PEMBERDAYAAN BAHASA OSING MELALUI PENDIDIKAN NONFORMAL DI KABUPATEN BANYUWANGI Auliya Arista Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang
[email protected] Abstract Banyuwangi is an area rich in culture and have the original language is the language Osing. Osing current language extinction and a limited presence in certain areas one in the District of Glagah Kemiren defined as cultural heritage of indigenous people by the government Osing Banyuwangi. Non-formal education as an empowering language and culture that focuses on understanding. Mastery of the language and culture of the people Osing in Banyuwangi. This study describes the concept, form and function of non-formal education as empowerment of Osing language for the sake of preservation of national culture and identity reinforcement efforts. Non-formal education is not education institution or no tunder the mandate of the government and to support formal education, non-formal education forms that can be used to empower Osing language is through cultural festivals, cultural heritage, song and student community. The benefits of the non-formal education are complementary, additive, or a substitute formal education. The implication of this study is to empower the language and culture of Osing in Banyuwangi. Keywords: Osing language, non-formal education Abstrak Banyuwangi merupakan daerah yang kaya dengan budaya dan memiliki bahasa asli yaitu bahasa osing. Bahasa osing saat ini mengalami kepunahan dan keberadaannya terbatas di daerah-daerah tertentu salah satunya di Kemiren Kecamatan Glagah yang ditetapkan sebagai cagar budaya masyarakat asli osing oleh pemerintah kabupaten Banyuwangi. Pendidikan non formal sebagai upaya pemberdayaan bahasa dan budaya yang menitik beratkan pada pemahaman, penguasaan bahasa dan budaya masyarakat Osing di Kabupaten Banyuwangi. Kajian ini menjelaskan konsep, bentuk, dan fungi pendidikan nonformal sebagai upaya pemberdayaan bahasa osing demi pelestarian budaya bangsa dan upaya penguat jati diri. Pendidikan nonformal merupakan pendidikan yang tidak berlembaga atau bukan dari bawah amanat pemerintah dan sebagai penunjang pendidikan formal, bentuk-bentuk pendidikan nonformal yang dapat digunakan untuk memberdayakan bahasa osing yaitu melalui festival budaya, cagar budaya, lagu dan komunitas mahasiswa. Manfaat pendidikan nonformal tersebut yaitu sebagai pelengkap, penambah, maupun pengganti pendidikan formal. Implikasi kajian ini adalah terwujudnya pemberdayaan bahasa dan budaya osing di Kabupaten Banyuwangi. Kata kunci: bahasa Osing, pendidikan non formal
PENDAHULUAN Menurut Masinambow (dalam Chaer dan Leonie Agustina, 2010: 165) bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Kebudayaan merupakan suatu sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, sedangkan kebahasaan merupakan suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi. Bahasa dan budaya merupakan jati diri suatu daerah yang harus dijaga keberadaannya. UNESCO memperkirakan separuh dari enam ribu bahasa yang ada di dunia saat ini terancam punah. Menurut catatan dari keseluruhan bahasa tersebut hanya 300 bahasa yang tergolong bahasa besar dan 5700 bahasa kecil, termasuk di dalamnya 726 bahasa kecil yang ada di Indonesia. Bahasa kecil itulah yang terancam punah. Pewarisan bahasa daerah sampai pada kondisi memprihatitan. Menyadari hal tersebut sejak tahun 1991 UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari diperingati sebagai hari bahasa Ibu sedunia. Lewat kegiatan ini diharapkan semua pihak merasa ikut semua bertanggung jawab dalam hal pelestarian dan pemertahanan bahasa 91
Vol.1, No.1 Februari 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
