perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERAN KOMITE NASIONAL INDONESIA DAERAH (KNID) SURAKARTA DALAM PERGERAKAN POLITIK DI SURAKARTA TAHUN 1945-1946
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh: Aditya Wahyu Prabowo C0506004
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET commit to user 2010
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PERSETUJUAN PERAN KOMITE NASIONAL INDONESIA DAERAH (KNID) SURAKARTA DALAM PERGERAKAN POLITIK DI SURAKARTA TAHUN 1945-1946
Disusun oleh: Aditya Wahyu Prabowo C0506004
Telah disetujui oleh Pembimbing:
Pembimbing
Drs. Tundjung W.Sutirto., M.Si. NIP. 19611225198703 1 003
Mengetahui Ketua Jurusan Ilmu Sejarah
Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum. NIP. 19540223198601 2 001
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PENGESAHAN
PERAN KOMITE NASIONAL INDONESIA DAERAH (KNID) SURAKARTA DALAM PERGERAKAN POLITIK DI SURAKARTA TAHUN 1945-1946
Disusun oleh: Aditya Wahyu Prabowo C0506004
Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada tanggal ………………………….
Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Ketua
Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum.
......................
NIP. 19540223198601 2 001 Sekretaris
M. Bagus Sekar Alam, SS., M.Si.
……………….
NIP. 19770904200501 1 001 Penguji I
Drs. Tundjung W.Sutirto, M.Si.
………………
NIP. 19611225198703 1 003 Penguji II
Tiwuk Kusuma Hastuti, SS., M.Hum. NIP. 19730613200003 2 002
Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Drs. Sudarno, M.A. NIP. 19530314198506 1 001 commit to user
iii
.......................
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN Nama : Aditya Wahyu Prabowo NIM
: C0506004
Menyatakan bahwa dengan sesungguhnya skripsi berjudul Peran Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta dalam Pergerakan Politik di Surakarta Tahun 1945-1946 adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.
Surakarta, 7 Desember 2010 Yang membuat pernyataan,
Aditya Wahyu Prabowo
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Cara memulai adalah dengan berhenti berbicara dan mulai melakukan. (Walt Disney)
Tiada doa yg lebih indah selain doa agar skripsi ini cepat selesai. (Penulis)
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
Mama dan (Alm) Papaku tercinta
Kakak-kakakku tersayang
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan ke-Hadirat Allah SWT, yang telah memberikan berbagai kemudahan dan limpahan karunia-Nya kepada penulis, hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
dengan
judul Peran Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID)
Surakarta dalam Pergerakan Politik di Surakarta Tahun 1945-1946. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang telah mendukung, baik moral, material maupun spiritual, hingga akhirnya penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan baik dan selesai sesuai yang penulis harapkan, yaitu kepada: 1. Drs. Sudarno, MA, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, juga sebagai Ketua Tim Penguji yang berkenan memberikan waktunya untuk menguji. 3. Dra. Sawitri P.P, M.Pd, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. 4. Drs. Tundjung memberikan
W.Sutirto, M.Si,
selaku
Pembimbing
skripsi, yang
banyak dorongan, masukan, dan kritik yang membangun
dalam proses penulisan skripsi ini. 5. Ibu Tiwuk Kusuma Hastuti, SS., M.Hum. selaku Penguji II yang telah berkenan memberikan waktunya untuk menguji. 6. Bapak Bagus Sekar Alam, SS., M.Si. selaku Sekretaris Penguji yang telah berkenan memberikan waktunya untuk menguji. 7. Bapak Waskito Widi, SS. selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan memberikan ilmunya kepada penulis. 8. Segenap dosen pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan commit to user bekal ilmu dan wacana pengetahuan.
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8. Segenap staf dan karyawan UPT Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Perpustakaan Daerah Surakarta, dan Perpustakaan Sonopustoko Kasunanan. 9. Ibu Darweni, Bapak Basuki dan segenap staf perpustakaan Reksopustoko Mangkunegaran yang telah memberikan ijin dan bantuan kepada penulis dalam penyediaan data-data yang diperlukan. 10. Orang Tua yang selalu memberikan kasih sayang dan semangat dengan tulus ikhlas serta doa yang tak pernah putus kepada penulis. 11. Saudara-saudaraku: Mbak Wielma, Mas Deden yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materiil. 12. Teman-temanku angkatan 2006, Bagus, Trisna, Lia, Memik, dan Ulwa yang memotivasi untuk cepat lulus. Aga, Dwi, Endras, Helmy, Adi, Endah, Embri, Dyah, Hasri, Sidik, Sunu, Jarot, Jadi, Feby, Putut, Gilang, Dhani, Candra, Edy, Ari, dan teman-teman yang lain, tetap kompak dan cepat menyelesaikan skripsi. 13. Kawan-kawan Goggle.net Slamet Riyadi, Gito, Anita, Fajar, Farid, Ernand, Andri selalu ramah dan bekerja keras. 14. Novita Wisma Saputri, yang selalu mendengar keluh kesahku. 15. Segenap pihak yang telah mendukung dan membantu terlaksananya penulisan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap akan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun, agar skripsi ini menjadi lebih baik. Wassalamualaikum Wr. Wb.
Surakarta, 7 Desember 2010
commit to user
viii
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.......................................................................... ….
i
HALAMAN PERSETUJUAN...........................................................……
ii
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN...................................................................
iv
HALAMAN MOTTO................................................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN................................................................
vi
KATA PENGANTAR................................................................................
vii
DAFTAR ISI...............................................................................................
ix
DAFTAR ISTILAH.....................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN....................................................…………….….
xiv
ABSTRAK..................................................................................................
xv
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah.................................................
1
B. Perumusan Masalah.........................................................
8
C. Tujuan Penelitian............................................................
8
D. Manfaat Penelitian..........................................................
8
E. Kajian Pustaka................................................................
9
F. Metode Penelitian ……………………………………
12
G. Sistematika Skripsi …………………………………
16
BAB II AKAR-AKAR RADIKALISME SURAKARTA SEBELUM REVOLUSI 1945 ............................................................................
18
A. Radikalisme Surakarta dalam masa Pergerakan 1908-1911 ......................................................................
18
1. Terbentuknya Organisasi Boedi Oetomo ..................
18
2. Terbentuknya Organisasi Sarekat Islam .....................
20
B. Radikalisme Surakarta pada masa Aksi
......................
1. Gerakan Radikal Komunis di Surakarta ...................... commit to user 2. Munculnya Insulinde di Surakarta ................................
ix
23 23 28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Radikalisme di Surakarta pada masa Jepang.....................
30
1. Terbentuknya Laskar-laskar Perjuangan .....................
30
2. Munculnya Hizbullah di Surakarta ..............................
34
BAB III KONDISI SOSIAL POLITIK SURAKARTA PADA MASA REVOLUSI FISIK 1945 .......................................................
38
A. Surakarta sebagai kota Oposisi ............................................ 38 B. Kelompok Oposisi di Surakarta .........................................
40
a. Persatuan Perjuangan ..................................................
40
b. Barisan Banteng ..............................................................
46
C. Keberadaan Daerah Istimewa Surakarta ..............................
48
D. Konflik Sosial Politik Masa Revolusi Fisik 1945 ..............
51
BAB IV PEMBENTUKAN KNID SURAKARTA DAN PERANNYA DALAM PERGERAKAN POLITIK DI SURAKARTA ................
59
A. Terbentuknya Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta ........................................................................... B. Peran KNID Surakarta .....................................................
59 63
1. Penyerahan Kekuasaan Jepang ke tangan KNID Surakarta ......................................................................... 63 2. KNID Surakarta sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah .............................................................
73
3. Peran KNID Surakarta dalam Gerakan Anti Swapraja .... 76 C. Hubungan antara Kekuatan Pergerakan Politik dengan KNID Surakarta ................................................................
86
BAB V PENUTUP ............................................................................................ 90 DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 94 LAMPIRAN ..................................................................................................
commit to user
x
100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN
1. Istilah
Abdi Dalem
pegawai keraton
Apanage
lungguh; bengkok; gaji
Bupati Nayaka
Bupati pertama
Butai Masse
Markas militer Jepang di Surakarta
double bestuur
pemerintahan ganda
Gakuttotai
Barisan anak-anak sekolah
kawula-gusti
pola hubungan raja-rakyat atau juga manusia-Tuhan
Kenpeitai
polisi militer Jepang
Kompleit
Kooti Jimmu Kyoku
Perubahan status tanah apanage yang dipegang para abdi dalem kepada rakyat Kekuatan sipil bentukan Jepang
manunggaling kawula lan gusti
persatuan rakyat dan raja atau persatuan manusia dan Tuhan
Multipunctie
mengambil sampel dari limpa yang diteliti
Narpawandawa
Perkumpulan Darah Dalem
oposisi
kekuatan politik dan massa yang berlawanan dengan pemerintah yang berkuasa
Panatagama
Kepala Agama Islam
patron-client
pola hubungan bapak-anak buah
Patuh
tuan
Priyayi
masih berhubungan dengan
eratin;
bangsawan Reh Kasentanan Revolusi
Dewan Pertimbangan Raja Perubahan yang cepat dan mendasar commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Romusha
buruh atau kuli yang dimobilisasi dengan paksa untuk suatu pekerjaan kasar di bawah kekuasaan militer Jepang
Seinendan
Barisan Pemuda
Sendenbu
Badan Propaganda Jepang
Volksraad
Dewan Rakyat
vorstenlanden
wilayah raja-raja
2. Singkatan
AMRI
Angkatan Muda Republik Indonesia
BKR
Badan Keamanan Rakyat
BLB
Barisan Laskar Banteng
BP KNIP
Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat
BPRI
Badan Pemberontak Republik Indonesia
BPU
Badan Pengawas dan Penyelidik Umum
BTI
Barisan Tani Indonesia
BU
Budi Utomo
GRI
Gerakan Rakyat Indonesia
IPI
Ikatan Pelajar Indonesia
IPTAS
Ikatan Prajurit Sejati
KNID
Komite Nasional Indonesia Daerah
KNIP
Komite Nasional Indonesia Pusat
KPPRI
Kantor Daerah Pemerintah Republik Indonesia
M.Ng.
Mas Ngabehi
NICA
Netherlands Indies Civil Administration commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pesindo
Pemuda Sosialis Indonesia
PETA
Pembela Tanah Air
PKS
Pakempalan Kawula Surakarta
PPKI
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
SDI
Sarekat Dagang Islam
SI
Sarekat Islam
TP
Tentara Pelajar
VOC
Vereeniging Oost-Indische Compagnie
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Undang-undang No.1 tahun 1945 Tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah ………………………………….
100
2. Arsip Penyerahan pemerintahan Kooti Jimu Kyoku Tyokan kepada KNIDS. 1945 .............................................................................................
107
3. Piagam penetapan Presiden RI kepada Pakubuwono XII pada kedudukan sebagai kepala Daerah Istimewa. 1945..................................... 108 4. Maklumat Presiden kepada Mangkunegoro VIII pada kedudukan sebagai kepala Daerah Istimewa. 1945....................................................... 109 5. Penyerahan Kekuasaan Kooti Jimu Kyoku Tyokan kepada Mangkunegaran ........................................................................................... 110 6. Peta Wilayah Surakarta tahun 1945-1946.................................................... 111 7. Selebaran dari Komite Nasional Indonesia Daerah Surakarta, 1945........... 114 8. Penetapan Pemerintah tentang keamanan di Daerah Istimewa, 1946......... 116 9. Pembentukan Badan Keamanan Rakyat, 1946........................................... 117 10. Surat dari Wakil Presiden kepada Presiden dan Menteri Pertahanan tentang kedudukan keistimewaan daerah Surakarta dan Mangkunegaran.................................................................................... 118 11. Penetapan Pemerintah RI Jogjakarta no. 16/S.D tanggal 15 Juli 1946 tentang perubahan sementara bentuk dan susunan Pemerintah di Daerah Istimewa Surakarta ...................................................................................
119
12. Susunan Panitia Anti Swapraja………………………………………......
120
13. Maklumat Menteri Dalam Negeri tentang penunjukan Gubernur Jawa Tengah R. Soerjo, sebagai wakil Pemerintahan Pusat di daerah Surakarta……..... 121 14. Maklumat Mangkunegoro VIII, 1 September 1945……………………… 122 15. Maklumat Menteri Dalam Negeri tentang Daerah Istimewa Surakarta …
123
16. Maklumat Sri Paduka Pakubuwono XII tentang Daerah Istimewa Surakarta .................................................................................................... 124 17. Pernyataan Bersama KNID Kab. Klaten dalam gerakan Anti Swapraja .... 125 18. Pernyataan KNID Kab. Kota Mangkunegaran tentang Status Pemerintahan commit to user di Surakarta ................................................................................................. 126
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Aditya Wahyu Prabowo. C0506004. 2010. Peran Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta dalam Pergerakan Politik di Surakarta tahun 19451946. Sripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu (1) Bagaimana hubungan antara Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta dengan kekuatan pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946? (2) Bagaimana peran Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta dalam pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946? Penelitian ini merupakan penelitian historis, sehingga langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi heuristik, kritik sumber baik intern maupun ekstern, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dan studi pustaka. Dari pengumpulan data, kemudian data dianalisa dan diinterpretasikan berdasarkan kronologisnya. Untuk menganalisis data, digunakan pendekatan ilmu sosial yang lain sebagai ilmu bantu ilmu sejarah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosial, dan politik. Setelah Pemerintah Pusat RI membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), secara berlanjut di daerah-daerah dibentuk juga Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID). Tujuan KNID dibentuk adalah untuk melucuti tentara Jepang dan memindahkan kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan KNID. Keberadaan KNID Surakarta mendapat dukungan dari segenap potensi perjuangan rakyat. KNID sebagai pimpinan gerakan revolusi di Surakarta harus menghadapi kekuatan Jepang yang terbagi dalam Kooti Jimmu Kyoku (kekuatan sipil), Butai Masse yang bersenjatakan lengkap, dan Kenpetai. Sejak awal pembentukannya, KNID Surakarta mampu menjalankan tugasnya dan mendapat keberhasilan secara gemilang dengan melucuti kekuasaan Jepang di Surakarta. Terjadinya krisis kekuasaan awal kemerdekaan langsung dapat dipecahkan melalui komite tersebut sebagai semacam lembaga perwakilan rakyat daerah. Awal tahun 1946, muncul gerakan revolusioner menentang adanya status daerah istimewa di Surakarta. Gerakan tersebut banyak dimotori anggota KNID Surakarta beserta organisasi pergerakan politik lainnya. Dari analisis ini dapat ditarik kesimpulan bahwa KNID Surakarta mempunyai berbagai peran dalam pergerakan politik di Surakarta tahun 19451946, yaitu merebut kekuasaan sipil dan militer pemerintah Jepang, sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah, dan juga terlibat dalam gerakan anti swapraja di Surakarta.
commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Genderang Revolusi Indonesia dibunyikan saat rakyat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan Indonesia merupakan klimaks dari proses panjang suatu perjuangan dari rangkaian pergerakan nasional hingga runtuhnya Hindia Belanda. Oleh karena itu tidak aneh apabila dianggap sebagai “jembatan emas” yang harus dipelihara maupun dipertahankan walaupun tidak sedikit dilaksanakan dengan caranya sendirisendiri. Proses awal yang lazim adalah melembagakan Negara sehari setelah proklamasi yaitu tanggal 18 Agustus 1945. Pelembagaan dari hasil tawarmenawar dengan Jepang ini diupayakan oleh PPKI yang oleh pemuda, dianggap sebagai kolabolator-kolabolator Jepang. Hasil dari sidang PPKI ini adalah menetapkan UUD 1945, memilih Soekarno sebagai Presiden dan Hatta sebagai Wakil Presiden, serta membentuk KNIP.1 Proklamasi kemerdekaan RI mempunyai pengaruh luas bagi bangsa dan Negara. Proklamasi merupakan momentum dalam sejarah Republik Indonesia. Perubahan-perubahan yang menyangkut masalah politik, pemerintahan dsb, pasti terjadi setelah merdeka, baik untuk pusat maupun daerah-daerah.
commit to user Julianto Ibrahim , 2008, Keraton Surakarta: Gerakan Anti Swapraja, Yogyakarta: Malioboro Press, hal. 68. 1
1
perpustakaan.uns.ac.id
2 digilib.uns.ac.id
Setelah proklamasi, terjadi reorganisasi dalam berbagai aspek, terutama politik pemerintahan. Berkaitan dengan hal ini, maka daerah Surakarta setelah Proklamasi langsung mendapat keputusan dari pusat. Presiden RI pada waktu itu mengeluarkan piagam berkenaan dengan kedudukan daerah Surakarta. Piagam tanggal 19 Agustus 1945 tersebut ditujukan kepada Susuhunan Paku Buwono XII dan Mangkunegara VIII yang mendapat kepercayaan dari pemerintah pusat untuk mencurahkan segala tenaga, pikiran, dan jiwa raga bagi keselamatan daerahnya yang merupakan bagian wilayah Republik Indonesia sebagai Daerah Istimewa. Kedua penguasa tradisional ini juga tetap mempunyai kedudukan otonom sebagaimana tercermin dari keputusan Presiden tersebut. Bersamaan itu pula pada 19 Agustus 1945, Pemerintah Pusat RI juga berhasil melengkapi perangkat pemerintahan dengan kabinet pertamanya dan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dibentuk. Komite ini berfungsi sebagai Parlemen sementara yang dilengkapi juga suatu Badan Pekerja (BP-KNIP). Adanya Komite Nasional ini tidak hanya terbatas di lingkungan pemerintah pusat, tapi secara berlanjut di daerah-daerah dibentuk juga Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID). Komite di daerah-daerah terbentuk dalam waktu tidak lama sesudah KNIP. Komite di daerah juga dilengkapi dengan Badan Pekerja yang menjalankan tugas sebagai pelaksana secara riil dalam pemerintahan. Tujuan KNID dibentuk adalah untuk melucuti tentara Jepang dan memindahkan kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan KNID. Berdasarkan hal tersebut pembentukan Komite Nasional diharapkan agar secepat mungkin melakukan tugasnya dalam rangka penegakan kedaulatan republik. Akan tetapi permasalahan utama dari pebentukan komite ini ialah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
3 digilib.uns.ac.id
keberadaan tentara Jepang yang memang diserahi urusan penjagaan keamanan dan status quo oleh sekutu. Tentara Jepang tersebut merupakan kekuatan tempur yang sangat kuat mengingat lengkapnya persenjataan yang dimiliki oleh mereka2. Permasalahan lainnya dalam mendirikan komite di daerah ialah masih berkuasanya para birokrasi pribumi yang sebagian besar merupakan abdi setia kekuasaan. Fenomena tersebut terjadi pula di Surakarta yaitu dengan adanya kekuasaan pribumi yang direpresentasikan oleh Raja-raja yang secara otomatis menjadi pemegang kekuasaan tertinggi di Surakarta mencoba untuk mengukuhkan kekuasaannya. Mereka telah terbiasa sebagai hamba kekuasaan apapun juga selama kekuasaan dan jabatan mereka dapat dipertahankan. Selain itu kaum birokrasi pribumi yang terbiasa dengan kesadaran politik yang tinggi menyadari bahwa proklamasi kemerdekaan tidak memiliki landasan hukum apapun juga dari sistem hukum internasional yang berlaku dan menyebabkan mereka untuk memposisikan diri kepada para pemenang Perang Dunia II. Hal ini menjadi salah satu penyebab dari meningkatnya kekerasan di daerah-daerah yang ditujukan untuk penggulingan tatanan lama pemerintahan pribumi.3 Hal ini bertentangan dengan keinginan para politisi dan pejuang di Surakarta yang menginginkan agar mobilitas politik di Surakarta bersifat secara terbuka dan oportunisme kekuasaan dari para politisi tersebut. Namun, pihak kerajaan melakukan sebuah kesalahan pada masa tersebut dengan tidak menganggap penting radikalisasi di Surakarta dan menganggap bahwa kekuasaan di Surakarta dengan sah masih berada di tangan para raja yang bekerjasama
2
George Mc Turnan Kahin, 1995, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Surakarta: UNS Press hal. 178 3 commit to userJepang dan Perlawanan di Jawa, 1944Ben Anderson, 1988, Revoloesi Pemoeda. Pendudukan 1946, Terjemahan: Jiman Rumbo, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal. 369.
