti: (1) mominggulo, molontongo, momilohu, momilo‟o ‟melihat‟ (2) momintoo‟o, motuluhu, motipito‟o, motimbiongo ‟tidur/menutup mata‟ (3) monga, molamelo, morijiki, moluwango, momota‟o, moliupo „makan‟ (4) mongili, molapi taluhu „berak/buang air besar/kecil‟ (5) motita‟e, motiluntu „menaiki‟ Di dalam kelas kata benda (nomina) terdapat leksikon seperti: (1) yi‟o, ito, anto ‟kau/Anda‟ (2) wa‟u, waatiya ‟aku/saya‟ (3) Di dalam kelas kata sifat (adjektiva) terdapat leksikon seperti: (4) lantingalo, abalolo ‟malas‟ (5) haya-haya‟o, molanggato „tinggi‟ (6) limbo-limbongo, podo-podongo „pendek‟ (7) nene‟alo, wetwtolo, bulabolo „tingkah laku yang buruk‟ (8) mototangia,modudamala, modudembinga „merekat‟ Contoh leksikon tersebut, dapat diujarkan sesuai dengan ketiga konteks (kebudayaan, keadaan, dan bahasa) juga harus memperhatikan tujuan, dan kapan leksikon atau kata-kata itu dituturkan. 1. Proses Pembentukan Kata Bahasa Gorontalo. Kata-kata dalam bahasa Gorontalo seperti pula kata-kata dalam bahasa lainnya bisa dibentuk melalui proses morfologis. Proses morfologis yang dimaksud adalah kata dalam bahasa Gorontalo mengalami pula proses afiksasi, proses reduplikasi, proses perubahan interen, proses suplisi, dan juga proses modiikasi kosong. Proses afiksasi dalam pembentukan kata bahasa Gorontalo terdiri atas awalan, sisipan, dan akhiran. Awalan atau prefiks terdapat 34 buah:
208
/mo-/; /lo-/; /po-/; /mohi-/; lohi-/; /pohi-/; /mopo-/; /lopo-/; /popo-/; /mo‟o-/; /lo‟o/; /po‟o/; /moti/; /motiti-/; /loti/; /lotiti-/; /poti/; /potiti-/; /me‟i-/; /le‟i-/; /pe‟i-/;/pile‟i/; /mopohu-/; /lopohu-/; /me-/; /le-/; /mongo-/; /motolo-/; /lotolo-/; /ngo-/; /o-/; /tapa-/; /tonggo-/; dan /hinggo-/. Awalan /mo-/ dapat dilekatkan pada morfem dasar verba; nomina; dan adjektiva yang dapat bermakna sebagai mengerjakan sesuatu; membuat sesuatu; menghasilkan sesuatu; memberi atau memasang sesuatu; mengadakan usaha; dan mencari atau memperoleh sesuatu. Selain itu, dapat membentuk kata kerja (verba) dan kata sifat (adjektiva), baik perubahan dari kata benda (nomina) maupun kata sifat (adjektiva) menjadi kata kerja (verba). Awalan /tapa-/ termasuk awalan yang tidak produktif. Makna yang muncul akibat melekatnya awalan ini
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
yaitu tidak sengaja berbuat sesuatu dan terjadi tiba-tiba. Awalan /tapa-/ berkaitan dengan kala akan, tetapi apa bila digabungkan dengan sisipan /-il-/ menjadi awalan /tilapa-/ maka akan berkaitan dengan kala lampau. Awalan /tapa-/ tidak dapat membentuk nomina dan adjektiva. Awalan /polo-/ bermakna musim. Awalan /polo-/ hanya dapat dilekatkan pada kata-kata tertentu dan terbatas. Awalan /polo-/ hanya dapat membentuk adjektiva, dan tidak dapat membentuk verba dan nomina. Awalan /tonggo-/ bermakna bekerja bersama sesuai dengan morfem yang dilekatinya. Jika awalan /tonggo-/ digabungakan dengan sisipan /-il-/ menjadi /tilonggo-/, maka akan bermakna telah bersama-sama mengerjakan sesuatu. Awalan /tonaggo/ hanya dapat membentuk verba dan tidak dapat pula membentuk nomina dan adjektiva. Awalan /hinggo-/ bermakna mengerjakan sesuatu dengan beberapa kali. Awalan /hinggo-/ dapat dihubungkan dengan akhiran /-lo/ atau dengan awalan /mo-, lo-, po-,/ yang menjadi /mohinggo,lohinggo-, pohinggo-,/. Awalan /hinggo-/ hanya dapat membentuk verba dan tidak dapat pula membentuk nomina dan adjektiva. Sisipan terdiri atas 3 buah: /-il-/,/mi-/, dan /-um-/. Sisipan /-il/membentuk kata yang menyatakan pasif „kala lampau‟. Sisipan /-il-/ ditempatkan di tengah jika kata yang dilekatinya dimulai dengan konsonan, dan ditempatkan di depan apabila kata yang dilekatinya dimulai dengan huruf vokal. Sisipan /-il-/ dapat digunakan secara bersamaan dengan sisipan /-mi-/ dan sisipan /-um-/. Sisipan /-il-/ dan /-um/dapat membentuk verba dan nomina, tetapi tidak dapat membentuk adjektiva. Proses reduplikasi dalam bahasa Gorontalo sebgaimana bahasa Indonesia. Bahasa Gorontalo pun mengalami proses morfologis melalui pengulangan kata yang terdiri atas reduplikasi penuh; reduplikasi dengan modifikasi; dan reduplikasi sebagian. Di samping proses reduplikasi, baik perubahan interen, suplisi maupun
modifikasi kosong pun ditemukan dalam bahasa Gorontalo. 2. Proses Pembentukan Kalimat Bahasa Gorontalo. Pembentukan kalimat bahasa Gorontalo diproses melalui unsur verba, nomina, dan adjektiva. Pada penelitian ini ditemukan enam tipe pembentukan kaliamt yaitu; Tipe verba dibedakan atas kalimat transitif, kalimat intrasitif, kalimat aktif, kalimat pasif, kalimat dinamis, dan kalimat statis. Kalimat transitif yang bersifat monotransitif seperti kalimat [1], dan diikuti dua objek atau bitransitif seperti kalimat [2]. Selain itu, terdapat verba transitif yang tidak perlu diikuti objek, tetapi sudah dipahami oleh penuturnya dan sudah gramatikal seperti kalimat [3]. Kalimat intransitif seperti kalimat [5], [6], [7] dan [8]. Kalimat aktif seperti kalimat [5], [6], dan [8].Kalimat pasifsepertikalimat [11]. Kalimat dinamis seperti kalimat [10]. Kalimat statis seperti kalimat [9], lebih jelasnya lihat contoh di bawah ini. (1) waatiya mola motuluhu to Paguyaman ‟saya akan menginap di Paguyaman‟ [KT] (2) bulo‟o liyo maamongongoto mololola ila wau taluhu ‟lehernya sakit jika menelan nasi dan air‟ [KT] (3) waatiya motuluhu ‟ saya akan tidur‟[KT] (4) tipaituwa laatiya hemongilu kopi ‟bapak saya sedang minum kopi‟ [KI] & [KA] (5) tipaapa laatiya heemonga buuburu wolo dabu-dabu ‟bapak saya sedang makan bubur dengan sambal‟[KI] & [KA] (6) tipaituwa laatiya hemongilu kopi ‟bapak saya sedang minum kopi‟ [KI] & [KA] (7) tiyo boyito didu mo‟oobo ‟dia itu tidak dapat mencium‟ [KI] (8) ti maama maahemotubu to depula ‟ibu sedang memasak di dapur‟ [KI] & [KA] (9) bulonga limongoliyo dadaata ta didu mo‟odungohu‟telinga merekan banyak yang tidak dapat mendengar‟ [KS] (10) tamokulia musti mobalajari to‟ootutuwa ‟orang kuliah harus
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
209
belajar bersungguh-sungguh‟ [KD] (11)buuburu ilaa li paapa [KP] Fungsi Bahasa sebagai Medium Sastra. Terdapat fungsi-fungsi bahasa sebagai medium sastra sebagai berikut ini. (1) Fungsi referensial yang berfokus pada isi tuturan atau makna denotatif (2) Fungsi emotif atau ekspresif yang berfokus pada sikap atau perasaan penutur terhadap isi tuturannya (3) Fungsi konatif berfokus pada mitra tutur dan lazimnya muncul sebagai kalimat perintah (4) Fungsi fatis berfokus pada upaya memlihara keberlangsungan komunikasi antara penutur dan mitra tutur (5) Fungsi metalingual berfokus pada penggunaan bahasa untuk membicarakan bahasa (6) Fungsi puitis berfokus pada bahasa itu sendiri atau menonjolkan bentuk bahasa demi dampak estetis. (7) Fungsi pendidikan yang bersifat mengajak kepada hal yang baik. (8) Fungsi pengarah atau petunjuk berupa kata-kata yang bermakna nasihat. PENUTUP Bahasa dan sastra daerah Gorontalo pada masyarakat Gorontalo masih tetap dipertahankan dan digunakan oleh masyarakat Gorontalo. Hal ini telah dibuktikan dalam penelitian ini, bahwa kata dan kalimat masih tetap digunakan oleh masyarakat Gorontalo di saat mereka berinteraksi antara satu dengan lainnya baik dalam suasana duka maupun suka. Di dalam bahasa Gorontalo ditemukan afiksasi atau imbuhan dan bentuk-bentuk kalimat yaitu bentuk kalimat aktif, bentuk kalimat pasif, bentuk kalimat transitif, bentuk kalimat intransitif, bentuk kalimat dinamis, dan bentuk kalimat statis. Di samping itu, fungsi bahasa Gorontalo yang terdapat dalam sastra khususnya tinilo yaitu fungsi referensial; fungsi emotif atau ekspresif; fungsi konatif; fungsi fatis; fungsi metalingual; fungsi puitis; fungsi pendidikan; dan
210
fungsi pengarah atau petunjuk berupa kata-kata yang bermakna nasihat. DAFTAR PUSTAKA Ar.Umar, Fatma. 2010. Wacana Tuja‟i Pada Prosesi Adat Perkawinan Masyarakat Suwawa Provinsi Gorontalo (disertasi). Universitas Negeri Malang Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta. Rineka Cipta de Saussure, Ferdinand. 1988. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press Djajasudarma, T.Fatimah. 2010. Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung. IKAPI Djou, Dakia. 2012. Penggunaan Bahasa dalam Upacara Pernikahan Menurut Etnik Gorontalo (disertasi). Universitas Sam Ratulangi Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi (Edisi Revisi). Yogyakarta. MedPress Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra Sebuah Penjelajahan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Kurzweil, Edith. 2010. Jarring Kuasa Strukturalisme. Jakarta. Kreasi wacana Pateda, Mansur. 1997. Kaidah Bahasa Gorontalo. Gorontalo. Viladan Robins. R.H. Linguistik Umum Sebuah Pengantar. Yogyakarta. Kanisius Samarin, William J. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan. Yogyakarta. Kanisius Samsuri. 1981. Analisis Bahasa. Jakarta. Erlangga Sugiyono. 2009. Metode Pnelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung. Alfabeta Tuloi, Nani. 1982 Fungsi Sastra Lisan Gorontalo. Gorontalo. Nurul Jannah Verhaar, J.W.M. 1996. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press Widada, Rh. 2009. Saussure untuk Sastra, Sebuah Metode Kritik Sastra Struktural. Bandung. Jalasutra
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
MENINGKATKAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU MELALUI PELATIHAN BERJENJANG DI SMP NEGERI 4 MARISA Trisnawaty B. Utiarahman Abstrak Rendahnya profesionalisme terutama kompetensi pedagogik guru di SMP Negeri 1 Marisa merupakan masalah yang sangat mendesak untuk ditangani melalui penerapan pelatihan berjenjang model-model pembelajaran inovatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain penelitian tindakan sekolah melalui 2 (dua) siklus, yang masingmasing melalui tahap perencanaan, implementasi, observasi, dan refleksi. Objek penelitian adalah guru mata pelajaran tahun pelajaran 2016/2017 yang berjumlah 6 orang, terdiri dari 2 orang guru mata pelajaran IPA (Biologi dan Fisika) dan 2 orang guru mata pelajaran Bahasa Indonesia, 1 orang guru mata pelajaran matematika dan 1 orang guru mata pelajaran Bahasa Inggris. Hasil akhir dari penelitian ini menunjukkan bahwa dengan penerapan pelatihan/workshop berjenjang dapat meningkatkan kompetensi pedagogik dan penguasaan konsep kompetensi pedagogik guru di SMP Negeri 4 Marisa. Disamping itu penerapan pelatihan berjenjang sangat menentukan, kesiapan instruktur dan guru dalam mengikuti pelatihan serta dukungan dan motivasi dari kepala sekolah. Kata Kunci: Kompetensi Pedagogik, Pelatihan Berjenjang. PENDAHULUAN Kegiatan pembelajaran selama ini cenderung berjalan dengan menempatkan guru sebagai pusat informasi, pusat segala aktivitas, bahkan sering sebagai satu-satunya sumber informasi dan berperan dominan dalam kelas. Guru mendesain dan melaksanakan kegiatan pembelajaran sedemikian rupa, sehingga terkesan kaku, sunyi, menoton, terlalu serius, tanpa kegembiraan, sehingga membosankan bagi siswa (Anonim, 2006). Suasana pembelajaran yang dilaksanakan guru di sekolah selama ini membuat siswa menjadi pasif, tidak kreatif, bahkan menimbulkan kebosanan, karena konsep-konsep yang disampaikan sulit dipahami. Akibatnya, cara yang ditempuh siswa dalam upaya memahami suatu konsep adalah dengan cara sekedar menghafal tanpa berpikir tentang bagaimana kebenaran konsep itu dan apa manfaat konsep itu dipelajari. Guru yang kurang kreatif dan inovatif sebagai faktor utama kurangnya motivasi siswa untuk mengikuti pelajaran. Guru hanya berperan sebagai pentransfer pengetahuan dan tidak menempatkan dirinya sebagai fasilitator
untuk menfasilitasi terjadinya penemuan pengetahuan atau konsep pada diri peserta didik. Dengan kata lain, siswa kurang diberi kesempatan maksimal untuk terlibat dalam proses pembelajaran. Akibatnya hasil belajar siswa kurang memuaskan. Menurut (Dahar, 1996) belajar bermakna apabila siswa mampu menghubungkan atau mengaitkan informasi pada pengetahuan (berupa konsep atau lainlain) yang telah dimilikinya. Kompetensi guru-guru di SMP Negeri 4 Marisa yang didominasi oleh guru-guru muda belum menunjukkan profesionalisme yang mamadai sesuai tuntutan Permendiknas No. 16 Tahun 2007 yaitu seorang guru yang profesional. Guru profesional apabila memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Khusus kompetensi pedagogik masih sangat perlu ditingkatkan, terutama yang berhubungan dengan penyajian pembelajaran di kelas, penguasaan teori-teori belajar, dan penilaian. Secara umum guru di SMP Negeri 4 Marisa belum memiliki kompetensi pedagogik berkategori baik. Kemampuan yang dianggap kurang dari kompetensi pedagogik tersebuat adalah kemampuan berinovasi dalam
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
211
merancang dan melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan model-model pembelajaran. Kondisi ini masih jauh dari harapan sebagai salah satu sekolah potensial di Kabupaten Pohuwato. Menurut (Slavin, 1986), jika seseorang diberi pelatihan dan bimbingan secara berjenjang, maka lambat laun akan terjadi peubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku ke arah positif jika mereka memperoleh makna dari pelatihan tersebut. Pengalaman yang bermakna dapat diciptakan melalui pembentukan stimulus berupa pemberian reword dan pembinaan secara tulus dan berkesinambungan serta menghindari adanya hukuman. Seorang guru akan mengalami perubahan ke arah positif, berupa terbentuknya guru profesionalisme dalam melaksanakan tugas pembelajarannya di kelas apabila dilakukan pembinaan secara berjenjang melalui kegiatan pelatihan atau workshop. Peningkatan kompetensi pedagogik khusus guru di SMP Negeri 4 Marisa sangat ditentukan seberapa banyak guru tersebut mengikuti pelatihan yang berhubungan dengan strategi pembelajaran. Keterampilan yang diperlukan guru dalam meningkatkan kompetensi pedagogik adalah pelatihan merancang dan mengaplikasikan model-model pembelajaran yang inovatif. Dipilihnya pendekatan pelatihan/workshop model-model pembelajaran inovatif dalam meningkatkan kompetensi pedagogik guru di SMP Negeri 4 Marisa karena sebagian besar guru di SMP Negeri 4 Marisa tersebut belum memahami tentang teori-teori belajar dan modelmodel pembelajaran inovatif. Pendekatan pelatihan akan memberi dampak ganda berupa perolehan pengetahuan dan finansial bagi guru, sehingga guru akan termotivasi dalam mengikuti kegiatan tersebut guna meningkatkan kompetensi pedagogik dalam melaksnakan tugasnya di sekolah. KAJIAN PUSTAKA
212
1. Peranan Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Peningkatan Kompetensi Guru Dalam pencaian tujuan sekolah sangat ditentukan sosok pimpinan yang visioner, dan mempunyai keribadian yang kuat. Menurut Wahab (2008: 132) kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan kelompok yang diorganisir menuju kepada penentuan dan pencapaian tujuan. Dari defenisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kepemimpinan adalah suatu kualitas kegiatan-kegiatan kerja dan interaksi di dalam situasi kelompok. Dari kenyataan tersebut dapat dikatakan bahwa kepemimpinan pendidikan adalah suatu kualitas kegiatan-kegiatan dan integrasi di dalam situasi pendidikan. Kepemimpinan pendidikan merupakan kemampuan untuk menggerakan pelaksana pendidikan, sehingga tujuan pendidikan yang telah ditetapkan dapat tercapai secara efisien dan efektif. Kepemimpinan pendidikan yang efektif dapat meningkatkan partisipasi warga sekolah dan masyarakat. Menurut Syafiuddin dan Fatimah (2007) mengatakan bahwa peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan: (1) keterbukaan (transparansi); (2) kerja sama yang kuat; (3) akuntabilitas; dan (4) demokrasi pendidikan. Transparansi (keterbukaan) yang dimaksud adalah keterbukaan dalam program dan keuangan. Kerja sama yang dimaksud adalah adanya sikap dan perbuatan lahiriah kebersamaan untuk meningkatkan mutu sekolah. Kerja sama yang baik ditunjukkan oleh hubungan antarwarga sekolah yang erat, hubungan sekolah dan masyarakat yang erat, dan adanya kesadaran bersama bahwa output sekolah merupakan hasil kolektif teamwork yang kuat dan cerdas. Artinya, prestasi yang diraih ataupun mutu
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
yang dicapai merupakan jerih payah upaya kolektif antara kepala sekolah, seluruh staf, dan dibantu oleh orang tua dan masyarakat dalam wadah Komite Sekolah. Oleh karena itu, kepemimpinan pendidikan yang diterapkan di sekolah adalah kepemimpinan partisipatif, kolaboratif, dan demokratis. Dengan kepemimpinan partisipatif, akan tumbuh komitmen bersama untuk meningkatkan mutu pendidikan sebagai realisasi program yang dibuat/disusun dengan melibatkan warga sekolah dan wakil orang tua dan masyarakat. 2. Pengertian Kompetensi Guru Kompetensi guru menurut Fachruddin dan Ali (2009: 30), adalah suatu hal yang menggambarkan kualifikasi atau kemampuan seseorang, baik yang kialitatif maupun yang kuantitatif. Kemampuan kualitatif seseorang adalah kemampuan sikap dan perbuatan seseorang yang hanya dapat dinilai dengan ukuran baik dan buruk. Sedangkan kuantitatif adalah kemampuan seseorang yang dapat dinilai dengan ukuran. Berdasarkan pengertian ini, berarti kompetensi guru mengandung makna sebagai indicator kemampuan yang menunjukkankepada perbuatan yang dapat diamati, yakni seperangkat teori ilmu pengetahuan dalam bidangnya. Juga kompetensi sebagai konsep yang mencakup aspek-aspek kognitif, afektif, dan perbuatan serta tahapantahapannya secara utuh. Sementara Mulyasa, E. (2005: 20), mengatakan bahwa kompetensi adalah penguasan terhadap tugas, keterampilan, sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan. Dilain pihak Depdiknas (2007) mengartikan kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasan berpikir dan bertindak. Sementara kompetensi menurut Kepmendiknas 045/U/2002
adalah; seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Hal senada diungkapkan dalam PP nomor 19 tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan, pada pasal 28, ayat 3 disebutkan bahwa kompetensi guru sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidik pada usia dini meliputi; (1) kompetensi pedagogic, (2) kompetensi professional, (3) kompetensi kepribadian, dan (4) kompetensi social. Dari beberapa pengertian kompetensi seperti tersebut di atas maka yang dimaksud dengan kompetensi guru dalam penelitian ini adalah sejumlah kemampuan yang harus dimiliki guru untuk mencapai tingkatan guru professional. Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi professional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Selain itu guru yang professional juga dituntut memiliki kode etik, yaitu norma tertentu sebagai pegangan yang diakui serta dihargai oleh masayarakat. Kode etik ini merupakan cerminan dari kompetensi yang harus dimiliki oleg seorang guru sesuai yang tertuang dalam Permendiknas nomor 16 tahun 2007 tentang guru. Menurut Tilaar dalam Buchari Alma (2009 : 132) guru yang professional dituntut untuk memiliki lima hal, yaitu: (1) guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajar mengajar, (2) guru menguasai secara mendalam mata pelajaran yang diajarkannya, (3) guru bertanggungjawab memantau hasil belajar melalui berbagai cara evaluasi, (4) guru mampu berpikir sistematis, dan (5) guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dan lingkungan profesinya. Keempat kompetensi tersebut terintegrasi dalam kinerja
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
213
guru. Standar kompetensi guru mencakup kompetensi inti guru yang dikembangkan menjadi kompetensi guru PAUD/TK/RA, guru kelas SD/MI, dan guru mata pelajaran pada SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK. Standarstandar tersebut dirinci lebih khusus menjadi 10 kemampuan dasar guru, yaitu; (1) penguasaan bahan pelajaran beserta konsep-konsep dasar keilmuannya, (2) pengelolaan program belajar mengajar, (3) pengelolaan kelas, (4) penggunaan media dan sumber balajar, (5) penguasaan landasan-landasan pendidikan, (6) pengelolaan interaksi belajar mengajar, (7) penilaian prestasi siswa, (8) pengenalan fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan, (9) pengenalan dan penyelenggaraan administrasi sekolah, dan (10) pemahaman prinsip-prinsip dan pemanfaatan hasil penelitian pendidikan untuk kepentingan peningkatan mutu pengajaran, (Buchari Alma, 2009: 139). Berdasarkan standar seorang guru yang professional, guru hendaknya memiliki kemampuan atau kompetensi yaitu seperangkat kemampuan sehingga dapat mewujudkan kinerja profesionalnya. 3. Jenis-jenis Kompetensi Guru a. Kompetensi Pedagogik Pedagogik diartikan sebagai ilmu pendidikan yang lebih menekankan pada pemikiran dan perenungan tentang pendidikan. Menurut Fahruddin dan Ali (2009: 32) pedagogik diartikan sebagai pendidikan yang lebih menekankan kepada praktek, yang menyangkut kegiatan mendidik dan membimbing peserta didik. Berdasarkan pengertian tersebut, amak yang dimaksud dengan pedagogic adalah ilmu tentang pendidikan anak yang ruang lingkupnya terbatas pada interaksi edukasi antara pendidik dengan peserta didik. Sedangkan kompetensi pedagogik adalah sejumlah
214
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
kemampuan guru yang berkaitan dengan ilmu dan seni mengajar siswa. Ruang lingkup dari kompetensi pedagogik yang dirumuskan dalam PP nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 28, ayat 3, menyebutkan bahwa kompetensi pedagogic ialah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi (1) pemahaman peserta didik, (2) perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, (3) evaluasi hasil belajar, (4) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Sementara Muchlas Samani, (2008: 6) kompetensi pedagogic adalah kemampuan dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang meliputi; (1) pemahaman wawasan, (2) pemahaman peserta didik, (3) pengembangan kurikulum/silabus, (4) perancangan pembelajaran, (5) pemanfaatan teknologi pembelajaran, (6) evaluasi proses dan hasil belajar, dan (7) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimikinya. Kompetensi pedagogik. mencakup konsep kesiapan mengajar yang ditujukan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan mengajar. Menurut Depdiknas (2007) kompetensi pedagogik untuk guru mata pelajaran meliputi beberapa kompetensi inti meliputi: (1) Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural, emosional, dan intelektual, (2) Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, (3) Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran yang diampu, (4)
Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, (5) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran, (6) Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki, (7) Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik, (8) Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar, (9) Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran, dan (10) Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran. Berdasarkan kompetensi inti yang harus dimiliki oleh seorang guru, maka tugas mengajar merupakan pekerjaan yang kompleks dan sifatnya multidimensional. Berdasarkan beberapa pengertian kompetensi pedagogik seperti tersebut di atas, dapatlah dikatakan bahwa guru yang professional mempunyai kemampuankemampuan sebagai berikut; menguasai landasan mengajar, menguasai ilmu mengajar, mengenal siswa, menguasai teori motivasi, mengenal lingkungan masyarakat, menguasai penyusunan kurikulum, menguasai teknik penyusunan RPP, dan menguasai pengetahuan evaluasi pembelajaran. b. Kompetensi Kepribadian Kemampuan professional adalah kemampuan yang stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadi teladan, dan berahlak mulia, (Udin Syaefuddin, 2009: 51). Sejalan dengan pendapat tersebut makan Depdiknas, 2007 menguraikan kompetensi inti dari kompetensi kepribadian seorang guru yaitu: (1) bertindak sesuai dengan norma
agama, hukum, sosial,dan kebudayaan nasional Indonesia, (2) menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat, (3) menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, (4) menunjukkan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru,dan rasa percaya diri, (5) menjunjung tinggi kode etik profesi guru. Sejalan dengan inti dari kompetensi kepribadian terebaut, maka akan berdampak pada guru yang dihormati dan disegani oleh siswanya. Jadi guru harus bertekad mendidik dirinya sendiri lebih dahulu sebelum mendidik orang lain. Pendidikan melalui keteladanan adalah pendidikan yang paling efektif. Guru yang disegani, otomatis mata pelajaran yang diajarkan akan disenangi oleh siswa, dan siswa akan bergairah dan termotivasi sendiri mendalami mata pelajaran yang diajarkan oleh guru. Sebaliknya guru yang dibenci oleh muridnya, akan tidak senang dengan mata pelajaran yang diajarkan oleh guru, dan membentuk sikap antipasti terhadap mata pelajaran yang dipelajari tersebut. c. Kompetensi Sosial Kompetensi social adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sekolah dan di luar lingkungan sekolah, (Buchari Alma, 2009: 142). Menurut Depdiknas, 2007 kompetensi social dijabarkan ke dalam beberapa kompetensi inti antara lain: (1) Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
215
belakang keluarga, dan status sosial ekonomi, (2) Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat, (3) Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman social budaya, dan (4) Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain. Oleh karena itu guru professional harus mengembangkan komunikasi dengan orang tua siswa, sehingga terjalin komunikasi dua arah yang berkelanjutan antara sekolah dengan orang tua, serta masyarakat pada umumnya. d. Kompetensi Profesional Kemampuan professional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam, serta metode dan teknik mengajar yang sesuai dan dapat dipahami oleh peserta didik, mudah ditangkap, tidak menimbuklan kesulitan dan keraguan. Kompetensi professional terdiri dari beberapa kompetensi inti antara lain: (1) Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu, (2) Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu, dan (3) Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif, (Depdiknas, 2007). 4. Peningkatan Kompetensi Pedagogik Keterampilan mengajar merupakan kompetensi pedagogic yang cukup kompleks, sebagai integrasi dari berbagai kompetensi guru secara utuh dan menyeluruh. Turney dalam Mulyasa (2005: 69) mengungkapkan delapan
216
keterampilan mengajar yang sangat berperan dan menentukan kualitas pembelajaran, yaitu keterampilan bertanya, memberikan penguatan, mengadakan variasi, menjelaskan, membuka dan menutup pelajaran, membimbing diskusi kelompok kecil, mengelolah kelas, serta mengajar kelompok kecil dan perorangan. Berdasarkan keterampilan mengajar yang harus dimiliki guru untuk menunjang kemampuan pedagogiknya secara utuh dan terintegrasi, maka diperlukan latihan yang sistematis, misalnya pelatihan atau workshop. Peningkatan kompetensi pedagogik guru secara menyeluruh, maka perlu dilakukan upaya sistematis oleh penentu kebijakan di sekolah. Upaya sistematis yang dimaksud adalah merencanakan pelatihan secara berjenjang untuk meningkatkan profesionalisme guru. Kegiatan ini akan menjadi suatu budaya dan iklim sekolah yang melakukan perubahan kearah yang positif. Menurut Wahab (2008: 301) iklim sekolah yang terbuka dan respek terhadap perubahan merupakan criteria sekolah yang efektif dan merupakan kondisi yang penting untuk membantu efektivitas perubahan organisasi. Oleh karena itu kepala sekolah yang ingin meningkatkan efektivitas proses pembelajaran akan berhasil jika dapat mengembangkan iklim kepercayaan dan budaya keterbukaan dalam perubahan. Untuk meningkatkan kompetensi pedagogik, maka guru dituntut untuk mampu menciptakan pembelajaran kreatif dan menyenangkan. Salah satu pendekatan pembelajaran yang efektif adalah pendekatan pembelajaran kontekstual. Dalam pembelajaran ini banyak menggunakan model-model pembelajaran yang dapat membantu guru dan peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran yang maksimal. Dalam pembelajaran kontekstual tugas guru adalah memberikan
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
kemudahan belajar kepada peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang mamadai. Nurhadi (2002: 4) mengemukakan pentingnya lingkungan belajar (guru) dalam pembelajaran kontekstual sebagai berikut; (1) belajar efektif itu di mulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa, (2) pembelajaran harus berpusat pada bagaimana siswa menggunakan pengetahuan baru mereka, (3) umpan balik sangat penting bagi siswa yang berasal dari proses penilaian yang benar, dan (4) menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok. METODE PENELITIAN Tahapan penelitian tindakan ini diawali dengan pra observasi untuk mengetahui kondisi awal dari masalah rendahnya kompetensi guru dalam bidang pedagogik. Hasil observasi diperoleh bahwa hanya 2 orang guru dari 6 orang guru yang memiliki kompetensi pedagogik yang memenuhi standar.. Untuk memecahkan masalah yang timbul maka dilakukan diskusi mendalam dengan pengawas pembina untuk mencarikan solusi dalam menanggulangi masalah tersebut. Hasil diskusi mendalam diperoleh kesepakatan bahwa pemberian pelatihan secara berjenjang kepada guru akan berdampak positif terhadap peningkatan kompetensi guru yang berhubungan dengan tugas mengajar mereka. Dari hasil diskusi tersebut selanjutnya dilaksanakan beberapa kegiatan berupa penyusunan rencana tindakan, yaitu penyusunan langkahlangkah pelatihan, penyusunan instrumen observasi dan penilaian kinerja guru serta butir soal tes kompetensi pedagogik. Pelaksanaan tindakan dimaksudkan untuk mengimplementasikan hasil pelatihan. Observasi dan evaluasi dilaksanakan untuk mengetahui adanya peningkatan kemampuan atau kompetensi guru dalam pembelajaran. Refleksi dimaksudkan untuk mengetahui
kemajuan dan kelemahan pelaksanaan tindakan.
dari
HASIL PENELITIAN 1. Pelaksanaan Siklus 1 a. Perencanaan Hasil perencanaan penelitian pada siklus 1 diperoleh berupa desain workshop meliputi penguasaan konsep-konsep pembelajaran inovatif, penyusunan model-model pembelajaran, dan implementasi model dalam rencana pelaksanaan pembelajaran. Instrumen observasi dan evaluasi berupa daftar pengamatan kinerja guru dan efektifitas pelatihan serta tes hasil kompetensi pedagogik guru. Instrumen penilaian hasil kompetensi guru berupa tes bentuk pilihan ganda. Sedangkan lembar observasi kinerja guru dalam pembelajaran mengacu pada beberapa subkompetensi pedagogik seperti yang tertuang dalam Permendiknas nomor 16 tahun 2007 tentang guru. Format ini digunakan saat guru melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran dari hasil pelatihan. b. Pelaksanaan Tindakan Pelaksanaan tindakan dilaksanakan berdasarkan skenario dan disuaikan dengan rencana pelaksanaan pelatihan/workshop model-model pembelajaran. Pada kegiatan pelatihan disajikan sejumlah materi antara lain, teori-teori belajar, konsep dasar pembelajaran inovatif (PAKEM dan CTL), model-model pembelajaran, dan penyusunan bahan ajar (LKS). Hasil observasi dari pelaksanaan pelatihan menunjukkan bahwa: (1) guru sangat antusias mengikuti materi pelatihan yang disajikan oleh fasilitator, (2) guru mengatakan memperoleh banyak tambahan pengetahuan yang berhubungan dengan teori-teori belajar dan model-model pembelajaran yang inovatif, dan (3) fasilitator atau instruktur sangat menguasai materi pelatihan. Selain keberhasilan yang diperoleh dari
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
217
pelaksanaan pelatihan maka dan lebih efektif. Selain keunggulan diperoleh pula beberapa kelemahan terdapat pula beberapa kelemahan pada saat tindakan pelatihan antara pada pelaksanaan pembelajaran di lain; (1) terbatasnya waktu yang kelas antara lain: (1) guru masih tersedia karena pelaksanaan agak gugup karena diamati oleh pelatihan dilaksanakan pada sore kepala sekolah dan pengawas, (2) hari usai kegiatan belajar mengajar, guru belum memperhatikan (2) kurangnya bahan materi yang karakteristik siswa sehingga model disediakan oleh sekolah terutama yang diterapkan belum maksimal, bahan bacaan yang berhubungan dan (3) guru tidak menyediakan dengan teori-teori belajaran dan sarana penunjang berupa LCD untuk materi CTL, dan (3) tidak memperjelas konsep yang diajarkan. c. Hasil Observasi dan Evaluasi maksimalnya simulasi model karena 1) Kinerja Guru hanya diikuti oleh enam (6) orang guru mata pelajaran. Penilaian kinerja guru dilaksanakan oleh Pada pelaksanaan model seorang pengamat kepala sekolah pembelajaran hasil pelatihan di kelas dan pengawas sekolah dengan diperoleh beberapa keunggulan dari menggunakan instrumen. Dari hasil pelatihan antara lain: (1) guru sangat pengamatan diperoleh rata-rata skor termotivasi dan senang mengajar, (2) pada setiap indikator atau sub pembelajaran di kelas tidak kompetensi yang diamati. Rata-rata didominasi oleh guru, (3) siswa skor kinerja guru pada setiap sub sangat antusias dalam mengikuti kompetensi dapat disajikan dalam pelajaran, dan (4) pengajaran yang tabel 4.1 berikut, sedangkan data lakukan oleh guru sudah sistematif terinci dapat dilihat pada lampiran 5a. Tabel 4.1 Rata-rata Skor Kinerja Kompetensi Pedagogik Guru pada Siklus 1 No.
Sub Kompetensi
1. 2.