yang ada di Dunia (Sayuti, Suminto dan Hermiana Kusmayati, 2014) Menurut Vilhelm Von Humboldt (dalam Chaer, 2009: 51) pandangan hidup dan budaya suatu masyarakat ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri. Banyuwangi merupakan daerah yang memiliki masyarakat asli yaitu masyarakat osing yang menggunakan bahasa sehari-hari yaitu bahasa osing. Keberadaan bahasa osing tersebut sudah semakin jarang ditemui. Desa Kemiren Kecamatan Glagah merupakan salah satu daerah yang masih kental dengan bahasa osing dan kebudayaan masyarakat osing. Semakin berkembangkan kepariwisataan dan industri di Banyuwangi mengakibatkan banyaknya pendatang baru yang memiliki bahasa dan kebudayan yang beragam, seperti bahasa Madura, Jawa, Indonesia, dan bahasa Inggris, sehingga mengakibatkan berkurangnya pengguna bahasa osing. Hal tersebut menggeser keberadaan bahasa osing sebagai bahasa asli masyarakat Banyuwangi. Orangtua lebih memilih mengajarkan anak menggunakan bahasa Jawa atau bahasa Indonesia untuk kemudahan informasi, sehingga bahasa pertama anak bukan bahasa osing. Sebagai sebuah produk budaya, bahasa dituntuk untuk selalu dinamis sesuai dengan perkambangan kebudayaan yang ada pada masyarakat penuturnya. Dengan demikian, sebuah bahasa akan tetap adaptif terhadap kebutuhan komunikasi masayarakat pendukungnya. Selain itu mengemban fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, bahasa juga merupakan sarana ekspresi dalam menuangkan gagasan dan konsep-konsep serta sarana transformasi atas nilai-nilai kebudayaan itu sendiri (Mukoyyidin, 2011). Bahasa yang tidak dapat berkembang akhirnya mengalami kepunahan. Salah satu bahasa yang dikhawatirkan mengalami kepunahan adalah bahasa osing. Untuk mencegah kepunahan tersebut dilakukan pemertahanan dan pemberdayaan bahasa. Bahasa yang mengalami kepunahan atau pergeseran merupakan bahasa yang tidak mampu mempertahankan diri, sehingga tergeser dengan bahasa lain. Fastol (dalam Mardikantoro, 2012) menjelaskan bahwa pergeseran dan pemertahanan bahasa merupakan hasil dari proses pemilihan bahasa dalam jangka waktu yang panjang. Pergeseran bahasa menunjukkan adanya suatu bahasa yang benar-benar ditinggalkan oleh komunitas penuturnya. Bahasa yang diprediksi dapat bertahan merupakan bahasa yang masih setia digunakan oleh penuturnya dalam semua lapisan usia dan digunakan dalam berbagai ranah pertuturan. Langkah yang ditempuh pemerintah untuk menjaga keberadaan bahasa osing yaitu melalui jalur pendidikan formal dengan menjadikan bahasa osing sebagai muatan lokal di sekolah dasar kelas atas menuai banyak kendala. Program tersebut didukung dengan adanya bahan ajar berupa buku, akan tetapi tidak didukung dengan adanya tenaga pengajar bahasa osing, sehingga program tersebut tidak dilaksanakan oleh semua sekolah dasar di Kabupaten Banyuwangi sebagai besar sekolah hanya menjadikanya sebagai wacana. Berdasarkan permasalahan tersebut makalah ini akan membahas tentang pemberdayaan bahasa osing melalui pendidikan non formal. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV Pasal 26 ayat 4, pendidikan dalam bentuk nonformal seperti lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, majlis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Pendidikan nonformal dalam upaya pemberdayaan bahasa osing di kabupaten Banyuwangi berfungsi sebagai penambah, dan pelengkap pendidikan formal. KONSEP PENDIDIKAN NONFORMAL Konsep belajar sepanjang hayat (lifelong learning) sebagai landasan pendidikan nonformal telah menjadi suatu kehidupan vital untuk kelangsungan hidup setiap individu, masyarakat, bahkan bangsa. Pendidikan merupakan upaya manusia untuk mengubah dirinya maupun orang lain selama dia hidup dan merupakan proses berkelanjutan. Konsep pendidikan secara umum terdiri dari 92
Vol.1, No.1 Februari 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
pendidikan formal, informal, dan nonformal. Pendidikan formal yaitu pendidikan yang bersifat sistem kerjanya dan berlandaskan hukum dari pemerintah, contohnya sekolah, madrasah, negeri, SD, SMP(bisa juga diartikan pendidikan umum), pendidikan formal terdiri dari pendidikan formal berstatus negeri dan pendidikan formal berstatus swasta. Pendidikan non formal yaitu pendidikan yang tidak berlembaga atau bukan dari bawah amanat pemerintah, hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. Sedangkan pendidikan informal yaitu pendidikan yang termasuk dalam pendidikan formal namun kegiatannya diatur oleh bagian tertentu. Pendidikan nonformal sebagai