PERAN PAKU BUWONO X DALAM MEMBENDUNG KRISTENISASI DI SURAKARTA (1893-1939)
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
Oleh :
Siti Nur Azizah NIM: 1111022000026
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016M/1437H
KEMENTERIAN AGAMA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI(UIN) SYARIF TIIDAYATULLAH JAKARTA F'AKULTAS ADAB DAN HUMANIORA ll. lr.
H. Juanda No. 95, Ciputat 15412, Jakarta, lndonesia
relp . (027)
7
443329, Fax. lO27)
7
493364
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah
Nama
Mahasiswa
: SITI NUR
ini
:
AZIZAH
NIM
:1111022000026
Program Studi
: Sejarah dan Kebudayaan Islam
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri yang merupakan hasil penelitian, pengolahan dan analisis saya sendiri serta bukan merupakanreplikasi maupun saduran dari hasil karya atau hasil penelitian orang lain.
ini
merupakan plagiat atau replikasi maka skipsi dianggap gugur dan harus melakukan penelitian ulang untuk menyusun skipsi baru dan kelulusan serta gelamya dibatalkan.
Apabiia terbukti skipsi
Demikian pemyataan ini dibuat dengan segala akibat yang timbul dikemudiar hari menj adi tanggungj awab saya.
13 Januari 2016
PERAN PAKU BUWONO X DALAM MEMBENDUNG KRISTENISASI
DI SURAKARTA (1893-1939) Skipsi Diaiukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarj ana Humaniora (S.Hum)
Oleh:
SITINURAZIZAH NIM: 111102200026
Pembimbing
f/"
Dr. Parlindungan Sireear. M.Ae NIP: 19590115 199403 I 002
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1437
Ht20t6l.rl
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudut PERAN PAKU BUWONO X MEMBENDUNG KRISTENISASI
DI
DALAM
SURAKARTA (1893-1939)
telah
diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jaka.ta pada 20 Januari 2016. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat ntentperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) pada program stuili Sejarah dan Kebudayaan Islam.
Jakarta. 20 Januari 2016
SIDANG MUNAQASYAH
Sekertaris Merangkap Arrggota
NIP: 19690724 199703 100t
9750417 2005012 007
Anggota
Penguji I
.----.-t&,.q
Penguji
d-'d/ I
Dr. Jaiat Burhanuddin. MA NIP: 19670119 199403 I 00I
II
Drs AzhlarSaleh. M.A
NIP: 19581012 199203 Pembimbing
(r{,/, Dr. Parlindunqan Siregar, M.Aq, NIP: 19590115 199403 1 002
ABSTRAK Studi ini ingin membahas tentang upaya Paku Buwono X dalam membendung kristenisasi di Surakarta. Penelitian ini menggunakan metode dan pendekatan historis yang meliputi heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Dalam studi pustaka yang dilakukan, penulis berusaha menemukan sumber-sumber yang relevan dengan topik yang dibahas. Kemudian data-data tersebut dikaji dan dianalisa sehingga menjadi sebuah tulisan. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber tertulis. Paku Buwono X adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah pada tahun 1893 sampai 1939. Beliau merupakan putra dari Sinuhun Paku Buwono IX. Sunan Paku Buwono X seorang raja yang banyak menciptakan kemajuan di lingkungan keraton Surakarta. Beliau mudah menerima masuknya pengaruh budaya asing sebagai salah satu unsur modernisasi di lingkungan keraton. Sunan banyak meminjam unsur-unsur Barat yang bersifat lahiriah yang disesuaikan menurut seleranya. Meskipun begitu Paku Buwono X sebagai kepala pengatur agama menaruh perhatian besar terhadap perkembangan dan penyebaran agama Islam. beliau sebagai panutan dalam segala hal yang berkaitan dengan syariat agama Islam Kasunanan Surakarta merupakan bagian yang tidak luput dari wilayah jajahan Belanda. Kedatangan Belanda tersebut bertujuan untuk mengekploitasi kekayaan alam Nusantara, yang diberengi dengan kegiatan misi kristenisasi yang dilakukan oleh para zending untuk mengubah agama masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk Islam, menjadi penganut agam Kristen. Kegitan yang dilakukan oleh Zending tersebut antara lain membangun gereja, rumah sakit, dan sekolah-sekolah. Hal tersebut menjadi momok yang meresahkan bagi umat Islam. di Surakarta sendiri terdapat rumah sakit dan sekolah-sekolah yang dibangun dan dikelola oleh zending. Berangkat dari keadaan seperti itu kemudian Sunan Paku Buwono X tergerak hatinya untuk melakukan pembaharuan. Sunan mendirikan madrasah dengan memasukkan ajaran Islam dan pemeliharaan budaya Jawa sebagai identitas, dan mendorong berdirinya organisasi sosial dan politik di Surakarta. Hal tersebut secara simbolik dapat dijadikan tempat perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Kata Kunci: Keraton Surakarta, Paku Buono X, Kristenisasi, Mamba’ul Ulum.
i
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis. Shalawat serta salam tak lupa pula tercurahkan kepada nabi Muhammad saw, sebagai suri tauladan sepanjang masa beserta keluarga dan para Sahabatnya. Semoga kita mendapatkan syafaat di akhirat kelak, amin. Dengan
mengucapkan
Alhamdulillahirabbil’alamin
penulis
dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini untuk diajukan sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak yang telah memberikan arahan dan motivasi kepada penulis. Seiring dengan penulisan skripsi ini, penulis pengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik moral maupun material, demi terselesaikannya penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis sampikan terutama kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak H. Nurhasan, MA., selaku ketua jurusan fakultas Sejarah dan Peradaban Islam dan Sholikatus Sa’diyah, M.Pd. selaku sekertaris terima kasih telah membantu mengurusi urusan birokrasi perkuliahan.
ii
3. Bapak Dr. Parlindungan Siregar, M.Ag. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan masukan dan arahan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. 4. Bapak Dr. Jajat Burhanuddin, MA dan bapak Drs Azhar Saleh, M.Ag atas kesediaannya menjadi Penguji Sidang Skripsi penulis. 5. Kepada segenap Dosen pengajar di Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri Jakarta yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis. 6. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, dan juga pimpinan dan seluruh staf Perpustakan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan bagi penulis untuk mendapatkan buku-buku yang digunakan sebagai referensi dalam penulisan skripsi. 7. Kepada kedua orang tuaku yang selalu mendidik, mengasuh, menyayangi, menasehati, memarahi, mengingatkan, mendo’akan, mengorbankan seluruh jiwa raganya untuk kesuksesan penulis. Dan untuk adik-ku, raih mimpimu agar engkau menjadi orang yang menikkan keluarga kita. 8. Kepada lik Muhaimin, lik Fatimah, terima kasih atas nasihat dan bantuannya. penulis hanya bisa mendo’akan semoga Allah membalas semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. 9. Untuk sahabat-sahabatku Eva Khofifah, Hammatun Ahlazzikriyah, Khoirunnisa dan Wira Kurnia, terima kasih atas waktu kebersamaanya
iii
yang telah memberi warna pada kehidupan penulis selama kita bersamasemoga semua waktu dan pengalaman yang telah kita lalui bersama akan menjadi kisah terindah dalam mencari identitas. 10. Kepada teman-teman seperjuangan SKI angkatan 2011 yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu-persatu. Akhirnya dengan keterbatasan ini, penulis mengucapka terima kasih banyak kepada pihak-pihak yang telah membantu dan memberi semangat. Penulis menyadari, bahwa penulisan skripsi ini dari kekurangan dan kekeliruan. Oleh karena itu, penulis sangat menghargai adanya saran dan kritik yang membangun, guna menyemprnakan tulisan-tulisan yang serupa dimasa yaang akan datang. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pembaca semua.
Jakarta, 12 Januari 2016
Penulis
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................
i
KATA PENGANTAR ...........................................................................
ii
DAFTAR ISI ..........................................................................................
v
DAFTAR ISTILAH ..............................................................................
vii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................
9
D. Tinjauan Pustaka. ...........................................................
9
E. Kerangka Teori. ..............................................................
11
F. Metode Penelitian ...........................................................
13
G. Sistematika Penulisan.....................................................
14
KERATON SURAKARTA PADA MASA SUNAN PAKU BUWONO X A. Letak Geografi Keraton Surakarta .................................
16
B. Sejarah Berdirinya Kraton Surakarta .............................
21
C. Biografi Paku Buwono X ..............................................
25
D. Keraton Surakarta pada masa Paku Buwono X (1893-1938) ................................................................... BAB III
BAB IV
31
KRISTENISASI DI SURAKARTA A. Keberagamaan Masyarakat Surakarta ............................
42
B. Pemerintah Kolonial dan Misi Kristensasi .....................
48
C. Zending dan Kristenisasi di Surakarta ...........................
57
UPAYA SUSUHANAN
PAKU BUWANA X DALAM
MEMBENDUNG KRISTENISASI A. Paku Buwono X dan Sarekat Islam ................................
69
B. Mendirikan Sekolah Islam (Madrasah) ..........................
80
v
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan .....................................................................
96
B. Saran ................................................................................ 100 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 101 LAMPIRAN ............................................................................................... 107
vi
DAFTAR ISTILAH
Abdi Dalem
: Pegawai Kerajaan
Aristokrat
: Orang dari golongan bangsawan; ningrat.
Gubernemen
: Pemerintah (masa penjajahan Belanda)
Kadipaten
: Daerah yang dikuasaiolehadipati, yang lebih Rendahdaripadakesultanan.
Kaum Abangan
: Kelompok yang menganut Islam kejawen
Kaum putihan
: kelompok yang menganut Islam murni.
Keraton
: Tempatkediaman raja atauratu, istana raja.
Kristening politiek
: Politik Kristenisasi
Madrasah
: Sebutan bagi sekolah Agama Islam, tempat proses belajar mengajar ajaran Islam secara formal yang mempunyai kelas dan kurikulm dalam bentuk klasikal.
Misionaris
: Pengemban misi penyebaran agama Kristen
Pangreh praja
: penguasa lokal pada masa pemerintahan kolonial Belanda untuk menangani daerah jajahannya.
Residen
: Provinsi
Sunan
: Sebutan raja keraton Surakarta atau penyebutan nama untuk para wali.
Susuhanan
: Sebutan raja Kasunanan
Staatsblad
: Lembar berita pemerintah
Tapsir Anom
: Penghulu tertinggi
Vorstenlanden
: Wilayah kerajaan yang memiliki status istimewa di Jawa pada masa kolonial (Surakarta dan Yogyakarta.
Zending
: Penyebar agama Kristen
Zending Gereformeerd
: Organisasi Pengkabaran Injil
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Keraton Surakarta dengan ibukotanya Sala atau Solo merupakan penerus Kerajaan Mataram yang didirikan oleh Susuhanan Paku Buwana II pada tahun 1746. Berdirinya Keraton Surakarta ini sebagai pengganti Keraton Kartasura yang telah hancur akibat dari adanya gerakan bersenjata orangorang
Cina
Mataram.
1
yang
berhasil
memberontak
dan
merebut
Kerajaan
Keraton Surakarta merupakan kesinambungan dari Kerajaan
Mataram. Pusat kerajaan Mataram telah mengalami beberapa kali perpindahan tempat. Mula-mula di kota Gedhe kemudian pindah ke Plered, ke Kartasura, dan terakhir di Surakarta. Pada awalnya untuk penempatan Keraton Kartasura terdapat tiga pilihan tempat, yaitu Talawangi yang biasa disebut Kadipolo, Sonosewu, kemudian desa Sala. Atas tiga pilihan tempat tersebut akhirnya dipilihlah Desa Sala untuk didirikan Keraton yang baru yang kemudian diberi nama Surakarta Hadiningrat.2 Sunan Paku Buwono X adalah raja Keraton Surakarta yang memerintah pada tahun 1893 sampai 1939 mempunyai gelar keagamaan sebagai Sayyidin Panatagama Khalifatullah yaitu raja merupakan kepala, pemimpin, pengatur agama dan kepala pengatur pemerintah atau negara. Paku Buwono X dianggap 1
Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, (Jakarta: Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999), hal 7 2 Sayid, Babad Sala, (Surakarta: Reksopustoko, 1984), hal 6
1
2
sebagai raja yang istimewa karena masa pengabdiannya yang cukup lama yaitu 46 tahun. Beliau adalah pribadi yang penuh dengan nilai keteladanan, kebijakan, dan keagungan. Sebagai panutan dalam segala hal yang berkaitan dengan syariat agama Islam, maka Raja patut ditiru dan diteladani seluruh rakyat.
Sifat
yang
paling
menonjol
yang
dimiliki
Sunan
yaitu
kedermawanannya, ia senang membantu dan menyenangkan hati orang. Dan salah satu kekurangannya adalah ia tidak mengenali nilai mata uang, sehingga Susuhanan tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang kondisi keuangannya.3 Sri Susuhanan Paku Buwono X (1893-1939) adalah Putra dari Sinuhun Pakubuwono IX (1861-1893), sedangkan Sinuhun Paku Buwono IX adalah putra dari Sinuhun Paku Buwono VI (1823-1830) yang dibuang ke Ambon karena melawan Belanda, jadi Paku Buwono X adalah cucu dari Paku Buwono VI. Saat usianya tiga tahun beliau dinobatkan sebagai Pangeran Adipati Anom atau Putera Mahkota. Beliau naik tahta menjadi seorang raja pada tanggal 30 Maret 1893 karena menggantikan tahta kerajaan ayahnya yang telah wafat yaitu Susuhanan Paku Buwono IX. Dan mendapat gelar setelah naik tahta yaitu: Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Paku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama Hingkang Kaping X.
3
George Larson, Masa Menjelang Revolusi Keraton dan Kehidupan Poitik di Surakarta 1912-1945, (Yogyakarta: Gajah Mada Uniersity Press, 1989),hal 44
3
Menurut catatan sejarah, agama Kristen datang ke Indonesia dibawa oleh orang Portugis dengan armada dagangnya pada abad ke 16 M.4Sedangkan agama Islam datang ke Nusantara dibawa oleh pedagang Muslim dari Arab, pada abad 7-8 M. Sekalipun mereka dari Gujarat, Malabar atau Persia, tetapi mereka adalah orang Arab.5 Masuknya agama Kristen tidak lepas dari kegiatan penjajahan Belanda yang disebut dengan 3G yaitu: Glory, Gold dan Gospel.6Maksud dari “3G” itu adalah, Glory (menang) yaitu suatu motif penjajahan dan meguasai negeri yang sedang dijajahnya untuk dapat dikuasai, motif yang kedua yaitu ekonomi atau Gold (emas, kekayaan) motif ini yaitu untuk mengeksploitasi, memeras dan mengeruk harta kekayaan negeri jajahannya, dan motif ketiga yaitu Gospel yaitu motif untuk menyebar luaskan agama Kristen kepada anak-anak negeri jajahannya atau motif untuk mengubah agama yang dipeluk penduduk.7 Karena menurut pemikiran mereka dengan mempunyai kepercayaan agama yang sama maka akan lebih muda bagi mereka untuk dapat menguasai semua dari negeri jajahannya. Oleh karena itu meraka memberikan pelayanan pendidikan dan sosial, serta kolonial Belanda juga merekrut orang-orang Indonesia untuk memperoleh pendidikan Barat. Politik etis yang dianut dan dijalankan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda mengakibatkan pembukaan sekolah4
Lukman Fathullah Rais, Muhammad Nasir Pemandu Umat, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989), hal 18 5 Ibid, hal 4 6 Musthafa Kamal Pasha dan Chusnan Jusuf, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam, (Yogyakarta: Persatuan, 1989), hal 20 7 Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam, (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2005), hal 103
4
sekolah menurut sistem barat di wilayah Hindia Belanda. Pembukaan sekolahsekolah ala Barat sampai diperluas untuk segenap kalangan masyarakat. Munculnya politik asosiasi yang dilaksanakan pemerintah Hindia-Belanda, memperkenalkan pengetahuan dan kebudayaan barat di sekolah-sekolah secara luas. Politik asosiasi ini merupakan kebijakan yang menghendaki rakyat bumi putera dibina agar terpengaruh dengan kebudayaan Barat.8 Kasunanan Surakarta termasuk bagian dari wilayah jajahan Belanda. Dalam bidang pendidikan pemerintah Belanda ikut campur tangan yaitu dengan menetapkan sistem konkoordinasi. 9 Yang nantinya dalam campur tangan ini pemerintah Belanda banyak mendirikan sekolah-sekolah yang didalamnya mengajarkan agama Kristen untuk anak-anak pribumi. Pada kenyataanya daerah Vorstenlandeninimenjadi wilayah kekuasaan kolonial dan berada dibawah pengawasan pemerintah koloial Belanda. Termasuk dibidang pendidikan yang tidak luput dari campur tangan pemerintah Belanda. Belanda membawa Hindia Belanda ke suatu jenis pendidikan baru yang berbeda dari lembaga-lembaga pendidikan pribumi pada umumnya. Salah satu perbedaan pokoknya yaitu: pendidikan yang dibiayai oleh Belanda di sekolahsekolah umum netral terhadap agama, diajarkan tidak terlalu memikirkan bagaimana caranya hidup secara harmoni dalam dunia, tetapi lebih menekankan tentang bagaimana memperoleh penghidupan. 10 Di Kasunanan
8
Depdikbud, Searah Pendidikan Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Depdikbud, tth), hal 7 Sistem koonkordinasi adalah sistem pendidikan yang diterapkan oleh Belanda bahwa pendidikan didaerah jajahan sama dengan sistem pendidikan yang ada di Belanda, lihat Resink, G,J, Raja dan Kerajaan Yang Merdeka di Indonesia 1850-1910, (Jakarta: Djambatan, 1987), hal 4. 10 Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University perss, 1986). hal 278. 9
5
sendiri pendidikan barat merupakan pendidikan yang bisa dibilang paling diminati dan berkembang di Kasunanan. Pendidikan model barat ini diselenggarakan oleh pemerintah. Perkembangan terjadi pada sekolah dengan sistem pendidikan Barat.Sekolah-sekolah Neutral berbahasa Belanda ini memiliki mutu yang baik khususnya yang diperuntukan golongan Bumi putera di Surakarta. Sekolah-sekolah ini yaitu: HIS Jongenshool di Mangkubumen, HIS Meisjesschool di Slompretan dan Schakelschool (sekolah peralihan) di Penumping. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh missionaris atau sekolah Katolik yang berada di Surakarta antara lain adalah sekolah MULO (1 buah), sekolah ELS (1 buah), HIS (2 buah), dan Meisjesschool (2 buah). Sekolahsekolah tersebut tersebar di Purbayan, Pasar Kliwon, Kemlayan, Jebres. Awal munculnya pendidikan Barat hanya untuk anak-anak bangsawan atau priyayi dan anak-anak terpandang saja. Keadaan tersebut selain disebabkan oleh kebijakan pendidikan sendiri
yang mengkhususkan
pendidikan barat hanya untuk kalangan tertentu saja. Terhadap munculnya pendidikan Barat sebagian penduduk pribumi beranggapan bahwa pendidikan seperti itu tidak perlu dan kemungkinan besar justru membahayakan, karena pendidikan membawa resiko menjadi terasing dari kebudayaan sendiri dan kemungkinan terseret menjadi Kristen.11
11
hal 99.
Heather Sutherlend, Terbentuknya Sebuah Elit Birokrasi,(Jakarta:Sinar Harapan, 1983),
6
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan di wilayah Surakarta tahun 1930, terdapat macam-macam sekolah model barat yang diantaranya yaitu: sekolah-sekolah yang didirikan oleh Zending, sekolahsekolah yang dikelola oleh Missi, sekolah-sekolah yang dikelola oleh Muhammadiyah, dan sekolah-sekolah yang dikelola oleh Kerajaan. Sekolahsekolah yang dikelola oleh Zending dan Missi inilah yang mempunyai tujuan agar masyarakat pribumi masuk kedalam agama Kristen. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending didalamnya diajarkan agama Kristen, juga memperkenalkan kebudayaan Barat seperti cara berpakaian, cara makan, belajar dan lainnya. Tujuan pendirian sekolah Zending sejalan dengan tujuan pemerintah Kolonial yaitu menyebarkan agama Kristen. Oleh sebab itu sekolah Zending ini banyak menerima bantuan dan kemudahan dari pemerintah Kolonial, sehingga dalam waktu singkat sekolah model Barat tersebut dapat berkembang dengan pesat. Selain itu ada juga sekolah Missi yang dikelola pertama kali oleh Pastor Keyser dari Semarang pada tahun 1890. Pada tahun 1930, sekolah Missi yang berada di Surakarta jumlanya telah mencapi 17 buah yaitu: sekolah MULO, 1 sekolah ELS(Europe Lagere School), 3 buah HIS (salah satunya khusus putri, 10 buah Standartschool, 1 sekolah HSC (Hollands Chinese School) dan 1 sekolah
Meisjes
Vervolg
School.Sekolah-sekolah
tersebut
berada
di
Margoyudan, Manahan, Gajahan dan Pasar Legi.12
12
Prof. Dr. Husain Haikal, dkk, Laporan Penelitian: “Pendidikan dan Perubahan Sosial Di Vorstenlanden”, (Yogyakarta: UNY, 2012), hal 42-44
7
Pengaruh Missionaris Kristen ini menjadikan tantangan bagi pemimpinpemimpin muslim untuk melakukan perubahan. Begitupun yang dilakukan oleh Sunan Paku Buwono X, ia tidak senang terhadap kegiatan misionaris yang telah banyak mendirikan sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending diwilayah Surakarta. Sunan bisa menerima masuknya pengaruh kebudayaan Barat ke Kasunanan, bisa dilihat dari acara perjamuan atau pesta yang mengadopsi cara-cara barat juga dalam sistem pendidikan sangat mendukung sistem pendidikan barat, namun Sunan tidak menyukai agama yang dibawa dari barat yaitu agama Kristen yang dibawa zending. Menurut Sunan hal ini tidak boleh dibiarkan, oleh karena itulah Sunan ingin mendirikan sekolah berdasarkan agama Islam untuk mengantisipati berkembangnya agama Kristen, maka dibangunlah pondok pesantren Mambaul „Ulum sebagai salah satu upaya yang dilakukan Sunan agar tidak berkembangnya agama Kristen diwilayah Kasunanan. Pendirian sekolah Mambaul’Ulum ini adalah hasil dari pemikiran Sunan Paku Buwono X sendiri. latar belakang berdirinya Mambaul’Ulum disebabkan oleh beberapa faktor, yang salah satu faktornya yaitu untuk mengantisipasi perkembangan agama Kristen di wilyah Kasunanan. 13 Secara nyata sekolah ini merupkan pelopor berdirinya sekolah Islam pertama di Surakarta yang dapat membawa perubahan bagi pendidikan Islam yang semula dari lingkup pesantren beralih ke madrasah dan perkembangannya sebagai sekolah Islam. Berdirinya sekolah Mambaul’ulum tersebut sangat 13
Kuntowidjoyo, Raja, Priyai dan Kawula Surakarta 1900-1915, (Yogyakarta: Ombak, 2004), hal 38-39.
8
berperan penting dalam mencetak kelompok Ulama di Surakarta khususnya di lingkungan Surakarta. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengangkatnya dalam sebuah skripsi dengan judul “Peran Paku Buwono X Dalam Membendung Kristenisasi di Surakarta 1893-1939”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Agar menghindari meluasnya pembahasan dalam tulisan ini, maka penulis memberikan batasan masalah pada tulisan ini yaitu Sultan Pakubuwono X dalam upaya membendung kristenisasi di Surakarta. Karena di masa Pakubuwono X inilah sunan mendirikan Pondok Pesantren yang mana didirikannya pondok pesantren itu karena untuk mengantisipasi terjadinya perkembangan agama Kristen di wilayah Kasunanan. Dari uraian pembatasan masalah tersebut maka penulis ingin merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana perkembangan Kasunanan Surakarta pada masa Pakubuwono X? 2. Bagaimana para Zending dalam menyebarkan agama Kristen ? 3. Apa yang dilakukan Pakubuwono X dalam membendung kristenisasi Surakarta ?
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini tujuan yang ingin penulis capai sebagai berikut : 1. Menjelaskan Kondisi Keberagamaan di Keraton Surakarta 2. Mengetahui kegiatan misionaris mengenal bentuk dan cara yang di pakai oleh misionaris, dengan demikian diharapkan tidak mudah terjerat dan selalu berhati-hati setiap kali menghadapi kegiatan misionaris ini. 3. Menjelaskan usaha-usaha yang dilakukan para misionaris dalam menyebarkan agama Kristen di Surakarta. 4. Menjelaskan upaya yang dilakukan PB X dalam membendung Kristenisai di Surakarta. Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Menambah wawasan pemikiran dan pengetahuan bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan melengkapi kajian pengetahuan dalam ilmu sejarah terutama sejarah kerajaan di Indonesia, serta diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kepentingan pendidikan dan penelitian selanjutnya.
