PERAN MUTU FISIOLOGIK BENIH DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI BENIH TANAMAN INDUSTRI Maharani Hasanah Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Jl. Tentara Pelajar No. 3, Bogor 16111
ABSTRAK Mutu benih meliputi mutu genetik, fisiologik dan fisik. Benih yang benar adalah benih dengan mutu genetik tertentu yang telah dideskripsikan oleh pemulia tanaman. Mutu fisiologik benih ditentukan oleh viabilitas benih sehingga mampu menghasilkan tanaman yang normal. Viabilitas benih ditentukan oleh kondisi prapanen, antara lain kesuburan tanah, cara dan waktu panen, serta pascapanen, yang meliputi pengeringan, perlakuan benih, pengemasan dan penyimpanan. Panen pada saat masak fisiologis menghasilkan vigor maksimum. Pada jambu mete, panen pada saat masak fisiologis menghasilkan daya berkecambah benih 100%, namun benih ketumbar harus dipanen 10 hari sebelum masak fisiologis, karena benih mengandung minyak atsiri. Panen pada saat tersebut menghasilkan daya berkecambah benih 95,50%. Cara pengeringan merupakan salah satu syarat bagi suatu industri benih "ortodok". Jambu mete sebagai benih "ortodok" perlu dikeringkan sampai kadar air awal 5,04−6,14%. Demikian pula untuk benih "ortodok" lainnya seperti kapas, rosela, kenaf, tembakau, bunga matahari, wijen, dan ketumbar, kadar air dibawah 10% aman untuk penyimpanan jangka panjang, dengan kondisi simpan yang sesuai. Berdasarkan teknologi yang dipergunakan, industri benih dibagi menjadi lima tingkat yaitu tingkat 1: industri benih dengan teknologi sederhana, tanpa menggunakan mesin, industri tingkat 2: dengan menggunakan mesin pembersih, industri tingkat 3: dengan menggunakan mesin pembersih dan pemilah benih, industri tingkat 4: yang menggunakan mesin dan selalu berhubungan dengan Balai nasional, dan industri tingkat 5: yang sudah memanfaatkan bioteknologi. Didasarkan atas usahanya, industri benih dapat dibagi atas usaha pembenihan kecil dan usaha pembenihan besar. Kata kunci: Tanaman industri, benih, industri benih, mutu fisiologik, karakteristik benih
ABSTRACT Physiological quality, the prerequirement in industrial crop seed industry Seed quality consists of genetical, physiological and physical qualities. True seeds are seeds with specific genetical quality described by the plant breeder. Physiological quality of seeds is determined by the viability of seeds so that the seeds are able to produce normal plant. Seed viability is determined by preharvest such as soil fertility, harvesting method and time of harvest and postharvest: drying, seed treatment, packaging, and storage. Harvesting at physiological maturity produced maximum vigor. Cashewnut harvest at physiological maturity produced 100% germination while coriander that contain essential oil should be harvested 10 days before physiological maturity to produce 95.50% of germination. Drying method is one of the condition of "ortodox" seed industry. Cashewnut should be dried to 5.04−6.14% moisture content and as well as other industrial seeds of cotton, roselle, kenaf, tobacco, sunflower, sesame, coriander, etc. moisture content less than 10% is safe for long storage period with favorable storage condition. Depending on the technology used, there are five levels of seed industries, i.e., first level of seed industry with traditional technology, without using machine, second level of industry using air screen cleaner machine, third level of seed industry using air screen cleaner and seed grading machine, fourth level of seed industry using machine and always related to the national research institute and fifth level of seed industry, already used biotechnology. Based on the effort, two kinds of seed industries are small seed business and large seed business. Keywords: Industrial crops, seed, seed industry, physiological quality, seed characteristics
T
anaman industri yang termasuk tanaman perkebunan dapat berupa tanaman setahun maupun tanaman tahunan. Tanaman setahun antara lain diwakili oleh tembakau, serat batang,
84
serat buah, bunga matahari, wijen, jarak, tanaman obat, tanaman penghasil minyak atsiri, dan tanaman pestisida nabati, sedangkan yang merupakan tanaman tahunan antara lain kelapa, cengkeh,
pala, kayu manis, jambu mete, dan tamarin. Dari luas areal perkebunan sekitar 14 juta hektar, 80% merupakan perkebunan rakyat dan sisanya adalah perkebunan Jurnal Litbang Pertanian, 21(3), 2002