modes of learning memberikan akses pendidikan dan belajar lebih luas kepada warga belajar. Dengan pendidikan nonformal warga belajar didorong belajar menguasai kompetensi tertentu agar dapat hidup dalam situasi yang berubah-ubah dan belajar untuk hidup lebih mandiri dan bertanggung jawab baik kepada diri pribadinya maupun kepada masyarakatnya (Kamil, 2009: 24). Pendidikan nonformal dapat diartikan sebagai ilmu yang secara sistemik mempelajari sosial-budaya antara warga belajar sebagai objek dengan sumber belajar dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan, dengan menekankan pada pembentukan kemandirian, dalam rangka belajar sepanjang hayat. Menurut Kamil (2009: 46) masyarakat merupakan sumber belajar dan sarana pendidikan nonformal. Masyarakat sebagai sumber pengembangan dan pembangunan pendidikan nonformal, khususnya dalam pengembangan kurikulum dan implementasi program. Sejauh mana kurikulum dan program pendidikan nonformal dapat menyentuh kehidupan masyarakat serta bagaiman tingkat partisipasi masyarakat setempat dalam pengembangan berbagai program-program pendidikan nonformal tersebut. Masyarakat sebagai sarana pendidikan nonformal, dapat dilihat dari tingkat partisipasi masyarakat dalam berbagai program yang berhubungan dengan program peningkatan kemampuan, keterampilan dan kualitas diri. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan masyarakat, majelis taklirn serta satuan pendidikan yang sejenis. Tampak bahwa pendidikan nonformal pada dasarnya lebih cenderung mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat yang merupakan sebuah proses dan program, yang secara esensial, berkembangnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat akan sejalan dengan munculnya kesadaran tentang bagaimana hubungan-hubungan sosial dapat membantu pengembangan interaksi sosial dan pembelajaran berkaitan dengan masalah yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sosial, politik,, lingkungan, ekonomi dan faktor-faktor lain. Keunggulan pendidikan nonformal yaitu struktur program yang lebih luwes, biaya lebih murah, lebih berkaitan dengan kebutuhan masyarakat, serta memiliki program yang fleksibel dan kelemahan yang terdapat dalam program pendidikan ini antara lain: kurangnya koordinasi, kelangkaan pendidik profesional, dan motivasi belajar yang relatif rendah. BENTUK PENDIDIKAN NONFORMAL SEBAGAI UPAYA PEMBERDAYAAN BAHASA OSING 1) Festival Budaya Banyuwangi Banyuwangi merupakan daerah yang kaya akan budaya. Kebudayaan merupakan sesuatu yang kompleks yang di dalamnya terdapat pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang dari masyarakat. Di Banyuwangi untuk melestarikan kebudayaan tersebut dilakukan berbagai festival budaya, diantaranya festival gandrung sewu, rujak soto, kebo-keboan, dan festival kuwung. Banyuwagi 93
Vol.1, No.1 Februari 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
festival merupakan acara tahunan yang diselengarakan pemerintah kabupaten banyuwangi pada waktu Oktober hingga Desember. Festival budaya merupakan langkah yang dilakukan pemerintah untuk melestarikan budaya masyarakat Banyuwangi, selain itu juga untuk memperkenalkan budaya asli Banyuwnagi pada dunia Nasional dan Internasional. Festival budaya tersebut dapat digunakan sebagai media pendidikan nonformal. Pendidikan nonformal menekankan pada membentuk kemandirian dalam rangka belajar sepanjang hayat. Mempelajari budaya tidak hanya dilakukan di dalam kelas (formal), dapat didukung dengan pendidikan di luar sekolah (nonformal) sebagai pelengkap dan tambahan pelajaran. Ketika mempelajari budaya hanya dari buku, memiliki kelemahan diantaranya yaitu susah untuk dibayangkan karena bersifat abstrak. Ada lima prinsip pedagogik yaitu belajar dari sesuatu yang konkrik ke pengetahuan yang abstrak, praktek ilateratis (siswa belajar dan melakukan, konteks konsetrasi dan keterampilan, instruksi yang sistematis, dan penilaian diangnostik (Knapp, 2005). Ketika melihat langsung bentuk-bentuk budaya tersebut dalam festival budaya makan anak akan lebih cepat penangkap pemahaman tentang budaya daerah, karena mereka