D. Tinjauan Pustaka Untuk mendapatkan hasil yang dikehendaki sesuai dengan topik permasalahan, penulis tidak melepaskan diri dari hasil penelitian terdahulu sebagai bahan rujukan dan pendukung data yang absah, setahu penulis belum ada seara khusus yang menulis mengenai upaya sulnan pakubuwana X dalam
10
membendung kristenisasi di Surakarta ini. beberapa karya
yang penulis
jadikan survey pustaka di antaranya: Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, ditulis oleh Nur Dwi Ratna Nurhajarini yang diterbitkan oleh Depdikdub pada tahun 1998. Pembahasan dimulai dari keadaan daerah Surakarta secara umum kemudian sejarah berdirinya Kasunanan Surakarta mulai dari Kerajaan Mataram dan Perjanjian Giyanti yang membagi Mataram kedalam dua Kerajaan, Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Dalam buku ini membahas tentang gambaran umum keadaan Keraton Surakrta dari awal mula berdirinya sampai batas periode abad XV sampai awal abad XX yang membahas tentang cikal bakal Kerajaan Surakarta dan Pengaruh islam sampai masuk ke dalam kekuasaan Belanda. Buku ini sangat membantu penulis untuk mengetahui informasi mengenai sejarah Keraton Surkarta. Raja, Priyayi dan Kaula: Surakarta Tahun 1900-1915, buku dari Kuntowidjoyo tahun 2004. Dalam buku ini menguraikan latar belakang didirikan madrasah Mambaul’ulum oleh Sunan Pakubuwana X yang mana tujuan dari didirikannya madrasah ini untuk mengantisipasi pengaruh Zending di Kasunanan Surakarta. Beliau mendirikan sekolah dengan ajaran Islam ini untuk menampung anak-anak, abdi dalem, pamutihan, khatib, ulama, juru kunci, dan sebagainya. Karena Pakubuwana sebagai pemimpin agama tidak ingin jika rakyatnya memeluk agama selain agama Islam. Buku dari George .D. Larson yang berjudul Masa Menjelang Revolusi Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta Pada Tahun 1912-1942. Buku
11
ini penting untuk dimasukan dalam penulisan yang dapat memberikan gambaran tentang kegiatan politik di Surakarta dari tahun 1912 sampai 1942 adalah ketidaksukaan sebagian besar kalangan masyarakat Jawa terhadap usaha Belanda yang hendak mengubah masyarakat Jawa. Dan dalam sejarah sesudah 1912 bahwa Surakarta adalah upaya Belanda untuk mengadakan perubahan dan sekaligus mengekang respons politik terhadap perubahan itu. Lalu Disertasinya Darsiti Soeratman, yang berjudul Kehidupan Dunia Kraton Surakarta tahun 1830-1939 ini sangat membantu bagi penulis untuk menambah sumber literatur penulisan. Didalamnya dijelaskan sedikit tentang Mambaul‟ulum karena pada masa Paku Buwono X, beliau menaruh perhatian yang begitu besar terhadap pendidikan agama Islam diwilayah Kasunanan. dan dijelaskan bahwa Sunan mendirikan sekolah itu untuk mendidik para Kyai atau ulama di Keraton Kasunanan.
E. Kerangka Teori Menurut Ahmad Mubarok dalam bukunya yang berjudul Psikologi Dakwah, kata misionaris atau dakwah diartikan sebagai undangan, ajakan, dan seruan yang semuanya menunjukan adanya komunikasi antara dua pihak dan adanya upaya untuk mempengaruhi pihak lain. Selain itu Ahmad Mubarok juga menjelaskan agama Islam sendiri mewajibkan kepada umatnya untuk menyebarkan ajaran agama kepada seluruh umat manusia.14 Oleh karena itu, umat Islam dan orang Kristen merasa terpanggil untuk mensiarkan
14
Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), hal. 19
12
agamaya.menurut mereka menyebarkan agama adalah kewajiban umat, hanya saja cara dan metode yang dipakai oleh orang Kristen di Indonesia dianggap telah melampaui batas kewajaran dalam penyebaran agama. Susuhanan Paku Buwono X sebagai kepala pengatur agama menaruh perhatian besar terhadap perkembangan dan penyebaran agama Islam. kedudukan Sunan Paku Buwono X sebagai pimpinan tertinggi agama Islam, ia berkeberatan kalau rakyatnya memeluk agama selain Islam, ia tidak senang terhadap kegiatan penginjilan yang dilakukan zending dan misi yang terjadi di kerajaannya. Paku Buwono X mempunyai peran dalam mengatasi kegiatan misionaris di Surakarta yang dianggap telah melampaui batas. Dalam penulisan suatu karya sejarah sangat membutuhkan bantuan konsep maupun teori-teori dari ilmu-ilmu sosial lainnya untuk mempertajam serta memperjelas penulisan. Dalam studi ini penulis menggunakan pendekatan sosial, budaya dan politik. Pendekatan sosiologi merupakan pendakatan yang sangat berpengaruh dalam mengkaji penelitian ini. Pendekatan sosial yang dipakai dalam penelitian ini cenderung pada peranan tokoh sejarah. Pendekatan budaya dipakai oleh penulis untuk mengetahui nilai-nilai kepercayaan yang berkembang di masyarakat pada waktu itu. Lalu pendekatan politik, menurut Deliar Noer adalah aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan yang bermaksud mempengaruhi dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu macam bentuk susunan masyarakat.15
15
Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik I, (Medan: Dwipa, 1995), hal. 6
13
F. Metode Penelitian Dalam melakukan penelitian, peneliti memerlukan sebuah metode. Dengan metode tersebut diha16rapkan pembahasan yang dikaji menjadi lebih terarah dan dapat mencapai tujuan yang di harapkan. metode yang digunakan untuk penelitian-penelitian sejarah adalah metode deskriptif analitik dengan pendekatan sejarah sosial. Adapun langkah-langkahnya: 1. Heuristik Heurustik yaitu pengumpulan data. Dalam langkah ini penulis mengumpulkan dan menggali sumber-sumber sejarah yang berkaitan dengan masalah yang sedang penulis kaji. Dimana sumber-sumber mengenai masalah terkait banyak penulis temukan di Perpustakaan-perpustakaan seperti: Perpustakan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab, Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan Nasional, Arsip Nasional. Metode penelitian yang lain yaitu metode penelitian Kritik, Interperestai dan Historiografi. 2. Kritik Sumber Setelah melakukan heuristik atau pengumpulan sumber-sumber maka tahap selanjutnya yang harus dilakukan adalah kritik sumber. Kritik sumber adalah sebuah usaha untuk mendapatkan sumber-sumber yang relevan dengan cerita sejarah yang ingin disusun sesuai dengan judul. Hal yang harus diuji adalah keabsahan. Dan setelah mencari sumber-sumber penulis penulis akan verifikasi terhadap sumber-sumber tersebut.
16
Sartono Kartodirdjo, Pendakatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal. 3
14
3. Interpertasi Interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut pula analisi sejarah, interpretasi adalah pemahaman yang mendalam mengenai teks-teks yang telah dilalui fase kritik, dimana penulis sudah menemukan korelasi dan pemahaman yang baru mengenai tema yang dibahas. 4. Historiografi Historiografi adalah penulisan sejarah. Metode ini adalah metode terakhir dalam metode sejarah. Adalah historiografi, yaitu penyusunan yang didahului oleh
penelitian
analisis
terhadap
peristiwa-peristiwa
masa
lampau.
Penyusunan ini selalu memperhatian aspek kronologis dan kebenaran sejarah dari setiap fakta. Dalam langkah ini penulis memaparkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai “Upaya Pakubuwana X dalam membendung Kristenissi di Surakarta”.
G. Sistematika Penulisan Secara Keseluruhan skripsi ini terbagi menjadi lima bab, adapun susunan skripsi ini adalah sebagai berikut: Bab
IMerupakan
Pendahuluan
yang
meliputi
penjabaran
singkat
permasalahan yang menjadi fokus kajian, permasalahan, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, survei pustaka, dan sistematika penulisan. BAB II membahas sejarah berdirinya Keraton Surakarta, Buwono X, dan Surakarta pada masa Paku Buwono X.
biografi Paku
15
Bab III berisikan tentang Keberagamaan Masyarakat Surakarta, Pemerintah Kolonial dan Misi Kristenisasi, Zending dan Kristenisasi di Surakarta. BAB IVmenguraikan tentang upaya Paku Buwono X dalam membendung kristenisasi di Surakarta. Upaya yang dilakan oleh Paku Buwono X yaitu: mendukung dan bekerjasama dengan
Sarekat Islam, Mendirikan Sekolah
Islam (Madrasah) Mamba’ul Ulum. BAB V merupakan penutup yang berisi kesimpulan. Bab ini menjawab rumusan masalah penelitian.
BAB II KERATON SURAKARTA DAN BIOGRAFI SUNAN PAKU BUWONO X
A. Letak Geografi Kasunanan Surakarta Karesidenan Surakarta masuk dalam wilayah Vorstenlanden1 (wilayah raja-raja), merupakan tempat kedudukan kerajaan yang berdiri sendiri dibawah kekuasaan Hindia Belanda. Secara geografis Karesidenan Surakarta adalah dataran rendah yang berada diantara pertemuan kali atau sungai Pepe, Jenes dan Bengawan Sala, serta berada pada ketinggian
92 m di atas permukaan
laut.2 Secara administrasi, Karesidenan Surakarta di sebelah barat berbatasan dengan Karesidenan Yogyakarta, Kedu, Semarang dan Madiun. Di sebelah utara berbatasan dengan Gunung Merapi (2.875 m) dan Gunung Merbabu (3.145 m). di sebelah timur berbatasan dengan Gunung Kendeng dan Gunung Lawu (326 m). Antara Gunung Merapi, Gunung Merbabu dengan Gunung Lawu membentuk dataran rendah yang luas, meliputi daerah Klaten, Boyolali, dan Kartasura yang kaya sedimen vulkanis. Dari lereng Gunung Merapi
1
Sejak tahun 1799 digunakan istilah “Vorstenlanden” untuk menyebut daerah kerajaan Yogyakarta dan Surakarta, lihat: Suhartono, 1991, Apanage dan Bekel, Perubahan sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920,Yogyakarta: PT Tiara Wacana, hal 23. Istilah Vorstenlanden pada awalnya mencakup pengertian sebagai wilayah pemerintahan sendiri bagi wilayah kerajaankerajaan lokal pribumi yang ada di bawah pengaruh kekuasaan kompeni Belanda. Sejak Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda menggantikan pemerintahan VOC, istilah Vorstenlanden memiliki pengertian yang lebih spesifik yaitu menjadi nama wilayah pemerintahan kerajaan Jawa, atau dalam perspektif Jawa disebut wilayah pemerintahan Kerajaan Kejawen atau Praja Kejawen, yang mencakup wilayah Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman. Lihat: Djoko Suryo, Dari Vorstenlanden ke DIY, Kesinambungan dan Perubahan, Koferensi Nasional Sejarah IX, Jakarta, 5-7 Juli 2011, hal 3 2 Pemda Kodia Tingkat II Surakarta, Kenangan Emas 50 Tahun Surakarta, (Surakarta: Murni Grafika dan STSI, 1997), hal 21.
16
17
megalir sungai Opak ke Selatan yang menjadi batas antara Karesidenan Surakarta dan Yogyakarta.3 Adapun luas wilayah Kerajaan Surakarta seluruhnya adalah 6.215 kilometer persegi. Separuh dari daerah itu adalah milik kasunanan, sedang daerah lainnya masuk daerah Mangkunegaran. Pada tahun 1838 penduduk Surakarta berjumlah 358.230 orang, dan pada tahun 1920 naik menjadi 2.049.547 orang. Penduduk Surakarta dapat dikatakan homogen,artinya masing-masing etnik berkumpul dan mendiami daerah-daerah tertentu secara terpisah dengan etnik lainnya. Ada beberapa etnik yang berada di sekitar wilayah ibukota kerajaan yaitu: Jawa (jumlah paling besar), kemudian Cina, Arab, dan Eropa. Penduduk karesidenan Surakarta pada tahun 1930 adalah: pribumi 2.535.594 orang, Eropa 6.555 orang, dan Timur Asing 2.600 orang, dan jumlahnya 2.564.594 orang. Untuk kota Surakarta sendiri: penduduk pribumi 149.585 orang, Eropa 3.225 orang, Cina 11.286 orang dan Timur Asing 1.388 orang, dan jumlahnya 165.484 orang. Golongan Eropa yang terdiri 3.225 orang, 95% adalah orang-orang Belanda, dengan periniaan terdiri dari Belanda Totok (londo totok), Belanda Indo (londo indo) dan londo Ambon panggilan untuk orang-orang Ambon yang bekerja menjadi tentara orang-orang Belanda. Tempat berkumpulnya orang-orang Belanda di Lojiwaten dan sekitarnya, yaitu daerah yang letaknya berada di sebelah selatan kali-pepe, kali yang membelah kota terbagi menjadi dua. Meraka bertempat tinggal 3
disekitar
Suhartono, Apanage dan Bekel, Perubahan sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1991), hal 24-25.
18
benteng Belanda, benteng Vastenberg, mungkin karena merasa lebih aman. Mereka memiliki gereja sendiri berada di depan benteng yang letaknya di Gladak. 4 Untuk golongan Timur asing terdiri dari orang Arab, India dan Pakistan. Orang-orang India dan Pakistan biasanya mereka memiliki tokotoko yang menjual bahan pakaian. Dan tinggal ditoko-tokonya sendiri. Orangorang Arab berkumpul di pasar kliwon dan sekitarnya yaitu diseberang sebelah selatan rel kereta api yang membelah Surakarta. Usaha yang biasanya di industri kain batik yang biasanya dibuatnya dirumahnya sendiri. Mereka ini adalah golongan orang yang tertutup, tidak suka bergaul dengan golongan lain. Rumah-rumah mereka pun di kelilingi pagar yang tinggi dan tertutup rapat. Mereka juga memiliki Masjid sendiri untuk beribadah di pasar kliwon. Sedangkan orang-orang Cina mereka berkumpul diseberang sebelah utara kali Pepe. Yaitu Balong, Warungmiri,dan didaerah-daerah pasar Gedhe. Pada mula-mula mereka hanyalah pendatang, dan hanya pedagang kecil-kecilan saja.5 Perkampungan orang-orang Eropa terpisah dari etnik lain karena berdasarkan diskriminasi ras, dan pemukian orang-orang Cina disebut “pecinan” maksudnya agar gerak-gerik mereka mudah diawasi. Pecinan terletak disekitar pasar Gedhe, dikepalai oleh seorang berpangkat mayor yang diambil dari kalangan mereka. di kalangan penduduk, kepala etnik ini dikenal
4
R.M Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup ingkang Sinuhun Sri Susuhanan Pakubuwono X 1893-1939, (Jakarta: 1990), hlm: 115-116. 5 R.M Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup ingkang Sinuhun Sri Susuhanan Pakubuwono X 1893-1939, hal: 116-118.
19
dengan sebutan Babah Mayor. Sedangkan pemukiman orang-orang Arab yang berada
di
Pasar
Kliwon
pemimpinnya
mendapat
pangkat
kapten.
Perkampungan untuk penduduk Bumi Putera terpencar di seluruh kota di Surakarta.6 Penduduk pribumi, hampir seluruhnya orang Jawa, terdapat dalam berbagai kelompok dan kampung yang tidak teratur diseluh kota, kebanyakan dari mereka bekerja dari industri batik dan berbagai macam kerajinan tangan. Tempat kediaman para pangeran dan pegawai puri yang terkemuka juga tersebar diseluruh kota.7 Disebelah Utara Keraton terletak kepatihan, tempat kediaman pepatih dalem, sekaligus berfungsi sebagai pusat administrasi pemerintahan. Istana Mangkunegaran terletak di sebelah selatan sungai Pepe, demikian pula perkampungan orang-orang Eropa yang meliputi rumah residen, kantorkantor, gereja, gedung pertunjukan, gedung-gedung sekolah, toko-toko, dan benteng Vestenburg sebagai pusatnya. Perkampungan orang-orang diluar benteng itu disebut Loji Wetan, Letak Keraton Surakarta, Istana Mangkunegaran, rumah residen, dan kepatihan letaknya tidak berjauhan. Benteng Vastenburg dibangun berada didekat keraton
dan rumah residen. Jarak antara keraton dan Istana
Mangkunegaran yang menghadap ke selatan tidak berjauhan, keduanya dipisahkan oleh jalan besar. Selain itu juga bisa dilihat jarak dari kepatihan ke
6
Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1989), hal 24. 7 George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi Keraton Dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942, (Yogyakarta: Gadjah Mada Unviersity Press, 1989), hal 23.
20
rumah residen lebih dekat daripada jarak dari kepatihan dengan keraton. Untuk menuju keraton, pepatih dalem harus melewati rumah residen. Pengaturan tempat-tempat itu adalah untuk kepentingan dan keamanan pemerintahan kolonial Belanda di Surakarta.8 Di Surakarta terdapat tiga pemerintahan yang berbeda yaitu Kasunanan Surakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan Residen Belanda. Kasunanan Surakarta menguasi enam kabubapaten, yaitu: Surakarta, Kartasura, Klaten, Boyolali, Ampel dan Sragen serta satu Kawedanan, yaitu Larangan. Kadipaten Mangkunegaran menguasai tiga Kawedanan, yaitu: Ibukota, Karanganyar dan Wonogiri. Serta Belanda menguasai lima bagian yang berada di Kasunanan dan Mangunegaran. Surakarta yang luasnya 24 km², sebagiannya adalah milik Kasunanan, seperlimanya milik Mangkunegaran, sisanya merupakan wilayah administrasi Belanda, yaitu disekitar kantor Residen, Benteng dan Tangsi Militer.9 Batas wilayah antara Kasunanan dan Mangkunegaran didalam kota adalah jalan memanjang Timur-Barat yang membelah kota.10 Sampai abad 20 di Kasunanan terdiri 23 distrik dan 101 onderdistrik, yang terbagi menjadi 1.240 kelurahan, sedangkan Mangkunegaran dibagi 7 distrik dan 32 onderdistrik yang terbagi 750 kelurahan.
8
Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, (Jakarta: Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999), hal 10 9 Nurhadiatmoko, “Konflik-konflik Sosial Pri-Nopri dan Hukum Keadilan Sosial”, dalam Rustopo, Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa Di Surakarta, 1898-1998, (Yogyakarta-Jakarta: Ombak-Yayasan Nabil, 2007), hal: 16-18. 10 Soedarmono, Surakarta Kota Kolonial, Laporan Penelitian (Surakarta: LPPM UNS, 2004), hal 17
21
B. Sejarah Berdirinya Keraton Surakarta Keraton Surakarta didirikan pada masa Sunan Paku Buwono II (17251749) pada tahun 1746, setelah Keraton sebelumnya di Kartasura mengalami kehancuran akibat perang perebutan tahta. Keraton Surakarta ini disebut sebagai pengganti Keraton Kartasura yang telah hancur akibat dari peristiwa Geger Pecinan, yaitu pemberontakan bersenjata yang dilancarkan oleh orangorang Cina sebagai bentuk protes pada VOC yang telah membantai orangorang Cina yang ada di Batavia. Atas dasar itulah sehingga Paku Buwono II memutuskan untuk meninggalkan istana Kartasura yang sudah kacau dan hancur. Sekitar 12 kilometer ke arah timur, di tepi Sungai Sala, dia mendirikan sebuah istana baru, yaitu Surakarta Hadiningrat, yang nantinya akan tetap didiami oleh keturunannya. Bangunan baru ini selesai pada tahun 1745, dan kepindahan resminya terjadi pada Februari 1746. Walaupun istana sudah berpindah ke Surakarta akan tetapi kondisinya sama tidak stabilnya seperti pada waktu berada di istana lama.11 Keraton Surakarta merupakan kesinambungan dari kerajaan Mataram. Pusat kerajaan Mataram telah mengalami beberapa kali perpindahan tempat. Mula-mula di kota Gedhe kemudian pindah ke Plered, ke Kartasura, dan terakhir di Surakarta. Kerajaan Mataram sendiri terbagi menadi dua kerajaan yang memiliki kedaulatan tersendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Vincent J.H Houben: The Javaness principalities of Surakarta (Solo) and Yogyakarta (Yogya) were born in 1755 from the division of Mataram, the realm which in 11
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005), hal 217
22
the 17th century had exercised hegemony over nearly all of Java. kerajaan di Jawa yaitu Surakarta dan Yogyakarta berdiri tahun 1755 sebagai bentuk perpecahan dari kerajaan Mataram, di mana pada abad ke 17 memiliki kekuasaan dihampir seluruh wilayah Pulau Jawa.12 Campur tangan Belanda dalam urusan dalam negeri Mataram mulai terjadi pada masa akhir pemerintahan Amangkurat I (1645-1677), ketika kerajaan ini sedang memasuki masa-masa kehancurannya. Dinasti Mataram ditegakkan kembali setelah VOC melakukan campur tangan dengan berbagai konsesi, khususnya dibidang ekonomi dan teritorial. Dan sejak saat itu Mataram memasuki era peperangan, pemberontakan dan peperangan memperebutkan tahta. Pada tanggal 11 Desember 1749, Susuhanan menandatangani akta penyerahan, yang didalamnya mengatakan
bahwa
seluruh kerajaan Mataram diserahkan kepada Belanda. Melalui akta itu, Von Hohendorff menyiapkan pengganti raja atau calon raja baru, ketika Paku Buwono II berusaha bertahan hidup. Akhirnya, gubernur jenderal dan Dewan Hindia di Batavialah yang menobatkan Susuhanan yang baru.13 Pada masa pemerintahan Paku Buwono II terjadi peristiwa Geger Pecinan. Beliau memindahkan keratonnya karena keraton Kartasura rusak parah akibat pemberontakan orang Cina itu. Cina memberontak karena ditekan pajak tinggi oleh Belanda. Selain pajak tinggi, orang Cina yang tidak punya izin tempat tinggal disuruh kembali ke negara asal. Pegawai kompeni berbuat
12
Vincent J.H Houben, Keraton and Kumpeni: Surakarta and Yogyakarta 1830-1870, (Leiden: KITLV Press, t.th), hal: 405 13 M.C Ricklefs, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792: Sejarah Pembagian Jawa, (Yogyakarta: Matabangsa, 2002), hal 77-79.
23
curang dengan memeras orang-orang Cina.14 Pemberontakan ini dimulai sejak tahun 1740 ketika VOC memberlakukan kebijakan untuk mengurangi jumlah orang-orang Cina di Batavia, sehingga banyak orang Cina yang mengungsi ke wilayah Jawa Tengah dan membentuk laskar-laskar perlawanan. Pelarian laskar-laskar Cina tersebut ternyata mendapat dukungan dari para bupati di wilayah pesisir serta secara diam-diam Paku Buwono II juga mendukung gerakan perlawanan laskar Cina terhadap VOC ini melalui Adipati Natakusuma selaku seorang patih dari Kerajan Kartasura dengan tujuan untuk memukul mundur kekuasan VOC di wilayah kekuasaan Mataram Kartasura. Melihat Kota Semarang yang menjadi pusat VOC di Timur Batavia tidak jatuh ke tangan orang-orang Cina, Paku Buwono II menarik dukungannya dan kembali berpihak kepada VOC untuk memerangi perlawanan laskar Cina. Langkah yang ditempuh untuk menutupi kecurigaan VOC, Paku Buwono II menangkap Adipati Natakusuma yang akhirnya dihukum buang ke Sailon (Srilanka). Ternyata kekuatan pasukan Cina tidak berangsur surut melainkan semakin kuat dengan adanya dukungan dari Bupati Pati, Grobogan dan beberapa kerabat Raja. Bahkan laskar Cina ini mampu mengangkat Mas Garendi sebagai penguasa yang baru atas kerajaan Mataram Kartasura dengan gelar Sunan Kuning. Pada tahun 1742 pihak kerajaan semakin terdesak, sehingga membuat raja, kerabat, dan pengikutnya yang masih setia harus mengikuti untuk mengungsi ke Ponorogo. Para pemberontak berhasil menduduki dan merusak 14
KRT. Kastoyo Ramelan, Sinuhun Paku Buwono X: Pejuang dari Surakarta Hadiningrat, (Bandung: Jeihan Institute, 2004), hal 39.
24
bangunan Keraton Kartasura. Pemberontakan baru dapat dipadamkan setelah Paku Buwono II dibantu pasukan VOC menyerbu laskar Cina. Paku Buwono II berhasil merebut kembali Kerajaan Kartasura yang sebelumnya berhasil diduduki oleh laskar Cina. Meskipun kembali bertahta, Paku Buwono II merasa Keraton Kartasura sudah tidak layak untuk menjadi pusat kerajaan, sebab menurut kepercayaan Jawa, keraton yang sudah rusak telah kehilangan wahyu. Setelah melalui berbagai macam pertimbangan, maka desa Solo dipilih untuk menjadi tempat pengganti Keraton Kartasura yang sudah rusak, Paku Buwono II memberi nama Keraton di Solo dengan nama Keraton Surakarta. Secara resmi Keraton Surakarta berdiri pada 17 Februari 1745.15 Setelah pindah dari Kartasura ke desa Sala, nama Sala-pun di ubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Paku Buwono II membangun Keraton secara tergesa-gesa dan perpindahan ke Keraton Surakarta dilakukan ketika Keraton baru tersebut belum sepenuhnya selesai dibangun. Hanya berselang tiga tahun setelah menemapati keraton baru tersebut, Paku Buwono II wafat, sehingga penyelesaian pembangunan Keraton Surakarta ditangani oleh raja-raja selanjutnya. Hingga masa pemerintahan Paku Buwono X keraton Surakarta telah berusia hampir 1,5 abad. bangunan keraton mengalami perkembangan secara terus-menerus, namun pembagian pelataran atau halaman tidak mengalami perubahan.16 Setelah Paku Buwono II memindahkan Keraton dari Kartasura ke 15
Sri Winarti, Sekilas Sejarah Keraton Surakarta, (Surakarta: Cendrawasih, 2004), hal
16
Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, hal 13.
16.
25
Surakarta, Paku Buwono II harus menyerahkan seluruh daerah pesisir Jawa kepada VOC. Inilah awal terbentuknya keraton Kasunanan Surakarta, dan sekaligus menandai awal penetrasi kolonial Belanda ke dalam wilayah inti Kerajaan Mataram Surakarta. Karena patih yang seharusnya mengurus wilayah kerajaan mulai saat itu juga bekerja untuk kepentingan VOC.
