perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BUSANA PAKU BUWONO XIII PADA UPACARA TINGALAN JUMENENGANDALEM PERIODE 2005-2011 (Sebuah Kajian Makna Simbolis Busana Raja)
Diajukan Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Melengkapi Gelar Sarjana Seni Jurusan Kriya Seni/Tekstil Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Oleh: TAUFIQURRAHMAN HIDAYAT C0905025
KRIYA SENI/TEKSTIL FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2012
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN
BUSANA PAKU BUWONO XIII PADA UPACARA TINGALAN JUMENENGANDALEM PERIODE 2005-2011 (Sebuah Kajian Makna Simbolis Busana Raja)
Disusun Oleh: TAUFIQURRAHMAN HIDAYAT C0905025 Telah disetujuai untuk dihadapkan pada sidang Skripsi oleh:
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN
BUSANA PAKU BUWONO XIII PADA UPACARA TINGALAN JUMENENGANDALEM PERIODE 2005-2011 (Sebuah Kajian Makna Simbolis Busana Raja) Disusun Oleh: TAUFIQURRAHMAN HIDAYAT C0905025 Telah disetujuai oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal 29 Mei 2012 Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Ketua
Drs. Sarwono, M.Sn NIP. 195909091986031002
Sekretaris
Ir. Aji Isworo Josef, M.Sn NIP. 195709261988111001
Penguji I
Dra. Sarah Rum Handayani, M.Hum
NIP. 195212081981032001 Penguji II
Ratna Endah Santoso, S.Sn.,M.Sn
NIP. 197610112003122001
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN Nama : Taufiqurrahman Hidayat NIM
: C0905025
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Skripsi berjudul “Busana Paku Buwono XIII Pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Periode 2005-2011 (Sebuah Kajian Makna Simbolis Busana Raja)” adalah benar-benar karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya dalam Skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyatan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pencabutan Skripsi dan gelar yang diperoleh dari Skripsi tersebut.
Surakarta, 1 Mei 2012 Yang membuat pernyataan,
Taufiqurrahman Hidayat
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“Bangkit dan bangkit lagi sampai domba menjadi singa” (Taufiqurrahman Hidayat) “Manusia kadang tersandung kebenaran. Tetapi, kebanyakan dari mereka berdiri dan bergegas seolah-olah tidak terjadi apa-apa” (Sir Winston Churchill)
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah, rahmat, serta hidayah yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan baik. Laporan Skripsi ini dibuat untuk memenuhi sebaian persyaratan guna melengkapi gelar Sarjana Seni Jurusan Kriya Tekstil. Selama penyusunan Skripsi ini penulis mengalami rintangan dan hambatan, namun berkat bantuan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak, maka penulis dapat melalui hambatan tersebut. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed, Ph. D sebagai Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Dra. Tiwi Bina Affanti, M.Sn, selaku Ketua Jurusan Kriya Tekstil. 3. Ir. Aji Isworo Josef, M.Sn, selaku koordinator Skripsi Jurusan Kriya Tekstil, sekaligus pembimbing I. 4. Drs. Sarwono, M.Sn, selaku pembimbing II. 5. KP. Winarno Kusumo, selaku narasumber dan informan, yang telah memberikan informasi serta data selama proses penelitian. 6. Joko Purnomo (Mas Kincling), yang telah bersedia memberikan data yang diperlukan selama proses penelitian berupa foto-foto sehingga dengan data tersebut proses analisa mampu tercapai. 7. Hartoyo, yang telah memberikan informasi mengenai busana Sinuwun dan atas keterbukaan menerima penulis dalam mencari data dan informasi. commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8. KGPH. Puger, yang telah mengizinkan penulis melakukan penelitian mengenai busana PB XIII di keraton Surakarta. 9. GRAy. Kus Murtiah Wirabumi, yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan data serta informasi kepada penulis. 10. Drs. Soegeng Toekiyo, yang telah bersedia memberikan arahan dan masukan yang sangat berarti bagi penulis, sehingga memudahkan penulis dalam proses penyelesaian Skripsi ini. 11. Prof. Dharsono, yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan data serta informasi penjelasan dan penerangan kepada penulis. 12. Kedua orang tua yang telah berbesar hati dan mengerti watak dan kondisi anaknya, sehingga proses penyelesaian Skripsi ini menjadi lebih ringan tanpa paksaan. 13. Yang tersayang Andika Sivi Tyashapsari, terima kasih telah memberikan dukungan dan hiburan serta segala sesuatu yang mensinergiskan mental dan kondisi penulis.
commit to user vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................
iii
PERNYATAAN ……. ....................................................................................
iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................
v
MOTTO …………….. ...................................................................................
vii
DAFTAR ISI ……........ ................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xiii
ABSTRAK………………………………...………………………………...
xvi
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
1
A. Latar Belakang ..................................................................
1
B. Batasan Masalah ................................................................
6
C. Rumusan Masalah .............................................................
6
D. Tujuan Penelitian ...............................................................
7
E. Manfaat Penelitian .............................................................
7
F. Sistematika Penulisan ........................................................
8
KAJIAN PUSTAKA ...............................................................
10
A.
Busana ...............................................................................
10
B.
Sejarah Busana Gaya Surakarta ........................................
20
C.
Busana Keraton Surakarta .................................................
23
D.
Pandangan Hidup Orang Jawa .......................................... commit to user
51
BAB II
viii
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III
BAB IV
digilib.uns.ac.id
E.
Upacara Tradisi Keraton Surakarta ...................................
55
F.
Tingalan Jumenengandalem ..............................................
58
G.
Simbol ...............................................................................
61
H.
Kerangka Fikir ...................................................................
64
METODOLOGI PENELITIAN ...........................................
66
A.
Lokasi Penelitian ...............................................................
66
B.
Jenis Penelitian ..................................................................
67
C.
Bentuk Penelitian ..............................................................
67
D.
Sumber Data ......................................................................
69
E.
Teknik Pengumpulan Data ...............................................
70
F.
Validitas Data ...................................................................
72
G.
Analisis Data ....................................................................
72
BUSANA PAKU BUWONO XIII PADA UPACARA TINGALAN JUMENENGANDALEM PERIODE 2005-2011 ............................................................
78
A. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 ........................... 1.
Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005....................
2.
86
Konsep Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005......
3.
86
98
Makna Simbolis Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 ..... commit to user ix
110
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2006 .......................... 1.
Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2006 ...................
2.
116
Konsep Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2006 .....
3.
116
120
Makna Simbolis Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2006 ....
125
C. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2007 .......................... 1.
Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2007 ...................
2.
128
Konsep Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2007 ....
3.
128
130
Makna Simbolis Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2007 ....
131
D. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2008 .......................... 1.
Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2008 ...................
2.
133
Konsep Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2008 ....
3.
133
Makna Simbolis Busana Paku Buwono XIII pada commit to user x
135
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2008 ....
136
E. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2009 .......................... 1.
Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2009 ...................
2.
138
Konsep Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2009 ....
3.
138
140
Makna Simbolis Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2009 ....
141
F. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2010 .......................... 1.
Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2010 ...................
2.
142
142
Konsep Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2010 .................................................................
3.
145
Makna Simbolis Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2010 .................................................................
147
G. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2011 .......................... 1.
149
Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2011…. ............... commit to user xi
149
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.
Konsep Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2011 .................................................................
3.
151
Makna Simbolis Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2011 .................................................................
152
H. Bagan Verifikasi Data ......................................................
153
PENUTUP ..............................................................................
158
A. Simpulan ...........................................................................
158
B. Saran-Saran ......................................................................
164
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
165
DAFTAR NARASUMBER ..........................................................................
178
LAMPIRAN ……………….. .........................................................................
169
BAB V
GLOSARI……………...………………………………………...…………... 172
commit to user xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar: 1 Udhêng cêkokmondolan dan udhêng jèbèhan ................................
26
Gambar: 2 Bagian-bagian udhêng....................................................................
26
Gambar: 3 Bentuk dan bagian kulük ................................................................
27
Gambar: 4 Bentuk baju atèlah .........................................................................
28
Gambar: 5 Bentuk baju ....................................................................................
29
Gambar: 6 Contoh baju bêskap .......................................................................
29
Gambar: 7 Bentuk baju sikêpan) .....................................................................
30
Gambar: 8 Bentuk baju sikêpan cêkak ............................................................
33
Gambar: 9 Contoh baju sikêpan agêng ...........................................................
33
Gambar: 10 Baju takwä ...................................................................................
34
Gambar: 11 Bentuk baju takwä ......................................................................
34
Gambar: 12 Contoh sinjang/jarit ....................................................................
38
Gambar: 13 Contoh kampühan ........................................................................
39
Gambar: 14 Kampüh alas-alasan ....................................................................
41
Gambar: 15 Kampüh blumbangan ..................................................................
41
Gambar: 16 Celana cindhè berbahan sutera asli .............................................
42
Gambar: 17 Berbagai macam motif sabuk .......................................................
43
Gambar: 18 Timang dan lêrêp..........................................................................
45
Gambar: 19 Bentuk èpèk .................................................................................
45
Gambar: 20 Bentuk keris ladrang dan gayaman .............................................
47
Gambar: 21 Bentuk wilahan keris, lêrês dan lük ............................................. commit to user
47
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar: 22 Bagian-bagian keris ......................................................................
48
Gambar: 23 Berbagai macam posisi penyelipan keris .....................................
49
Gambar: 24 Bentuk sêlop .................................................................................
49
Gambar: 25 Para abdi dalêm memakai busana Jawi padintênan sowan keraton 50 Gambar: 26 Letak bagian busana Paku Buwono XIII tahun 2005...................
86
Gambar: 27 Warna kain ...................................................................................
88
Gambar: 28 Bentuk detail ornamen lung .........................................................
88
Gambar: 29 Detail motif ..................................................................................
89
Gambar: 30 Motif sabuk yang mendekati bentuk bunga (puspita) .................
93
Gambar: 31 Motif tirtä tèja pada sabuk Paku Buwono XIII ...........................
93
Gambar: 32 Ilustrasi motif sabuk tirta tèja ......................................................
93
Gambar: 33 Èpèk Paku Buwono XIII ..............................................................
94
Gambar: 34 Keris gayaman ..............................................................................
95
Gambar: 35 Bentuk sêlop .................................................................................
96
Gambar: 36 Bros berbentuk bunga mawar ......................................................
97
Gambar: 37 Kalüng ulür ..................................................................................
98
Gambar: 38 Letak bagian busana tahun 2006 ..................................................
116
Gambar: 39 Warna kain pada baju takwä ........................................................
118
Gambar: 40 Unsur motif parang barong .........................................................
119
Gambar: 41 Bentuk bros makutho bertulis PB X .............................................
120
Gambar: 42 Batik parang barong PB XII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm. ...........................................................................................
124
Gambar: 43 Letak bagian busana tahun 2007 .................................................. commit to user
128
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar: 44 Warna kain pada baju takwä ........................................................
129
Gambar: 45 Letak bagian busana tahun 2008 ..................................................
133
Gambar: 46 Warna kain pada baju takwä tahun 2008 .....................................
134
Gambar: 47 Bentuk dan letak busana...............................................................
138
Gambar: 48 Warna kain pada baju takwä ........................................................
139
Gambar: 49 Bentuk dan letak busana..............................................................
142
Gambar: 50 Warna kain pada baju takwä tahun 2010 .....................................
143
Gambar: 51 Perbandingan ukuran dan bentuk motif parang barong ..............
144
Gambar: 52 Bentuk keris ladrang dan cara pemakaiannya .............................
145
Gambar: 53 Bentuk dan letak rincian busana .................................................
149
Gambar: 54 Warna kain ...................................................................................
151
Gambar: 55 Bentuk dhampar ...........................................................................
169
Gambar: 56 Paku Buwono XII dengan busana kebesarannya .........................
169
Gambar: 57 Paku Buwono X dengan busana kebesarannya ............................
170
Gambar: 58 Paku Buwono XI dengan busana kebesarannya...........................
170
Gambar: 59 Paku Buwono IX dengan busana takwä-nya ................................
171
commit to user xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Pasca wafatnya Paku Buwono XII (2004) tahta kerajaan diwarisi oleh putra tertuanya KGPH. Hangabei, ia dinobatkan sebagai Paku Buwono XIII pada Jumat Kliwon 10 September 2004. Dalam proses realisasi eksistensinya sebagai penerus tahta kerajaan, Paku Buwono XIII memiliki sikap tertentu yang nampak pada atribut kebesarannya yang digunakan setiap upacara terpentingnya, yaitu upacara Tingalan Jumênêngandalêm. Penelitian ini diarahkan pada makna simbolis busana yang digunakan Paku Buwono XIII pada upacara tersebut selama 7 periode (2005-2011). Teori pedekatan yang digunakan adalah hermeneutik, dengan bentuk penelitian deskriptif kualitatif. Teori hermeneutik digunakan untuk membedah makna simbolis busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm 2005-2011. Untuk kegiatan analisis diperlukan data yang bersangkutan dengan lingkup busana tradisi keraton Surakarta, sejarah, dan latar belakang kebudayaannya. Hasil penelitian ini diperoleh bahwa Busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005-2011 merupakan bentuk simbolis yang mengungkapkan kemuliaan dan pemuliaan seorang raja.Dalam penelitian ini juga ditemukan penggunaan atribut yang selalu berbeda setiap tahunnya, sehingga nampak adanya pergerakan makna simbolis dari tahunketahun. Pergerakan makna simbolis tersebut menunjukkan adanya esensi busana Paku Buwono XIII dari tahun 2005-2011 yang sarat dengan eksistensinya sebagai raja keraton Surakarta
commit to user xvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Busana merupakan salah satu aspek terpenting yang mencakup kebutuhan dalam realitas kehidupan manusia. Dalam merealisasikan dirinya, manusia merepresentasikan busana sebagai wujud simbol yang mempunyai fungsi sosial, sehingga memberi identitas dan citra berbeda antara individu satu dengan individu yang lainnya, atau kelompok satu dengan kelompok yang lainnya. Maka busana berpredikat sebagai jembatan penghubung antara latar belakang individu dengan lingkup sosialnya. Misalkan, ketika Paku Buwono XII yang berbusana ala musisi rock saat upacara jumenêngandalêm maka hal tersebut sangat tidak mencerminkan seorang raja di keraton Surakarta. Berbusana dengan gaya musisi rock saat jumenêngandalêm merupakan bentuk pernyataan lain sebagai cara berbusana yang tidak termasuk dalam lingkup kebudayaan keraton Surakarta. F.W. Dilliston mengatakan dalam bukunya The Power Of Symbols, bahwa, busana telah terkait erat dengan jati diri (identitas, kepribadian) nasional, dengan struktur kelas dan kualifikasi profesional, dengan konvensi masa tertentu dan dengan pertunjukan dan perayaan kesenian. Pakaian merupakan simbol berkehidupan manusia yang mempunyai kaitan luas dengan latar belakang kehidupan manusia.(Dillistone, 2002:60). commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
Gaya busana dalam kehidupan sosial keraton Surakarta, merupakan salah satu aspek terpenting yang terkait dengan setatus sosial. Hal tersebut sebagai petunjuk tata cara lain seperti kesopanan, kehormatan,
unggah
unggüh, dan lain sebagainya, sehingga dapat dengan mudah diterapkan dan disesuaikan. Busana yang terkait dengan aspek hirarki sosial tersebut dinyatakan dengan simbol-simbol tertentu yang menunjukkan tinggi rendahnya derajat sosial di keraton Surakarta. Simbol-simbol dalam busana tradisi keraton Surakarta tidak hanya berhenti pada penandaan aspek hirarki sosial, namun simbol-simbol tersebut memiliki latar belakang budaya Jawa, sehingga makna-makna simbol yang dinyatakan dalam gaya busana Surakarta relevan dengan kebudayaannya. Relevansi antara gaya busana dan simbol-simbolnya merupakan kesatuan yang mencerminkan identitas lokal busana Jawa gaya Surakarta. Gaya busana yang digunakan keraton Surakarta sekitar pertengahan abad ke 18, mengalami revolusi besar. Proses revolusi tersebut terjadi pada sekitar masa kepemimpinan Paku Buwono III dan IV. Gaya busana sebelum masa itu adalah gaya busana yang digunakan sejak keraton Mataram pertama (abad 16) sampai keraton Kartasura. Pasca perpindahan keraton (1745) dari Kartasura ke Surakarta, terjadi pemberontakan oleh KP Mangkubumi. Sehingga pada 1755 keraton dibagi menjadi dua yaitu wilayah Surakarta yang diperintah oleh Paku Buwono III dan wilayah Ngayogyakarta yang diberikan kepada KP Mangkubumi (Hamengku Buwono I). Semenjak terbaginya wilayah Mataram, segala isèn-isèn kêprabön berupa pusaka, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
gamêlan, titihan kereta, tandhu, dan busana corak Mataram dikehendaki KP Mangkubumi dibawa ke Yogyakarta. Sebelum Paku Buwono II wafat (20 November 1749), beliau berwasiat kepada putranya (Paku Buwono III), bahwa “Mbèsok mênowo pamanmu Mangkubumi hangêrsaakè agêman, paringänä” Artinya, kelak apabila pamanmu Mangkubumi menginginkan busana, berikan saja. Semenjak busana Mataram dibawa ke Yogyakarta, Paku Buwono III membuat busana sendiri dengan gaya Surakarta (Honggopuro, 2002:08). Gaya busana yang tercipta tersebut adalah baju kröwök, (atèlah, bêskap, sikêpan alit, sikêpan agêng, takwä), udhêng, dan motif-motif batik tertentu, yang hingga kini digunakan dalam setiap upacara tradisi keraton Surakarta. Busana tersebut tidak dikenakan secara sembarangan, namun penggunaannya disesuaikan dengan tatanan budaya dan tradisi yang ada. Aspek hirarki merupakan salah satu dasar tatanan yang berlaku di keraton Surakarta, maka dari itu kedudukan raja merupakan penghormatan tertinggi dalam etika dan berperilaku. Seperti yang dikatakan Darsiti Soeratman, bahwa Bagi raja atau penguasa lainnya, upacara adat, etiket (termasuk didalamnya adalah busana) merupakan alat yang dipakai untuk membuat jarak dengan orang yang lebih rendah derajatnya (Soeratman, 2000:124). Busana raja merupakan salah satu bentuk produk budaya yang diagungkan di keraton Surakarta. Larangan pemakaian busana tertentu, (saat keraton
Surakarta
masih
berfungsi
sebagai
pusat
pemerintahan)
menempatkan busana raja sebagai atribut bernilai eksklusif. Hal tersebut commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
menunjukkan bahwa, busana raja merupakan atribut khusus yang tidak dapat dijangkau orang lain dalam tingakatan sosial dibawahnya. Busana raja merupakan penggambaran dari citra, nilai, dan predikat seorang raja dalam tingkatan sosialnya, maka dari itu busana raja dianggap sebagai bagian dari pengagungannya. Sesuatu yang menjadi milik raja dan dekat dengan raja saja maka akan sangat diagungkan, karena merupakan suatu bagian dari prinsip pengkultusan raja sebagai manusia yang memiliki kelebihan (Dharsono, 2007:75). Raja di keraton Surakarta memiliki peranan sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai wakil Tuhan (khälifatulläh, panätägämä), oleh sebab itu raja adalah individu yang dianggap masyarakat Jawa sebagai sosok yang paling diagungkan. Bahkan, pada masa-masa kejayaan keraton Surakarta, raja merupakan motivator kultural, sebagaimana yang dikatakan Dharsono (2007:75) bahwa perekayasaan kultural terhadap batik oleh raja (birokrat kerajaan), mengangkat batik istana sedikit banyak memberikan aspirasi masyarakat dalam memandang dan berwawasan terhadap batik. Tahun 1945 keraton Surakarta telah menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, sejak saat itu pula keraton Surakarta tidak berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Keraton Surakarta yang masih dapat disaksikan saat ini, fungsinya telah bertransformasi sebagai institusi budaya, oleh karena itu segala bentuk kebudayaan tradisi yang ada harus tetap dijaga dan dilestarikan dengan baik, termasuk busana sebagai produk budayanya. Paku Buwono XIII adalah raja yang bertahta di keraton Surakarta pada era ini commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
yang masih dapat diketahui keberadaannya dan peranan-peranannya, ia dinobatkan pada 10 September 2004 sebagai penerus tahta mendiang Paku Buwono XII. Dalam proses realisasi eksistensinya sebagai penerus tahta kerajaan, sangat dimungkinkan bahwa Paku Buwono XIII memiliki sikap tertentu dalam tahtanya. Hal tersebut akan sangat nampak pada atribut kebesarannya yang digunakan dalam upacara terpenting menyangkut kedudukannya sebagai raja, yaitu upacara Tingalan Jumênêngandalêm. Setiap upacara Tingalan Jumênêngandalêm Paku Buwono XIII yang selama ini (2005-2011) dilaksanakan masih menjadi perhatian bagi masyarakat luar Surakarta, seperti tamu-tamu yang hadir meliputi para petinggi politik, selebriti, dan wakil negara-negara sahabat. Oleh karena itu, upacara Tingalan Jumênêngandalêm Paku Buwono XIII sejak tahun 2005 hingga 2011 merupakan tanda bahwa dirinya masih eksis bertahta sebagai raja. Busana Paku Buwono XIII pada upacara terpenting tersebut merupakan objek material yang dapat menunjukkan peranan individunya sebagai pewaris dan penerus tahta, yang semestinya memuat predikat sebagai, pemangku adat, pelestari budaya, motivator budaya, dan sebagainya. Konsep busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm merupakan modal simbolisnya. Sehingga makna yang muncul merupakan muatan dari esensi Busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode 2005-2011.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
B. Batasan Masalah Paku Buwono XIII merupakan gelar raja keraton Surakarta pasca mangkatnya Paku Buwono XII. Dalam pandangan masyarakat dan media informasi, gelar Paku Buwono XIII diakui oleh dua orang Pangeran Harya, yaitu KGPH. Hangabei dan KGPH. Tejowulan. Pada penelitian busana Paku Buwono XIII ini terfokus pada Hangabei. Pertimbangan ini dipilih berdasarkan situs keraton Kasunanan Surakarta yang menjadi lokasi Paku Buwono XIII (Hangabei) dalam melaksanakan seluruh kegiatan adatnya. Berbeda dengan Tejowulan yang memiliki keraton sendiri di Jl. Slamet Riyadi, yaitu keraton Wuryaningratan. Pertimbangan tersebut didasari dari eksistensi keraton sendiri yang telah disepakati masyarakat sebagai cagar budaya peninggalan kerajaan Mataram Islam beserta upacara-upacara tradisinya. Karaton Surakarta dalam kondisi terkini menjadi rujukan para wisatawan domestik maupun manca negara.
C. Rumusan Masalah 1. Bagaimana bentuk busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode 2005 sampai 2011 ? 2. Apakah konsep busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode 2005 sampai 2011 ? 3. Apakah makna simbolis yang terdapat pada busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode 2005 sampai 2011 ? commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
D. Tujuan Penelitian 1. Memaparkan bentuk busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode 2005 sampai 2011. 2. Menggali konsep busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode 2005 sampai 2011. 3. Mengungkap makna simbolis yang terdapat pada busana Paku Buwono XIII pada Tingalan Jumênêngandalêm periode 2005 sampai 2011.
E. Manfaat Penelitian Bila penelitian ini terlaksana dengan baik sesuai dengan tujuan yang direncanakan, maka penulis berharap hasil penelitian nantinya berguna dan bermanfaat. Beberapa hal yang diharapkan diantaranya: 1. Pandangan ilmiah dengan lingkup historis mengenai gagasan busana klasik Jawa gaya Surakarta akan memberi tambahan pengetahuan kepada kalangan mahasiswa Tekstil baik praktis maupun teoritis yang inovatif dan optimal bagi praktek cita, cipta, kerja karya atau penelitian kualitatif dunia tekstil. 2. Sebagai pandangan pada Jurusan Kriya Tekstil mengenai pentingnya riset busana warisan leluhur sebagai peran setrategis 3. Memberi sumbangan pemikiran kepada pihak keraton Surakarta yang berperan sebagai institusi budaya, sehingga berguna bagi pengembangan kebudayaan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
4. Merangsang terhadap adanya pengembangan penelitian ilmiah lainnya pada masa yang akan datang, sehingga lebih banyak lagi konsep-konsep gagasan dalam dunia tekstil dan berguna bagi masyarakat. 5. Meningkatkan kepekaan penulis pada bidang busana dalam kaitannya dengan kekayaan budaya tradisi Indonesia.
F.
Sistematika Penulisan Bab I merupakan pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II berisi kajian teori yang meliputi pengertian busana, busana dan lingkup sosial budaya, busana dalam kebudayaan keraton Surakarta, sejarah busana Jawa gaya Surakarta, dan busana keraton Surakarta. Adapun kajian teori diluar lingkup busana mencakup, pandangan hidup orang Jawa, upacara tradisi keraton Surakarta, Tingalan Jumênêngandalêm, landasan teori dan bagan kerangka fikir. Bab III berisi metodologi penelitian, meliputi lokasi penelitian busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode 20052011. Sesuai permasalahan yang muncul maka bentuk penelitiannya adalah Hermeneutik (penafsiran). Sumber data berasal dari dokumen, arsip, dan informan. Teknik pengumpulan data melalui content analysis, wawancara, perekaman, dan dimantapkan memalui teknik trianggulasi data sebagai validitas datanya. Analisis data dilakukan melalui reduksi data, sajian data, dan verfikasi data yang mencakup model analisis interaktif. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
Bab IV berisi hasil pengumpulan data dan analisis data tentang kajian bentuk busana, alasan berbusana, dan makna simbolik busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode 2005-2011. Bab V berisi kesimpulan dan saran sebagai upaya menjawab tujuan penelitian
busana
Paku
Buwono
XIII
Jumênêngandalêm periode 2005-2011.
commit to user
pada
upacara
Tingalan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KAJIAN PUSTAKA
A. Busana Arti busana yang biasa disamakan dengan pakaian, sebetulnya mempunyai makna yang berbeda. Pengertian yang kurang tepat ini telah populer dikalangan masyarakat sehingga menjadi pemahaman yang ideal. Pemahaman mengenai pengertian busana ini dapat lebih jelas dengan merubah dahulu kata busana tersebut menjadi kata kerja berbusana, dari kata kerja yang terbentuk dari kata busana tersebut dapat diartikan sebagai menggunakan pakaian untuk diri sendiri, dengan perhatian pada efek yang ditimbulkan, dalam hubungannya dengan dandanan dan perhiasan (Barnard, 2006:14) atau dapat pula dikatakan bahwa dalam kata berbusana, nuansa berdandan atau berhias dari proses penggunaan pakaian menjadi muncul. Penjelasan Barnard merupakan rekonstruksi pemahaman masyarakat yang berjalan rancu, sehingga pemahaman yang berkembang justru mengaburkan pengertian pakaian dan busana. Hal tersebut akan lebih jelas ketika fungsi dari kedua pemahaman tersebut dipaparkan. Fungsi pakaian dan busana mempunyai perbedaan mendasar, jika pakaian mempunyai fungsi biologis, yakni sebagai pelindung tubuh sedangkan busana mempunyai fungsi sosial, yakni sebagai bagian dari tata cara berinteraksi atau bergaul dalam lingkup sosial. (Hoed, 2008:161)
commit to user 10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
Beni Hood Dalam buku Semiotik Dalam Dinamika Sosial Budaya (Hoed, 2008: 162) menjelaskan pendapat Peirce bahwa busana adalah representamen dari beberapa kemungkinan obyek yang mewakili pengertian kesantaian, keresmian, religiusitas, sensualitas, komersialisasi, dan banyak lagi, sehingga memperoleh kemungkinan interpretan (penafsiran secara individual, terutama sosial, yang dilatari oleh kebudayaan penafsir). Pendapat Peirce mengenai busana, sebenarnya memberi penjelasan tentang nilai, makna dan citra yang terbangun oleh busana. Ratih Poeradisastra (2002:08) menjelaskan bahwa busana dapat mengenalkan tentang pribadi seseorang tanpa orang lain mengenalnya, itu karena busana dapat mencerminkan keribadian, pekerjaan, dan status seseorang. Citra seseorang antara lain memang dipengaruhi oleh busananya. Menurut ratih 76% orang menilai seseorang dari penampilan, dan 59% orang berpendapat bahwa busana mencerminkan status sosial. Penelitian penelitian di Amerika membuktikan 55% kesan pertama dipengaruhi oleh penampilan visual. Visual bias berupa, rambut, busan ekspresi dan gerak tubuh. Selain itu 38% dipengaruhi faktor verbal, seperti nada bicara dan suara, dan 7% dipengaruhi isi pembicaraan. Pakaian merupakan sebuah benda yang digunakan manusia untuk menutup tubuhnya, yang hanya terbatas pada sifat kebendaannya. Jika menelusuri pendapat Beny H. Hoed pada bagian akhir paragraf pertama, halaman 10, maka pakaian lebih mendalamkan artiannya pada sifat bendanya karena unsur kebutuhan biologis. Pakaian hanyalah sebuah benda yang dapat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
disebut pula sebagai alat. Misalnya seperti celana jeans, kemeja, kaos, dress, tang top, rok, dll. Cukup jelaslah perbedaan antara busana dan pakaian, kejelasan ini tampak dari melekatnya pakaian pada tubuh seseorang yang memberi citra tertentu. Sedangkan pakaian adalah benda yang dibutuhkan manusia sebagai penutup tubuh.