melihat dan mengamati secara langsung. Media konkret adalah segala sesuatu yang nyata dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat siswa sehingga proses pembelajaran dapat berjalan lebih efektif dan efesien menuju kepada tercapainya tujuan yang diharapkan. Media pembelajaran konkret merupakan alat bantu yang paling penting. Benda nyata sebagai media adalah alat penyampaian informasi yang berupa benda atau obyek yang sebenarnya atau asli dan tidak mengalami perubahan yang berarti. Sebagai obyek nyata, media konkret merupakan alat bantu yang bisa memberikan pengalaman langsung kepada peserta didik. Oleh karena itu, media konkret banyak digunakan dalam proses pembelajaran sebagai alat bantu memperkenalkan subjek baru. Media konkret mampu memberikan arti nyata kepada hal-hal yang sebelumnya hanya digambarkan secara abstrak yaitu dengan kata-kata atau hanya visual. Manfaat penggunaan media konkrit yaitu membangkitkan ide-ide atau gagasan-gagasan yang bersifat konseptual, sehingga mengurangi kesalahpahaman siswa dalam mempelajarinya, meningkatkan minat siswa untuk materi pelajaran, memberikan pengalaman-pengalaman nyata yang merangsang aktivitas diri sendiri untuk belajar, dapat mengambangkan jalan pikiran yang berkelanjutan, dan menyediakan pengalaman-pengalaman yang tidak mudah di dapat melalui materi-materi yang lain dan menjadikan proses belajar mendalam dan beragam. 2) Cagar Budaya Osing Peran masyarakat di dalam pendidikan nonformal diantaranya masayarakat mendirikan sangar-sangar belajar, magang, kejar usaha produktif, pendidikan keagamaan dalam bentuk pesantren, dan ketrampilan berwira usaha. Memasyarakatkan usaha pendidikan secara luas melalui organisasi masyarakat dalam dunia pendidikan guna mendorong perbaikan dalam dunia pendidikan (Kamil, 2009: 51). Peran masyarakat sangat penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Cagar budaya menurut undang-undang No.11 tahun 2010 merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan prilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Dalam undang-undang juga dijelaskan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, 94
Vol.1, No.1 Februari 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya. Bentuk cagar budaya berupa : a. Benda. Benda cagar budaya adalah benda alam atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia. b. Struktur. Struktur cagar budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia c. Bangunan. Bangunan cagar budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap . d. Situs. Struktur cagar budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/ atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia. e. Kawasan. Kawasan cagar budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas. Banyuwangi memiliki cagar budaya osing di desa Kemiren kecamatan Glagah, cagar budaya tersebut difungsikan sebagai tempat wisata umum. Pemanfaatan cagar budaya tersebut sebagai upaya pemberdayaan bahasa osing melalui pendidikan nonformal sangatlah penting untuk mendukung pendidikan formal yang telah diterima. 3) Lagu Pembelajaran bahasa daerah di sekolah dasar pelalui pendidikan formal telah dilakukan akan tetapi tidak terlaksana dengan baik karena tidak adanya tenaga pengajar bahasa osing di sekolah. Hal tersebut dapat disikapi dengan memberikan tambahan pelajaran melalui pendidikan nonformal yaitu melalui lagu. Lagu merupakan gabungan seni dan nada, kombinasi dan hubungan temporal untuk menghasilkan gabungan musik yang mempunyai kesetuan dan kesinambungan (mengandung irama), dan ragam nada atau suara yang berirama. Pada saat ini lagu Banyuwangi yang berbahasa osing telah menyebar ke berbagai daerah seperti Malang, Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, dan Pasuruan. Lagu-lagu tersebut dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran bahasa osing dan pembelajaran di luar sekolah. Akan lebih mudah mempelajari bahasa osing melalui lagu. Pembelajaran lagu pelalui pendidikan nonformal salah staunya melalui kelompok belajar. Kelompok Belajar atau Kejar adalah jalur pendidikan nonformal yang difasilitasi