Skripsi S1 Peran Penyuluhan Terhadap Pengetahuan Murid SD X Bantar Gebang, Bekasi Mengenai Pencegahan dan Pengobatan Cacingan Sheli Azaleaa, Saleha Sungkarb
a
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, b
Departemen Parasitologi FKUI
ABSTRAK Cacingan merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia khususnya pada anak usia sekolah dasar (SD). Pengetahuan mengenai pencegahan dan pengobatan penting dalam mengatasi cacingan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui peran penyuluhan dalam meningkatkan pengetahuan murid SD mengenai cacingan. Penelitian menggunakan desain eksperimental dengan intervensi penyuluhan kesehatan. Pengambilan data dilaksanakan di SD X Bantar Gebang, Bekasi pada tanggal 17 Desember 2011 terhadap 60 murid SD kelas IV, V, dan VI. Murid tersebut diberikan penyuluhan mengenai pencegahan dan pengobatan cacingan. Evaluasi dengan pretest dan posttest menggunakan kuesioner berisi lima pertanyaan mengenai pencegahan dan pengobatan cacingan. Data diolah dengan SPSS 20.0 serta diuji dengan marginal homogeneity dan Wilcoxon. Sebelum penyuluhan, murid yang mempunyai pengetahuan kurang 56 orang (93,3%), sedang 4 orang (6,7%), dan tidak ada yang memiliki pengetahuan baik. Setelah penyuluhan, murid dengan pengetahuan kurang 51 orang (85%), sedang 8 orang (13,3%), dan baik 1 orang (1,7%). Sebelum penyuluhan, pertanyaan yang paling banyak dijawab tidak tepat oleh murid SD adalah makanan yang tidak boleh dimakan penderita cacingan (88,3% yang menjawab salah). Berdasarkan uji marginal homogeneity didapatkan perbedaan tidak bermakna (p=0,058) pada pengetahuan murid sebelum dan sesudah penyuluhan. Disimpulkan penyuluhan tidak berperan meningkatkan pengetahuan murid SD mengenai pencegahan dan pengobatan cacingan. Kata kunci: cacingan; penyuluhan; murid SD; pengetahuan; pencegahan dan pengobatan ABSTRACT Helminthiasis is a health problem in Indonesia especially in school age children. Knowledge on helminthiasis prevention and medication is important in overcoming the disease. The aim of this research is to know the role of health education in stage of elementary school student knowledge level on prevention and medication of helminthiasis. This case study uses experimental design with intervention in health education and analyze by SPSS 20.0 with marginal homogeneity and Wilcoxon test. Data collected in SD X, Bantar Gebang, Bekasi on December 17th, 2011 from 60 elementary school students. Health education was given about helminthiasis prevention and education. Pretest and posttest use questionnaire which consists of five questions about helminthiasis. Knowledge level of student before health education are 93,3% poor, 6,7% average, and 0% good. After health education, the knowledge level are 85% poor, 13,3% average, and 1,7% good. Before health education, the question with the poorest score is the food that forbidden for helminthiasis (88,3% answer false). Based on marginal homogeneity test, there is no significant difference (p=0,058) on the knowledge level before and after health education. It
Peran penyuluhan terhadap..., Sheli Azalea, FK UI, 2013
is concluded that health education has no role in increasing knowledge level of elementary school student on helminthiasis prevention and medication. Keywords: helminthiasis, health education, elementary school student, knowledge level, prevention and medication Pendahuluan Di Indonesia, terdapat banyak penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, salah satunya adalah cacingan (soil transmitted helminthes/STH). STH yang paling banyak terdapat di Indonesia adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang, namun yang sering menginfeksi anak-anak adalah A. lumbricoides dan T. trichiura. A. lumbricoides dan T. trichiura umumnya ditemukan hidup bersama pada satu hospes. Kedua cacing tersebut menyukai tanah liat untuk perkembangannya. Selain itu, cara infeksi kedua cacing tersebut juga sama yaitu dengan menelan telur infektif yang terdapat di tanah liat. Berdasarkan survei Departemen Kesehatan RI dikutip dari Salbiah1 prevalensi askariasis dan trikuriasis di Indonesia pada tahun 2002-2004 adalah sekitar 57% - 90%. Di daerah Jakarta Pusat survei pada murid sekolah dasar diketahui bahwa prevalensi askariasis sebesar 66,67% dan trikuriasis sebesar 61,12% sedangkan 45,56% merupakan infeksi campuran.2 Hal tersebut disebabkan anak-anak mempunyai kebiasaan bermain tanah dan memasukkan jari ke dalam mulut.1 Selain itu, anak usia balita dan sekolah dasar belum dapat menjaga kebersihan diri sehingga rentan terhadap infeksi cacing. Askariasis dan trikuriasis dapat mengganggu tumbuh kembang anak. Jika keadaan tersebut berlangsung lama maka dapat mengurangi kemampuan belajar dan mengganggu kesehatan anak.2 Dengan demikian, perlu dilakukan upaya pencegahan agar anak-anak tidak