PERAN PENGHULU DALAM MENGURANGI ANGKA PERCERAIAN DI KUA KARANG TENGAH KOTA TANGERANG SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh: Raynaldo Nugroho NIM: 11110004200014
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/2016 M
Tulisan ini dipersembahkan kepada Orang Tua Penulis, Budiono dan Enis Solikah, juga untuk adik penulis, Raihanah.
ABSTRAK
RAYNALDO NUGROHO. NIM: 1111044200014. PERAN PENGHULU DALAM MENGURANGI ANGKA PERCERAIAN DI KUA KARANG TENGAH KOTA TANGERANG. Program Studi Hukum Keluarga Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M. x + 57 halaman dan lampiran. Angka Perceraian di Indonesia telah mencapai angka yang luar biasa tinggi. Terdapat banyak faktor yang penting dalam rangka mengurangi angka perceraian. Salah satu faktormya adalah faktor peran pemerintah. Pemerintah berinteraksi dengan masyarakat dalam hal munakahat melalui institusi Pengadilan Agama dan KUA. Penghulu selaku pejabat pemerintah yang bekerja di KUA merupakan wakil pemerintah yang berada paling dekat dengan masyarakat tentu memiliki peran bagi terjadinya perceraian di masyarakat. Studi ini bertujuan untuk mengetahui peran dan upaya apa saja yang dilakukan seorang penghulu untuk menekan angka perceraian dan juga mengatahui faktor apa saja yang menjadi penyebab utama perceraian khususnya di KUA Karang Tengah. Penelitian ini penting untuk dilakukan demi menemukan solusi atas meningkatnya angka perceraian yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik pengambilan data melalui riset lapangan, dalam hal ini juga dengan cara wawancara kepada narasumber. Selain riset lapangan riset kepustakaan juga dilakukan dengan mengakses buku atau rujukan lain yang ada di perpustakaan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penghulu berperan dalam mengurangi angka peceraian meskipun tidak secara langsung. Hal tersebut dilakukan lewat peningkatan p3n, sosialisasi, pembinaan keluarga sakinah, dan juga memberikan penyuluhan berkala. Penelitian ini juga menemukan bahwa faktor penyebab perceraian yang paling besar adalah faktor ekonomi, pendidikan, dan lingkungan.
Kata Kunci
: Penghulu, perceraian, KUA.
Pembimbing
: Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie
Daftar Pustaka
: Tahun 1958 s.d 2015
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya, tulisan berjudul ”Peran Penghulu Dalam Mengurangi Angka Perceraian di KUA Karang Tengah Kota Tangerang” dapat diselesaikan. Penulisan karya ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Syariah pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penuls menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangat sulit bagi penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 2. Dr. Abdul Halim, M.Ag, Ketua Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 3. Arip Purkon, MA, Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 4. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, MA, dosen pembimbing yang telah waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini; 5. Prof. Dr. Abdul Wahab Abdul Muhaimin, Lc, MA dan Drs. Siril Wafa, M.A , yang telah meluangkan waktu untuk menjadi penguji skripsi saya serta memberikan kritik, masukan, dan saran yang sangat berharga;
vii
6. M. Soleh, MA, Abdul Mukti, MA, penghulu KUA Karang Tengah, serta seluruh pegawai KUA Karang Tengah dan pegawai Pengadilan Agama Kota Tangerang; 7. Orang tua penulis tercinta, Budiono S. Sos, dan Enis Solikah yang telah memberikan bantuan dukungan moral, material, dan selalu berdoa untuk saya; 8. Shofa Widyani; 9. Sahabat AKI 2011 yang telah memberikan semangat dalam penulisan, tempat bertedih, dan juga membantu dalam hal sumber penulisan. Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.
Jakarta : 04 Januari 2016 M 23 Rabiul Awal 1437 H
Penulis
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................................... HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................................... LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................................... LEMBAR PERSEMBAHAN ....................................................................................... ABSTRAK ..................................................................................................................... KATA PENGANTAR ................................................................................................... DAFTAR ISI.................................................................................................................. BAB I
i ii iii iv v vi vii ix
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... B. Identifikasi Masalah.................................................................................. C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................................... D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. E. Metode Penelitian ..................................................................................... F. Kerangka Teori.......................................................................................... G. Review Studi Terdahulu ............................................................................ H. Sistematika Penulisan ................................................................................
1 6 7 8 9 11 14 15
TINJAUAN UMUM TENTANG PENGHULU DAN PERCERAIAN A. Pengertian Penghulu .................................................................................. B. Tugas Pokok Penghulu .............................................................................. C. Jabatan Penghulu dan Kegiatannya ........................................................... D. Kompetensi Penghulu ................................................................................ E. Pengertian dan Syarat Perceraian............................................................... F. Sebab dan Akibat Perceraian .....................................................................
17 20 21 26 28 33
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG KUA KECAMATAN KARANG TENGAH KOTA TANGERANG A. Letak Geografis.............................................................................. ........... B. Kedudukan.......................................................... ....................................... C. Tugas dan Wewenang ................................................................................ D. Struktur Organisasi ....................................................................................
39 39 43 46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Perceraian di KUA Karang Tengah ........................................................... B. Keterlibatan Penghulu dalam Mengurangi Perceraian .............................. C. Pemenuhan Tugas Penghulu ......................................................................
48 40 53
BAB II
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................................ B. Saran ..........................................................................................................
ix
54 55
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... LAMPIRAN-LAMPIRAN
ix
56
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan zoon politicon yakni makhluk yang tidak pernah bisa hidup sendiri. Kodrat manusia sebagai makhluk sosial mendorongnya untuk terus berinteraksi dalam menjalani kehidupan ini. Oleh karena itu manusia membutuhkan teman untuk saling berbagi, mengasihi, dan menyayangi. Allah pun menciptakan manusia saling berpasang-pasangan, yakni pria dan wanita. Dan diantaranya Allah memberikan karunia yang begitu besar berupa rasa cinta yang dapat diwujudkan dalam lembaga perkawinan. Lembaga perkawinan merupakan suatu lembaga yang mempunyai kedudukan tinggi dan terhormat dalam hukum Islam dan hukum Nasional Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya peraturan-peraturan khusus yang berkaitan dengan perkawinan yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.1 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974).
1
Abdul Rahman Ghazali. Fiqh Munakahat. (Jakarta:Kencana.2008) h. 131.
1
2
Disamping definisi yang diberikan oleh Undang-Undang No 1. Tahun 1974 yang telah dipaparkan diatas, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia memberikan definisi lain yakni bahwa perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mittsaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan Ibadah.2 Pada dasarmya semua orang yang telah terikat dalam perkawinan menginginkan bahtera rumah tangganya berjalan dengan sempurna hingga maut yang memisahkan. Perkawinan merupakan sebuah perikatan antara suami istri yang didalamnya dimungkinkan terdapat adanya perjanjian diluar substansi utama perkawinan. Perjanjian ini adalah muncul dari kehendak para pihak yang terikat dalam perkawinan sebagai sebuah ikatan persyaratan tambahan untuk kepentingan suami atau istri.3 Kemudian dari perkawinan muncul pula hubungan orang tua dengan anak anaknya, serta timbul hubungan kekeluargan sedarah dan semenda. Oleh karena itu, perkawinan mempunyai pengaruh yang sangat besar, baik dalam hubungan kekeluargaan pada khususnya, maupun dalam kehidupan bermasyarakat serta bernegara pada umumnya. Karena bila dilihat dari segi sosial suatu perkawinan, dalam masyarakat setiap bangsa ditemui suatu penilaian umum, bahwa orang yang sedang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempumyai kedudukan yang
2 3
Budi Durachman, Kompikasi Hukum Islam, (Bandung: Fokus Media, 2007), h. 7. Mohammad Asmawi, Nikah, (Yogyakarta: Darussalam, 2004), h.21.
3
lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.4 Maka seyogyanya segenap bangsa Indonesia mengetahui seluk-beluk berbagai peraturan hukum perkawinan, agar mereka dapat memahami dan melangsungkan perkawinan sesuai dengan peraturan yang berlaku.5 Maksud perkawinan ialah abadi, bukanlah untuk sementara waktu kemudian diputuskan. Karena dengan demikian dapat mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur, serta memperoleh turunan yang sah dalam masyarakat. Dengan perkawianan yang sah, anak-anak akan mengenal Ibu, Bapak, dan Nenek moyangnya, mereka merasa tenang dan damai dalam masyarakat, sebab keturunan mereka jelas, dan masyarakat pun menemukan kedamaian, karena tidak ada dari anggota mereka mencurigakan nasabnya.6 Tetapi kadang-kadang kedua suami istri gagal dalam usahanya mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur, lantaran keduanya berlainan tabi‟at dan kemauan, berlain tujuan hidup dan cita-cita sehingga hampir selalu terjadi pertengkaran dan perselisihan antara keduanya. Sebab itu tidak ada obat yang terakhir selain dari pada perceraian, supaya keduanya jangan hidup dalam satu rumah yang penuh api pertengkaran, permusuhan dan penderitaan.7
4
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986),
h.48. 5
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-asas Hukum Perkawinan di Indonesia, h.6 Muhammad Fu‟ad Syakir, Perkawinan Terlarang, (Jakarta : CV.Cendikia Sentra Muslim, 2002), h.11. 7 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1996), h.110. 6
4
Pada satu sisi, perceraian sejatinya dibolehkan dalam Islam. Namun di sisi lain, perkawinan diorientasikan sebagai komitmen selamanya dan kekal.
