Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-4 Yogyakarta, 28 Oktober 2015
ISSN:2477-3298
PERAN PENELITIAN DALAM PENGEMBANGAN INDUSTRI KULIT NASIONAL Yuny Erwanto Fakultas Peternakan UGM Jl. Fauna No. 3, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia Email:
[email protected] (Peneliti dengan H-index Scopus 5 dan Reviewer Nasional Penelitian Dir. DP2M, DIKTI)
ABSTRAK Pada dasarnya persoalan utama yang dihadapi Indonesia saat ini adalah rendahnya hasil riset dan teknologi dalam negeri yang diadopsi oleh industri atau pengguna teknologi lainnya. Industri seharusnya mengikuti inovasi yang dilakukan berdasarkan research and development yang dihasilkan tim peneliti secara mandiri maupun hasil kerjasama dengan peneliti dari berbagai lembaga penelitian. Pada kenyataannya industri lebih suka mengimpor teknologi, alat dan bahkan dalam beberapa hal termasuk mengimpor sumberdaya manusia. Kapasitas lembaga pengembang teknologi Indonesia cukup baik, terbukti dengan posisi indeks inovasi Indonesia dalam peringkat World Economic Forum (WEF) tahun 2015 yang berada pada posisi ke-33 dari 140 negara. Kemampuan inovasi Indonesia saat ini sebenarnya sudah setara dengan negara-negara yang perekonomiannya sudah berbasis inovasi. Berdasarkan survei WEF tersebut, dilaporkan bahwa kapasitas pengembangan inovasi ternyata belum diimbangi dengan kesiapan pengembangan teknologi dan kapasitas untuk adopsinya, terbukti dengan peringkat kesiapan teknologi (technological readiness) yang masih relatif rendah, yakni pada peringkat ke-85 dari 140 negara pada tahun 2015. WEF juga memuat data peringkat Indonesia berdasarkan indeks daya saing global/Global Competetiveness Index (GCI) pada tahun 2015/2016 berada pada posisi 37 turun 3 peringkat dibanding tahun sebelumnya. Oleh karena itu, pengembangan inovasi seharusnya diimbangi dengan pengembangan teknologi (technological readiness) yang kemudian meningkatkan daya saing nasional. Data WEF mencatat indikator kinerja kerjasama riset antara universitas dengan industri untuk mengukur peringkat daya saing ini. Berdasarkan indikator kinerja kerjasama riset antara universitas dengan industri, pada tahun 2015 ini Indonesia meningkat 8 tingkat dibandingkan dengan tahun 2010, yaitu dari peringkat 38 menjadi peringkat 30. Namun data-data yang membuat inovasi research yang menghasilkan teknologi yang dapat diadopsi oleh industri masih belum menunjukkan kinerja yang menggembirakan. Hal tersebut terbukti dengan sangat sedikitnya hasil riset lembaga penelitian maupun perguruan tinggi yang digunakan industri. Berdasarkan pemetaan riset yang dilakukan oleh BPPT
1
Peran Penelitian Dalam Pengembangan....., Yuny Erwanto
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-4 Yogyakarta, 28 Oktober 2015
ISSN:2477-3298
persentase riset industri baru mencapai 3% maka upaya peningkatan kerjasama riset antara lembaga penelitian dengan industri menjadi sangat mendesak agar anggaran yang digunakan baik dari pemerintah maupun dari industri semakin bermanfaat. Penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan daya saing bangsa menjadi sangat mendasar bagi Indonesia. Untuk itu pengembangan penelitian terapan berbasis inovasi teknologi yang dibutuhkan pasar adalah konsep keharusan yang perlu dilakukan untuk penelitian-penelitian lembaga riset termasuk lembaga riset di bawah kementerian teknis seperti Kementerian Perindustrian yang punya kedekatan hubungan dengan dunia usaha. Kerjasama riset yang dimaksud bukan bersifat formal administratif namun harapannya adalah subtansif-kolaboratif yang akan menghasilkan inovasi yang membumi dan berdaya saing nasional maupun internasional untuk memajukan industri kulit nasional. Kata kunci : penelitian, kolaborasi, solusi, industri kulit nasional
Peran Penelitian Dalam Pengembangan....., Yuny Erwanto
2
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-4 Yogyakarta, 28 Oktober 2015
ISSN:2477-3298
PENDAHULUAN Pada dasarnya persoalan utama yang dihadapi Indonesia saat ini adalah rendahnya hasil riset dan teknologi dalam negeri yang diadopsi oleh industri atau pengguna teknologi lainnya. Industri seharusnya mengikuti inovasi yang dilakukan berdasarkan research and development yang dihasilkan tim peneliti secara mandiri maupun hasil kerjasama dengan peneliti dari berbagai lembaga penelitian. Pada kenyataannya industri lebih suka mengimpor teknologi, alat dan bahkan dalam beberapa hal termasuk mengimpor sumber daya manusia. Kebijakan tersebut mengakibatkan