perpustakaan.uns.ac.id
4 digilib.uns.ac.id
dengan tentara Jepang untuk membangun keamanan yang bersifat sementara.4 Lambannya kerajaan dalam menanggapi tuntutan dari para pejuang dan pemerintah Republik menyebabkan Surakarta sangat lambat dalam pendirian pemerintahan di bawah Republik daripada tetangganya di Yogyakarta. Walaupun pihak kerajaan telah diberi pengakuan kedaulatan kekuasaan raja oleh pemerintah RI namun pihak kerajaan terkesan sangat berhati-hati dalam menghadapi kekuasaan Jepang. Lambannya usaha pihak kerajaan di Surakarta dalam menegakkan kekuasaan republik dan perebutan senjata dari Jepang menyebabkan pemerintah pusat RI campur tangan untuk membentuk Komite Nasional di Surakarta. Pada tanggal 11 September 1945 dibentuklah KNID Surakarta yang diketuai oleh Mr. Soemodiningrat melalui sidang di Pendopo Woerjoningratan. Soemodiningrat yang merupakan ipar Susuhunan dan bekas opsir PETA ini dibantu oleh 9 orang dari elite agama, elite tradisional berpendidikan Barat dan elite politik, dengan program melucuti senjata Jepang dan memindahkan kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan KNID. Keberadaan KNID Surakarta mendapat dukungan dari segenap potensi perjuangan rakyat, seperti Badan Keamanan Rakyat (BKR), Angkatan Muda Tentara, Kelompok Delapan, Badan Pengawas dan Penyelidik Umum (BPU), Hizbullah dan Gerakan Rakyat Indonesia (GRI). KNID sebagai pimpinan gerakan revolusi di Surakarta harus menghadapi kekuatan Jepang yang terbagi dalam Kooti Jimmu Kyoku (kekuatan sipil), Butai yang bersenjatakan lengkap, dan Kenpetai. commit to user Anthony Reid, 1987, Perjuangan Rakyat, Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera. Penerjemah: Tim PSH, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal. 245. 4
perpustakaan.uns.ac.id
5 digilib.uns.ac.id
Pada tanggal 30 September 1945, Soemodiningrat beserta wakilnya Suprapto disertai Barisan Rakyat menemui H. Watanabe sebagai Kepala Koti Jimmu Kyoku Chukan di gedung Balaikota. Pada pertemuan tersebut, Soemodiningrat berhasil meyakinkan Watanabe agar bersedia menyerahkan kekuasaan sipilnya kepada KNID Surakarta. Penyerahan kekuasaan ini mengandung arti bahwa pemerintahan di Surakarta dikendalikan oleh KNID. Oleh karena itu, pada tanggal 1 Oktober 1945 dibentuk Kantor Pusat Pemerintahan Republik Indonesia (KPPRI) yang kemudian berubah menjadi Kantor Daerah Pemerintah Republik Indonesia (KDPRI) sebagai nama baru dari Koti Jimmu Kyoku. Pelaksanaan tugas sehari-hari di KDPRI diserahkan kepada Soeripto, Soetopo, dan Soemantri.5 Pembentukan KDPRI sebagai pemegang kendali pemerintahan di Surakarta telah menimbulkan perselisihan dengan pemerintah Swapraja. Pada waktu itu di Surakarta terdapat dua pemerintahan double bestuur yaitu dari pihak kraton dan pihak KNID Surakarta melalui KDPRI. Revolusi sosial dan aksi-aksi kekerasan di Surakarta yang terjadi pada masa revolusi merupakan bagian yang tidak bisa dielakkan dari kekacauan di hampir semua kehidupan masyarakat. Kekerasan seperti itu merupakan bagian dari konflik politik yang mewarnai hampir setiap waktu dalam perjalanan revolusi Indonesia. Kekerasan yang muncul merupakan bagian dari pertentangan kepentingan dari kekuatan-kekuatan politik yang semula ditandai dengan pertentangan di antara idiologi kiri kemudian bergeser antara kekuatan kiri dengan kekuatan kanan. Konflik ditandai pula dengan perebutan kekuasaan diantara 5
Panitia Pembangunan Monumen Pejuang 1945, Buku Kenang-kenangan Perjuangan Rakyat commit user Surakarta dari Zaman ke zaman (Surakarta, 1974)to hlm 21-23
perpustakaan.uns.ac.id
6 digilib.uns.ac.id
kekuatan oposisi dengan kekuatan republik atau kompetisi diantara kelompokkelompok yang sedang beroposisi.6 Pada masa awal revolusi, konflik yang berkembang merupakan bentuk perbedaan pendapat antara golongan muda yang radikal dengan golongan tua yang moderat. Konflik itu memuncak pada peristiwa Rengasdengklok yang merupakan sebuah bentuk tekanan dari golongan muda terhadap golongan tua untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.7 Konflik pun masih berlanjut ketika lembaga-lembaga negara mulai terbentuk. Isu-isu tentang kolabolator yang diperankan sebagian nasionalis tua yang dituduhkan golongan muda terutama Syahrir merupakan isu utama pada waktu itu. Syahrir menginginkan perubahan pemerintahan presidensil menjadi setengah parlementer dengan indikasi kabinet bertanggung jawab kepada parlemen. Setelah melalui sidang BP-KNIP dan disetujui Presiden Soekarno, akhirnya pada 14 Oktober 1945 kabinet Syahrir terbentuk yang kemudian dikenal dengan pemerintahan sayap kiri.8 Selama menjadi perdana menteri, Syahrir menghendaki arah revolusi ditentukan dengan cara diplomasi yang luwes dan pintar untuk menghindarkan Inggris dan Amerika memberikan dukungan penuh kepada Belanda. Visi Syahrir ini secara cepat menimbulkan kekecewaan di kalangan pemuda. Dalam beberapa minggu saja, kabinet Syahrir kehilangan dukungan pemuda. Arah serta gaya politik Syahrir bertentangan dengan psikologi dari gerakan pemuda. Kekecewaan dari para pemuda dan sebagian besar badan perjuangan kemudian dimanfaatkan oleh seorang tokoh, yaitu Tan Malaka. Sejak awal revolusi, Tan Malaka sudah
6
Julianto Ibrahim, 2004, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan, Wonogiri: Bina Citra Pustaka, hal. 154. 7 commit to user Sidik Kertapati, 1961, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Jakarta: Pembaharuan, ha. 83. 8 Julianto Ibrahim, op. cit., hal. 155.
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berambisi mengendalikan jalannya revolusi. Tokoh ini menawarkan suatu kemerdekaan yang dekat dengan hati pemuda, yaitu revolusi total dengan pengakuan kemerdekaan seratus persen. Ia kemudian berhasil membentuk organisasi bernama ”Persatuan Perjuangan” yang menggambarkan tekad perjuangan yang anti diplomasi dalam revolusi Indonesia. Dalam kongresnya yang pertama di Solo, 14-15 Januari 1946, organisasi ini menetapkan kota Surakarta sebagai pusat kegiatannya.9 Keberadaan Tan Malaka dan Persatuan Perjuangan telah menjadikan revolusi sosial berupa gerakan anti swapraja yang radikal di Surakarta sebagai bagian dari strategi untuk menggoyang pemerintahan Syahrir di Yogyakarta. Gerakan-gerakan anti swapraja ini menyebabkan kedudukan keraton menjadi sangat lemah dan sulit, sehingga status swapraja Surakarta dapat dengan mudah diruntuhkan. Penelitian dengan tema mengenai Komite Nasional Indonesia Daerah di Surakarta menjadi hal yang menarik. Pada periode tahun 1945-1946 banyak terjadi peristiwa penting antara lain adanya revolusi sosial di beberapa daerah termasuk di Surakarta pada tahun 1946 serta mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan Belanda. Terbentuknya Komite ini mendapat dukungan dari berbagai badan perjuangan rakyat sehingga setelah KNID Surakarta dibentuk, perpolitikan di Surakarta memasuki masa baru dimana mulai muncul pergerakan politik yang radikal. Selama awal kemerdekaan, KNID Surakarta harus melaksanakan tugas penting yaitu melucuti dan memindahkan kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan pemerintah Indonesia melalui Komite ini. Program yang juga menjadi tujuan commit to user 9
Ben Anderson, op. cit., hal. 298.
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lembaga ini dibentuk tidaklah mudah untuk dijalankan mengingat situasi sosial dan politik di Surakarta pada masa revolusi fisik cukup menegangkan, maka bentukbentuk eksistensi dan peran dari lembaga ini dalam pergerakan politik di Surakarta yang ditulis sebagai judul skripsi.
B.
Perumusan Masalah
Atas dasar Latar Belakang Masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimana hubungan antara Komite Nasional Indonesia (KNID) Surakarta dengan kekuatan pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946?
2.
Bagaimana peran Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta dalam pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946?
C.
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah tersebut, adapun tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut. 1. Mengetahui hubungan antara Komite Nasional Indonesia (KNID) Surakarta dengan kekuatan pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946. 2. Mengetahui peran Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta dalam pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946.
D. 1.
Memberikan
Manfaat Penelitian
pengetahuan
tentang
sejarah
Surakarta
pada
awal
commit to user kemerdekaan terutama tentang peran Komite Nasional Indonesia Daerah
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Surakarta dalam pergerakan politik di Surakarta. 2.
Dengan mengkaji Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta, maka dapat direkonstruksi Sejarah Revolusi yang terkait dengan kota Surakarta.
E.
Kajian Pustaka
Dalam buku karya Julianto Ibrahim yang berjudul Bandit & Pejuang di Simpang Bengawan, Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta dengan penerbit Bina Citra Pustaka Wonogiri, banyak menggambarkan tindak kekerasan di Surakarta yang diwarnai dengan peristiwa penggedoran, pencurian, hingga penculikan yang terjadi di Surakarta. Kekacauan di Surakarta yang menjadi wilayah anarki tidak terlepas dari peran serta badan-badan perjuangan yang menginterpretasikan makna daulat dalam khasanahnya masing-masing sehingga terjadi perubahan makna dari kedaulatan menjadi mendaulat. Sejarah Revolusi Indonesia sering kali ditulis dan hanya berisikan kisah tentang perjuangan bersenjata ataupun perjuangan diplomasi saja. Sementara gejolak yang terjadi di kalangan para pejuang atau di antara laskar dalam masa yang penuh heroik itu tak banyak diceritakan dalam buku-buku sejarah. Salah satu soal dalam revolusi Indonesia dan berlanjut pada masa berikutnya adalah keberadaan dan aktivitas para bandit, yang sebagian di antaranya pejuang dan tergabung dalam beberapa kesatuan laskar. Dalam zaman yang terkadang disebut zaman gegeran, serobotan, gedoran ataupun pendaulatan itu, para bandit justru harus berhadap-hadapan dengan bangsa sendiri atau dengan para pejuang yang pernah bersama-sama mereka di commit arena pertempuran. Sehingga berbagai tindakan to user
perpustakaan.uns.ac.id
10 digilib.uns.ac.id
kriminal pun sering kali tidak dapat dihindari oleh mereka. Membaca karya ini, dalam usaha membangun sejarah dari bawah (grassroots history), kian bermakna terutama jika kita melihat revolusi Indonesia dari sisi yang lain. Bandit yang menjadi pejuang atau pejuang yang menjadi bandit adalah bagian dari dinamika revolusi itu sendiri dan seharusnya tidak diabaikan begitu saja dalam sejarah Indonesia. Buku ini menunjukkan bahwa para bandit, orang-orang yang tersingkirkan, dan orang-orang biasa lainnya ternyata bukan hanya ikut menentukan arah dan jalannya revolusi Indonesia, mereka juga sekaligus memberi watak pada revolusi itu sendiri. Penulisan ini lebih menekankan terhadap gerakan rakyat dan pemuda dalam badan-badan perjuangan sehingga mengabaikan peran bangsawan dan kerajaan yang pada masa sebelum kemerdekaan merupakan kelompok politik terkuat. Sebuah buku yang berjudul Dasar-dasar Teori Sosial karya James S. Coleman dijelaskan bahwa dalam menyelidiki persoalan revolusi, para ilmuwan sosial memusatkan perhatian pada masyarakat tempat revolusi benar-benar terjadi dan memeriksa periode di masyarakat itu sebelum konflik. Tidak seperti biasanya, jawaban-jawaban disusun dalam hubungannya dengan kondisi-kondisi struktural stabil yang mengawali sistem-sistem sosial tertentu, bukan sistem-sistem sosial yang lain, yang akan mengalami perubahan wewenang lewat revolusi atau pemberontakan. Banyak teori revolusi memandang titik kritis dalam sebuah perjuangan revolusioner sebagai titik ketika sistem-sistem wewenang yang ada kehilangan legitimasi di mata rakyat atau segmen-segmen penting rakyat. Ben Anderson dalam karyanya, Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (1988), mengatakan bahwa konflik di commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
11 digilib.uns.ac.id
Surakarta terjadi karena adanya perpaduan antara konflik politik nasional dan konflik politik lokal yang ditandai dengan peningkatan kegiatan sosialis, komunis hingga sindikalisme di Surakarta yang berujung pada perang antar kelas. Selain itu Ben Anderson menggambarkan dengan baik situasi revolusioner yang melanda kaum pemuda. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia karya George Mc.T. Kahin juga banyak menjadi referensi dalam penulisan penelitian ini. Dalam karyanya, di Bab IV Kahin mengutarakan bagaimana dalam masa pendudukan Jepang (1942-1945), suatu kesadaran politik yang kuat berkembang dalam masyarakat, dan terutama di antara pemuda dan pelajar yang sebelumnya banyak yang bersifat apolitis. Sebelas bab berikutnya secara rinci membahas revolusi Indonesia sampai dengan saat kedaulatan Indonesia diakui pada bulan Desember 1949 dan terbentuknya Negara Kesatuan pada 17 Agustus 1950. Bab tentang Revolusi, Kahin menulis bahwa Soekarno memilih seorang Gubernur untuk masing-masing Provinsi dari kalangan penduduk setempat, dan KNIP memberi mandat kepada salah seorang anggota dari masing-masing daerah untuk membentuk KNI (Komite Nasional Indonesia) di setiap provinsi guna membantu para gubernur menjalankan pemerintahan. Terbentuklah KNI setempat secara spontan di tingkat distrik maupu kotapraja. Selama suatu periode yang lama, komite-komite setempat yang revolusioner bekerja menurut kekuatan pemerintah yang sebenarnya di daerah masing-masing. Semula daerah-daerah itu diatur menurut kehendak pemimpin setempat yang diakui, tetapi kemudian sejak akhir bulan November diatur menurut suatu pola peraturan yang seragam. Menjelang tahun 1946, keadaan dianggap memungkinkan, KNI dibentuk commit to user
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berdasarkan pemilihan setempat.
F.
Metode Penelitian
1. Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Sejarah. Metode Sejarah merupakan proses mengumpulkan, menguji dan menganalisis secara kritis rekaman-rekaman peninggalan pada masa lampau dan usaha-usaha melakukan sintesa dari data-data masa lampau menandai kajian yang dapat dipercaya. Penelitian ini adalah penelitian sejarah yang meliputi 4 tahapan10: a. Heuristik Adalah proses mencari dan mengumpulkan sumber-sumber sebagai data yang relevan dengan masalah yang diteliti. Pencarian dan pengumpulan sumber yang dilakukan yaitu sumber primer yang berupa dokumendokumen arsip baik itu arsip lokal atau surat kabar yang sejaman. Selain itu juga data-data yang diperoleh berasal dari arsip koleksi Perpustakaan Rekso Pustaka Mangkunegaran. b. Kritik Sumber, terdiri dari kritik Intern dan ekstern Kritik Intern merupakan kritik yang meliputi tulisan, kata-kata, bahasa dan analisa verbal serta tentang kalimat yang berguna sebagai validitas sumber atau untuk membuktikan bahwa sumber tersebut dapat dipercaya. Sedangkan kritik ekstern meliputi material yang digunakan guna mencapai kredibilitas sumber atau keaslian sumber tersebut. Dari hasil-hasil sumber yang berhasil dikumpulkan adalah dokumen asli bahwasanya sumbercommit to user Sartono Kartodirdjo, 1993, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: P.T Gramedia Pustaka Utama, hal. 60-62. 10
perpustakaan.uns.ac.id
13 digilib.uns.ac.id
sumber itu sebagian berbahasa Indonesia lama. Kondisi dari data yang mudah rusak karena bahan kertasnya sudah berusia sangat tua sehingga mudah rapuh dan sobek. Terkadang tulisan yang berupa tulisan tangan sebagian ada tinta yang luntur sehingga susah untuk dibaca. Memilih dan memilah sumber-sumber yang akan dijadikan data, karena tidak semua arsip yang ditemukan dapat dijadikan sebagai data. c. Interpretasi/ penafsiran Yaitu menafsirkan keterangan-keterangan yang saling berhubungan dengan fakta-fakta yang diperoleh. Setelah melakukan kritik baik itu kritik intern maupun ekstern, maka usaha yang dilakukan adalah menjelaskan apa yang telah diperoleh dari data dokumen itu dengan pemikiran dan analisa. d. Historiografi Historiografi atau penulisan sejarah, yaitu menyampaikan sumber yang diperoleh dalam bentuk kisah sejarah atau penulisan sejarah. Kemudian menceritakan apa yang telah ditafsirkan dalam penyusunan kisah sehingga menarik untuk dibaca. Penulisan dan penyusunan kisah dengan kata-kata dan gaya bahasa yang baik bertujuan supaya pembaca mudah memahami maksudnya dan tidak membosankan. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan suatu langkah yang harus digunakan dalam mengadakan sutu penelitian. Adapun teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Studi Dokumen Data dokumen yang diperoleh dalam penelitian ini adalah dokumen commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
14 digilib.uns.ac.id
berupa sumber tertulis dan sejaman. Dari dokumen terdapat fakta-fakta sejarah serta bahan yang akan ditulis. Dokumen mempunyai nilai otentik dan dapat dipercaya.11 Dokumen sebagai sumber utama dalam penelitian. Untuk memantapkan nilai suatu dokumen terhadap pengguanannya dalam ilmu sejarah, perlu diadakan langkah-langkah sebagai berikut: pengumpulan objek yang berasal dari jaman itu, pengumpulan bahan-bahan tercetak, tertulis misalnya surat kabar terbitan sejaman, dokumen tertulis, peraturan-peraturan, surat keputusan, laporan-laporan pemerintah, arsip pribadi yang belum diterbitkan, surat-surat keluarga dan catatan perjalanan. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain data berupa Arsip dan Koran, antara lain Arsip Penyerahan pemerintahan Kooti Jimu Kyoku Tyokan kepada KNIDS, Solo, Mangkunegaran: Arsip berupa berkas masalah Jepang tahun 1945; Piagam Penetapan Presiden RI, Solo, Mangkunegaran: Arsip Rekso Pustoko tahun 1946; Kutipan koran “Kedaulatan Rakyat”, 4 Juni 1946: Masalah kedudukan KNI Surakarta (Arsip Rekso Pustaka).
b. Studi Pustaka Studi pustaka dilakukan di Perpustakaan Pusat UNS, perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Reksa Pustaka Mangkunegaran, Monumen Pers, dan Perpustakaan Daerah. Dalam studi pustaka ini berhasil dihimpun buku-buku, artikel-artikel serta terbitan-terbitan lain yang secara langsung menulis tentang masalah yang sesuai dengan topik permasalahan. 11
commit to user Louis Gotschalk, 1983, Mengerti Sejarah, Jakarta: Universitas Indonesia Press, hal. 18
perpustakaan.uns.ac.id
15 digilib.uns.ac.id
3. Teknik Analisa Data Teknik analisis data sangat terkait dengan metode dan pendekatan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosial & politik sehingga dapat memisahkan proses-proses politik yang terjadi dan berkaitan dengan situasi sosial di Surakarta. Studi ini bukan hanya menggambarkan apa dan kapan peristiwa Sejarah itu terjadi, tapi juga mengidentifikasi masalah bagaimana dan faktorfaktor apa yang menyebabkan peristiwa itu terjadi. Penggunaan pendekatan sosial dimaksudkan untuk mengungkap kualitas terhadap data-data dan fakta-fakta yang ada, sebab peristiwa yang satu mempunyai keterkaitan dengan peristiwa yang lain. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Deskriptif analitis artinya menggambarkan suatu fenomena beserta ciri-cirinya yang terdapat dalam fenomena tersebut berdasarkan fakta-fakta yang tersedia. Setelah itu dari sumber bahan dokumen dan studi kepustakaan, tahap selanjutnya adalah diadakan analitis, diinterpretasikan, dan ditafsirkan isinya. Data-data yang telah diseleksi dan diuji kebenarannya itu adalah fakta-fakta yang akan diuraikan dan dihubungkan sehingga menjadi kesatuan yang harmonis, berupa kisah sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.12 Selain itu teknik yang digunakan untuk menganalisa data penelitian ini adalah analisa historis. Analisa untuk mencari hubungan sebab akibat dari suatu fenomena historis pada ruang dan waktu tertentu. Tujuan dari teknik ini adalah agar penelitian ini tidak hanya menjawab apa, kapan, dan di mana peristiwa ini
12
Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, Jakarta: Yayasan Indayu, commit to user Hal. 36
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terjadi namun juga menjelaskan gejala sejarah sebagai kausalitas. Analisa ini kemudian disajikan dalam bentuk penulisan diskriptif.
G.