oleh Pemerintah untuk siswa yang belajarnya tidak melalui jalur sekolah, atau bagi siswa yang belajar di sekolah berbasis kurikulum non pemerintah. Belajar/ belajar kelompok adalah suatu kegiatan belajar yang dilakukan bersama-sama guna menyelesaiakan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan belajar. Manfaat kelompok belajar yaitu meningkatkan pemahaman dan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran yang diajarkan guru di sekolah, melatih kemampuan siswa untuk berkomunikasi dengan baik., menumbuhkembangkan rasa sosial di antara sesama siswa, mengembangkan sikap dan kerja sama dalam sebuah komunitas atau tim, menjadi ajang saling berbagi ilmu pengetahuan, dan mengasah kemampuan siswa untuk berdiskusi dan berdebat secara sehat. Beberapa anak dikecamatan Cluring mengaku di sekolah dasar terdapat muatan lokal bahasa osing akan tetapi tidak pernah masuk (tidak diajarkan). Anak mengetahui bahasa osing dari lagu yang telah beredar, meskipun pada tataran awal anak belum mengetahui artinya akan 95
Vol.1, No.1 Februari 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
tetapi hafal lirik lagunya. Dalam proses mendengarkan lagu anak mengalami proses menyimak. Menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang disampaikan. Menyimak merupakan kegiatan reseptif, yakni menerima segala informasi termasuk kosa kata suatu bahasa dan bagaimana cara melafalkan suatu kata dengan pelafalan yang tepat seperti penutur asli suatu bahasa (Tarigan, 1994:28). Berdasarkan hal tersebut sekolah dapat mendukung dengan memberikan penguatan makna. Lagu bahasa osing yang telah beredar merupakan lagu-lagu dewasa, lagu tersebut dapat diganti dengan lirik lagu yang sesuai dengan tingkat pendidikan dan kedewasaan anak. Penyesuauian lirik lagu terhadap tingkatan anak merupakan bentuk kepedulian terhadap karakter anak, karena lagu dewasa memiliki lirik yang bermakna luas dan cenderung ambigu. 4) Komunitas Mahasiswa Banyuwangi Komunitas mahasiswa banyuwangi khususnya di Malang terbentuk karena banyaknya putra-putri Banyuwangi yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi di Malang. Setiap universitas di Malang memiliki komunitas mahasiswa Banyuwangi atau yang akrap disebut Iwangi. Komunitas merupakan kelompok sosial dari beberapa organism yang berbagi lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan dan habitat yang sama. Dalam komunitas manusia, individuindividu di dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, dan asal yang sama. Di Malang banyak terdapat komunitas-komunitas mahasiswa. Setiap mahasiswa daerah memiliki komunitasnya masing-masing, seperti komunitas mahasiswa lombok, komunitas mahasiswa bima, komunitas mahasiswa mahasiwa Kalimantan, komunitas mahasiswa banyuwnagi, dan masih banyak lagi. Komunitas tersebut dibentuk karena memiliki kesamaan domisili dan tujuan. Pengaruh dari komunitas-komunitas tersebut dapat dilihat dari bentuk-bentuk program kerja yang dilaksanakan. Selama ini komunitas mahasiswa Banyuwangi selalu mempunyai program-program diantaranya yaitu program rutin tahunan sosialisasi universitas di SMA di Banyuwangi, dan program ruti bulanan yaitu diskusi budaya pariwisata Banyuwangi. Komunitas ini masih mengutamakan pelestarian budaya Banyuwangi. Berkaitan dengan pemberdayaan bahasa osing langkah yang telah ditempuh komunitas yaitu menggunakan bahasa osing pada saat berkumpul dan berdiskusi. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk pelestarian bahasa osing. Akan tetapi untuk program lebih lanjut mengenai pemberdayaan bahasa osing belum ada. Komunitas ini dapat dibina menjadi wahana pendidikan nonformal sebagai upaya pemberdayaan bahasa osing dengan membuat program-program pembinaan bahasa osing. Program-program pembinaan bahasa osing tersebut dapat berbentuk pembinaan di sekolahsekolah, lembaga pendidikan, atau mendirikan sendiri kelompok pemberdayaan bahasa osing. Sebagai mahasiswa yang dibelaki dengan ilmu pengetahuan yang luas tentu penyampaiannya kepada anak diharapkan akan lebih mudah dipahami dan komunitas tersebut dapat memberikan kontribusi besar dalam pemberdasaan bahasa, sehingga tidak hanya sekadar komunitas atau perkumpulan semata. FUNGSI PENDIDIKAN NONFORMAL Pendidikan nonformal merupakan proses belajar yang terjadi secara terorganisir di luar sistem sekolah atau pendidikan formal, baik dilaksanakan terpisah maupun bagian penting dari suatu kegiatan yang lebih besar yang dimaksudkan untuk melayani sarana pendidikan tertentu dan belajar tertentu pula. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik 96