Mengenal karakteristik anak didik Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik 3. Pengembangan kurikulum 4. Kegiatan pembelajaran yang mendidik 5. Memahami dan mengembangkan potensi peserta didik 6. Komunikasi dengan peserta didik 7. Penilaian dan evaluasi (Sumber : Data Lampiran 5a) Dari data Tabel 4.1 diperoleh bahwa rata-rata skor kinerja guru pada kompetensi pedagogik yang masih kurang (belum maksimal) adalah subkompetensi mengenal karakteristik peserta didik, menguasai teori-teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, memahami dan mengembangkan potensi peserta didik, dan kemampuan guru dalam penilaian dan evaluasi. Setelah dilakukan refleksi, maka penyebab tidak maksimalnya skor yang diperoleh guru dari beberapa subkompetensi pedagogik tersebuat adalah kurangnya literatur pendukung
218
Rata-rata Skor 3,00 3,00 3,67 3,33 3,00 3,83 3,00
yang dimiliki guru serta belum maksimalnya pelatihan yang diberikan oleh instruktur. Ketidak maksimalan tersebut disebabkan oleh pelaksanaan pelatihan dilaksanakan pada sore hari sehingga para guru merasa kelelahan setelah melaksanakan tugas mengajar di pagi hari. Selain penilaian dari pengamat (kepala sekolah dan pengawas), proses penilaian kinerja juga dilakukan oleh siswa melalui kusioner yang diberikan pada akhir siklus, yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut:
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
No. 1. 2. 3.
4. 5.
Tabel 4.2 Hasil Penilaian Kinerja Guru oleh Siswa Siklus 1 Rata-rata Aspek Kategori Skor Membuka kegiatan 2,305 Kadang-kadang pembelajaran Mengelolah kegiatan 2,349 Kadang-kadang pembelajaran inti Mengorganisasi waktu, 2,123 Kadang-kadang siswa, sumber dan alat/media pembelajaran Menutup kegiatan 2,170 Kadang-kadang pembelajaran Penampilan guru 2,288 Kadang-kadang (Sumber: Data lampiran 6a)
Dari data pada Tabel 4.2 nampak bahwa kinerja guru masih mengalami beberapa kelemahan. Hasil ini didasarkan pada pengamatan siswa pada seluruh aspek yang diamati pada saat kegiatan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran hasil pelatihan. Berdasarkan beberapa pendapat siswa mengenai kinerja (kompetensi) guru diperoleh kesimpulan bahwa; (1) secara keseluruhan guru belum maksimal seluruh keterampilan mengajar, (2) guru belum melakukan bimbingan secara individual atau kelompok, (3) guru masih mendominasi jalannya pembelajaran, (4) guru kurang mengorganisasikan siswa dan media pembelajaran, dan (5) dalam kegiatan penutup beberapa guru belum membuat
rangkuman pembelajaran. Selain itu secara keseluruhan penampilan guru sudah baik walaupun masih sering menggunakan kata-kata yang tidak perlu. 2) Penilaian Kompetensi Pedagogik Untuk mengetahui sejauhmana kemajuan pengetahuan guru yang berhubungan dengan kompetensi pedagogik, maka kepala sekolah melaksanakan penilaian tertulis. Penilaian ini dilaksanakan pada akhir siklus dengan menggunakan tes tertulis (paper and pencil) berupa tes pilihan ganda. Adapun hasil pencapaian kompetensi pedagogik guru di SMP Negeri 4 Marisa setelah mengikuti pelatihan/workshop siklus 1 dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Ketercapaian Kompetensi Pedagogik Siklus 1 Sub Kompetensi
Rata-rata % Capai
Ketuntasan
1. Mengenal karakteristik anak didik 2. Menguasai teori belajar dan prinsipprinsip pembelajaran yang mendidik 3. Pengembangan kurikulum 4. Kegiatan pembelajaran yang mendidik 5. Memahami dan mengembangkan potensi peserta didik 6. Komunikasi dengan peserta didik 7. Penilaian dan evaluasi
55,556 46,667
Tidak Tidak
56,667 59,524 61,905
Tidak Tidak Tuntas
47,619 51,515
Tidak Tidak
(Sumber: Hasil olahan data Lampiran 7a)
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
219
Berdasarkan standar pencapaian kompetensi yang disyaratkan dalam penelitian ini yaitu 60 maka pelatihan terstruktur dalam meningkatkan kompetensi pedagogik guru secara umum belum tercapai. Subkompetensi yang masih sangat kurang adalah kompetensi dalam menguasai teori belajar dan prinsip-prinsi pembelajaran mendidik dan kemampuan guru
berkomunikasi dengan peserta didik. Kompetensi pedagogik yang sudah dikuasai oleh guru adalah kompetensi memahami dan mengembangkan potensi peserta didik. Adapun hasil kompetensi pedagogik masing-masing guru setelah mengikuti pelatihan terstruktur, dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut ini.
Tabel 4.4 Persentase Pencapaian Kompetensi Pedagogik Siklus 1 No. Ketuntasan 60 Jumlah Persentase Guru (%) 1. Tuntas 1 17,67 2. Tidak Tuntas 5 82,33 (Sumber: Hasil olahan data Lampiran 7a) Berdasarkan indikator keberhasilan pada penelitian ini, bahwa keberhasilan penerapan pelatihan/workshop model-model pembelajaran berjenjang dalam meningkatkan kompetensi pedagogik apabila persentase guru yang menguasai kompetensi tersebut mencapai 70% dengan nilai capaian 60. Tidak tercapainya indikator keberhasilan penelitian dalam pencapaian kompetensi pedagogik banyak disebabkan oleh luasnya lingkup materi yang harus dikuasai oleh guru. Sementara waktu yang tersedia untuk mempelajari materi tersebut sangat terbatas. PENUTUP Berdasarkan analisis data dan pembahasan hasil penelitian dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Penerapan pelatihan/workshop berjenjang dapat meningkatkan kompetensi pedagogik guru di SMP Negeri 4 Marisa. 2. Hasil pelatihan/workshop dapat meningkatkan kinerja guru di SMP Negeri 4 Marisa dalam menerapkan model-model pembelajaran inovatif di kelas. 3. Penerapan pelatihan/workshop secara berjenjang dapat meningkatkan pemahaman konsep tentang kompetensi pedagogik guru di SMP Negeri 4 Marisa.
220
4. Kepala sekolah telah mampu meningkatkan kompetensi kepemimpinan pembelajaran dalam pencapaian sekolah yang efektif. 5. Peningkatan kompetensi pedagogik guru ditentukan oleh kemampuan fasilitator dan kesungguhan guru dalam mengikuti kegiatan pelatihan. 6. Peningkatan kompetensi pedagogik guru di SMP Negeri 4 Marisa dapat meningkatkan hasil belajar siswa. DAFTAR PUSTAKA Akhmad Sudrajat. (2008) Manajemen Sekolah dalam Upaya Mengantisipasi Perubahan Online http://akhmadsudrajat.wordpress. com/ Anonim, (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional. Anonim, (2007). Lampiran Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007, tentang Guru. Aziz Wahab, (2007). Metode dan Modelmodel Mengajar, Bandung: Alfabeta. Buchari Alma. (2009). Guru Profesional Menguasai Metode dan Terampil Mengajar. Bandung: Alfabeta. Chauhan, S. S. (1979) Inovation in Teaching and Learning Process. New Delhi: Vicas Publishing House PVT. LTD.
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
Dahar, R. W. (1996). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga. Engge, Paul, dkk. (1979) Strategies for Teachers: Information Processing Models in The Calssroom. New Jersey: Prectise-Hall. Inc. Englewood Cliffs. Fachruddin dan Ali. (2009). Pengembangan Profesionalitas Guru. Jakarta: Gaung Persada. M. Asrori. (tt). Collaborative Teamwork Learning: Suatu Model Pembelajaran untuk Mengembangkan Kemampuan Mahasiswa Bekerja secara Kolaboratif dalam Tim. Mulyasa. (2005). Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Rosdakarya.
Nurhadi. (2002). Pendekatan Kontekstual. Malang. Penerbit Universitas Negeri Malang. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, Tentang Standar Nasional Pendidikan. Purwanto, Ngalim. (2004). Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya. Slavin, R. (1986). Educational Psychology Theory and Practice. Massachusects: Needham Heights. Syaifuddin, M. dan Fatimah, S.(2007). Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas. Udin Syaefuddin, S. (2009). Pengembangan Profesi Guru. Bandung: Alfabeta. Wahab, Azis. (2008). Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
221
222
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
PENERAPAN PEMBELAJARAN METODE TUPAKARJI DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PADA MATA PELAJARAN IPS (SEJARAH) SISWA KELAS V SEMESTER 2 MIN LUWUK KABUPATEN BANGGAI Ilmawati Kasim Abstrak Pembelajaran sejarah disekolah-sekolah seharusnya menjadi suatu kegiatan yang menyenangkan, menantang dan bermakna bagi siswa. Namun seringkali guru mengalami kesulitan dalam mengembangkan model pembelajaran inovatif yang mendukung hasil pembelajaran IPS sejarah yang lebih baik. Siswa umumnya mempelajari sejarah itu, hanya karena sebagai mata pelajaran yang akan diujikan dan yang penting nilai yang diperolehnya baik. Sebagian besar guru mengalami kesulitan dalam menciptakan pembelajaran sejarah yang dapat membangkitkan minat siswa. Belajar sejarah didominasi oleh pembelajaran dengan menggunakan bukubuku teks. Sementara guru sangatlah dituntut agar menjadi figur yang profesional dalam mengelola proses belajar mengajar. Guru adalah prajurit terdepan di dalam membuka cakrawala peserta didik memasuki dunia ilmu pengetahuan dalam era global dewasa ini (H.A.R.Tilaar 2006:167). Hasil belajar dan aktifitas siswa dalam pembelajaran IPS Sejarah dapat ditingkatkan melalui pelaksanaan PTK dengan menerapkan pembelajaran metode Tupakarji yang dilakukan di MIN Luwuk Kabupaten Banggai dengan 2 siklus. Siklus 1 sebagian siswa belum terbiasa dengan pembelajaran Tupakarji, sebagian siswa sudah memahami pelaksanaan pembelajaran dengan metode Tupakarji sehingga hasil belajar siswa meningkat dibandingkan dengan hasil belajar siswa pada saat pratindakan. Dari hasil observasi, hasil belajar siswa menunjukkan peningkatan dari pratindakan 42,95% meningkat menjadi 80,23% pada tindakan siklus 1 kemudian meningkat lagi menjadi 86% pada tindakan siklus 2. Sedangkan hasil observasi kegiatan siswa menunjukkan peningkatan pula yaitu 79,78% pada siklus 1 menjadi 93,5% pada siklus 2. Dengan demikian penerapan pembelajaran metode Tupakarji dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS Sejarah kelas V semester 2 MIN Luwuk. Kata Kunci : pembelajaran metode Tupakarji, hasil belajar. PENDAHULUAN Sejarah merupakan bagian dari materi dalam mata pelajaran IPS yang membahas tentang pengalaman masyarakat akan masa lalu dan sekarang pada tempat tertentu, terjadi sekali dan membawa perubahan Susanto (2009: 33). Menurut Edward H Carr dalam Susanto (2009:33), sejarah adalah suatu proses interaksi terusmenerus antara sejarawan dengan fakta-fakta yang ada padanya dan dialog tanpa henti antara masa sekarang dengan masa silam. Sejarah merupakan hal-hal yang berhubungan antara peristiwa dan pelaku peristiwa disuatu tempat pada masa lampau yang membawa perubahan dan berpengaruh pada perubahan masa sekarang sehingga sejarah menjadi sebuah
informasi yang harus dipahami dalam bentuk hapalan dan diharapkan dapat membawa perubahan dalam diri siswa. Dari pengertian inilah sehingga seharusnya pembelajaran sejarah disekolah-sekolah menjadi suatu kegiatan yang menyenangkan, menantang dan bermakna bagi siswa. Namun seringkali guru mengalami kesulitan dalam mengembangkan model pembelajaran inovatif yang mendukung hasil pembelajaran IPS sejarah yang lebih baik. Dalam perkembangannya, pembelajaran sejarah dewasa ini memprihatinkan sekali, ini terbukti sangat rendahnya minat dan prestasi siswa mempelajari sejarah. Para siswa umumnya mempelajari sejarah itu, hanya karena sebagai mata pelajaran
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
223
yang akan diujikan dan yang penting nilai yang diperolehnya baik. Berdasarkan data keberadaannya mata pelajaran IPS Sejarah sangatlah berbeda dengan mata pelajaran eksakta lainnya yang dapat disajikan dalam berbagai bentuk pembelajaran yang menyenangkan, sebagian besar guru mengalami kesulitan dalam menciptakan pembelajaran sejarah yang dapat membangkitkan minat siswa. Belajar sejarah didominasi oleh pembelajaran dengan menggunakan buku-buku teks. Sehingga Sejarah menjadi suatu pembelajaran yang sangat menjemukan. Masih banyak guru yang mempertahankan model pembelajaran yang konvensional, siswa dianggap sebagai penerima informasi secara pasif dan guru dianggap sebagai satusatunya penyampai informasi atau sebagai sumber belajar. Anggapan sebagian orang bahwa mata pelajaran IPS sejarah adalah mata pelajaran yang sangat membosankan apalagi jika materi sejarah itu nota bene baik siswa maupun guru sulit membayangkan peristiwa sejarah masa lampau karena mereka sendiri tidak pernah mengalaminya sehingga pembelajaran selalu memberikan hasil yang tidak maksimal, tidak menarik dan siswa tidak termotivasi dalam pembelajaran bahkan tidak jarang pembelajaran IPS Sejarah dianggap sebagai cerita dongeng belaka yang membuat siswa terlena dan mengantuk. Sementara guru sangatlah dituntut agar menjadi figur yang profesional dalam mengelola proses belajar mengajar. Guru adalah prajurit terdepan di dalam membuka cakrawala peserta didik memasuki dunia ilmu pengetahuan dalam era global dewasa ini (H.A.R.Tilaar 2006:167). Mengajar adalah penciptaan sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar. Sistem lingkungan ini terdiri dari komponenkomponen yang saling mempengaruhi, yakni tujuan instruksional yang ingin dicapai, materi yang diajrkan, guru dan siswa yang harus memainkan peranan serta ada dalam hubungan sosial tertentu, jenis kegiatan yang dilakukan, serta sarana dan prasarana belajar-
224
mengajar yang tersedia (J.J. Hasibuan, Drs, Dip. Ed & Moedjiono 2008:3). Untuk itulah maka dalam mencapai hasil belajar yang optimal maka dalam pembelajaran IPS Sejarah guru harus memilih pendekatan dan metode pembelajaran yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan potensi siswa serta menciptakan situasi pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Sekarang ini banyak ditawarkan metode pembelajaran yang memungkinkan dapat meningkatkan ketertarikan siswa dalam pembelajaran IPS Sejarah sehingga dapat menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik, karena dengan hasil yang baik membuktikan bahwa siswa memahami pembelajaran dengan baik. Untuk mengatasi fenomena dalam pembelajaran IPS Sejarah tersebut, penulis tertarik untuk mengatasinya dengan metode pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar serta meningkatkan kreatifitas sebagai tuntutan profesionalisme guru dalam bentuk penelitian tindakan kelas dan menyusunnya dalam bentuk laporan yang berjudul :“Penerapan Metode Tupakarji dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran IPS Sejarah Semester 2 Kelas V MIN Luwuk Kabupaten Banggai “. KAJIAN TEORI a. IPS IPS adalah kajian tentang manusia dan dunia sekelilingnya. IPS lahir dari keinginan para pakar pendidikan untuk membekali para siswa supaya nantinya mereka mampu menghadapi dan menangani kompleksitas kehidupan di masyarakat yang selalu berkembang (Barr dan kawan-kawan dalam Udin S Winataputra, 2007:1.11). Mata pelajaran IPS khususnya di SD/MI bertujuan untuk memberikan pengertian dasar dan melatih serta mengembangkan sikap siswa agar menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Selain itu IPS membekali kemampuan kepada siswa untuk mengenal konsep-konsep yang
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungan. b. Sejarah Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, kata ”sejarah”, berarti ” kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi”. Sejarah itu ialah ilmu yang mempelajari manusia pada masa lampau pada tempat tertentu terjadi sekali dan membawa perubahan. Menurut Edward H Carr dalam Susanto (2009:33), sejarah adalah suatu proses interaksi terus menerus antara sejarawan dengan fakta-fakta yang ada padanya dan dialog tanpa henti antara masa sekarang dengan masa silam. Sejarah itu adalah suatu pengetahuan tentang peristiwa yang terjadi dalam masyarakat manusia pada waktu yang lampau sesuai dengan rangkaian kausalitasnya serta proses perkembangannya dalam segala aspek yang berguna sebagai pengalaman untuk dijadikan pedoman kehidupan manusia sekarang serta arah cita-cita pada masa yang akan datang (Udin S. Winataputra, 2007:5.6). c. Pembelajaran Metode Tupakarji Metode pembelajaran merupakan cara-cara dalam pengelolaan dan pengembangan proses pembelajaran untuk mencapai hasil pembelajaran yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Menurut Wina Sanjaya (2008:61) mengungkapkan bahwa metode pembelajaran adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rancangan serangkaian kegitan dalam mencapai tujuan tertentu. Model suatu pembelajaran mengacu pada pendekatan pembelajaran yang digunakan, termasuk didalamnya tujuantujuan pengajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas. Ada berbagai metode pengajaran yang perlu dipertimbangkan dalam strategi belajar-mengajar. Ini perlu karena ketepatan metode akan mempengaruhi bentuk strategi belajar mengajar Gulo, W (2005 :9). Metode Pembelajaran adalah cara-cara yang digunakan untuk mencapai proses pembelajaran yang
sesuai dengan semua aspek kondisi dalam mencapai hasil belajar yang diinginkan . Metode Pembelajaran didefinisikan sebagai cara yang digunakan guru, yang dalam menjalankan fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan pembelajaran Hamzah B. Uno (2007:2). Guru dituntut untuk menciptakan kegiatan pembelajaran yang memungkinkan siswa menguasai tujuan pembelajaran secara optimal. Untuk mengaktifkan siswa dalam belajar guru hendaknya melibatkan siswa dalam kegiatan pembelajaran baik melalui kegiatan tanya jawab maupun melalui kegiatan kelompok Suciati (2007:5.26). Metode pembelajaran Tupakarji (tulis pahami tukar uji) adalah cara yang digunakan guru dalam proses pembelajaran yang diawali dengan mengembangkan pemahaman melalui penulisan ringkasan bahan ajar oleh individu, berpasangan maupun kelompok, kemudian bahan ajar tersebut ditukar dengan bahan ajar siswa lain dan diakhiri dengan pengujian/tes dari siswa pasangan atau kelompok lain. Atau pembelajaran yang dilakukan dengan cara menyajikan materi yang kemudian ditulis dan dipahami oleh siswa dalam kelompok, setelah dipahami ditukar kepada siswa atau kelompok lain dilanjutkan dengan pemberian tes atau uji terhadap penguasaan materi. Metode pembelajaran ini termasuk dalam kategori pembelajaran kooperatif yaitu pembelajaran yang secara sadar dan sengaja mengembangkan interaksi yang saling asuh antar siswa untuk menghindari ketersinggungan dan kesalahpahaman yang dapat menimbulkan permusuhan Kunandar (2008:270). d. Hasil belajar Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar mempunyai peranan penting setelah proses pembelajaran. Proses penilaian terhadap hasil belajar dapat memberikan informasi kepada guru tentang kemajuan siswa dalam upaya mencapai tujuan-tujuan belajarnya
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
225
melalui kegiatan belajar. Penilaian hasil belajar dapat digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan informasi dalam membuat keputusan tentang tingkat pencapaian siswakarena penilaian hasil belajar sebagai bagian integral dari kegiatan belajar mengajar Hendri Yufidani (2007:195). Menurut Nana Sudjana (dalam Kunandar, 2008:276) hasil belajar adalah suatu akibat dari proses belajar dengan menggunakan alat pengukuran, yaitu berupa tes yang disusun secara terencana, baik tes tertulis, tes lisan maupun tes perbuatan. Sedangkan Wina Sanjaya berpendapat bahwa hasil belajar berkaitan dengan pencapaian dalam memperoleh kemampuan sesuai dengan tujuan khusus yang direncanakan. Hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku. Tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang luas mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotoris. Oleh sebab itu, dalam penilaian hasil belajar rumusan kemampuan dan tingkah laku yang diinginkan dikuasai siswa (kompetensi) menjadi unsur penting sebagai dasar dan acuan penilaian. Penilaian proses pembelajaran adalah upaya memberi nilai terhadap kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru dalam mencapai tujuan-tujuan pengajaran. Suatu proses pembelajaran tentang bahan pengajaran dinyatakan berhasil apabila tujuan pengajaran dapat tercapai. Untuk mengetahui tercapai tidaknya, guru perlu mengadakan tes formatif setiap selesai menyajikan satu satuan bahasan kepada siswa. Indikator keberhasilan pembelajaran merupakan sebuah ukuran atas proses pembelajaran, apabila merujuk pada rumusan operasional keberhasilan, menurut Pupuh Fathurrohman, bahwa belajar dikatakan berhasil apabila diikuti ciri-ciri: 1) daya serap terhadap bahan pengajaran yang diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individu maupun kelompok, 2) prilaku yang digariskan dalan tujuan pengajaraan khusus (TPK) telah dicapai oleh siswa
226
baik secara individu maupun kelompok, dan 3) terjadinya proses pemahaman materi yang secara sekuensial mengantarkan materi berikutnya. Hasil belajar yang akan di ukur pada penelitian ini adalah hasil belajar yang mengarah pada ranah kognitif dan afektif yang nampak pada tes akhir sedangkan ranah psikomotor diukur dalam proses pembelajaran (diskusi). METODOLOGI PENELITIAN Setting dalam penelitian ini meliputi: tempat penelitian, waktu penelitian dan siklus PTK sebagai berikut. 1. Tempat, Waktu, dan Subyek Penelitian Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di kelas V MIN Luwuk semester 2 tahun 2009/2010. Pemilihan sekolah ini bertujuan memperbaiki proses pembelajaran di sekolah tempat tugas peneliti. MIN Luwuk terletak + 1 KM di sebelah timur kota air Luwuk. Tepatnya berada di jalan Imam Bonjol nomor 557.Penelitian dilaksanakan pada awal semester genap tahun pelajaran 2009/2010 yang berpedoman pada kalender pendidikan madrasah yaitu bulan Pebruari sampai bulan Mei. Siswa yang diteliti adalah siswa kelas V MIN Luwuk tahun pelajaran 2009/2010 terdiri dari 15 putera dan 7 puteri. Kemampuan akademik dan kemampuan menulis rata-rata masih rendah. Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang dipengaruhi dialek daerah setempat. 2. Siklus PTK Pelaksanaan tindakan dilakukan pada jam pelajaran IPS, diawali dengan pra tindakan satu kali pertemuan sedangkan lama tindakan 3 kali pertemuan yang dibagi dalam 2 siklus. Siklus 1, satu kali pertemuan dan siklus 2, dua kali pertemuan setiap pertemuan dialokasikan 3 jam pelajaran atau 3x35 menit. Dengan demikian keseluruhan jam pelajaran yang digunakan adalah 12 jam pelajaran.
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
Persiapan PTK Persiapan yang dilakukan sebelum melaksanakan PTK yaitu membuat instrumen-instrumen yang akan digunakan dalam melakukan PTK seperti rencana pelaksanaan pembelajaran yang akan dijadikan PTK, dengan Standar Kompetensi: 2. Menghargai peranan tokoh pejuang dan masyarakat dalam mempersiapkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kompetensi Dasar: 2.1. Mendeskripsikan perjuangan para tokoh pejuang pada masa penjajahan Belanda dan Jepang. Indikatornya: 2.1.1. Menceritakan perjuangan para tokoh daerah dalam upaya mengusir penjajah Belanda berdasar hasil membaca.; 2.1.2. Menceritakan peranan beberapa tokoh pergerakan nasional pada masa perjuangan. Tujuan pembelajarannya: 1) Mengidentifikasi peristiwa perlawanan rakyat terhadap Belanda yang terjadi diberbagai daerah di Nusantara. 2) Menyebutkan tokoh-tokoh pemimpin perlawanan rakyat terhadap kekuasaan Belanda. 3) Mengidentifikasi peranan beberapa tokoh pergerakan nasional pada masa penjajahan. 4) menyebutkan sifat-sifat para tokoh pergerakan nasional pada masa penjajahan yang perlu diteladani. Sedangkan perangkat pembelajaran yang lainnya yang dibuat yaitu: 1) Lembar Kerja Siswa (LKS); 2) Lembar pengamatan diskusi; 3) Instrumen soal evaluasi; 4) Daftar nama kelompok diskusi yang dibuat secara heterogen; 5) Lembar observasi kegiatan guru dan siswa; 6) Angket siswa. Sumber Data 1. Siswa Dari siswa data yang dapat diperoleh yaitu dengan melihat keaktifan siswa selama mengikuti pembelajaran dengan metode Tupakarji. Secara spesifik variabel keaktifan siswa yang diamati adalah respon siswa dalam bentuk 4 aspek yang menjadi indikator untuk mengetahui kemampuan siswa dalam memahami konsep materi yang dipelajari dalam bentuk diskusi yakni : (1) Kerja sama siswa,
(2),Keaktifan siswa (3) Keberanian siswa menjawab, (4) Kualitas jawaban. Untuk melihat minat siswa terhadap model penyajian materi dengan melalui angket yang diberikan kepada siswa. Termasuk hasil belajar siswa. 2. Guru Untuk memperoleh data keberhasilan pelaksanaan pembelajaran dengan metode Tupakarji dan hasil belajar siswa. 3. Teman Sejawat dan Kolaborator Teman sejawat adalah sumber data yang melihat pelaksanaan PTK secara langsung dan menyeluruh baik dari segi siswa maupun guru. Teknik dan Alat Pengumpulan Data 1. Teknik Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah tes, observasi, angket dan diskusi. a. Tes: digunakan untuk mendapatkan data tentang hasil belajar siswa. b. Observasi: digunakan untuk mengumpulkan data kegiatan guru dan siswa dalam pembelajaran dengan metode Tupakarji. c. Angket: digunakan untuk mendapatkan data tingkat keberhasilan pelaksanaan pembelajaran dengan metode Tupakarji d. Diskusi antara guru, teman sejawat, dan kolaborator untuk merefleksi hasil setiap siklus 2. Alat Pengumpulan Data a. Tes: menggunakan instrumen soal untuk megukur hasil belajar siswa. b. Observasi: menggunakan lembar observasi untuk mengukur kegiatan guru dan siswa dalam pembelajaran dengan menggunakan metode Tupakarji. c. Angket: menggunakan lembar angket yang berisi pertanyaan untuk mengetahui pendapat atau sikap siswa dan teman sejawat tentang pembelajaran dengan metode Tupakarji.
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
227
d. Diskusi: dengan menggunakan lembar hasil pengamatan. Indikator Kinerja Indikator kinerja siswa sangatlah dipengaruhi oleh kinerja guru, karena gurulah yang menjadi fasilitator pencapaian kinerja siswa. 1. Siswa a. Tes: rata-rata nilai setiap pertemuan. b. Observasi: keaktifan siswa dalam proses pembelajaran. 2. Guru a. Dokumentasi: kehadiran siswa. b. Observasi: hasil observasi. Indikator yang digunakan dalam PTK ini adalah daya serap siswa secara individu dan klasikal serta nilai rerata hasil belajar. Pelaksanaan pembelajaran Metode Tupakarji ini, dinilai berhasil dalam pembelajaran IPS Sejarah, jika setiap tindakan menghasilkan daya serap individual minimal 65%, klasikal 75 % dan nilai rata-rata minimal 7,5. Indikator keaktifan siswa dalam kelompok adalah kerjasama, keaktifan, keberanian, kualitas jawaban, dengan rentang nilai : Rendah 0% - 40%, sedang 41% - 70%, tinggi 71% - 100%. Prosedur Penelitian a. Identifikasi Masalah dan Perencanaan Tindakan Dari studi kasus yang dijelaskan secara naratif, serta refleksi dan hasil
observasi teman sejawat, teridentifikasi bahwa guru merasa kesulitan dalam pembelajaran dan pencapaian hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS Sejarah. Dengan mengacu pada beberapa pustaka dan berdiskusi dengan teman sejawat, guru memilih tindakan untuk memperbaiki proses pembelajaran dengan penerapan metode TUPAKARJI kepada siswa. Guru membuat perencanaan tindakan dengan menyusun silabus dan rencana pelaksanaan tindakan, bahan belajar, LKS dan hasil, evaluasi belajar dan hasil. Menyiapkan lembar observasi sebelum tindakan dan dalam proses pembelajaran. Dalam kegiatan pembelajaran guru menyampaikan apersepsi setelah penyiapan kelas, penyampaian tujuan pembelajaran serta prosedur kegiatan dalam LKS, laporan hasil diskusi dan kesimpulan, penjelasan singkat materi dan tanya jawab, refleksi dan evaluasi, penguatan dan tindak lanjut serta pemberian tugas. Tahapan pelaksanaan tindakan pada PTK ini mengacu pada konsep pokok menurut Kurt Lewin yaitu : perencanaan (planning), tindakan (acting, pengamatan (observing), dan reflecting). Hubungan keempat komponen itu merupakan satu siklus. (Wijaya Kusumah & Dedi Dwitagama ( 2010:27).
MASALAH/ PRA TINDAKAN
PERENCANAAN/TINDAKAN SIKLUS I
PELAKSANAAN TINDAKAN SIKLUS I
PENGAMATAN/PENGUMPULAN DATA PERENCANAAN TINDAKAN SIKLUS II
REFLEKSI SIKLUS I
PENGAMATAN/PENGUMPULAN DATA
PELAKSANAAN TINDAKAN SIKLUS II
REFLEKSI SIKLUS II
JIKA MASALAH BELUM SELESAI KESIKLUS III Gambar 1.1 Tahapan Tindakan
228
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
b. Pelaksanaan Tindakan dan Observasi Kegiatan perbaikan pembelajaran dilakukan dalam 2 siklus. Dalam siklus 1 satu kali pertemuan terdiri dari 3 jam pelajaran. Siklus 2 dua kali pertemuan. Siklus 1 dimulai dengan pendahuluan oleh guru, kemudian setelah penyampaian tujuan pembelajaran guru menjelaskan langkah-langkah kegiatan dalam LKS yaitu siswa menyediakan bahan belajar naskah perlawanan tokoh rakyat di daerah-daerah yang sudah ditulis sebagai tugas rumah pada pertemuan pra tindakan, naskah tersebut berbeda untuk setiap kelompok setelah mereka pahami dalam waktu yang ditetapkan, kemudian naskah tersebut dibagi ke kelompok lain sehingga maingmasing kelompok mendapat 4 bahan belajar yang berbeda. Semua bahan dipahami dalam waktu tertentu kemudian masing-masing kelompok menguji kelompok lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, siswa saling bekerjasama dalam membahas pertanyaan yang diajukan. Laporan hasil kerja siswa dibahas secara umum antara guru dan siswa untuk mendapatkan kesimpulan, selanjutnya kegiatan ditutup menjelaskan materi yang belum dipahami, dilanjutkan dengan postes 1, refleksi, penguatan dan tugas rumah yaitu membuat sinopsis dari Standar kompetensi berikutnya. Siklus 2 pertemuan 1, siswa membuat sinopsis materi, setiap kelompok mendapat 3 bahan belajar yang dibuat secara berpasangan dalam kelompok, kemudian dipahami dan diuji oleh guru. Sebagai tugas siswa menukar bahan belajar dalam kelompok untuk dipahami sehingga setiap kelompok sudah menguasai 3 bahan belajar yang menjadi tugas kelompok. Pada pertemuan 2 siswa menukar bahan belajar antar kelompok untuk dipahami dalam waktu yang ditetapkan, sehingga setiap kelompok sudah mempunyai 12 bahan belajar kemudian
pengujiannya dalam bentuk diskusi antar kelompok. Pada siklus 2 materi dan kompetensi dasarnya berbeda dengan materi sebelumnya. Siklus 2 ditutup dengan postes 2 dan mencatat hal-hal yang telah dipelajari. Dalam pelaksanaan siklus 1 dan 2 yang menjadi observer yaitu teman sejawat dengan menggunakan lembar observasi yang telah disediakan. Hasil observasi berupa data proses belajar, situasi belajar dan masalah yang dihadapi siswa. Guru menuliskan refleksi pada setiap akhir pelaksanaan pembelajaran. c. Pengumpulan data dan analisis data Pengumpulan data diambil dari hasil diskusi dan hasil tes pada pelaksanaan tindakan selama 2 siklus dan hasil tes pra tindakan, refleksi dan hasil observasi teman sejawat dalam kegiatan pelaksanaan tindakan selama 2 siklus. Sedangkan analisis data dilakukan melalui 2 jenis data yaitu data kualitatif dalam catatan hasil observasi dan refleksi. Untuk data kuantitatif diambil dari skor hasil belajar dan hasil diskusi siswa serta hasil observasi teman sejawat dan didukung pula dengan angket siswa 2 kali yang diisi setelah selesai setiap siklus. Hasil analisis data kemudian di interpretasi dan disimpulkan. Untuk hasil belajar yang diperoleh siswa setelah mengikuti evaluasi pada akhir tindakan dianalisis dengan menggunakan rumus sebagai berikut : a. Daya serap Siswa (DSS) % DSS =
X x 100 % X max
Dengan : X = diperoleh siswa Xmax = maksimal b. Klaksikal
%K =
Skor yang Skor
N1 x N
100 % Dengan :
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
229
N1
= Jumlah siswa yang mencapai indikator yang ditetapkan = Jumlah seluruh siswa N c. Rerata Hasil Belajar X=
X N
Dengan : ∑ X= jumlah skor yang diperoleh seluruh siswa. d. Refleksi dan tindak lanjut Dalam setiap selesai pembelajaran guru membuat refleksi dan berdiskusi dengan teman sejawat atau observer guna membicarakan hal-hal yang menjadi hambatan, serta faktor penyebab hambatan yang mempengaruhi kegiatan pembelajaran dan membuat rencana tindakan perbaikan pembelajaran selanjutnya. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN Siklus 1 ( 1 kali Pertemuan) Perencanaan Peneliti bersama teman sejawat menganalisis kurikulum dalam menentukan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang akan dilaksanakan pembelajarannya dengan menggunakan metode Tupakarji, membuat rencana pembelajaran metode Tupakarji, membuat LKS, menyusun lat evaluasi pembelajaran dan membuat 2. a.
instrumen yang digunakan dalam siklus PTK. 1. Pelaksanaan Pelaksanaan siklus 1 memang belum terlaksana sesuai rencana karena sebagian siswa belum terbiasa dengan kondisi belajar diuji oleh teman maupun guru walaupun siswa sebenarnya sudah duduk berkelompok secara paten. Sebagian kelompok belum memahami langkah langkah pembelajaran Tupakarji secara utuh dan menyeluruh sehingga guru berupaya memberi pengertian kepada siswa kondisi dalam kelompok, partisipasi siswa dalam kelompok dan memberikan pemahaman langkahlangkah pembelajaran Tupakarji. Pada akhir siklus 1 hasil pengamatan guru dan kolaborasi dengan teman sejawat disimpulkan bahwa siswa mulai terbiasa dengan kondisi belajar kelompok dan suasana pembelajaran sudah mengarah kepada pembelajaran Tupakarji. Siswa menunjukkan kerja sama dalam menyelesaikan tugas dan menguasai materi pelajaran yang diberikan. Sebagian siswa 50% termotivasi untuk berbicara dalam kelompok karena kurang percaya diri/takut. Suasana pembelajaran mulai menyenangkan karena masih 13% siswa belum merasakan hal itu.
Observasi dan Evaluasi Hasil observasi kegiatan siswa selama siklus 1 sebagai berikut . Tabel 1. Perolehan Skor Kegiatan Siswa dalam Pembelajaran Siklus 1. P S Kelomp Sk ersentase kor ok or Perolehan ( Ideal %) 1 Diponegoro 15 93,75 6 Imam 13, 1 83,12 Bonjol 3 6 11, 1 Pattimura 72,5 6 6 11, 1 Antasari 69,75 16 6 12, 1 Rerata 79,78 765 6
K eterangan Terting gi
Terend ah
Grafik 1. Perolehan Skor Kegiatan Siswa dalam Pembelajaran Siklus 1
230
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
100.00%
93.75% 83.12% 72.50% 69.75%
80.00% 60.00% 40.00% 20.00% 0.00% Diponegoro b.
c.
3.
a.
b.