besar. Ditinjau dari segi produksi, perkebunan rakyat menyumbang sekitar 58% dari seluruh produksi perkebunan (Direktur Bina Perbenihan, 1998b). Produktivitas tanaman perkebunan umumnya masih sekitar 50% dari produktivitas yang seharusnya. Keadaan ini disebabkan oleh rendahnya mutu benih yang digunakan, terutama pada perkebunan rakyat. Oleh karena itu, pengembangan subsektor perkebunan pada tahun 2001−2004 diarahkan untuk mengembangkan subsistem agribisnis hulu dengan kegiatan utama pengembangan industri perbenihan. Kegiatan ini harus didukung oleh perbaikan mutu bahan tanaman (Departemen Pertanian, 2001). Untuk meningkatkan daya saing komoditas perkebunan, diperlukan benih yang memiliki keunggulan tinggi, mutu sesuai permintaan pasar, efisien dalam produksi, terjangkau oleh petani/pekebun, jumlah cukup banyak, serta penyediaannya tepat waktu, tepat jenis, dan tepat harga (Direktorat Bina Perbenihan, 1998b). Kebutuhan benih untuk komoditaskomoditas tertentu seperti kelapa hibrida, kelapa Dalam, dan jambu mete cukup banyak (Direktorat Bina Perbenihan, 1998a). Varietas tanaman industri yang telah dilepas dalam proses pelepasan disajikan pada Lampiran 1. Pembangunan pertanian maju bertujuan untuk mencapai standar hidup yang lebih baik. Tercapainya tujuan tersebut tergantung pada perbaikan berbagai faktor, salah satu faktor yang peranannya paling nyata adalah benih (Douglas, 1980). Menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman, benih adalah tanaman atau bagiannya yang digunakan untuk memperbanyak dan/atau mengembang biakkan tanaman. Benih dapat berupa biji alami (zigotik) hasil pembuahan sel telur dan sperma atau biji sebagai hasil rekayasa manufaktural (sintetik). Benih sintetik hasil rekayasa manufaktural dapat dihasilkan oleh tanaman setahun maupun tanaman tahunan. Termasuk ke dalam benih alami antara lain adalah tanaman atsiri seperti ketumbar, jinten, adas; tanaman obat-obatan seperti katuk, dan ginseng jawa; tembakau; seratseratan seperti rosela, kenaf, kapas; tanaman minyak nabati seperti bunga matahari, wijen, jarak; dan tanaman industri yang lainnya seperti jambu Jurnal Litbang Pertanian, 21(3), 2002
mete, kayu manis, tamarin, dan makadamia. Sisanya semua tanaman industri yang dapat diperbanyak secara vegetatif. Untuk tanaman-tanaman yang menyerbuk silang selain perbanyakan dengan cara generatif perbanyakan secara vegetatif lebih dianjurkan agar keturunannya mempunyai sifat seperti induknya.
KARAKTERISTIK BENIH TANAMAN INDUSTRI Benih tanaman industri dapat dikelompokkan menjadi benih "ortodok", "rekalsitran", dan benih "intermediate" (antara). Pengelompokan tersebut didasarkan atas kepekaannya terhadap pengeringan dan suhu. Benih "ortodok" relatif toleran/tahan terhadap pengeringan, benih "rekalsitran" peka terhadap pengeringan, sedangkan benih "intermediate" berada antara kedua sifat "ortodok" dan "rekalsitran". Benih "ortodok" umumnya dimiliki oleh spesies-spesies tanaman setahun, dua tahunan ("bienial") dengan ukuran
benih yang kecil. Benih "ortodok" tahan pengeringan sampai kadar air mencapai 5% dan dapat disimpan pada suhu rendah. Daya simpan benih dapat diperpanjang dengan menurunkan kadar air dan suhu. Benih "rekalsitran" tidak tahan disimpan pada suhu di bawah 20 oC. Beberapa spesies tanaman tropis yang mempunyai sifat "rekalsitran" atau peka terhadap suhu rendah adalah kemiri, kayu manis, pala, kelapa, dan palma lainnya. Kelompok tanaman ini menghasilkan benih yang tidak pernah kering pada tanaman induknya, bila gugur benih masih dalam kondisi lembap dan akan mati bila kadar air kritis. Walaupun benih disimpan pada kondisi lembap daya hidupnya relatif pendek, dari beberapa minggu sampai beberapa bulan tergantung spesiesnya. Benih "rekalsitran" dimiliki oleh tanaman pohon-pohonan. Jenis tanaman industri berdasarkan sifat benihnya disajikan pada Tabel 1 (Sukarman et al., 1997), yang sebagian besar merupakan tanaman tahunan. Sedangkan kelompok lain yang diperbanyak secara vegetatif adalah lada, panili, nilam, serai wangi, akar wangi, empon-empon, serta tanaman pohon-
Tabel 1. Sifat-sifat benih beberapa spesies tanaman. Spesies tanaman
Sifat benih
Tembakau (Nicotiana tabacum) Kapas (Gossypium hirsutum) Rosela (Hibiscus sabdariffa), Kenaf (H. cannabinus) Bunga matahari (Helianthus annuus) Kanola (Carthamus tinctorius) Wijen (Sesamum indicum) Jarak (Ricinus communis) Jambu mete (Anacardium occidentale) Asam (Tamarindus indica) Terong KB (Solanum khasianum) Obat ketahanan tubuh (Echinacea angustifolia) Ketumbar (Coriadrum sativum) Som jawa (Talinum paniculatum) Adas (Foeniculum vulgarae) Cengkeh (Eugenia aromatica) Pala (Myristica fragans) Kayu manis (Cinnamomum zeylanicum) Kayu manis (Cinnamomum burmanni) Kayu manis (Cinnamomum cassia) Kapolaga (Cardamomum) Kapuk (Ceiba pentandra) Katuk (Sauropus androgynus) Kola (Cola nitida) Kelapa (Cocos nucifera) Kemiri (Aleurites fordii, A. montana) Kenanga/ylang-ylang (Canangium odoratum) Makadamia (Macadamia integrifolia)
Ortodok Ortodok Ortodok Ortodok Ortodok Ortodok Ortodok Ortodok Ortodok Ortodok Ortodok Ortodok Ortodok Ortodok Rekalsitran Rekalsitran Rekalsitran Rekalsitran Rekalsitran Rekalsitran Rekalsitran Rekalsitran Rekalsitran Rekalsitran Rekalsitran Rekalsitran Intermediate
85
pohonan seperti jambu mete, tamarin, kapok, kayu manis, dan pala.