Vol.1, No.1 Februari 2015
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
dengan penekanan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian fungsional. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Fungsi pendidikan nonformal menurut Marzuki (2010: 141) yaitu sebagai berikut. 1) Sebagai persiapan memasuki dunia sekolah. Dalam pemberdayaan bahasa osing sebelum peserta didik memperoleh bahasa kedua di sekolah sebaiknya dikenalkan dengan bahasa osing jika bahasa pertamanya bukan bahasa osing. 2) Sebagai tambahan pelajaran karena mata pelajaran yang disajikan disekolah terbatas. Bahasa osing sebagai muatan lokal disekolah dasar sangat terbatas karena tidak adanya guru dan minimnya bahan ajar, pendidikan nonformal dapat digunakan sebagai tambahan pelajaran untuk memperkuat pengetahuan tentang bahasa osing. 3) Sebagai pelengkap karena kecakapan tertentu memang tidak diajarkan di sekolah tetapi tetapi dipandang perlu, sementara kurikulum sekolah tidak mampu menampungnya. 4) Sebagai pengganti karena anak-anak yang tidak sekolah harus memperoleh kecakapan sama dengan anak yang sekolah. Pendidikan nonformal juga diperlukan untk membantu dunia pendidikan meningkatkan pendidikan masyarakat yang tidak dapat menempuh pendidikan formal di sekolah maupun lembaga pemerintah lainnya. KESIMPULAN Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Pandangan hidup dan budaya suatu masyarakat ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri. Pemberdayaan bahasa daerah merupakan salah satu upaya penguavcbt jati diri suatu daerah. Bidang pendidikan dan pariwisata merupakan wadah untuk memberdayakan bahasa daerah. Banyuwangi memiliki bahasa daerah yaitu bahasa Osing, Keberadaan bahasa tersebut sudah mulai punah sehingga harus dilestarikan. Upaya pemberdayaan bahasa Osing telah dilakukan pemerintah melalui jalur pendidikan formal dan pariwisata. Selain itu terdapat alternatif lain yaitu melalui pendidikan nonformal. Pendidikan nonformal memiliki fungsi sebagai persiapan, tambahan, pelangkap, dan pengganti pendidikan formal. Bentuk-bentuk pendidikan nonformal yang dapat dijadikan media pemberdayaan bahasa osing yaitu melalui festival budaya, cagar budaya Osing, dan komunitas mahasiswa Banyuwangi.
DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik. Jakarta Rineka Cipta Kamil, Mustofa. 2009. Pendidikan Nonformal Pengembangan melalui Pusat Kegiatan Belajar (PKBN) di Indonesia (Sebuah Pembelajaran dari Komunikan Jepang. Bandung: Alfabeta. Knapp
Peter. 2005. Genre, Text, Grammar. Australia: University of New South Wales Press Ltd.
Marzuki, Saleh. 2010. Pendidikan Nonformal Dimensi dalam Keaksaraan Fungsional, Pelatihan, dan Andragogi. Bandung: Rosdakarya. 97
Muqoyyidin, Andik Wahyun. 2011. Refitalisasi Bahasa Indonesia sebagai Basis Transformasi Budaya Bangsa, makalah dipresentasikan dalam “Seminar Transformasi Budaya Bangsa melalui Revitalisasi Bahsa Indonesia yang Bermartabat” oleh Lembaga Kebudayaan –Universitas Muhammadiyah Malang, 30 November 2011 Mukoyyidin. 2012. Bentuk Pergeseran Bahasa Jawa Masyarakat Sanim dalam Ranah Keluarga. Litera Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pengajaran. Vol. 11 No. 2, 204-215 Tarigan, Henry Guntur. 1994. Menyimak Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa Undang-undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sisitem Pendidikan Nasional (2003). Bandung: Umbara Sayuti, Suminto dan Hermiana Kusmayati. 2014. Pemertahanan Bahasa Muna di Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara. Litera Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pengajaran. Vol. 13 No. 1, 191-200
98