SUKU OSING (BANYUWANGI) MAKALAH Disusun guna memenuhi sebagian tugas Mata kuliah Wawasan Budaya Nusantara (MKK00102) Program Studi Televisi dan Film Jurusan Seni Media Rekam
Disusun oleh : ZAIN ARIFIN ROCHMAT NIM 14148108 NAJWA ILHAM KELANA NIM 14148157
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA 2015
i
ii
DAFTAR ISI I. PENDAHULUAN 1.1 Suku Osing .....................................................................................................1 1.2 Letak suku Osing ............................................................................................2 II. WUJUD KEBUDAYAAN SUKU OSING 2.1 Wujud Budaya Idea ........................................................................................4 2.1.1 Agama yang dianut “Suku Osing” ........................................................4 2.1.2 Kepercayaan Mistis yang diyakini “Suku Osing” ................................4 2.2 Wujud Budaya Tindakan ................................................................................6 2.2.1 Seni Kuntulan ........................................................................................6 2.2.1.1 Pengertian Kesenian Kuntulan Banyuwangi ............................6 2.2.1.2 Asal-Usul Seni Kuntulan .........................................................7 2.2.1.3 Proses Terbentuknya Seni Kuntulan ........................................8 2.2.2 Bahasa Osing ........................................................................................12 2.2.2.1 Perkembangan Bahasa Osing ...................................................12 2.2.2.2 Penggunaan Bahasa Osing ........................................................13 2.3 Wujud Budaya Artefak ...................................................................................14 2.3.1 Produk Kerajinan Tangan Khas Suku Osing ........................................14 2.3.2 Adat dan Istiadat Suku Osing ...............................................................17 III. PENUTUP 3.1 Kesimpulan ..................................................................................................19 3.2 Saran
.......................................................................................................19
3.3 Hambatan ....................................................................................................19 DAFTAR PUSTAKA
ii
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Suku Osing Suku Osing atau sering disebut juga dengan Suku Using merupakan suku asli yang berasal dari Banyuwangi tepatnya di Jawa Timur. Menurut Elvin, (2012) : Secara Etimologis kata Osing dapat diartikan dengan kata 'TIDAK' dalam Bahasa Indonesia atau ORA dalam Bahasa Jawa. Dalam konteks kebahasaan Pigeaud (1929) berpendapat bahwa, kata OSING bermakna ketertutupan penduduk asli Banyuwangi terhadap penduduk pendatang, atau dapat juga diartikan sebagai penolakan penduduk asli Banyuwangi dalam menerima dan hidup bersama dengan para pendatang dari luar Banyuwangi. Istilah itu telah menjadi nama suku Osing, namun dalam kehidupannya mereka tidak lagi menolak orang asing masuk dan berdomosili di Banyuwangi. Saat ini suku Osing berbaur dengan para pendatang dari etnis lain.
Gambar1. Ritual adat Suku Osing (Sumber:https://paketwisatabanyuwangi.files.wordpress.com/2014/01/193802_gandr ung-lanang-salah-satu-kebudayaan-wisata-osing_663_382.jpg)
Tidak hanya Suku Osing saja yang berasal dari Jawa Timur tetapi ada pula beragam jenis yang berasal dari Jawa Timurdiantaranya adalah suku Jawa, Madura, Bali, Banjar, Melayu, Mandar dan suku Using yang 1
2
mayoritas penghuni kota Banyuwangi. Menurut Siti Lailatul Nur Azizah, (2014:26) mengatakan bahwa : Suku Using adalah suku asli dari Banyuwangi. Using secara terminologis berasal dari kata sing-sering juga di ucapkan oleh suku Using hing yang berarti “tidak”, kemudian di maknai sebagai orangorang yang “tidak” ikut mengungsi ketika terjadi Perang Puputan Bayu, sehingga tetap menempati wilayah Blambangan yang sekarang menjadi kota Banyuwangi. Jadi secara garis besarnya masyarakat suku Osing tidak hanya ada di Banyuwangi, tetapi meliputi beberapa daerah di Jawa Timur yang dulu pernah dikuasai atau ikut wilayah Blambangan. Seperti sebagian Jember, Bondowoso, Situbondo dan Lumajang disebut masyarakat Using
1.2 Letak suku Osing Sebagian besar masyarakat suku Osing terdapat di kota Banyuwangi. Banyuwangi adalah kabupaten yang berada di ujung timur propinsi Jawa Timur. Menurut Luthviatin Novia (2014:2) : Kabupaten ini terletak di ujung paling timur Pulau Jawa, berbatasan dengan Kabupaten Situbondo di utara, Selat Bali di timur, Samudra Hindia di selatan serta Kabupaten Jember dan Kabupaten Bondowoso di barat.