17
Walaupun keraton sudah dipindahkan ke Surakarta, tetapi peperangan antara Mataram dengan VOC belum berakhir sampai Sunan Paku Buwono II wafat dan digantikan oleh Paku Buwono III.
C. Biografi Paku Buwono X Sri Susuhanan Paku Buwono X adalah putra dari Sinuhun Paku Buwono IX dari permaisuri Raden Ayu Kustijah atau Kanjeng Ratu Paku Buwono IX. Paku Buwono X dilahirkan pada hari Kamis Legi tanggal 22 Rajab 1795 Jawi atau 29 November 1866 M jam 7 pagi. Nama kecilnya adalah Raden Mas Gusti Sayidin Malikul Kusna.18 Beliau dilahirkan sebagai putra ke 30 dari putra-putra Sunan Paku Buwono IX. Kraton menyambut kelahirannya dengan perasaan bahagia dan penuh kemegahan, karena selama pemerintahan Paku Buwono V sampai dengan Paku Buwono VII, permaisuri raja tidak melahirkan putra laki-laki. Untuk mengumumkan kelahiran agung ini dibunyikan segala macam bunyian, seperti dibunyikannya meriam di Panggung Songgobuwono, para abdi dalem niyogo diperintahkan memainkan 17
Hari Mulyadi, dkk, Runtuhnya Kekuasaan “Keraton Alit”(Studi Radikalisasi Sosial “Wong Sala”dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta). Surakarta: Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan, 1999, hal 20. 18 S. Puspaningrat, Mengenal Sri Susuhanan Paku Buwono X, (Surakarta: Cendrawasih, 1996), hal 12.
26
gamelan kodok ngorek di Siti Hinggil. 19 Saat usianya tiga tahun, pada 4 Oktober 1869 beliau dinobatkan sebagai Pangeran Adipati Anom (Putra Mahkota). Setelah dinobatkan sebagai Pangeran Adipati Anom, sang Adipati diberi gelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegoro Sudibjo Rojo Putro Narendra Mataram Ingkang Kaping V, untuk Kerajaan Surakarta Hadiningrat. Beliau adalah cucu dari Sinuhun Paku Buwono VI (yang membantu Pangeran Dipongoro melawan Belanda). Sunan PB X naik tahta pada 30 maret 1893, Lalu gelarnya setelah naik tahta yaitu: Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Paku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama Ingkang Kaping X. sebutan gelar “Sayyidin Panatagama” bukan sebutan tempelan biasa saja tetapi terdapat makna, punya tugas serius bagi seorang raja yang menerima gelar itu. Hal ini berlangsung setelah zaman kerajaan Demak.20 Dalam mendidik putranya Sunan Paku Buwono IX sangat keras kepada sang putra digembleng dalam segala ilmu seperti, ilmu kebatinan, ilmu menuntun ajaran-ajaran Jawa peninggalan leluhur, agar kelak putranya diharapkan tumbuh menjadi manusia yang berbudi luhur, berwatak adil dan bijaksana, hal penting yang merupakan syarat menjadi seorang Raja. Pendidikan ilmu barat juga diberikan, dengan mendatangkan guru-guru di
19
Purwadi, dkk, Sri Susuhanan Pakubuwono X Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya untuk Nusa Bangsa, (Jakarta: Bangun Bangsa, 2009), hal 3. 20 KRT. Kastoyo Ramelan, Sinuhun Paku Buwono X: Pejuang dari Surakarta Hadiningrat, hal 1-3.
27
Keraton, karena semua pendidikan diberikan didalam keraton. 21 Pendidikan yang diikuti Pangeran Adipati Anom diberikan secara Jawa, meliputi berbagai bidang, antara lain: 1) pengetahuan mengenai kesusutraan, 2) kesenian, 3) keterampilan menggunakan senjata seperti keris, pedang, dan tombak secara timur, pencak silat dan bermain pedang secar Barat, 4) olahraga seperti berenang dan menunggang kuda, 5) pendidikan dari buku-buku lama dan ajaran dari ayahnya yang terkumpul dalam serat-serat piwulang Jawa, 6) pengetahuan psikologi, 7) pelajaran bahasa Arab, Melayu, Belanda. 22 Setiap putra-putri raja Mataram, diharuskan menjalani bimbingan dan pendidikan yang keras sejak belia, baik dari orang tua maupun para guru terpilih yang didatangkan ke keraton. tradisi seperti itu telah terbentuk sejak dahulu, karena para putra raja adalah benteng penjaga kedaulatan kerajaan.23 Demikian pula dengan Pangeran Adipati Anom. Pendidikan untuk putra mahkota itu dikerahkan kepadanya agar kelak ia dapat memanggku jabatannya sebagai raja utama. Sunan Paku Buwono X menyadari bahwa syarat untuk menjadi seorang Raja dituntut untuk menguasai segala ilmu, yang nantinya perlu untuk bekal dalam mengatur kerajaan yang dipimpinnya, baik itu ilmu kebatinan dan ajaran-ajaran Jawa lainnya sebagai warisan dari leluhur. Segala ilmu-ilmu itu diajarkan didalam Keraton. Dan para guru baik guru yang mengajarkan ilmu
21
R.M Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup ingkang Sinuhun Sri Susuhanan Pakubuwono X 1893-1939, hal 24-27. 22 Purwadi, dkk, Sri Susuhanan Pakubuwono X Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya untuk Nusa Bangsa, hal 5. 23 Darsiti Soeratman, Istana Sebagai Pusat Kebudayaan Lampau dan Kini, (Yogyakarta: Pidato pengukuhan Guru Besar UGM, hal 7.
28
Barat maupun ilmu ketimuran datang ke Keraton. Orang-orang yang dianggap sebagai guru yang menuntun hidupnya pertama-tama adalah ayahandanya sendiri Sinuhun Paku Buwono IX. Jika ayahandanya Paku Buwono IX, digambarkan sebagai Prabu Balodewo, sakti mendroguno, teteg, teguh pribadinya, maka Paku Buwono X digambarkan sebagai Prabu Yudhistira, asih paramarta lahir batin, wicaksono narendrotomo sang Jayen Katon. Karena itu setelah Adipati Anom (Paku Buwono X) naik tahta menadi Raja, beliau menjadi raja yang arif, adil dan bijaksana, seorang Raja yang wicaksono dan waskito. 24 Ayahanda Sunan Paku Buwono X yaitu Sunan Paku Buwono IX wafat pada hari Jum’at Legi 28 Ruwah Je 1822 atau 16 Maret 1893 M. Setelah wafatnya Sunan Paku Buwono IX, maka pada hari Kamis Wage tanggal 30 Maret 1893 beliau menggantikan tahta kerajaan, dengan gelar Sinuwum Kanjeng Susuhanan Paku Buwono X Senapati Ingalaga Abdul Rahman Sayidin Panatagama. Pada tahun 1924, Sunan Paku Buwono X naik pangkat sebagai Mayor Jenderal oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pemberian pangkat militer diberiakan oleh Belanda kepada raja-raja Jawa telah diberikan sejak masa pemerintahan Paku Buwono VII, raja pertama kerajaan Surakarta yang memerintah tanpa daerah mancanegara.25 Paku Buwono X merupakan seorang yang elusif (sukar difahami), membingungkan, dan dianggap enteng oleh serangkaian residen dan gubernur
24
R.M Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup ingkang Sinuhun Sri Susuhanan Pakubuwono X 1893-1939, hal 35-42. 25 Purwadi, dkk, Sri Susuhanan Pakubuwono X Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya untuk Nusa Bangsa, hal 7.
29
yang ditempatkan di Surakarta selama masa pemerintahannya. Dan beberapa di antara pejabat itu memberikan penilaian tentang sunan. Pihak residen dan gubernur mengeluhkan bahwa Susuhanan tidak memahami barang secuil pun tentang urusan-urusan penting di kerajaannya. Dari pihak Belanda memberikan laporan mengenai Susuhanan menggambarkannya sebagai seorang pesolek, lemah dan agak bodoh, tetapi ia setia kepada keluarga Belanda dan pemerintah Hindia-Belanda. dan hal ini dibuktikan dengan Sunan memamerkan tanda-tanda kehormatannya secara berlebihan dan senang mengenakan pakaian resmi. Salah satu kekurangannya adalah bahwa ia tidak mengenal nilai mata uang. Susuhanan tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun tentang keuangannya, oleh karenanya wazir dan saudaranya, yaitu pegawai menyimpan sejumlah uang jauh dari hadapannya untuk menjaga jangan sampai ia menghambur-hamburkannya.26 Kebesaran seorang raja juga tampak dari banyaknya jumlah selir dan juga anak. Residen Van Der Wijk mengatakan bahwa Sunan mempunyai isteri resmi empat dan selir yang tidak terbatas jumlahnya. Kalau salah satu selir itu mengandung, salah seorang isteri akan diceraikan untuk memberi tempat kepada selir itu. Sesudah selir itu melahirkan, selir itu akan diceraikan lagi. Pada tahun 1910 Javaanshe Almanak menulis bahwa raja mempunyai dua belas putra dan tiga belas putri. Pada akhir hayatnya, PB X mempunyai 63 putra-putri, yaitu 24 pria, 28 wanita, dan 11 orang meninggal diusia muda.27
26
George Larson, Masa Menjelang Revolusi Keraton Dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942, hal 43-46. 27 Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2006), hal 34-35.
30
Pada dasarnya Sunan Paku Buwono X memiliki sifat-sifat yang patut ditiru seperti salah satu sifat yang paling menonjol yaitu sifatnya yang dermawan, ia selalu mau membantu atau menyenangkan hati orang, Ia juga sopan dan juga suka melayani.28 Beliau memiliki kepribadian yang kuat dalam arti bahwa beliau memiliki disiplin diri yang kuat, ia juga memiliki kemampuan menganalisa yang tajam hingga dapat menyadari apa yang paling penting untuk masa depan, beliau memiliki perasaan yang halus dan tidak suka menyakiti orang lain, hingga memberi kesan yang keliru bahwa seolaholah beliau tidak memiliki keberanian, beliau juga orang yang terbuka dengan hal-hal baru yang apabila itu bermanfaat bagi rakyat dan negaranya, dan Sunan juga memiliki rasa keadilan yang tinggi.29 Sunan Paku Buwono X hidup sampai pada usia tujuh puluh dua tahun, meski orang Belanda pada tahun 1899 sudah mulai risau dengan kesehatannya dan beranggapan tidak akan hidup lama karena menerita batu aginjal, suka minum-minum dan tidak bisa menegendalikan dirinya sendiri.30 Namun lama Sunan dapat bertahan dalam dunia yang seperti itu, wibawanya sebagai seorang raja semakin terlihat dimata beberapa generasi rakyat Surakarta yang telah menjadi dewasa selama kekuasaannya. Yang seakan-akan semakin menimbulkan wibawanya itu adalah kebesaran tubuh Kanjeng Sunan. Paku Buwono X dikenang sebagai raja Surakarta terakhir yang memiliki kewibawaan 28
yang terlihat
sebagai
seorang raja.
Lamanya bertahta
Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915, hal 44. R.M Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup ingkang Sinuhun Sri Susuhanan Pakubuwono X 1893-1939, hal 42. 30 George Larson, Masa Menjelang Revolusi Keraton Dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942, hal 45 29
31
menyebabkan Paku Buwono X mengalami perubahan besar dalam perpolitikan Hindia Timur dan dalam kehidupan Surakarta sehari-hari.31 Pada Senin 20 Februari 1939 pukul 07.30 pagi, suasana duka menyelimuti seluruh kawulo kerajaan. Pada hari itu, Susuhanan Paku Buwono X menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 72 tahun, dan mengakhiri masa tahtanya selama 48 tahun di Keraton Surakarta Hadiningrat. 32 Ia disebut oleh rakyatnya sebagai sunan penutup atau raja besar Surakarta yang terakhir. Pemerintahannya lalu digantikan oleh putranya yang bergelar Paku Buwono XI.
D. Keraton Surakarta Pada Masa Paku Buwono X Pengertian Keraton adalah bahwa keraton adalah pusat kebudayaan Jawa yang patut dipelihara sehingga apabila keraton melakukan upacara tradisi Jawa, masyarakat umum tertarik untuk melihat karena ingin tahu bagaimana kebudayaan Jawa itu sesungguhnya. Secara internal, eksistensi Keraton dalam pandangan spiritual masih tetap terjaga dan organisasi tradisinya masih hidup dan berjalan. Selanjutnya, dijelaskan pula, bahwa Keraton memang merupakan “a living heritage”, tonggak sejarah dan budaya. Dengan demikinlah hal utama yang perlu dilakukan adalah pemeliharaan, pelestarian dan pengembangan warisan yang sudah dikembangkan sejak ratusan tahun lalu itulah yang sangat penting, demi menjamin kelanjutan
31
John Pemberton, “Jawa” On The Subject Of Java, terjemahan Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003), hal 155. 32 Lihat: https://plezierku.wordpress.com/2014/05/10/sosok-paku-buwono-x-rajasurakarta-yang-penuh-kharisma/ diakses pada 08 juni 2015 jam 15.00.
32
eksistensi Keraton Solo untuk masa depan.33 Keraton Surakarta merupakan lambang pelestarian kebudayaan Jawa, sebagai pusat pelestarian adat-istiadat yang diwariskan secara turun temurun dan masih berlangsung hingga kini, dan komunitas yang mempunyai kebudayaan sendiri. Dan Keraton Kasunanan Surakarta merupakan tempat yang subur bagi pertumbuhan organisai-organisasi sosial politik. Keadaan ini dikarenakan Keraton Kasunanan Surakarta sebagai tempat administrasi pemerintahan, maka bagi pengamat politik dan tokoh politik, Surakarta merupakan kota yang strategis untuk dijadikan tempat bagi tumbuh kembangnya organisasi-organisaisi sosial politik. Kasunanan merupakan kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Sunan. Kerajaan Surakarta Hadiningrat dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhanan Paku Buwana
Senapati
Ingalaga
Ngabdulrahman
Sayidin
Panatagama
Khalifatullah, 34 Dengan gelar itu menempatkan raja pada kedudukan yang tinggi. Dalam struktur birokrasi tradisional raja mempunyai kekuasaan sentral dalam wilayah kerajaan. Kedudukan dan kekuasaan raja diperoleh berdasarkan warisan atas tradisi pengangkatan raja baru berdasarkan keturunan. untuk menjadi sorang raja ia harus berasal dari keluarga yang agung. Trahing kusuma rembesing madu wijining atapa, tedaking andana warih. Artinya,
33
Anom Muhammad Hadisiswaya, Pergolakan Raja Mataram, (Interprebook, 2001), hal
34
C. Lekkerkerker, Land en Volk Van Java (Groningen: 1983), hal 339
28.
33
turunan bunga, titisan madu, benih pertapa, turunan mulia.35 Sunan Paku Buwono X, raja Keraton Surakarta yang memerintah pada tahun 1893 sampai 1939 mempunyai gelar keagamaan sebagai Sayyidin Panatagama Khalifatullah yaitu raja merupakan kepala, pemimpin, pengatur agama dan kepala pengatur pemerintah atau negara. Pakubuwono X mempunyai tempat yang sangat istimewa karena masa pengabdiannya yang cukup lama yakni 46 tahun. Beliau adalah pribadi yang penuh dengan nilai keteladanan, kebijakan dan keagungan. Sebagai panutan dalam segala hal yang berkaitan dengan syariat agama Islam, maka Raja patut ditiru dan diteladani bagi seluruh rakyat. Sekalipun ia menjadi raja, berkuasa di keraton dan di wilayahnya. Akan tetapi beliau tidak merdeka sepenuhnya. Surat-surat dari dan ke luar harus lewat residen, meskipun itu hanya urusan keluarga. Raja memang dipandang tinggi oleh rakyatnya, meskupun begitu sebenarnya ia tidak pernah menjadi orang yang bebas. Ia terikat dengan semacam bentuk aturan, sehingga untuk keluar dari keratonnya saja ia perlu izin dari residen. Ia adalah tawanan di keratonnya sendiri. Tidak aneh kalau kemudian ia lebih banyak mengembangkan politik simbolis daripada politik substantif. Dengan kata lain, karena ia tidak bebas dalam mengurus kerajaan, kemudian sangat pandai mengurus dirinya sendiri. Sehingga dalam urusan kerajaan, pikiran beliau sangat sederhana. Seperti pertanyaannya kepada Patih Sasradiningrat, beliau menanyakan: “sekarang musim apa?” “para petani sedang apa?” serta “ 35
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hal 62.
34
bagaimana air sungai?”.36 Keraton Surakarta pada waktu diperintah oleh Sunan Paku Buwono X merupakan pusat kebudayaan Jawa yang telah memberi kontribusi besar terhadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Oleh sebab itu raja sangat berkuasa dalam sumber hukum, pengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bahkan raja di anggap sebagai “wakil Tuhan” dimuka bumi. Berbagai pergumulan politik, ideologi, sosial, budaya dan keagamaan sangat dipengaruhi oleh kebijakan raja yang berkuasa pada masanya.
37
Kota
Surakarta seakan-akan menjadi tempat yang sangat berpengaruh dan menjadi pusat kebudayaan bagi masyarakat Jawa, yaitu Keraton Kasunanan Surakarta dan Istana Mangkunegaran. Sedangkan di Yogyakarta terdapat Keraton Kasultanan dan Istana Pakualaman. Pengaruh kekuatan dari kedua kota tersebut dalam pergerakan nasional sangat terlihat, bahkan menjadi pusat pergerakan. Bangkitnya gerakan-gerakan nasionalis Indonesia dan partai-partai politik yang menentang pemerintah kolonial Belanda dan raja-raja Jawa yang didukung oleh pemerintah ini, kemajuan-kemajuan alat transportasi, komunikasi dan perekonomian yang dengan cepat memberi kesadaran Surakarta atas adanya suatu dunia internasional yang tentunya bukan berpusat di Surakarta, apalagi yang diwakili oleh sumbu semesta yang tinggal dalam keraton.
36
Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915, hal 20-21. Purwadi, dkk, Sri Susuhanan Pakubuwono X Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya untuk Nusa Bangsa, hal 1-2. 37
35
Semasa Sunan Paku Buwono X bertahta, keadaan Praja Surakarta Hadiningrat sudah memasuku zaman baru. Keraton sendiri juga sudah mengalami perubahan pembangunan dan penambahan beberapa kali, sehingga membuat Keraton terlihat semakin indah lagi secara fisik. Struktur pemerintahan pada masa Sunan Paku Buwono X masih sama seperti pada masa raja-raja sebelumnya, dimana raja yang memiliki jabatan dan kedudukan yang tertinggi. Untuk menjalankan roda pemerintahan Sunan dibantu oleh para sentana dan abdi dalem, mereka berkedudukan sebagai wakil raja. Tugas dari sentana dan abdi dalem sebagai wakil raja ialah menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diperintahkan oleh Sunan. Jalannya roda pemerintahan di Keraton Kasunanan tetap raja yang mempunyai wewenang. Dibawah raja terdapat Dewan Menteri (Kabinet), adanya dewan tersebut befungsi sebagai pembantu raja. Adapun tugas yang biasa dilakukannya adalah mengurus surat dari raja dan untuk raja.38 Sunan Paku Buwono X membawa masyarakat Jawa memasuki zaman baru. Masuknya zaman modernisasi yang diperkenalkan oleh bangsa Eropa dimanfaatkan oleh Sunan untuk meningkatkan kesejahteraannya di sebagian tanah Jawa dengan melakukan modernisasi, dengan Surakarta sebagai ibukotanya. Dukungannya Sunan
terhadap gerakan kaum republik dapat
membuahkan hasil. Putra-putri dan para bangsawan keraton disekolahkannya ke berbagai tempat di luar negeri, telah menjadi kader-kader perjuangan yang tangguh. Banyak sekali bukti yang bisa dilihat, dibaca dan didengar langsung
38
Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, hal 156-157.
36
dari para kerabat dan keturunannya, apa saja jasa dan perjuangannya yang telah dilakukannya selama beliau menjadi Raja.39 Reformasi melahirkan ide baru, dengan pelaksanaan yang rapi, dilakukan oleh para pegawai pembesar di keraton. Berbeda dengan raja sebelumnya, Sinuhun PB X memasukkan unsur-unsur budaya Barat, khususnya dalam bidang seni dan media massa. Hingga lahir surat kabar dan majalah di Surakarta. Bahkan, Sunan atau keraton berlangganan surat kabar dan majalah yang berbahasa Jawa, Melayu dan Belanda. Berdasarkan informasi dari majalah dan surat kabar itulah, beliau mengetahui apa yang terjadi di luar keraton maupun mancanegara. Abdi dalem keraton secara bergiliran membacakan isi surat kabar dan majalah itu kepada Sunan. Sunan Paku Buwono X seorang raja yang banyak membawa perubahan yang bersifat progresif, banyak menciptakan kemajuan di lingkungan keraton Surakarta. Sunan PB X adalah penguasa Jawa yang mudah menerima masuknya pengaruh budaya asing sebagai salah satu unsur modernisasi di lingkungan keraton. Sunan juga banyak meminjam unsur-unsur Barat yang bersifat lahiriah yang disesuaikan menurut seleranya. Seperti menu makanan, pakaian, arsitektur rumah yang mirip loji di puncak Argapura yang mendapat pengaruh dari Belanda, tetapi atapnya tetap bergaya bangunan Jawa. Selain itu juga terdapat patung-patung Eropa yang diletakkan sebagi hiasan di sekeliling pandapa Sasana Sewaka dan Sasana Handrawia.
Administrasi
pemerintahan juga diatur mengikuti contoh Barat dan dipusatka di Kepatihan. 39
Purwadi, dkk, Sri Susuhanan Pakubuwono X Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya untuk Nusa Bangsa, hal 16.
37
Akan tetapi Sunan sebagai penguasa juga melindungi kebudayaan Jawa dan mempertahankannya.
40
Meskipun pengaruh Barat telah masuk kedalam
kehidupan keraton, namun hal ini tidak mengubah sistem hierarki tradisional yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram yang masih berlaku untuk generasi penerusnya dan mencoba untuk tetap dipertahankan yaitu Keraton Surakarta. Orang yang menganggap keraton adalah tempat untuk makan enak dan tempat bersenang-senang saja itu adalah salah. Keraton oleh Paku Buwono X dijadikan untuk mendidik dan menggembleng para putera, sentana, dan kerabat keraton. Seluruh penghuni diwajibkan untuk menuntut ilmu. Sri Susuhanan Paku Buwono X dalam kehidupan sehari-hari tidak pernah mengeluh, tingkah lakunya yang tidak pernah berubah, sangat disiplin dan mempunyai rasa tanggung jawab yang besar, terhadap putra-putrinya beliau selalu bersikap keras akan tetapi penuh akan rasa kasih sayang.41 Menjelang pergantian abad ke-20 di Belanda terjadi perubahan politik terhadap Indonesia yaitu menjadi Politik Etis yang digagas oleh Van Deventer. Pemikiran ini berdasarkan bahwa Belanda mempunyai hutang budi kepada Indonesia yang harus dibayar Belanda kepada jajahannya sebagai pengganti harta kekayaan yang pernah diambilnya. Politik Etis pada intinya adalah memperluas dan memperbaiki program-program yang sudah ada, seperti: perluasan pendidikan model Barat, irigasi, peningkatan pelayanan kesehatan,
40
Purwadi, dkk, Sri Susuhanan Pakubuwono X Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya untuk Nusa Bangsa , hal 180. 41 R.M Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup ingkang Sinuhun Sri Susuhanan Pakubuwono X 1893-1939, hal 97.