Sistematika Skripsi
Skripsi ini disusun bab demi bab untuk memberikan gambaran yang terperinci. Penyusunan ini dilandasi keinginan agar skripsi ini dapat menyajikan gambaran yang menunjukkan suatu kontinuitas perkembangan kejadian yang berurutan. Bab I merupakan bab Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisa data dan sistematika skripsi. Bab II berisi tentang akar-akar gerakan radikal di Surakarta sebelum Revolusi 1945. Terbagi dalam tiga masa yaitu masa pergerakan dengan munculnya Boedi Oetomo dan Sarekat Islam. Masa aksi dimulai banyaknya gerakan radikal komunisme kemudian munculnya Insulinde. Masa pendudukan Jepang dengan terbentuknya laskar perjuangan salah satunya gerakan Hizbullah. Bab III membahas kondisi sosial politik Surakarta pada masa Revolusi Fisik 1945. Berpindahnya ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta menyebabkan ikut berpindah pula kekuatan-kekuatan oposisi dari Jakarta ke daerah pedalaman. Kota yang dianggap tepat untuk basis oposisi adalah kota “saingan” Yogyakarta, yaitu Surakarta. Kota Surakarta juga menjadi basis kelompok oposisi seperti Persatuan Perjuangan dan Barisan Banteng. Setelah adanya Maklumat dari Pakubuwono XII pada tanggal 1 September 1945, commit Surakarta mendapat kedudukan sebagai daerah to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
istimewa dari pemerintah pusat RI. Status sebagai daerah istimewa tersebut kemudian mengundang berbagai konflik sosial politik di Surakarta. Bab IV akan menguraikan tentang pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta. Berbagai peranan KNID Surakarta juga tampak dalam pergerakan politik di Surakarta pada tahun 1945-1946. Di awal pembentukannya, KNID Surakarta mampu menjalankan tugasnya dan mendapat keberhasilan secara gemilang dengan melucuti kekuasaan Jepang di Surakarta. Terjadinya krisis kekuasaan awal kemerdekaan langsung dapat dipecahkan melalui komite tersebut sebagai semacam lembaga perwakilan rakyat daerah. Awal tahun 1946, muncul gerakan revolusioner menentang adanya status daerah istimewa di Surakarta. Gerakan tersebut banyak dimotori anggota KNID Surakarta beserta organisasi pergerakan politik lainnya. Hubungan antara kekuatan pergerakan politik dengan KNID Surakarta juga dibahas dalam bab ini. Bab V merupakan kesimpulan dari semua isi dan penjelasan dalam penulisan skripsi ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II AKAR-AKAR RADIKALISME SURAKARTA SEBELUM REVOLUSI 1945
A. Radikalisme Surakarta dalam masa Pergerakan 1908-1911
1. Terbentuknya Organisasi Boedi Oetomo Periode akhir abad XIX dan awal abad XX merupakan periode awal pertumbuhan modernisasi masyarakat bumi putera. Modernisasi dalam hal ini diartikan sebagai hasrat untuk mencapai kemajuan dengan menuntut pelajaran dan pendidikan, terutama pendidikan model Barat. Dalam tubuh masyarakat bumi putera mulai saat itu telah tumbuh kesadaran diri akan ketertinggalan kebudayaan jika dibandingkan dengan bangsa Belanda yang ketika itu sebagai penjajah. Buktinya adalah semakin banyak anak yang mengunjungi sekolah untuk menuntut ilmu pengetahuan dan teknik, makin banyak penduduk pribumi yang mencari kesempatan untuk mendapatkan pendidikan modern. Hal itu semakin meningkat setelah digelindingkannya politik etis di Hindia Belanda yang salah satu programnya adalah pengembangan pendidikan bagi kalangan bumi putera. Gejala itu menjadi tanda bahwa masyarakat berkembang ke arah kesadaran nasional. Paham-paham baru mulai berlaku, timbul keberanian meninggalkan tradisi kuno, dan adanya dorongan yang semakin kuat untuk memperoleh kemajuan.1 Boedi Oetomo sebagai suatu organisasi pergerakan nasional pertama didirikan atas dasar tuntutan kemajuan itu. Tuntutan kemajuan yang direfleksikan commit toKebangsaan user Cahyo Budi Utomo, 1995, Dinamika Pergerakan Indonesia dari Kebangkitan hingga Kemerdekaan, Semarang: IKIP Semarang Press, hal. 49. 1
18
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dalam bentuk suatu organisasi itu sebenarnya sebagai suatu jawaban terhadap penetrasi Barat dengan imperialisme dan kapitalismenya. Aspirasi nasional itu tidak hanya timbul sebagai reaksi terhadap isolasi ekonomis dan sosio-kultural yang diciptakan oleh politik kolonial Barat, tetapi juga karena dorongan kuat untuk menjunjung tinggi derajat bangsa. Gagasan untuk mendirikan suatu perkumpulan yang sifatnya umum di Jawa ini mendapat persetujuan dan pengikut dari kalangan pelajar sekolah-sekolah menengah, yaitu sekolah pertanian dan sekolah kehewanan di Bogor, sekolah Menak di Magelang, dan Probolinggo, Burgeravondschool di Surabaya dan sekolah-sekolah guru di Bandung dan Jogjakarta. Penerimaan anggota dibatasi dan yang diterima hanya mereka yang mempunyai keinsyafan dan antusiasme untuk mendukung dan memencarkan ide itu. Walaupun tidak dilakukan propaganda secara besar-besaran dalam satu triwulan jumlah anggota sudah mencapai 650 orang, diantaranya yang paling banyak kaum terpelajar, pamong praja, dan wiraswasta.2 Pada awal aktivitasnya Boedi Oetomo merumuskan tujuannya secara samar-samar, yaitu kemajuan bagi Hindia. Anggotanya juga masih terbatas. Tetapi munculnya organisasi ini telah menarik khalayak ramai, karena itu dalam waktu singkat antara bulan Mei sampai Oktober 1908 cabang-cabang Boedi Oetomo telah berdiri di Jakarta, Bogor, Bandung, Magelang, Surabaya, Probolinggo, dan Yogyakarta. Sesudah pengunduran diri Soerjosoeparto sebagai ketua umum Boedi Oetomo, maka seorang guru dari Yogyakarta, M.Ng. Dwidjosewojo, dipilih commit to user 2
Ibid, hal. 52.
perpustakaan.uns.ac.id
20 digilib.uns.ac.id
sebagai pejabat ketua selama beberapa bulan sampai kongres tanggal 8-9 Juli 1916 di Surabaya ketika R.M. Woerjaningrat, rekan terpimpin sebuah kelompok anti-Belanda yang kuat dalam keraton Susuhunan, terpilih sebagai ketua. Woerjaningrat adalah Bupati Nayaka atau Bupati Pertama di Surakarta dan anak tiri Susuhunan Paku Buwono X. Di bawah pimpinan Woerjaningrat pemindahan kepemimpinan pengurus pusat Boedi Oetomo dari Yogyakarta, yang telah dimulai sejak pengunduran diri Notodirodjo pada tahun 1914, menjadi mantap. Sekitar tahun 1918 Surakarta juga berada di garis depan pada tingkat cabang. Secara nasional jumlah cabang telah meningkat dari 40 pada akhir 1909 menjadi 51 pada tahun 1918, sedangkan jumlah anggotanya telah menurun dari sekitar 10.000 menjadi 3.914. Hal ini mencerminkan kenyataan bahwa Boedi Oetomo adalah partai elite yang kecil dan berpengaruh, dan bukan partai massa. Boedi Oetomo juga menciptakan dan menyebarkan pengaruhnya di Surakarta. Organisasi ini berhasil menarik simpati para priyayi dan berusaha mencari kemajuan-kemajuan lewat pengajaran, tapi sayangnya sentuhan Boedi Oetomo hanya terbatas lapisan atas, sehingga tidak populer di kalangan masyarakat bawah terutama petani.
2. Terbentuknya Organisasi Sarekat Islam Organisasi lain yang muncul di Surakarta dan berpengaruh dalam kehidupan masyarakat ialah Sarekat Dagang Islam atau Sarekat Islam (1911). SDI didirikan Haji Samanhudi dilatarbelakangi unsur-unsur ekonomis dan agama. Secara ekonomis, pendirian organisasi ini sebagai counter terhadap pedagang Cina yang menjadi anak emasnya Belanda, oleh para pengusaha muslim yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
21 digilib.uns.ac.id
terancam kemundurannya di bidang perbatikan. Persatuan antar muslim di Surakarta yang mulanya bersifat ekonomis ini berkembang menjadi persatuan antar sesama penganut Islam yang sudah waktunya menunjukkan kekuatannya di panggung politik nasional. Berkembangnya SI ke berbagai daerah membuktikan daya kekuatan Pan Islamisme yang mendasari ideologi organisasi itu. SI tidak hanya diikuti kalangan intelektual saja, tetapi oleh rakyat secara luas. SI merupakan pencerminan gerakan rakyat dari para pedagang Indonesia melawan kekuatan kelas menengah Cina.3 Gerakan SI dapat mengisi kelemahan Boedi Utomo yang tidak dapat menjangkau massa kalangan rakyat bawah. Penghapusan pada masa awalnya kata “dagang” dari nama sarekat ini mencerminkan berkurangnya faktor ekonomi dibandingkan dengan faktor agama dan nasionalisme Jawa yang memainan peranan yang lebih besar. Perhimpunan baru ini segera meluas dalam jenis kegiatannya yang beraneka ragam. Di samping boikot anti-Cina, Sarekat Islam dengan cepat mengembangkan rencananya untuk bergerak di bidang perdagangan, mendirikan sekolah Islam, dan menerbitkan sebuah surat kabar harian yang murni berbahasa Jawa. Nasionalisme Jawa ini muncul karena berbagai macam faktor, termasuk pula faktor komersial dan pertentangan etnis terhadap orang Cina, sentimen anti-Eropa, dan perlawanan terhadap upaya untuk memodernisasi dan mengubah masyarakat. Popularitas Sarekat Islam di Surakarta juga sebagian besar berpangkal dari permulaannya sebagai suatu perkumpulan rahasia yang berfungsi sebagai perhimpunan amal dan protektif.4
3
WF. Wertheim, 1956, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial, Bandung: Van Hoeve, hal. 184.. 4 commit to user George D. Larson, 1990, Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal. 61.
perpustakaan.uns.ac.id
22 digilib.uns.ac.id
Karena nasionalisme Jawa ini pada hakekatnya merupakan reaksi terhadap dominasi orang asing dan campur tangan yang semakin banyak dalam adat istiadat Jawa, adalah wajar apabila Sarekat Islam Surakarta cenderung mencari dukungan pada Susuhunan dan pembesar di sekelilingnya dan melawan pegawai-pegawai yang lebih banyak dipengaruhi oleh pemerintah Hindia-Belanda. Bertentangan dengan Budi Utomo, Sarekat Islam merupakan organisasi yang cepat berkembang di lingkungan masyarakat bawah. Terlepas dari kedudukan Sultan sebagai panatagama atau Kepala Agama Islam, Sunan sangat berhubungan erat dengan Sarekat Islam yang berhaluan Islam. Akan tetapi kerjasama Sarekat Islam dengan elite istana berakhir karena faktor eksternal yang berupa tekanan dan campur tangan pemerintah kolonial, sedangkan faktor internal berupa penggeseran kepemimpinan. Dalam kongres Sarekat Islam lokal pada bulan April 1914, Cokroaminoto menggantikan H. Samanhudi sebagai anggota pusat Sarekat Islam. Hal ini berarti hilangnya rasa hormat terhadap elite istana. Sejak inilah gerakan Sarekat Islam makin radikal karena anggotanya banyak yang berasal dari golongan bawah. Radikalisme Sarekat Islam terlihat jelas pada masa 1920-an. Gerakan Sarekat Islam sampai di pedesaan Surakarta di bawah kepemimpinan Cipto Mangunkusumo, H. Misbach, Suryopranoto, dan lain-lain. Tokoh-tokoh ini merupakan tokoh-tokoh agitator yang cukup pandai. Pengaruhnya cukup mendalam dan meluas di Surakarta. Namun pada masa 1920-an itu, perkembangan Sarekat Islam mengalami dualisme, di satu sisi ada Sarekat Islam Putih, dan di sisi lain ada Sarekat Islam Merah. Sarekat Islam Putih bersifat Islami murni, dan Sarekat Islam Merah bersifat akomodatif dengan sosialis-komunis commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang memang telah merasuki tanah air melalui organisasi ISDV dipimpin Hendrik Snevliet dengan beberapa tokoh komunis lokal. Dengan masuknya pengaruh komunis di dalam Sarekat Islam menambah keradikalannya. Berbagai peristiwa politik dan sosial di daerah Klaten sekitar tahun 1920, misalnya pemogokan buruh merupakan hasil agitasi politik Sarekat Islam secara nyata di pedesaan dalam melawan kekuasaan asing. Di kalangan Sarekat Islam Merah banyak menuntut reorganisasi agraris yang menyangkut soal tanah, sehingga masyarakat pedesaan yang sudah lama mengalami ekstraksi sosial-ekonomi oleh kolonial bersikap antiBelanda, anti-gubernemen, dan anti-kapitalis. Kondisi ini sejalan dengan pandangan Haji Misbach tentang apa yang diistilahkan sebagai ”Islam Abangan”, yang diartikan: ”Islam” adalah ”prajurit”, dan ”Abangan” adalah ”bendera merah”. Oleh sebab itu ”Islam Abangan” menandakan ”prajurit yang berani”, seperti yang dikatakannya saat pidato di desa Kateguhan (subdistrik Sawit) 2 Mei 1920.5
B. Radikalisme Surakarta pada masa Aksi
1. Gerakan Radikal Komunisme di Surakarta Gerakan radikal kemudian bergeser dari Sarekat Islam kepada organisasiorganisasi berhaluan kiri. Dalam sejarah Surakarta suatu tonggak penting adalah tahun 1918 ketika munculnya suatu gerakan radikal yang menentang kedua istana, perusahaan perkebunan dan gubernemen. Peristiwa ini merupakan awal dari tahun-tahun yang bergejolak di kalangan sebagian rakyat jelata Kasunanan dan commit to user 5
Ibid., hal. 176.
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Mangkunegaran dari istana kerajaannya. Di samping masyarakat petani, gerakan ini juga menyusupi kalangan pegawai pribumi, polisi dan militer. Gerakan ini mendapat beberapa penganut di kalangan aristokrasi dan bangsawan. Pada masa puncaknya, pada tahun 1920 gerakan ini mempunyai 50.000 pengikut dan boleh dikatakan merasuki semua perkebunan di karesidenan ini. Walaupun gerakan ini akhirnya ditumpas oleh gubernemen, ia telah meninggalkan warisan yang merintis jalan untuk gerakan komunis.6 Alasan dasar yang dikemukakan oleh para pemimpin radikal adalah bahwa gerakan mereka timbul karena suatu reaksi terhadap kesulitan yang sangat besar di kalangan ekonomi. Di samping itu faktor-faktor utama yang sesungguhnya mencetuskan gerakan ini adalah kehadiran beberapa pemimpin yang sangat bersemangat, terjadinya suatu bencana alam (wabah pes), kekesalan terhadap tindakan gubernemen menghadapi bencana ini, dan ketidakpuasan terhadap reorganisasi agraria yang dijalankan gubernemen. Permasalahan bermula dari menjalarnya wabah pes pada bulan Maret 1915. Wabah ini dianggap sebagai bencana alam yang secara tradisional dianggap sebagai pertanda berakhirnya dinasti raja.7 Upaya Belanda dalam memberantas penyakit ini dengan mengambil beberapa tindakan, namun ironisnya, upaya dari Pemerintah justru meninggalkan jejak kekecewaan dan kemarahan yang membekas di hati masyarakat. Misalnya dua dokter Belanda melakukan multipunctie (mengambil sampel dari limpa yang diteliti), suatu praktek yang sangat memalukan dan menghina perasaan keagamaan. Kemarahan ini berlanjut dengan keresahan akan program perbaikan rumah pada saat masyarakat tidak 6 7
Ibid, hal 131. Julianto Ibrahim, op.cit.,hal 49.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
25 digilib.uns.ac.id
mampu membiayai perbaikan tersebut.8 Perbaikan ini berjalan di atas perekonomian yang sangat merosot. Laporan-laporan pada saat itu menyebutkan bahwa pada masa-masa tahun 1918 dan 1920 merupakan masa yang sulit. Kesulitan dapat diidentifikasikan dengan inflasi dan biaya hidup yang membumbung tinggi disaat gaji tetap. Hasil pertanian tidak mampu mencukupi isi perut alias makan.9 Revolusi di Surakarta pada dasarnya bersifat radikal. Hal ini dikarenakan adanya sifat mudah memberontak di daerah ini yang dimulai sejak zaman penjajahan. Sebelum perang di Surakarta sudah ada tradisi melakukan protes yang sifatnya politik. Di kota misalnya oleh tokoh-tokoh seperti Tjipto Mangunkusumo dan Haji Misbach, dan di daerah pedesaan oleh PKS (Pakempalan Kawula Surakarta) maupun oleh gerakan-gerakan Ratu Adil.10 Baik Tjipto maupun Misbach dengan sukses telah memberikan pimpinan dalam gerakan protes yang dilakukan oleh kaum tani kebun tebu dari pabrik gula Klaten terhadap penguasa kolonial. Gerakan-gerakan tersebur makin lama semakin menjauh dari kraton, karena Sunan dan Mangkunegoro tidak lagi dianggap sebagai pemegang kekuasaan menurut adat, melainkan sebagai agen dari kaum penjajah yang mengeksploitasi rakyat, sebagian karena mereka (tidak seperti Sultan dan Paku Alam) juga memiliki pabrik-pabrik gula.11 Kesulitan-kesulitan telah meggerakkan aksi-aksi radikal yang dipimpin Haji Muhammad Misbach dan Dr. Tjipto Mangunkusumo. Menurut Shiraisi, Haji Muhammad Misbach dapat diibaratkan sebagai "sang mubalich" dalam 8
George D. Larson, op.,cit, hal. 134. Ibid, hal. 158. 10 R.T. Muhammad Husodo Pringgokusumo, 1982, Ringkasan Disertasi Dr. Soejatno Kartodirjo: userPustoko, hal. 2. Revolusi di Surakarta tahun 1945-1950, commit Surakarta:toRekso 11 Ibid. 9
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hubungannya dengan aksi-aksi radikal di Surakarta. Misbach lahir di Kauman Solo pada tahun 1876. Misbach menegaskan, "tanah bukan milik Susuhunan atau Gubernemen tetapi berasal dari nenek moyang kita dan kita harus mencari jalan untuk memperolehnya kembali". Kebencian terhadap kraton terutama ditunjukkan oleh Tjipto. Kritik-kritik Tjipto terhadap Kraton sangat pedas terutama ditujukan kepada Sunan dan Nasionalisme Jawa. Di Surakarta ciri khas dari gerakan komunis adalah usahanya yang tekun untuk memadukan marxisme dengan Islam. Tokoh yang menyemaikan gagasan ini adalah H. Misbach yang sebelumnya telah menggunakan agama dengan mahir untuk mencetuskan bergeloranya gerakan radikal. Corak komunisme Islam yang dianut Misbach adalah suatu percampuran antara Muhammad, Marx dan wawasan abangan tradisional. Argumen dasar dari Misbach adalah bahwa semua penyakit sosial, ekonomi dan spiritual yang diderita oleh masyarakat Hindia Belanda disebabkan oleh sistem kapitalis di seluruh dunia yang secara tidak manusiawi menindas dan memeras rakyat jelata. Gubernemen, para kapitalis, raja bumiputera, arsitokrasi, bahkan orang muslim yang kaya raya semuanya merupakan bagian dari sistem penindasan dan ketidakadilan yang berlaku dimanamana. Oleh karena itu, kelompok yang menikmati kekayaan dengan ketidakadilan tersebut harus disingkirkan.12 "Ajaran" Misbach ini telah menggerakkan para anggota Sarekat Rakyat maupun anggota komunis lainnya untuk melakukan tindakan-tindakan teroris kecil-kecilan di Surakarta pada bulan-bulan awal tahun 1923. Aksi-aksi tersebut bertujuan mengganggu jalannya pemerintahan dan ketenangan masyarakat seperti commit to user 12
Ibid., hal. 195-197.
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sabotase jalan kereta api, pelemparan bom terhadap mobil pejabat maupun keraton dan pembakaran terhadap rumah orang kaya.13 Pemerintah kemudian bertindak dengan menangkap Misbach beserta beberapa pengikutnya pada bulan Oktober 1923 dan kemudian dibuang ke Manokwari pada tahun 1924. Hubungan antara pimpinan Misbach dalam politik pedesaan di Surakarta dengan permulaan dari gerakan komunis lebih jelas. George D. Larson dalam Disertasinya menjelaskan bahwa gerakan komunis di Surakarta timbul tidak lama sesudah Haji Misbach dikeluarkan dari penjara Pekalongan pada bulan Agustus 1922, dan tenggelam setelah pemberontakannya yang terkenal dalam bulan November 1926 menemui kegagalan.14 Pengaruh yang kuat dari agitasi yang dilakukan oleh Misbach di daerah perkebunan menimbulkan kesadaran politik diantara petani, sehingga mereka matang untuk menerima ide-ide dari organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan kaum komunis dalam masa revolusi. Sesungguhnya selama zaman kolonial Belanda selalu ada keresahan yang bersifat laten di perkebunan-perkebunan tebu.15 Setelah kepergian Misbach, tekanan-tekanan
pemerintah terhadap
kekuatan radikal yang tergabung dalam PKI, Sarekat Rakyat, Moe'alimin dan beberapa organisasi berhaluan komunis lainnya semakin intensif. Pemerintah semakin giat melakukan penangkapan-penangkapan terhadap aktivis-aktivis organisasi radikal ini. Tindakan penangkapan dan penekanan yang dilakukan pemerintah menyebabkan muncul aksi-aksi balasan yang bersifat kriminal.
13
Van der Marel, Memorie van Overgrave 1924, hal. 106-107 George D. Larson, 1979, Prelude to Revolution: Palace and Politics in Surakarta 1912-1942, commit Tesis dari Northern Illinois University, hal. 230. to user 15 R.T. Muhammad Husodo Pringgokusumo, op.,cit, hal. 2. 14
perpustakaan.uns.ac.id
28 digilib.uns.ac.id
Tindakan kejahatan tersebut diorganisasikan oleh kekuatan radikal seperti PKI maupun Sarekat Rakyat baik di perkotaan maupun pedesaan untuk mengacaukan dan mengganggu keamanan. Beberapa tindak kejahatan tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1926 dan 1927 yang merupakan aksi pemberontakan kaum komunis terhadap pemerintah. Pemberontakan ini tidak hanya berlangsung di Surakarta tetapi terjadi juga di Jawa Barat dan Sitiung Sumatra Barat.
2. Munculnya Insulinde di Surakarta Munculnya Misbach sebagai mubaligh terkemuka dan kembalinya Tjipto sebagai anggota volksraad ternyata menjadi faktor utama bangkitnya Insulinde di Surakarta. Dalam konteks pergerakan-pergerakan di Surakarta, Insulinde adalah front persatuan kekuatan-kekuatan oposisi untuk melawan kekuasaan priyayi (kraton) yang mengendalikan Budi Utomo dan kekuasaan keagamaan serta pedagang batik Laweyan yang mengendalikan SI Surakarta. Insulinde Surakarta merupakan front persatuan kaum pinggiran, yaitu orang-orang partikulir, muslim reformis, dan buruh-buruh, dalam hierarki sosial Surakarta. Dengan kehadiran Insulinde yang berhasil memobilisasi petani pedesaan Surakarta, keresahan petani di pedesaan menjadi meningkat. Mobilisasi petani itu memicu bangkitnya radikalisasi petani yang ternyata di luar kendali pemimpin Insulinde Surakarta. Gerakan komunis merupakan pertumbuhan langsung dari gerakan radikal ini dan mengadakan perlawanan terhadap kraton, gubernemen dan perusahaan perkebunan.16 Insulinde Surakarta berhasil mengubah dirinya menjadi perkumpulan bumiputra yang besar, sementara commit to user Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: Takashi Shiraishi, 1997, Zaman Bergerak: Radikalisme Pustaka Utama Grafiti, hal. 186 16
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pemimpin pusat Insulinde terutama di pusat pemerintahan dan komersial seperti Surabaya, Bandung, dan Batavia sebagian besar didominasi orang Indo. Insulinde dengan ciri nasionalis Hindia-nya sampai pertengahan tahun 1918 masih didominasi golongan konservatif, Galestien sebagai ketuanya dan Soetadi sebagai sekretaris. Tampilnya kembali Tjipto sebagai pemimpin pergerakan mulai terasa saat itu. Oleh karena itu ia ditunjuk oleh Gubernur Jenderal menjadi anggota Volksraad. Meskipun ia belum jadi anggota komite sentral Insulinde, ia mulai hadir dalam pertemuan bestuur afdeling secara teratur dan mulai menerbitkan organ Insulinde berbahasa Jawa, Panggoegah, tiga kali sebulan.17 Kekuatan penentang SI Surakarta banyak bergabung dengan Insulinde Surakarta sebelum vergadering umum pada April 1919. Keanggotaan ganda di SI dan Insulinde pada masa itu bukan sesuatu yang aneh. Meskipun Insulinde adalah perkumpulan yang bekerja demi ”Hindia untuk orang Hindia” tanpa pandang ras dan agama, sedangkan SI adalah perkumpulan muslim Hindia. Perbedaan keduanya tidak ideologis. Kehadiran orang-orang Insulinde di tubuh SI membuktikan bahwa cita-cita Insulinde membangun Hindia merdeka juga ada di kalangan anggota SI. Beberapa anggota SI bertahan untuk tidak bergabung dengan Insulinde karena Insulinde dianggap sebagai perkumpulan orang Indo. Hal ini tidak berlaku di Surakarta setelah Tjipto direhabilitasi dan mulai menerbitkan organ Insulinde berbahasa Jawa, Panggoegah. Dalam organ tersebut, Tjipto dengan bahasa sederhana membicarakan dan mempertajam berbagai isu mulai dari cepatnya commit to user 17
Ibid., hal. 188.