menderita cacingan. Kebersihan lingkungan sangat mempengaruhi infeksi cacingan sehingga penting diperhatikan dalam pencegahan. Kelurahan Bantar Gebang, Bekasi merupakan suatu daerah yang digunakan sebagai tempat pembuangan sampah akhir (TPA) sehingga kebersihan lingkungannya kurang baik. Keadaan tersebut merupakan faktor predisposisi askariasis dan trikuriasis. Walaupun kondisi lingkungan Bantar Gebang kurang baik, kepadatan penduduknya tinggi dan banyak terdapat anak-anak yang merupakan populasi rentan terhadap askariasis. Oleh karena itu, anak-anak perlu diberikan pengetahuan mengenai pencegahan dan pengobatan cacingan untuk mengatasi infeksi A. lumbricoides dan T. trichiura dengan memberikan penyuluhan kesehatan. Penyuluhan kesehatan akan memberikan hasil yang baik jika disesuaikan dengan
Peran penyuluhan terhadap..., Sheli Azalea, FK UI, 2013
pengetahuan yang telah dimiliki dan karakteristik demografi responden. Oleh karena itu perlu dilakukan survei sebelum penyuluhan dan untuk mengetahui apakah penyuluhan dapat meningkatkan pengetahuan murid, dilakukan survei setelah penyuluhan. Untuk memudahkan kegiatan, maka penyuluhan dilakukan pada murid SD X di Kelurahan Bantar Gebang. Tinjauan Teoritis 1.Trichuris trichiura 1.1 Epidemiologi T. trichiura sering ditemukan di daerah beriklim hangat, sering turun hujan, padat, dan kondisi sanitasi yang memungkinkan terjadinya polusi tanah. Anak-anak lebih sering terinfeksi daripada orang dewasa karena mereka lebih mudah melakukan kontak dengan tanah yang terkontaminasi.3 T. trichiura telah menginfeksi sekitar seperempat penduduk dunia. Di dunia, tercatat 800 juta sampai 1.3 milyar kasus trikuriasis dengan jumlah kematian mencapai 10 000 jiwa per tahun. Prevalensi trikuriasis di Jakarta pada anak SD cukup tinggi sebesar 20% di Jakarta Utara, 25,30% di Jakarta Barat, 33,58% di Jakarta Selatan, dan 47,67% di Jakarta Timur.2 1.2 Morfologi Pada T. trichiura dewasa bagian anterior tubuhnya panjang dan kurus, sedangkan bagian belakangnya melebar dan menebal, sehingga bentuknya mirip cambuk maka disebut juga cacing cambuk. Cacing jantan lebih kecil dari yang betina dengan panjang berkisar antara 30 sampai 50 mm. Esofagus cacing tersebut berbentuk seperti pipa kapiler memanjang dua pertiga dari tubunya dan dikelilingi banyak kelenjar uniseluler, yaitu stichocytes. Pada bagian posterior dari cacing laki-laki terdapat ciri khas berupa kait dengan spikula yang tertutup di dalam spinosa yang berguna untuk menarik sarung kutikular.3 1.3 Siklus Hidup Cacing cambuk dewasa terutama terdapat di usus besar manusia, tetapi tidak jarang terdapat di usus buntu dan rektum. Cacing betina mampu menghasilkan 5000 telur setiap harinya. Telur cacing berukuran sekitar 50 x 20 µm dan terdiri dari zigot yang belum membelah. Telur keluar bersama feses dan jika penderita defekasi di tanah maka telur akan berkembang menjadi bentuk infektif. Jenis tanah yang disukainya adalah tanah liat yang hangat dan lembab. 3
Peran penyuluhan terhadap..., Sheli Azalea, FK UI, 2013
Gambar 1. Siklus Hidup Cacing Ascaris lumbricoides4 Apabila telur yang infektif tertelan dan masuk kedalam saluran pencernaan manusia, telur itu akan menetas pada usus halus. Kemudian, larva T. trichiura berkembang di usus halus dan setelah dewasa, menetap di usus besar. Perkembangan dari menetas hingga dewasa membutuhkan waktu sekitar tiga bulan.4 1.4. Gejala Klinis Pada infeksi ringan tidak ada gejala klinis yang khas kecuali diare. Pada infeksi ringan, telur yang ditemukan di sampel feses juga sedikit, tetapi sudah terjadi peningkatan eosinofil sebanyak 25%.6 Pada infeksi berat yang telah berlangsung lama akan terjadi disentri, perdarahan usus, prolapsus rekti, apendisitis, anemia berat, nyeri abdomen, pusing, anoreksia, kehilangan berat badan, mual, dan muntah.4,5,6 Disentri yang terjadi dapat berupa amebiasis, namun perkembangan larva Tricuris trichiura di dalam usus biasanya tidak memberikan gejala klinis yang berarti. Trauma di dinding usus terjadi karena cacing membenamkan kepalanya di mukosa usus. Pada infeksi ringan kerusakan mukosa usus hanya sedikit.5 1.5. Diagnosis Diagnosis dapat dilakukan dengan memeriksa feses untuk menemukan telur yang berbentuk
Peran penyuluhan terhadap..., Sheli Azalea, FK UI, 2013