1. Busana dalam Lingkup Sosial Budaya Budaya merupakan wujud dari perilaku manusia. Perilaku manusia
meliputi
olah
fikir,
cara
pandang,
kreatifitas,
komunikasi/interaksi dll, yang didasari dari sifat budi manusia dan daya sebagai sumber aktifitas manusia oleh ilmu pengetahuan. Perilaku manusia menghasilkan hasil-hasil karya budaya, yang secara aksiologi memberikan nila-nilai tertentu pada hakekat budaya dan pelaku budaya. Budaya mempunyai sistem koherensi sehingga budaya dapat membentuk perilaku, nilai dan pola fikir manusia, begitupula dengan manusia sebagai pelaku budaya dengan segala aktifitasnya menghasilkan sebuah budaya. Hal tersebut diperjelas oleh Budiono Kusumohamidjodjo dalam bukunya Filsafat Kebudayaan, bahwa budaya merupakan hasil kreasi dan perjuangan manusia dalam rangka merealisasikan dirinya. Dalam rangka realisasi diri itu dia berjuang untuk melepaskan diri dari keterbatasan biologis yang dikenakan alam atas dirinya, sembari mencari puncak pembebasan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
dirinya dalam suatu proses idealisasi dialektis yang seringkali tanpa sadar hendak dia kendalikan juga. (Kusumohamidjojo, 2009: 46) Budaya juga merupakan cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Interaksi
kepada lingkungan tampaknya
menjadi kunci penyesuaian diri manusia dengan lingkungannya, sehingga terbentuklah kerjasama antara manusia dan lingkungan, dengan serta merta manusia akan memahami lingkungannya karena manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi, baik kebutuhan primer, sekunder maupun tertier, dan tentunya didasari oleh ilmu pengetahuan manusianya. Busana adalah salah satu kebutuhan hidup manusia, yang digunakan sebagai penutup dan pelindung tubuh. Diluar jangkauan kerangka dasar fungsi biologis tersebut busana merupakan sebuah persimbolan atau pertanda yang dapat membedakan dirinya dengan hewan. Pada lingkup sosial ini busana dapat menunjukkan sebuah identitas suatu bangsa maupun individu. Setiap busana yang dikenakan dipandang sebagai tanda. Dalam semiotik struktural (Bartes) busana adalah penanda yang mempunyai pertanda, yakni makna tertentu. Makna ini kemudian berkembang menjadi konotasi berdasarkan latar budaya pemberi konotasi. Jika konotasi berlanjut selama beberapa waktu akan terbentuk mitos yang akan dapat berlanjut menjadi ideologi. Busana merupakan salah satu bagian dari rambu dalam berinteraksi atau bergaul dilingkungan sosial, hal ini commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
lebih berkaitan dengan kepantasan dan kesopanan. Pada umumnya disetiap masyaraka terdapat tradisi berbusana, karenanya muncul penggunaan jenis busana tertentu yang tetapkan untuk kesempatan acara tertentu. Hal tersebut lebih berkaitan dengan hal interaksi yang sebenarnya
sangat
bergantung
pada
jenis
busana
tertentu.
Ketergantungan tersebut merupakan akibat dari sistem tanda yang ada pada busana, sedangkan pertanda atau simbol yang ada pada busana memiliki berbagai macam ideologi yang didasari oleh ruh setiap budaya bangsa manusia, karena setiap kebudayaan suatu bangsa mempunyai
perbedaan
dalam
merealisasikan
dirinya.
(Hoed,2008:161-162) Busana dalam kerangka sosial budaya merupakan bentuk komunikasi. Busana dalam lingkup ini telah sama sekali keluar dari sifatnya yang biologis, namun sifat sosialnya-lah yang lebih terungkap. Di Amerika Serikat pakaian dapat digunakan untuk menampilkan status ekonomi, pendidikan, status sosial, standar moral, kemampuan atletik, ketertarikan, sistem kepercayaan (politik, filosofi, agama), dan tingkat kepuasan. Busana juga menjadi tanda identifikasi kelompok karena cara berbusana menyatakan kepada orang lain suatu hal mengenai identitas mereka. Dapat diamati dalam sebuah kebudayaan di Irak yang bersinggungan dengan busana, laki-laki Irak yang menggunakan kopiah berwarna putih menandakan bahwa orang yang mengenakan kopiah tersebut belum melaksanakan ibadah haji ke commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
Mekah. Hal ini menjelaskan bahwa busana memberi tanda mengenai pandangan suatu budaya, hubungan antara nilai budaya dan pakaian seperti contoh diatas
juga dapat diamati diberbagai kebudayaan
bangsa-bangsa dunia. (Samovar, Porter, McDaniel, 2010 : 302-303) Busana yang merupakan bentuk penghubung antara individu dengan latar belakang sosial budayanya adalah olah fikir serta budi daya manusia. Kebudayaan juga merupakan kaitan erat yang yang tak terpisah dengan busana. Manusia dengan busananya
membangun
nilai-nilai tertentu yang melibatkan konsekuensi sosial dalam pranata kebudayaan. Terbangunnya nilai-nilai tertentu pada busan sangat dipengaruhi sifat subjektifitasnya yang merupakan aspek kuat pengilhaman gaya busana tertentu. Sehingga konsepsi-konsepsi kebudayaan suatu bangsa termuat pada gaya busana yang telah dimiliki suatu bangsa tersebut. Salah satu yang dapat dijadikan penanda untuk bisa berkomunikasi dengan baik adalah atribut atau busana. Dari busana yang dikenakan akan dapat diketahui derajat, pangkat, kedudukan seseorang dalal hierarki. Karenanya, seseorang akan bisa bersikap tepat dan melakukan komunikasi yang efektif dan pantas sesuai etika serta norma yang telah ditetapkan. Seseorang akan tidak ragu-ragu berinteraksi aktif, karena ia dapat memilih tingkat tutur bahasa yang sesuai dengan hierarki lawan bicaranya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
2. Busana Dalam Kebudayaan Keraton Surakarta Ajining dhiri säkä lati, ajining rägä säkä busänä, mengajarkan bahwa penghargaan atas diri seseorang berdasarkan aspek lahiriah dan batiniah secara seimbang. Budaya Jawa mengajarkan pedomanpedoman cara berbusana yang benar sesuai situasi dan kondisi. (Purwadi,2007:01) Menurut bait yang dikutip mengenai peristiwa Têdhak Loji Pakubuwana VI, ketika melakukan seremonial ini dia berpakaian cara Belanda. Walau pilihan pakaian Raja kemungkinan besar dilakukan meniru sikap Pakubuwana III, tetapi ini, barangkali, menggambarkan adanya suatu kepatutan dengan maksud perjalanan ini suatu pertemuan
dengan
pejabat-pejabat
Belanda.
Namun
dalam
kesempatan-kesempatn lain, Paku Buwono VI memilih gaya busana Jawa. Tahun-tahun sejak kesediaan Paku Buwono III (dan penolakan Paku Buwono IV) memakai pakaian Belanda, telah diketemukan suatu pilihan lain dalam gaya berpakaian. Tidak lagi alternatif konseptual dalam pakaian Belanda diekspresikan hanya dalam kerangka terbatas jenis-jenis batik sebagaimana dalam 1870-an ketika Mangkunegara I sesuai dengan karakternya berdiri teguh pada perkawinan putra mahkota dan mengenakan kampüh. Tetapi dalam oposisi konstratif terhadap cara Belanda (cärä Walandi) muncul suatu tokoh kultural umum yang sangat berarti yaitu cärä Jawi: mode Jawa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
atau lebih tepat, Gaya Jawa. Pembedaan Jawa/Belanda ini ditonjolkan oleh pilihan pakaian raja, tergantung pada cara, suatu istilah yang dalam penggunaan sehari-hari (baik sekarang maupun dulu, menurut yang mengetahui) hanya mengacu kepada suatu cara atau sikap melakukan sesuatu. Satu orang, misalnya, menyiangi kebunnya, mendengkur di malam hari, atau menyapa tetangganya dengan caranya sendiri, orang lain dengan caranya sendiri pula. Sebagaimana bisa dibayangkan, meskipun mengandung arti yang lugas itu, cara dengan mudah bisa diartikan sebagai gaya dan bahkan sebagai adat. Kecenderungan cara untuk pembekuan arti ini tentu saja, terikat pada suatu sejarah pergeseran epistemologis yang lebih luas dan munculnya suatu bentuk refleksivitas khusus, yang memberikan suatu perasaan adanya budaya. Namun dalam konteks babad-babad Surakarta abad kesembilan belas, istilah cara secara konvensional dalam kombinasi dengan Belanda atau Jawa berarti pakaian. Seakanakan untuk maksud maksud seremonial, seluruh dunia perbedaan antara cara-cara Belanda dan Jawa diringkas menjadi pilihan pakaian, seakan-akan, apa yang ada dibalik pandangan-pandangan dunia adalah lemari pakaian. Melalui logika dari hal yang konkret, maka akar
dari
adat
Jawa,
katakana
demikian,
adalah
pakaian.
(Pemberton,1994:82-86) Kerajaan Surakarta memiliki tradisi pemerintahan yang rumit dan canggih sesuai dengan tingkat peradaban yang telah dicapai. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
Ketika urusan Negara berkembang semakin kompleks, terjadilah spesialisasi yang lebih professional. Teritorial yang meluas pun membuat masalah yang diurus semakin lebar. Pranata pun mencakup bidang ekonomi, sipil, pertahanan hubungan antar wilayah dan lain lain. Dalam sistem hierarki birokrasi yang rumit diperlukan suatu pranata sosial untuk mengatur dan menghindari benturan-benturan kepentingan. Benturan kepentingan ini memungkinkan adanya konflik antara individu maupun golongan yang mempunyai kedudukan, kewajiban, serta hak dan wewenang yang berbeda serta bertingkat. Kebijakan politik dan budaya serta pranata sosial merupakan peraturan dan norma diaplikasikan dalam etika. Hal ini dapat ditemui dalam pengaturan berbusana, bersikap dan berbahasa dengan pilihan kata yang sesuai dengan tingkat tutur yang tepat, ketika berinteraksi dan bersosialisasi dilingkungan keraton. Bentuk aplikasi yang lain adalah atribut-atribut dan corak busana yang dibakukan. (Soedibyo, 2002:110-112) Dari busana yang dikenakan, akan bisa diketahui dengan tepat derajat, pangkat, kedudukan seseorang, dalam hierarki, karenanya seseorang akan bisa bersikap tepat dan melakukan komunikasi yang efektif dan pantas sesuai etika serta norma yang telah ditetapkan. (Soedibyo, 2002:24) Kebudayaan keraton Surakarta memiliki peraturan etiket berbusana yang disandarkan pada tingkat hierarki politiknya yang berarti menegaskan bahwa kebudayaan Surakarta memiliki sistem commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
menempatkan perihal berbusana pada salah satu aspek pokok terpenting. Tatacara berbusan keraton Surakarta juga merupakan aspek pengaturan yang berkaitan dengan adab atau etika berperilaku. Sehingga jelas bahwa keraton Surakarta sangat menyadari adanya tatacara berbusana, ini merupakan bentuk kesadaran yang mutlak terjadi. Kalinggo Honggopuro menegaskan bahwa dalam pengetrapan berbusana Jawa hendaknya diselaraskan dengan rasa jiwa budaya, karena dalam berbusana Jawa tidak hanya sekedan memakai pakaian, namun terdapat nilai-nilai tatasusila dan kepribadianyang meliputi lahir dan batin manusia. Seperti dalam sabda SISKS Paku Buwono X, “nyandang nganggo iku dadyä saränä amêmangün manungsä njäbä njêro, marmanè pantêsên panganggoniro, trêpan pangêtraping panganggon, cundükna kêlawan kahananing badanirä, kalungguhan miwah kapangkatanirä”. Artinya, berbusana itu menjadi syarat membangun manusia luar dan dalam (lahir batin), maka sesuaikanlah pakaianmu yang cocok dengan penggunanya, yang serasi dengan tubuhmu, kedudukan dan pangkatmu. Sabda ini menuntut keserasian dalam berbusana Jawa dan ketepatan memilih busana yang sesuai dengan ukuran tubuh maupun kepangkatan yang disandang. (Honggopuro, 2002:62)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
B. Sejarah Busana Jawa Gaya Surakarta Sejarah busana keraton Surakarta berdasarkan tulisan Wirastodipuro (2003), diawali dari adanya gaya busana yang telah sejak dahulu ada. Seperti yang tertulis berikut : “Busana kêjawèn punikä asêsumbar saking karaton tanah Jawi wiwit kinä-makinä, pramila lajêng sampun kalêbêt dados kabudayaan Jawi. Miturut sujarah keterangan ingkang mratèlakakên bab agêman nêmbè kawartosakên naliko jaman karaton Kediri. Kitab saking mäncänagari ingkang misuwun dipun sêbut “Ling Wa Taita”, kariptä dining Chou Ku Fei ing tahun 1178M, ing mriku nyariosakên kanti jangkêp kamanjênganing karaton Kediri. Warganè masyarakat Kediri sami manganggè sinjang ngantos dumugi ngandap jêngku (dhênkul), rambutipun dipun orè. Dènè räjä ngagêm busana saking suträ, sêpatu wacucal, sartä mêngagêm rêrênggan sajing jènè (emas). Rikmanipun kagêlung kaprènahakên saknginggiling mêstaka lan sak piturutipun. Miturut sujarah, tumprapipun karaton Surakarta Hadiningrat, busana Jawi ingkang kalêbêt ingkang tilaran jaman Mäjäpahit, Dêmak, Pajang, Mataram ngantos Kartosuro taksih dipun lêstantunakên pêngagêmanipun ngatos tahun 1755 M. Wasono naliko ingkang Jumênêng nata ing karaton Surakarta PB III, gandeng kalian madêgipun kasultanan ngayogyakarta (Perjanjian Gianti), hawit saking pinyuwunipun Sri Sultan Hamêngkubuwono I, SISKS PB III hamaringakên supados busänä tilaranipun jaman Mojopahit kalawau dipun anggè hangrênggani karaton kasunanan Ngayogyakarta ingkang sakpunikä dipun wêstani Sogo Upil. Gandhèng kalian PB III lajêng keparing yäsä (nganggit) busana Jawi ènggal ingkang karaton Surakarta Hadiningrat. Busana Jawi anggitan ènggal kalawau awujud atèlah punapadènè bêskap, ingkang ulêsipun cêmêng, ngèmpèri busana saking kilènan (Barat).” (Wirastodipuro,2003:03). Artinya: menurut sejarahnya busana Jawa bersumber dari keraton tanah Jawa sejak jaman kuno, sehingga dengan demikian sudah masuk dalam katagori kebudayaan Jawa. Menurut sejarah, keterangan yang menyebutkan mengenai bab busana baru diketahui ketika jaman keraton Kediri. Buku dari luar negeri yang terkenal yang disebut Ling Wa Taita, dikarang oleh Chou Ku commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
Fei pada tahun 1178 M, disitu diceritakan dengan jelas kemajuan keraton Kediri. Penduduk Kediri semuanya memakai Sinjang (Jarit) sampai ke lutut, rambutnya dibiarkan terurai. Sedangkan rajanya menggunakan busana berbahan sutera, sepatu kulit, serta memakai perhiasan dari emas. Rambutnya digulung
diatas
kepala/mahkota
dan
sejenisnya.
Namun
demikian
kebudayaan itu selalu berjalan selaras dengan kemajuan jaman, maka dari itu kebudayaan busana Jawa juga mengalami perubahan selaras dengan keadaan. Menurut sejarah keraton Surakarta Hadiningrat, busana Jawa yang termasuk peninggalan jaman Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, sampai Kartasura masih masih dilestarikan pemakaiannya sampai tahun 1755 M.
Ketika
kekuasaan telah dipegang oleh SISKS Paku Buwono III, dan dengan berdirinya kasultanan Jogjakarta (perjanjian Giyanti) dari permintaan Sri Sultan Hamengku Buwono I, SISKS Paku Buwono III mempersilahkan supaya busana tinggalan jaman majapahit tadi dipakai untuk keraton Kasunanan Yogyakarta yang sampai saat itu disebut Sogo Upil. Bersama dengan itu, Paku Buwono III berinisiatif membuat pakaian Jawa baru untuk keraton Surakarta Hadiningrat. Busana Jawa gaya baru tersebut berbentuk atelah, seperti beskap yang berwarna hitam mirip busana dari barat1. Kalinggo Honggopuro (2002:05-06) juga menjelaskan sejarah busana tersebut dengan konflik-konflik yang menyembabkan perubahan/terciptanya busana gaya Surakarta. Berawal dari pemberontakan Sunan Kuning di Kartasura (Gègèr Pêcinan) yang berhasil dicegah dengan bantuan pihak 1
Diterjemahkan oleh Andar Putu Wijoyo, 15 Desember 2011.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
Belanda. Pihak
Belanda
yang merasa ikut
berjasa, menginginkan
pembaharuan perjanjian dengan Mataram pada 11 November 1743. Perjanjian tersebut merugikan pihak Mataram, sehingga sejak itu adik Paku Buwono II, yaitu Kanjêng Pangeran Mangkubumi semakin tidak senang terhadap Kompeni. Terlebih lagi ketika campur tangan Belanda semakin menyolok sejak keraton pindah ke Surakarta, termasuk benteng Vestenberg yang berada persis didepan keraton. Benteng tersebut salah satunya berfungsi untuk memata-matai keraton Surakarta. KP. Mangkubumi kemudian meninggalkan keraton Surakarta dan bermukim di desa Sukowati, Sragen. Ia membentuk bala tentara untuk memerangi Surakarta dan tanah-tanah pesisir yang dikuasai Belanda. Tak hanya itu, KP Mangkubumi juga bergabung dengan Pangeran Sambernyawa atau pangeran Mangkunegaran (Honggopuro, 2002 : 07). 20 November 1749 M Sri Susuhunan Paku Buwono II wafat dan digantikan oleh puternya, yang memegang tahta pada 15 Desember 1749 M dengan gelar Sampèandalêm Ingkang Sinuhün Kanjêng Susuhunan Sènopati Ing Ngalägä Abdurrähman Sayidin Panätägämä Pakoe Boewono Kaping III. Setelah sekian lama Kompeni Belanda tidak berhasil mematahkan perlawanan KP Mangkubumi. Kemudian pihak Belanda mengadakan perundingan dengan KP Mangkubumi yang berlokasi di desa Giyanti yang dikenal dengan Perjanjian Giyanti. Perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa wilayah Mataram dibagi menjadi dua, sebagian dibawah kekuasaan SISKS Paku Buwono II yang membawahi wilayah Surakarta. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
sedangka KP Mangkubumi membawahi wilayah ngayogyakarta, perundingan ini terjadi pada tahun 1755 M. Setelah bertahta di Ngayogyakarta Hadiningrat, KP Mangkubumi bergelar Ngarsadalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Kalifatullah Abdurrahman Sayidin Panatagama. (Honggopuro, 2002 : 07-08). Semenjak terbaginya wilayah Mataram tersebut segala isen-isen keprabon berupa pusaka, gamelan, titihan kereta,tandu/joli/krêmun, juga dibagi menjadi dua, juga busana corak Mataram dikehendaki KP Mangkubumi dibawa ke Yogyakarta. Mengenai masalah busana tersebut sebelumnya telah diwasiatkan oleh Paku Buwono II kepada putranya Paku Buwono III, sebelum diangkat menjadi raja “mbèsok menäwä pamanmu Mangkubumi hangêrsakakè agêman, paringänä”. Artinya, apabila pamanmu Mangkubumi menghendaki busana, berikan saja. Sejak itu busana Mataram diboyong (dibawa) ke Yogyakarta. Selanjutnya SISKS Paku Buwono III membuat busana sendiri, yang biasa disebut Gagrak Surakarta (gaya Surakarta). Termasuk dalam kain batik untuk nyampingan coraknya mengalami perubahan sesuai busana yang baru. Sejak adanya penyesuaian dengan busana yang baru, batik Surakarta juga mengalami perkembangan terhadap corak-corak dan motif-motifnya. (Honggopuro, 2002 : 08-09).
C. Busana Keraton Surakarta Busana tradisi keraton Surakarta adalah hasil budi daya dan olah cipta kreatif para nenek moyang. Dengan kedalaman pemahaman akan seni dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
budaya, mereka pun selalu sangat menaruh perhatian terhadap seni berbusana dalam kaitannya dengan masalah estetika dan etika. (Soedibyo, 2002:24) Beberapa jenis busana keraton adalah sebagai berikut: 1. Busana Jawi Jangkep Berbusana dalam pasowanan di keraton Surakarta ada tatanan yang harus diperhatikan. Tatanan tersebut berdasar pada dhawuhdalêm atau perintah raja, yaitu berbusana di dalam keraton harus disesuaikan dengan pangkat yang disandang pemakainya. Untuk busana yang dikenakan oleh kaum laki-laki di dalam keraton ada dua macam, yaitu busana Jawi Jangkêp dan busana Kampuhan atau Dodotan. Yang dimaksud dengan busana Jawi Jangkep adalah busana Jawa yang secara lengkap, yaitu terdiri dari udhêng, baju krowok, sabük, èpèk, kain bathik, sêtagèn, kêris, dan sêlop atau cênèla. a. Udhêng Udhêng, di dalam masyarakat umum juga disebut dhèstar atau blangkon. Udhêng ini dikenakan sebagai penutup kepala. Bahan yang digunakan untuk membuat udhêng adalah jenis kain batik atau kain cêlupan (Honggopuro, 2002:64). Menurut bentuknya, udhêng dibagi menjadi dua: 1) Udhêng jèbèhan Udheng jèbèhan memiliki ciri pada bagian depan tidak ada kuncung-nya (bentuk sudut meruncing). Bagian belakangnya trepes atau terlihat tidak menonjol. Dibagian belakang tersebut commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
terdapat bidang berbentuk menyerupai sayap burung yang mengarah kekanan dan kekiri. Udhêng ini khusus dipakai untuk para putra dan sêntänädalêm, mulai yang berpangkat Pangeran Putra yang bergelar
KGPH
sampai
dengan
kerabat
yang
belum
mempunyai kepangkatan atau yang masih Raden Mas (RM). 2) Udhêng cêkok mondholan Bagian
depannya
memiliki
kuncüng
(bentuk
sudut
meruncing). Bagian belakangnya terdapat benjolan elips, dan diatasnya terdapat bentuk dasi kupu-kupu kecil. Udhêng ini nama lengkapnya disebut “cêkok mondhol mawi kuncüng”, diperuntukkan para abdi dalêm dari yang berpangkat Bupati Riyä Nginggil yang bergelar KRHT ke bawah. (Wirastodipuro, 2003:23)
Tatanan penggunaan udhêng ini mulai diberlakukan pada saat Surakarta dalam pemerintahan PakuBuwono IV pada tahun Je 1734 atau 1807 Masehi. Aturan pemakaian udeng ini disesuaikan dengan kedudukan dan pangkat pemakainya (Honggopuro, 2002:64-67).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
Udhêng Cêkokmondholan
Udhêng Jèbèhan
Gambar: 1 Udhêng cêkokmondholan dan udêng jèbèhan (Wirastodipuro, 2003:23-24)
Gambar: 2 Bagian-bagian udhêng to user (Wirastodipuro, commit 2003:23-25)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
Selain udhêng masih ada jenis penutup kepala lainnya. Hal ini diperjelas dalam buku busana keraton Surakarta oleh Mooryati soedibyo sebagai berikut: 1) Kulük Kulük berbentuk Tugêl Sêmängkä, terbuat dari beludru hitam dipakai oleh abdi dalêm käthib. Kulük Mür dipakai oleh bupati, bupati anom, juga bias dipakai oleh pênèwu mantra ketika menghadap ke keraton atau tugas harian masuk ke keraton. Diluar keraton dipakai kulük hitam. 2) Mathak Mathak adalah tutup kepala, berbentuk seperti kulük makuthä. Berwarna biru atau putih yang sekaligus membedakan status sosial pemakainya.
Gambar: 3 Bentuk dan bagian kulük (Wirastodipuro, 2003:29)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
b.
Baju Krowok Baju krowok adalah baju yang bagian belakang sebelah bawah dibuat
krowokan
melengkung
ke
atas.
Krowokan
tersebut
dipergunakan untuk penempatan keris supaya tampak rapi, tidak terlipat. Baju krowok di Surakarta ada lima macam jenis, yaitu: Baju Atèlah, Baju Bêskap, Baju Sikêpan, Baju Takwä, dan Baju Langênharjan. 1) Baju Atelah Baju atèlah adalah baju yang kancingnya dari atas ke bawah persis di tengah-tengah. Di bagian lehernya memakai kênop atau canthèl. Baju atelah ini terdiri dari dua jenis warna, hitam dan putih. Warna hitam dipakai pada saat pasowanan resmi, sedangkan atelah putih dipakai pada saat-saat yang setengah resmi. Aturan tersebut menyesuaikan dengan dhawuhdalêm. Baju atelah ini diperuntukkan para abdi dalèm yang berpangkat bupati dengan gelar
Kangjeng
Raden
Tumenggung
(Honggopuro,2002:68)
Gambar: 4 Bentuk baju atèlah (Wirastodipuro, commit 2003:37)to user
(KRT)
ke
bawah.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
2) Baju Bêskap Baju Bêskap adalah baju yang kancingnya berada di depan dan berbentuk tangkepan dari kanan ke kiri. Kancing baju tersebut tersusun miring dengan kancing paling atas di bagian dada kiri atas, dan kancing paling bawah di depan perut tengah. Baju beskap terdiri dari beberapa warna, beskap warna hitam dipakai oleh para putra dan sêntänä dalêm saja. Sedangkan bagi abdi dalêm hanya yang berpangkat Bupati Riyä Nginggil yang bergelar KRHT (Honggopuro,2002:67).
Gambar: 5 Bentuk baju bêskap(Wirastodipuro, 2003:37)
commit user (Soedibyo, 2003:59) Gambar: 6 Contoh bajutobêskap
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
3) Baju Sikêpan Bentuk baju sikêpan seperti baju atèlah tetapi kancingnya hanya merupakan fantasi. Karena pembuatannya sengaja tidak mengukur kancing yang ditelangkupkan. Jadi baju ini kancingnya terbuka
atau
“mblêdhèh”.
Baju
Sikêpan
dipakai
dengan
menggunakan “Rangkèpan” (baju dalam) berupa baju berwarna putih dengan kerah tegak dan kancing atasnya hingga leher. Baju sikêpan yang dipergunakan di dalam keraton warna dasarnya hanya hitam. Sedangkan untuk baju krowok sikêpan yang berwarna selain hitam tidak diperkenankan untuk pasowanan (Honggopuro, 2002:68).
Gambar: 7 Bentuk baju sikepan (Wirastodipuro, 2003:38) Golongan pangkat yang sudah berhak memakai baju sikepan ini adalah para putra dan sentanadalem yang sudah berpangkat Bupati Riyä Nginggil dengan gelar Kangjêng Radèn Mas Haryo (KRMH) ke atas sampai Pangeran Putra , atau untuk golongan abdidalêm yang sudah menjadi Bupati Riyä Nginggil dengan gelar Kangjeng Radèn Haryo Tumenggüng (KRHT) saja. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
Bagi para abdidalêm yang masih berpangkat bupati ke bawah tidak diperkenankan memakainya. (Honggopuro,2002:68) Baju sikêpan ini apabila dipakai dengan busana Jawi Jangkep
disebut
sikêpan
cêkak.
(Honggopuro,2002:68)
Pemakaiannya seperti memakai kain ber-wiron biasa, hanya bedanya
pada
busana
ini
beskapnya
tidak
tertutup
dan
memperlihatkan kutang putih lengkap dangan dasi putih kecil. Sikêpan
cêkak
tidak
memakai
border
benang
emas.
(Soedibyo,2003:76) Baju sikêpan kalau dipakai dengan kampuh atau dodotan disebut sikêpan agêng. Di dalam Kraton Surakarta baju sikepan dikenakan jika ada dhawuh atau perintah untuk pasowananpasowanan, seperti: a) Pada saat Pasowanan Agêng Tingalandalêm Jumênêngan yaitu pasowanan untuk memperingati ulang tahun kenaikan tahta Ingkang Sinuwun. b) Pasowanan Grêbêg dalam setahun tiga kali yaitu, grêbêg Maulud, Grêbêg Päsä, dan grêbêg Besar. c) Gerebeg
Maulüd
jatuh
pada
tanggal
12
Maulüd
(Räbingulawal), dalam rangka memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, keraton Surakarta mengeluarkan hajat dalam gunungan ke Masjid Agung. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
d) Grêbêg Päsä jatuh pada tanggal 1 Syawal, pada hai Raya Idul Fitri, juga mengeluarkan hajatan dalêm gunungan ke Masjid Agung. e) Gerebeg Besar jatuh pada tanggal 10 Besar (Dzulhijah) dalam memperingati Hari Raya Idul Adha, pada saat hajatdalêm gunungan ke Masjid Agung. Diluar dari ketentuan yang sudah ada, baju sikêpan ini tidak dipakai dalam pasowanan di Kraton pada pasowanan yang lain digunakan adalah baju bêskap. (Honggopuro,2002:69)
Gambar: 9 Bentuk baju sikêpan Gambar: 8 Contoh baju Sikêpan Agêng (Soedibyo, 2003:59) cêkak (Soedibyo, 2003:96)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
4) Baju Takwa Baju takwä ini hanya dipergunakan oleh Ingkang Sinuwun saja. Sebutan takwä dimaksudkan dengan beriman kepada Tuhan. Baju ini berbentuk seperti bêskap, hanya ujung baju depan bagian kanan lebih panjang dibanding dengan ujung yang kiri dan berbentuk lancip atau runcing. Baju takwä memakai bahan dari jenis beludru halus polos atau berkembang. Di luar kraton baju takwä
sering
dipakai
untuk
busana
pengantin
pria.