peneliti
di
Indonesia
tidak
mendapat
kesempatan
untuk
mengembangkan inovasi dan penelitian sebagaimana yang dibutuhkan industri. Ketidak percayaan industri kepada penelitidiperparah dengan tidak ada kebijakan dan komunikasi yang baik sehingga mendorong penelitian yang bersifat terapan dan komersial berbasis kerjasama
industri sangatlah kurang.Kapasitas
lembaga
pengembang teknologi Indonesia sesungguhnya cukup baik, terbukti dengan posisi indeks inovasi Indonesia dalam peringkat World Economic Forum (WEF) tahun 2015 yang berada pada posisi ke 33. Kemampuan inovasi Indonesia saat ini sebenarnya sudah setara dengan negara-negara yang perekonomiannya sudah berbasis inovasi. Berdasarkan survei WEF tersebut, dilaporkan bahwa kapasitas pengembangan inovasi ternyata belum diimbangi dengan kesiapan pengembangan teknologi dan kapasitas
untuk
adopsinya,
terbukti
dengan
peringkat
kesiapan
teknologi
(technological readiness) yang masih relatif rendah, yakni pada peringkat ke -85dari 140 negara pada tahun 2015.WEF juga memuat data peringkat Indonesia berdasarkan indeks daya saing global/Global Competetiveness Index(GCI) pada tahun 2015/2016 berada pada posisi 37 turun 3 peringkat dibanding tahun sebelumnya. Oleh karena itu pengembangan inovasi, seharusnya diimbangi dengan pengembangan teknologi (technological readiness) yang kemudian meningatkan daya saing nasional.Data WEF
mencatatindikator kinerja kerjasama riset antara
universitas dengan industriuntuk mengukur peringkat daya saingini. Berdasarkan indikator kinerja kerjasama riset antara universitas dengan industri, pada tahun 2015 ini Indonesia meningkat 8 tingkat dibandingkan dengan tahun 2010, yaitu dari peringkat 38 menjadi peringkat 30.Namun data data yang membuat inovasi research yang menghasilkan teknologi yang dapat diadopsi oleh industri masih belum
3
Peran Penelitian Dalam Pengembangan....., Yuny Erwanto
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-4 Yogyakarta, 28 Oktober 2015
ISSN:2477-3298
menunjukkan kinerja yang menggembirakan. Hal tersebut terbukti dengan sangat sedikitnya hasil riset lembaga penelitian maupun perguruan tinggi yang digunakan industry. Berdasarkan pemetaan riset yang dilakukan oleh BPPT persentase riset industri baru mencapai 3% (Bisnis.com, 2015), maka usaha upaya peningkatan kerjasama riset antara lembaga penelitian dengan industri menjadi sangat mendesak agar anggaran yang digunakan baik dari pemerintah maupun dari industri semakin bermanfaat. Penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan daya saing bangsa menjadi sangat mendasar bagi Indonesia, sebagai contoh negara Korea dan Jepang adalah negara yang mampu mengkombinasikan penelitian dan pengembangan sehingga mereka mampu menghasilkan produk-produk yang inovatif dan mampu leading di pasaran. Perusahaan-perusahaan di Jepang secara umum mempunyai jalinan penelitian dengan lembaga riset atau perguruan tinggi, mereka bersedia mengeluarkan anggaran untuk menghasilkan inovasi produk dan sekaligus membangun pasar yang terus dinamis. Untuk itu pengembangan penelitian terapan berbasis inovasi teknologi yang dibutuhkan pasar adalah konsep keharusan yang perlu dilakukan untuk penelitian-penelitian lembaga riset termasuk lembaga riset di bawah kementerian teknis seperti kementerian perindustrian yang punya kedekatan hubungan dengan dunia usaha. Industri kulit dengan berbagai permasalahannya merupakan industri yang meghasilkan devisa negara cukup tinggi karena merupakan komoditi ekspor dan sekaligus menyerap jutaan tenaga kerja membutukan perhatian khusus agar mampu terus berinovasi dan menghasilkan teknologi atau produk yang mampu terus berkompetisi secara global. Oleh karena itu salah satu kunci persaingan di masa datang adalah kemampuan penlitian yang inovatif-kolaboratif yang didukung oleh kesiapan teknologi yang dapat diaplikasikan oleh industry. Kerjasama riset inovatif-kolaboratif yang dimaksud bukan bersifat formal administratif namun harapannya adalah subtansif-kolaboratif yang akan meghasilkan inovasi yang membumi dan berdaya saing nasional maupun internasional.