khas seperti tong. Dalam pemeriksaan juga perlu diperhatikan jumlah telur yang terdapat pada feses untuk menentukan berat ringannya penyakit. Pada penyakit yang berat dapat dilihat cacing yang menempel pada mukosa usus dengan sigmoidoskopi.5 1.6. Pengobatan Obat yang digunakan untuk mengobati infeksi T.trichiura adalah albendazol dan mebendazol. Albendazol dengan dosis tunggal 400 mg atau 1 x 200mg diberikan selama 3 hari. Mebendazol dengan dosis tunggal 500 mg atau 2 x 100 mg diberikan selama tiga hari berturutturut. Setelah pengobatan dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan tinja 2-4 minggu untuk mengetahui efektivitas pengobatan.5,7 1.7. Pencegahan Pencegahan dapat dilakukan dengan memperhatikan siklus hidup T. trichiura. Untuk itu perlu dibiasakan mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar, mencuci sayur sebelum dimakan mentah agar telur yang melekat di tangan/sayuran tidak tertelan. Memasak makanan sampai matang penting untuk mematikan telur yang tidak hilang ketika dicuci dari sayuran.8 2. Ascaris lumbricoides 2.1 Epidemiologi Infeksi A. lumbricoides menimbulkan askariasis. Askariasis ditularkan melalui tanah, tergantung pada penyebaran telur ke dalam keadaan lingkungan yang cocok untuk pematangannya.9 Pada tahun 2006, WHO melaporkan bahwa infeksi cacing A. lumbricoides tersebar pada lebih dari 1 milyar orang. Infeksi tertinggi terjadi di Afrika, Amerika, Cina, dan Asia Timur. Data WHO tahun 2006 menunjukkan bahwa prevalensi cacingan pada anak sekolah dasar cukup tinggi, yaitu mencapai 75%.2 2.2 Morfologi A. lumbricoides dikenal sebagai cacing gelang yang terdapat di usus besar manusia. Cacing betina dapat mencapai 40 cm dan cacing jantannya dapat mencapai 30 cm. Mulurnya dikelilingi satu bibir dorsal dan dua bibir ventrolateral. Ujung posterior yang betina lurus, sedangkan yang
Peran penyuluhan terhadap..., Sheli Azalea, FK UI, 2013
jantan berbentuk kurva kearah ventral. Sistem reproduksi betina terletak di dua pertiga posterior tubuhnya dengan vulva terletak pada satu pertiga panjang tubuh dari ujung anterior. Cacing betina dapat menghasilkan sekitar 200 000 telur setiap harinya. Uterusnya dapat mengandung lebih dari 27 juta telur dalam satu waktu. Telur yang difertilisasi beruran panjang 45 sampai 75 µm dan tebal 35 sampai 50 µm.3 2.3 Siklus Hidup Cacing dewasa biasanya berada di usus halus hospesnya. Cacing dewasa akan mengambil sari makanan dari makanan yang sudah tercerna sebagian yang berada di tubuh hospes. Kopulasi terjadi pada bagian ini dan telur akan keluar bersama feses hospesnya. Di luar, selubung albumin dari telur yang telah terfertilisasi berwarna keemasan akibat pigmen empedu yang diabsorpsi dari feses. Selain itu ditemukan beberapa telur yang belum difertilisasi. Hal ini bisa diketahui melalui bentuknya yang memanjang dan ketidakberadaan selubung albumin. Ketika telur yang difertilisasi disimpan, zigot belum membelah dan tetap dalam bentuk ini sampai telur mencapai tanah. Perkembangan telur sangat tergantung pada suhu lingkungan, terutama tanah, yaitu sekitar 25 derajat celcius. Perkembangan akan berhenti dibawah suhu 15,5 derajat celcius dan telur tidak dapat bertahan diatas 38 derajat celcius.3
Gambar 2. Siklus Hidup T. trichiura3 2.4 Gejala Klinis Gejala klinis cacingan sering kali mirip dengan gejala penyakit lain.6 Gejala awal yang mungkin ditemukan adalah batuk dan pilek. Penderita cacingan pada umumnya masih dapat melakukan aktivitas dengan baik, tetapi jika diperhatikan lebih seksama biasanya akan terlihat
Peran penyuluhan terhadap..., Sheli Azalea, FK UI, 2013
penurunan produktivitas kerja. Gejala yang lebih spesifik terlihat pada saat infeksi sudah berat, yaitu perut membuncit. Hal ini terjadi akibat jumlah cacing di dalam perut atau akibat perut kembung.10 2.5 Diagnosis Diagnosis askariasis dilakukan dengan memeriksa feses pasien. Telur dapat dideteksi dengan pemeriksaan apus tinja langsung dan dihitung dengan metode apus tebal Kato. Infeksi biseksual menyebabkan ekskresi telur fertil matang, sedangkan telur infertil ditemukan pada individu yang hanya terinfeksi oleh cacing betina. Diagnosis sindrom loeffler atau obstruksi didasarkan pada data klinis dan kecurigaan tinggi.11 2.6 Pengobatan Obat untuk mengobati askariasis adalah albendazol, mebendazol, dan pirantel pamoat.10 Pengobatan dengan infeksi berat pada anak harus dilakukan dengan hati-hati. Dosis tunggal lebih efektif daripada regimen 2. Obat tersebut adalah obat pilihan untuk obstruksi usus atau saluran empedu. Obat-obatan seperti mebendazol (100 mg dua kali sehari) dapat digunakan pada askariasis usus yang belum mengalami komplikasi.11 2.7 Pencegahan Upaya pencegahan yang paling utama adalah dengan menjaga kebersihan makanan dan tangan agar telur cacing tidak ikut tertelan saat makan. Untuk itu perlu digiatkan mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air, mencuci sayur sebelum dimakan mentah, dan memasak makanan sampai matang.8 3.
Pengetahuan Menurut Notoatmodjo dikutip oleh Sunaryo dalam bukunya yang berjudul Psikologi untuk
Keperawatan, “pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu.” Pengetahuan penting untuk membentuk perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku yang didasari pengetahuan akan bertahan lebih lama. Menurut Notoatmodjo S, sebelum perilaku diadopsi, seseorang akan mengalami beberapa proses11: 1. Awareness (kesadaran): individu menyadari adanya stimulus.