Gambar 2. Peta wilayah kabupaten Banyuwangi (Sumber:https://www.google.co.id/maps/@-8.1976741,114.0386385,9z?hl=id)
3
Dilihat dari letak geografis kota Banyuwangi dapat terlihat bahwa Banyuwani dihimpit oleh gunung serta laut. Menurut Siti Lailatul Nur Azizah (2014:23) : Banyuwangi adalah daerah yang menjadi daerah perlintasan menuju selat Bali, terdapat suku Osing. Suku Osing memiliki kebudayaan yang merupakan perpaduan antara budaya Jawa, Madura, Arab, Cina, Melayu dan Bali. Banyuwangi memiliki panorama alam yang mempesona dan membentang dari wilayah utara sampai selatan, serta wilayah barat sampai timur. Hamparan gunung, hutan, dan pantai memberi corak berbeda pada masing- masing wilyah. Selain itu sangat terkenal akan seni dan budaya lokalnya antara lain kesenian Gandrung, Kuntulan, Damarwulan, Seblang, Barong, Angklung, Kendang Kempul, dan Jaranan. Dari budaya itu Banyuwangi banyak dikenal oleh masyarakat lokal maupun nonlokal, domestik maupun mancanegara. Dengan kata lain Banyuwangi memiliki tempat yang strategis. Tidak hanya itu, letak dari Banyuwangi juga mendukung kekayaan alam yang berlimpah dari hasil laut, maupun pertanian.
4
BAB II WUJUD KEBUDAYAAN SUKU OSING 2.1 Wujud Budaya Idea 2.1.1
Agama yang dianut “Suku Osing” Jika diperhatikan dari sejarahnya, suku Osing awalnya memeluk
ajaran Hindu-Budha yang diyakini sebagai agama mereka seperti halnya kerajaan Majapahit. Tetapi Sebagian besar masyarakat Osing beragama Islam, dan setengahnya lagi beragama Hindhu dan Budha. Mnurut Asep Ruhimat (2011:288) : Masyarakat Osing percaya pada para roh leluhur, reinkarnasi, moksa, dan hukum karma. Mereka juga percaya kepada roh yang dipuja (danyang) di sebuah tempat disebut Punden yang biasanya ada di bawah pohon atau batu besar. Meskupun saat ini agama mayoritas masyarakat Osing adalah Islam, hal tersebut akibat berkembangnya kerajaan Islam di daerah Pantura (Pantai Utara). Akan tetapi agama yang lain masih tetap ada di dalam Suku Osing. 2.1.2
Kepercayaan Mistis yang diyakini “Suku Osing” Masyarakat Suku Osing sendiri memiliki beberapa kepercayaan yang
masih mereka pecayai sampai saat ini. Menurut Ensiklopedia Wujud Kebudayaan Osing (2014) : Masyarakat Osing masih memegang teguhnya tradisi dan budaya yang erat kaitannya dengan hal mistis, ini menimbulkan banyak persepsi negatif bagi masyarakat yang hanya mengetahui sebagian saja dari tradisi Osing, terutama karena sebagian besar tradisi masyarakat Osing yang memang masih sangat dekat dengan budaya sebelum Islam. Meskipun kepercayaan tersebut masih dilakukan oleh Suku Osing, tetapi kepercayaan tersebut beberapa telah berubah dan menyesuaikan sesuai dengan agama yang dianut oleh Suku Osing. Ada beberapa keperccayaan Suku Osing yang sampai saat ini masih mereka lakukan. Bahkan di zaman yang modern ini masih ada juga
5
kepercayaan yang berbau mistis yang dilakukan oleh Suku Osing.Menurut Evan Permana (2009): Beberapa tradisi masyarakat Osing yang dianggap dekat dengan dunia mistis antara lain: 1. Adanya kepercayaan bahwa orang yang tentang ilmu pelet/ Jaran Goyang. Ilmu ini digunakan untuk menarik lawan jenis yang kita sukai. Jika orang terkena ilmu ini maka orang tersebut tidak akan bisa menolak orang yang menyukainya. Image bahwa jika seseorang disukai oleh orang yang berasal dari suku Osing tidak akan bisa menolak lahir dari mitos ini. Padahal mitos ini hanya berlaku jika orang tersebut sama sama suka. 2. Selametan setiap hari Senin dan Kamis di makam Buyut Cili yang dilakukan oleh orang yang akan mempunyai hajat ataupun sehabis melaksanakan suatu acara. 