38
dan meningkatkan pertumbuhan industrialisasi. Banyak usaha yang dijalankan pada bidang pendidikan, dan hasilnya sering kali membuat bangga para pejabat Belanda. Semua pendukung politik etis menyetujui ditingkatkannya pendidikan bagi rakyat Indonesia.42 Politik Etis atau politik balas budi merupakan sebuah haluan politik yang dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1900-1942. Politik ini didasarkan pada pertimbangan bahwa negeri Belanda telah banyak berhutang budi kepada rakyat Indonesia selama berabad-abad. Hal ini dikarenkan sejak zaman VOC hingga masa Kolonial Liberal sebagian besar kekayaan yang dipunyai bangsa Indonesia dikeruk dan dibawa ke Belanda. Walaupun tujuan politik etis sangat mulia, tetapi dalam pelaksanaannya tidak demikian. Dengan segala kelemahan politik etis telah mendorong perubahan sosial di kalangan penduduk pribumi. Hal itu dikarenakan banyak penduduk bumi putera yang mengenyam pendidikan Barat, sebagai suatu cara untuk mengubah pemikiran yang tradisional. Walaupun dari sudut pandang Kolonial kebijakan pendidikan Barat diarahkan untuk kepentingan Pemerintah Kolonial, tetapi dari sudut kepentingan perjuangan bangsa Indonesia pendidikan Barat melahirkan Elit Baru yaitu dengan munculnya nasionalisme yang terwujud dalam Pergerakan Nasional Indonesia untuk kemerdekaan Indonesia.43 Munculnya nasionalisme yang terwujud dalam pergerakan Nasional Indonesia kearah kemerdekaan Indonesia menyebar luas keseluruh bagian 42
M.C Riklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gama Press, 1991), hal 236. Cahya Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia, (IKIP Semarang Press, 1995), hal 40-43. 43
39
wilayah Indonesia. Begitu juga di Surakarta yang merupakan titik penting sebagai salah satu pelopor gerakan nasional yang diwadahi dan mendapat perhatian penting dari Sri Susuhanan Paku Buwono X sebagai raja di keraton Kasunanan Surakarta. Politik Etis yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda mengakibatkan pembukaan sekolah-sekolah dengan sistem Barat diwilayah Hindia Belanda. Pembukaan sekolah-sekolah ala Barat itu diperluas sampai untuk kalangan masyarakat. Munculnya politik asosiasi yang dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda menimbulkan kebudayaan dan pengetahuan Barat diperkenakan lebih luas disekolah-sekolah. Politik asosisasi merupakan kebijakan yang menghendaki rakyat Bumi Putera dibina agar terpengaruh terhadap kebudayaan Barat.44 Diwilayah kerajaan sendiri perkembangan pendidikan mengalami kemajuan, karena Sunan sebagai penguasa kerajaan sangat perduli terhadap pendidikan dan mengerti akan pentingnya sebuah pendidikan, hal tersebut dikarenakan beliau berkuasa pada zaman dimana pendidikan merupakan hal penting yang dimiliki oleh semua orang. Maka dari itu Sunan Paku Buwono X menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah-sekolah Belanda. Di lingkungan Kasunanan sendiri Sunan Paku Buwono X memelopori dunia pendidikan menjadi tiga kelompok,45 yaitu: 1) Pendidkan dan Pengajaran Model Barat, 2) Pendidikan dan Pengajaran Bedasarkan Islam, 3) pendidikan dan Pengajaran Menurut pola Tradisional. 44
Depdikbud, Sejarah Pendidikan Jawa Barat, (Jakarta: Depdikbud, 1984), hal 7. Radjiman , Sejarah Mataram Kartasura Sampai Surakarta Hadiningrat, (Surakarta: Krida Surakarta. 1984), hal 224. 45
40
Keraton Kasunanan sebagai pusat pemerintahan bagi keraton, berawal dari dalam keraton rakyat dapat mengikuti peraturan dan kegiatan keagamaan. Penghulu Keraton mengajarkan kewajiban-kewajiban yang harus dikerjakan oleh orang Islam, seperti: sholat, puasa, serta menjalankan rukun Islam, kewajiban untuk mengIslamkan anak laki-laki dan mendidiknya dengan pendidikan agama. Kondisi keagamaan pada masa Paku Buwono X dapat berkembang dan maju. Dengan Al-Qur’an dan Hadist sebagai pijakan, para ulama menyusun syari’at yang merupakan hukum Islam. Suatu perpaduan perundang-undangan yang rumit meliputi hampir setiap bidang kehidupan sosial, tetapi dengan titik dan khususnya pada urusan-urusan agama.46 Paku Buwono X sebagai kepala pengatur agama menaruh perhatian besar terhadap perkembangan dan penyebaran agama Islam. Hal ini terbukti pada waktu itu telah diadakan penyuluhan tentang agama Islam, Sekaten47 , Grebeg Siyam, dan Grebek Maulud
46
48
merupakan bukti bahwa keraton
Cliffort Geertz, Santri Dan Abangan Di Jawa, (Jakarta: Pustaka Raya, 1983), hal 166 Sekaten berasal dari kata “Syahadatain” yang artinya dua kata persaksianuntuk meyakini kebenaran yaitu: Syahadat Tauhid (keyakinan ke-Esaan Tuhan) dan Sholawat Rasul (Keyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah Utusan Allah. Lihat, A. Basid Adnan (ed), Mutiara Hikmah: Kapita Selekta Tulisan K.H.R Muhammad Adnan, (Surakarta: Yayasan Mardikintoko,1977), hal 125. Perayaan Sekaten intinya untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dilaksanakan di serambi Masjid Agung Surakarta setiap malam hari diadakan pengajian oleh para ulama yang pada dasarnya mengajak agar kita dapat mencontoh suri tauladan Nabi baik akhlak, tindakan dan tutur bahasanya. Pengajian tersebut diiringi dengan bunyi alunan gamelan. Upacara Sekaten dilaksanakan setiap tanggal 5-12 Rabiul Awal (mulud). Lihat, A. Basid Adnan, Mutiara Hikmah: Kapita Selekta Tulisan K.H.R Muhammad Adnan, hal 38 48 Grebeg adalah upacara keagamaan yang ada di Keraton, yang diadakan sebanyak tiga kali dalam satu tahun, yaitu bertepatan dengan hari lahirnya Nabi Muhammad saw (Grebeg Maulud), pada saat Hari Raya Idul Fitri (Grebeg Syawal) dan pada saat Hari Raya Idul Adha (Grebeg Besar). Grebek bisa diartikan sebagai ritual politik yang partisipasi didalamnya memiliki arti lebih dalam daripada sekedar perayaan. Lihat: Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915, hal 59. 47
41
menaruh perhatian besar terhadap agama, khususnya agama Islam. 49 Atas perhatiannya yang besar itulah maka agam Islam menjadi berkembang di Kasunanan. Pada masa Paku Buwono X agama Islam mengalami perkembangan, perkembangan tersebut dibuktikan dengan adanya perubahan arah dakwah dan khutbah. Misalnya dalam Khotbah Jum’at yang tadinya hanya menggunkan bahasa Arab kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Jawa juga adanya penterjemah Al-Qur’an kedalam bahasa Jawa oleh Bagoes Arfah. 50 cara ini sangat efektif bagi masyarakat karena mudah diterima dan lebih mudah dipahami dalam mempelajari agama Islam. Selama Susuhanan Paku Buwono X menjadi seorang raja, keadaan negara nyaris tanpa kendala, karena begitu bagusnya pemerintahan yang membuat kesejahteraan. Paku Buwono X tergolong mampu dalam mengurus negara. Ia banyak memberikan dana untuk kesejahteraan umum dalam hal pembangunan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Semenjak Susuhanan Paku Buwono X bertahta banyak perubahan dan mampu menciptakan kehidupan yang lebih sejahtera bagi rakyat dan negaranya.
49
Andi Haris Prabawa, Atika Sabardila, “Peran Abdi Dalem Ngulama Keraton Kasunanan Surakarta”, Surakarta: Lembaga Penelitian UMS, Jurnal Penelitian Humaniora Vol.2.No 1 Februari 2001, hal 3-4. 50 Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915, hal IX.
BAB III KRISTENISASI DI SURAKARTA
A. Keberagamaan Masyarakat Surakarta Agama Islam merupakan agama yang di anut oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Diantara mereka masih banyak yang menganut agama dari nenek moyangnya yang terdahulu, yaitu agama Hindu-Budha, dan sebagian yang lain menganut agama Kristen. Untuk yang beragama Islam, masyarakat Jawa terdapat dua golongan, yaitu Islam Santri,1 dan Islam Kejawen (sering di sebut Agami Jawi).2 Masyarakat Jawa golongan Islam santri banyak berada di daerah pesisir, seperti Surabaya, Gresik dan lain-lain, sedangkan golongan Islam Kejawen berada di Yogyakarta, Surakarta, dan Bagelan.3 Menurut Cliffort Geertz, yang dikutip oleh Mark R. Woodwark, Geertz menyebutkan bahwa masyarakat Jawa dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: santri, yang merupakan kalangan muslim ortodoks, priyayi adalah kalangan
1
Islam Santri Dalam kamus besar bahasa Indonesia, santri berarti: 1. Orang yang mendalami agama Islam, 2. Orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; orang Sholeh. Lihat: Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal 783. Sedangkan menurut Koentjaraningrat, sebagaimana yang dikutup oleh Zaini Muchtarom, menyebutkan bahwa istilah santri yang mulamula dan biasanya dipakai untuk menyebut murid yang mengikuti pendidikan Islam, merupakan perubahan bentuk dari kata India shastri yang berarti orang yang mengerti kitab-kitab suci (Hindu), seorang ahli kitab suci. Adapun kata shasri diturunkan dari kata shastra yang berarti kitab suci, atau karya keagamaan atau karya ilmiah. Lihat: Zaini Muchtarom, Islam di Jawa Dalam Perspektif Santri dan Abangan, (Jakarta: Salemba Ilmiah, 2002), edisi I, hal 12 2 Kejawen lebih tertuju pada kebudayaan dan lambat laun mengalami percampuran dengan kepercayaan yang dianut oleh orang Jawa itu sendiri dengan kehadiran agama HinduBudha. Hal ini masih berlangsung ketika Islam datang ke Pulau Jawa dimana Walisanga dalam meyebarluaskan ajaran Islam tidak mengganggu keberadaan budayaan lokal, yaitu budaya Jawa. Kejawen adalah segala yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan orang Jawa. Lihat: Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal 405. Golongan Kejawen ini terdiri dari kaum ningrat, golongan priyayi, dan kebanyakan terdiri dari kaum tani. 3 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hal 211
42
43
bangsawan yang dipengaruhi oleh unsur-unsur Hindu dan Jawa, abangan yaitu masyarakat desa yang percaya kepada animisme.4 Hal ini menyimpulkan bahwa ada ciri khusus tentang keberagamaan pada masyarakat Jawa, khususnya pada masyarakat muslimnya. Dalam catatan para ahli sejarah, ajaran Islam masuk ke pulau Jawa sekitar abad XI masehi. Ajaran Islam ini dibawa oleh para mubaligh dari Pasai (Aceh Utara) dan para pedagang dari Gujarat. Selain itu, ada pula yang diajarkan langsung oleh para pedagang Islam dari Arab, yang sedang berdagang di berbagai Kerajaan di pesisir Nusantara pada waktu itu.5 Perlu diketahu bahwa dominasi agama Hindu-Budha di tanah Jawa sudah ada sejak abad ke-6 yang hingga kini masih bisa dirasakan. Berbagai bangunan bersejarah pun masih kental dengan pengaruh dari kedua agama tersebut. Di samping itu, ritual keagamaan dan kepercayaan orang Jawa juga tak luput dari pengaruh Hindu-Budha. Masyarakat Jawa banyak yang menganut agama Islam Sinkretik. Hingga sekarang Masyarakat Jawa yang menganut Islam sinkretis masih banyak ditemukan, terutama di daerah Yogkarta dan Surakarta. Secara formal mereka tetap mengakui bahwa Islam sebagai agamanya, meskipun tidak menjalankan ajaran-ajaran Islam yang pokok, seperti Sholat lima waktu, puasa wajib bulan Ramadhan, zakat dan haji.6 Itu karena mereka belum memahami betul ajaran
4
Mark R. Woodwark, Islam Jawa, Kesalehan Normatif versus Kebatinan, (Yogyakarta: LKis, 2006), hal 2 5 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia: Dari Abad XIII XVIII Masehi, (Kudus: Menara Kudus, 2000), hal 21 6 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, hal 313
44
Islam dan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan sebagai seorang muslim. Sejak keraton Surakarta masih sebuah kerajaan Mataram Islam, pada masa Sunan Amangkurat II menduduki tahta kerajaan, ia besengketa dengan adiknya, yaitu Pangeran Puger untuk memperebutkan kekuasaan. Dan akhirnya Pangeran Puger dapat merebut kekuasaan setelah Sunan Amangkurat III menjadi raja. Peristiwa perebutan kekuasaan tersebut terjadi pada tahun 1709, Pangeran Puger kemudian di kenal dengan Paku Buwono I. Pada masa Paku Buwono I kehidupan keagamaan belum terlihat mengalami kemajuan, karena pada masa itu di dalam keraton terjadi pergantian kekuasaan serta kondisi keraton yang belum stabil. Masa Paku Buwono I kepercayaan bersifat sinkretisme yang sudah ada sejak kerajaan Mataram Islam berpengaruh terhadap kondisi keIslaman di keraton Kasunanan. Wujud Islamisasi Jawa di keraton terlihat dari adanya karya-karya berupa sastra dan tradisi-tradisi yang ada sejak masa kerajaaan Jawa Islam (Demak, Pajang, Mataram Islam), seperti upacara Grebeg, Tembang Macapat. Oleh karena itu dapat dilihat bahwasanya karakteristik kebudayaan Jawa-Islam adalah tetap mempertahankan tradisi agama Hindu-Budha termasuk juga animisme-dinamisme yang diperkaya dan di sesuaikan dengan ajaran Islam.7 Masyarakat yang
berada di sekitar Keraton Surakarta Hadiningrat,
memeluk agama yang beragam. Sebagai kelanjutan dari kerajaan Mataram
7
Kusniatun, Dinamika Keraton Dalam Pengembangan Budaya Islam Dan Kebudayaan Jawa, Makalah Suplemen Seminar Nasional, “Peran Keraton Dalam Pengembangan Islam, (Surakarta: UMS, 2007), hal 5
45
Islam, agama Islam menjadi agama resmi yang berlaku di Kasunanan Surakarta. Meskipun agama Islam sudah menjadi agama resmi kerajaan, tetapi tradisi nenek moyang masih dijalankan dan dipertahankan. Antara tradisi leluhur dengan ajaran Islam berjalan beriringan inilah yang disebut dengan “Islam-Kejawen”. Perpaduan ini muncul karena biasanya rakyat hanya mengikuti sang Raja yang beragama Islam, karena raja mereka beragama Islam maka merekapun mengikuti agama yang dipeluk oleh sang raja, akan tetapi belum sadar untuk menjalankan syari’at-syari’at Islam. Terjadi proses akulturasi kebudayaan istana yang bercorak Hindu-Jawa dengan kebudayaan pesantren yang bercorak Islam-Jawa. Unsur-unsur Islam pesantren ditransfer dan diadopsi untuk memperkaya warisan budaya leluhur yang selama ini dianut. Oleh karena itu, di Jawa pada umumnya dan di Surakarta khusunya, muncul dua varian dikalangan umat Islam, yaitu kaum santri dan kaum Abangan. Kaum santri adalah mereka yang melaksankan rukun-rukun Islam, sedangkan kaum abangan adalah mereka yang belum menjalankan syariat Islam meski telah memeluk Islam. Dengan demikian membuat dinamika dan kekuasaan keagamaan di Kasunanan Surakarta menekankan pada dua aspek, yaitu budaya dan syariat.8 Agama yang dianut oleh sebagian besar anggota komunitas keraton adalah agama Islam yang besifat sinkretik yang disebut dengan istilah Agami Jawi atau Kejawen. Agama Islam sinkretik ini merupakan agama Islam yang bercampur dengan keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cendrung 8
http://www.kerajaannusantara.com/id/surakarta-hadiningrat/sosial-budaya-agama, diakses: rabu, 23 September 2015 jam 15.00
46
kearah mistik, serta unsur-unsur yang berasal dari zaman pra-Hindu. Dalam agama Islam santri atau kaum santri, dianut oleh sebagian penduduk di pantai utara Pulau Jawa. Walupun mereka ini adalah penganut agama Islam puritan yang taat menjalankan syariat Islam, tetapi tidak sepenuhnya mereka bebas dari unsur-unsur animisme dan unsur-unsur Hindu-Budha.9 Agama Islam yang bersifat sinkretik yang berada di Kasunanan Surakarta telah
mewarnai
masyarakatnya
simbol-simbol yang
budaya
menampakkan
di
sifat
keraton, Islam
begitupun
sinkretik.
pada
Berbagai
kepercayaan sebelum Islam, seperti kultus pusaka, kultus nenek moyang, kepercayaan pada makhluk halus, dan upacara-upacara pra Islam lainnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keagamaan masyarakat keraton. Akhirnya, semua itu menjadi ciri keagamaan masyarakat keraton yang oleh para peneliti kemudian disebut dengan istilah Agami Jawi.10 Sifat sinkretisme agama yang dianut oleh masyarkat keraton sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari proses Islamisasi di pedalaman Jawa itu sendiri. Sebab agama Islam yang masuk ke pedalaman masyarakat Jawa tidaklah dalam bentuk murni yang mementingkan hukum syariah, namun lebih kearah sufisme atau mistik Islam.11 Di Kasunanan sendiri sejak awal pemerintahan sudah bercorak Islam. Hal tersebut dilihat karena adanya jabatan Penghulu dan Abdi Dalem Ulama dalam birokrasi di Kasunanan. Berlakunya peradilan Islam dengan hukum dan ajaran Islam, penggunaan gelar Sayyidin 9
Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1989), hal 462 10 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, hal: 310 11 H.J de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Peralihan Majapahit ke Mataram, (Jakarta: Grafitipers, 1985), hal: 256 – 275.
47
Panatagama yang dipakai Sunan, dan berdirinya Masjid Agung dilingkungan Kasunanan. Keberadaan Islam yang berada didalam keraton Kasunanan selalu dikaitkan dengan tradisi dan budaya Jawa. Dan upacara-upacara yang diselengarakan oleh keraton juga bersifat Islami. Dalam kehidupan keagamaan didalam keraton Kasunanan, Ulama Abdi Dalem atau Penghulu Keraton tidak hanya bertugas sebagai pemangku urusan Agama tapi juga sebagai penasehat Agama. Perannya adalah memutuskan kebijakan yang berkaitan dengan keagamaan, dimana ia berperan memberikan masukan tentang keagamaan. Berkembangnya agama Islam ini justru berawal dari dalam keraton sendiri, karena rakyat percaya dan yakin dengan agama yang dianut, jika raja juga menganut keyakinan yang sama.12 Masa Paku Buwono X upacara-upacara keagamaan yang bersifat mistik masih terus berlangsung, seperti upacara Mahesalawung, dalam upacara tersebut mereka memberikan suatu sesaji yang berupa daging dari segala macam binatang, seperti ikan, buaya, monyet, lutung, harimau, dan sebagainya. Sesaji itu dipersembahkan untuk bangsa lelembut. Dan masih banyak upacara-upacara yang berbau mistik lainnya dengan berbagai aturan pada setiap ritualnya yang rutin dilakukan pada masa itu.13 Paku Buwono X adalah simbol tradisi Islam dan Jawa. Tradisi Islam tetap di pelihara. Seperti tradisi Islam yang dilakukan setiap bulan Maulud, Sunan akan memberikan hadiah kepada orang Arab, Benggal, dan para haji yang berdzikir di masjid yang datang dari berbagai daerah, Dari setiap 12
Subhan S.D, Ulama-ulama Oposan, (Bandung: Pustaka Hidayah, t.th), hal 7 Kuntowijoyo, Raja, Priyayi dan Kawula Surakarta 1900-1915, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2004), hal 36 13
48
orangnya mendapatkan dua gulden. Pada hari itu juga orang-orang miskin di berikan beras. Pada bulan Maulud juga dilaksanakannya perayaan Sekaten. Karena PB X adalah simbol tradisi Islam Dan Jawa, jadi tidak hanya tradisi Islam yang menjadi perhatian Sunan, tradisi Jawa-pun di hidupkan olehnya.14 Jadi jika disimpulkan tentang keberagamaan di keraton yaitu meskipun mereka mengakui dasar agama mereka adalah Islam akan tetapi masih percaya terhadap hal-hal ghaib dan hal-hal yang berbau mistik lainnya. Di samping mereka shalat, puasa dan menjalankan syariat Islam, tetapi masih suka menyimpan berbagai benda-benda pusaka, seperti keris dan lain sebagainya. Mereka percaya benda-benda pusaka tersebut didalamnya menyimpan kekuatan.
B. Pemerintah Kolonial dan Misi Kristensasi Dalam membicarakan awal Kristenisasi di Indonesia, menurut catatan sejarah mengatakan bahwa agama Kristen datang ke Indonesia dibawa oleh Portugis dengan armada dagangnya pada abad ke-16 M.15 Sejarah kegiatan Kristenisasi di Indonesia berawal dari kedatangan bangsa Portugis yang menemukan rute ke Asia lewat Afrika Selatan menandai era baru kegitan misi Kristenisasi di kepulauan Indonesia.16 Pada abad yang sama orang-orang Portugis berhasil mendarat di Maluku, setelah itu melebarkan ekspansinya ke Goa dan Malaka yang dijadikan sebagai pusat kegiatan misi Kristen. Usaha misi Kristenisasi yang digencarkan oleh orang-orang Portugis meraih 14
Kuntowijoyo, Raja, Priyayi dan Kawula Surakarta 1900-1915, hal 36. Lukman Fatahullah Rais, Mohammad Natsir Pemandu Umat, (Jakarta: PT Bulan Bintang 1989), hal 18. 16 Komaruddin Hidayat, (Ed) Passing Over, Melintas Batas Agama, (Jakarta: Gramedia dan Paramadina, 1998), hal 11. 15
49
kesukseskan terutama di wilayah Maluku sebagai kepulauan yang kaya akan rempah-rempah.17 Sebelum membicarakan lebih jauh tentang misi kristenisasi yang disebarkan oleh kolonial Belanda penulis akan menjelaskan arti dari Kristenisasi terlebih dahulu, Kristenisasi ialah Pengkristenan (orang-orang) atau gerakan untuk mengkristenkan umat manusia.18 Kristenisasi dalam pengertian yang lain adalah upaya meng “Kristen” kan semua manusia, baik anak keturunan Bani Israil yang sesat, maupun manusia lainnya di bumi ini. Adapun istilah “Kristenisasi” sama dengan istilah Zending dan Evangelisasi, Zending merupakan istilah kosakata bahasa Belanda, yang berarti pengutus Injil (Misi yang dibawakan oleh Krisen Protestan), sedangkan Evangelisasi yang berarti penginjilan (Misi yang dibawakan oleh Kristen Katolik), hanya saja memiliki perbedaan dalam segi bahasanya, bahwa Zending dan Evangelisasi adalah bahasa ramah dan halusnya dalam menyebarkan Misinya. Akan tetapi kata Kristenisasi lebih bersifat kepada melakukan dengan segala cara melalui segala pemanfaatan, seperti: kemiskinan, kebodohan masyarakat, pengangguran, dan lain sebagainya. Kedatangan Belanda ke Indonesia yaitu pada tahun 1602 melalui perusahaan dagangnya yang bernama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie)19 dengan tujuan membantu mengurusi masalah pertanian di
17
Syamsud Dhuha, Penyebaran dan Perkembangan Islam-Katolik-Protestan di Indonesia, (Surabaya: Usaha Nasional, 1987), cet. Ke 2, hal 56. 18 Sutan Rajasa, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Karya Utama, 2002), hal. 335 19 VOC adalah perkumpulan perdagangan Belanda yang didirikan pada tahun 1602 dan dibubarkan tahun 1799. Perkumpulan ini bertujuan mencari laba sebanyak-banyaknya dan sekaligus menggalang kekuatan untuk melawan Portugis dan Spanyol. Lihat; Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), hal 17.
50
Indonesia.20 Didirikannya VOC juga awal dari misi Kristenisasi masa Kolonial Belanda. Pada awal kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia mendapat respon yang baik dari masyarakat Indonesia. Karena pada waktu itu orang-orang Belanda datang dengan sikap yang baik pula, dan tidak menampakkan tanda-tanda permusuhan dengan masyarakat pribumi. Masuknya agama Kristen tidak lepas dari kegiatan penjajahan Belanda yang disebut dengan 3G yaitu: Glory, Gold dan Gospel.21 Maksud dari “3G” itu adalah, Glory (menang) yaitu suatu motif penjajahan dan meguasai negeri yang sedang dijajahnya untuk dapat dikuasai, motif yang kedua yaitu ekonomi atau Gold (emas, kekayaan) motif ini yaitu untuk mengeksploitasi, memeras dan mengeruk harta kekayaan negeri jajahannya, dan motif ketiga yaitu Gospel yaitu motif untuk menyebar luaskan agama Kristen kepada anak-anak negeri jajahannya atau motif untuk mengubah agama yang dipeluk penduduk.22 Karena dengan cara mengkristenkan penduduk merupakan jalan untuk mengekalkan penjajahannya, adanya kesamaan keyakinan beragama antara si penjajah dengan yang terjajah maka semangat untuk memberontak akan padam dengan sendirinya. Gerakan kristenisasi di Indonesia sudah dilakukan oleh misionaris kristen sejak zaman penjajahan Belanda. Oleh karena itu, sejarah kristenisasi tidak bisa dipisahkan dari misi penjajahan, karena salah satu misi penjajahan Belanda di Indonesia adalah menyebarkan agama Kristen. VOC sebagai 20
Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998), hal 29 21 Musthafa Kamal Pasha dan Chusnan Jusuf, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam, (Yogyakarta: Persatuan, 1989), hal 20 22 Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam, (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2005), hal 103
51
perkumpulan perdagangan Belanda yang bertujuan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya ini pada tahun 1602 diwajibkan untuk menyebarkan agama Kristen, VOC tidak memakai cara lain selain meniru Portugis dan Spanyol, yaitu dengan cara paksa. Hadirnya pemerintah Belanda pada abad ke-17 tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap tatanan kehidupan masyarakat Indonesia, karena pada waktu itu pemerintah Belanda belum ikut campur tangan dalam segala urusan agama Islam. Tidak ikut campurnya Belanda pada waktu itu karena belum memiliki pengetahuan yang jelas tentang Islam, selain itu juga mereka belum mengetahui tentang sistem Sosial agama Islam. Namun ketidak ikut campuran perintah Belanda terhadap urusan Islam tidak berlangsung lama, karena pada tahun-tahun berikutnya Belanda mulai membuat kebijaksanaan-kebijaksanaan baru. Pemerintah Belanda membuat kebijakan terhadap masyarakat Indonesia yang beragama Islam untuk bebas dalam menjalankan ajaran agamanya. Kebijakan pemerintah Belanda menyatakan netral terhadap urusan agama, hal tersebut bisa dilihat dengan tercantumnya undang-undang Belanda untuk negeri jajahan, yaitu pada RR (Regeering Regliment) no. 78 ayat 117 tahun 1855, yaitu mengakui kemerdekaan beragama dan menyatakan netral dalam masalah agama, kecuali apabila aktivitas agama tersebut dinilai mengganggu ketertiban keamanan.23 Maksud dari netral adalah tidak memihak dan tidak ikut campur tangan terhadap segala sesuatu yang menyangkut urusan agama, atau bisa juga 23
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hal 26
52
membantu dalam urusan apa saja secara seimbang tanpa mencampuri urusan intern agama tersebut. Tetapi pernyataan netral yang telah ditetapkan oleh kolonial Belanda terhadap urusan agama berbeda antara teori dan praktiknya. Pada kenyataanya kebijakan pemerintah Belanda terhadap Islam lebih tepat dikatakan selalu ikut campur tangan daripada netral. Selain selalu ikut campur tangan dalam urusan agama Islam, pernyataan netral tersebut juga tidak terealisasikan dalam memperlakukan agama Islam jika dibandingkan dengan agama Kristen. Dan pada kenyataannya sering terjadi diskriminasi dalam kebijakan yang berhubungan dengan agama. Perlakuan Pemerintah Belanda kepada Islam berbeda jika dibandingkan perlakuan mereka terhadap Kristen, diskriminatif mereka lakukan sangat terlihat sekali dalam segala bidang. Misalnya dalam memberikan bantuan yang berupa sumbangan dana yang diberikannya sangat tidak seimbang kepada kedua agama tersebut. Seperti yang terjadi pada tahun 1917, sumbangan pemerintah Belanda kepada Islam berjumlah sebesar f. 127.029;, sedangkan sumbangan yang diberikan kepada pihak Kristen pada tahun yang sama yaitu berjumlah f. 1.235.500; dapat dilihat bahwa sumbangan yang dikeluarkan oleh pihak Pemerintah kolonial jumlahnya tidak sama dan jauh berbeda. Islam tidak menerima bantuan dana dari pemerintah Belanda seperti agama Kristen. Pemerintah Belanda melakukan diskriminasif tersebut karena faktor kepentingan politik. Hal itu telah membuktikan bahwa Belanda tidaklah bersikap netral terhadap agama.24
24
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hal 32
53
Campur tangan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial dalam membantu Kristen yang demikin mencolok itu menimbulkan kesan bahwa urusan gereja merupakan tanggung jawab negara. Bantuan-bantuan yang berupa dana kepada Kristen tersebut belum termasuk dana bantuan bagi pemelihara gereja, sekolah dan
rumah sakit yang juga tidak sedikit
jumlahnya. Karena atas hal itulah timbul suara dari pihak Islam, agar pemerintah Hindia-Belanda menghentikan semua bantuannya kepada sekolahsekolah agama, baik Islam maupun Kristen.25 Pihak Belanda mendukung kegiatan Kristenisasi di indonesia yang bertujuan untuk menukar agama masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk Islam, menjadi penganut agam Kristen. Kristenisasi yang dijalankan oleh Zending didukung oleh pemerintah Belanda dengan memberikan subsidi berupa dana dalam setiap bentuk pembangunan gereja, rumah sakit, dan sekolah-sekolah.