8
Meskipun demikian, terkadang muncul keadaan-keadaan yang menyebabkan cita-cita suci perkawinan gagal terwujud. Namun demikian, perceraian dapat diminta oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak untuk mengakomodasi realitas-realitas tentang perkawinan yang gagal.9 Suami istri dalam ajaran Islam tidak boleh terlalu cepat mengambil keputusan bercerai, karena benang kusut itu sangat mungkin dan memang dianjurkan untuk disusun kembali. Walaupun dalam ajaran Agama Islam ada jalan penyelesaian terakhir yaitu perceraian, namun perceraian adalah suatu hal yang meskipun boleh dilakukan tetapi dibenci oleh Nabi. Setiap ada sahabat datang kepadanya yang ingin bercerai dengan istrinya, Rasulullah selalu menunnjukkan rasa tidak senangnya seraya berkata bahwa hal yang halal tapi dibenci oleh Allah adalah perceraian.10 Ketika terjadi pertengkaran antara kedua belah pihak, Islam tidak langsung menganjurkan suami istri untuk mengakhiri perkawinan, tetapi dilakukan terlebih dahulu musyawarah. Di dalamnya, bisa saja suami istri membahas tentang bagaimana nusyuz yang telah dilakukan oleh keda belah pihak atau perkara yang
8
Abdul Qodir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya : PT. Bina Ilmu. 1995) h.316. Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika. 2013) h. 228. 10 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta : Prenada Media,2004), h.96-97. 9
5
menjadi syikak muncul, sehingga sebab-sebab terjadinya kesalahpahaman bisa diatasi.11 Perceraian juga diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal 39 disebutkan : 1. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2. Untuk melakukan Perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri,
3. Tata cara Perceraian di depan sidang Pengadilan di atur dalam peraturan perundangan tersebut.
Saat ini, perceraian di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Wakil Menteri Agama menyatakan jumlah kasus di Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai angka 354.000 kasus perceraian dalam satu tahun. Di Kota Tanggerang sendiri, terjadi 2242 kasus perceraian sepanjang tahun 2014. Ini merupakan angka yang termasuk tinggi bila dibandingkan dengan angka perceraian di daerah lainnya. Namun, di kota Tangerang sendiri, kecamatan Karang Tengah mampu menekan angka perceraian di wilayahnya apabila dibandingkan dengan kecamatan – kecamatan lainnya.12 Dalam upaya mengurangi perceraian, maka dalam hal ini penghulu atau Pejabat KUA yang mempunyai fungsi sebagai orang yang ditunjuk oleh Negara,
11 12
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika. 2013) h. 230. Database Kementerian Agama 2014.
6
harus cermat dan tanggap serta teliti terlebih dahulu terhadap mereka yang akan melangsungkan perkawinan, terutama sekali dengan dasar mereka melakukan pernikahan. Apabila hal ini telah dilaksanakan, maka besar harapan kemungkinan terjadinya perceraian dapat dihindari. Upaya yang dilakukan oleh penghulu haruslah memberikan dampak positif dan dapat memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa perceraian membawa resiko yang sangat besar. Selain itu, penghulu pun memiliki peran yang penting dalam menghalangi terjadinya perceraian sebelum perceraian tersebut diajukan ke pengadilan agama. Dilihat dari latar belakang yang ada, penulis akan mencoba mengungkap masalah tersebut dan mudah-mudahan dapat membantu mengatasi permasalahan perceraian, khususnya di kecamatan tersebut. Tidak bisa dipungkiri dengan terjadinya perceraian tersebut dapat menimbulkan banyak dampak terhadap lingkungan yang ada disekitar.
B. Identifikasi Masalah Untuk mengetahui permasalahan yang ada dalam latar belakang yang telah dijelaskan, penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut : 1. Lembaga apa saja yang bertanggung jawab dalam meminimalisasi angka perceraian? 2. Adakah hubungan antara perceraian dengan ekonomi sebuah keluarga? 3. Apa yang menjadi faktor utama terjadinya perceraian di Karang Tengah? 4. Bagaimana upaya penghulu dalam meminimalisasi perceraian?
7
5. Bagaimana pelaksanaan pembinaan keluarga sakinah yang dilakukan oleh Penghulu dalam mengurangi perceraian? 6. Sejauh mana peran pemerintah dalam mengurangi angka perceraian?
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Setelah mengungkapkan latar belakang masalah sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, diketahui bahwa masalah perceraian di Indonesia telah sangat luar biasa. Faktor-faktor yang menyebabkan perceraian tentulah sangat beragam namaun dalam tulisan ini penulis memfokuskan kepada faktor atas perceraian yang terjadi di Karang Tengah. Selain itu, bahwasanya tugas dan fungsi Penghulu tidak hanya semata mata mencatatkan pernikahan. Di dalam pasal 4 Peraturan Menteri Nomor PER/62/M.PAN/6/2005 tentang jabatan fungsional penghulu, penghulu juga berperan sebagai pembina keluarga sakinah. Pembinaan keluarga sakinah yang baik akan Dari peraturan tersebut, maka penulis juga membatasi permasalahan pembahasan pada penelitian skripsi ini kepada peran penghulu dalam mengurangi angka perceraian, khususnya pada masyarakat Karang Tengah. 2. Perumusan Masalah Dalam peraturan Menteri Nomor PER/62/M.PAN/6/2005 pasal 4 disebutkan bahwa jabatan fungsional penghulu adalah sebagai Pembina
8
keluarga sakinah, tetapi pada kenyataannya tugas itu kurang dilaksanakan sehingga berpengaruh pada tingginya angka perceraian. Sebaliknya, diantara sekian KUA diseluruh Indonesia, KUA Karang Tengah adalah salah satu KUA yang mampu menekan angka perceraian dengan cara mengoptimalkan peranan penghulunya. Hal ini tentu patut dijadikan rujukan bagi KUA dan penghulu lainnya guna melakukan perbaikan dalam kinerjanya selaku pejabat negara. Maka dara itu penulis merumuskan poin-poin penting penelitian dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Apa yang menjadi faktor utama terjadinya perceraian di Karang Tengah? 2. Bagaimana upaya penghulu dalam meminimalisasi perceraian? 3. Bagaimana pelaksanaan pembinaan keluarga sakinah yang dilakukan oleh Penghulu dalam mengurangi perceraian?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Dalam penyusunan skripsi ini penulis mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui faktor perceraian utama yang menjadi tantangan bagi penghulu dalam melaksanakan pembinaan. 2. Untuk mengetahui upaya penghulu dan pelaksanaan pembinaan keluarga sakinah dalam mengurangi perceraian yang dilakukan di kecamatan Karang Tengah. 3. Untuk mengetahui upaya penghulu dalam meminimalisasi perceraian.
9
2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu: 1. Untuk meminimalisir Perceraian di Kecamatan Karang Tengah, Kota Tangerang. 2. Untuk membuat sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi, yang merupakan salah satu persyaratan mendapat gelar Sarjana Syariah (S.Sy) yang telah ditentukan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, bagi mahasiswa dan mahasiswi yang akan menyelesaikan studinya di Fakultas Syariah dan Hukum khususnya Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam. 3. Untuk menambah ilmu pengetahuan di bidang ilmu agama terutama yang berkaitan dengan masalah yang sedang di bahas ini, karena dengan membahas masalah ini, penulis berusaha semaksimal mungkin untuk membaca dan memahami buku-buku yang terkait dengan masalah perkawinan dan Perceraian, sekaligus melalui observasi terhadap keadaan di lapangan.
E. Metode Penelitian 1. Objek Penelitian Dalam obyek penelitian ini, penulis mengambil lokasi sesuai dengan judul dari skripsi penulis di atas, yaitu studi kasus di KUA Karang Tengah, Kota Tangerang.
10
2. Jenis Penelitian Dilihat dari segi penyusunannya, penelitian ini menggunakan metode kualitatif, penelitian kualitatif yaitu suatu analisis data dimana penulis menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian. Adapun teknik penulisan menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”. 3. Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang digunakan penulis yaitu : a. Data Primer, yaitu data yang dikumpulkan sendiri oleh perorangan/suatu organisasi secara langsung melalui objeknya. Pada skripsi ini penulis mewawancari penghulu yang bertugas di KUA Karang Tengah. b. Data Skunder, yaitu data yang diperoleh dengan cara membandingkan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan, dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur‟an, Hadis, buku-buku ilmiah, Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta peraturan-peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah ini. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis, karena tujuan dari penelitian mendapatkan data. Bila dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data mengunakan : a. Riset perpustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan bantuan bermacam-macam materi yang terdapat diruang perpustakaan
11
b. Riset Lapangan, yaitu penelitian yang dilakukan sesuai dengan keadaan yang terjadi di KUA Karang Tengah. 5. Analisis Data Seluruh data yang diperoleh kemudian di analisis. Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematik data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat di informasikannya kepada orang lain.
F. Kerangka Teori Akad dalam pernikahan adalah fase penting dalam kehidupan masyarakat dan penting sekali artinya dalam menentukan kebahagiaan rumah tangga. Keadaan menuntut adanya persiapan mental yang matang dalam membina rumah tangga. Perihal akad ini maka jelas akan disinggung pula perihal administrasi. Jika dibuka kembali kitab-kitab fikih klasik, maka tidak akan ditemukan adanya kewajiban pasangan suami istri untuk mencatatkan perkawinannya pada pejabat negara. Dalam tradisi umat Islam terdahulu, perkawinan sudah dianggap sah bila telah terpenuhi syarat dan rukun-rukunnya. Hal ini berbeda dengan perkara muamalah, yang dengan tegas Alquran memerintahkan untuk mencatatkannya.13 Dengan demikian, ketentuan mengenai pencatatan perkawinan baru diterapkan
13
Qs.Al-Baqarah [2]: 282
12
dalam masyarakat Islam pada masa modern dimana telah dilakukan pembaruan hukum perkawinan. Dalam khazanah klasik hanya dikenal adanya nikah sirri. Nikah sirri yang dimaksudkan disini tentu berbeda dengan pengertian nikih sirri pada masa sekarang. Nikah sirri dalam konteks kitab-kitab klasik dapat dilihat dari dua pengertian. Pertama, adalah pernikahan yang tidak diumumkan pada khalayak ramai, dengan cara memukul duff, atau pernikahan yang tidak menghadirkan saksi atau karena kurangnya saksi. Dalam hal yang pertama, Imam al-Syafi‟i menjelaskan tentang pentingnya kedudukan dua orang saksi dalam pernikahan. Ia menjelaskan bahwa pernikahan yang tidak cukup saksinya tergolong ke dalam pernikahan sirri. Pendapat ini diambilnya dari „Umar bin Khattab, yaitu ketika „Umar mendatangi suatu pernikahan yang hanya disaksikan oleh satu orang saksi laki-laki dan satu orang perempuan, dia menyatakan bahwa pernikahan ini tergolong sirri., maka aku bisa merajam kamu bila dilanjutkan.14 Kedua, nikah yang tergolong nikah sirri adalah pernikahan yang tidak diumumkan dengan daffi atau membakar sesuatu (sampai terlihat asap) sebagai tanda adanya pernikahan. Nikah sirri dalam bentuk ini pernah dinyatakan oleh Rasulullah Saw dan Umar bin Khathab, sebagaimana yang dijelaskan Sahnun , yaitu ketika Rasulullah Saw melewati suatu kaum, terdengar suara nyanyian lalu Rasulullah pun bertanya ”Suara apa itu?” Kemudian Sahabat menjawab,
14
h.151.
Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i, al-Umm,(ttp:tp., tt), Kitab al-Nikah, Juz V,
13
“Pernikahan Seseorang”. Rasulullah Saw pun berkata, “Sempurnalah agamanya. Tidaklah tergolong nikah sirri setelah ditabuh duff atau kelihatan asap”.15 Pasangan Suami-isteri dalam ajaran Islam tidak boleh terlalu cepat mengambil keputusan bercerai, meskipun dalam ajaran Islam ada jalan penyelesaian terakhir yaitu perceraian, namun perceraian adalah suatu hal yang meskipun boleh dilakukan tetapi dibenci oleh Nabi. 16 Hal pertama suatu pernikahan dianggap sirri karena tidak adanya saksi, sedangkan dalam hal yang kedua pernikahan dianggap sirri ketika tidak ada pengumuman atas akad yang telah dilakukan. Dari penjabaran diatas dapat dimengerti bahwa Islam mengutamakan akan kejelasan status pernikahan. Berangkat dari pernyataan tersebut, maka kini di Indonesia, dan sebagian negara berpendudukan Muslim di dunia, mewajibkan bagi calon pasangan suami istri yang akan melakukan pernikahan untuk mendaftrar di lembaga tertentu ( KUA di Indonesia), dan pernikahannya tersebut akan disaksikan dan dicatatkan oleh seorang penghulu. Menurut PMA No. 30 Tahun 2005, Penghulu adalah pegawai negeri sipil sebagai pencatat nikah yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk sesuai peraturan
15
Imam Anas ibn Malik, al-Mudawanah al-Kubra,(Beirut: Dar al-Shadir, tth), Juz IV, h. 194. Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 97. 16
14
perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut Agama Islam dan kegiatan kepenghuluan. Tugas
Pokok
Penghulu
berdasarkan
pasal
4
Peraturan
Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/62/M.PAN/6/2005 Tentang jabatan Fungsional Penghulu dan angka kreditnya, salah satu tugas pokok penghulu adalah melakukan perencanaan kegiatan Kepenghuluan. Yaitu pengawasan pencatatan nikah/rujuk, pelaksanaan pelayanan nikah/rujuk, penasihatan dan konsultasi nikah/rujuk, pemantauan pelanggaran ketentuan nikah/rujuk, pelayanan fatwa hukum munakahat, dan bimbingan muamalah, pembinaan keluarga sakinah, serta pemantauan dan evaluasi kegiatan kepenghuluan dan pengembangan kepenghuluan.17
G. Review Studi Terdahulu Dalam melakukan penelitian, penulis juga mencatut beberapa sumber review studi terdahulu, yaitu : 1.
Skripsi yang berjudul “Efektvitas Pencatatan Perkawinan Pada KUA Kecamatan Bekasi Utara” yang ditulis oleh Isti Astuti Savitri pada tahun 2011 di fakultas syariah dan hukum. Dalam skripsi ini, Isti Astuti meneliti pengaruh pencatatan perkawinan dengan angka perceraian yang terjadi di kecamatan Bekasi Utara dengan cara membandingkan angka pasangan yang
17
Iskandar Bunyamin, Panduan Praktis Penghulu, (Banten: Kementerian Agama, 2012), h. 1.
15
melakukan pencatatan perkawinan dengan angka perceraian yang terjadi dalam satu tahun terakhir. Sementara penulis dalam skripsi ini melihat peran penghulu dalam mengurangi angka pereraian dengan menelisik pemenuhan tugas-tugas penghul sesuai dengan perma yang berlaku; 2.
Skripsi yang berjudul ”Peran dan Kontibusi BP4 dalam Membentuk Keluarga Sakinah di KUA Tanah Abang” yang ditulis oleh Syarifudin pada tahun 2011. Dalam skripsi ini, Syarifudin membahas keterkaitan antara BP4 dan juga keluarga sakinah dengan melihat peran dan kontribusi daripada BP4 itu sendiri di KUA Tanah Abang, khususnya perihal kursus calon pengantin. Sementara itu, dalam tulisan ini penulis tidak memabahas peran BP4 sebagai suatu badan, melainkan peran individu penghulu terhadap angka perceraian yang terjadi di KUA Karang Tengah. Selain itu penelitian ini tidak saja melihat pemenuhan tugas pembinaan perkawinan yang dilakukan sebelum perkawinan, melainkan juga pasca perkawinan.
H. Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini penulis akan memberikan gambaran mengenai hal apa saja yang akan dilakukan maka secara garis besar gambaran tersebut dapat dilihat melalui sistematika skripsi berikut ini: Bab Pertama, berisi pendahuluan yang akan memberikan gambaran umum dan menyeluruh tentang skripsi ini dengan menguraikan tentang Latar Belakang
16
Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Kerangka Teori, Review Studi Terdahulu dan Sistematika Penulisan. Bab Kedua, berisi Pengertian penghulu, Tugas pokok penghulu, Jabatan peghulu dan kegiatannya, Kompetensi penghulu, serta Pengetian dan Faktor – faktor perceraian. Bab Ketiga, berisi kondisi wilayah KUA Karang Tengah Tangerang yang mencakup letak geografis wilayah, kedudukan, tugas dan wewenang, serta struktur organisasi KUA Karang Tengah Tangerang. Bab Keempat, berisi data perceraian di KUA Karang Tengah, Keterlibatan Penghulu dalam Mengurangi Perceraian, serta Analisis penulis. Bab Kelima, berisi Penutup, Kesimpulan, Saran-saran.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGHULU DAN PERCERAIAN
A. Pengertian Penghulu Dalam adat Minangkabau, komunitas adat tertumpu pada suku (klan). Suku atau kaum merupakan abungan keluarga yang berasal dari nenek yang sama dari pihak ibu. Suku dipimpin oleh seorang penghulu suku yang bergelar datuk. Biasanya dalam suatu nagari (setingkat desa sekarang) berdiam dua atau lebih suku. Kepemimpinan nagari dipegang secara kolektif diantara penghulu suku, dimana salah seorangnya ditunjuk sebagai penghulu “andiko” (berasal dari kata sansekerta “andhika” artinya utama).1 Penghulu merupakan bentuk kepemimpinan masyarakat di Indonesia. Kata penghulu berasal dari kata hulu yang diberikan awal pe. Kata hulu merujuk pada sumber atau awal sebagaimana kata hulu sungai. Sementara awalan pemerupakan pembentuk kata benda. Jadi penghulu adalah orang yang dituakan untuk menjadi pemimpin.2 Kata penghulu memiliki beragam makna dalam masyarakat di Indonesia. Bagi masyarakat Minang kata penghulu identik dengan kepala suku yang memiliki kewenangan untuk mengatur kemenakan dan harta pusaka. Tapi di beberapa tempat kata penghulu bisa memiliki makna yang jauh berbeda. Dalam
1 2
Ibn Qayim Ismail, Kiai Penghulu Jawa, (Jakarta: Gema Insani, 1997), h. 8 Ibn Qayim Ismail, Kiai Penghulu Jawa, (Jakarta: Gema Insani, 1997), h. 10
17
18
masyarakat melayu lainnya, kata penghulu biasanya merujuk pada ketua kampung. Dulu kepala kampung tunduk langsung berada di bawah sultan. Berbeda dengan penghulu di Minang yang relatif independen dari pengaruh Raja di Pagaruyung. Makna yang jauh berbeda ditemui di Jawa, penghulu identik dengan orang atau pejabat yang berwenang melakukan akad nikah. Di daerah lain biasanya menggunakan kata qadi (hakim) untuk jabatan tersebut. Ketika zaman colonial Belanda, istilah penghulu juga digunakan untuk menyebut
pemimpinan
“gerombolan”
melayu.
Biasanya
dalam
setiap
pertempuran pasukan Belanda membawa serta gerombolan melayu yang bertugas untuk melakukan pekerjaan kasar seperti mengangkut perlengkapan atau logistic prajurit. Kata penghulu juga digunakan untuk menyebut mandor pekerja rodi. Bahkan digunakan untuk menyebut petugas yang menangani komoditas tertentu seperti kopi. Pada zaman Belanda ini, istilah penghulu lebih bernada negative karena merujuk sebagai pejabat atau orang-orang yang diangkat oleh Belanda.3 Penghulu dalam Bahasa Melayu Kuno sama dengan pa`hulu, dalam Bahasa Minang sama dengan panghulu, yang secara maknanya orang yang disebut dengan penghulu berkedudukan setara dengan raja atau sama dengan datuk. Setelah masuknya pengaruh Islam, sebutan penghulu juga digunakan untuk
3
Ibn Qayim Ismail, Kiai Penghulu Jawa, (Jakarta: Gema Insani, 1997), h. 15
19
seseorang yang bertugas atau berwenang dalam legalitas suatu pernikahan dalam agama Islam atau Penghulu Nikah, sebutan lainnya Tuan Kadhi4 Menurut PMA No. 30 Tahun 2005, Penghulu adalah pegawai negeri sipil sebagai pencatat nikah yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut Agama Islam dan kegiatan kepenghuluan.5 Dalam Permen PAN Nomor: PER/62/M.PAN/6/2005, dalam SKB Menag RI dan Kepala BKN Nomor 20 dan 14A Tahun 2005, Penghulu adalah PNS sebagai PPN yang diberitugas tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh Menag atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku untuk melakukan pengawasan NR menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan.6 Dalam PMA 11 Tahun 2007, Penghulu adalah pejabat fungsional PNS yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang untuk melakukan pengawasan NR menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan.7 Dalam Perpres RI Nomor 73 Tahun 2007, Penghulu adalah Pegawai Pencatat Perkawinan sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.8 4
Ibn Qayim Ismail, Kiai Penghulu Jawa, (Jakarta: Gema Insani, 1997), h. 82. Peraturan Menteri Agama No.30 Tahun 2005. 6 Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara No.62 Tahun 2005. 7 Peraturan Menteri Agama No.11 Tahun 2007. 5
20
Jabatan Penghulu PNS yang diangkat dalam jabatan Penghulu tidak dapat menduduki jabatan rangkap, baik dengan jabatan fungsional lain maupun jabatan struktural. Penghulu dapat diberi tugas tambahan sebagai kepala KUA.
B. Tugas Pokok Penghulu Tugas Pokok Penghulu berdasarkan pasal 24 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/62/M.PAN/6/2005 Tentang jabatan Fungsional Penghulu dan angka kreditnya Bab II Passal 4, Tugas Pokok penghulu adalah melakukan perencanaan kegiatan Kepenghuluan, pengawasan pencatatan nikah/rujuk, pelaksanaan pelayanan nikah/rujuk, penasihatan dan konsultasi
nikah/rujuk,
pemantauan
pelanggaran
ketentuan
nikah/rujuk,
pelayanan fatwa hukum munakahat, dan bimbingan muamalah, pembinaan keluarga sakinah, serta pemantauan dan evaluasi kegiatan kepenghuluan dan pengembangan kepenghuluan.9 Sedangkan tugas pokok penghulu menurut PMA Nomor 11 Tahun 2007 meliputi : 1. Pasal 3 ayat (1): PPN sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat(l) dapat melaksanakan tugasnya dapat diawali oleh Penghulu atau Pembantu PPN;
8 9
1.