Peran penyuluhan terhadap..., Sheli Azalea, FK UI, 2013
2. Interest (tertarik): individu mulai tertarik terhadap stimulus. 3. Evaluation (evaluasi): individu menimbang-nimbang tentang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. 4. Trial (mencoba): individu mulai mencoba perilaku baru. 5. Adpotion: individu berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, sikap, dan kesaddarannya terhadap stimulus. 4. Penyuluhan Kesehatan Penyuluhan adalah bagian terpadu dari bimbingan. Penyuluhan kesehatan diartikan sebagai suatu kegiatan pendidikan kesehatan yang dilakukan melalui penyebarluasan pesan dan menanamkan keyakinan. Dengan penyuluhan kesehatan, masyarakat tidak hanya sadar, tahu, dan mengerti, tetapi juga mau dan dapat melakukan anjuran yang berhubungan dengan kesehatan. Dalam penyuluhan kesehatan, petugas penyuluh harus menguasai ilmu komunikasi dan menguasai pemahaman yang lengkap tentang pesan yang disampaikan. Tujuan penyuluhan kesehatan adalah mengubah perilaku kurang sehat menjadi sehat. Perilaku baru yang terbentuk biasanya hanya terbatas pada pemahaman sasaran (aspek kognitif, sedangkan perubahan sikap dan tingkah laku merupakan tujuan tidak langsung.12 5. Bantar Gebang Bantar Gebang identik dengan tempat pembuangan sampah akhir. Bantar Gebang merupakan bagian dari Kota Bekasi yang terletak di wilayah barat kota Bekasi yang berbatasan dengan kabupaten Bekasi dan Kabupaten Bogor. Wilayahnya cukup padat. Luas wilayah kelurahan Bantar Gebang adalah 406 244 Ha.13 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan desain eksperimen dengan intervensi penyuluhan kesehatan. Penelitian dilakukan di SD X, Bantar Gebang. Pengambilan data dilakukan pada Sabtu, 17 Desember 2011. Data yang digunakan adalah data primer. Data didapat dari kuesioner yang berisi pertanyaan mengenai pencegahan dan pengobatan cacingan (A. lumbricoides dan T. trichiura). Kuesioner diberikan untuk mengetahui pengetahuan murid SD sebelum dan sesudah penyuluhan. Populasi target adalah semua murid SD X Bantar Gebang. Populasi terjangkau
Peran penyuluhan terhadap..., Sheli Azalea, FK UI, 2013
adalah murid kelas IV, V, dan VI SD X Bantar Gebang yang hadir saat penelitian dilakukan. Sampel penelitian adalah seluruh murid kelas IV, V, dan VI SD X Bantar Gebang yang hadir saat penelitian dan memenuhi kriteria seleksi. Kriteria inklusi penelitian ini adalah seluruh anak yang terdaftar sebagai murid kelas IV, V, dan VI SD X, Bantar Gebang yang bersedia mengikuti penelitian. Kriteria eksklusi penelitian ini adalah tidak mengisi kuesioner secara lengkap. Kriteria drop-out jika subjek tidak mengikuti penyuluhan atau posttest. Jumlah sampel sesuai dengan jumlah murid kelas IV, V, dan VI SD X Bantar Gebang yang hadir saat dilakukan penelitian dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, yaitu 60 murid. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah populasi total. Proses pengumpulan data dan pemberian penyuluhan bekerja sama dengan badan mahasiswa FKUI yang tengah mengadakan bakti sosial di SD X. Peneliti telah menjelaskan prosedur penelitian dan meminta izin kepada kepala sekolah. Pada hari pelaksanaan penelitian, siswa kelas IV, V, dan VI SD X yang hadir di sekolah dikumpulkan dalam sebuah ruang kelas. Peneliti menjelaskan tujuan penelitian dan rangkaian acara yang terdiri atas pengisian kuesioner pre-test, penyuluhan, dan pengisian kuesioner post-test. Setelah memperoleh persetujuan subjek, peneliti membagikan lembar pre-test. Subjek dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil yang diawasi seorang peneliti yang akan menjelaskan cara mengisi kuesioner dan menjawab pertanyaan subjek. Kuesioner dikumpulkan dan diperiksa kelengkapannya kepada peneliti setelah selesai. Jika ada pertanyaan yang belum dijawab, peneliti meminta subjek melengkapinya. Setelah pengisian pre-test selesai, disampaikan penyuluhan oleh salah seorang peneliti dengan materi penyuluhan yang sebelumnya telah disetujui oleh pembimbing riset. Penyuluhan meliputi morfologi, siklus hidup, dan gejala A. lumbricoides dan T. trichiura serta pencegahan dan pengobatan cacingan secara umum. Dalam penyuluhan diberikan pula edukasi cara mencuci tangan. Pada sesi penyuluhan, subjek diperbolehkan untuk bertanya di akhir pemberian materi. Setelah penyuluhan selesai, dibagikan kuesioner post-test dengan pertanyaan yang sama dengan kuesioner pre-test. Seperti sebelumnya, subjek dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil yang diawasi masing-masing seorang peneliti. Setelah semua subjek selesai mengisi, kuesioner dikumpulkan dan diperiksa kelengkapannya. Jika ada pertanyaan yang belum dijawab, peneliti meminta subjek melengkapinya. Setelah semua rangkaian pengambilan data selesai, peneliti membagikan suvenir sebagai tanda terima kasih kepada subjek. Program yang digunakan untuk menganalisis data adalah SPSS 20.0 for Windows. Analisis
Peran penyuluhan terhadap..., Sheli Azalea, FK UI, 2013
data menggunakan uji marginal homogenity sesuai dengan uji yang disarankan untuk studi komparatif dua kelompok berpasangan. Hasil pengolahan data disajikan dalam bentuk tabel 2 x 3. Uji statistik untuk data numerik berpasangan menggunakan uji wilcoxon. Hasil Penelitian Tabel 1. Sebaran Responden Berdasarkan Usia, Kelas, Dan Jenis Kelamin Variabel
Kategori
Jumlah
%
Usia
9 tahun
9
15
10 tahun
11
18,3
11 tahun
25
41,7
12 tahun
9
15
13 tahun
6
10
Laki-laki
30
50
Perempuan
30
50
4 SD
27
45
5 SD
12
20
6 SD
21
35
Jenis Kelamin Kelas
Dari table 4.1.1. terlihat bahwa responden terbanyak berusia 11 tahun, sedangkan jumlah paling sedikit adalah yang berusia 13 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, jumlah responden sebanding antara laki-laki dan perempuan. Jika dilihat berdasarkan jenjang pendidikan yang sedang ditempuh, responden terbanyak terdapat pada kelas 4 SD, responden paling sedikit terdapat pada kelas 5 SD.