(Honggopuro,2002:69)
Gambar: 11 Bentuk baju takwä (Wirastodipuro, 2003:39)
commit to user
Gambar: 10 Baju takwä (Soedibyo, 2003:113)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
c.
Kain Batik Para penulis buku terdahulu banyak yang menuliskan kata bathik dengan batik atau huruf yang seharusnya tha ditulis dengan ta. Di mana batik menurut penulis penulis batik terdahulu diartikan menurut jarwädösok yaitu ngembat titik atau rambataning titik-titik. Jarwädhösok
tersebut
dimaksudkan
bahwa
batik
merupakan
rangkaian dari titik-titik. Dalam budaya Jawa batik tidak dapat diartikan hanya dengan satu dua kata ataupun padanan kata tanpa penjelasan lebih lanjut. Karena batik merupakan suatu hasil dari proses yang panjang mulai dari melukis motif hingga pada akhir proses babaran. Ciri utama dari batik dipergunakan bahan utama berupa mori, malam dan pewarna (Honggopuro, 2002 : 1-2). Menurut Soekamto (1986: 10-12), membatik juga disebut sebagai kegiatan mengukir bahan pakaian. Batik pada asalnya suatu ungkapan dari rasa haru dan rasa keindahan maka ia disebut seni batik. Batik dalam lingkup kebudayaan Mataram Islam Jawa, mengalami perkembangan sebanyak tiga kali. Awalnya batik berkembang apda masa Panembahan Senopati, abad 16. Akhir abad 18, batik berkembang lagi pada era Paku Buwono III dan IV yang sering disebut dengan gagrag Surakarta. Masa pemerintahan Paku Buwono X kekayaan motif batik semakin meningkat, karena kelompok-kelompok prajurit kêparak dikembangkan sehingga motif pakaian yang digunakan juga berkembang, sehingga setiap kesatuan keprajuritan mempunyai motif commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
batik sendiri-sendiri. Motif batik tersebut harus dipergunakan dengan tepat pada saat pasowanan-pasowanan di dalam keraton. Tatanan pemakai motif batik dalam pasowanan di keraton Surakarta adalah sebagai berikut: a) Batik Parangrusak Batik ini dipakai oleh Kangjêng Gusti Pangèran Aryo Adipati (KGPAA), Pangèran Putra, Pangeran Sêntänä, dan sêntanadalêm yang berpangkat Bupati Riyä Nginggil yang bergelar KRMH. b) Batik Udan Riris Motif batik ini dipakai oleh pêpatihdalêm. Dari keterangan Ingkang Sinuhun Paku Buwono XII apabila pêpatih tersebut masih mênantu dalêm. c) Batik Rèjèng Jenis motif batik rèjèng ini dikenakan oleh para komandan prajurit seperti para kronèl kumendhan, litnan kronel (letnan kolonel), mayor, serta abdidalêm gandhêk yang menjadi utusan Ingkang Sinuhun. d) Batik Tambal Kanoman Batik kampuh/dodotan para bupati, bupati anom, dan juru tulis kantor.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
e) Batik Sêmèn Latar Putih Motif ini dipakai oleh para abdidalem yang berpangkat bupati, bupati anom dalam dan bupati anom luar. f) Batik Padhas Gêmpal Motif batik ini dipakai para abdidalem yang berpngkat Panewu/Mantri dari golongan Sorogêni (prajurit sorogêni, yang berseragam merah) ke bawah. g) Batik Mêdhangan Motif batik mêdhangan dipakai oleh para Panèwu/Mantri ke bawah dari golongan Sangkragnyana. h) Batik Kumithir Motif batik ini adalah yang digunakan oleh para Panèwu/Mantri ke bawah dari golongan Kanoman. i) Batik Tambal Miring Batik ini dipakai oleh para abdidalêm yang berpangkat Panèwu/Mantri dari golongan juru tulis. j) Batik Jamblang Motif batik jamblang merupakan motif yang dipakai Panèwu/Mantri ke bawah dari golongan Kadipatèn Anom. k) Batik Ayam Pusêr Batik ini dipakai oleh para abdidalem yang berpangkat Panèwu/Mantri ke bawah dari golongan Yogêswärä atau Suränätä atau abdidalêm ulama. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
l) Batik Slobog Batik ini dipakai oleh para abdidalêm yang berpangkat Panèwu/Mantri ke bawah dari golongan niyägä (penabuh gamelan). m) Batik Wora-wari Rumpuk Batik ini dipakai oleh para abdidalêm yang berpangkat Panèwu/Mantri ke bawah dari golongan pangrehpraja atau yang membawahi wilayah. n) Batik Krambil Secukil Batik ini dipakai oleh para abdidalem yang berpangkat Panèwu/Mantri ke bawah yang dibawah perintah Kêpatihan. o) Kain Lurik Pêrkutut Kain lurik pêrkutut merupakan kain yang dipergunakan abdidalêm berpangkat Jajar Priyantäkä. p) Kain Sindur Kain yang dipakai oleh para abdidalêm Krisdastäwä atau Canthangbalung. (Honggopuro, 2002:88-90)
Kain batik berdasarkan gaya pemakaiannya, diterapkan pada dua cara berbusana, yaitu sinjang/jarit dan kampuh/dodot. 1) Sinjang /jarit Sinjang adalah bahasa krämä dari jarit, yaitu kain batik yang ukuran panjangnya 2,25 m hingga 2,50 m degan lebar 1,10 m, yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
terbuat dari bahan mori katun. Pada kedua pinggiran lebar kain tersebut terdapat sèrèt atau untu walang sebagai pembatas motif kain. Apabila dipakai, salah satau untu walang tersebut dilipat kecil yang disebut wiron (Soedibyo, 2003:).
Gambar: 12 Contoh sinjang/jarit (Soeratman,2003: 97) 2) Kampüh /dodot Kampüh atau dodot adalah sehelai kain yang lebar, terdiri dari
dua
bagian
kain
yang
disambung
memanjang.
(Soedibyo,2003:61) Ditegaskan pula oleh Honggopuro (2002:84), kampuh atau dodotan adalah busana penutup tubuh bagian bawah yang lebarnya dua kali ukuran sinjang/jarit dengan panjang 3,75 m sampai dengan 4 m. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
Kampuh yang digunakan di keraton Surakarta mempunyai dua jenis yaitu kampüh blênggên dan kampüh lugas. Kampüh blênggên adalah yang pinggirnya memakai gombyok yang terbuat dari benang lusi dari kain tersebut. Dalam tatanan berbusana di dalam keraton Surakarta kedua kampüh atau dodot ini dikenakan dalam pisowanan. Karena motif batik dalam kampüh atau dodot tersebut menunjukkan tinggi rendahnya golongan. Tatanan dalam berbusana yang menggunakan motif kain batik sebagai tanda kepangkatan seperti itu sebenarnya telah ada sejak kerajaan Mataram masa Sultan Agung Hanyakrakusuma. Pada saat itu motif batik digunakan sebagai tanda golongan keprajuritan. Tatanan itu kemudian dikembangkan lagi oleh Paku Buwono IV di Surakarta, dan disempurnakan oleh Paku Buwono X dengan menambah motif lain untuk golongan kepangkatan yang dibuthkan kerajaan. (Honggopuro, 2002:63)
Gambar: 13 Contoh Kampuhan commit to user (Soeratman, 2003:94)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
1) Kampüh Blênggên Kampüh blênggên mempunyai ciri di sepanjang pinggir panjangnya dibuat gombyokan (rumbai) dari benang kain yang dilepas tenunannya (pakan)-nya. Panjang gombyokan ini kurang lebih 10 cm. motif batik untuk kampuh ini adalah jenis parangparangan. Seperti parang rusak, yang dipergunakan oleh raja atau putra dan kerabatnya. Selain itu juga dipergunakan motif batik semen latar putih, kain dodot jenis ini dapat dipergunakan oleh para abdidalêm yang berpangkat Bupati Anom yang bergelar Raden Tumênggung ke atas. Kampuh blênggên ini dibagi dua jenis, yaitu kampüh blênggên memakai blumbangan dan kampüh blênggên lugas. Yang dimaksud dengan memakai blumbangan adalah pada bagian tengah kain kampuh terdapat bagian yang tidak di batik (polos) berbentuk belah ketupat. Bagian polos tersebut bisa berwarna putih, namun dapat pula berwarna lain sesuai dengan keinginan. Kampüh blumbangan ini hanya untuk agêmandalem raja dan para putra kerabat. Sedangkan kampüh blênggên lugas adalah kampüh yang tidak memakai blumbangan. 2) Kampüh Lugas Kampüh lugas adalah kampüh yang dipakai untuk golongan abdidalêm berpangkat pênèwu/mantri ke bawah. Ujung kain commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
kampüh lugas berupa plipitan tanpa gombyokan dan bermotif sêmèn latar hitam. Kampüh atau dodotan dalam penggunaannya terdapat 5 cara pengetrapan. Tata cara pengetrapan kampuh tersebut berdasar pada tingkat kedudukan dari ornag yang memakainya. Kelima cara pengetrapan tersebut adalah: grêbongkandhêm, ngumbar kunca, sampir kuncä, kêpuh sampir, dan kêpuh ukêl (Honggopuro, 2002:48)
Gambar: 15 kampuh alas-alasan Gambar: 14 kampuh (Soedibyo,2003:62) blumbangan (Soedibyo,2003:62)
d.
Celana Cindhè Celana cindhè adalah celana yang digunakan dalam berbusana kampuhan. Panjangnya sebatas mata kaki, berbahan sutera, dringin atau cindhè sekar. (Soedibyo, 2003:79) Celana ini dipakai oleh raja jika mengenakan busana kebesaran Jawa. Celana tersebut juga dipakai oleh pangeran putra sêntana, pepatih dalêm, para bupati dan bupati anom yang memakai sebutan ariyä. Celana untuk bupati anom tanpa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42
sebutan ariyä harus memakai sorot, kecuali abdi dalêm bupatianom gandhèk. (Soeratman,2000:473) ada beberapa macam celana cindhè, yaitu: 1) Celana cindhè gubêg adalah celana cindhè yang motifnya semua sama, tidak memakai tumpal. Jenis ini dipakai oleh raja, pangeran dan sentanaadalem yang berpangkat Riyä Nginggil, termasuk para menantu Raja. 2) Celana cindhè sorot adalah celana dengan motif cindhè tetapi pada bagian bawah memakai motif tumpal. Ini hanya dipakai untuk para abdidalêm yang berpangkat Bupati (KRT) dan Bupati Anom (RT) dan yang sederajat. 3) Celana selain cindhè, celana ini dapat dibuat dari bahan selain cindhè, ada yang terbuat dari kain bathik halus, dringin, suträ, kasting, bêludru, limar ataupun sêmbagi. Jenis kain dipakai oleh para abdidalêm yang berpangkat Bupati Anom (RT) keatas, untuk busana harian. Sedangkan celana yang terbuat dari bahan laken dipakai untuk para abdidalêm yang berpangkat Panewu/Mantri dan Lurah apabila ada pasowanan Agêng. (Honggopuro, 2002:88)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
e.
Gambar: 16 celana cindhè berbahan sutera asli (Soedibyo, 2003:78) Setagèn Setagèn disebut juga paningsêt, yang fungsinya untuk mengencangkan pemakaian kain jarik. Setagèn terbuat dari bahan tenunan dari benang besar, ukuran setagèn lebar 10 hingga 12 cm dengan panjang 5 hingga 6 m. (Honggopuro, 2002:73)
f.
Sabuk Sabuk dalam busana Jawa, dipergunakan di pinggang dengan fungsi sebagai penutup dan pengikat setagèn. Keberadaan sabuk dipinggang tersebut juga dipergunakan untuk nyêngkêlit atau menyelipkan keris. Sabuk tersebut terbuat dari bahan kain tenun yang disebut dringin dan kembangan atau sembagi.selain itu juga bermotif cindhè dari bahan sutera yang asli dari India.
Gambar: 17 Berbagai macam motif Sabuk (Wirastodipuro,2003:65)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
Ukuran sabuk adalah lebar 15cm dengan panjang 5 sampai dengan 6 m atau cukup untuk dilingkarkan ke tubuh sampai lima sap. Cara pemakaian sabuk, dilingkarkan di perut dan pinggang dari kanan ke kiri mulai dari atas dibuat bersap-sap turun ke bawah sehingga rapi. (Honggopuro, 2002:71)
g.
Èpèk, Timang, dan Lêrêp Èpèk terbuat dari kain beludru, dahulu ada yang terbuat dari bahan rambut kuda yang dianyam. Ukuran èpèk berlebar 5,5 cm dengan panjang 125 cm. Èpèk dipergunakan untuk mengencangkan sabuk, sehingga èpèk dipakai setelah mengenakan sabuk. Posisi penggunaan èpèk kurang lebih 3 cm dari pinggir sabuk yang paling bawah. Timang, terbuat dari logam, seperti emas, perunggu, perak, ataupun besi dengan bentuk tipis. Timang berfungsi sebagai pengunci èpèk supaya tidak kendor atau mêlorot. Lêrêp, adalah setelan dari timang yang dipergunakan untuk menutup sisa panjang èpèk saat dipakai. Lêrêp ini terbuat dari logam yang sejenis dengan timang. Bagi orang yang mampu, baik timang maupun lêrêp diberi hiasan batu permata, seperti intan atau berlian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
Gambar: 18 timang dan lêrêp (Wirastodipuro,2003:68) Ada dua jenis èpèk yang dipergunakan dlam pakaian Jawa, yaitu: 1) Èpèk Bordir, yaitu èpèk yang dibordir dengan benang emas berbentuk sêkaran, untu walang, atau modangan. Apabila dikenakan untuk pasowanan hanya dipakai oleh para putra dan sentanadalêm. 2) Èpèk Polos, yaitu èpèk tanpa kembangan atau bordiran. Èpèk ini dipakai oleh para abdidalêm dari Bupati Riyä Nginggil sampai golongan pangkat yang terendah.
Gambar: 19 Bentuk èpèk commit to user (Purodisastro,2003:68)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
Cara penggunaan sabuk dan èpèk terdapat perpaduan warna yang dinilai serasi untuk berbusana Jawa. Selain mencerminkan keserasian perpaduan warna tersebut juga mencerminkan sebuah watak, untuk itu setiap perpaduan memiliki nama sebutan sendirisendiri. Perlu diperhatikan bahwa dalam pasowanan keraton abdidalêm yang berpangkat KRHT (Kangjêng Radèn Haryo Tumênggung) ke bawah tidak boleh mengenakan èpèk yang memakai kembangan yang dibordir untu walang atau hiasan-hiasan lainnya. (Honggopuro, 2002:71-73)
h.
Keris Keris dalam bahasa Jawa krama disebut dhuwüng atau wangkingan, wujudnya senjata tajam yang dimasukkan kedalam warängkä. Sebagai pelengkap dalam berbusana Jawa sehingga dikatakan
Jawi-Jangkêp. Diselipkan (nyêngkêlit
) dibelakang
punggung dimasukkan ke dalam sabuk pada sap kedua atau ketiga. Dilihat dari bentuk warängkä, kêris ada dua macam: 1) Ladrangan. 2) Gayaman.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
Gambar: 20 Bentuk keris Ladrang dan Gayaman (Wirastodipuro, 2003:74)
Gambar: 21 Bentuk wilahan keris, Lêrês dan Lük (Wirastodipuro, 2003:74)
Terdiri dari beberapa bagian: a) Ukiran Ukiran adalah pegangan pada bilahan besi, yang terbuat dari kayu, biasanya dari: kayu trênggänä, kêmuning, sawo dll. b) Mèndhak Mèndhak berfungsi sebagai ganjêl tegaknya ukiran yang masuk pada besi bilahan. Dapur (tipe) nya bermacam-macam, seperti: angkup, pandhu, parijotho, bajan, atau widhêngan. Supaya ukiran tidak lepas diberi karah dari besi (logam) yang disebut sêlut. Sêlut atau karah dibuat disamping sebagai ganjêl juga diberi sebagai hiasan. Pada sêlut ini sering diberi hiasan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
dengan batu mulia, bertipe seperti jêruk kêprok, tipe oval nama “jêruk pêcêl” sedang kalau agak pipih dinamakan jêruk sambêl. (Honggopuro, 2002:75) c) Warängkä Warängkä dalam gaya Surakarta ada dua macam: Ladrangan dan Gayaman, terbuat dari bahan kayu cendana, trêmbalo, atau timoho. Biasanya dipelitur atau disungging alasalasan ada juga yang bermotif modangan. d) Pèndhok Pèndhok berwarna kêthêl disungging dipakai para prajuritpanyuträ, sedang pèndhok-polèng untuk abdidalêm CanthangBalung atau Kridhastama. e) Wilahan Wilahan yaitu bilahan keris yang tajam terbuat dari besi khusus, dengan bentuk jêjêg atau lük. (Honggopuro, 2002:76).
Gambar: 22 Bagian-bagian Keris commit&toMulyani, user (Soeranto 2004:33)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
Adapun macam-macam posisi penyengkelitan keris:
Gambar: 23 Berbagai macam posisi penyelipan keris (Soeranto & Mulyani, 2004:37) i.
Sêlop Sêlop dalam bahasa halusnya disebut cenèla merupakan kelengkapan busana yang berfungsi sebagai alas kaki. Namun demikian dalam tatakrama, jika berada di dalam keraton sêlop dilepas, sedangkan berada diluar keraton dapat dikenakan. (Honggopuro, 2002:76)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
Gambar: 24 Bentuk Sêlop (Dok. Pribadi) j.
Busana Jawi Jangkêp Padintênan Busana Jawi selain Jawi Jangkêp yang dikenakan saat pasowanan agêng, juga terdapat busana Jawi Jangkêp Padintênan. Busana Jawi Jangkêp Padintênan adalah busana Jawi Jangkêp untuk Pasowanan
keraton
yang
bukan
pasowanan
agêng.
Dalam
pasowanan seperti itu untuk kerabat Kraton dan abdi dalêm memakai busana Jawi Jangkêp Padintênan yaitu dengan bêskap yang bukan berwarna hitam (Honggopuro,2002:84). Busana Layadan: busana yang dipergunakan untuk berkabung. Kelengkapan busana ini adalah bêskap atau atèlah berwarna hitam, sabuk dan èpèk hitam, serta keris gayaman. Kain batik yang dipakai antara lain slobog, krambil sacuwil, dan jenis batik latar hitam. (Honggopuro,2002:84)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
Gambar: 25 Para abdi dalêm memakai busana Jawi padintênan sowan
keraton (Honggopuro, 2002:81) D. Pandangan Hidup Orang Jawa Pandangan hidup masyarakat Jawa tak dapat dipisahkan terhadap perkembangandan sistem budayanya. Menurut Dharsono (2007: 29) dalam bukunya Budaya Nusantara bahwa pendapat Neils Mulder yang berkaitan dengan perkembangan dan sistem budaya masyarakat bersifat ajeg atau berkelanjutan. Dharsono menambahkan bahwa hal tersebut selaras dengan kalimat bahasa Jawa yaitu alon-alon waton kêlakon, sitem kebudayaan orang Jawa yang menekankan ketenteraman batin. Pandangan lain Dharsono yaitu, pandangan yang menekankan pada ketenteraman batin,
keselarasan dan
keseimbangan, dibarengi dengan sikap nerima terhadap segala peristiwa, sambil menenempatkan individu dibawah masyarakat dan masyarakat dibawah alam semesta (hubungan kosmos). Pandangan tersebut memberi gambaran tentang pandangan masyarakat yang mengacu pada keselarasan hubungan yang tak terpisahkan antara dirinya, lingkungan (masyarakat), lingkungan alam semesta, dan hubungannya dengan tuhan. Masyarakat Jawa mempunyai paugêran (aturan adat), yang mengacu pada ajaran budaya yang tertulis maupun tak tertulis. Falsafah Jawa menggambarkan hubungan sistem kehidupan dengan dua macam jagad, yitu jagad besan (makrokosmos) dan jagad kecil (mikrokosmos). Makro kosmos adalah jagad besar yang mencakup semua lingkungan tempat seseorang hidup, sedangkan mikrokosmos adalah diri dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
batin manusia itu sendiri. Secara vertikal mengatur hubungan antara batin (mikrokosmos) individu dengan Tuhannya dan secara horizontal mengatur hubungan atara batin individu (mikrokosmos) dan lingkungan alam semesta (makrokosmos). Pandangan mikro-meta-makrokosmos pandangan tersebut tersirat pada ajaran : alam niskala (alam yang tak tampak dan tak terindera), alam sakala niskala (Terindera tetapi tak terindera) alam sakala (alam wadag dunia). (Dharsono,2007:29-32) Masyarakat Jawa mengenal bilangan-bilangan sakral yang merupakan sebuah penjagaan keseimbangan secara horizontal dan vertikal. Bilangan tersebut adalah 4(5+1), yang dikenal dengan kèblat papat kêlima pancêr , yang juga disebut dengan dunia waktu. Dikenal dengan penggolongan keempat dimensi ruang, berpola empat mata angin dengan satu pusat. Bersama-sama berarti keseluruhan, kesatuan dasar dari pertentangan menuju pengendalian. Bersama berarti keseluruhan adalah kesatuan dasar dari pertentangan menuju pengendalian, artinya bahwa satu-kesatuan yang terjadi karena adanya perbedaan, dan perbedaan merupakan dasar dari kekuatan yang harui diupayakan sebagai satu keseimbangan, keselarasan hidup dengan cara pengendalian diri. Sikap menggabungkan dua menjadi satu seperti itu, di lingkungan
masyarakat
Jawa
disebut
dengan
sinkretisme.
Sikap
menggabungkan tersebut dikenal dengan istilah dualisme dwitunggal atau dualisme
monoistis
(H.Schoerer)
dan
Loro-Ironing
atunggal,
binneka,kiwo têngên, Bhinnèka Tunggal Ika (Dharsono, 2007:32-33). commit to user
rwa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
Pandangan lain yang berkaitan dengan bilangan sakral adalah 9(8+1), namun dalam pandangan ini memiliki dua ajaran yaitu ajaran Astäginä dan ajaran Astabrätä. Ajaran Astäginä meyakini sifat baru sebagai paduan dua sifat pokok. Hal tersebut disimbolkan dalam warna-warna tertentu yang bersumber dari babad ila-ila, yang menceritakan Begawan abiyasa melihat keraton dan hatinya terpana ketika akan masuk ke dalam keraton, bersamaan dengan munculnya warna putih yang mempunyai bermacam-macam warna. Macam-macam warna yaitu : cêmêng (hitam), abrit (merah), jènè (kuning), pêthak (putih), biru (biru), ijêm (hijau), wungu (violet), dhadu (merah muda). Warna-warna tersebut dalam perspektrum merupakan pancaran dari warna putih atau terang. Alasan inilah maka pada bagian tengah (pancêr) dilambangkan tanpa warna (kosong), dalam ajaran Jawa kosong sebagai sahyang tunggal, dalam theologi Hindu disebut sahyang agung. Dewa-dewa yang menjadi simbol dari empet kiblat/arah, adalah dewa ciptaan sahyang tunggal/agung yang diberi kuasa sebagai hukum tertinggi dari setiap arah/bagian tugasnya, adalah simbol dari pancaran cahaya Tuhan (Nurasa) seperti Dewa agni yang menguasai api, Dewa bayu menguasai angin dan sebagainya. Sehingga titik centrum mengapa kosong (dilambangkan tidak ada warna), karena kosong (nol=0) melambangkan kemutlakan Tuhan. PemujaanNya selalu didahului dengan menempuh tiap-tiap arah dimulai dengan Timur ke Selatan baru menuju pusat (tengah). Tradisi Jawa dikaitkan dengan hari pasaran, dimulai dari Lêgi (Timur), Paing (Selatan), Pon (Barat), Wagè (Utara), dan Kliwon (tengah). (Dharsono, 2007:35-36) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
Ajaran Astabrätä memiliki dasar dari kisah Wibisänä ketika hendak dijadikan raja Alèngka. Ketika Wibisana hendak dijadikan raja Alèngka ia sangat sedih memikirkan nasib malang kakaknya maka Rama mengatakan pada dirinya, bahwa Rahwana tidak perlu ditangisi lagi, kere ia meninggal sebagai pahlawan. Rama menyebutkan bagaimana seorang pemimpin seharusnya bersikap dan bertindak. Dalam kaitan itulah disebutkan Astäbrätä yang dijelaskan sebagai delapan perbuatan baik yang tentu didasari pengalalaman bahwa istilah brätä sebagai bagian kedua, kata majemuk pada umumnya berartin perbuatan. Misalnya täpäbrätä = perbuatan tapa, akan tetapi dalam kaitannya dengan ungkapan Astabrata dalam Ramayana kakawin ini dapat diartikan sebagai sifat baik. Demikian sifat-sifat baik delapan dewa bersangkutan dinyatakan dengan istilah täpäbrätä. Delapan sifat-sifat baik tersebut : 1. Dewa
Indra, watak
angkasa.