3. Masa menanam padi dan bercocok tanam yang didasarkan kepada perhitungan dan hari baik dan buruk, serta tanda tanda alam yang terbaca. 4. Tata cara selamatan yang sering kali dilaksanakan setiap hari tertentu dan pada saat tanggal tertentu. Frekuensi dari selamatan ini lebih sering daripada daerah lain. 5. Adanya kepercayaan tentang santet dan ilmu hitam lainnya bila kita dianggap menyakiti orang yang berasal dari suku Osing. Walaupun suku Osing awalnya memeluk ajaran Hindu-Budha yang diyakini sebagai agama mereka seperti halnya kerajaan Majapahit dan masyarakat Osing mayoritas beragama Islam. Menurut Asep Ruhimat (2011) : Penduduk suku Osing juga sebagian masih memegang kepercayaan lain seperti Saptadharma, yaitu kepercayaan yang kiblat sembahyangnya berada di Timur seperti orang Cina. Sistem kepercayaan di suku Osing masih mengandung unsur Animisme, Dinamisme, dan Monotheisme. Terbukanya suku Osing dalam menerima pengaruh dari luar ini membuat kepercayaan mistis dan agama masih bercampur. Suku Osing merupakan suku yang masih menjaga tradisi dan kepercayaan dahulu, dan tetap bisa menerima agama Islam yang masuk ke wilayahnya saat itu.
6
2.2 Wujud Budaya Tindakan 2.2.1
Seni Kuntulan
2.2.1.1 Pengertian Kesenian Kuntulan Banyuwangi
Gambar 3. Kesenian Kuntulan (Sumber:http://i.ytimg.com/vi/ev3TiN1kg0U/hqdefault.jpg )
Banyuwangi merupakan daerah yang kebudayaannya terbentuk dari keberagaman suku yang pernah singgah di sana, antara lain Jawa, Madura, Bali, Tionghoa dan lain-lain. Keberagaman suku tersebut membentuk sebuah suku baru yang diduga menjadi suku asli Banyuwangi. Yaitu suku Osing. Suku Osing merupakan hasil akulturasi budaya yang ada di Banyuwangi, memiliki ciri tersendiri seperti: bahasa, adat istiadat, sistem masyarakat, kesenian, ciri fisik dan pola pikir yang berbeda dengan suku lainnya. Hingga saat ini budaya dan kesenian yang hidup di Banyuwangi merupakan kesenian dan budaya asli maupun hasil akulturasi budaya antaretnis yang sangat digemari antara lain, kesenian kuntulan. Menurut Endy Barqah(2014:4) : Kesenian kuntulan merupakan kesenian hasil dari akulturasi budaya agama Islam dengan budaya asli Banyuwangi. Secara harafiah kuntulan berasal dari bahasa Arab, tersusun atas dua suku kata, yaitu kunyang artinya terjadi, dan lail yang artinya malam. Hal ini dapat diartikan kuntulan dilaksanakan pada malam hari. Kesenian kuntulan berawal dari kegiatan para santri yang selesai mengaji di malam hari kemudian mengembangkan kesenianhadrah dengan menambahkan
7
jidor pantus dan jidor bass pada bagian musiknya, yang berfungsi sebagai pengatur dan pengendali irama. Namun penyajian kesenian ini kemudian berkembang dengan gerakan-gerakan tari sederhana, seperti gerakan sholat, wudhu (bersuci) dan berdo’a.Menurut Kristina Novi Susanti dalam makalah tentang Kesenian Kuntulan Banyuwangi. Seluruh pemain baik pemusik dan penari seluruhnya adalah laki-laki, menggunakan kemeja putih, celana putih dan menggunakan peci (kopyah hitam), serta pemakaian dengan nama kuntulan. Asumsi Masyarakat awam disebut kuntulan karena kostumnya yang menyerupai burung kuntul.
Hingga sekarang kesenian Kuntulan masih dilestarikan oleh Suku Osing. Kesenian tersebut juga menjadi ciri khusus suku Osing dengan suku yang lain dan sebagai warisan budaya mereka.