Peran penyuluhan terhadap..., Sheli Azalea, FK UI, 2013
Tabel 2. Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Sumber Informasi Jumlah Sumber Informasi
Jumlah
%
Tidak ada
1
1,7
1
14
23,3
2
34
56,7
3
10
16,7
4
1
1,7
Dari tabel 4.1.2. terlihat bahwa kebanyakan responden mendapatkan infromasi tentang cacingan melalui 2 sumber informasi yang berbeda. Namun, masih ada sebanyak 1,7% yang tidak mendapatkan informasi tentang cacingan dari sumber informasi apa pun. Dari pertanyaan pada kuesioner mengenai pengetahuan tentang penyakit cacingan diperoleh hasil bahwa terdapat 44 orang (73,3%) yang mengetahui penyekit cacingan dan terdapat 15 orang (26,7%) yang tidak mengetahui penyakit cacingan. Tabel 3. Sebaran Responden Berdasarkan Riwayat Cacingan Riwayat Cacingan
Jumlah
%
9
15
1 tahun lalu
3
5
6 bulan lalu
1
1,7
3 bulan lalu
1
1,7
1 minggu terakhir
3
5
Tidak pernah
43
71,7
>2 tahun lalu
Berdasarkan tabel 4.1.3, terdapat 17 anak yang pernah mengalami cacingan, 9 murid (15%) mengalami cacingan 2 tahun yang lalu, sedangkan 3 murid (5%) mengalami cacingan 1 minggu terakhir. Sebanyak 43 murid (71,7%), belum pernah mengalami cacingan sebelumnya.
Peran penyuluhan terhadap..., Sheli Azalea, FK UI, 2013
Tabel 4. Sebaran Responden Berdasarkan Pengetahuan Sebelum Dan Sesudah Penyuluhan Variabel Sebelum
Pengetahuan
Uji
Baik
Sedang
Kurang
0 (0%)
4 (6,7%)
56 (93,3%)
Marginal Homogenity
Sesudah
1(1,7%)
8(13,3%)
51(85%)
p = 0,058
Dari tabel 4.1.4, diketahui bahwa sebelum dilakukan penyuluhan, tidak ada responden yang memiliki pengetahuan baik. Setelah penyuluhan terdapat satu orang responden yang masuk ke kategori pengetahuan baik. Pada pengetahuan sedang juga mengalami peningkatan setelah dilakukan penyuluhan. Dari awalnya sejumlah 6,7% menjadi 13,3%. Di sisi lain, responden dengan pengetahuan kurang menurun dari persentase awal, yaitu 93,3%. Walaupun berkurang, jumlah responden yang berada pada kategori kurang masih sebesar 85% setelah dilakukan penyuluhan. Pada uji statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna.
Peran penyuluhan terhadap..., Sheli Azalea, FK UI, 2013
Tabel 5. Proporsi Skor Jawaban Terhadap Pertanyaan Mengenai Pencegahan dan Pengobatan Cacingan (A. lumbricoides dan T. trichiura) Nomor
Pertanyaan
Skor
Jumlah (Persentase) Pre Test
1 2 3
Penderita cacingan tidak
0
53
88,3%
55
91,7%
boleh makan...
5
7
11,7%
5
8,3%
Seseorang diberikan obat
0
7
11,7%
5
8,3%
cacing jika...
5
53
88,3%
55
91,7%
Cacingan dapat dicegah
0
5
8,3%
4
6,7%
2,5
52
86,7%
45
75%
5
3
5%
11
18,3%
Jika ingin makan
0
14
23,3%
10
16,7%
lalap/sayuran mentah,
2
24
40%
16
26,7%
sayuran dicuci dengan…
3
22
36,7%
32
53,3%
5
0
0%
2
3,3%
Pencegahan cacingan pada
0
10
16,7%
5
8,3%
anak dilakukan dengan…
1
7
11,7%
1
1,7%
2
41
68,3%
50
83,3%
3
2
3,3%
1
1,7%
4
0
0%
1
1,7%
5
0
0%
2
3,3%
dengan cara… 4
5
Post Test
Tabel 4.1.5 menunjukkan bahwa pada nomor soal 2 hingga 5 terlihat kenaikan skor jawaban sebelum dan setelah penyuluhan. Namun, hasil yang terbalik justru tedapat pada soal nomor 1. Sebelum penyuluhan skor jawaban 5 (nilai maksimal) di soal nomor 1 adalah sebanyak 11,7%, sedangkan sesudah penyuluhan jumlah responden yang mendapatkan nilai maksimal menurun menjadi 8,3%. Pada soal kedua di awal sudah ada sebanyak 88,3% yang menjawab benar. Walaupun yang menjawab benar meningkat setelah penyuluhan, peningkatannya hanya sebesar 2,4%.