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perubahan dunia sampai ke isu-isu yang dibicarakan di Volksraad, seperti kekurangan pangan akibat tertundanya impor beras dari Hindia Inggris (Birma), pengurangan penanaman gula tebu untuk meningkatkan produksi bahan pangan, dan pembentukan dewan kota praja dan dewan desa. Semua ini membuat Tjipto dipandang sebagai sumber inspirasi intelektual penting oleh aktivis SI yang radikal, dan di mata mereka Insulinde Surakarta lekat dengan sosok Tjipto.18
C. Radikalisme Surakarta pada masa Jepang
1. Terbentuknya Laskar-laskar Perjuangan Pada masa pendudukan Jepang di Surakarta banyak terbentuk berbagai kesatuan perjuangan yang disebut sebagai badan-badan kelaskaran. Laskar-laskar ini terbentuk secara cepat dan berasal dari berbagai unsur sosial. Kelompokkelompok yang telah ada sebelumnya menyatukan diri menurut kepentingan revolusi dengan nama dan keanggotaan yang cenderung bersifat faksional. Misalnya kelompok pemuda mengorganisasikan diri mereka, kelompok eksponen tentara masa Jepang, kelompok politik, dan sebagainya. Laskar-laskar yang terbentuk antara lain Barisan Laskar Banteng (BLB) yang berseragam hijau di bawah pimpinan Dr. Muwardi, para anggotanya ada yang berasal dari Gerakan Suisintai dan kelompok pemuda lainnya misalnya kelompok delapan. Pemuda Sosialis Indonesia atau yang dikenal dengan PESINDO terbentuk dengan para anggotanya yang banyak berasal dari golongan pemuda yang berhaluan ideologi kiri radikal di bawah pimpinan Sukarno. Badan commit to user 18
Ibid., hal. 194.
perpustakaan.uns.ac.id
31 digilib.uns.ac.id
Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) yang sebenarnya berpusat di Surabaya di bawah Bung Tomo, di Surakarta dipimpin oleh Gunarjo. Selanjutnya Laskar Rakyat yang memakai seragam berwarna kuning dipimpin oleh Iskandar Kusumodirdjo, Hizbullah di bawah pimpinan Munawar dan sebagainya, terutama dari kalangan rakyat terpelajar. Para pelajar di Surakarta terorganisir dalam beberapa kelaskaran di antaranya Pasukan Satria, Barisan Polisi Istimewa Sekolah Menengah Tinggi, dan BPRI. Selain itu ada Laskar Kere di bawah pimpinan Achmadi, Laskar Barisan Pemuda Jelata di bawah pimpinan Prakosa, dan Laskar Garuda di bawah Masuri. Kedua laskar yang terakhir ini kemudian berhimpun dan di bawah komando Markas Besar TP Pusat di Yogyakarta dan bukan di bawah IPI Pertahanan.19 Para pelajar yang tergabung dalam kesatuan kelaskaran pelajar terkenal dengan sebutan Tentara Pelajar (TP) dengan tokoh-tokohnya Prakosa, Soebroto, dan Achmadi. Pusat Komando TP berada di Yogyakarta. Pada masa awal Revolusi TP berperan besar, baik di bidang militer, politik maupun sosial. Terbentuknya laskar-laskar pelajar tersebut mendukung sekali jalannya revolusi di Surakarta. Di kota Surakarta dibentuk komando Militer Kota oleh para elite militer dan TP untuk menjaga stabilitas dan keamanan kota. Disini tokoh-tokoh pelajar berperan penting, misalnya Prakosa, A. Latief dan Achmadi. Di daerah pedesaan juga dibentuk kesatuan-kesatuan kelaskaran yang berfungsi memobilisasi kekuatan rakyat desa. Laskar-laskar rakyat di pedesaan ini sebagai kelanjutan dari pembentukan laskar-laskar di kota, berarti sebagai manifestasi dari suatu urban revolution ( revolusi kota) ke rural revolution commit to user Sukoharjo: Universitas Veteran Mawardi, 1995, Dinamika Revolusi Sosial di Surakarta, Bangun Nusantara, hal. 48. 19
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(revolusi desa). Para anggota kelaskaran di desa-desa terdiri dari pemuda, tokoh politik, pemimpin agama, dan lainnya. Organisasi kelaskaran ini misalnya Laskar Rakyat Surakarta, Pemuda Laskar Rakyat, Pemuda Penjaga Desa, Pelopor Laskar Rakyat, Markas Pertahanan Rakyat, dan Gerakan Sabilillah.20 Laskar-laskar di pedesaan tersebut timbul secara spontan dan menentukan para pemimpinnya sendiri. Untuk menghadapi musuh para anggota laskar di desadesa itu menggunakan strategi perang “gerilya”. Secara umum mereka banyak menggunakan persenjataan tradisional, misalnya keris, pedang, granggang, tombak, bandil, dsb. Hal ini berbeda dengan apa yang dimiliki oleh laskar-laskar di kota yang terutama berasal dari kesatuan-kesatuan eksponen militer yang telah banyak memegang senjata modern. Para anggota kelaskaran di desa-desa juga diwarnai dengan penguasaan ngelmu tertentu dan berbagai jimat untuk mempertebal kekuatan diri secara magis. Kekuatan magis ini dicari dan diperoleh dari cara berguru kepada para ahli magis atau dukun dan kyai. Beberapa macam jimat yang dipakai sebagai sarana kekuatan magis itu diantaranya bernama Tanjungsari, Kulbuntet, Bolandoh, Kalacakra, dll. Ini merupakan suatu refleksi tradisi Jawa yang masih berlanjut dalam masa Revolusi. Tradisi ini telah lama ada misalnya bersamaan dengan munculnya gerakan protes atau sosial yang sering diperkuat oleh unsur-unsur religio-magis itu, tujuannya untuk memperoleh kasekten, kawedungan, kadigdayan. Di Surakarta terdapat beberapa sumber ngelmu dari para kyai atau dukun, dan yang terkenal waktu itu antara lain Kyai Juru Mertani, Kyai Mangun Hartono, Kyai Parakan, dan mbah Balak. Tampaknya bagi para pemuda dan pejuang secara commit to user 20
Ibid.
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
umum mencari sandaran religio-magis dianggap penting selama revolusi kemerdekaan 1945-1950 itu dan memang secara psikologis hal ini cukup berpengaruh bagi timbulnya semangat percaya diri yang kuat untuk menghadapi musuh. Selama revolusi juga terlihat peranan para pejuang yang bersifat heroik terutama para pemuda. Di masyarakat pedesaan khususnya banyak ditemukan tokoh-tokoh pejuang yang dinamakan “jago” yang secara umum mereka memiliki sifat arogan atau “bandit”. Mereka pandai pencak silat dan memiliki kekuatan magis lainnya. Di beberapa daerah istilah “jago” ini sering berlainan, misalnya di daerah Karesidenan Pekalongan disebut Lenggaong.21 Di daerah Surakarta para “jago” tersebut juga penting artinya selama revolusi. Selama pendudukan militerisme Jepang di Surakarta timbul gerakan protes bawah tanah atau ilegal. Gerakan ini menentang fasisme Jepang misalnya yang dilancarkan oleh anggota-anggota PETA (Pembela Tanah Air) Daidan Wonogiri yang menamakan diri IPTAS (Ikatan Prajurit Sejati). Gerakan ini di bawah pimpinan Sutarto, seorang anggota PETA, dan di masa revolusi sebagai pendiri Angkatan Muda Tentara (AMT) di Surakarta pada 20 Agustus 1945. Bila dilihat dari kepemimpinannya, maka timbulnya gerakan protes atau sosial tidak lepas dari pengaruh orang-orang kharismatik yang berasal dari golongan
sosial
bangsawan,
ulama,
atau
tokoh-tokoh
yang
memiliki
kewibawaan/otoritas tradisional lainnya misalnya guru tarekat, dukun dsb. Tendensi religio-magis yang diperoleh dari berbagai sumber ngelmu menjadi penting dalam berbagai peristiwa gerakan, misalnya kadigdayan, kawedungan, user dalam Revolusi, Jakarta: Grafiti Pers, Anton E. Lucas, 1989, Peristiwa Tigacommit Daerah: to Revolusi hal. 143. 21
perpustakaan.uns.ac.id
34 digilib.uns.ac.id
kasekten dan daya magis lainnya. Unsur-unsur itu berpengaruh tidak saja bagi para pengikut gerakan sosial pada masa kolonial, namun juga dapat ditemukan pada masa revolusi kemerdekaan untuk digunakan menghadapi musuh. Dengan demikian tradisi gerakan protes atau sosial yang telah ada sejak masa kolonial dan sering berakibat timbulnya pergolakan yang besar dalam masyarakat itu turut menjadi faktor penting dan berpengaruh bagi revolusi sosial di Surakarta. Meskipun pada masa revolusi terjadi proses transisi politik yang jelas, akan tetapi dasar-dasar kekuatan tradisional yang telah hidup pada masa lampau secara mapan dalam pola pemikiran masyarakat Surakarta tidak lenyap begitu saja. Justru pada masa terjadinya ”krisis” itu peranan daya religio-magis dan tradisi masa lampau ikut mendukung mengatasinya secara spontan. Terjadinya berbagai pergolakan sosial-politik di Surakarta juga tidak terlepas dari struktur gerakan tradisional yang telah ada sebelumnya. Pada masa revolusi sosial hal ini terimplementasi dalam gerakan revolusioner, pendaulatan, konflik-konflik dll.
2. Munculnya Hizbullah di Surakarta Salah satu langkah politik yang dilakukan Pemerintah Militer Jepang untuk pemanfaatan sumber daya manusia adalah memobilisasi massa pemuda dan rakyat secara besar-besaran dalam program semi militer maupun militer. Tujuan utamanya adalah sebagai tenaga cadangan kepentingan militer Jepang. Mobilisasi rakyat terbentuk dalam barisan-barisan perjuangan antara lain Keibodan, Seinendan, Fujinkai, dan Pembela Tanah Air (PETA). Pembentukan barisan perjuangan tersebut mendorong rakyat mempunyai sikap mental serta keberanian commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
35 digilib.uns.ac.id
untuk menentang penjajah dan adanya pemahaman mengenai kemerdekaan. Sikap mental ini mengarah pada terbentuknya semangat nasionalisme baru di kalangan rakyat. Organisasi militer dan semi militer itu dijadikan sebagai wadah para pemuda dan rakyat untuk mengembangkan semangat keberanian menentang pendudukan Jepang.22 Adanya pemberontakan PETA, Jepang merasa bahwa upayanya dalam menggalang kerjasama dengan kaum nasionalis tidak berhasil. Jepang kemudian banyak melakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh umat Islam yang berpengaruh kuat dalam masyarakat. Hal ini dilakukan karena sebagian besar rakyat Indonesia beragama Islam dan mempunyai sikap kepatuhan yang besar terhadap pimpinan. Jepang kemudian menghidupkan kembali organisasi Islam MIAI (Majelis Islam A’laa Indonesia) yang sebelumnya telah ada. MIAI kemudian dirubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) untuk mendapat simpati para tokoh Islam.23 Jepang gencar mengadakan pendekatan terhadap tokoh-tokoh Islam dengan memberikan kesempatan kepada pemimpin Islam untuk memperluas peranannya agar meningkatkan posisi agama Islam. Hal ini dilakukan agar para pemimpin Islam di Indonesia dapat mempengaruhi pengikut-pengikutnya untuk mendukung dan bekerja sama dengan pemerintah militer Jepang. Adanya pengaruh ini menyebabkan banyak pemuda Islam turut serta dalam barisanbarisan militer yang dibentuk Jepang. Tanggal 14 September 1944 secara resmi didirikan badan perjuangan
22
Cahyo Budi Utomo, 1995, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan hingga Kemerdekaan, Semarang: IKIP Semarang Press, hal. 185-186. 23 commit to Menegakkan user Hasyim Latief, 1995, Laskar Hizbullah Berjuang Negara Republik Indonesia, Surabaya: P.T Jawa Pos, hal. 11.
perpustakaan.uns.ac.id
36 digilib.uns.ac.id
Islam yang diberi nama Hizbullah. Jepang mengijinkan Hizbullah yang terdiri dari para pemuda Islam lingkungan pesantren maupun masyarakat umum. Unsur muslim dalam pergerakan nasional merupakan unsur yang secara politik dipercaya oleh Jepang dan dapat membantu Jepang karena merupakan kelompok anti Barat dan anti kafir.24 Wilayah Surakarta dalam merespon pendirian Hizbullah pusat dilakukan dengan ikut mengirim perwakilan pemuda untuk mengikuti pelatihan militer di Cisarua, Jawa Barat. Pembentukan Hizbullah Surakarta kemudian dipimpin oleh Moh. Munawar yang mendapat respon dari pemuda di Surakarta. Para pemuda mendaftar sebagai anggota Hizbullah berasal dari Madrasah Mambaul Ulum, Tsanawiyah, Salawiyah, Kalliyat, Mualimin dan beberapa pondok pesantren sekitar Surakarta dan masyarakat umum.25 Anggota Hizbullah Surakarta tersebut direkrut melalui propaganda oleh pelopor Hizbullah Surakarta. Solidaritas dan kebutuhan untuk mengelompok pada masa penjajahan menciptakan kondisi positif bagi berdirinya Hizbullah Surakarta sebagai salah satu badan perjuangan yang berjuang meraih kemerdekaan. Semangat berjihad dimanfaatkan untuk merekrut sebanyak mungkin anggota Hizbullah baik dari dalam kota Surakarta maupun dari wilayah sekitar. Persyaratan yang mudah semakin menguntungkan dalam masa pendirian Hizbullah di Surakarta. Keikhlasan serta semangat mempertahankan negara dan agama menjadi dasar keikutsertaan para anggota. Semangat perjuangan laskar Hizbullah Sabilillah muncul karena adanya semangat jihad fi sabilillah. Hal ini berarti 24
Tashadi, 1995, Hizbullah-Sabilillah Divisi Sunan Bonang dalam Revolusi Kemerdekaan, Lahir commit to user hal. 224-225. dan Pertumbuhannya (Sejarah Lokal), Jakarta: Depdikbud, 25 Ibid., hal. 227.
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berperang membela kebenaran dengan cara memperkuat pertahanan militer dan mengatur barisan militer sesuai dengan ajaran Islam.26 Pusat latihan Hizbullah yang sekaligus menjadi markas pertama adalah gedung Sie Dian Hoo Purwosari, karena kurang strategis markas dipindahkan ke Rumah Sakit
Kustati Surakarta. Daerah
ini
dipilih karena mayoritas
masyarakatnya beragama Islam, sudah ada masjid dan lapangan yang memadai untuk latihan. Hizbullah juga berkembang di beberapa daerah sekitar Surakarta. Selain militer, para anggota juga mendapat pendidikan agama Islam untuk memperkuat iman dan semangat cinta tanah air.27
26
Ibid., hal. 231. commit to user Moh.Munawar, 2004, Perjalanan Hizbullah Divisi Sunan Bonang, Surakarta:Yayasan Bhakti Utama, hal. 7. 27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III KONDISI SOSIAL POLITIK SURAKARTA PADA MASA REVOLUSI FISIK 1945
A. Surakarta sebagai Kota Oposisi
Keberadaan Surakarta sebagai kota oposisi tidak terlepas dari kedudukan Yogyakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia. Berpindahnya ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta disebabkan oleh keadaan Jakarta yang tidak aman. Konflik antara sekutu dan NICA melawan kekuatan republik di Jakarta semakin memanas. Masalah diplomasi nyaris menemui jalan buntu yang menyebabkan pemerintah Syahrir dan Amir terjebak dalam kevakuman. Keadaan ini harus dibayar mahal oleh
pemerintah
dengan
menghadirkan
suara-suara
ketidakpuasan
dan
ketidaksukaan atas sistem diplomasi yang diterapkan, tentu saja oposisi semakin menghebat apalagi ditambah dalam tubuh KNIP sendiri terjadi perpecahan.1 Syahrir, Amir dan Hatta terus berjuang lewat radio untuk menenangkan rakyat yang kenyataannya tidak bisa dipahami oleh pejuang-pejuang yang “gatal tangannya” untuk menghancurkan musuh.2 Hal ini terlihat dari usaha-usaha dari gerakan sempalan dari regu-regu KNIL yang membandel untuk membunuh Syahrir dan Amir. Dengan demikian, situasi ibukota secara umum mengkhawatirkan. Oleh karena itu dibutuhkan usaha-usaha menghindarkan diri dari konflik yang semakin 1
Julianto Ibrahim, 2004, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan: Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta, Wonogiri: Bina Citra Pustaka, hal. 101. 2
Ibid.
commit to user
38
perpustakaan.uns.ac.id
39 digilib.uns.ac.id
memanas di ibukota dengan mencari wilayah yang lebih tenang di pedalaman. Akhirnya, Yogyakarta terpilih sebagai basis republik menggantikan Jakarta. Sukarno beserta rombongan kabinet Syahrir kecuali Syahrir sendiri secara diamdiam naik kereta api dari Stasiun Manggarai menuju Stasiun Tugu Yogyakarta. Kedatangan petinggi-petinggi Negara ini disambut Sultan tanggal 4 Januari 1946, tanpa pesta, parade dan atraksi pertunjukan. Untuk selanjutnya, kegiatan pemerintah negara dipusatkan di Gedung Negara jalan Malioboro. Menurut dokter pribadi Sukarno, pemilihan Yogyakarta sebagai ibu kota Negara disebabkan oleh tawaran yang diberikan Sultan terhadap Sukarno. Sultan telah mengundang Sukarno untuk menempatkan ibu kota yang berada di Jakarta ke Yogyakarta. Undangan tersebut dibawa oleh seorang kurir yang berangkat dari Yogyakarta tanggal 2 Januari 1945. Selain itu Yogyakarta memiliki faktor-faktor keunggulan yaitu 1) Yogyakarta terletak di Jawa Tengah bagian selatan yang jauh dari jangkauan musuh; 2) Hubungan Yogyakarta ke segala penjuru mudah; 3) Keberadaan markas Tentara Keamanan Rakyat dan adanya Laskar Rakyat Mataram; dan 4) Suasana Yogyakarta yang revolusioner dan republiken. Berpindahnya ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta menyebabkan ikut berpindah pula kekuatan-kekuatan oposisi dari Jakarta ke daerah pedalaman. Kota yang dianggap tepat untuk basis oposisi adalah kota “saingan” Yogyakarta, yaitu Surakarta. Kekuatan oposisi yang bermarkas di Surakarta adalah kelompok kiri pimpinan Tan Malaka beserta kekuatan-kekuatan baik partai politik maupun badan-badan perjuangan yang mendukungnya. Tan Malaka merupakan seseorang yang melegenda di hati sebagian besar pejuang kemerdekaan Indonesia, termasuk Soekarno. Visi revolusi Tan Malaka commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
didasarkan pada pemberontakan masyarakat Indonesia dengan revolusi total bukan saja imperialisme dan penjajah yang diusir tapi juga mengikis habis sisasisa kebudayaan lama, seperti feodalisme. Hal ini dikarenakan, feodalisme menyuburkan mentalitas budak yang sarat dengan cerita-cerita takhayul dan mistik sehingga meyebabkan orang menyerah kepada alam. Keprihatinan Tan Malaka dituangkan dalam karyanya Madilog sebagai kritik terhadap mentalitas budak yang masih dimiliki bangsanya.3 Baginya, kemerdekaan bukan hanya berarti politik tetapi juga ekonomi, sosial dan lebih dari itu mental. Revolusi total hanya bisa terjadi dan berhasil kalau; 1. Massa dapat digerakkan; 2. Ada organisasi yang kuat untuk menjaga disiplin dan jalan revolusi dengan cara hukum besi; dan 3. Ada pimpinan revolusi. Dari sinilah Tan Malaka menginginkan sebagai ”kemudi’ revolusi yang membawa revolusi menurut ”selera”nya. Tan Malaka ingin menjadi “pemimpin revolusi”, hingga berbenturan dengan kelompok lain terutama Syahrir.4
B. Kelompok Oposisi di Surakarta
a. Persatuan Perjuangan Di Balai Agung, gedung Balaikota Surakarta pada tanggal 15 Januari 1946 pukul 10.00 dibuka Kongres Pendidikan Volksfront. Lima ratus orang pengunjung hadir atas nama 141 organisasi. Jenderal Soedirman beserta stafnya juga turut hadir, dengan diiringi tokoh tertinggi Angkatan Laut Atmadji. Soekarno, Hatta 3
4
Tan Malaka, 1951, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika, Jakarta: Wijaya, hal. 42
Anthony Reid, 1996, Revolusi Nasional Indonesia, ter. P.G Katoppo, Jakarta: Pustaka Sinar commit to user Harapan, hal.72.
perpustakaan.uns.ac.id
41 digilib.uns.ac.id
dan kabinet juga diundang hadir, tapi mereka tidak datang. Sultan Yogyakarta dan Sunan Surakarta mewakilkan utusannya masing-masing. Soebardjo dan Gatot Taroenamihardjo yang jauh dari pusat kekuasaan, juga tampak hadir. Kongres tersebut dihadiri lebih dari seratus organisasi. Organisasi besar sudah hadir di Purwokerto di Kongres sebelumnya, organisasi-organisasi kecil regional dan lokal berdatangan dengan senang dan termasuk sebagai peserta. Seperti Partai Rakyat Djelata (PRD) dan Dewan Perdjoangan, badan-badan permusyawaratan antara tentara dan badan-badan perjuangan. Terutama yang didirikan di Jawa Barat, Tengah dan Timur sangat berpengaruh, tapi juga yang di tingkat lebih rendah, regional dan setempat semuanya aktif dengan kompetensi masing-masing yang berbeda-beda.5 Seorang tokoh, Tan Malaka merangkum sidang petang hari itu. Dengan terkumpulnya 141 organisasi massa atau partai politik pada tanggal 4 Januari 1946 di Purwokerto, maka terbentuklah organisasi Persatuan Perjuangan yang menggambarkan tekad perjuangan yang anti-diplomasi dalam revolusi Indonesia. Ia menyerukan diadakan penerangan dan propaganda yang luas tentang tujuan perjuangan, perang sejati, yang harus berakhir dengan kekalahan musuh. Untuk kepentingan terbentuknya organisasi yang kokoh, dengan mengingat banyaknya partai maka hanyalah Volksfront merupakan jalan keluar. Tan Malaka berpidato selama satu setengah jam, ditekankannya bahwa: Volksfront soepaja mendjadi badan persatoean perdjoeangan jang menjelesaian pertikaian antara badan-badan, antara badan-
5
Harry A. Poeze, 2008, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor commit to user Indonesia, hal. 233.