Imam Bonjol
Hasil observasi kegiatan guru selama siklus 1 Aktifitas guru pada siklus 1 tergolong rendah dengan perolehan skor 46 atau 61,84% sedangkan skor idealnya adalah 76. Hal ini dikarenakan masih kaku dengan suasana pembelajaran yang diamati oleh kolaborator, kurang memberikan pengarahan kepada siswa pelaksanaan pembelajaran Tupakarji. Hasil evaluasi penguasaan siswa terhadap materi pembelajaran siklus1 Penguasaan siswa terhadap materi pembelajaran sudah meningkat 82,23% dibanding dengan penguasaan materi oleh siswa sebelum mendapat tindakan yaitu 42,95%. Refleksi dan Perencanaan Kembali Pencapaian pada siklus 1 yaitu: Guru belum terbiasa mengajar diamati oleh kolaborator sehingga suasana pembelajaran belum mengarah kepada pembelajaran Tupakarji. Dari hasil observasi terhadap aktifitas guru dalam pembelajaran hanya mencapai 61,84% Sebagian siswa belum terbiasa dengan suasana belajar dengan menggunakan metode Tupakarji. Masih terlihat siswa yang kaku dalam pembelajaran dengan adanya kehadiran kolaborator, walaupun hal itu sudah dijelaskan kepada siswa keadaan pembelajaran yang akan
Pattimura
c.
Antasari
dilaksanakan. Dari hasil observasi terhadap aktifitas siswa mencapai 78%. Masih ada kelompok yang belum dapat menyelesaikan tugas dengan waktu yang ditentukan, hal ini terjadi karena waktu yang tersedia tidak sesuai dengan muatan materi yang dilaksanakan (3 x 35 menit) selain itu masih ada kelompok yang kurang mampu mempresentasikan hasil kegiatan.
Siklus 2 (2 Kali Pertemuan) 1. Perencanaan Peneliti bersama teman sejawat menganalisis kurikulum dalam menentukan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang akan dilaksanakan pembelajarannya dengan menggunakan metode Tupakarji, membuat perangkat pembelajaran yang lebih baik dan mudah dipahami oleh siswa,memberi pengakuan dan penghargaan kepada siswa dan lebih intensif membimbing kelompok serta memberi motivasi kepada kelompok agar lebih aktif lagi dalam pembelajaran. 2. Pelaksanaan Pelaksanaan siklus 2 sudah lebih mengarah pembelajaran Tupakarji secara utuh dan menyeluruh.Tugas yang dibagikan guru dalam lembar kegiatan siswa sudah mampu dikerjakan dengan baik. Siswa saling membantu dalam menguasai materi pelajaran dan lebih antusias dalam bertanya dan memberi tanggapan dalam diskusi antar kelompok. Pembelajaran lebih efektif dan menyenangkan. Sebagian siswa 40% sudah dapat berpartisipasi dalam
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
231
diskusi kelompok kurang percaya diri.
walaupun
masih
3. a.
Observasi dan Evaluasi Hasil observasi kegiatan siswa selama siklus 2 sebagai berikut .
Tabel 2. Perolehan Skor Kegiatan Siswa dalam Pembelajaran Siklus 2 Skor Skor Persentase Kelompok Keterangan Perolehan Ideal (%) Indische Partij 14,8 16 93 Muhammadiyah 15,3 16 96 Tertinggi Syarekat Islam 14,2 16 89 Terendah Budi Utomo 15,7 16 96 Rerata 15 16 93,5 Grafik 2. Perolehan Skor Kegiatan Siswa dalam Pembelajaran Siklus 2 100% 96% 95%
96%
93% 89%
90% 85% Indische
d.
e.
f.
232
Muhammadiyah
Hasil observasi kegiatan guru selama siklus 2 Aktifitas guru pada siklus 2 mengalami peningkatan dengan memperoleh skor 70 dari skor ideal 76 atau mencapai 92,10%. Hal ini menunjukkan peningkatan yang signifikan. Hasil evaluasi penguasaan siswa terhadap materi pembelajaran siklus 2 Refleksi Pencapaian pada siklus 2 yaitu : Kegiatan siswa dalam pembelajaran lebih mengarah kepada pembelajaran metode Tupakarji Siswa mampu bekerja sama dalam kelompok dalam memahami materi pelajaran serta menyelesaikan tugas yang diberikan guru dalam lembar kegiatan siswa. Partisipasi siswa lebih baik dalam kelompok dan menggunakan waktu yang lebih efektif. Siswa lebih mampu mempresentasikan hasil kerja. Dilihat dari data observasi
Syarekat Islam
g.
h.
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
Budi Utomo
kolaborator, kegiatan siswa meningkat dari 78% pada siklus 1 menjadi 91% pada siklus 2. Kegiatan siswa meningkat didukung pula oleh meningkatnya kegiatan guru dalam pembelajaran dengan suasana belajar dengan menggunakan metode Tupakarji. Hal ini terlihat dari hasil observasi aktifitas guru yang meningkat dari 83% pada siklus 1 menjadi 93% pada siklus 2. Berdasarkan pencapaian hasil evaluasi pratindakan 42,95 % meningkat jauh menjadi 80,23%pada siklus 1 dan meningkat lagi menjadi 86,00 % pada siklus 3. Ini berarti kemampuan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran meningkat setelah menggunakan pembelajaran dengan metode Tupakarji. Hal ini dapat dilihat pada tabel 3 yang didukung pula oleh hasil angket siswa pasca siklus 1 dan hasil angket siklus 2 pada tabel 4.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
4.
5.
6.
Tabel 3. Hasil tes sebelum dan sesudah diberi tindakan Skor Skor Skor setelah sebelum setelah Tindakan NAMA tindakan tindakan Siklus 2 Pra tindakan Siklus 1 AHLAN GITA ANGGI MAUDI DEVIANTI DIMAS GILANG R GUFRAN JUNAIDI ALDA MOH. FAIZAL AKMAL ARDIANSYAH ALFARIZY P MEGAWATI P HIDAYAT SAPUTRA LICKY YANO ANJELIKA S SAIFULLAH SULTAN R SAYYID A VIDIA D Jumlah Total Skor Maks. Individu Skor Maks. Kelas
10 40 50 70 55 30 50 30 70 20 50 30 60 40 20 20 65 70 60 25 60 20 945 100 2200
90 62 97 97 86 52 76 75 66 66 83 66 100 83 83 93 69 93 100 83 97 48 1765 100 2200
100 100 68 100 100 68 95 95 95 68 95 92 100 68 70 100 86 100 100 97 100 95 1892 100 2200
Ket
x
x
Keterangan: x mengalami penurunan hasil belajar Analisis Data Deskriptif Kuantitatif Pencapaian prestasi sebelum diberi tindakan = 945 x 100% 2200 = 42,95 % Pencapaian prestasi setelah diberi tindakan siklus 1 = 1765 x 100% 2200 = 80,23 % Pencapaian prestasi setelah diberi tindakan siklus 2 = 1892 x 100% 2200 = 86,00 %
SIMPULAN Dari penelitian Tindakan Kelas ini disimpulkan bahwa untuk meningkatkan hasil belajar mata pelajaran IPS Sejarah siswa kelas V semester II melalui pembelajaran metode Tupakarji dapat dilakukan dengan cara:
1.
2.
Memberikan motivasi kepada siswa untuk selalu mengerjakan tugas membuat ringkasan materi pelajaran yang berbeda dengan temannya atau kelompoknya. Melatih siswa untuk memahami isi ringkasan materi yang telah dibuat baik secara individu, berpasangan maupun berkelompok.
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
233
3.
Melatih siswa untuk selalu membuat pertanyaan berdasarkan ringkasan materi yang telah dibuat. 4. Menugaskan siswa untuk menukar hasil ringkasan yang telah dibuat kepada teman baik secara berpasangan maupun secara kelompok. 5. Melatih serta mendorong siswa untuk saling menguji dalam bentuk pemberian pertanyaan yang berhubungan dengan ringkasan materi yang telah dikuasai. Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran dengan metode Tulis Pahami Tukar Uji (TUPAKARJI) dapat meningkatkan hasil belajar mata pelajaran IPS Sejarah siswa kelas V semester II MIN Luwuk. Terjadi peningkatan perolehan hasil belajar siswa setelah diberikan tindakan yaitu: 1. Dari hasil observasi menunjukkan aktifitas siswa tinggi pada siklus 1 79,78% meningkat lagi menjadi 93,5% pada siklus 2, karena sudah melampaui kriteria yang ditetapkan yaitu 71 %. 2. Penguasaan siswa terhadap materi pelajaran mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan oleh hasil perolehan rata-rata pratindakan 42,95% menjadi 80,23% pada tindakan siklus 1 dan tindakan siklus 2 meningkat menjadi 86%. Sedangkan kriteria yang ditetapkan hanya 75% . 3. Hasil belajar siswa secara individual tinggi pada siklus 2 karena melampaui kriteria yang ditetapkan yaitu 65%. Pembelajaran IPS Sejarah hendaknya bervariasi dan tidak monoton sehingga hasil pembelajaran dapat mengalami peningkatan sesuai harapan. Guru hendaknya selalu melibatkan siswa selama pembelajaran berlangsung seperti dalam pembelajaran metode Tupakarji.. Pembelajaran metode Tupakarji telah terbukti dapat meningkatkan aktifitas dan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran IPS Sejarah, maka disarankan dalam kegiatan
234
pembelajaran guru diharapkan menjadikan pembelajaran metode Tupakarji sebagai metode alternatif dalam pembelajaran untuk meningkatkan aktifitas dan hasil belajar siswa. Selain itu dapat pula dilakukan secara berkesinambungan dan dikembangkan dalam pembelajaran IPS Sejarah maupun pembelajaran yang lainnya.Tetapi diharapkan dapat lebih ditingkatkan kualitasnya mengingat pelaksanaan PTK ini hanya tiga siklus dengan pratindakan dan validitas instrumennya belum standar. DAFTAR PUSTAKA Depdiknas. (2007). Bunga Rampai Keberhasilan Guru dalam Pembelajaran. Jakarta. Depdiknas. Depdiknas. (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka. Fathurrohman, Pupuh. (2007). Strategi Belajar Mengajar melalui Penanaman Konsep Umum dan Konsep Islami. Bandung. Refika Aditama. Hasibuan, J.J & Moedjiono. (2008). Proses Belajar Mengajar. Bandung. Remaja Rosdakarya. Kunandar. (2008). Langkah Mudah, Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta. Rajagrafindo Persada. Suciati. (2007). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta. Universitas Terbuka. Tilaar, H.A.R. (2006). Standarisasi Pendidikan nasional (suatu tinjauan kritis). Jakarta. Rineka cipta. Uno, Hamzah. B. (2007). Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta. Bumi Aksara Wardhani, IGAK. (2007). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta. Universitas Terbuka. Winataputra, Udin S. (2007). Materi dan Pembelajaran IPS SD. Jakarta. Universitas Terbuka. Zuber, Ahmad & Lukman Hakim.(2009). Aktif Belajar IPS. Solo. Platinum.
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
ANALISIS PENGUASAAN SANTRI TERHADAP KITAB KUNING BAERDASARKAN BERDASARKAN POLA PEMBINAAN (STUDI KASUS PONDOK PESANTREN AL-HUDA PROVINSI GORONTALO) Abd. Rasyid Kamaru Abstrak Pondok pesantren al-Huda provinsi Gorontalo yang didirikan pada tahun 1961 sampai dengan sekarang tetap eksis dalam kajian kitab kuning dan menggunakan sistem klasikal. Penelitian ini mengambil lokasi di pondok pesantren al-Huda provinsi Gorontalo. Data yang diuraikan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, adapun metode yang digunakan berupa observasi, interview dan dokumentasi. Sedangkan analisis data menggunakan metode induktif, deduktif dan komparatif. Teknik pengolahan data yaitu menggunakan tiga metode yaitu: reduksi data, penyajian data dan menarik kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penguasaan santri terhadap kitab kuning belum maksimal, maka pola yang dilaksanakan adalah memaksimalkan penguasaan santri pada mata pelajaran nahwu dan sharaf sebagai alat untuk menguasai kitab kuning. Rekomendasi penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kerja sama antar pihak pondok pesantren, pemerintah, masyarakat yang tampak dari sikap, perilaku, pemikiran maupun kerja sama antar pondok pesantren yang terkesan vakum selama ini. PENDAHULUAN Pondok pesantren jumlahnya cukup besar yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Jumlah para santri dari pondok pesantren kecil sampai pondok pesantren besar mencapai jutaan orang dengan jumlah kelembagaan puluhan ribu, dan jika ditambah dengan diniyah yang melakukan kegiatan proses belajar mengajar seperti, pondok pesantren jumlahnya dapat mencapai ratusan ribu, dengan jumlah santri dan masyarakat 1 pendukungnya bisa meningkat lagi . Kalau potensi tersebut dapat dikelola dan didayagunakan dengan sebaikbaiknya melalui program pengembangan keterampilan dan penerapan alih teknologi tepat guna, maka tidak saja dapat meningkatkan nilai tambah dan kesejahteraan bagi warga pondok pesantren, tetapi juga memberikan kontribusi yang signifikan untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional. Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan dan pengajaran Islam, di mana di dalamnya terjadi interaksi antara kyai atau ustadz 1
Marwan Saridjo at. el, Pendidikan Islam Dari Masa Kemasa, (Jakarta : Yayasan Ngali Aksara dan AlManar Press, 2011), Cet. ke-2, hlm. 117.
sebagai guru dan para santri, dengan mengambil tempat di masjid atau di halaman-halaman asrama (pondok) untuk mengaji dan membahas bukubuku teks keagamaan karya ulama masa lalu. Buku-buku teks ini lebih dikenal dengan sebutan kitab kuning, karena di masa lalu kitab-kitab itu pada umumnya ditulis atau dicetak di atas 2 kertas berwarna kuning. Pondok pesantren yang ada di provinsi Gorontalo, dipahami oleh masyarakat hanya mengajarkan pendidikan keagamaan, tetapi kenyataannya seluruh pondok pesantren yang ada di provinsi Gorontalo, termasuk pondok pesantren al-Huda telah mengajarkan mata pelajaran umum, bahkan sejak kehadirannya di tahun 1961 sudah menerapkan sistem klasikal dan mengikuti kurikulum nasional sehingga pondok pesantren tersebut telah memberikan konstribusi kepada bangsa dan negara terutama dalam upaya meningkatkan penguasaaan santri terhadap kitab kuning.
2 Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grasindo Anggota IKAPI, 2001), hlm. 170
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
235
TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian dan pola umum pondok pesantren Pondok adalah: rumah untuk sementara waktu, seperti: yang didirikan di ladang, di hutan dan sebagainya. “Pesantren” adalah asrama dan tempat murid-murid mengaji dan menuntut ilmu terutama yang berkaitan dengan agama 3 Islam. Pesantren adalah tempat para santri belajar ilmu agama Islam. Kata pesantren berasal dari kata “santri” artinya murid yang belajar ilmu agama Islam. Kemudian mendapat awalan pedan akhiran – an menjadi pesantrian. Huruf i dan an mengalami perubahan sehingga sebutan pesantrian menjadi 4 pesantren. Disebut pesantrian atau pesantren karena seluruh murid yang belajar dipesantren tersebut dengan santri. Tidak dikenal sebutan siswa atau murid. Sebutan santri merupakan konsep baku meskipun maknanya siswa, murid atau anak didik. Sebutan santri memiliki perbedaan substansial dengan siswa atau murid. Santri hanya berlaku untuk siswa yang belajar di pondok pesantren dan obyek kajian yang dipelajarinya ilmu agama Islam. Sedangkan murid atau siswa berlaku umum. Pesantren, atau pondok, adalah lembaga yang dapat dikatakan merupakan wujud proses belajar, perkembangan sistem pendidikan dan selanjutnya ia merupakan bapak dari 5 pendidikan Islam. Pesantren sendiri menurut pengertian dasarnya adalah, tempat belajar para santri. Sedangkan pondok berarti tempat tinggal sedarhana yang 6 terbuat dari bambu. Kata Pondok mungkin berasal dari bahasa arab “funduk”. Yang berarti hotel atau
3 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,(Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, 2006), hlm. 906. 4 Hasan Basri, Beni Ahmad Saebani, Ilmu Pendidikan Islam Jilid 2, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), Cet. ke-1, hlm. 4. 5 Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Di Idndonesia. (Jakarta: PT. Grasindo, 2001), hlm. 89 6 . Ibid
236
7
asrama. Pondok, adalah : rumah yang agak kurang baik. Biasanya berdinding bilik dan beratap rumbia, dan sebagainya. Lambat laun pondokpondok berkurang diganti dengan rumah yang tidak mudah terbakar. Pondok juga berarti madrasah atau asrama (tempat 8 mengajar dan belajar agama Islam). Setidaknya ada 3 (tiga) hal yang paling menonjol dalam pengembangan pondok pesantren yaitu pendidikan, pengembangan sarana dan pra-sarana serta mutu pendidikan. a. Pendidikan. Pendidikan di pondok pesantren dalam menyusun program pembelajaran berprinsip pada halhal sebagai berikut: 1) Mengorganisasikan materi untuk dipelajari santri secara unit-unit yang terpisah, jelas bidangnya, serta relatif lebih kecil unit-unit pelajarannya sehingga mudah dikelola; 2) Interaksi antara santri dengan unit kecil pelajaran berlangsung secara bertahap; 3) Umpan balik belajar santri dapat segera diketahui untuk dikomunikasikan dengan taraf penguasaan bahan pelajaran yang telah disajikan kepada mereka; 4) Memacu diri (self-pacing) secara bertahap dalam proses penguasaan bahan pelajaran; 5) Diagram feedback (umpan balik) 9 belajar berprograma. b. Pengembangan sarana dan prasarana. Pengembangan-pengembangan pendidikan pondok pesantren adalah 1) Pengembangan lembaga pendidikan dari semua akomodasi, fasilitas, sarana dan prasarananya; 2) Perubah kurikulum, yaitu perpaduan antara ilmu agama Islam dan semua alatnya, serta ilmu pengetahuan umum, yang semua dipandang sebagai ilmu barat; 3) Pengembangan metode pembelajaran, kini jarang digunakan metode wetonan maupun sorogan. 7
. Ibid W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, hlm. 906. 9 Hasan Basri, Beni Ahmad Saebani, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 241. 8
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
Metode pembelajaran di pondok pesantren sma dengan di sekolah umum; c. Mutu pendidikan Banyak pakar dan organisasi yang mencoba mendefinisikan kualitas (mutu) berdasarkan sudut pandangnya masing-masing. Walaupun definisi tersebut tidak ada yang diterima secara universal, tetapi terdapat beberapa kesamaan, yaitu elemen-elemen berupa usaha untuk memenuhi harapan pelanggan atau produk, jasa manusia, proses dan lingkungan dan atau merupakan 10 kondisi yang selalu berubah. . Berdasarkan elemen-elemen tersebut, Goetsch dan Davis yang dikutip oleh Tjiptono, membuat definisi kualitas yang lebih luas cakupannya, yakni “kualitas merupakan kondisi yang dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi, atau melebihi harapan. Definisi mutu menurut ISO 2000 dalam Erfi Ilyas, mutu adalah totalitas karakteristik suatu produk (barang dan jasa) yang menunjang kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan yang dispesifikasikan 11 atau ditetapkan. Dari definisi-definisi tersebut, secara umum mutu adalah gambaran dan karekteristik secara menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan di pondok pesantren, pengertian mutu mencakup: input, proses, dan output pendidikan. 2. Kitab kuning a. Pengertian kitab kuning
Kitab kuning (karena kertasnya berwarna kuning) sampai dewasa ini masih dianggap sesuatu yang penting bagi sistem pembelajaran di 12 pesantren-pesantren. Di dunia pondok pesantren kitab kuning juga kerap kali disebut dengan “kitab klasik” (al-Kutub alQadimah) atau “kitab kuno”, karena ia merupakan produksi masa lampau, yaitu sebelum abad ke-17 M, atau khususnya masa lahirnya 4 (empat) madzhab terbesar dalam Islam yaitu, Imam Abu Hanifah (w,150 H/768 M), Imam Malik bin Anas (w, 179 H/795 M), Imam Muhammad bin Idris al-Syafi‟I (w, 204 H/820 M), dan Imam Ahmad bin Hanbal (w, 240 H/ 855 M). Kitab kuning juga bisa disebut dengan “kitab gundul”, karena bentukbentuk hurufnya kadang tanpa disertakan harakat (syakal). Kitab merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut karya tulis di bidang keagamaan yang ditulis dengan huruf Arab. Sebutan ini membedakannya dengan karya tulis pada umumnya yang ditulis dengan huruf selain huruf Arab yang 13 disebut buku. Adapun kitab yang dijadikan sumber belajar di pondok pesantren dan lembaga pendidikan Islam tradisional semacamnya disebut kitab kuning yakni karya tulis Arab yang disusun oleh para sarjana muslim abad pertengahan Islam. Sebutan kuning ini karena kertas yang digunakan berwarna kuning, mungkin karena lapuk ditelan masa. Menurut Zamakhsyari Dhofier, pada masa lalu pengejaran kitabkitab Islam klasik terutama karangan ulama yang menganut paham Syafi‟iyah, merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan 14 dalam lingkungan pesantren.
10 Nanang Hanafiah, Cucu Suhana, Konsep Strategi Pembelajaran, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2009), Cet. Ke-1, hlm. 81. lihat Hasan Langgulung, Kreativitas Pendidikan Islam¸ (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1411 H/1991 M), hlm. 215. 11 Ibid., hlm. 83. Bandingkan dengan Gordon Greyden dan Jeanetle Vos Revo, Revolusi Cara Belajar The Learning of Revolution, (Bandung: Kaifa, 2000), hlm.240.
12 Abd. Karim Hafid, Pedoman dan Petunjuk Pengajaran dalam membaca Kitab Kuning, (Makassar: UIN Alauddin Press, 2009), hlm.1. 13 Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, hlm.170 14 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3S, 1985), Cet. ke-4, hlm. 50.
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
237
b. Metode Pembelajaran Kitab kuning Metode yang dilaksanakan di pondok pesantren adalah 1) Metode Wetonan, yaitu kyai membacakan salah satu kitab di depan para santri yang juga memegang dan 15 memperhatikan kitab yang sama. ; 2) Metode sorogan, adalah metode pembelajaran dengan sistem privat yang dilakukan santri pada seorang kyai. Dalam metode sorogan, santri mendatangi kyai dengan membawa kitab kuning atau kitab gundul, lalu membaca di depan kyai dan 16 menerjemahkannya. Jika pembacaannya kurang tepat dari sisi sudut pandang ilmu nahwu dan ilmu nahwu, terjemahannya pun akan keliru. Lalu, kyai menanyakan alasan-alasan santri membacanya demikian, hingga santri memahaminya dan mengulang pembacaannya sampai benar-benar sesuai menurut ilmu nahwu dan sharafnya; 3) Metode Muhâwarah. Muhâwarah adalah suatu kegiatan berlatih bercakap-cakap dengan bahasa Arab yang diwajibkan oleh pesantren kepada para santri selama mereka tinggal di pondok 17 pesantren. ; 4) Metode Mudzâkarah. Mudzâkarah merupakan suatu pertemuan ilmiah yang secara spesifik membahas masalah diniyah seperti ibadah dan aqidah serta masalah agama pada umumnya; 5) Metode Bandongan (bahasa Sunda), berlaku di pondok pesantren yang terdapat di Jawa Barat. Isitilah bandongan artinya perhatikan dengan seksama ketika kyai membaca dan membahas isi 18 kitab. ‟ 6) Metode Majelis Taklim. Majelis taklim artinya suatu media penyampaian ajaran agama Islam 19 yang bersifat umum dan terbuka. ; c. Materi kitab kuning 15 Hasan Basri dan Ahmad Syaebani, Ilmu Pendidikan Islam, hlm.236-238. 16 Departemen Agama R.I, Pola Pembelajaran di Pesantren, (Jakarta: Ditpekapontren Ditjen Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 2003), hlm. 81. 17 Ibid. hlm. 106. 18 Ibid. hlm. 86. 19 Hasan Basri dan Ahmad Syaebani, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 238.
238
Kandungan kitab kuning yang beredar di pondok pesantren sampai sekarang lebih banyak didominasi bidang fikih atau yurisprudensi hukum Islam. Akan tetapi kenyataan ini tidak berarti bahwa tradisi keilmuwan yang berkembang di pondok pesantren terbatas pada disiplin fikih saja. Sebab ternyata, pada akhir abad ke20 M, Marten Van Bruinessen melaporkan bahwa kitab kuning beredar di lingkungan pondok pesantren telah mencapai 900 judul, dan hanya sekitar 20% saja yang bersubstansikan fikih. Sisanya yang menyangkut disiplin ilmu lain seperti akidah (Usuludin) berjumlah 17%, bahasa Arab (Nahwu, sharaf dan balaghah) 12%, hadis 8%, tasawuf 7%, akhlak 6%, pedoman doa (wirid mujarrabah) 5%, dan karya pujipujian kenabian (qisâs al-Anbiyâ‟, Mawlid, Manâqib) 6%. Jika dilakukan peringkasan maka hanya ada 2 disiplin ilmu utama saja yang tampak berkembang, yakni fiqih dan tasawuf dan disiplin ilmu Bahasa Arab. Sejajarnya disiplin ilmu bahasa Arab dengan disiplin fiqh dan tasawuf, mengandung dua arti bahwa tradisi intelektual yang berkembang di pondok pesantren memasyarakatkan penguasaan bahasa Arab sebagai ilmu bantu untuk memahami teks-teks fikih 20 serta disiplin ilmu lainnya. Menurut Kasim Yahiji, jika seluruh kitab kuning diteliti secara substansial, maka tentu semua itu merupakan penjabaran al-Qur‟ân dan hadis, atau referensinya paling tidak mengambil legitimasi dari dua sumber ajaran ini. Dengan demikian bukan saja bidang ibadah, fikih, tauhid, tafsir, hadis dan akhlak yang menjadi cakupan materi kitab kuning, melainkan juga materi sejarah, peradaban, sastra, filsafat, 20 Kasim Yahiji, Cara Mudah Memahami Kitab Gundul¸ h. 79. Bandingkan dengan Ronald Alan Lukens-Bull, a Peacefull Jihad Javanesse Islamic Education and Religious Identity Construction, diterjemahkan oleh Abdurrahmad Mas’ud dengan Judul, Jihad ala Pesantren, (Yogyakarta: Gama Media, 2004), hlm. 71.
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
mistisme, pranata sosial, dan politik pun bisa menjadi materi kajian penting dalam kurikulum 21 pendidikannya.
METODE PENELITIAN Penelitian ini mengambil lokasi di pondok pesantren al-Huda provinsi Gorontalo. Data yang diuraikan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, adapun metode yang digunakan berupa observasi, interview dan dokumentasi. Sedangkan analisis data menggunakan metode induktif, deduktif dan komparatif. Teknik pengolahan data yaitu menggunakan tiga metode yaitu: reduksi data, penyajian data dan menarik kesimpulan. PEMBAHASAN Pola pembinaan santri dalam penguasaan kitab kuning di Pesantren Al Huda Gorontalo dibagi atas beberapa Peride 1) Periode madrasah al-Fatah (19291961) Pembinaan kitab berpusat di rumah-rumah penduduk, di surau, salah satu rumah yang menjadi tempat berlangsungnya aktivitas ini adalah tempat kediaman H. Umar Basalama. Rutinitas aktivitas ini tergantung pada kesiapan pembina dan santri umumnya saat itu dikenal 22 dengan pengajian atau mongadi. Aktivitas seperti ini juga tidak mengenal hari Ahad (libur), jatah waktu berdasarkan kesepakatan antara keduanya, ketika ada waktu lowong para santri mengkaji ulang tentang kandungan kitab kuning. Kepedulian di kalangan santri terhadap kitab kuning yang tak kenal waktu patut diteladani, adapun aktifitas kajian kitab kuning di rumah santri tetap berlaku dan dilaksanakan secara bergilir. Kajian kitab kuning berlangsung secara berkesinambungan dengan kitab yang sama seperti tafsir Jalâlain dari kelas 1 sampai kelas 3, begitu pula
kitab tauhid, fiqh, tarikh, mahfudzhat, untuk mata pelajaran logah, mufradât, dan khat disesuaikan dengan konsep pembina, artinya dapat diambil dari tafsir, tauhid, akhlak tidak ada kitab khusus. Pembinanya di samping sebagai Kepala Madrasah, juga sebagai ustadz memiliki kemampuan yang maksimal. Dalam kurun waktu 32 tahun, Madrasah AlFatah tetap eksis mengkaji kitab kuning sekalipun madrasah ini ditutup pada tahun 1946 sampai tahun 1957, kegiatan seperti ini tetap berlangsung di rumah kyainya H. Umar Basalama, Hadi Addaba‟, Yasin Al-Hasni, Muhammad bin Umar Bahmid, Sayyid Sagaf bin Sjekh bin Salim Al-Djufry, KH. 23 Hamrain Kau dan A.R. Hioda. Para pengasuh tersebut berasal dari berbagai suku, budaya dan aliran yang menjadikan Madrasah AlFatah tersohor. KH. Hamrain Kau dan A.R. Hioda berasal dari tokoh Muhammadiyah dan ulama besar yang mengambangkan madrasah ini menjadi madrasah ibtidaiyah dan madrasah tsanawiyah, dan keduanya merancang gedung yang menjadi pondok pesantren al-Huda pada tahun 1961. 2) Periode pondok pesantren al-Huda (1961 s.d Sekarang) a) Pola pembinaan kitab kuning di pondok pesantren pada tahun 1961 – 1981 Dalam kurun waktu 20 tahun pondok pesantren al-Huda mengikuti kurikulum pondok pesantren Al-Khaerât Palu, baik mata pelajaran agama maupun mata pelajaran umum, dalam bahasan ini hanya dibatasi pada mata pelajaran yang berkaitan dengan pengkajian kitab kuning di pondok pesantren, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut:
21
Ibid, hlm. 80. Burhanudin Umar, Pimpinan pondok pesantren al-Huda provinsi Gorontalo, wawancara di kota Gorontalo, tanggal 29 September 2014. 22
23 Burhanudin Umar, Pimpinan pondok pesantren al-Huda provinsi Gorontalo, wawancara di kota Gorontalo, tanggal 29 September 2014.
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
239
Tabel. 1. Daftar nama pelajaran, kitab untuk tiap-tiap jenjang No A.
B.
C.
Jenjang / Mata Pelajaran Madrasah Ibtidaiyah 1. Tauhid 2. Tajwid 3. nahwu 4. sharaf 5. Fiqh 6. Tarikh Madrasah Tsanawiyah 1. Tauhid 2. Tajwid
Sulam al-Tauhid Al-Qurân / Tajwid Al-Ajrûmiyyah Matn al-Binâ Al-Mabâdi‟ al-Fiqhiyyah Khulâsah Nûr al-Yaqîn
Ibn Al-Abi Al-Hamîd Abdullah Asy‟ari Abdul Qohir Al-Jurjani Abdullah Al-Danqazy Umar Abdul Jabbar Umar Abdul Jabbar
Sulam al-Tauhid Al-Qurân / Tajwid
Ibn Al-Abi Al-Hamîd Abdullah Asy‟ari
3. Akhlak 4. nahwu 5. sharaf 6. Fiqih 7. Tafsir
Akhlâq li al-Banîn Al-Ajrûmiyyah Matn al-Binâ Fath al-Qarîb Tafsîr al-Jalâlain
8. Hadis 9. Tarikh Madrasah Aliyah 1. Tauhid
Riyâdh al-Shâlihîn Khulâsa Nûr al-Yaqîn
Umar Ahmad Baraja Abdul Qohir Al-Jurjani Abdullah Al-Danqazy Umar Abdul Jabbar Djalaluddin Al-Mahally Djlaluddin Assuyuty Imam Al-Nawawy Umar Abdul Jabbar
2. Tajwid 3. Akhlak 4. nahwu
5. sharaf 6. Fiqih 7. Tafsir
Nama Kitab
- Sulam al-Tauhid Al-Jawâhir Kalâmiyyah Al-Qurân / Tajwid Akhlâq li al-Banîn - Al-Ajrûmiyyah - Alfiya Ibn Malik Al-Amsilat Tasrifiyyah Fath al-Qarîb Tafsîr al-Jalâlain
Penyusun
al-
- Ibn Al-Abi Al-Hamîd - Tahir Ibn Shaleh Al-Jazair
al-
Abdullah Asy‟ari Umar Ahmad Baraja - Abdul Qohir Al-Jurjani - Jamaluddin Muhammad Ibn Abdullah Ibn Malik Muhammad Ma‟sum Ibn Aly
Riyâdh al-Shâlihîn 8. Hadis Khulâsa Nûr al-Yaqîn 9. Tarikh Tamyîz 10. Bahasa Arab Sumber: pondok pesantren al-Huda 2014 Dari Tabel 1 terlihat bahwa mata pelajaran pondok pesantren al-Huda baik dari madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, maupun madrasah aliyah menggunakan kurikulum Al-Khaerât Palu, menurut dr. Burhanudin Umar bahwa, tidak saja kurikulum dari AlKhaerât Palu tetapi umumnya pengasuh/ustadz juga berasal dari AlKhaerât seperti Yakub Lahambu, Asiah Marjenna, Nur Uyun, Mahmud Patimbang, Sayyid Yasin Al-Hasni
240
Umar Abdul Jabbar - Djalaluddin Al-Mahally - Djlaluddin Assuyuty Imam Al-Nawawy Umar Abdul Jabbar Abaza
kecuali KH. Abd. Gafir Nawawi berasal 24 dari Cirebon Jawa Tengah. Para pengasuh yang didatangkan dari Palu, seluruhnya merupakan murid dari Habib Idrus bin Salim Al-Jufry. Santri yang tinggal di pondok pesantren atau yang di luar disebut dengan murid dan Abnâulkhairât dan Habib Idrus
24 Burhanudin Umar, Pimpinan pondok pesantren al-Huda provinsi Gorontalo, wawancara di kota Gorontalo, tanggal 29 September 2014.