Peran penyuluhan terhadap..., Sheli Azalea, FK UI, 2013
Tabel 4.1.6. Skor Jawaban Responden Mengenai Pencegahan dan Pengobatan Cacingan Sebelum dan Sesudah Penyuluhan Penyuluhan
Median (Minimum - Maksimum) 1
2
3
4
5
Sebelum
0 (0-5)
5 (0-5)
2,5 (0-5)
2 (0-3)
2 (0-3)
Sesudah
0 (0-5)
5 (0-5)
2,5 (0-5)
3 (0-5)
2 (0-5)
Nilai p*
0,317
0,527
0,020
0,030
0,037
*Uji Wilcoxon Dari tabel 4.1.6. terlihat bahwa tidak ada perbedaan bermakna pada skor jawaban soal nomor 1 dan 2 sebelum dan setelah penyuluhan, namun terdapat perbedaan bermakna penyuluhan dalam skor jawaban soal nomor 3 hingga 5. Pembahasan Bantar Gebang adalah daerah yang terkenal dengan tempat pembuangan sampah akhir. Oleh karena itu, lingkungan rumah yang terletak di daerah tersebut kumuh dan terpapar dengan sampah. Tanah di daerah Bantar Gebang adalah gembur dan mudah menjadi berlumpur ketika hujan. SD merupakan tempat pendidikan pertama seorang anak. Diharapkan melalui pendidikan dasar, anak memiliki dasar yang cukup untuk menjalani kehidupannya. Dari segi pengentasan masalah cacingan sendiri, SD merupakan sarana belajar yang baik untuk memperkenalkan pengetahuan mengenai cacingan. Di sisi lain, anak usia sekolah dasar adalah populasi yang sering mengalami infeksi cacingan. 1. Pengetahuan Responden Mengenai Pencegahan dan Pengobatan Cacingan Penelitian Rahmat et al14 pada tahun 2005 menggunakan metode potong lintang mengenai hubungan perilaku murid SD terhadap infeksi cacing perut di kecamatan Palipi menyatakan bahwa terhadap hubungan antara pengetahuan, sikap, dan tindakan terhadap infeksi cacing perut. Pengetahuan berperan penting dalam mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan salah satunya melalui penyuluhan.
Peran penyuluhan terhadap..., Sheli Azalea, FK UI, 2013
Dengan penyuluhan, murid dapat mengetahui cara mencegah dan mengatasi cacingan dengan benar. Dari pre-test yang diberikan, terlihat bahwa tidak ada responden yang memiliki pengetahuan baik. Di sisi lain, responden terbanyak adalah yang memiliki pengetahuan kurang. Responden yang memiliki pengetahuan sedang sebanyak 6,7%, sedangkan yang memiliki pengetahuan kurang sebanyak 93,3%. Hal tersebut memperlihatkan bahwa pengetahuan murid SD X mengenai pencegahan dan pengobatan cacingan masih rendah. Faktor pertama yang dapat menyebabkan rendahnya pengetahuan murid adalah sumber informasi mengenai cacingan. Jika dilihat dari hasil penelitian, hanya satu murid yang belum pernah mendapatkan informasi cacingan dari sumber informasi apa pun sehingga bukan faktor kemudahan mendapat informasi yang berperan pada kurangnya pengetahuan responden. Faktor yang perlu diperhatikan adalah apakah sumber informasi tersebut efektif dalam memberikan pengetahuan mengenai penyakit cacingan. Dilihat dari tahu atau tidaknya responden mengenai penyakit cacingan, terdapat 16 (26,7%) murid yang tidak mengetahui tentang penyakit cacingan sebelumnya sehingga sumber informasi yang ada selama ini belum efektif untuk memberikan informasi mengenai penyakit cacingan. Ketidakefektifan tersebut dapat disebabkan tidak sesuainya bahasa yang digunakan dengan kemampuan pemahaman murid SD dan media yang digunakan kurang menarik. Faktor kedua adalah tidak adekuatnya informasi yang diperoleh dari sumber informasi sebelumnya. Penelitian ini terutama melihat pengetahuan murid tentang pencegahan dan pengobatan cacingan. Dengan demikian, tidak adekuatnya informasi mengenai hal ini dari sumber informasi menyebabkan pengetahuan sebagian siswa cenderung kurang. Faktor ketiga adalah kesalahan informasi yang diperoleh. Mitos yang berkembang di masyarakat mengenai pencegahan dan pengobatan cacingan berpengaruh pada jawaban yang diberikan pada kuesioner. Masyarakat percaya bahwa ikan adalah penyebab cacingan sehingga anak-anak mereka tidak boleh makan ikan. Kepercayaan yang salah tersebut harus diperbaiki dengan memberikan informasi yang benar. Faktor keempat adalah pertanyaan kuesioner yang kurang dimengerti oleh responden. Responden adalah anak usia sekolah dasar berkisar antara 9 sampai 13 tahun. Instruksi pertanyaan yang kurang dipahami responden menyebabkan jawaban yang dipilih tidak sesuai. Secara umum, data mengenai pengetahuan murid SD X, Bantar Gebang tersebut
Peran penyuluhan terhadap..., Sheli Azalea, FK UI, 2013