MUTU BENIH Input dasar yang paling penting dalam pertanian adalah mutu benih. Mutu benih meliputi mutu genetik, fisiologik, dan fisik. Mutu benih mencakup semua hal yang berkaitan dengan atribut fisik, biologis, patologis dan genetik yang akan menentukan produksi tanaman. Mutu genetik adalah benih yang mempunyai identitas genetik yang murni dan mantap, dan apabila ditanam mewujudkan kinerja pertanaman yang homogen sesuai dengan yang didiskripsikan oleh pemulianya (Sadjad, 1994). Mutu fisiologik adalah mutu benih yang ditentukan oleh daya hidup (viabilitas) benih sehingga mampu menghasilkan tanaman yang normal. Klasifikasi mutu benih didasarkan pada kinerja fisik seperti kebersihan, kesegaran butiran serta keutuhan keadaan kulit benih, tanpa ada luka atau retak-retak. Penampilan fisik penting artinya karena benih dalam kemasan akan menjadi menarik bagi calon pembeli (Sadjad, 1997). Atribut kualitas yang paling penting adalah viabilitas (mutu fisiologik). Mutu benih yang baik merupakan dasar bagi produktivitas pertanian yang lebih baik. Kondisi sebelum, selama dan sesudah panen menentukan mutu benih. Walaupun mutu benih yang dihasilkan baik, penanganan yang kurang baik akan menyebabkan mutu langsung menurun.
BEBERAPA HASIL PENELITIAN Penelitian prapanen seperti pengaruh waktu tanam, pemupukan, pemberian air, tingkat kemasakan, waktu panen terhadap viabilitas benih telah dilakukan pada beberapa jenis tanaman industri. Basu (1994) menyatakan bahwa kondisi lingkungan baik sebelum maupun sesudah masak fisiologik dapat mempengaruhi mutu benih. Pada saat masak fisiologik, benih memiliki berat kering maksimum serta viabilitas dan vigor yang paling tinggi. Penelitian waktu tanam telah dilakukan pada tanaman penghasil minyak nabati seperti bunga matahari dan wijen. Pengaruh waktu tanam pada wijen telah 86
dilakukan di Bogor yang menunjukkan adanya perbedaan jumlah kapsul, bobot 1.000 butir, dan produksi per plot. Di Amerika dan Afrika, wijen tumbuh baik pada kisaran curah hujan 100−200 mm/ tahun, sedangkan di Bogor intensitas curah hujan pada bulan April mencapai 638,60 mm. Produksi benih mencapai 1.200 kg/ha (2.880 g/24 m2) dengan pemupukan dan irigasi (Food and Agriculture Organization, 1961). Perbedaan hasil yang sangat menyolok tersebut karena pada masa pertumbuhan sampai panen, curah hujan di Bogor sangat tinggi. Curah hujan yang terlalu tinggi menyebabkan tanaman tergenang air, padahal wijen tidak tahan terhadap genangan dan tanaman menjadi peka terhadap penyakit (Weiss, 1971). Menurut Hasanah (1995), viabilitas potensial benih dipengaruhi oleh waktu tanam. Benih yang dipanen bulan Juli menghasilkan kecambah yang kurang vigor dibandingkan dengan yang dipanen bulan Juni (Tabel 2). Hasil penelitian pada tanaman bunga matahari yang dilakukan di USA, (Tabel 3) menunjukkan waktu tanam mempengaruhi daya berkecambah benih pada beberapa periode simpan (Hasanah, 1988). Penelitian pemupukan NPK pada benih rosela diperoleh hasil bahwa pemupukan dengan komposisi yang tepat mempengaruhi ketahanan benih terhadap kekeringan, dan penyakit serta daya simpan benih. Dosis 160 kg N/ha, 92 kg P2O5, dan 50 kg K2O/ha merupakan dosis terbaik untuk benih rosela yang akan ditanam dalam kondisi kekeringan sampai dengan tekanan osmose 3,80 atm., sedangkan untuk ketahanan terhadap penyakit, dosis yang tepat adalah 160 kg N/ha, 0 kg P2O5/ha, dan 100 kg K2O/ha. Agar benih tahan disimpan, kombinasi pemupukan yang terbaik adalah 40 kg N/ ha, 92 kg P 2O 5/ha, dan 100 kg K 2 O (Hasanah, 1982).