KONDISI INDUSTRI KULIT DI INDONESIA Komoditi kulit di Indonesia memberikan sumbangan yang signifikan terhadap ekspor non migas Indonesia pada tahun 2014 nilai ekspor dari kulit dan industri kulit di Indonesia mencapai 53,17 Triliun Rupiah dan memberikan sumbangan terhadap
Peran Penelitian Dalam Pengembangan....., Yuny Erwanto
4
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-4 Yogyakarta, 28 Oktober 2015
ISSN:2477-3298
total ekspor sekitar 3,9 % (Statistik Kemenperin, 2015), dengan serapan tenaga kerja yang padat karya mencapai lebih dari 1 juta tenaga kerja terserap di Industri kulit dan produk kulit. Data dari asosiasi pengusaha sepatu Indonesia menunjukkan bahwa jumlah ekspor sepatu dari Indonesia sebanyak 627 Juta pasang atau sekitar 3,1 % dari pangsa pasar sepatu dunia pada tahun 2014. Jumlah ekpsor tersebut sangat besar walaupun masih dibawah China yang menjual hampir 2,7 Milyar pasang sepatu atau menguasai sekitar 15,2% dari pangsa pasar dunia. Kementerian Perindustriaan mencatat, utilisasi industri penyamakan kulit sapi dalam negeri baru mencapai 48 persen dan kambing/domba hanya 35 persen dari kapasitas
produksi.
pengembangannya
Namun,
industri
ini
masih
menanggung
kendala
yaitumasalahnya kurangnya bahan baku dari dalam negeri
(Anonim, 2015). Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian (Kemenperin) melaporkan kebutuhan kulit untuk industri lebih dari 5 juta lembar per tahun. Sedangkan pasokan dalam negeri hanya cukup sampai 2 juta lembar per tahun dan sejumlah 3 juta dipenuhi dari impor. Sementara untuk melakukan impor kulit sapi tesandung penyakit kulit dan kuku(Harian Neraca, 24 Sept 2014). Industri penghasil kulit untuk sepatu atau penyamak kulit dalam negeri yang mampu memproduksi 5 juta lembar kulit sapi dan 20 juta lembar kulit kambing per tahun sebenarnya belum optimal. Jumlah tersebut hanya mampu memenuhi 20%-30% kebutuhan industri sepatu dalam negeri. Industri kulit di Indonesia menghadapi kendala kekurangan bahan baku yang sebenarnya dapat diatasi dengan impor bahan baku kulit dari negara lain baik berupa wet bluemaupun dalam bentuk kulit picle. Upaya melakukan impor tersebut masih belum sepenuhnya dapat berjalan dengan baik karena proses karantina untuk kulit dari negara lain masih harus mengikuti aturan karantina yang cukup ketat. Pada aspek teknis sebenarnya pengolahan kulit dengan pengawetan, pengaraman pengasaman dan bahkan penyamakan dasar akan membunuh mikrobia termasuk virus yang dikuatirkan menjadi pintu penularan penyakit mulut dan kuku, oleh karena itu kebijakan karantina hewan dan pembatasan impor dari negara-negara yang tekena penyakit mulut dan kuku untuk produk kulit olahan perlu ditinjau ulang. Kondisi perusahaan nasional ditinjau dari aspek teknologi dan bahan baku baku pendukung pun sebagian besar menggunakan bahan baku impor termasuk
5
Peran Penelitian Dalam Pengembangan....., Yuny Erwanto
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-4 Yogyakarta, 28 Oktober 2015
ISSN:2477-3298