menggambarkan kurangnya pengetahuan mengenai pencegahan dan pengobatan cacingan. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan pengetahuan mengenai cacingan dengan memberikan sumber informasi yang efektif untuk memberikan pengetahuan yang memadai tentang pencegahan dan pengobatan cacingan. 2. Hubungan Penyuluhan Terhadap Pengetahuan Murid SD X Bantar Gebang Mengenai Pencegahan dan Pengobatan Cacingan Pada penelitian yang dilakukan Julia et al15 pada tahun 2005, mengenai karakteristik sikap dan perilaku kebersihan siswa sekolah dasar yang dapat dimodifikasi untuk mengurangi prevalensi infeksi cacingan di Jawa Tengah, Indonesia didapatkan hasil bahwa usaha untuk mengajarkan anak-anak secara sistematis, melarang perilaku yang dapat meningkatkan risiko infeksi, dan mempraktikan sikap menjaga kebersihan diri adalah cara yang secara signifikan dapat mengurangi infeksi parasit di saluran cerna. Ketiga hal tersebut dapat disampaikan kepada murid sekolah dasar, salah satunya melalui penyuluhan.15 Berdasarkan penelitian yang dilakukan Margono et al16 mengenai pengendalian infeksi cacingan di daerah Suburban di Jakarta tahun 1988 diperoleh hasil bahwa penyuluhan kesehatan secara intensif dapat menurunkan prevalensi cacingan. Dari hasil penelitian ini dapat terlihat bahwa pada awalnya, pengetahuan responden mengenai cacingan masih sangat rendah. Hal tersebut terlihat dari tidak ada murid yang masuk dalam kategori baik dalam pre-tes. Setelah dilakukan penyuluhan, didapatkan peningkatan pengetahuan tentang pencegahan dan pengobatan cacingan. Hal tersebut terlihat dari terdapatnya 1,7% anak yang masuk ke kategori baik, 13,3% anak yang masuk dalam kategori sedang, dan sisanya masuk ke kategori buruk. Secara uji statistik, hasil ini masih belum dapat dikatakan berbeda bermakna untuk menggambarkan hubungan antara penyuluhan dan pengetahuan mengenai pencegahan dan pengobatan cacingan pada murid SD X. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hal ini. Faktor yang mendukung terdapat kenaikan pengetahuan adalah metode yang digunakan menarik. Metode penyuluhan menggunakan power point sehingga memberikan gambaran visual pada murid SD. Dalam penyuluhan, murid-murid juga diajak untuk menghafal cara mencuci tangan yang benar dengan menggunakan lagu yang mudah untuk diingat oleh murid. Dari segi penyaji, selama penyajian cukup menarik perhatian murid.
Peran penyuluhan terhadap..., Sheli Azalea, FK UI, 2013
Terdapat pula faktor yang menyebabkan hasil penelitian ini pada akhirnya tidak bermakna. Faktor pertama adalah penyaji materi yang belum berpengalaman untuk melakukan penyuluhan. Faktor kedua adalah tempat penyuluhan yang kurang kondusif untuk dilakukan penyuluhan. Faktor yang ketiga adalah pertanyaan yang diberikan pada kuesioner tidak tercakup dalam materi penyuluhan. 3. Analisis Pertanyaan dalam Kuesioner Soal nomor satu adalah mengenai makanan yang tidak boleh dimakan penderita cacingan. Pada pretes, terdapat sejumlah 53 siswa (88,3%) yang mendapat skor 0, artinya menjawab salah. Sedangkan sisanya (11,7%), menjawab benar. Setelah dilakukan penyuluhan, jumlah siswa yang menjawab salah bertambah menjadi 55 siswa (91,7%), sedangkan yang menjawab benar berkurang menjadi 5 siswa (8,3%). Pada pertanyaan tersebut, terdapat empat pilihan jawaban yaitu, ikan, kelapa parut, tidak ada pantangan makan dan tidak tahu. Jawaban dari pertanyaan ini dapat dipengaruhi oleh mitos yang terdapat di masyarakat. Oleh karena itu, di pada pretest, pada pertanyaan ini responden paling banyak menjawab salah. Setelah dilakukan penyuluhan, jumlah responden yang menjawab salah semakin bertambah. Hal tersebut berhubungan dengan materi penyuluhan yang tidak mencakup materi tersebut. Soal nomor dua adalah mengenai kapan seseorang diberikan obat cacing. Pada soal nomor 17 terdapat tujuh responden (11,7%) dengan skor nol (jawaban salah), sedangkan sisanya sebayak 53 responden (88,3%) yang menjawab benar. Setelah penyuluhan, jumlah responden yang menjawab salah berkurang menjadi 5 orang (8,3%), sisanya 55 orang (91,7%) menjawab dengan tepat. Pada soal tersebut terdapat dua pilihan jawaban yang benar, yaitu buang air besar keluar cacing dan pada pemeriksaan feses ditemukan telur cacing. Di awal, sudah cukup banyak yang menjawab benar. Setelah dilakukan penyuluhan jumlah yang menjawab benar bertambah, walaupun secara statistik tidak berbeda bermakna. Soal nomor tiga adalah tentang pencegahan cacingan. Pada soal tersebut, skor dibagi menjadi tiga, yaitu nol (kesalahan total), 2,5 (kesalahan sebagian), dan lima (benar). Pada pre-test jumlah responden yang salah total sebanyak 5 orang (8,3%), yang jawabannya salah sebagian sebanyak 52 orang (86,7%), dan sisanya yang menjawab benar sejumlah 3 orang (5%). Setelah penyuluhan, jumlah responden yang menjawab benar meningkat menjadi 11 orang (18,3%), sedangkan yang menjawab salah total menurun menjadi 4 orang (6,7%). Pada pertanyaan ini,
Peran penyuluhan terhadap..., Sheli Azalea, FK UI, 2013