Pembangunan-pembangunan
tersebut
untuk
menarik
perhatian umat Islam agar terpengaruh untuk pindah ke agama Kristen. Usahausaha kristenisasi itu bukan saja mendapat dukungan orang-orang Belanda yang ada di Indonesia, tetapi juga mendapat dukungann orang-orang Belanda yang ada di Negaranya. Sebagai bangsa Kristen, Belanda berkewajiban untuk meningkatkan kondisi kehidupan orang-orang Kristen pribumi, untuk memberi bantuan lebih banyak lagi kepada kegiatan-kegiatan misi Kristenisasi di Indonesia. Gubernur Jenderal Idenburg yang menjabat dari tahun 1906 hingga 1916, terang-
25
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hal 37
54
terangan menyatakannya dukungannya terhadap kegiatan misi di Indonesia. Dan kebijakan netralis terhadap agama yang seperti dikatakan oleh pemerintah Belanda nyatanya hanyalah ilusi belaka.26 Semenjak Idenburg diangkat menjadi Gubernur Jendral Hindia-Belanda, dia dianggap melancarkan kersteningspolitiek, yaitu kebijaksanaan yang menunjang kristenisasi di Indonesia. Pada awalnya, dalam menghadapi Islam di Indonesia, pemerintah Belanda belum mempunyai kebijaksanaan yang jelas mengenai urusan yang berhubungan dengan Islam. Kebijaksanaan untuk tidak mencampuri urusan agama Islam tersebut, pada kenyataannya tidak memiliki garis kerja yang jelas. Dalam masalah haji misalnya, pemerintah kolonial tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut campur tangan, malahan para haji sering dicurigai, dianggap fanatik dan suka memberontak. Oleh karena itu pada tahun 18251859 dikeluarkan berbagai peraturan tentang masalah haji yang bertujuan untuk membatasi jumlah yang akan pergi berhaji dan mempersulit ibadah haji ke Makkah.27 Ikut campurnya Belanda dalam urusan intern masyarakat Indonesia menimbulkan perlawanan dari masyarkat pribumi, terlebih dilakukan oleh masyarakat Islamnya. Masyarakat Indonesia menolak masuknya pengaruh Belanda ke Indonesia, karena itu akan mengubah tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang dijalankan berdasarkan aturan Islam. Perlawanan
26
Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap penetrasi Misi Kristenisasi di Indonesia, (Bandung: Penerbit Mizan, 1998), hal 44 27 Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap penetrasi Misi Kristenisasi di Indonesia, hal 10
55
yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia kepada Belanda dilakukan dari berbagai macam golongan masyarakat, baik dari golongan masyarakat bangsawan dan birokrat pemerintahan, para ulama, masyarakat petani, dan lain-lain. yang mana semua golongan masyarakat itu mempunyai tujuan yang sama yaitu membela dan mempertahankan sistem pemerintahan Islam dan menolak masuknya pengaruh Barat. Pada tahun 1859, Gubernur Jendral dibenarkan untuk mencampuri urusan agama Islam, bahkan harus mengawasi setiap gerak-gerik ulama, karena dianggap perlu untuk kepentingan ketertiban dan keamanan.28 Dalam menghadapi Islam Belanda merasa takut karena pada kenyataanya Islam seringkali melakukan perlawanan terhadap Belanda yang dapat menimbulkan bahaya terhadap kekuasaan pemerintah Belanda di Indonesia. Islam dilihat memiliki fungsi sebagai titik pusat identitas yang melambangkan perlawanan terhadap pemerintah asing dan beragama Kristen, yang ingin menguasai Indonesia. Pemerintah Kristen tersebut adalah orang kafir yang harus dilawan, karena berusaha untuk mengambil alih wilayah kekuasaan yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Pemerintah Hindia-Belanda menjalankan sebuah politik, politik yang dijalankan oleh pemerintah Hindia-Belanda terhadap masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam sebenarnya didasarkan atas rasa ketakutan, rasa panggilan agamanya yaitu Kristen dan rasa kolonialismenya sehingga
28
Keputusan Raja tanggal 4 Februari 1859 no. 78, yang berbunyi: “Gubernur Jendral memegang prinsip bahwa pemerintah tidak boleh ikut campur dalam urusan agama, boleh ikut campur bila dipandang perlu untuk memelihara ketenangan dan ketertiban umum”. Baca Aqib Suminto, Ibid
56
mereka menetapkan ketentuan dan peraturan menyangkut pendidikan agama Islam. Karena hadirnya lembaga pendidikan Islam telah memberikan andil yang sangat besar bagi pengembangan ajaran Islam sehingga. Peraturan yang telah dibuat oleh kolonial menyangkut pendidikan Islam adalah sebagai berikut: 1. Pada tahun 1882 pemerintah Hindia-Belanda membentuk suatu badan khusus yang
bertugas untuk mengawasi kehidupan beragama dan
pendidikan Islam yang mereka sebut Priesterraden. Dari penasihat badan inilah pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan peraturan baru yang berisi bahwa orang-orang yang memberi pengajaran atau pengajian agama Islam harus meminta izin terlebih dahulu kepada pemerintah Belanda. 2. Tahun 1885 keluar lagi peraturan yang lebih ketat terhadap pendidikan Islam, yasitu bahwa tidak semua orang (kyai) boleh mengadakan pelajaran mengaji
kecuali
telah
mendapatkan
semacam
rekomendasi
atau
persetujuan dari pemerintah Belanda. 3. Dan pada tahun 1932 keluar lagi peraturan yang isinya berupa kewenangan untuk memberantas dan menutup madrasah atau sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah Belanda yang disebut Ordonasi Sekolah Liar (Wilde School Ordinatie).29 Pada tahun 1882 Lembaga Peradilan Agama diresmikan oleh pemerintah, sehingga dengan demikian politik tidak mencampuri masalah agama. Sejak saat itulah pemerintah Belanda semakin mencampuri agama Islam, terutama 29
Abudin Nata, ed, Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 2001), Hal 74-75.
57
pada bidang pendidikan.30 Oleh karena itu Belanda banyak mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dengan pengajaran Barat. Dalam pendidikan Barat tersebut murid-murid didik agar bersifat netral terhadap urusan agama, bahkan sampai membuat murid-murid menjadi tidak peduli terhadap agama. Hal itu dikarenakan sistem pendidikannya yang sekuler, tidak memasukkan pendidikan agama Islam didalam kurikulum. Pendidikan Barat diformulasikan sebagai faktor yang akan menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia. Dari segala permasalahan diatas jelas terlihat bahwa bagaimanapun caranya Islam harus dihadapi, karena sebagian besar pribumi beragama Islam, maka persaingan menghadapi Islam juga akan menyangkut sebagian besar penduduk Indonesia. Itulah sebabnya maka demi mengekalkan penjajahannya di Indonesia, Belanda menyadari bahwa yang harus dilakukan adalah penguasaan terhadap masalah Islam karena itu merupakan kunci pemecahan. Dalam hal ini diakui bahwa kristenisasi merupakan faktor penting dalam proses penjajahan.
C. Zending dan Kristenisasi di Surakarta Kegiatan Zending mempunyai dua tugas utama di Indonesia, yaitu dibidang pendidikan dan bidang kesehatan. Dalam kedua bidang tersebut pada awalnya dimulai dengan adanya semacam utusan dari negeri Belanda yang disebut dengan Zendeling leerar (utusan pekabaran Injil) lalu berikutnya Zendeling onderwijs (utusan pengajaran) dan pada tahap selanjutnya oleh Zendeling Diacoon (utusan mantri perawat) serta Zendeling Arts (utusann 30
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hal 29
58
dokter).31 Pemerintah Belanda memberikan layanan yang menjanjikan bagi rakyat miskin pribumi, yaitu ketika mereka memperkenalkan “Politik Etis” atau Poitik Balas Budi, mereka bekerja dalam bidang pendidikan dan layanan kesehatan. Dalam bidang pendidikan masyarakat diperkenalkan dengan pendidikan Barat yang lebih modern, dalam bidang kesehatan mereka memberikan layanan kesehatan yang lebih terjangkau biayanya bagi masyarakat miskin. Dua hal tersebut yaitu pendidikan dan kesehatan yang menjadi fokus utama pemerintah Belanda dan Zending untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat pribumi. Sejak awal, penyebaran agam Kristen ke Indonesia yaitu melalui lembaga pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah yang didukung oleh pemerintah Belanda. Sistem pendidikan pemerintah Belanda dimulai sekitar pertengahan abad ke 19. Beberapa anak-anak Indonesia yang kalangan menengah ke atas mendapat kesempatan untuk belajar di sekolah-sekolah Eropa yang sudah berdiri sejak tahun 1816. Pemerintah Belanda juga membuka sekolah
guru untuk ditempatkan di sekolah-sekolah jawa dan
sekolah STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, sekolah untuk pelatihan dokter-dokter pribumi) untuk melayani kesehatan masyarakat pribumi. Pada tahun 1879 pemerintah kolonial membuka Hofdenschoolen (sekolah para kepala) untuk mendidik anak-anak Bupati dalam bidang administrasi. Pendirian lembaga pendidikan terus berlanjut sampai dengan 31
Bahaudin, “Kebijakan Subsidi Kesehatan Kolonial di Jawa Pada Awal Abad ke-20” dalam Lembar Sejarah Vol. 8. no 2, hal 151
59
pembukaan lembaga pendidikan dasar atau yang disebut dengan sekolah kelas satu dan sekolah kelas dua.32 Dalam mendirikan sekolah-sekolah pemerintah Belanda bekerjasama dengan para missionaris dengan tujuan untuk “membelandakan” anak-anak pribumi dengan harapan agar anak-anak pribumi masuk kepada agama Kristen. Oleh karena itu meraka memberikan pelayanan pendidikan dan sosial, kolonial Belanda juga merekrut orang-orang Indonesia untuk memperoleh pendidikan Barat. Politik etis yang dianut dan dijalankan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda mengakibatkan pembukaan sekolah-sekolah menurut sistem barat di wilayah Hindia Belanda. Pembukaan sekolah-sekolah ala Barat sampai diperluas untuk segenap kalangan masyarakat. Munculnya politik asosiasi yang dilaksanakan pemerintah Hindia-Belanda, memperkenalkan pengetahuan dan kebudayaan barat di sekolah-sekolah secara luas. Politik asosiasi ini merupakan kebijakan yang menghendaki rakyat Bumi Putera dibina agar terpengaruh dengan kebudayaan Barat.33 Sekolah model Barat ini bersifat sekuler dapat mengancam batin para pemuda pribumi, karena dijauhkan dari agama dan budaya Indonesia. Sekolah model Barat hanya memberikan pelajaran umum atau pengetahuan bersifat Barat tidak ada pelajaran agama Islam. Para pelajar hanya pandai dalam ilmuilmu keduniawian tanpa mempunyai pedoman hidup yang kuat. Pendidikan Barat menghasilkan lulusan-lulusan yang berintelek tinggi namun lemah imannya, karena tidak faham agama. Pendidikan Belanda hanya memberikan 32
Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke 20, Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, (Jakarta: LPJM UIN Jakarta press, 2009), hal 86. 33 Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Depdikbud), hal 7
60
pendidikan umum dan buku-buku yang diberikan berasal dari Belanda. Sekolah hanya untuk mendidik rakyat saja, bukan untuk mempertinggi taraf penghidupan rakyat.34 Bentuk pendidikan ala Barat sebagai realitas dari Politik Etis juga dirasakan di Surakarta. Kasunanan Surakarta termasuk bagian dari wilayah jajahan Belanda. Dalam bidang pendidikan pemerintah Belanda ikut campur tangan yaitu dengan menetapkan sistem konkoordinasi.35 Yang nantinya dalam campur tangan ini pemerintah Belanda banyak mendirikan sekolahsekolah yang didalamnya mengajarkan agama Kristen untuk anak-anak pribumi. Pada kenyataanya daerah Vorstenlanden ini menjadi wilayah kekuasaan kolonial dan berada dibawah pengawasan pemerintah koloial Belanda. Termasuk pada bidang pendidikan yang tidak luput dari campur tangan pemerintah Belanda. Terjadi perkembangan pada sekolah dengan sistem pendidikan Barat. Sekolah-sekolah Neutral berbahasa Belanda yang diperuntukkan golongan Bumi putera di Surakarta memiliki mutu yang baik. Sekolah-sekolah ini yaitu: HIS Jongenshool di Mangkubumen, HIS Meisjessschool di Slompretan dan Schakelschool (sekolah peralihan) di Penumping. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh missionaris atau sekolah Katolik yang berada di Surakarta antara lain adalah: sekkolah MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) 1 buah, sekolah ELS (1 buah), HIS (2 buah), dan Meisjesschool (2 buah), sekolah-
34
Djumhur dan Danasuparta, Sejarah Pendidikan, (Bandung: CV. Ilmu, 1976), hal 123 Sistem koonkordinasi adalah sistem pendidikan yang diterapkan oleh Belanda bahwa pendidikan didaerah jajahan sama dengan sistem pendidikan yang ada di Belanda, lihat Resink, G,J, Raja dan Kerajaan Yang Merdeka di Indonesia 1850-1910, (Jakarta: Djambatan, 1987), hal 4. 35
61
sekolah tersebut tersebar di Purbayan, Pasar Kliwon, Kemlayan, Jebres. Berdasar data yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan di wilayah Surakarta pada tahun 1930, terdapat bermacam-macam sekolah model Barat, yaitu: sekolah-sekolah yang didirikan oleh Zending, sekolah-sekolah yang dikelola oleh Missi, sekolah-sekolah yang dikelola oleh Muhammdiyah, dan sekolah-sekolah yang dikelola oleh Kerajaan. Dan sekolah-sekolah yang mempunyai tujuan agar masyarakat pribumi masuk kedalam agama Kristen yaitu sekolah yang dikelola oleh Zending dan Missi, berikut keterangannya: 1. Sekolah Zending Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending ini berorientasi pada pengetahuan dan dikenalkan kebudayaan Barat seperti cara berpakaian, cara makan, belajar dan lainnya. Bahasa Belanda menjadi kurikulum pelajaran yang penting, bahasa ini juga digunakan sebagai bahasa pergaulan. Untuk mendukung pogram tersebut maka siswa ataupun guruguru yang mengajar diharuskan tinggal di asrama yang telah disediakan dan sehari-harinya di haruskan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Aturan-aturan itu menyebabkan orang-orang yang belajar di sekolah Zending tersebut jauh dari budaya Jawa. Tujuan pendirian sekolah Zending sejalan dengan tujuan pemerintah Kolonial yaitu menyebarkan agama Kristen. Sehingga sekolah Zending ini banyak menerima bantuan dan kemudahan dari pemerintah Kolonial, maka dalam waktu singkat sekolah tersebut dapat berkembang dengan pesat. Pada tahun 1932 telah banyak sekali sekolah-sekolah Zending yang berada di
62
Surakarta. Terdapat 20 buah sekolah jenis ini yang telah tersebar di beberapa daerah seperti di daerah Margoyudan, Villapark (dekat Pasar Legi), Sidokare, Jebres, Kerten, Gemblengan, Danukusuman, Kawatan, Gilingan dan Manahan. Kegiatan Zending dubuka oleh perkumpulan Zending yang terdiri dari: C. Van Proodij, Van Ansel, C.J. de Zomer, G.C.E. de Man, dan Pendeta Bakker.36 2. Sekolah Missi Ada juga sekolah Missi yang dikelola pertama kali oleh Pastor Keyser dari Semarang pada tahun 1890. Pastor Keyser telah berhasil mendirikan sekolah Katolik di daerah Yogyakarta dan Klaten pada tahun 1892. Pada awalnya sekolah jenis ini bercorak Europees yang netral, yang memberikan kebebasan kepada murid-muridnya untuk mengikuti pelajaran agama Katolik atau tidak. Semula para missionaris dalam menjalankan tugasnya banyak mengalami hambatan, dikarenakan adanya dua konsepsi dalam kehidupan keagamaan di Jawa yang sudah berakar kuat, yaitu Hindu dan Islam. Maka dari itu usaha yang dilakukan yaitu dengan memberikan pengaruh atas pola kehidupan orang Jawa, usaha tersebut rasanya cukup berhasil karena dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Ajaran-ajaran para missionaris meluas hingga ke daerah Surakarta. Perkembangan yang terjadi tersebut tidak lepas dari bantuan serta fasilitas yang telah diberikan oleh pemerintah Belanda. Sehingga sekolah-sekolah Missi yang didirikan di Surakarta semakin banyak. Dan 36
Prof. Dr. Husain Haikal, dkk, Laporan Penelitian: “Pendidikan dan Perubahan Sosial Di Vorstenlanden”, (Yogyakarta: UNY, 2012), hal 42-43
63
pada tahun 1930, sekolah Missi yang berada di Surakarta jumlanya telah mencapi 17 buah yaitu: sekolah MULO, 1 sekolah ELS (Europe Lagere School), 3 buah HIS (salah satunya khusus putri, 10 buah Standartschool, 1 sekolah HSC (Hollands Chinese School) dan 1 sekolah Meisjes Vervolg School. Sekolah-sekolah tersebut berada di Margoyudan, Manahan, Gajahan dan Pasar Legi.37 Pada tahun 1910 Pendeta D. Bekker mendirikan sebuah sekolah Kristen pribumi di Surakarta, tetapi Residen Van Wijk melarang adanya pendidikan agama disekolah ini dan bagi murid non-kristen tidak diperbolehkan untuk mengikuti kegiatan agama ekstrakurikurel. Bekker berkeberatan dan membawa masalah tersebut kepada Gubernur Jendral AWF Idenberg (19061916) yang kemudian justru mengizinkan kegiatan penginjilan di Surakarta. Keberadaan para penginjil ini tentu saja menimbulkan reaksi dari kalangan umat muslim.38 Salah satu bentuk dari reaksi tesebut yaitu dengan bermunculannya sekolah-sekolah Islam. Selain banyak mendirikan lembaga-lembaga sekolah juga banyak bermunculan berbagai Rumah Sakit di Hindia Belanda. Pada awal abad ke-20 dengan adanya politik etis yang dicetuskan oleh pemerintah Belanda, membuat beberapa program perbaikan kesejahteraan masyarakat, salah satu diantaranya ialah perbaikan mutu pelayanan kesehatan. Munculnya berbagai rumah sakit di Hindia Belanda terjadi karena ada kebijakan politik etis dan subsidi kesehatan yang diberikan oleh pemerintah Belanda. Hal ini sebetulnya 37
Prof. Dr. Husain Haikal, dkk, Laporan Penelitian: “Pendidikan dan Perubahan Sosial Di Vorstenlanden”, hal 44 38 Hari Mulyadi, dkk, hal 140
64
sudah ada sejak pertengahan abad 19 namun baru berkembang pesat pada abad 20 setelah politik etis diberlakukan dan aktivis Zending mendirikan banyak Rumah Sakit sebagai perantara penyebaran agama Kisten. Rumah Sakit swasta di Jawa yang memberikan pelayanan kesehatan sebagian besar dilakukan oleh Zending. Munculnya para pekabar Injil di Hindia Belanda pada awalnya hanya untuk memberikan pelayanan kepada orang-orang Belanda sendiri. Namun lambat laut dengan adanya semangat keagamaan mereka yang tinggi kemudian muncullah keinginan dari para penginjil tersebut untuk menyebarkan agama Kristen kepada penduduk pribumi. Kegiatan zendeling atau penyebaran agama Kristen di HindiaBelanda ini sudah berlangsung sejak abad ke-17.39 Pemerintah Belanda memberikan kebijakan kepada rumah sakit dan lembaga kesehatan yang ada di Hindia-Belanda yaitu dengan memberikan subsidi kesehatan. Kebijakan tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan bagi perbaikan layanan kesehatan. Secara umum subsidi kesehatan yang diberikan oleh pemerintah Belanda berupa dana uang kas, obat-obatan yang cukup baik kualitasnya, peralatan rumah sakit, gaji dokter yang dibesarkan jumlahnya dan gaji para medis dinaikkan ketika bekerja di rumah sakit milik swasta. Dijelaskan dalam Staatsblad van Nederlandsch-Indie No. 276 tahun 1906 bahwa rumah sakit swasta yang berhak menerima subsidi kesehatan adalah rumah sakit swasta pribumi dan rumah sakit swasta pembantu.40 Peraturan pemerintah mengenai subsidi kesehatan itu juga sebagai 39
Bahaudin, “Kebijakan Subsidi Kesehatan Kolonial di Jawa Pada Awal Abad ke-20” dalam Lembar Sejarah Vol. 8. no 2, hal 151 40 Staatsblad van Nederlandsch-Indie No. 276 tahun 1906, koleksi ANRI Jakarta
65
pemicu munculnya lembaga-lembaga kesehatan yang dikelola oleh Zending atau pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda sangat mendukung adanya pelayanan kesahatan yang dilakukan oleh Zending karena mempunyai misi yang sama. Oleh karena itu pemerintah Belanda mendukung penuh dengan memberikan bantuan dana, obat-obatan, bangunan, dokter dan lain-lain yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan. Rumah Sakit Zending Jebres Surakarta merupakana salah satu Rumah Sakit Zending yang banyak diberikan dana berlimpah tersebut. Rumah sakit yang dikelola oleh Zending mempunyai tujuan utama sebagai tempat penyebaran agama, tetapi rumah sakit yang dikelola oleh Zending juga terkenal mempunyai kebijakan dalam penanganan pasien yang tidak mampu membayar, artinya pasien yang dalam kategori miskin tidak diwajibkan untuk membayar perawatan di Rumah Sakit Zending atau jika harus membayar maka membayar dengan tarif yang sangat rendah.41 Di Surakarta rumah sakit yang dikelola oleh Zending yaitu Rumah Sakit Jebres Surakarta. Rumah sakit ini didirikan pada tahun 1912 oleh Gereja Gereformeerd Delft dan Gereja-gereja Zuid Holland ten Noorden, Gerejagereja itulah yang mendirikan Rumah Sakit Zending pertama di Surakarta, yaitu Rumah Sakit Zending Jebres di Surakarta.42 yaitu Geraja yang pengaruhnya
dibawah
organisasi
Zending
Gereformeerd
(organisasi
pengabarab Injil) difokuskan untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat Surakarta dan sekitarnya yang pada waktu itu dikuasai oleh 41
Sugiarti Siswadi, Rumah Sakit Bathesda: Dari Masa ke Masa, (Yogyakarta: Andi Offset, 1989), hal 86 42 http://rsmoewardi.com/profile. Diakses: 30 Oktober 2015.