bahan kimia dan bahan pendukung yang lain. Keberlangsungan industri kulit nasional pada saat ini tidak ditopang oleh industri pendukung baik bahan kimia maupun ketersediaan bahan baku. Peralatan yang digunakan oleh perusahaan persahaan kulit di Indonesia sebagian besar juga merupakan peralatan impor, bahkan konsultan tenaga ahli yang didatangkan pun kadang kala juga dari luar negeri. Permasalahan industri penyamakan kulit dan produk kulit jadi di Indonesia dapat dikatogorikan menjadi beberapa hal utama yaitu ; kekurangan bahan baku, kebutuhan alat masih mengandalkan impor, kebutuhan bahan kimia masih mengandalkan impor, teknologi pengolahan kulit juga mengekor perusahaan luar negeri, permasalahan limbah dan lingkungan serta biaya tenaga kerja yang terus meningkat. Kemajuan industri kulit dapat dikatakan belum menunjukkan struktur dasar industri yang kuat karena masih tergnatung impor dalam banyak hal beberapa ahli mengatakan bahwa ketergantungan impor mencapai 60 sampai 70% atau apabila dihitung termasuk impor teknologi dan alat maka lebih dari 70%. Untuk menjadi industri yang kuat maka industri kulit harus didukung atau diback up oleh teknologi, peralatan dan kemampuan SDM lokal yang tangguh. Kesiapan tersebut penting agar ketergantungan terhadap impor menurun. Hal tersebut dapat terwujud apabila kunci ilmu pengetahaun dan teknologi dapat dikuasai sehingga dapat melakukan inovasi yang efisien dan ekonomis. Industri kulit nasional dan lebih khusus industry barang dari kulit adalah industri dibawah industry besar dunia, hasil kajian kecil kepada para pemakai sepatu di Indonesia secara umum mengenal nama merk sepatu namun kebanyakan dari pengguna tersebut tidak yakin apakah buatan Indonesia atau bukan. Hasil wawancara sekitar 10 dari pemakai sepatu dapat menyebutkan merk sepatunya namun hampir semua tidak dapat menjawab buatan Indonesia atau bukan. Pertanyaan dilanjutkan dengan mengecek masing masing sepatu yang dipakai semua sepatu yang dipakai tidak ada satupun nama Indonesia atau perusahaan yang kuat mengakar dengan nama berbahasa Indonesia atau nusantara. Masing masing kemudian mengecek buatan darimana sepatu yang dipakai dan menunjukkan 60% buatan Vietnam dan hanya seorang yang tertulis “Made In Indonesia”. Kajian kecil tersebut adalah hasil yang belum tentu menggambarkan keadaan sesungguhnya namun paling tidak ada satu kesimpulan
Peran Penelitian Dalam Pengembangan....., Yuny Erwanto
6
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-4 Yogyakarta, 28 Oktober 2015
ISSN:2477-3298
besar bahwa sebagain besar industri sepatu yang mampu mengekspor 627 Juta pasang sepatu di tahun 2014 adalah industri dengan akar dasar bukan Indonesia sehingga rakyat Indonesia sendiri secara umum tidak paham apakah brand asli Indonesia atau bukan dan siapa pemilik perusahaan tersebut betulkah dimiliki oleh WNI atau justru dimiliki oleh perusahaan perusahaan besar dunia dan bukan merupakan perusahaan yang megakar dan tumbuh dari bangsa Indonesia. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah betul kita sebagai bangsa Indonesia adalah pelaku utama dan perancang industri sepatu di Indonesia atau hanya sekedar pemain?