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
badan dan pemerintah poesat, antara seseorang dan pemerintah poesat. Karena koerangnja persatoean akan menjebabkan bangsa kita kalah berdjoeang. (...) Dimana-mana telah timboel partai jang soekar dikendalikan. Ini menerbitkan perpetjahan.6 Salah satu paradoks di awal revolusi 17 Agustus 1945 adalah lahirnya oposisi yang cukup kuat terhadap kabinet Sjahrir. Ben Anderson melihat ada dua faktor utama yang memotivasi timbulnya oposisi tersebut : (1) Kabinet Sjahrir tidak mewakili semua golongan. (2) Program kabinet mengutamakan diplomasi kepada Belanda dibandingkan perlawanan bersenjata Salah satu tokoh nasional yang mengisi peranan sebagai oposisi yang cukup kuat adalah Tan Malaka. Tan Malaka sendiri diperkenalkan kepada beberapa tokoh nasional seperti Soekarno, Sjahrir, Iwa Koesoemasoemantri dan lainnya melalui Soebardjo (anggota PPKI) yang sudah dikenalnya ketika ia diasingkan di Belanda tahun 1922, pada bulan Agustus 1945. Pada awal bulan September 1945, Tan Malaka mengunjungi Soekarno di rumah dokter pribadinya, dr. Soeharto. Percakapan yang disaksikan oleh Sajuti Melik, Tan Malaka mendesak Presiden untuk mengundurkan diri ke pedalaman untuk mengatur perlawanan bersenjata yang lebih efektif. Hasil percakapannyanya dengan Tan Malaka itu membuat Soekarno terkesan sehingga Soekarno menyatakan jika terjadi sesuatu dengan dirinya maka Tan Malaka mengambil alih segala tanggung jawabnya. Penjelasan Soekarno
6
Ibid, hal. 235.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
43 digilib.uns.ac.id
tersebut kemudian diceritakan Tan Malaka kepada kawannya, Soebardjo, yang mana kemudian mereka berdua berinisiatif membuat surat wasiat. Akhirnya Tan Malaka meminta Soebardjo untuk mengundang Soekarno ke rumahnya, disitu rencana surat wasiat dibuat dan diajukan untuknya. Namun atas desakan Hatta, pewarisnya diusulkan tidak hanya Tan Malaka seorang namun ada empat orang yaitu : Tan Malaka, Sjahrir, Wongsonegoro (Nasionalis) dan Soekiman (dari golongan Islam). Oleh karena Soekiman sedang berada di Jogjakarta maka kedudukannya digantikan oleh Iwa Koesoemasoemantri.7 Surat wasiat tersebut segera mengalami kadaluwarsa ketika Jenderal Christison menjamin bahwa Inggris akan menghormati pemerintahan Soekarno dan membuka jalur perundingan dengan pihak sekutu dan Belanda. Pasukan sekutu kemudian mendarat di Jakarta sekitar akhir September dan awal bulan Oktober 1945, Tan Malaka mendekati Sjahrir dan mendesak suatu persekutuan untuk menyingkirkan pemerintahan Soekarno-Hatta dengan semacam perebutan kekuasaan dan untuk menjalankan kebijaksanaan yang lebih radikal menghadapi sekutu. Kepada Sjahrir ditawarkan jabatan baik sebagai Perdana Menteri maupun sebagai presiden, dengan Tan Malaka memegang jabatan baik sebagai Presiden maupun sebagai menteri tertentu seperti Menteri Perburuhan atau Menteri Dalam Negeri. Namun demikian Sjahrir menolak ide Tan Malaka dan menasehatinya untuk pergi ke daerah-daerah dan melihat apakah ia atau Soekarno yang benarbenar memperoleh dukungan.
7
Ben Anderson, 1988, Revoloesi Pemoeda. Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa, 1944commit userHarapan, hal. 58. 1946, Terjemahan: Jiman Rumbo, Jakarta: PustakatoSinar
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Setelah pertempuran Surabaya di awal November 1945 hubungan Sjahrir dan Tan Malaka mengalami puncaknya akibat jumlah korban pertempuran Surabaya yang begitu besar. Sjahrir dengan keyakinannya yang kuat menempuh jalan diplomasi, sementara itu Tan Malaka dengan fanatisme yang sama menyakini jalan perjuangan bersenjata melawan tentara sekutu. Maka itu pada tanggal 3 Desember 1945, Tan Malaka menerbitkan suatu brosur yang diberi judul, “Moeslihat”. Salah satu tokoh dalam brosur yang bersifat dialogis tersebut yaitu Godam mengusulkan perlunya pembuatan “Volksfront” (Front Perjuangan) yang dibagi menjadi 3 bagian : politik, militer dan ekonomi. Godam
menekankan
bahwa
“Volksfront”
itu
bukanlah
suatu
pemerintahan, melainkan suatu organisasi untuk mengerahkan segala tenaga untuk memenangkan perang. Ia harus memasukkan sebanyak mungkin golongan dan diorganisasikan atas dasar yang paling demokratis dan terpusat. Setelah pembuatan “Moeslihat”, nama Tan Malaka semakin berkibar di dunia pergerakan pemuda waktu itu ditambah beberapa tokoh seperti Muhammad Yamin ikut melambungkan namanya. Ketika ia berpidato pada konggres pemuda yang diadakan di Purwokerto pada tanggal 3 Januari 1946 atas prakarsa Sukarni ia memperkenalkan “Minimum Program” yang berisi : (1) Beroending atas pengakoean kemerdekaan 100% (2) Pemerintahan Rakjat (3) Tentara Rakjat (4) Meloetjoeti Tentara Djepang commit to user
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(5) Mengoeroes tawanan bangsa Eropah (6) Mensita dan menjelenggarakan pertanian moesoeh (7) Mensita dan mengoeroes perindoestrian8 Sementara itu ide Tan Malaka tentang “Front Perjuangan” mendapat tanggapan yang cukup baik dari Partai Sosialis dan elemen pergerakan lainnya, namun bagi pemerintahan saat itu “Front Perjuangan” dianggap sebagai oposisi. Pada konferensi perjuangan rakyat kedua yang dilaksanakan di Surakarta pada tanggal 15 dan 16 Januari 1946 dari pihak pemerintah yang juga seperti Presiden, Wakil Presiden dan seluruh menteri kabinet hanya Panglima Besar Soedirman yang hadir sambil mengucapkan suatu perkataan yang terkenal, “Lebih baik di (bom) atom sama sekali daripada tidak merdeka 100% !”9 Kongres di Surakarta itu menghasilkan “Front Perjuangan” yang diberi nama “Persatuan Perjuangan” (PP) yang mengambil nama dari pidatonya Tan Malaka di konggres tersebut. Panitia kecil yang ditunjuk untuk membuat usulanusulan kongkrit dari Persatuan Perjuangan adalah : (1) Ibnu Parna dari Pesindo (2) Wali al Fatah dari Masyumi (3) Sakirman dari Dewan Perjuangan Jawa Tengah (4) Abdulmadjid dari Partai Sosialis
8
Kedaulatan Rakyat, 16 Januari 1946.
9
Ben Anderson, op. cit., hal. 62.
commit to user
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(5) Jenderal Soedirman dari TKR (6) Atmadji dari TKR Laut (7) Soejono dari KNI-Surakarta (8) Usman dari PRI-Surabaya (9) Nyonya Mangoenkoesoemo dari Perwani; dan (10) Tan Malaka Daya dorong PP kemudian semakin besar dan nampaknya kampanye yang dilakukan Tan Malaka mencapai puncak keberhasilan yang tinggi. Sejumlah besar golongan yang berbeda-beda apakah karena keyakinannya, taktik atau bahkan oportunisme politik telah memutuskan untuk memasuki PP. Pada tanggal 17 Februari 1946 Presiden Soekarno berpidato, “Pertjajalah bahwa perdana menteri kita akan tetap dengan pendiriannya mempertahankan kemerdekaan 100% itu”. Dan pada bulan Maret 1946, Sjahrir merubah susunan kabinetnya dengan memberikan jatah kursi kabinet kepada Masyumi dan Partai Sosialis yang hampir sama besar serta ditambah beberapa tokoh yang berpengaruh dari Parkindo (Leimena), PBI (Sjamsu Hardja), PNI (Herling Laoh) dan Wikana (BKPRI) untuk mengantisipasi dominasi PP yang semakin membesar.10
b. Barisan Banteng Barisan Banteng merupakan nama baru dari Barisan Pelopor yang telah eksis sebelum perang. Dalam sebuah konferensi yang diadakan di Surakarta pada 10
Harry A. Poeze, op.cit., hal. 240.
commit to user
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tanggal 14 dan 15 Desember 1945, diputuskan untuk mengganti nama dari Barisan Pelopor menjadi Barisan Banteng dengan markas besar di Surakarta di bawah pimpinan Dr. Muwardi dan mbah Sudiro. Sejak permulaan, kekuatan Barisan Banteng terpusat di Surakarta, bahkan dilaporkan memiliki 10.000 anggota dan berlandaskan pada pengikut-pengikut pribadi Muwardi dan Sudiro serta teman-teman karib mereka. Dengan demikian barisan ini ditandai secara menentukan oleh kepribadian pemimpinnya. Meskipun ia seorang dokter kesehatan yang terlatih baik dan pengabdi, Dr. Muwardi sama sekali bukan dokter Jawa berpendidikan barat yang biasa, seorang yang berkemauan keras, pemarah, dan sangat berani meskipun tubuhnya kecil. Ia telah lama aktif dalam gerakan pandu nasionalis sebelum perang, pandai silat, memiliki hubungan-hubungan yang dekat dengan berbagai “jago” dan taat kepada ilmu kebatinan. Nasionalisme sangat berwatak Jawa, dalam berbagai segi sejajar dengan nasionalisme Sarmidi Mangunsarkoro. Suatu pertanda dari pandangan mengenai dirinya sendiri sebagai pejuang dan bukan sebagai seorang politikus, maka ia tidak masuk PNI Sarmidi, meskipun bawahannya sendiri, yaitu Sudiro melakukannya. Barisan banteng sering disamakan dengan PNI, dalam berbagai segi ia dekat dengan PETA Jawa Tengah, dan di sisi lain dekat dengan Presiden Sukarno. Dengan adanya kepribadian Muwardi, Barisan Banteng sejak semula agak curiga dengan keanggotaan berhaluan internasional dan kabinet Syahrir, dan lama-lama menarik ke sampingnya berbagai orang yang sama-sama memiliki kecurigaan-
commit to user
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kecurigaan itu. Barisan Banteng kemudian menjadi komponen yang menonjol dari kelompok oposisi.11
C. Keberadaan Daerah Istimewa Surakarta
Pada masa kolonial Belanda, Surakarta merupakan daerah Vorstenlanden atau daerah swapraja, yaitu daerah yang berhak memerintah daerahnya sendiri (zelfbesturende landscappen). Surakarta tidak diatur oleh UU seperti daerah lain tapi diatur tersendiri dengan perjanjian antara Gubernur Jenderal dengan Sri Sunan dengan nama Politiek Contract (Kontrak Politik). Ada dua macam kontrak politik, yaitu Lang Contract (kontrak panjang) tentang kesetaraan kekuasaan antara kerajaan asli Indonesia dengan Belanda, dan Korte verklaring (pernyataan pendek) tentang pengakuan atas kekuasaan Belanda. Kasunanan dan Kasultanan diatur dalam Lang Contract sementara Mangkunegaran dan Pakualam diatur dalam korte verklaring. Kontrak politik mempunyai dasar hukum yang kuat karena dibuat oleh kedua belah pihak dan harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Kerajaan Belanda. Sejak GJ Van Heutz (1851-1924) setiap pergantian raja akan diadakan pembaharuan kontrak. Kontrak yang terakhir untuk Kasunanan diatur dalam S 1939/614 dan Mangkunegaran dalam S 1940/543, Kasultanan S 1941/47 dan Pakualaman S 1941/577, Kontrak S 1939/614 dan S 1940/543 menyebutkan bahwa Kasultanan dan Mangkunegaran berpemerintahan asli. Artinya, Kasunanan 11
Ben Anderson, 1988, Revoloesi Pemoeda. Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa, 19441946, Terjemahan: Jiman Rumbo, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal. 103.
commit to user
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan Mangkunegaran berlaku tata cara, adat istiadat asli yang sejak dulu telah berlaku tanpa harus mengadopsi tata cara yang diberlakukan di daerah-daerah lain oleh Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, Surakarta dikukuhkan sebagai daerah Istimewa dengan sebutan Kochi (daerah istimewa). Rajanya diberi sebutan Koo yaitu Surakarta Koo dan Mangkunegoro Koo. Pemerintahan Surakarta disebut dengan Kooti Sumotyookan. Alasan Jepang menjadikan Surakarta sebagai daerah Istimewa adalah, Jepang tidak ingin merubah kedudukan daerah-daerah di Indonesia Jepang melaksanakan propaganda agar Daerah Kochi bersedia bekerja sama dalam memenangkan Perang Asia Timur Raya. Mengingat Jepang banyak mengalami kekalahan melawan Sekutu maka pemerintah Jepang mendorong pembentukan badan-badan yang merancang kemerdekaan Indonesia yaitu BPUPKI dan PPKI. Surakarta sebagai daerah Kochi diikutkan dalam keanggotaan BPUPKI dalam merancang UUD 1945. Anggota BPUPKI dari Surakarta adalah Wongsonegoro, Wuryaningrat, Sosrodiningrat, dan Radjiman Widiodiningrat. Pada rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 Soepomo memberi penjelasan tentang Rancangan UUD 1945 yang dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Jaminan kedudukan kooti dalam UUD 1945 b. Penghormatan pada daerah istimewa atau kooti dalam susunannya yang asli c. Daerah zelfbesturende landscappen (kooti) dinyatakan sebagai daerah bukan negara
commit to user
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. Penguasa kooti setingkat gubernur12 Pada masa revolusi kemerdekaan, hak konstitusi daerah istimewa diatur dalam pasal 18 UUD 1945 yang dalam penjelasannya menyebutkan daerah yang bersifat
istimewa
meliputi
Zelfbesturende
landschappen
maupun
volksgemeenscaphhen. Daerah ini memiliki susunan asli oleh karenanya dianggap sebagai daerah istimewa. Amandemen UUD 1945 tahun 1999 dan 2000 mengatur hak konstitusi daerah istimewa pada pasal 18B yaitu: 1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan UU. 2. Negara mengakui dan menghormati masyarakat, hukum adat dan hak-hak tradisional. Maklumat Sri Sunan Paku Buwono XII tertanggal 1 September 1945 menyatakan bahwa Negeri Surakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari negeri Republik Indonesia dan berdiri di belakang pemerintah pusat negara RI. Pada tanggal 6 September 1945 pemerintah Republik Indonesia memberi piagam kedudukan kepada Sri Susuhunan Paku Buwono XII yang merupakan bagian dari wilayah RI. Piagam ini ditandatangani Soekarno tertanggal 19 Agustus 1945. Pengakuan pemerintah atas kedudukan Susuhunan Paku Buwono XII diperkuat dengan pemberian pangkat militer kepada Sunan Paku Buwono XII
12
Julianto Ibrahim, 16 Januari 2010, Makalah dalam Diskusi Wacana Pembentukan Propinsi Daerah Istimewa Surakarta, Semarang: Yayasan Putra Budaya Bangsa.
commit to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pada tanggal 1 November 1945 dengan pangkat Letnan Jenderal, merupakan bentuk pengakuan perjuangan Sunan Paku Buwono XII dalam membela republik. Pada masa awal revolusi terjadi kesalahpahaman antara KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) Surakarta dengan pemerintah kerajaan yang sudah mendapat pengakuan dari pemerintah pusat yang menyebabkan double bestuur (pemerintahan ganda). Komitmen pemerintah untuk menjadikan Surakarta menjadi daerah istimewa ditunjukkan dengan diangkatnya Panji Suroso tanggal 19 Oktober 1945 sebagai komisaris tinggi untuk Surakarta yang bersifat istimewa. Suroso membentuk direktorium untuk mengatasi double bestuur di Surakarta dengan diketuai Sunan PB XII, wakil Mangkunegoro VIII, dan anggota 5 orang KNID Surakarta. Suroso berharap sebagai daerah istimewa, kekuasaan dipegang oleh pihak kraton. Pada tanggal 27 November 1945 Suroso membentuk Panitia Tata Negara yang bertugas menyusun peraturan tentang Daerah Istimewa Surakarta. Peraturan Daerah Istimewa Surakarta dibicarakan oleh pihak Kasunanan, Mangkunegaran dan 27 organisasi di Surakarta baik laskar rakyat, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi politik (representatif untuk mewakili masyarakat Surakarta)13.
D. Konflik Sosial Politik Masa Revolusi Fisik 1945 Kelompok-kelompok atau kelas-kelas sosial dalam masyarakat mudah menjadi basis timbulnya konflik-konflik sosial politik. Kelas-kelas sosial ini dapat mendasari pertentangan, pergolakan maupun konflik yang cenderung bersifat 13
Ibid.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
52 digilib.uns.ac.id
menonjolkan primordialisme dan faksionalisme. Unsur kepentingan kelas atau kelompok sering mempengaruhi jalannya suatu peristiwa sejarah yang terjadi. Konflik-konflik sosial politik pada masa revolusi dapat muncul antara kaum konservatif dengan progresif, sosialis-komunis dengan nasionalis-agama, politisi dan militer, kaum tua dan kaum muda, dan aristokrat feodal dengan demokrasi kerakyatan. Dalam pola atau struktur konflik itu, ideologi juga berperan penting untuk mempertajam jurang perbedaan dan kepentingan antar kelompok yang bertikai.14 Konflik sosial politik di daerah Surakarta sebenarnya telah ada sejak awal kemerdekaan. Kevakuman kekuasaan pada awal revolusi mengundang terjadinya konflik kepentingan kelompok yang ada. Hukum sebab akibat berlakulah teori, ada aksi menimbulkan reaksi. Sejak ditetapkannya Surakarta sebagai Daerah Istimewa atau Swapraja oleh pemerintah RI di pusat pada 19 Agustus 1945, maka segera timbul reaksi dari para pejuang kemerdekaan di Surakarta dari berbagai kelompok. Ketetapan tersebut yang kemudian diperkuat oleh adanya maklumat raja di Surakarta tertanggal 1 September 1945 tentang seruan kepada seluruh penduduk Surakarta untuk loyal menerima ketentuan status Daerah Istimewa bagi kedua kerajaan di Surakarta itu. Hal ini tampaknya dianggap bersifat bertolak belakang dengan semangat kemerdekaan atau revolusi. Sejak awal 1945 secara nyata mulailah periode konflik sosial politik, berupa gerakan-gerakan anti-Swapraja untuk menghapus Daerah Istimewa, gerakan untuk mengganti Susuhunan Pakubuwono XII, dan gerakan untuk
14
Suyatno Kartodirdjo, 1989, Revolusi Nasional di Tingkat Lokal, Jakarta: Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, hal. 47. commit to user
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
merubah peraturan Daerah Istimewa/ Swapraja yang tidak cocok dengan zamannya.15 Gerakan-gerakan ini juga berdampak luas, misalnya perebutan pengaruh, penculikan, dan insiden bersenjata. Daerah Surakarta berkali-kali didatangi Menteri Dalam Negeri, Dr. Sudarsono untuk menemui Paku Buwono XII. Tujuannya tidak lain untuk menciptakan stabilitas di Surakarta secara sosial politik. Pada suatu pertemuan dengan Menteri Dalam Negeri tersebut seorang bangsawan kraton Surakarta, Woeryaningrat selaku ” Bupati Nayaka”, mengusulkan suatu pendapat yang menyangkut persoalan Daerah Istimewa itu. Pertama, agar Daerah Istimewa dipegang oleh Pemerintah Pusat, bila sudah ada peraturan yang mengatur Daerah Istimewa,maka dikembalikan seperti semula. Kedua, gerakan-gerakan yang disebut ”revolusi sosial” agar diberi pengertian bahwa gerakan tersebut memperlemah persatuan dan kesatuan untuk menghadapi musuh dari luar yang ingin menjajah bangsa Indonesia. Namun demikian usul ini ditolak Dr. Sudarsono.16 Akhirnya di kemudian hari timbul berbagai peristiwa revolusioner di Surakarta akibat suhu revolusi yang terus memanas yang sulit dikendalikan. Pada 15 April 1946 terjadi penculikan-penculikan, terutama dilakukan oleh kesatuan-kesatuan kelaskaran dan pemuda-pemuda militan. Penculikan terhadap pepatih dalem dan wakilnya di Kasunanan, sehingga kekosongan jabatan ini diisi Woeryaningrat yang diangkat Paku Buwono XII, berstatus pejabat ”Ymt” atau sementara. Selain itu banyak pegawai ditahan dan selanjutnya menimbulkan
15
Suara Merdeka, 20 Februari 1983.