Tabel 3. Pengaruh waktu tanam terhadap daya berkecambah (%) benih bunga matahari setelah disimpan. Waktu tanam
0
Maret April Mei Juni Juli
97 94 94 95 94
Periode simpan (bulan) 1 2 95 92 87 95 98
55 55 43 62 44
Sumber: Hasanah (1988).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Hasanah et al. (1993) pada benih ketumbar menunjukkan adanya interaksi antara jarak tanam dan tahap panen. Pada panen pertama (75% buah berwarna kuning), jarak tanam 40 x 20 cm memberikan hasil tertinggi dan berbeda nyata dengan jarak tanam 40 x 30 cm dan 40 x 40 cm. Tingginya produksi benih pada panen pertama dikarenakan panen dilakukan pada saat 75% buah berwarna kuning sehingga benih yang masak lebih banyak daripada panen berikutnya. Kondisi lingkungan serta teknik budi daya memberikan efek yang nyata pada fase vegetatif dan generatif. Tabel 4 menunjukkan bahwa fase vegetatif pada jarak tanam lebar lebih lama daripada jarak tanam rapat. Akibatnya proses pemasakan benih lebih cepat pada jarak tanam rapat, karena persaingan antartanaman dalam mendapatkan faktor tumbuh lebih tinggi. Umur berbunga 75% dan umur panen 75% tanaman wijen menjadi bertambah panjang dengan semakin lebarnya jarak tanam (Sianipar, 1991). Pengaruh tahap panen terhadap beberapa peubah viabilitas (Tabel 5) menunjukkan, panen kedua (21 MST) dan ketiga (22 MST) memperlihatkan peubah yang lebih baik dibanding panen pertama (20 MST). Hal ini diduga karena benih
Tabel 2. Pengaruh waktu tanam terhadap vigor tanaman wijen. Waktu tanam 13 Maret 1990 11 April 1990
Panen 15 Juni 1990 7 Juli 1990
Jumlah kapsul
Bobot 1.000 butir (g)
Produksi per plot (g/24 m2)
145,11 128,44
2,64 2,37
453,30 386,70
Sumber: Hasanah (1995).
Jurnal Litbang Pertanian, 21(3), 2002
Tabel 4. Pengaruh interaksi antara jarak tanam dan tahap panen terhadap produksi benih ketumbar/petak (g). Tahap panen 20 MST 21 MST 22 MST
Sebar alur
Jarak tanam 40 x 20 cm 40 x 30 cm
735,90 212,70 36
809 263 43,90
584,80 229,10 48,50
40 x 40 cm 327,90 216,20 30
MST: Minggu Setelah Tanam. Sumber: Hasanah et al. (1993).
Tabel 5. Pengaruh tahap panen terhadap viabilitas dan vigor benih ketumbar.
Tahap panen 20 MST 21 MST 22 MST
Daya berkecambah (%)
Kecepatan tumbuh (%/etmal)
Bobot 1.000 butir (g)
Berat jenis (g/l)
15,94 28,83 41,79
0.109 2.063 2.674
10,20 10,71 11,22
209,73 224,34 223,87
MST: Minggu Setelah Tanam. Sumber: Hasanah et al. (1993).
hasil panen kedua dan ketiga telah mengalami fase reproduktif yang lebih dominan dibanding fase vegetatif. Akibatnya tanaman lebih banyak menyimpan hasil fotosintesis untuk perkembangan buah daripada untuk pertumbuhan vegetatif. Setelah dilakukan pemanenan pertama, persaingan antarbuah yang tersisa pada tanaman menjadi lebih kecil, sehingga perkembangan embrio dan pembentukan cadangan makanan dapat menjadi lebih baik. Copeland dan Donald (1985) menyatakan bahwa ketersediaan cadangan makanan dalam benih dan aktivitas mitokhondria berkorelasi positif dengan berat benih. Pada Tabel 5 terlihat bahwa daya berkecambah tertinggi (41,79%) dicapai pada benih yang dipanen 22 MST. Julyana (1995) menyatakan benih ketumbar sebaiknya dipanen 34 hari setelah antesis atau 10 hari sebelum masak fisiologis dengan tanda buah berwarna kekuningan. Setelah dipanen, buah dikeringkan pada suhu 40oC selama 48 jam dan disimpan selama 3 bulan. Dengan perlakuan demikian daya berkecambah benih mencapai 95,50%. Tingkat kemasakan dan ukuran buah mempengaruhi viabilitas benih ketumbar. Jurnal Litbang Pertanian, 21(3), 2002
Buah yang dipanen 75% berwarna kuning dan benih yang berukuran < 3,50 mm mempunyai mutu yang lebih baik dibandingkan dengan benih dari buah yang dipanen 75% berwarna coklat dan yang berukuran > 3,50 cm (Hasanah et al., 1994). Hasil penelitian Rumiati et al. (1997) pada benih jambu mete menunjukkan bahwa benih yang dipanen pada saat masak fisiologis (42 hari setelah antesis), mempunyai daya berkecambah 100%. Namun, apabila benih dipanen 3 hari setelah masak fisiologis, daya berkecambah menurun dengan cepat sampai 46,60%. Posisi buah pada tanaman juga menentukan mutu benih. Buah wijen varietas TSI4B yang berada pada pertengahan batang utama mempunyai daya berkecambah dan ketahanan terhadap kekeringan yang paling tinggi dibandingkan dengan buah yang terletak pada bagian bawah dan atas tanaman. Perbedaan mutu benih tersebut disebabkan oleh ketersediaan fotosintat. Buah pada bagian bawah mutunya lebih rendah karena ketersediaan fotosintat yang terbatas dan lingkungan yang tidak ideal (kelembapan yang lebih tinggi) sehingga dapat mendorong kemunduran benih.