Peraturan Presiden RI No.73 Tahun 2007. Iskandar Bunyamin, Panduan Praktis Penghulu, (Banten: Kementerian Agama, 2012), h.
21
2. Pasal 4: Pelaksnaan tugas Penghulu dan Pembantu PPN sebagimana di atur dalam pasal 3 ayat (1) dilaksanakan atas mandat yang diberikan oleh PPN.10 Propesi
penghulu
yang
ternyata
turut
memberikan
andil
dalam
pembangunan keluarga sejahtera. Bahkan, dalam struktur terbarunya, penghulu juga ditekankan untuk menjalin hubungan lintas sektoral dengan aparat dan masyarakat dalam bidang-bidang yang menjadi tugas pokok dan fungsi kepenghuluan.11
C. Jabatan Penghulu dan Kegiatannya Penghulu adalah pejabat fungsional Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas tanggung jawab dan wewenang untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan pada KUA Kecamatan bersama dengan Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Tugas pelayanan nikah sebelum terbitnya regulasi tentang jabatan fungsional penghulu dilaksanakan oleh PPN dibantu oleh wakil PPN. PPN dijabat oleh Kepala KUA yang merupakan pejabat struktural dan Wakil PPN adalah staf yang mendapatkan SK untuk melaksanakan tugas pengawasan nikah/rujuk berdasarkan agama Islam, wakil PPN bukan merupakan jabatan fungsional.
10
Peraturan Menteri Agama No.11 Tahun 2007. Nurul Huda Haem, Awas Illegal Wedding dari penghulu liar hingga perselingkuhan, (Jakarta: Pt Mizan Publika, 2007), h. 128. 11
22
Dalam rangka meningkatkan status pejabat pelaksana pencatatan nikah, berdasarkan KEP/42/M.PAN/4/2004 semua Kepala KUA dan wakil PPN diinpassing kedalam jabatan fungsional penghulu, dengan katagori penghulu ula, penghulu wustha dan penghulu ulya. Terbitnya Peraturan Menpan nomor : PER/62/M.PAN/6/2005 merubah jabatan fungsional penghulu menjadi Penghulu Pertama, penghulu Muda dan Penghulu Madya.12 1. Penghulu Pertama13 Penghulu pertama adalah jabatan penghulu yang paling rendah, karena dari itu tugas-tugasnya pun masih merupakan tugas yang mendasar dan dapat dikelompokan menjadi beberapa bidang sebagai berikut : a. Pendidikan, meliputi: Pendidikan sekolah dan memperoleh Ijazah/gelar; Pendidikan dan Pelatihan (diklat) fungsional kepenguluan dan memperoleh Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Pelatihan (STTPP), Pendidikan dan pelatihan Prajabatan dan memperoleh sertifikat. b. Pelayanan dan Konsultasi Nikah/Rujuk, meliputi: Perencanaan kegiatan kepenghuluan; Pengawasan pencatatan nikah/rujuk, Pelaksanaan pelayanan nikah/rujuk,
Penasihatan
dan
konsultasi
nikah/rujuk,
Pemantauan
pelanggaran ketentuan nikah/rujuk, Pelayanan fatwa hukum munakahat dan
12 13
Zainal Fatah, Penghulu dan angka kreditnya, (Semarang: Kementerian Agama, 2015), h. 11. Iskandar Bunyamin, Panuan Praktis Penghulu, (Banten: Kementerian Agama, 2012), h. 3.
23
bimbingan muamalah; Pembinaan keluarga sakinah; Pemantauan dan evaluasi kegiatan kepenghuluan. c. Pengembangan Kepenghuluan, meliputi: Pengkajian masalah hukum munakahat (bahsul masail munakahat dan ahwal as syakhsiyah), Pengembangan
metode
penasihatan,
konseling
dan
pelaksanaan
nikah/rujuk, Pengembangan perangkat dan standar pelayanan nikah/rujuk, Penyusunan kompilasi fatwa hukum munakahat, dan Koordinasi kegiatan lintas sektoral di bidang kepenghuluan. d. Pengembangan Profesi, meliputi: Penyusunan karya tulis/karya ilmiah di bidang kepenghuluan dan hukum Islam, Penerjemahan/penyaduran buku dan karya ilmiah di bidang kepenghuluan dan hukum Islam, Penyusunan pedoman/petunjuk teknis kepenghuluan dan hukum Islam, dan Pelayanan konsultasi kepenghuluan dan hukum Islam. e. Penunjang Tugas Penghulu, meliputi: Pembelajaran dan atau pelatihan di bidang kepenghuluan dan hukum Islam, Keikutsertaan dalam seminar, lokakarya atau konferensi, Keanggotaan dalam organisasi profesi Penghulu,
Keanggotaan
dalam
tim
jabatan
fungsional
Penghulu,
Keikutsertaan dalam kegiatan pengabdian masyarakat, Keanggotaan dalam delegasi misi keagamaan, Perolehan penghargaan/tanda jasa, Perolehan gelar kesarjanaan lainnya.
24
2. Penghulu Muda14 Penghulu muda merupakan jabatan menengah daripada jabatan fungsional penghulu, bagi seorang Penghulu Muda terdaat 32 kegiatan yang merupakan tugas utamanya. Disamping 20 kegiatan dari penghulu pertama, kegiatan penghulu muda ditambah dengan meneliti kebenaran data calon pengantin, wali nikah dan saksi nikah di balai nikah maupun di luar balai nikah, meneliti data pasangan rujuk dan saksi, melakukan penetapan dan atau penolakan kehendak nikah/rujuk dan menyampaikannya, menganalisis kebutuhan konseling/ penasihatan calon pengantin. Dalam hal konseling atau tugasnya dalam melakukan pembinaan perkawinan, penghulu muda memiliki beberapa tugas yaitu menyusun materi dan desain konseling/penasihatan calon pengantin, mengarahkan/ memberikan materi konseling/penasihatan calon pengantin, mengevaluasi rangkaian kegiatan konseling/penasihatan calon pengantin, mengidentifikasi dan menverifikasi dan memberikan solusi terhadap pelanggaran ketentuan nikah/rujuk,
menyusun
monografi
kasus,
menyusun
jadwal
konseling/penasihatan nikah/rujuk, mengidentifikasi permasalahan hukum munakahat, menyusun materi bimbingan muamalah, membentuk kader pembimbing muamalah, mengidentifikasi kondisi keluarga sakinah II dan 14
4.
Iskandar Bunyamin, Panduan Praktis Penghulu, (Banten: Kementerian Agama, 2012), h.
25
sakinah III, menyusun materi pembinaan keluarga sakinah, menyusun materi bahtsul masail munakahat dan ahwal as syakhsiyyah, melakukan uji coba hasil pengembangan
metode
penasihatan/konseling
dan
pelaksanaan
serta
pengembangan perangkat dan standar pelaayanan nikah/rujuk.15 3. Penghulu Madya16 Penghulu madya merupakan jabatan fungsional penghulu yang paling tinggi tingkatannya apabila dibandingkan dengan jabatan penghulu pertama dan penghulu muda. Tugas penghulu madya tidak lagi sekedar tugas – tugas dasar seperti yang dimiliki oleh penghulu pertama. Bagi Penghulu Madya terdapat 32 kegiatan yang merupakan tugas pokok dari penghulu madya. Tugasnya disamping kegiatan yang telah disebutka dalam tugas Penghulu Muda, ditambah dengan kegiatan menganalisis kasus dan problematika rumah tangga, mengidentifikasi pelanggaran
peraturan
perundang-undangan,
mengamankan
dokumen
nikah/rujuk, melakukan telaahan dan pemecahan masalah pelanggaran ketentuan
nikah/rujuk,
melaporkan
kepada
pihak
yang
berwenang,
menganalisis dan menetapkan fatwa hukum.
15 16
Zainal Fatah, Penghulu dan angka kreditnya, (Semarang: Kementerian Agama, 2015) h. 21 Iskandar Bunyamin, Panduan Praktis Penghulu, (Banten: Kementerian Agama, 2012), h. 7
26
Selain itu, penghulu madya juga bertugas untuk melakukan tugas dan identiikasi dan analisis yang meliputi mengidentifikasi kondisi keluarga sakinah III plus, menganalisis bahan/data pembinaan keluarga sakinah. Seorang penghulu madya juga melakukan beberapa tugas yang berkaitan dengan pengembangan sistim baik dalam konseling, pelayanan maupun pengambangan hukum perkawinan. Diantaranya
adalah
seperti
mengembangkan
metode
penasihatan/konseling dan pelaksanaan nikah/rujuk, merekomendasikan hasil pengembangan metode penasihatan/konseling pelaksanaan nikah/rujuk, mengembangkan
perangkat
dan
standar
pelayanan
nikah/rujuk,
merekomendasikan hasil pengembangan perangkat dan standar pelayanan nikah/rujuk, mengembangkan sistim pelayanan nikah rujuk, mengembangkan instrumen pelayanan nikah/rujuk, menyusun kompilasi fatwa hukum munakahat.17
D. Kompetensi Penghulu Untuk mampu melaksanakan tugas sebagaimana yang diuraikan diatas maka seorang Penghulu sebagai suatu jabatan Fungsional harus memiliki kompetensi sebagai berikut:
17
Zainal Fatah, Penghulu dan angka kreditnya, (Semarang: Kementerian Agama, 2015) h. 21.
27
1. Unsur Utama Unsur utama terdiri dari: pendidikan, pelayanan dan konsultasi nikah/rujuk, pengembangan kepenghuluan, dan pengembangan profesi Penghulu. Unsur ini meliputi poin poin penting daripada kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seorang penghulu. 2. Unsur Penunjang Unsur penunjang adalah kegiatan yang mendukung pelaksanaan tugas Penghulu. Berdasarkasn pasal 6 angka 5 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/62/M.PAN/6/2005 penunjang tugas Penghulu meliputi: a. Pembelajaran dan atau pelatihan dibidang kepenghuluan dan hukum Islam; b. Keikutsertaan dalam seminar, lokakarya, atau konferensi; c. Keanggotaan dalam organisasi profesi penghulu; d. Keanggotaan dalam tim penilai jabatan fungsional penghulu; e. Keikutsertaan dalam kegiatan pengabdian masyarakat; f. Keanggotaan dalam delegasi misi keagamaan; g. Perolehan penghargaan/tanda jasa, dan h. Perolehan gelar kesarjanaan lainnya.