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
25
dikenal dengan Guru Tua. Banyak santri yang memiliki kemampuan membaca kitab di antaranya Nikma Sabaya, Aisa Al-Masyhur, Maryam Fathan, Fauziah Helingo, Zainab Saleh, Hapsah Saleh, Marwan Saleh, Awaludin Karim, Salahuddin, Mukhtahir, Lili Tumulo, Hasan T. Aja, Sartin Muhammad, Marzuk Harun, KH. Muhammad Abu Bakar, KH. Lukman Katili, Ismail H. Botone, Raflin Kamumu, 26 Hamdan Ladiku, dan Erwin Thaib. Di samping mendapat pelajaran di kelas, santri mendapat tambahan kegiatan yang sifatnya wajib yaitu kajian kitab kuning di masjid Huda, baik ba‟da maghrib, ba‟da Isya‟, ba‟da Subuh, dan 27 ba‟da Ashar dan di asrama. Mata pelajaran pondok pesantren yang menjadi bahan kajian tidak terbatas pada nahwu dan sharaf tetapi semua mata pelajaran yang berbahasa Arab dihafal dan tetap diberikan penjelasan tentang qaidah bahasa Arab. kyai / ustadz membacakan kitab, santri menyimak, setelah diterjemahkan, santri menterjemahkan secara bergantian, termasuk mufradatnya (kosakata). Pemberian catatan pada kitab kuning (kosakata) dan memberi sayakal tidak dibenarkan, dan sebagai gantinya ditulis di buku sehingga kitab tetap bersih. Hal ini dimaksudkan untuk melatih dan mengoptimalkan perhatian para santri untuk mengkaji kitab kepada sesama santri maupun bertanya langsung pada kyainya. Kegiatan di atas tidak terbatas pada jadwal pelajaran maupun kajian kitab, tetapi sampai pada saat semester, umumnya ujian semester dan ujian akhir pondok dilaksankan secara lisan kecuali ujian praktek ibadah. Pada saat mengikuti ujian, santri tidak diperkenankan meninggalkan ruang ujian kecuali setelah seluruhnya selesai. Santri yang dinyatakan lulus memperoleh ijazah dari Al-Khaerât Palu. 25 Burhanudin Umar, Pimpinan pondok al-Huda provinsi Gorontalo, wawancara Gorontalo, tanggal 29 September 2014. 26 Burhanudin Umar, Pimpinan pondok al-Huda provinsi Gorontalo, wawancara Gorontalo, tanggal 29 September 2014. 27 Burhanudin Umar, Pimpinan pondok al-Huda provinsi Gorontalo, wawancara Gorontalo, tanggal 29 September 2014.
pesantren di kota pesantren di kota pesantren di kota
b) Pola pembinaan kitab kuning di pondok pesantren pada tahun 1981 s/d sekarang menggunakan kurikulum sesuai dengan Tabel 1. Dari uraian di atas, tampak benang merah antara pola yang diterapkan pada tahun 1961–1981 dan tahun 1981 s.d sekarang. Pada tahun 1961–1981 titik beratnya menghafal dan menguasainya baik pada saat belajar, ujian semester, maupun ujian akhir pondok. Pola yang dilaksanakan pada tahun 1981 s.d sekarang tidak difokuskan lagi pada menghafal, tetapi bagaimana santri mengkaji kitab dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, serta mampu memanfaatkan teknologi. Pengasuh kitab kuning pada masa ini pada Ponpes Al Huda terdiri kurang lebih 9 orang 28. Di samping itu santri yang mampu membaca kitab lebih dari 5 orang, adapun santri yang Hafidz 29 20 Juz juga lebih dari 3 orang. 3. Faktor-faktor Penunjang Pola Pembinaan Santri dalam meningkatkan Penguasaan Kitab kuning a) Kepemimpinan kyai Gelar kyai tidak melalui jalur formal seperti sarjana misalnya, melainkan di berikan oleh masyarakat secara tulus memberikannya tanpa intervensi pengaruh-pengaruh pihak luar. Kehadiran gelar ini akibat kelebihan-kelebihan ilmu dan amal yang tidak memiliki lazimnya orang, dan kebannyakan didukung pesantren yang dipimpinnya. Oleh karena itu kyai menjadi patron bagi masyarakat sekitar terutama yang menganut kepribadian utama. Sebagai patron “kyai” peran yang lebih dari sekedar seorang guru. Ia bukan sekedar menempatkan dirinya sebagai pengajar dan pendidikan santrinya, melainkan juga aktif memecahkan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. ia memimpin santri, memberikan pembimbingan dan tuntunan kepada mereka, menenangkan 28 Hamdan Ladiku, Pengasuh pondok pesantren al-Huda provinsi Gorontalo, wawancara di kota Gorontalo, tanggal 29 September 2014. 29 Lukman Katili, Pengasuh pondok pesantren alHuda provinsi Gorontalo, wawancara di kota Gorontalo, tanggal 29 September 2014.
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
241
hati seseorang yang sedang gelisah, menggerakan pembangunan, memberikan ketetapan hukum tentang berbagai masalah aktual, bahkan ia bertindak sebagai tabib dalam mengobati penyakit yang diderita orang yang memohon bantuannya. Maka kyai mengemban tanggung jawab moralspiritual selalin kebutuhan materil. Penilaian bahwa figur kyai sebagai pemimpin karismatik menyebabkan hampir segala masalah kemasyarakatan yang terjadi di sekitarnya harus dikonsultasikan lebih duhulu kepadanya sebelum mengambil sikap terhadap masalah itu.30 Terkadang kelompok orang Islam secara moral-psikis juga menjadi makmum terhadap ketokohan kyai. 31 Pandangan masyarakat yang mengeramatkan kyai sebenarnya bukan karena ia membimbing tarekat semata, ia disucikan karena kelebihan atau keunggulan di bidang ilmu dan amal yang menjadi ciri khasnya dan para kyai memiliki kekeramatan yang tidak dimiliki para sarjana atau politisi, berkat dua keunggulannya yaitu kedalam ilmu pengetahuan agamanya dan pengabdian agama selama bertahuntahun. Hanya saja sikap mengkeramatkan bertambah menonjol lagi ketika ia memimpin tarekat. Ia dianggap sebagai pengantar dalam memusatkan kosentrasi jemaah kepada Allah sehingga keberadaannya merupakan syarat mutlak bagi mereka. Posisi kyai yang sangat menentukan itu akhirnya justru cenderung menyumbangkan terbangunnya otoritas mutlak. Oleh karena itu, kedudukan kyai adalah kedudukan ganda: sebagai pengasuh sekaligus pemilik pesantren. Secara cultural kedudukan ini sama dengan kedudukan bangsawan feudal yang biasa dikenal dengan nama kanjeng di pulau jawa. Ia diaanggap 30 KH. Abd. Gafir Nawawi, Pengasuh pondok pesantren al-Huda provinsi Gorontalo Tahun 19781982, wawancara ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Al-Hikam Depok Jawa Barat Sewaktu Penulis Mengikuti Seminar Internasional tentang ISIS, tanggal 29 Oktober 2014. 31 KH. Lukman Katili, Pengasuh pondok pesantren al-Huda provinsi Gorontalo, wawancara di kota Gorontalo tanggal 29 Oktober 2014.
242
memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain di sekitarnya. Atas dasar ini hampir setiap kyai yang ternama beredar legenda tentang keampuhannya yang secara umum bersifat magis.32 Segala bentuk kebijaksanaan pendidikan baik menyangkut format kelembagaan berikut penjenjangannya, kurikulum yang dipakai acuan, metode pengajaran dan pendidikan yang diterapkan, keterlibatan dalam aktivitasaktivitas di luar, penerimaan santri baru, maupun secara global sistem pendidikan yang diikuti adalah wewenang mutlak kyai. Bertentuan dengan policy pendidikan, pengajaran lebih–lebih menyangkut aspek manejerial, pihak lain hanyalah sebagai pelengkap . “kyai merupakan elemen yang paling esensial dari pondok 33 pesantren al-Huda.” 4. Keunikan sistem pendidikan Pondok pesantren adalah bagian dari infrastruktur masyarakat yang secara makro telah berperan menyadarkan komunitas masyarakat untuk mempunyai idealisme, kemampuan intelektual, dan perilaku mulai (al-Akblaq al-Karimah) guna menata dan membangun karakter bangsa. Ini dapat di lihat dari pola pembinaan pondok pesantren yang dikembangkan dalam kultur internal pendidikan pondok pesantren. Misalnya saja, lewat diskursus intelektual Islam klasik, pondok pesantren yang melembagakan dinamika pemikirannya. pondok pesantren juga berusaha membentuk perilaku agar lebih menekankan, terutama dimensi etikamoral dalam kehidupannya. pondok pesantren mampu bertahan mengangkat status pondok pesantren menjadi sebuah “bengkel” moralspiritual, dan pengkajian kitab kuning. Di satu sisi kemajuan informasi-komunikasi telah menembus benteng budaya pondok pesantren. Dinamika sosialekonomi (lokal, nasional, internasional) telah mengharuskan pondok pesantren tampil dalam persaingan dunia pasar 32 Hamka A. Husain, Tokoh masyarakat, wawancara di kota Gorontalo Tanggal 3 Oktober 2014. 33 Hamdan Ladiku, Pengasuh pondok pesantren al-Huda provinsi Gorontalo, wawancara di kota Gorontalo tanggal 3 Oktober 2014.
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
bebas (free market). Upaya ini meniscayakan penelanjangan yang jujur dan rela melepaskan dari segala asumsi negatif dan sikap a priori tentang pondok pesantren. Dengan demikian dalam analisa penulis bahwa pondok pesantren alHuda provinsi Gorontalo menitik beratkan keunikan sistem pendidikannya bernadzhab syafi‟I, tetapi memberi ruang gerak bagi madzhab lainnya. Keunikan lainnya adalah sistem pendidikan qaidah bahasa Arab dan fiqh, qaidah bahasa Arab diberikan di madrasah ibtidaiyah menggunakan kitab al-Ajrûmiyyah. Di madrasah Trsanawiyah menggunakan kitab yang sama, dengan penekanan pada i‟rab dan al-Mabniy. Untuk kajiah kitab fiqh di madrasah tsanawiyah dan aliyah menggunakan kitab Fath al-Qarib dengan ulasan yang lebih diperluas. Kajian kitab kuning yang dilaksanakan di masjid Huda dengan sistem wetonan maupun sorogan dengan menggunakan kitab yang sama tanpa memilih dan memilah santri ibtidaiyah, tsanawiyah maupun aliyah, pengajian yang dilaksanakan di masjid ini diikuti oleh masyarakat sekitarnya. Hal ini berarti seluruh peserta pengajian mendapatkan ilmu yang sama, di samping santri mendapat bimbingan dan penguasaan kitab kuning, santri mampu mengoperasikan komputer dan internet. b) Perundang-undangan dan peraturan pemerintah tentang pendidikan Adapun undang-undang yang mendukung strategi pembelajaran kitab kuning di pondok pesantren al-Huda meliputi 1) Kesepakatan bersama antara Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia dan Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama Republik Indonesia Nomor: 19/MIS/2004, Nomor: Dj.II/166/04 Tahun 2004 Pasal 1 yang menjelaskan bahwa: 1) pondok pesantren dalam kesepakatan ini adalah pondok
pesantren yang menyelenggarakan Program Pendidikan Kesetaraan; 2) Pendidikan Kesetaraan adalah pendidikan paket A, paket B dan paket C. Pasal 2 bahwa: 1) Memperluas dan meningkatkan layanan Direktorat Pendidikan Masyarakat untuk mengembangkan potensi, minat, bakat, keterampilan, kewirausahaan dan keprofesian; 2) Mengembangkan Pendidikan Kecakapan Hidup yang bermanfaat untuk bekerja atau berusaha sesuai dengan potensi sumberdaya alam, ekonomi, industri dan kebutuhan masyarakat; 3) Meningkatkan kerjasama antar kedua belah pihak dan pondok pesantren serta lembaga-lembaga yang terkait lainnya. Pasal 3 bahwa: 6) Peningkatan Kemampuan Tenaga Kependidikan pondok pesantren Penyelenggara Program. 2) Peraturan Pemerintah Nomor. 73 Tahun 1971 tentang Pendidikan Luar Sekolah; 3) Keputusan Menteri Agama R.I No. 18 Tahun 1975 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama yang telah diubah dan disempurnakan terakhir dengan Keputusan Menteri Agama No. 1 Tahun 2001. 4) Adanya undang-undang Republik indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional Bab I pasal I ayat 20 bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidikan dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 30 bahwa: 1) pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama,sesuai dengan peratutan perundang-undangan, 2) pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilainilai ajaran agamanya dan /atau menjadi ilmu agama, 3) pendidikan keagamaan dapat diselenggaraan
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
243
pada jalur pendidikan formal, non formal, dan informal, dan 4) pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pondok pesantren, dan bentuk lain yang sejenis. 5) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen Bab I Pasal I bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Kemudian pada Pasal 6 bahwa kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang Maha Esa, berarhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. 6) Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan Bab I Pasal I ayat 6 disebutkan standar proses adalah standar nasional pendidikan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan. Pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. Dalam Bab IV Pasal 19 Ayat 1 disebut bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif , menyenangkan, memotivasi peserta untuk berpatisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan pengembangan fisik serta psikologi peserta didik. 7) Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan pasal 1 ayat 4 disebutkan bahwa pondok pesantren atau pondok pesantren
244
adalah lembaga pendidikan keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya. Lebih jauh lagi, saat ini pondok pesantren tidak hanya berfungsi sebagai sarana pendidikan keagamaan semata. Namun, dalam perkembangannya ternyata banyak juga pesantren yang berfungsi sebagai sarana pendidikan nonformal, para santrinya dibimbing dan didik untuk memiliki skil dan keterampilan atau kecakapan hidup sesuai dengan bakat para santrinya. Ketentuan mengenai lembaga pendidikan nonformal ini termuat dalam Pasal 26. c) Kemampuan guru/ustadz dalam mentransfer ilmunya Umumnya pola pembelajaran merupakan cara-cara yang dipilih dan digunakan oleh seorang pengajar untuk menyampaikan materi pelajaran, sehingga akan memudahkan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang dapat dikuasainya diakhir kegiatan belajar. Materi pelajaran yang dipilih oleh kyai/ustadz selayaknya didasari pada berbagai pertimbangan sesuai dengan situasi, kondisi dan lingkungan yang akan dihadapinya. Pemilihan materi umumnya bertolak dari : 1) Rumusan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan, 2) Analisis kebutuhan dan karakteristik peserta didik yang di hasilkan, dan 3) Jenis materi pelajaran yang akan diajarkan Menurut KH. Lukman Katili, salah seorang pengajar kitab kuning dipondok pesantren al-Huda provinsi Gorontalo, ustadz dan guru yang selama ini dijadikan sebagai asisten (naib) kyai dalam pelaksanaan pembelajaran kitab kuning, di samping mereka menggunakan metode pembelajaran tradisional (wetonan maupun sorogan), juga telah menggunakan pembelajaran modern sebagai tuntutan teknologi perkembangan sistem pembelajaran. Meskipun diakui hal itu masih terbatas
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
dan diupayakan untuk lebih ditingkatkan. Lebih lanjut KH. Lukman Katili mengatakan bahwa pola pembinaan yang digunakan oleh asisten kyai atau ustadz menambah semangat belajar dan mempermudah memahami kitab kuning. Dengan strategi baru kegiatan pembelajaran lebih efektif dan hasilnya cukup maksimal terutama memahami isi 34 kandungan kitab kuning. d) Partisipasi masyarakat dalam aspek penguasaan santri terhadap kitab kuning Sejak berdirinya pondok pesantren al-Huda sampai sekarang, masyarakat tetap eksis dalam berbagai bentuk partisipasi bagi pondok pesantren al-Huda khususnya dalam penguasaan santri terhadap kitab kuning. Sesuai wawancara dengan Pimpinan pondok pesantren al-Huda beberapa partisipasi masyarakat 35 sebagai berikut: 1) Pada tahun 2010 bantuan berupa kitab kuning sebanyak 306 buah; 2) Pada tahun 2011 bantuan berupa kitab kuning sebanyak 378 buah; 3) Pada tahun 2012 bantuan berupa kitab kuning sebanyak 338 buah; 4) Pada tahun 2013 bantuan berupa kitab kuning sebanyak 378 buah; 5) Pada tahun 2014 bantuan berupa kitab kuning sebanyak 374 buah; e) Kepedulian dan perhatian pemerintah Kepedulian dan perhatian dari Pemerintah terkait mengambil peranan sentral dalam usaha peningkatan mutu pendidikan di pondok pesantren. Kepedulian dan perhatian tersebut bisa diwujudkan dalam bentuk bantuan tenaga guru, bantuan biaya pembangunan fasilitas pondok pesantren, bantuan besasiswa santri berprestasi atau dapat berupa rancangan kurikulum terbaru dan lain
34 KH. Lukman Katili, Pengasuh pondok pesantren al-Huda provinsi Gorontalo, wawancara di kota Gorontalo tanggal 3 Oktober 2014. 35 Burhanudin Umar, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Huda, wawancara di kota GorontaloTanggal 22 Maret 2014.
36
sebagainya. sebagaimana diamanatkan oleh Undang – Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 BAB IV yang didalamnya memuat bahwasannya pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan keluarga. Peran serta masyarakat/partisipasi masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. 5. Faktor-faktor Penghambat dan Solusi pada Pola Pembinaan Santri dalam meningkatkan Penguasaan Kitab kuning a. Padatnya kegiatan santri Layaknya sebuah pondok pesantren, pondok pesantren alHuda provinsi Gorontalo menerapkan sistem pendidikan berasrama (Boarding School) dengan padatnya aktivitas santri sehari-hari yang secara teknis dikhususkan untuk memacu pola fikir santri dalam memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. b. Kurangnya minat santri terhadap materi kitab kuning Sebagimana di bahas pada bab sebelumnya, bahwa sistem pendidikan di pondok pesantren alHuda provinsi Gorontalo membelajarkan materi kitab kuning pada pendidikan kurikuler dan ekstra kurikuler. Namun yang patut dicermati adalah, di pondok pesantren al-Huda provinsi Gorontalo pendalaman materi kitab kuning justru di terapkan pada pendidikan ekstra kurikuler yang biasanya diselenggarakan di masjid atau di asrama pondok pesantren. Hal ini tentu saja disebabkan oleh kurikulum untuk pendidikan kurikuler tidak sepenuhnya disusun oleh pihak pondok pesantren melainkan oleh lembaga penyusun kurikulum resmi lainnya, mengingat bahwa pondok pesantren al-Huda provinsi 36 Burhanudin Umar, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Huda, wawancara di kota GorontaloTanggal 22 Maret 2014.
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
245
Gorontalo merupakan jenis pondok pesantren modern. Menurut Husni Idrus, faktor lain yang turut menghambat penguasaan santri terhadap kitab kuning adalah kebanyakan santri lebih memilih memanfaatkan waktu luang untuk berolahraga daripada mengikuti 37 pengajian kitab kuning. c. Kurangnya ketersediaan kitab-kitab pegangan santri Kurangnya ketersediaan kitabkitab pegangan bagi santri menjadi salah satu faktor penghambat penguasaan santri terhadap kitab kuning di pondok pesantren al-Huda provinsi Gorontalo. Idealnya, setiap santri dibekali dengan kitab pegangan yang sesuai dengan materi yang telah disusun dalam kurikulum ekstra kurikuler. Koleksi kitab yang ada di perpustakaan belum memadai bahkan beberapa jenis dan judul kitab belum tersedia di toko-toko buku yang ada di Povinsi Gorontalo. d. Lokasi pondok pesantren yang kurang kondusif Lokasi dan letak bangunan dari sebuah pondok pesantren merupakan faktor yang memberikan dampak signifikan bagi perkembangan pendidikan di pondok pesantren. Lokasi yang terpencil di sebuah pedesaan akan lebih menjamin suasana pendidikan di suatu pondok pesantren menjadi lebih kondusif dibandingkan dengan letak kompleks pondok pesantren yang berada di tengah-tengah hingar-bingar kehidupan kota. Letak pondok pesantren al-Huda provinsi Gorontalo yang berada di tengah Kota Gorontalo secara teknis mendukung operasional aktivitas sehari-hari, namun di sisi lain menimbulkan pengaruh yang kurang baik bagi suasana belajar santri di dalam pondok pesantren. e. Kurang maksimalnya penguasaan santri terhadap ilmu nahwu dan sharaf Ilmu nahwu dan sharaf merupakan fondasi utama bagi santri untuk dapat membaca kitab 37
Husni Idrus, Pengasuh Pondok Pesantren AlHuda Povinsi Gorontalo, wawancara di kota Gorontalo Tanggal 4 Oktober 2014.
246
kuning, karena di dalam kedua ilmu ini berisi dasar-dasar kecakapan dalam menerapkan kekayaan sastra al-Qur‟ân al-Karim berupa bahasa Arab. Ilmu nahwu mengajarkan bagaimana perubahan bunnyi dari setiap kata dalam suatu kalimat, sedangkan sharaf mengulas tentang perubahan bentuk huruf pada suatu kalimat, tanpa kedua ilmu ini akan sangat mustahil bagi seorang santri untuk bisa membaca apa lagi menguasai isi dari suatu kitab kuning, mengingat sebagian besar kitab tersebut di tulis tanpa menggunakan harakat atau baris. Menurut Muhammad Nur Majid, ada 3 faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat penguasaan santri terhadap ilmu nahwu dan saharaf, pertama sebagian santri terdapat santri pindahan dari sekolah umum yang belum pernah mengenal dasar-dasar kedua ilmu ini, kedua rendahnya minat santri untuk mempelajari dasar-dasar bahasa Arab secara lebih mendalam dibandingkan bahasa asing lainnya, dan ketiga metode yang digunakan dalam pembelajaran kedua materi ini cenderung sama di setiap 38 jenjangnya. Adapun Solusi Atas Faktor-Faktor yang Menghambat Pola Pembinaan Kitab kuning antara lain: a. Solusi atas padatnya aktivitas santri Di satu sisi padatnya kegiatan santri dalam aktivitas keseharian dimaksudkan untuk melatih kemampuan santri dalam mengelola waktu yang ada, hal ini merupakan ciri khas pondok pesantren yang tidak dapat dihilangkan. Namun untuk kepentingan peningkatan penguasaan santri terhadap kitab kuning beberapa hal dapat disiasati dengan hal-hal berikut: 1) Santri yang memiliki minat untuk mendalami materi kitab kuning dibebaskan dari muatan-muatan ekstra kurikuler lainnya yang 38 Muhammad Nur Majid, Santri kelas XII madrasah aliyah pondok pesantren al-Huda provinsi Gorontalo, wawancara di kota Gorontalo Tanggal 4 Oktober 2014.
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
tidak memilki hubungan dengan peningkatan penguasaan santri terhadap kitab kuning. 2) Mengurangi jumlah muatan pendidikan ekstra kurikuler yang tidak mengandung materi kitab kuning. 3) Pembelajaran kurikuler untuk mata pelajaran yang bermuatan kitab kuning di kelas lebih difokuskan sehingga menutupi kekurangan porsi belajar pada sesi pendidikan ekstra kurikuler di luar kelas. b. Solusi Atas kurangnya minat santri terhadap materi kitab kuning 1) Kyai memberikan motivasi bagi para santri akan pentingnya penguasaan materi-materi ajaran agama Islam melalui pendalaman-pendalaman kitab. 2) Pihak pondok pesantren memberikan penghargaan khusus bagi para santri yang memiliki kemampuan istimewa dalam penguasaan kitab kuning sehingga memberikan motivasi positif bagi santri untuk mendalami kitab kuning. c. Solusi kurangnya ketersediaan kitab-kitab pegangan santri 1) Pihak yayasan pondok pesantren al-Huda provinsi Gorontalo memfasilitasi ketersediaan kita-kitab dengan mengacu pada kurikulum yang telah ditentukan sebelumnya, bekerja sama dengan penerbit yang ada di luar provinsi Gorontalo. 2) Pihak yayasan menghimbau kepada orang tua santri pondok pesantren al-Huda provinsi Gorontalo untuk berpartisipasi menyumbangkan kitab-kitab kuning khususnya yang belum tersedia di perpustakaan pondok pesantren 3) Pihak yayasan melalui pengajian kitab kuning dengan metode majelis taklim mengimbau masyarakat untuk dapat pula berpartisipasi menyumbangkan kitab-kitab kuning yang diperlukan
d. Solusi atas lokasi pondok pesantren yang kurang kondusif Kurang kondusifnya suasana belajar di pondok pesantren al-Huda provinsi Gorontalo yang disebabkan oleh letak dan lokasinya yang berada di tengah-tengah kota dapat disiasati dengan beberapa hal antara lain: 1) Mewajibkan seluruh santri khususnya yang memiliki minat dan potensi dalam penguasaan kitab kuning untuk tinggal dan bermukim di dalam pondok pesantren. 2) Memberlakukan aturan perizinan meninggalkan pondok pesantren yang ketat untuk meminimalisir kontaminasi santri dengan pengaruh luar yang tidak diharapkan, 3) Menertibkan penggunaan media elektronik seperti handphone, tablet PC, dan komputer, baik dari sisi waktu penggunaan maupun muatan atau konten yang dikonsumsi oleh santri. e. Solusi atas kurang maksimalnya penguasaan santri terhadap ilmu nahwu dan sharaf Kitab kuning yang disebut juga kitab gundul, kitab klasik dan kitab kuno memerlukan fondasi ilmu Bahasa Arab yang kuat yaitu ilmu nahwu dan sharaf. Untuk meningktkan penguasaan santri terhadap kedua ilmu ini dapat ditempuh cara antara lain: 1) Pembelajaran agama Islam yang bersumber dari al-Qur‟ân dan hadis di ajarkan menggunakan bahasa Arab dan ditambahkan penjelasan tentang kedudukan kata dalam kalimat baik yang berubah (i‟rab) maupun yang tidak berubah/tetap (mabniy), sehingga santri secara alami mulai terbiasa dengan kaidahkaidah ilmu nahwu dan sharaf 2) Menambahkan tenaga-tenaga pengajar yang memiliki kompetensi memadai dalam membaca kitab kuning 3) Memotivasi santri untuk tetap menjalankan pembelajaran kitab
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
247
kuning meskipun sedang berada di luar pondok pesantren dengan merekomendasikan kyai atau ustadz yang memiliki kemampuan membaca kitab kuning di luar pondok pesantren. Menurut KH. Abd. Gafir Nawawi, dalam penguasaan nahwu dan sharaf santri terlebih dahulu ditugaskan menghafal tabel-tabel pertama dari perubahan kata kerja dan kata benda. Karya yang paling sederhana dalam kategori ini adalah al-Binâ wa al-Asâs, karangan seorang Mulla Al-Danqari. Setelah menguasai teks ini, santri kemudian mempelajari Al-Tasrif lial-I‟zâzi karangan „Izzuddin Ibrahim aZanjani atau al-Maqsud fi al-Asrâf, sebuah karya anonim yang sering dianggap sebagai karya Abu Hanifah. Setelah melampaui tingkatan ini, santri akan beralih ke karya pertama tentang nahwu sebelum melanjutkan mempelajari karya sharaf yang lebih sulit. Salah satu karya yang paling gampang dan populer mengenai ilmu nahwu adalah al-„Awâmil al-Mi‟a, karangan „Abd al-Qâhir ibn „Abd al-Rahmân al-Jurjâni (w. 471 H), yang berisi sebuah daftar situasi yang menentukan harakat huruf akhir dari sebuah kata benda dan huruf-huruf hidup yang mengikuti konsonan akhir dari kata kerja. Setelah itu santri dapat beranjak ke kitab AlMuqaddimah al-Jurumiyyah, karangan Abu „Abdullâh Muhammad 39 bin Daud al-Sanhaji bin al-Jurrum. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa: a. Sistem pendidikan di pondok pesantren al-Huda provinsi Gorontalo.
39 KH. Abd. Gafir Nawawi, Pengasuh pondok pesantren al-Huda provinsi Gorontalo Tahun 19781982, wawancara ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Al-Hikam Depok Jawa Barat Sewaktu Penulis Mengikuti Seminar Internasional tentang ISIS, tanggal 29 Oktober 2014.
248
Pola pembinaan pondok pesantren al-Huda di provinsi Gorontalo menunjukan hasil yang menggembirakan karena keunikan sistem pendidikan di pondok pesantren seperti pondok pesantren al-Huda berfokus pada keseimbangan pencapaian IPTEK dan IMTAQ hal ini dapat dilihat dari penerapan 3 model kurikulum yaitu kurikulum nasional, kurikulum kementrian agama, dan kurikulum pondok pesantren. b. Faktor-faktor penunjang penguasaan santri terhadap kitab kuning di pondok pesantren alHuda provinsi Gorontalo. 1) Kepemimpinan kyai 2) Sistem pendidikan di pondok pesantren al-Huda. 3) Perundang undangan dan peraturan pemerintah tentang pendidikan 4) Kemampuan ustadz/guru dalam mentrnasfer ilmunya 5) Kyai dan santri yang komunikatif. 6) Partisipasi masyarakat 7) Kepedulian dan Perhatian Pemerintah c. Faktor-faktor penghambat dan solusi atas penguasaan santri terhadap kitab kuning dipondok pesantren al-Huda di provinsi Gorontalo. Faktor-faktor penghambat antara lain: 1) Padatnya kegiatan santri 2) Kurangnya minat santri terhadap materi kitab kuning 3) Kurangnya kitab-kitab pegangan santri 4) Letak yang kurang kondusif 5) Penguasaan santri terhadap ilmu nahwu dan sharaf tidak maksimal DAFTAR PUSTAKA Azra Azumardi, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, Jakarta: Kencana, 2012. Basri Hasan, Saebani. Beni Ahmad, Ilmu Pendidikan Islam (Jilid II), Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010.
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
Departemen Agama RI, Pola Pembelajaran di pesantren, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agara Islam Direktorat Pendidikan Keagamaan dan pondok pesantren, 2003. Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam Jilid 4, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. Ke-10, 2002. Hanafiyah Nanang, Cucu Suhana, Konsep Strategi Pembelajaran, Cet1; Bandung : PT. Refika Aditama, 2009. http://nidafijriyah.blogspot.com/2012/05/ normal-0-false-false-false-in-xnone-ar_22.html, Partisipasi Masyarakat dalam Proses Pendidikan, Strategi Peningkatan Masyarakat, diakses pada tanggal 22 Maret 2014. Nata H. Abuddin, Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Grasindo, 2001.
Poerwadarminta WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, 2006. Qomar, Mujamil, pesantren Dari Transformasi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta : Erlangga, 1996. Roham Abujamin, Ensiklopedi Lintas Agama, Jakarta: PT. Intermasa, 2009. Saputra Budi, Aneka Keguruan, Bandung: PT. Rafika Aditama, 2009. Saridjo Marwan, Pendidikan dari Masa ke Masa, Jakarta: Yayasan Ngali Aksara dan Al Manar Press, 2011. Yahiji, Kasim, Cara Mudah Memahami Kitab Gundul, Strategi Pembelajaran Kitab Kuning di pondok pesantren, Gorontalo: Sultan Amai Press IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2011.
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
249
250
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
MENINGKATKAN PEMAHAMAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN IPS DENGAN MATERI UPAYA MEMPERTANKAN KEMERDEKAAN RI MELALUI PENERAPAN METODE TANYA JAWAB DI KELAS VIISMP NEGERI 4 LIMBOTO BARAT Sarwin L.Bauka Abstrak Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk memperoleh gambaran tentang penerapan metode Ranya Jawab sebagai upaya untuk meningkatkan pemahaman siswa pada pembelajaran IPS di Sekolah Menegah pertama . Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode penelitian tindakan kelas. Untuk mencapai tujuan tersebut dikembangkan prosedur penggunaan metode tanya jawab. Sejumlah siswa SMP (n = 34) terlibat sebagai subjek. Dalam Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini, Permasalahan yang dijadikan topik penelitian ialah menyangkut bagaimana bentuk perencanaan, pelaksaanaan, dan hasil pembelajaran dengan menggunakan metode resitasi atau pemberian tugas. Metode tanya jawab dalam pembelajaran IPS dapat meningkatkan aktivitas siswa sehingga motivasi mereka untuk belajar sejarah yang selama ini dianggap menjemukan berdampak pada peningkatan hasil belajar siswa. Penelitian ini menggunakan metodologi deskriptif.. Data yang dikumpulkan merupakan data kualititatif yang dikumpulkan dari lingkungan nyata dengan peneliti sebagai instrumen utama. Langkah-langkah penelitian terdiri atas beberapa tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Subjek penelitian adalah siswa Kelas VIISMP Negeri 4 Limboto Barat sebanyak 34 orang. Hasil pengolahan data yang dilakukan peneliti sebanyak dua siklus. Masing-masing siklus menggunakan materi yang sama dengan perbaikan tertentu setelah melaksanakan refleksi dari kegiatan atau siklus pertama. Setelah melaksanakan evaluasi proses dan evaluasi hasil belajar, diperoleh simpulan bahwa penggunaan metode tanya jawab dalam pembelajaran IPS dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar siswa. Key Word: metode tanya jawab, peningkatan prestasi hasil belajar PENDAHULUAN Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dianggap sebagai mata pelajaran yang mudah. Namun pada kenyataannya, nilai mata pelajaran ini rendah. Seperti yang terjadi di lembaga pendidikan di tempat penulis mengabdi, justru mata pelajaran IPS berada di bawah mata pelajaran lain. Jika ratarata nilai mata pelajaran yang dianggap sulit seperti IPA mencapai 7, Matematika mencapai 6,8, maka ratarata mata pelajaran IPS yang dianggap mudah, di Kelas VII justru nilai rataratanya hanya 6,5 saja. Ada beberapa anggapan atau asumsi yang menyebabkan terjadinya hal tersebut. Misalnya, karena pelajaran IPS dianggap mudah, maka guru menyajikannya seadanya. Orang tua juga merasa, bahwa anaknya akan mampu mengerjakan tugas atau soalsoal IPS sehingga tidak perlu menyuruh
anaknya untuk ikut bimbingan belajar. Sebaliknya, karena menganggap bahwa pelajaran eksakta seperti Matematika dan IPA itu sulit, maka orang tuanya berusaha untuk membawa anaknya mengikuti bimbel, Akhirnya, nilai IPA justru terdongkrak naik, dan nilai IPS tetap di level bawah. Kenyataan ini sungguh memilukan. Seharusnya guru tidak berpendapat bahwa pelajaran yang dianggap mudah itu diabaikan. Sebenarnya, tidak ada pelajaran yang mudah dan tidak ada pelajaran yang sulit. Pelajaran yang mudah, jika diabaikan tentu akan berakibat kurang baik. Sebaliknya pelajaran yang dianggap sulit, jika dipelajari dan disajikan dengan baik, siswa akan mudah menerimanya. Jika pelajaran yang dianggap mudah itu ditangani secara lebih baik, sudah dipastikan hasilnya akan lebih baik.
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
251
Dalam pengamatan penulis, jelas sekali bagaimana sikap guru dalam menyampaikan materi IPS. Mereka memang menganggap materi IPS itu sifatnya hanya informatif, seperti menginformasikan sejarah peninggalan masa lalu, sejarah kerajaan atau lainnya. Tidak perlu beragam metode. Semua dilakukan dengan metode ceramah. Dari mulai sampai akhir, guru terus berceramah saja, tanpa mempedulikan kondisi siswa, apakah dia mengantuk, kurang bersemangat, atau lainnya, yang penting semua materi sudah dikeluarkan seperti yang tertera di dalam buku. Kalau guru sudah capai, guru bisa menyuruh siswa yang cara membacanya bagus, untuk membaca buku dan didengarkan oleh lainnya. Kalau sudah selesai, guru memberi komenter, dan selesailah pembelajaran IPS. Pembelajaran seperti yang dikemukakan di atas, bukanlah hal yang diada-adakan. Memang menjadi sebuah kenyataan, siswa banyak yang tidak tertarik pada pembelajaran yang disampaikan melalui ceramah saja. Pembelajaran dengan metode ini membosankan siswa. Apalagi pada jamjam akhir, siswa semakin meningkat kebosannya yang bisa menimbulkan rasa kantuk. Hal itu, memang tidak sesuai dengan prinsip belajar, bahwa belajar seharusnya siswa yang aktif melakukan kegiatan belajar, bukan gurunya yang aktif dan siswanya pasif. Pembelajaran yang berlangsung seperti di atas, bisa dipastikan akan menyebabkan pembelajaran IPS berlangsung tidak menyenangkan, atau membosankan, dan siswa kehilangan ketertarikannya pada pelajaran IPS. Tidak heran, jika kemudian nilai siswa untuk mata pelajaran yang mudah ini masih berada di bawah mata pelajaran IPS. Berdasarkan kenyataan di atas, maka penulis merancang kegiatan belajar yang dapat meningkatkan aktivitas siswa sehingga diharapkan siswa dapat bergairah, lebih aktif, sehingga pembelajaran menjadi menyenangkan. Dalam hal ini, penulis menggunakan metode bermain peran, sebagai upaya untuk meningkatkan
252
peran siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Adapun judul penelitian ini ialah Meningkatkan Pemahaman Siswa dalam Pembelajaran IPS Dengan Materi Upaya Mempertahankan Kemerdekaan RI Melalui Penerapan Metode Tanya Jawab di Kelas VII SMP Negeri 4 Limboto Barat . TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Belajar Ada beberapa pendapat ahli tentang pengertian belajar. Belajar diartikan bahwa belajar ialah perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu, dan individu dengan lingkungannya. W. Burton dalam Uzer Usman (1990:2) Jadi belajar harus menimbulkan perubahan tingkah laku bagi para siswa. Perubahan itu disebabkan oleh meningkatnya wawasan pengetahuan, yang menimbulkan sikap (attitude) dan keterampilan. Selama ada perubahan, maka berarti pembelajaran itu berhasil. Sedikit banyaknya perubahan, mengindikasikan berapa banyaknya perubahan tersebut. Perubahan yang terjadi tersebut, tidak hanya pada rohani, melainkan juga jasmani. Maksudnya, perubahan paradigma berpikir anak, berpengaruh terhadap tingkah laku anak. Inilah yang disebut sebagai pembelajaran seutuhanya, baik jasmani mapun rohani. Hal ini senada dengan pendapat Arifin dalam Burhanudin (2001:12) yang menyebutkan bahwa belajar merupakan suatu proses rangkaian kegiatan respon yang terjadi dalam suatu rangkaian belajar mengajar yang berakhir mengajar yang berakhir pada terjadinya perubahan tingkah laku baik jasmani maupun rohani. Sedangkan, Muhammad Surya mengartikan belajar sebagai suatu perubahan tingkah laku. Siswa berubah tingkah lakunya karena belajar. Tanpa belajar, maka siswa tetap dalam keadaan awal. Semakin banyak siswa belajar, maka semakin banyak perubahan. Tidak salah, jika guru menjadi agen perubahan. Ke mana arah perubahan itu akan dituju, gurulah yang banyak berperan.