Untuk benih di bagian atas tanaman terjadi sebaliknya, mutu benih rendah karena pertumbuhan yang terbatas (Hasanah dan Aliyah, 1993). Penelitian genangan air pada tanaman wijen menunjukkan bahwa produksi dan viabilitas benih dipengaruhi oleh periode penggenangan (Hasanah dan Indriastuti, 1993). Pengaruh genangan air terhadap produksi benih 2 varietas wijen disajikan pada Tabel 6. Tanaman wijen sangat peka terhadap genangan air (Weiss, 1971). Varietas Bogor Hitam lebih tahan dibanding TSI4B, dimana mulai masa berbunga sampai dengan kemasakan benih menghasilkan produksi benih/ tanaman hanya 0,15 g. Pada jambu mete pemilahan benih berdasarkan berat jenis berpengaruh terhadap daya berkecambah dan indeks kecepatan berkecambah. Benih yang terapung dengan berat jenis < 1 mempunyai daya berkecambah 50,21% dan indeks kecepatan berkecambah 1,79%, sedangkan benih yang tenggelam dengan berat jenis >1 mempunyai daya berkecambahnya 91,26% dan indeks kecepatan berkecambah 3,25% (Rusmin et al., 1996). Perkecambahan 30−37oC, di tempat terbuka suhu dapat meningkatkan daya berkecambah, indeks kecepatan berkecambah, serta bobot kering akar dan bibit yang merupakan ciri vigor bibit yang lebih tinggi. Untuk jambu mete sebaiknya benih direndam dalam air selama 24−48 jam atau diberi perlakuan dengan suhu tinggi (42o C) dan RH tinggi (100%) (Sukarman et al., 1996). Cara pengeringan merupakan salah satu syarat bagi suatu industri benih "ortodok". Jambu mete yang termasuk benih "ortodok" perlu dikeringkan sampai kadar air awal 5,04−6,14% dengan cara dijemur 3−5 hari kemudian dikemas dalam kantong plastik kedap udara. Dengan perlakuan seperti itu, benih dapat disimpan sampai 12 bulan dengan daya berkecambah 83,33− 96,57 % (Sukarman et al., 2000). Usaha untuk meningkatkan mutu benih yang sudah mundur dapat dilakukan dengan cara invigorasi (meningkatkan vigor benih). Cara ini telah banyak dilakukan pada tanaman hortikultura maupun tanaman pangan. Menurut Hadiana (1996), perlakuan "presoaking" atau "conditioning" secara nyata, dapat meningkatkan viabilitas dan vigor benih kenaf sebelum penyimpanan, dapat 87
Tabel 6. Pengaruh genangan air terhadap produksi benih 2 varietas wijen. Periode genangan
Produksi benih (g/tanaman) TSI4B Bogor Hitam
Kontrol Masa berbunga-Pengisian benih Kemasakan benih Masa berbunga-Kemasakan benih
1,43 0,84 0,24 0,15
Sumber: Hasanah dan Indriastuti (1993).
meningkatkan daya berkecambah, potensi tumbuh, keserempakan tumbuh, dan bobot kering kecambah normal. Penelitian Hartati et al. (1999) menunjukkan bahwa invigorasi (perendaman dengan natrium fosfat, 2 x 10-4M) benih kenaf yang sudah menurun daya berkecambahnya sampai 40% tidak efektif lagi. Namun, pada benih yang masih 60% daya berkecambahnya masih dapat meningkat sampai 7,33%, tinggi tanaman 19 cm, bobot batang segar per plot berukuran 6 x 1,50 m dengan jarak tanam 20 x 15 cm, dapat meningkat sebesar 6,33 kg. Pada kapas, penggunaan mesin "delinter" dengan kecepatan tertentu dapat mempengaruhi mutu benih kapas. Hasil penelitian Amiroeddin et al. (1993) menunjukkan bahwa kecepatan putaran per menit (rpm) 125 menghasilkan kerusakan yang terrendah (2,38%) dengan daya berkecambah benih tertinggi (78%). Menurut Hasnam et al. Dalam Amiroeddin et al. (1993), kerusakan akibat penggunaan mesin dapat berkisar 4−6%.