28
E. Pengertian dan Syarat Perceraian 1. Pengertian Perceraian Perceraian dalam bahasa Arab adalah thalaq, yang mengandung arti melepas atau membuka simpul.Menurut istilah fiqh, thalaq disebut pula hkulu’, makna aslinya menanggalkan atau membuka sesuatu jika yang minta cerai itu pihak istri.Walaupun perceraian itu diperbolehkan, tetapi menurut Qur’an suci dan Hadits terang sekali bahwa hak itu baru boleh dilakukan dalam keadaaan luar biasa. Al-Qur’an memberi bermacam-macam usaha guna menghindari perceraian.Atas dasar ajaran Qur’an semacam itulah Muhammad SAW menyebut perceraian sebagai barang halal yang paling tidak disukai oleh Allah. Kesan umum seakan-akan orang Islam boleh menceraikan istrinya dengan sewenang-wenang, ini hanyalah memutar balikkan undang-undang Islam yang terang-benderang tentang perceraian. Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.18 Perkawinan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia, sejahtera, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang 18
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT Intermasa, 1989), h.42.
29
Perkawinan dapat putus karena : kematian, perceraian, atas keputusan pengadilan. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan.19 Perceraian biasa disebut “cerai talak” dan atas keputusan pengadilan disebut “cerai gugat”. Cerai talak perceraian yang dijatuhkan oleh seorang suami kepada istrinya yang perkawinannya dilaksanakan menurut agama islam (Pasal 14 PP No. 9/1975). Cerai gugat adalah perceraian yang dilakukan oleh seorang istri yang melakukan perkawinan menurut agama islam dan oleh seorang suami atau seorang istri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaan itu selain agama Islam (penjelasan Pasal 20 ayat (1) PP No. 9/1975). Cerai talak dan cerai gugat hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan (Pasal 39 ayat (1) PP No. 9). Gugatan Provisional (pasal 77 dan 78 UU No.7/89), sebelum putusan akhir dijatuhkan hakim, dapat diajukan pula gugatan provisional di Pengadilan Agama untuk masalah yang perlu kepastian segera, misalnya: a. Memberikan ijin kepada istri untuk tinggal terpisah dengan suami. b. Ijin dapat diberikan untuk mencegah bahaya yang mungkin timbul jika suami-istri yang bertikai tinggal serumah. c. Menentukan biaya hidup/nafkah bagi istri dan anak-anak yang seharusnya diberikan oleh suami. 19
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1991), h.116.
30
d. Menentukan hal-hal lain yang diperlukan untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak. e. Menentukan hal-hal yang perlu bagi terpeliharanya barang-barang yang menjadi harta bersama (gono-gini) atau barang-barang yang merupakan harta bawaan masing-masing pihak sebelum perkawinan dahulu. Asas perceraian yang diuraikan di dalam Al-Qur’an, yang besar kecilnya mencakup segala macam sebab, adalah keputusan suami-isteri untuk memutus ikatan perkawinan karena mereka tidak sanggup lagi hidup bersama sebagai suami-isteri. Sebenarnya, perkawinan itu tiada lain hanyalah suatu perjanjian untuk hidup bersama sebagai suami-isteri, dan apabila masing-masing pihak tidak setuju dan tidak cocok lagi untuk hidup bersama, maka perceraian tidak dapat ditunda lagi. Ini bukanlah berarti setiap percekcokkan diantara mereka akan mengakibatkan perceraian, hanya tidak adanya kesanggupan untuk hidup bersama sebagai suami-isteri sajalah yang menyebabkan ditempuhnya perceraian.20 Dalam surat Al-Baqarah Ayat 231 menyatakan:21
20
Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), h. 25-27. 21 Abdul Wahab Abd Muhaimin, Ayat-ayat Perkawinan Dan Perceraian Dalam Kajian Ibnu Katsir, (Jakarta: Gaung Persada, 2010), h. 27.
31
)٣٢ ١ : (البقرة Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka[145]. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Jika sebuah rumah tangga yang didalamnya terjadi percekcokan yang berkepanjangan, maka dalam diri suami/isteri terdapat dua hal yang bertentangan. Pertama, bahaya cekcok yang berkepanjangan dalam rumah tangga, ini jelas bertentangan dengan tujuan perkawinan yaitu dalam rangka mencapai sakinah (ketentraman), dan kedua, bahaya percerain yang juga bertentangan dengan tujuan perkawinan.Dalam kondisi yang demikian, jika bahaya percaraian lebih ringan di bandingkan dengan cekcok yang
32
berkepanjangan, maka seseorang dibolehkan bercerai demi menghindar dari bahaya yang lebih besar.Sebaliknya, jika menurut pertimbangan bahwa bahaya perceraian lebih besar daripada cekcok rumah tangga karena masih dapat didamaikan, maka perceraian tidak boleh dilakukan. Dengan demikian syariat sebenarnya bertujuan untuk memperkecil jumlah perceraian. Jika hal ini dihubungkan dengan pelaksanaan perceraian yang terjadi di Indonesia khususnya bagi umat Islam perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan Agama. Setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, maka hal itu tidak bertentangan dengan syariat islam, karena jika dilihat dari esensi aturan ini, bertujuan untuk memperkecil jumlah perceraian, serta mencegah kesewenang-wenangan kaum laki-laki dalam hal Perceraian.22
2. Syarat-syarat Perceraian Syarat-syarat perceraian termaktub dalam pasal 39 Undang-undang perkawinan terdiri dari 3 ayat, yaitu23 : a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak;
22 23
h.227.
Sri Mulyati, Relasi Suami Iteri dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita, 2004), h. 15-16. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2009),
33
b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri; c. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. Putusan perceraian harus didaftarkan pada Pegawai Pencatatan Sipil di tempat perkawinan itu telah dilangsungkan. Mengenai perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, pendaftaran itu harus dilakukan pada Pegawai Pencatatn Sipil di Jakarta. Pendaftaran harus dilakukan dalam waktu enam bulan setelah hari tanggal putusan hakim. Jikalau pendaftaran dalam waktu yang ditentukan oleh undang-undang dilalaikan, putusan perceraian kehilangan kekuatannya, yang berarti, menurut undang-undang perkawinan masih tetap berlangsung. F.
Sebab dan Akibat Perceraian 1. Sebab Perceraian Suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masingmasing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
34
Karena itu, undang-undang ini juga menganut asas atau prinsip mempersulit terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta dilakukan di depan sidang pengadilan.24 Dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1997 menyatakan Perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut : a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami-istri. f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan persengketaan dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
24
268.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.
35
Dari alasan-alasan yang ditentukan pasal 19 ini dapat dipahami bahwa ikatan nikah yang idealnya kekal abadi diberi peluang terputusnya dengan perceraian.25
2. Akibat dari Perceraian Undang-undang Perkawinan mengatur dengan tuntas tentang kedudukan harta benda di dalam perkawinan. Ketentuan yang terdapat di dalam pasal 37 Undang-undang Perkawinan menegaskan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.26 Menurut pasal 35, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 harta benda dalam perkawinan ada yang disebut harta bersama yakni harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Disamping ini ada yang disebut harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Karena itu pasal 36 menetukan bahwa harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedang mengenai harta bawaan dan harta diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
25
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), h.
26
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT Intermasa, 1989), h. 122.
120.
36
Menurut penjelasan pasal 35, apabila perkawinan putus maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing. Disini tidak dijelaskan perkawinan putus karena apa. Karena itu perkawinan putus mungkin karena salah satu pihak mati, mungkin pula karena perceraian. Akan tetapi pasal 37 mengaitkan putusnya perkawinan itu karena perceraian yakni apabila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing menurut penjelasan pasal 37 ini ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lain-lainnya. Apa yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing pada penjelasan pasal 35 adalah sama dengan pasal 37. Sementara itu, akibat dari perceraian terhadap anak yang masih di bawah umur juga menyangkut masalah perwalian. Masalah perwalian diatur dalam Pasal 220 dan Pasal 230. Dengan bubarnya perkawinan maka hilanglah kekuasaan orang tua, terhadap anakanak dan kekuasaan ini diganti dengan suatu perwalian. Mengenai perwalian ini terdapat ketentuan-ketentuan seperti berikut : 1) Setelah oleh hakim dijatuhkan putusan di dalam hal perceraian ia harus memanggil bekas suami istri dan semua keluarga sedarah dan semenda dari anak-anak yang belum dewasa untuk didengar tentang pengangkatan seorang wali. Hakim kemudian menetapkan untuk tiap anak siapa dari antara dua orang tua itu yang harus menjadi wali. Hakim hanya dapat
37
menetapkan salah satu dari orang tua. Siapa yang ditetapkan itu terserah kepada hakim sendiri. 2) Jika setelah perceraian mempunyai kekuatan mutlak, terjadi sesutau hal yang penting, maka atas permintaan bekas suami atau istri, penetapan pengangkatan wali dapat diubah oleh hakim. Lalu, hal-hal yang mengatur mengenai keuntungan bagi anak-anak terdapat dalam passal 231. Dengan perceraian hubungan suami istri terputus, tetapi hubungan dengan anak-anak tidak. Maka, sudah sepantasnya jika segala keuntunhan bagi anak-anak yang timbul berhubungan dengan perkawinan orang tuanya tetap ada. Keuntungan hak waris atau dari perjanjian kawin, umpamanya jika pada perjanjian kawin ditentukan sesuatu keuntungan bagi si istri maka jika si istri ini meninggal maka anak-anak berhak atas keuntungan yang dijanjikan kepada ibunya. Selain itu, undang – undang pun menyebutkan hal – hal lain pasca perceraian yaitu: a. Bapak dan ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan member keputusannya. b. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya
38
tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul niaya tersebut . c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri (Pasal 41 UU No. I. 1974). Dari penjabaran uraian diatas, dapat diketahui bahwa perceraian memiliki banyak dampak baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Untuk itu, pencegahan perceraian pun harus diupayakan baik dari sisi internal suami istri, maupun dari pihak eksternal dalam hal ini pemerintah dan masyarakat. Perceraian memang dibolehkan dalam Islam, namun itu merupakan opsi terakhir yang hanya dapat dilakukan apabila sudah tidak ditemukan jalan keluar lain. Pasca perceraian pun mantan suami istri ini tetap harus membagi pertanggung jawaban baik atas harta maupun anak dengan adil dan dengan cara yang sesuai dengan syariat Islam.
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG KUA KECAMATAN KARANG TENGAH KOTA TANGERANG
A. Letak Geografis Kecamatan Karang Tengah merupakan salah satu dari 13 Kecamatan yang ada di Kabupaten Tangerang. Dengan luas wilayah (+_ ) 163, 59 Ha. Kecamatan Karang Tengah terdiri dari 7 Desa/ Kelurahan, 74 RW dan 359 RT. Adapun 7 Desa/ Kelurahan yang ada di Wilayah Kecamatan Karang Tengah yaitu Desa Karang Mulya, Desa Karang Tengah, Desa Karang Timur, Desa Pondok Pucung, Desa Pedurenan, Desa Parung Jaya, Desa Pondok Bahar. Kecamatan Karang Tengah berbatasan dengan kecamatan cipondoh di Utara, Kecamatan Ciledug di Selatan, Kecamatan Pinang di sebalah barat, dan Kecamatan Kembangan di sebelah timur. Masyarakat Karang Tengah terdiri dari masyarakat pendatang dari luar daerah. Mayoritas masyarakatnya adalah transmigran yang bekerja di Jakarta atau Tangerang.