16
Ibid.
commit to user
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ketakutan
pegawai
lainnya
sehingga
banyak
yang
memutuskan
untuk
mengundurkan diri. Penculikan lain ditujukan kepada R. Mulyadi Joyomartono (eks Peta) dan wakil ketua KNID Surakarta, dengan alasan karena dianggap kurang tegas. Di lingkungan keluarga keraton juga diculik, misalnya Kanjeng Ratu Paku Buwono (Ibu Sri Paku Buwono XII), Ray. Sunami (kerabat Istana Mangkunegaran), R. Sukarjo Wiryopranoto (eks anggota Volksraad), Duta Besar RI di Vatikan dan RRC yang datang dari luar Surakarta. Mereka diculik dan ditempatkan di Kandang Menjangan, Kartosuro. Mereka diculik dengan tuduhan sebagai matamata Belanda. Setelah Sudiro menjadi wakil Residen Surakarta, mereka dibebaskan.17 Komandan Pasukan Intel 0001, Zulkifli Lubis dan beberapa orang pengawalnya diculik kemudian ditempatkan di Gembongan, Kartosuro. Sudiro memerintahkan Barisan Banteng untuk membebaskan mereka, tetapi harus memenuhi syarat tidak boleh menginjakkan kaki di Surakarta sebelum persoalan swapraja dapat diselesaikan.18 Pada 1 Mei 1946 Mangkunegoro VIII mengeluarkan pengumuman bahwa Mangkunegoro adalah sebagai Kepala Distrik Khusus Mangkunegaran yang berada di bawah langsung Presiden RI. Berdasarkan pada pengumuman itu berarti daerah Mangkunegaran tetap dipertahankan pihak konservatif sebagai swapraja. Status ini tidak ingin terjadi perubahan, apalagi yang bertentangan dengan kepentingan golongan konservatif itu. 17
Karkono Kamajaya, 1993, Revolusi di Surakarta, Makalah Temu Ilmiah, Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, hal. 12. 18
Ibid.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
55 digilib.uns.ac.id
Hal itu mempertajam timbulnya gerakan anti-swapraja atau revolusi sosial. Gerakan revolusioner muncul di Surakarta untuk menentang keinginan golongan konservatif tersebut. Sebagai langkah awal dari kaum revolusioner mengadakan rapat besar pada 9 Mei 1946 yang dihadiri oleh 36 organisasi politik yang dipimpin Dr. Muwardi.19 Tujuan rapat besar ini untuk membentuk dengan segera badan legislatif secara demokratis dan melalui pemilihan langsung untuk menentukan anggotanya. Pada kesempatan itu pihak konservatif di Surakarta, Susuhunan dan Mangkunegoro mendapat kritik keras dari mereka. Akibatnya Dr. Muwardi beserta 11 tokoh politik lainnya ditangkap unsur tertentu, yang juga termasuk ditangkap ialah anggota KNID Surakarta. Dengan ditangkapnya para tokoh progresif tersebut, maka sebagai rentetannya, di Surakarta segera timbul demonstrasi-demonstrasi pada 28 Mei 1946 yang dilancarkan secara bersama untuk menentang aksi penangkapan tokohtokoh rakyat itu. Para pelaku demonstrasi berasal dari kelompok Barisan Banteng, Hizbullah, dan Polisi Khusus. Bulan April dan Mei 1946 rupanya cukup panas suasana politik di Surakarta terutama dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat itu. Pada satu sisi gerakan anti-swapraja berkembang luas hingga ke masyarakat desa. Misalnya tindakan badan-badan pekerja KNID, Surakarta maupun daerah-daerah luar kota, berusaha melepaskan diri dari kekuasaan swapraja Surakarta yang diikuti berbagai kesatuan perjuangan lainnya. Di Klaten, Badan Pekerja KNI yang didukung sekitar 60 organisasi misalnya PBI, BTI,
19
Mawardi, 1995, Dinamika Revolusi Sosial di Surakarta, Sukoharjo: Universitas Veteran commit to user Bangun Nusantara, hal. 53.
perpustakaan.uns.ac.id
56 digilib.uns.ac.id
Laskar Rakyat, Laskar Buruh, Pesindo, Barisan Banteng, Masyumi, Hizbullah, GPII, Parkindo, dan Pangreh Praja lokal menyatakan keputusan untuk membentuk pemerintahan rakyat, terlepas dari swapraja Kasunanan.20 Demikian pula daerah Karanganyar dan Wonogiri melepaskan diri dari swapraja Mangkunegaran. Kota Surakarta dan pihak Kepolisian Daerah Surakarta juga menyatakan diri terlepas dari swapraja, pihak kepolisian menjadi Kepolisian Republik Indonesia.21 Namun demikian di sisi lain pihak swapraja tampaknya tetap bertahan dengan pendiriannya untuk mempertahankan status keistimewaannya. Berkenan dengan itu daerah Sragen juga melepaskan diri. Konflik-konflik di Surakarta dipertajam pula dengan adanya kelompok oposisi. Kelompok ini menempatkan diri sebagai oposan pemerintah RI pusat. Pada permulaan tahun 1946 Perdana Menteri Syahrir merintis perundingan diplomatis dengan Belanda. Pihak Persatuan Perjuangan (PP) yang dipimpin Tan Malaka dengan beberapa tokoh pendukungnya, Mr. Iwa Kusumasumantri, Mr. Muhammad Yamin, Mr. Achmad Soebarjo, Chaerul Saleh, Sukarni, Adam Malik menuntut agar kabinet Syahrir segera dibubarkan. Namun demikian tuntutan PP tidak diterima Soekarno-Hatta. Oleh karena itulah kemudian terjadi konflik di pusat pemerintahan RI yang ketika itu telah berada di Yogyakarta dan selanjutnya menjalar ke Surakarta. Seperti diketahui bahwa PP yang dipimpin Tan Malaka merupakan kelompok
20
21
Ibid.
Wisnu Widodo, 1987, Surakarta Genap 41 tahun: Pada Awal kemerdekaan RI pernah menolak commit user sebagai Daerah Istimewa, Suara Merdeka, 16 Junito1987.
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
oposisi yang cukup besar pengaruhnya dalam lingkungan sipil maupun militer dengan program-programnya yang radikal.22 Pada bulan Juni 1946 ketegangan politik di Surakarta menimbulkan aksi penculikan terhadap tokoh-tokoh Pemerintah RI. Pada 27 Juni 1946 malam, Perdana Menteri Syahrir beserta rombongannya yaitu Dr. Sudarsono (Menteri Dalam Negeri), Ir. Darmawan Mangunkusumo (Menteri Kemakmuran), Mr. Maria Ulfah (Sekretaris Kabinet), yang baru saja dari perjalanan ke Mojokerto dan kemudian menginap di Javasche Bank Surakarta diculik oleh Mayor AK. Yusuf atas dasar surat tugas dari Mayor Sudarsono.23 Penculikan terhadap Syahrir dan kawan-kawannya ini terdengar hingga ke Jawa Timur, akhirnya kelompok Pesindo Jawa Timur (pendukung Syahrir) menyerbu Surakarta dan menduduki kantor di depan Javasche Bank tersebut dan Markas Polisi Tentara. Namun mereka tak kuasa apa-apa karena penculiknya adalah Mayor AK. Yusuf. Perdana Menteri Syahrir dan rombongannya kemudian dibawa ke Pesanggrahan milik Sunan di Paras Boyolali. Selain itu di Kantor Pemerintahan Rakyat dan Tentara pada 28 Juni ternyata kosong. Pemimpin-pemimpin pemerintahan ini diamankan di Resimen XXV jalan Jebres yang dipimpin Suadi Suromiarjo. Adanya perintah Presiden Soekarno untuk segera mengembalikan Perdana Menteri Syahrir melalui RRI akhirnya para pemimpin pemerintahan itu baru meninggalkan resimen XXV untuk pulang ke rumah masing-masing. Soekarno juga mengumumkan ”Negara dalam
22
Taufik Abdullah dkk, 1983, Manusia dalam kemelut Sejarah, Jakarta: LP3ES, hal. 165.
23
Karkono Kamajaya, op.cit., hal. 16.
commit to user
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
keadaan Darurat Perang” dan menyerukan agar Syahrir segera dikembalikan para penculik. Untuk sementara waktu pemerintahan diambil alih Presiden Soekarno. Peristiwa penculikan Perdana Menteri Syahrir tersebut merupakan dampak kekuatan kelompok oposisi dalam menghadapi Pemerintah RI di pusat yang ternyata masih berlanjut hingga timbulnya apa yang disebut sebagai ”Peristiwa 3 Juli”.24
24
Mawardi, op.cit., hal. 55.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PEMBENTUKAN KNID SURAKARTA DAN PERANNYA DALAM PERGERAKAN POLITIK DI SURAKARTA
A. Terbentuknya Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta
Pembentukan pemerintahan di Surakarta pasca proklamasi didasarkan pada proses pelembagaan negara yang diselenggarakan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Proses pelembagaan negara tersebut berhasil menetapkan UUD 1945, memilih Soekarno sebagai Presiden dan Muhammad Hatta sebagai Wakil Presiden, serta membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).1 Terbentuknya KNI Pusat ini kemudian diikuti oleh terbentuknya KNI Daerah Surakarta dalam pertemuan di Pendopo Wuryaningratan pada tanggal 11 September 1945 dengan menunjuk Mr. BPH. Soemodiningrat sebagai ketua. Keberadaan KNID Surakarta mendapat dukungan dari segenap potensi perjuangan rakyat, seperti Badan Keamanan Rakyat (BKR), Angkatan Muda Tentara, Kelompok Delapan, Badan Pengawas dan Penyelidik Umum (BPU), Hizbullah dan Gerakan Rakyat Indonesia (GRI). Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) sebagai pimpinan gerakan revolusi di Surakarta harus menghadapi kekuatan Jepang yang terbagi dalam Kooti Jimmu Kyoku (kekuatan sipil), Butai yang bersenjatakan lengkap, dan Kenpetai. Pembentukan Komite yang bertujuan untuk
1
George Mc Turnan Kahin, 1995, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Surakarta: UNS Press commit to user hal. 177
59
60 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
merebut kekuasaan Jepang beserta persenjataannya disambut antusias oleh penduduk Surakarta. Walaupun pihak kerajaan telah mengakui keberadaan Republik Indonesia namun tidak ada upaya dalam penyerahan kekuasaan dari Jepang. Lambannya usaha kerajaan di Surakarta dalam menegakkan kekuasaan republik dan perebutan senjata dari Jepang menyebabkan pemerintah berupaya untuk membentuk Komite Nasional di Surakarta. Hal ini mendapat sambutan antusias dari Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK). Upaya yang dilakukan pemerintah pun terlihat intensif dengan kedatangan anggota kabinet Soekarno yaitu Mr. Maramis dan Mr. Sartono di Surakarta pada 9 September 1945. Dua hari kemudian dilakukan rapat yang dipimpin oleh Mr. Sartono di Pendopo Wuryaningratan. Pada kesempatan ini disepakati untuk membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta yang menguasai wilayah Surakarta dan secara tidak langsung merupakan pengembangan dari PPK. Penunjukkan ketua KNID Surakarta dilakukan dengan pemilihan oleh para peserta rapat. Rapat tersebut dihadiri oleh 144 peserta yang berasal dari seluruh Surakarta. Pada umumnya mereka adalah para politisi dan pejuang yang tergabung dalam barisan-barisan perjuangan dan laskar di Surakarta dimana beberapa di antaranya telah melakukan penyerobotan-penyerobotan terhadap fasilitas publik di Surakarta antara lain gedung-gedung pemerintahan maupun industri-industri gula di Surakarta. Pemungutan suara yang dilakukan dalam commit to user
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pemilihan ini memenangkan Mr. B.P.H. Sumodiningrat. Adapun hasil pemungutan tersebut seperti di bawah ini: 1. Mr. B.P.H. Sumodiningrat 94 suara 2. G.P.H. Jatikusumo 36 suara 3. R. Mulyadi Joyomartono 12 suara 4. K.P.H. Hamijoyo Santoso 2 suara Agar lebih mewakili semua pihak maka KNID Surakarta yang dipimpin oleh Soemodiningrat (ipar Susuhunan) dikembangkan dengan menambah jumlah anggotanya
yaitu
Soeprapto,
H.
Moefti,
GPH.
Suryohamijoyo,
KRT.
Mangundiningrat, Sutopo Hadi Saputro, I.J. Kasimo, Mulyadi Joyomartono, dan Suyono yang pelantikannya dilakukan pada tanggal 9 September 1945 di Sriwedari.2
Adapun
struktur
kepengurusan
KNID
Surakarta
pimpinan
Soemodiningrat sebagai berikut: Ketua
: Mr. B.P.H. Soemodingrat
Wakil Ketua : M. Suprapto (peradilan) Wakil Ketua : dr. Kartono Martosuwignyo (kesehatan dan cendikiawan) Wakil Ketua : R. Sutopo Adisaputro (pendidikan) Wakil Ketua : K.H. Abdul Mufti (Islam) Wakil Ketua : R.M. Hendrokusumo (pemuda) Wakil Ketua : Suyono (pergerakan rakyat dan ex-Digulis)
2
Panitia Pembangunan Monumen Pejuang 1945, 1974, Buku Kenang-kenangan Perjuangan to user Rakyat Surakarta dari Zaman ke zaman,commit Surakarta:t.p., hal. 25.
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Wakil Ketua : R.Ng. Domopranoto (kepolisian) Wakil Ketua : Mr. Sukasno (cendekiawan) Sekretaris I
: R. Sumodiharjo
Sekertaris II
: R. Seno
Bendahara I
: R. Martoraharyo
Bendahara II : R. Suyono Humardani3 Pada saat bersamaan berdiri pula KNID Kabupaten Kota Surakarta yang merupakan KNID setingkat Kabupaten. KNID Kabupaten Kota Surakarta diketuai oleh KH. Asnawi dengan anggota Parikrangkungan, Brotopranoto, Jazid, dan Martomoeljono dengan wilayah kekuasaan meliputi sebagian wilayah kabupaten kota Mangkunegaran, sebagian kabupaten Wonogiri dan sebagian kabupaten wilayah Kasunanan di sebelah timur (kini Kabupaten Sukoharjo).4 Pembentukan
KNID
Kabupaten
Kota
Surakarta
menimbulkan
kontroversi dan penolakan Mangkunegaran terhadap KNID Kabupaten Kota Surakarta. Kontroversi ini berlanjut hingga KNIP dan Pemerintah mengeluarkan UU No. 1 tahun 1945 yang menyatakan bahwa di Surakarta tidak perlu dibentuk KNID karena disesuaikan dengan status politik Surakarta sebagai daerah istimewa.5
3
Ibid.
4
Pemerintah Kota Surakarta, 2000, Mozaik Pemerintah Kota Surakarta, Surakarta: Pemerintah Kota Surakarta, hal. 13. 5
Ibid.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
63 digilib.uns.ac.id
Pernyataan pemerintah tersebut mengundang protes dan penolakan dari badan-badan perjuangan. Mereka menganggap partisipasi kerajaan dalam menegakkan kedaulatan Republik Indonesia tidak dapat diandalkan. Selain itu berkembangnya semangat persamaan derajat (egalitarian) manusia dalam konteks bernegara diwujudkan dalam sistem demokrasi dan setiap manusia memiliki hak politik yang sama. Di luar semangat nasionalisme dan demokrasi yang menggebu dalam barisan perjuangan, hal lain yang tidak boleh dilupakan ialah oportunis individu dalam memandang kekuasaan, sebagian besar kelompok yang terlibat didasari oleh kepentingan ekonomi tiap-tiap individu dan pencarian status sosial yang penting dalam mentalitas bangsa. Pemihakan KNID Surakarta terhadap demokrasi menyebabkan KNID Surakarta memiliki kemampuan untuk eksis dan memobilisasi badan perjuangan yang menyebabkan terjadinya penyerahan kekuasaan dan senjata dari pihak Jepang kepada KNID Surakarta.
B. Peran Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta
1. Penyerahan Kekuasaan Jepang ke tangan Komite Nasional Indonesia Daerah Surakarta
Pendudukan tentara militer Jepang di Surakarta ditandai dengan dibangunnya Markas Polisi Militer Tentara Angkatan Darat Jepang yang disebut commit to user
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Surakarta Nippon Rikugun Kenpeitai atau sering disebut Kenpeitai Surakarta. Tentara Jepang menduduki Indonesia pada umumnya dan Surakarta pada khususnya, mempunyai tujuan untuk memperkuat pertahanan militernya dalam perang Asia Timur Raya. Jepang membentuk pasukan pembantu perang yang disebut Peta dan Heiho yang terpusat ke dalam organisasi Boui Engo Kai. Tugas pasukan Peta lebih dititikberatkan untuk keperluan pertahanan teritorial (wilayah Surakarta), sedangkan Heiho tugasnya dititikberatkan untuk membantu tugas tentara Jepang dalam perangnya. Pasukan tentara Jepang yang bertugas di Kenpeitai Surakarta adalah pasukan tentara Angkatan Darat Jepang yang bernama Masse Butai. Masse Butai adalah tentara Jepang yang sangat terkenal karena keganasan dan kekejamannya. Masse Butai ditempatkan di seluruh daerah Surakarta yaitu Boyolali, Klaten, Wonogiri, dan lain-lain. Kantor pusat Masse Butai adalah di Mangkubumen Surakarta, sedangkan kubu pertahanannya berada di Tampir Boyolali. Selain membentuk kekuatan militer, Jepang juga membentuk kekuatan sipil di Surakarta dengan nama Surakarta Kochi Jimmu Kyoku yang kepala atau Suchokan-nya dipegang oleh T. Watanabe. Kantor pusat Surakarta Kochi Jimmu Kyoku adalah di kantor Balaikota (sekarang).6
6
Raudlotul Fauziah, 2005, Peranan Boui Engo Kai Pada Masa Pendudukan Jepang di Surakarta tahun 1943-1945, Skripsi Sarjana Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, hal. 85.
commit to user
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Masa pendudukan Jepang di Indonesia telah membawa perubahan dalam segala bidang, terutama setelah Jepang mengumumkan janjinya untuk memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Tetapi janji kemerdekaan tersebut mulai diragukan rakyat Indonesia setelah Jepang membubarkan partai politik yang ada dan melakukan penyegelan terhadap radio-radio milik rakyat. Tetapi keadaan tersebut tidak mematahkan dan memadamkan jiwa dan semangat tentara Heiho dan Peta, yang diam-diam berusaha mengumpulkan kekuatan untuk melakukan gerakan rakyat Indonesia untuk merdeka. Mereka sadar bahwa kemerdekaan hanya akan terwujud dengan perjuangan bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu, melalui pertemuan dan rapat-rapat mereka berusaha mematangkan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat Surakarta untuk melawan dan menentang Jepang. Pada
awal
Agustus
1945,
tentara
Jepang
sudah
menampakkan
kemunduran-kemunduran dalam peperangan Asia Timur Raya. Pada tanggal 6 Agustus 1945 dan 9 Agustus 1945 kota Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom oleh Amerika Serikat sehingga membuat Jepang tidak berdaya lagi. Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang resmi menyerah dalam perang melawan AS dan sekutunya. Penyerahan Jepang tersebut disusul dengan dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan Indonesia segera tersebar luas ke pemimpin pergerakan maupun masyarakat di Surakarta. Proklamasi tersebut juga merupakan suatu perintah untuk mencetuskan revolusi guna merebut kekuasaan dari tangan commit to user
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Jepang. Gerakan-gerakan atau aksi-aksi perlawanan untuk menuju kemerdekaan Indonesia telah siap dilakukan oleh masyarakat Surakarta. Setelah tentara Jepang mengalami kekalahan dan adanya proklamasi kemerdekaan, secara otomatis masyarakat tidak mengakui lagi kekuasaan Jepang yang ada di Indonesia. Di Surakarta, masyarakat tidak mengakui lagi kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh Surakarta Kochi Jimmu Kyoku. Pada tanggal 1 Oktober 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah Surakarta mengadakan perundingan dengan Watanabe sebagai Suchokan di Surakarta. Perundingan tersebut bertujuan agar Kochi Jimmu Kyoku menyerahkan kekuasaannya kepada Pemerintah Daerah Surakarta karena Jepang telah mengalami kekalahan. Dengan tanpa perlawanan, Watanabe menyerahkan kekuasaannya di Surakarta kepada Mr. B.P.H Soemodiningrat sebagai Kepala Pemerintah Surakarta. Sehingga pada tanggal 1 Oktober 1945 secara resmi seluruh kekuasaan Jepang di Surakarta telah diserahkan kepada bangsa Indonesia.7 Penyerahan kekuasaan Jepang terjadi setelah adanya keinginan KNIDS untuk mengurusi pemerintahan di Surakarta berdasarkan kedaulatan republik. Peristiwa yang terjadi pada 1 Oktober 1945 bertempat di gedung Kooti Zimu Kyoku Tyokan (sekarang Balaikota) merupakan kudeta terselubung pihak KNIDS terhadap kerajaan di Surakarta. Adapun isi pernyataan penyerahan kekuasaan 7
Ibid.
commit to user
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tersebut yang dimuat di harian Kedaulatan Rakyat tanggal 2 Oktober 1945, adalah sebagai berikut:
PENJERAHAN PEMERINTAHAN Pada hari Senin tanggal 1 Oktober 1945, seloeroeh Pemerintahan Kooti Zimu Kyoku dan semoea peroesahaan telah diserahkn kepada KOMITE NASIONAL DAERAH SURAKARTA oleh Tyookan.