INDUSTRI BENIH Sektor industri sebagaimana yang dimaksudkan dalam APBN 98/99 adalah usaha industri yang berciri ekonomi masyarakat sebagai penggerak ekonomi melalui pemerataan pembangunan, menetapkan program penghapusan kemiskinan serta perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. Dengan demikian usaha pengembangan sektor agroindustri akan dapat mempercepat pengentasan kemiskinan yang dirasakan masyarakat Indonesia saat ini. Dampak langsung dari pengembangan agroindustri adalah kebutuhan bibit yang sangat tinggi, secara konvensional kebutuhan tersebut sulit dipenuhi secara 88
3,10 0,97 2,38 0,72
.
cepat. Di negara maju, aplikasi teknologi baru seperti penggunaan benih sintetik telah dirasakan manfaatnya. Industri benih merupakan syarat penting bagi pertanian tangguh yang berorientasi pasar. Industri benih merupakan tahap akhir perkembangan perbenihan dan termasuk dalam kelompok agribisnis. Disebut industri menurut Sadjad (1997), karena prosesnya berawal dari produk yang belum siap pakai dan berakhir menjadi produk siap pakai yang berupa benih suatu varietas tanaman. Selanjutnya dinyatakan sebagai industri hilir, industri benih menghadapi permintaan benih berkualitas yang bersumber dari permintaan pasar untuk suatu komoditas dengan syarat-syarat tertentu. Dalam pertanian maju, benih memegang peranan penting sebagai sistem penyalur ("delivery system") atau pembawa teknologi baru ("carrier of new technology"). Beberapa teknologi baru (varietas baru) disampaikan ke petani melalui benih bermutu. Kualitas benih varietas unggul harus diketahui baik sebagai komponen kunci di dalam paket input yang dibutuhkan untuk memperbaiki produksi tanaman maupun sebagai katalis untuk mengeksploitasi teknologi baru dalam produksi tanaman. Untuk memenuhi permintaan, benih tidak dapat diproduksi secara mendadak atau secara langsung, tetapi memerlukan perencanaan yang baik. Perencanaan dan penanganan yang kurang baik dapat merugikan produksi benih. Pemuliaan tanaman yang aktif dan produktif merupakan dasar untuk industri benih. Varietas baru yang dilepas harus sampai ke petani/pekebun dengan sifatsifat yang unggul (produksi tinggi, resisten terhadap hama dan penyakit utama dan lain-lain). Keaslian kultivar atau klon dapat
dijamin melalui pengawasan mutu yang ketat yang merupakan komponen industri benih. Berdasarkan teknologi yang digunakan industri benih dapat dibagi menjadi lima tingkat yaitu : 1) Industri benih tingkat I. Teknologi yang digunakan sederhana, pembersihan benih hanya menggunakan tampah. 2) Industri benih tingkat II. Industri menggunakan mesin-mesin pembersih seperti "air screen cleaner". 3) Industri benih tingkat III. Industri ini melaksanakan pemilahan benih yang sudah bersih. Setelah dibersihkan benih dipilah berdasarkan besar, panjang, lebar, tebal atau berat butiran. Industri benih ini menghasilkan benih yang prima. 4) Industri benih tingkat IV. Industri ini selalu berhubungan dengan kegiatan lembaga penelitian dan pengembangan di samping proses produksinya seperti industri tingkat III. 5) Industri benih tingkat V. Industri ini memiliki kemampuan untuk memproduksi benih hasil Litbang sendiri. Kegiatan penelitian dan pengembangan di sini selain memproduksi hibrida yang selalu diperbaharui, juga melakukan penelitian dan pengembangan bioteknologi. Industri benih tingkat V menerapkan teknologi sangat canggih dan memiliki kemampuan dalam mengusahakan rekayasa genetik sehingga benih yang dihasilkan memiliki keunggulan yang sangat spesifik. Industri benih tingkat V tidak memerlukan lembaga sertifikasi eksternal karena program sertifikasinya diakreditasi sehingga kebenaran informasi mutunya terpercaya (Sadjad, 1997). Tanaman yang dapat diperbanyak secara vegetatif atau yang memiliki benih "rekalsitran", pengadaan benihnya dilakukan pada saat panen raya. Kontinuitasnya dipertahankan dengan jalan menanam benih yang tidak terpasarkan untuk digunakan sebagai bibit sebar atau sebagai bahan untuk perbanyakan vegetatif. Dalam industri benih, penanganan benih hasil perbanyakan vegetatif sama dengan benih hasil perkembangbiakan generatif, antara lain perlu pengawasan pada pemasaran agar tidak merugikan konsumen. Berdasarkan dasar usahanya, industri benih dapat dibagi menjadi: Jurnal Litbang Pertanian, 21(3), 2002
1) Usaha Pembenihan Kecil (UPK), yaitu usaha benih yang dikelola oleh rakyat dan relatif kecil serta pemasarannya terbatas pada daerah setempat. Kelompok ini mungkin dapat disamakan dengan industri benih tingkat I. 2) Usaha Pembenihan Besar (UPB), yaitu usaha benih yang dilakukan oleh perusahaan atau koperasi dengan skala yang relatif besar dan jangkauan pemasarannya lebih luas (Direktorat Bina Perbenihan, 1998c). 3). Untuk benih "ortodok", kelompok ini bisa digolongkan pada industri benih tingkat II−IV seperti untuk benih kapas, rosela, kenaf, yute, linum, wijen, bunga matahari, jarak, ketumbar, jinten, adas dan juga jambu mete asal teknologinya disesuaikan. Untuk UPK dan UPB biasanya dilakukan oleh lembaga-lembaga penelitian, sedangkan untuk usaha-usaha ketiga
dan keempat bisa dilakukan oleh pengusaha baik pemerintah atau swasta. Bila usaha-usaha tersebut sudah terlaksana dengan baik sesuai persyaratan maka usaha - usaha tersebut sudah dapat dianggap sebagai suatu industri benih. Di negara maju banyak tanaman kehutanan yang telah diproduksi melalui pembuatan benih sintetik (Lelu et al., 1994; Rout et al., 1995). Untuk produksi massal digunakan bioreaktor yang dapat menghasilkan bibit berjuta-juta banyaknya hanya dalam wadah tertentu saja. Melalui bioreaktor embrio somatik dapat menggandakan diri sebanyak-banyaknya secara berkelanjutan. Nutrisi, zat pengatur tumbuh, dan oksigen diberikan secara otomatis yang telah diprogram dalam komputer. Banyak harapan yang telah dijanjikan oleh bioteknologi untuk produksi benih sintetik dalam memenuhi kebutuhan bibit dalam jumlah besar, seragam, dan kemurniannya tinggi.