2.2.1.2 Asal-Usul Seni Kuntulan Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa kesenian Kuntulan ada sejak awal datangnya para santri sebagai penyebar Islam. Menurut Kristina Novi Susanti dalam makalah tentang Kesenian Kuntulan Banyuwangi Kesenian Kuntulan awalnya dilahirkan dari lingkungan Pondok Pesantren merupakan suku perguruan Islam tempat mendidik dan mengembangkan santri (kader umat Islam) guna kelanjutan perjuangan penyebaran Islam. Selain melakukan kegiatan belajar agama Islam, para Santri juga melakukan aktivitas berkesenian yaitu menyanyikan Shalawat Nabi berisi tentang puji-pujian (Barzanji) kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian penyebaran Islam yang dilakukan oleh para Santri bertujuan melakukan aktivitasberkesenian dengan menyanyikan Sholawat Nabi.Selain itu, Masyarakat Using biasanya menyebut kesenian kuntulan sebagai Kesenian Hadrah Kuntul dan Kundaran, akan tetapi kebanyakan dari seluruh masyarakat Banyuwangi menyebutnya kesenian Kuntulan,
8
hanya berbeda penyebutanya saja, tetapi makna yang terkandung didalamnya sama-sama mengandung unsur Islamnya. Adapun Seni Kuntulan yang biasanya dilakukan oleh para santri ini menyajikan Sholawat dengan melakukan tata cara sendiri Penyajian tersebut menurut Kristina Novi Susanti dalam makalah tentang Kesenian Kuntulan Banyuwangi adalah: Penyajian ini berupa vocal puji-pujian oleh seorang rodat (penyannyi yang menyanyikan lagu Arab) dan diiringi oleh permainan ritmis terbang (rebana berjumlah 5 buah. Kesenian ini dimanfaatkan oleh para santri sebgai seni pertunujan pada hari-hari besar Islam, seperti : Maulid Nabi, Tahun Baru Islam (Muharram, Isra’ Mi’raj dan lain sebagainya. Dengan adanya penyajian tersebut kita dapat mempelajari kebudayaankebudayaan yang selama ini belum kita kenal baik masyarakat dari suku Osing sendiri maupun dari luar Suku Osing.
2.2.1.3 Proses Terbentuknya Seni Kuntulan Proses Terbentuknya Seni Kuntulan sendiri sebenarnya berasal dari kesenian Hadrah yang muncul pada awal. Kesenian Hadrah ini dulu sebenarnya digemari oleh masyarakat suku banyuwangi namun karena ada perkembangan zaman kesenian hadrah menjadi kuntulan. Menurut Siti Lailatul Nur Azizah, (2014:42) Sekitar tahun 1950 kesenian Hadrah muncul. Pada awalnya hadrah sangat kental dengan nuansa Islam yang sifatnya mutlak, isinya 100% dakwah Islam, sumbernya dari Kitab Berzanji. Instrumen musik yang mengiringinya adalah rebana dan kendang. Penarinya laki-laki dengan bentuk tarian menyerupai tarian Saman dari Aceh. Tembang yang dilantukan adalah bait-bait burdah dan pelakunya para santri yang ada di pesantren tersebut. Pada waktu itu Hadrah sangat digemari oleh masyarakat Banyuwangi, akan tetapi setelah perkembangan zaman Hadrah mulai memudar dan munculah kesenian Handrah Kuntul atau kesenian Kuntulan.
9
Hal tersebut membuat kesenian kuntulan yang berasal dari Banyuwangi terus berkembang dan tidak menjadi masalah adanya pergantian dari kesenian Hadrah menjadi kesenian Kuntulan.