B. Kedudukan Kantor Urusan Agama (KUA) adalah unit kerja terdepan Depag yang melaksanakan sebagian tugas pemerintah di bidang Agama Islam, di wilayah Kecamatan (KMA No.517/2001 dan PMA No.11/2007). Dikatakan sebagai unit kerja terdepan, karena KUA secara langsung berhadapan dengan masyarakat.
39
40
Keberadaan KUA dinilai sangat urgen seiring dengan keberadaan Kemenag. Fakta sejarah juga menunjukan kelahiran KUA hanya berselang sepuluh bulan dari kelahiran Kemenag, tepatnya tanggal 21 Nopember 1946. Ini sekali lagi, menunjukan peran KUA sangat strategis, bila dilihat dari keberadannya yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, terutama yang memerlukan pelayanan bidang urusan agama Islam. Konsekuensi dari peran itu, secara otomatis aparat KUA harus mampu mengurus rumah tangga sendiri dengan menyelenggarakan manajemen kearsipan, administrasi surat-menyurat dan statistik serta dokumentasi yang mandiri. Selain itu, KUA juga dituntut betul-betul mampu menjalankan tugas dibidang pencatatan nikah dan rujuk (NR) secara apik.1 Kantor urusan agama kecamatan berperan dalam melaksanakan tugas umum pemerintahan dalam bidang pembangunan keagamaan (Islam) dalam wilayah kecamatan. Melaksanakan tugas – tugas pokok KUA dalam pelayanan munakahat, perwakafan, zakat, ibadah sosial, kepenyuluhan dan lain-lain, membina badan / lembaga semi resmi seperti MUI, BAZ, BP4, LPTQ dan tugas lintas sektoral di wilayah kecamatan.2 Berdasarkan keputusan Menteri Agama Nomor :517 Tahun 2001 tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan, Kedudukan KUA Kecamatan adalah instansi vertical Departement Agama yang berbeda dibawah 1
Rahmat Fauzi, Refleksi Peran KUA Kecamatan, (- : Salimunazzam, 2007) h. 5. Depag RI, Tugas-Tugas Pejabat Pencatat Nikah, Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, (Jakarta: Departemen Agama RI,2004) h. 25. 2
41
dan bertanggungjawab langsung kepada Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Kota. Memasuki Era Reformasi dengan adanya undang-undang No. 22 Th 1999 tentang ekonomi daerah pada tingkat kecamatan ada penghapusan dinas/ jawatan vertical dirubah menjadi UPK (Unit Pelaksana Kecamatan) dibawah camat. Dengan demikian tugas Kantor Urusan Agama semakin berat dan berdasarkan kepres ada tiga tugas pokok: 1.
Bidang administratif kantor
2.
Nikah, Rujuk dan Pembinaan bimbingan kerumah tanggaan
3.
Bidang ibadah sosial harus mengadakan pembinaan, penyelesaian, penerangan situasi, kemasjidan, perwakafan dan lain sebagainya.3 Bagian dari pernikahan , ialah badan penasehatan pembinaan dan
pelestarian perkawinan (BP4). Tujuannya untuk menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawwadah, dan rahmah. Bagi rumah tangga yang sedang krisis diberikan
bimbingan,
nasehat-nasehat,
pandangan
dan
lain
sebagainya
diusahakan dan diupayakan untuk rukun kembali dijaga jangan sampai terjadi perpecahan dan perceraian, apalagi yang sudah memiliki keturunan.4 Jadi BP4 dalam tugasnya selain dari pada memberikan bimbingan kepada calon pengantin juga memberikan penjelasan bagi mereka yang sedang krisis dalam rumah tangganya. Tujuannya ialah untuk mengurangi dan mencegah 3
KUA Kecamatan Karang Tengah, Laporan dan Evaluasi Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan Karang Tengah, Tahun 2013. h.7 4 Muchtar Ilyas, Motivator Keluarga Sakinah, (Jakarta: Departemen Agama, 2007), h. 80.
42
terjadinya perceraian, mencegah poligami yang tidak bertanggung jawab, perkawinan di bawah umur, dan perkawinan di bawah tangan (Nikah Sirri). BP4 adalah suatu organisasi yang bersifat prifer, sebagai penunjang sebagian tugas Kemenag dalam bidang penasehatan perkawinan, dan pembinaan keluarga/ rumah tangga. Adapun kepengurusan BP4 terdiri unsur pemerintahan, tokoh masyarakat, tokoh agama dan sebagainya.5 Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi KUA Karang Tengah , maka ditetapkan visi ‘’Terwujudnya Keluarga muslim Kota Tangerang yang beriman, bertaqwa dan berakhlaqul karimah’’. Visi ini dijabarkan dalam misi KUA Karang Tengah sebagai berikut : 1. Meningkatkan pelayanan ketata usahaan 2. Meningkatkan kualitas administrasi keuangan 3. Meningktkan kualitas pelayanan teknis dan administrasi nikah/ rujuk 4. Meningkatkan kualitas pelayanan keluarga sakinah 5. Meningkatkan kualiatas pelayanan bimbingan sosial 6. Meningkatkan kualitas pelayanan kemitraan umat 7. Menigkatkan kualitas pelayanan produksi halal
Visi ini menjelaskan perihal tujuan utama dari keberadaan KUA Karang Tengah itu sendiri. Apabila ditarik sebuah benang merah, maka kesimpulan dari
5
KUA Kecamatan Karang Tengah, Laporan dan Evaluasi Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan Karang Tengah, Tahun 2013. h.8-9
43
visi yang dijabarkan oleh KUA Karang Tengah ini adalah menyangkut perihal peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat baik dari sisi administasi maupun pelayanan pembinaan pernikahan
C. Tugas dan Wewenang 1. Mengawasi, mencatat Nikah, Talak, dan Rujuk serta mendaftar cerai talak dan gugat atau dalam bidang NTCR.6 Bedasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No 2 Tahun 1990 Pasal 2 ayat (1). PPN adalah tugasnya mengawasi dan atau mencatat nikah dan rujuk serta mendaftarkan cerai talak dan cerai gugat dibantu oleh pegawai KUA Kecamatan. Mengenai Tugas Pegawai KUA Kecamatan juga tertulis dalam UU No. 22 Tahun 1946 Pasal 1 ayat (2), yang berhak melakukan pencatatan dan pengawasan atas nikah dan pemberitahuan tentang talak dan rujuk, hanya pegawai yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk untui itu. 2. Menerima Pemberitahuan kehendak nikah, meneliti persyaratan nikah (suratketerangan untuk nikah (N1), surat Keterangan asal-usul (N2), Persetujuan mempelai (N3), Surat keterangan izin orang tua (N4).
6
Rahmat Fauzi, Refleksi Peran KUA Kecamatan, (- : Salimunazzam, 2007) h. 15.
44
3. Dalam hal meneliti dann memeriksa data-data calon pengantin maka PPN harus memeriksa sekalian data yang masuk dari kelurahan juga memeriksa data-data lama atau mengecek ulang data-data yang sudah dilaksanakan pernikahannya agar tidak terjadi kesalahan terhadap pemeriksaan data. 4. Tidak dibolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan pernikahan apabila mengetahui adanya pelanggaran yang dilakukan oleh calon mempelai, apabila setelah dilakukan pemeriksaan nikah ternyata
tidak memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan, baik persyaratan menurut hukum Islam maupun persyaratan menurut perundang-undangan yang berlaku, maka PPN harus menolak pelaksanaan pernikahan dengan cara memberikan surat penolakan kepada yang bersangkutan serta alasan-alsannya. 5. Kepala KUA Kecamatan adalah juga sebagai pejabat pembuat akta ikrar wakaf (PPAIW). 6. Tugas KUA sebagaimana dijelaskan dalam PMA No. 2 tahun 1990 tentang kewajiban PPN, Pasal 9ayat (1-6) dan pasal 10 (1-3), yaitu : a. Hasil pemeriksaan nikah ditulis dan ditandatangani oleh PPN atau Pembantu PPN dan mereka yang berkepentingan dalam daftar pemeriksaan nikah menurut model NB. b. Pembantu PPN membuat daftar pemeriksaan nikah rangkap dua, sehelai dikirim kepada PPN yang mewilayahi beserta surat-surat yang diperlukan dan sehelai lainnya disimpan.
45
c. Calon suami, calon istri dan wali nikah yang masing-masing mengisi daftar pemeriksaan nikah sebgaimana dimaksud pada ayat (1) pada ruang II, III, IV sedang ruang yang lainnya diisi oleh PPN atau Pembantu PPN. d. Apabila mereka tidak dapat menulis, maka ruang I,
III dan IV
sebagaimana dimaksud ayat (3) diisi oleh PPN. e. Pengiriman lembar pertama daftar pemeriksaan nikah sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan selambat-lambatnya 15 hari sesudah akad nikah dilangsungkan. f. Apabila lembar pertama daftar pemeriksaan nikah itu hilang, maka oleh pembantu PPN dibuat salinan dari daftar kedua dengan berita acara Sebabsebab hilangnya lembar pertama tersebut. g. Melakukan pencatatan itsbat nikah. h. Berwenang menjadi wali hakim.7
D. Stuktur Organisasi Adapun struktur organisasi yang ada di KUA Kecamatan Karang Tengah adalah kep. Men Ag (Keputusan Menteri Agama) No. 517 Tahun 2001 tentang Penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan, Kedudukan KUA 7
M. Soleh, PPN KUA Karang Tengah, Wawancara Pribadi, Karang Tengah, Senin 28 September 2015.
46
Kecamatan adalah instansi vertikal Departement Agama yang berbeda di bawah dan tanggung jawab langsung Kepala Kantor Departement Agama Kabupaten/ Kota. Oleh Karena itu, struktur organisasi KUA Kecamatan Karang Tengah adalah sebagai berikut8 : DATA KEPEGAWAIAN KUA KECAMATAN KARANG TENGAH TAHUN ANGGARAN 20159 NO 1.
NAMA Drs. H. ABD. Mukti
NIP 195801061985031002
GOL
POS
VI/a
Kepala KUA
2.
H. Burhanudin S, Ag
197206262000031002
VI/a
Penghulu Madya
3.
M. Soleh
197005222000031002
VI/a
Penghulu Madya
4.