Keluasaan batin dan kemampuan
mengendalikan diri 2. Dewa Surya, Watak matahari. Seorang pemimpin mampu mendorong dan menumbuhkan daya hidup rakyatnya. 3. Dewa Anila/Bayu, watak angin. Seorang pemimpin hendaklah selalu dekat dengan rakyatnya,tanpa membeda-bedakan. 4. Dewa Kuwera, watak bintang. Seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan bagi rakyatnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
5. Dewa Baruna, watak samudera (laut/air). Seorang pemimpin hendaknya menempatkan semua rakyatnya pada derajat dan martabat yang sama dihatinya. 6. Dewa Agni/Brama, watak api. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan berani menegakkan hukum dan kebenaran secara tuntas tanpa pandang bulu. 7. Dewa Yama, watak bumi/tanah. Seorang pemimpin hendaknya berwatak murah hati, suka beramal dan memberi, selalu berusaha untuk tidak mengecewakan kepercayaan rakyatnya. 8. Dewa Candra, watak bulan. Seorang pemimpin hendaknya memberi dorongan dan membangkitkan semangat rakyatnya ketika rakyat sedang kesulitan. (Dharsono, 2007:36-38)
E. Upacara Tradisi keraton Surakarta Kebudayaan keraton Surakarta mempunyai berbagai macam upacara tradisi yang telah dilakukan sejak dahulu kala. Upacara adat ini sebagai sarana komunikasi non-verbal antara raja keraton Surakarta dan rakyatnya. (Soeratman, 2000: 123). Segala sesuatu yang berhubungan dengan upacara, di antara pakaian, dan tempat duduk, tingkah laku dan bahasa yang digunakan untuk memberi petunjuk terhadap kedudukan, derajat, serta kehormatan setiap anggota pesertanya. Dengan demikian, maka etiket, yaitu pembentukan atau commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
pemolaan yang mengatur tingkah laku orang dalam interaksi, baik secara individual maupun kolektif, erat hubungannya dengan upacara. Bagi raja atau penguasa lainnya, upacara adat, etiket merupakan alat yang tidak hanya dipakai untuk membuat jarak dengan orang yang lebih rendah derajatnya, melainkan juga untuk memperkuat kekuasaannya. (Soeratman, 2000: 124). Berbagai macam upacara merupakan upacar interaksi, suatu upacara yang merupakan bagian dari bentuk kehidupan sosial yang disebut kode interaksi. Kode ini bersifat ekspresif yang dapat dinyatakan seseorang secara lisan, tertullis, dengan gerakan tangan atau anggota badan lainnya. Upacara interaksi ini selain mengenal formalitas yang tinggi, juga mengenal ketelitian dan berisikan unsur-unsur estetika. Kelompok upacara intern meliputi upacara makan siang dan malam bagi raja dan keluarganya, menghadap raja pada hari senin dan kamis, ulang tahun raja, ulang tahun pakuwon raja, ulang tahun permaisuri raja, selamatan maèslawung, ngabêktèn, dan pemujaan terhadap kekuatan alam. Diantara upacara yang termasuk kelompok ekstern adalah gêrêbêg, penobata raja (Jumênêngandalêm),
ulang
tahun
penobatan
raja
(Tingalan
Jumênêngandalêm), menanggapi peristiwa-peristiwa yang penting selama daur hidup yang menyangkut diri raja serta keluarganya, dan rampogan harimau. Selain itu terdapat juga upacara yang berlangsung diluar kêdhaton, misalnya tadhak loji, dan jèndralan. Lebih jauh lagi upacara yang masih tetap lestari (hingga sekarang). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
1. Upacara Jumênêngan, yang ditandai dengan dipergelarkannya tarian sakral bêdhaya kêtawang. 2. Upacara Gêrêbêg 3. Upacara Gunungan 4. Upacara Mahèsä Lawung, sesaji kepala kerbau. 5. Hari Raya Idul Fitri, acara sungkeman/ngabekten (Silaturahmi, saling memaafkan), dan peparing (membagi sedekah untuk kesejahteraan kawula/masyarakat) (Hadisiwaya, 2011:30). Kebudayaan keraton Surakarta mengenal pasamuwan agêng (besar), pasamuan têngahan (tengah), pasamuan alit (kecil). Istilah ini memudahkan peserta upacara untuk menentukan macam kostum yang harus mereka pakai, jika mereka mengikuti upacara itu. Termasuk pasamuwan agêng adalah upacara penobatan raja (Jumênêngandalêm), ulang tahun penobatan raja (Tingalan Jumênêngandalêm), Gêrêbêg (Maulud, Pasa, Bêsar), Têdhak loji, jendralan, kelahiran calon putra mahkota, perkawinan raja dan keluarganya dan pemakaman jenazah raja. Pasamuwan alit antaranya mencakup upacara rutin tiap hari senin dan kamis, sedang ulang tahun pakuwon raja termasuk pasamuwan têngahan. (Soeratman, 2000: 123-126). Upacara penting yang terkait dengan adat istiadat keraton adalah: Jamasan,
Pisowanan
Ngabêktèn,
Nyadran,
Jumênêngandalêm.
commit to user
Labuhan
dan
Tingalan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 58
1. Upacara Jamasan dilakukan pada bulan Surä/ Muharram setiap tahun, berupa pemeliharaan warisan dalam bentuk pembersihan pusaka peninggalan leluhur. 2. Pisowanan Ngabêktèn adalah pemberian tanda bukti dan mohon berkah kepada raja. Biasanya dilangsungkan pada saat Idul Fitri (lebaran) pada tanggal 1 syawal seetiap tahunnya. 3. Nyadran adalah tradisi ziarah kubur (bersifat terbatas). Dilaksanakan setiap tanggal 15 Ruwah/Sya’ban, menjelang bulan puasa dimakam pajimatan: Sesela, Tegal-Arum, Kota Gedhe, dan Imogiri. 4. Labuhan merupakan upacara membuang sajian atau barang yang dianggap keramat. Labuhan itu dilaksanakan di gunung Lawu (timur), parangtritis (selatan), hutan Krendawahana (utara), dan Gunung Merapi (barat). Barang yang dilarung (ind.disajikan,dibuang) adalah pakaian lengkap, potongan rambut, potongan kuku, minyak wangi dan sutera. 5. Tingalan Jumênêngandalêm, yaitu melakukan udik-udik, yaitu adat para Raja Jawa untuk menyebar uang kepada rakyat/kawula. (Hadisiswaya, 2011:33-34)
Penjelasan berikutnya mengenai upacara penting keraton: 1. Penobatan Raja (Jumênêngandalêm) dan ulang tahun penobatan raja (Tingalan Jumênêngandalêm). 2. Selamatan Mahèsä Lawung, berintikan labuhan kepada Bathari Durga yang dilakukan setiap tahun. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 59
3. Tingalan alit untuk raja dan keluarganya, biasanya hanya diperuntukkan bagi almarhum ayah dan ibu sunan. (Hadisiswaya, 2011:35).
F. Tingalan Jumênêngandalêm Tingalan Jumênêngandalêm merupakan upacara peringatan kenaikan tahta raja di keraton Surakarta. Upacara ini diperingati setiap setahun sekali pada tanggal dan bulan saat penobatan raja, menurut perhitungan kalender Jawa. Tingalan Jumênêngandalêm dikeraton Surakarta biasanya didahului dengan pemberian kenaikan pangkat dan gelar keningratan kepada para putra sentana, para kerabat keraton dan abdi dalêm. Disamping itu juga pemberian pangkat dan gelar baru kepada orang-orang yang dianggap berjasa terhadap keraton, serta penganugerahan bintang Sri Kabadyä kepada abdi dalêm atau orang yang berjasa kepada keraton. (Rustopo, 2008 : 185-186) Upacara Tingalan Jumênêngandalêm merupakan upacara yang paling penting diantara ragam upacara di keraton Surakarta. Berdasarkan wawancara dengan Bp. Winarnokusumo bahwa upacara tersebut merupakan puncaknya upacara. Tanpa upacara tersebut upacara yang lain tak akan bisa dilaksanakan. Karena upacara tersebut merupakan pertanda bahwa masih adanya seorang raja. Sedangkan seorang raja berperan sebagai pemangku adat, sehingga apabila upacara tersebut tidak ada, dapat dikatakan bahwa tidak ada seorang raja di keraton Surakarta. tidak adanya seorang raja berarti sudah tidak dilaksanakan lagi upacara-upacara tradisi keraton Surakarta. Winarnokusumo juga menjelaskan bahwa Tingalan Jumênêngandalêm berasal dari bahasa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 60
Kedhaton. Tingalan berarti Peringatan, Jumênêngan berarti bertahta, Jumênênganberasal dari kata Jumênêngan yang artinya tahta maksudnya tahta kekuasaan, sehingga jika ditambah akhiran an setelah kata Jumênêngan maka artinya adalah bertahta, sedangkan Dalêm berati raja. Dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai, ulang tahun kenaikan tahta raja, karena upacara ini dilaksanakan setiap tanggal sewaktu penobatan menjadi raja. Tanggal Jumênêngandalêm (penobatan) ataupun tanggal Tingalan Jumênêngandalêm menggunakan penanggalan Jawa2. Tingalan Jumênêngandalêm biasanya selalu mempergelarkan tari Bêdhäyä Kêtawang yang sifatnya agak tertutup dan pribadi. Dahulu hanya diperuntukkan bagi raja dan keluarganya, serta kemudian ditambah dengan melibatkan para abdi dalêm. Tempat penyelenggaraannya berada di sasäna sêwäkä keraton Surakarta (Hadisiwaya, 2011:35). Hal ini sesuai dengan pernyataan Rustopo dalam bukunya. Bahwa puncak ritual Tingalan Jumênêngandalêm adalah pasèwakan (penghadapan) bertempat di bangunan utama sasana sewaka, dengan acara tunggal menyaksikan persembahan tari bêdhaya kêtawang. Sinuwun duduk di dhampar kêprabon menghadap ke timur, diapit oleh para putêri dalêm yang duduk bersimpuh dikanan/kiri raja sambil membawa perangkat upacara kerajaan. Didepan raja adalah tempat untuk menyajikan tari bêdhaya kêtawang. Para tamu, putera, sêntana, kerabat keraton, dan abdi dalêm duduk bersila di lantai menghadap kea rah raja, kearah tari bêdhaya kêtawang disajikan. Semua berbusana jawi jangkêp sesuai 2
Winarnokusumo, 02 Desember 2011.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 61
dengan derajat kepangkatannya. Para tamu agung (menteri, gubernur, residen, walikota, bupati) dan para pangeran duduk di kursi yang telah disediakan. Seluruh upacara, termasuk penyajian tari bêdaya kêtawang, berjalan dalam waktu sekitar dua setengah jam tanpa minum, makan, dan rokok. (Rustopo, 2008 : 185-186)
G. Simbol Diawali dari kritikan Harris terhadap pemikiran Marx yang kemudian Harris sendiri dikritik oleh Syaiful Arif. Harris mengkritik pemikiran Marx mengenai pendekatan materialisme dialektis pada determinisme akhir sejarah kelas yang mengabaikan dialektika empiris pada level struktur reproduksi ekonomi yang menentukan gerak kebudayaan. Sedangkan Syaiful arif berpendapat bahwa pendekatan Harris mengenai materialisme kebudayaan terjebak dalam determinisme empiris sehingga mengabaikan kontribusi supra struktur ideologi yang juga menentukan gerak kebudayaan. Satu hal yang lucu ketika Harris memaknai pantangan memakan hewan sapi dikalangan masyarakat Hindu, ternyata hanya bermotifkan ekonomi. Bagi warga India, sapi hanya memberikan sedikit susu, tetapi kontribusi utamanya terletak pada pemberian bahan bakar dan pupuk yang datang dari kotoran sapi tersebut. Oleh Syiful Arif penjelasan ini sangat ekonomis tak mampu membedah aspek kognitif dan nilai dalam tradisi tersebut. Menurut Syaiful arif, dari berbagai kelemahan inilah, lahir pendekatan ideasional yang menempatkan kebudayaan bukan sebagai sistem adaptif, melainkan sistem simbolik (Arif, 2010:108commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 62
109). Ditegas juga dalam buku The Power Of Symbols karya F.W. Diliston bahwa, kesatuan sebuah kelompok, seperti semua nilai budayanya pasti diungkap dengan makna simbol. Simbol sekaligus merupakan pusat perhatian tertentu sebuah sarana komunikasi dan landasan pemahaman bersama. Setiap komunikasi dengan bahasa atau sarana yang lain, menggunakan simbo-simbol. Masyarakat hampir tidak mungkin ada tanpa simbol-simbol (Dilistone, 1986:15). Hakikat simbol sendiri terletak dalam pengakuan bahwa hal yang satu mengacu
(mewakili)
hal
yang
lain
(Dilistone,
1986:103).
Simbol
mempersatukan atau menggabungkan suatu segi pengalaman manusia yang sudah dikenal baik dengan apa yang mengatasi pengalaman itu maupun mengungkapkannya (Dilistone, 1986:28). Menurut Benny H. Hoed (2008: 20) simbol termasuk salah satu jenis tanda dalam ilmu semiotika yang memiliki hubungan erat antara objek dan manusia sebagai intepretannya. Dalam ilmu semiotika, tanda memiliki tiga jenis yakni, ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang memiliki hubungan antara representamen dan objeknya berdasarkan atas keserupaan identitas. Indeks adalah tanda yang memiliki hubungan atara representamen dan objeknya berdasarkan kontiguitas (sebabakibat). Sedangkan simbol adalah tanda yang memiliki hubungan antara representamen dan objeknya didasari oleh konvensi (kesepakatan) sosial. Olehy karena itu bisa dikatakan bahwa simbol sudah pasti sebuah tanda, namun jika sebuah tanda belum tentu ia sebuah simbol. Dalam definisi komunikasi tersirat fakta bahwa manusia merupakan mkhluk pembuat simbol. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 63
Karena simbol merupakan ekspresi yang mewakili atau menandaskan suatu hal yang lain. Salah satu krakteristik simbol yang harus diingat adalah bahwa simbol itu tidak mempunyai hubungan langsung dengan apa yang diwakilinya, sehingga dapat berubah-ubah. Simbol dapat berupa bentuk suara, tanda pada kertas, pakaian, gerak, bendera dan lain sebagainya, yang digunakan dalam berbagai fakta dengan orang lain (Samovar, Porter, Daniel, 2010:18-19). Hubungan antara budaya dan simbol menjadi jelas ketika sebuah pernyataan, bahwa simbol mengikat orang yang mungkin saja bukanlah bagian dari suatu kelompok yang bersatu. Probabilitas (sifat mudah dibawa) simbol
memungkinkan
orang untuk
membungkus,
menyimpan,
dan
menyebarakannya. Pikiran, buku, film, gambar, tulisan tentang agama, video, asessories, dan sebagainya, memungkinkan suatu budaya melestarikan apa yang dianggap penting dan berharga untuk diturunkan. (Samovar, Porter, Daniel, 2010:45). Individu yang berada dalam masyarakat yang sekaligus memungkinkan dan membuatnya berbudaya justru kerena kemampuannya untuk membuat simbol dan bahasa, kemudian menggunakannya dalam komunikasi dan dialog, yang pada ahirnya merupakan bagian integral dan tak terhindarkan dari keseluruhan proses pembelajaran dan internalisasi yang mencakup internalisasi masyarakat kepada individu dan sosialisasi individu kedalam masyarakat (Kusumohamidjodjo, 2009:104). Simbol dapat didefinisikan dengan setiap objek, tindakan, peristiwa, sifat atau hubungan yang dapat berperan sebagai wahana suatu konsepsi, dan konsepsi merupakan makna simbol (Dilistone, 1986:116). Menurut pendapat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 64
Greertz, yang dikutip oleh Arif dalam bukunya Refilosofi Kebudayaan, bahwa kebudayaan didefinisikan sebagai, sistem keteraturan makna dan simbol yang dengan makna dan simbol tersebut, individu mendefinisikan dunia, mengekspresikan perasaan, dan membuat penilaian. Suatu pola makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolis, yang melalui bentuk tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan. Suatu peralatan simbolik untuk mengontrol perilaku, sumbersumber ekstrasomatik dari informasi, dan karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, serta diintepretasi (Arif, 2010:111). Signifikasi makna bagi identitas manusia dan bagi bekerjanya sistem sosial adalah membuat intepretativisme lebih mengedekatan emik, dimana posisi simbol, baik dalam karya seni maupun ritus, menjadi pintu masuk untuk menemukan dimensi batin manusia. Hal ini berpijak pada postulat bahwa dalam menghadapi hidup manusia selalu memiliki penyaring simbolis sehingga, baik cara menanggapi ataupun tanggapan tersebut tidak keluar dari simbol. Maka, posisi makna dalam intepretativisme tidak bersifat individualis, tetapi publik (Arif, 2010:112).
H. Kerangka Pikir Busana Paku Buwono XIII (Tingalan Jumênêngandalêm 2005-2011) secara tradisi merupakan busana kebesaran raja keraton kasunanan Surakarta, yang diwarisi dari raja-raja sebelumnya. Busana yang dikenakan muncul commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 65
sekitar akhir abad 18, pasca perjanjian Giyanti. Hierarki sosial merupakan salah satu esensi penting yang termuat dalam nilai busana. Diluar itu, merupakan gaya atau mode yang mencirikan budaya tradisi keraton Surakarta. Paku Buwono XIII memiliki hak prerogratif dalam berbusana, pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm 2005-2011. Hal tersebut menunjukkan nilai subjektivitas individualnya (pribadi) sebagai raja yang sedang memperingati hari penobatannya. Simbol-simbol pada busana Paku Buwono XIII merupakan bentuk esensi/roh identitas busananya yang bersandar pada nilai budaya tradisi keraton Surakarta. Simbol tersebut terkait dengan pandangan masyarakat yang menginterpretasi berdasarkan budaya masyarakat itu sendiri. Selanjutnya, simbol-simbol pada busana yang telah memiliki maknanya sendiri akan dimaknai oleh masyarakat pendukungnya. Karena pemaknaan simbol didasari atas kesepakatan kelompok masyarakatnya. Hal ini disebut juga sebagai interaksi simbolik, yaitu suatu objek, situasi, orang, dan peristiwa tidak memiliki maknanya sendiri. Dasar pandangan atas interaksi simbolik adalah asumsi bahwa pengalaman manusia diperoleh lewat interpretasi. Objek, situasi, orang, dan peristiwa, tidak memiliki maknanya sendiri. Adanya dan terjadinya makna dari berbagai hal tersebut karena diberi berdasarkan interpretasi dari orang yang terlibat. Interpretasi bukanlah kerja otonom dan juga tidak ditentukan oleh suatu kekuatan khusus manusia ataupun yang lain (Sutopo, 2002:28). Menurut Moeleong (2010:20), interaksi simbolik menjadi paradigma konseptual melebihi dorongan dari dalam, sifat-sifat pribadi, motivasi yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 66
tidak disadari, kebetulan, setatus sosial ekonomi, kewajiban-peranan, resep budaya, mekanisme pengawasan masyarakat, atau lingkungan fisik lainnya. Kerangka pikir diatas akan lebih dijelaskan dalam bentuk bagan, berikut: Raja-raja terdahulu
Budaya keraton Surakarta
Busana PB XIII Tingalan Jumênêngandalêm 2005-2011
Pribadi
Makna
Budaya Masyarakat
Masyarakat
Bagan diatas menunjukkan bahwa busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm 2005-2011 yang sekaligus merupakan bentuk simbolis, dipengaruhi dan memiliki maknanya dari kebudayaan keraton Surakarta, raja-raja terdahulu, dan pribadi (Paku Buwono XIII). Dalam lingkup simbolis makna tidak terjalin tanpa adanya konvensi sosialnya, maka masyarakat dan kebudayaannya memiliki andil sebagai intepretant yang nantinya memunculkan makna simbolis busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm 2005-2011. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 67
BAB III METODE PENELITIAN
Sebuah metode hakikatnya adalah sebuah cara untuk memperoleh sesuatu. Penelitian ini akan dikaji secara ilmiah, atau dengan kata lain adalah cara yang sistematis/teratur dan terfikir baik-baik untuk mencapai maksud ilmu pengetahuan atau cara kerja bersistem untuk mempermudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Metode penelitian merupakan gambaran cara atau alat untuk menghasilkan tujuan ilmiah dari penelitian. Sedangkan metode sendiri mempunyai pengertian: suata cara yang sistematis
untuk
mencapai dan mengetahui maksud tujuan yang telah ditentukan secara efektif, efisien dan optimal. (Adib, 2010:132-133). Ketelitian pandangan secara epistemologi dalam kajian ini sangat diprioritaskan sebagai pencapaian ilmiah. Tingakat validitas, ketepatan, kesahihan sangat bergantung pada cara atau metode yang digunakan, maka perlunya metode yang tepat sesuai dengan permasalahan yang muncul akan menentukan hasil atau capaian penelitian, untuk itu dipilihlah langkah-langkah sebagai berikut:
A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan sesuai dengan objek kajian yang dilaksanakan yaitu di Surakarta. Objek kajian yang diteliti adalah busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode 2005-2011, sehingga hal ini menentukan lingkup commit lokasi to userpenelitian.
67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 68
B. Jenis Penelitian Kajian ini akan menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Berdasarkan permasalahan yang muncul, maka penelitian ini masuk dalam kategori penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Deskriptif berarti memaparkan atau menjelaskan atau mendeskripsikan masalah yang ada dibalik lingkup objek penelitian. Deskriptif kualitatif berarti riset yang cenderung menggunakan analisa dengan pendekatan induktif yaitu mengambil kesimpulan dari pendapat umum kemudian difokuskan hasilnya. C. Bentuk Penelitian Bentuk penelitian disesuaikan dengan permasalahan yang ada yaitu mengenai bentuk, konsep, dan makna busana Paku Buwono XIII pada saat upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode 2005-2011, maka bentuk penelitiannya adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan hermeneutik. Hermeneutika merupakan sebuah pendekatan yang mengarah pada penafsiran ekspresi yang penuh makna dan dilakukan dengan sengaja oleh manusia. Hal ini sejalan dengan pola pandang fenomenologi yang melihat makna dari pandangan subjek yang dikaji setiap peristiwa atau karya memiliki makna dari intepretasi atas sesuatu tersebut
selanjutnya menghadapi pembaca atau
pengamatnya dan ditangkap dengan interpretasi pula. (Sutopo, 2002:26) Penentuan pendekatan ini sebagai pisau bedah data yang akan dianalisis.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 69
D. Sumber Data Sumber data studi penelitian akan diperoleh dari dua poin sebagai berikut : 1. Dokumen dan arsip yang berkaitan dengan Busana Paku Buwono XIII pada Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 sampai 2011 sebagai data pengamatan langsung. Data tersebut dapat diakses melalui pihak keraton Surakarta berupa foto-foto atau video yang berkaitan. Diluar dokumen foto atau video adalah data berupa arsip informasi dari media cetak maupun elektronik. 2. Informan sebagai narasumber yang ahli dan berkaitan dengan lingkup dan tema kajian.
Dalam pelaksanaannya dipilih informan yang terlibat
langsung pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm 2005-2011, maupun informan yang dekat dengan Paku Buwono XIII. Perlu dipahami bahwa informan terdiri dari beragam individu sehingga tanggapan informan atas pertanyaan dari peneliti berdasarkan selera dan arah pikir informan dalam menyampaikan informasi yang dimilikinya. Menurut Sutopo (2002:50-51). Adanya posisi yang beragam mengakibatkan adanya perbedaan macam akses dan kelengkapan mengenai berbagai informasi yang bisa diperoleh dan dimilikinya. Para narasumber yang berkaitan terdiri dari pelaku, pengamat, orang yang secara langsung mengelola atau merencanakan sesuatu. Oleh karena itu didalam memilih seorang informan, peneliti wajib memahami posisi dengan beragam peran dan keterlibatannya dengan kemungkinan aksesnya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 70
Informan yang berkaitan adalah: a. KGPH. Puger, BA (adik kandung Paku Buwono XII) b. KP. Winarnokusumo (Humas keraton) c. GRAy. Koes Murtiyah Wirabumi (kakak Paku Buwono XIII) d. GKR. Galuh Kencono (adik Paku Buwono XIII) e. Joko Purnomo (fotografer keraton) f. Hartoyo (penata busana Paku Buwono XIII pada
Tingalan
Jumênêngandalêm)
E. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data digunakan untuk mengumpulkan data-data yang mendukung, sebagai berikut: 1. Content analysis (mengkaji dokumen dan arsip) Sumber data berupa dokumen dan arsip dicatat dengan teliti sesuai permasalahan yang ada. Dokumen berupa foto diamati dan dicatat guna pengidentifikasian deskripsi bentuk busana yang akan dianalisa. Perlunya pencatatan dokumen foto untuk memferifikasi seluruh atribut yang dikenakan paku buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005-2011. Sedangkan sumber data berupa arsip dicatat poinpoinnya sesuai permasalahan juga, guna pengidentifikasian hal-hal penting yang harus diungkapkan sebagai data. Menurut Sutopo (2002:70) Peneliti harus bersikap kritis dan teliti dalam menghadapi beragam arsip dan dokumen tertulis sebagai sumber data, tidak hanya sekedar mencatat isi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 71
penting yang tersurat dalam dokumen atau arsip, namun juga mencatat makna yang tersirat. Dokumen yang ditemukan wajib dikaji kebenarannya, baik secara eksternal yang berkaitan dengan keaslian dokumen dan secara internal yang berkaitan dengan kebenaran isi dokumen. 2. Wawancara Data yang bersumber dari informan digali melalui proses wawancara yang didukung dengan perekaman. Perekaman wawancara berguna untuk memudahkan akses pencatatan poin-poin penting yang disampaikan informan. Hal tersebut (perekaman) merupakan cara evisien yang menyangkut penyampaian informasi dari informan sesuai pola pikir dan alur pembicaraan informan. Pertanyaan untuk pelaksanaan wawancara disusun
berdasarkan
hal-hal
yang
bersifat
pokok
yang
terkait
permasalahan dalam kajian simbol busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm 2005-2011, selebihnya pertanyaan disampaikan dalam menanggapi jawaban informan. Teknik wawancara ini tak terstruktur karena narasumber menjelaskan sesuai alur pikirnya. Wawancara ini dilakukan untuk memperkuat data yang telah diperoleh sebelumnya yaitu dari dokumen dan arsip. Menurut Sutopo (2002:59) wawancara tidak terstrutur juga disebut sebagai teknik wawancara mendalam karena peneliti merasa tidak tahu apa yang belum diketahuinya. Dengan demikian wawancara dilakukan dengan pertanyaan bersifat open ended, dan mengarah pada kedalaman informasi, serta dilakuakan tidak secara formal terstruktur.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 72
F. Validitas Data Data yang telah berhasil digali, dikumpulkan dan dicatat harus diusahakan kemantapan dan kebenaran. Oleh karena itu peneliti harus memilih dan menentukan cara-cara yang tepat untuk mengembangkan validitas data yang diperoleh, maka peneliti menentukan teknik validitas berupa trianggulasi data. Trianggulasi data merupakan cara yang paling umum digunakan dalam penelitian kualitatif. Cara ini mengarahkan peneliti agar dalam mengumpulkan data, wajib menggunakan beragam sumber yang tersedia. Artinya, data yang sama atau sejenis akan mantap kebenarannya bila digali dari berbagai macam sumber data yang berbeda. (Sutopo, 2002:70) Guna menjadikan data-data secara valid maka dibutuhkan berbagai macam sumber data agar mampu diperoleh kemantapan datanya. Data sementara berupa foto Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm 2005-2011 dijadikan bahan yang mampu memunculkan pertanyaan. Pertanyaan yang telah muncul kemudian digali jawabannya melalui berbagai macam sumberdata (selain foto), baik melalui para informan yang berbeda maupun arsip-arsip yang berkaitan. Data dari berbagai macam sumber data yang diperoleh maka data yang terkait dengan kajian simbolis busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm dicatat dan dirangkum, sehingga esensi data yang muncul merupakan data valid.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 73
G. Analisis Data Proses analisis dalam penelitian ini terdapat tiga komponen utama yang harus benar-benar dilakukan, yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan atau verivikasi. Tiga komponen tersebut terlibat dalam proses yang saling berkaitan serta menentukan hasil akhir (Sutopo,2002:91). 1. Reduksi Data Reduksi
data
merupakan
proses
seleksi,
pemfokusan,
penyederhanaan dan abstraksi data. Proses ini berlangsung terus menerus sepanjang penelitian, bahkan prosesnya diawali sebelum pelaksanaan pengumpulan data. Artinya reduksi data berlangsung sejak peneliti mengambil keputusan tentang kerangka kerja konseptual, melakukan pemilihan kasus, menyusun pertanyaan penelitian dan juga waktu cara mengumpulkan data yang dipergunakan (Sutopo, 2002: 91). Pada saat pengumpulan data berlangsung reduksi data dilakukan dengan cara membuat ringkasan dari catatan data yang diperoleh dilapangan. Karena perolehan data melalui wawancara dengan perekaman maka peringkasan bisa langsung dilakukan setelah proses wawancara, tanpa pencatatan saat pelaksanaan wawancara. Dalam menyusun ringkasan, dipilih berdasarkan permasalahan yang telah ada, sehingga data yang disampaikan para informan dapat tergambar dengan jelas batasan-batasannya. Batasan datadata yang perlu diringkas sesuai lingkup kajian busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005-2011, sehingga data yang tidak sesuai dengan batasan tersebut dihilangkan. Proses reduksi data commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 74
berlangsung terus-menerus hingga laporan penelitian selesai disusun. Reduksi data dalam penelitian bertujuan mempertegas, memilih, memfokuskan, membuang hal-hal yang tidak penting, dan mengatur data sehingga simpulan penelitian dapat dilakukan. 2. Sajian Data Sajian data merupakan suatu sajian rakitan organisasi yang memungkinkan kesimpulan penelitian dapat dilakukan. Sajian ini merupakan rakitan kalimat yang disusun secara logis dan sistematis sehingga bila dibaca akan bias dipahami sebagai hal yang terjadi dan memungkinkan peneliti untuk membuat suatu pada analisis ataupun tindakan lain berdasarkan pemahamannya (Sutopo, 2002: 92). Sajian data disusun secara naratif intepretatif, yaitu penyajian data yang dilalukan dengan terstruktur sesuai gaya pengungkapan bahasa peneliti dan sesuai kemampuan peneliti dalam menjelaskan. Sajian didukung gambar-gambar yang berkaitan sebagai sarana pendukung yang memperjelas rangkaian penjelasan peneliti. Rangkaian penjelasan dan gambar merupakan integritas penuh yang tak bisa dipisahkan demi kejelasan penelitian. Maka dengan melihat sajian data mengenai kajian simbolik
busana
Paku
Buwono
XIII
pada
upacara
Tingalan
Jumênêngandalêm tahun 2005-2011, peneliti akan dapat lebih memahami berbagai hal yang berhubungan dengan penelitian. Oleh karena itu memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada analisis atau tindakan lainnya berdasarkan pemahaman atas masalah dalam penelitian. Menurut commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 75
Sutopo, (2002: 93) Sajian data yang meliputi berbagai hal seperti gambar, skema, ataupun tabel semuanya untuk merakit informasi yang teratur supaya dapat dilihat dan dimengerti dalam bentuk yang kompak. Sajian data ini merupakan bagian analisis yang penting sehingga merupakan bagian terpenting dalam penelitian kualitatif. 3. Penarikan Kesimpulan danVerifikasi Awal pengumpulan data berlangsung, peneliti harus sudah memahami apa arti dari berbagai hal yang ia temui dengan melakukan pencatatan, pola-pola, pernyataan-pernyataan, konfigurasi yang mungkin, arahan sebab akibat, dan berbagai proporsi. Kesimpulan akhir tidak akan terjadi sampai proses pengumpulan data berakhir. Simpulan perlu diverifikasi
agar
cukup
mantab
dan
benar-benar
bisa
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu perlu dilakukan aktivitas pengulangan untuk tujuan pemantapan, penelusuran data kembali dengan cepat, verifikasi juga dapat mengembangkan ketelitian (Sutopo, 2002: 93). Verifikasi data ditempuh dengan tabel yang memuat seluruh poin penelitian sesuai permasalahan. Tabel ini dirancang untuk mengungkapkan dan mengulang kembali data analisis penelitian yang disusun teratur berdasarkan urutan tahun, komponen busana, dan urutan permasalahan (bentuk busana, konsep busana, makna simbolik busana). Sehingga dengan
penggunaan
tabel
tersebut
akan
memantabkan
proses
penyimpulan. Selain penggunaan tabel dilalakukan pula analisis interaktif, yang melibatkan orang-orang yang ahli dibidangnya sebagai responden. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 76
Responden merupakan subjek ahli yang menanggapi, baik mengkritik maupun member masukan. Hal ini berguna sangat penting untuk menarik simpulan berdasarkan pendapat para ahli. Adapun sekema gambar analisis interaktif sebagai berikut:
Pengumpulan data
Reduksi Data
Sajian Data
Penarikan kesimpulan/Verifikasi Data (Sutopo, 2002: 96)
Gambar diatas memperlihatkan proses pada waktu pengumpulan data, yang mana peneliti selalu membuat reduksi data dan sajian data. Dalam proses mereduksi data peneliti mencatat pokok-pokok rumusan seusuai permasalahan yang ada, yaitu bentuk busana, konsep busana, dan makna busana. Dalam proses sajian data hasil pencatatan yang telah terfokus sesuai permasalahan, kemudian disusun secara naratif kualitatif. Penyusunan ini diikuti kemampuan memaparkan secara logis dan sistematis, supaya mampu memunculkan maknanya secara jelas dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 77
terfahami. Untuk mendukung proses ini maka diperlukan gambar-gambar untuk
memperjelas
rumusan-rumusan
data.