66
Kasunanan dan Mangkunegaran. Rumah sakit Zending ini sejak awal didirikan telah mempunyai perhatian pelayanan kesehatan terhadap orang miskin dan terlantar. Selain untuk pelayanan kesehatan rumah sakit ini juga bertujuan untuk menyebarkan ajaran Kristen. Awal dari pendirian Rumah Sakit Zending di Surakarta yaitu ketika wilayah kerja Zending Gereformeerd (organisasi pengabaran Injil) diperluas dan para dokter utusan mulai bergerak untuk datang ke wilayah jawa tengah bagian selatan
yaitu daerah Kedu dan Surakarta pada tahun 1910-1913.
Wilayah kerja Zending Gereformeed di perluas lagi meliputi daerah Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Pada awalnya sulit untuk mendirikan rumah sakit di Surakarta dan membutuhkan waktu yang lama, karena terdapat larangan bagi para pekabar Injil untuk masuk, dan pemerintah Belanda takut bila hal tersebut dapat menimbulkan pertikaian dengan Sunan Paku Buwono X dan Sri Mangkunegoro yang beragama Islam.43 Raja Kasunanan Surakarta, yaitu Paku Buwono X melarang adanya pendirian Rumah Sakit Zending, tetapi kemudian Belanda meminta kepada Mangkunegoro untuk mendirikan rumah sakit tersebut yang kemudian mendapatkan izin, lalu Mangkunegoro VII memberikan sebidang tanah di daerah Jebres. Dan pada tahun 1912-1919 didirikanlah Rumah Sakit Zending di Surakarta yang cukup besar yang terdapat tempat tidur berjumlah 240 buah, dengan 2 dokter orang Belanda dan beberapa pembantu medis lokal seperti mantri, juru rawat, zuster. Direktur Rumah Sakit Zending pada waktu itu ialah 43
J. Wolterbeek, Babad Zending di Pulau Jawa, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1995), hal 197
67
Dr. K.P Groot tetapi kemudian ia pindah ke Rumah Sakit Zending di Yogyakarta lalu digantikan oleh Dr. D. Verhagen.44 Semejak diberlakukannya politik etis dan subsidi kesehatan yang diberikan oleh kolonial, kehidupan masyarakat Jawa, khususnya Surakarta memperoleh kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Pada akhir abad ke19 di Surakarta banyak yang mengindap penyakit yang menular yang berbahaya seperti pes45, korela46 dan lain-lain. Sehingga banyak masyarakat Surakarta yang mendatangi Rumah Sakit Zending Surakarta untuk memeriksakannya, hal ini dikarenakan di Rumah Sakit Zending Surakarta mereka mendapatkan pelayanan gratis tanpa dipungut biaya, yang tentu dapat meringankan beban ekonomi masyarakat Surakarta yang pada waktu itu masih dalam masa penjajahan Belanda. Selain medapatkan pelayanan kesehatan, Rumah Sakit Zending ini juga mempunyai Missi keagamaan, yaitu menyebarkan agama Kristen dan mempengaruhi Masyarakat agar menjadi Kristen. masyarakat Surakarta yang dirawat di Rumah Sakit Zending tersebut mendapat pencerahan tentang agama Kristen yang dilakukan oleh dokter yang mana dokter itu juga merangkap sebagai seorang pendeta. Dokter yang bertugas merawat orang sakit bertugas juga untuk memberi pencerahan tentang agama Kristen. Semakin lama masyarakat Surakarta banyak yang memeluk agama Kristen, ini juga 44
J. Wolterbeek, Babad Zending di Pulau Jawa, hal: 201 Penyakit pes adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil pes, yang ditularkan dari kutu-kutu tikus jenis (xenopsylla cheopsis) kepada manusia. lihat: Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal 677 46 Penyakit korela adalah penyakit perut, disertai dengan buang-buang air dan muntahmuntah, penyakit ini dapat menular karena disebabkan oleh basil, kuman. 45
68
disebabkan gencarnya misi pekabaran Injil yang dilakukan oleh Zending Gerefoormeerd di Surakarta yang mendapatkan perlindungan dari pemerintah kolonial Belanda. Berikut adalah tabel jumlah warga Surakarta yang beragama Kristen pada tahun 1913-1938 Tahun
Jumlah
1913
74 orang
1918
297 orang
1922
508 orang
1925
945 orang
1930
2.208 orang
1933
3.148 orang
1936
4.173 orang
1938
5.515 orang
Sumber: J. Wolterbeek, Babad Zending di Pulau Jawa, hal 217. Awalnya jumlah warga Kristen di Surakarta hanya sedikit, tetapi semakin lama jumlahnya semakin besar, hal itu dikarenakan munculnya berbagai sekolah Kristen, rumah sakit Zending yang semakin banyak merawat warga Surakarta yang sakit disana. Di daerah Surakarta diketahui bahwa daerah itu merupakan lahan yang subur dan paling baik di seluruh tanah Jawa untuk melakukan kegitan penginjilan.
BAB IV UPAYA SUSUHANAN PAKU BUWONO X DALAM MEMBENDUNG KRISTENISASI
A. Paku Buwono X dan Sarekat Islam Didalam sejarah gerakan Islam di Indonesia, Surakarta merupakan salah satu kota terpenting. Karena di Surakartalah Sarekat Islam (SI) yang dulunya bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) lahir. Gerakan ini merupakan gerakan Islam terorganisir pertama dalam sejarah Indonesia. 1 Sarekat Dagang Islam sendiri awalnya hanya sebuah perkumpulan dagang yang berdasarkan koperasi dengan tujuan memajukan perdagangan Indonesia dibawah panji-panji Islam, agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia.2 Karena semakin berkembang, SDI berubah menjadi Sarekat Islam (SI) pada tanggal 10 September 1912, dengan tujuan untuk memperluas anggota sehingga tidak hanya terbatas pada pedagang saja. Selama masa-masa awal kemunculan, SI selalu mengedepankan semangat nasionalisme Islam Jawa dan mencari dukungan dari kalangan rakyat. Akibatnya SI sering terlibat dalam gerakan protes baik terhadap pemerintah kolonial maupun pihak Keraton Surakarta.3 Terjadinya gerakan protes yang dilakukan SI kepada Keraton Surakarta karena sifat Surakarta yang mempunyai ikatan kuat terhadap tradisi kehidupan Jawa. Selain itu juga karena bertambahnya aktivitas misi Kristen. Aktivitas
1
www.muhamsmadiyah.co.id, diakses pada tanggal 4 November 2015 A.K. Pringgodigdo, sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1994), hal: 4 3 www.muhammadiyah.co.id, diakses pada tanggal 4 November 2015 2
69
70
misionaris ini menimbulkan reaksi dari kalangan masyarakat Islam, tidak terkecuali SI. Penyebab lainnya terjadinya gerakan protes karena terdesaknya dengan pengusaha-pengusaha Cina. Karena para pedagang Cina banyak mengambil keuntungan dengan menerobos kehidupan ekonomi pribumi, akibatnya rakyat pribumi merasa dirugikan. Oleh karena itu SI terpaksa keluar dari tujuan organisasi yang awalnya hanya bersifat dagang, pada akhirnya SI memasuki kegiatan politik.4 R. M Karno dalam bukunya menyebutkan bahwa faktor yang mendorong berdirinya Sarekat Islam pada awalnya bermula pada persaingan antara pedagang Cina dan pedagang batik Jawa yang berada di Laweyan, tempat berkumpulnya para pedagang batik Jawa. 5 Meningkatnya kegiatan perekonomian Cina berakibat terjadinya konflik antara Orang Jawa dan Cina. Ketegangan ini berpangkal dari persaingan antara pedagang Jawa dan pedagang Cina, semula dibidang industri batik. Yang pada waktu itu terjadi penggantian kain lokal dengan bahan impor, lalu sejak abad ke-20 mulai menggunakan bahan celupan kimia yang menggantikan bahan celupan nila. Pergantian dari dua jenis bahan tersebut dibeli dan didatangkan dengan cara impor dan distribusinya ditangani oleh para pedagang Cina. Akibatnya pedagang Cina semakin mempunyai posisi yang kuat dalam menguasai bahan baku industri batik, karena dapat mengendalikan barang-barang impor yang
4
Retna Ariyanti, Pendidikan Muhammadiyah Sebagai Strategi Pembaharuan Sosial di Surakarta 1930-1970, (Skripsi: Universitas Sebelas Maret, 2011), hal 38 5 R.M Karno, hal 172
71
sangat diperlukan bagi industri pembuatan batik.6 Orang-orang Cina pada waktu itu tidak hanya berdagang bahan batik tetapi juga mempunyai perusahaan-perusahaan pembatikan, tidak heran jika mereka dapat menjual batik dengan bahan yang murah, karena bahanbahannya dibeli langsung dari importir bangsa Eropa. Sebaliknya, harga batik yang dibeli dari orang pribumi menjadi lebih tinggi, sebab orang-orang pribumi mendapatkan bahan baku batik melalui perantara.
7
Pedagang-
pedagang Cina tersebut sudah berbuat curang terhadap pedagang Jawa karena telah menjual bahan suplainya dengan harga yang lebih murah daripada saingannya (orang Jawa), hal tersebut menimbulkan kemarahan dan kekecewaan di kalangan pedagang Jawa. Maka di bawah pimpinan pedagang besar orang Jawa diadakanlah suatu boikot terhadap perusahaan Cina yang telah melukai perasaan pedagang Jawa. Untuk melawan dominasi pedagang Cina tersebut Haji Samanhudi seorang saudagar batik dari desa Laweyan.8 mendirikan Sarekat Dagang Islam pada tanggal 16 oktober 1905, dengan tujuan awalnya untuk menghimpun para pedagang pribumi agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar Cina. Pada saat itu, pedagang-pedagang Cina tersebut telah lebih maju usahanya dan memiliki status yang lebih tinggi dari pada penduduk Hindia
6
M. Hari Mulyadi, dkk, Runtuhnya Kekuasaan “Keraton Alit”(Studi Radikalisasi Sosial “Wong Sala”dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta). Surakarta: Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan, 1999 hal 565-566 7 M. Mansyur Amin, Sarekat Islam Obor Kebangkitan Nasional 1905-1942, (Komplek IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Al-Amin Press, 1996), hal 27 8 Laweyan adalah salah satu kota terpenting karena salah satu kota yang menghasilkan kerajinan batik Indonesia, suatu industri yang pada abad ke-19 berhasil menyaingi kerajinan tekstil Eropa.
72
Belanda lainnya. Pendirian SDI ini merupakan respon terhadap kondisi sosial ekonomi yang menyengsarakan rakyat. Jadi latar belakang berdirinya Sarekat Dagang Islam adalah dikarenakan perebutan pemasaran antara orang-orang Cina dengan pedagang Jawa. Terlebih lagi sikap sombong dan demonstratif dari orang-orang Cina setelah berhasilnya Revolusi Cina pada tahun 1911, mengakibatkan terjadinya konflik yang memuncak antara keduanya.9 Haji Samanhudi sebagai saudagar batik, memiliki jiwa sosial yang besar dan hubungan dagang yang luas, merasa terpanggil untuk membantu dan menyelamatkan nasib sesama umat. Pada saat itu Sarekat Dagang Islam mendirikan toko-toko koperasi, menghimpun para pedagang batik, menolong orang-orang yang sedang mengalami kesulitan dan mendirikan masjidmasjid. 10 Dibawah pimpinan H. Samanhudi ini, Sarekat Islam berkembang semakin pesat menjadi perkumpulan yang berpengaruh hingga tersebarlah pengaruh SI di berbagai kota di Hindia Belanda dan terbentuklah cabangcabang SI diberbagai daerah. Raja Kasunanan Surakarta Paku Buwono X, ikut mengembangkan organisasi Sarekat Islam. beliau adalah sosok yang jelas mempunyai jiwa nasionalisme yang tinggi. Gerakan langkah perjuangan Sarekat Islam membuat penjajah gempar, bahkan mereka sangat khawatir jika Sarekat Islam menjadi semakin kuat, karena dapat menjatuhkan kedudukan kekuasaan mereka. Kepanikan penjajah Belanda dengan adanya sarekat Islam bukannya tidak beralasan, alasan
9
Saefullah Wiradiparja, Satu Abad Dinamika Perjuangan Sarekat Islam, (Jakarta: Dewan Pimpinan Wilayah Sarekat Islam Jawa Barat, 2005), hal 7 10 Saefullah Wiradiparja, Satu Abad Dinamika Perjuangan Sarekat Islam, hal 29
73
mendasar mengapa Belanda panik karena mereka memperkirakan kekuatan Sarekat Islam dapat mengusir keberadaan mereka. Fanatisme Islam yang menjadi semangat perjuangan dapat menambah energi yang besar untuk mencapai tujuannya, sehingga Belanda menilai negatif dengan munculnya Sarekat Islam ini. 11 Sarekat Islam memilih agama sebagai pengikat sosial yang efektif. Sebab Belanda berusaha untuk melemahkan kekuatan Islam disatu sisi, sementara disisi lain Belanda berusaha menjalankan usaha Kristensasi. Usahausaha tersebut merupakan politik pemerintah Belanda dalam bidang agama, karena Belanda memandang Islam sebagai suatu kekuatan dan momok menakutkan bagi kelanggengan kekuasaan kolonialisme mereka di Indonesia. Hal tersebutlah yang akhirnya membuat organisasi Islam yang pertama di Indonesia yaitu Sarekat Islam menjadi pergerakan bernuansa politik dengan menggunakan ideologi Islam. Munculnya gerakan politik Islam merupakan gejala bahwa kekuatan Islam dapat dibangkitkan untuk menghadapi kolonialisme Belanda sehingga menciptakan reaksi kuat untuk melenyapkannya. Gerakan ini merupakan indikator dan wujud protes masyarakat yang sudah merata di pedasaan. Hal ini membuktikan bahwa dominasi kekuasaan kolonial sudah mengganggu kesejahteraan dan ketentraman kehidupan masyarakat. Sama halnya dengan sunan Paku Buwono X yang memanfaatkan Islam sebagai kekuatan politik atau alat politik untuk menghadapi hegemoni poitik kolonial yang menekan 11
A.P.E Korver, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil, (Jakarta: Grafiti Press, 1985), hal 25
74
rakyat bawah. Munculnya gerakan politik Islam tidak lepas atas dukungan yang didapat dari seorang pemimpin yang mempunyai kharismatik, yang berasal dari elit keraton. Sebab pemimpin kharismatik mampu menjadi daya tarik untuk mencari massa dalam suatu gerakan sehingga menjadi sebuah gerakan yang besar. Dalam konteks ini seperti Paku Buwono X yang mendukung adanya gerakan Sarekat Islam. Kehidupan beragama di Surakarta yang pada waktu itu sedang di penuhi dengan gejolak-gejolak terlebih pada tahun 1909, partai Kristen berhaluan konservatif menang di Belanda.12 Salah satu tokoh partai tersebut adalah Idenbrug, yang kemudian menjadi Jendral di Hindia-Belanda. Sejak saat itu, kegiatan misionaris Kristen meningkat khususnya Protestan. Misi ini mendapatkan dukungan dari pemerintah karena mengusahakan kesejahteraan dan kemajuan ekonomi. Mereka mengajarkan agama Kristen di sekolahsekolah yang mereka bangun dan disubsidi oleh pemerintah Belanda. Atas kegiatan misionaris yang kian meningkat tersebut awalnya Sunan mengambil sikap netral, tidak melarangnya, tetapi juga tidak memberikan izin. Itu karena Sunan tidak ingin adanya pertentangan dengan pemerintah Belanda. Akan tetapi sikap Sunan ini berubah sejak adanya Sarekat Islam yang menentang pendirian sekolah Kristen di Surakarta. Atas berdirinya Sarekat Islam rupanya Sunan menyadari adanya gerakan nasionalisme yang tengah terjadi di Surakarta. Oleh sebab itu Sunan
12
Paraktiri T Simbolon, Menjadi Indonesia, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2006), hal 258
75
memanfaatkan
gerakan
nasionalisme
tersebut
dengan
baik.
Dengan
terbentuknya Sarekat Islam, pihak Belanda pun merasa takut akan adanya pemberontakan orang-orang Islam fanatik. Oleh karena itulah Belanda mengambil tindakan dengan cara Kristenisasi kepada pribumi. Kemudian, atas kegiatan para penginjil Kristen tersebut, Sunan melakukan kerjasama dengan Sarekat Islam untuk melawan mereka. Hal ini membuat pemerintah Belanda merasa cemas karena peran Sunan sebagai kepala agama Islam di Surakarta turut mendukung dan bekerjasama dengan Sarekat Islam. Keduanya melakukan perlawanan bersama terhadap kegiatan para penginjil Kristen.13 Bersama Sarekat Islam Sunan kemudian melakukan perlawanan secara simbolis terhadap aktifitas kristenisasi yang menyebarkan agamanya di Hindia Belanda, khususnya di Surakarta. Disamping itu paham Pan-Islamisme14 juga tengah berkembang diberbegai tempat. Peranan Paku Buwono X sebagai kepala agama Islam di Surakarta merupakan suatu peranan yang membuat hubungannya dengan Sarekat Islam sebagai sesuatu yang wajar. Hubungan demikian diperkuat lagi dengan perlawanan terhadap kegiatan para penginjil Kristen.15 Sebagai kepala Agama Islam Susuhanan tidak senang dengan adanya kegiatan penginjilan di kerajaannya. Di Surakarta para penginjil mendapat kesusahan untuk memperoleh tanah, bereda dengan di Yogyakarta mereka
13
George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942, (Yogyakarta: Gadjag Mada University Press, 1990), hal 50 14 Paham Islamisme adalah paham yang berusaha menyatukan seluruh umt Islam di Dunia dibawah satu kekuasaan politik dan agama yang dipimpin oleh seorang khalifah 15 George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942, hal 50
76
bersikap lebih toleran dan lebih suka membri bantuan terhadap agama Kristen. Ketika para penginjil bermaksud untuk mendirikan Rumah Sakit Susuhanan paling keras menolak untuk memberi tanah kepada para penginjil yang ingin mendirikan rumah sakit.16 Pemerintah Belanda yang pada waktu itu ingin mendirikan Rumah Sakit Zending di Surakarta tidak diizinkan oleh sunan Paku Buwono X, walaupun pada mulanya Paku Buwono hampir saja memberikan tanah untuk bangunan rumah sakit, tetapi karena pengaruh dari Sarekat Islam yang begitu kuat akhirnya Paku Buwono X melarang pendirian Rumah Sakit Zending tersebut.
Karena Susuhanan pada waktu itu memang telah mempuyai
hubungan yang dekat dengan Sarekat Islam. Paku Buwono X yang telah melarang pendirian Rumah Sakit Zending, tetapi kemudian Belanda meminta izin kepada penguasa Mangkunegaran, Sri Mangkunegoro VII untuk mendirikan rumah sakit tersebut dan
kemudian mendapatkan izin, lalu
Mangkunegaran VII bersedia memberikan sebidang tanah di daerah Jebres.17 Dengan diizinkannya kegiatan penginjilan beroperasi di Surakarta merupakan taktik Belanda menerapkan Politik Verdeel En Heers, terlebih izin penginjilan tersebut datangnya dari Gubernur Jendral langsung. Jadi orang Jawa akan dipecah lagi dari segi agama, Sinuhun mencium akal busuk dari Belanda ini, maka Paku Buwono X mencegahnya dengan menolak
16
George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942, hal 51 17 J. Wolterbeek, Babad Zending di Pulau Jawa, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1995), hal 197
77
memberikan tanah untuk mendirikan Rumah Sakit.18 Kerjasama antara Sarekat Islam dan istana Paku Buwono X telah dimulai sejak September 1912 ketika dari sebelas orang pimpinan SI Surakarta, empat orang diantaranya adalah pegawai Susuhanan. Puncaknya terjadi pada setahun kemudian pada kongres SI yang kedua pada tanggal 23 Maret 1913 yang diselengarakan di Sriwedari, Solo, taman hiburan dan pusat pertemuan yang termasuk ke dalam wilayah Susuhanan. 19 Paku Buwono X memiliki sifat yang tegas dan kuat tekadnya untuk menunjukan peranannya sebagai raja Jawa yang berideologi Islam, serta memiliki hubungan dengan Sarekat Islam. Dilihat dalam konteks tradisional, keraton memegang perananan sentral dalam kehidupan masyarakat, jadi sangat tidak mungkin jika Sarekat Islam berdiri tanpa campur tangan keraton. Salah satu bentuk dukungan Sunan kepada SI yaitu, para pejabat di keraton dianjurkan dan diperintahkan untuk terlibat dan menjadi pengurus organisasi tersebut, bahkan Sunan memerintahkan putranya yang bernama Pangeran Hangabeni untuk ikut masuk dalam kepengurusan SI. Ketika sehari sebelum diadakan kongres Pangeran Hangabeni terpilih sebagai anggota pelindung SI. Ketika tiba-tiba Pangeran Hangabeni ditawarkan sebagai salah satu anggota pelindung SI, ia secara implusif menerimanya tanpa memikirkan untuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan Susuhanan atau dengan wazir.20 Sunan Paku Buwono X sering mengadakan kunjungan-kunjungan ke
18
R.M Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinuhun Si Susuhanan Paku Buwono X 1893-1939, (Jakarta: 1990), hal 172-173 19 J. Wolterbeek, Babad Zending di Pulau Jawa, hal 66 20 J. Wolterbeek, Babad Zending di Pulau Jawa, hal. 66
78
daerah-daerah diluar wilayah kerajaan. kunjungan Sunan tersebut bertujuan untuk menggalang dukungan terhadap Sarekat Islam. Dalam setiap kunjungannya sunan selalu disertai pengiring dari Abdi Dalem dan Pejabat keraton dengan jumlah besar. Ternyata atas kunjungan Sunan tersebut dapat menarik perhatian dan simpati dari masyarakat. Hal tesebut membuat Belanda merasa khawatir, sehingga Belanda membatasi para pengiring dari pejabat dan Abdi Dalem Sunan. Pada setiap kunjungan yang dilakukan ia manfaatkan dengan baik untuk menggalang dukungan terhadap Sarekat Islam. Atas agenda Sunan yang senang berkunjung tersebut maka ia berhasil menarik simpati rakyat dan para bupati.21 Menurut para ahli sejarah yang membuat Belanda khawatir adalah karena kunjungan raja ini ternyata sangat efektif menggalang persatuan dan kesatuan serta membangun rasa nasionalisme. Oleh karenanya Surakarta kemudian dikenal sebagai kota yang turut melopori nasionalisme.22 Dukungan Sunan ini untuk mengenyahkan Belanda dari Indonesia, Sunan merangkul kaum nasionalis, karena merasa jengkel atas campur tangan Belanda dalam pemerintahannya di Surakarta. Kaum nasionalis mendekati keraton untuk mendapatkan massa, oleh karena itu untuk menarik rakyat menjadi anggota suatu gerakan, rakyat harus diyakinkan dulu bahwa ada orang dikalangan keraton yang duduk dalam pimpinan organisasi. Memang seperti itulah keadaan pada saat itu, kepercayaan masyarakat terhadap keraton memang masih sangat kuat. Kaum nasionalis dalam gerakannya untuk 21
Gunawan Sumodiningrat dan Ari Wulandari, Paku Buwono X, (Yogyakarta: Narasi, 2014), hal 83 22 http://jurnalpatrolinews.com/2015/03/11/sinuwun-paku-buwana-x-raja-yang-merakyatmotivator-pergerakan-nasional-dan-pahlawan-nasional/ , diakses pada: Selasa, 25 Desember 2015
79
melawan kekuasaan Belanda, dimulai dengan membangkitkan dan menanam jiwa nasionalis pada rakyat. Ini dapat dilakukan oleh Sarekat Islam.23 Hubungan antara Sarekat Islam dan Paku Buwono X digambarkan sebagai suatu dukungan yang sangat dekat, atas kedekatannya tersebut maka sempat tersiar sebutan “SI-nya Sunan”. Macam-macam cerita beredar mengenai Sarekat Islam dalam kaitannya dengan keraton Surakarta, dengan Paku Buwono X baik yang berasal dari laporan-laporan residen maupun bupati pesisiran. Laporan yang masuk dari para pegawai gubernamen seluruh Jawa dan Madura tentang hubungan Sarekat Islam dengan Paku Buwono X menyebabkan penduduk dibawah pemerintah Belanda mulai gelisah, sehingga membuat kerisauan para bupati. Residen Madiun beranggapan bahwa perlu diberi perhatian serius mengenai desas-desus, bahwa Paku Buwono X adalah anggota Sarekat Islam, di Surakarta sendiri orang beranggapan bahwa Sarekat Islam didirikan atas perintah Sunan Paku Buwono X. Sarekat Islam dengan latar belakang ekonomi dan agama Islam pembentukan organisasi ini sebagai reaksi atas monopoli dagang oleh orangorang Cina dan aktifitas Kristenisasi yang keduanya mendapat perlindungan dari pemerintah Kolonial Belanda. Dalam anggaran dasarnya Sarekat Islam tidak menyatakan sebagai organisasi politik melainkan bergerak dalam bidang ekonomi, sosial, pendidikan dan agama. Tetapi dalam praktiknya Sarekat Islam melakuan kegitan yang bersifat politik. Dan dalam waktu yang relatif singkat Sarekat Islam berhasil menarik anggotanya dari segala lapisan 23
M. Hari Mulyadi, dkk, Runtuhnya Kekuasaan “Keraton Alit”(Studi Radikalisasi Sosial “Wong Sala”dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta), hal 37-39
80
masyarakat dan dari segala etnis di Indonesia.24 Sarekat Islam meluas hingga pada kalangan bangsawan dan pada rakyat kebanyakan. Pada tahun 1913 anggota SI cabang Surakarta berjumlah 35.000 orang.25 Usaha yang mendasar dari lahirnya Sarekat Islam adalah untuk mencegah kehancuran ekonomi rakyat dan menumbuhkan jiwa nasionalisme sesuai dengan identitas ke-Islamannya. dan hubungan Paku Buwono X dengan Sarekat Islam, ia berperan sebagai tokoh di belakang layar, artinya Susuhanan Paku Buwono X tidak terlibat langsung seperti menjadi anggota. Namun dengan kekuasaan yang dimilikinya serta kepeduliannya terhadap keberadaan Sarekat Islam, Paku Buwono X memberikan kemudahan bagi SI untuk dapat berkembang di Surakarta seperti memberikan tempat bagi SI untuk mengadakan kongres yang bertempat di Taman Sriwedari, Solo. Peranan lain adalah Sunan mempromosikan SI pada setiap kunjungan-kunjungannya di setiap daerah di luar Solo. Sebagai raja yang yang sedang berkuasa beliau di cintai oleh rakyatnya, cara tersebut efektif untuk menggalang massa dan memperkokoh keberadaan SI pada era pergerakan nasional.