MERDEKA!!! Komite Nasional Barisan Penerangan
Setelah penyerahan kekuasaan tersebut disepakati oleh kedua belah pihak, maka H. Watanabe sebagai penguasa pemerintahan sipil Jepang dan Sumodiningrat sebagai ketua KNIDS keluar gedung untuk menemui ribuan massa yang sebagian besar berasal dari laskar perjuangan. Kehadiran massa ini tentu digunakan sebagai senjata ampuh untuk mengintimidasi pemimpin Jepang dengan kesiagaan massa untuk menghadapi “hal-hal yang tidak diinginkan”. Penyerahan kekuasaan pemerintahan sipil tidak hanya terbatas pada bidang administrasi sipil saja, namun melibatkan unsur-unsur perekonomian sebagaimana terlihat dalam isi penyerahan itu sendiri. Perusahaan-perusahaan yang semasa Jepang menduduki Surakarta diserahkan kembali kepada pribumi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
68 digilib.uns.ac.id
Selanjutnya tempat kediaman Suchokan Watanabe yang pada waktu pemerintahan Jepang berada di Loji Gandrung dan juga merupakan pusat pemerintahan sipil ini setelah penyerahan kekuasaan tidak lagi digunakan, tetapi Watanabe kemudian pindah ke Tampir, Boyolali. Tempat baru ini juga sebagai konsentrasi penempatan orang-orang Jepang dari daerah Surakarta pada umumnya, baik orang-orang sipil maupun militer.8 Dalam revolusi kemerdekaan di Surakarta, sasaran pokoknya adalah merebut senjata dari tentara Jepang, karena senjata merupakan syarat utama untuk dapat meneruskan perjuangan Indonesia. Sasaran utama untuk mendapatkan senjata di Surakarta adalah Masse Butai, yang secara militer menguasai persenjataan di seluruh daerah Surakarta. Dua unsur kekuatan Jepang lainnya, yang bersifat militer, secara dominan dihadapi dengan kekerasan daripada diplomasi. Tidak seperti bidang pemerintahan sipil yang dapat diselesaikan melalui diplomasi saja. Untuk menghadapi pasukan Butai yang dipimpin Letnan Komandan T. Masse, dan Kenpeitai yang dipimpin kapten Sato, KNID Surakarta bersama rakyat bekerja keras dan penuh resiko. Kelompok Butai Masse secara damai dapat diselesaikan dengan baik. Upaya pendekatan yang diwakili Suyatno Yosodipuro (seorang pemuda) dan Sunarto Kusumodirjo (eks Sudancho Manahan) dengan Panglima Militer di seluruh Surakarta, T. Masse mengalami keberhasilan. Tempat perundingan
8
Mawardi, 1995, Dinamika Revolusi Sosial di Surakarta, Sukoharjo: Universitas Veteran Bangun commit to user Nusantara, hal. 38.
perpustakaan.uns.ac.id
69 digilib.uns.ac.id
mereka di pendopo Kabupaten Boyolali. Hasil perundingan ini ialah penyerahan kekuasaan kelompok Butai tersebut bersama perlengkapan senjatanya kepada pihak Indonesia. Secara resmi proses penyerahan kekuasaan kelompok militer Butai Masse itu berlangsung pada 5 Oktober 1945. Sebagai penerimanya adalah wakil-wakil KNID Surakarta yaitu Sunarto Kusumodirjo, GPH Jatikusumo, Mulyadi Joyomartono dan Achmad Fajar dengan pemimpinnya BPH Sumodiningrat. Dengan demikian penyerahan kekuasaan militer terutama kelompok Butai juga diupayakan oleh KNID Surakarta yang cukup berhasil tanpa melalui jalan kekerasan. Penyerahan kekuasaan tersebut berlangsung di Markas Besar Kenpeitai. Adapun bunyi surat penyerahan kekuasaan ini adalah sebagai berikut9: ” Pada hari Jumat 5 Oktober 1945 saya, Panglima dari pasoekan tentar Nippon dalam daerah Soerakarta, Letnan Komandan T. Masse menyerahkan segala tanggung jawab atas penjagaan semoeanya alat-alat senjata dan mesioe yang berada di bawah kekoeasaan saya, kepada Pembesar Pemerintahan Bangsa Indonesia daerah Soerakarta.” Bila pengambilalihan kekuasaan dari kelompok Butai berlangsung secara damai, maka untuk kelompok pasukan Kenpeitai bersifat sebaliknya. Kapten Sato yang menjadi komandan Kenpeitai tidak mau menyerahkan kekuasaan kepada pihak Indonesia. Oleh karenanya para pejuang kemerdekaan di Surakarta
9
Karkono Kamajaya, 1993, Revolusi di Surakarta, Makalah Temu Ilmiah, Yogyakarta: Balai to user Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, hal.commit 9.
perpustakaan.uns.ac.id
70 digilib.uns.ac.id
menjalankan cara-cara kekerasan setelah jalan perundingan beberapa kali tanpa hasil. Alasan Sato menolak penyerahan kekuasaan dan senjata Jepang kepada pihak Indonesia, karena belum menerima perintah dari Tenno Haika (Kaisar Jepang). Alasan ini tampaknya masuk akal dilihat dari segi disiplin militer Jepang yang menekankan loyalitas penuh kepada atasannya. Pada 12 Oktober 1945 Ketua KNID Surakarta, BPH Sumodiningrat yang disertai Mulyadi Joyomartono dan Sunarto Kusumodirjo untuk kesekian kalinya menemui Komandan Sato. Bersamaan dengan itu rakyat mengepung kantor Kenpeitai yang berada di jalan Slamet Riyadi (sekarang Hotel Cakra) dengan bersenjata dalam jumlah banyak. Keadaan terkepung ini Kenpeitai bersikap agak lunak. Komandan Kenpeitai mengambil kebijaksanaan penyerahan kekuasaan akan dilakukan, tetapi tidak di kantor tersebut, melainkan akan dilaksanakan di Tampir, Boyolali. Dengan begitu perlu angkutan untuk mengantar orang-orang Jepang dari markas Kenpeitai itu. Komandan Kenpeitai minta disediakan empat buah truk dan dua sedan guna mengangkut pasukan Kenpeitai dan senjatanya ke Tampir. Permintaan tersebut sampai jam 18.30 tidak dapat dipenuhi pihak KNID Surakarta, karena kendaraan bermotor sudah disembunyikan para pemuda di Surakarta. Di samping itu perasaan khawatir terhadap keselamatan pemimpin KNID Surakarta menghantui kelompok pemuda. Persoalan itu berlanjut hingga menimbulkan suasana tegang. Pihak Kenpeitai marah dan timbullah tembak menembak dengan rakyat pejuang. Perselisihan senjata ini berlangsung sampai menjelang pagi hari. Dalam waktu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
71 digilib.uns.ac.id
semalam itulah pertempuran terjadi. Pada pukul 06.00 tanggal 13 Oktober 1945 secara mendadak muncul sebuah jeep yang ditumpangi empat pemuda menerobos masuk ke pertahanan Kenpeitai sambil menembakkan mitraliurnya kepada pasukan Kenpeitai. Di belakangnya rakyat pejuang menyusul dan menyerbu secara massal melawan pasukan Jepang tersebut. Dengan serbuan itulah pasukan Kenpeitai di bawah komandan Sato baru mau menyerahkan kekuasaan secara total beserta perlengkapan senjatanya kepada rakyat Surakarta. Pasukan Kenpeitai akhirnya kalah dan kemudian ditempatkan di rumah penjara untuk menghindar dari balas dendam rakyat. Selanjutnya mereka diangkut ke Tampir, Boyolali sebagai tempat konsentrasi atau pengumpulan orang-orang Jepang di daerah Surakarta10. Berkat KNID Surakarta, pemuda dan kalangan rakyat pejuang lainnya, pasukan Jepang di Surakarta dapat dikalahkan dan mau memberikan kekuasaannya. Sejak Kenpeitai dapat dikalahkan rakyat, BKR dan lain-lain yang diawali dari Timuran, maka pada 13 Oktober 1945 secara resmi militer Jepang di Surakarta telah menyerah. Oleh karena itu bertambah giatlah tuntutan penyerahan Kidobutai di daerah-daerah lain.11 Hal ini misalnya di daerah Semarang dan sekitarnya. Dengan demikian penyerahan kekuasaan sipil pemerintah Jepang tersebut dapat dikatakan sepenuhnya sebagai hasil jerih payah KNID Surakarta dan rakyat.
10
Mawardi, op.cit., hal. 41.
11
commit user Bambang Suprapto, Suara Merdeka, 14 Oktoberto1987.
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Peralihan kekuasaan pemerintah sipil Jepang kepada KNID Surakarta segera disertai dengan perubahan-perubahan administratif yang diperlukan untuk menjalankan kekuasaan yang baru saja diperoleh. Surat-surat kepegawaian yang berurusan dengan kepegawaian yang semasa Jepang ditandatangani oleh Suchokan kemudian diganti dengan yang baru menggunakan cap dan tanda tangan ketua KNID Surakarta. Penyerahan kekuasaan yang secara simbolik diterima BPH Sumodiningrat selaku ketua KNID Surakarta itu memberikan dampak bagi para pemuda dan rakyat untuk mengambil segera senjata-senjata di markas Jepang. Di bawah komando para pemimpin kelaskaran di daerah Surakarta pengambilan senjata Jepang berlangsung di beberapa tempat misalnya di Colomadu, Mangkubumen. Bangak, Simowalen, gembongan, dan Pengging. Pengambilan senjata Jepang ini dilakukan oleh kesatuan-kesatuan kelaskaran tanpa inventarisasi yang tertib, ada yang langsung dibagikan kepada kelompok pasukannya dan ada yang disimpan di gudang sehingga menyulitkan untuk mengetahui berapa jumlah dan jenisnya. Selain itu persoalan senjata ini di masa selanjutnya sering menimbulkan pertentangan diantara kelompok laskar. Konflik antar kelaskaran di Surakarta di kemudian hari sering terjadi.12
12
Mawardi, op.cit., hal. 40.
commit to user
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. KNID Surakarta sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah Pada awal kemerdekaan, meskipun Surakarta dijadikan sebagai Daerah Istimewa atau Swapraja yang bertujuan mempertahankan status kedua keraton dengan otonomi pemerintahannya, tetapi kenyataannya hal demikian tidak diterima secara baik oleh rakyat umumnya. Walaupun juga harus diketahui pemberian status Daerah Istimewa itu atas prakarsa Pemerintah Republik Indonesia
di
Pusat
melalui
Presiden
Soekarno.
Pihak
kraton
justru
memperlihatkan sikap yang tidak disenangi rakyat, karena dianggap bertentangan dengan arus dan nilai-nilai revolusi itu sendiri. Sikap kurang tanggap terhadap situasi revolusi dan tidak mampu mengantisipasi secara tepat akhirnya membawa nasib aristokrasi di Surakarta menyimpang atau bahkan berbalikan dari apa yang diharapkan. Kelemahan terhadap semangat revolusi dari aristokrasi ini menimbulkan krisis kekuasaan di Surakarta pada awal kemerdekaan. Terjadinya kondisi seperti itu dapat dipahami ada hubungannya dengan faktor dalam lingkungan kraton. Bila ditarik ke masa lampau ada beberapa faktor yang secara logis menentukan sekali nasib istana-istana di Surakarta pada masa revolusi. Setelah Mangkunegoro VII meninggal pada tahun 1944, maka tampuk kekuasaan digantikan oleh Mangkunegoro VIII yang masih muda, belum berpengalaman, dan berada di bawah pengaruh pegawai kraton yang tua dan konservatif. Demikian pula yang dialami kraton Kasunanan, setelah wafatnya Paku Buwono XI pada tahun 1944 akhirnya Kasunanan di bawah raja baru, Paku Buwono XII yang juga masih muda, belum berpengalaman, dan di bawah commit to user
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengaruh wazirnya yang masih ada pertalian keluarga dan yang ayahnya dikenal bersimpati sekali kepada Belanda.13 Faktor internal itu menunjukkan suatu kemerosotan kekuasaan kraton di mata rakyat Surakarta, bahkan dianggap kraton wis koncatan wahyu oleh masyarakat pada umumnya. Dengan kenyataan ini kepercayaan rakyat terhadap otoritas yang dimiliki kraton menipis dan akhirnya hilang dengan sendirinya. Padahal dalam suatu masyarakat Jawa yang masih tersentuh nilai-nilai peradaban tradisionalnya seperti di Surakarta itu sulit melepaskan diri dari pola-pola hidup peternal, tetapi karena perimbangan sikap dan harapan tidak diperoleh akhirnya hancurlah pola-pola tersebut. Orientasi mereka mulai bergeser dari lingkungan kekuasaan otokrasi ke demokrasi yang sejalan dengan semangat revolusi. Keengganan raja-raja Surakarta atau pihak otokrasi mengikuti gerak revolusi menyebabkan makin jauhnya kepercayaan dan hubungan rakyat terhadap penguasa tradisional ini. Oleh karena itu pada bulan-bulan awal revolusi di Surakarta mengalami krisis kekuasaan yang selanjutnya krisis ini memberikan peluang besar bagi institusi-institusi baru yang berjiwa revolusi untuk menggantikannya. Pasifnya raja-raja Surakarta segera diimbangi aktifitas di kalangan pejuang kemerdekaan dari berbagai golongan sosial.14
13
George D. Larson, 1990, Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942, terjemahan AB. Lapian, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, hal. 7 14
Mawardi, op.cit., hal. 46.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
75 digilib.uns.ac.id
Di lain pihak pemerintahan republik di Surakarta diperkuat dengan berdirinya KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) Surakarta yang diprakarsai oleh seorang bangsawan kraton Kasunanan, yaitu Wuryaningrat pada awal bulan September 1945. Ia merupakan ketua Jawa Hokokai di masa Jepang cabang Surakarta. Setelah mengadakan pemilihan ketua KNID Surakarta pada 11 September 1945, maka terpilihlah Sumodiningrat yang juga seorang bangsawan dari Kasunanan. Dalam pelaksanaan tugasnya, Sumodiningrat dibantu oleh 9 orang yang berasal dari berbagai kelompok: Dr. Kartono, R. Wongsodinoto, Abdul Mufti, R. Hadipriyono, Sunarto Kusumodiharjo, KGPH Suryohamijoyo, Sujono, Sumarno Sutosundoro, dan Setiyadikusumo.15 Terbentuknya KNID Surakarta yang bertugas melucuti Jepang akhirnya mendapat keberhasilan secara gemilang. Adanya KNID Surakarta disambut baik oleh golongan-golongan pejuang kemerdekaan di Surakarta, BKR, AMT, Markas Delapan (Pemuda), Badan Pengawas dan Penyelidik Umum (BPU), Hizbullah, Gerakan Rakyat Indonesia (GRI), dan rakyat Surakarta. Dengan demikian terjadinya krisis kekuasaan di Surakarta pada masa awal kemerdekaan langsung dapat dipecahkan melalui komite tersebut sebagai semacam lembaga perwakilan rakyat daerah.
15
Soejatno, 1972, Kolonialisme Barat dan Kemunduran Raja-raja Surakarta abad XIX, commitJurusan to userSejarah, IKIP Surakarta, hal. 53. Surakarta: Seksi Pembinaan Pengajaran Sejarah,
perpustakaan.uns.ac.id
76 digilib.uns.ac.id
3. Peran KNID Surakarta dalam gerakan Anti Swapraja Di daerah Surakarta, peristiwa revolusi sosial terjadi karena keinginan partai-partai dan pemuka-pemuka pergerakan agar swapraja dihapuskan. Caracaranya adalah lebih halus daripada peristiwa-peristiwa di Jawa Barat dan Sumatera. Namun revolusi di daerah ini berlangsung terpimpin. KNID Surakarta yang diketuai oleh Sumodiningrat, bekas opsir PETA dan seorang bangsawan, dengan cara yang terpuji menyelesaikan tugasnya yang pertama yakni: 1. Melucuti tentara Jepang. 2. Memindahkan kekuasaan pemerintahan dari tangan Jepang kepada KNID Surakarta. Tanggal 30 September 1945 beribu-ribu rakyat mendengarkan hasil usaha itu di depan Gubernuran. Cokan Watanabe menyerahkan kekuasaan kepada KNID Surakarta. Sumodiningrat keluar dan terus didukung oleh hadirin beramai-ramai. KNID Surakarta meneruskan perlucutan Jepang. Pekerjaan pemerintahan itu diserahkan kepada suatu Dewan Pemerintahan yang terdiri atas Suprapto, Sutopo, dan Sumantri. Tanggal 19 Oktober 1945 datanglah R.P. Suroso yang menjadi Komisaris Tinggi daerah-daerah Swapraja. Diterangkannya, bahwa tugasnya adalah sebagai koordinator antara Kasunanan dan Mangkunegaran. Sudah selayaknya raja-raja memperjuangkan kekuasaannya sebagai kepala daerah istimewa. Namun dalam hal ini raja-raja di Surakarta tidakcommit bersatutoseperti user di Yogyakarta antara Sultan dan
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Paku Alam, yang menjadi Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa. Di Surakarta terjadi persaingan antara kedua orang raja, sambil pula tuntutan partaipartai semakin hebat, supaya swapraja dihapuskan saja. Komisaris Tinggi akhirnya menghapuskan Dewan Pemerintahan yang ada dan atas keputusan Badan Pekerja KNI Pusat dibentuklah Direktorium, sebagai overkapping atas kedua bagian daerah dan dengan demikian agar hanya ada satu pemerintahan di Surakarta. BP KNIP menunjuk lima orang untuk duduk dalam Direktorium, yaitu Dalyono, Projosudodo, Ronomarsono, Dasuki, dan Juwardi. Dewan pemerintahan ini diketuai oleh Komisaris Tinggi dan para raja diundang mengirim wakil-wakilnya (patih). Jumlah anggota menjadi 9 orang. Pada prakteknya Direktorium ini tidak berjalan lancar, hal ini disebabkan karena para raja kurang membantunya, terutama pihak Mangkunegaran yang kurang menyetujuinya. Komisaris Tinggi menyusun Panitia Tata Negara untuk merancang Undang-undang Dasar untuk daerah Surakarta. Hasil panitia ini dikirim kepada Menteri Dalam Negeri Sudarsono untuk meminta pengesahan. Bersamaan dengan itu, gerakan anti-swapraja sudah memuncak. Tanggal 29 April 1946 lahir mosi dari Kepolisian, Angkatan Muda, Pamongpraja, GRI, Partai Sosialis, BTI, BPRI, Banteng dan PNI:16
16
A.H. Nasution, 1977, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid II, Bandung: Angkasa, hal 552-554.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
78 digilib.uns.ac.id
1. Menuntut supaya daerah istimewa Surakarta dihapuskan artinya kedua Sri Paduka di Surakarta tidak memegang pemerintahan lagi. 2. Supaya daerah istimewa Surakarta dijadikan sebagai residensi lainnya. 3. Supaya kedua Sri Paduka tersebut hanya mengurus kraton dan istananya masing-masing. Pada tanggal 30 April 1946 SP Paku Buwono XII dan Wuryaningrat, pembesar pemangku jabatan Pepatih Dalem, mengeluarkan maklumat: Mengingat apa yang tersebut dalam pasal 18 anggaran dasar kita dan piagam PYM Presiden tanggal 19 Agustus 1945 dan mengetahui gerak-gerik di dalam kalangan rakyat di daerah kami hal lenyap atau tidaknya daerah istimewa Surakarta Hadiningrat, kami mempermaklumkan kepada rakyat kami, bahwa jikalau memang terang menjadi kehendak rakyat sebenar-benarnya akan lenyapnya daerah istimewa Surakarta Hadiningrat dan telah ditetapkan oleh pemerintah negara Republik Indonesia, kami tidak berkeberatan akan menyerahkan pemerintahan kami kepada pemerintah agung tadi.17 Menteri Dalam Negeri Sudarsono sendiri datang ke Surakarta untuk mengurus pertikaian. Ia berunding dengan kedua raja dan wakil-wakil rakyat, dan meminta kesabaran, sampai DPR memutuskan. Tanggal 6 Mei 1946 dikeluarkan maklumat Menteri Dalam Negeri:
17
commitSasana to user Maklumat Paku Buwono XII, 1946, Surakarta: Pustaka.
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam 7 hari sesudah pengumuman maklumat ini akan dibentuk suatu panitia yang merencanakan dan menjalankan pemilihan umum di daerah istimewa Surakarta. Badan-badan perwakilan rakyat yang terbentuk sebagai hasil pemilihan umum itu mempunyai kekuasaan yang syah untuk menyelesaikan hal keistimewaan dalam daerah tersebut. Sebagai
penjelasan
dikatakan,
untuk
menyelesaikan
hal
keistimewaan dalam daerah istimewa Surakarta, maka dicari jalan yang sesuai dengan Undang-undang Dasar, program pemerintah dan hasrat segenap lapisan rakyat di daerah Surakarta. Pemerintah berpendapat, bahwa dengan jalan
membentuk
badan perwakilan rakyat
soal
keistimewaan dapat diselesaikan dengan kekuasaan yang syah, artinya kekuasaan berdasarkan kedaulatan rakyat yang sebenar-benarnya. Berhubung dengan mendesaknya soal tersebut, maka pemilihan umum dan sebagainya akan dimulai dengan segera.18 Tanggal 2 Mei 1946 Mangkunegoro VIII telah mengeluarkan maklumat yang lain pendiriannya dari pada Paku Buwono XII. Namun BP KNI kabupaten kota Mangkunegaran memutuskan supaya segera diakhiri adanya tiga macam pemerintahan di Surakarta dan mendesak agar segera terlaksananya kedaulatan rakyat. Dengan tiadanya keputusan yang tegas, terkatung-katungnya posisi Komisaris Tinggi serta Direktorium dan dengan tetap resminya daerah istimewa, 18
commit to user Reksa Pustaka. Maklumat Menteri Dalam Negeri, 1946, Mangkunegaran:
perpustakaan.uns.ac.id
80 digilib.uns.ac.id
maka pada hakekatnya sudah timbul vacuum pemerintahan di daerah Surakarta, dan dalam kesempatan ini berbagai aliran yang ekstrim bergolak, yang semakin membuat daerah ini yang disebut sebagai wild west.19 Terlepas dari segala konflik istana, keberadaan KNID Surakarta pada akhirnya digunakan sebagai sarana semangat revolusi pemuda dalam mewujudkan impiannya tentang Negara yang berkedaulatan rakyat dan menjadi motor gerakan anti swapraja dalam menentukan pemerintahan kerakyatan.20 Di tengah upaya untuk menyusun pemerintahan yang sesuai dengan kehendak rakyat Surakarta,muncul suara-suara kebencian dan penolakan atas pemerintah swapraja di Surakarta. Penolakan ini sejalan dengan semangat revolusi yang anti feodalisme. Melihat kenyataan yang begitu besar keperayaan rakyat maupun pemuda, maka segala hal yang berbau kerajaan dicoba untuk disingkirkan. Ketua KNID Surakarta yang semula dipegang oleh ipar Susuhunan, yaitu Mr. Sumodiningrat kemudian diganti Ir. Sakirman tanggal 29 Oktober 1945 berdasarkan garis-garis besar BP KNIP di Jakarta. Sebuah badan pekerja baru didirikan tanggal 1 November 1945 yang dikuasai oleh seorang veteran PKI sebelum perang dan
19
20
A.H. Nasution, op.cit., hal. 552-554.