terdapat perbedaan bermakna skor sebelum dan setelah penyuluhan. Soal nomor empat masih mengenai pencegahan cacingan yaitu tentang mencuci sayuran mentah. Pada nomor tersebut, terdapat empat kemungkinan nilai, yaitu nol, dua, tiga, dan lima. Pada pre-test yang mendapatkan skor nol sebanyak 14 orang (23,3%), skor dua sebanyak 24 orang (40%), skor tiga sebanyak 22 orang (36,7%), dan tidak ada yang menjawab benar. Setelah dilakukan penyuluhan, responden dengan skor nol berkurang menjadi 10 orang (16,7%), sedangkan responden dengan skor lima meningkat menjadi dua orang (3,3%). Sisanya yang mendapatkan skor dua menurun sebanyak 16 orang (26,7%) dan yang mendapatkan skor tiga menjadi 32 orang (53,3%). Pertanyaan ini sudah cukup jelas dan terdapat perbedaan bermakna skor sebelum dan setelah penyuluhan. Soal nomor lima adalah mengenai pencegahan cacingan pada anak. Pada nomor tersebut, responden dapat memperoleh nilai nol, satu, dua, tiga, empat dan lima. Sebelum dilakukan penyuluhan, responden yang mendapat nilai nol adalah sepuluh orang (16,7%), responden yang mendapat nilai satu adalah tujuh orang (11,7%), responden yang mendapat nilai dua adalah 41 orang (68,3%), responden yang mendapat nilai tiga adalah dua orang (3,3%), dan tidak ada responden yang memperoleh nilai empat dan lima. Setelah dilakukan penyuluhan, kebanyakan responden memperoleh nilai dua, yaitu sebanyak 50 orang (83,3%), lima orang responden (8,3%) mendapat nilai nol, dan dua orang responden (3,3%) mendapat nilai lima, dan terdapat satu responden yang memperoleh nilai satu, tiga, dan empat. Pertanyaan ini sudah cukup jelas dan terdapat perbedaan bermakna skor sebelum dan setelah penyuluhan. Kesimpulan 1. Karakteristik murid SD X Bantar Gebang adalah jumlah responden laki-laki sebanyak 30 (50%) dan jumlah responden perempuan sebanyak 30 (50%). Murid memiliki usia antara 9 tahun hingga 13 tahun. Dari 60 murid, 27 murid merupakan kelas 4 SD, 12 murid merupakan kelas 5 SD, dan 21 murid merupakan kelas 6 SD. 2. Sebelum penyuluhan, murid yang memiliki pengetahuan baik tidak ada (0%), murid yang memiliki pengetahuan sedang sebanyak 4 orang (6,7%), dan murid yang memiliki pengetahuan buruk sebanyak 56 orang (93,3%). Sesudah penyuluhan terdapat 1 (1,7%) murid yang memiliki pengetahuan baik, 8(13,3%) murid yang memiliki pengetahuan sedang, dan 51(85%) murid yang memiliki pengetahuan buruk.
Peran penyuluhan terhadap..., Sheli Azalea, FK UI, 2013
3. Penyuluhan meningkatkan pengetahuan, tetapi secara statistik tidak memberi perbedaan bermakna pada murid SD X Bantar Gebang sebelum dan setelahnya. Saran 1. Pengetahuan murid perlu ditingkatkan agar mencapai kategori baik dengan memberikan penyuluhan secara teratur dan berkala serta pemberian materi dalam proses pembelajaran. 2.Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui perilaku murid terhadap pencegahan dan pengobatan cacingan (askariasis dan trikuriasis). Kepustakaan 1. Salbiah. Hubungan karakteristik siswa dan sanitasi lingkungan dengan infeksi cacingan siswa sekolah dasar di Kecamatan Medan Belawan [tesis]. Medan: Universitas Sumatra Utara; 2008. 2. Mardiana D. Prevalensi cacing usus pada murid sekolah dasar Wajib belajar pelayanan gerakan terpadu pengentasan kemiskinan daerah kumuh di wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2008;7(2):69-74. 3. Barton JB, Clint EC. Thomas N. Human parasitology. Oxford: Elsevier; 2005. 4. Feldmier H, Heukelbach J. Epidermal parasitic gut disease: a neglected category of povertyassosiated plagues. Bull World Health Organ. 2009; 87: 152-9. 5. Muller R, Wakelin D. Worms and human disease. 2nd ed. New York: CABI Publishing; 2002. 6. Guerrent RL, Walker DH, Weller DF. Tropical infectious disease: principle, phatogens, and practice 2nd ed. Philadelphia: Churchill Livingston; 2006. 7. Yunus R. Keefektifan albendazol pemberian sekali sehari selama 1, 2, dan 3 hari pada anak sekolah dasar di Kecamatan Medan Tembung [tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2008. 8. WHO. Prevention and control of schistomiasis and soil-transmitted helminthiasis. Geneva: World Health Organization; 2002. 9. Kliergman B. Nelson: ilmu kesehatan anak. Jakarta: EGC; 2000. 10. Menteri Kesehatan. Pedoman Pengendalian Cacingan. Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan no. 424/MENKES/SK/VI/2006. 11. Sunaryo. Psikologi untuk keperawatan. Edisi ke-1. Jakarta:EGC;2004.
Peran penyuluhan terhadap..., Sheli Azalea, FK UI, 2013
12. Maulana HDJ. Promosi kesehatan. Edisi ke-1. Jakarta: EGC; 2009. 13. Pemerintah kota Bekasi. Diunduh dari: http://bekasikota.go.id/read/152/kecamatanbantargebang (27 April 2013) 14. Dachi R A. Hubungan perilaku anak sekolah dasar no.174593 hatoguan terhadap infeksi cacing perut di Kecamatan Palipi Kabupaten Samosir tahun 2005. Jurnal Mutiara Kesehatan Indonesia. 2005; 1(2): 35-41. 15. Albright JW, Hidayati NR, Keys JB. Behavioral and hygienic characteristics of primary schoolchildren which can be modified to reduce the prevalence of geohelminth infections: a study in central java, Indonesia. 2005; 36(3): 629-39. 16. Margono SS, Ismid SS, Rukmono B. Effect of control of soil-transmitted helminth infections in a suburban area in Jakarta, Indonesia (second year report). The 10th Parasitologist Meeting, Beijing, October 31-November 1, 1988.
Peran penyuluhan terhadap..., Sheli Azalea, FK UI, 2013