Gambar 4.Kesenian Kuntulan (Sumber : Siti Lailatul Nur 2014)
Dalam perkembangan selanjutnya, penyebab kesenian Hadrah mulai memudar dan muncul kesenian Kuntulan dikarenakan mengalami berbagai perubahan baik dalam instrument musik, tarian, busana, maupun penampilanya. Setelah itu kesenian kuntulan berubah lagi menjadi kesenian Kuntulan Wadon.Menurut Siti Lailatul Nur Azizah, (2014:45) Kuntulan Wadon, muncul sekitar tahun 1955. Kesenian ini sudah menyebar dibeberapa desa di Kecamatan Kabat dan Kecamatan Rogojampi antara lain: Desa Badean, Tambong, Kawang, Pengantingan dan Pendarungan. Tahun 1960-an kesenian Kuntulan mengalami penurunan peminat, sampai akhirnya pada tahun 1979, sebuah kelompok kesenian bernama Jingga Putih yang berada di bawah pimpinan Sumitro Hadi melakukan perubahan bentuk pertunjukan Kuntulan dari penari lanang (laki-laki) menjadi penari wadon (perempuan). Bersama kelompok lain keseniannya, Sumitro membuat karya-karya pertunjukan, seperti menciptakan tari jejer jaran dawuk, rodat siirian, dan termasuk didalamnya Kuntulan Wadon. Kelompok kesenian Jingga Putih berada di Desa Gladak, kecamatan Rogojampi. Perubahan yang dilakukan oleh Sumitro Hadi didasari karena penari perempuan lebih menarik dan tidak membosankan. Perubahan penari ini juga diikuti dengan perubahan kostum dan tata rias penari. Kostum yang digunakan tidak lagi kemeja dan celana putih, tetapi
10
berupa atasan kuning dan warna lain, penutup kepala dihiasi dengan hiasan bunga, mirip omprok (penutup kepala) pada penari Gandrung atributnya berupa kaus kaki dankaus tangan, dan tata rias yang digunakan sudah menggunakan make up seperti warna bibir, pemerah pipi dan pewarna kelopak mata.
Gambar 5. Kesenian Kuntulan Wadon. (Sumber : Siti Lailatul Nur 2014)
Kesenian Kuntulan Wadon menjadi popular dikalangan masyarakat suku banyuwangi pada waktu itu, banyak masyarakar Banyuwangi yang menyukai dengan gaya dan penampilannya. Akan tetapi setelah adanya berkembangnya zaman Kuntulan Wadon mengalami perubahan menjadi kesenian Kundaran. Menurut Siti Lailatul Nur Azizah (2014:47) Kundaran didirikan pada tanggal 1 Januari 1980 oleh Sahuni, seniman asli dari Banyuwangi. Bersama kelompok kesenianya Sahuni menciptakan perubahan baru terhadap pertunjukan kesenian Kuntulan Banyuwangi. Sahuni memberikan ide pertujukan yang berbeda dengan kesenian Kuntulan biasa, hampir secara keseluruhan peyajian Kuntulan diubahnya. Perubahan tersebut meliputi: penambahan ensambel musik pengiring Damarwulan, yaitu reong, (sepasang kendang Bali lanang wadon), penambahan ensambel musik pengiring Gandrung, yaitu: kendang, kethuk, kenong, kluncing (triangle), serta
11
penambahan pada instrumen pengiring kesenian Jaranan, berupa slompret. Dengan demikian perubahan ini dinamakan “Kuntulan Dadaran” karena pada dasarnya semua yang ada pada kesenian kuntulan terdahulu diubah dengan sedemikian rupa, dan terciptalah “seni pertunjukan”, (performance art). Penyajian kesenian Kundaran lebih bersifat instrumental yang lebih banyak menonjolkan komposisi musik dengan memadukan irama-irama baru ke dalam irama musik Kuntulan, sehingga Kundaran lebih variatif dan meluas dari pada kesenian Kuntulan terdahulu. Dengan demikian masyarakat lebih menyukai kesenian ini karena sifatnya yang lebih bervariasi dan tidak monoton. Dalam wawancara bersama Sahuni selaku seniman Kuntulan, yang ditulis oleh Siti Lailatul Nur Azizah(2014:48) mengenai bagaimana perubahan kesenian Kuntulan dari waktu ke waktu dikatakan sebagai berikut: “Perubahan pada kesenian Kuntulan di karenakan pertemuaannya dengan kesenian-kesenian khas Banyuwangi seperti Gandrung, Damarwulan dan tarian lainnya, sehingga merubah bentuk asli kesenian Kuntulan menjadi kesenian Kundaran atau Kuntulan Dadaran (seni Kuntulan yang diperlebar). Kenapa bisa dinamakan Kundaran? Karena pada kesenian ini lebih fleksibel dan melua, dari musik, tarian juga mengalami perubahan dan penambahan pada alat musik, tidak hanya itu saja para penari Kuntulan yang tadinya lakilaki ikut berubah menjadi penari perempuan (Wadon). Sehingga masyarakat Banyuwangi semakin tertarik, karena kesenian ini tidak monoton. Sedangkan sifat dari kesenian Kuntulan dan Kundaran sama-sama berdakwah Islam.”