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
Dari ketiga pendapat para ahli di atas, bisa kesimpulan adanya persamaan dalam mengertikan belajar, yaitu terjadinya perubahan tingkah laku siswa yang merupakan salah satu prinsip dasar dalam belajar. Perumbahan yang dimaksud ialah perubahan dalam aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan atau kognitif, afektif dan psikomotor. Ketiga hal ini berjalan seimbang dan seoptimal mungkin agar menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Prinsip-Prinsip dalam Belajar Pembelajaran yang berlangsung bertujuan agar perilaku siswa berubah sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Pembelajaran tidak dikatakan berhasil, jika dalam diri siswa tidak terjadi perubahan, atau hanya terjadi perubahan, tapi tidak sesuai dengan harapan. Agar pembelajaran mencapai target atau sasarannya yang sudah ditentukan, maka harus dilaksanakan faktor-faktor dan prinsip-prinsip pembelajaran. Sebagaimana dikemukakan oleh Dahlam dalam Burhanudin (2001:15) menyebutkan 4 prinsip untuk memperoleh efektivitas dan efisiensi hasil belajar, yaitu: 1. Law of effect, artinya belajar akan mengalami peningkatan jika menghasilkan rasa senang atau puas. Jadi belajar tidak akan meningkat, jika saat belajar siswa merasa terbebani, atau terpaksa menelan mentah-mentah materi yang diberikan oleh guru. Harus dihindari model pembelajaran yang demikian. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pembelajaran yang tidak menyenangkan. 2. Law of exercise, belajar dapat lebih baik karena adanya latihan, dan latihan akan optimal jika diperkuat hubungan stimulus-respon. Dengan banyak berlatih, siswa akan semakin baik, karena latihan merupakan kegiatan belajar memecahkan persoalan-persoalan. 3. Law of readress atau prinsip kesiapan yang mengandung pengertian bahwa kesiapan diri untuk belajar akan banyak mempengaruhi efektivitas belajar
siswa. Kesiapan yang dimaksud ialah kesiapan mental dan fisik. Untuk menyiapkan mental siswa ini, tugas gurulah yang memberikan stimulus kepada siswa, sehingga siswa sudah siap menerima materi pelajaran, karena siswa merasa butuh. 4. Law of intensity atau prinsip intensitas, bahwa belajar akan efisien dan efektif kalau intentitas situasi emosional yang kuat untuk berlangsungnya perbuatan belajar. Prinsip law of instesity ini erat hubungannya dengan penggunaan media belajar seperti alat-alat audio visual. Film, bagan, poster dan sejenisnya. Belajar dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor itu ada yang berasal dari dalam (intern) dan ada faktor dari luar (ekstern). Faktor-faktor ini harus diperhatikan, agar pembelajaran berlangsung seperti yang kita harapkan. Menurut Natawijaya (1979:30) ada dua faktor yang pada dasarnya turut mempengaruhi belajar, yaitu: 1. Kondisi belajar intern; dan 2. Kondisi belajar ekstern. Kondisi belajar intern disebut sebagai interning behavior atau kemampuan dasar yang meliputi: a. Kematangan belajar b. belajar untuk belajar c. kemampuan belajar d. persepsi dan pengertian dasar. Sedangkan faktor ekstern meliputi: a. Kontinuitas (kesinambungan), b. Exercise (latihan) dan c. Penguatan (reinfortmen). Jadi, belajar terdiri atas banyak komponen yang saling mendukung sehingga mewujudkan sasaran atau target yang dituju. Semua komponen memiliki peran yang penting dan harus didukung sebaik mungkin. Metode Tanya Jawab Metode tanya jawab adalah cara penyajian pelajaran dalam bentuk pertanyaan yang harus dijawab, terutama dari guru pada siswa, tetapi dapat pula dari siswa pada guru (Sujana, 1996:107). Metode tanya jawab
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
253
juga diartikan sebagai format interaksi antara guru-siswa melalui kegiatan bertanya yang dilakukan oleh guru untuk mendapatkan respons lisan dari siswa sehingga dapat menumbuhkan pengetahuan baru pada diri siswa (Moedjono, 1992:41) Pengertian dan batasan metode tanya jawab menggambarkan bahwa dalam proses pembelajarannya guru dan siswa sama-sama aktif. Namun demikian keaktifan siswa tergantung sepenuhnya pada keaktivan guru, sehingga keberhasilan penggunaan metode tanya jawab tergantung pula pada penguasaan guru terhadap teknikteknik bertanya dan jenis pertanyaannya. Selain itu, guru harus memberikan kebebasan pada seluruh siswa untuk mengungkapkan isi pikirannya terhadap suatu permasalahan yang sedang dihadapi. Hal ini sesuai dengan karasteristik siswa SMP yang selalu ingin tahu terhadap segala sesuatu, terutama menarik pada dirinya. Begitu pula dengan karasteristik metode tanya jawab yang menghendaki agar terjadinya komunikasi dua arah. Metode tanya jawab mempunyai beberapa kelebihan (Bahri, 1996:107). Menurut hemat penulis, metode tanya jawab layak dikembangkan dan diterapkan dalam proses pembelajaran IPS yang menuntut siswa untuk dapat menguasai dan memahami konsepkonsep dari sebuah materi. Metode tanya jawab semua hal yang belum atau tidak dimengerti siswa dapat langsung ditanyakan pada guru saat proses pembelajaran berlangsung. Adapun kelebihan-kelebihan metode tanya jawab di antaranya: 1. Dapat menimbulkan keingintahuan siswa terhadap permasalahan yang dibicarakan. 2. Dapat memusatkan perhatian siswa. 3. Dapat melatih dan mengembangkan daya pikir dan daya ingat siswa. 4. Mengembangkan keberanian dan keterampilan siswa dalam mengemukakan pendapat dan mengekspresikan diri
254
5. Dapat meningkatkan keterlibatan mental siswa dalam menjawab pertanyaan 6. Dapat mendorong, menuntun, dan membimbing pemikiran siswa yang sistematik, kreatif dan kritis pada diri siswa 7. Dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk menggunakan pengetahuan sebelumnya untuk belajar sesuatu yang baru. (Bahri, 1996:107) Dengan memperhatikan kelebihan-kelebihan dari metode tanya jawab tersebut penulis sebagai peneliti berusaha untuk mengembangkannya hingga kelebihan-kelebihan tersebut benar-benar dapat memberikan pengaruh yang baik bagi siswa, dan benar-benar dapat terbuktikan. Sedangkan kelemahan metode tanya jawab, seperti berikut ini. 1. Tidak mudah membuat pertanyaan yang sesuai dengan tingkat berpikir siswa. 2. Banyak waktu yang terbuang ketika siswa tidak dapat menjawab sampai dua atau tiga orang. 3. Tidak cukup waktu untuk memberikan pertanyaan kepada seluruh siswa jika jumlah muridnya banyak. Dengan memperhatikan kelebihan dan kelemahan metode tanya jawab, guru harus lebih berhati-hati dalam prosedur pelaksanaan pembelajarannya. Kelebihan-kelebihan harus benar-benar tereksplotasi, sedangkan kelemahannya harus dapat diminimalisir dengan prosedur pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan metode tanya jawab, yaitu tahap persiapan, tahap awal tanya jawab, tahap pengembangan dan tahap akhir. Pada tahap persiapan guru harus menyusun daftar pertanyaan yang dirumuskan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, sebagai pedoman pada saat berlangsungnya pembelajaran. Dengan adanya panduan soal-soal tanya jawab, diharapkan guru tidak membuat pertanyaan-pertanyaan di luar pokok bahasan yang sedang diajarkan. Memasuki tahap awal tanya jawab guru
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
memberikan pengarahan terhadap siswa tentang kegiatan yang akan dilaksanakan. Guru memberitahukan tujuan, langkah-langkah kegiatan, serta menjelaskan garis besar isi pelajaran. Dengan demikian siswa tidak akan kebingungan pada saat pelaksanaan pembelajaran berlangsung. Kemudian barulah memasuki tahap pengembangan tanya jawab. Pada tahap ini guru memulai mengajukan pertanyaan dari yang lingkupnya
No. 1
2
3 4
sederhana sampai yang lebih luas sesuai dengan panduan pertanyaan yang telah disusun. Setelah semua siswa mendapat giliran untuk menjawab atau mengajukan pertanyaan, guru dan siswa membuat ringkasan isi pelajaran yang telah disajikan selama kegiatan pembelajaran sebagai kegiatan pada tahap akhir dalam pembelajaran (Moedjiono, 1992:47). Langkah-langkah tersebut dapat dilihat pada tabel 2.1. berikut ini!
Tabel 2.1 Langkah-langkah pembelajaran dengan metode tanya jawab Langkah Kegiatan Jenis Fungsi Persiapan Pedoman pada saat Menyusun daftar pertanyaan berlangsungnya pembelajaran Tahap awal Memberikan pengarahan Penjelasam tentang kegiatan yang akan dilaksanakan Tahap Untuk mencapai Proses tanya jawab pengembangan tujuan Tahap akhir Menyimpulkan materi pembelajaran
Agar prosedur pengajaran dengan metode tanya jawab ini berhasil, perlu dukungan teknik dalam pengajuan pertanyaannya, yaitu: 1. Memulai dengan menciptakan suasana yang menyenangkan dan akrab dengan siswa 2. Menyampaikan pertanyaan dengan tenang tapi bersemangat dan suara yang jelas 3. Tidak sering mengulang pertanyaan 4. Mengarahkan pertanyaan pada seluruh siswa dan memberikan giliran secara seimbang. (Sudirman, 1992:129-130) Dengan memperhatikan prosedur dalam pemakaian metode tanya jawab di atas, pertanyaan yang disusun dan diajukan kepada siswa harus menggunakan bahasa yang dapat dimengerti dan dipahami siswa, sehingga perlu dipersiapkan sebelumproses pembelajaran berlangsung. Tak kalah pentingnya penciptaan suasana yang nyaman dan menyenangkan bagi siswa, guru juga harus banyak memberikan penguatan dan pengakuan pada setiap jawaban
yang diberikan siswa. Diberikan pengakuan membuat semua orang senang, bangga, percaya diri dan bahagia. Sebagian besar usaha siswa untuk menjawab pertanyaan harus diakui sebagai diri mereka dan apa yang dapat mereka lakukan (Nilandari, 2000:29) Pembelajaran IPS di Sekolah Menegah pertama 1. Pengertian IPS Pengertian IPS mempunyai beberapa istilah lain yang hampir sama yaitu ilmu sosial, studi sosial. Pengertian ketiganya bisa dijelaskan sebagai berikut. a. Ilmu sosial “Ilmu sosial lebih menekankan kepada keilmuan yang berkenan dengan masyarakat atau kehidupan sosial yang secara khusus dipelajari dan dikembangkan di tingkat pendidikan tinggi. (Ischah, 1977:26). Sementara Mackenzine mengemukakan, “Ilmu sosial adalah semua bidang ilmu yang berkenan dengan manusia dalam konteks sosialnya atau dengan kata lain adalah semua bidang ilmu yang
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
255
mempelajari manusia sebagai anggota masyarakat.” d. Studi sosial Studi sosial ialah seperti yang diungkapkan oleh Ischak (1997:29) adalah sebagai berikut “Bidang pengetahuan dan penelaahan gejala dan masalah sosial di masyarakat yang ditinjau dari berbagai aspek kehidupan sosial dalam usaha mencari jalan keluar dari masalah-masalah tersebut." e. lmu Pengetahuan Sosial Ilmu Pengetahuan Sosial ialah ilmu pengetahuan yang merupakan fusi atau paduan dari sejumlah mata pelajaran sosial (Depdikbud, 1989:325). 2. Fungsi Pelajaran IPS Pengajaran pengetahuan sosial di SMP befungi mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dasar untuk melihat kenyataan sosial yang dihadapi siswa dalam kehidupan sehari-hari. GBPP (1994) sedangkan pengajaran sejarah berfungsi menumbuhkan rasa kebangsaan dan bangga terhadap perkembangan masyarakat Indonesia sejak masa lalu hingga kini. 3. Tujuan Mata Pelajaran IPS di SMP Mata pelajaran perkembangan sosial di SMP bertujuan agar siswa mampu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dasar yang berguna bagi dirinya dalam kehidupan seharihari. GBPP (1994). Pengajaran sejarah bertujuan agar siswa mampu mengembangkan pemahaman tentang perkembangan masyarakat sejak masa lalu hingga kini sehingga siswa memiliki kebangsaan sebagai bangsa Indonesia. METODOLOGI PENELITIAN A. Prosedur Penelitian Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan ilmiah untuk memperoleh pengetahuan (penjelasan dan solusi) yang benar tentang suatu masalah (Indrawati, 2001:4) . Yang dilakukan penulis lakukan adalah jenis penelitian tindakan kelas (PTK). Penulis mencoba meneliti tentang efektivitas metode tanya jawab dalam pembelajaran IPS di
256
SMP Kelas IX. Penelitian ini untuk mengetahui dan memahami tentang kelebihan dan kelemahan dari metode tanya jawab, sehingga dapat menemukan solusi untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dari metode tersebut. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan tindakan yang dilakukan guru untuk meningkatkan dirinya atau teman sejawatnya untuk menguji asumsi-asumsi teori pendidikan di dalam praktek (Indrawati, 2001:8). PTK merupakan cara untuk mempelajari halhal yang terjadi di dalam sekolah dan menentukan cara membuat ssuasana yang lebih baik. Bertolak dari permasalahan di atas maka disusun rancangan penelitian untuk menjawab apakah karasteristik metode tanya jawab yang dikembangkan dapat meningkatkan keterampilan bertanya siswa Kelas VII SMP dan dapat memperbaiki proses pembelajaran. Dalam penelitian ini yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang analisis datanya hanya sampai pada deskripsi variabel. Deskipsi berari pemerian secara sistematik dan faktual tentang sifat-sifat populasi tertentu (Indrawati, 2002:5). Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian tindakan kelas atau Classroom Action Researrch yang merupakan salah satu upaya guru dalam bentuk kegiatan yang dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran di kelasnya. Suryanto (1996/1997:9) mengemukakan manfaat penelitian tindakan kelas yaitu guru dituntut untuk selalu mencoba mengubah, mengembangkan, dan meningkatkan gaya mengajarnya agar dapat melahirkan model pembelajaran yang sesuai dengan kelasnya, kemudian dari aspek pengembangan kurikulum guru akan lebih bertnggung jawab terhadap pengembangan kurikulum dalam level sekolah atau kelasnya dan dapat meningkatkan profesionalisme guru dalam pembelajaran. Sebagai jabatan profesional sudah seharusnya guru bersikap profesional. Guru harus terus
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
mengupayakan berbagai strategi baru dalam pembelajaran dalam upaya perbaikan. Berbagai faktor seperti materi, alat peraga, metode, sumber belajar, sarana penunjang, dan lain-lain perlu diperhatikan agar terjadi peningkatan. Siswa sebagai objek harus benar-benar diperhatikan sehingga setiap individu siswa dapat dipantau perkembangannya. Perubahan sebagai ciri khas dalam belajar, juga perlu diperhatikan, agar guru tidak kehilangan arah untuk mengantar siswa pada target atau sasaran. Kemmis dan Carr dalam Kasihani Kasobah (1993:13) mengemukakan bahwa penelitian tindakan merupakan suatu bentuk penelitian yang bersifat feflektif yang dilakukan oleh pelaku dalam masyarakat sosial dan bertujuan untuk memperbaiki pekerjaannya, memahami pekerjaan ini serta situasi di mana pekerjaan itu dilakukan. Selanjutnya mereka menegaskan bahwa penelitian tindakan juga digambarkan sebagai suatu proses yang dinamis, dengan keempat aspek, yaitu perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi harus dipahami bukan sebagai langkah-langkah yang statis terselesaikan dengan sendirinya, tetapi lebih merupakan momen-monen dalam bentuk spiral yang menyangkut perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Seperti yang telah diungkapkan di atas, penelitian yang akan dilakukan melalui beberapa tahap tindakan dengan pertimbangan bahwa setiap tindakan yang telah direncanakan akan dilakukan telaah secara seksama dan dilakukan analisis dengan merefleksikan permasalahan yang ada sebagai dasar melakukan perbaikan terhadap rancangan tindakan selanjutnya sehingga diperoleh hasil pembelajaran yang optimal. Tahap-tahap metode penelitian tindakan kelas yang akan dilaksanakan adalah: a) tahap perencanaan b) tahap pelaksanaan tindakan c) tahap observasi d) tahap refleksi e) tahap perncanaan tindakan lanjutan Model yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah model Kemmis dan
Mc. Taggart dalam Kasobah (1998/1999), dengan menggunakan sistem spiral yang sesuai dengan tahapan penelitian tindakan. 1. Tahap Perencanaan Tahapan yang hendak dilakukan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah terlebih dahulu menentukan lokasi yang akan dijadikan subjek penelitian kemudian memilih subjek yang akan diteliti. Setelah tahap pertama dilakukan kemudian peneliti melakukan pendekatan dengan kepala sekolah atau rekan sejawat untuk diajak sebagai tim dalam pelaksanaan penelitian. Tahap persiapan selanjutnya adalah dengan membuat perencanaan tindakan bersama tim untuk selanjutnya dilaksanakan penelitian. Langkah-langkah perencanaan dalam penelitian ini adalah dengan cara membuat skenario pembelajaran untuk selanjutnya diterapkan dalam proses pembelajaran, selanjutnya peneliti terlebih dahulu menganalisis kurikulum dan GBPP sehingga penelitian yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan pendidikan yang sudah digariskan. Mendesain kelas merupakan salah satu langkah yang penting dalam perencanaan sehingga dapat menarik minat dan mendorong siswa untuk bersemangat sebagai objek yang diteliti kemudian penelitian mempersiapkan sarana dan fasilitas belajar sebagai pendukung dalam penelitian ini. Satu hal lagi dalam membuat langkah perencanaan yang membuat cara untuk mengobservasi siswa dan alat yang diperlukan untuk melakukan observasi bersama tim yang akan diajak untuk melakukan penelitian. Untuk memperoleh kondisi awal tentang keadaan kelas dilakukan pengamatan langsung di dalam kelas dengan menggunakan alat pengumpul data untuk melihat kemampuan siswa dalam menerima pembelajaran kemudian nilai-nilai ulangan yang telah lalu untuk membandingan bagaimana suatu pembelajaran yang menggunakan metode kelompok dengan metode yang tidak menggunakan kerja kelompok. Aspek lainnya yang harus diperhatikan yaitu keadaan lingkungan siswa tentang
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
257
ketersediaannya sumber belajar, alat peraga yang dapat mendukung proses pembelajaran, sarana pendukung lainnya yang tersedia di sekolah. Keadaan dari siswa yang harus diperhatikan di antaranya faktor intelektual, kecakapan dalam bergaul, kebiasaan-kebiasaan yang suka dilakukan dalam menerima pelajaran, keterampilan berbicara, keterbukaan dan rasa ingin tahu terutama terhadap mata pelajaran IPS. Setelah peneliti memperhatikan kondisi awal maka langkah selanjutnya yaitu peneliti bersama-sama tim melakukan pembicaraan tentang rencana penelitian yang hendak dilaksanakan dengan menggunakan metode mengajar kerja kelompok yang sesuai dengan rumusan masalah serta melakukan teknik pemantauan selama kegiatan belajar mengajar berlangsung. Pada saat pelaksanaan kegiatan belajar dilakukan peneliti bersama tim bersepakat untuk merumuskan tindakan pelaksanaan penggunaan metode kerja kelompok untuk meningkatkan hasil belajar siswa yang sesuai dengan rumusan tujuan yang sudah tertuang dalam pendahuluan. Adapun kegiatan yang dilakukan peneliti bersama tim adalah: (a) Berusaha menelaah tentang kesulitan-kesulitan yang dialami oleh siswa pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung juga menelaah tentang kesulitan yang dialami oleh peneliti sehingga peneliti dapat mengantisipasi setiap kesulitan pada saat kegiatan belajar mengajar dilaksanakan. (b) Peneliti menetapkan pokok bahasan materi pelajaran IPS yang akan disampaikan pada waktu pelaksanaan kegiatan. (c) Merumuskan rencana pembelajaran mata pelajaran IPS dengan menggunakan metode tanya jawab dan pada pelaksanaannya akan memanfaatkan sumber belajar yang sudah tersedia di sekolah. 2. Tahap Pelaksanaan Tindakan Pada tahap ini, guru melaksanakan tindakan sesuai dengan perencanaan yang telah dirumuskan. Melakukan pengamatan terhadap
258
tindakan pembelajaran secara sistematis, kritis dan objektif. Pengamatan dilakukan secara terusmenerus oleh peneliti untuk memantau dan merekam gejala-gejala yang muncul baik yang sifatnya mendukung atau menghambat proses pembelajaran. Sumber data penelitian dari hasil observasi akan menghasilkan data yang berkualitas yang meliputi dari rencana pembelajaran yang dianalisis dari awal sampai akhir kemudian data dikembangkan dalam bentuk kesimpulan, tindak lanjut dan penerapan pada pertemuan selanjutnya. Adapun cara pengumpulan data adalah sebagai berikut: 1) Data tentang sutuasi proses pembelajaran pada saat PBM berlangsung dengan menggunakan lembar observasi. 2) Data tentang keterkaitan rencana penelitian dengan data pada saat pelaksanaan. 3) Data tentang refleksi diri serta perubahan-perubahan yang terjadi di kelas, diambil dari jurnal yang dibuat oleh guru. Dalam proses pelaksanaan selama penelitian berlngsung diupayakan kegiatan belajar siswa tidak terganggu oleh adanya tim sehingga siswa belajar sebagaimana biasanya. 3. Tahap Observasi Dalam pelaksanaan tindakan kelas obeservasi dilaksanakan setelah melihat hasil dari penelitian tersebut kemudian hasil pengamatan tersebut dikumpulkan yang selanjutnya dianalisis apakah hasilnya baik atau kurang baik. Namun demikian kegiatan observasi dalam penelitian tindakan kelas dapat disejajarkan kedudukannya dengan kegiatan pengumpul data dalam penelitian formal. Kasihani Kasbolah (1999:91-92) menyebutkan bahwa fungsi dari diadakannya observasi dapat dibedakan menjadi dua: a. Untuk mengetahui kesesuaian pelaksanaan tindakan dengan rencana tindakan yang telah disusun sebelumnya. b. Untuk mengetahui seberapa jauh pelaksanaan tindakan yang sedang berlangsung dapat diharapkan akan
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
menghasilkan perubahan yang diinginkan. Sumarno (dalam Kasihani Kasbolah, 1999:93) menyebutkan bahwa sasaran dilakukannya observasi adalah untuk menemukan hal-hal berikut: 1. Seberapa jauh pelaksanaan tindakan telah sesuai dengan rencana tindakan yang ditetapkan sebelumnya. 2. Seberapa banyak pelaksanaan tindakan telah menunjukkan tandatanda akan tercapainya tujuan tindakan. 3. Apakah terjadi dampak tambahan atau lanjutan yang positif meskipun tidak direncanakan. Hal ini perlu diikuti dengan upaya untuk lebih mengintensifkannya. 4. Apakah terjadi dampak sampingan yang negatif sehingga merugikan atau cenderung mengganggu kegiatan lainnya. Pada tahap observasi ini kegiatan yang dilakukan peneliti adalah menghimpun data dengan menggunakan alat pengumpul data yang telah dipersiapkan untuk dapat menghasilkan temuan dan masukan selama penelitian berlangsung dalam upaya untuk merencanakan kembali tindakan yang akan dilakukan dalam mencapai tujuan yang diharapkan. HASIL PENELITIAN Data Awal Penelitian Penelitian tindakan kelas yang dilakukan yaitu di SMP Negeri 4 Limboto Barat Kabupaten Gorontalo Kelas VII. Kelas ini dipilih keragaman siswa, baik latar belakang keluarga, kondisi siswa itu sendiri atau tingkat intelektualnya, dan beberapa hal lainnya yang mendukung untuk dilaksanakannya di kelas ini. Peserta didik yang diteliti berjumlah 34 orang yang terdiri atas laki-laki dan perempuan. Dari 34 orang siswa, tingkat intelektualitasnya memang beragam, ada yang tinggi, sedang dan ada yang biasa-biasa saja. Pada umumnya, pembelajaran yang dilakukan banyak menggunakan metode ceramah, khususnya untuk
mata pelajaran IPS. Hal ini, dianggap wajar karena sifat mata pelajaran ini yang informatif. Di dalam kelas, guru seperti berakting dengan memberikan penjelasan panjang lebar mengenai materi IPS, baik sejarah maupun geografi. Bahkan, guru akan disebut belum mengajar, kalau belum banyak bicara. Guru disebut hebat, kalau bisa berceramah panjang lebar. Demikian kiranya, kondisi pembelajaran yang terjadi di kelas. SIMPULAN Dalam kegiatan belajar mengajar, guru diharuskan mengeluarkan semua potensi yang ada, agar pelaksanaan pembelajaran mencapai sasaran. Guru harus memahami bahwa hanya dengan pembelajaran yang menyenangkan, yang membuat siswa beraktivitas saja yang bisa membuat siswa memahami materi yang disampaikan guru. Dari pembahasan hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan metode sosiadrama dapat memberikan kemudahan bagi guru dalam melaksanakan proses pembelajaran untuk memahami materi sejarah-sekitar peristiwa proklamasi. Penggunaan metode tanya jawab dapat membantu meningkatkan aktivitas siswa dalam belajar serta meningkatkan hasil belajar. Hal itu tercermin dalam catatan proses, dan catatan nilai akhir. Proses pembelajaran dapat berlangsung dengan baik. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan, bahwa: 1. Bentuk perencanaan pembelajaran dengan menggunakan metode tanya jawab sesuai dengan rencana yang dilakukan melalui dua siklus, yaitu siklus I dan siklus II, evaluasi pembelajaran dilakukan setiap akhir siklus. 2. Dilihat dari hasil penelitian (hasil evaluasi siswa) karasteristik hasil pembelajaran metode tersebut pada siklus II menunjukkan adanya perubahan yang signifikan dibanding pada siklus I. 3. Pemberian konsep sejarah melalui tanya jawab cukup efektif dalam meningkatkan pemahaman siswa, karena mereka belajar tanpa sadar,
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
259
karena kegiatan pembelajarannya yang begitu menyenangkan. Dari hasil evaluasi peneliti mempunyai gambaran bahwa memberikan pembelajaran diusahakan menggunakan berbagai metode pembelajaran supaya tidak membuat siswa bosan, dan memudahkan siswa memahami sebuah konsep, seperti yang dapat dilakukan pada pembelajaran materi sejarah, menggunakan metode tanya jawab atau mendramakan materi yang ingin disampaikan. Setelah melakukan penelitian, penulis merasakan adanya perubahan siswa terutama dalam pembelajaran menggunakan metode tanya jawab, mereka dapat melaksanakan kegiatan diskusi untuk menunjang pemahaman terhadap materi sejarah yang selama ini dianggap membosankan. Sehubungan dengan hal tersebut, peneliti merasa perlu memberikan masukan kepada para guru untuk lebih meningkatkan pengetahuan tentang penerapan strategi belajar dengan menggunakan metode yang cocok dengan materi pembelajaran. Dalam hal ini peneliti menyarankan untuk: 1. Guru lebih memiliki kepekaan terhadap berbagai masalah yang timbul dalam proses pembelajaran di kelasnya sehingga tahu persis apa yang harus dilakukan dalam pembelajaran. 2. Guru diharapkan untuk memperluas wawasan tentang teori
260
dan praktek pembelajaran, agar pembelajaran lebih meningkat lagi. 3. Perlu adanya penelitian lanjutan berkaitan dengan penggunaan metode tanya jawab, pada jenjang lanjutan sehingga kelebihannya bisa terus ditambah. DAFTAR PUSTAKA Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1994. Kurikulum Pendidikan Dasar. Jakarta: Depdikbud Kasbolah.1997. Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Jakarta: Proyek Pengembangan Guru Sekolah Menegah pertama Direktorat Pendidikan Tinggi Depdikbud. Muhibbin Syah.1995.Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan baru. Bandung: RoSMPa karya Prianto.2001. Peranan Minat dalam Pendidikan. Jakarta: Depdikbud Roestiyah NK. 1994. Dikdaktik Metodik. Jakarta: Bumi Aksara Sitorus, Bergman.1994.Membina Hasrat Belajar di Sekolah. Bandung: RoSMPa Karya Sujana, Nana. Dr.1989.Penilaian Hasil Proses Belajar Mngajar. Bandung: PT Remaja RoSMPa Karya Zainal, Abidin,dkk.1981.Pemilihan dan Penggunaan Media dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta: P3G Bahasa
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA MENDESKRIPSIKAN GAMBAR TUNGGAL DENGAN KATA-KATA SEDERHANA MELALUI METODE PEMBERIAN TUGAS DI KELAS II SDN 77 KOTA TENGAH KOTA GORONTALO Ina Zakaria Abstrak Permasalahan dalam penelitian ini adalah “apakah metode pemberian tugas dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan siswa mendeskripsikan gambar tunggal dengan kata-kata sederhana di kelas II SDN 77 Kota Tengah Kota Gorontalo?. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa mendeskripsikan gambar tunggal dengan kata-kata sederhana melalui metode pemberian tugas di kelas II SDN 77 Kota Tengah Kota Gorontalo. Metode penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan yang dilaksanakan dalam dalam 2 siklus yaitu siklus I dan siklus II, setiap siklus terdiri dari persiapan tindakan, pelaksanaan tindakan, pemantauan dan evaluasi, analisis dan refleksi. Dengan metode pengumpulan data adalah observasi, tes, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pada pelaksanaan tindakan kelas siklus I siswa yang mendapatkan nilai mampu berjumlah 15 orang (68,18%), sedangkan yang mendapatkan nilai belum mampu masih berjumlah 7 orang (31,81%). Setelah dilaksanakan tindakan kelas siklus II jumlah siswa yang mendapatkan nilai mampu berjumlah 19 orang (86%) sedangkan yang belum mampu berjumlah 3 orang (14%). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa melalui metode pemberian tugas dapat meningkatkan kemampuan siswa mendeskripsikan gambar tunggal dengan kata-kata sederhana pada siswa kelas II SDN 77 Kota Tengah Kota Gorontalo meningkat. PENDAHULUAN Pembelajaran bahasa adalah suatu proses memberi rangsangan belajar berbahasa kepada siswa dalam upaya siswa mencapai kemampuan berbahasa. Pembelajaran Bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya sastra. Berbicara juga merupakan kemampuan berbahasa yang bersifat sosial. Meskipun berbicara telah kita lakukan sehari-hari, bukan berarti pembelajaran bahasa pada aspek berbicara tanpa mengalami kendala. Kendala-kendala berbicara sebaiknya dapat diatasi oleh guru. Sebagai guru kelas 1 di SDN 77 Kota Tengah Kota Gorontalo menemui hambatan dalam aspek berbicara terutama pada kompetensi dasar mendeksprisikan gambar tunggal atau seri sederhana dengan bahasa yang mudah dimengerti. Masalah yang timbul
adalah siswa belum mampu mendeskripsikan gambar tunggal dengan kata-kata maupun dengan kalimat sendiri. Ketidak mampuan siswa dalam mendeskripsikan gambar disebabkan karena kurangnya penguasaan kosakata yang dimiliki siswa, selain itu belum optimalnya media pembelajaran yang digunakan oleh guru, dan kurangnya kemampuan siswa untuk mendeskripsikan gambar. Dari hasil abservasi awal yang dilakukan terhadap 22 siswa kelas II SDN 77 Kota Tengah Kota Gorontalo pada tanggal 1 Januari 2017 diketahui bahwa terdapat 10 siswa (45%) yang berani dan mampu mendeskripsikan gambar tunggal dengan kata-kata sederhana dan masih terdapat 12 siswa (55%) yang belum mampu. Kurangnya kemampuan mendeskripsikan gambar tunggal pada siswa kelas II SDN 77 Kota Tengah Kota Gorontalo dapat dilihat dari beberapa aspek yakni siswa masih takut untuk mengemukakan pendapat, malu bertanya, kurang percaya diri dalam berkomunikasi, sulit
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
261
untuk mengungkapkan kembali penjelasan guru dan sebagainya, sulit menyusun kata-kata sederhana untuk mendeskripsikan gambar yang dilihat serta kurang memahami tugas yang diberikan guru. Sehubungan dengan uraian di atas nampak bahwa pada kenyataannya kemampuan siswa kelas II SDN 77 Kota Tengah masih rendah untuk mendeskripsikan gambar tunggal dengan kata-kata sederhana karena dipengaruhi oleh faktor siswa, guru, metode pembelajaran dan media pembelajaran yang digunakan belum tepat. Sehubungan dengan masalah tersebut, penulis akan mencoba untuk menggunakan metode pemberian tugas. Metode pemberian tugas adalah salah satu metode pembelajaran dimana siswa diberi tugas-tugas khusus di luar jam pelajaran yang dapat dilakukan di sekolah maupun di luar sekolah. Metode ini dilakukan apabila guru mengharapkan pengetahuan yang diterima siswa lebih mantap dan mengaktifkan mereka dalam mencari atau mempelajari suatu masalah dengan lebih banyak membaca, mengerjakan suatu secara langsung (Basyirudin, 2002:47). Selain itu menurut Ibrahim dan Syaodih (2010: 107) metode pemberian tugas dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada siswa melakukan tugas/kegiatan berhubungan dengan pelajaran, seperti mengerjakan soalsoal, mengumpulkan kliping dan sebagainya. Metode pemberian tugas dapat dilakukan dalam bentuk tugas/kegiatan individual maupun kerja kelompok, dan dapat merupakan unsur penting dalam pendekatan pemecahan masalah. Alasan penulis menggunakan metode pemberian tugas yakni siswa akan lebih banyak mengalami sendiri apa yang dipelajarinya sehingga memperkuat daya retensi mereka, selain itu siswa menjadi aktif dan memiliki rasa tanggung jawab. Melalui metode pemberian tugas ini diharapkan kemampuan siswa untuk mendeskripsikan gambar tunggal dapat ditingkatkan.