KESIMPULAN Dalam pengembangan industri benih tanaman industri, di samping mutu fisik dan mutu genetik, mutu fisiologik menentukan keberhasilan suatu industri benih. Industri benih dapat dikembangkan di Indonesia, dengan menggunakan teknologi tradisional sampai canggih. Walaupun menggunakan teknologi tradisional, persyaratan untuk memperoleh benih yang baik harus tetap diperhatikan, karena benih yang benar sudah disediakan oleh pemulia. Penggunaan benih dengan viabilitas yang sudah menurun akan meningkatkan biaya penyulaman, harga benih, mundurnya waktu tanam sehingga produksi tidak optimal dan mutunya rendah. Ketidaksesuaian lokasi produksi, penyiapan tanah, waktu tanam, aplikasi pupuk, pengendalian hama dan gulma, waktu dan cara panen, prosesing, pengemasan, serta penyimpanan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap rendahnya produksi dan mutu benih.
DAFTAR PUSTAKA Amiroeddin, A.D., P. Tandisau, S. Ruku, dan M. Sahid. 1993. Observasi kecepatan mesin "Delinter" terhadap kerusakan dan daya kecambah benih kapas. Buletin Tembakau dan Serat (2): 1−2. Basu, R. N. 1994. Seed viability In A.S. Basra, (Ed.) Seed Quality. Basic Mechanisms and Agricultural Implications. Food Products Press. New York, 387 p. Copeland, L.O. and M.B. Mc. Donald. 1985. Principles of Seed Science and Technology. Burgess Publishing. Minneapolis, Minnesota. 321 p. Departemen Pertanian. 2001. Penjabaran Program dan Kegiatan Pembangunan Pertanian tahun 2001− 2004. Subsektor Perkebunan Bab V. Departemen Pertanian, Jakarta. 16 hlm. Direktorat Bina Perbenihan. 1998a. Sistem Perbenihan Subsektor Perkebunan. Ditjenbun. Jakarta. Direktur Bina Perbenihan. 1998b. Penumbuhan sistem perbenihan pada subsektor perkebunan. Pertemuan Pemantapan Pembangunan Perkebunan. Ciloto 14−16 Desember 1998. Direktorat Bina Perbenihan. Ditjenbun, Jakarta. 18 hlm. Direktorat Bina Perbenihan. 1998c. Pembinaan usaha perbenihan. Pertemuan Pemantapan Pembangunan Perkebunan. Ciloto 14−16
Jurnal Litbang Pertanian, 21(3), 2002
Desember 1998. Direktorat Bina Perbenihan. Ditjenbun, Jakarta. 12 hlm. Douglas, J.E. 1980. Successful Seed Programs: A Planning and Management Guide. Westview Press. Boulder, Colorado. 301 p. Food and Agriculture Organization. 1961. Agricultural and horticultural seeds. Their production, control and distribution. FAO Agricultural studies (55): 531 hlm. Hadiana, W.R. 1996. Peningkatan viabilitas dan Vigor Benih Kenaf (Hibiscus cannabinus L.) dengan Perlakuan "Presoaking" dan "Conditioning". Karya Ilmiah Jurusan Budi Daya Pertanian. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor 41 pp. Hartati, R.R.S., Sudjindro, dan F.C. Indriani. 1999. Pengaruh invigorasi terhadap viabilitas benih dan pertumbuhan tanaman kenaf (Hibiscus cannabinus L). Indust. Crops. Res. J. 4(6): 191−195. Hasanah, M. 1982. Pengaruh pemupukan terhadap mutu benih rosela. Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri 7(41): 49−54. Hasanah, M. 1988. Influence of storage conditions on sunflower seed quality. Indust. Crops. Res. J. 1(1): 1−10. Hasanah, M. and M. Aliyah. 1993. Seed quality of different capsule positions and varieties in sesame. Indust. Crops. Res. J. 6(1): 27− 30.