12
Gambar 6.Kesenian Kundaran (Kuntulan Dadaran) (Sumber : Siti Lailatul Nur 2014) Hingga saat ini kesenian Kuntulan menjadi warisan budaya di Banyuwangi dan tidak bisa ditinggalkan sebagai kebiasaan bagi warga Banyuwangi, khusunya bagi orang-orang suku Osing. 2.2.2
Bahasa Osing
2.2.2.1 Perkembangan Bahasa Osing Suku Osing adalah penduduk asli Jawa Timur akibat dari berakhirnya kerajaan Majapahit, tentu sastra dan bahasa Osing di Blambangan memiliki persamaan dengan sastra dan bahasa Jawa, Madura dan Bali yaitu berasal dari bahasa
yang digunakan adalah bahasa Jawa kuno. Perkembangan
bahasa Osing sendiri bermula pada masa kerajaan Kediri. Menurut Kristina Novi Susanti pada makalahnya perkembangan dari Bahasa Osing ini mengalami puncak perkembangan pada masa pemerintahan kerajaan Kediri (898-910) yang kemudian disebut dengan bahasa Kawi. Menurut Thoedore S. Pieggeoud dalam bukunya literatut of Java yang dikutip oleh Kristina Novi Susantipada arus lalu lintas di Jawa yaitu pada zaman dahulu Jawa tersebar hanya melalui sungai Brantas dan Sungai Solo, sehingga daerah yang tidak dilewati kedua sungai tersebut memiliki dialek tersendiri yang berbeda dengan bahasa Jawa Kuno
13
Meski begitu, mereka menggunakan dialek yang berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya. Suku Osing menggunakan bahasa daerahnya sendiri yang dinamakan bahasa Osing, yang merupakan turunan langsung dari bahasa Jawa Kuno yang dahulu digunakan pada masa kerajaan Majapahit. Menurut Koentjaraningrat (1994) Bahasa Jawa Kuno ini dipergunakan dalam kesusastraan Jawa-Bali yang tulis sejak abad ke-14, dan terus hidup sampai abad ke-20.
Pada perkembangannya saat ini, bahasa Osing semakin lama semakin jarang digunakan dan menyusut. Menurut Irwan Abdullah (1999): Terjadi dimensi perubahan diakibatkan masuknya bahasa Jawa dan Madura dari masyarakat pendatang. Hal ini mengakibatkan terjadinya keanekaragaman bahasa dalam masyarakat Banyuwangi, dan muncul masalah mengenai keanekabahasan dan masalah sosiolinguistik lainnya. Dimana proses persentuhan bahasa ibu dan bahasa pendamping menimbulkan ketumpangtindihan (overlapping), alih kode dan campur kode. Walau terjadi percampuran bahasa di daerah Banyuwangi, bahasa Osing masih dapat ditemukan pada beberapa daerah di kecamatan paling timur di Banyuwangi. Beberapa penduduknya masih menggunakan bahasa Osing dalam berinteraksi antar warganya. Sedangkan untuk berinteraksi dengan orang luar daerah atau pendatang, mereka tidak lagi menggunakan bahasa Osing. 2.2.2.2
Penggunaan Bahasa Osing
Meskipun penggunaan bahasa sangat banyak digunakan
dan
mempunyai keanekaragaman bahasa, suku Osing sendiri mempunyai adanya percampuran bahasa dan keanekaragaman bahasa yang digunakan akibat tersebut Menurut Irwan Abdullah, dkk(1999): Akibat dari pencampuran berbagai bahasa, sekarang ini bahasa Osing memiliki 2 ragam bahasa. Yakni ragam biasa atau bahasa Osing dan ragam halus atau bahasa Jawa-Osing (orang Osing menyebutnya “besiki”).
14
Dalam dialek bahasa Osing, kosakata pada bahasanya terdapat penekanan pada huruf, kekhususan atau palatalisasi (pergeseran akibat pengaruh bahasa Madura), dan penambahan atau perubahan kata.