262
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat diidentifikasi masalah dalam penelitian ini yakni: a. Dari 22 siswa kelas II SDN 77 Kota Tengah Kota Gorontalo hanya 10 siswa (45%) yang berani dan mampu mendeksripisikan gambar tunggal sederhana dan masih terdapat 12 siswa (55%) yang belum mampu. b. Kurangnya kemampuan siswa mendeskripsikan suatu benda karena kurang berani. c. Kurangnya penguasaan kosakata dari siswa. d. Metode pembelajaran yang kurang tepat serta minimnya media pembelajaran yang digunakan. Sehubungan dengan identifikasi masalah di atas dapat dirumuskan masalah penelitian ini adalah: “Apakah melalui metode pemberian tugas dapat meningkatkan kemampuan siswa mendeskripsikan gambar tunggal dengan kata-kata sederhana di kelas II SDN 77 Kota Tengah Kota Gorontalo? Upaya yang dilakukan untuk memecahkan masalah dalam peneltian meningkatkan kemampuan mendeskripsikan gambar tunggal dengan kata-kata sederhana melalui metode pemberian tugas pada siswa kelas II SDN 77 Kota Tengah Kota Gorontalo sebagai berikut: a. Melatih mengamati sesuatu objek misalnya mengamati segala sesuatu di sekitar seperti laba-laba yang membuat sarang, rumput ilalang yang bergoyang diterpa angin, atau orang yang hilir mudik di jalan di depan rumah kita. b. Agar deskripsi menjadi hidup maka perlu kita lukiskan bagian-bagian yang penting dan sedetail mungkin. Contohnya, jika kita melukiskan betapa ngerinya tersesat di hutan, maka situasi hutan yang dapat menimbulkan kengerian itu harus dilukiskan selengkap-lengkapnya sehingga pembaca dapat membayangkan bagaimana jika dia sendiri yang tersesat di hutan. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa mendeskripsikan gambar tunggal dengan kata-kata sederhana melalui
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
metode pemberian tugas di kelas II SDN 77 Kota Tengah Kota Gorontalo. Gambar memegang peranan yang sangat penting dalam proses belajar. Gambar dapat memperlancar pemahaman dan memperkuat ingatan. Gambar dapat pula menumbuhkan minat siswa dan dapat memberikan hubungan dengan isi materi pelajaran dengan dunia nyata. Menurut Daryanto (2003:41) bahwa gambar tunggal adalah suatu kesatuan informasi yang dituangkan atau dijelaskan dalam satu lembar kertas. Gambar tunggal akan lebih memudahkan bagi siswa karena mereka tidak harus terikat dengan gambar lainnya dan tidak harus mencari kalimat penghubung yang tepat, agar gambargambar tersebut dapat menjadi suatu cerita. Dengan perkataan lain, „bahasa alam pikir anak adalah bahasa gambar‟. Semua informasi yang dia terima, akan dia pikirkan di alam pikirannya dalam bentuk konkret, bentuk yang sesuai dengan pemikirannya sendiri”. Agar menjadi efektif, gambar sebaiknya diletakkan pada konteks yang bermakna dan siswa harus berinteraksi dengan gambar (image) itu untuk meyakinkan terjadinya proses informasi. Menurut Anitah (2009:7-8) menyatakan bahwa gambar tunggal tidak hanya bernilai seribu bahasa, tetapi juga seribu tahun atau seribu mil. Melalui gambar tunggal dapat ditunjukkan kepada siswa suatu bentuk benda, hewan, tumbuhtumbuhan dan lain sebagainya yang jauh dari jangkauan pengalaman siswa itu sendiri. Gambar tunggal juga dapat memberikan gambaran dari waktu yang telah lalu atau potret (gambaran) masa yang akan datang. Bentuk gambar tunggal bisa berupa gambar yang dibuat dari kertas karton atau sejenisnya yang tidak tembus cahaya. Contohnya lukisan, potret, gambar dari majalah atau gambar yang disertai kata atau kalimat. Dengan adanya media gambar tunggal dalam proses belajar tersebut diharapkan guru dan siswa bisa mengungkapkan isi mengenai gambar tersebut setelah menganalisa dan memikirkan informasi yang terkandung dalam gambar tersebut.
Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa gambar tunggal adalah satu bentuk gambar benda, orang, hewan, manusia dan lain sebagainya yang yang dibuat pada kertas karton atau sejenisnya. Metode pemberian tugas adalah salah satu metode pembelajaran dimana siswa diberi tugas-tugas khusus di luar jam pelajaran yang dapat dilakukan di sekolah maupun di luar sekolah. Metode ini dilakukan apabila guru mengharapkan pengetahuan yang diterima siswa lebih mantap dan mengaktifkan mereka dalam mencari atau mempelajari suatu masalah dengan lebih banyak membaca, mengerjakan suatu secara langsung (Basyirudin, 2002:47). Menurut Purwanto (2003:110) bahwa metode pemberian tugas ini cocok digunakan bilamana ditujukan untuk mendapatkan keterampilan khusus dalam mengerjakan sesuatu,dan untuk memantapkan pengetahuan yang telah diterima oleh para siswa. Berdasarkan teori di atas maka dapat dsimpulkan bahwa metode pemberian tugas adalah metode penyajian bahan dimana guru memberikan tugas tertentu kepada siswa untuk melakukan kegiatan belajar. Masalahnya tugas yang dilaksanakan siswa dapat di dalam kelas, di halaman sekolah, di laboratorium, di perpustakaan, di bengkel, di rumah siswa atau dimana saja, asal tugas itu dapat dikerjakan Para guru dapat membantu siswa untuk melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan metode pemberian menurut Slameto (2000:16) dapat dilakukan dengan memperhatikan enam hal berikut. a. Buatlah tugas-tugas secara langsung releven dengan pelajaran atau unit yang dilaksanakan dikelas. Maka tidak akan terjadi salah pengertian mengenai pentingnya tugas tersebut. b. Berikan tugas-tugas yang jelas dan memerlukan kecakapan dan pengetahuan yang ada dalam kemampuan siswa. Sangat membuat frustrasi menuntut untuk menyelesaikan Pemberian tugas
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
263
dengan baik dan menjadi tidak mampu menyelesaikannya. Mencocokkan soal-soal metematika merupakan contoh klasik. Para orang tua kadang-kadang membantu anak-anak mereka dalam Pemberian tugas,namun, sebagaimana dinyatakan di awal, hanya cukup menjadi peran yang membantu. Juga, jaringan telepon kerjasama diantara siswa dapat berfungsi sebagai bantuan temporal dan diberi sangsi oleh guru. c. Berikan tugas-tugas yang menantang dan memberi stimulan. Guru hendaknya menjadi seseorang yang antusias mengenai siswa. d. Perhatikan kemampuan siswa bagi penyelesaian tugas. Tidak diragukan lagi, ini merupakan tempat dimana orang tua mestinya mendukung guru. “keretakan“ hubungan orang tua-guru dalam hal ini merupakan hal yang mematikan motifasi siswa. e. Berilah komentar atas tugas yang terselesakan, baik secara lisan maupun tulisan. Meskipun ini sangat menghabiskan waktu, ia memiliki pengaruh motifasional yang kuat bagi siswa karena ia mampu memberikan balasan „timbal balik‟ secara korektif, mengakui kualitas positif dalam pekerjaan siswa, menunjukan perhatian dan atensi yang sering kali tidak mampu diberikan dalam ruang kelas, dan meyakinkan pentingnya pekerjaan tersebut. f. Terangkan secara singkat kepada orang tua mengenai sistem penanganan Pemberian tugas Anda. Yakinkan bahwa mereka mengetahi jumlah Pemberian tugas yang anda berikan, fungsinya, dan waktu penugasan, dan harapanharapan atau permintaan yang memungkinkan atas dukungan orang tua, lingkungan dan kerjasama. Ini seringkali dapat disampikan dengan surat yang mana orang tua diminta untuk membaca dan mendatangani pada awal tahun sekolah.
264
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di SDN 77 Kota Tengah Kota Gorontalo yang beralamatkan di Jl. Prof John Aryo Katili Kel Paguyaman Kecamatan Kota Tengah Kota Gorontalo. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas II SDN 77 Kota Tengah yang berjumlah 22 orang yakni 16 orang laki-laki dan 6 orang perempuan. Sebagian besar siswa kelas II SDN 77 Kota Tengah berumur antara 7-8 tahun. Ditinjau dari latar belakang sosial ekonomi diketahui bahwa sebagian besar berasal dari keluarga ekonomi menengah ke bahwa dengan pekerjaan orang sebagai swasta, pedagang kecil, pengemudi bentor dan PNS. Tingkat kemampuan siswa untuk mendeskripsikan gambar tunggal melalui saat dilakukan evaluasi awal masih tergolong rendah. Adapun variabel dalam penelitian ini menggunakan yaitu : Variabel Input Variabel input dalam penelitian ini adalah suatu perilaku hasil belajar siswa berupa kemampuan siswa sebelum mendeskripsikan gambar tunggal dengan kata-kata sederhana melalui metode pemberian tugas kelas II SDN 77 Kota Tengah Kota Gorontalo. Variabel Proses Variabel proses dalam penelitian ini adalah implementasi metode pemberian tugas dalam meningkatkan kemampuan mendeskripsikan di kelas II SDN 77 Kota Tengah Kota Gorontalo.. Variabel Output 1) Peningkatan penguasaan guru dalam menggunakan metode pemberian tugas di kelas II SDN 77 Kota Tengah Kota Gorontalo. 2) Peningkatan kemampuan mendeskripsikan siswa melalui metode pemberian tugas setelah serangkaian tindakan pembelajaran dilaksanakan. Prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini melibatkan peneliti sebagai pengajar dan guru mitra sebagai observer dalam pelaksanaan
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
pembelajaran. Adapun prosedur penelitian yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut. Pada tahapan ini terlebih dahulu peneliti mempersiapkan beberapa hal berikut. a. Melakukan konsultasi dengan kepala sekolah dan guru kelas dalam hal pelaksanaan penelitian b. Menyusun silabus dan RPP c. Membuat skenario pembelajaran d. Menyediakan media pembelajaran e. Memilih metode pembelajaran yang akan digunakan f. Menyediakan format pengamatan terhadap kegiatan siswa untuk mendeskripsikan isi gambar Berdasarkan hasil tes yang dilakukan oleh peneliti pada siklus I dan siklus II tentang kemampuan mendeskripsikan gambar tunggal melalui metode pemberian tugas pada siswa kelas II SDN 77 Kota Tengah dapat dijelaskan bahwa setelah dilakukan penelitian tindakan kelas ternyata terjadi peningkatan kemampuan mendeskripsikan gambar tunggal yakni dari 10 orang siswa (45.45%) yang mampu, meningkat menjadi 15 siswa (68,18%) yang mampu. Capaian tindakan kelas pada siklus I belum mencapai indikator kinerja, untuk mengantisipai hal tersebut peneliti melakukan beberapa hal seperti: a. Meningkatkan penguasaan kelas, mengefektifkan waktu belajar b. Meningkatkan kemampuan mengajar agar siswa lebih respon c. Menggunaan media pembelajaran yang lebih tepat seperi gambar di komputer d. Menggunakan bahasa lisan dan bahasa tulis Langkah-langkah ini diupayakan semaksimal mungkin agar dapat mengatasi kendala atau kelemahankelemahan pada siklus sebelumnya. Selain itu dari hasil pengamatan kegiatan yang dilaksanakan guru, dari 24 langkah pembelajaran yang diamati
ternyata semuanya sudah dapat dilaksanakan dengan baik oleh guru. HASIL PENELITIAN Setelah dilaksanakan siklus II, kemampuan siswa mendeskripsikan gambar tunggal pada siswa kelas II SDN 77 Kota Tengah meningkat lagi dan mencapai 19 orang (86.36%). Hasil capaian tindakan kelas siklus II ini merupakan akhir dari pelaksanaan tindakan kelas sebab sudah mencapai indikator kinerja yang ditetapkan yakni minimal 17 siswa (75%) yang mampu mendeskripsikan gambar tunggal sedangkan yanng tidak mampu sebanyak sebanyak 3 orang atau 13.64% ketidakmampuan siswa ini disebabkan karena siswa pada saat proses pembelajaran berlangsung lebih banyak bercanda dengan temannya dibanding memperhatikan apa yang disampaikan oleh guru terkait dengan pembelajaran mendeskripsikan gambar tunggal dengan kata-kata sederhana. Sehubungan dengan hal tersebut maka hipotesis yang menyatakan bahwa ”jika guru menggunakan metode pemberian tugas, kemampuan mendeskripsikan gambar tunggal pada siswa kelas II SDN 77 Kota Tengah Kota Gorontalo akan meningkat” dapat diterima. SIMPULAN Berdasarkan hasil kesimpulan, maka peneliti dapat memberikan beberapa saran berikut. a. Guru dapat menggunakan metode pemberian tugas untuk memecahkan masalah pembelajaran di kelas khususnya tentang rendahnya kemampuan mendeskripsikan gambar tunggal dengan kata-kata sederhana pada siswa kelas II SDN 77 Kota Tengah Kota Gorontalo. b. Siswa sebaiknya lebih respon dan aktif dalam kegiatan pembelajaran sehingga kemampuan untuk mendeskripsikan gambar tunggal dengan kata-kata sederhana lebih meningkat lagi.
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
265
DAFTAR PUSTAKA Anitah. 2009. Media Gambar Tunggal. Diakses dari http://media.gambar.tunggal. co.id diakses tanggal 12 Desember 2012 Basyiruddin Usman. 2002. Metode Pembelajaran. Jakarta: Ciputat Pers Daryanto. 2003. Media Visual. http://pengaruh_penggunaan_me dia_visual.co.id diakses tanggal 23 Januari 2017. Djamarah Bahri Syaiful dan Zain Anwar. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta. Hardiani Isriani dan Puspitasari Dewi. Strategi Pembelajaran 9Teori Konsep &Implemntasi. Yogyakarta: Familia. Hamid, Sholeh Moh. 2013. Metode Edu Tainment. Yogyakarta: Diva Press. Ibrahim dan Syaodih Nana. 2010. Perencanaan Pengajaran. Jakarta Rineka Cipta.
266
Kresna Katili. 2011. Meningkatkan Kemampuan Berbicara Melalui Media Gambar Tunggal Pada Siswa Kelas I SDN No. 7 Kota Barat Kota Gorontalo. Skripsi. Universitas Negeri Gorontalo Liang. Gie. 2005. Pembelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga Nana, S. Syaodih. 2001. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta Purwanto, Ngalim. 2003. Metode Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya Slameto. 2002. Metode Pembelajaran. Jakarta: Pustaka Jaya Suparno., Yunus Mohammad. 2008. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: Universitas Terbuka Yusewarsih Endang . 2011. Peningkatan Kemampuan Mendeskripsikan Gambar Tunggal Melalui Metode Pemberian Tugas Pada Siswa Kelas I SDN Dengkol 01 Singosari. Skripsi.
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
MENINGKATKAN GERAK DASAR MENDRIBBLE DALAM PERMAINAN BOLA BASKET MELALUI METODE KOOPERATIFE TIPE STAD SISWA KELAS V SDN NO. 77 KOTA TENGAH KOTA GORONTALO Risna Abdullah Abstrak Masalah dalam penelitian ini adalah kurangnya penguasaan gerak dasar mendribble, kurangnya fasilitas seperti lapangan basket masih belum terdapat di sekolah serta penggunaan metode pembelajaran yang masih kurang efektif.. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan gerak dasar mendribble dalam permainan bola basket pada siswa kelas V di SDN No. 77 Kota Tengah, Kota Gorontalo melalui metode kooperatif tipe STAD. Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh peneliti bahwa terjadi peningkatan rata-rata keterampilan mendribble bola yakni ; pada observasi awal rata-rata kemampuan siswa dalam mendribble bola mencapai 59,58. Setelah di adakan tindakan siklus satu terjadi peningkatan mencapai 9,59 menjadi 69,17. Namun pada nilai capaian dalam siklus satu ini belum memenuhi indikator kinerja. Pada tindakan siklus satu ini juga belum mencapai indikator kinerja. Maka dilanjutkan lagi dengan tindakan siklus dua dan peroleh hasil capaian 80,42 atau terjadi peningkatan sebesar 11,25. Dengan demikian rata-rata peningkatan dari observasi awal sampai siklus dua sebesar 20,84. Adanya peningkatan keterampilan mendribble bola dalam setiap siklusnya yakni rata-rata 25% dengan demikian hipotesis yang berbunyi “terjadi peningkatan keterampilan mendribble bola dalam permainan bola basket melalui strategi kelompok pada kelas V SDN No. 77 Kota Tengah” dapat terbukti. Kata Kunci: Mendribble bola, bola basket, modifikasi media pembelajaran PENDAHULUAN Pendidikan jasmani pada dasarnya merupakan bagian integral dari sistem pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kesehatan, kebugaran jasmani, keterampilan berpikir kritis, stabilitas emosional, keterampilan sosial, penalaran dan tindakan moral melalui aktivitas jasmani dan olahraga. Peranan pendidikan jasmani di sekolah dasar cukup unik, karena turut mengembangkan dasardasar keterampilan yang diperlukan anak untuk mengawasi berbagai berbagai keterampilan dalam kehidupan dikemudian hari. Karena pada usia SD tingkat pertumbuhan sedang lambatlambatnya, maka pada usia-usia inilah kesempatan anak untuk mempelajari keterampilan gerak sedang tiba pada masa kritisnya. Pembelajaran jasmani olahraga dan kesehatan yang sesuai dengan perkembangan anak didik dan pelaksanaannya dilakukan secara baik dan secara sistematis, maka akan
diperoleh hasil yang signifikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan siswa, baik jasmani dan rohani. Hal ini dimaksudkan untuk menyiapkan siswa secara fisiologi, baik meningkatkan kemampuan kebugaran jasmani dan rohani maupun membantu anak didik dalam mengembangkan kepribadiannya yang pada gilirannya akan tercipta generasi-generasi yang tanguh dimasa yang akan datang kelak. Di sekolah-sekolah, permainan bola basket dimasukkan dalam satu mata pelajaran pokok bahkan masuk dalam tiap even-even olahraga permainan tingkat pelajar. Khususnya di sekolah-sekolah Gorontalo, hampir setiap sekolah terdapat lapangan bola basket, dan juga permainan bola basket merupakan permainan yang tidak sedikit peminatnya. Namun di sekolah SDN No. 77 Kota Tengah belum terdapat lapangan basket, sehingga pada saat melakukan pembelajaran penjas dengan materi bola basket, para siswa sering kali tidak dapat melakukan dribble, baik dribble di
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
267
tempat maupun berjalan. Bahkan pada saat observasi awal dilakukan, terlihat para siswa terutama kelas V belum mahir dalam melakukan teknik dasar dalam permainan bola basket, khususnya gerakan mendribble. Sementara dribble merupakan suatu gerakan membawa bola menuju ke depan daerah lawan. Berdasarkan keterangan di atas, jelas bahwa gerak dasar siswa dalam permainan bola basket di SDN No. 77 Kota Tengah perlu ditingkatkan. Dilihat jumlah siswa 20 orang kelas V yang terdiri dari lakilaki 10 orang dan perempuan 10 orang. Yang tergolong pada klasifikasi (B) baik ada 2 orang (PA/PI) persentase 10%, yang tergolong pada klasifikasi (C) cukup ada 6 orang (PA/PI) persentase 30%, dan yang tergolong pada klasifikasi (K) kurang sebanyak 12 orang (PA/PI) persentase 60%. Dan untuk rata-rata nilai tiap aspek yakni : a. Sikap awal, b. Pelaksanaan gerak. c. sikap akhir. Hal ini menjadi kekhawatiran guru penjaskes dimana kurangnya fasilitas seperti lapangan sehingga mempengaruhi gerak dasar siswa dalam melakukan gerakan mendribble pada permainan bola basket. Dengan permasalahan tersebut penulis ingin menerapkan sebuah metode pembelajaran yang dapat meningkatkan gerak dasar mendribble, yakni metode kooperatif tipe STAD. Dengan melihat permasalahan yang ditemui maka dalam penelitian ini penulis berkeinginan menerapkan metode kooperatif tipe STAD untuk meningkatkan gerak dasar mendribble dalam permainan bola basket pada siswa kelas V di SDN No. 77 Kota Tengah Kota Gorontalo. Dari latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahan yang nantinya akan dibahas dalam penelitian ini, yakni : kurangnya penguasaan gerak dasar mendribble, kurangnya fasilitas seperti lapangan basket masih belum terdapat di sekolah serta penggunaan metode pembelajaran yang masih kurang efektif. Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam
268
penelitian ini yakni sebagai berikut: apakah metode kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan gerak dasar mendribble dalam permainan bola basket pada siswa kelas V di SDN No. 77 Kota Tengah Kota Gorontalo? Masalah kurangnya gerak dasar mendribble dalam permainan bola basket pada siswa kelas V di SDN No. 77 Kota Tengah Kota Gorontalo dapat dipecahkan melalui metode kooperatif tipe STAD dengan langkah-langkah sebagai berikut : a) Guru menyuruh peserta didik membentuk kelompok yang anggotanya sebanyak 4 orang secara heterogen b) Guru menyajikan pelajaran dribble dalam permainan bola basket c) Guru memberikan tugas kepada kelompok untuk dikerjakan anggota-anggota kelompok. Anggotanya tahu menjelaskan cara melakukan dribble dalam permainan bola basket pada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti. d) Guru memberikan tantangan kepada seluruh siswa untuk melakukan gerakan mendribble dalam permainan bola basketi. Pada saat siswa melakukan gerakan tidak boleh saling membantu. e) Setelah selesai guru memberikan evaluasi. f) Kemudian menyimpulkan tentang pembelajaran dribble dalam permainan bola basket Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan gerak dasar mendribble dalam permainan bola basket pada siswa kelas V di SDN No. 77 Kota Tengah, Kota Gorontalo melalui metode kooperatif tipe STAD. Manfaat yang diperoleh dalam penelitian tindakan kelas kali ini, adalah : a. Bagi siswa : (1) agar dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai bahan untuk dapat mengatasi kekurangmampuan dalam melakukan gerak dasar mendribble. (2) hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi motivasi dalam proses belajar
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
mengajar sehingga hasil belajar yang baik dapat dicapai. b. Bagi guru : Memberikan tambahan pengetahuan yang dapat menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam kegiatan pembelajaran serta untuk menjadi motivasi untuk lebih jeli dan kreatif melaksanakan tugas pembelajaran. c. Bagi sekolah : (1) Memberi sumbangan yang berarti dan pengajaran tempat meneliti dalam upaya pengembangan minat dan bakat serta penggunaan metode pembelajaran yang efektif dan efisien. (2) Dapat memberikan tambahan pemahaman dalam menghadapi permasalahan dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) d. Bagi peneliti selanjutnya : (1) Sebagai bahan pedoman dalam penerapan metode pembelajaran selanjutnya. (2) Dapat memberikan tambahan pengetahuan dan kesimpulan dari penelitian tersebut. Belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada diri setiap orang sepanjang hidupnya. Proses belajar itu terjadi karena adanya interaksi antara seseorang dengan lingkungannya. Oleh karena itu, belajar dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Yamin (2012:96) bahwa belajar merupakan proses orang memperoleh kecakapan, keterampilan, dan sikap. Belajar dimulai dari masa kecil sampai akhir hayat seseorang. Rasullah SAW., menyatakan dalam salah satu hadistnya bahwa manusia harus belajar sejak dari ayunan hingga liang lahat. Orang tua wajib membelajarkan anak-anaknya agar kelak dewasa ia mampu hidup mandiri dan mengembangkan dirinya, demikian juga sebuah sya‟ir Islam dalam baitnya berbunyi ; “belajar sewaktu kecil ibarat menulis di atas batu”. Pengertian belajar juga dikemukakan oleh Sagala (2013:39) yakni proses terbentuknya tingkah laku baru yang disebabkan oleh individu merespon lingkungannya, melalui pengalaman pribadi yang tidak termasuk kematangan, pertumbuhan atau instink.
Belajar sebagai proses akan terarah kepada tercapainya tujuan (goal oriented) dari pihak siswa maupun dari pihak guru. Tujuan itu dapat diidentifikasi dan dapat diarahkan sesuai dengan maksud pendidikan. Belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada diri setiap orang sepanjang hidupnya. Selanjutnya menurut Arsyad (2013:1) proses belajar itu terjadi karena adanya interaksi antara seseorang dengan lingkungannya. Oleh karena itu, belajar dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Salah satu pertanda bahwa seseorang itu telah belajar adalah adanya perubahan tingkah laku pada diri orang itu yang mungkin disebabkan oleh terjadinya perubahan pada tingkat pengetahuan, keterampilan, atau sikapnya. Kemudian menurut Sagala (2013:38) bahwa prinsip tentang belajar mengacu pada proses: (1) belajar tidak hanya sekedar menghafal, siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri; (2) anak belajar dari mengalami, anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru; (3) para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang suatu persoalan (subject matter); (4) pengetahuan tidak bisa dipisahpisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang menyikapi situasi baru; (6) siswa perlu dibiasakan memcahkan masalah menemukan sesuatu yang berguana bagi dirinya, dan bergelut dengan ideide; (7) proses belajar dapat merubah struktur otak, perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang. Berikut adalah prinsip-prinsip belajar: pertama, prinsip belajar adalah perubahan perilaku. Perubahan perilaku sebagai hasil belajar memiliki ciri-ciri: (1) sebagai hasil tindakan yang rasional instrumental yaitu perubahan yang disadari, (2) kontinu atau berkesinambungan dengan perilaku lainnya, (3) fungsional atau bermanfaat
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
269
sebagai bekal hidup, (4) positif atau berakumulasi, (5) aktif atau sebagai usaha yang direncanakan dan dilakukan, (6) permanen atau tetap, sebagaimana dikatakan oleh Witting, belajar sebagai any relatively permanent change in an organism‟s behavioral reperoire that occurs as a result of experience, (7) bertujuan dan terarah, (8) mencakup keseluruhan potensi kemanusiaan. Kedua, belajar merupakan proses. Belajar terjadi karena didorong kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai. Belajar proses sistemik yang dinamis, konstruktif, dan organik. Belajar merupakan kesatuan fungsional dari berbagai komponen belajar. Ketiga, belajar merupakan bentuk pengalaman. Pengalaman pada dasarnya adalah hasil dari interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya. Suprijono (2013:4-5). Selain itu terdapat 8 prinsip yang dikemukakan oleh Rothwel dalam Rosdiani (2013:76) diantaranya: (1) prinsip kesiapan (Redadiness), prinsip ini memberikan gambaran adanya kesiapan individu dalam menerima pelayanan. Kesiapan ini dimaksudkan kematangan fisik, intelegensi, latar belakang, pengalaman dan hasil belajar yang lalu, (2) prinsip perpesi, pandangan ini mengasumsikan bahwa seseorang cenderung untuk percaya sesuai dengan bagaimana cara memahami situasi. Situasi dalam hal ini persepsi dalam proses pembelajaran, (3) prinsip tujuan, (4) prinsip transfer dan retensi, (5) prinsip belajar kognitif, (6) prinsip belajar efektif, (7) prinsip belajar psikomotor, (8)prinsip evaluasi. Jadi dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses terbentuknya tingkah laku baru yang disebabkan oleh individu merespon lingkungannya, melalui pengalaman pribadi yang tidak termasuk kematangan, pertumbuhan atau instink dan sebagai suatu proses yang kompleks yang terjadi pada diri setiap orang sepanjang hidupnya. Model pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang dilakukan dengan cara meningkatkan aktivitas belajar bersama sejumlah peserta didik dalam satu kelompok. Guru tidak hanya memberikan
270
pengetahuan pada siswa, tetapi juga harus membangun pengetahuan dalam pikirannya. Siswa mempuanyai kesempatan untuk mendapatkan pengalaman langsung dalam menerapkan ide-ide mereka, ini merupakan kesempatan bagi siswa untuk menemukan dan menerapkan ideide mereka sendiri. Dilanjutkan dengan pernyataan Sani (2013:131) yang mengemukakan bahwa model pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang dilakukan dengan cara meningkatkan aktivitas belajar bersama sejumlah peserta didik dalam satu kelompok. Aktifitas pembelajaran kooperatif menekankan pada kesadaran peserta untuk saling membantu mencari dan mengolah informasi, mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan. Tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah melatih keterampilan sosial seperti tenggang rasa, bersikap sopan pada teman, mengkriti ide orang lain, berani mempertahankan pikiran yang logis, dan berbagai keterampilan yang bermanfaat untuk menjalin hubungan interpersonal. Dalam model pembelajaran kooperatif ini, guru lebih berperan sebagai fasilitator yang berfungsi sebagai jembatan penghubung kearah pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri. Guru tidak hanya memberikan pengetahuan pada siswa, tetapi juga harus membangun pengetahuan dalam pikirannya. Siswa mempuanyai kesempatan untuk mendapatkan pengalaman langsung dalam menerapkan ide-ide mereka, ini merupakan kesempatan bagi siswa untuk menemukan dan menerapkan ideide mereka sendiri. (Rusman, 2013:201202) Pembelajaran kooperatif dikembangkan oleh Slavin (2013:5) bahwa para pendidik dan ilmuan sosial telah lama mengetahui pengaruh yang merusak dari persaingan yang sering digunakan didalam kelas. Itu sebabnya pada pembelajaran ini para siswa disarankan untuk tidak saling menjatuhkan, melainkan para siswa dibelajarkan untuk saling membantu satu sama lain.
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
Sama halnya dengan teori yang dikemukakan menurut Suprijono (2013:54) bahwa pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. Secara umum pembelajaran kooperatif dianggap lebih diarahkan oleh guru, dimana guru menetapkan tugas dan pertanyaan-pertanyaan serta menyediakan bahan-bahan dan informasi yang dirancang untuk membantu peserta didik menyelesaikan masalah yang dimaksud. Guru biasanya menetapkan bentuk ujian tertentu pada akhir tugas. Setelah itu, Isjoni (2013:20) mengemukakan pernyataannya bahwa beberapa ciri dari cooperative learning (pembelajaran kelompok) yakni : setiap anggota memiliki peran, terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa, setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya, guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok, dan guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan. Jadi, model pembelajaran kooperatif merupakan metode atau strategi dalam pembelajaran yang sangat efektif dan menyenangkan dalam memacu prestasi peserta didik, bukan hanya secara individual melainkan secara keseluruhan dan apabila diterapan pada pembelajaran olahraga maka para siswa akan lebih bersemangat karena pembelajaran tidak memfokuskan pada yang bisa melakukan pembelajaran olahraga melainkan lebih fokus pada peningkatan keseluruhan siswa. Tipe STAD merupakan salah satu tipe kooperatif yang menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. STAD menurut Slavin (2014:143) merupakan salah satu metode pembelajaran kooperatif yang paling sederhana, dan merupakan model yang paling baik untuk permulaan bagi para
guru yang baru menggunakan pendekatan kooperatif. Menurut Sani (2013:133-134) bahwa pembelajaran tipe STAD ini dimulai dengan penyampaian materi pelajaran, biasanya secara ceramah-diskusi. Peserta didik harus mengetahui apa yang akan dipelajari dan kenapa hal tersebut penting untuk dipelajari. Setiap kelompok diberi tugas dan semua peserta didik harus menguasai materi yang diberikan karena akan berkontribusi terhadap nilai kelompok. apabila ada anggota yang belum kompeten, anggota kelompok yang lain harus berusaha untuk membantunya sampai semua anggota benar-benar menguasai materi yang dipelajari. Menurut Aqib (2013:20) bahwa Model STAD atau Tim Siswa Kelompok Prestasi diperkenalkan oleh Slavin. Model pembelajaran ini merupakan salah satu model yang sederhana. Menurut Uno dan Mohamad (2012:107-108) bahwa seperti halnya pembelajaran lain, model pembelajaran kooperatife tipe STAD membutuhkan persiapan yang mantap sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan, yakni : a) perangkat pembelajaran, b) membentuk kelompok kooperatif, c) menentukan skor awal, d) pengaturan tempat duduk, dan e) kerja kelompok. Tipe STAD dikembangkan oleh Slavin, dan merupakan salah satu tipe kooperatif yang menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal, Isjoni (2013:51). Menurut Suprijono (2013:133134) bahwa langkah-langkah student team achievement division, yakni sebagai berikut. 1. Membentuk kelompok yang anggotanya = 4 orang secara heterogen (campuran menurut prestasi, jenis kelamin, suku, dan lain-lain). 2. Guru menyajikan pelajaran 3. Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota-anggota kelompok. Anggotanya yang sudah
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
271
mengerti dapat menjelaskan pada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti. 4. Guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis tidak boleh saling membantu 5. Memberi evaluasi 6. Kesimpulan Prosedur pembelajaran STAD mengikuti langkah-langkah dinyatakan oleh Sani (2013:134) bahwa sebagai berikut. 1) Bentuk kelompok yang anggotanya terdiri atas 4 sampai 5 orang secara heterogen. 2) Guru menyajikan pelajaran 3) Guru memberikan tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota-anggota kelompok. Anggotanya yang sudah paham dapat menjelaskan pada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu paham. 4) Guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis, para siswa tidak diperbolehkan saling membantu 5) Guru memberikan evaluasi 6) Guru memberikan penghargaan Jadi dapat disimpulkan bahwa tipe STAD merupakan salah satu tipe kooperatif yang menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal METODE PENELITIAN Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri No. 77 Kota Tengah, Kota Gorontalo.Yang menjadi subjek penelitian tindakan kelas ini adalah siswa kelas V SDN No. 77 Kota Tengah dengan jumlah siswa sebanyak 20 orang terdiri dari 10 orang laki-laki dan 10 orang perempuan dengan tingkat kemampuan yang berbeda-beda dan ekonomi orang tua juga berbeda-beda pula.
272
Variabel input yaitu meliputi kegiatan guru merencanakan pembelajaran serta persiapan diri siswa untuk mengikuti pembelajaran guna meningkatkan gerak dasar menribble dalam permainan bola basket. Pelaksanaan dalam pembelajaran yaitu a) menyiapkan perangkat pembelajaran yang meliputi :bahan ajar, LKS, media, serta rubrik penilaian. b) Berkonsultasi dengan guru mitra. c) Menyiapkan peralatan yang dibutuhkan pada permainan bola basket. d) Mengumpulkan siswa yang berbaris. e) Menjelaskan hal-hal yang harus di perhatikan dalam gerak dasar mendribble bola dalam permainan bola basket. f) Menerangkan teknik-teknik yang dapat dilakukan dalam mendribble bola. Variabel proses yaitu meliputi segala kegiatan guru didalam melaksanakan proses pembelajaran yang lebih di rencanakan serta aktivitas siswa yang di laksanakan selama proses pembelajaran meningkatkan gerak dasar mendribble dalam permainan bola basket. Adapun yang menjadi variabel dalam Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini adalah gerak dasar mendribble dalam permainan bola basket pada siswa kelas V SDN No. 77 Kota Tengah yang di ukur dengan indikator sebagai berikut: a. Pegang bola berdiri dan kaki kiri agak ke depan, b. Condongkan badan ke depan mulai dari pinggang, c. Pantulan bola dilakukan oleh jari-jari dan pergelangan tangan dengan satu tangan. Wisahati dan Sentosa (2010:20) Variabel output yaitu daya serap atau hasil belajar siswa pada metode pembelajaran yang di wujudkan dalam bentuk perolehan skor melalui praktek gerak dasar mendribble dalam permainan bola basket yakni metode kooperatif tipe STAD. Adapun hal-hal yang dilakukan pada persiapan ini adalah : a) Menghubungi kepala sekolah guna memperoleh ijin dan restu untuk melaksanakan kegiatan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini sekaligus berkonsultasi tentang guru yang akan menjadi mitra kerja.