Dedi Abd. Aziz S, Ag
197001121993931001
III/d
Penghulu Muda
5.
jawiyah
196703041990031001
III/b
Pelaksana
6.
Yusrizal, S.s
197904212006041019
III/a
Pelaksana
7.
Ina Maelufah S.pd.I
8
-
-
Honorer
KUA Kecamatan Karang Tengah, Laporan dan Evaluasi Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan Karang Tengah, Tahun 2013-2014. 9 Profil KUA Karang Tengah Kota Tangerang.
47
8.
Abdul Aziz
-
-
Honorer
9.
Aida Hamdayati S.pd.i
-
-
Honorer
10.
Hj.Neneng Sumiati M.pd
11.
196108241989032003
IV/a
Penyuluh
Yuli Astuti
-
III/a
Penyuluh
12.
Maman Supriatman
-
-
Pengawas
13.
Rusli M.pd
-
-
Pengawas
Dari data pegawai diatas diketahui bahwa jumlah pegawai yang bekerja di KUA Karang Tengah berjumlah sebanyak 13 orang yang terdiri dari delapan pegawai negeri yang meliputi empat penghulu, dua pelaksana, serta dua penyuluh, dan lima pegawa non PNS yang meliputi dua pengawas dan tiga pegawai honorer. Meskipun jumlah pegawainya hanya terbatas kepada 13 orang, namun hingga tahun ini KUA Karang Tengah telah mampu menurunkan angka perceraian dengan mengoptimalkan pegawai – pegawai yang ada.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Perceraian di KUA Karang Tengah Secara umum tingkat perceraian di KUA Karang Tengah masih terbilang tinggi meskipun sudah dilakukan upaya dan terobosan oleh penghulu untuk menekan angka perceraian tersebut. Masyarakat masih banyak yang melakukan perceraian tanpa melihat dampak yang akan terjadi serta akan ditimbulkan oleh sebuah perceraian tersebut. Hal ini merupakan masalah dalam masyarakat yang perlu dipecahkan. Ketika terjadi pertengkaran antara kedua belah pihak, Islam tidak langsung menganjurkan suami istri untuk mengakhiri perkawinan, tetapi dilakukan terlebih dahulu musyawarah. Di dalamnya, bisa saja suami istri membahas permasalahan diantara
keduanya
terlebih
dahulu,
sehingga
sebab-sebab
terjadinya
kesalahpahaman bisa diatasi.1 Pada dasarnya perceraian memang tidak dilakukan di KUA, tetapi penghulu dari pihak KUA menghimbau masyarakat ketika ingin bercerai datang terlebih dahulu ke KUA untuk meminta petunjuk kepada Penghulu sehingga bisa memberikan jalan keluar.2
1
Melanie P. Meija, Gender Jihad: Muslim Women, Islamic Jurisprudence, and Women’s Rights, Jurnal Kritike, Volume I No I, Juni 2007. 2 M. Soleh, wawancara pribadi, Tangerang, 28 September 2015.
48
49
Karena Penghulu juga merupakan orang yang ditunjuk oleh Negara dan mempunyai fungsi untuk melangsungkan perkawinan, maka penguhulu harus bersikap cermat dan tanggap serta teliti terlebih dahulu terhadap mereka yang akan melangsungkan perkawinan, terutama sekali dengan tujuan-tujuan mereka menikah, sehingga setelah menikah tidak akan mudah terjadi perceraian.3 Dari hasil wawancara dengan penghulu dari pihak KUA tersebut, maka dapat diketahui upaya dan peran apa saja yang telah dilakukan oleh Penghulu dalam mengurangi Perceraian dan Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Perceraian yang dilakukan sebagian masyarakat Karang Tengah. Beberapa upaya yang telah dilakukan Penghulu dalam mengurangi Perceraian: 1. Memberikan Penyuluhan. 2. Meningkatkan Kualitas P3N. 3. Mengadakan Pembinaan Keluarga Sakinah Secara Rutin. 4. dan Membuat Program yang berbentuk Sosialisasi. Beberapa Faktor yang mempengaruhi terjadinya Perceraian: 1. Faktor Pendidikan. 2. Faktor Ekonomi. 3. Faktor Lingkungan.4
3 4
M. Soleh, wawancara pribadi, Tangerang, 28 September 2015.. M. Soleh, wawancara pribadi, Tangerang, 28 September 2015..
50
Dengan adanya empat Upaya tersebut yang akan dilakukan oleh Penghulu, masyarakat Karang Tengah merupakan sasaran yang tepat terhadap apa yang dilakukan Penghulu itu. Penghulu juga mengharapakan kerjasama dari masyarakat untuk ikut serta melakukan upaya-upaya yang sudah dibuat agar berjalan dengan baik dan lancar. Dengan upaya ini, diharapkan angka perceraian akan berkurang. Penghulu ingin sekali merubah pola hidup masyarakat menjadi lebih baik dan modern. Yang bisa berfikir kedepan dan tidak mengutamakan perceraian apabila ada permasalahan yang timbul dari hubungan keluarga.5
B. Keterlibatan Penghulu dalam Mengurangi Perceraian Keterlibatan penghulu dalam perceraian jelas terjadi, karena seseorang yang ingin melakukan perceraian terlebih dahulu datang ke Kantor KUA dan menghadap Penghulu. Tetapi tugas Penghulu disini bukanlah untuk menceraikan pihak-pihak yang akan bercerai, melainkan berusaha dan memberi solusi agar tidak terjadi Perceraian. Para pihak yang ingin bercerai selalu datang ke Penghulu untuk meminta petunjuk atau jalan keluar terhadap permasalahan yang sedang di alami oleh kedua belah pihak. Mereka meyakini bahwa Penghulu bisa memberikan solusi kepada mereka. Disinilah adanya keterlibatan Penghulu dalam Perceraian.6
5 6
M. Soleh, wawancara pribadi, Tangerang, 28 September 2015.. M. Soleh, wawancara pribadi, Tangerang, 28 September 2015.
51
Setiap masyarakat pasti mempunyai suatu permasalahan baik yang berhubungan dengan keluarga maupun dengan orang lain. Sebuah keluarga merupakan suatu pembelajaran yang sangat penting dalam kaitannya dengan suami istri, hal ini bisa kita lihat dari sebagian masyarakat yang melakukan perceraian karena dalam hubungan suami isterinya tidak bisa di pertahankan kembali sehingga berujung pada sebuah Perceraian.7 Semakin banyak upaya yang dilakukan oleh Penghulu semakin sedikit Perceraian itu terjadi. Walaupun upaya itu tidak banyak, yang penting adalah terlaksananya upaya itu. Perceraian bisa berkurang apabila faktor-faktor penyebab perceraian yang ada bisa dihilangkan atau diminimalkan.8 Dari beberapa Upaya yang akan dilakukan oleh Penghulu sebagai Berikut: 1. Memberikan Penyuluhan. Dengan memberikan penyuluhan keagamaan terhadap Bapak-bapak, Ibu-ibu, Pemuda/I dalam suatu pengajian baik tingkat RT maupun Desa yang akan terciptanya komunikasi yang harmonis dan baik terhadap masyarakat sehingga dapat menciptakan wawasan berumah tangga yang lebih inspiratif. Penyuluhan ini juga bisa dilakukan terhadap anak-anak sekolah yang sudah dewasa dan yang sudah berfikir untuk melakukan pernikahan. Penyuluhan ini sangat penting untuk tidak terjadinya perceraian dan meminimalisir perceraian yang sudah ada. Penghulu akan terjun langsung untuk melakukan upaya ini
7 8
Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta:Kencana. 2008. h. 147. M. Soleh, wawancara pribadi, Tangerang, 28 September 2015.
52
agar benar-benar berjalan dan bisa membuahkan hasil yang baik, terutama pada masyarakat Karang Tengah.9 2. Meningkatkan Kualitas P3N. P3N (Amil) selaku pembantu dari pihak KUA supaya bisa memberikan ilmuilmu tentang berumah tangga yang baik dan rukun. Maka dari itu Perceraian yang dilakukan sebagian masyarakat Karang Tengah bisa menjadi lebih sedikit dari sebelumnya.10 3. Mengadakan Pembinaan Keluarga Sakinah. Dengan adanya Pembinaan Keluarga Sakinah yang dilakukan Penghulu akan membuat masyarakat mengerti arti pentingnya membangun sebuah keluarga yang baik dan rukun. Sehingga masyarakat lebih mempertimbangkan apabila meraka ingin melakukan perceraian. Pembinaan Keluarga Sakinah juga merupakan upaya yang sangat baik dalam mengurangi Perceraian yang dilakukan sebagian masyarakat Karang Tengah. Dan pembinaan ini haruslah dilakukan oleh orang-orang yang memang benar-benar mengerti tentang menjalin keluarga yang baik itu seperti apa. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh Penghulu sebagai orang yang dianggap faham terhadap permasalahan seperti ini.11 4. Membuat Program berbentuk Sosialisasi.
9
M. Soleh, wawancara pribadi, Tangerang, 28 September 2015. M. Soleh, wawancara pribadi, Tangerang, 28 September 2015. 11 BKKBN, Membangun Keluarga Sehat dan Sakinah, (Jakarta: BKKBN, 2008), h.5. 10
53
Dengan adanya kerjasama yang baik dari pihak KUA dengan BKKBN, Puskesmas, Tokoh Masyarakat dan Pejabat setempat. Maka Sosialisasi ini akan membawa nilai-nilai positif terhadap masyarakat Karang Tengah baik yang sudah bercerai maupun yang masih berkeluarga. Dan memberikan dampak yang baik bagi semua komponen masyarakat, sehingga keharmonisan dalam suatu keluarga dapat lebih dijaga. Program ini juga sangat penting untuk meminimalisir Perceraian yang dilakukan sebagian masyarakat.12
C. Pemenuhan Tugas Penghulu Sebagai seorang penghulu, maka diharuskan untuk melaksanakan semua tugas pokoknya dan tidak semata – mata hanya melaksanakan tugasnya sebagai pegawai pencatat nikah. Penghulu juga bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan dan penyuluhan baik sebagai anggota KUA, maupun sebagai individu penghulu.13 Penghulu di Karang Tengah sudah memulai menerapkan tugasnya tersebut dengan memperbanyak terjun langsung ke dalam masyarakat. Karena penghulu merupakan pihak selain kyai atau ustad yang diberi tanggung jawab untuk membina masyarakat khususnya dalam bidang pernikahan maupun perceraian tidak hanya oleh agama namun juga undang – undang.
12 13
M. Soleh, wawancara pribadi, Tangerang, 28 September 2015. Muttaqin, Pegawai Pencatat Nikah, (Banten: Kementerian Agama, 2003), h.21.