Gambar-gambar
yang
disajikan adalah bentuk-bentuk uraian busana yang digunakan Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm. Setelah melalui proses-proses tersebut maka dilakukan penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan ini didukung dengan tabel verifikasi data, yang didalamnya termuat pokok-pokok data yang telah diurutkan berdasarkan tahun, busana pokok, busana lengkapan, dan asessoris. Dengan tabel tersebut maka proses penarikan kesimpulan akan mudah ditarik. Setelah proses penyimpulan terlampaui maka hasil analisis data dan simpulannya diteliti kembali, apabila dirasa kurang mantap maka dilakukan proses pemantapan dengan cara respondensi kepada para ahli, sehingga informasi yang sebelumnya dianggap kurang akan termantapkan dengan proses ini. Proses ini juga merupakan pengulangan kembali proses pengumpulan data, reduksi data dan sajian data. Sehingga hasil simpulan akan diperoleh dengan lebih matap. Hal ini sesuai dengan pendapat Sutopo, (2002: 96) bahwa pada waktu pengumpulan data berahir peneliti peneliti mulai melakukan usaha menarik simpulan dan verifikasinya. Bila simpulan dirasa kurang mantap
maka peneliti
wajib kembali
melakukan
pengumpulan data yang sudah terfokus untuk mencari pendukung simpulan dan juga sebagai pendalaman data. Dalam keadaan ini tampak bahwa penelitian kualitatif prosesnya berlangsung dalam bentuk siklus. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV BUSANA PAKU BUWONO XIII PADA UPACARA TINGALAN JUMENENGANDALEM PERIODE 2005-2011
Jumat Kliwon, 10 September 2004, keraton Kasunanan Surakarta mengadakan upacara
Jumênêngandalêm,
yaitu
upacara pengangkatan
/penobatan raja. Dilaksanakannya upacara tersebut untuk menobatkan KGPH. Hangabei (Paku Buwono XIII) sebagai penerus tahta Paku Buwono XII. KGPH. Hangabei adalah putera tertua dari 35 anak yang lahir dari selir (garwä ampil) almarhum Paku Buwono XII. Menurut adat tradisi keraton, seseorang yang berhak menjadi pewaris tahta kerajaan adalah putra tertua dari permaisuri raja atau putra yang telah ditunjuk langsung oleh raja (Hadisiswaya, 2011: 108). Paku Buwono XII dalam perjalanannya menjadi raja tidak memiliki seorang permaisuri dan juga tidak menunjuk salah satu putranya sebagai pewaris tahta. Oleh karena itu yang berhak mewarisi tahta kerajaan adalah putra tertua dari selir Paku Buwono XII1. Sehingga menempatkan KGPH Hangabei sebagai Paku Buwono XIII yang mewarisi serta meneruskan tahta kerajaan, dengan segala bentuk kebudayaan tradisi keraton Surakarta yang harus tetap dijaga dan dilestarikan. Pasca penobatan KGPH Hangabei (Paku Buwono XIII), diadakan upacara Tingalan Jumênêngandalêm setiap tanggal 25 bulan Rêjêb. Upacara 1
Wawancara dengan GRAy. Kus Murtiyah Wirabumi pada 20 Januari 2012 di keraton Kasunanan Surakarta dan Hartoyo pada 08 Januari 2012 dikediaman beliau.
commit to user 78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 79
tersebut telah dilaksanakan sebanyak tujuh kali pada setiap tahunnya, sejak 2005 hingga 2011. Penanggalan upacara ditentukan menurut tanggal saat KGPH. Hangabei dinobatkan sebagai raja (menurut penanggalan Jawa)2. Para tamu undangan yang hadir meliputi wakil pemerintahan RI, para tokoh politik, raja-raja seluruh Nusantara, raja kerajaan Malaysia, raja kerajaan Tailand, wakil dari Negara-negara sahabat, hingga selebritis dan seniman Nasional. Secara historis raja-raja yang hadir merupakan raja dari kerajaan-kerajaan kecil dibawah kekuasaan keraton kasunanan Surakarta3. Hal tersebut dalam konteks kekinian telah mengarah pada kegiatan bernilai tradisi. Karena kekuasaan secara teritorial maupun kepemerintahan telah tidak berfungsi sejak 1945, namun secara tradisi hal tersebut masih berlangsung. Upacara Tingalan Jumênêngandalêm
merupakan
bentuk
kontinuitas
dari
upacara
Jumênêngandalêm (penobatan raja). Sebagai bentuk kontinuitas, Tingalan Jumênêngandalêm berpredikat sebagai puncak dari seluruh kegiatan tradisi keraton Surakarta sehingga dianggap upacara terpenting dan sakral. Menurut Dharsono4 upacara Tingalan Jumênêngandalêm merupakan salah satu bentuk dari konsep pengkultusan raja sebagai manusia titisan Tuhan. Sedangkan KP. Winarnokusumo5 menjelaskan bahwa upacara Tingalan Jumênêngandalêm
2
Wawancara dengan KP. Winarnokusumo 22 Desember 2011, di sasana wilapa keraton Surakarta.
3
Wawancara dengan Dharsono (guru besar Seni Rupa Timur, ISI Surakarta) pada 15 Maret 2012, di wisma seni, Taman Budaya Jawa Tengah. 4
Wawancara pada 15 Maret 2012, di wisma seni, Taman Budaya Jawa Tengah.
5
Wawancara pada 22 Desember 2011, di sasana wilapa keraton Surakarta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 80
merupakan tanda masih bertahtanya seorang raja di keraton Surakarta. Oleh karena itulah Tingalan Jumênêngandalêm disebut upacara penting dan sakral yang terkait dengan eksistensi seseorang yang dinubuatkan sebagai penguasa jagad (spiritual dan keduaniaan). Saat upacara Tingalan Jumênêngandalêm berlangsung, kedudukan raja dalam tingkat hirarki tertinggi sangat jelas tergambarkan. Hal ini ditunjukkan melalui tata cara bertingkah laku yang ada didalamnya. Saat upacara terpenting dan sakral tersebut raja duduk diatas dhampar6. Sedangkan para abdi dalêm maupun keluarga raja duduk dilantai. Saat raja duduk diatas dhampar menggambarkan satu-satunya individu yang berhak menyandang predikat penguasa jagad dan spiritual (Ngabdurrakhman Sayidin Panätägämä Khälifatulläh). Gambaran tersebut merupakan bagian dari konsep pemahaman bahwa raja adalah penghubung antara dunia atas dan dunia bawah, yaitu pemimpin kerajaan (penguasa jagad/dunia bawah) utusan Tuhan (pemimpin spiritual/dunia atas)7. Hal ini mengingatkan pada konsep pemimpin pada masa kerjaan Hindu, yang telah ada sebelum masa dinasti Mataram. Pada masa pengaruh Hindu, raja sebagai poros kekuasaan juga dianggap sebagai perwujudan dewa, misalnya Airlangga dan Ken Arok yang dianggap sebagai perwujudan Wisnu. Namun, pada masa penyebaran Islam raja dianggap sebagai wakil Tuhan. Oleh karena itu, seseorang yang hendak menjadi raja harus mendapat wahyu keraton berupa cahaya cemerlang yang masuk dalam 6
Dhampar adalah tempat duduk kusus untuk raja pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm yang berbentuk kubus persegi panjang tanpa sandaran punggung. Lihat lampiran hal 169 gambar 55. 7
Wawancara dengan Prof. Dharsono, 15commit Maret 2012, di wisma seni, Taman Budaya Jawa Tengah. to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 81
tubuhnya. Tentunya kepercayaan seperti ini bukan murni bersumber dari ajaran Islam, namun lebih dipengaruhi oleh kepercayaan lokal (agama Hindu) yang masih melekat (Kresna, 2011: 15). Hal tersebut terefleksikan pada gelar raja-raja dinasti Mataram Islam Jawa. Sebagai contoh, Sènopati ing Alogo Ngaburrakhman Sayidin Panätägämä Khälifätulläh yang berarti raja adalah panglima tertinggi, pengatur agama, dan ditunjuk oleh Tuhan (Kresna, 2011: 16). Pemakaian gelar tersebut dicetuskan oleh Sutawijaya8 (Kresna, 2011: 30), kemudian digunakan sebagai gelar setiap raja-raja dinasti Mataram hingga kini. Atribut raja pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm merupakan refleksi dari konsep gelar yang disandangnya 9. Oleh karena itu, Busana raja pada upacara tersebut secara tradisi merupakan larangan bagi orang lain yang berada dibawah tingkat kedudukannya. Melalui busana sebagai salah satu cara bertingkah laku dalam upacara Tingalan Jumênêngandalêm, menunjukkan bahwa raja memiliki wilayah tersendiri yang secara khusus tak dapat dilalui orang lain, baik abdi dalêm maupun keluarganya. Dalam statusnya yang tertinggi, menurut Kresna (2011: 136-137) raja adalah simbol keindahan dan keglamouran. Sehingga segala susuatu yang berkenaan dengan tatacara berbusana di keraton dibuat untuk memuliakan nama Sampeandalêm (raja).
8
Sutawijaya adalah nama lahir dari Panembahan Senopati ing Alogo, pendiri dinasti Mataram Islam Jawa pada abad 16. Sutawijaya juga sering disebut Pangèran Ngabèhi Lor ing Pasar. 9
Ngaburrakhman Sayidin Panätägämä Khälifätulläh. Raja sebagai panglima tertinggi sekaligus wakil Tuhan. Dalam pemahaman masyarakat Jawa wakil Tuhan biasa disebut Pangèjowantah ing Gusti Allah (Allah yang Nampak). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 82
Busana memiliki kaitan yang luas dengan latar belakang kehidupan manusia (Dilistone, 1986, 60) sehingga segala sesuatu yang terkait dengan latar belakangnya akan termuat pada gaya berbusana yang digunakan. Oleh karena itu, busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm merupakan simbol atribut tertinggi, karena raja yang menggunakannyan bergelar ing Alogo Ngaburrakhman Sayidin Panätägämä Khälifätulläh Busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm secara umum tidak berbeda dengan busana alamarhum Paku Buwono XII pada upacara yang sama. Sebagai contoh, baju takwä yang dikenakan Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm 2005 sampai 2011 merupakan gaya busana yang juga digunakan Paku Buwono XII pada setiap upacara Tingalan Jumênêngandalêm-nya10. Berdasarkan wawancara dengan GRAy. Kus Murtiyah Wirabumi11, bentuk busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 – 2011 berkiblat pada busana Paku Buwono XII. Beliau juga menuturkan bahwa penggunaan baju takwä di keraton Kasunanan Surakarta hanya diperkenankan untuk raja pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm. Hal ini seolah menunjukkan adanya tatanan baku pada cara berbusana raja menurut budaya tradisi keraton Surakarta. Namun baju takwa bukan semata-mata sebuah tatanan baku jika diamati lebih lanjut pada cara berbusana raja-raja keraton Surakarta terdahulu. Contoh yang dapat
10
Lihat lampiran halaman 169 gambar 56.
11
Wawancara pada 20 Januari 2012 di keraton Kasunanan Surakarta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 83
diamati adalah busana sikêpan Paku Buwono X pada upacara yang sama (Tingalan Jumênêngandalêm)12. Pernyataan GRAy. Kus Murtiyah Wirabumi mengenai baju takwa sebagai busana raja di keraton Surakarta dan kenyataan bahwa Paku Buwono X menggunakan baju sikêpan menunjukkan bahwa raja memiliki hak prerogratif dalam menentukan cara berbusananya13. Hak prerogratif raja dalam lingkup berbusana merupakan hak absolut yang sepenuhnya termuat dalam subjektifitas individual pribadinya. Hak prerogratif merupakan sebuah jalan yang mampu menunjukkan individu seorang raja yang ditinggikan dalam lingkup sosial keraton Surakarta. Hak tersebut sering kali mendasari gaya busana raja-raja Surakarta terdahulu. Sebagai contoh busana Paku Buwono XI yang berjenis sikepan dengan dasi kupu-kupunya14 terlihat berbeda jika dibandingkan dengan busana Paku Buwono X yang terkesan lebih megah15. Hal tersebut akan semakin jelas dengan mengamati bentuk busana Paku Buwono XII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm16. Paku Buwono XII selalu menggunakan baju takwa, yang tidak ditemui pada gaya busana raja-raja terdahulu pada upacara yang sama. Gaya busana Paku Buwono XII terlihat lebih sederhana dibandingkan dengan
12
Lihat lampiran halaman 170 gambar 57
13
wawancara pada 3 Januari 2012 di Sasana Wilapa keraton Surakarta.
14
Lihat lampiran halaman 170 gambar 58.
15
Lihat lampiran halaman 170 gambar 57.
16
Lihat lampiran halaman 169 gambar 56. commit to
user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 84
busana Paku Buwono X atau Paku Buwono IX. Menurut Sugiyatno 17, sejak Paku Buwono XII telah terjadi penyederhanaan bentuk busana raja. Busana jenis
kampüh
telah
tidak
digunakan
lagi
pada
upacara
Tingalan
Jumênêngandalêm. Hal tersebut didasari oleh asumsi bahwa sejak tahun 1945 raja telah menjadi bagian dari masyarakat atau tidak lagi berperan sebagai pengayom masyarakat karena sejak tahun itu keraton Surakarta menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia. Sehingga, menurut Ratna Endah Santoso18 membawa dampak bagi tatanan sosial, politik, ekonomi dan budaya di keraton. Dampak tersebut mendorong pemikiran Paku Buwono XII pada konsep berbusana yang sederhana. Bentuk busana yang dikenakan Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005-2011 secara umum menyerupai bentuk busana Paku Buwono XII dalam upacara yang sama. Bentuk busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 20052011 berupa baju takwä, sinjang, serta kelengkapannya seperti kulük kanigaran, sêlop, sabuk, èpèk, timang, lêrêp, keris, dan asessori berupa kalüng ulür, bros mawar, bros makutho, bintang sri kabadyä. Paku Buwono XIII selalu menggunakan baju takwä dengan warna yang berbeda-beda setiap tahunnya. Setiap baju takwä Paku Buwono XIII
17
Salah satu orang terdekat Sinuwun Paku Buwono XII. wawancara pada 21 Maret 2012 di jl. Teuku Umar 14 Solo. 18
Ratna Endah Santoso, Busana Paku Buwono XII (Tesis: Program Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia, Surakarta), hlm 220. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 85
dengan karakter warna tertentu dibuat sebanyak tiga buah, tiga buah baju takwä tersebut dibedakan dengan variasi warna secara analogus. Misalnya, baju takwä yang dikenakan pada tahun 2006 berwarna hijau dibuat sebanyak tiga buah yang dibedakan secara analogus menjadi tiga model warna yaitu hijau tua, hijau sedang, dan hijau terang19. Busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 hingga 2011 akan dijelaskan secara mendetail mengenai rincian bentuk busana, konsep busana, serta makna-makna simbolisnya. Penjelasan tersebut disusun berdasarkan urutan tahun, dan diurutkan mulai dari busana pokok/utama, kelengkapan busana, dan asessoris busana. Setiap bagian busana ditunjukkan pada gambar menurut letaknya, yaitu sebagai berikut:
19
Berdasarkan wawancara dengan Hartoyo pada 08 commit toJanuari user 2012.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 86
A. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2005
Gambar: 1 Letak bagian busana Paku Buwono XIII tahun 2005 (Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H 2012) 1. Bentuk Busana Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2005 Tahun 2005 merupakan tahun pertama dilaksanakan upacara Tingalan Jumênêngandalêm untuk Paku Buwono XIII. Dalam upacara tersebut, selain menyaksikan tari bêdhäyä kêtawang selama dua jam, Paku Buwono XIII juga menerima sungkem dari adik-adiknya dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 87
mewisuda
almarhum
KGPH
Haryomataram20
dengan
gelar
Panêmbahan (Setiadi, 2006: 24). Usai upacara, dilaksanakan kirab menggunakan kereta kuda kiai garudhä kêncänä. Busana yang dipakai Paku Buwono XIII adalah baju takwä berwarna magenta (ungu kemerahan) tua yang dihiasi ornamen lung-lungan diseluruh ujung pinggir kainnya. Jenis kain yang digunakan adalah thaisilk, yang berkarakter mengkilat21. Baju takwä merupakan salah satu jenis baju krowok yang memiliki ciri utama potongan setengah lingkaran dibagian belakang baju. Selain berfungsi sebagai mode (gaya Surakarta), bagian tersebut juga berfungsi untuk memperlihatkan keris secara sempurna (tidak terhalang lembaran kain baju). Bentuk baju takwä nyaris menyerupai baju bêskap, namun ujung baju depan bagian kanan lebih panjang dibanding dengan ujung kiri, ujung sisi depan tersebut berbentuk lancip atau meruncing. Jika digunakan dengan sempurna, bagian yang meruncing berada di posisi kiri. Baju takwä memiliki satu pengait (kancing baju) pada bagian dada kiri. Warna magenta tua pada baju takwä berwarna dasar violet, dalam sebutan Jawa adalah wungu. Warna tersebut merupakan warna turunan dari warna merah dan biru, namun cenderung kearah warna merah atau juga bisa disebut pure magenta. 20
Almarhum KGPH Haryomataram adalah rektor pertama Universitas Sebelas Maret Surakarta.
21
Menurut contoh kain yang ditunjukkan oleh Hartoyo, pada 08 Januari 2012.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 88
Gambar: 2 Warna kain (Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H 2012) Ornamen lung yang menghiasi pinggir baju takwä memiliki ciri berupa tangkai tumbuhan menjalar lengkap dengan cabang tangkai, daun, dan bunga. Alur tangkainya berbentuk gelombang searah, dan cabangnya berpola ukêl. Ornamen tersebut digarap dengan teknik bordir benang emas berlatar hitam dengan lebar 3 sampai 4 cm.
Gambar: 3 Bentuk detail ornamen lung (Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H 2012) Sebagai penutup tubuh bagian bawah, digunakan jarit yang juga disebut sinjang. Sinjang yang digunakan Paku Buwono XIII pada upacara
Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 bermotif parang
garudhä dengan plisiran diujung kainnya. Batik tersebut merupakan perpaduan dua unsur motif utama dari motif parang dan motif garudhä yang memiliki latar klungsêt (coklat terang). Motif parang-nya tersusun sejajar dengan motif garudhä. Motif garudhä tersebut berbentuk satu sayap terbuka, sedangkan motif parang terbentuk didalam bidang menyerupai awan yang seolah berbatasan dengan wilayah motif garudhä. Sehingga kain batik garudhä nampak seperti dilubangi dengan bentuk tersebut, namun dalam lubang itu muncul commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 89
motif batik parang. Selain dua motif utama tersebut terdapat motif isian lain yaitu lung-lungan22, puspitä, dan gunung. Ujung bawah kain batik parang garudhä terdapat plisiran yang juga diisi dengan motif lung. Lebar plisiran kurang lebih 8 hingga 10 cm. Unsur warnanya batik tersebut terdiri dari coklat terang (klungsêt), coklat tua, dan hitam.
Motif garudhä Motif puspitä/bunga Motif parang Motif gunung
Plisir
Motif lung-lungan Gambar: 4 Detail motif (Sumber: Setiadi, 2006:24)
22
Motif lung pada kain batik parang garudhä berbeda dengan ornamen lung yang menghiasi baju
takwä sinuwun tahun 2005. Motif isian lung tersebut memiliki daun daun kecil seperti kuncup, dan juga memiliki bunga.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 90
Penutup kepala yang digunakan disebut kulük. Kulük berfungsi sebagai mahkota raja dengan ciri-ciri tertentu sebagai wujud simbolisnya. Oleh karena itu, penutup kepala raja disebut juga sebagai kulük kanigaran. Ciri-ciri kulük yaitu berwarna hitam, terbuat dari bahan beludru dengan garis-garis dari emas yang menghiasi sekelilingnya. Kulük berbentuk seperti tabung, namun pada bagian atasnya tertutup, yang memiliki luas jari-jari lebih sempit dari pada bagian bawahnya. Bagian bawah kulük berfungsi sebagai tempat kepala, sehingga luas bagian bawah kulük disesuaikan dengan luas keliling kepala. Garis-garis yang terbuat dari emas disebut lungsèn23. Lungsèn berjumlah 10, tersusun menyebar menyerupai cahaya dengan sisi atas bagian tengah sebagai pusatnya. Panjang lungsèn menyebar dari pusat (atas) hingga setengah dari panjang sisi kulük namun salah satu lungsènnya memanjang hingga ujung bawah kuluk, yang disebut Punjêr24. Sedangkan garis horizontal yang melingkar di bagian ujung bawah dan tengah disebut karah. Dalam menggunakan kulük haruslah trêp/rapi, tidak boleh miring (njêplak). Sebagai pengikat sinjang digunakan setagèn atau peningsêt, yang merupakan kain tenun polos dengan panjang 5 sampai 6 m dan
23
Garis-garis pada kulük yang disebut lungsèn berdasrakan wawancara dengan Hartoyo, pada 27 Februari 2012 24
Berdasarkan keterangan. Sugiyatno pada wawancara tanggal 21 Maret 2012.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 91
lebar 10 sampai 12 cm. Dalam penggunaannya, sêtagèn dililit memutar pada pinggang hingga panjang kain tidak tersisa25. Setelah pêningsêt atau setagèn dipasang, maka dikenakan sabuk. Sabuk yang digunakan terbuat dari kain tenun berbenang sutra dan bermotif (sêmbagi) geometris, yang disebut sabuk cindhè. Sabuk ini berfungsi sebagai penutup sêtagèn/peningsêt, dan juga untuk menyengkelitkan keris. Panjang sabuk adalah 6m dengan lebar 15 cm. Cara penggunaannya dililitkan pada perut bagian atas sampai perut bagian bawah, namun pada bagian ujungnya (rumbai emas) dibiarkan terurai sampai setengah dari panjang paha kanan26. Motif sabuk Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 berkarakter geometris dengan alur gelombang sehingga membentuk pola zig-zag. Motif tersebut tidak tertata melebar namun memanjang. Wilayah sekitar motif utama terdapat motif menyerupai bidang belah ketupat dengan satu titik ditengahnya. Disekitar motif tersebut terdapat motif selingan berupa belah ketupat namun berukuran lebih kecil yang secara variatif menghiasi ruang kosong diantara motif utama. Motif-motif tersebut berwarna kuning dengan outline warna merah, sedangkan latarnya berwarna merah tua (soga).
25
Berdasarkan wawancara dengan Hartoyo, pada 08 Januari 2012.
26
Berdasarkan wawancara dengan Hartoyo, pada 08 commit to Januari user 2012.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 92
Berdasarkan keterangan GRAy. Kus Murtiyah Wirabumi27, sabuk Paku Buwono XIII yang digunakan pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 bermotif puspitä berlatar merah tua. Namun berbeda dengan keterangan Bapak Hartoyo28, sabuk sinuwun bermotif Tirtä Tèjä dengan latar merah tua. Dua pendapat yang berbeda tersebut memiliki kekaburan dalam kebenaran bentuk motifnya, sehingga yang tergambar dalam motif sabuk tersebut tak dapat diketahui secara jelas. Motif puspitä secara bahasa berarti motif bunga, sehingga visualisasinya tidak akan jauh dari bentuk menyerupai bunga. Begitu pula dengan motif tirtä tèjä secara bahasa tirtä berarti air , sedangkan tèjä berarti cahaya, visualisasinya juga tidak akan jauh dari bentuk air dan cahaya. Bentuk zig-zag yang terdapat pada sabuk tersebut lebih mengarah pada bentuk air (tirtä)29, sedangkan motif puspitä (bunga) visualisasinya tidak menyerupai/mendekati rupa puspitä (bunga). Motif puspitä lebih jelas tergambarkan pada motif sabuk pada gambar 29 hal 105. Oleh karena itu motif sabuk Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 lebih tepat disebut sebagai motif tirtä tèjä.
27
wawancara dengan GRAy. Koes Murtiyah Wirabumi, pada 20 Januari 2012.
28
wawancara dengan Hartoyo, pada 27 februari 2012.
29
Berdasarkan pengamatan pada bentuk-bentuk motif tenun tradisi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 93
Gambar: 5 Motif sabuk yang mendekati bunga/puspitä (Sumber: dokumentasi pribadi)
bentuk
Gambar: 6 Motif tirtä tèjä pada sabuk Paku Buwono XIII(Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H 2012)
Gambar: 7 Ilustrasi motif sabuk motif tirtä tèjä (Sumber: Dokumentasi pribadi berdasarkan penuturan Hartoyo) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 94
Sebagai pengikat atau pengencang sabuk, digunakan èpèk yang terbuat dari kain beludru hitam, dengan panjang 125 cm dan lebar 5,5 cm. Èpèk tersebut bercorak untu walang (pada bagian pinggir) yang berbentuk menyerupai gerigi, dengan isian tengahnya berupa ornamen lung. Ornamen tersebut digarap dengan tekhnik bordir benang emas. Selain sebagai pengencang sabuk, èpèk juga berfungsi sebagai pengencang keris. Posisi pemakaian èpèk melingkar diatas sabuk, sejajar dengan perut bagian bawah.
Gambar: 8 Èpèk Paku Buwono XIII (Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H 2012) Pengunci èpèk disebut timang berbentuk seperti gesper. Timang Paku Buwono XIII pada Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 terbuat dari emas yang dihiasi berlian-berlian diatasnya. Setelah dikunci dengan timang, èpèk memiliki sisa beberapa cm, sisa èpèk tersebut lalu dikaitkan dengan lêrêp pada bagian èpèk yang telah melingkar di pinggang. Lêrêp juga terbuat dari bahan yang sama dengan timang, namun memiliki ukuran yang lebih kecil karena hanya berfungsi sebagai pengait sisa èpèk. Posisi timang yang dikenakan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 95
Paku Buwono XIII tersebut berada di tengah perut bagian bawah. Karena baju krowok yang digunakan adalah takwä, maka timang tertutup oleh bagian bawah baju takwä, sehingga yang tampak hanya lêrêp-nya saja. Keris yang digunakan Paku Buwono XIII pada Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 adalah keris Gayaman. Keris tersebut memiliki wärängkä yang lebih sederhana dibanding wärängkä keris Ladrang. Wärängkä keris Gayaman membentuk bidang yang hampir menyerupai bidang oval. belakang,
yang
Posisi keris berada dibagian pinggang
disengkelitkan
pada
sabuk
cindhè.
Posisi
penyengkelitan kerisnya condong kekanan, hingga bagian mèndhok30 terlihat lebih banyak turun kebawah, cara penyengkelitan keris ini disebut nêtêp. Bentuk pamor keris ini tidak diketahui, namun menurut keterangan KGPH Puger31 keris tersebut bernama Kyai Agêng Sêpuh.
Gambar: 9 Keris Gayaman (Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H 2012) 30
Mèndhok merupakan salah satu bagian keris yang berfungsi sebagai sarung wilahan.
31
Wawancara pada 8 Desember 2011, dicommit sasana pustaka keraton Surakarta. to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 96
Alas kaki Paku Buwono XIII disebut sêlop atau cênèla, berwarna hitam berbahan beludru, diatasnya dihiasi ornamen lunglungan. Ornamen lung-lungan tersebut dikomposisikan sesuai bidang selop. Sêlop berbentuk seperti sepatu, namun hanya bagian ujung depan saja yang tertutup. Apabila ditarik sebuah garis dibagian tengah sisi atas sêlop, maka akan muncul dua bidang kanan dan kiri, pada bagian itulah posisi ornamen lung-lungan berada. Susunan ornamen pada sêlop berbentuk pencerminan, yaitu susunan ornamen bidang kanan dan susunan ornamen bidang kiri yang sama namun berhadapan. Bagian tengahnya terdapat tulisan PB XIII, dan diantara tulisan PB dan XIII terdapat simbol panunggül (mahkota).