B. Mendirikan (Sekolah Islam) Madrasah Salah satu motif kedatangan bangsa Belanda di Hindia-Belanda adalah motif theokratis, yaitu penyebaran Injil. Pada awalnya sasaran dalam penyebarannya dilakukan secara langsung di gereja-gereja, melalui buku dengan menerbitkan buku-buku kristen dan lain-lain. Untuk mendapatkan 24
Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 19051942, (Jakarta: Yayasan Kebangkitan Insan Cendekia, 2008), hal 45 25 M. Hari Mulyadi, dkk, Runtuhnya Kekuasaan “Keraton Alit”(Studi Radikalisasi Sosial “Wong Sala”dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta), hal 24
81
hasil yang memuaskan usaha tersebut berkembang dengan pendirian sekolahsekolah dan rumah sakit. Pendirian sekolah dan rumah sakit tersebut yang bertujuan untuk menyebarkan agama Kristen, mendapat banyak bantuan dan kemudahan
dari
pemerintah
kolonial.26
Di
Kasunanan
Surakarta
perkembangan pendidikan tidak lepas dari peran Sunan Paku Buwono X, sejak Paku Buwono X memegang pemerintahan di kasunanan, pendidikan mulai mendapat perhatian besar. Perhatian yang besar tersebut ditunjukkan oleh Sunan dengan mengirimkan putra-putrinya serta para sentono dalem untuk bersekolah ke sekolah-sekolah Belanda.27 Sekolah-sekolah
Kristen
seperti
Neutral,
Zending
dan
Missi
mengalami perkembangan yang pesat, hal tersebut mengakibatkan munculnya reaksi negatif terhadap dominasi kultur Barat dalam bidang pendidikan pada awal abad 20. Dengan adanya sekolah-sekolah model Barat membuat para pemuda pribumi lebih memilih pengajaran Barat, karena dianggap sebagai pintu gerbang ke arah penyerapan ilmu pengetahuan dan lembaga-lembaga baru yang diperkenalkan oleh administrasi kolonial. Di Surakarta reaksi terhadap penginjilan dan munculnya sekolah-sekolah Kristen, paling keras terjadi di daerah Laweyan yaitu daerah yang banyak didiami oleh para pedagang Islam.28 Politik zending dan missi merupakan kepanjangan tangan dari 26
Prof. Dr. Husain Haikal, dkk, Laporan Penelitian: “Pendidikan dan Perubahan Sosial Di Vorstenlanden”, (Yogyakarta: UNY, 2012), hal 42 27 Prof. Dr. Husain Haikal, dkk, Laporan Penelitian: “Pendidikan dan Perubahan Sosial Di Vorstenlanden”, hal: 48 28 George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942, hal 52
82
pemerintah Hindia-Belanda. Dalam kebijakannya pemerintah Belanda lebih mengutamakan anak-anak priyayi. Sekolah Dasar Eropa sudah berdiri di kotakota Jawa sejak tahun1850-an yang diperuntukkan anak-anak pangreh praja dan aristokrat Jawa, dan bukan untuk anak-anak masyarakat umum. Kehadiran Sekolah Dasar Eropa di Surakarta menimbulkan polemik, karena adanya faktor diskriminasi. Landasan diskriminasi di Sekolah Dasar Eropa mengikuti besar kecilnya pendapatan dan status sosial orang tua murid. Pertumbuhan pendidikan yang disertai dengan diskriminasi menimbulkan polemik antara pihak pengelola (zending dan missi) dengan aristokrat, ulama maupun pujangga. Inti dari polemiknya adalah: 1. Sistem pendidikan Barat mempraktikan nilai-nilai sekularisme 2. Menciptakan diskriminasi sosial karena yang dapat belajar di sekolah tersebut adalah anak-anak pangreh praja dan aristokrat Jawa. Sementara itu anak-anak lainnya yang bukan dari kalangan tersebut, walaupun dari kalangan yang status ekonominya tinggi diabaikan oleh sistem pendidikan kolonial. 3. Di lembaga pendidikan zending dan missi tidak diajarkan pendidikan agama Islam dan kebudayaan Jawa. Hal terakhir ini yang dipandang dapat merusak kepribadian anak pangreh praja dan aristokrat Jawa.29 Bahkan tidak adanya pengajaran agama Islam dan kebudayaan Jawa dalam sistem pendidikan di Surakarta dan Yogyakarta merupakan sesuatu yang sengaja diciptakan. Menurut pemikiran aristokrat, ulama dan pujangga 29
Hermanu Joebagio, “B.R.M.G. Sayyidin Malikul Kusno: Pelopor Pendidikan Masyarakat”, (Surakarta: FKIP Universitas Sebelas Maret, Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Tahun XXVIII, No 1), hal: 96-98
83
bahwa agama Islam maupun kebudayaan merupakan sesuatu yang sengaja diciptakan. Jawa adalah pendidikan moral dan etika untuk seluruh anak pribumi. Karena agama Islam merupakan sistem keyakinan, sedangkan budaya Jawa adalah ajaran-ajaran tentang falsafah kehidupan yang diyaikini oleh masyarakat Jawa.30 Belanda yang banyak mendirikan sekolah-sekolah yang didalamnya diajarkan agama Kristen di Surakarta dan melarang diajarkannya agama Islam di sekolah-sekolah formal membuat pihak keraton khawatir. Hal itu mengakibatkan munculnya reaksi dari kasunanan Surakarta yang ingin mendirikan sekolah Islam sebagai bentuk kepedulian Sunan terhadap Islam. Dan untuk mendirikan sekolah Islam tersebut terlebih dahulu harus mengajukan izin dari pemerintah Belanda karena terdapat aturan bahwa siapa saja yang akan memberikan pengajaran agama Islam diwajibkan untuk memiliki izin tertulis dari bupati atau patih dengan mencantumkan sifat pengajaran tersebut, hal ini terdapat Staatblad van Nederlandsch-Indie. 31 Barulah setelah memperoleh izin didirikanlah sekolah berdasarkan ajaran Islam yang diberi nama Mamba’ul Ulum yang didirikan pada tahun 1905 yang bertempat di halaman Masjid Agung Surakarta. Mamba’ul ulum adalah sekolah bercirikan Islam, sekolah ini didirikan atas inisiatif Paku Buwono X dari kerajaan kasunanan Surakarta. Mamba’ul ulum adalah lembaga pendidikan Islam formal yang tertua di lingkungan Kasunanan Surakarta, semua lembaga pendidikan di surakarta
30
Hermanu Joebagio, “B.R.M.G. Sayyidin Malikul Kusno: Pelopor Pendidikan Masyarakat”, Surakarta: FKIP Universitas Sebelas Maret, Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Tahun XXVIII, No 1), hal: 96-98. 31 Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1905, No. 550, pasal 1. Koloksi ANRI Jakarta
84
pada waktu itu mengambil bentuk pesantren.32 Mamba’ul ulum mempunyai arti “sumber ilmu pengetahuan” yang merupakan harapan bagi pendirinya. Siapa yang haus akan ilmu pengetahuan maka hendaklah minum air sumber ilmu pengetahuan dalam Mamba’ul ulum.33 Pada tahap awal pembentukannya Mamba’ul ulum belum cukup mantap, belum teratur, belum mempunyai gedung sendiri dan belum banyak peralatan dan sarana sehingga banyak mengalami kesulitan dan tantangan. Berdirinya Mamba’ul Ulum di Surakarta tahun 1905 pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dari peran Sunan Paku Buwono X. Sistem pendidikan berdasarkan agama Islam yang dikenal dengan madrasah. Mamba’ul Ulum ini berdiri pada hari ahad tanggal Jumadil awal tahun alip 1835 (tahun Jawa) atau tanggal 20 Juli 1905. Pendirian sekolah Mambaul’Ulum ini adalah hasil dari pemikiran Sunan Paku Buwono X sendiri. latar belakang berdirinya Mambaul’Ulum disebabkan oleh beberapa faktor, yang salah satu faktornya yaitu untuk mengantisipasi perkembangan agama Kristen di wilyah Kasunanan. Sunan selain sebagai raja di Kasunanan Surakarta juga sebagai Panatagama yaitu pemimpin tertinggi agama, kurang senang terhadap pendirian sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending yang berada di wilayah Surakarta. Sunan bisa menerima masuknya pengaruh kebudayaan Barat ke kasunanan, tetapi tidak dengan agama yang dibawa oleh orang-orang Barat yaitu Kristen yang dibawakan Zending, Sunan kurang menyukainya. Karena
32
Kareel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, (Jakarta: LP3ES, 1986), hal
45-46 33
A. Basit Adnan, Sejarah Masjid Agung daan Gamelan Sekaten di Surakarta, (Surakarta: Yayasan Mardikintoko), hal 17
85
sunan tidak ingin rakyatnya memeluk agama lain selain agama Islam.34 Madrasah dan pelajaran agama Islam muncul pada awal abad ke-20. Madrasah adalah sebuah sekolah yang berasal dari Arab, tetapi terpengaruh dengan model sekolah Barat. Didalam Madrasah tidak hanya diberikan pelajaran agama saja, tetapi diberi pelajaran seperti berhitung, membaca, menulis, belajar bahasa daerah, bahasa Arab dan sejarah Islam yang semua materi pelajaran telah disampaikan dengan metode modern.35 Dengan adanya madrasah merupakan wujud nyata dari perubahan pendidikan Islam yang terjadi pada awal abad ke-20 dari lingkup pesantren berubah menjadi sekolah Islam. Di Kasunanan Surakarta kemajuan pendidikan Islam tidak bisa lepas dari peran Sunan Paku Buwono X. Paku Buwono X mendirikan madrasah dengan memasukkan ajaran Islam dan pemeliharaan budaya Jawa sebagai identitas, dan mendorong berdirinya organisasi sosial dan politik di Surakarta. Hal tersebut secara simblolik dapat dijadikan tempat perlawanan masyarakat muslim terhadap pemerintah kolonial Belanda. Politik simbol tersebut disebut sebagai gerakan poitik Islam, karena inti dari gerakan politik adalah mengokohkan nilai-nilai keagamaan melalui pendidikan Islam. Sunan memberikan dorongan untuk melakukan gerakan perlawanan terhadap kolonial Belanda.36 Berdirinya madrasah Mamba’ul Ulum dimaksudkan untuk menampung anak-anak abdi dalem pemutihan, suranata, khatib, ulama, perdikan, juru
34
Kuntowidjoyo, Raja, Priyai dan Kawula Surakarta 1900-1915, (Yogyakarta: Ombak, 2004), hal 38-41. 35 Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1990), hal: 79 36 Hermanu Joebagio, Merajut Nusantara: Paku Buwono X dalam Gerakan Islam dan Kebangsaan, (Surakarta: Cakrabooks, 2010), hal 75
86
kunci dan lain sebagainya.37 Berdirinya madrasah ini membuktikan bahwa raja tidak lagi bersifat netral terhadap urusan agama dan menaruh perhatian besar terhadap pendidikan agama, hal ini disebabkan hadirnya Zending. Selain itu berdirinya madrasah ini dikarenakan adanya pengaruh dari gerakan Pan Islamisme. Dan diharapkan dengan berdirinya sekolah Islam (madrasah) bernama Mamba’ul ulum ini dapat mencetak ulama-ulama yang nantinya terjun ke lapangan dan berusaha membendung upaya pihak zending.38 Pendirian madrasah Mambaul’Ulum merupakan kebijakan politik yang cukup berani, karena dalam Staatsblad van nederlandsch-Indie tahun 1893 no 125 pasal 5, dikemukakan adanya larangan adanya pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah yang diselengarakan pemerintah atau swasta. Baik di dalam maupun di luar kelas. 39 Karena atas dasar kebijakan tersebut maka muncul pemikiran-pemikiran dari para elit politik keraton (ulama dan pembesar keraton), yaitu: 1. Dengan tidak diajarkannya pelajaran Islam di Sekolah-sekolah dapat mempengaruhi akhlak anak-anak pribumi. Sebab pengajaran agama merupakan aspek penting yang diharapkan dapat membangun sikap akhlakul karimah untuk kehidupan masa depan. 37
Kuntowijoyo, Raja, Priyai dan Kawula Surakarta 1900-1915, hal 39 Pendidikan madrasah pada konteks ke-Indonesiaan pada mulanya dilaksanakan untuk menjembatani antara sistem pendidikan Islam dengan sistem pendidikan Barat yang diperkenalkan oleh Belanda. Sebelum mengadopsi sistem pendidikan Barat dengan pola yang terstruktur dan berjenjang, pendidikan Islam berjalan dengan sistem pondok pesantren salafiyah yang dilaksanakan secara terbuka dan tidak berjenjang. Namun kemudian timbullah persoalan yaitu munculnya ide formalitas pendidikan Islam sehingga didirikanlah madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan yang melaksanakan pendidikan secara berjenjang seperti Madrasah Mamba’ul ulum di Surakarta, bahkan menurut Moh. Hisyam menyebutkan bahwa gagasan pendidikan madrasah yang pertama kali muncul adalah terdapat pada madrasah Mamba’ul ulum tersebut. Lihat: http://www.academia.edu/10196208/ARTIKEL_3, diakses pada 10 november 2015 39 Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1893, No. 125, pasal 5, Koleksi ANRI Jakarta 38
87
2. Sejak dua dekade akhir abad ke-19, gerakan Zending atau pengabar injil meluas di kota-kota Vorstenlanden. Sunan Paku Buwono X yang pada waktu itu baru naik tahta pada tahun 1893 menolak adanya gerakan Zending tersebut. Pendeta Bakker yang ingin mendirikan sekolah dan rumah sakit Kristen pada tahun 1910 ditolak oleh Sunan. Namun berbeda dengan Sri Mangkunegoro, keinginan pendeta Bakker untuk mendirikan sekolah dan rumah sakit kristen ditanggap positif oleh beliau dan kemudian diizinkan. Setelah mendapat izin tersebut Bakker mendirikan sekolah Kristen di wilayah kelurahan Banjarsari, sedangkan rumah sakit di izinkan berdiri di wilayah kelurahan Jebres.40 Secara nyata sekolah ini merupkan pelopor berdirinya sekolah Islam pertama di Surakarta yang dapat membawa perubahan bagi pendidikan Islam yang
semula
dari
lingkup
pesantren
beralih
ke
madrasah
dan
perkembangannya sebagai sekolah Islam. karena pendidikan pesantren pada waktu itu hanya memberikan pelajaran agama saja, akibatnya pendidikan model itu memiliki kelemahan, karena tidak adanya pelajaran umum. Mamba’ul ulum di katakan sebagai pelopor dalam pembaharuan pendidikan karena memasukkan unsur pendidikan barat ke dalam kurikulum pendidikan Islam di Indonesia. Berdirinya sekolah Mambaul’ulum tersebut sangat berperan penting dalam mencetak kelompok Ulama di Surakarta khususnya di lingkungan Surakarta. Paku Buwono X menaruh perhatian besar terhadap pendidikan agama.
40
MT. Arifin, dkk, 2005, hal 102
88
Pimpinan sekolah dipegang oleh penghulu Tafsir Anom.41 Baru pada tahun 1914 gedung sekolah Mamba’ul Ulum ini telah selesai dibangun, yang letaknya berada di dekat Masjid Agung Surakarta. Kurikulum yang diajarkan di madrasah itu tidak hanya diberi pelajaran tentang agama Islam saja, melainkan juga diajarkan bahasa Jawa, bahasa Melayu, berhitung, ilmu kodrat, dan lainnya. Tamatan dari sekolah ini nantinya dapat menjadi guru agama. Untuk biaya sekolah anak-anak dipungut biaya sebesar F 0,50 perbulan, uang pembayaran sekolah dari anak-anak ini dipakai untuk biaya sekolah yang dibuka sore hari, sedangkan biaya sekolah pada pagi hari ditanggung oleh kas Negeri.42 Sistem yang diterapkan di Mamba’ul Ulum adalah sistem pendidikan yang berdasarkan Islam, kurikulum yang diajarkan lebih mementingkan pelajaran agama Islam dengan membekali siswanya untuk mempelajari ilmu dari sumber aslinya dengan bahasa Arab. Mata pelajaran yang pokok yaitu: membaca Al-Qur’an, tafsir, hadist muslim, fiqh, tauhid serta akhlaq. Sementara ilmu bantu meliputi bahasa Arab, ilmu mantiq, ilmu falaq, tarikh bahasa Jawa, ilmu pendidikan serta aljabar. Kurikulum dipelajari untuk membekali para murid dalam keperluan dunia akhirat dan lulusannya diharapkan dapat berdikari.43 Kurikulum yang digunakan pada sekolah ini masih mencontoh pola 41
Nama Tabsir Anom diambil dari bahasa arab yang berarti kabar gembira, orang Jawa menyebutnya “Tabsir Anom”, ada juga yang menyebutnya “Tafsir Anom”. Lihat : Ma’Mun Pusponegoro, Muhammad Soim, Kauman, Religi, Tradisi dan Seni, (Surakarta: Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman, 2007), hal 35 42 Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1989), hal 471 43 http://eprints.uns.ac.id/521/5/170101811201012185.pdf, diakses pada: Rabu, 29 Desember 2015
89
pendidikan pondok pesantren yaitu dengan mengajarkan kitab-kitab berbahasa arab. Dalam perkembangannya kemudian dimasukkan budaya Jawa sebagai muatan lokal kurikulum, kebijakan memasukkan muatan lokal budaya Jawa ini merupakan pemikiran Sunan yang ingin melindungi dan mempertahankan tradisi budaya Jawa yang masih berlaku di masyrakat, baik nilai-nilai religius, nilai-nilai yang berhubungan dalam pandangan hidup seperti yang terdapat pada serat, suluk dan primbon, maupun nilai-nilai yang berhubungan dengan kemegahan, kekuasaan dan kebesaran keraton Kasunanan Surakarta. Menurut pemikiran Paku Buwono X untuk meraih kemajuan dalam pendidikan tidak harus dengan meninggalkan tradisi dan budaya sendiri. Oleh karena itu dalam pendidikan di Madrasah Mambau’ul Ulum diajarkan pelajaran kebudayaan Jawa dan agama Islam. Hal ini merupakan usaha untuk mempertahankan tradisi dan kebudayaan Jawa yang sudah sejak lama berlangsung, dan tidak menutupi kemungkinan memanfaatkan kebudayaan Barat secara selektif untuk mengembangkan tradisi dan kebudayaan Jawa.44 Berdirinya Mamba’ul ulum ini telah menimbulkan reaksi dikalangan pegawai keraton maupun para ulama ada yang bersifat pro ada juga yang kontra. Yang mempunyai sifat pro memandang bahwa ide tersebut baik sekali dalam merelisasikan kewajiban menuntut ilmu dan sekaligus mendidik tenaga yang ahli dalam tugas keagamaan. Sedangkan yang bersikap kontra berkeberatan dengan sistem pendidikan yang memasukkan unsur pendidikan
44
Hermanu Joebagio, hal: 102
90
Barat didalamnya karena itu dipandang haram. Untuk mengatasi ketegangan itu maka diadakanlah musyawarah yang dihadiri oleh para ulama dan pejabat di lingkungan keraton. Berkat Kyai Bagus Arfah yang dapat mengorganisir masalah tersebut dan keingininan-keinginan yang beraneka ragam lalu disepakatilah Mamba’ul Ulum dengan sistem pendidikan Belanda.45 Gagasan berdirinya Mamba’ul ulum juga banyak menarik perhatian dan tanggapan dari kalangan pers Belanda. Dalam perjalanannya, madrasah Mamba’ul ulum cukup diminati oleh kalangan
masyarakat,
sehingga
untuk
jenjang
Madrasah
Ibtidaiyah
pembangunannya diperluas hingga di tujuh kabupaten, yaitu: Klaten, Boyolali, Kartosuro, Sukoharjo, Sragen, Wonogiri dan Surakarta. Kebijakan perluasan pembangunan di kabupaten-kabupaten tersebut untuk memberi kesempatan kepada anak-anak usia sekolah
agar dapat menikmati pendidikan formal
keagamaan. Dan untuk jenjang Tsanawiyah dan Aliyah letaknya tetap dipusatkan di Masjid Agung Surakarta.46 Pada awalnya yang diterima di madrasah tersebut hanyalah anak-anak abdi dalem pamethakan (golongan agama),47 namun seiring berjalannya waktu 45
Kuntowijoyo, Raja, Priyai dan Kawula Surakarta 1900-1915, (Yogyakarta: Ombak, 2004), hal 39 46 Ma’mun Pusponegro, Dkk, Kauman: Religi, Tradisi dan Seni, (Surakarta: Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman, 2007) hal 105 47 Istilah Abdi dalem Pamethakan kaum Putihan yang digunakan oleh Jawa ialah putihan yang berasal dari kata putih. Istilah ini dipakai karena pakaian mereka yang berwarna putih yang mereka kenakan sewaktu shalat. Para putihan biasanya memakai kopyah yang terbuat dari beludru hitam serupa fez, sehelai kemeja putih dan sarung putih (terutam jika mereka ikut shalat didalam Masjid). Pengertan putihan di desa-desa di sekitar Surakarta disebut “desa keputiha atau desa mutihan” yang berarti desa putih. Para penghuninya sebagian besar taat beragama dalam keraton, para santri priyai disebut Abdi dalem Pamethakan atau pegawai putih, abdi Dalem pamethakan secara harfiah berarti “abdi putih” dalam kediaman keluarga bangsawan, kata abdi (abdi, budak),
91
anak-anak kawula dalem (masyarakat umum) dapat diterima di madrasah ini. Dalam kurikulum yang diberikan oleh madrasah Mamba’ul ulum dapat ditafsirkan adanya upaya untuk memadukan antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Penambahan pelajaran umum seperti bahasa asing, berhitung dan ilmu kodrat (ilmu pengetahuan alam) menunjukkan adanya perbedaan dengan pendidikan di pondok pesantren yang lebih mengutamakan mempelajari kitab-kitab agama Islam. Madrasah Mamba’ul ulum ini dapat dikatakan sebagai bentuk transisional menuju pendidikan Islam modern.48 Segenap murid-murid Mamba’ul ulum selalu berusaha menyebarkan dan mengajarkan ilmu agama Islam yang mereka dapatkan kepada masyarakat. Alumni Mamba’ul ulum dapat meyebarkan ajaran Islam di kauman dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya kegiatan-kegiatan keagamaan seperti dibukanya pengajian-pengajian, sekolah Islam dan mengadakan acaraacara besar Islam di kauman. Kegitan pengajian yang diselengarakan alumni Mamba’ul ulum di kauman banyak dihadiri oleh jamaah baik dari dalam maupun luar daerah Surakarta. Atas berlangsungnya kegiatan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh para alumni Mamba’ul ulum tersebut menyebabkan agama Islam mengalami perkembangan yang pesat mengikuti kemajuan zaman.49 Mamba’ul ulum, sebuah madrasah yang telah mengalami kemajuan pada kata dalem berarti kediaman bangsawan feodal, sedankan kata pamethakan dibentuk dari kata pethak (putih). Untuk lebih jelasnya lihat Zaini Muchtarom, Islam di Jawa Dalam Perspektif Santri dan Abangan, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), hal 13-14. 48 Hermanu Joebagio, Kajian Sejarah Mikro Sebagai Muatan Lokal: Paku Buwono X, Meniti Kebesaran Berteraskan Wahyu, (Surakarta: UNS Press, 2005), hal 106 49 http://eprints.uns.ac.id/521/5/170101811201012185.pdf , diakses pada: Rabu, 29 Desember 2015
92
saat itu mendatangkan pelajar tidak hanya dari Solo, tetapi juga banyak pelajar dari daerah lain di Pulau Jawa yang datang, diantaranya Tegal, Semarang, Banten, Jombang dan Mojokerto. Sebagai tempat pendidikan, Mamba’ul ulum meluluskan alumni dan ilmuwan yang mumpuni dalam bidang agama Islam, dan banyak melahirkan tokoh-tokoh besar yang sebelumnya pernah belajar di sekolah ini, antara lain yaitu: Kyai Mansyur (pendiri Ponpes Al-Mansyur Klaten), Kyai Dimyati (pendiri Ponpes Teremas, Pacitan), Syeikh Ahmad AlHadi (tokoh Islam yang berasal dari Bali), Kyai Abdul Hadi Zahid (pengasuh Ponpes Langitan), Amien Rais (mantan ketua MPR), KH, Zarkasyi (pendiri Ponpes Gontor), KH. Hasan Ubaidah (pendiri dan pemimpin LDII), Miftah Farid (ketua MUI Jabar). 50 Lamanya mengeyam pendidikan di sekolah ini adalah 11 tahun, dan dibagi menjadi tiga bagian yaitu: 1. Bagian I kelas I sampai kelas 4 untuk golongan Ibtidaiyah 2. Bagian II kelas 5 sampai kelas 8 untuk golongan Wustho 3. Bagian III kelas 9 sampai kelas 11 untuk golongan Ngulya51 Lembaga pendidikan yag bercorak Islam yang terdapat Di Kasunanan Surakarta tidak hanya madrasah Mamba’ul Ulum, ada juga sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah yang ada di Surakarta, 52 sekolah Al-Islam,53
50