Ada beberapa kecamatan di daerah Banyuwangi yang masih menggunakan Bahasa Osing, menurut Evan Permana (2009) antara lain : 1. Kabat
9. Sebagian Kota Banyuwangi
2. Rangojampi
10. Gambiran
3. Glagah
11. Singojuruh
4. Kalipuro
12. Sebagian Genteng
5. Srono
13. Licin
6. Songgon 7. Cluring 8. Giri
2.3
Wujud Budaya Artefak
2.3.1 Produk Kerajinan Tangan Khas Suku Osing Dalam bidang industry, produk kerajinan tangan di Banyuwangi ini bisa dibilang masih tradisional, mulai dari proses, teknologi hingga hasil dari pembuatannya. Walaupun begitu, beragam kerajinan tangan dari masyarakat ini memiliki sebuah ciri kekhasan atau ikon dari daerahnya. Berikut beberapa kerajinan tangan khas Osing menurut Anastasia Murdyastuti,dkk. (2013):
15
a.
Motif batik Gajah Oling
Gambar 7. Motif Batik Gajah Oling (Sumber :http://www.banyuwangibagus.com/2014/10/mengenal-batikkhas-banyuwangi.html)
Motif batik Gajah Oling ini merupakan motif batik khas dari Banyuwangi. Motif ini berbentuk sulur-sulur tanaman dan kembang di ujungnya. Motif ini terdapat pada kain batik sebagai baju/busana adat, seperti busana tari Gandrung, pakaian adat manten, Seblang, dan lain-lain. Selain sebagai motif pada kain, Gajah Oling juga terdapat pada ornamen pahatan dan ukir kayu di rumah adat Osing. b.
Tenunan dari serat pisang Abaca
Gambar 8.Tenun dari serat pisang abaca (Sumber :http://fjb.kaskus.co.id/product/533df2aba4cb17516c8b4a14/tenunpelepah-pisang-abaka-dari-pulau-sanger-sulut )
16
Gambar 9. Serat pisang abaca (Sumber :http://omahtenunku.blogspot.co.id/2014/06/potensimenggiurkan-serat-pisang-abaca.html )
Di desa Kemiren kecamatan Glagah, terdapat sebuah kerajinan tangan dari tenunan yang dibuat dengan berbahan dasar serat pisang Abaca. Pisang Abaca merupakan tanaman asli kepulauan Phillipines dan Mindanao yang memiliki serat
tipis tapi sangat kuat. Abaca tidak
menghasilkan buah yang bisa dikonsumsi. Karena tidak mudah putus, serat Abaca banyak dimanfaatkan untuk bahan baku tali tambang, kerajinan dan mebel. Di Banyuwangi sendiri, tenunan dari Abaca ini dijadikan sebuah kerajinan yang menarik, seperti kap lampu, tirai, taplak meja, dan tatakan makan hingga bantalan kursi c.
Alat musik Angklung Angklung di Banyuwangi ini selain sebagai alat musik pengiring
dalam pertunjukkan dan upacara adat, juga digunakan dalam mengiringi gerak ani-anian padi. Angklung sekarang ini berkembang sangat pesat dan mengalami banyak varian seperti Angklung Paglak, Angklung Tetak, Angklung Dwi Laras dan Angklung Blambangan. Perbedaan penyebutan ini berdasarkan kelengkapan perangkat dibawakannya.
musik dan jenis nada yang
17
Namun semua adalah jenis angklung khas Banyuwangi yang hadir di tengah masyarakat tani telatah Blambangan ini. Menurut Evan Permana (2009) : 1.
Angklung Paglak: terbuat dari bilah-bilah bambu yang kemudian diatur dalam pangkan dengan nada slendro (Jawa). Angklung Paglak dahulu digunakan dalam pesta perayaan panen, yang kemudian berkembang hingga menjadi cikal bakal kesenian angklung di Banyuwangi. Paglak adalah gubuk kecil sederhana yang dibangun di sawah atau di dekat pemukiman. Paglak dibangun dari bambu dan dibangun sekitar 10 meter di atas tanah. Fungsi bangunan ini sebagai tempat untuk menjaga padi dari burung. Petani biasanya menjaga sawah sembari bermain alat musik angklung dalam paglak tersebut. Karena itu, seni ini disebut angklung paglak.
2.
Angklung Dwi Laras : Merupakan hasil pengembangan dari angklung tetak, penggabungan komposisi dua nada, yaitu laras pelog dan laras slendro.
3.
Angklung Blambangan : Angklung Blambangan merupakan improvisasi dari angklung caruk. Terdapat instrumen musik termasuk gong dan alat musik Gandrung.