Gambar: 10 Bentuk sêlop (Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H 2012)
Asessoris yang dikenakan Paku Buwono XIII pada saat Tingalan Jumênêngandalêm berupa kalung ulür yang terbuat dari emas murni. Asessoris tersebut berbentuk menyerupai rantai, namun setiap mata rantainya berbentuk pipih, sehingga visualisasinya menyerupai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 97
kulit ular. Kalüng ulür memiliki pengancing yang menyatukan bagian kanan dan bagian kiri kalung. Pengancing tersebut membentuk simbol mahkota dan bertuliskan PB X. Panjang Kalüng ulür menjuntai hingga kebagian perut. Pada bagian perut itulah ujung kalung ulur terkait. Asessoris lain yang digunakan berupa bros berbentuk bunga mawar, terbuat dari tembaga berhiaskan berlian diatasnya. Bentuk mawar pada bros tersusun dari lima kelopak bunga mawar yang telah digayakan/stilasi. Lima kelopak bunga tersebut disusun secara radiasi, dengan
pusatnya
berupa
lingkaran
kecil
ditengahnya.
Letak
penggunaan bros menempel pada baju takwa bagian dada kiri.
Gambar: 11 Bros berbentuk bunga mawar (Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H, 2012) Paku Buwono XIII saat Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 menggunakan lencana penghargaan yaitu bintang Sri Kabadyä. Lencana tersebut terbuat dari emas32 dipadu dengan sehelai kain berwarna kuning, dan warna merah yang membentuk garis kecil pada sisi kanan dan kirinya. Bintang Sri Kabadyä diletakkan pada dada kanan bagian atas, dibawah bros bunga mawar. Selain asessoris bros
32
Wawancara dengan Hartoyo pada 27 Februari 2012.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 98
dan kalung, Paku Buwono XIII juga menggunakan asessoris berupa cincin batu akik pada kedua jari manisnya.
Gambar: 12 Kalüng ülür (Sumber: dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H, 2012)
2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2005 Baju takwä yang digunakan Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm 2005 merupakan salah satu jenis baju krowok yang secara khusus hanya dipakai raja. Baju dengan gaya krowok pada bagian belakang tersebut merupakan ciri busana gaya Surakarta. Mode baju krowok telah berkembang sejak masa pemerintahan Paku Buwono III dan IV. Baju takwä juga sering disebut-sebut sebagai busana yang dahulu dikenakan Sunan Kalijaga, yang semenjak 1945 dikenakan Paku Buwono XII sebagai busana kebesaran raja. Menurut Honggopuro (2002, 69), baju takwä memiliki maksud beriman kepada Tuhan. Hal ini sesuai dengan tesis Ratna Endah Santoso (2010: 217), bahwa dalam mengenakan baju takwä haruslah dekat dengan Tuhan, menerima keadaan, kenyataan, sederhana dan rendah hati (berserah diri). Sehingga keseluruhan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 99
tersebut merupakan ketakwaan kepada Tuhan YME. Menurut Winarnokusumo, bagian baju takwä yang menutup kearah kiri dan lancip pada ujung bawahnya, terkait dengan sikap pengendalian diri. Sedangkan bentuk lancipnya, merupakan penggambaran hati yang tajam. Sehingga, ketajaman hati merupakan dasar sikap pengendalian diri tersebut. Desain baju takwä yang digunakan Paku Buwono XIII pada Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 merupakan representasi gaya busana Paku Buwono IX, yakni baju takwä yang diberi ragam hias lung33. Warna magenta/ungu kemerahan pada baju takwä ditentukan berdasarkan warna favorit mendiang Paku Buwono XII. Selain berdasarkan warna vavorit, warna tersebut merupakan
simbolisme
harapan bangkitnya kembali keraton Kasunanan Surakarta sebagai pusat kebudayaan. Barangkali hal-hal diatas merupakan bentuk, penghormatan atau rasa bangga atas sosok raja sebelumnya. Motif bordiran benang emas yang ada pada setiap ujung baju takwa diadopsi dari motif tiang (pilar) sasana sêwäkä. Lung-lungan yang merupakan bentuk ornamen bordir penghias baju takwä adalah jenis ragam hias yang terilhami bentuk tumbuhan ubi jalar. Dalam lingkup masyarakat Jawa, kata lung merupakan sebutan untuk jenis tumbuhan tersebut, hingga kini sebutan lung masih digunakan oleh
33
Lihat lampiran hal 171 gambar 59.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 100
penduduk dipelosok-pelosok desa34. Lung merupakan ragam hias yang banyak dijumpai dalam kebudayaan tradisi Jawa, hal tersebut didasari dari keberadaan tumbuhan ubi jalar yang banyak tumbuh di lingkungan tanah Jawa. Ubi jalar merupakan salah satu jenis tumbuhan yang mudah tumbuh dan dapat digunakan sebagai makanan pokok35. Seluruh dasar rupa baju takwä diatas, mengacu pada usaha variatifisasi yang didasari asumsi bahwa baju takwä yang digunakan Paku Buwono XII selalu polos36. Sehingga konsep baju takwä Paku Buwono XIII merupakan arahan pada citra eksistensi idividu raja sebagai pewaris tahta kerajaan. Batik parang garudhä yang dikenakan Paku Buwono XIII pada tahun 2005 merupakan sebuah variasi dari batik parang barong37. Hal tersebut terasa kurang tepat apabila dipandang berdasarkan tatanan tradisi keraton kasunanan Surakarta. Menurut budaya tradisinya, batik yang digunakan raja pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm adalah batik parang barong. Motif batik tersebut merupakan ciri agêman luhür
yang
menandakan
garis
keturunan
raja-raja
Mataram.
34
Menurut wawancara dengan Prof. Dharsono pada 15 Maret 2012, di Wisma Seni TBJT
35
Wawancara dengan bapak Sugeng Tukiyo pada 18 Maret 2012 di rumah beliau.
36
Berdasarkan wawancara dengan GRAy. Kus Murtiyah Wirabumi pada 20 Januari 2012, dan KP. Winarnokusumo pada 3 januari 2012 di keraton Kasunanan Surakarta. 37
Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari 2012 dan Gray. Kus Murtiyah Wirabumi pada 20 Januari 2012.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 101
(Honggopuro, 2002 : 48). Hartoyo38 yang diberi wewenang sebagai pêngagêm (penata busana) Paku Buwono XIII pada setiap upacara Tingalan Jumênêngandalêm, menyatakan bahwa pada tahun tersebut terjadi suatu kesalahan penggunaan motif batik. Pada Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 yang bertugas sebagai pêngagêm adalah orang lain. Menurut Hartoyo, penggunaan motif batik parang garudhä pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 merupakan suatu hal yang tidak sesuai dengan tatanan tradisi (paugêran) keraton Surakarta. Namun berbeda dengan pendapat Dharsono, bahwa raja merupakan seorang individu yang secara tradisi ditunjuk sebagai wakil Tuhan. Oleh karena itu penggunaan batik parang garudhä merupakan suatu hal yang sah. Aturan penggunaan jenis motif tertentu hanya berlaku bagi selain raja, karena raja merupakan aturan untuk hirarki dibawahnya.
Lain
halnya
dengan
pendapat
Sugeng
Tukiyo,
penggunaan batik parang barong oleh raja merupakan suatu dogma kerajaan mataram sejak dahulu. Penggunaan batik parang barong merupakan suatu aturan yang disepakati secara turun-temurun sejak Panembahan Senopati (abad 16). Seluruh pendapat diatas didasari intepretasi dan pengetahuan masing-masing responden, sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan batik parang garudhä, dimaksudkan sebagai upaya legimitasi raja atas sesuatu yang dikuasainya (budaya
38
Berdasarkan wawancara dengan Hartoyo, pada 08 commit to Januari user 2012.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 102
tradisi). Sehingga hal tersebut akan mengarahkan pada pembangunan citra Paku Buwono XIII sebagai pemangku adat. Motif parang garudhä yang terdiri dari dua motif utama merupakan penyatuan konsep motif parang dan motif garudhä. Motif parang adalah representasi lereng tebing pantai selatan, yang dianggap kokoh dan kuat. Sedangkan motif garudhä merupakan perwujudan burung yang disimbolkan sebagai penguasa angkasa. Motif burung ini menurut Dharsono (2007: 108) merupakan penggambaran angin yang bersifat supiyah (baik budi). Motif tambahan yang berupa lung-lungan, gunung, cêplok bunga, adalah lambang kehidupan dunia. Kulük kanigaran
yang dikenakan Paku Buwono XIII
merupakan salah satu atribut yang dikhususkan hanya untuk raja. Oleh karena itu kulük merupakan tanda seseorang sebagai penguasa kerajaan. Menurut sejarah yang diungkapkan Wirastodipuro (2003: 29) para raja Mataram sebelum masa pemerintahan Paku Buwono I masih menggunakan tutup kepala berupa makutho. Bersamaan dengan dihukumnya Kanjeng Susuhunan Prabu Hamangkurat III39 yang dibuang ke Ceylon, Srilanka (permulaan abad 18), makutho yang digunakannya hilang, tidak ditemukan kembali. Oleh sebab itu Paku Buwono I membuat gantinya yang berupa kulük.
39
Amangkurat Emas
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 103
Konsep kulük terdapat pada sepuluh garis lungsèn emas, yang merupakan gambaran dari bilangan sakral kiblat papat limä pacêr, yang dibagi menjadi dua sehingga menghasilkan jumlah empat garis pada sisi kanan kuluk (kiblat papat) dengan satu buah garis di depan (limä pancêr), dan empat buah garis pada sisi kiri kulük (kiblat papat) dengan satu garis dibelakang (limä pancêr)40. Dengan pembagian tersebut bilangan sakral kiblat papat lima pancêr terdapat di sisi kanan dan sisi kiri kulük. Kiblat papat limä pancêr dikenal dengan penggolongan keempat dimensi ruang, berpola empat mata angin dengan satu pusat (Dharsono, 2007: 35). Empat mata angin pada kulük kanigaran diwujudkan dengan garis pada sisi kanan/kiri kulük, sedangkan satu pusat diwujudkan dengan satu garis pada sisi tengah bagian depan/belakang kulük. Kiblat papat limä pancêr juga merupakan gambaran dari elemen sifat manusia, yaitu serakah, dendam, nafsu birahi, sabar, dan tenteram41. Bentuk kulük yang memanjang secara vertikal, dengan bagian atas menyempit seolah menunjukkan bagian tersebut sebagai puncaknya. Bentuk tersebut memiliki keterkaitan dengan konsep tri loka/tri buänä, yaitu penggambaran hubungan antara manusia dan
40
Berdasarkan wawancara dengan Hartoyo, 27 Februari 2012.
41
Ratna Endah Santoso, Busana Paku Buwono XII (Tesis: Program Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia, Surakarta 2010), hlm 220.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 104
Tuhannya42. Bentuk hubungan ini tergambarkan melalui tiga macam jagad yaitu, jagad bawah (alam sakala), jagad tengah (alam sakalaniskala), dan jagad atas (alam niskala). Secara vertikal mengatur hubungan batin individu (mikrokosmos) dengan Tuhannya dan secara horizontal
mengatur
hubungan
antara
batin
individu
dengan
lingkungan alam semesta (makrokosmos) (Dharsono, 2007: 29). Setagèn yang dikenakan Paku Buwono XIII pada busananya berfungsi sebagai pengikat kain batiknya, yang memiliki teknik pengikatan secara tradisional. Oleh karena itu, penggunaan setagèn didasarkan pada aspek fungsinya. Sehingga, setagen tidak memiliki ragam hias tertentu atau polos. Sabuk dengan motif tèjä tirtä Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 digunakan sebagai penutup sêtagèn, yang secara khusus dipesan dari Tailand43, sehingga berorientasi pada citra eksklusif. Menurut paugêran/tatanan tradisi keraton Surakarta, sabuk bermotif hanya dikenakan oleh raja pada upacara-upacara tradisi (Wirastodipuro, 2003;64). Oleh karena itu, konsep digunakannya sabuk dengan motif tirtä tèja merupakan bentuk pencitraan raja sebagai pemangku adat. Tèjo berarti cahaya, sedangkan tirtä berarti air, sehingga bila disatukan berarti cahaya air.
42
43
Berdasarkan wawancara dengan Hartoyo, 27 Februari 2012.
Berdasarkan wawancara dengan GRAy. Kus Murtiyah Wirabumi pada 20 Januari 2012 di keraton Surakarta. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 105
Epek dengan corak untu walang dengan isian lung-lungan hanya dipakai oleh Paku Buwono XIII, yang berdasar
pada
paugeran/tatanan penggunaan epek menurut tradisi keraton Surakarta. Dènè mênawi sowan datêng kraton, tumprap sêntänä dalêm punäpä abdi dalêm ingkang sêsêbatan Bupati mangandap, mbotên kêparêng mêngagêm èpèk ingkang blodiran untu walang punapadènè ombak banyu prayoginipun ingkang polos, punäpä, abrit, ijêm, wungu sumänggä (Wirastodipuro, 2003: 69). Artinya: jika menghadap ke keraton bagi putra sêntana dalêm (putra raja), ataupun abdi dalêm yang disebut bupati dan tingkat dibawahnya tidak boleh menggunakan èpèk yang dibordir untu walang atau ombak banyu, dan sebaiknya menggunakan yang polos atau merah, hijau dan ungu. Corak untu walang,
menurut Winarnokusumo44 dikaitkan dengan
bentuk lancip bergerigi, yang berfungsi sebagai senjata untuk menghalangi. Fungsi ini diterapakan pada bentuk simbolisme corak untu walang tersebut. Sedangkan ornamen lung ditengah-tengahnya, merupakan gambaran pohon ubi jalar, yang diyakini sebagai semangat hidup berkelanjutan dan berkesinambungan. Penggunaan timang dan lêrêp adalah menurut fungsinya, yaitu sebagai pengunci èpèk. Selain berdasarkan fungsi teknisnya, timang dan lêrêp juga berperan sebagai asessoris. Oleh karena itu, bentuk
44
Wawancara 3 Januari 2012.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 106
corak timang dan lêrêp didasari selera siniwun sendiri45. Bentuk dasar timang diadaptasi dari bentuk timang raja-raja terdahulu, namun menurut keterangan Hartoyo, timang dan lêrêp yang di pakai PB XIII berhiaskan berlian. Konsep inilah yang menyatakan pencitraannnya. Penggunaan keris gayaman didasarkan pada pertimbangan kenyamanan ketika dipakai. Karena bentuk warängkä keris tersebut memiliki bentuk lebih sederhana dibandingkan keris Ladrang46. Kepraktisan dalam penggunaan keris gayaman tampaknya menjadi hal mendasar
digunakannya
keris
tersebut.
Menurut
Sugiyatno47,
berdasarkan adat tradisi keraton, keris gayaman hanya digunakan untuk upacara-upacara kecil (pisowanan alit) atau padintenan. Pada upacara besar (pisowanan agêng) keris yang digunakan adalah ladrang. Dilihat dari paugêran /tatanan tradisi keraton Surakarta, sêlop merupakan
salah
satu
kelengkapan
berbusana
yang
hak
penggunaannya dalam lingkup keraton Surakarta hanya dimiliki oleh raja. Sêlop hitam dengan corak bordir lung-lungan merupakan gaya yang diadopsi dari sêlop Paku Buwono XII, namun memiliki
45
Berdasarkan wawancara dengan Hartoyo, pada 27 Februari 2011.
46
Berdasarkan wawancara dengan KGPH. Puger, BA, pada 08 Desember 2011.
47
Wawancara 21 Maret 2012
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 107
perbedaan pada tulisan nama ditengah selop yaitu PB XIII 48. Bentuk motif lung-lungan pada sêlop tersebut memiliki kesamaan dengan motif bordir baju takwä, yang merupakan representasi kekuasaan PB XIII dalam perlambangannya. Pada tahun 2005 Paku Buwono XIII menggunakan lencana Bintang Sri Kabadyä. Lencana tersebut merupakan penghargaan dari Paku Buwono XII karena jasanya kepada keraton ketika masih bergelar Kanjêng Gusti Pangèran Haryä49. Sangat jelas bahwa, penggunaan bintang Sri Kabadya pada Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005, dimaksudkan sebagai citra kewibawaan sinuwun. Perhiasan berupa bros yang dikenakan Paku Buwono XIII pada Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 berbentuk bunga mawar. Penggunaan perhiasan tersebut didasarkan pada selera dan kepantasan dengan baju takwä-nya menurut Paku Buwono XIII, permaisurinya ,dan Bapak Hartoyo sebagai penata busananya50. Bros ini dibuat oleh GRAy Kus murtiya Wirabumi, yang memuat gagasan keindahan dan kemuliaan. Penggunaan bros ini sebagai nilai citra Paku Buwono XIII.
48
Berdasarkan wawancara dengan GRAy. Kus Murtiyah Wirabumi pada 20 Januari 2012 di keraton Surakarta. 49
Berdasarkan wawancara dengan GKR. Galuh Kencana, pada 30 Januari 2012.
50
Berdasarkan wawancara dengan Hartoyo, pada 08 Januari 2012.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 108
Asesssoris berupa kalung ulür digunakan sebagai daya kewibawaan diri sebagai raja51. Selain itu, kalung ulür bertuliskan PB X merupakan tanda keturunan dari anak Kanjeng Ratu Kidul yang didasari kisah Paku Buwono X masih beumur balita sedang menyusul ayahandanya (PB IX) yang sedang bertemu Kanjeng Ratu Kidul didalam ruang songgo buwono. Ketika Paku Buwono X berjalan menaiki tangga, ia hampir terjatuh namun ditolong oleh Kanjeng Ratu Kidul. Saat itu pula, dengan spontan Kanjeng Ratu Kidul berkata “èh..anakku nggèr”, yang berarti “oh.. anakku” 52. Semenjak peristiwa tersebut, PB X tidak lagi dianggap sebagai suami Kanjeng Ratu Kidul namun dianggap sebagai anaknya. Kalung ulür merupakan perhiasan yang juga dikenakan Paku Buwono XII. Menurut Sugeng Tukiyo kalung ulür diadopsi dari kalung tasbih yang digunakan para wali (wali songo). Hal ini merupakan bentuk diversivikasi atribut para wali oleh raja mataram yang berpredikat sebagai wakil Tuhan (kalifatullah). Sugeng menambahkan, kalung ulür Paku Buwono XIII memiliki konsep kulit ular. Hal tersebut nampak pada rangkaian mata rantai yang berbentuk pipih. Konsep ular ini berkaitan dengan hubungan raja dengan Kanjeng Ratu Kidul tersebut. Berbeda dengan pendapat sugiyatno, bahwa
51
Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari
52
Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari 2012
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 109
kalung ulür tersebut merupakan kalung imogirèn, maksudnya kalung yang dibuat secara sembarangan. Sebagai seorang yang dekat dengan Paku Buwono XII sugiyatno cenderung tidak menginginkan adanya suatu bentuk berbeda dari sebelumnya. Mengingat kalung ulür Paku Buwono XII berbentuk menyerupai pilinan tali, sedangkan kalung Paku Buwono XIII berbentuk rantai. Kesamaan kalung tersebut yakni pada simbol makutho bertuliskan PB X. Jika dirunut kembali pada konsep raja sebagai wakil tuhan yang memiliki hak prerogratif yang penuh maka hal tersebut merupakan suatu yang sah. Sebagai individu, raja berhak mengungkapkan gagasan-gagasannya dalam berbusana. Cincin yang digunakan dikedua jari manis Paku Buwono XIII merupakan asessoris tambahan menurut selernya. Pada dasarnya cincin yang digunakan para raja Surakarta terdahulu berfungsi sebagai setempel raja, namun hal tersebut kini telah tidak berfungsi karena raja pada era kini berpredikat sebagai pemangku adat53. Sehingga, cincin tersebut merupakan material yang berfungsi sebagai salah satu nilai kemuliaan dan kewibawaan beliau. Setiap unsur busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 dapat dipaparkan
konsepnya secara
menyeluruh. Secara umum konsep busana tahun 2005 tersebut adalah pencitraan individu raja yang diungkapkan melalui peletakan nilai-
53
Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari 2012
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 110
nilai atribut raja terdahulu. Dari keseluruhan bentuk dan konsep busana, motif batik-nyalah yang terlihat mencolok. Motif batik yang tergolong modifikasi tersebut mengungkapkan usaha legitimasi kekuasaan oleh Paku Buwono XIII.
3. Makna Simbolis Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2005 Baju
takwä
Paku
Buwono
XIII
Pada
Tingalan
Jumênêngandalêm tahun 2005 dimaknai sebagai ketajaman hati manusia dalam menghadapi dan mengendalikan liku kehidupannya54. Hal tersebut seolah tidak terkait dengan nama takwä pada baju. Jika dilihat dari nama takwä sendiri, busana tersebut mencerminkan kedekatan dengan Tuhan55. Menurut Honggopuro (2002: 69) sebutan baju takwä dimaksudkan beriman kepada Tuhan, sehingga dapat disimpulkan bahwa maknanya adalah ketakwaan manusia yang tercermin
dengan
ketajaman
hati
dalam
menghadapi
dan
mengendalikan liku kehidupan (ujian dari Tuhan). Warna magenta / ungu kemerahan baju takwä dimaknai sebagai kebangkitan56.
54
Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari
55
Ratna Endah Santoso, Busana Paku Buwono XII (Tesis: Program Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia, Surakarta), hlm 217. 56
Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari 2012 dan Gray. Kus Murtiyah Wirabumi pada 20 Januari 2012.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 111
Sehingga, baju takwä dengan warna magenta/ungu kemerahan, bermakana
ketajaman
hati
manusia
dalam
menghadapi
dan
mengendalikan liku kehidupannya merupakan cermin ketakwaan. Ornamen lung-lungan bordir benang emas pada baju takwä menurut Sugeng Tukiyo merupakan gambaran kehidupan atau sesuatu yang berkelanjutan dan berkesinambungan. Disimbolan melalui bentuk-bentuk kuncup, daun, bunga, dan tangkai yang seolah-olah terus tumbuh yang bermakna, sepirit kehidupan57. Berbeda dengan pemaknaan menurut KP. Winarnokusumo, bahwa lung-lungan dimaknai sebagai liku-liku dalam kehidupan. Kedua pemaknaan tersebut memiliki esensi utama yaitu kehidupan, sehingga motif lunglungan dapat dimaknai sebagai proses menjalani kehidupan dengan baik niscaya akan mendapatkan keberuntungan dan kebaikan di dunia dan akhirat. Batik yang dikenakan tahun 2005 adalah batik parang yang dipadu dengan motif garudhä dan motif isian lung, gunung, dan puspitä. Batik tersebut dimaknai sebagai kekuatan menghadapi rintangan yang disimbolkan dengan motif
parang-nya, dan bisa
menang tanpa perang yang disimbolkan dengan motif garudhä-nya. Ornamen isiannya seperti lung, rumah, dan puspitä (bunga)
57
Berdasarkan wawancara dengan GRAy. Kus Murtiyah Wirabumi pada 20 Januari 2012 di keraton Surakarta
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 112
menggambarkan
kehidupan
dunia58.
Pemaknaan
diatas
dapat
disimpulkan bahwa dalam menghadapi rintangan dalam kehidupan (cobaan) seorang pemimpin hendaknya berperilaku cerdas dan bijaksana sehingga bisa menyelesaikan permasalahan dunia tanpa perseteruan fisik. Kuluk kanigaran bermakna kemuliaan abadi, yang tergambar melalui warna emas pada lungsènnya yang berarti kemuliaan, dan warna hitam yang berarti keabadian (langgêng)59. Pemaknaan tersebut merupakan wujud dari kedudukan raja sebagai manusia dalam dunia tengah (sakala-niskala), yang harus mampu mengendalikan lima sifat dasar manusia (kiblat papat limä pancêr). Setagen yang dikenakan sebagai pengikat batiknya dimaknai sebagai tekat/pendirian manusia yang harus kuat. Makna tersebut digambarkan dengan ikatan setagen pada kain batik, ikatan tersebut harus kuat karena batik memiliki falsafah yang baik60. Sabuk
yang
dikenakan
Paku
Buwono
XIII
menurut
Winarnokusumo bermakna sinuwun punikä samukawis kawicaksanan, tindak tandhuk sarwi ngrêmênakên61. Maksud dari pemaknaan tersebut bahwa seorang raja hendaknya berperilaku bijaksana dan seluruh 58
Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari
59
Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari 2012
60
Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari
61
Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 113
tingkah lakunya serba menyenangkan. Motif tèjä tirtä pemaknaannya terkait dengan simbol cahaya (tèjä) dan air (tirtä) yang bersifat seperti air yaitu jujur (mutmainnah). Sehingga makna sabuk tèjä tirtä adalah kejujuran dan kebijaksanaan. Lengkapan lainnya adalah èpèk yang berfungsi sebagai pengencang sabuk, dimaknai sebagai kekuatan
yang mampu
mengendalikan sesuatu yang tidak baik. Sedangkan corak pada èpèk, yaitu untu walang dimaknai sebagai kemampuan memangkas sesuatu yang tidak baik. Ornamen lung-lungan yang menjadi isian corak untu walang dimaknai sebagai liku-liku kehidupan62. Secara keseluruhan èpèk
yang
digunakan
Paku
Buwono
XIII
pada
Tingalan
Jumênêngandalêm tahun 2005 dapat dimakanai sebagai kemampuan seorang pemimpin/raja dalam meencegah serta mengendalikan sesuatu yang tidak baik dalam kehidupan yang penuh liku. Timang yang berfungsi sebagai pengunci èpèk bermakna kebijaksanaan dalam bertidak dan berperilaku. Sedangkan lêrêp yang berfungsi sebagai pengait sisa èpèk dimaknai sebgai ketenangan dalam mempertimbangkan sesuatu63. Pemaknaan ini terasa tidak relevan dengan konsep timang dan lêrêp PB XIII, yang mengarahkan pada pencitraan raja. Hal ini menunjuk kemungkinan bahwa timang dan
62
wawancara 03 Januari 2012.
63
wawancara pada 03 Januari 2012
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 114
lêrêp dalam penggunaannya telah bergeser pada kelengkapan saja, sehingga dapat dimaknai sebagai kewibawaan. Keris dengan jenis gayaman dimaknai sebagai kesederhanaan pribadi yaitu tidak menonjolkan keunggulan-keunggulan yang dimiliki sehingga akan berakibat pada sifat penyombongan diri. Pemaknaan tersebut disimbolkan oleh bentuk keris yang sederhana, dan kepraktisan dalam pemakaiannya. Sêlop dengan ornamen lung-lungan, bordir mahkota, dan bertuliskan PB XIII dimaknai dengan kemuliaan yang abadi. Makna tersebut disimbolkan dengan warna hitam (abadi), dan bordir emas ornamen lung (kemuliaan). Sedangkan bordir mahkota menyimbolkan kekuasaan milik raja, dan bordir tulisan PB XIII menyimbolkan raja yang sedang bertahta. Sehingga secara keseluruhan selop yang digunakan Paku Buwono XIII pada Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 bermakna kemuliaan abadi bagi kekuasaan raja Paku Buwono XIII64. Lencana penghargaan yang dikenakan Paku Buwono XII dimaknai sebagai cahaya kemuliaan, disimbolkan dengan bentuk pancaran bintang emas. Hal ini mengacu pada perilaku baik yang mampu memberi penerangan, dan contoh pada masyarakat. Sedangkan warna merah dan kuning pada sehelai kainnnya juga mengandung
64
Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari 2012
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 115
makna tersendiri. Simbolisme tersebut terkait dengan konsep pemaknaan simbol sri radyä laksanä yaitu jiwa kesepuhan secara lahir dan batin yang didasari sifat sabar, tidak terburu nafsu dan sebagainya65. Selain bintang Sri Kabadya Paku Buwono XIII juga menggunakan bros berbentuk puspitä/bunga mawar yang bermakna kebaikan dan kemuliaan dalam kehidupan66. Asessoris
berupa
kalüng
ulür
bermakna
kemuliaan,
kewibawaan, dan kebijaksanaan seperti Paku Buwono X. Hal tersebut sesuai dengan konsep kalüng ulür yang mengacu pada kisah terputusnya hubungan suami-istri antara raja keraton Surakarta dan Kanjeng Ratu Kidül. Cincin Paku Buwono XIII yang merupakan perhiasan sebagai bentuk pengganti cincin stempel pada kekuasaan terdahulu bermakana keindahan, dan kewibawaan. Pemaknaan tersebut didasarkan pada konsep pemakaian cincin sebagai pembentukan nilai pencitraan raja. Busana
Paku
Jumênêngandalêm
Buwono
tahun
XIII
2005
pada
secara
Upacara
keseluruhan
Tingalan bermakna
kebangkitan kekuasaan, kewibawaan, dan kemuliaan raja penerus tahta.
Pemaknaan
tersebut
merupakan
esensi
65
Berdasarkan wawancara dengan GKR Galuh Kencono pada 30 Januari 2012
66
GRAy. Kus Murtiyah Wirabumi, pada 20 Januari 2012
commit to user
pencitraan
dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 116
pembentukan nilai individu raja penerus tahta melalui atribut upacara ulang tahun penobatannya yang pertama.
B. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2006
Gambar: 13 Letak bagian busana tahun 2006 (Sumber: dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H 2012)
1. Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2006 Tahun
2006
merupakan
tahun
kedua
Tingalan
Jumênêngandalêm Paku Buwono XIII. Tradisi kirab setelah upacara commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 117
juga masih dilaksanakan seperti tahun sebelumnya. Busana yang dipakai Paku Buwono XIII secara umum masih sama dengan bentuk busana yang dipakai tahun 2005, namun terdapat beberapan perbedaan. Perbedaan tersebut terletak pada warna hijau terang baju takwä, motif batik (sinjang) parang barong, penggunaan bros makuthä bertulis PBX yang tahun sebelumnya tidak digunakan. Secara menyeluruh busana paku buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2006 meliputi baju takwä bludru berwarna hijau, sinjang bermotif parang barong, lengkapan berupa kulük kanigaran, sêlop, setagen, sabuk tirtä tèjä latar merah tua (soga), keris, èpèk untuwalang, timang, lêrêp dan asessoris berupa, gayaman, kalung ulür, bros mawar, bintang sri kabadyä, bros makuthä bertulis PB X, cincin dikedua jari manis. Seluruh atribut tahun 2005 yang digunakan lagi pada tahun 2006 tidak perlu dijelaskan kembali, sehingga tidak akan terjadi pemaparan berulang. Berikut adalah atribut-atribut Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2006 yang perlu dijelaskan. Baju takwä yang dipakai Paku Buwono XIII merupakan jenis baju krowok seperti yang digunakan pada tahun 2005. Perbedaan yang nampak pada baju tersebut polos, berwarna hijau terang berbahan kain bludru. Warna hijau terang adalah salah satu dari tiga kombinasi warna yang direkayasa secara analogus. Warna hijau yang dipadu dengan bahan beludru menghasilkan warna hijau terang kehitam-hitaman, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 118
sehingga memiliki wilayah gelap dan wilayah terang. Kain beludru memiliki ciri tekstur yang khas, yakni berbulu sangat pendek namun halus. Daerah diantara bulu-bulu halusnya menghasilkan kesan kehitam-hitaman (daerah gelap). Sedangkan daerah terang dihasilkan dari ujung bulu yang didukung adanya puncak lekuk-lekuk kain.
Gambar: 14 Warna kain pada baju takwä (Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H 2012) Sinjang yang dipakai bermotif parang barong dengan latar putih (pêthak). Parang barong merupakan salah satu motif batik berpola lèrèng yang memiliki ciri pokok pilin berganda67. Unsurnya terdiri dari motif utama berupa parang berukuran besar/gemuk, dan motif isian berupa mlinjon atau moto garèng yang berada diantara dua pola lèrèng68 atau sigêg. Motif isian lainnya yaitu ucêng yang berada
67
Pilin berganda adalah bentuk bidang motif utama pada motif parang barong, menyerupai pilinan tali. 68
Berbentuk garis memutar mengikuti bidang belah ketupat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 119
diantara bidang motif parang69. Unsur warnanya terdiri dari warna putih, coklat tua, dan hitam (wêdêlan).
Ucêng Mlinjon
Motif parang barong Pilin berganda
Gambar: 15 Unsur motif parang barong (Sumber: Joko Purnomo repro foto Taufiqurrahman H) Selain baju takwä dan sinjang, pada tahun 2006 Paku Buwono XIII juga menggunakan bros berbentuk panunggül bertuliskan PB X yang terletak pada dada kiri bagian atas. Bros tersebut terbuat dari logam berwarna crome. Susunan dekorasinya terdiri dari relief makuthä yang berada dibagian paling atas, dibawahnya terdapat garis lengkungan bergerigi. Ditengahnya tertulis huruf PBX dengan susunan, angka romawi X berada diantara huruf P dan B namun agak turun kebawah. Bagian bawahnya terdapat corak lung-lungan. Sisi
69
Wawancara dengan H. Sugiyatno pada 21 Maret 2012.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 120
paling bawah terdapat bentuk menyerupai rantai berjumlah 5, pada ujungnya berbentuk lancip menyerupai mata tombak.
Simbol makuthä Garis lengkung bergerigi Tertulis PB X Dekorasi lung-lungan Bentuk rantai berujung lancip
Gambar: 16 Bentuk bros Makutho bertulis PB X (Sumber: Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H, 2012) 2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2006 Baju takwä pertama kali dipakai sebagai busana kebesaran raja pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm sejak masa pemerintahan Paku Buwono XII70. PB XII dalam berbusana takwä, selalu polos tanpa ragam hias/oranamen apapun dan biasanya berwarna (tidak hanya hitam), berbahan beludru. Hal seperti itulah yang juga diterapkan pada baju takwä Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2006. 70
Raja-raja Surakarta terdahulu tidak menggunakan baju takwa pada upacara Tingalan Jumenengandalem.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 121
Penggunaan baju takwä berwarna hijau terang ditentukan oleh Bapak Hartoyo sebagai penata busananya. Menurut keterangan beliau71 dalam menentukan pilihan busana Sinuwun berdasarkan angsar yaitu penetapan sesuatu dengan mata batin yang didahului dengan niat lilahdalêm. Setelah ketentuan itu tercapai kemudian dipertimbangkan oleh selera Paku Buwono XIII dan permaisurinya. Pada dasarnya ketentuan warna baju takwä berdasarkan gagasan pribadi Paku Buwono XIII. Aplikasi warna pada jenis busana ini tidak ada ketentuan/paugêran dalam adat tradisi keraton72. Menurut konsep kiblat papat limä pancêr, warna hijau merupakan simbol bumi yaitu pusat (pancêr) dari empat arah. Selain itu merupakan penggambaran subjek
nafsu
batin
manusia
yang
hendaknya
dikendalikan
(Dharsono,2007: 33). Ketentuan penggunaan bahan kain bludru didasari dari paugêran yang berlaku menurut tradisi keraton. Menurut adat tradisi keraton Surakarta baju krowok dengan bahan bludru hanya boleh digunakan oleh raja saja73. Hal ini menunjukkan bahwa jenis kain ini, pada masanya memiliki nilai eksklusifitas yang tinggi.
71
Wawancaara pada 8 Januari 2012.
72
Ratna Endah Santoso, Busana Paku Buwono XII (Tesis:Institut Seni Indonesia Surakarta, 2010), Hlm 226. 73
Winarnokusumo 3 Januari 2012
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 122
Batik parang barong yang dikenakan Paku Buwono XIII pada tahun 2006 merupakan batik yang hanya boleh digunakan oleh raja74. Hal tersebut berdasarkan tatanan tradisi keraton kasunanan Surakarta sejak dahulu. Motif batik parang barong berfungsi sebagai ciri agêman keturunan raja-raja Mataram. Oleh karena itu batik parang barong dianggap sebagai salah satu agêman luhür. Motif batik parang barong biasa digunakan raja pada pasamuan ageng, dan kegiatan kenegaraan lainnya75 seperti upacara Tingalan Jumênêngandalêm. Penggunaan batik parang barong juga dipatuhi oleh raja-raja terdahulu, seperti Paku Buwono XII. Disebut parang karena motif utamanya menyerupai bentuk senjata tajam yaitu parang. Hal tersebut dipahami oleh sebagian orang saja yang menurut Honggopuro (2002, 48), merupakan pengartian dengan cara wantah, yaitu pengartian suatu objek berdasarkan keserupaan dengan objek lainnya. Berdasarkan tesis kajian motif parang oleh Sarwono (2004)76 dan Honggopuro (2002:48), parang berasal dari kata pereng yaitu pinggiran tebing yang berbentuk lèrèng (diagonal 45°). Hal tersebut menunjukkan bahwa motif parang terilhami bentuk diagonal tebing/lèrèng. Tebing yang
74
Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari 2012 dan Gray. Kus Murtiyah Wirabumi pada 20 Januari 2012. 75
Sarwono, simbolisme motif parang dalam busana wayuang kuli purwa gaya Surakarta, (tesis: Program Pasca sarjana, Institut Seni Surakarta, 2004), hlm 60. 76
Sarwono, Simbolisme Motif Parang Dalam Busana Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta (tesis: Institut Seni Indonesia, Surakarta, 2004) hlm 57
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 123
mengilhami bentuk pola lèrèng adalah tebing-tebing di pesisir pantai selatan yang diberi nama parang gupitä, parang kusumä, parang tritis dan sebagainya. Tempat-tempat tersebut merupakan tempat teteki77 raja Mataram pertama yaitu Panembahan Senopati ing Alogo (Honggopuro,2002:49-50).
Laku
têtêki
Panembahan
Senopati
tercermin dalam legenda Wahyu si Gagak Êmprit, yang merupakan kisah
usahanya
mendapatkan
wahyu
kerajaan
dan
menjalin
persekutuan dengan Kanjêng Ratu Kidul (Kresna, 2011:35). Sebutan Barong seringkali diidentikkan dengan binatang buas singa, yang menurut mitologi Jawa memiliki kekuatan ampuh (Sarwono, 2004: 60). Ukuran gemuk pada motif parang menurut Dharsono78 didasarkan pada sebutan barong tersebut. Karena barong (singa) merupakan gambaran dari seekor binatang buas dan kuat Sebutan barong menurut Sarwono memiliki keterkaitan dengan konsep totemisme. Konsep ini memandang bahwa pemberian nama pada sesuatu memberi gambaran akan adanya kekuatan yang dapat dimanfaatkan. Sarwono
(2004:60)
menjelaskan,
batik
parang
barong
merupakan induk dari pengembangan batik-batik parang. Hal tersebut menurut Honggopuro (2002:50) terkait dengan Panembahan Senopati
77
Laku spiritual.
78
Wawancara pada 15 Maret 2012.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 124
yang mumpuni dibidang seni membuat yasan79 batik bermotif parang. Ia menempatkan motif tersebut sebagai salah satu agêman luhür, yaitu busana yang hanya boleh digunakan keturunan raja-raja Mataram. Dalam kaitannya dengan hal tersebut Dharsono mengakatakan bahwa yasan merupakan bentuk rekayasa kultural atau legitimasi kerajaan atas motif batik tertentu. Beliau menambahkan, batik parang barong merupakan hasil karya milik rakyat yang kemudian dicap kerajaan sebagai agêman luhür, oleh karena itu dalam nama batik-batik tertentu biasanya ditambahkan kalimat yasan dalêm. Contohnya batik parang barong, yasan dalêm Panembahan Sènopati ing Alogo Khalifätulläh Ngabdurrahman Sayidi Panätägämä.
Gambar: 17 Batik parang barong PB XII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm.(Sumber:kerajaannusantara.com.repro foto Taufiqurrahman H 2012)
79
Yasan adalah usaha pengakuan hak milik pihak kerajaan atas sesuatu, contohnya hak pemakaian motif batik parang hanya untuk keluarga raja.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 125
Konsep bros makuthä memiliki kasatuan konsep dengan simbol pengait pada kalung ulür. Hanya saja memiliki relief lung-lungan , beberapa potong rantai pendek berujung lancip, dan warnanya crome atau silver. Bros ini merupakan buatan baru80, bukan peninggalan rajaraja sebelumnya, maka asumsinya adalah pengembangan simbol mahkota bertulis PB X seperti pada pengait kalung ulür. Konsep keseluruhan busana Paku Buwono XIII tahun 2006 adalah penerapan nilai serta citra Paku Buwono XII. Hal ini sangat jelas terlihat pada keserupaan atribut yang dipakai, sehingga menjelaskan adanya pernyataan tak langsung Paku Buwono XIII atas kedudukannya sebagai raja pewaris pemerintahan keraton Surakarta.
3. Makna Simbolis Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2006 Baju
takwä
Paku
Buwono
XIII
Pada
Tingalan
Jumênêngandalêm tahun 2006 bermakna, seorang raja yang harus mampu mengendalikan segala bentuk liku kehidupan sebagai cermin ketakwaannya
kepada
Tuhan,
sehingga
mampu
membawa
kesejahteraan hidup bagi masayarakat. Pemaknaan tersebut didasari dari penyimbolan warna hijau sebagai kesuburan81 dan penyimbolan
80
Berdasar keterangan GRAy. Kus Murtiyah Wirabumi , 20 Januari 2012.
81
Berdasarkan wawancara dengan Hartoyo 8 Januari 2012 dan KP. Winarnokusumo 3 Januari 2012.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 126
baju takwä sebagai ageman raja yang berorientasi pada ketakwaan pada yang Maha Kuasa. Namun berbeda dengan pemaknaan berdasarkan
kiblat
melambangkan
baik
papat budi
limä
pancêr,
seseorang.
yakni
Sehingga
warna dapat
hijau ditarik
kesimpulan bahwa baju takwä dengan warna hijau bermakna, keseimbangan atau pengendalian diri (baik budi) dalam segala bentuk liku kehidupan sebagai cermin ketakwaan kepada Tuhan, yang mampu membawa kesejahteraan hidup bagi masayarakat. Menurut wawancara dengan KP. Winarnokusumo82 batik parang barong bermakna kemampuan menghadapi dan mengendalikan segala bentuk rintangan yang disimbolkan dengan motif parang yang tertata miring. Hal tersebut juga difahami oleh Hartoyo83. Berbeda dengan pemaknaan menurut Sarwono (2004: 61), yakni harapan akan kekuatan, keagungan, kebesaran serta kewibawaan dapat tercermin dan terpancar. Pemaknaan tersebut terkait dengan konsep motif parang barong. Dalam hal ini, KP. Winarnokusumo dan Hartoyo menggap simbolisme parang berasal dari bentuk senjata tajam,jenis parang. Namun
berbeda
dengan
pendapat
menurut
Sarwono
(2004),
Honggopuro (2002), dan Prof. Dharsono84 bahwa parang merupakan 82
Sasana Wilapa, 3 Januari 2012 Keraton Surakarta.
83
Wawancara 8 Januari 2012.
84
Wawancara 15 Maret 2012.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 127
motif yang terilhami dari bentuk diagonal tebing/lereng. Menyikapi hal ini, seolah telah ada pergeseran dalam hal pemaknaan untuk sebagian masyarakat. Oleh karena itu, sebagai langkah objektif maka batik parang barong bermakna, pancaran kekuatan dan keagungan sebagai bentuk pengendalian. Bros yang dikenakan berupa relief mahkota bertulis PBX merupakan simbol raja dari keturunan Paku Buwono X85, sehingga dapat dimaknai sebagai kemuliaan, kebesaran, dan kecerdasan raja keraton Surakarta seperti pendahulunya, Paku Buwono X. Pemaknaan bros ini didasari atas konsep bros yang menyimbolkan kekuasaan Paku Buwono X. Sehingga hal ini mengarah pada bentuk penghormatan dan kebanggaan pada Paku Buwono X. Secara menyeluruh busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode 2006 bermakna kewibawaan, kebesaran, serta nilai kemuliaan yang setara dengan para raja pendahulunya. Pemaknaan busana pada tahun 2006 ini berdasarkan simbol-simbol yang secara umum dipakai Paku Buwono XIII pada ulang tahun penobatannya yang kedua. Simbol-simbol tersebut mengacu bentuk pengagungannya sebagai pewaris tahta kerajaan.
85
Berdasarkan wawancara dengan KP. Winarnokusumo pada 03 Januari 2012 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 128
C. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2007
Gambar: 18 Letak bagian busana tahun 2007 (Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H, 2012)
1. Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2007 Tahun
2007
merupakan
tahun
ketiga
Tingalan
Jumênêngandalêm Buwono XIII. Tradisi kirab pada tahun ini juga masih dilaksanakan. Busana yang digunakan seluruhnya sama dengan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 129
tahun 2006, namun berbeda pada warna baju takwä. Busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2007 meliputi baju takwä bludru berwarna merah tua, sinjang bermotif parang barong, lengkapan berupa kulük kanigaran, sêlop, sêtagèn, sabuk tirtä tèjä latar merah tua (soga), keris gayaman, èpèk untu walang, timang, lêrêp dan asessoris berupa kalung ulür, bros mawar, bintang sri kabadyä, bros relief mahkota bertulis PBX, cincin batu akik dikedua jari manisnya. Warna merah tua yang diterapkan pada kain jenis beludru menghasilkan warna merah kehitaman. Pada gambar 42 tampak warna-warna merah tua, warna merah kehitaman, dan warna gelap/hitam. Intensitas cahaya yang menyinari cukup banyak, namun warna daerah gelap tetap nampak. Warna yang dihasilkan seolah-olah menyerupai warna hati, yaitu merah kehitaman.
Gambar: 19 Warna kain pada baju takwä (Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman commit to user H, 2012)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 130
2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2007 Warna merah dalam pandangan kiblat papat limä pancêr merupakan simbol api yang mewakili arah selatan. Bentuk penyimbolan tersebut sama halnya dengan penyimbolan menurut ajaran astabrata. Api dalam ajaran astabrata disebut agni yang merupakan salah satu dari sembilan sifat pemimpin (Dharsono, 2007: 37). Dalam konsep kiblat papat limä pancêr, api memiliki arti buruk yaitu sifat angkara murka, iri, garang dan sebagainya. Namun ajaran astabrata merah/api memiliki kemampuan membakar habis semua yang ada didekatnya (Dharsono, 2007:37). Menurut Winarnokusumo86 merah memiliki sifat yang baik. Pendapat Winarnokusumo tampak berseberangan dengan pandangan kiblat papat limä pancêr dan ajaran astabrata. Oleh karena itu dapat dijelaskan asumsi yang mampu meratakan ketiga pandangan diatas. Pandangan kiblat papat limä pancêr menjelaskan bahwa lima sifat (hijau, kuning, merah, putih, hitam) merupakan sifat pada diri manusia, yang sangat tergantung pada pengendalian diri manusia tersebut. Sedangkan menurut ajaran astabrata sifat api yang buruk dimanfaatkan sebagai bentuk penjiwaan pemimpin dalam mengatur negaranya. Dua penjelasan diatas pada
86
Wawancara pada 3 Januari 2012.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 131
dasarnya mengarah pada bentuk pengendalian diri yang tersasar pada sifat baik manusia. Secara umum konsep busana tahun 2007 adalah pencitraan individu raja yang diungkapkan melalui peletakan nilai-nilai atribut raja sebelumnya. Hal tersebut sangat jelas tergambarkan pada baju takwä beludru polos dan berwarna. Maka simbol-simbol yang termuat, juga tidak jauh berbeda.
3. Makna Simbolis Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2007 Baju takwä berwarna merah tua bermakna ketajaman hati seorang pemimpin/raja dalam mengendalikan amarah atau angkara murka sebagai cermin ketakwaannya kepada Tuhan, sehingga menjadi pemberani dan penerang. Pemaknaan tersebut berlandaskan simbol warna merah yang menurut ajaran astabrata bermakna kewibawaan dan keberanian seorang pemimpin dalam menegakkan hukum secara tegas dan tuntas tanpa pandang bulu (Dharsono, 2007: 37). Sedangkan menurut pandangan kiblat papat limä poncêr warna merah merupakan simbol sifat buruk yaitu amarah yang harus dikendalikan oleh manusia itu sendiri. Pengendalian tersebut tersirat pada makna ajaran astabrata diatas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 132
Winarnokusumo87 menjelaskan bahwa warna merah memiliki makna berani dan menerangi. Menurutnya warna merah merupakan warna yang mencolok namun tidak menyilaukan. Hal tersebut tergambarkan melalui warna merah kehitaman, yang menurut Dharsono88 mengarah pada warna hati, sehingga memiliki arti spiritual. Busana
Paku
Jumênêngandalêm
Buwono
tahun
XIII
2007
secara
pada
upacara
menyeluruh
Tingalan bermakna
keberanian, kekuatan, ketegasan, yang memancarkan kewibawaan agung seperti para raja pendahulunya. Makna kewibawaan yang terpancar seperti raja sebelumnya didasari dari konsep atribut yang senilai dengan raja sebelumnya. Maka, orientasinya adalah pencitraan kedudukan Paku Buwono XIII sebagai raja penerus tahta.
87
Wawancara pada 3 Januari 2012.
88
Wawancara pada 18 Maret 2012.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 133
D. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2008
Gambar: 20 Letak bagian busana tahun 2008 (Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H, 2012)
1. Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2008 Tahun
2008
merupakan
tahun
keempat
Tingalan
Jumênêngandalêm Paku Buwono XIII. Tradisi kirap pada tahun ini tidak dilaksanakan kembali. Busana yang dikenakan meliputi baju takwa berwarna ungu tua, sinjang dengan motif parang barong, lengkapan berupa kulük kanigaran, sêlop, sabuk bermotif tirtä tèjo commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 134
latar merah tua (soga), keris gayaman, èpèk, timang, lêrêp, dan asessoris berupa kalung ulür, bros makuthä bertulis PB X. Secara umum busana-busana tersebut memiliki kesamaan dengan busana pada tahun-tahun sebelumnya. Perbedaan yang nampak adalah warna ungu tua pada baju takwä dan asessoris yang digunakan hanya bros makuthä bertulis PB X, kalung ulür dan cincin, sedangkan bros bunga mawar tidak digunakan. Baju takwä berwarna ungu/violet tua atau dark violet
89
berbahan kain beludru. Warna tersebut memiliki kecenderungan pada warna biru. Busana ini adalah salah satu dari tiga macam baju takwä yang dibedakan melalui rekayasa warna secara analogus.
Gambar: 21 Warna kain pada baju takwä tahun 2008 (Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H, 2012) 89
Sebutan dark violet diambil dari katalog warna Adobe Photoshop CS3
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 135
2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2008 Warna violet merupakan warna paling berharga dan sangat dihargai bangsa kuno. Hal ini disebabkan oleh sumber bahan warna yang hanya bisa diperoleh dari kerang laut, murek (Santos, 2010: 175). Warna tersebut sangat jarang ditemui di alam, oleh karena itu hanya kerang murek-lah yang mampu menjadi sumber warna ungu. Dengan alasan itulah orang-orang kuno sangat menghargai warna tersebut. Maka, warna ungu merupakan warna yang dimuliakan dalam kerangka budaya tradisi. Dalam kerangka budaya tradisi warna ungu merupakan warna yang seringkali dipakai oleh para bangsawan atau raja. Warna violet/ungu dalam bahasa Jawa diucapkan wungu. Hal ini mengingatkan pada seruan para orang tua di Jawa ketika pagi menjelang, atau sebagai ucapan ketika membangunkan seseorang dipagi hari. Ungu/wungu merupakan warna langit sebelah timur saat subuh, atau matahari hampir menampakkan ujung sinarnya. Warna langit itulah yang kemudian direpresentasikan masyarakat Jawa sebagai bentuk penandaan dimulainya kehidupan. Warna ungu tua dipilih bapak Hartoyo dengan niat lilahdalêm. Lilahdalêm merupakan bentuk permintaan izin kepada yang mbahu lan ngrêksoni yaitu semacam penunggu. Selain itu, pemilihan warna merah juga dipertimbangkan oleh Paku Buwono XIII sendiri dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 136
permaisurinya90. Hal tersebut juga berlaku dalam menentukan pemakaian asessoris berupa bros makuthä bertulis PB X, dan bros mawar yang tidak digunakan kembali pada tahun ini berorientasi pada selera Paku Buwono XIII91. Konsep busana tahun 2007 adalah usaha pencitraan individu raja yang diungkapkan melalui bentuk busana yang bernilai sama dengan raja sebelumnya. Hal tersebut sangat jelas tergambarkan pada baju takwä beludru polos dan berwarna. Maka simbol-simbol yang termuat, juga tidak jauh berbeda. Pencitraan ini merupakan usaha untuk memperkuat legitimasi Paku Buwono XIII dalam tahtanya sebagai raja.
3. Makna Simbolis Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2008 Konsep warna ungu/violet bermakna sebagai kebangkitan atau bangkit92. Makna tersebut relevan dengan konsep warna ungu/wungu yang menandakan dimulainya hari. Sehingga dengan warna wungu tersebut diharapkan, seorang raja harus selalu bangkit dari segala liku kehidupan. Makna bangkit, memiliki kesamaan dengan makna
90
Wawancara dengan Hartoyo, 8 Januari 2012.
91
Wawancara dengan GRAy Kus Murtiyah Wirabumi pada 20 Januari 2012 dan GKR Galuh Kencono pada 30 Januari 2012. 92
Winarnokusumo, 3 januari 2012.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 137
simbolis warna magenta/ungu kemerahan pada busana tahun 2005. Hal tersebut didasari dari kesamaan warna bakunya yakni ungu atau violet, yang di variasikan dengan cara memperbanyak unsure warna merah atau warna birunya. Warna ungu merupakan warna turunan dari warna biru dan merah. Dalam hubungannya dengan nilai warna ungu yang sangat dihargai adalah warna yang digunakan dalam lingkup terhormat atau mulia. Warna ungu tua yang dipadu dengan baju takwä bermakna seorang pemimpin/raja harus mampu bangkit dengan ketajaman hati sebagai bentuk ketakwaan kepada Tuhan. Busana
Paku
Buwono
XIII
pada
upacara
Tingalan
Jumênêngandalêm periode 2008 secara menyeluruh bermakna kebangkitan, kekuatan, kekuasaan, kemuliaan, dan kewibawaan raja. Pemaknaan tersebut merupakan esensi-esensi yang muncul dari makna setiap bagian busana. Sebagai contoh makna kebangkitan yang merupakan pokok makna baju takwä berwarna ungu/violet, sedangkan kekuatan adalah pokok makna motif parang barong.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 138
E. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2009
Gambar: 22 Bentuk dan letak busana(Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurraman H, 2012)
1. Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2009 Tahun
2009
merupakan
tahun
kelima
Tingalan
Jumênêngandalêm Paku Buwono XIII. Busana yang digunakan secara keseluruhan sama dengan busana tahun 2008, meliputi baju takwä commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 139
berwarna ungu terang, sinjang dengan motif parang barong, lengkapan berupa, kulük kanigaran, sêlop, sabuk motif tirto tèjo latar merah tua (soga), keris ladrang, èpèk untu walang, timang, lêrêp, dan asessoris berupa kalung ulür, bros mawar, bros makuthä bertulis PB X. Perbedaan yang muncul hanya intensitas warna violet baju takwä lebih terang dari tahun sebelumnya.
Gambar: 23 Warna kain baju takwä tahun 2009 (Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H, 2012) Warna ungu/violet terang pada baju takwä merupakan salah satu dari tiga model warna ungu baju takwä. Sepintas warna tersebut sama dengan tahun sebelumnya, karena memiliki karakter warna yang sama dengan perbedaan intensitas yang tipis. Kain yang digunakan adalah bludru, sehingga menghasilkan warna ungu terang kehitamhitaman.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 140
2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2009 Konsep warna violet/ungu memiliki kesamaan dengan tahun sebelumnya. Hanya saja warna ungu pada tahun ini berbeda, yaitu agak muda. Perbedaan warna ini bukanlah bentuk penyimbolan lain dari warna ungu tahun 2008, namun semata-mata merupakan variasi warna yang penggunaannya didasarkan selera. Dasar ketentuan penggunaan warna ungu didasarkan pada angsar berupa pertanda seperti angin kecil dan sebagainya. Selain berupa pertanda, angsar juga dapat dilakukan dengan mata batin93. Penentuan berdasarkan angsar ini dilakukan oleh Hartoyo, dengan pertimbangan Paku Buwono XIII. Konsep busana pada tahun ini secara umum sama dengan tahun 2008, yaitu usaha pencitraan individu raja yang diungkapkan melalui bentuk busana yang bernilai sama dengan raja sebelumnya. Hal tersebut sangat jelas tergambarkan pada baju takwä beludru polos dan berwarna. Maka simbol-simbol yang termuat, juga tidak jauh berbeda. Pencitraan ini merupakan usaha untuk memperkuat legitimasi Paku Buwono XIII dalam tahtanya sebagai raja.
93
Wawancara dengan Hartoyo 8 Januari 2012
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 141
3. Makna Simbolik Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2009 Pemaknaan warna ungu menjadi langkah pemaknaan yang sama dengan pemaknaan warna ungu pada tahun sebelumnya. Hal tersebut didasari dari kesamaan material simbolisnya secara baku. Warna baku tersebut ungu atau violet, yang kemudian di variasikan dengan cara memperbanyak warna merah atau warna biru. Warna ungu merupakan warna turunan dari warna biru dan merah. Warna violet/ungu dimakanai sebagai kebangkitan atau bangkit. Baju takwä dengan warna ungu tua bermakna seorang pemimpin/raja harus mampu bangkit dengan ketajaman hati sebagai cermin ketakwaan kepada Tuhan. Pemaknaan ini merupakan esensi makna baju takwa dan warna baju takwä-nya. Busana
Paku
Buwono
XIII
pada
upacara
Tingalan
Jumênêngandalêm periode 2009 secara menyeluruh bermakna kebangkitan, kekuatan, kekuasaan, kemuliaan, dan kewibawaan raja. Pemaknaan tersebut merupakan esensi-esensi yang muncul dari makna setiap bagian busana. Sebagai contoh makna kebangkitan yang merupakan pokok makna baju takwä berwarna ungu/violet, sedangkan kekuatan adalah pokok makna motif parang barong.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 142
F. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2010
Gambar: 24 Bentuk dan letak busana (Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H, 2012)
1. Bentuk Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2010 Tahun
2010
merupakan
tahun
keenam
Tingalan
Jumênêngandalêm Paku Buwono XIII. Busana yang digunakan secara keseluruhan sama dengan busana tahun-tahun sebelumnya, meliputi baju takwä berwarna hijau tua, sinjang dengan motif parang barong, lengkapan berupa, kuluk kanigaran, sêlop, sabuk motif tirtä tèjä latar commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 143
merah tua (soga), keris gayaman, èpèk untu walang, timang, lêrêp, dan asessoris berupa kalung ulür, bros makuthä bertulis PB X, cincin dikedua jari manis. Perbedaan yang muncul adalah warna baju takwanya hijau tua. Selain itu motif batik parang barong yang dikenakan berukuran sedikit besar, lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Keris yang digunakan tidak lagi gayamanan namun ladrang. Asessoris yang dikenakan hanya kalung ulur, bros makuthä, dan cincin, sedangkan bros mawar tidak dikenakan. Warna hijau tua pada baju takwä tahun 2010 merupakan salah satu dari tiga model warna hijau baju takwä. Bahan yang digunakan yaitu beludru, sehingga warna hijau mengarah pada warna kehitamhitaman. Pada gambar 49 tampak warna hijau tua, dan warna hitam (gelap). Warna hijau tua tersebut mengarah ke warna biru. Hal tersebut nampak pada intensitas warna biru yang sedikit muncul. Warna hijau merupakan warna turunan dari warna kuning dan biru, warna biru itulah yang sedikit muncul.