Hasanah, M., M.I. Wahab, dan D.E. Rantau. 1993. Pengaruh jarak tanam dan tahap panen terhadap produksi dan viabilitas benih ketumbar. Keluarga Benih 4(2) 1−6. Hasanah, M. and G. Indriastuti. 1993. Effect of flooding on plant growth, seed production and viability of two sesame varieties. Indust. Crops. Res. J. 5(2): 17−22. Hasanah, M., I. Darwati, dan H. Rahayu. 1994. Pengaruh tingkat kemasakan dan ukuran buah terhadap viabilitas benih ketumbar (Coriandrum sativum L.). Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 9(1):46−51. Hasanah, M. 1995. Advances in research and technology on sesame seeds. Indon. Agric. Res. Dev. J. 17(1): 7−12. Julyana, A. 1995. Pengaruh Tingkat Kemasakan, Periode Simpan dan Perlakuan Pematahan Dormansi terhadap Viabilitas Benih Ketumbar (Coriandrum sativum L.) Skripsi Jurusan Budi Daya Pertanian, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. 55 hlm. Lelu, M.A., C. Bastien, K. Klimaszcwska, C. Ward, and P.J. Chatest. 1994. An improved method for somatic plantlet production in hybrid larch (Larix X Leproeuropaea). Part I. Somatic embryo maturation. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 42: 283−285.
89
Rout, G.R., S. Samantary, and P. Das. 1995. Somatic embriogenesis and plant regeneration from callus culture of Acacia catechu a multipurpose leguminous tree. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 42: 283−285. Rumiati, Sukarman, D. Rusmin, dan M. Hasanah. 1997. Studi perkembangan benih jambu mete. Forum Konsultasi Ilmiah Perbenihan Tanaman Rempah dan Obat. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. hlm. 220−223. Rusmin, D., Sukarman, dan M. Hasanah. 1996. Pengaruh berat jenis benih terhadap viabilitas benih jambu mete. Laporan Penelitian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor.
90
Sadjad, S. 1994. Kuantifikasi Metabolisme Benih. Gramedia. Jakarta. 145 hlm. Sadjad, S. 1997. Membangun Industri Benih dalam Era Agribisnis Indonesia. Grasindo, Jakarta. 164 hlm. Sianipar, A.P. 1991. Pengaruh Jarak Tanam, Pemupukan Nitrogen, Fosfor, dan Kalium terhadap Pertumbuhan dan Komponen Hasil Tanaman Wijen. Skripsi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. 25 hlm. Sukarman, D. Rusmin, dan M. Hasanah. 1996. Pengaruh penderaan dan suhu perkecambahan terhadap viabilitas benih jambu mete. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 1(6): 284−290.
Sukarman, M. Hasanah, dan D. Rusmin. 1997. Produksi benih tanaman industri tahunan dan antisipasinya menghadapi era globalisasi Dalam Pemuliaan Meningkatkan Daya Saing Komoditas Pertanian Indonesia. Prosiding Simposium Nasional dan Kongres III Peripi. Bandung 24−25 September. 1997. hlm. 327−337. Sukarman, M. Hasanah, D. Rusmin, T. Marwati dan R. Noveriza. 2000. Pengaruh cara panen dan penanganan terhadap mutu benih jambu mete. Laporan Teknis Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 17 hlm. Weiss, F.A. 1971. Castor, Sesame and Sunflower. Leonard Hill. London. p. 311−525.
Jurnal Litbang Pertanian, 21(3), 2002
Lampiran 1. Varietas tanaman industri yang telah dilepas dan dalam proses pelepasan. Komoditas
Varietas
No. SK
Lada
Natar 1 Natar 2 Petaling 2 Petaling 1 LRA 5166 Kanesia 2 Kanesia 1 Kanesia 4 Kanesia 3 Kanesia 5 Kanesia 6 Kanesia 7 G1 G2 G3 G4 Khina 3 Khina 2 Khina 1 GKN (Genjah Kuning Nias) GSK ( Genjah Salak) DTA ( Kelapa Dalam Tenga) DPU (Dalam Palu) DBL (Dalam Bali) DMT (Dalam Mapanget) DRU (Dalam Riau) DSA ( Dalam Sawarna) KB-1 (Kelapa Baru1) KB-2 (Kelapa Baru 2) KB-3 (Kelapa Baru 3) KB-4 (Kelapa Baru 4) Kemloko 1
274-277/Kpts/Kb.230/4/1988 Tgl. 21 April 1988
Kapas
Serai wangi
Kelapa hibrida
Kelapa
Tembakau
Sindoro
1
Kenaf
Karangploso 9 KR 9 KR 11 KR 12
Jambu mete
Gunung gangsir 1
Jahe gajah
Cimanggu 1
Jurnal Litbang Pertanian, 21(3), 2002
583-585/Kpts/TP.240/8/1990 Tgl. 16 Agustus 1990 441/Kpts/TP.240/6/1993 Tgl. 25 Juli 1993 454-456/Kpts/TP.240/7/1993 Tgl. 2 Juli 1993 572/Kpts/TP.240/11/1992 Tgl. 3 November
586-588/Kpts/TL.240/8/1984 Tgl. 11 Agustus 1984
1983
No.114/Kpts/TP.240/2/2001 Tgl. 8 Februari 2001 No.112/Kpts/TP.240/2/2001 Tgl. 8 Februari 2001 No.115/Kpts/TP. 240/2/2001 Tgl. 8 Februari 2001 No.111/Kpts/TP.240/2/2001 No.112/Kpts/TP.240/2/2001 Tgl. 8 Februari 2001. No.110/Kpts/TP.240/2/2001 Tgl. 8 Februari 2001 No. 109/Kpts/TP.240/2/2001 Tgl. 8 Februari 2001
91