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
b)
Mendiskusikan rencana kegiatan yang akan dilakukan bersama kepala sekolah dan mitra. c) Melakukan observasi awal terhadap objek penelitian. d) Merancang lembar pemantauan pelaksanaan tindakan dan evaluasi. e) Mempersiapkan administrasi Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) antara lain Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan fasilitas pembelajaran. Dalam tahap pelaksanaan pelaksanaan tindakan ini, penulis bekerja sama dengan guru mitra dalam melaksanakan kegiatan sesuai dengan pola kegiatan yang direncanakan dengan menggunakan persiapan pembelajaran yang harus dilakukan guru dalam mengajarkan teknik mengajar atau metode pelaksanaan tindakan dengan menggunakan tindakan observasi yang telah disediakan untuk mengetahui dan mengumpulkan data mengenai segala sesuatu yang terjadi saat proses pelaksanaan kegiatan dengan menitikberatkan pada penguasaan siswa terhadap gerak dasar mendribble dalam permainan bola basket. Pada tahap ini penelitian dibantu oleh anggota tim peneliti untuk mengamati pelaksanaan tindakan dengan menggunakan lembaran pengamatan yang telah dibuat, pengamat melakukan pemantauan terhadap peningkatan gerak dasar mendribble dalam permainan bola basket. Data yang telah diperoleh dari observasi dan evaluasi dianalisis secara deskripsi dan diadakan refleksi untuk mengetahui apakah kegiatan yang telah dilakukan dapat meningkatkan gerak dasar mendribble dalam permainan bola basket. Disamping itu, hasil kegiatan tersebut dapat dijadikan umpan balik bagi siswa sekaligus bagi guru untuk menjadi acuan bagi perencanaan siklus berikutnya. Adapun teknik yang digunakan dalam pengumpulan data sebagai berikut. a) Tes : dalam penelitian ini, tes digunakan untuk pengambilan data mengenai hasil penilaian gerak dasar mendribble dalam permainan bola
basket yang meliputi aspek-aspek tertentu, antara lain : a. Pegang bola berdiri dan kaki kiri agak ke depan, b. Condongkan badan ke depan mulai dari pinggang. c. Pantulan bola dilakukan oleh jari-jari dan pergelangan tangan dengan satu tangan. Wisahati dan Sentosa (2010:20) b) Dokumentasi : dokumentasi digunakan untuk membuktikan data yang diperoleh selama pelaksanaan penelitian. Teknik analisis data dilakukan berdasarkan analisis dimulai dengan mempelajari seluruh data yang ada. Data tersebut direnungkan kembali berdasarkan masalah-masalah yang diteliti dan selanjutnya disusun dalam satuan-satuan dan kategorisasi. Proses analisis data dilakukan sejak awal penelitian sampai pada proses pengumpulan data selesai. Data gerak dasar mendribble dalam permainan bola basket, diambil melalui tes akhir siklus, kemudian di analisis untuk mencari data-data dan ketuntasan belajar siswa baik secara individu maupun klasikal. Selanjutnya, dari data tersebut disesuaikan pada kriteria ketuntasan belajar yang telah ditetapkan pada indikator kinerja pada penelitian ini. Hasil analisis data diharapkan terjadinya peningkatan hasil belajar dan jika ternyata hasil pada siklus pertama belum sesuai dengan apa yang diharapkan telah ditetapkan pada indicator kinerja, maka akan dilanjutkan pada siklus selanjutnya. Siklus dapat dihentikan apabila hasil belajar siswa telah mencapai kriteria ketuntasan, baik secara individu maupun klasikal. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Tujuan pembelajaran adalah untuk membawa perubahan pada pola pikir (kognitif), pola sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotor) siswa ke arah yang lebih baik. Untuk mencapai tujuan itu, maka guru sebagai pelaku utama harus melakukan langkah-langkah strategi untuk mencapai tujuan tersebut. Salah satu langkah harus diperhatikan
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
273
guru dalam proses pembelajaran adalah memilih strategi mengajar yang sesuai dengan materi yang akan diajarkan. Pada pembelajaran materi permainan bola basket khususnya mengenai peningkatan keterampilan mendribble bola, strategi yang cocok untuk diterapkan adalah metode kooperatif tipe STAD. Implementasi metode kooperatif tipe STAD dalam peningkatan keterampilan mendribble bola adalah dilakukan dengan cara guru menjelaskan, memperagakan dan memberikan tugas tentang posisi tangan saat berkenaan dengan bola, posisi badan saat mendribble bola dan posisi kaki saat mendribble bola serta gerakan lanjutan. Kemudian siswa yang memiliki kemampuan mendribble bola dapat diikuti oleh teman-temannya, sehingga memberikan peluang besar bagi temanteman yang lain untuk belajar dari guru mata pelajaran maupun melalui
temannya tersebut. Dengan demikian akan mengakibatkan peningkatan keterampilan siswa dalam mendribble bola pada permainan bola basket. Melalui metode kooperatif tipe STAD ini terbukti dapat meningkatkan keterampilan siswa dalam mendribble bola pada permainan bola basket. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh data sebagai berikut ; pada observasi awal rata-rata kemampuan siswa dalam mendribble bola mencapai 60,42. Setelah di adakan tindakan siklus satu terjadi peningkatan mencapai 10,41 menjadi 70,83. Namun pada nilai capaian dalam siklus satu ini belum memenuhi indicator kinerja. Pada tindakan siklus satu ini juga belum mencapai indicator kinerja. Maka dilanjutkan lagi dengan tindakan siklus dua dan peroleh hasil capaian 81,67 atau terjadi peningkatan 10,84.
Tabel 4. Selisih antara data observasi awal, Siklus I dan siklus II. KEBERHASILAN NILAI RATA BELUM NO SIKLUS MAMPU MAM RATA PU Observasi 1 60,42 15% 85% Awal 2 Siklus I 70,83 35% 65% 3 Siklus II 81,67 100% -
Berdasarkan hasil capaian di atas terlihat jelas bahwa terjadi peningkatan keterampilan siswa dalam mendribble bola, baik dari hasil observasi awal, siklus satu, dan siklus dua. Pada siklus dua hasil yang dicapai adalah 81,67 sudah memenuhi indikator kinerja yakni 80%. Dengan demikian hipotesis yang berbunyi “terjadi peningkatan keterampilan mendribble bola pada permainan bola basket melalui metode kooperatif tipe STAD pada siswa kelas V di SDN No. 77 Kota Tengah” diterima. SIMPULAN Berdasarkan hasil Penelitian Tindakan Kelas ( PTK ) ini yang telah diuraikan di atas, maka dikemukakan saran sebagai berikut :
274
a) Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam proses pembelajaran khususnya mata pelajaran Penjasorkes, maka perlu seorang guru harus bisa memilih strategi pembelajaran yang sesuai dengan materi yang akan diajarkan. b) Seorang guru Penjasorkes harus banyak menguasai strategi pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran yakni perubahan pada pola pikir (kognitif), pola sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotor) dapat tercapai secara efektif dan efisien. c) Perlu guru memilih metode kooperatif tipe STAD sebagai salah satu elternatif yang harus diterapkan oleh seorang guru Penjasorkes dalam meningkatkan keterampilan
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
pembelajaran Penjasorkes khususnya pada peningkatan keterampilan mendribble bola pada permainan bola basket. DAFTAR PUSTAKA Aqib Zainal. 2013. Model-Model, Media, Dan Strategi Pembelajaran Kontekstual (Inovatif). Bandung : Yrama Widya Arsyad, Azhar. 2013. Media Pembelajaran. Jakarta : RajaGrafindo Persada Chandra, Sodikin Dan Achmad Esnoe Sanoesi. 2010. Pendidikan Jasmani Olahraga Dan Kesehatan VII. Jakarta : Pusbuk, Kemdiknas. Husdarta JS. Dan Yudha M. Saputra. 2013. Belajar dan Pembelajaran. Pendidikan Jasmani dan Kesehatan.Bandung : Alfabet Isjoni. 2013. Cooperative Learning. Bandung : ALFEBET Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Buku Guru Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan. Untuk SMP/MTs Kelas VII. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kurniadi, Deni dan Suro Prapanca. 2010. Pendidikan Jasmani Olahraga Dan Kesehatan SD VI. Jakarta : Pusbuk, Kemdiknas. Mashar Mohammad Ali, dan Dwinarhayu. 2010. Pendidikan Jasmani Olahraga Dan Kesehatan SMP IX 3. Jakarta : Pusat Perbukuan, Kementrian Pendidikan Nasional. Rosdiani Dini. 2013. Model Pembelajaran Langsung dalam Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Bandung : Alfabet Rusman. 2013. Model-Model Pembelajaran (Mengembangkan Profesional Guru) Edisi Kedua. Jakarta : Rajawali Pers.
Sagala Syaiful. 2013. Konsep Dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta Sani Ridwan Abdullah. 2013. Inovasi Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara Sarjana, Atmaja Budi dan Bambang Trijono Joko Sunarto. 2010. Pendidikan Jasmani, Kesehatan Dan Keolahragaan SMP IX. Jakarta : Pusat perbukuan Kementrian Pendidikan Nasional Sarjono dan Sumarjo. 2010. Pendidikan Jasmani Olahraga Dan Kesehatan SMP IX. Jakarta : Pusbuk, Kemdiknas. Slavin, Robert E. 2013. Cooperative Learning. Bandung : NUSAMEDIA Suprijono, Agus. 2013. Cooperative Learning. Yogyakarta : PUSTAKA PELAJAR. Sutrisno, Budi dan Muhammad Bazin Khafadi. 2010.Pendidikan Jasmani Olahraga Dan Kesehatan 3 SMP IX. Jakarta : Pusbuk, Kemdiknas. Uno Hamzah B., dan Nurdin Mohamad. 2012. Belajar Dengan Pendekatan PAILKEM. Jakarta : Bumi Aksara. Wahyuni, Sri Dkk. 2010. Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan 2 SMP VIII. Jakarta : Pusbuk, Kemdiknas. ------------------------. 2010. Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan 3 SMP IX. Jakarta : Pusbuk, Kemdiknas. Wisahati, Aan Sunjata dan Teguh Santosa. 2010. Pendidikan Jasmani Olahraga Dan Kesehatan. Jakarta : Pusat Perbukuan, Kementrian Pendidikan Nasional. Yamin Martinis. 2012. Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi. Ciputat : Referensi (GP Press Group)
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
275
276
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
TINJAUAN SOSIO-YURIDIS PENGHUNI RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA (RUSUNAWA) Candra Cuga Universitas Negeri Gorontalo
[email protected] Abstrak Pembangunan perumahan Rusunawa kec. Mariso kota Makassar untuk masyarakat kota saat ini, tentu selain memiliki dampak positif dapat pula menimbulkan dampak negatif bagi penataan ruang kota begitupula bagi penghuni itu sendiri. Tentu banyak aspek yang harus ditinjau dari pembangunan Rumah Susun tersebut, termasuk aspek sosio-yuridisnya. Rumah Susun dalam bentuk bagaimana pun bukan masalah, tetapi Rumah Susun sebagai tempat hunian masyarakat punya masalah sosial, ekonomi, dan budaya serta norma hukum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adaptasi sosial penghuni, dan bagaimana persepsi, pemahaman dan pelaksanaan aturan hunian Rusunawa. Jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif, dengan populasi sebanyak 288 kepala keluarga kemudian menggunakan teknik random sampling untuk menentukan sampel yakni 15% sehingga 43 responden. Semua data diperoleh dengan menggunakan teknik observasi, angket, wawancara dan dokumentasi, serta menggunakan analisis deskriptif dan tabulasi data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adaptasi sosial penghuni cenderung lebih lama dibandingkan dengan adaptasi fisik bangunan. Penghuni sudah mampu melakukan komunuikasi dengan baik dan telah melakukan kerjasama dengan sesama penghuni dalam menjaga kebersihan lingkungan Rusunawa sebagaimana gaya hidup komunal. Aturan hunian Rusunawa sudah dipahami oleh penghuni, hanya saja masih banyak pelanggaran yang dilakukan oleh penghuni terutama mengenai tata tertib. Persepsi penghuni terhadap aturan hunian sudah diapresiasi dengan baik oleh penghuni. Namun masih ada sebagian penghuni yang merasa berat atau sulit menjalankan aturan tersebut terutama mengenai biaya sewa. Kata Kunci: Sosio-yuridis, penghuni, Rusunawa. PENDAHULUAN Pembangunan nasional Indonesia bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 (UUD 1945). Masyarakat yang adil dan makmur tersebut diartikan tidak hanya cukup sandang, pangan, dan papan saja tetapi justru harus diartikan sebagai cara bersama untuk memutuskan masa depan yang dicita-citakan tersebut. Semangat untuk mewujudkan masa depan Indonesia yang lebih cerah merupakan amanah yang tertuang dalam mukadimah UUD 1945 alinea keempat juncto Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 33 UUD 1945. Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 tersebut di atas menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera
lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pembangunan perumahan dan pemukiman (papan) merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia sekaligus amanah dalam UUD 1945 yang harus dipenuhi karena memiliki peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat. Perumahan dan pemukiman tidak hanya dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan hidup tetapi lebih dari itu, yaitu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan tatanan hidup untuk
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
277
masyarakat yang mempunyai peradaban. Percepatan pembangunan perumahan dan pemukiman serta Rumah Susun tersebut sangat bijaksana, mengingat kebutuhan perumahan yang layak huni semakin hari semakin meningkat. Meningkatnya kebutuhan akan perumahan dan pemukiman sangat erat kaitannya dengan kependudukan, seperti: jumlah penduduk, laju pertumbuhannya, dan perubahan rata-rata jumlah jiwa perkeluarga. Hal tersebut merupakan masalah yang telah dihadapi oleh beberapada daerah di Indonesia, terutama kota-kota besar, seperti: Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Makassar dan Semarang. Parlindungan (2001: 91) berpendapat bahwa pembangunan Rumah Susun, terutama wilayah perkotaan merupakan suatu kemutlakan sebagai akibat terbatasnya tanah untuk perumahan tersebut dan permintaan akan papan semakin meningkat. Adanya perumahan baru bagi masyarakat kota saat ini, tentu selain memiliki dampak positif dapat pula menimbulkan dampak negatif bagi penataan ruang kota termasuk bagi penghuni itu sendiri. Tentunya banyak aspek yang harus ditinjau dari pembangunan Rumah Susun tersebut, termasuk aspek sosio-yuridisnya. Keberadaan Rumah Susun di kota Makassar saat ini, dari pemukiman lama yang semula homogen dalam etnik tetapi heterogen dalam ekonomi, berubah secara drastis menjadi pemukiman baru yang homogen dalam ekonomi tetapi heterogen dalam etnik. Secara teknis arsitektural, Rumah Susun dalam bentuk bagaimanapun bukan masalah, tetapi Rumah Susun sebagai tempat hunian masyarakat punya masalah sosial, ekonomi, dan budaya serta norma hukum yang tidak sederhana yang ada diluar jangkauan para arsitek (teknisi) bangunan. Penghunian yang baru ini secara teoritis sangat mudah, lebih-lebih kalau hanya ditinjau secara fisik teknis saja, tetapi perlu disadari bahwa rumah adalah suatu bangunan tempat manusia tinggal dan melangsungkan
278
kehidupannya. Selain itu rumah merupakan tempat berlangsungnya proses sosialisasi, seorang individu diperkenalkan pada norma dan adat kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat. Bukan sekadar genteng dan batu saja, tetapi merupakan masyarakat majemuk yang multi strata dan punya kaitan kerja, kekeluargaan. Bukan hanya perpindahan golongan tidak mampu ke Rumah Susun, dan bukan pula perubahan tempat tinggal horisontal ke vertikal saja, tetapi merupakan perubahan cara hidup, kebiasaan dan menyangkut kemampuan ekonomi pula. Perubahan permukiman dari pola horisontal menjadi pola vertikal akan menimbulkan konsekuensikonsekuensi tertentu. Hal ini tentu harus mendapat perhatian bagi semua pihak dalam melaksanakan pembangunan Rumah Susun. Sebagaimana diketahui bahwa pembangunan perumahan ini telah dilaksanakan di kota Makassar karena kota tersebut juga termasuk kota yang memiliki kepadatan penduduk dan juga terdiri dari kawasan kumuh sehingga dibangunlah beberapa Rumah Susun. Hanya saja sampai saat ini, hanya jenis Rumah Susun sederhana (Rusunawa) yang sudah dioperasikan, diantaranya Rusunawa di kec. Mariso, Daya dan Unhas sedangkan dijalan Alauddin Makassar sementara perampungan bangunan dan jenis Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami) juga dalam proses penyelesaiaan bangunan (observasi peneliti). Perlu diketahui bahwa masingmasing Rusunawa di kota Makassar dihuni oleh penghuni yang kompleks jika dilihat dari latar belalang pekerjaan atau profesi, pendidikan dan ekonomi sehingga terdapat ciri khas tersendiri disetiap rumah susun tersebut. Salah satunya adalah Rusunawa di kec. Mariso. Dibandingkan dengan penghuni yang berada di Rusunawa yang lain, Rusunawa di kec. Mariso dihuni oleh masyarakat yang lebih kompleks dilihat dari segi latarbelakang profesi atau pekerjaan (ekonomi) dan latar belakang pendidikan. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap pola interaksi sosial antara penghuni, yang jika tidak
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
ditangani dengan baik akan menimbulkan diskomunikasi antara penghuni yang dapat berujung pada kesenjangan sosial. Beberapa penghuni telah memberi keterangan bahwa sering terjadi keributan oleh sesama penghuni bahkan antara penghuni dan pengelola (observasi peneliti). Yang perlu dicermati adalah mengapa hal tersebut bisa terjadi dan bagaimana cara mengatasinya? Apabila dilihat dari aspek yuridisnya, perumahan ini cukup dilengkapi dengan aturan hunian seperti perjanjian sewa menyewa dan tata tertib penghuni yang dikeluarkan oleh pengelola UPTD Rusunawa di kec. Mariso, tetapi harus disadari bahwa pelaksanaan aturan tersebut sangat berpengaruh terhadap tingkat keterpahaman penghuni yang akan menjalankannya. Adanya beberapa pelanggaran yang pernah terjadi bisa saja disebabkan oleh kurangnya kesadaran penghuni itu sendiri atau memang aturan hunian yang kurang disosialisasikan dan bisa juga disebakan oleh aturan hunian yang kurang memadai dalam mengatur pengelolaan perumahan tersebut. Berdasar fenomena yang telah digambarkan diatas, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam terkait dengan kondisi penghuni Rumah Susun di kec. Mariso kota Makassar melalui tinjauan sosio-yuridis sehingga tampak kekurangan dan kelebihan akan pemukiman yang dijadikan alternatif oleh pemerintah dalam mengatasi tempat hunian bagi masyarakat, khususnya pada Rusunawa di kec. Mariso kota Makassar. TINJAUAN PUSTAKA Aspek Sosial Masyarakat lapisan bawah tidak mudah menempati rumah hunian bersusun. Masyarakat berpenghasilan rendah ini biasa hidup secara out door living. Untuk mengisi waktu luang, biasanya mereka mencari hiburan yang tidak perlu membutuhkan biaya. Satusatunya hiburan yang tanpa biaya adalah bergaul dengan tetangga dekat. Selain mendatangkan hiburan, berbincang-bincang dengan tetangga,
memperkuat persahabatan dan mempererat tingkat kohesif masyarakatnya, sehingga hubungan kemasyarakatan itu rasa mengayomi individu-individu dikala mereka membutuhkan bantuan dan pertolongan. Pola hidup bermasyarakat ini disebut juga pola hidup komunal. Hariyono (2007: 201) mengemukakan bahwa perasaan kohesif sosial pada pola hidup komunal mengisyaratkan kebutuhan mereka akan ruang horizontal daripada vertical. Sebaliknya, pola hidup individual banyak dialami oleh lapisan masyarakat menengah keatas. Mereka biasa hidup secara indoor living. Pola hidup individual ini lebih digerakkan oleh faktor rasional daripada emosional seperti yang terjadi pada masyarakat komunal. Mereka yang memiliki pola hidup individual lebih memiliki alternatif aktivitas yang bervariasi, termasuk aktivitas untuk tinggal rumah bersusun dengan tingkat privasi yang tinggi dan saran/prasarana yang terbatas. Oleh karena itu, usaha membangun Rumah Susun bagi masyarakat yang bersifat komunal perlu dipersiapan mental secara khusus. Sudyahutomo (2008) berpendapat bahwa rancangan Rumah Susun Indonesia yang beriorentasi pada masyarakat menengah ke bawah mengandung tiga prinsip dasar. Hal ini lakukan berangkat dari keinginan untuk melayani masyarakat, tanpa memaksa harus mengubah pola perilaku mendasar calon penghuni. Ketiga prinsip dasar tersebut adalah tatanan komunal, kegiatan dalam dan kegiatan luar, dan arsitektur tropis. Tranformasi Masyarakat Penghuni Menghuni Rumah Susun dapat melahirkan persepsi tertentu dibandingkan apabila tinggal di rumah kampong. Tinggal di Rumah Susun menimbulkan kenyamanan dan kemajuan. Nilai lebih yang bersifat positif ini dapat dikembangkan lebih lanjut. Hariyono (2007: 204) mengemukakan bahwa ada lima aspek transformasi pada masyarakat untuk mempersiapkan perubahan pola hunian rumah kampong ke pola hunian Rumah Susun sebagai sesuatu yang bisa dibangun secara positif, yaitu persoalan
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
279
mengubah persepsi, gaya hidup, Sumber Daya Manusia, keguyuban dan urbanisasi. Tinjauan Yuridis Mertokoesoemo (1986: 38-39) mengemukakan bahwa setiap hubungan hukum akan tercipta dua segi yang didalamnya terdapat hak dan kewajiban. Pada satu segi hak memberikan keleluasan pada manusia, sedangkan pada segi yang lain kewajiban memberikan pembatasan atau beban. Demikian pula halnya dalam kerangka hubungan hukum antara penghuni Rumah Susun dengan pengembang ataupun perhimpunan penghuni, penentuan hak dan kewajiban penting artinya. Di katakan penting karena akan membawa pengaruh bagi pelangsungan pengelolaan bangunan Rumah Susun itu. Menurut Tondy O. Lubis (1995) bahwa biaya operasional Rumah Susun biasanya meliputi hal-hal sebagai berikut: a. Gaji dan upah untuk perusahaan/badan pengelola. b. Biaya untuk utilitas bagi penggunaan bagian bersama dan benda bersama. c. Biaya untuk pembuatan kontrak dengan cleaning, maintenance, dan sebagainya. d. Kebutuhan rutin (supplies) e. Biaya kantor f. Jasa professional. g. Asuransi Kebakaran h. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sampai terbitkannya sertifikat hak milik satuan Rumah Susun. Hal tersebut adalah beban kolektif yang ditanggung bersama oleh seluruh anggota perhimpunan penghuni.. Adapun mengenai mekanisme pembagian beban biaya operasional ini dalam praktik. Selain kewajiban yang berasal dari biaya operasional ada juga kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemilik satuan Rumah Susun yang langsung ditagih kepada yang bersangkutan. Hal ini dijelaskan oleh Kuswahyono (2004: 86) bahwa kewajiban ini berkaitan dengan jasa yang telah dinikmati secara individual/keluarga pemilik satuan Rumah Susun misalnya saja :
280
a. tagihan listrik (bisa melalui badan pengelola); b. tagihan telepon; c. tagihan air; d. tagihan gas; e. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) setelah terbitnya sertifikat hak milik atas satuan Rumah Susun. Ada biaya lain yang perlu dialokasikan bagi perbaikan Rumah Susun dan penggantian instalasi biasa disebut „Sinking Fund‟ yang perlu mendapat perlindungan hukum agar aman. Hutagalung (1998), mempunyai pendapat yang sifatnya lebih umum dalam kaitannya dengan kewajiban penghuni satuan Rumah Susun sebagai berikut: a. Mematuhi tata tertib yang susun oleh perhimpunan penghuni dan telah disahkan dalam rapat serta dimuat dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. b. Membayar iuran pengelolaan (biasa sebut service charge) yang biasanya ditentukan permeter persegi, dengan komponennya: 1. biaya kebersihan; 2. biaya perawatan dan perbaikan (bisa kelola oleh badan pengelola); 3. biaya jasa manajer; 4. biaya personal; 5. premi asuransi; dan 6. Inking fund. c. Memelihara satuan Rumah Susun dan lingkungan sekeliling satuan Rumah Susun Sedangkan Basuki (1995: 22) mengemukakan bahwa yang menjadi hak dari masing-masing penghuni satuan Rumah Susun, sebagaimana telah diuraikan dimuka mencakup halhal sebagai berikut: 1. Menempati satuan rumah susun sewa yang dimaksud untuk keperluan tempat tinggal. 2. Menunjuk hak milik satuan Rumah Susun sebagai jaminan kredit dengan dibebani hak tanggungan dengan melihat dari status tanah bersama. 3. Berhak untuk menggunakan fasilitas umum di lingkungan kompleks rumah susun sewa.
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
Jika melihat aturan tentang hunian Rusunawa, pada hakekatnya cukup memadai, sehingga penghuni dan pengelola bisa menerapkan dengan baik. METODE PENELITIAN Penelitian ini mengkaji suatu Variabel yang menjadi inti dalam penelitian, variabel yang dimaksud adalah Tinjauan Sosio-Yuridis Penghuni Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) di kec. Mariso kota Makassar. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian sampel. Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah penghuni yang secara administratif bertempat tinggal di Rusunawa kec. Mariso kota Makassar. Jumlah sampel penelitian ditetapkan dengan menggunakan teknik Random Sampling, penetapan sampel diambil 15 % dari 288 kepala keluarga (populasi) sehingga sampel berjumlah 43 kepala keluarga. Pengumpulan dan penelitian ditempuh
dengan menggunakan teknik observasi angket, dan dokumentasi (Arikunto, Suharsimi. 2006). Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik dianalisis secara deskriptif dan tabulasi data. Kelompok data yang sifatnya kualitatif dipaparkan secara deskriptif menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan, Sedangkan kelompok data kuantitatif diskor dalam bentuk tabulasi dan dianalisis dengan menggunakan teknik presentase dengan rumus (Tiro, 2004: 242) : P = 𝐹 𝑥 100. 𝑁
HASIL PENELITIAN 1. Adaptasi Sosial Gambaran mengenai adaptasi sosial pascahuni Rusunawa di kec. Mariso kota Makassar diungkapkan melalui beberapa data. Hal yang pertama akan diketahui adalah berapa lama waktu yang digunakan penghuni untuk melakukan adaptasi sosial.
Tabel 1. Pendapat responden tentang waktu yang dibutuhkan penghuni untuk melakukan adaptasi sosial Frekuensi No. Pendapat/Pernyataan Absolut Relatif 1. Kurang dari 1 minggu 9 20,93 2. 1 minggu sampai 1 bulan 11 25,58 3. Lebih dari 1 bulan 23 53,49 Jumlah 43 100 Sumber Data: Hasil analisis data primer Berdasarkan data yang diperoleh ternyata umumnya responden melakukan adaptasi sosial lebih dari satu bulan dengan persentase 53,49% atau 23 responden sedangkan penghuni yang hanya 1 minggu sampai satu bulan sebanyak 11 orang (25,58%). Ada juga penghuni yang hanya kurang dari 1 minggu melakukan adaptasi. Dengan demikian, adaptasi sosial penghuni rumah susun di kec. Mariso cenderung lebih lama (lebih dari satu bulan). Adaptasi sosial ini berlangsung lebih
lama dibandingkan dengan adaftasi fisik bangunan. Umumnya responden mampu melakukan adaftasi fisik bangunan hanya kurang dari 1 minggu dengan persentase 41,86% atau 18 responden sedangkan penghuni yang menggunakan waktu 1 minggu sampai 1 bulan terdapat 11 responden (25,58%) dan penghuni yang menggunakan waktu lebih dari 1 bulan ada 14 responden (32,56%). Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat melalui tabel berikut ini:
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
281
Tabel 2. Pendapat responden tentang waktu yang dibutuhkan penghuni melakukan adaptasi fisik bangunan Rusunawa Frekuensi No. Pendapat/Pernyataan Absolut Relatif 1. Kurang dari satu minggu 18 41,86 2. 1 minggu sampai satu 11 25,58 bulan 3. Lebih dari satu bulan 14 32,56 Jumlah 43 100 Sumber Data: Hasil analisis angket data primer Selain itu, untuk mengetahui adaptasi sosial penghuni di perumahan ini maka dapat pula dilihat dari keeratan hubungan sesama penghuni dengan memperhatikan perkenalan sesama penghuni Rusunawa di kec. Mariso kota Makassar. Umumnya penghuni saling mengenal karena didasarkan pada hubungan persahabatan/pertemanan dengan persentase 65,11% atau 28 responden sedangkan karena didasarkan hubungan keluarga ada 4 responden (9,30%) dan karena hubungan pekerjaan 2 responden (4,65%) sementara responden lainnya menjawab didasarkan karena secara kebetulan berada disamping kanan-kiri atau tetangga terdekat satuan rumah susun yang mereka tempati. Selain itu, juga disebabkan karena masing-masing pernah satu kampung atau tempat tinggal sebelumnya. Kemudian untuk tingkat keeratan hubungan sosial dapat dilihat dari peristiwa kerjasama dengan tetangga. Kerjasama yang dilakukan penghuni Rusunawa ternyata bermacam-macam bentuknya. Dapat digambarkan bahwa umumnya responden melakukan kerjasama dalam hal membersihkan lingkungan sekitar satuan rumah susun yang mereka tempati dengan persentase 63,41% atau 26 responden. Selain itu, penghuni juga saling meminjam peralatan (barang) antara sesama penghuni dengan persentase 34,88% atau 15 responden (data primer yang diolah). Kerukunan dan kerjasama yang erat dengan tetangga tampak pula pada kunjungan di antara para penghuni di di Rusunawa kec. Mariso. Berdasarkan data yang diperoleh bahwa umumnya penghuni saling mengunjugi karena tetangga sebanyak 33 responden (76,74%)
282
sedangkan karena atas dasar keluarga 2 responden (4,65%) sementara karena teman 5 responden (11,63%). (data primer yang diolah). Dengan demikian umumnya penghuni mampu beradaptasi sosial dengan baik .di mana pola hidup masyarakat lapisan bawah umumnya memang menganut pola hidup komunal yang hubungan antara anggota masyarakatnya sangat erat. Dengan demikian, pembangunan rumah susun tanpa mengubah pola hidup komunal tidak berarti kondisi sosial ekonomi mereka mengalami stagnasi. Melainkan yang perlu adalah pemberian pemahaman tentang tata hidup dan pergaulan untuk private space dan public space. Penyesuaian sosial ekonomi, tata pergaulan dan pemilihan lingkungan ini akan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia dan persepsi masyarakat pada proses huni yang berkelanjutan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah apakah setelah golongan ini menempati perumahan susun, dapat melakukan adaptasi atau bahkan akuturasi, yaitu mengubah kebiasaankebiasaan, adat istiadat, pola hidup, sesuai dengan tuntutan “kebudayaan” hidup perumahan susun tersebut? Perubahan struktur sosial dan kebudayaan memang tidak bisa berjalan secara drastis atau revolusioner. disamping memakan waktu yang cukup lama, juga memerlukan pengelolaan sosial (social engineering) yang harus benar-benar terarah dan tepat serta pendekatan yang serasi agar tidak menimbulkan “ketegangan sosial” (social tention). Karena perubahan itu mengarah kepada hal-hal yang mendasar, yaitu antara lain mengubah bentuk keluarga besar menjadi keluarga
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
kecil, mengubah sifat-sifat yang “irrasional” menja lebih “rasional”, pola konsumsi hidup dari yang cenderung tidak ekonomis menjadi lebih ekonomis (terutama karena harus membayar cicilan atau sewa Rumah Susun). (Sudyahutomo, Mulyono. 2008) Disini hal yang lebih penting adalah, harus dapat tumbuhkan perasaan memiliki (sense of belonging) dan rasa tanggung (sense of responsibility) terhadap tempat bermukim dan segala fasilitas yang ada dalamnya dan mampu hidup berdampingan (Hariyono, Paulus. 2007).
Hal ini tentu harus diperhatikan oleh penghuni yang berada di Rusunawa kec. Mariso, agat tidak terjadi pelanggaran akan aturan hunian yang bisa mengakibatkan konflik horizontal (sesama penghuni) maupun konflik vertikal (penghuni dengan pengelola). Untuk mengetahui kondisi konkrit yang dialami oleh penghuni terkait keamanan dan ketertibannya. Dapat dilihat dari beberapa hal diantaranya ditemukan keributan. Untuk mengetahui siapa saja yang terlibat dalam keributan tersebut, maka data di bawah ini akan menunjukkan hal tersebut.
Tabel 3.
Pendapat responden tentang pihak yang terlibat dalam keributan di Rusunawa Frekuensi No. Absolut Relatif Pendapat/Pernyataan 1. Sesama penghuni 12 41,37 2. Penghuni dengan 3 10,34 pengelola 3. Penghuni dengan pihak 14 48,27 lain Jumlah 29 100 Sumber Data: Hasil analisis angket data primer
Data pada tabel 3 tersebut menunjukkan bahwa selain hubungan yang harmonis yang sudah dituliskan pengertian Rumah Susun perlu diatas, ternyata pernah terjadi keributan dipersiapkan secara berlanjut dari yang bisa berujung pada kesenjangan pemahaman tinggal rumah kampong sosial apabila tidak ditangani dengan yang tiap warga bisa berbuat seenaknya tepat. Untuk itu, harus diketahui akar menjadi pemahaman yang menuntut persoalannya atau prihal yang melatar perilaku yang etis dengan pola hidup belakangi sehingga terjadi demikian. Rumah Susun yang lebih kompleks. Berdasarkan data yang Sikap penghuni Rumah Susun yang dipeoroleh dari hasil wawancara dan menuntut sikap kebersamaan yang observasi bahwa umumnya penghuni tinggi perlu ditumbuhkan sejak dini, sudah pernah melanggar aturan tata keterikatan antar penghuni yang satu tertib, pelanggaran perjanjian sewa dengan yang lainnya harus tampak menyewa, sedangkan pelanggaran di dalam satu kesatuan sistem perumahan luar aturan hunian seperti etika bertamu yang lebih besar. Tinjauan Yuridis (observasi peneliti). Sementara masalah 1. Persepsi Penghuni dan lainnya seperti kesalah pahaman. Pelaksanaan Aturan Hunian Berkaitan dengan penanganan masalah keributan tersebut. Sejauh ini telah Hunia Rusunawa secara teoritis ditangani atau diselesaikan dengan cara sangat mudah, lebih-lebih kalau hanya kekeluargaan/musyawarah dan tidak ditinjau secara fisik teknis saja, tetapi sedikit juga diselesaikan dengan jalur perlu disadari bahwa rumah adalah hukum khsusnya yang berkaitan dengan suatu bangunan tempat manusia tinggal tidak pidana seperti kasus perbuatan dan melangsungkan kehidupannya. mesum (wawancara,R, 24/09). Selain itu rumah merupakan tempat Dengan demikian persepsi berlangsungnya proses sosialisasi, penghuni dan warga lainnya terhadap seorang individu diperkenalkan pada
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
283
norma atau aturan hunian yang mengikat secara langsung bagi penghuni dalam melakukan segala aktivitas di Rumah Susun. Begitu pula yang ada di Rusunawa kec. Mariso Kota Makassar, penghuni diperhadapkan oleh sejumlah aturan hunian seperti perjanjian sewa menyewa dan tata tertib penghuni yang mereka harus
patuhi dan laksanakan. Untuk mengetahui sejauhmana pemahaman dan pelaksanaan aturan hunian tersebut dan bagaimana persepsi penghuni terhadap aturan hunian yang diberlakukan di Rusunawa dapat diperhatikan beberapa temuan atau data yang akan ditunjukkan berikut ini:
Tabel 4.
Pendapat responden tentang pemahaman penghuni terhadap aturan hunian Rusunawa Frekuensi No. Pendapat/Pernyataan Absolut Relatif 1. Sangat memahami 17 39,53 2. Memahami 18 41,86 3. Cukup memahami 8 18,60 4. Kurang memahami 0 0 5. Tidak memahami 0 0 Jumlah 43 100 Sumber Data: Hasil analisis angket data primer
Berdasakan data pada tabel 4 tersebut, aturan hunian ini diharapkan dapat dijalankan dengan baik oleh penghuni. Salah satu aturan hunian yang di berlakukan dalam pengelolaan Rusunawa di kec. Mariso adalah perjanjian sewa menyewa. Berdasarkan data yang diperoleh, umumnya penghuni tidak merasa berat menjalankan perjanjian sewa menyewa dengan persentase (79,07%) atau 34 responden, tetapi ada juga responden merasa berat atau sulit menjalankan perjanjian sewa menyewa tersebut dengan persentase (20,93 %) atau 9
responden. Dengan demikian perjanjian sewa menyewa ini pada dasarnya tidak menjadi masalah bagi penghuni tetapi bukan berarti tidak perlu memperhatikan kembali secara seksama bagian-bagian yang masih dirasa sulit dijalankan oleh sebagian kecil penghuni. Untuk mengetahui hal tersebut, maka dapat diidentifikasi aturan mana yang masih dianggap sulit dijalankan oleh beberapa penghuni tersebut. Setelah dilakukan penelitian ternyata umumnya penghuni yang merasa sulit mejalankan perjanjian tersebut adalah.