Gambar: 25 Warna kain pada baju takwä tahun 2010 (Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H, commit to user 2012).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 144
Batik parang barong yang digunakan pada tahun ini memiliki perbedaan dengan tahun-tahun sebelumnya. Perbedaan tersebut nampak pada ukuran bidang motif lebih besar. Karakter motif parangnya pun memiliki perbedaan yakni liuk bidang motif parang hampir simetris. Motif moto garèng yang pada tahun-tahun sebelumnya bulat sempurna, pada tahun ini oval menyudut.
Gambar: 26 Perbandingan ukuran dan bentuk motif parang barong (sumber: Joko Purnomo repro foto Taufiqurrahman H 2012) Keris ladrang memiliki wärängkä menyerupai badan perahu bercadik. Wärängkä-nya berbentuk lancip dan panjang namun ujungnya pipih horizontal. Sudut lainnya lebih pendek dan ujungnya membentuk setengah lingkaran. Cara penggunaannya disengkelitkan miring
kekanan
dengan
wilahan
menghadap
ke
kiri.
Penyengkelitannya disebut märäsêbä yaitu bagian pangkal pendhok terlihat sedikit, kurang lebih 3 cm. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 145
Gambar: 27 Bentuk keris ladrang dan cara pemakaiannya (Sumber: www.Kampungrajang.blogspot.com repro foto Taufiqurrahman H, 2012) 2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2010 Baju takwä berwarna hijau gelap merupakan salah satu dari tiga pasang baju takwä dengan variasi warna hijaunya. Konsep penggunaan warna hijau tua pada tahun ini masih tetap sama dengan tahun 2006, yakni kiblat papat limä pancêr. Warna hijau merupakan simbol bumi yaitu pusat (pancêr) dari empat arah. Selain itu merupakan penggambaran subjek nafsu batin manusia yang hendaknya dikendalikan (Dharsono,2007: 33). Simbol bumi menurut ajaran astabrata bersifat murah hati, suka beramal, dan selalu berusaha untuk tidak mengecewakan kepercayaan rakyat. Bahan kain bludru digunakan ats dasar paugêran yang berlaku menurut tradisi keraton. Menurut adat tradisi keraton Surakarta baju commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 146
krowok dengan bahan bludru hanya boleh digunakan oleh raja saja94. Hal ini menunjukkan bahwa jenis kain ini, pada masanya memiliki nilai eksklusifitas yang tinggi. Motif parang barong yang sedikit berbeda dengan tahun sebelumnya adalah ketentuan yang berdasarkan selera. Tidak ada aturan tertentu yang mengikat dalam penggunaan motif parang yang sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Dasar penggunaan tetap berorientasi pada aturan adat tradisi keraton Surakarta. Oleh karena itu, sedikit perbedaan pada motif parang barong bukan suatu hal mempengaruhi tatanan tradisi keraton. Pemakaian keris ladrang ditentukan oleh Sinuwun sendiri. Tidak seperti dalam menentukan warna busana, penentuan keris ini dilakukan oleh Sinuwun sendiri di sasana pusäkä. Menurut penjelasan Hartoyo, ketika Paku Buwono XIII memilih keris yang akan digunakan, berdasarkan pada proses merasakan atau penentuan dengan mata batin. Menurutnya proses tersebut ora tinêmu nalar (tak dapat dinalar). Sedang, penggunaan asessoris tanpa menyertakan bros mawar, didasari oleh selera Paku Buwono XIII. Konsep busana tahun 2010 ini mengacu pada konsep busana tahun 2006. Hal ini berdasarkan bentuk keseluruhan busana, termasuk baju takwä berwarna hijau. Konsep keseluruhan busana Paku Buwono
94
Winarnokusumo 3 Januari 2012
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 147
XIII tersebut adalah penerapan nilai serta citra Paku Buwono XII. Hal ini sangat jelas terlihat pada keserupaan atribut yang dipakai, sehingga menjelaskan adanya pernyataan tak langsung Paku Buwono XIII atas eksistensinya selama 6 tahun sebagai raja keraton Surakarta.
3. Makna Simbolis Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2010 Baju
takwä
Paku
Buwono
XIII
Pada
Tingalan
Jumênêngandalêm tahun 2010 bermakna, seorang raja yang harus mampu mengendalikan segala bentuk liku kehidupan sebagai cermin ketakwaannya
kepada
Tuhan,
sehingga
mampu
membawa
kesejahteraan hidup bagi masayarakat. Pemaknaan tersebut berdasar makna baju takwä, yaitu taqwa yang berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah, pemaknaan ini serupa dengan makna baju takwä pada tahun-tahun sebelumnya. Selain makna yang diperoleh dari baju takwa, maknanya juga muncul dari simbol warna hijau. Warna hijau menurut Winarnokusumo bermana kesuburan95. Sedangkan menurut pandangan kiblat papat limä pancêr warna hijau berarti baik budi. Menurut wawancara dengan KP. Winarnokusumo96 batik parang barong bermakna kemampuan menghadapi dan mengendalikan
95
Berdasarkan wawancara dengan Hartoyo 8 Januari 2012 dan KP. Winarnokusumo 3 Januari 2012. 96
Sasana Wilapa, 3 Januari 2012 Keraton Surakarta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 148
segala bentuk rintangan yang disimbolkan dengan motif parang yang tertata miring. Hal tersebut juga difahami oleh Hartoyo 97. Berbeda dengan pemaknaan menurut Sarwono (2004: 61), yakni harapan akan kekuatan, keagungan, kebesaran serta kewibawaan dapat tercermin dan terpancar. Menurut KP. Winarnokusumo98 keris ladrang bermakna berani. Hal tersebut didasari karakter ladrang yang terlihat lebih maskulin dibanding gayaman.
Keris ladrang
juga bermakna
keseriusan, dan ketegasan. Hal ini, terbentuk melalui fungsi sosial keris yang penggunaannya secara kusus pada upacara-upacara besar (pisowanan ageng). Sehingga, keris ladrang yang berbentuk maskulin dan berfungsi sosial pada pisowanan ageng bermakna keberanian dan ketegasan. Busana
Paku
Buwono
XIII
pada
upacara
Tingalan
Jumênêngandalêm periode 2010 secara menyeluruh bermakna, baik budi, kesejahteraan, kekuatan dan kewibawaan yang terpancar dari seorang raja. Dasar pemaknaan ini muncul dari esensi makna dalam setiap unsur busana, seperti baju takwä yang bermakna baik budi dan kesejahteraan.
97
Wawancara 8 Januari 2012.
98
Wawancara pada 3 Januari 2012
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 149
G. Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2011
Gambar: 28 Bentuk dan letak rincian busana (Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H, 2012)
1. Bentuk Busana Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2011 Tahun
2011
merupakan
tahun
ketujuh
Tingalan
Jumênêngandalêm Paku Buwono XIII. Busana yang yang dikenakan pada tahun ini meliputi, baju takwä berwarna magenta (ungu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 150
kemerahan) terang dengan ornamen lung-lungan, sinjang dengan motif parang barong (serupa dengan motif tahun 2010), lengkapan berupa, kulük kanigaran, sêlop, sabuk motif tirtä tèjä latar merah tua (soga), keris gayaman, èpèk untu walang, timang, lêrêp, dan asessoris berupa, kalung ulür, bros mawar, bros makuthä bertulis PB X. Busana tersebut sepintas sama dengan busana yang digunakan pada tahun 2005, namun memiliki perbedaan pada bagian-bagian tertentu. Perbedaan tersebut meliputi intensitas warna ungu yang lebih terang dibanding dengan warna ungu baju takwä pada tahun 2005. Motif lung-lungan sepenuhnya masih sama dengan ornamen pada baju takwä yang dikenakan pada tahun 2005. Asessoris berupa bros mawar yang tidak digunakan pada tahuan sebelumnya, tahun ini digunakan kembali. Selain itu, pada tahun 2005 batik yang dikenakan bermotif parang garudhä namun pada tahun ini bermotif parang barong. Motif batik yang dikenakan pada tahun ini merupakan motif yang serupa dengan penggunaan motif pada tahun 2010. Baju takwä dengan warna magenta terang berhiaskan bordir lung-lungan, merupakan salah satu dari tiga model baju takwä dengan berwarna magenta. Bahan yang yang digunakan adalah thaisilk, sehingga
memiliki
karakter
mengkilat.
Kain
jenis
thaisilk
memunculkan kesan mewah jika digunakan. Warna magenta merupakan warna violet, namun lebih mengarah pada sedikit warna merah atau dapat disebut pure magenta. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 151
Gambar: 29 Warna kain (Sumber: Dokumentasi Joko Purnomo, repro foto Taufiqurrahman H, 2012) 2. Konsep Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2011 Baju takwä berwarna magenta (ungu kemerahan) terang dengan ragam hias lung-lungan disetiap pinggir kainnya berorientasi pada konsep busana tahun 2005. Yakni, pengadaptasian gaya busana Paku Buwono IX, warnanya didasarkan pada warna favorit mendiang Paku Buwono XII. Ornamen lung-nya diadobsi dari oernamen tiang sasänä sêwäkä. Diluar hal tersebut merupakan pilihan bapak Hartoyo sebagai penata busananya. Alasan bentuk baju takwä, memiliki kesamaan dengan dasar bentuk baju takwä tahun yang dikenakan pada tahun 2005. Penggunaan kembali bros mawar sepenuhnya berorientasi pada selera Paku Buwono XIII. Sebelumnya, bros mawar ini digunakan pada tahun 2005, 2006, 2007, dan 2009. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 152
Konsep keseluruhan busana Paku Buwono XIII tahun 2011 adalah penerapan nilai serta citra raja-raja sebelumnya. Hal ini sangat jelas terlihat pada keserupaan atribut yang dipakai, sehingga menjelaskan adanya pernyataan tak langsung Paku Buwono XIII atas kedudukannya sebagai raja pewaris pemerintahan keraton Surakarta.
3. Makna Simbolik Busana Paku Buwono XIII pada Upacara Tingalan Jumênêngandalêm Tahun 2011 Warna baju takwä tahun 2011 merupakan warna violet namun lebih mengarah pada warna merah atau dapat disebut warna magenta. Pemaknaan warna ungu menjadi langkah pemaknaan yang sama dengan pemaknaan warna ungu pada tahun 2005, 2008, dan 2009. Hal tersebut didasari dari kesamaan material simbolisnya secara baku. Warna baku tersebut adalah ungu/violet, yang kemudian di variasikan dengan cara memperbanyak warna merah atau warna biru. Warna ungu merupakan warna turunan dari warna biru dan merah. Warna violet/ungu dimakanai sebagai kebangkitan atau bangkit. Baju takwä dengan warna magenta (ungu kemerahan) muda bermakna seorang pemimpin/raja harus mampu bangkit dengan ketajaman hati sebagai cermin ketakwaan kepada Tuhan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 153
Secara menyeluruh busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm periode 2011 bermakna kekuatan, kebangkitan, dan kemuliaan raja. Makna tersebut tergambarkan melalui bentuk penyimbolan busana yang digunakan. Busana Paku Buwono XIII tahun 2011 memuat konsep pengagungan dan pemuliaan pada seorang raja.
H. Bagan Verifikasi Data Seluruh data beserta analisisnya diatas telah tersusun secara naratif berdasarkan urutan periodenya. Data-data yang terkumpul merupakan representasi kronologis penggunaan busana pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm Paku Buwono XIII dari tahun 2005 hingga 2011. Representasi kronologi tersebut disederhanakan pada bagan dibawah ini:
commit to user
154
155
156
157
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Setelah wafatnya Paku Buwono XII, tahta kerajaan diwarisi oleh putra tertuanya, yakni KGPH. Hangabei sebagai Paku Buwono XIII. Dalam masa tahtanya, Paku Buwono XII melakukan penyederhanaan bentuk busana kebesaran,
yang
selalu
dipakai
saat
prosesi
upacara
Tingalan
Jumênêngandalêm. Penyederhanaan tersebut sangat terlihat pada baju takwä, dan penggunaan sinjang-nya. Bentuk penyederhanaan busana yang pernah ditetapkan Paku Buwono XII merupakan bentuk simbolis yang membawa dampak
pada
busana
Paku
Buwono
XIII
pada
upacara
Tingalan
Jumênêngandalêm 2005-2011. Berdasarkan pengumpulan data dan analisis data maka diperoleh bahwa Busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 sampai 2011 merupakan bentuk sikap pribadi beliau sebagai pewaris tahta Paku Buwono XII. Hal tersebut adalah hak prerogratif Paku Buwono XIII dalam lingkup berbusana. Busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm tahun 2005 sampai 2011 menggunakan baju takwä dan sinjang serta lengkapannya seperti kulük, selop atau cênèla, keris, sabuk, èpèk, timang , lêrêp, dan asessorisnya yang berupa kalung ulür, bintang sri kabadyä, bros bunga mawar, bros dengan relief makuthä bertulis PB X dan cincin. commit to user 158
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 159
Seluruh atribut diatas merupakan busana secara lengkap (jangkêp) yang digunakan raja. Busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm mengalami perubahan setiap tahunnya. Antara tahun 2005 dengan tahun berikutnya busana yang digunakan berbeda, begitu pula tahun 2006, 2007, 2008, 2009, 2010, 2011. Busana Paku Buwono XIII merupakan atribut yang didalamnya terdapat simbol-simbol, sehingga maknanya merupakan esensi gagasan sang raja dalam menduduki tahta keraton Surakarta. Temuan-temuan yang diperoleh dalam penelitian mengungkapkan adanya pergerakan dari tahun-ketahun. Pergerakan tersebut nampak pada bentuk-bentuk simbolisnya yang cenderung berganti setiap tahunnya, hal tersebut sangat nampak pada warna baju takwä-nya dan motif batiknya. Tahun 2005 ditemukan bahwa Paku Buwono XIII menggunakan baju takwä berbahan thaisilk berwarna magenta (ungu kemerahan) tua, dihiasi ornamen lung-lungan emas,
sedangkan
sinjang-nya
bermotif
parang
garudhä.
Bermakna
kebangkitan, kekuasaan, kecerdasan, kewibawaan, dan kemuliaan raja penerus tahta. Pemaknaan ini menunjukkan kebangkitan kekuasaan raja baru yang direpresentasikan dalam simbolisme warna magenta atau ungu kemerahan yang bermakna bangkit. Didalam kebangkitannya tersebut terdapat pencitraan diri seorang raja yang ditunjukkan melalui pemakaian batik parang garudha. Mengingat parang garudhä merupakan motif batik yang posisinya berada diluar tatanan tradisi busana raja pada Tingalan Jumênêngandalêm. Parang garudha sendiri bermakna cerdas, yang artinya seorang raja harus mampu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 160
berfikir bijak dalam menyelesaikan permasalahan, sehingga tidak terjadi perseteruan fisik. Tahun 2006 ditemukan penggunaan baju takwä beludru berwarna hijau terang. Penggunaan sinjang-nya berbeda dari tahun 2005 yakni kain batik bermotif parang barong. Maknanya adalah kewibawaan, kebesaran, serta nilai kemuliaan yang setara dengan para raja pendahulunya. Sehingga tahun 2006 menunjukkan adanya ekspresi simbolis yang mengacu pada ranah eksistensi Paku Buwono XIII sesuai dengan eksistensi raja-raja terdahulu. Dalam ekspresi simbolisnya terungkap pula pencitraan raja yang selaras dengan nilai raja sebelumnya,
sehingga
dengan
penggunaan
simbolnya
sebagai
usaha
melekatkan eksistensinya sebagai benar-benar seorang raja penerus. Dalam pemaknaan batik parang barongnya mengisyaratkan adanya kekuatan dan kewibawaan, yang berarti seorang raja harus tahan cobaan dan tetap terpancar kewibawaannya. Hal inilah yang kemudian mengungkap gagasan eksistensi raja. Tahun 2007 ditemukan penggunaan baju takwä beludru berwarna merah tua. Sedangkan sinjang-nya berupa kain batik bermotif parang barong. Maknanya adalah keberanian, kekuatan, ketegasan, yang memancarkan kewibawaan agung seperti para raja pendahulunya. Makna simbolis tersebut menunjukkan adanya sikap berani Paku Buwono XIII dalam menunjukkan eksistensinya sebagai raja. Dalam makna yang muncul mengisyaratkan bahwa raja merupakan pribadi yang kuat, berwibawa, dan penuh keberanian. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 161
Tahun 2008 ditemukan penggunaan baju takwä berwarna violet tua, Sedangkan sinjang-nya, masih seperti tahun 2007 dan 2006, yaitu parang barong.
Maknanya
adalah
kebangkitan,
kekuasaan,
kemuliaan,
dan
kewibawaan raja. Hal ini menyiratkan esensi gagasan bahwa kebangkitan sang raja pewaris masih tetap eksis. Makna simbolis busana Paku Buwono XIII (2008) juga menunjukkan adanya perumusan kembali atau pengingatan kembali bangkitnya raja pewaris tahta. Mengingat, raja adalah pribadi yang berkuasa dan harus teguh. Tahun 2009 ditemukan penggunaan baju takwä beludru berwarna violet terang, Sedangkan sinjang-nya bermotif parang barong seperti tahun 2006, 2007, dan 2008. Maknanya adalah kebangkitan, kekuasaan, kemuliaan, dan kewibawaan raja. Makna simbolis busana tersebut masih memiliki keserupaan dengan tahun 2008, sehingga esensi yang terungkap juga memiliki kecenderungan yang sama. Sehingga tahun 2008 dan 2009 merupakan tahun yang digunakan Paku Buwono XIII sebagai tahun kebangkitan kembali eksistensi raja keraton Surakarta. Tahun 2010 ditemukan penggunaan baju takwä beludru berwarna hijau tua. Kain batik yang digunakan sebagai sinjang bermotif parang barong, namun polanya berukuran lebih besar dari motif parang barong tahun sebelumnya. Maknanya adalah baik budi, kesejahteraan, kekuatan, dan kewibawaan raja. Makna simbolisme pada atribut Paku Buwono XIII tersebut menyiratkan bahwa raja dalam menjalani kepemerintahannya haruslah bijak dan tegar, supaya kesejahteraan dapat tercapai. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 162
Tahun 2011, ditemukan penggunaan baju takwä berbahan thaisilk berwarna magenta (ungu kemerahan) terang. Sinjang yang digunakan adalah kain batik bermotif parang barong dengan ukuran pola seperti yang digunakan pada tahun 2010. Maknanya adalah kebangkitan, kekuatan, dan kemuliaan raja. Pada tahun ini raja kembali menggunakan warna baju takwa yang serupa dengan warna baju takwä tahun 2005, oleh karena itu kebangkitan raja sebagai pewaris tahta, kembali dipaparkan. Hal ini mengisyaratkan bahwa raja selalu tegak berdiri dalam menjalani liku-liku hidup, dan itulah cerminan kewibawaan raja yang berimbas pada eksistensi dirinya yang agung. Ketentuan busana Paku Buwono XIII yang berjalan pada tahun 20052011 saat upacara Tingalan Jumênêngandalêm menunjukkan adanya beberapa esensi pokok, yaitu: 1. Paku Buwono XIII menggunakan ketetapan Paku Buwono XII dalam lingkup gaya berbusana. Sehingga simbol-simbol yang ada didalamnya mengisyaratkan adanya eksistensi individu raja yang meliputi citra kewibawaan, kekuasaan, kecerdasan, kekuatan, kemuliaan, dan keagungan seorang raja sebagai pemimpin tertinggi keraton Surakarta. 2. Pembentukan nilai terhadap Paku Buwono XIII sesuai simbol-simbol pada atributnya merupakan usaha penerapan eksistensi raja yang benar-benar memiliki pengakuan secara penuh. Artinya, bahwa simbol-simbol pada atribut beliau mengacu pada pemuliaan seseorang yang berposisi sebagai pewaris tunggal tahta kerajaan. Hal ini juga sebagai usaha memperkuat pengakuannya sebagai penguasa keraton Kasunanan Surakarta. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 163
3. Dalam bentukan simbolis pada busana Paku Buwono XIII terdapat kepercayaan pada benda mati yang dianggap memiliki kekuatan. Hal semacam ini merupakan pemahaman masyarakat Jawa yang telah ada sejak jaman animisme dan dinamisme. Seperti parang barong yang dikaitkan dengan kekuatan seperti singa, sehingga yang mengenakannya pun memiliki pancaran kewibawaan dan pribadi yang kuat. Pancaran tersebut diharapkan dapat menjadi rumusan pribadi raja dalam menjalani kehidupannya. 4. Terdapat ajaran-ajaran baik yang berdasarkan pandangan masyarakat Jawa, pandangan tersebut adalah kiblat papat limä pancêr dan bilangan sakral 9 (8+1) atau yang dikenal astabrata. Kiblat papat mengajarkan pengendalian diri atas lima unsur dasar yang ada pada diri manusia. Sedangkan bilangan sakral 9 (8+1) mengajarkan sembilan pokok sikap pemimpin yang ideal bagi kesejahteraan rakyatnya. Selain itu simbol-simbol pada busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm 2005-2011 mengajarkan kekuatan serta pengendalian diri dalam menjalani liku kehidupan, yang mengacu pada ketakwaan kepada yang maha Esa. 5. Konsep dwitunggal yang disepakati ada dalam diri raja, memberikan implementasi pada busana Paku Buwono XIII. Konsep dwi tunggal adalah gagasan dasar dari penyatuan antara dua, yaitu kepercayaan terhadap raja sebagai Tuhan yang nampak. Melekatnya konsep ini pada simbolisme dalam busana Paku Buwono XIII merupakan pertanda bahwa raja memiliki seluruh keagungan, keindahan, dan pengajaran yang patut dicontoh. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 164
B. Saran-Saran Busana kebesaran Paku Buwono XIII merupakan busana yang sarat dengan makna simbolisme dan sarat akan konsepsi tradisional dan historis. Dalam kaitannya dengan hal tersebut hendaknya ditempatkan dengan baik sesuai manifestasi tradisi keraton Surakarta yang dalam era terkini menjadi aset wisata budaya dan sejarah. Penulis berharap pada kerangka aset, keraton Surakarta hendaknya mampu menjaga kelangsungan aset tersebut sehingga bersifat langgeng. Perlunya pemikiran kembali mengenai relevansi aset dan makna simbolisme yang sebagian besar memuat penekanan-penekanan pada sifat dan perilaku yang baik. Sehingga dengan memperhatikan relevasi tersebut, penulis berharap busana kebesaran Paku Buwono XIII mampu mengungkapkan idealis tradisi Jawa yang konon integral dengan masyarakatnya. Oleh karena itu, masyarakat Jawa dewasa ini yang semakin terbuka dengan identitas budaya global diharapkan mampu merespon busana Paku Buwono XIII pada upacara Tingalan Jumênêngandalêm sebagai contoh referensial identitas asli bangsa Jawa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 165
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Adib. 2010. Filsafat Ilmu. Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Syaiful Arif. 2010. Refilosofi Kebudayaan. Pergeseran Pasca Struktural. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Barnard, Malcolm. 1996. Fashion Sebagai Komunikasi (edisi terjemahan oleh Idy Subandi Ibrahim dan Yosal Iriantara). Yogyakarta: Jalasutra. Dharsono (Sony Kartika). 2007. Kebudayaan Nusantara. Kajian Konsep Mandala dan Konsep Tri-Loka Terhadap Pohon Hayat pada Batik Klasik. Bandung: Rekayasa Sains. Dilistone, F.W. 1986. The Power of Symbols. London: SCM Press Ltd. Hadisiswaya, AM. 2011. Pergolakan Raja Mataram.
Konflik dan Tradisi
Pewarisan Tahta Studi Kasus Keraton Solo. Yogyakarta: Interprebook. Benny H Hoed. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI Depok. Kalinggo Honggopuro. 2002. Bathik Sebagai Busana dalam Tatanan dan Tuntunan. Surakarta: Yayasan Peduli Karaton Surakarta Hadiningrat. Budiono Kusumohamidjodjo. 2009. Filsafat Kebudayaan. Proses Realisasi Manusia. Yogyakarta: Jalasutra. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 166
Ardian Kresna. 2011.
Sejarah
Panjang
Mataram.Menengok Berdirinya
Kesultanan Yogyakarta. Yogyakarta: Diva Press Muzir, Inyak Ridwan. 2010. Hermeneutika Filosofis. Hans-Georg Gadamer. Yogyakarta: Ar-Ruz Media. Purwadi, dkk. 2009. Sri Susuhunan Paku Buwono X. Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya untuk Nusa Bangsa. Jakarta: PT.Bangun Bangsa. Purwadi. 2007. Busana Jawa. Jenis-jenis Pakaian adat, sejarah, Nilai Filosofis dan Penerapannya. Yogyakarta: Pura Pustaka. Pemberton, John. 1994. Java. On The Subject of Java. Ithaca: Cornell University Press. Ratih Poeradisastra. 2002. Busana Pria masa kini. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Rustopo. 2008. Jawa Sejati: Otobiografi Go Tik Swan Harjonagoro. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Ratna Endah Santoso, 2010. Busana Paku Buwono XII, “Tesis”: Program Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia, Surakarta. Santos, Arysio, 2010. Atlantis, The Lost Continent Finaly Found. Cetakan III. Jakarta: PT: Ufuk Publising House. Samovar, Larry A. Porter, Richard E. McDaniel, Edwin R. 2010. Komunikasi Lintas Budaya. Edisi 7. Jakarta : Penerbit commit to user Salemba Humanika.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 167
Sarwono, 2004. Simbolisme Motif Parang Dalam Busana Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta, “Tesis”: Program Pasca Sarjana, Institut Seni Indonesia Surakarta. Bram Setiadi. 2006. Hanaluri Tradisi Demi Kejayaan Negeri. Catatan Tahun Kedua di Atas Tahta. Surakarta: Yayasan Pawiyatan Kabudayan Karaton Surakarta. Mooryat Soedibyo. 2003. Busana Keraton Surakarta Hadiningrat. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. JB Soeranto. Sri Mulyani. YE. 2004. Budaya Jawi. Surakarta: CV. Cendrawasih. Soeratman, Darsiti. 2000. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia. E Sumaryono. 1999. Hermeneutik. Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Dasar Teori dan Penerapannya Dalam Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Wirastodipuro, BcAP, KRMT H. 2003. Busana Adat Jawi. Surakarta: Paguyuban Mekar Budaya Surakarta. Moeloeng, M.A. Prof. Dr. Lexy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 168
DAFTAR NARASUMBER KP. Winarnokusumo (58 th), Humas Keraton Kasunanan Surakarta, Budayawan Surakarta, Wawancara 26 September 2011, 10 Oktober 2011, 22 Desember 2011, 3 Januari 2012. Hartoyo (59 th), Dosen ISI Surakarta, Penata Busana Paku Buwono XII dan XIII, Wawancara, 08 Januari 2012. GRAy. Kus Murtiyah Wirabumi (52 th), Adik Kandung Paku Buwono XIII, Mendesain Busana Paku Buwono XIII tahun 2005. Wawancara 20 Januari 2012. KGPH. Puger, BA (57 th), Adik Kandung Paku Buwono XIII, Pangeran Dalem Keraton Surakarta, Wawancara 8 Desember 2011. GKR Galuh Kencono (60 th) Wawancara 30 Januari 2012. Dharsono (Sony Kartika) 58 th), Guru Besar Senirupa Timur Institut Seni Surakarta, Ulas kritik 15 Maret 2012. Sugeng Tukiyo (67 th), Dosen Universitas Sahid Surakarta, Ulas kritik 18 Maret 2012. Sugiyatno (80 th), Budayawan Surakarta, Ulas kritik 21 Maret 2012. Joko Purnomo, (38 th), Abdi Dalem, Fotografer kraton Surakarta, Sumber foto Paku Buwono XIII pada Tingalan Jumenengandalem 2005-2011. Andar Putu Wijaya, (24 th), penerjemah teks-teks bahasa Jawa. Mahasiswa Program Pasca Sarjana ISI Surakarta. commit to user