http://eprints.uns.ac.id/521/5/170101811201012185.pdf , diakses pada: Rabu, 29 Desember 2015. 51 Prof. Dr. Husain Haikal, dkk, Laporan Penelitian:“Pendidikan dan Perubahan Sosial Di Vorstenlanden”, hal 51 52 Muhammadiyah membentuk majelis pendidikan dan pengajaran pada tahun 1920. Adanya majelis pendidikan tersebut menyebabakan meluasnya perkembangan sekolah Muhammadiyah di berbagai daerah termasuk di Surakarta. Pada tahun 1930 tercatat terdapat 10 buah sekolah Muhammadiyah di Surakarta yan sebagian besar terdiri atas sekolah standart school. Sekolah-sekolah Muhammadiyah ini terletak di Mangkunegaran, Notokusuman, Kleco, Kampung Sewu, Kauman, Serengan dan Pasar Legi. Lihat Prof. Dr. Husain Haikal, dkk, Laporan Penelitian: “Pendidikan dan Perubahan Sosial Di Vorstenlanden”, hal 46
93
dan berdiri juga sekolah yang didirikan oleh masyarakat keturunan Arab yang ada di Surakarta, masyarakat keturunan Arab di Surakarta telah mendirikan dua lembaga pendidikan untuk anak-anak mereka. Lembaga pendidikan itu adalah Arrabitah Al-alawiyah dan Al-Irsyad Al-Islamiyah. Kedua lembaga pendidikan tersebut tidak hanya diperuntukkan untuk anak-anak keturunan etnis Arab saja tetapi terbuka juga untuk anak-anak dari etnis Jawa dan etnis lain. Tujuan lain dari pendirian madrasah Mamba’ul Ulum ini adalah untuk membentuk kader-kader ulama sebagai corong dakwah rakyat dengan ajaran Islam sebagai ajaran yang baik oleh masyarakat. Selain itu juga untuk mendidik calon pejabat agama yang ahli dan cakap dalam menjalankan tugasnya, seperti halnya tugas sebagai naib pernikahan dan ahli dalam bidang hukum-hukum agama. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka Sunan mendirikan lembaga pendidikan resmi agama Islam. terlebih pada masa Paku Buwono X agama Islam di Surakarta terus mengalami kemajuan, sehingga menuntut tersedianya sumber daya manusia yang mahir dan handal dalam bidang agama Islam. Dalam perkembangannya madrasah Mamba’ul Ulum mengalami arus kencang, pergolakan-pergolakan nasional melawan kekuasaan kolonialisme
53
Sekolah Al-Islam bertujuan untuk mempersatukan aliran-aliran dalam Islam yang tidak mengakui adanya madzhab, yang menjadikan Islam sebagai agama modern yang mampu mengikuti perkembangan zaman. Kelahiran Al-Islam bermula dari kelompok pengajian di kampung Jamsaren, Surakarta pada tahun 1926, muncul akibat ketidakpuasan terdadap sistem pendidikan kolonial yang dualistisa dan mempunyai sifat sekuler. Selai itu Al-Islam ingin menjembatanisistem pendidikan tradisonal dan modern yang telah memicu perpecahan di kalangan umat Islam. lihat: Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1915, (Jakarta: LP3ES 1982), hal 71
94
Belanda dan missi Kristenisasi di Surakarta. Madrasah Mamba’ul Ulum tetap teguh peranannya dalam melahirkan ulama-ulama yang tangguh dalam menghadapi tantangan. Mamba’ul ulum bisa disebut sebagai institusi pelindung di Surakarta, karena dapat mencetak intelektual Islam yang dipandang mampu membangun dan memperkuat ajaran dan daya tahan Islam dalam tekanan pemerintah Belanda. Maka jika disimpulkan, latar belakang berdirinya Mamba’ul ulum yaitu, 1) mengantisipasi perkembangan agama Kristen yang telah mendirikan sekolah-sekolah yang dikelola oleh zending di Sukarta, 2) karena adanya modernisasi terhadap sistem pendidikan Islam yang berpengaruh terhadap perubahan sistem pendidikan, sekolah ini merupakan pelopor berdirinya sekolah Islam pertama di Surakarta yang membawa perubahan pendidikan Islam
yang
semula
lingkup
pesantren
beralih
ke
madrasah
dan
perkembangannnya menjadi sekolah Islam, 3) karena tersadar akan sumber daya manusia yang berdasarkan nilai Islam menuntut tersedianya pejabat agama dan ulama yang mampu dan ahli dibidangnya. Di Madrasah Mamba’ul ulum ini dapat terlahir akan pejabat agama dan ulama. Pemenuhan akan pejabat keagamaan merupakan kebutuhan jangka pendek sedangkan kebutuhan jangka panjangnya adalah mencetak kader-kader ulama yang mumpuni dibidangnya.54 Demikianlah maka Mamba’ul ulum ini adalah bentuk simbol perlawanan jihad Susuhanan Paku Buwono X terhadap Belanda untuk menekan laju 54
Andi Haris Prabawa, Atika Sabardila, “Peran Abdi Dalem Ngulama Keraton Kasunanan Surakarta”, (Surakarta: Lembaga Pendidikan UMS, Jurnal Penelitian Humaniora Vol. 2 No. 1, Februari 2001), hal 4
95
pendidikan model Barat yang didalamnya diajarkan agama Kristen. Disamping itu madrasah Mamba’ul Ulum ini merupakan usaha serius elit poitik mengarungi jalan kemajuan kebangsaan dan wawasan agama Islam. untuk meningkatkan semangat belajar agama Islam dan memelihara kebudayaan Jawa oleh masyarakat berhasil dicapai.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka hasil kesimpulan yang didapat yaitu: 1. Sunan Paku Buwono X merupakan
raja Keraton Surakarta yang
memerintah pada tahun 1893 sampai 1939. Keraton Surakarta pada waktu diperintah oleh Sunan Paku Buwono X merupakan pusat kebudayaan Jawa yang telah memberi kontribusi besar terhadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Semasa Sunan Paku Buwono X bertahta, keadaan Praja Surakarta Hadiningrat sudah memasuki zaman baru. Sunan Paku Buwono X seorang raja yang banyak membawa perubahan yang bersifat progresif, banyak menciptakan kemajuan di lingkungan keraton Surakarta. Sunan PB X adalah penguasa Jawa yang mudah menerima masuknya pengaruh budaya asing sebagai salah satu unsur modernisasi di lingkungan keraton. Masuknya zaman modernisasi yang diperkenalkan oleh bangsa Eropa dimanfaatkan oleh Sunan untuk meningkatkan kesejahteraannya di sebagian tanah Jawa dengan melakukan modernisasi. Selama Susuhanan Paku Buwono X menjadi seorang raja, keadaan negara nyaris tanpa kendala,
karena
begitu
bagusnya
pemerintahan
yang
membuat
kesejahteraan. Ia banyak memberikan dana untuk kesejahteraan umum dalam hal pembangunan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Semenjak Susuhanan Paku Buwono X bertahta banyak perubahan dan mampu
96
97
menciptakan kehidupan yang lebih sejahtera bagi rakyat dan negaranya. Pada masa Paku Buwono X agama Islam juga mengalami perkembangan yang pesat. 2. Gerakan kristenisasi di Indonesia sudah dilakukan oleh misionaris kristen sejak zaman pejajahan Belanda. Oleh karena itu, sejarah kristenisasi tidak bisa dipisahkan dari misi penjajahan, karena salah satu misi penjajahan Belanda di Indonesia adalah menyebarkan agama Kristen. Kegiatan Zending mempunyai dua tugas utama di Indonesia, yaitu dibidang pendidikan dan bidang kesehatan. Pemerintah Belanda memberikan layanan yang menjanjikan bagi rakyat miskin pribumi, yaitu ketika mereka memperkenalkan “Politik Etis” atau Poitik Balas Budi, mereka bekerja dalam bidang pendidikan dan layanan kesehatan. Dalam bidang pendidikan masyarakat diperkenalkan dengan pendidikan Barat yang lebih modern, dengan didirikannya sekolah-sekolah oleh pemerintah Belanda. Dalam mendirikan sekolah-sekolah pemerintah Belanda bekerjasama dengan para missionaris dengan tujuan untuk “membelandakan” anakanak pribumi dengan harapan agar anak-anak pribumi masuk kepada agama Kristen. Bentuk pendidikan ala Barat sebagai realitas dari Politik Etis juga dirasakan di Surakarta. terdapat bermacam-macam sekolah model Barat di Surakata, yaitu: sekolah-sekolah yang didirikan oleh Zending, sekolah-sekolah yang dikelola oleh Missi, sekolah-sekolah yang dikelola oleh Muhammdiyah, dan sekolah-sekolah yang dikelola oleh Kerajaan. Dan sekolah-sekolah yang mempunyai tujuan agar masyarakat
98
pribumi masuk kedalam agama Kristen yaitu sekolah yang dikelola oleh Zending dan Missi. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh missionaris atau sekolah Katolik yang berada di Surakarta antara lain adalah: sekkolah MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) 1 buah, sekolah ELS (1 buah), HIS (2 buah), dan Meisjesschool (2 buah), sekolah-sekolah tersebut tersebar di Purbayan, Pasar Kliwon, Kemlayan, Jebres. Selain banyak mendirikan lembaga-lembaga sekolah juga banyak bermunculan berbagai Rumah Sakit. Pada awal abad ke-20 dengan adanya politik etis yang dicetuskan oleh pemerintah Belanda, membuat beberapa program perbaikan kesejahteraan masyarakat, salah satu diantaranya ialah perbaikan mutu pelayanan kesehatan. Rumah sakit yang dikelola oleh Zending mempunyai tujuan utama yaitu sebagai tempat penyebaran agama. Di Surakarta rumah sakit yang dikelola oleh Zending yaitu Rumah Sakit Jebres Surakarta. Rumah sakit Zending ini sejak awal didirikan telah mempunyai perhatian pelayanan kesehatan terhadap orang miskin dan terlantar. Selain untuk pelayanan kesehatan rumah sakit ini juga bertujuan untuk menyebarkan ajaran Kristen. Dokter yang bertugas merawat orang sakit bertugas juga untuk memberi pencerahan tentang agama Kristen. 3. Bersama Sarekat Islam Sunan melakukan perlawanan secara simbolis terhadap aktifitas kristenisasi yang menyebarkan agamanya di Hindia Belanda, khususnya di Surakarta. Peranan Paku Buwono sebagai kepala agama Islam di Surakarta merupakan suatu peranan yang membuat hubungannya dengan Sarekat Islam sebagai sesuatu yang wajar. Hubungan
99
demikian diperkuat lagi dengan perlawanan terhadap kegiatan para penginjil Kristen. Pada saat ketika pemerintah Belanda ingin mendirikan Rumah Sakit Zending di surakarta, Paku Buwono menolak karena pengaruh dari Sarekat Islam. karena Paku Buwono X dan Sarekat Islam mempunyai hubungan yang dekat pada waktu itu. Atas berdirinya Sarekat Islam rupanya Sunan menyadari adanya gerakan nasionalisme yang tengah terjadi di Surakarta. Sunan merangkul kaum nasionalis untuk melawan kekuasaan Belanda dan mengenyahkannya dari Indonesia. Paku Buwono X merasa resah dengan kegiatan-kegiatan penginjilan yang terjadi diSurakarta. Karena telah banyak mendirikan sekolah-sekolah yang didalamnya diajarkan agama Kristen dan melarang diajarkannya agama Islam. Hal itu mengakibatkan munculnya reaksi dari kasunanan Surakarta yang ingin mendirikan sekolah Islam sebagai bentuk kepedulian Sunan terhadap Islam. oleh karena itu didirikanlah Mamba’ul ulum sekolah yang bercirikan Islam. Berdirinya madrasah ini membuktikan bahwa raja tidak lagi bersifat netral terhadap urusan agama dan menaruh perhatian besar terhadap pendidikan agama Islams, hal ini disebabkan hadirnya Zending. dan Mamba’ul ulum ini adalah bentuk simbol perlawanan jihad Susuhanan Paku Buwono X terhadap Belanda untuk menekan laju pendidikan model Barat yang didalamnya diajarkan agama Kristen.
100
B. Saran-saran Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa untaian kata demi katanya tidak terlepas dari kealfaan dan kekhilafan. Jika isinya sesuai dengan pandangan pembaca maka semua itu sepenuhnya atas petunjuk Allah SWT dan jika tidak relevan dilihat dari berbagai sudut pandang maka semua itu adalah dari keterbatasan penulis sebagai manusia biasa. Untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat membantu penulis dalam peyempurnaan skripsi ini. Karena dalam tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan-kekurangan penulis menyarankan agar ada lagi yang menggali lebih dalam masalah yang terjadi di Indonesia, khusunya Surakarta. Karena masih banyak sekali kajian yang masih belum terulaskan secara menyeluruh.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik dan Suripmiharjo, Abdurrahman Ilmu Sejarah dan Historiografi arah dan Perspektif, Jakarta: Gramedia, 1958 Adnan, Basid (ed), Mutiara Hikmah: Kapita Selekta Tulisan K.H.R Muhammad Adnan, Surakarta: Yayasan Mardikintoko,1977 Amin, M. Mansyur, Sarekat Islam Obor Kebangkitan Nasional 1905-1942, Komplek IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Al-Amin Press, 1996 Adnan, A. Basit, Sejarah Masjid Agung daan Gamelan Sekaten di Surakarta, Surakarta: Yayasan Mardikintoko Depdikbud, Searah Pendidikan Daerah Jawa Barat, Jakarta: Depdikbud de Graaf, H.J, dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Peralihan Majapahit ke Mataram, Jakarta: Grafitipers, 1985 Djumhur dan Danasuparta, Sejarah Pendidikan, Bandung: CV. Ilmu, 1976 Dhuha, Syamsud, Penyebaran dan Perkembangan Islam-Katolik-Protestan di Indonesia, Surabaya: Usaha Nasional, 1987 Geertz, Cliffort, Santri Dan Abangan Di Jawa, Jakarta: Pustaka Raya, 1983 G.J, Resink, Raja dan Kerajaan Yang Merdeka di Indonesia 1850-1910, Jakarta: Djambatan, 1987 Hadisiswaya, Anom Muhammad, Pergolakan Raja Mataram, Interprebook, 2001 Haikal, Husain, dkk, Laporan Penelitian: “Pendidikan dan Perubahan Sosial Di Vorstenlanden”, Yogyakarta: UNY, 2012 Hidayat, Komaruddin, (Ed) Passing Over, Melintas Batas Agama, Jakarta: Gramedia dan Paramadina, 1998 Houben, Vincent J.H, Keraton and Kumpeni: Surakarta and Yogyakarta 18301870, Leiden: KITLV Press, t.th Joebagio, Hermanu, Kajian Sejarah Mikro Sebagai Muatan Lokal: Paku Buwono X, Meniti Kebesaran Berteraskan Wahyu, Surakarta: UNS Press, 2005 -------------------------, Merajut Nusantara: Paku Buwono X dalam Gerakan Islam dan Kebangsaan, Surakarta: Cakrabooks, 2010
101
102
Karno, R.M, Riwayat dan Falsafah Hidup ingkang Sinuhun Sri Susuhanan Pakubuwono X 1893- 1939, Jakarta: 1990 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1994 Korver, A.P.E, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil, Jakarta: Grafiti Press, 1985 Kuntowidjoyo, Raja, Priyai dan Kawula Surakarta 1900-1915, Yogyakarta: Ombak, 2004 Kusniatun, Dinamika Keraton Dalam Pengembangan Budaya Islam Dan Kebudayaan Jawa, Makalah Suplemen Seminar Nasional, “Peran Keraton Dalam Pengembangan Islam, Surakarta: UMS, 2007 Larson, George, Masa Menjelang Revolusi Keraton dan Kehidupan Poitik di Surakarta 1912-1945, Yogyakarta: Gajah Mada Uniersity Press, 1989 Lekkerkerker, C, Land en Volk Van Java, Groningen: 1983 Lukito, Ratno, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, Jakarta: INIS, 1998 Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1990 Moertono, Soemarsaid, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985 Mulyadi, Hari, dkk, Runtuhnya Kekuasaan “Keraton Alit”(Studi Radikalisasi Sosial “Wong Sala”dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta). Surakarta: Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan, 1999 Nata, Abudin, ed, Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 2001 Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1915, Jakarta: LP3ES 1982 Nurhadiatmoko, “Konflik-konflik Sosial Pri-Nopri dan Hukum Keadilan Sosial”, dalam Rustopo, Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa Di Surakarta, 1898-1998, Yogyakarta-Jakarta: Ombak-Yayasan Nabil, 2007 Nurhajarini, Dwi Ratna, dkk, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, Jakarta: Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999
103
Pasha, Musthafa Kamal dan Darban, Ahmad Adaby, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2005 Pasha, Musthafa Kamal dan Jusuf, Chusnan, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta: Persatuan, 1989 Pemberton, John, “Jawa” On The Subject Of Java, terjemahan Hartono Hadikusumo, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003 Pemda Kodia Tingkat II Surakarta, Kenangan Emas 50 Tahun Surakarta, Surakarta: Murni Grafika dan STSI, 1997 Purwadi, dkk, Sri Susuhanan Pakubuwono X Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya untuk Nusa Bangsa, Jakarta: Bangun Bangsa, 2009 Puspaningrat, S, Mengenal Sri Susuhanan Paku Buwono X, Surakarta: Cendrawasih, 1996 Pusponegoro, Ma’mum, dan Soim, Muhammad, Kauman, Religi, Tradisi dan Seni, Surakarta: Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman, 2007 Radjiman , Sejarah Mataram Kartasura Sampai Surakarta Hadiningrat, Surakarta: Krida Surakarta. 1984 Rais, Lukman Fathullah, Muhammad Nasir Pemandu Umat, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989 Rajasa, Sutan, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Karya Utama, 2002 Rambe, Safrizal, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942, Jakarta: Yayasan Kebangkitan Insan Cendekia, 2008 Ramelan, KRT. Kastoyo, Sinuhun Paku Buwono X Pejuang dari Surakarta Hadiningrat, Bandung: Jeihan Institute, 2004 Ricklefs, M.C, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005 Ricklefs, M.C, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792: Sejarah Pembagian Jawa, Yogyakarta: Matabangsa, 2002 Sayid, Babad Sala, Surakarta: Reksopustoko, 1984 S.D, Subhan, Ulama-ulama Oposan, Bandung: Pustaka Hidayah, t.th
104
Shihab, Alwi, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap penetrasi Misi Kristenisasi di Indonesia, Bandung: Penerbit Mizan, 1998 Siswadi, Sugiarti, Rumah Sakit Bathesda: Dari Masa ke Masa, Yogyakarta: Andi Offset, 1989 Simbolon, Paraktiri T, Menjadi Indonesia, Jakarta: Penerbit Kompas, 2006 Soedarmono, Surakarta Kota Kolonial, Laporan Penelitian, Surakarta: LPPM UNS, 2004 Soemardjan, Selo, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Yogyakarta: Gadjah Mada University perss, 1986 Soeratman, Darsiti, Istana Sebagai Pusat Kebudayaan Lampau dan Kini, Yogyakarta: Pidato pengukuhan Guru Besar UGM Soeratman, Darsiti, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1989 Steenbrink, Karel A, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, Jakarta: LP3ES, 1986 Subhan, Arief, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke 20, Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, Jakarta: LPJM UIN Jakarta press, 2009 Suhartono, Apanage dan Bekel, Perubahan sosial di Pedesaan Surakarta 18301920, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1991 Suminto, Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1985 Sumodiningrat, Gunawan dan Ari Wulandari, Paku Buwono X, Yogyakarta: Narasi, 2014 Sutherlend, Heather, Terbentuknya Sebuah Elit Birokrasi, Jakarta: Sinar Harapan, 1983 Tjandrasasmita, Uka, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia: Dari Abad XIII XVIII Masehi, Kudus: Menara Kudus, 2000 Utomo, Cahya Budi, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia, IKIP Semarang Press, 1995 Winarti, Sri, Sekilas Sejarah Keraton Surakarta, Surakarta: Cendrawasih, 2004 Wiradiparja, Saefullah, Satu Abad Dinamika Perjuangan Sarekat Islam, Jakarta: Dewan Pimpinan Wilayah Sarekat Islam Jawa Barat, 2005
105
Wolterbeek, J, Babad Zending di Pulau Jawa, Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 1995 Woodwark, Mark. R, Islam Jawa, Kesalehan Normatif versus Kebatinan, Yogyakarta: LKis, 2006 Yatim, Badri, Historiografi Islam, Jakarta: Logos, 1995 Muchtarom, Zaini, Islam di Jawa Dalam Perspektif Santri dan Abangan, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002 Sumber Artikel/Jurnal: Bahaudin, “Kebijakan Subsidi Kesehatan Kolonial di Jawa Pada Awal Abad ke20” dalam Lembar Sejarah Vol. 8. no 2 Haikal, Husein dkk, Laporan Penelitian:“Pendidikan dan Perubahan Sosial Di Vorstenlanden, Yogyakarta: UNY, 2012 Joebagio, Hermanu “B.R.M.G. Sayyidin Malikul Kusno: Pelopor Pendidikan Masyarakat”, Surakarta: FKIP Universitas Sebelas Maret, Cakrawala Pendidikan, Februari 2009, Tahun XXVIII, No 1 Prabawa, Andi Haris, Atika Sabardila, “Peran Abdi Dalem Ngulama Keraton Kasunanan Surakarta”, Surakarta: Lembaga Penelitian UMS, Jurnal Penelitian Humaniora Vol.2.No 1 Februari 2001 Sumber Arsip: Staatsblad van Nederlandsch-Indie No. 276 tahun 1906, koleksi ANRI Jakarta Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1905, No. 550, pasal 1. Koloksi ANRI Jakarta Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1893, No. 125, pasal 5, Koleksi ANRI Jakarta Dari Skripsi: Ariyanti, Retna, Pendidikan Muhammadiyah Sebagai Strategi Pembaharuan Sosial di Surakarta 1930-1970, Skripsi: Universitas Sebelas Maret, 2011
106
Sumber Internet: www.muhammadiyah.co.id https://plezierku.wordpress.com/2014/05/10/sosok-paku-buwono-x-raja-surakartayang-penuh- kharisma/ http://www.kerajaannusantara.com/id/surakarta-hadiningrat/sosial-budaya-agama http://rsmoewardi.com/profile http://www.academia.edu/10196208/ARTIKEL_3 http://jurnalpatrolinews.com/2015/03/11/sinuwun-paku-buwana-x-raja-yangmerakyatmotivator-pergerakan-nasional-dan-pahlawan-nasional/ http://eprints.uns.ac.id/521/5/170101811201012185.pdf
107
LAMPIRAN
108
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Peta Lokasi Keraton Surakarta Hadiningrat https://history1978.wordpress.com/2009/12/12/keraton-surakarta-hadiningrat/
Keraton Surakarta Hadiningrat Keraton Surakarta merupakan bangunan yang eksotis dizamannya. Keraton Surakarta seperti yang dilihat sekarang ini tidaklah dibangun serentak pada tahun 17441745, namun dibagun secara bertahap. Pembangunan dan restorasi secara besar-besaran terakhir dilakukan oleh Susuhanan Paku Buwono X (1893-1939). Sebagian besar keraton ini bernuansa warna putih dan biru dengan arsitektur gaya campuran Jawa-Eropa. http://www.disolo.com/keraton-kasunanan-surakarta-hadiningrat/
109
Pintu masuk ke singgasana Keraton Surakarta, foto dibuat tahun 1920 http://fotoindonesiatempodoeloe.blogspot.co.id/2012/07/solo-tempo-dulu.html
Susuhanan Paku Buwono X Raja Keraton Kasunanan Surakarta (1893-1939)
110
Susuhanan Paku Buwono X beserta isteri Kanjeng Ratu Mas, pada tanggal 15 Januari 1921 https://commons.wikimedia.org/wiki/File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Portret_va n_Pakoe_Boewono_X_Susuhunan_van_Solo_met_echtgenote_in_het_residentiehuis_te_ Semarang_TMnr_60020676.jpg
111
Paku Buwono X bersama Gubernur Jendral Idenburg http://archive.kaskus.co.id/thread/9903360/0/foto-foto-wilayah-solo-raya-saat-jamankolonial-belanda-no-sotoshop
112
Para prajurit Keraton Surakarta, pada tahun 1910 – 1930 https://commons.wikimedia.org/wiki/File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Portret_va n_een_corps_prajurits_aan_het_hof_van_de_Susuhunan_van_Solo_Soerakarta_TMnr_60 001451.jpg
113
Madrasah Mamba’ul Ulum http://www.solopos.com/2015/02/20/man-2-solo-miliki-museum-pendidikan-islam578383
Syahadah atau ijazah madrasah Mamba’ul ulum
114
Kereta jenazah untuk membawa jasad almarhum Susuhanan Paku Buwono X ke Yogyakarta disiapkan di stasiun NIS, Solo Balapan http://luk.staff.ugm.ac.id/itd/Sala/01.html
115
Suasana pemakaman Susuhanan Paku Buwono X https://commons.wikimedia.org/wiki/Category:Pakubuwono_X