KONDISI PENELITIAN DI INDONESIA Jumlah peneliti di Indonesia dari dosen perguruan tinggi di Indonesia saja berjumlah sekitar 250.000 orang apabila jumlah tersebut ditambah dengan semua lembaga penelitian baik yang masuk ke dalam kementerian teknis dan non kementerian maka dipastikan jumlah peneliti di seluruh Indonesia lebih dari 300.000 orang. Banyaknya jumlah peneliti belum sebanding dengan jumlah inovasi yang dihasilkan dari data yang berhasil dihimpun jumlah paten di Indonesia masih jauh dibawah negara Malaysia dan Thailand. Jumlah peneliti tersebut tersebar dalam berbagai bidang penelitian sebagaimana bidang keilmuan yang jumlah sangat banyak. Jumlah peneliti dalam bidang kulit dan industry yang berhubungan dengan perkulitan dipastikan sangat rendah, tidak ada data yang pasti namun apabila diasumsikan dari peneiliti di lembaga penelitian kementerian dan perguruan tinggi maka jumlahnya tdaik lebih dari 100 orang yang mempunyai perhatian besar terhadap penelitian terkait kulit, padahal kulit menghasilkan sumbangan devisa yang cukup signifikan dengan nilai ekspor sekitar 53 triliun sebagaimana tercantum pada bagian awal tulisan ini. Menurut Akbarwati (2014) dalam selasar.com menyebutkan hasil dari pengembangan riset adalah penemuan yang menghasilkan hak paten. Pada tahun 2012 untuk pertama kalinya China menjadi negara dengan jumlah pengajuan paten terbesar di dunia. China mengajukan paten sebanyak 560.681, lebih banyak dibandingkan pengajuan paten oleh penduduk Jepang yaitu 486.070 maupun Amerika Serikat yang berjumlah 460.276. Pada tahun 2012 lalu juga untuk pertama
7
Peran Penelitian Dalam Pengembangan....., Yuny Erwanto
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-4 Yogyakarta, 28 Oktober 2015
ISSN:2477-3298
kalinya jumlah pengajuan paten yang dikabulkan di seluruh dunia melampaui angka 1 juta dengan komposisi 649.200 diajukan di negara tempat tinggal pengaju dan 439.600 diajukan di negara di luar tempat tinggal pengaju.Untuk Indonesia tercatat pada tahun 2013 lalu sendiri jumlah paten yang diajukan melalui Patent Cooperation Treaty (PCT) berdasarkan asal negara sebanyak 14 paten. Angka ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2011 yang hanya 8 paten. Meskipun demikian Indonesia masih kalah jauh dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai 310 paten.Jumlah permohonan pendaftaran paten dari Indonesia ke Amerika Serikat selama periode 2005 – 2010 tercatat masih jauh di bawah Singapura, Malaysia, Thailand bahkan Filipina. Untuk prestasi publikasi internasional berdasarkan survei SCImago (SCImago Journal & Country Rank) (2013), publikasi berdasarkan hasil penelitian selama 16 tahun (1996-2013) hanya mencapai 25.481 tulisan. Padahal jumlah peneliti di Indonesia jauh lebih banyak daripada Malaysia dan Thailand dengan asumsi dosen dan semua peneliti dihitung maka dapat mencapai lebih dari 300.000orang peneliti. Dengan jumlah tersebut, posisi Indonesia hanya berada di urutan ke-61 dari 239 negara yang disurvei, berada jauh di bawah negara-negara ASEAN seperti Singapura (32), Malaysia (37), dan Thailand (43). Indonesia hanya berhasil mengungguli Vietnam (66), Philippina (70), Kamboja (125), Brunei Darsussalam (134), Laos (136), Myanmar (140) Timor Leste (211). Permasalahan klasik penelitian di Indonesia termasuk yang terjadi di lembaga-lembaga riset pemerintah yang berada di kementerian teknis adalah budaya riset masih belum tumbuh. Periset di Indonesia secara umum disibukkan dengan masalah-masalah administrative dan tidak disibukkan dengan masalah substantif.
Penelitian
di
Indonesia
dikatagorikan
sebagai
anggaran
yang
membutuhkan pertanggung jawaban keuangan secara administrative sehingga apabila secara administrasi pertanggung jawaban penelitian dapat dikerjakan maka para peneliti sudah merasakan penelitian selesai. Hasil secara subtansif yang seharusnya menjadi tujuan utama penelitian terkaburkan dengan tuntutan secara administrasi. Identifikasi masalah yang kedua terkait dengan budaya penelitian adalah para peneliti secara umum masih menjadikan penelitian bukan tool untuk meghasilakan inovasi teknologi yang ready untuk dikomersialkan namun masih
Peran Penelitian Dalam Pengembangan....., Yuny Erwanto
8
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-4 Yogyakarta, 28 Oktober 2015
ISSN:2477-3298
didominasi untuk pengumpulan angka kredit untuk memenuhi laporan kinerja dan persyaratan untuk mencapai kenaikan pangkat. Berdasarkan laporan laporan penelitian yang dapat dilihat banyak web site maka penelitian di bidang kulit jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan penelitian-penelitian yang lain semisal bidang pangan, pertanian secara umum dan teknik dalam arti luas. Daya dukung pemerintah dalam membuat road map penelitian dibidang industri kulit yang merupakan industri yang memberikan sumbangan devisa juga belum nampak. Daya dukung riset ini sangat penting untuk membangun fundamental industry kulit betul betul menjadi industri berbasis penelitian yang inovatif dan akan meningkatkan daya kompetitif produk kulit Indonesia.