Tabel 5.
Pendapat responden tentang aturan hunian Rusunawa yang masih dianggap berat atau sulit dijalankan Frekuensi No. Pendapat/Pernyataan Absolut Relatif 1. Ketentuan umum 1 11,11 2. Biaya sewa 6 66,66 3. Larangan-larangan 0 0 4. Sanksi-sanksi 2 22,22 Jumlah 9 100 Sumber Data: Hasil analisis angket data primer
Berdasar data pada tabel 5 tersebut, aturan hunian yang diberlakukan di Rusunawa dalam hal biaya sewa masih perlu untuk dikaji secara seksama karena secara signifikan masih ada penghuni yang
284
merasa sulit untuk menjalankan aturan tersebut. Selain itu, hunian rumah susun telah diatur secara jelas dalam UU. No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Salah satu pasal yang berkaitan dengan penghunian dan pengelolaan
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
rumah susun adalah pasal 19 ayat (1) yang mewajibkan penghuni untuk membentuk perhimpunan penghuni.
Untuk mengetahui apakah penghuni sudah mengetahui akan hal itu, maka dapat dilihat pada data berikut ini:
Tabel 6. Pendapat Responden tentang pengetahuan penghuni terhadap UU. No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun Frekuensi No. Pendapat/Pernyataan Absolut Relatif 1. Sudah 12 27,91 2. Belum 31 72,09 Jumlah 43 100 Sumber Data: Hasil analisis angket data primer Berdasarkan tabel. 6, tampak bahwa umumnya responden belum mengetahui UU. No. 16 Tahun 1985 khusunya pada pasal 19 ayat (1) yang mewajibkan penghuni untuk membentuk perhimpunan yang mempunyai tugas dan wewenang pengelolaan yang meliputi penggunaan, pemeliharaan, dan perbaikan terhadap bangunan, bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama( Alif, Rizal. 2009). Perlu diketahui bahwa penghuni yang mengatakan sudah ada perhimpunan tersebut, sebenarnya bukan yang dimaksudkan dalam UU. No. 16 Tahun 1985 karena perhimpunan tersebut tidak berbadan hukum dan tidak memiliki AD/ART sebagaimana dipersyaratkan dalam UU. No. 16 Tahun Tabel 7.
1985 tentang Rumah Susun. Konkritnya bahwa komunitas tersebut hanyalah sementara karena setelah diidentifikasi oleh peneliti ternyata komunitas tersebut adalah Tim Sukses atau Tim Pemenang salah satu calon Presiden untuk pemilihan umum. (wawancara/26/09). Harus kerangka hubungan hukum antara penghuni Rumah Susun dengan pengembang ataupun perhimpunan penghuni, penentuan hak dan kewajiban penting artinya (Mertokoesoemo, 1986). Setelah mengetahui tentang pengetahuan penghuni terhadap aturan hunian, dapat pula diketahui aturan yang memungkinkan dan atau sudah pernah dilanggar oleh penghuni. Berikut ini adalah data yang dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui dan mengidentifikasi aturan tersebut.
Pendapat responden tentang aturan yang memungkinkan pernah dilanggar oleh penghuni Frekuensi No. Pendapat/Pernyataan Absolut 1. Larangan-larangan 3 2. Tata tertib 10 3. Biaya sewa 30 Jumlah 43 Sumber Data: Hasil analisis angket data primer
Perlu diketahui bahwa biaya sewa yang dimaksudkan pernah dilanggar oleh penghuni adalah mengenai keterlambatan penghuni dalam membayar iuran sewa kepada pihak pengelola, sedangkan aturan tata tertib yang dimaksudkan diatas adalah pengerjaan peralatan, perbaikan/renovasi yang bersifat umum, tidak seisin tetangga /peghuni lain dan pegelola, tidak menjaga suara radio dan televisi sehingga mengganggu tetangga,
atau sudah
Relatif 6,97 23,26 69,77 100
tidak melaporkan perubahan anggota penghuni (pindah/masuk) dalam waktu maksimum 2 kali 24 jam, dan kurang menciptakan keamanan, kenyamanan dan estetika (kebersihan dan kerapian) tempat dan lingkungan hunian. Untuk Larangan yang dilanggar adalah mengenai minuman keras, mengajak orang lain untuk meminum minuman keras (wawancara/R/26/09). Salah satu komponen yang memiliki wewenang untuk mengatasi
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
285
pelanggaran tersebut adalah pihak pengelola. Apakah sejauh ini sudah bertindak tegas dalam menangani hal itu? maka melalui data berikut ini akan
tampak keseriusan pengelola dalam menyelesaikan segala persoalan yang timbul dalam pengelolaan Rusunawa.
Tabel 8. Pendapat responden tentang tindakan pihak pengelola dalam pelanggaran yang dilakukan penghuni Frekuensi No. Pendapat/Pernyataan Absolut 1. Sangat tegas 2 2. Tegas 9 3. Cukup tegas 15 4. Kurang tegas 17 Jumlah 43 Sumber Data: Hasil analisis angket data primer Dengan demikian diharapkan kedepan pihak pengelola dapat bertindak lebih tegas lagi dan mampu meyelesaikan dengan cara yang tepat. Hal tersebut tentu harus menjadi perhatian oleh semua pihak agar kedepan hunian ini dapat dikelola dengan baik. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kurang lengkapnya aturan tata tertib hunian Rusunawa seperti etika bertamu atau jam bertamu sehingga hal inilah yang menyebabkan sehingga pernah terjadi pelanggaran asusila yang akhirnya dapat mengganggu ketertiban dan keamanan Rusunawa. (wawancara/T/6/09). Kewajiban penghuni satuan Rumah
menangani
Relatif 4,65 20,93 34,88 39,53 100
Susun agar dapat mematuhi tata tertib yang susun oleh perhimpunan penghuni dan telah disahkan dalam rapat serta dimuat dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (Hutagalung, 1998). Setelah memperhatikan aturan hunian Rusunawa di kec. Mariso kota Makassar, ternyata belum ada yang mengatur secara jelas tentang syarat untuk menjadi penghuni di hunian tersebut baik dalam perjanjian sewa menyewa maupun tata tertib, sehingga penting untuk diketahui tentang sistem perekrutan penghuni apakah sudah berjalan dengan baik dan tepat.
Tabel 9. Pendapat responden tentang sistem perekrutan penghuni sudah berjalan dengan baik dan tepat Frekuensi No. Pendapat/Pernyataan Absolut Relatif 1. Ya 28 65,12 2. Tidak 15 34,88 Jumlah 43 100 Sumber Data: Hasil analisis angket Juli, 2009 Perlu diketahui bahwa penghuni yang mengatakan tidak sepakat umumnya beranggapan bahwa masih ada penghuni yang berada di Rusunawa justru yang memiliki taraf ekonomi tinggi atau tergolong sudah mampu dari segi profesi atau pekerjaan. Masih ada pula penghuni yang tinggal di Rusunawa justru bukan penghuni tetap yang sudah teradministrasi. Selain itu masih ada penghuni yang pada dasarnya sudah mempunyai tempat tinggal dan adanya kebijakan dari pihak pengelola yang
286
lebih memprioritaskan masyarakat yang tinggal di kecamatan mariso sehingga kebijakan tersebut dirasakan tidak tepat yang semestinya dibuka untuk siapa saja sehingga masyarakat yang betulbetul tidak mempunyai tempat tinggal dapat diberi kesempatan untuk mendiami Rusunawa. (wawancara, W/24/06). Perlu diketahui bahwa UU. No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun juga mengisyaratkan hal tersebut, sebagaimana yang termaktub dalam
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
pasal 3 ayat (1) menjelaskan bahwa pembagunan Rumah Susun bertujuan untuk memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang menjamin kepastian hukum dalam pemanfaatannya. Dengan demikian keinginan penghuni Rusunawa sejalan dengan amanah UU tersebut. SIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah diuraikan pada bab terdahulu, ada beberapa hal yang dapat dikemukakan oleh peneliti diantaranya: 1. Adaptasi sosial penghuni Rusunawa di kecamatan Mariso kota Makassar cenderung lebih lama dibandingkan dengan adaptasi fisik bangunan Rusunawa. Sementara hubungan komunikasi antara sesama penghuni maupun dengan pengelola sudah berjalan dengan baik, meskipun pernah terjadi keributan tetapi dapat diatasi dan diselesaikan. Hubungan kerjasama antara sesama penghunipun terjalin dengan baik terutama dalam menjaga kebersihan lingkungan Rusunawa sebagaimana gaya hidup komunal. 2. Persepsi penghuni terhadap aturan hunian Rusunawa di kecamatan Mariso kota Makassar sudah diapresiasi dengan baik oleh penghuni. Namun masih ada sebagian penghuni yang merasa sulit menjalankan aturan tersebut terutama mengenai biaya sewa sehingga masih perlu diperhatikan secara seksama oleh kedua belah pihak. Sistem perekrutan penghuni di Rusunawa masih perlu diperjelas syarat-syarat untuk menjadi penghuni, karena masih ada penghuni yang bertempat tinggal di Rusunawa justru sudah mempunyai tempat tinggal dan sudah termasuk golongan masyarakat berpenghasilan tinggi. Disamping itu masih perlu melengkapi aturan tata tertib yang dianggap penting untuk dilakukan seperti aturan etika bertamu. 3. Aturan hunian Rusunawa sudah dipahami oleh penghuni yang
diantaranya mengenai perjanjian sewa menyewa, tata tertib dan aturan hunian lainnya. Hanya saja pemahaman mereka tidak sejalan dengan pelaksanaan aturan tersebut. Hal ini terjadi karena masih banyak pelanggaran yang dilakukan oleh penghuni terutama mengenai tata tertib, baik disebabkan oleh sikap acuh penghuni itu sendiri, maupun disebabkan oleh pihak pengelola yang kurang mengontrol penghuni, begitu pula dengan sanksi yang kurang tegas dalam aturan hunian tersebut. DAFTAR PUSTAKA Alif, Rizal. 2009. Analisis Kepemilikan Hak Atas Tanah Satuan Rumah Susun di Dalam Kerangka Hukum Benda. Bandung: CV. Nuansa Aulia. Anonim. 2007. Rumah Susun, Sumber Masalah Baru. (http:antariksaarticle.blogspot.co m) Diakses pada tanggal 3 mei 2009 Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta. Basuki, Sunario. 1995. Masalah Hukum Pembangunan Rumah Susun, Hukum dan Pembangunan. Jakarta: FHUI. Hariyono, Paulus. 2007. Sosiologi Kota Untuk Arsitek. Jakarta: Bumi Aksara. Harsono, Boedi. 1986. Berbagai Masalah Hukum Bersangkutan dengan Rumah Susun dan Pemilikan Satuan Rumah Susun. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI). Hutagalung, Arie Sukanti. 1994. Membangun Condominium (Rumah Susun): MasalahMasalah Yuridis Praktis dalam Penjualan, Pemilikan, Pembebanan, serta Pengelolaannya. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI). Hutagalung, Arie Sukanti. 1998. Condiminium dan Permasalahannya, Depok FHUI.
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
287
Kuswahyono, Imam. 2004. Hukum Rumah Susun. Malang: Bayumedia Publishing. Lubis, Tondy O. 1995. Strata Title The Indonesian Experience a Paper on Strata Title Managemen In Indonesia. Jakarta: PT Strategindo Forum. Mertokoesoemo Soedikno. 1986. Mengenal Hukum, Cetakan Pertama. Yokyakarta: Liberty Parlindungan, A.P., (2001), Komentar Atas Undang-udang perumahan dan pemukiman dan Undangundang rumah susun. Bandung : Mandar Maju. Sudyahutomo, Mulyono. 2008. Manajemen Kota dan Wilayah: Realita dan Tantangan. Jakarta: Bumi Aksara. Tiro, M. Arif. 2004. Dasar-dasar Statiska. Makassar : UNM Press.
288
Peraturan Perundang-undangan 1. Undang Undang Dasar Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke-4 2. UU Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun Undang-Undang RI No. 4 Tahun 1993 tentang Perumahan dan Pemukiman 3. PP Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun. 4. Perpres Perpres No. 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pemabangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 5. Kepres Kepres No. 22 Tahun 2006 tentang Percepatan Pembangunan Rumah Susun
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
METODE PENGUKURAN ENERGI GELOMBANG PASANG SURUT BERDASARKAN REKAMAN CITRA TIMELAPSED PERMUKAAN FLUIDA Dewa Gede Eka Setiawan Abstrak Eksperimen simulasi di laboratorium untuk menguji metode pengukuran energi gelombang pasang surut berdasarkan rekaman citra timelapsed permukaan fluida telah dilakukan. Simulasi gelombang pasang surut dihasilkan dari pengaturan aliran air dari pompa air melalui solenoid valve menuju suatu pipa pengamatan. Frekuensi buka-tutup solenoid valve dikendalikan oleh computer sedemikian sehingga pada pipa pengamatan dihasilkan pola pasang-surut permukaan fluida yang sesuai dengan frekuensi buka tutup solenoid valve. Perekaman perubahan posisi pasang surut tersebut menggunakan teknik perekaman citra timelapsed sehingga perubahan pasang surut sebagai fungsi waktu dapat diketahui.Pencocokan data timelapsed dengan rumusan Lagrange menghasilkan adanya kesesuaian pada pola gelombangnya, walaupunnilainya masih belum sesuai Selanjutnya, besaran-besaran fisik osilasi seperti periode, frekuensi, amplitudo dan kecepatan diperoleh dari data citra timelapsed agar dapat menghitung energi gelombang pasang surut permukaan fluida. Untuk variasi frekuensi solenoid valve 0,53 Hz, 1 Hz dan 3,08 Hz berturut-turut dihasilkan -2 -2 -2 energi gelombang sebesar 3,25x10 joule, 15,33x10 joule dan 198,24x10 joule. Dengan mengandaikan frekuensi gelombang datang sesuai dengan frekuensi buka-tutup solenoid valve, maka frekuensi pasang surut mempengaruhi energi gelombang pasang surut yang dihasilkan. Semakin besar frekuensinya semakin besar pula energi gelombang yang dihasilkan pada pasang surut permukaan fluida.. Kata Kunci: Energi gelombang, Pasang surut fluida,Perekaman timeplased. PENDAHULUAN Indonesia terkenal sebagai negara maritim yang memiliki wilayah perairan yang cukup luas, sehingga terdapat potensi gelombang-gelombang laut yang cukup banyak untuk diteliti. Luas laut Indonesia adalah dua per tiga dari total luas wilayahnya (Mohammad, 2009). Laut beserta hasil yang terkandung di dalamnya termasuk gelombang di permukaan akan sangat berguna jika dimanfaatkan seoptimal mungkin. Gelombang adalah osilasi yang berpindah, dan tidak membawa materi bersamanya (Giancoli, 2001). Dalam kasus-kasus gelombang, seperti halnya gelombang laut yang bergerak menuju pantai, mungkin gelombang tersebut terpikirkan membawa air dari laut lepas menuju pantai. Pada kenyataannya, hal ini tidak benar. Gelombang air yang bergerak dari laut lepas menuju pantai hanyalah rangkaian getaran yang merambat. Tetapi setiap partikel pada air itu sendiri hanya berosilasi terhadap
titik setimbang. Hal ini jelas terlihat dengan memperhatikan daun pada kolam sementara gelombang bergerak. Daun tidak terbawa oleh gelombang, tetapi hanya berosilasi di sekitar titik kesetimbangan karena ini merupakan gerak air itu sendiri. Pola osilasi dari gelombang permukaan air yang dikenal dengan gelombang pasang surut, dapat diketahui kecepatan gerak vertikalnya. Caranya yaitu dengan mengukur periode pasang surut menggunakan stop watch. Namun pada era perkembangan pengetahuan dan teknologi seperti sekarang ini, jika pengukuran menggunakan stop watch dilakukan sangatlah ketinggalan zaman, karena masih banyak kelemahankelemahannya. Salah satu kelemahannya adalah pengambilan datanya relatif lama, dan cara ini tidak mudah dilakukan karena diperlukan kecermatan pengamatan gejala sebagai fungsi waktu. Ada cara lain mengamati gejala alam tersebut yang lebih akurat
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
289
yaitu dengan menggunakan metode perekaman citra timelapsed. Rinanto (1982) menyatakan media berbasis visualisasi adalah suatu media/perantara yang dapat membawa gejala alam ke dalam komputer untuk dapat dianalisis secara interaktif dan dapat dinikmati dengan indera penglihatan. Metode perekaman citra timelapsed dapat digunakan sebagai alat eksperimen yang relatif lebih efisien karena dilakukan dengan perekaman secara sekuensial dalam waktu yang relatif singkat. Metode perekaman citra timelapsed dapat digunakan untuk mengukur perubahan posisi tiap waktu. Kecepatan, percepatan, dan periode pasang surut gelombang air dapat diketahui. Kemudian satu nilai tambah dengan metode ini adalah data-data eksperimen tersimpan dalam bentuk visual dan terdokumentasi. Mekanika yang merupakan salah satu cabang ilmu dari fisika yang mempelajari gejala alam tentang gerak benda, dapat menjelaskan atau merumuskan proses gejala alam menyangkut osilasi yang terjadi di permukaan air laut. Dengan persamaan Lagrange akan diperoleh persamaan gerak harmonik tersebut dengan memasukkan asumsi-asumsi. Kemudian perumusan persamaan gerak tersebut dapat diuji menggunakan data-data yang diperoleh melalui pengamatan dan pengukuran visual menggunakan metode perekaman citra timelapsed pada gejala alam. Laut sebagai faktor alam selama ini kurang mendapatkan perhatian dalam strategi pengembangan energi di Indonesia. Peran laut bagi industri energi listrik saat ini, lebih dominan hanya sebagai jalur transportasi yang mengangkut pasokan bahan bakar berupa batu bara dan BBM, sebagai tempat pembuangan sisa air pendingin turbin PLTU. Lebih tepatnya laut belum menjadi objek penting dalam pengembangan energi di Indonesia.Laut merupakan objek utama yang memiliki gejala alam menyangkut gelombang permukaan, yang bisa dimanfaatkan untuk menggerakan generator pada instalasi alat Ocean power technologies.
290
Isu tentang inovasi sumbersumber energi terbarukan (renewable energy) sebagai pengganti energi fosil sudah berkembang pesat. Hal ini muncul sebagai langkah antisipasi semakin berkurangnya sumber energi fosil tersebut. Dari sekian banyak sumber-sumber energi terbarukan tersebut, jika dilihat dari sisi ketersediaannya, maka yang cukup banyak salah satunya adalah energi pasang surut (tidal energy). Zwieten dkk. (2005) mengklasifikasikan adanya beberapa bentuk dari energi laut yang biasa dimanfaatkan sebagai sumber energy, salah satunya sebagai penghasil listrik, yaitu panas laut (ocean thermal energy), energi arus laut (ocean current energy), energi gelombang (wave energy), dan energi angin (offshore wind energy). Penelitian explorasi energi padagelombang pasang surut air laut membutuhkan waktu yang panjang, biaya yang besar, dan membutuhkan energi yang besar pula.Karena keterbatasan dan pertimbangan tersebut, tempat dan waktu penelitian dilakukan berskala laboratorium, yaitu denganmelakukan penelitian simulasi gelombang pasang surut permukaan fluida. Permukaan fluida yang bergerak naik turun direkam dengan metode perekaman timelapsed. Dari hasil rekaman ditentukan pola osilasi permukaan gelombang. Lalu, suatu ukuran energi gelombang pasang surutditentukan. Pola osilasi dan energy yang dihasilkan dicocokkan dengan hasil teoritis berdasarkan persamaan Lagrange. TINJAUAN PUSTAKA Husodo dkk (2004), melakukan penelitian tentang respons getaran model Vertikal Axis Turbine (VAT) akibat pengaruh kecepatan aliran arus laut. Dalam pengukuran ini, variasi kecepatan arus laut diukur sehingga diperoleh variasi kecepatan putar system VAT yang terukur dalam satuan rpm. Dengan mengetahui kedua dimensi tersebut maka bisa di peroleh frekuensi kerjanya dalam satuan rad/s. Muhammad dkk (2009), melakukan penelitian tentang prediksi
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
phenomena putaran dan efisiensi kerja turbin tipe jenis aliran silang (cross flow turbine) dengan daun rotor silang (gorlov helical turbine). Dari penelitian tersebut diperoleh pengaruh perubahan sudut kemiringan strip pada blade rotor terhadap putaran dan efisiensi kerja turbin. Triatmojo (2003), melakukan penelitian tentang energi kinetik pada saluran tertutup dan saluran terbuka. Diperoleh bahwa prinsip energi yang diturunkan melalui pipa dapat juga diterapkan pada saluran terbuka, energi kinetik pada saluran terbuka diberikan 2
oleh v / 2 g , dengan v adalah kecepatan rerata aliran pada tampang saluran tersebut, apabila koefisien koreksi energi diperhitungkan maka energi kinetik dapat dirumuskan sebagai Ek v 2 / 2 g , nilai antara 1,05 sampai dengan 1,2 yang tergantung pada distribusi kecepatan. Turbin air yang beroperasi seperti halnya turbin angin, adalah suatu teknologi yang relatif baru yang dapat membangkitkan daya dari aliran air dengan dampak lingkungan yang sangat kecil. Daya maksimum yang dapat disadap dari air adalah 59% dengan syarat air harus mempunyai energi kinetik yang cukup untuk melewati turbin. Itu berlaku bagi turbin yang dilapisi oleh pelindung luar, baik yang porosnya vertikal maupun horizontal dan hydrofoil yang berosilasi (Bernad, 2008). Khairiyah (2009), melakukan penelitian tentang perubahan posisi batang dari waktu ke waktu dengan menggunakan teknik perekaman timelapsed. berdasarkan hasil eksperimen, teknik perekaman timelapsed dapat digunakan untuk merekam dan mengukur variabel dari gerak harmonik dua batang seperti amplitudo, periode dan kecepatan sudut. Dari hasil penelitian ini diperoleh periode dan amplitudo osilasi akan membesar seiring dengan bertambahnya ukuran batang dan kecepatan sudut batang tidak bergantung pada panjang batang. Sopiarini (2009), melalukan penelitian di Lab Citra FMIPA UGM pengamatan dan pengukuran
perubahan posisi kedua bandul dilakukan menggunakan teknik perekaman citra secara timelapsed sehingga suatu runtun citra yang menjelaskan titik-titik pengamatan dari waktu ke waktu dapat diperoleh. Hasil eksperimen ini menunjukan bahwa besaran-besaran fisik osilasi bandul seperti periode, frekuensi, dan amplitudo dapat diketahui, sedangkan panjang tali bandul mempengaruhi nilai besaran fisik. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran energi gelombang pasang surut dengan menggunakan teknik perekaman citra secara timelapsed pada simulasi gelombang pasang surut, dan menguji kesesuaian formulasi persamaan lagrange dengan data yang diperoleh secara eksperimen. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisika Atom Inti sub Fisika Citra,Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Mei 2011. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Kyodo sp-2400 L Submersible Pump Submersible Pump berfungsi sebagai sumber aliran air dengan menghasilkan debit yang keluar 3 dari solenoid valve 73,03 m /s. 2. Water Pass Water pass berfungsi untuk mengukur pipa pada posisi horizontal 3. Komputer (tidak perlu ada fotonya) Komputer berfungsi untuk pengontrol frekuensi buka tutup katub solenoid valve, dan pengendali frame capture citra simulasi gelombang pasang surut. 4. Rangkaian pengontrol solenoid valve Rangkaian pengontrol solenoid valve berfungsi untuk mengatur frekuensi dalam membuka dan menutubnya katub pada solenoid valve, yang dikontrol.
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
291
b
c d e
f g
h
Gambar 4.1 Set-Up alat simulasi pasang surut permukaan fluida Keterangan gambar: a. Pipa PVC transparan dengan ukuran 5/8 inchi berfungsi sebagai tempat objek pengamatan gelombang pasang surut. b. Penggarisyang di letakkan pada pipa transparan vertical berfungsi untuk mengetahui posisi permukaan gelombang pasang surut (permukaan yang bergerak naik turun). c. Solenoid valve berfungsi sebagai pembuka dan penutup katub pada aliran air di luas penampang pipa yang dikontrol melalui layar monitor. d. IR DIGITAL SONY 1/3 VIDEO CAMERA CE FC berfungsi untuk merekam setiap milli second gambar . e. Pipa PVC dengan berbagai macam ukuran yaitu : 5/8 inchi, 0,5 inchi, ¾ inchi, 1 inchi yang berfungsi sebagai tempat mengalirnya air. f. Tripod camera berfungsi sebagai tempat dudukan kamera.
292
g. Selang ½ inchi berfungsi untuk menghubungkan aliran air dari bak ke dua ke bak pertama. h. Bak penampungan air berfungsi untuk menampung air pada simulasi. HASIL PENELITIAN Data Hasil Eksperimen Bab ini disajikan secara lengkap analisis data dan pembahasan dengan mengacu pada metode penelitian yang telah dipaparkan pada bab IV. Eksperimen yang dilakukan dengan metode perekaman timelapsed terhadap pasang surut permukaan fluida yang dirangkai menjadi satumenghasilkandata dalam bentuk citra digital yang terekam secara otomatis dari waktu ke waktu. Pada eksperimen ini dilakukan beberapa kali perekaman dengan variasi frekuensi yang diatur oleh selonoidvalve berbedabeda yaitu frekuensi 0,67Hz, 2Hz dan 4Hz. Berikut ini adalah contoh cuplikan perolehan citra hasil perekaman timelapsed pada proses surut ditunjukan pada gambar 5.1.
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
(a) (b)
(c)
(d)
Gambar 5.1 Cuplikan citra suruthasil perekaman timelapsed pada frekuensi 2Hz Citra yang ditampilkan pada gambar 5.1 diambil dari cuplikan image ke image pada permukaan fluida yang mengalami surut, terekam secara otomatis dari waktu ke waktu. Dari gambar citra (a), (b), (c) dan (d) terlihat perubahan posisi permukaan. Perubahan posisi tersebut disebabkan oleh laju aliran di pipa horizontal yang dikendalikan oleh solenoidvalve. Peran solenoid valve pada proses aliran ini adalah membuka dan menutub katub. Proses tersebut di atur dengan frekuensi tertentu, sehingga menghasilkan pola
pasang surut permukaan fluida pada pipa transparan vertikal. Kemudian dari pola pasang surut permukaan fluida dapat dihitung besar energinya. Seperti pola surut permukaan fluida pada gambar 5.1 diatur dengan membuka dan menutub katub solenoid valve pada frekuensi 2 Hz. Berikut adalah contoh cuplikan perolehan citra hasil perekaman timelapsed yang mengalami pasang permukaan fluida terdapat pada gambar 5.2, yang merupakan satu rangkaian kejadian pada proses surut permukaan fluida pada gambar 5.1.
(e) (f) (g) (h) (i) Gambar 5.2 Cuplikan citra pasanghasil perekaman timelapsed pada frekuensi 2Hz Citra yang ditampilkan pada gambar 5.2 diambil dari cuplikan image ke image pada permukaan fluida yang mengalami pasang, terekam secara otomatis dari waktu ke waktu. Dari gambar citra (e), (f), (g), (h) dan (i) terlihat perubahan posisi permukaan.
Kemudian dari rangkaian pasang surut pada gambar (a), (b), (c), (d), (e), (f), (g), (h), dan (i) dilakukan penggabungan dengan menggunakan software imageJ. Penggabungan citra gambar tersebut dapat dilihat pada gambar 5.3. Perlakuan yang sama juga dilakukan
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
293
pada citra dengan variasi frekuensi 0,67Hz dan 4Hz. Masing-masing
cuplikan dan penggabungan citra imagenya dapat dilihat pada lampiran 2.
Gambar 5.3 Gabungan citra osilasi pasang surut permukaan fluida pada frekuensi 2Hz Perhitungan Dengan Menggunakan ImageJ Analysis Setelah melaksanakan perekaman timelapsed dan seluruh citra dari setiap variasi frekuensi 0,67Hz, 2Hz, dan 4Hz didapatkan, diteruskan dengan melakukan analisis citra dengan menggunakan software imageJ analysis dan microsoft excel. Satu demi satu citra yang diperoleh dibuka dengan imageJ analysis kemudian pada setiap titik acuan dari citra permukaan fluida
ditentukan posisinya dengan cara meletakkan kursor pada garis permukaan fluida tersebut. Untuk nilai posisi x, z, w dan h yang tampak pada soft wareimageJ harus tetap dalam posisi tersebut, namun yang mengalami perubahan adalah nilai posisi y, karena yang yang akan diamati adalah posisi pasang surut permukaan fluida yang arahnya vertikal seperti yang terlihat pada gambar 5.4.
Gambar 5.4 Analisis data menggunakan software ImageJ
294
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
Hasil pengukuran koordinatkoordinat pixel dan waktu pada imageJ anaysis untuk setiap citra dimasukkan ke dalam microsoft excel kemudian data pengukuran posisi pasang surut permukan fluida dikonversi dari pixel ke
cm seperti yang ditunjukan pada gambar 5.5. hasil perhitungan untuk setiap variasi frekuensi 0,67Hz, 2Hz dan 4Hz yang digunakan dapat dilihat pada lampiran 3.
Gambar 5.5 Analysis Data menggunakan software Microsoft Excel
SIMPULAN 1. Metode perekaman timelapsed dapat digunakan untuk merekam simulasi gelombang pasang surut permukaan fluida secara teliti karena mampu merekam perubahan pasang surut tiap detik. Metode ini dapat dijadikan alternatif sebagai alat eksperimen yang tepat untuk pengamatan gerak yang relatif cepat. 2. Metode perekaman timelapsedmampu merekam simulasi pasang surut permukaan fluida menggunakan variabel terikat yaitu frekuensi sebesar 0,53Hz, 1Hz dan 3,08Hz. Dari hasil rekaman diperoleh energi dan amplitudo rata-ratanya sebagai variabelvariabel terikat. Semakin besar frekuensi, semakin besar energi dan amplitudo rata-ratanya.
Berapa jangkauan energy dan amplitudonya untuk setiap frekuensi itu? 3. Pola osilasi diperoleh dari hasil perekaman timelapsed. Pola itu diuji dengan persamaan lagrange yang diturunkan secara teoritis. Hasil uji menunjukkan posisi permukaan pasang surut fluida hasil rekaman serupa dengan polayang dihasilkan secara teoritik untuk masing-masing frekuensi. Namun, terdapat perbedaan posisi di antara keduanya karena persamaan belummemperhitungkan parameter-parameter fluida. Karena pada eksperimen ini belum memasukkan parameterparameter fluida atau faktor-faktor disipatif yang mempengaruhinya, yang sebetulnya tidak bisa diabaikan pada persamaan lagrange, maka dibutuhkan
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
295
eksperimen lanjutan dengan rumusan lagrange yang nonkonservatif. DAFTAR PUSTAKA Calkin, M. G., 1998, Lagrangian and Hamiltonian Mechanics, Solution to The Exercise, World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd, London. Fowles, G. R., 1986, Analytical Mechanics, Fourth Edition, CBS College Publishing, New York. Frank, M. W., 1986, Mekanika Fluida (Terjemahan), Penerbit Erlangga, Jakarta. Giancoli, D. C., 2001, Fisika Jilid I (Terjemahan), Erlangga, Jakarta. Ishaq M, 2007. Fisika Dasar, Penerbit Geraha Ilmu, Yogyakarta. Kamajaya, 1988, Penuntun Pelajaran Fisika, Ganeca Exact Bandung, Bandung. Khairiah, S.A., 2009, Pengamatan Eksperimen Gerak Harmonik Dua Batang Menggunakan Teknik Perekaman Timelapsed, ThesisS2, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Luknanto, D., 2008, Diktat Kuliah Bangunan Tenaga Air, ITS, Surabaya. Mark, W. Z., 1994, Fisika Untuk Universitas : Mekanika, Panas, Bunyi, Terjemahan Soedarjana dan Amir Ahmad, Bina Cipta, Jakarta.
296
Muhammad, A. H., Had, A. L., Terti, W., 2009, Studi eksperimental Perancangan turbin air terapung tipe helical blades, jurnal penelitian enjiniring, Vol. 12, No. 2, Munson, Y. O., 2005, Mekanika Fluida, Penerbit Erlangga, Jakarta. Sopiarini, N, 2009, Eksperimen Gerak Harmonic Bandul Ganda Menggunakan Teknik Perekaman Timelapsed, Thesis-S2, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta Putra, A.P., 2006, Studi Kelayakan System Radiografi Sinar X Menggunakan Indikator Plat Berlubang, Skripsi-S1, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Rinanto, A, 1982, Peranan Media Audio Visual Dalam Pendidikan, Yayasan Kanisius, Yogyakarta. Sutrisno, 1996, Fisika Dasar : Mekanika, Penerbit ITB, Bandung. Zwieten, J. V.,Driscoll, F. R., Leonessa, A., & Deane, G., Design of a Prototype Ocean current Turbinepart I : mhatematical modeling and dynamics simulation, Ocean Engineering, Vol.33, pp. 14851521, 2005
AKSARA Jurnal Ilmu Pendidikan Nonformal
PETUNJUK PENULISAN NASKAH 1. Naskah merupakan tulisan hasil penelitian, laporan pengembangan kebijakan, peta pengembangan pendidikan, referensi pembinaan guru, dan resensi buku yang terkait dengan dunia pendidikan, Naskah tulis dalam bahasa Indonesia atau bahas Inggris, belum pernah diterbitkan, dan tidak sedang diajukan kejurnal atau majalah lain. 2. Naskah diketik 1,0 spasi atau kertas A4, dengan huruf Arial ukuran 10, berkisar antara 10-18 halaman, termasuk tabel, grafik, diagram, foto (sedapat mungkin discan/dipiral), gambar, dan daftar pustaka. Cetakan naskah disertai file berformat*. Doc (via disket atau e-mail), dikirim kealamat redaksi. 3. Naskah yang ditulis dalam bahasa Indonesia menggunakan kalimat sederhana, mudah dipahami, tidak menggunakan penafsiran ganda dan terhindar dari pemakaian istilah bahasa asing , kecuali tidak memiliki terjemahan baku dalam bahasa Indonesia (ditandai dengan huruf miring atau tanda dalam kurung setelah diterjemahkan). 4. Penulisan artikel memiliki urutan sebagai berikut. a) Judul; b) Nama penulis; perguruan tinggi atau instansi; c) Alamat korenspondensi penulis (alamat instansi dan/atau email); d) Abstrak, berisi rangkuman yang mencakup masalah, uraian pembahasan singkat, kesimpula, diakhiri dengan tiga hingga lima kata kunci, ditulis dalam bahasa inggris; e) Pendahuluan (latar belakang, tujuan, masalah, manfaat); f) Uraian/pembahasan (khusus untuk artikel penelitian memuat kajian teori dan metedologi); g) Penutup (kesimpulan dan saran); h) Daftar pustaka. 5. Daftar pustaka disusun menurut sistem American psychology Association (APA) 6. Pencantuman rumus, tabel, grafik, diagram, foto, gambar dengan ketentuan sebagai berikut: a) Rumus: rumus diketik menggunakan MS Eqation dan diberi nomor (didalam kurung) disisi kanan. b) Tabel: nomor dan nama tabel ditempelkan ditengah, diatas kotak tabel. c) Grafik, diagram, foto, gambar: Nomor dan nama ditempelkan ditengah, dibawah objek. 7. Naskah jurnal untuk edisi yang segera akan terbit, paling lambat diterima oleh Redaksi satu bulan sebelum jadwal penerbitan. 8. Apabila terdapat kekurangan isi atau pelengkapan naskah, penulis diminta untuk melengkapinya segera mungkin. Redaksi berhak melakukan penyuntingan naskah tanpa mengubah isi gagasan yang ada didalamnya.
Volume 03 Nomor 2 Maret 2017
297