2.3.2 Adat dan Istiadat Suku OSing Di daerah Banyuwangi banyak sekali ditemukan adat dan tradisi yang hingga sekarang masih dilakukan. Tradisi dan adat inipun tidak terlepas dari pengaruh kepercayaan mistis yang diyakini dan kesenian yang telah diwariskan. Beberapa tradisi pertunjukan dan upacara adat suku Osing selalu dipenuhi dengan iringan alat musik, tari, syair, dan lagu.
18
Berikut beberapa tradisi pertunjukan dan upacara adat suku Osing di Banyuwangi menurut Evan Permana (2009): 1.
Tari Gandrung : Pertujukan tari sebagai ucapan syukur atas hasil panen
2.
Kebo-Keboan : Upacara adat untuk meminta kesuburan hasil panen
3.
Perang Bangkat : Upacara adat saat prosesi perkawinan
4.
Geredhoan : Tradisi mencari jodoh oleh pemuda-pemudi suku Osing
5.
Barong Idher Bumi : Perayaan iring-iringan Barong untuk menolak balak
6.
Tari Seblang : Pertunjukan tari untuk menolak balak
7.
Petik Laut/Larung Sesaji : Upacara adat sedekah laut oleh nelayan dan penduduk di pesisi
19
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan Suku Osing adalah salah satu dari sekian banyak suku di Jawa terutama di Jawa Timur di Banyuwangi yang masih menjaga, melestarikan dan melaksanakan kebudayaannya maupun adat dan tradisi. Dimana banyak adat dan tradisinya dipengaruhi oleh kepercayaan mistis yang hingga kini masih diyakini penduduknya. Kekhasan dan keunikan suku Osing ini terdapat pada keberagaman kebudayaannya, berupa pencampuran antara budaya Jawa dan budaya Bali. Beragam kebudayaan suku Osing ini yang kemudian dibagi kedalam 3 wujud kebudayaan yang saling bergantung. Dimana wujud budaya idea sebagai ideology dan gagasan yang mengatur terbentuknya wujud budaya tindakan, dan wujud budaya artefak sebagai alat wujud budaya tindakan.
3.2 Saran Makalah ini ditujukan untuk semua orang dan para pembaca. Agar mengerti perkembangan dan sejarah seni terutama dalam hal wawasan budaya nusantara di Banyuwangi Suku Osing. Selain itu lebih banyak mengabdi kepada orang yang awam tidak hanya seniman agar mengetahui betul tentang dampak-dampak positif dan negatifnya dari Seni, agar semua bisa membedakan baik dan buruknya suatu seni maupun melestarikan Seni di Banyuwangi.
3.3 Hambatan Hambatan dalam pembuatan makalah ini adalah masalah waktu yang kami rasa begitu singkat serta bahan referensi yang kami rasa juga kurang begitu banyak.
DAFTAR PUSTAKA Buku : Anastasia Murdyastuti,dkk. 2013. Kebijakan Akselerasi Pengembangan Kawasan Wisata Using Berbasis Democratic Governance. Penelitian Unggulan Universitas Jember. Asep Ruhimat, dkk.2011.Ensiklopedia:Kearifan Lokal Jawa. Azizah, Siti Lailatul Nur. 2014. Kesenian Kuntulan Dalam Suku Using Di Banyuwangi Tahun (1950-1980): Studi Akulturasi Antara Unsur Islam Dengan Kesenian Kuntulan. PhD Thesis. UIN Sunan Ampel Surabaya. Endy Barqah. 2014. Aplikasi Pola Ritme Kuntulan Pada Drumset. Tugas Akhir Jurusan Musik Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Evan Permana. 2009. Perancangan Film Dokumenter:Tribute to East Java Heritage.Skripsi Universitas ITS. Irwan Abdullah, dkk. 1999. Bahasa Nusantara:Posisi dan Penggunaanya Menjelang Abad ke-21. Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa (Jakarta:Balai Pustaka) Novia, Luthviatin. 2014. IbM Kelompok Masyarakat Osing Dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Suku Osing Banyuwangi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember halaman 2. Susanti, Kristina Novi. Kesenian Kuntulan Banyuwangi: Pengamatan Kelompok Musik Kuntulan Mangun Kerto. Internet : http://www.kompasiana.com/elvinhendrata/bahasaosing_55195b83a33311a817b6593f diakses pada tanggal 25 September 2015 pada jam 15:33 . http://ensiklopedia.stikombanyuwangi.ac.id/utama/detail_content/38diakses pada tanggal 26 September 2015 pada jam 07:04 WIB.