PENGEMBANGAN RISET INOVATIF KOLABORATIF Dalam global competitive indek tahun 2014-2015 rangking Indonesia pada posisi 37 dari 140 negara di dunia walaupun posisinya cukup baik namun masih berada di bawah Singapura yang berada pada posisi ke-2, Malaysia berada pada posisi ke-18 dan Thailand pada posisi 28. Dalam laporan lebih rinci disebutkan bahwa kemampuan inovasi Indonesia pada rangking 30 sudah setara dengan negara maju namun Indonesia mempunyai kelemahan pada kesiapan teknologi yang siap untuk dikomersialkan karena rangking Indonesia untuk kesiapan teknologi untuk diaplikasikan pada ranah industry pada posisi 85 dari 140 negara. Artinya kemampuan inovasi sudah baik dan banyak dihasilkan dari penelitian-penelitian baik oleh lembaga penelitian maupun perguruan tinggi namun masih dalam tataran inovatif namun belum aplikatif di lapangan sehingga membutuhkan penelitian yang lebih komprehensif yang melibatkan stake holder yang lebih luas. Sementara secara umum penelitian-penelitian di Indonesia
masih merupakan penelitian yang
dikerjakan secara mandiri oleh lembaga penelitian dan belum melibatkan stake holders yang lebih luas. Hasil Collaborative
laporan
Dalam
laporan
InnovationTransforming
buku World Economic Business,Driving
Growth
Forum (2015) menjelaskan
beberapa hal sebagai berikut : “Collaborative innovation relationships are highly sensitiveto the unique situation of each participating company andstakeholder. There are, nevertheless, a number of
9
Peran Penelitian Dalam Pengembangan....., Yuny Erwanto
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-4 Yogyakarta, 28 Oktober 2015
ISSN:2477-3298
commonchallenges that both young and established fi rms aroundthe world experience when collaborating, and a set ofcorresponding principles and strategies to improve thechances of success.Based on interviews and workshops, this report proposes amodel for managing collaborative innovation that consists ofthree layers: Prepare,
Partner
and
Pioneer.
Prepare:
The
preparation
layer
lays
the
criticallyimportantand often overlooked foundation forcollaboration, and involves defi ning objectives, fi ndingthe right partners, preparing both organizations culturallyand through incentives to support collaborations, andconnecting with the right potential partners. Partner: The partnering layer focuses on negotiatingand tailoring the projects with partners to ensurethat the benefi ts, risks and governance aspects areadequately defi ned.Pioneer: Finally, the pioneer layer ensures thatpartnerships adapt and thrive for the mutual andsustained benefi t of all parties as they are executed andas the context changes.” Penelitian-penelitian seharusnya mulai mendasarkan pada diskusi antara peneliti dengan pihak industri secara mendalam dan para peneliti di lembaga riset Kementerian Perindustrian mempunyai peluang untuk melakukan riset yang menghasilkan inovasi yang siap untuk dikomersialkan. Untuk itu penelitian sebaiknya dimulai dari kajian bersama industri sebelum mengajukan judul penelitian sehingga diharapkan penelitian tersebut didukung oleh stake holder dan tidak hanya berhenti pada tahapa penelitian namun merupakan jawaban atass permasalahan yang terjadi di dunia industri atau masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Anonim,
2015.
Industri
alas
kaki
masih
kekurangan
bahan
baku.
http://www.rmol.co/read/2015/04/27/200640/ diakses 24 Oktober 2015. Akbarwati, I. 2014. Refleksi Kondisi Riset Indonesia. http//www.selasar.com diakses 27 Oktober 2015. World Economic Forum. 2015. The Global Competitiveness Index 2015-2016. Editor Schwab and Martin, World Economic Forum, Geneva, Swiss. World
Economic
Forum.
2015.
Collaborative
InnovationTransforming
Business,Driving Growth. World Economic Forum.Geneva, Swiss. Handayani, T., R. Rahmaida,dan
M. Amelia.
2014. Buku saku indikator iptek
Indonesia 2014. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Peran Penelitian Dalam Pengembangan....., Yuny Erwanto
10