Hal ini terbukti dengan penggeseran BPH Sumodiningrat sebagai ketua KNID Surakarta oleh commitpendukung to user utama Anti Swapraja. Suyono bekas aktivis PKI 1926 yang merupakan
81 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dikuasai oleh berbagai golongan pemuda yang berpendidikan radikal dan tokohtokoh dari pergerakan.21 KNID Surakarta sangat mendukung gerakan Anti Swapraja. Usaha dari KNID terlihat saat Badan Pekerja KNID Kabupaten Klaten mengadakan pertemuan dengan wakil-wakil dari 60 organisasi termasuk PBI, BTI, Laskar Rakyat, Laskar Buruh, Pesindo, Barisan Banteng, Masyumi, Hizbullah, GPII, Parkindo, dan Pangreh Praja setempat dengan mengeluarkan pernyataan sebagai berikut: Mengingat
bahwa:
Oendang-oendang
Dasar
menoentoet
soeatoe
pemerintah kera’jatan, sedangkan pemerintah Daerah Istimewa boekan pemerintahan kera’jatan; bahwa di dalam soetaoe negara kesatoean seharoesnja adanja hanja satoe kekoeasaan; bahwa djelasnja ra’jat menoejoe ke masjarakat socialist, sedang Daerah Istimewa itoe adalah hal jang bertentangan; Menimbang bahwa: Ra’jat daerah Klaten hampir semoea tidak menjoekai pada
pemerintah
istimewa;
kekoeasaan
pemerintah
istimewa
mengoerangkan hak ra’jat dalam kedaoelatan ra’jat; pemerintah daerah Soerakarta dan Mangkunegaran jang beroepa pemerintah monarchi soedah tidak tjotjok dengan aliran jang ada pada ra’jat;
21
Ben Anderson, 1988, Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 19441946, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,hal.commit 364. to user
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Memoetoeskan: 1. Selekas moengkin menghapoeskan Daerah Istimewa; 2. Menghapoeskan pemerintahan feodal; 3. Menghendaki adanja satoe pemerintahan kera’jatan oentoek seloeroeh daerah Soerakarta.22
Usaha yang dilakukan KNID Kab. Klaten tersebut kemudian diikuti oleh KNID Kab. Sragen dan Kab. Mangkunegaran. Pemerintah Mangkunegaran terkesan lambat dalam mersepon aspirasi rakyatnya. Pihak istana tidak setuju dengan dilepaskannya status daerah istimewa di Surakarta. Sikap tersebut yang mengundang kecaman dari KNID Kabupaten Kota Mangkunegaran dengan mengeluarkan mosi pada tanggal 4 Mei 1946 sebagai berikut:23 Mendesak kepada pemerintah Agoeng Mangkoenegaran selekas moengkin mendjamin terbentoeknja pemerintahan di Soerakarta jang soenggoehsoenggoeh berdasar kedaoelatan rakjat di bawah Pemerintah Repoeblik.24
Revolusi sosial merupakan gerakan spontan dari rakyat bawah untuk mewujudkan kehidupan sosial yang dikehendaki. Di Surakarta, gerakan spontan dari rakyat yang menghasilkan revolusi sosial ini dimanfaatkan oleh kekuatankekuatan politik yang ada di kota ini. Masa lampau Surakarta yang penuh
22
Antara, 27 April 1946.
23
Julianto Ibrahim, 2008, Kraton Surakarta dan Gerakan Anti Swapraja, Jogjakarta: Malioboro Press, hal. 87. 24
Kedaulatan Rakyat, 11 Mei 1946.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
83 digilib.uns.ac.id
pergolakan dan eksploitasi yang berlebihan menyebabkan munculnya paham komunisme. Keinginan KNID Surakarta agar wilayah Surakarta menjadi satu daerah Istimewa didukung oleh pembentukan KNID-KNID setingkat Kabupaten di Surakarta. Apabila KNID setingkat Kabupaten di wilayah Kasunanan mengakui keberadaan KNID Surakarta sebagai KNID daerah Istimewa Surakarta sebaliknya di wilayah Mangkunegaran terjadi penolakan oleh pemerintah Mangkunegaran untuk mengakui KNID setingkat Kabupaten yang didukung KNID Surakarta.25 Mangkunegaran beralasan bahwa pendirian KNID setingkat kabupaten di wilayah Mangkunegaran dianggap tidak perlu mengingat status Mangkunegaran sebagai daerah istimewa. Tradisi Mangkunegaran menempatkan pembagian wilayah di daerahnya (kabupaten, kawedanan dan kapanewon) sebagai wilayah administratif dan para kepala wilayah tersebut hanya bertugas sebagai penghubung kekuasaan antara Raja dengan kekuasaannya. Hal tersebut berbeda dengan kondisi di tanah Jawa lainnya yang menempatkan pembagian wilayah sebagai daerah otonom. Pembagian wilayah berarti pembagian kekuasaan yang didominasi oleh aspek-aspek politik dan memiliki kebebasan dalam menjalankan pemerintahan.26
25
Pembentukan KNID kab. Kota Mangkunegaran dan KNID Kab. Wonogiri merupakan hasil dari gerakan pemuda dan politisi non bangsawan di daerah tersebut, berbeda dengan daerah Kasunanan dimana para Bupati terlibat dalam pembentukan KNID tingkat Kabupaten. Berkas surat-surat yang masuk Mangkunegaran dan Konsep Balasannya, Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran. 26
to user Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran. Rancangan Undang-undang Kerajaancommit Mangkunegaran,
84 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pada masa tersebut, argumen-argumen Mangkunegaran yang mendasari penolakannya terhadap KNID Surakarta belum dapat dipastikan kesahihannya akibat ketiadaan perangkat hukum yang mengatur tentang daerah istimewa. Oleh karena itu penolakan Mangkunegaran tidak menyurutkan niat KNID Surakarta untuk menyatukan wilayah Surakarta dengan upaya memperoleh dukungan politik rakyat Mangkunegaran. Intervensi KNID Surakarta terhadap Mangkunegaran terlihat pada pendirian KNID Kabupaten Kota Surakarta yang sebagian besar wilayah kekuasaannya berada di daerah Mangkunegaran. Adanya hubungan kerjasama antara KNID Kabupaten Kota Surakarta dengan KNID Surakarta dan pembentukan Badan Pekerja (BP) pada KNID Kabupaten Kota Surakarta yang bertugas
untuk
mengadakan
pemerintahan
menimbulkan
protes
dari
Mangkunegaran karena terjadinya dualisme pemerintahan di Kabupaten Kota Mangkunegaran.27 Protes
Mangkunegaran
mencapai
hasil
yang
memuaskan
ketika
pemerintah mengeluarkan UU No. 1 tahun 1945. Tampaknya hanya Mangkunegaran yang menyetujui keputusan yang dibuat oleh KNIP dan pemerintah sedangkan badan-badan perjuangan di Surakarta memprotes kebijakan ini. Upaya Pemerintah RI untuk mengkonsolidasikan kekuatan di daerah diartikan berbeda-beda oleh sebagian besar partisan politik di Surakarta. Ketidakpuasan badan perjuangan dan lembaga terkait dalam menanggapi kebijakan pemerintah
27
commit to user Catatan Kronologi di Awal Proklamasi, Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran.
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ini merupakan benih dari Gerakan Anti Swapraja sebagai perwujudan revolusi sosial di Surakarta. Munculnya protes terhadap UU No. 1 tahun 1945, justru memperkuat KNID Kab. Kota Surakarta sebagai lembaga kekuasaan yang diakui dan diterima oleh badan perjuangan dan KNIDS. Berdasarkan pengakuan tersebut keberadaan KNID Kab. Kota Surakarta tetap bertahan dan eksis menjalankan pemerintahan yang diyakininya sehingga menimbulkan kekhawatiran bagi Mangkunegaran karena tidak ada tindak lanjut dari pemerintah pusat dalam menuntaskan persoalan KNID di Mangkunegaran. KNID Surakarta ingin memberikan bukti bahwa kedudukan KNID Surakarta sebagai lembaga kekuasaan di Surakarta adalah resmi dengan adanya pengakuan kedudukan KNID Surakarta berkaitan dengan pengambilalihan kekuasaan. Akan tetapi Mangkunegaran tetap beranggapan bahwa keberadaan KNIDS dan KDPRI tidak sah mengingat kekuasaan Mangkunegaran berada langsung di bawah pemerintah pusat bukan berada di bawah KNID Surakarta. Kehadiran KDPRI sebagai bagian dari KNID Surakarta menyebabkan persaingan dan pertentangan menjadi semakin terbuka.
commit to user
86 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Hubungan antara kekuatan pergerakan politik dengan KNID Surakarta
Revolusi di Surakarta tidak dimulai dari bawah di tingkat desa, tetapi dimulai di kota Surakarta oleh para pemimpin. Para pemuda dan para politisi dari zaman sebelum perang dengan antusias dan serentak mendirikan unsur-unsur pokok dari pemerintahan revolusioner, yaitu KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah), BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan badan-badan perjuangan. Unsurunsur tersebut yang untuk pertama kalinya menanamkan kekuasaan republik di dalam kota Surakarta dengan sengaja tidak mencantumkan gelar-gelar kebangsawanan dari para anggotanya yang berasal dari keraton, karena adanya beberapa pertentangan.28 Pembentukan beberapa laskar di kota dan di desa-desa merupakan respons terhadap proklamasi kemerdekaan dan menunjukkan perpecahan yang ada dalam masyarakat. Organisasi-organisasi tersebut menyatakan setia kepada nilai-nilai umum dari revolusi, seperti kemerdekaan, demokrasi, anti-imperialisme, dan antifeodalisme. Akan tetapi masing-masing organisasi memiliki pendirian dan ideologi sendiri, serta tujuan dan program sendiri. Jelas sekali sikap anggota laskar-laskar di Surakarta dibatasi oleh nilai-nilai budaya Jawa, dan di tiap organisasi terdapat hubungan yang erat diantara para anggota dan pemimpinnya.
28
R.T. Muhammad Husodo Pringgokusumo, 1982, ringkasan Disertasi Dr. Soejatno Kartodirjo: commit toRekso userPustoko, hal. 3. Revolusi di Surakarta tahun 1945-1950, Surakarta:
87 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hal ini ditunjukkan oleh penggunaan kata “bapak”. Akan tetapi kesamaan latar belakang budaya ini serta kerukunan diantara mereka tidak dapat menghilangkan kenyataan bahwa diantara laskar-laskar itu terdapat perbedaan yang mendalam dan persaingan. Respon di pedesaan terhadap proklamasi kemerdekaan bersifat meniru apa yang terjadi di dalam kota. Pemimpin-pemimpin revolusi setempat mendirikan KNI pada tingkat kecamatan, dan di tempat-tempat tertentu bahkan didirikan KNI di tingkat desa. Berbagai badan perjuangan dengan cara yang sama didirikan oleh pemuda-pemuda desa yang telah memperoleh pengalaman dalam organisasiorganisasi yang didukung oleh Jepang. Akan tetapi jurang diantara daerah perkotaan dengan pedesaan tidak dapat dijaga, karena pembentukan KNI pedesaan dan badan perjuangan pedesaan mulai melibatkan masyarakat desa langsung ke dalam politik nasional. KNI pedesaan bertindak sebagai pemeritah revolusioner di pedesaan, yang melaksanakan perintah-perintah dari pemerintah RI yang baru. Keadaan ini mengganggu jalannya perintah dari para raja melalui badan pemerintahan, sutu pola yang telah berjalan bertahun-tahun. Orang-orang desa yang memihak kepada RI mulai mengukur sikap para bekas kepala desa dengan nilai-nilai baru yang dibawa oleh revolusi Indonesia.29 KNID Surakarta bersama-sama dengan kekuatan pergerakan politik di Surakarta menyusun jalannya revolusi. Hal ini terlihat dari bersatunya markas pergerakan mereka. KNID Surakarta menggunakan bekas Hotel Yuliana di 29
Ibid, hal. 5.
commit to user
88 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Purbayan sebagai tempat pelaksana rapat mereka. Tempat tersebut juga menjadi Markas Komando Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Surakarta dan tempat berkumpulnya tokoh-tokoh revolusioner yang membuat banyaknya organisasi pergerakan politik berkumpul disana.30 Rapat pembentukan pengurus KNID Surakarta dihadiri 144 peserta dari seluruh Surakarta. Mereka adalah para politisi dan pejuang yang tergabung dalam barisan pejuang dan laskar-laskar rakyat di Surakarta. Beberapa diantara mereka pernah melakukan aksi revolusioner antara lain dengan menyerobot fasilitas publik di Surakarta seperti gedung-gedung pemerintahan dan industri gula. Latar belakang anggota KNID Surakarta yang berasal dari badan-badan kekuatan politik ini yang menjadi cikal bakal pergerakan politik yang dilakukan KNID Surakarta. Aksi-aksi revolusioner ditunjukkan secara bersama-sama antara KNID Surakarta dengan para anggota Barisan Pelopor, Markas Delapan, dan Indonesia Muda.
Mereka
berhasil
melakukan
perebutan
terhadap
gedung-gedung
pemerintahan sipil Jepang antara lain Kantor Jawatan Pos dan Telepon, Jawatan Perminyakan, Jawatan Percetakan, Jawatan Angkutan Bermotor, Jawatan Radio, Dinas Kepolisian, Dinas Rahasia dan Reserse, dan Dinas Penjara. Perebutan kantor-kantor tersebut pada akhirnya menjadi fasilitas publik pemerintah RI yang berada di bawah kewenangan KNID Surakarta.31
30
Djawatan Penerangan Kota Besar Surakarta, 1953, Kenang-kenangan Kota Besar Surakarta 1945-1953, Surakarta: t.p., hal. 2-3. 31
Karkono Kamajaya, op.cit., hal. 4-6.
commit to user
89 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pada awal Januari 1946 Surakarta menjadi markas kelompok oposisi Persatuan Perjuangan (PP). Kehadiran PP disambut antusias para pemuda di Surakarta karena program meraka sangat menentang proses diplomasi yang dilakukan
pemerintahan Syahrir dan lebih
mempercayai
revolusi
atau
pertempuran untuk menghadapi Belanda. KNID Surakarta sangat berperan dalam pelaksanaan kongres PP di Surakarta pada 4 Januari 1946. Pada kongres tersebut lahirlah Minimum Program yang dipelopori oleh Tan Malaka. Karena berperan aktif dalam Persatuan Perjuangan, KNID Surakarta yang tergabung dalam PP mendapat tempat terhormat yaitu dengan diangkatnya ketua KNID Surakarta, Suyono (mantan aktivis PKI 1926) sebagai Sekretaris Jenderal di struktur pengurus Persatuan Perjuangan.32
32
Julianto Ibrahim, 2004, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan: Kriminalitas dan user Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta, commit Wonogiri:toBina Citra Pustaka, hal. 153.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V PENUTUP
Simpulan Pada tanggal 19 Agustus 1945, Pemerintah Pusat RI berhasil melengkapi perangkat pemerintahan dengan kabinet pertamanya dan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dibentuk. Komite ini berfungsi sebagai Parlemen sementara yang dilengkapi juga suatu Badan Pekerja (BP-KNIP). Adanya Komite Nasional ini tidak hanya terbatas di lingkungan pemerintah pusat, tapi secara berlanjut di daerah-daerah dibentuk juga Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID). Tujuan KNID dibentuk adalah untuk melucuti tentara Jepang dan memindahkan kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan KNID. Pada tanggal 11 September 1945 dibentuklah KNID Surakarta yang diketuai oleh Mr. Soemodiningrat melalui sidang di Pendopo Woerjoningratan. Soemodiningrat yang merupakan ipar Susuhunan dan bekas opsir PETA ini dibantu oleh 9 orang dari elite agama, elite tradisional berpendidikan Barat dan elite politik. Keberadaan KNID Surakarta mendapat dukungan dari segenap potensi perjuangan rakyat. KNID sebagai pimpinan gerakan revolusi di Surakarta harus menghadapi kekuatan Jepang yang terbagi dalam Kooti Jimmu Kyoku (kekuatan sipil), Butai yang bersenjatakan lengkap, dan Kenpetai. Pembentukan beberapa laskar di kota dan di desa-desa merupakan respons terhadap proklamasi kemerdekaan dan menunjukkan perpecahan yang ada dalam masyarakat. Revolusi di Surakarta tidak dimulai dari bawah di tingkat desa, tetapi commit to user
90
perpustakaan.uns.ac.id
91 digilib.uns.ac.id
dimulai di kota Surakarta oleh para pemimpin. Para pemuda dan para politisi dari zaman sebelum perang dengan antusias dan serentak mendirikan unsur-unsur pokok dari pemerintahan revolusioner, yaitu KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah), BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan badan-badan perjuangan. Unsurunsur tersebut yang untuk pertama kalinya menanamkan kekuasaan republik di dalam kota Surakarta. Sejak ditetapkannya Surakarta sebagai Daerah Istimewa atau Swapraja oleh pemerintah RI di pusat pada 19 Agustus 1945, maka segera timbul reaksi dari para pejuang kemerdekaan di Surakarta dari berbagai kelompok. Di awal tahun 1945 secara nyata mulailah periode konflik sosial politik, berupa gerakan-gerakan anti-Swapraja untuk menghapus Daerah Istimewa, gerakan untuk mengganti Susuhunan Pakubuwono XII, dan gerakan untuk merubah peraturan Daerah Istimewa/ Swapraja yang tidak cocok dengan zamannya. Pada tanggal 1 Oktober 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah Surakarta mengadakan perundingan dengan Watanabe sebagai Suchokan di Surakarta. Perundingan tersebut bertujuan agar Kochi Jimmu Kyoku menyerahkan kekuasaannya kepada Pemerintah Daerah Surakarta karena Jepang telah mengalami kekalahan. Tanpa perlawanan, Watanabe menyerahkan kekuasaannya di Surakarta kepada Mr. B.P.H Soemodiningrat sebagai Kepala Pemerintah Surakarta. Pada tanggal 1 Oktober 1945 secara resmi seluruh kekuasaan Jepang di Surakarta telah diserahkan kepada bangsa Indonesia. Dengan demikian penyerahan kekuasaan sipil pemerintah Jepang tersebut dapat dikatakan sepenuhnya sebagai hasil jerih payah KNID Surakarta dan rakyat. Peralihan kekuasaan pemerintah sipil Jepang kepada KNID Surakarta segera commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
92 digilib.uns.ac.id
disertai dengan perubahan-perubahan administratif yang diperlukan untuk menjalankan kekuasaan yang baru saja diperoleh. Sikap kurang tanggap terhadap situasi revolusi dan tidak mampu mengantisipasi secara tepat akhirnya membawa nasib aristokrasi di Surakarta menyimpang atau bahkan berbalikan dari apa yang diharapkan. Kelemahan terhadap semangat revolusi dari aristokrasi ini menimbulkan krisis kekuasaan di Surakarta pada awal kemerdekaan. Krisis ini memberikan peluang besar bagi institusi-institusi baru yang berjiwa revolusi untuk menggantikannya. Pasifnya raja-raja Surakarta segera diimbangi aktifitas di kalangan pejuang kemerdekaan dari berbagai golongan sosial. Akhirnya pemerintahan republik di Surakarta diperkuat dengan berdirinya KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) Surakarta yang diprakarsai oleh seorang bangsawan kraton Kasunanan, yaitu Wuryaningrat pada awal bulan September 1945. Terbentuknya KNID Surakarta yang bertugas melucuti Jepang akhirnya mendapat keberhasilan secara gemilang. Adanya KNID Surakarta disambut baik oleh golongan-golongan pejuang kemerdekaan di Surakarta. Dengan demikian terjadinya krisis kekuasaan di Surakarta pada masa awal kemerdekaan langsung dapat dipecahkan melalui komite tersebut sebagai semacam lembaga perwakilan rakyat daerah. Di daerah Surakarta, peristiwa revolusi sosial terjadi karena keinginan partai-partai dan pemuka-pemuka pergerakan agar swapraja dihapuskan. Terlepas dari segala konflik istana, keberadaan KNID Surakarta pada akhirnya digunakan sebagai sarana semangat revolusi pemuda dalam mewujudkan impiannya tentang Negara yang berkedaulatan rakyat dan menjadi motor gerakan anti swapraja commit to user
93 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dalam menentukan pemerintahan kerakyatan. KNID Surakarta ingin memberikan bukti bahwa kedudukan KNID Surakarta sebagai lembaga kekuasaan di Surakarta adalah resmi dengan adanya pengakuan kedudukan KNID Surakarta berkaitan dengan pengambilalihan kekuasaan.
commit to user