54
Upaya yang telah dilakukan oleh para penghulu di Karang Tengah ini pun membuahkan hasil. Dilihat dari data pengadilan agama, angka perceraian yang ada di Karang Tengah tergolong rendah apabila dibandingkan dengan KUA lain di Kota Tangerang.14 Meskipun bukan yang terendah, namun apabila melihat dari segi populasi maka Karang Tengah merupakan salah satu KUA yang mampu menekan angka perceraian yang terjadi setiap tahunnya. Namun, upaya ini pun rasanya masih bisa lebih dimaksimalkan apabila tugas penyuluhan dan pengawasan ini bisa lebih dipertegas oleh pemerintah melihat bahwa fakta di lapangannya masih terdapat masyarakat yang enggan untuk bekerja sama dengan program yang telah dilaksanakan oleh penghulu.
14
Database Perceraian Pengadilan Agama Kota Tangerang 2014-2015
BAB V PENUTUP
Berdasarkan pembahasan yang telah penulis kemukakan, maka dapat penulis tarik beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut. A. Kesimpulan 1. Faktor – faktor perceraian utama yang dihadapi oleh masyarakat di Karang Tengah adalah a. Faktor pendidikan; b. Faktor ekonomi; dan Faktor lingkungan. 2. Peran dan upaya yang dilakukan oleh penghulu yaitu dengan cara memberikan penyuluhan, meningkatkan kualitas P3N (Amil), mengadakan pembinaan keluarga sakinah dan membuat program yang berbentuk sosialisasi secara rutin. Dengan adanya upaya dan program seperti itu, maka masyarakat lebih mengetahui dampak buruk tentang perceraian. 3. Pelaksanaan pembinaan keluarga sakinah dan penugasan penyuluhan yang dilakukan secara rutin oleh penghulu mampu menekan angka perceraian di Karang Tengah, meski begitu, dukungan pemerintah dan masyarakat masih sangat dibutuhkan guna memaksimalkan kegiatan ini.
54
55
B. Saran 1. Disarankan kepada Penghulu agar terus berupaya dan berusaha meminimalisir tingkat perceraian di KUA Karang Tengah dengan melakukan terobosan – terobosan baru. 2. Penghulu harus lebih bertanggung jawab terhadap setiap tugas dan fungsi Penghulu. 3. Pemerintah harus lebih mendukung pemenuhan tugas dan fungsi penghulu melalui penguatan undang-undang dan juga penyiapan dana yang mencukupi 4. Masyarakatt agar lebih memperhatikan dampak Perceraian yang akan ditimbulkan. 5. Masyarakat harus lebih memikirkan masa depan keluarga yang sudah dibentuk supaya tidak mudah terjadi perceraian.
DAFTAR PUSTAKA
Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i, al-Umm,(ttp:tp., tt), Kitab alNikah, Juz V. Afandi, Ali. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. Jakarta : PT Rineka Cipta. 1997. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI. Ali, Mohamad Daud. Hukum Islam Dan Peradilan Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002. Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: PT Sinar Grafika, 2009. Ashqolani, Ibnu Hajar. Bulughul Maram. Harramain. Asmawi, Muhammad. Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan. Yogyakarta: Darussalam. 2004. Aziz, Abdul. ensklopedia Islam. Jakarta: PT. IkhtiarBaru Van Hoove. 1994. Bakri, Sidi Nazar. Kunci Keutuhan Rumah Tangga, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1993. Bunyamin, Iskandar. Panduan Praktis Penghulu, Banten: Kementerian Agama. 2012. Database Perceraian Pengadilan Agama Kota Tangerang Djaelani, Abdul Qodir. Keluarga Sakinah. Surabaya: PT. Bina Ilmu. 1995. Durachman, Budi. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Fokus Media. 2007. Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Pusat Peningkatang dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012. Fatah, Zainal. Penghulu dan angka kreditnya. Semarang: Kementerian Agama. 2015 Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta:Kencana.2008.
56
57
Haem, Nurul Huda. Awas Illegal Wedding dari penghulu liar hingga perselingkuhan. Jakarta: Pt Mizan Publika, 2007. Imam Anas ibn Malik, al-Mudawanah al-Kubra,(Beirut: Dar al-Shadir, tth), Juz IV Ismail, Ibn Qayim. Kiai Penghulu Jawa. Jakarta: Gema Insani. 1997. KUA Kecamatan Karang Tengah. Laporan dan Evaluasi Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan Karang Tengah. Tahun 2014 Kuzari, Ahmad. Nikah Sebagai Perikatan. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995 M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010. Muhaimin, Abdul Wahab Abd. Ayat-ayat Perkawinan dan Perceraian Dalam Kajian Ibnu Katsir, Jakarta: Gaung Persada. 2010. Mulyati,Sri. Relasi Suami Iteri dalam Islam. Jakarta: Pusat Studi Wanita. 2004 P. Meija, Melanie, Gender Jihad: Muslim Women, Islamic Jurisprudence, and Women’s Rights, Jurnal Kritike, Volume I No I, Juni 2007. Peraturan Menteri Agama No.11 Tahun 2007 Peraturan Menteri Agama No.30 Tahun 2005 Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara No.62 Tahun 2005 Prakoso, Djoko dan Murtika, I Ketut. Azaz-azaz Hukum Perkawinan.Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2003 Shabbagh, Mahmud. Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam. Bandung: PT Remaja Rosda. 1994. Subekti, R dan Tjitrosudibio, R. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita, 2009. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : PT Intermasa, 1989. Syakir, Muhammad Fu’ad. Perkawinan Terlarang, Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim, 2002. Syarifudin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta : Kencana. 2009.
58
Taat Nasution, Amir. Rahasia Perkawinan dalam Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994. Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Bandung: Citra Umbara, 2007. Sopyan Yayan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, Tangerang: UIN Syrif Hidayatullah Jakarta, 2011. CET I. Yunus, Mahmud. Hukum Perkawinan Dalam Islam. Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996. Zain, Muhammad dan Mukhtar Ashoiq. Membangun Keluarga Humanis, Jakarta: Grahacipta, 2005. Zein, Satria Effendi M. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Prenada Media, 2004. Zuhaili, Wahbah, Terjemah Fiqh Islam wa adillatuhu. Penerjemah Abdul Hayie al-kattani, dkk. Damaskus: Darul Fikr,2007 http://bimasislam.kemenag.go.id/post/berita, diakses 14 Februari 2015,08.13 WIB Haem, Nurul Huda. Awas Illegal Wedding dari Penghulu Liar Hingga Perselingkuhan, Jakarta: PT Mizan Publika, 2007
HASIL WAWANCARA Nama: M. Soleh MA Hari/Tanggal: Semin, 28 September 2015 1. Apa saja tugas pokok seorang penghulu? Tugas seorang penghulu sangatlah banyak. Tidak terbatas sebagai ppn saja melainkan juga melakukan suscatin, pembinaan keluarga sakinah, pengadaan lttq, dan juga mensosialisasikan segala hal tentang perkawinan kepada masyarakat. 2. Bagaimana keterkaitan antara penghulu dan perceraian? Secara langsung memang tidak ada hubungan antar penghulu da perceraian karena perceraian dilakukan di Pengadilan Agama. Tapi, pada praktiknya Penghulu sering dipercaya sebagai pintu terakhir sebelum perceraian. Banyak masyarakat yang datang ke KUA terlebih dahulu apabila mereka ingin melakukan perceraian. 3. Menurut bapak, faktor apa yang menjadi penyebab utama perceraian di Karng Tengah? Kebanyakan perceraian yang terjadi adalah karena faktor ekonomi, faktr ekonomi menyebabkan ketidakpuasan duniawi bagi pasangan suami istri dan akhirnya mereka cek cok dan akhirnya bercerai. Selain faktor ekonomi, banyak juga yang bercerai karena faktor lingkungan dan keluarga. Lingkungan yang tidak baik dapat menyebabkan si pasangan ini mudah terpengaruh dan akhirnya mudah melakukan
perceraian. Tapi, lebih dari itu, menurut saya faktor yang paling mempengaruhi adalah dari segi penddikan, yakni terutama pendidikan agama. Pendidikan agama berpern besar bagi kelanggengan suatu rumah tangga karena menyangkut akhlak, kesabaran , dan lain lain. 4. Adakah Upaya yang dilakukan oleh penghulu untuk mengurangi angka perceraian tersebut? Tentu kam sebagai penghulu mengupayakan hal tebaik untuk masyarakat, kami melakukan pembinaan tidak hanya sebelum pernikahan namun juga prosesnya kami awasi dan juga kami terus melakukan peningkatan p3n, serta sosialisasi kepada masyarakat. Hal utama agar masyarakat mau menjalani program yang kita adakan adalah kedekatan kita dengan masyarakat. Karena itu, penghulu harus banyak bergaul supaya mendapat kepercayaan masyarakat. 5. Bagaimana respons masyarakat terhadp kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para Penghulu? Alhamdulilah banyak masyarakat yang merespons positif, hal ini terlihat dari angka perceraian yang kian menurun, namun sayangnya masih banyak masyarakat yang tidak mau berpartisipasi dan mengindahkan keberadaan penghulu jadi kami rasa belum cukup optimal. 6. Bagaimana harapan kedepannya? Semoga kami bisa terus melaksanakan kegiatan seperti ini, semoga juga
ppemerintah
mendukung
dan
bahkan
mewajibkan
para
penghulunya ntuk terus berinovasi dan sadar akan tugasnya secara keseluruhan, bukan hanya sekedar pencatatan nikah saja.
TABEL PERCERAIAN 20141
No.
Jumlah Perkara Jumlah Perkara
Gugatan
Permohonan
2 Tangerang Cipondoh Ciledug Jatiuwung Batuceper Benda Periuk Karawaci Pinang Karang Tengah
3 269 258 234 105 98 63 114 259 273
4 35 39 24 12 10 13 8 28 27
6 304 297 258 117 108 76 122 287 300
129
9
138
11
Larangan
210
16
226
12 13
Cibodas Neglasari Jumlah
211 77 2300
17 9 247
228 86 2547
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1
Nama Kecamatan
Database Perceraian Pengadilan Agama Kota Tangerang
TABEL PERCERAIAN 20152
No.
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
2
Nama Kecamatan 2 Tangerang Cipondoh Ciledug Jatiuwung Batuceper Benda Periuk Karawaci Pinang Karang Tengah Larangan Cibodas Neglasari Jumlah
Jumlah Perkara Jumlah Perkara Gugatan
Permohonan
3 169 190 173 70 67 64 83 153 145
4 18 36 12 4 7 8 9 9 17
6 187 226 185 74 74 72 92 162 162
101
38
139
182 122 64 1583
15 8 8 189
197 130 72 1772
Database Perceraian Pengadilan Agama Kota Tangerang